Upload
rach-tiworo
View
2.215
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah merupakan suatu usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi
pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih
mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah
satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati
generasi.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini
dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks
Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari
peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang
menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun.
Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99
(1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas
pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi
Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic
1
Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya
menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih
menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai
follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh.
Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional
tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan
pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang
mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi
dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi
memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia
berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas
membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu
pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh
setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah
menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk
pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan
sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya
manusia di negara-negara lain.
2
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di
berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal
itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat
penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan
untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data
Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan
sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years
Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan
sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years
Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang
mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah
masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih
menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan
khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
3
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas akan menjadi bahan
bahasan dalam makalah yang berjudul “ Rendahnya Kualitas Pendidikan di
Indonesia” ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia?
2. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?
3. Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
4. Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan
pendidikan di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.
2. Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.
3. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan
di Indonesia.
4. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan
pendidikan di Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pemerintah
Bisa dijadikan sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas
pendidikan di Indonesia.
4
2. Bagi Guru
Bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengajar agar para peserta didiknya
dapat berprestasi lebih baik dimasa yang akan datang.
3. Bagi Mahasiswa
Bisa dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka meningkatkan
prestasi diri pada khususnya dan meningkatkan kualitas pendidikan pada
umumnya.
5
BAB IIPEMBAHASAN
A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari
tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di
sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa
Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui
pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui
ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-
asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio,
surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan
berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau
perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka
pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal,
pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Albert Einstein pernah berkata bahwa, “Education is what remains after one
has forgotten everything he learned in school.” Begitu pentingnya pendidikan
sehingga seorang Einstein pun sampai berkomentar tentang pentingnya
pendidikan. Tanpa pendidikan, taraf hidup serta standar kualitas seorang manusia
6
bisa dikatakan akan berdampak buruk. Seseorang yang memperoleh pendidikan
yang semakin tinggi tentunya akan mempunyai kualitas yang jauh lebih baik
dibandingkan mereka yang hanya tamat sekolah dasar.
Setiap negara diseluruh dunia begitu menekankan pentingnya kualitas
pendidikan. Salah satu langkah konkret untuk meningkatkan kualitas pendidikan
adalah dengan menetapkan anggaran pendidikan yang lebih besar dibandingkan
anggaran lainnya. China dan Korea Selatan menjadi dua negara yang begitu
menekankan pentingnya pendidikan bagi rakyatnya. Anggaran pendidikan di
China mencapai 13,1% dari anggaran negara, sedangkan di Korea Selatan
anggaran pendidikan negara mencapai 18,9%. Bandingkan dengan Indonesia
yang memang menganggarkan anggaran pendidikan sebesar 20%, namun pada
prakteknya masih jauh dari kenyataan.
Bisa dibilang bahwa salah satu penyebab banyaknya pengangguran di
Indonesia adalah karena kesalahan pada sistem pendidikan serta pelayanan dalam
kegiatan belajar mengajar. Kita akan dengan mudahnya mendengar pergantian
kurikulum pada setiap pergantian menteri. Tidak bakunya standar pendidikan kita
juga menyebabkan ketidapastian dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan.
Bahkan untuk menetapkan standar kelulusan pun Indonesia masih sering
kebingungan. Tidak hanya sekedar masalah kurikulum, kualitas pengajar pun bisa
dibilang tidak sesuai dengan standar yang seharusnya. Kebanyakan para guru
yang ditugaskan oleh tiap sekolah untuk memberikan transfer ilmu seperti
7
kebingungan dalam mengajar. Entah karena bingung dengan standar pendidikan
yang selalu berubah atau karena memang tidak ahli dalam bidang yang diajarkan.
Setelah mengungkit masalah kualitas pendidikan, masalah kualitas
pelayanan pendidikan pun bisa dibilang sangat memprihatinkan. Masih
banyaknya bangunan sekolah yang sangat buruk kondisinya. Sekolah-sekolah
yang beratapkan langit pun sering kita temui. Lantainya pun terbuat langsung dari
tanah, serta tidak cukupnya buku-buku yang seharusnya didapatkan oleh setiap
siswa. Belum lagi mahalnya biaya sekolah dan kuliah yang menyebabkan banyak
orangtua yang enggan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Padahal kita
semua tahu bahwa pendidikan merupakan hak bagi seluruh warga negara
Indonesia. Inilah realita yang dialami dunia pendidikan di Indonesia.
Kondisi diataslah yang menghambat Indonesia untuk bisa bangkit mengatasi
masalah rendahnya kualitas sumber daya manusia serta tingginya angka
pengangguran. Minimnya kualitas dan fasilitas pendidikan tentunya berdampak
secara signifikan terhadap kualitas manusia itu sendiri. Begitu banyaknya masalah
yang dihadapi pemerintah tentunya tidak bisa kita selesaikan secara cepat.
Walaupun begitu, pemerintah harus bisa membuat prioritas dalam upaya
perbaikan kualitas manusia Indonesia. Realisasi anggaran pendidikan yang
mencapai 20% dari total APBN negara harus bisa segera direalisasikan oleh
pemerintah. Jangan sampai anggaran yang telah besar ini justru dikorup oleh
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Penetapan sistem pendidikan yang
baku serta tidak harus berubah pada setiap pergantian menteri harus bisa menjadi
8
target pemerintah. Hal ini bisa memberikan kepastian bagi setiap pengajar dan
sekolah. Kelengkapan fasilitas serta pemerataan kualitas pendidikan bagi setiap
warga negara, khususnya daerah-daerah yang jauh dari pusat kota. Daerah-daerah
seperti ini seharusnya menjadi fokus pemerintah karena banyak sekali masyarakat
yang tidak memperoleh hak mereka dalam memperoleh pendidikan. Terakhir,
perbaikan kualitas para pendidik pun harus bisa diperhatikan oleh pemerintah.
Jangan sampai para guru yang mengajari para calon pemimpin bangsa ini justru
merupakan orang-orang yang tidak mengerti apa yang mereka ajarkan. Inilah
beberapa hal yang harus segera dilakukan pemerintah untuk segera menyelesaikan
masalah SDM di Indonesia.
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin
memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-
muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka
sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten.
Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau
kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan
dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki
pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi
masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi
pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman
yang pensiun.
9
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya
pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun,
bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu
terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang
menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada
umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung
Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh
pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara
lain yaitu:
Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses
terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak
ukurnya dari angka partisipasi.
Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan,
seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan
kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam
ujian nasional.
10
Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di
bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga
siap pakai yang dibutuhkan.
Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti
menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk
tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi
pendidikan.
Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati
fasilitas penddikan.
C. Kondisi dan Keterpurukan Pendidikan Indonesia
Krisis multidimensional yang melanda Indonesia telah membuka mata kita
terhadap mutu Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, dan secara tidak langsung
juga merujuk pada mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu sendiri. Meskipun
sudah merdeka lebih dari setengah abad, akan tetapi mutu pendidikan Indonesia dapat
dikatakan masih sangat rendah dan memprihatinkan. Hal tersebut setidaknya dapat
kita ketahui dengan melihat 2 (dua) indikator sekaligus, yaitu indikator makro seperti
pencapaian Human Develompement Index (HDI) dan indikator mikro seperti
misalnya kemampuan membaca.
Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNDP pada Human Development
Report 2005, ternyata Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia.
11
Bahkan yang lebih mencemaskan, peringkat tersebut justru sebenarnya semakin
menurun dari tahun-tahun sebelumnya, di mana pada tahun 1997 HDI Indonesia
berada pada peringkat 99, lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, dan kemudian
merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004.
Menurut IMD (2000), dalam hal daya saing, Indonesia menduduki peringkat ke-
45 dari 47 negara. Sedangkan, Singapura berada pada peringkat 2 dan Malaysia serta
Thailand masing-masing pada urutan ke-25 dan ke-23. Terkait masalah produktivitas,
terungkap bahwa produktivitas SDM Indonesia sangatlah rendah, hal tersebut
setidaknya dikarenakan kurangnya kepercayaan diri, kurang kompetitif, kurang
kreatif, dan sulit berprakarsa sendiri (selfstarter). Itu semua disebabkan oleh sistem
pendidikan yang top down dan tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas (N.
Idrus - CITD 1999).
Begitu pula dari berbagai data perbandingan antar negara dalam hal anggaran
pendidikan yang diterbitkan oleh UNESCO dan Bank Dunia dalam “The World Bank
(2004): Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization
(Indonesia Education Sector Review), Volume 2, hal. 2-4”, Indonesia adalah negara
yang terendah dalam hal pembiayaan pendidikan. Pada tahun 1992, menurut
UNESCO, pada saat Pemerintah India menanggung pembiayaan pendidikan 89% dari
keperluan, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana bagi
penyelenggaraan pendidikan nasionalnya. Sementara itu, dibandingkan dengan
negara lain, termasuk negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, persentase
12
anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Indonesia masih merupakan yang
terendah.
Hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Vincent Greanery dalam “Literacy
Standards in Indonesia” dapat disimpulkan bahwa kemampuan pendidikan membaca
anak-anak Indonesia adalah paling rendah dibandingkan dengan anak-anak Asia
Tenggara pada umumnya. Padahal, mempertimbangkan pendidikan anak sama saja
dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan
sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa dan akan merefleksikan semua
yang ditampakkan padanya.
1. Investasi Bangsa Jangka Panjang
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia
membutuhkan pendidikan, sampai kapan pun dan di manapun ia berada. Pendidikan
sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan
bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan
untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing serta memiliki
budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Profesor Toshiko Kinosita, Guru Besar Universitas Waseda Jepang,
mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masihlah sangat lemah untuk
mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebab dasarnya karena
pemerintah Indonesia selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai
prioritas terpenting. Menurutnya, tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas
terpenting dikarenakan masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi
13
dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar materi untuk memperkaya diri
sendiri dan tidak pernah berfikir panjang dan jauh ke depan.
Bagi para penganut teori “human capital”, sebagaimana dideskripsikan oleh
Walter W. McMahon dan Terry G. Geske dalam bukunya yang berjudul “Financing
Education: Overcoming Inefficiency and Inequity” terbitan University of Illionis,
bahwa nilai penting pendidikan adalah suatu investasi sumber daya manusia yang
dengan sendirinya akan memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Itulah
sebabnya investasi pendidikan yang diperlukan bagi bangsa Indonesia sebenarnya
harus terlebih dahulu mengarah pada pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang
super canggih. Berpedoman pada apa yang telah dicanangkan oleh UNESCO, proses
pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya harus bertumpu pada 4 (empat) pilar,
yaitu learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk
melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan learning to
live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
Oleh karena itu, penting sekali sebagai negara berkembang seperti Indonesia
untuk menentukan metode yang terbaik bagi dunia pendidikannya, yaitu dengan jalan
“invest in man not in building”, sebagaimana telah dibuktikan hasilnya oleh negara
Jepang, India, Korea Selatan, Taiwan, ataupun Malaysia sekalipun dalam dua dekade
belakangan ini.
2. Anggaran Pendidikan dalam Bingkai Hukum
14
Terhadap kondisi pendidikan yang semakin terpuruk tersebut, C.E. Beeby
mencatat ada 2 (dua) hambatan utama dalam upaya meningkatkan bidang pendidikan
di Indonesia. Pertama, kurangnya biaya dan perlengkapan yang bisa dibeli dengan
uang. Kedua, hambatan-hambatan yang bukan material sifatnya, di mana
penambahan uang tidak akan segera memperlihatkan efeknya. Hal tersebut sejalan
dengan salah satu temuan penting dari studi empiris terhadap referensi pencapaian
Human Development Index versi UNDP, yaitu pembiayaan pendidikan di suatu
negara terbukti memberikan pengaruh sangat positif dan signifikan terhadap kinerja
pendidikan nasional di negara-negara bersangkutan.
Satu dari sekian masalah utama namun klasik yang selalu membelit sistem
pendidikan di Indonesia adalah rendahnya anggaran pendidikan yang disediakan oleh
negara. Rendahnya anggaran pendidikan itu diyakini sebagian kalangan sebagai akar
utama buruknya pendidikan nasional. Alokasi dana yang rendah untuk pendidikan, di
mana penganggaran selalu dialokasikan dibawah 10% dari APBN, dinilai sebagai
cermin tidak adanya political will pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal
dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu
kewajiban konstitusi (constitutional obligation) untuk memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Demikian pula ditegaskan kembali
dalam UU organiknya yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS bahwa
dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan harus
dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari
15
APBD.
3. Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan
Masyarakat yang skeptis memandang nasib pendidikan saat ini, baik itu berasal
dari pihak perorangan maupun institusi pendidikan seperti PGRI dan ISPI,
sebenarnya telah berupaya menembus tembok kemandegan penganggaran bagi
pendidikan yang tidak sejalan dengan amanah Pasal 31 UUD 1945. Hal itu mereka
tempuh dengan upaya melakukan proses permohonan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945 (judicial review) sebanyak dua kali kepada Mahkamah
Konstitusi (MK) selaku Lembaga Negara pengawal konstitusi, yaitu UU APBN 2005
dan UU APBN 2006. Terjadinya permohonan Judicial Review atas pemenuhan hak-
hak asasi manusia yang bersifat fundamental tersebut dapat kita katakan sebagai
pertanda bahwa telah terjadi suatu permasalahan yang sangat krusial, bahkan Mark
Elliot dalam bukunya “The Constitutional Foundations” memaknai judicial review
sebagai tindakan warga negara dalam mencari keadilan yang hakiki yang tidak boleh
dianggap sepele oleh siapa pun.
Alhasil, pendapat MK terhadap kebijakan pemerintah yang hanya
mengalokasikan anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 8,1 % pada tahun 2005
dan 9,1 % pada tahun 2006 dianggap bertentangan dengan UUD 1945
(inkonstitusional) karena tidak sesuai (unvereibar) dengan amanat Pasal 31 ayat (4)
UUD 1945. Ketentuan tersebut dikuatkan lewat putusannya No. 012/PUU-III/2005
bertanggal 5 Oktober 2005 dan No. 026/PUU-III/2005 bertanggal 22 Maret 2006
yang pada intinya menyatakan bahwa keberadaan Pasal 31 UUD 1945 mempunyai
16
sifat imperatif (dwingend recht) yang tidak dapat dielakkan selama masih tercantum
dalam UUD 1945.
Putusan tersebut sangat tepat tatkala kita melakukan penafsiran konstitusi
(constitutional interpretation) terhadap rumusan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang
berbunyi, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20%
dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”,
maka tidak akan membuka adanya kemungkinan penafsiran lain selain bahwa negara
wajib memprioritaskan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD dengan
prioritas dimaksud haruslah sekurang-kurangnya 20% (duapuluh persen) dari APBN
serta dari APBD.
Begitu pula dalam Putusannya Nomor 011/PUU-III/2005, Mahkamah
menegaskan bahwa pada hakikatnya pelaksanaan Konstitusi tidak boleh ditunda-
tunda. Ketentuan anggaran minimal 20 persen dari APBN/APBD itu sudah
dinyatakan secara expres verbis, sehingga tidak boleh direduksi oleh peraturan
perundang-undangan di bawahnya. Itu pula sebabnya, MK menyatakan Penjelasan
Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang membuat norma
baru dengan menyatakan bahwa pemenuhan anggaran pendidikan dapat dilakukan
secara bertahap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jikapun pemerintah
diperbolehkan, quot non, melakukan pemenuhan anggaran pendidikan secara
bertahap, faktanya pun sudah melenceng jauh dari skenario progresif pemenuhan
anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal
17
4 Juli 2005 yang lalu. Padahal, skenario itu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7
persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005),
12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan
dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005
dan 9,1 % pada tahun 2006.
Belum lagi jika kita mencermati minderheids notes yang sebenarnya telah
disampaikan oleh Komisi X DPR yang membawahi bidang Pendidikan dalam
pengesahan RUU APBN 2006 menjadi APBN 2006 pada sidang paripurna DPR RI
tanggal 28 Oktober 2005 berkaitan dengan alokasi anggaran pendidikan yang belum
mencapai 20% APBN. Tanpa menambah atau mengurangi satu kata pun, minderheids
notes tersebut berbunyi sebagai berikut:
1. Sekalipun DPR RI dan Pemerintah telah berusaha optimal, namun berdasar
keputusan Mahkamah Konstitusi 19 Oktober 2005, maka dengan tidak
terpenuhinya anggaran pendidikan minimal 20% dalam UU APBN 2006,
berarti belum memenuhi amanat Pasal 31 UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2. Tidak terpenuhinya “kesepakatan 4 Juli 2005” antara DPR (yang diwakili oleh
Komisi X) dan Pemerintah yang diwakili oleh 7 Menteri (Menko Kesra,
Mendiknas, Menag, Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menkeu, Mendagri dan
Menpan), untuk secara bertahap mencapai anggaran pendidikan 20% dari
APBN menunjukan lemahnya kemauan politik DPR RI dan Pemerintah dalam
mewujudkan amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
18
3. Mengingatkan DPR RI dan Pemerintah untuk segera mewujudkan
“kesepakatan 4 Juli 2005” melalui APBNP 2006.
Jelas bagi penulis untuk menyatakan bahwa ini adalah suatu bentuk tindak
kesengajaan atas pengingkaran kesepakatan antara DPR dan Pemerintah yang
dilakukan oleh diri mereka sendiri. Dapat kita bayangkan, jika kenaikan bertahap 2,7
persen per tahun saja tidak terpenuhi, maka lompatan besar peningkatan anggaran
dalam tahun 2007 tentu jauh dari harapan.
Bahkan, terkait dengan alokasi anggaran pendidikan pada tahun 2007, Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengatakan bahwa Pemerintah hanya akan
menaikkan anggaran pendidikan maksimal menjadi 10 persen dari APBN. Hal itupun
ditegaskan kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya
dihadapan anggota DPR dan DPD bahwa pada tahun 2007 nanti sektor pendidikan
hanya akan mendapatkan alokasi sebesar 10,3 persen dari total belanja pemerintah
pusat. Rencana kebijakan tersebut diambil dengan berlindung pada salah satu
argumentasi utama bahwa pemerintah sudah mendasarkan komitmen untuk tidak
menaikkan tarif dasar listrik (TDL) untuk periode 2006 sehingga anggaran
pendidikan tidak dapat seluruhnya dipenuhi. Menjadi pertanyaan kita bersama, hanya
inikah jalan keluar yang dapat dipikirkan oleh Pemerintah guna mengatasi krisis
pendidikan nasional?
Rencana menaikkan alokasi anggaran pendidikan sekedarnya guna menghindar
”vonis mati” dari Mahkamah Konstitusi telah mencerminkan bahwa Pemerintah tidak
cukup serius dalam melaksanakan amanat UUD 1945 dan harus dipandang tidak
19
sesuai dengan semangat UUD 1945 (the spirit of constitution) dan moralitas
konstitusi (constitutional morality). Dengan kata lain, penulis sangat yakin jika
komitmen pemerintah terhadap dunia pendidikan tidak kunjung berubah, maka masih
akan terjadi pelanggaran konstitusi secara berjamaah pada tahun-tahun anggaran
mendatang dan bisa dipastikan akan kembali terjadi krisis konstitusi yang berakibat
pada turunnya kepercayaan masyarakat, khususnya kalangan terpelajar dan
akademisi, terhadap legitimasi Pemerintah saat ini.
4. Problematika Anggaran
Berbagai kalangan, baik itu Pemerintah maupun Non-Pemerintah, berdalih
bahwa sulitnya pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD
setidaknya disebabkan oleh dua permasalahan utama, yaitu: Pertama, kesalahan
konstitusi (constitusional failure) yang menetapkan besaran angka persentase
anggaran pendidikan dalam konstitusinya. Kedua, untuk pemerintah pusat,
pemenuhan anggaran pendidikan terhalang besarnya beban pembayaran bunga dan
cicilan pokok utang serta berbagai subsidi.
Menanggapi permasalah tersebut di atas, mencari kambing hitam atas
ketidakmampuan Pemerintah dalam memenuhi kewajiban konstitusi (constitutional
obligation) dengan menyalahkan ketentuan yang tercantum pada UUD 1945 dan
kondisi “tragis” bangsa ini adalah hal yang tidak patut lagi dijadikan alasan, sebab
hampir setiap pergantian kepemimpinan alasan tersebut selalu dijadikan dalih.
Memang hingga saat ini baru Indonesia dan Taiwan yang secara tegas mencatumkan
besaran angka persentase anggaran pendidikan di dalam konstitusinya, akan tetapi
20
“menyesali” suatu ketentuan konstitusi yang pada kenyataannya sulit untuk
dilaksanakan sehingga boleh dikesampingkan tidaklah dapat dijadikan sebagai suatu
alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond).
Sudah seharusnya para pemimpin negeri ini sejak awal mengetahui betul secara
sungguh-sungguh tugas utamanya, termasuk mempunyai visi yang jelas dalam
mencari jalan keluar dari kondisi terburuk yang seandainya terjadi selama
melaksanakan amanah yang diembannya. Lagipula, ketentuan-ketentuan pada UUD
1945 adalah grundnorm dari suatu negara itu sendiri, di mana grundnorm tersebut
merupakan cerminan dari kesepakatan tertinggi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena
itu, mau tidak mau, suka tidak suka, Pemerintah harus melaksanakan amanah
konstitusi secara mutlak, sebab hal tersebut sama artinya dengan menjalankan titah
rakyat sepenuhnya, sebagaimana Thomas Paine pernah mengatakan, ”Constitutions is
not the act of government, but the people constituing a government”.
Dengan gambaran problematika seperti itu, maka kita tidak bisa mengharapkan
terjadinya lompatan peningkatan persentase anggaran pendidikan pada tahun-tahun
mendatang tanpa adanya revolusi kinerja, reformasi birokrasi, dan kebijakan
penganggaran yang ketat dan efisien. Sebagai alternatif, misalnya, pemerintah bisa
mendesakkan pengetatan alokasi anggaran untuk pejabat pemerintahan. Teknisnya,
persentase kenaikan anggaran untuk pejabat tidak boleh lebih tinggi dari persentase
kenaikan anggaran untuk pendidikan atau dengan cara lain melakukan penundaan
untuk “menerbitkan” badan-badan atau komisi pemerintahan baru yang terkadang
21
tidak menyelesaikan masalah kepemerintahan namun justru menambah beban
keuangan yang cukup besar.
Konsekuensinya, selama anggaran pendidikan belum mencapai 20 persen,
kenaikan anggaran untuk lembaga dan departemen dalam APBN selanjutnya harus
diminimalisir sedemikian rupa, jika perlu dibatalkan demi konstitusi dan masa depan
anak negeri. Efek dari pendidikan yang tidak bermutu seperti ini selama bertahun-
tahun mengakibatkan kemiskinan sebagai harga yang harus dibayar. Dengan
demikian, pendidikan yang bermutu rendah justru memberikan isyarat terhadap biaya
yang sebenarnya jauh lebih mahal harganya.
D. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan
di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan
peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat
tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik
(dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan
keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi
pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu
penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm
kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan
22
pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak
mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini
merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran.
Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal
dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia
Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang
terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan
dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang
menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang
mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat
mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk
dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang
mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi
IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika
dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan
bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia.
Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan
rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
23
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan
dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih
baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa
melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita
lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya,
hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya
biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu
pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses
pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber
daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia
umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih
randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem
free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di
Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika
penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya
pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara
tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau
informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti
pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang
24
ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di
sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan
biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya
adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang
ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang
mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta
didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah
lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat
bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika
dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah
misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul
07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena
ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal
yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang
mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan
sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut
tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan
informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas
adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan
25
peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil
pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar
yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A
mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan
keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-
benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang
sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan
pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik
peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan
efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan
kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem
pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi
yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga
kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti
cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu
yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika
terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu
langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
26
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat
dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika
masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal.
Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi
ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas
keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan.
Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga
sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas
merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan
erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan
dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien
cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-
sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang
efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara
penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya
pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga
berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah
melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
27
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh
masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di
dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang
harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi
standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam
pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap
standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an
kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-
badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti
Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan
mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya
bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang
terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan
pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar
mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang
diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar
memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang
terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
28
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti
kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu
jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah
standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN
yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem
evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah
evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik
mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses
yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama
beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya
mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang
telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam
pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang
ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang
lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah
hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan
rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan
jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita
29
mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan
di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini
akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya
kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita
yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku
perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian
teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah
yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki
laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat
146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang
kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi
baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau
23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka
kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada
umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun
dengan persentase yang tidak sama.
30
2. Rendahnya Kualitas Guru
Fakta menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai
untuk melakukan perubahan yang sifatnya mendasar macam mengenal dan
menggunakan internet sebagai media pembelajaran. Lebih ke bawah lagi. para guru
bahkan belum mengenal pengajaran dengan menggunakan proyek-proyek yang
menggabungkan beberapa mata pelajaran sekaligus. Pengajaran tematik bahkan
masih asing terdengar oleh para guru. Kurikulum ini hanya dipahami secara parsial
sehingga juga diterapkan secara parsial.
Ketidakmampuan memahami pendekatan yang mendasari kurikulum ini
membuat para guru tidak berusaha untuk mengubah pola pengajaran lama mereka
secara mendasar. Mereka belum mampu untuk melaksanakan KBM dalam sebuah
proyek secara bersama dengan guru-guru dari bidang studi lain. Guru belum
memahami konstelasi bidang studi yang diajarkannya dalam kaitan dan hubungannya
dengan bidang studi lain dan masih melihat berbagai bidang studi secara terpisah dan
tersendiri tanpa ada hubungan dengan bidang studi lain. Guru masih melihat bidang
studinya berupa ‘text’ dan belum ‘context’ karena metode CTL (Contextual Teaching
and Learning) masih berupa wacana dan belum menjadi pengetahuan, apalagi
ketrampilan, bagi para guru.
Guru-guru masih terjebak pada filosofi dan pendekatan lamanya. Hal ini
nampak jelas pada evaluasi yang mereka lakukan. Evaluasi yang digunakan oleh para
guru dilapangan masih berpedoman pada paradigma lama yang hanya mengukur
kemampuan kognitif dengan bentuk-bentuk evaluasi yang hampir tidak berubah sama
31
sekali dengan kurikulum sebelumnya. Kesulitan utama pada guru-guru adalah
ketidakpahaman mereka mengenai apa dan bagaimana melakukan evaluai dengan
portofolio. Karena ketidakpahaman ini mereka kembali kepada pola assesmen lama
dengan tes-tes dan ulangan-ulangan yang bersifat cognitive-based semata. Tidak
adanya model sekolah yang bisa dijadikan sebagai rujukan membuat para guru tidak
mampu melakukan perubahan, apalagi lompatan, dalam proses peningkatan kegiatan
belajar mengajarnya.
Sebagian besar guru, bahkan pada sekolah-sekolah yang dianggap unggulan,
bahkan belum paham benar dengan prinsip ‘student-centered’ dan kegiatan belajar
mengajar masih berpusat pada gurunya. CBSA yang sebelum ini telah dikenalkan
masih berupa wacana dan belum menjadi kegiatan sehari-hari di kelas. Mereka hanya
mengambil kulit-kulitnya dan tidak paham esensinya. Saat ini sekolah-sekolah
berlomba-lomba menerapkan moving class tanpa tahu apa sebenarnya inti dari
moving class tersebut sehingga yang terjadi samasekali berbeda dengan apa yang
hendak dicapai oleh sistem moving class tersebut. Dan itu juga lagi-lagi karena
rendahnya kualitas guru sehingga mereka tidak mampu menyerap dan memahami apa
sebenarnya dibalik berbagai perubahan yang terjadi di negara-negara maju. Mereka
mengikuti tapi tidak paham apa sebenarnya yang mereka ikuti itu.
Oleh karena itu keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
32
pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan
pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak
mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di
berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07%
(negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta),
untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak
mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu
sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru
SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain
itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma
D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru
57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari
181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan
S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan
pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi,
sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas
pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang
rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
33
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Dari keadilan kesejahteraan guru, masih ada beberapa kesenjangan yang
dirasakan sebagai perilakukan diskriminatif para guru seperti antara guru dengan PNS
lain. Dari aspek imbalan jasa, baik yang bersifat materi maupun non-materi, harus
diakui masih jauh dari “memberikan kepuasan” dan “keadilan”. Pendapatan yang
diperoleh guru dibandingkan dengan tugas dan tanggung jawabnya masih sangat jauh.
Hubungan atar pribadi, yang sampai saat ini masih dirasakan belum memberikan
perwujudan yang memuaskan. Kondisi kerja para guru, baik yang bersifat fisik
maupun non fisik masih belum memberikan derajat kepuasan, meskipun relatif lebih
baik dibandingkan dengan masa lalu. Namun tempat mengajar yang belum memenuhi
dapat mempengaruhi kondisi kerja guru yang pada gilirannya akan berpengaruh pada
semangat dan kepuasan kerja. Kasusnya adalah kelas bocor, lantai pecah, ruang kelas
roboh, kekurangan alat bantu, halaman sempit dan kotor, dsb. Selanjutnya adalah
kesempatan meningkatkan dan mengembangkan karir yang masih sulit diakses oleh
guru. Dan yang terakhir adalah sistem pengolongan dan jenjang karir guru, yang ada
sekarang belum memberikan rangsangan motivasi kerja.
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen
Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji
bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan
sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-
rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru
34
terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain,
memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang
buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen
(PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup.
Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang
pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada
gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang
berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah
khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain
yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit
mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen
dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan
kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9
Januari 2006).
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan
kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.
Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia
internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study
(TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara
35
dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi
sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura
sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development
Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia
secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human
Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki
posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga
saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi
IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di
Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada
pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5
(Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan
dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang
memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal
dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-
Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara
peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA,
ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week
36
dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di
Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Indonesia adalah negara berkembang yang masih mengalami berbagai proses
pembangunan. Di sektor pendidikan, Indonesia masih kurang mengembangkan SDM
yang dimiliki masyarakat. Buktinya, dalam sebuah survei mutu pendidikan, Indonesia
menempati urutan ketiga dari bawah di antara 40 negara lain.
Sistem pendidikan di Indonesia selalu disesuaikan dengan kondisi politik dan
birokrasi yang ada. Padahal menurut saya, itu bukanlah masalah utama dalam
meningkatkan mutu pendidikan. Yang lebih penting adalah bagaimana pelaksanaan di
lapangan, termasuk kurangnya pemerataan pendidikan, terutama di daerah tertinggal.
Fenomena yang ada di Indonesia cukup ironis. Banyaknya lulusan sekolah tingkat
menengah dan perguruan tinggi setiap tahunnya, ternyata tidak sebanding dengan
lowongan pekerjaan yang disediakan. Hal itu jelas menambah jumlah pengangguran
di Indonesia. Bahkan angka pengangguran mencapai 9,5% per tahun.
Untuk menuju pemerataan pendidikan yang efektif dan menyeluruh, kita perlu
mengetahui beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi sektor pendidikan kita.
Permasalahan itu antara lain mengenai keterbatasan daya tampung, kerusakan
sarana prasarana, kurangnya tenaga pengajar, proses pembelajaran yang
konvensional, dan keterbatasan anggaran.
Keterbatasan daya tampung sangat berpengaruh dalam proses pemerataan
pendidikan. Banyak sekolah yang memiliki daya tampung tak seimbang dengan
37
jumlah murid yang diterima saat penerimaan murid baru. Akibatnya, proses belajar
mengajar pun menjadi kurang maksimal. Di Indonesia, kuota siswa dalam satu kelas
masih terlalu banyak. Negara-negara maju di Austaralia hanya mendidik sekitar 20
siswa dalam satu kelas. Jika kita bandingkan, berarti kuota siswa di Indonesia dalam
sekelas adalah dua kali lipat dibanding Australia. Itulah salah satu faktor yang
menyebabkan tidak maksimalnya proses belajar-mengajar.
Sebenarnya hal itu masih berkaitan dengan jumlah tenaga pengajar yang ada.
Sekolah yang ada di beberapa daerah yang masih tertinggal mempunyai masalah
dengan keterbatasan tenaga pengajar. Kurang optimalnya pelaksanaan sistem
pendidikan di lapangan disebabkan sulitnya menyediakan guru-guru berkualitas
untuk mengajar di daerah-daerah.
Aksesbilitas atau daya tampung yang tersedia di Indonesia hanya mencapai
separuh dari jumlah siswa yang ada. Dengan adanya ketimpangan ini maka secara
otomatis akan menjadi problem tingginya angka anak yang putus sekolah.
Untuk meminimalisasi keterbatasan daya tampung, kita dapat merealisasikan
beberapa solusi yang ada. Peran sekolah swasta dan sekolah terbuka cukup signifikan
mengingat makin tingginya jumlah siswa tiap tahun. Selain itu, kita dapat
meningkatkan program e-learning. Metode mengajar ini dapat diterapkan bagi anak-
anak yang memiliki kemapuan intelektual dan ekonomi di atas rata-rata. Dengan e-
learning maka kebutuhan akan ketersediaan kelas akan terkurangi.
Selain masalah itu, minimalnya sarana prasarana yang ada juga cukup berpengaruh.
Pemerataan pendidikan, terutama di daerah tertinggal, sangat memerlukan adanya
38
peningkatan di bidang sarana prasarana. Padahal Sarana dan prasarana ini sangat vital
peranannya dalam proses belajar mengajar. Terbatasnya fasilitas untuk pembelajaran
ini berkaitan dengan dana yang disediakan pemerintah.
Di tahun 2008 ini, pemerintah telah menyisihkan sekitar 20% dana APBN untuk
meningkatkan kualitas pendidikan. Pemerataan pendidikan hingga daerah-daerah
tertinggal tentu membutuhkan anggaran dana yang tidak sedikit. Dana BOS yang
disediakan oleh pemerintah merupakan bentuk perhatian pemerintah akan pentingnya
pemerataan pendidikan bagi setiap orang. Meskipun belum dapat terealisasikan
sepenuhnya, akan tetapi hal itu sudah cukup meminimalisasi biaya yang dikeluarkan
masyarakat terutama yang berekonomi menengah ke bawah.
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah
Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal
Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni
(APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa).
Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di
SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan
usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu
akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh
karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk
mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
39
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data
BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka
pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0
sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama
pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan
yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap
tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup
sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian
antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang
materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta
didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi
mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku
pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain
kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, —
sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk
SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Makin mahalnya biaya
pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan
MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih
40
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite
Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya
unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya,
setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai
keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah
orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan
rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum
Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk
Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan
perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung
jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya
tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan
pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya
pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan
publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran
41
utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya
merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang
menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan
terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan.
Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam
APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi
melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,
RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada
privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan,
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah
atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network
for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan
privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi
pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke
pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri
biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-
tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat
42
yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan
masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan
miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia,
privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang
sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-
Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana
memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan
hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini
berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi
Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa
pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia.
Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak
perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa
negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak
harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya?
Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya
memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan
pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari
43
tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi
Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
E. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
1. Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu
hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang
diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Ini
sangat penting dan utama.
Ibarat mobil yang salah jalan, maka yang harus dilakukan adalah : (1) langkah
awal adalah mengubah haluan atau arah mobil itu terlebih dulu, menuju jalan yang
benar agar bisa sampai ke tempat tujuan yang diharapkan. Tak ada artinya mobil itu
diperbaiki kerusakannya yang macam-macam selama mobil itu tetap berada di jalan
yang salah. (2) Setelah membetulkan arah mobil ke jalan yang benar, barulah mobil
itu diperbaiki kerusakannya yang bermacam-macam. Artinya, setelah masalah
mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan
diselesaikan, baik itu masalah rendahnya sarana fisik, kualitas guru, kesejahteraan
gutu, prestasi siswa, kesempatan pemerataan pendidikan, relevansi pendidikan
dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan.
Solusi masalah mendasar itu adalah merombak total asas sistem pendidikan
yang ada, dari asas sekularisme diubah menjadi asas Islam, bukan asas yang lain.
Bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan
yang ada dengan cara menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan Islam. Hal paling
44
mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas
sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem
pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
2. Solusi Masalah-Masalah Cabang
Seperti diuraikan di atas, selain adanya masalah mendasar, sistem pendidikan
di Indonesia juga mengalami masalah-masalah cabang, antara lain :
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan gutu,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang
dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial
yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat
berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia
sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab
neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab
negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
45
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut
perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan
mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang
ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam
atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini
wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan
bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait
langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah
kualitas guru dan prestasi siswa. Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis
dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem
pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan
kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk
meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi
dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat
peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
46
BAB IIIPENUTUP
A. Kesimpulan
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di
bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang
menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi
pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang
menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan,
dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
B. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut
perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing
47
secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa
Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah
dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang
terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini
bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.
48
DAFTAR PUSTAKA
http://forum.detik.com.
http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.
http://www.detiknews.com.
http://www.sib-bangkok.org.
49