37
LEMBAR PENGESAHAN Judul : Karsinoma Nasofaring Bidang study : Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorok Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing Tuban, Agustus 2012 dr. H.Supriyono,Sp.THT 1

MAKALAH CA Nasofaring

Embed Size (px)

DESCRIPTION

topcer

Citation preview

Page 1: MAKALAH CA Nasofaring

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Karsinoma Nasofaring

Bidang study : Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorok

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing

Tuban, Agustus 2012

dr. H.Supriyono,Sp.THT

1

Page 2: MAKALAH CA Nasofaring

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah

dan rahmatNya sehingga makalah“Karsinoma Nasofaring” dapat kami selesaikan, sebagai

salah satu syarat untuk mengikuti ujian program pendidikan Dokter Muda di bidang studi

ilmu kesehatan telinga, hidung dan tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya

Kusuma Surabaya – RSUD Dr. R. Koesma Tuban.

Tugas makalah ini dibuat tidak hanya semata-mata untuk mengikuti ujian saja tetapi

juga sebagai proses pembelajaran bagi kami dan teman sejawat, juga semua yang

membacanya untuk lebih mengenal penyakit-penyakit pada ilmu kesehatan telinga, hidung,

dan tenggorok umumnya, dan pada khususnya yang berkaitan dengan Karsinoma

Nasofaring . Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Pembimbing dan Pendidik kami yaitu:

Dr. H. Supriyono, Sp. THT selaku kepala bagian SMF Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung

dan Tenggorok di RSUD Dr. R. Koesma Tuban yang telah memberikan arahan serta

birnbingan kepada kami selama ini.

2. Semua pihak (staf dan perawat) dan teman sejawat Dokter Muda di RSUD Dr. R. Koesma

Tuban yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya dan masih jauh

dan sempurna, sehingga kami sangat berterimakasih atas saran dan kritik untuk

menyempurnakan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Tuban, 14 Agustus 2012

Penyusun

2

Page 3: MAKALAH CA Nasofaring

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan.....................................................................................................1

Kata Pengantar.............................................................................................................2

Daftar Isi......................................................................................................................3

BAB I. Pendahuluan....................................................................................................4

BAB II. Tinjauan Pustaka............................................................................................5

Definisi...........................................................................................................5

Epidemiologi..................................................................................................5

Etiologi...........................................................................................................6

Anatomi dan Fisiologi....................................................................................7

Patofisiologi...................................................................................................9

Gejala Klinis................................................................................................. 10

Diagnosis.......................................................................................................14

Stadium..........................................................................................................17

Penatalaksanaan.............................................................................................18

Prognosa.........................................................................................................22

Pencegahan.....................................................................................................23

Daftar Pustaka...............................................................................................................24

3

Page 4: MAKALAH CA Nasofaring

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara

tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar

tumor ganas dengan frekwensi tertinggi ( bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara,

tumor getah bening dan tumor kulit ), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki

tempat pertama ( karsinoma nasofaring mendapat persentase hampir 60% dari tumor di

daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%,

dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah). Tumor ini berasal

dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel

kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.

Gejala dan tanda karsinoma nasofaring sangat bervariasi dan sering samar-samar

sehingga membingungkan pemeriksa. Karsinoma ini juga sering tidak menimbulkan gejala

hingga akhirnya terlambat didiagnosa, terutama yang muncul pada fossa Rossenmuller. Lesi

yang lebih lanjut dapat menyebar hingga mengenai beberapa saraf kranial dan menimbulkan

gejala-gejala neurologis.

Kendala yang dihadapi dalam penanganan karsinoma nasofaring adalah sebagian

besar penderita datang pada stadium lanjut, bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan

umum yang jelek. Hal ini disebabkan terlambatnya diagnosa ditegakkan, maka perlu

ditekankan akan pentingnya menemukan dan menegakkan diagnosa sedini mungkin.

Sampai saat ini terapi yang memuaskan belum ditemukan. Keberhasilan terapi sangat

ditentukan oleh stadium penderita. Keterlambatan penderita untuk mendapatkan penanganan

yang adekuat menyebabkan hasil terapi jauh dari memuaskan.

4

Page 5: MAKALAH CA Nasofaring

II TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Carcinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang

cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis.

(DORLAND.2002)

Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial

pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan frekuensi tinggi di

Cina bagian selatan (DORLAND.2002)

B. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian Kanker Nasofaring di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7

kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh

Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara

“pathology based”). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita kanker

nasofaring berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK

Unair  Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian

THT Semarang mendapatkan 127 kasus kanker nasofaring dari tahun 2000 – 2002. Di RSCM

Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60

kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-

1979). Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma

nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.

Kanker nasofaring mempunyai daerah distribusi endemik yang tidak seimbang antara

berbagai negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden kanker nasofaring lebih

rendah dari 1/105 di semua area. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan

(termasuk Hongkong), dan insiden ini tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki

mencapai 20-50/100000 penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for

Research on Cancer) tahun 2002 ditemukan sekitar 80.000 kasus baru kelenjar getah bening

di seluruh dunia, dan sekitar 50.000 kasus meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar

40%. Ditemukan pula cukup banyak kasus pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo

di Artik dan penduduk di Afrika utara dan timur tengah (PARKIN dkk. 1992.2002,

5

Page 6: MAKALAH CA Nasofaring

WATERHOUSE dkk. 1982, MUIR dkk. 1987).

C. ETIOLOGI

Proses karsinogenesis pada karsinoma nasofaring mencakup banyak tahap dan dapat

ditimbulkan oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Infeksi virus Epstein-Barr

Terdapat peningkatan antibodi IgA terhadap viral capsid antigen (VCA) dan early

antigen complex (EA) dan ditemukannya genom virus pada sel tumor. Virus Epstein-

Barr (VEB) terdeteksi secara konsisten pada pasien karsinoma nasofaring di daerah

dengan insidensi tinggi dan daerah dengan insidensi rendah. Lesi premaligna di

nasofaring telah menunjukkan kandungan VEB, yang menunjukkan infeksi terjadi

pada fase awal karsinogenesis. (McDermott et al., 2001; Cottrill dan Nutting, 2003).

2. Ikan asin dan nitrosamin

Beberapa penelitian epidemiologik dan laboratorium menyokong hipotesa yang

menyebutkan bahwa konsumsi dini ikan asin menyebabkan karsinoma nasofaring di

Cina Selatan dan Hongkong. Didalam ikan asin tersebut terkandung nitrosamin yang

merupakan zat yang dapat meningkatkan resiko terjadinya karsinoma nasofaring

(Ahmad, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003).

3. Sosial ekonomi, lingkungan, dan kebiasaan hidup

Udara yang penuh asap dan uap di rumah-rumah dengan ventilasi kurang baik di

Cina, Indonesia, dan Kenya juga meningkatkan insiden karsinoma nasofaring.

Pembakaran dupa di rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan

karsinoma nasofaring di Hongkong (McDermott et al., 2001; Ahmad, 2002). Perokok

berat meningkatkan resiko karsinoma nasofaring pada daerah endemik (Cottrill dan

Nutting, 2003).

4. Sering kontak dengan bahan karsinogen, antara lain: benzopyren, gas kimia, asap

industri, asap kayu, debu kayu, formaldehid, dan asap rokok (McDermott et al.,

2001).

5. Ras dan keturunan

Insiden tertinggi di dunia ternyata terdapat pada ras Cina, baik di daerah asal

ataupun di perantauan. Insiden karsinoma nasofaring tetap tinggi pada penduduk Cina

yang bermigrasi ke Asia Tenggara atau ke Amerika Utara, tapi lebih rendah pada

6

Page 7: MAKALAH CA Nasofaring

penduduk Cina yang lahir di Amerika Utara daripada yang lahir di Cina Selatan

(Ahmad, 2002).

6. Radang kronis di nasofaring

Dengan adanya peradangan menahun di nasofaring, mukosa nasofaring menjadi

lebih rentan terhadap karsinogen penyebab karsinoma nasofaring. Proses peradangan

dan kondisi-kondisi benigna di telinga, hidung, dan tenggorokan merupakan faktor

predisposisi terjadinya transformasi pada mukosa nasofaring yang meningkatkan

resiko terjadinya keganasan (McDermott et al., 2001).

D. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Nasofaring  merupakan  suatu  rongga  dengan  dinding  kaku  di  atas,  belakang

dan  lateral  yang  secara  anatomi  termasuk  bagian  faring.  Ke  anterior  berhubungan

dengan   rongga   hidung   melalui   koana   dan   tepi   belakang   septum   nasi,   sehingga

sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Ke arah posterior

dinding  nasofaring  melengkung  ke  supero-anterior  dan  terletak  di  bawah  os  sfenoid,

sedangkan   bagian   belakang   nasofaring  berbatasan  dengan  ruang  retrofaring,  fasia

pre  vertebralis  dan  otot-otot  dinding  faring.  Pada  dinding  lateral  nasofaring  terdapat

orifisium   tuba   eustakius   dimana   orifisium   ini   dibatasi   superior   dan   posterior   oleh

torus  tubarius,  sehingga  penyebaran  tumor  ke  lateral  akan  menyebabkan  sumbatan

orifisium   tuba   eustakius   dan   akan   mengganggu   pendengaran.  Ke   arah   postero-

superior   dari   torus   tubarius   terdapat   fossa   Rosenmuller   yang   merupakan   lokasi

tersering  karsinoma  nasofaring.  Pada  atap  nasofaring  sering  terlihat  lipatan-lipatan

mukosa   yang   dibentuk   oleh   jaringan   lunak   sub   mukosa,   dimana   pada   usia   muda

dinding  postero-superior  nasofaring  umumnya  tidak  rata.  Hal  ini  disebabkan  karena

adanya  jaringan  adenoid.

7

Page 8: MAKALAH CA Nasofaring

Gambar 1: Daerah nasofaring

Nasopharing akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu

menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu seperti hak.

Fungsi nasopharing :

Sebagai jalan udara pada respirasi

Jalan udara ke tuba eustachii

Resonator

Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

8

Page 9: MAKALAH CA Nasofaring

E. Patofisiologi

Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral

dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa

penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring.

Kanker nasofaring merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring

yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak

faktor yang diduga berhubungan dengan kanker nasofaring, yaitu

(1)Adanya infeksi EBV,

(2) Faktor lingkungan

(3) Genetik

1) Virus Epstein-Barr

Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam

limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel

kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara

berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2).

Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21

dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari

masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B

menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam

sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua

reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring

yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus

epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila

terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein-

barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali

menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus

sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel

menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.

Gen EBV yang diekspresikan pada penderita kanker nasofaring adalah gen laten,

yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam

mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B

9

Page 10: MAKALAH CA Nasofaring

menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus.

Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen

LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20

asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200

asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara

untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang

memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.

2) Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentanan

terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol

dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human

leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan

adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung

jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen

3) Faktor lingkungan

Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai

daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan

lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-

nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor

karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena

paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui

faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.

F. GEJALA KLINIS

Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh karsinoma nasofaring ini antara lain:

• Gejala telinga

1. Oklusi tuba eustachius. Pada umumnya tumor bermula di fossa Rosenmuller,

pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba, sehingga

10

Page 11: MAKALAH CA Nasofaring

mengakibatkan keluhan rasa penuh di telinga, berdengung dan kadang-kadang disertai

dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini dari

karsinoma nasofaring.

2. Otitis media serosa dan dapat berlanjut sampai terjadi perforasi dan gangguan

pendengaran.

• Gejala hidung

1. Epistaksis

Dinding tumor biasanya rapuh sehingga iritasi ringan saja dapat mengakibatkan

terjadinya perdarahan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya

sedikit dan bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu.

2. Sumbatan hidung

Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga

nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang

disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan

hidung ini bukan merupakan gejala yang khas pada penderita karsinoma nasofaring,

karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lain.

Epistaksis juga terjadi pada anak yang sedang menderita radang. Namun jika keluhan

ini timbul berulang kali, tanpa penyebab yang jelas, atau menetap walaupun telah

diberikan pengobatan, kita harus waspada dan segera melakukan pemeriksaan yang

lebih teliti terhadap rongga nasofaring sampai terbukti bahwa bukan karsinoma

nasofaring penyebabnya.

• Gejala Neurologi

Karsinoma nasofaring telah diketahui dapat menyebabkan berbagai lesi neurologis,

khususnya kelumpuhan saraf kranial. Tumor ini dapat menyebar secara intrakranial

maupun ekstrakranial sehingga menyebabkan terjadinya paralisis saraf kranial

multipel.

* Perluasan ke atas

11

Page 12: MAKALAH CA Nasofaring

Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran

petrosfenoid. Sindroma petrosfenoid terjadi bila seluruh saraf grup anterior yang terkena.

Biasanya melalui foramen laserum. Kemudian ke sinus kavernosus dan fossa kranii media

mengenai grup anterior saraf otak yaitu n II - n VI yang sering terkena lebih dulu n VI,

kemudian n V dan III. Tidak jarang gejala diplopia-lah yang membawa penderitaan lebih

dulu berobat ke dokter mata. Perluasan ke atas lebih sering ditemukan di Indonesia. Tanda-

tanda lainnya adalah terjadinya

- Neuralgia trigeminal unilateral

- Oftalmoplegia unilateral

- Gejala nyeri kepala hebat terjadi akibat penekanan tumor pada durameter.

* Perluasan ke belakang

Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial sepanjang fossa posterior, disebut

penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu n VII - n

XII beserta nervus simpatikus servikalis.

Tumor dapat mengenai otot dan menyebabkan kekakuan otot-otot rahang sehingga terjadi

trismus.

-Sindrom retroparotidian terjadi akibat kelumpuhan n IX, X, XI dan XII.

Manifestasi keluhan ialah

a. n IX : Kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan

pengecapan pada sepertiga belakang lidah.

b. n X : Hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai gangguan

respirasi dan salivasi.

c. n XI : Kelumpuhan atau atrofi otot-otot trapezeus, stemokleidomastoideus, serta

hemiparesis palatum mole.

d. n XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah

Semua ini biasanya disertai dengan sindroma Horner akibat kelumpuhan n.

simpatikus servikalis, berupa penyempitan fisura palpebralis, enoftalmus dan miosis.

Biasanya beberapa saraf otak terkena secara unilateral, tetapi pada beberapa kasus

pernah ditemukan bilateral. Sedangkan nervus VII dan VIII, karena letaknya agak tinggi serta

terietak dalam kanalis tulang, sangat jarang terjadi kerusakan oleh karena tumor.

12

Page 13: MAKALAH CA Nasofaring

• Gejala Pada Kelenjar Getah Bening

Oleh karena tumor pada nasofaring relatif bersifat anaplastik dan banyak terdapat

kelenjar limfe, maka karsinoma nasofaring dapat menyebar ke kelenjar limfe leher.

Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe leher

dan tertahan disana karena kelenjar ini merupakan pertahanan pertama agar sel-sel

kanker tidak langsung ke bagian tubuh yang lebih jauh. Di dalam kelenjar ini sel

tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak

sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri

karenanya sering diabaikan oleh pasien.Selanjutnya sel-sel kanker dapat

berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar

menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang

lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang

mendorong pasien datang ke dokter.

13

Page 14: MAKALAH CA Nasofaring

14

Page 15: MAKALAH CA Nasofaring

Ilustrasi skema jalur penyebaran/metastase dari karsinoma nasofaring

(arah tanda panah)

G. DIAGNOSIS

1. Anamnesis / pemeriksaan fisik

Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala kanker

nasofaring)

15

Page 16: MAKALAH CA Nasofaring

2. Pemeriksaan nasofaring

Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop

3. Biopsi nasofaring

Diagnosis pasti dari kelenjar getah bening ditentukan dengan diagnosis klinik

ditunjang dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau

sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan

(aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari

hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi

topical dengan xylocain 10%.

Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).

Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke

nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.

Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang

dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik

keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga

kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke

atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan

dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop

yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.

Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan

pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.

4. Pemeriksaan Patologi Anatomi

Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell

Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan

buruk.

Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini

dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa

jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.

Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini

sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval

atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat

dengan jelas.

16

Page 17: MAKALAH CA Nasofaring

Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu

bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.

Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada

tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :

Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell

Carcinoma).

Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat

dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

5. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan kanker nasofaring merupakan pemeriksaan

penunjang diagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut

adalah:

Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada

daerah nasofaring

Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut

Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya

(paru-paru dsb).

a) Foto polos

Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari

kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue

technique)

Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks

Tomogram Lateral daerah nasofaring

Tomogram Antero-posterior daerah nasofaring

b) C.T.Scan

Pada umumnya kanker nasofaring yang dapat dideteksi secara jelas dengan

radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik,

sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika

perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan

17

Page 18: MAKALAH CA Nasofaring

pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke jaringan

sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam

mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T. Scan dibandingkan dengan foto

polos ialah kemampuannya untuk membedakan bermacam-macam densitas

pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak maupun perubahan-

perubahan pada tulang, dengan kriteria tertentu dapat dinilai suatu tumor

nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai

apakah sudah ada perluasan tumor ke jaringan sekitarnya, menilai ada

tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intrakranial.

Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari

kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue

technique)

Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks

Tomogram Lateral daerha nasofaring

Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring

6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa

lobang, amka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut kanker

nasofaring ini.

7. Pemeriksaan serologi.

Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen)

untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma

nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma

nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan

spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer

160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga

pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang

didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.

H. STADIUM

Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union

18

Page 19: MAKALAH CA Nasofaring

Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :

T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.

T0 : Tidak tampak tumor

T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring

T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring

T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring

T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak

N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional

N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar

N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan

N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat

digerakkan

N3 :Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral,

yang sudah melekat pada jaringan sekitar.

M = Metastase, menggambarkan metastase jauh

M0 : Tidak ada metastase jauh

M1 : Terdapat metastase jauh.2,3,9-13

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :

Stadium I : T1 N0 M0

Stadium II : T2 N0 M0

Stadium III : T3 N0 M0

T1,T2,T3 N1 M0

Stadium IVA : T4 No/N1/N2 Mo

Stadium IVB : T1/T2/T3/T4 N3 Mo

Stadium IVC : T1/T2/T3/T4 No/N1/N2/N3 M1

Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari

nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :

Tis : Carcinoma in situ

T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat

dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.

T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan

19

Page 20: MAKALAH CA Nasofaring

dindinglateral.

T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.

T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf cranial (atau

keduanya).

I. PENATALAKSANAAN

Stadium I : Radioterapi

Stadium II & III : Kemoradiasi

Stadium IV dengan N<6cm: Kemoradiasi

Stadium IV dengan N>6cm : Kemoterpi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi.

TERAPI

1. Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan

karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah

radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.

Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi,

karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi

dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan

akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer

didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas,

bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan

preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan

memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna

memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius

pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah

memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker

atau pada kasus kambuh lokal.

perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi

yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit

mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy )

telah digunakan dibeberapa negara maju.

20

Page 21: MAKALAH CA Nasofaring

Komplikasi radioterapi dapat berupa :

a) Komplikasi dini

Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :

- Xerostomia - Mual-muntah

- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang

diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum

- Anoreksi

- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar

parotis yang terkena radiasi)

- Eritema

b) Komplikasi lanjut

Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :

- Kontraktur

- Penurunan pendengaran

- Gangguan pertumbuhan

2. Kemoterapi

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat

meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan

kambuh.

Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila

setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :

- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif

- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara

makroskopis.

pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko

Efek Samping Kemoterapi

Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang membelah

secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro intestinal. Akibat

yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang memudahkan terjadinya

infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran

21

Page 22: MAKALAH CA Nasofaring

cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal

yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan

mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari

sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat

pulih dari pada sel kanker

Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung, yang

dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru.

Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar

dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping pemberian

kemoterapi.

Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi

dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien

dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.

Manfaat Kemoradioterapi adalah

1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil

terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan

radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa

tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia.

2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.

3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap

radiasi yang diberikan (radiosensitiser).

Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki

manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar

radiasi.

Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or

concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.

Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi

dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi.

Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi,

membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel

kanker yang sublethal.

22

Page 23: MAKALAH CA Nasofaring

Kelemahan Kemoradioterapi

Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis,

leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan

sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat

fatal.

3. Operasi

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan

nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau

adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan

dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi

paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring

yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.

4. Imunoterapi

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus

Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.

J. PROGNOSA

Prognosa karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan lokal dan

kecenderungan metastasenya. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma pertumbuhan lokal

tumornya cenderung lebih agresif daripada Non Keratinizing dan Undifferntiated Carcinoma,

walaupun metastase limfatik dan hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang disebutkan

terakhir.

Prognosa penderita buruk bila dijumpai :

1. Pembesaran kelenjar getah bening

2. Stadium lanjut

3. Tipe histologinya Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Dari seluruh penderita 5-year survival rate (5-YSR) : 50%, 10 year survival rate (10-

YSR) : 30%. Pada penderita Undifferentiated Carcinoma, 5-YSR-nya lebih tinggi 20-30%

daripada penderita Keratinizing Squamous Cell Carcinoma. Menurut penelitian terbaru,

secara umum penderita yang diterapi dengan radioterapi saja, 10-YSR : 40 - 50%, sedangkan

bila kombinasi dengan kemoterapi, 10-YSR : 55 - 70%.

Pada tipe Squamous Cell Carcinoma, kematian biasanya disebabkan oleh progresfitas

23

Page 24: MAKALAH CA Nasofaring

lokal tumor. Pada tipe Undifferentiated, kematian lebih sering disebabkan oleh metastase

jauh. Relaps lokal mempunyai faktor resiko yang signifikan dengan perkembangan metastase,

khususnya ada 2 tahun pertama setelah terapi.

K. PENCEGAHAN

Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein Barr

yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko

tinggi.

Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.

Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan

untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.

Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan

sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan

faktor penyebab.

Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang

akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.

24

Page 25: MAKALAH CA Nasofaring

DAFTAR PUSTAKA

1. Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi

(ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi kelima. Jakarta : FK

UI, 2001. h. 146-50.

2. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat.

Medan: FK USU,2002.h. 1-11.

3. Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h. 70-81.

Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi

kombinasi/kemoradioterapi.

4. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal

Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.

5. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi.

Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82.

6. Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauan

pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 16-18.

25

Page 26: MAKALAH CA Nasofaring

26