56
Asesmen Sosial Budaya Di Wilayah Kerja PT Commodities Indonesia Jaya Distrik Klamono, Kabupaten Sorong 1/20/2012 PT Henrison Inti Persada Semiarto A. Purwanto Leo Siregar Dodi Akhdian A. Cahyo Nugroho Budi Mulia Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

  • Upload
    dodiep

  • View
    247

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

1

Asesmen Sosial Budaya Di Wilayah Kerja PT Commodities Indonesia Jaya Distrik Klamono, Kabupaten Sorong

1/20/2012

PT Henrison Inti Persada

Semiarto A. Purwanto Leo Siregar Dodi Akhdian A. Cahyo Nugroho Budi Mulia

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 2: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

2

Daftar Isi

1. Latar belakang 3

2. Lingkup kajian 6

3. Output Kajian 7

4. Metode & Strategi Riset 7

4.1. Karakteristik lingkungan dan komunitas 8

4.2. Sistem sosial di tingkat lokal 9

4.3. Penduduk, hutan, dan sistem budaya 9

4.4. Pola penguasaan Lahan 9

4.5. Kegiatan Ekonomi Masyarakat Sekitar Kawasan 10

5. Temuan dan Analisis Masalah 10

5.1 Perbedaan konsep dan pengertian tentang kepemilikan lahan ulayat 10

5.2. Tata batas tanah ulayat 13

5.3. Perbedaan persepsi skema plasma kebun sawit 14

5.4. Kerusakan Lingkungan 16

5.5. Proses evakuasi kayu yang tak terkendali 18

6. Rekomendasi 19

Lampiran 1. Kependudukan dan Formasi Etnik 20

Lampiran 2. Karakteristik Kampung-kampung Pelepas Hak Ulayat 21

Lampiran 3. Fasilitas Umum dan Sosial 23

Lampiran 4. Sistem Kepemimpinan 26

Lampiran 5. Hirarki antar marga 30

Lampiran 6. Sistem Ekonomi Subsistensi dan Perubahan Akibat Kebun Sawit di Maladofok 32

Lampiran 7. Persepsi dan Makna Hutan Bagi Penduduk 35

Lampiran 8. Konsep Marga di Klamono 36

Lampiran 9. Pengelolaan dan Pengaturan Sumberdaya Alam 37

Lampiran 10. Mekanisme Pengelolaan Sumber Daya Hutan Ulayat secara Komunal 39

Lampiran 11. Pengetahuan, Penguasaan, dan Batas-Batas Ulayat 42

Lampiran 12. Makan Bersama dan Tumpang Tindih Klaim Ulayat 44

Lampiran 13. Penguasaan Sumber Daya Alam dan Perubahan Sosial di Klamono 45

Lampiran 14. Pelanggaran Hak ulayat 50

Lampiran 15. Gaya Hidup Relung Berburu Meramu dan Perkebunan Sawit 55

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 3: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

3

1. Latar belakang

Kekayaan alam menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia modern ketika ditransformasikan

menjadi sumberdaya alam. Selanjutnya, melalui kegiatan ekonomi, sumberdaya alam tersebut dijadikan

sebagai komoditas dalam industri. Melalui kedua proses tersebut, orang mencari sumberdaya alam

sebagai modl untuk mengembangkan kegiatan ekonomi mereka. Dalam kerangka negara, sudah menjadi

bagian dari tugas negara untuk mengolah sumberdaya alam sehingga hasilnya dapat dijadikan sebagai

bahan bakar pembangunan untuk mensejahterakan warganegaranya. Pengelolaan sumberdaya alam

untuk industri, di berbagai negara termasuk Indonesia, lalu menjadi tugas konstitusional.

Melalui kebijakan yang dituangkan dalam Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, negara

mendelegasikan kewenangan untuk mengelola industri yang memanfaatkan sumberdaya alam kepada

badan usaha milik negara dan swasta. Di bidang kehutanan, kita mengenal Perhutani dan Inhutani

sebagai perusahaan negara yang mengelola sumberdaya hutan; PT Perkebunan yang mengelola kebun;

dan Pertamina dan Aneka Tambang yang mengelola bidang pertambangan. Di samping melalui badan

usaha negara, pengelolaan juga diberikan kepada swasta melalui konsesi hutan, kebun dan tambang. Di

bidang kehutanan kita mengenal Perusahaan Pemegang HPH, HTI dan industri turunannya di bidang

perkayuan; perusahaan perkebunan teh, kopi, karet dan sawit; dan berbagai macam perusahaan

pengelola galian tambang.

Salah satu pulau dengan kekayaan alam berlimpah di Indonesia adalah pulau Papua. Wilayah

hutan di Indonesia mencapai 57% dari luas daratannya atau seluas 108.573.300 hektar. Bagian terluas

berada di Kalimantan (34 juta hektar), Irian Jaya (33 juta hektar), Sumatera (20 juta hektar) dan sisanya

tersebar di berbagai pulau lainnnya1. Sementara menurut Balai Penelitian Kehutanan Manokwari, luas

hutan di Papua adalah sekitar 40,5 juta hektar, dengan kekayaan flora mulai dari tipe hutan mangrove

sampai vegetasi alpin. Keaneka ragaman flora diduga mencapai 15.000 - 20.000 jenis tumbuhan tinggi

dengan jumlah marga yang sudah teridentifikasi sebanyak 1.465, dimana paling sedikit 124 marga

diantaranya endemik. Demikian halnya dengan jenis fauna, terdapat 268 jenis burung endemik dari 641

jenis burung yang telah ditemukan pada saat itu.2

Pengelolaan hutan di Papua sudah dimulai sejak akhir masa kolonialisasi Belanda dan

dilanjutkan dengan upaya pemerintah RI. Dimulai dengan pembentukan Jawatan Kehutanan bulan

1 Lihat tulisan U. Iskandar, 2000, Pola Pengelolaan hutan Tropika. Alternatif Pengelolaan Hutan yang Selaras

dengan Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Bigraf Publishing. Hal: 3

2 Data ini diambil dari website Balai Penelitian Kehutanan Manokwari di http://www.balithutmanokwari.com

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 4: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

4

Desember 1946, dan secara spesifik diteruskan dengan pembentukan kantor Jawatan Kehutanan

Sumatera tahun 1947, upaya pengelolaan hutan dalam arti pengambilan kayu dan isi huta dimulai

secara sistematis. Kegiatan ini didelegasikan ke pemerintah daerah sepuluh tahun kemudian melalui

Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 (LN. No. 169 Tahun 1957) mengenai Penyerahan Sebagian

Urusan Pemerintah Pusat di bidang Perikanan Laut, Kehutanan dan Karet Rakyat kepada Pemerintah

Swatantra Tingkat I. Di Indonesia bagian timur, pengaturan pengelolaan hutan di wilayah bekas Negara

Indonesia Timur (NIT), dimulai setahun berikutnya3. Di masa Orde Baru, intensifikasi peran swasta

semakin besar di bidang kehutanan sebagai respons dari kebijakan penanaman modal dengan telah

dikeluarkannya Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman modal Asing, dan Undang-

undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, melalui pengaturan pemberian

konsesi HPH. Manifestasinya adalah dengan pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada

perusahaan pemegang HPH sebagai pelaksana utama eksploitasi hutan di suatu kawasan yang diatur

dalam Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 19704.

Walaupun secara ekonomis, kegiatan pengelolaan hutan dan perkebunan memberikan

kontribusi luar biasa terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak dasawarsa 1980an, namun harga

yang harus dibayarkan relatif mahal. Berbagai efek dari ekstrasi hutan mulai dari kerusakan hutan

sampai pada penurunan tingkat keanekaragaman hayati harus kita alami. Di sisi lain, disadari pula

munculnya masalah sosial budaya sehubungan dengan beroperasinya perusahaan di sekitar komunitas

masyarakat desa hutan yang umumnya berbasis ekonomi subsistensi5. Kondisi ini muncul di hampir

semua tempat dimana perusahaan pemegang konsesi hutan beroperasi, termasuk di Papua. Isu

pemilikan lahan dan hak untuk mengakses wilayah hutan menjadi dua hal yang dominan6. Di sektor

perkebunan, Papua dengan potensi wilayahnya yang luas juga menjadi wilayah pilihan untuk

3 Sejarah singkat upaya pengelolaan wilayah hutan dapat dilihat dalam artikel I Nyoman Nurjaya, “Sejarah Hukum

Pengelolaan Hutan di Indonesia” dalam jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 35 – 55, dan buku Sejarah Kehutanan Indonesia II-III. Periode Tahun 1942-1983. Jakarta Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 1998. 4 Riwayat kebijakan kehutanan di Indonesia masa Orde Baru dengan sistem HPH dapat dilihat di artikel Budi

Nugroho, “Sistem Hak Pengusahaan Hutan Dan Manajemen Hutan” diakses dari saveforest.webs.com 5 Mengenai dampak pengelolaan sumberdaya hutan tanpa perhatian yang tulus pada masyarakat setempat dapat

dilihat a.l. pada buku San Afri Awang, Dekonstruksi Sosial Forestri : Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Yogyakarta : Bigraf Pub. & Program Pustaka, 2004 6 Silakan simak pendapat Pietsau Amafnini, “Ekspansi Perkebunan Sawit di Tanah Papua. Mengancam Iklim Dunia

dan Hak Masyarakat Adat Papua” yang dapat di akses di http://jasoilpapua.blogspot.com/2010/06/ekspansi-perkebunan-sawit-di-tanah.html

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 5: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

5

mengembangkan usaha. Pada tahun 2007, dari terdapat alokasi 10 juta hektar hutan yang dicadangkan

untuk HPH, 2 juta hektar untuk HTI dan 7 hektar untuk perkebunan. Di antara 7 juta hektar alokasi

kebun itu, 5 juta hektar berada di Papua dan 2 juta hektar di Papua Barat. Menarik untuk

memperhatikan bahwa sebagian besar wilayah perkebunan di Papua diproyeksikan untuk kebun sawit. 7

Di tengah upaya untuk menghadirkan kesimbangan antara kepentingan masyarakat setempat

dan pengelolaan sumberdaya hutan melalui sektor kehutanan dan perkebunan, upaya untuk

mengidentifikasi hak-hak masyarakat adat di wilayah Papua sebenarnya sudah dimulai. Berbagai

program kehutanan dan perkebunanan yang berdimensi kerakyatan mulai diperkenalkan. Demikian pula

kajian mengenai sistem adat dan pengelolaan sumberdaya alam8. Sekalipun demikian, mengingat luas

wilayah dan diversitas penduduk dan kebudayaannya, upaya dan kajian serupa harus terus dilakukan.

PT. Henrison Inti Persada (PT HIP) yang sudah mulai beroperasi sejak 2004 di distrik Klamono,

Kabupaten Sorong, melalui manajemennya di tingkat pusat menyadari pentingnya memahami budaya

masyarakat sekitar kebun. Terlebih ketika di lapangan seringkali dijumpai perbedaan pandangan dan

penafsiran atas peran dan kedudukan masing-masing. Perusahaan melalui program kepedulian kepada

masyarakat, misalnya, telah melakukan berbagai program bantuan mulai dari fisik, ekonomi sampai

pendidikan. Di sisi lain, masyarakat lokal sepertinya menaruh harapan lebih pada perusahaan dengan

seringkali mengajukan klaim dan permintaan bantuan.

Untuk memahami kondisi sosial budaya dalam rangka meningkatkan hubungan sosial yang lebih

baik dengan masyarakat setempat, manajemen bermaksud membuat kajian bidang sosial budaya di

wilayah distrik Klamono. Fokus kajian adalah untuk: “Mengkaji dan memberikan penilaian atas

kehadiran perusahaan perkebunan dan perubahan sosial budaya yang dialami masyarakat sekitar,

sebagai bahan untuk menyusun strategi pengembangan industri kelapa sawit dengan

mempertimbangkan potensi dan kemajuan masyarakat lokal di Papua”

7 Dalam perhitungan Departemen Pertanian luas areal lahan di Papua yang potensial dan sesuai untuk perkebunan

sawit ada sekitar 5,7 juta ha. Lihat Prospek Pengembangan dan Perkiraan Kebutuhan Investasi Pertanian di Indonesia. Pusat Studi Penelitian Sosial Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian, 2005. Jakarta.

8 Contoh kajian tersebut dibuat oleh Irma Yeny, Wilson Rumbiak, dan Arif Hasan, “Kajian Hukum Adat Suku Mooi

Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam Di Sorong” terbitan Pusat Studi Penelitian Sosial Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian, Bogor. Dalam artikel itu disebutkan bahwa suku Mooi termasuk dalam kelompok etnik Papua ertama yang menjadi korban eksploitasi sumberdaya alam dalam bentuk eksplorasi tambang melalui Nederland New Guinea Petroleum Maskapij (NNGPM) tahun 1930-an.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 6: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

6

2. Lingkup kajian

Kajian akan terbagai menjadi dua bagian besar, yaitu:

1. Mengkaji enam butir masalah yang sudah teridentifikasi HIP, yaitu

terdapat perbedaan konsep dan pengertian tentang kepemilikan lahan ulayat,

pola komunikasi yang selama ini terjalin antara HIP dan Orang Moi,

tata batas lahan ulayat yang tidak jelas,

perbedaan skema plasma kebun sawit,

kerusakan lingkungan yang ditimbulkan HIP dimata Orang Moi, dan

proses evakuasi kayu yang tak terkendali.

2. Memasok data sosial budaya berupa etnografi sebagai konteks dari kehidupan sehari-hari

masyarakat sekitar kebun sawit

3. Mengkaji perubahan sosial-budaya yang terjadi sebagai akibat dari keberadaan perusahaan

perkebunan sawit di sekitar kampung

Deskripsi mengenai aspek sosial budaya suatu komunitas lokal atau etnografi merupakan kajian atas

unsur-unsur budaya yang berperan penting dalam kehidupan sehari-hari suatu komunitas. Pada

masyarakat sederhana, unsur-unsur itu saling tercampur. Kita bisa menjumpai misalnya institusi

ekonomi yang muncul dalam ritual keagamaan, atau bagaimana institusi kekerabatan berhubungan

dengan kegiatan ekonomi, dsb. Etnografi biasanya dimulain dengan identifikasi lokasi sebagai salah satu

faktor yang berpengaruh dalam adaptasi budaya manusia, paparan mengenai sistem dan struktur sosial,

sistem budaya terkait dengan domain hutan yang menjadi habitat, pola penguasaan lahan dan sistem

ekonomi.

Secara khusus, deskripsi mengenai aspek sosial-budaya masyarakat sekitar kebun akan dilihat

dalam konteks dinamis. Adat, tradisi dan kebudayaan setempat selalu dan akan berada dalam kondisi

berubah, menyesuaikan diri dengan berbagai hal yang terjadi di sekitarnya. Kehadiran negara,

perusahaan dan migran dari daerah lain adalah faktor-faktor pemungkin terjadinya perubahan pada

masyarakat lokal melalui infrastruktur fisik yang tersedia, tatanan interaksi baru dengan pendatang dan

berbagai gagasan berorientasi kenegaraan (nasional) maupun perdagangan (pasar).

Selain etnografi, kajian juga akan ditujukan pada persepsi masyarakat setempat atas industri

pengelolaan sumberdaya di sekitar mereka. Tidak bisa dipungkiri, dengan kekayaan alamnya yang

berlimpah, tanah Papua menjadi incaran investor. Masyarakat setempat di beberapa lokasi di Papua

tentu mengalami banyak hal sehubungan dengan beroperasinya perusahaan hutan (HPH/HTI),

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 7: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

7

perkebunana, tambang dan perikanan. Oleh karena itu, ketika perusahaan sawit beroperasi, kajian

mengenai persepsi juga harus dilihat dalam perspektif historis dengan mengacu pada pengalaman

perjumpaan masyarakat setempat dengan berbagai perusahaan.

Pada bagian ini akan dipaparkan dinamika pandangan penduduk terhadap hutan terkait dengan

makna dan manfaat hutan bagi keseharian penduduk, pandangan terhadap isi hutan baik flora maupun

fauna, dan pandangan penduduk terhadap para pihak yang bekerja dalam hutan dalam bentuk usaha

pembalakan hutan, HPH, HTI; perkebunan, tambang, konservasi dan masyarakat adat. Skema atau

bangun budaya masyarakat setempat yang bereaksi terhadap stimulus dari luar, dengan kehadiran

berbagai pihak tersebut, akan mengakibatkan pergeseran, penyesuaian dan perubahan sosial-budaya.

Bagian ke dua dari kajian ini akan memfokuskan diri pada isu perubahan sosial-budaya pada masyarakat

sekitar kebun.

3. Output Kajian

Setelah kajian selesai, output yang dihasilkan adalah:

Analisis sosial sosial-budaya atas berbagai masalah yang dialami perusahaan dengan masyarakat

sekitar kebun

Deskripsi etnografis masyarakat sekitar kebun

Rekomendasi berupa identifikasi kebutuhan masyarakat sekitar kebun dan kemungkinan

program sosial (indikatif)

4. Metode & Strategi Riset

Proses pengumpulan data akan dilakukan secara cepat dengan menggunakan metode kualitatif (rapid

ethnographic assessment) karena menyangkut upaya untuk mengungkap makna atau aspek budaya dari

komunitas di sekitar hutan. Teknik utama yang akan dipakai adalah dengan pengamatan terlibat yang

memungkinkan peneliti mengalami sendiri kehidupan sehari-hari komunitas. Dalam pengamatan terlibat

ini, dilakukan wawancara secara mendalam dan pengamatan atas praktek-praktek sosial. Untuk

mendapatkan data secara general, dilakukan serangkaian diskusi dengan informan kunci dan tokoh

masyarakat lokal. Sementara cakupan data yang lebih luas akan diperoleh melalui survei dengan

menyebarkan kuesioner.

Kegiatan pengumpulan data dimulai tanggal 20 November 2011; lima peneliti dari Jakarta dan

dua enumerator dari Jayapura bergabung di lapangan sampai tanggal 10 Desember 2011. Selesai

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 8: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

8

pengumpulan data, selama dua minggu, tim melakukan analisis dan menyusun draf laporan. Presentasi

dan diskusi dengan manajemen HIP dilakukan di Jakarta tanggal 23 Desember 2011.

Selama di lapangan, tim mewawancarai belasan informan secara mendalam, melakukan tiga kali

diskusi kelompok baik dalam bentuk focus group discussion (FGD) atau diskusi kelompok (group

interview) untuk menggali perspektif masyarakat sekitar kebun tentang konflik atau sengketa yang

muncul antara warga dan perusahaan. Penelitian juga dilengkapi dengan survei untkuk mendapatkan

gambaran yang lebih konkret mengenai berbagai hal. Sejumlah kuesioner akan disebarkan pada wilayah

sekitar kebun, diperkirakan 100 responden akan diambil secara proporsional (20-30 responden) dari

setiap marga. Sebelum meninggalkan lapangan, tim akan mengadakan pertemuan klarifikasi dengan

manajemen perusahaan di lapangan. Pada pertemuan ini akan disampaikan temuan awal dari tim,

kemungkinan data tambahan dari manajemen dan diskusi yang melibatkan tim peneliti dengan

manajemen.

Secara khusus, tim memfokuskan perhatian pada enam butir masalah yang telah teridentifikasi

sebelumnya dan meletakkannya dalam konteks budaya setempat. Konteks budaya tersebut adalah cara

bagaimana masyarakat setempat di sekitar kebun HIP, yaitu kelompok suku Moi, memberikan

penjelasan atas segala sesuatu melalui pengetahuan, perspektif dan pengalaman mereka. Penelitian

mencoba untuk memberikan gambaran mengenai makna dari ke enam masalah yang telah

teridentifikasi sesuai dengan konteks masyarakat setempat.

Konteks sosial budaya tersebut secara rinci diliput dalam aspek-aspek: karakteristik lingkungan

dan komunitas; sistem sosial di tingkat lokal; penduduk, hutan dan sistem budaya; pola penguasaan

lahan; dan kegiatan perekonomian setempat.

4.1. Karakteristik lingkungan dan komunitas

Untuk mengidentifikasi lingkungan dan komunitas tempat tinggal dan hidup masyarakat setempat, maka

diperlukan identifikasi atas kondisi umum lingkungan di lokasi penelitian. Cakupan dari identifikasi ini

adalah mengenali etnisitas dan dinamika kelom[ok etnik di lokasi, menggambarkan pola persebarannya,

pemukiman penduduk (termasuk pola tempat tinggal di darat sepanjang DAS, jalan, hutan, dsb., pola

tempat tinggal di lahan basah dan penyebaran komunitas dalam kelompok kecil). Suatu kajian mengenai

fasilitas umum yang tersedia di komunitas juga akan dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai

kehidupan sehari-hari di masyarakat setempat.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 9: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

9

4.2. Sistem sosial di tingkat lokal

Sebagai sebuah organisisasi sosial, berbagai kelompok etnik tinggal di wilayah sekitar kebun. Kajian ini

akan mencoba mengenali varian atau sub kelompok yang terdapat di sekitar Distrik Klamono. Secara

khusus akan difokuskan pada identifikasi kelompok sosial yang terdapat dalam masyarakat masa kini

dan masa lalu, peranan kelompok sosial dalam kehidupan sehari-hari dan hubungan antar kelompok

sosial di wilayah kajian. Terkait dengan kehidupan yang tradisional yang lekat dengan sumberdaya

hutan, juga akan diteliti keterkaitan kelompok sosial dengan hutan dan kegiatan mengakses hutan di

wilayah kajian.

Untuk mendeskripsikan keberadaan suatu kelompok sosial, dipakai pendekatan antropologi

sosial dengan mengkaji struktur sosial, pelapisan sosial dan sistem kepemimpinan pada kelompok-

kelompok sosial di distrik Klamono. Disadari sepenuhnya bahwa masyarakat di sekitar kebun tengah

mengalami perubahan sosial-budaya yang mentransformasikan mereka dari dunia sederhana menjadi

lebih kompleks dengan adanya berbagai investasi di wilayah tersebut. Oleh karena itu kajian mengenai

lembaga adat akan dilakukan dalam perspektif historis dan kritis.

4.3. Penduduk, hutan, dan sistem budaya

Sebagia sebuah kajian etnografi, secara khusus akan diungkapkan bagaimana pandangan masyarakat

setempat mengenai dunia mereka. Sistem kosmologi ini penting untuk mengungkap hubungan antar

manusia, hubungan antara manusia dengan kekuatan supranatural, dan antara manusia dengan

lingkungan.

Sistem kategorisasi hutan menurut penduduk menjadi fokus utama untuk menjelaskan sistem

kosmologi masyarakat setempat mengingat keberadaan kebun dan wilayah sekitar yang berupa hutan.

Selain itu juga akan dikaji aturan terkait hak akses dan aksesibilitas penduduk ke dalam hutan, budaya

hutan yang meliputi pola pemanfaatan dan pengelolaan hutan oleh penduduk, peranan negara dan

komunitas dalam penanganan hutan dan potensi konflik dalam penanganan masalah hutan.

4.4. Pola penguasaan Lahan

Sebagai salah satu bagian penting dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam, maka akan secara

khusus dikaji sistem pemilikan dan penguasaan lahan (land tenure system) yang berlaku di wilayah

kajian. Kajian ini meliputi segala macam aturan perpindahan hak, kategorisasi lahan dan pengelolaan

lingkungan alam yang berada dalam kekuasaan satu kelompok.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 10: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

10

4.5. Kegiatan Ekonomi Masyarakat Sekitar Kawasan

Untuk menggambarkan keseharian masyarakat setempat, salah satu yang paling penting adalah pada

deskripsi ragam mata pencaharian dan kontribusi terhadap ekonomi rumah tangga. Aneka cara hidup

pada kelompok masyarakat setempat akan dilihat dalam kaitannya dengan ideologi (aspek budaya),

tindakan dan akibat dari tindakannya, mulai dari: berburu dan meramu, berkebun, berladang, dan ber

sawah, berternak, nelayan, pembalakan kayu (logging), berdagang, perbengkelan, angkutan, dll yang

terdapat d wilayah distrik Klamono.

Keseluruhan mata pencaharian ini mewakili gambaran sistem produksi pada suatu komunitas.

Sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang subsisten, kajian mengenai pengenalan dan penggunaan

uang secara luas pada masyarakat di distrik Klamono akan dilakukan. Implikasinya, akan dikaji pula pola

konsumsi dan distribusinya, sehingga kondisi ekonomi rumah tangga penduduk sekitar kawasan dapat

terpetakan. Dari peta tersebut, kita dapat menilai tingkat kesejahteraan, menjelaskan munculnya

fenomena kemiskinan, dan menerangkan faktor penyebab kemiskinan. Berbagai hipotesis menunjukkan

korelasi yang kuat antara pertemuan ekonomi subsisten dengan kapitalisme yang berakibat pada

kemiskinan di masyarakat yang tengah berubah.

5. Temuan dan Analisis Masalah

Ada enam masalah yang sudah diidentifikasi manajemen PT HIP. Setelah data dianalisis, tim peneliti

mengelompokkan dan mengurutkan masalah tersebut menjadi lima hal, sbb.: (1) terdapat perbedaan

konsep dan pengertian tentang kepemilikan lahan ulayat yang terkait dengan pola komunikasi yang

selama ini terjalin antara HIP dan Orang Moi, (2) tata batas lahan ulayat yang tidak jelas, (3) perbedaan

skema plasma kebun sawit, (4) kerusakan lingkungan yang ditimbulkan HIP dimata Orang Moi, dan (5)

proses evakuasi kayu yang tak terkendali.

5.1. Perbedaan konsep dan pengertian tentang kepemilikan lahan ulayat

Semua lahan di tanah Papua merupakan bagian dari hak ulayat masyarakat yang mendiami wilayah

pulau itu. Termasuk di daerah Kabupaten Sorong. Lahan di kabupaten itu sebagian besar dikuasai suku

Malamoi atau Orang Moi, termasuk di ketiga distrik tempat PT HIP memperoleh konsesi. Orang Moi

tidak mengenal kepemilikan individual atas tanah. Tanah dikuasai secara komunal oleh marga/klen yang

untuk distribusinya dikoordinasi oleh keret9. Kepemilikan lahan sangat terkait dengan marga, setiap

marga mempunyai lahan pusaka sendiri. Lahan itu bersifat otonom dalam arti urusan tanah merupakan

9 Lihat lampiran 9 dan 10 mengenai aturan penguasaan tanah di desa-desa sekitar perusahaan

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 11: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

11

kedaulatan marga; urusan distribusi lahan, penyelesaian konflik, pertimbangan untuk penggunaan

lahan, sampai pada ijin untuk orang lain menggunakan lahan mutlak merupakan kewenangan satu

marga. Marga lain tidak berhak mencampuri urusan tersebut. Bahkan LMA dan DAP10 juga tidak

mempunyai kewenangan untuk mempengaruhi.

Keterikatan seseorang atas hak pada lahan ulayat ditentukan oleh eksistensi mereka di suatu

lokasi, artinya hanya jika seseorang tinggal dan/atau mengusahakan lahan pusaka itu yang berhak

mengelola tanah tersebut. Bila ia tinggal di luar daerah, maka haknya berkurang, walaupun tidak hilang.

Ini berbeda dengan di Jayapura (pada Orang Tobati, Orang Nafri, Orang Injros, dll) yang sistem

penguasaan lahan mengkaitkan hak atas tanah pada keturunan tanpa melihat lokasi mereka tinggal.

Pada kelompok sukubangsa di sekitar Jayapura, orang yang tinggal di luar wilayah, bahkan bila ia tinggal

di Papua Nugini sekalipun, orang masih punya hak atas lahan di Jayapura.

Dari wawancara dengan marga Osok teridentifikasi bahwa Orang Moi tidak mewariskan tanah

pada individu dalam bentuk kapling-kapling lahan tetapi secara keseluruhan. Mereka juga tidak

mengenal konsep jual-beli tanah. Bila sekarang terkesan ada jual beli, maka yang mereka perjualbelikan

sebenarnya adalah tanaman yang tumbuh di atasnya, bukan tanahnya. Hal serupa juga diceritakan

marga Gisim yang menganggap bahwa penyerahan lahan mereka ke perusahaan ibarat memberikan

HGU kepada perusahaan, dan setelah 30 tahun akan kembali lagi ke pangkuan ulayat mereka11.

Pengambilan keputusan untuk pelepasan hak ulayat, misalnya dalam kasus pembangunan kebun

sawit, dilakukan melalui musyarawah yang melibatkan seluruh anggota marga. Pada marga Galus, secara

tegas disebutkan bahwa orang yang paling tua laki-laki dalam satu marga diperlakukan sebagai

pemimpin untuk marga, termasuk untuk memberi keputusan pada saat musyawarah. Sekalipun

demikian, prinsip ultimo genitur ini tidak begitu tegas berlaku pada marga Gisim. Pada saat negosiasi

dengan PT HIP, anggota tertua Gisim, tidak terlibat. Hal ini dimungkinkan karena ada mekanisme yang

menyebabkan orang yang mempunyai kapabilitas untuk mengumpulkan warga, dipercaya anggota lain

dan mampu ‘membayar perdamaian’12.

Implikasi dari konsep penguasaan lahan tradisional, dengan sistem ulayat dan organisasi sosial

yang berbeda antara Orang Klamono dengan perusahaan menimbulkan pertentangan:

10

Konsep kepemimpinan di kalangan warga dapat dilihat di lampiran 4 11

Diskusi mengenai berbagai aspek hak ulayat dapat dilihat pada lampiran 11, 12, 13, 14 12

‘Membayar perdamaian’ merujuk pada pelunasan denda adat yang diberikan atas suatu pelanggaran adat. Denda ini tidak dikenakan pada individu, tetapi pada marga. Margalah yang berkewajiban untuk membayar denda. Bila ada anggota marga yang sanggup untuk membayar denda, maka ia akan lebih dihormati. Silakan lihat Lampiran 4 mengenai kepemimpinan dan 14 mengenai pelanggaran hak ulayat

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 12: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

12

Dari perusahaan, selama menjalankan bisnisnya, kepastian hak atas kawasan didasarkan pada

perundang-undangan atau keputusan legal-formal. Dalam proses pengambilalihan hak dari

marga setempat, manajemen berurusan dengan individu yang dianggap memiliki hak untuk

menyerahkan hak atas lahan. Padahal bagi Orang Moi, individu tidak mempunyai hak milik atas

tanah. Mereka juga tidak mengenal wakil atau representasi marga dalam pelepasan hak.

Orang luar, termasuk perusahaan, berpandangan bahwa sekali mereka terlibat transaksi dan

telah membayarkan sejumlah uang maka mereka akan mendapatkan hak atas tanah. Sementara

bagi Orang Moi, hak atas tanah tetap mereka pegang, yang dipertukarkan adalah komoditas di

atasnya. Merujuk pada konsesi HPH, orang Moi berpendapat bahwa pelepasan tanah ulayat

kepada HIP akan selesai dalam 25-30 tahun ke depan dan kembali lagi kepada mereka.

Pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan pada saat pelepasan dianggap belum cukup,

karena Orang Moi mengenal dua kali pembayaran untuk urusan ini. Pembayaran pertama

adalah untuk uang ‘sirih pinang’ (biaya upacara adat atau persetujuan untuk transaksi) dan ke

dua pembayaran atas lahan (yang terbatas pada komoditas di atasnya)13

Karena urusan tanah ulayat adalah otonom dan menjadi kedaulatan setiap marga maka

keputusan yang diambil bisa saja berbeda antar marga. Seringkali perusahaan membuat standar

atau pola umum untuk berurusan dengan warga dalam soal lahan

Walapun ada kecenderungan berlakunya prinsip ultimo genitur14, namun dalam banyak kasus

Orang Moi tidak mengenal prinsip representasi. Perusahaan tidak seharusnya bernegosiasi

dengan orang yang dianggap mewakili kelompok karena konsep wakil kelompok tidak pernah

benar-benar mereka kenal.

Kombinasi kesalahan yang acap terjadi adalah perusahaan memilih satu orang sebagai wakil

marga untuk diajak berunding. Prosesnya tidak sesingkat itu, karena untuk menentukan ‘wakil’

marga juga harus dilakukan dengan mekanisme musyawarah. Proses kesepakatan tahun 2003

antara HIP, Pemda Sorong dan pemilik ulayat di Klamono, merupakan contoh dari kesalahan di

atas. Warga yang datang memang orang tua atau anak tertua, tapi mereka tidak memperoleh

kesempatan untuk mendiskusikan substansi perjanjian karena harus segera menandatangani

dokumen. Idealnya, setelah perundingan, representasi dari marga kembali ke kelompok untuk

13

Hal serupa juga dikenal pada masyarakat Bintuni dengan upacara ‘ketuk pintu’ sebagai biaya atas upacara transaksi dengan perusahaan. 14

Kecenderungan untuk menempatkan orang tua atau anak tertua sebagai wakil ditengarai merupakan pengaruh dari budaya Jayapura dengan sistem kepemimpinan ondoafi. Kelompok-kelompok suku di Jayapura memiliki struktur sosial yang relatif lebih kompleks ketimbang orang Moi.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 13: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

13

mendiskusikan dan memutuskan bersama seluruh anggota marga. Pengambilan keputusan

tetap di tingkat marga.

Dari sisi masyarakat, perjanjian tahun 2003 di sebuah hotel di Sorong, diliputi suasana

intimidatif dan ketegangan. Pemda yang diwakili bupati selalu menekankan aspek pembangunan

dan kesejahteraan yang susah untuk mereka tolak kebenarannya. Ketika bentuk pembangunan

itu ternyata berupa kebun sawit yang memerlukan pelepasan lahan ulayat, agak susah bagi

warga untuk menolak. Aparat militer yang hadir menambah suasana perjanjian menjadi tidak

kondusif bagi warga.

Sekalipun perjanjian sudah ditandatangani, tidak satupun warga menerima salinan perjanjian

atau MOU tersebut. Akibatnya warga tidak tahu bagaimana akhir perjanjian; apakah lahan akan

dikembalikan kepada mereka, diambil pemerintah atau dimiliki perusahaan

5.2. Tata batas tanah ulayat

Orang Moi di ketiga distrik sekitar HIP tidak mengenal batas lahan secara tegas. Selama ini, batas antar

satu lahan dengan lahan lain adalah tanda/batas alam: sungai, batu, pohon besar, urat gunung, dsb.

Mereka berasumsi bahwa batas tersebut adalah permanen. Pengetahuan mengenai batas-batas lahan

atau wilayah diturunkan turun temurun secara lisan; seorang bapak akan mengajak anak lelaki tertuanya

berjalan mengitari wilayah ulayatnya sambil menunjukkan batas-batasnya.

Ketika orang asing datang, dimulai dengan perusahaan minyak Belanda tahun 1932, barulah isu

batas muncul. Perusahaan minyak NNGPM mengambil lahan seluas 3250 hektar; tentunya dengan batas

yang dianggap lebih jelas. Persentuhan dengan komunitas luar yang terjadi kemudian: dengan

Pertamina, transmigrasi, HPH dan perkebunan, membuat batas-batas lahan menjadi mengemuka.

Mulailah, Orang Moi bicara soal teritori mereka dan mencoba menggambarkannya dengan peta.

Sebagaimana di tempat lain, pengetahuan mengenai peta adalah hal baru bagi komunitas lolak

Nusantara. Orang Moi lebih banyak menerima peta yang dibuat pihak lain; akibatnya ketika mereka

membaca peta, seringkali muncul perbedaan persepsi/ruang.

Perbedaan penafsiran mengenai wilayah, pada masa sebelum rezim peta dikenal Orang Moi

jarang terjadi. Apabila ada persoalan dengan pelanggaran batas lahan, misalnya, maka ada mekanisme

adat yang akan menyelesaikannya. Orang Moi mengenal sistem denda untuk menyelesaikan persoalan

seperti ini15. Selain perbedaan penafsiran wilayah ulayat, orang Moi juga mengenal penggunaan wilayah

15

Lihat lampiran 14 mengenai pelanggaran hak ulayat

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 14: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

14

bersama. Wilayah bersama itu bisa merupakan wilayah definitif suatu marga atau wilayah perbatasan

yang atasnya tidak jelas. Dalam budaya Orang Moy, kegiatan pemanfaatan wilayah bersama itu disebut

‘makan bersama’ yang merujuk pada aktivitas produktif: berkebun, berburu, dsb.

Suatu saat orang Mamaringofok bersengketa dengan marga Osok terkait pelepasan tanah milik

warga transmigrasi di Klamono. Orang trans membayar uang pelepasan kepada marga Osok

yang waktu itu menjadi kepala desa dan mengklaim lahan itu sebagai miliknya. Beberapa tahun

berselang, ada klaim dari orang Mamaringofok sehingga terjadi sengketa lahan. Secara adat,

sengketa tersebut tidak selesai, sehingga kedua marga membawanya ke pengadilan. Hasilnya

marga Mamaringofok dinyatakan sebagai pemilik sah; implikasinya, orang trans harus

membayar uang pelepasan ke marga Mamaringofok. Di sisi lain, uang pelepasan yang diberikan

ke Osok tetap tidak bisa diminta kembali.

Mamaringofok bersengketa dengan orang Idik dalam kasus pelepasan tanah ulayat untuk HIP di

Klamono. Kedua marga mengklaim wilayah itu sebagai pemilik yang sah dan sama-sama

meminta uang pelepasan dari HIP. Klaim tersebut muncul karena wilayah tersebut sebelumnya

adalah wilayah ‘makan bersama’ kedua marga. Ketika Idik mengklaim ke HIP, orang

Mamaringofok meminta bagian ke Idik karena menganggap mereka juga memiliki sebagian hak

memakai wilayah tersebut. Setelah berkonsultasi dengan orang-orang tua mereka, disepakati

untuk membagi wilayah tersebut.

Kedua kasus di atas menunjukkan terjadinya perubahan orientas dalam kepemilikan lahan yang

dipetakan secara individual. Pelepasan hak, jual beli dan ganti rugi kepada individu atau kelompok yang

melibatkan uang, menyebabkan konflik baru muncul. Mekanisme adat menjadi tidak efesien dan muncul

ide untuk membawanya ke tingkat formal melalui pengadilan. Sampai saat ini, keputusan pengadilan

relatif ditaati, walaupun di tingkat individual tetap ada yang tidak puas.

5.3. Perbedaan persepsi skema plasma kebun sawit

Di atas diterangkan bahwa lahan di Klamono merupakan milik ulayat Orang Moi. Pemerintah Indonesia

mengakui eksistensi kepemilikan/hak ulayat dari masyarakat Papua, sehingga ada kebijakan agraria yang

khusus. Untuk jual beli tanah yang melibatkan pemindahan hak atas tanah, diharuskan melalui proses

‘pelepasan adat’. Otoritas adat yang ditunjuk oleh masyarakat memberikan persetujuan atas suatu

berkas pelepasan adat, setelah itu baru bisa diproses menjadi sertifikat tanah di BPN. Tanpa bukti

pelepasan adat, BPN tidak akan mengeluarkan sertifikat.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 15: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

15

Pada saat sosialisasi pembangunan kelapa sawit, Orang Klamono menerima konsep plasma

dengan landasan tafsir yang berbeda:

Plasma adalah sistem bagi hasil antara pemilik dan pengelola; dimana warga menjadi pemilik

kebun dan PT HIP sebagai pengelola. Dalam skema ini, warga mendapatkan modal awal untuk

membangun kebun sawit: biaya pengolahan, bibit, pupuk, dsb. Modal awal itu dipikul oleh

perusahaan tetapi nantinya harus dibayarkan oleh warga sebagai pemilik kebun sawit.

Logika bahwa ada perusahaan beroperasi di atas lahan mereka, membangun kebun sawit untuk

mereka, tetapi biayanya dibebankan kepada mereka (sebagai pemilik lahan) tidak dapat

diterima dengan logika Orang Gisim dan Galus.

Orang Gisim mengatakan mereka menyerahkan 5000 hektar dan akan dikembalikan dalam

bentuk kebun plasma sebanyak 28 hektar kepada 4 KK, masing-masing 7 hektar. Itupun orang

Gisim masih harus berkorban dengan bekerja di kebun dan menetap di barak, serta masih harus

membayar biaya modal awal pembuatan plasma. Di sisi lain, PT HIP sebagai pengelola atau

perusahaan inti memperoleh lahan 4972 hektar, jumlah yang jauh dibanding dengan yang

mereka terima.

Bagi marga Galus, kebun yang disiapkan oleh HIP dianggap sebagai plasma untuk mereka, tidak

ada kebun inti. Logika ini muncul dari ketidakjelasan sistem plasma yang dipahami Galus.

Keuntungan PT HIP nantinya adalah dari suplai panen kelapa sawit.

Karena melihat hasilnya, pabrik sawit belum dibangun dan lokasi plasmanya belum ditentukan

secara definitif, maka skema kebun plasma belum dianggap sebagai investasi yang berguna. Bagi

marga lain, Gisim dianggap sebagai kelinci percobaan karena telah melapaskan lahan ulayatnya

tanpa ada perjanjian yang mengatur dimana lokasi plasma. Mereka juga juga sudah menerima

skema kerja sebagai buruh kebun dan tinggal di barak bersama buruh dari berbagai daerah.

Sementara orang Gisim menganggap diri mereka sebagai pionir yang memulai perubahan, wajar

kalau mereka menerima ketidakpastian. Belajar dari kunjungan banding ke Kalimantan Barat,

petani plasma harus memegang dua hal: kesabaran tinggi dan tidak melepas tanah. Dengan

bekal tersebut, orang Gisim melepaskan tanah ulayatnya dan masuk skema plasma HIP.

Ada kesalahan logika mengenai distribusi kebun plasma. Dalam kasus Gisim menerima 28 hektar

dan dialakosikan untuk 4 KK, maka pertanyaan berikut adalah apakah kebun tersebut akan

dikelola individu, marga atau kampung? Selama ini kepemilikan individual memang tidak

dikenal, sehingga agak aneh kalau sedari awal kebun dialokasikan pada individu. Berikutnya

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 16: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

16

tentu juga pertanyaan siapa keempat individu itu? Mengapa mereka yang menerima?

Bagaimana dengan warga yang lain? Pertanyaan ini wajar karena dalam SK Bupati Sorong No.

525.2/1209 tgl 30 Oktober 2010 tertulis bahwa petani peserta program plasma adalah sebanyak

1451 KK yang menetap di distrik Klamono, Klayili, dan Sayosa. Kalau petani yang memperoleh

kebun plasam adalah anggota marga yang melepas hak ulayatnya, maka dalam perhitungan

kami semua anggota akan menerima kebun plasma.

Dalam persepsi Dewan Adat Papua, perusahaan dipandang lebih mengejar target pencapaian

skema inti dan tidak memprioritaskan plasma

5.4. Kerusakan Lingkungan

Kebun sawit merupakan fenomena baru bagi masyarakat Klamono dan sekitarnya. Tidak saja secara fisik

belum ada perkebunan sawit, pengetahuan mengenai kebun sawit pun belum diketahui masyarakat.

Ketika HIP masuk dan memperkenalkan industri perkebunan sawit, sebagian warga menterjemahkan

kegiatan itu sebagai usaha mirip perusahaan HPH. Keuntungan dengan adanya kebun sawit baik sebagai

tenaga kerja maupun dalam skema plasma masih susah dibayangkan. Sekalipun demikian, sebagian

warga masuk menjadi karyawan HIP dan dengan fasilitas kredit mengajukan pembelian sepeda motor.

Sayangnya, kebanyakan dari mereka gagal melunasi cicilan tepat waktu dan sepeda motornya ditarik

kembali oleh dealer.

Sebagian warga juga mampu mengemukakan pendapat mengenai aspek negatif kebun sawit

dari pengamatan sendiri dan dari informasi pihak lain di kota (suratkabar, LSM, Dewan Adat, dsb.).

Menurut warga di Klamono, Klawana dan Maladofok, skala usaha kebun sawit yang besar dan

cenderung ekspansif mengancama lingkungan dan memiliki efek merusak leih besar dibanding HPH

Intimpura sekalipun. HPH dianggap lebih sedikit efek kerusakannya karena menerapkan tebang pilih,

sementara kebun sawit membabat habis hutan. Secara rinci, berbagai jenis kerusakan lingkungan akibat

pembukaan kebun sawit adalah:

Wilayah perburuan semakin jauh karena binatang buruan semakin jarang. Menurut

Gisim, dahulu mereka turun dari perahu langsung bisa mendapat lau-lau, sekarang

binatang itu baru ditemui jauh ke dalam hutan. Rusa dulunya terlihat lalulalang di

sekitar kampung, tetapi sekarang menghilang.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 17: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

17

Warga Mamaringofok juga menduga bahwa menjauhnya binatang dari sekitar kampung

juga disebabkan oleh karena tanaman sawit bukan jenis bahan makan yang cocok bagi

burung dan binatang setempat

Penebangan hutan untuk areal hutan seringkali ikut ditebang saat pembukaan kebun.

Walaupun dalam perjanjian dinyatakan bahwa kebun sagu dan rumpun bambu tidak

akan dirusak, nyatanya pembukaan kebun sawit menghabiskan tanaman tersebut.

Tidak hanya dusun sagu dan bambu yang hilang, ada juga laporan hutan keramat yang

ikut ditebangi

Potensi kerugian lain akibat pembukaan kebun sawit adalah berkurangnya koleksi obat-

obatan tradisional yang semula tersedia di hutan

Janji untuk tidak membabat tepian sungai 500 meter di kiri-kanan sungai juga tidak

ditepati, kawasan itu menurut Galus di Maladofok habis dibabat. Akibatnya sungai-

sungai menjadi keruh airnya.

Penduduk juga mengeluhkan penggunaan pestisida. Walaupun ada usaha untuk

meminimalkan penggunaan pestisida, warga melaporkan pengalaman mereka mandi di

sungai yang menyebabkan mereka gatal-gatal. Pencemaran oleh sisa pestisida diduga

menyebabkan gangguan kulit itu. Penggunaan pestisida juga menyebabkan air sungai

tak bisa diminum

Pembabatan hutan menyebabkan lapisan atas tanah tergerus air yang menyebabkan

pendangkalan sungai dan rawa. Hal ini mengakibatkan intensitas banjir meningkat.

Semula wilayah tersebut memang rawan banjir, bisa setahun sekali, tetapi sekarang bisa

menjadi tiga kali setahun.

Pendangkalan sungai dan air yang keruh menyebabkan berbagai jenis ikan yang semula

dijumpai menghilang, diganti spesies ikan ‘baru’ yang semula tidak mereka temui di

sungai.

Rencana pembangunan pabrik sawit di hulu sungai dikhawatirkan mencemari sungai.

Warga memperkirakan perusahaan akan membuang limbahnya ke sungai.

Pembangunan di hulu sungai dianggap membahayakan karena sekarang wilayah

perburuan warga sudah mencapai hulu sungai karena binatang semakin jauh dari hutan

di sekitar kampung.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 18: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

18

Pembukaan wilayah hutan yang masif, dianggap menyebabkan petir datang lebih tinggi

frekuensinya. Sebagian menduga bahwa program pembuatan lahan transmigrasi juga

berkontribusi terhadap lahan yang semakin terbuka.

5.5. Proses evakuasi kayu yang tak terkendali

Kehadiran perusahaan HPH Intimpura, walaupun banyak kritik terhadapnya, merupakn perusahaan

pertama yang melibatkan warga bekerja secara penuh dalam bisnisnya. Pada konteks bekerja di

perusahaan minyak dan kontraktor transmigrasi, penduduk hanya terlibat sebagai buruh. Namun

bekerja di bidang kayu, membuat warga mempunyai kesempatan untuk paham keseluruhan proses

produksi. Mereka terlibat dalam kegiatan mengidentifikasi kayu, mencari kayu, menebang, menyeret

kayu dan mengangkutnya dengan kendaraan berat. Mereka tahu detail perhitungan dan bisnis kayu di

lapangan.

Di luar bisnis kayu legal melalui HPH, ada juga bisnis kayu gelap dengan motif ‘bapak angkat’.

Ada cukong kayu yang memberikan modal awal bagi penduduk, misalnya di Maladofok, untuk mencari

kayu di hutan ulayatnya. Setelah mendapat dan memotong kayunya, mereka menyerahkan pada ‘bapak

angkat’. Di kawasan kebun Klamono, teridentifikasi bahwa cukong yang ada adalah orang Makasar dan

Batak. Perhitungan untung rugi mereka kuasai dengan baik; mulai dari ongkos produksi, ongkos

perijinan bagi cukong, biaya transportasi dsb. Dengan demikian mereka menganggap bahwa bisnis kayu

adalah bisnis yang paling fair bagi mereka.

Ketika Intimpura tidak beroperasi, kampanye anti illegal logging marak dan masa berganti

menjadi kebun sawit, bisnis kayu tidak sepenuhnya menghilang. Di balik usaha pembukaan kebun,

sebagian penduduk masih tetap mencari kayu untuk kebutuhan rumah tangga maupun memenuhi

pesanan pasar lokal. Budaya mencari kayu masih berlangsung sampai sekarang. Seorang warga Galus

bahkan menyayangkan kalau kayu dari hutan yang ditebang untuk kebun sawit tidak bisa dijual. Hutan

marga Galus sudah diberi panjar biaya ‘sirih pinang’ tapi belum mulai dibuka; seorang anggota marga

berencana untuk menjual kayunya nanti apabila penebang dilakukan. Sayangnya, harga kayu sekarang

turun. Menurut warga jatuhnya harga kayu adalah karena hadirnya HIP yang beroperasi di lahan eks

HPH. Warga Mamaringofok menjelaskan bahwa pagu harga ditentukan melalui ‘perda’ yang

menyamakan harga semua jenis kayu, namun tetap memakai perhitungan diameter. Dalam pandangan

warga, perusahaan pembeli kayu melakukan kecurangan karena hanya membayar kayu dengan

diameter tertentu. Padahal semua tanaman dibabat habis untuk dijadikan kebun sawit, dan tidak ada

kayu yang tersisa lagi.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 19: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

19

6. Rekomendasi

Ada empat butir rekomendasi yang dihasilkan dari kajian ini, yaitu:

1. Pengelolaan kebun, terutama dalam skema plasma, sebaiknya ditinjau kembali. Pendekatan

yang lebih mengutamakan aspek sosial budaya dalam menghadapi masyarakat lokal mesti lebih

diperhatikan daripada sekedar pertimbangan legal formal. Manejemen HIP selayaknya berperan

sebagai pelindung atau pengayom masyarakat sesuai dengan cara pandang lokal yang

menganggap hutan sebagai ibu, dapur dan sumber kehidupan.

Perubahan strategi pendekatan kepada masyarakat setempat, menjadi lebih berorientasi

pada kebutuhan dan budaya setempat.

2. Skema plasma kebun sawit yang sekarang mulai dilaksanakan di wilayah ulayat Gisim, menuntut

HIP untuk lebih memperhatikan komunitas/marga Gisim. Marga tersebut saat ini tengah disorot

oleh marga lain sebagai salah satu marga yang paling awal menerima tawaran HIP. Dalam hal ini,

HIP disarankan untuk memfokuskan progfram CD/CSR ke komunitas tersebut, tidak saja yang

berada di barak tetapi juga yang ada di desa.

Gisim sebagai pilot project CD/CSR

Pengembangan fasilitas di barak dan desa, terutama air bersih, kesehatan dan transportasi

3. Pelaksana Program Plasma dan Program CD/CSR yang ditempatkan di masyarakat mesti lebih

bisa berempati dan lebih memahami karakter dan keinginan masyarakat. Bagi warga, selama ini

mereka selalu berada di pihak yang harus memahami kepentingan perusahaan. Selain riset

untuk memahami karakteristik dan identifikasi kebutuhan masyarakat, staf yang sesuai dengan

kompetensi dan komitmen yang tinggi juga sangat diperlukan

Riset partisipatoris untuk mengidentifikasi masalah dan menyusun program

Riset etnografi untuk memahami karakter sosial budaya setempat

Penempatan staf yang kompeten

4. Sebelum meneruskan program plasma, membangun kebun inti dan pabrik, masalah-masalah

yang telah teridentifikasi di atas harus diselesaikan dengan lebih memberi tempat bagi

pengembangan komunitas dan wilayah setempat.

Program plasma: perhatikan lagi saran-saran dalam dokumen addendum kelola sosial (2011)

Program pendidikan: mencari partner institusi pendidikan di sekitar kota

Memberikan gambaran pengelolaan dampak lingkungan pada warga

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 20: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

20

Lampiran 1. Kependudukan dan Formasi Etnik

Jumlah desa yang berada pada wilayah administrasi Klamono sebanyak 13 desa, yang terdiri dari lima

desa yang merupakan satuan pemukiman (SP) transmigrasi, yang dibangun pada tahun 1997.

Berdasarkan data data sensus penduduk Kabupaten Sorong tahun 2011 disebutkan bahwa Distrik

Klamono memiliki jumlah penduduk sebanyak 4.483 jiwa yang tersebar kedalam 48 rukun tetangga (RT).

Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin tercatat sebagai berikut: penduduk perempuan

sebanyak 2.078 jiwa yang relatif berimbang dengan jumlah penduduk laki-laki yang berjumlah 2.405

jiwa. Berdasarkan data tersebut juga terlihat bahwa penduduk di distrik Klamono lebih besar

dibandingkan distril lainnya.

Jumlah Penduduk Tiap Distrik di Sekitar Perkebunan PT HIP

Distrik Jumlah Penduduk

Total Laki-laki Perempuan

Klamono 2.405 2.078 4.483

Sayosa 496 492 988

Klayili 227 189 416

Sumber: Sensus Penduduk Kabupaten Sorong tahun 2011 Komposisi penduduk berdasarkan formasi etnis maka dilokasi penelitian mayoritas penduduk didiami

oleh etnis asli dari suku Malamoi (Moi) yang terdiri dari marga-marga Gisim, Klawon, Idik,

Mamaringofok, Malak, Galus, Klin, Yempelo, Gilik, Klasibin, Spenyer, Hu, Osok, dll. Mereka disebut

penduduk pribumi (asli) atau disebut oleh seorang informan dari marga Osok disebut dengan Moi Toh

(asli). Mayoritas Moi Toh ini keberadaannya juga tersebar di sekitar Sorong (kepala burung) diantaranya

di daerah Beraur, Inawatan dan Tenabuan. Selain itu juga menetap suku-suku yang di sebut pendatang

baik yang berasal dari Papua (yang tidak memiliki kawasan ulayat seperti marga Momot) dan penduduk

yang berasal dari luar Papua (Jawa, Ambon, Nias, Batak, Toraja, Makasar, Flores, Bugis, Buton). Sebagian

besar penduduk pendatang ini menetap akibat beberapa faktor berkenaan dengan beroperasinya

perusahaan dan praktek pembangunan di sekitar lokasi penelitian.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 21: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

21

Lampiran 2. Karakteristik Kampung-kampung Pelepas Hak Ulayat

Dalam konteks penelitian ini, fokus wilayah kajian diarahkan pada kampung-kampung (desa-desa) yang

memiliki hak ulayat dan melepaskan hak ulayatnya kepada PT.HIP. Terdapat beberapa kampung yang

secara administrative masuk ke wilayah Distrik Klamono (Kampung Klamono, Klawana, Gisim/divisi 6),

Distrik Klaili (Kampung Malailis) dan Distrik Sayosa (Kampung Maladofok). Kampung Gisim (divisi 6) di

distrik Klamono dan Kampung Malalilis di distrik Klaili adalah dua buah Kampung hasil pemekaran yang

muncul akibat mekanisme sawit plasma yang ditawarkan PT HIP. Kedua kampung tersebut berada di

dalam area konsesi sawit PT. HIP

Gambar Pola Pemukiman Masyarakat

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 22: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

22

Pola pemukiman di desa-desa kajian secara umum memiliki beberapa tipe yang berbeda antara

kinier dan memusat. Kampung Maladuk, merupakan desa perintis yang muncul pada masa pengeboran

minyak oleh Belanda dimana pemukiman berada di kanan dan kiri sungai Klasafet dengan formasi

tersebar di sekitar fasilitas publik yang ada di kampung tersebut: kantor desa, gereja, kios, dan

bangunan sekolah. Berbeda dengan desa Maladuk, desa-desa lain seperti desa Klamono, Klawana, dan

Wariau, yang muncul akibat program transmigarasi (Translok tahun 1984 dan transmigrasi nasional

1997) memiliki tipikal pemukiman yang terkonsep dari sistem pemukiman transmigrasi rancangan

pemerintah Indonesia, dimana poros jalan utama menjadi pusat seluruh kehidupan dan akses

pembangunan desa. Baik fasilitas umum seperti sekolah, kantor desa, gereja, maupun pemukiman

penduduk, tidak terpusat pada satu lokasi, tetapi memanjang di sis kanan dan kiri poros jalan utama.

Selain itu ada pula desa-desa yang berada di dalam perkebunan HIP, hasil pemekaran yang

muncul akibat mekanisme sawit plasma yang ditawarkan PT HIP: yakni kampung Malailis yang termasuk

di wilayah Distrik Klayili dan Kampung Gisim Darat di Distrik Klamono. Kedua kampung tersebut

merupakan bagian dari perjanjian penggantian hak ulayat marga yang telah melepaskan tanahnya untuk

dijadikan kebun kelapa sawit. Sementara ini kampung yang dijanjikan tersebut belum terwujud karena

alas an-alasan tertentu, mereka tinggal di barak (Gisim tinggal divisi VI) yang diperuntukan bagi

karyawan PT.HIP bergabung bersama karyawan-karyawan lainnya dari etnis berlainan.

Kampung Klamono – Distrik Klamono

Secara tradisional, kampung ini merupakan wilayah adat yang tanah ulayatnya dikuasai dan dimiliki

Marga Mamaringofok. Mereka memenangkan klaim penguasaan wilayah ini setelah berkonflik dengan

Marga Osok. Permukiman warga di kampung ini linier berada di tepi sungai yang bersisian dengan jalan

kampung. Pemukiman warga berlapis kebelakang di tiap tepi jalan kampung tersebut. Disela-sela

permukiman tumbuh pohon pekarangan konsumsi seperti kelapa dan pohon buah-buahan. Pada sisi

timur membentang sungai Klasafet, kebun-kebun milik warga pribumi, dan di baratnya membentang

hutan alam yang menjadi kawasan ulayat marga pemilik. Di utara kampung sejauh ± 2-5 km berada

lokasi perkebunan sawit PT HIP. Pada tahun 2010 penduduk berjumlah 876 jiwa terdiri 461 laki-laki dan

415 perempuan dan terdiri dari 196 KK. Kampung Klamono didiami penduduk pribumi dari Marga Marin

Gofok, Gisim, Fadan, Idik dan pendatang papua dari Klabra. Menetap pula etnik pendatang seperti Jawa,

Nias, Batak, Bugis, Flores, Timor, dan Ambon. Mayoritas mata pencaharian penduduk adalah berkebun

dengan paduan aktivitas perburuan (pribumi), sebagian kecil lainnya beternak sapi, PNS, Guru,

karyawan tetap ataupun karyawan lepas di perkebunan sawit, pertamina, serta pedagang dan pekerja

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 23: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

23

sector informal di proyek-proyek yang diselenggarakan perusahaan sekitar (Pertamina dan PT HIP) atau

proyek-proyek OTSUS. Mayoritas penduduk memeluk agama Kristen Protestan (Pribumi), berikutnya

katolik dan Islam (pendatang). Keberadaannya di pusat distrik Klamono membuat fasilitas umum

terbilang lengkap. Di kampung Klamono berdiri: Kantor desa, balai pertemuan dan balai karya, SD, SMP,

SMU, Koramil, Polsek, Gereja, Mesjid, Dermaga, lapangan olah raga (sepak bola dan basket), posyandu,

serta toko dan warung penyedia kebutuhan harian.

Kampung Klawana – Distrik Klamono

Secara ulayat maka kampung ini dimiliki oleh Marga Mamaringofok. Struktur permukiman yang linier,

kondisi lingkungan, mata pencaharian, dan agama yang dianut oleh penduduknya mirip dengan profil

kampung tetangganya yakni Klamono. Penduduk pada tahun 2010 berjumlah 110 KK terdiri dari 436 jiwa

(227 jiwa laki-laki, 209 jiwa perempuan). Sebagian besar penghuni kampung merupakan penduduk dari

Marga Mamaringofok, berikutnya Marga Idik, Klawon, Klasibin, Fadan, Malak, Klabra serta lainnya.

Fasilitas umum yang tersedia berupa gereja, mesjid, kantor distrik, SD dan SMU, balai kampung, serta

dua lapangan voli dan sepakbola.

Kampung Maladuk – Distrik Klamono

Kampung ini merupakan kampung yang terbentuk oleh efek-efek adanya operasi perusahaan minyak

sejak Belanda, Permina dan Pertamina yang berdasarkan tuturan informan sudah ada sejak tahun 1930-

an. Sebagian besar penduduk adalah karyawan pertamina sisanya penduduk bermata pencaharian yang

berbasis sumber daya alam hutan. Permukiman penduduk adalah paduan linier dan memusat, dengan

berbagai sarana fasilitas penunjang di dalamnya yang lebih kurang mirip dengan kampung tetangganya

di Klamono.

Gisim Darat atau divisi 6 – Distrik Klamono

Kampung ini merupakan pemekaran dari kampung Klamono yang terbentuk karena sebagian warganya

dari marga Gisim (15 KK) menerima skema sawit plasma. Struktur pemukiman penduduk adalah barak

penampungan sementara (sebelum dibangunkan perumaham baru oleh PT HIP sebanyak 60 rumah). Di

kampung ini menetap pula para penduduk pendatang asal etnik Jawa, Timor, Ambon, Ternate. Letaknya

berada di tengah perkebunan sawit yang membuat akses ke sarana pemenuhan kebutuhan dasar seperti

belanja sehari-hari amat sulit karena kesulitan transportasi. Mereka mengeluhkan hal tersebut dan

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 24: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

24

dampaknya ditunjukan dengan munculnya protes dengan melakukan pemalangan jalan di jalan

perkebunan yang ditujukan kepada PT HIP pada akhir-akhir ini.

Kampung Malailis -- Distrik Sayosa

Kampung ini terbentuk dengan proses yang mirip seperti kasus Gisim darat. Seringkali warga

menyebutnya sebagai kampung baru. Pemukiman berada di tepi jalan perkebunan dengan rumah-

rumah memusat di salah satu sisi jalan tersebut, dengan struktur perumahan dari kayu beratap seng.

Terdapat sekolah yang gurunya tinggal bersama dengan warga yang membangun rumahnya sendiri

tanpa bantuan PT HIP, dan terdapat gereja sebagai sarana beribadah. Seperti Gisim darat maka warga

merasa kesulitan mengakses sarana pemenuhan dasar yang umumnya berada jauh di luar kawasan

perkebunan.

Kampung Maladofok – Distrik Sayosa

Kampung Maladofok berada sekitar 25 km dari distrik Klamono yang berada di tepi jalan provinsi

Sorong-Sorong Selatan. Struktur pemukiman berada di tepi jalan di mana konsentrasi perumahan di

salah satu sisi jalan yang berderet di tepi-tepi/gang jalan kampung. Terdapat gereja dan balai

pertemuan kampung, dan satu buah SD. Penduduk yang mendiami sebagian besar merupakan

penduduk pribumi dari berbagai Marga: Yempelo (23 KK), Hu (7 KK), Galus (8 KK), Klin (7 KK), Fanus (2

KK), Malak (2 KK), Mederfak (2 KK), Saden (3 KK), Septemes (5 KK), Kenale (4 KK), Selabu (2 KK), Ulimpa

(2 KK), dan Klasibin (2 KK). Di kampung ini terdapat 5 Marga (Klin, Malak, Ulimpa, Gisim, dan Galus I/II)

yang melepas hak ulayat mereka ke PT HIP dan menerima skema Sawit Plasma. Tiga ulayat dari Marga

telah dibuka untuk sawit (Klin, Malak, Ulimpa, dan Galus II) semntara sisanya belum dibuka. Mayoritas

mata pencaharian penduduk adalah petani yang membuka kebun di kawasan hutan sekitar dimana

mereka memadukannya dengan perburuan dan pencarian pangan di sekitar hutan dan sungai. Terdapat

sekolah dasar inpres dan gereja untuk memnuhi kebutuhan pendidikan dan beribadah warga.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 25: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

25

Lampiran 3. Fasilitas Umum dan Sosial

Pendidikan

Kampung-kampung di wilayah kajian pada umumnya memiliki kendala dalam mengakses pendidikan

tingkat lanjut setelah menyelesaikan pendidikan dasar. Seperti yang diketahui di lapangan maka fasilitas

sekolah SMP dan SMA terpusat di sekitar Distrik Klamono. Hal tersebut membuat penduduk yang

berada diluar distrik Klamono kesulitan untuk mengakses lokasi sekolah lanjutan dari tingkat dasar

tersebut. Kampung Klamono di distrik Klamono memiliki fasilitas pendidikan yang lengkap dari tingkat

Taman Kanak-kanak, SD, SMP, dan SMA sedangkan kampung lainnya seperti Wariau, Maladuk, Klawana,

serta Maladofok hanya memiliki fasilitas pendidikan di tingkat Sekolah Dasar saja.

Di balik itu masalah lain yang timbul di bidang pendidikan adalah keterbatasan tenaga pengajar

dan juga tempat tinggal untuk para pengajar, yang umumnya datang dari kota sorong. Ketidak pastian

pengajar dan ketiadaan rumah tinggal bagi para pengajar ini menyebabkan menyebabkan kegiatan

belajar mengajar terganggu (kasus di Maladofok distrik Sayosa). Seperti dituturkan oleh Kepala Kampung

Maladofok dalam menanggapi persoalan tersebut maka ia berencana untuk mengupayakan

membangun rumah tinggal pengajar di dekat bangunan sekolah melalui permohonan bantuan ke

pemerintah daerah.

Kesehatan

Di bidang kesehatan pemenuhan kebutuhan pengobatan warga dilayani pusat-pusat pelayanan

kesehatan publik (puskesmas dan poliklinik). Otonomi khusus yang digulirkan akhir-akhir ini membantu

dalam pengadaan prasarana dan sarana kesehatan. Jumlah dan kondisi bangunan relatif cukup baik, Di

distrik Klamono terdapat dua buah (di Kampung Klamono dan di Malagisit di SP2). Untuk pelayanan

kesehatan skala kecil lagi terdapat dua poliklinik yang terdapat di Maladuk dan Klamugun (SP5).

Jumlah fasilitas kesehatan yang terdapat di desa-desa Klamono ternyata belum diimbangi oleh

jumlah pelayan kesehatan yang memadai. Berdasarkan data dari Kecamatan dalam angka tahun 2010,

jumlah pelayan kesehatan hanya seorang bidan dan 10 mantri kesehatan. Peran pelayan kesehatan

dalam kelahiran misalnya, berdasarkan pengakuan beberapa informan masih dipegang secara

tradisional oleh dukun-dukun bayi (di distrik Klamono terdapat 16 dukun bayi).

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 26: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

26

Lampiran 4. Sistem Kepemimpinan

Secara umum kepemimpinan masyarakat di kampung-kampung kajian terbagi ke dalam tiga ranah, yang

masing-masing memiliki kewenangan satu sama lain, mereka menyebutkan dengan istilah tiga tungku --

yang mengacu pada tiga pilar kepemimpinan yang secara faktual mewarnai kehidupan harian

masyarakat -- yakni kepemimpinan dalam pemerintahan formal, gereja, dan adat.

Bagaimana ketiga tungku tersebut berperan dalam kehidupan keseharian, maka penjelasannya

sebagai berikut. Pengaturan Adat menjadi sendi utama warga dalam menjalankan kehidupan karena

adat mengatur tata cara kehidupan sosial sehari-hari sejak dari masalah kelahiran, pernikahan,

kematian, sampai ke pengelolaan terhadap akses lahan dan hutan (batas ulayat, menokok sagu,

berburu, mencari buah-buahan, membuka lahan untuk berkebun), di dalamnya terdapat pengaturan

sangsi-sangsi jika terdapat pelanggaran Besaran denda ditentukan oleh kedua belah – pihak (individu

maupun marganya) yang merasa dirugikan, dan pihak pelanggar yang dianggap merugikan pihak lain.

Besaran dan penentuan sangsi tersebut dilakukan melalui proses negosiasi dan permusyawarahan.

Begitupula dalam mekanisme pembayaran denda adat tersebut maka ditentukan oleh kedua belah

pihak yang bersengketa yang juga melalui proses negosiasi. Setidaknya terdapat dua mekanisme

pembayaran denda yang selama ini dipakai yaitu melalui pembayaran tunai dan dengan cicilan. Pilihan

mekanisme ini tergantung pada kesanggupan pihak yang harus membayar denda setelah melalui proses

negosiasi yang dilakukan, jika tidak sanggup membayar tunai maka biasanya disepakati untuk

menyicilnya.

Otoritas Marga menjadi amat penting karena urusan adat, khususnya berkenaan dengan

pengaturan akses sumber daya lahan dan hutan, berada di tangan Marga. Di dalam marga sendiri orang

yang dianggap pemimpin adalah anggota tertua dari silsilah marga (sulung) dimana semua keputusan di

dalamnya dilakukan dengan cara mufakat yang berdasarkan persetujuan mayoritas anggota. Namun

terkadang terdapat sosok pemimpin lain yang tidak berdasarkan pada struktur genealogi, dimana

menurut tuturan informan di Maladofok dan Gisim Darat, seorang yang dianggap pemimpin juga

berkenaan dengan kualitas tertentu yang melekat pada anggota marga. Di Maladofok disebutkan bahwa

seorang pemimpin marga (tidak menutup kemungkinan) adalah orang yang secara kualitas memiliki

kemampuan retorika yang bagus, pandai bernegosiasi, dan memiliki kemampuan melobby. Namun tetap

saja keputusan yang diambil oleh marga harus melalui musyawarah seluruh anggota marga, majunya

seorang ‘wakil’ yang mengatasnamakan marga dalam persoalan pelepasan ulayat misalnya, bisa saja

diwakili seorang yang dianggap ‘sulung’ atau ‘individu’ lain yang memiliki criteria pemimpin. Di tataran

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 27: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

27

lain juga muncul mengenai criteria pemimpin marga, dimana berdasarkan temuan di Maladofok dan

Gisim, seorang pemimpin adalah pihak yang dianggap mampu membayar denda-denda marga atau yang

mampu membayar denda perdamaian dalam persengketaan tertentu.

Tungku kepimimpinan lainnya adalah pihak gereja (agama). Gereja memiliki otoritas pada

kehidupan masyarakat di bidang kerohanian dan pelayanan ibadah. Rutherford (2000: 316) melaporkan

kontak-kontak masyarakat Biak dengan para misionaris protestan yang berada di Sorong, menurutnya

eksistensi ‘gereja protestan’ telah ada di sekitar Sorong (Bird’s Head) sejak pertengahan abad ke-19,

berikut kutipannya :

…. Their travels brought them into contact with European explorers, traders, and soldiers, as well as the Protestant missionaries who settled on Bird’s Head, not far from Biak, in the mid-19th century, and the colonial administrators who founded a post in the same vicinity in 1898 (Rutherford 2000:316).16

Struktur kepemimpinan gereja tidak terlalu kompleks, di tingkat kampung dipegang oleh seorang Guru

Jemaat dan di tingkat distrik dipegang oleh seorang pendeta. Pendeta/Guru Jemaat memiliki fungsi

sebagai penjaga nilai-nilai dan moralitas keagamaan berdasarkan kaidah-kaidah kitab suci yang memiliki

tugas memimpin kebaktian, baik rutin maupun pada perayaan hari besar seperti natal, paskah dan

tahun baru serta mengesahkan ikatan perkawinan. Disamping itu terdapat kelompok umat yang

mengurusi kegiatan sosial keagamaan masyarakat yang biasa disebut dengan majelis gereja -- tugasnya

membantu pengorganisasian kegiatan keagamaan dan bisa dikatakan merupakan merupakan

perwakilan masyarakat di dalam institusi gereja.

Meskipun tekanan kewenangan pada pada urusan peribadatan dan perayaan hari suci namun

menurut beberapa pihak peranan guru jemaat juga bisa mempengaruhi jalannya kehidupan formal dan

sosial. Bagi warga kampung Maladofok distrik Sayosa kepemimpinan guru jemaat sama dihormatinya,

seperti mereka menghormati pemimpin-pemimpin lainnya (formal maupun adat). “karena itu tadi

bapak, mereka (guru jemaat, pemimpin kampung, dan pemimpin adat) kan yang urus soal masyarakat,

kita ini harus berterima kasih, tapi tentu harus memimpin yang adil” demikian tuturan informan dari

Marga Hu di Maladofok yang menilai tentang pemimpin-pemimpinnya, dan keadilan menjadi syarat

penghormatan warga.

Tungku kepemimpinan terakhir adalah pemerintahan formal yang mewujud dalam jabatan

kepala kampung di tingkat kampung, lalu kepala distrik, dan kemudian ketingkat lebih tinggi lagi dalam

16

Rutherford, D. 2000. The white edge of the margin: textuality and authority in Biak, Irian Jaya, Indonesia. American Ethnologist 27 (2): 312-339.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 28: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

28

struktur pemerintahan formal. Tungku kepemimpinan ini adalah lembaga formal yang dibentuk dan di

introduksikan kepada masyadari berkenaan dengan pengaturan administratif. Kewenangan dan

tugasnya terkait dengan keadministrasian warga yang terkait dengan status mereka sebagai Warga

Negara Indonesia. Pemerintah kampung merupakan unit terkecil yang secara formal dipimpin oleh

kepala kampung - memiliki gaji setiap bulan dari pemerintah. Tugas-tugas hariannya dibantu oleh

seorang ketua Rukun Kampung (RK) dan Rukun Tetangga (RT) di tingkat lebih kecilnya. Tugas seorang

Kepala Kampung selain melayani keadminisitrasian (KTP dll) juga mengkoordinir bantuan pembangunan

yang diberikan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Dalam tugasnya secara struktural

kepala kampung dibantu oleh sekretaris desa dan beberapa staf-stafnya (KAUR) - kaur pemerintahan,

pembangunan, dan kaur umum. Di jaman Belanda berdasarkan pengakuan informan pemimpin

kampung itu diangkat dan ditunjuk oleh pihak Belanda yang tidak diketahui mekanisme

pengangkatannya karena menurutnya ia hanya mendengar dari cerita orang tua dulu.

Sementara pemimpin informal lain yang muncul karena penguatan isu adat di era otsus adalah

kehadiran Ketua Dewan Adat di tingkat kampung (Maladofok). Dewan adat berdasarkan dugaan saya

berafiliasi ke Aliansi Masyarakat Adat Papua – sebuah organisasi berbasis adat yang muncul untuk

pembelaan dan menguatkan hak-hak pribumi. Di Maladofok Ketua Dewan Adat ada pada tingkat

kampung. Menurut tuturan warga Dewan Adat di tataran praktis kehidupan kampung adalah pihak yang

memediasi dan memfasilitasi bila terjadi perselisihan berkenaan masalah adat, namun tugasnya hanya

sebatas hal tersebut, karena di tingkat tertentu Dewan Adat tidak berhak memutuskan suatu

perselisihan menyangkut Ulayat Marga. Marga tetap menjadi sentral untuk menyelesikan dan

mengambil keputusan atas persoalan yang menyangkut ulayat dan adat lainnya.

Studi Kasus Kepemimpinan Di Kampung Maladofok

Pada kasus Desa Maladofok, setelah era pasca reformasi, pemimpin administratif tingkat kampung (desa) dipilih oleh sebuah lembaga bernama Badan Musyarawarah Kampung (BAMUSKAM) yang beranggotakan pihak-pihak yang dipilih atau diusulkan warga karena dianggap layak untuk menjadi anggotanya. Bamuskan menjadi lembaga pengawas jalannya pemerintahan kampung yang berwenang mengangkat dan memberhentikan seorang kepala kampung (jika dianggap melenceng aturan atau bersikap tidak adil).

Mekanisme seorang kepala kampung dipilih dapat disederhanakan dalam proses berikut: Bamuskam atas masukan warga menyaring calon yang diusulkan dari bawah, setelah terkumpul calon hasil usulan warga lalu Bamuskam menanyakan kesediaan kepada calon bersangkutan. Setelah itu, ketika calon menyatakan kesediaannya ikut pemilihan, maka muncullah nama-nama calon pemimpin kampung, yang diteruskan dengan proses pemilihan dimana suara terbanyak menjadi kriteria seorang menjadi kepala kampung. Kepala kampung (desa) adalah pemimpin dalam pemerintahan desa yang terkait urusan formal pemerintahan

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 29: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

29

dan keadministrasian, diatasnya adalah Kepala Distrik (Kecamatan), lalu ke atasnya lagi Bupati.

Struktur Kepemimpinan Kampung Maladofok – Distrik Sayosa

Keterangan: Badan Musyawarah Kampung (Bamuskam): Matias Mas (Ketua), Klemen Klin (Sekretaris), Yunus Yempolo, Matias Yempolo, dan Yordan Yempolo (Anggota). Pemerintahan Formal: Klemen Galus (Kepala Kampung), Frans Hu (Sekretaris), Spenyer Malak (Kaur: Pemerintahan), Demi Hu (Kaur Pembangunan), Yunus Hu (Kaur Kesra), Benyamin Lobat (Kaur Umum). Ketua Dewan Adat : Matias Yempolo Guru Jemaat : Matias Mas

Kasus mekanisme kepemimpinan formal di Maladofok berbeda dengan kasus di desa Klawana dimana kepala kampung diangkat secara langsung oleh warga dengan acuan meneruskan kepemimpinan lama pada saat wilayah Klawana masih bergabung dengan Distrik Beraur. Di kampung Klawana pemimpin formal dipilih tanpa melalui mekanisme pemilihan melalui lembaga Bamuskam.

Kepala

Urusan

Bamuskam Guru Jemaat Dewan Adat

Kepala

Kampung

Sekretaris

Kampung

Warga Dalam Kesatuan Adat Marga

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 30: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

30

Lampiran 5. Hirarki antar marga

Dalam struktur sosial orang Moi, marga di wilayah kajian terdapat dua pembagian golongan yaitu marga

pemimpin dan marga-marga adat. Para informan dari Marga Osok menjelaskan bahwa masyarakat di

wilayah kajian mengenal pemimpin itu sebagai kawut. Mereka yang menjadi kawut biasanya berasal dari

marga Fadan dan Osok. Untuk seterusnya marga-marga yang dianggap pemimpin ini akan tetap

menjadi pemimpin bagi marga lainnya. Sementara marga adat adalah marga yang menjadi anggota

biasa komunitas marga Namun demikian, fungsi pemimpin hanya sebagai koordinator untuk tugas-

tugas bersama di komunitasnya, sedangkan untuk persoalan internal marga, fungsi pemimpin hanya

mengakomodir tanpa bisa mencampuri urusan internal marga-marga dalam pengambilan keputusan

yang terkait hal hal mengenai hukum adat. Pada saat ini, di beberapa kampung, posisi marga pemimpin

masih dilestarikan dan berdaptasi dengan struktur formal pemerintahan, hal itu tampak dari kepala desa

di Klawana yang masih dipimpin oleh pemimpin dari marga Fadan dan begitupula dengan Desa Wariyau

yang dipimpin oleh seorang pemimpin dari marga Osok.

Masuknya “kaum pendatang” sebagai akibat dari beroperasinya perusahaan-perusahaan dan

dilaksanakannya program pembangunan (transmigrasi) membuat formasi pengelompokan masyarakat

semakin heterogen. Setidaknya terdapat pengelompokan penduduk di wilayah kajian dengan istilah

“pribumi” dan “pendatang”. Pribumi merujuk pada penduduk asli yang berasal dari marga pemilik

ulayat di sekitar. Sedangkan penduduk pendatang terbagi menjadi dua: pertama adalah pendatang dari

marga lain yang berasal dari papua (yang tidak memiliki tanah ulayat di sekitar wilayah kajian) seperti

dari marga Beraur, Inawatan, Biak, atau Merauke. Mereka biasa disebut sebagai “pendatang papua”.

Kedua adalah ‘pendatang non papua’ seperti Ambon, Timor, Flores, Bugis, Jawa, Batak, atau Makassar.

Heterogenitas penduduk di sekitar Klamono juga memunculkan kekontrasan pada tingkat

ekonomi dan mengenai etos kerja antara pribumi dan pendatang. Di klamono misalnya, penguasaan

ekonomi cenderung dikuasai kaum pendatang, sementara kaum pribumi lebih pada penguasaan ulayat

yang tidak terlihat memiliki keunggulan di tingkat ekonomi dibandingkan kaum pendatang (khususnya

dengan Jawa). Kondisi ini juga tercermin dari adanya pelabellan/stereotyping yang cenderung negative

dikenakan kepada penduduk pribumi. Pribumi yang secara ekonomi berada di bawah ekonomi

pendatang cenderung dilabel dalam ketidakunggulan: malas, susah diatur, tidak mau maju, boros, dan

tidak bisa menabung. Labelisasi dan stereotype ini – khususnya mengenai kemampuan mengurus dan

mengelola uang – juga diakui oleh beberapa informan dikalangan pribumi di Maladofok. Seorang

informan dari Marga Hu dan ditegaskan oleh informan lain dari marga Galus mengatakan bahwa pribumi

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 31: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

31

memang tidak bisa mengusahakan uang yang dimiliki, yang menurut mereka tidak seperti orang jawa

yang oandai mengelola uang,”entahlah bapak, kami ini kalau bisa jangan dikasih uang yang banyak,

cepat habis bapak, beli macam-macam kami, lalu setelah itu habis tak ada sisa” demikian tuturannya,

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 32: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

32

Lampiran 6. Sistem Ekonomi Subsistensi dan Perubahan Akibat Kebun Sawit di Maladofok

Kampung Maladofok yang didiami oleh mayoritas penduduk pribumi dari 13 marga yakni: Yempelo, Hu,

Galus, Klin, Fanus, Malak, Mederfak, Saden, Septemes, Kenale, Selabu, Ulimpa, dan Klasibin, umumnya

menganut sistem ekonomi non-komersial atau subsistensi. Matapencaharian penduduk pribumi

tersebut dipenuhi aktivitas berkebun dengan sistem tebas, tebang, bakar, dan tanam (swidden

agriculture/slash and burn agriculture), Kebun dimiliki oleh pembuka kawasan dengan syarat kebun

yang dibuka itu merupakan kawasan ulayat milik marganya. Pembuka kebun berhak memiliki lahan dan

tanaman yang tumbuh di atasnya. Namun bila, kebun dibuka di kawasan ulayat milik marga lain, maka si

pembuka hanya memiliki tanaman yang tumbuh di atasnya saja.

Di areal kebun warga bercocok tanam untuk dimakan sendiri (subsisten) dan sebagian kecil

untuk dijual (cashcrops). Untuk tanaman yang bernilai jual maka penduduk menanam pisang, rica (cabe)

dan aneka sayuran (gedi, labu, bayam dsb). Penanaman cashcrops diselingi tanaman subsistensi untuk

makanan sehari-hari seperti kasbi (ubi kayu), ketatas (ubi rambat), sagu, dan sebagainya. Pemasukan

mereka dapat dari siklus panenan tiap tanaman ekonomis tersebut. Bila panenan pertama adalah

sayuran, maka saat panen tiba mereka akan jual ke pasar. Setelah sayuran habis, tiba panenan rica dan

penduduk menjual produk tersebut, lalu selanjutnya tiba panenan pisang yang juga mereka jual ke pasar

baik ke Sorong ataupun ke sekitar Klamono. Begitulah siklus panenan tanaman ekonomis tersebut

membuat mereka bisa mendapatkan uang secara berkelanjutan.

Jumlah keluarga yang berkebun di tiap desa wilayah kajian bervariasi, menurut data Kecamatan

dalam angka tahun 2010, kampung Klawana berjumlah 53% , Gisim darat berjumlah 35%. Di bidang

pertanian keluarga petani banyak di dominasi oleh desa-desa transmigrasi nasional, seperti Klamugun

SP5 dan Malagisit SP2 berkisar 90% dan desa Wariau memiliki jumlah keluarga petani sebesar 80%. Pada

tahun 2009 jumlah rata-rata produksi jagung di desa-desa distrik Klamono, sebesar 48 ton untuk rata-

rata luas lahan 30 Ha. Jumlah komoditi perkebunan terbesar adalah dari jenis ubi-ubian, antara lain ubi

kayu 233 ton untuk luas lahan 21 ha dan ubi jalar sebesar 284 ton dengan luas lahan 28 ha. Hasil dari

komoditi ini dijual di desa mereka dan sekitarnya bahkan adapula yang dijual hingga ke pasar di Sorong

Di sela-sela panenan tanaman ekonomi tersebut mereka meluangkan waktu mencari ikan atau

udang sungai, bila berlebih akan mereka jual, atau berburu dan memasang jerat yang konon katanya bila

rajin akan dapat satu atau dua ekor/minggu Bila yang di dapat jenis babi maka mereka akan konsumsi

untuk keluarga, sisanya dibagikan ke sekitar. Bila yang didapatkan rusa, maka buruan tersebut akan

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 33: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

33

dijualnya ke Klamono yang berjarak ± 25 km dari kampung atau ke Sorong. Menurut informan harga

perkilo daging rusa rata-rata 20 s.d. 25 ribu, satu ekor rusa bisa mencapai berat 80 s,d, 150 kilo.

Pemasukan lain dari hutan yang mereka dapat adalah dari aktivitas logging di kawasan ulayat

masing-masing. Mereka mengatakan olahan kayu mereka ditampung oleh ‘bapak angkat’ yang ketika

ditanyakan merupakan pihak yang memodali dan membeli kayu mereka (penampung/tauke). Dari kayu

mereka mendapat uang yang dibilang lumayan banyak, namun aktivitas tersebut hanya dilakukan ketika

ada pemesan, yang katanya sekarang jarang, “sekarang sawmill jarang, tidak sebanyak waktu dulu

(HPH), katanya sih banyak operasi” Ujar seorang informan.

Pembukaan kebun sawit dianggap menghilangkan sebagian hutan, dalam skala tertentu,

dianggap oleh beberapa informan telah mengganggu keberlangsungan siklus subsistensi dan ekonomi

warga di Maladofok. Seorang informan mengatakan bahwa sungainya menjadi berlumpur dan membuat

ikan-ikan asli (jenis: sumpit, udang batu, sembilan, ulanang, dsb) menghilang berganti spesies baru. Kini

muncul jenis ikan lele dan gabus yang menurut beberapa informan sebelumnya tidak pernah ada di

sungai mereka. Perubahan jenis ini menurut mereka juga mempengaruhi sedikit teknik mereka dalam

menangkap ikan, “Ya karena berbeda ikannya, tentu kami juga agak belum tahu bagaimana itu punya

kebiasaan” Begitupun kuantitas hewan buruan dimana sejak dibukanya hutan oleh tanaman sawit skala

besar disebutkan telah mengurangi kuantitas hewan buruan mereka. Akibat dari perubahan lansekap

hutan menjadi sawi kata seorang informan telah merubah aktivitas setengah penduduk kampung

tersebut yang tidak lagi melakukan perburuan. Di tempat lain, kasus di kampung Klamono, indikasi

berkurangnya aktivitas perburuan warga pribumi, muncul dari pernyataan ibu pemilik warung, yang

mengatakan bahwa pembelian batu baterei untuk perburuan malam berkurang drastis sejak sawit

beroperasi di daerah tersebut. “dulu batu baterei itu banyak dibeli warga, untuk berburu lao-lao, tapi

sekarang tidak seperti dulu, sedikit sekali orang beli itu” demikian tuturan sang informan.

Pembukaan lahan juga berpengaruh pada pola konsumsi makanan pokok. Seperti ditemui di

lapangan dan berdasarkan penuturan warga pribumi, makanan pokok masyarakat adalah sagu dan beras

dengan makanan pengganti lainnya seperti pisang, ubi dan keladi. Sejak sawit beroperasi dan

mengambil lahan-lahan hutan maka terdapat penurunan konsumsi terhadap sagu. Hal itu terjadi karena

jumlah pokok (pohon) sagu yang semakin berkurang akibat pembukaan lahan untuk perkebunan dan

transmigrasi, juga oleh pengakuan tentang sistem pengolahan sagu yang dinilai masyarakat semakin

menyulitkan dan tidak praktis.

Berkurangnnya konsumsi sagu juga dipicu oleh masuknya Program Beras untuk Kaum Miskin

(raskin) dari pemerintah yang memungkinkan masyarakat mendapatkan beras secara murah dan

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 34: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

34

regular. Beras diminati masyarakat terutama karena dianggap sebagai simbol kemajuan. Seorang

informan mengatakan bahwa sagu itu makanan lama, saat mereka hidup di hutan-hutan, sementara

beras ia anggap sebagai bentuk kemajuan. “Sagu itu kan makanan nenek moyang saat kami tidak

berkampung, kini sudah maju toh, kami makan beras,” demikian tuturan seorang informan di Klamono.

Keberadaan pendatang juga mempengaruhi perubahan konsumsi sagu ke beras, dan kata seorang

informan asal jawa, yang sudah menetap sejak tahun 1980-an, disebutkan bahwa penduduk pribumi

awalnya melihat contoh dari luar,”kami dulu sering di datangi penduduk, kami ajak makan nasi, lama-

lama mereka suka, entah lah mas, sekarang mereka terbiasa makan beras, itu si agus yang di sebelah

kita, nggak mau lagi makan sagu, mungkin pas dia ke bogor dia jadi terbiasa makan beras”, tuturnya.

Ketergantungan masyarakat terhadap beras yang cukup tinggi juga diakui oleh seorang penjual

beras di desa Klamono. Pasangan suami istri penjual sembako mengatakan bahwa pada saat ini

penduduk dari kampung Klamono dan Klawana diestimasikan 90% nya mengkonsumsi beras sebagai

makan sehari-hari yang disebutkan dmulai sejak tahun 1993-an atau pada saat ekonomi uang masuk ke

wilayah tersebut ketika beroperasi HPH. Sejak itu kaa pemilik warung sembako juga meningkat

penjualan minyak dan gula, dimana bila di rata-rata minyak tanah dalam sebulan mencapai omzet 100

liter sedangkan gula bisa mencapai 2 zak atau setara dengan 100 kilogram perbulannya.

Menurut penjual sembako yang sudah 20 tahun tinggal dan bekerja di wilayah ini, perubahan

pola konsumsi dari cara subsistensi ke ekonomi uang mulai terjadi pada tahun 1995an. Momentum yang

terjadi di tahun-tahun ini bersamaan dengan masuknya HPH Intimpura dimana masyarakat terutama

pemilik ulayat bisa mendapatkan uang dengan cepat dari hasil kayu yang ditebang dari lahan-lahan

ulayat mereka. Perdagangan pun mulai berkembang ketika beroperasinya perusahaan dan kedatangan

pendatang akibat beroperasinya pertamina di daerah tersebut dimana sektor perdagangan tersebut

sampai saat ini dikuasai oleh Jawa dan Batak masih mendominasi sektor perdagangan.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 35: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

35

Lampiran 7. Persepsi dan Makna Hutan Bagi Penduduk

Keberadaan kawasan hutan sebagai sandaran kehidupan dimaknai dalam berbagai persepsi yang

menunjukan betapa pentingnya fungsi hutan bagi penduduk (marga) sekitar. Beberapa informan

mengatakan bahwa hutan ibarat ‘ibu’ yang melahirkan, membesarkan, dan merawat. Informan lain

mengibaratkan hutan sebagai ‘dapur’ atau seperti persepsi di Maladofok yang menyebut hutan itu ‘baik’

dan ‘melindungi’. Demikian tuturan tersebut terungkap lewat pernyataan seorang informan dari Marga

Hu di Kampung Maladofok ,“Karena hidup sehari-hari mencarinya di hutan.” Hutan menjadi penyedia

segala kebutuhan penduduk pribumi karena dari hutan penduduk mendapatkan semua yang dibutuhkan

seperti: kayu untuk dinding dan tiang rumah, dedaunan untuk atap rumah, tali rotan untuk mengikat

rumah, tumbuhan dan umbi-umbian untuk obat-obatan dan makanan, binatang untuk sumber

makanan, buah-buahan, serta pada kawasan hutan pula warga bisa membukanya untuk diusahakan

menjadi kebun.

Keberadaan hutan juga menjadi sarana ‘kesenangan’ penduduk yang terkait kepuasan-kepuasan

emosional para pengaksesnya. Alasan ini muncul dari lontaran beberapa informan dari Maladofok, yang

mengutarakan bahwa aktivitasnya dalam hutan bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan makanan

sehari-hari saja, tapi juga memberi kepuasan batin dan kesenangan. “kami menikmati sekali itu,

berjalan-jalan di tengah hutan, mendengar banyak bunyi binatang, apalagi bila kami dapat binatang,

kami akan pulang dengan senang bapak” ujarnya. Menurut beliau ia merasa senang karena ia akan

memberi daging pada orang-orang sekitar di rumahnya. Dan bila mereka harus bermalam karena

mengerjakan sesuatu di dalam hutan, maka mereka memiliki perasaan-perasaan tertentu yang amat

berbeda dengan menginap di kampung, “sejuk sekali, kami cepat mengantuk kalau di sana, di kampung

agak susah karena ramai orang” ujarnya lagi. Hal yang positif tentang hutan juga terlontar dalam FGD

dimana seorang peserta mengatakan hutan adalah sesuatu yang baik kepada mereka selama ini.

Fransis Hu, Sekretaris Desa Maladofok dan beberapa peserta lain menyimpulkan tentang makna

hutan lainnya sebagai berikut: “Hutan adalah Baik, dia Pelindung yang memberi kita keperluan sehari

hari. Hutan mengobati yang sakit dengan tumbuh tumbuhan obat, memberi makan (dusun sagu), buah

buahan (langsat, matoa), lauk pauk (babi, rusa, lao-lao, kasuari), memberi tempat berlindung (rumah) –

kayu untuk tiang penyangga dan dinding rumah, daun sagu atap, dinding,rotan untuk tali pengikat).

Sementara, menurut warga Gisim Darat, yang ada di sekitar kebun sawit, maka hutan dimaknai seperti

ini, ”Tarada itu kami bisa hidup, saya pernah lihat itu tempat mereka tinggal (barak), panas sekali

bapak, setengah mati itu, kami mungkin tak sanggup”

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 36: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

36

Lampiran 8. Konsep Marga di Klamono

Dalam sistem sosial masyarakat di wilayah kajian, unit sosial terkecil yang paling berpengaruh adalah

marga atau klen. Marga bisa disebut juga keluarga besar17. Sebelum Belanda masuk ke wilayah ini pola

pemukiman masyarakat terpencar di tanah ulayat masing-masing yang berjauhan satu marga dengan

lainnya. Kemudian setelah Belanda menemukan ladang minyak dan mengeksploitasinya, masyarakat

tribal di Klamono dikelompokkan dalam satuan marga berdasarkan jalur patrilineal.

Kepentingan Belanda mengelompokkan marga dalam satu wilayah tertentu adalah untuk tenaga

kerja dan kegiatan misi keagamaan mereka. Meskipun terdapat referensi lain yang menjelaskan kegiatan

misi agama telah datang lebih awal daripada kegiatan survey minyak, fakta yang mengatakan bahwa

mereka dikumpulkan dalam satu pemukiman juga dikatakan oleh beberapa anggota masyarakat pada

FGD yang dilakukan di Desa Maladofok. Seorang peserta, Dance Galus, menuturkan tentang sejarah

pemukiman awal mereka, ”Dulu kami tinggal jauh di dalam hutan, sebelum ada agama dan

pemerintahan”

Kawasan Ulayat adalah kawasan yang mencakup matra lahan hutan dan sungai yang dikuasai

dan dimiliki oleh sebuah marga secara komunal, dimana pemanfaatan terhadap sumber daya di

dalamnya (tanam tumbuh diatasnya) diperuntukan baik untuk anggota marga bersangkutan, juga

diperbolehkan (seijin pemilik) diakses dan dimanfaatkan oleh marga lain, sepanjang digunakan untuk

tujuan subsistensi.Dengan demikian maka sebuah kawasan ulayat secara de jure dikuasai dan dimiliki

oleh marga tertentu, namun secara de facto adalah milik komunal, yang bisa diakses dan dimanfaatkan

marga lain. Sebuah kawasan Ulayat baik batas dan luasnya diketahui secara tuturan (lisan) dan

berdasarkan ingatan kolektif anggota marga dengan penanda batas alam atau atau tanaman tertentu

sebagai patokannya.

Sementara itu, berdasarkan literatur, maka istilah hak ulayat ditegaskan oleh G. Kertasapoetra dkk

(Musnita 2008) yang menyatakan bahwa ; “Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki

oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan

tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para

warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang

pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)”

17

Konsep marga pada Orang Moi tidak seperti marga pada Suku Batak yang memiliki jumlah anggota banyak dan memiliki silsilah yang panjang, melainkan hanya beranggotakan kurang dari sepuluh kepala keluarga. Konsep Marga pada Orang Moi di lokasi penelitian lebih mendekati sebagai keluarga besar di suku Jawa.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 37: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

37

Lampiran 9. Pengelolaan dan Pengaturan Sumberdaya Alam

Aktivitas subsistensi berupa: berkebun, berburu binatang darat dan sungai, mencari tanaman pangan

dan papan (kayu, rotan, sagu, sayuran, buah-buahan), serta aktivitas yang berhubungan dengan

kepercayaan di lakukan dalam kawasan hutan ulayat. Pada kawasan hutan ulayat terdapat klasifikasi

kawasan yang memiliki nama dan perlakuan khusus, yaitu:

Kawasan kebun yang dibuka dan diolah untuk dijadikan sandaran subsistensi dan ekonomi.

Dalam kebun ditanami dengan tanaman jangka pendek dengan tanaman utama pisang,

kasbi/ubi kayu (Manihot ultizima), ketatas/ubi rambat (Ipomoea batatas), rica (cabe), sayur gedi

(Abelmochus manihot), kacang tanah (Arachis hipogaea), bayam, labu, dsb. serta tanaman

jangka panjang (keras) seperti sirsak (Annon muricata), kelapa (Cocos nucifera), mangga

(Mangifera indica), rambutan (Nephelium lappaceum), langsat, salak (Salacca edulis), matoa

(Pometia pinnata) dan durian. Durasi kebun diolah berdasarkan tuturan informan paling lama

dua kali musim tanam, selanjutnya mereka membuka lahan baru ditempat yang berdekatan

dengan kebun lama. Kebun lama yang ditinggalkan tetap menjadi miliknya dengan ditandai

keberadaan tanaman keras yang mereka tanam sebelumnya, begitupun selanjutnya.

Dusun Sagu dan Hutan Sagu (Metroxylon sp) adalah kawasan hutan tertentu yang ditumbuhi

tanaman sagu, baik karena tumbuh alami maupun sengaja di tanam anggota marga pemilik

ulayat. Terdapat dua jenis sagu: berduri dan tidak berduri. Keduanyatidak berbeda dalam rasa

namun yang membedakan adalah tepung yang dihasilkan. Pohon sagu yang berduri berwarna

keputih-putihan, sedangkan yang tidak berduri menghasilkan warna coklat. Dusun sagu adalah

kawasan tanaman sagu yang ditanam maupun tumbuh secara alami yang mendapat perawatan

dan dimiliki oleh pihak tertentu (individu atau marga), sedangkan hutan sagu adalah kawasan

sagu yang tumbuh alami dan biasanya berjenis sama (berduri semua atau tidak berduri).

Siapapun dan dari marga manapun bisa mengakses dan mengambil hasilnya sepanjang

mendapat ijin dan dimanfaatkan untuk makan sehari-hari,

Dusun Buah, adalah kawasan tempat tumbuh pohon buah-buahan alam seperti matoa, jambu,

nangka, cempedak, langsat, durian, dsb. Kawasan ini bisa diakses pihak manapun untuk

kepentingan konsumsi, tidak diperkenankan diluar marga pemilik mengusahakan pengambilan

buah untuk diperdagangkan. Marga pemilik hanya memiliki batang pohon dan tidak menguasai

dan memiliki buahnya.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 38: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

38

Kawasan perburuan, sebuah kawasan yang menjadi area-area tertentu tempat anggota marga

atau marga lainnya melakukan perburuan. Binatang yang biasa mereka buru dan dimanfaatkan

adalah beruang, rusa, kijang, babi hutan (Sus scrofa), lao-lao atau kangguru (Dorcopsis sp),

burung kasuari (Casuarius sp) dan lainnya.

Hutan keramat, adalah kawasan yang dianggap memiliki nilai sejarah dan bernilai religius

karena sesuatu yang dianggap suci atau sakral (artefak peninggalan tertentu seperti piring dsb,

makam, tempat arwah) terdapat di dalam kawasan tersebut. Kawasan ini pantang dan dilarang

untuk dibuka secara fisik. Pada hutan keramat terdapat pantangan untuk membuka dan

mengusahakan karena dianggap tempat peninggalan sejarah ditemukan (temuan benda

keramat seperti piring dll), makam leluhur, dan tempat arwah leluhur bersemayam. Di luar

hutan keramat semua kawasan diperbolehkan dibuka dan dimanfaatkan untuk hidup.

Transek Pembagian dan Pengelolaan Lahan Masyarakat

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 39: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

39

Lampiran 10. Mekanisme Pengelolaan Sumber Daya Hutan Ulayat secara Komunal

Berdasarkan temuan dan tuturan beberapa informan dari marga-marga pemilik ulayat, maka hutan

ulayat dimiliki dan dikuasai secara komunal oleh seluruh anggota marga pemilik. Aturan-aturan ulayat

terkait dengan kepemilikan dan hak penguasaan lahan yang secara otonom dimiliki oleh marga-marga.

Dalam sistem adat masyarakat kajian ini dikenal beberapa status penguasaan lahan yang terkait dengan

boleh tidaknya pihak lain mengakses lahan orang lain. Dalam sistem komunal mereka mengenal

beberapa hak terkait penguasaan lahan diantaranya:

Hak milik : Tanah bagi masyarakat di wiyalah kajian dikuasai oleh pemilik ulayat yang biasanya

dikuasai oleh satu marga. Luasan tanah berbeda-beda satu marga dengan lainnya, tidak

diketahui secara pasti bagaimana penentuan luas yang berbeda-beda tersebut namun diduga

karena kesepakatan-kesepakatan antar marga terkait dengan daya jelajah wilayah cultural dan

subsistensi tiap Marga baik dalam mekanismeperburuan maupun pencarian pangan lainnya di

masa lalu. Kepemilikan lahan dikuasai secara kolektif oleh semua anggota marga dimana tidak

dikenal pewarisan secara individual18. Segala sesuatu yang terkait dengan lahan marga, seperti

untuk dilepas atau dimanfaatkan oleh pihak lain, maka itu harus dibicarakan kepada semua

anggota marga yang memiliki hak. Secara de jure anggota marga yang telah dianggap dewasa

memiliki hak untuk dilibatkan dan berpendapat dalam urusan tanah marga. Kriteria kedewasaan

ini menurut beberapa informan ditentukan oleh kemampuan-kemampuan diri individu dalam

subsistensi (bisa membuka lahan, dapat berburu, dsb) dan beberapa pihak menyatakan bahwa

kriteria lain ditujukan bila seseorang telah menikah Namun demikian secara faktual, untuk

anggota masyarakat yang tidak lagi tinggal dan memanfaatkan lahan ulayat marga karena

berpindah atau tinggal di tempat lain, maka ia akan berkurang haknya dalam membicarakan

atau memutuskan apapun terkait dengan lahan ulayat marganya. Keputusan akan lahan marga

dilakukan secara demokratis melalui proses musyawarah dan mufakat dari seluruh anggota

marga yang secara factual selama ini menjaga dan memanfaatkan lahan.

18

Pada beberapa tempat masih di suku moi, sebenarnya mengenal pula penguasaan individu, seperti yang dikatakan oleh Irin Siam Musnita, yang pernah meneiliti mengenai hak ulayat dalam tesisnya. Pada suku moi18 terdapat nilai-nilai komunalistik-religius magis yang memberi peluang pengelolaan tanah secara individual, serta hak-hak yang bersifat pribadi, namun demikian hak ulayat bukanlah hak orang-seorang. Hak ulayat bersifat komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota masyarakat hukum adat atas tanah yang bersangkutan. Sifat magis-religius menunjuk kepada hak ulayat, yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki sifat gaib dan merupakan peninggalan nenek moyang dan para leluhur pada kelompok masyarakat adat itu sebagai unsur terpenting bagi kehidupan dan penghidupan mereka sepanjang masa dan sepanjang kehidupan itu berlangsung (Musnita, 2008, hal.14).

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 40: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

40

Hak pakai:. Dalam masyarakat di wilayah kajian ini juga mengenal pola penmanfaatan lahan

orang lain. Satu marga dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga mereka di lahan ulayat

marga lain sejauh untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi saja. Sedangkan untuk kegiatan

profit seperti pengambilan kayu atau lainnya tidak diijinkan oleh pemilik ulayat atau bila

diijinkan maka hal tersebut harus diserta dengan perhitungan ekonomi yang harus disepakati

terlebih dahulu oleh kedua pihak. Selama ini pemanfaatan lahan suatu marga oleh pihak lain

digunakan sebatas pemanfaatan untuk berkebun, pengambilan sagu atau jelajah berburu.

Dalam urusan perburuan misalnya, seorang informan mengatakan bahwa mobilitas hewan

buruan tidak bisa dibatasi oleh wilayah ulayat dan oleh karenanya maka siapapun dipersilahkan

berburu di ulayat manapun.. Namun tetap saja ada etika yang disepakati, yang berlaku diantara

mereka, misalnya sagu harus diambil dari pokok sagu yang sudah tua, atau bila membuka kebun

maka si pembuka dilarang menebang pohon bernilai ekonomi dan cultural (seperti buah-buahan

atau yang dianggap keramat) Jika ada proses saling menikah antar marga, maka perempuan

yang dibawa ke pihak laki-laki hanya memiliki hak pakai atas ulayat keluarga laki-laki. Begitupun

sebaliknya, laki-laki atau suami yang menikah dengan perempuan pemilik ulayat, maka suami itu

hanya memiliki hak pakai atas ulayat marga pihak perempuan.

Setiap marga memiliki otonomi untuk mengatur hutan ulayat masing-masing yang tidak boleh dicampuri

oleh marga lain, baik dalam memanfaatkan maupun melepaskannya ke pihak lain. Anggota marga

memiliki hak kepemilikan sementara untuk hak memakai maka siapapun dari marga lain diperbolehkan

mengaksesnya: menanam, mengolah, dan memanfaatkan (sepanjang untuk subsistensi). Bila suatu

marga membuka kebun di ulayat marga lain misalnya, maka ia hanya berkuasa atas tanam tumbuh

diatasnya saja, bukan lahan dibawahnya. Begitupun saat melakukan perburuan, maka marga lain

diperbolehkan melintas dan melakukan aktivitas perburuan di kawasan tersebut, tidak ada kewajiban

untuk membagikan hasil buruannya kepada pemilik ulayat, namun kata informan biasanya mereka akan

saling berbagi sebagai tanda rasa terima kasih. Mekanisme tersebut merupakan kearifan semua marga

untuk saling berbagi sumber daya kepada marga yang tidak memiliki hutan ulayat atau memiliki hutan

ulayat yang tidak luas. Konsep saling berbagi hasil hewan buruan tersebut merupakan mekanisme

kultural dalam rangka menjaminkan sustainable hidup antar pihak.

Ada dua tujuan dan kepentingan dalam mekanisme pembagian hewan buruan yang

dipraktekkan marga di Maladofok: Pertama sikap saling berbagi tersebut merupakan reaksi kultural atas

ketidak mampuan menyimpan atau mengawetkan makanan, “sungguh bapak kalau kami makan sendiri

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 41: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

41

itu hasil berburu kami tidak mungkin sanggup, cepat busuk itu daging, kami bagi itu orang sekitar, toh

daripada nanti tidak bisa kami makan.” Kedua adalah tentang makna saling berbagi sebagai ‘investasi

sosial’ pihak tertentu kepada pihak lain. Si pemberi akan memiliki jasa kepada pihak yang diberi dan

pihak yang diberi memiliki utang jasa kepada pemberi. Di suatu waktu maka jasa dan utang jasa tersebut

dituntut untuk saling dipertukarkan,. Ketika si pemberi di masa tertentu tidak mendapatkan buruan

maka pihak yang telah diberi di masa sebelumnya menjadi pihak yang akan memenuhi hal tersebut.

“Kami biasa seperti itu, kalau kami tidak berburu hari ini sementara orang lain berburu dan dapat hasil,

dia pasti kasih juga pada kami, itu tadi karena kami juga bagi ke mereka sebelumnya”

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 42: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

42

Lampiran 11. Pengetahuan, Penguasaan, dan Batas-Batas Ulayat

Terdapat kecenderungan pola pandangan tentang bagaimana asal mula kawasan hutan ulayat dimilki

oleh marga. Jika kita menanyakan asal usul awalnya, maka jawaban umumnya bersifat taken for granted

bahwa itu pemberian Tuhan, sudah dari sana-Nya, atau merupakan sesuatu yang sudah dibagi-bagi dan

diberikan oleh Koreri.19 Koreri menurut informan dari marga Osok adalah tokoh yang dianggap ‘leluhur’

yang diceritakan melakukan pelayaran dari Biak – Ternate – Batavia – Majapahit – lalu ke Netherland –

dan kemudian balik lagi ke Biak atau Sorong. Setelah mendapat wahyu dari Tuhan Allah selanjutnya

Koreri membagi-bagi wilayah di Sorong ke setiap Marga. Informan tersebut kemudian menjelaskan

bahwa asal-usul orang asli Sorong juga berasal dari leluhur mereka di Utara, yakni dari Biak, atau

tepatnya di Pulau Undi.

Menurut Pak Osok, hak ulayat dimiliki karena suatu kawasan hutan dibuka dan diusahakan oleh

satu pihak. Sedangkan jangkauan wilayahnya didasarkan pada daya jelajah pihak tersebut saat

melakukan perburuan, pencarian dusun sagu, temuan-temuan bernilai kultural dan religi, dan atas

interaksi lainnya kepada kawasan tersebut. Batas ulayat antar marga kemudian muncul ketika pihak

pertama bertemu atau berpapasan dengan pihak lain. Saat itulah, pada titik pertemuan tersebut

ditentukan batas-batas antara kedua belah pihak.

Batas ulayat biasanya ditentukan oleh batas batas alam yang dianggap tidak akan berubah, seperti:

sungai, pohon pohon besar, urat gunung, dsb. Batas ulayat tiap marga bagi warga dianggap sangat jelas

dan semestinya diketahui oleh tiap marga pemilik ulayat. Pemahaman tersebut dituturkan informan

dengan alasan bahwa semua orang Malamoi (atau Moi) semestinya tahu karena hal tersebut telah

disampaikan secara turun menurun dari orang tua mereka. Sehingga bila mengacu hal itu maka tidak

akan ada perselisihan mengenai batas ulayat antar marga. Informan lain, Dance Galus, menuturkan hal

tersebut dengan menjelaskan bagaimana ia mendapat pengetahuan batas ulayat miliknya melalui

enkulturasi dari orang tuanya, berikut tuturannya: “(pengetahuan akan batas-batas) dari bapa punya

19

Istilah Koreri menurut bahasa Biak bisa temukan dalam mitologi Manarmakeri. Koreri dibentuk dari kata: Ko artinya kami. Rer artinya kulit yang terkupas (kulit lama yang berganti dengan kulit baru). Di ranah filosofis keyakinan orang Biak maka koreri berkenaan tentang suatu kehidupan yang sejahtera, bahagia, dan abadi (Thime, 1976; Mampioper, 1976). Koreri dalam mitologi Manarmakeri adalah kampung yang situasinya penuh kebahagian di mana orang-orang hidup gembira tanpa merasakan suatu kekurangan apapun. Dalam mitologi tersebut Koreri telah dibawa pergi Manarmakeri atau Kayam Byak ke belahan Barat (Eropa), namun ia berjanji akan kembali lagi membawa Koreri setelah tujuh generasi kemudian. Janji Manarmakeri ini bercorak messianis sehingga tetap hidup dalam kebudayaan orang Biak atau Papua, dari generasi ke generasi, yang memberi harapan atau semangat hidup di tengah situasi sulit (Mansoben, 1980). Sebagai sebuah gerakan maka koreri berpusat pada keyakinan tentang akan datangnya Kan Kondo Mob Oser atau dunia tanpa kesengsaraan, sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan hidup yang tidak perlu didapat dengan susah payah, atau terkait kargoisme yang menanti barang atau materi agar bisa berganti kulit dalam arti hidup lama ditanggalkan menuju dunia baru (Kamma,1972)

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 43: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

43

bapa, bapanya lagi, bapanya lagi… Seperti bapa saya, dia kasih saya tahu, ajak saya jalan, memberi

tahu batas, tanah kita yang ini, batasnya ini…saya juga, saya harus kasih tahu anak saya…!”

Secara faktual kawasan hutan ulayat, tanaman yang tumbuh di atasnya dan lahannya dimiliki

dan dikuasai secara komunal oleh marga. Dahulu kata seorang informan, hutan ulayat tidak boleh

dibagi-bagikan (diwariskan) dalam bentuk kapling atau petak-petak kepada anggota marga dan tidak

boleh dialihkan atau dijual kepada pihak lain. Namun, setelah kedatangan pihak perusahaan, khususnya

PT HIP yang membutuhkan lahan luas untuk kelapa sawit maka aturan tersebut diselaraskan oleh marga

untuk dilepas demi tawaran sejumlah uang dari pihak perusahaan. Keputusan pelepasan tersebut,

menurut informan, dibuat secara mufakat berdasarkan suara terbanyak dalam tingkat marga. Dianggap

pemilik suara marga adalah anggota marga yang keberadaannya masih eksis di lokasi ulayat berada.

Untuk anggota marga yang telah berada jauh di luar marga (merantau) maka ia tidak berak terlbat

dalam proses pembuatan keputusan menyangkut pelepasan ulayat karena dianggap telah memilih

untuk hidup di tempat lain.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 44: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

44

Lampiran 12. Makan Bersama dan Tumpang Tindih Klaim Ulayat

Keberadaan satu marga di sebuah kawasan ulayat juga bersinggungan dengan pihak lain. Sehingga amat

relevan untuk membahas sebuah konsep bernama ‘makan bersama’. Sebuah konsep makan bersama

adalah istilah ketika terdapat marga lain yang ‘menumpang’ di ulayat smarga lain. Secara garis besar

konsep tersebut muncul ketika pihak dari marga lain, yang dalam skala tertentu, diijinkan oleh pemilik

ulayat untuk memakai sumber daya di kawasan ulayat miliknya: bisa berladang, berburu, mengambil

kayu, atau lainnya sepanjang untuk kebutuhan sendiri. Biasanya konsep ini ditekankan pada sifatnya

yang lebih menetap seperti ‘berkebun’ maka dalam hal ini si penumpang hanya punya hak memakai dan

memiliki tanaman tumbuh yang ia tanam, bukan memiliki lahannya. Pihak tersebut hanya memiliki hak

pakai dan tidak diperbolehkan untuk mengalihkan atau menjual ke pihak lain.

Bisa juga konsep makan bersama ini muncul akibat konsekuensi sebuah perkawinan antar

marga. Di kalangan marga setempat pernikahan mengacu pada konsep patrilineal dimana pihak

perempuan ikut kepada pihak laki-laki/ Dengan demikian pihak perempuan hanya memiliki hak pakai

terhadap sumber daya ulayat pihak laki-laki, atausebaliknya, pihak laki-laki bersangkutan juga hanya

memiliki hak pakai saja terhadap sumber daya ulayat pihak perempuan. Konsekuensi perkawinan lintas

marga tersebut kemudian menimbulkan konsep ‘makan bersama’ antar kedua marga bersangkutan

Konsep makan bersama ini kadang menjadi masalah dalam persoalan menyangkut bagi hasil dari

sebuah pelepasan ulayat marga tertentu kepada pihak lain. Saling tumpang tindih klaim ulayat terjadi

di realitas lapangan dan ditenggarai oleh beberapa informan oleh sebab munculnya wacana ‘makan

bersama. Khusunya ketika event makan bersama antar marga tersebut berlangsung melintasi waktu

yang jauh ke masa lalu, dan para saksi sejarah sudah tidak lagi hidup di masa kini. Ini persoalan yang

kemudian terjadi dalam konteks pelepasan hak ulayat antara marga sekitar dengan pihak PT, HIP.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 45: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

45

Lampiran 13. Penguasaan Sumber Daya Alam dan Perubahan Sosial di Klamono

Berikut adalah kronologi penguasaan sumber daya alam di sekitar lokasi beroperasinya HIP oleh pihak

luar dari sejak jaman kolonial Belanda, Pemerintahan Orde Baru, sampai ke masa Reformasi/Otsus. Pada

setiap struktur penguasaan tersebut terdapat motif dan sifat tertentu yang mempengaruhi kehidupan

penduduk pribumi dalam hal ini marga-marga yang menguasai kawasan tersebut. Berdasarkan

keterangan beberapa informan, maka jauh sebelum struktur penguasaan tersebut datang, penduduk

pribumi hidup berpencar mempraktekkan gaya hidup foraging --paduan perburuan binatang (darat dan

sungai), meramu sagu (memangkur), dan membuka kebun secara sederhana. Mereka tinggal bersama

keluarga inti, berpencar jauh dengan keluarga inti lainnya. Hutan dalam persepsi penduduk pribumi

adalah ‘dapur’ yang menjadi sandaran kehidupan dan ekspresi kultural dan religius. Kedatangan pihak-

pihak luar yang berkepentingan dengan penguasaan sumber daya alam tersebut kemudian merombak

gaya hidup lama dan mentransformasikan nilai-nilai baru, yang mendorong perubahan struktur dan

sosial. Lebih jauh, orientasi subsistensi dan cara bertukar (barter) juga berubah menjadi komersial

dengan sistem ekonomi uang.

Masa Kolonial Belanda

Beberapa informan mengenang masa sebelum ditemukannya minyak di distrik Klamono/Klafete oleh

pihak kolonial Belanda dengan zaman kafir. Lalu setelah Belanda menemukan minyak berdasarkan

survey pencarian minyak (1939) dan memulai beroperasinya eksplorasi (1948) yang dilakukan

perusahaan minyak Belanda – Nederland New Guinea Petroleum Maskapij (NNGPM) maka dimulailah

intervensi pihak luar untuk pertama kalinya kehadapan kehidupan alamiah penduduk pribumi.

Menurut informan dari marga-marga di Kampung Maladofok, Distrik Sayosa penduduk kala itu,

yang hidup berpencar, mulai dipusatkan ke dalam sebuah struktur kampung, lalu sekaligus diangkatlah

pemimpin kampung. Bersamaan dengan itu penduduk dikenalkan agama Kristen oleh misionaris yang

datang bersamaan aparatus kolonial. Orang-oramg tua dulu menyebut masa tersebut dengan jaman

kafir,“Ya karena sebelum Belanda datang kami ini belum memiliki agama, dan hidup berpencar saling

berjauhan satu sama lain” Tutur seorang informan dari marga Marin Gofok di Kampung Klawana, Distrik

Klamono. Keterangan selanjutnya menyebutkan bahwa mulailah dikenal dengan istilah ‘Marga’

Muncul kampung-kampung hasil mobilisasi penduduk yang hidup berpencar. Menurut

keterangan salah seorang informan Kampung ‘Maladuk’ (Klamono I) serta kampung Maladofok adalah

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 46: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

46

kampung yang pembentukannya dipengaruhi kedatangan Belanda saat menemukan minyak di kawasan

tersebut. Pemusatan konsentrasi penduduk tersebut patut diduga oleh kebutuhan tenaga kerja

pengelola tambang minyak Belanda saat itu. Karena berdasarkan keterangan informan yang menurutnya

didapat dari orang tua dulu, sebagian penduduk yang tidak terserap kerja di perusahaan minyak

tersebut, kemudian menetap di tepi-tepi Sungai Klasafet.

Informasi lain tentang bagaimana ‘marga; dibentuk muncul dari keterangan bapak Osok di SP 1.

Menurutnya marga-marga di sekitar Sorong adalah bagian dari struktur besar dari Suku Malamoi (Moi)

yang dibentuk oleh pemerintahan Belanda. Merujuk pada arti Moi sendiri dalam bahasa Belanda maka

artinya bagus, baik, atau indah. Dipadankan kemudian makna tersebut oleh informan dengan ciri umum

atau karakter Orang Moi yang katanya orangnya baik, tidak mencurigai orang luar, tidak pernah ikut

campur urusan orang, dan ramah terhadap siapapun. “Bapak bisa buktikan, kalau ada itu kerusuhan di

kota Sorong, pasti bukan dilakukan Orang Moi” Tutur seorang informan.

Suku Malamoi menurut bapak Osok terdiri lima bagian : Moi Klabra, Moi Madik, Moi Karong,

Moi Morait, dan Moi Toh (Asli). Menurutnya Moi Toh dalam struktur tersebut dianggap Moi paling

tua/sulung dan termasuk kedalam Moi Toh ini adalah marga-marga yang eksis di sekitar perkebunan

sawit PT. HIP sekarang (Idik, Mamarin Gofok, Osok, Klawon,Fadan, Malak, Gisim, Galus, Klin, Ulimpa,

Yempolo dll). Pada tingkat marga sendiri maka orang paling tertua atau sulung adalah pihak yang

dianggap pemimpin, meskipun keputusan apapaun selalu berdasarkan kesepakatan mayoritas semua

anggota Marga. Dulu pemimpin kampung disebut dengan Kawut namun ketika mulai diterapkan sistem

pemerintahan desa pemimpin tradisional tidak difungsikan lagi, dan digantikan oleh kepala

kampung/desa. Meskipun secara faktual maka di dapat beberapa kasus bahwa kepala kampung juga

dijabat oleh pemimpin Marga.

Pemerintahan Indonesia dari Orde Baru ke Orde Reformasi

Strategi penguasaan sumber daya alam yang dilakukan pemerintah Indonesia tak jauh berbeda dengan

yang dilakukan kolonial Belanda; eksplotasi sumber daya alam disertai cara-cara mobilisasi tenaga kerja

dengan memusatkan penduduk ke permukiman baru. Perbedaannya selain tidak adanya pemberian

agama, juga pada sifatnya terhadap perubahan lansekap hutan. Jika pada masa kolonial Belanda lanskap

hutan tidak terlalu berubah karena sifat pengeboran minyak yang tidak membutuhkan lahan luas, maka

di masa pemerintahan Indonesia dengan ‘pembangunannya’ telah merubah lansekap hutan karena sifat

dari penguasaan teritorinya telah mengambil lahan luas hutan ulayat setempat. Lewat serangkaian

pembangunan yang terjadi di sekitar kawasan PT. HIP tersebut – Permina/Pertamina, HPH PT. Intim

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 47: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

47

Pura, Transmigrasi lokal dan nasional, serta Perkebunan sawit PT HIP – yang secara langsung berdampak

pada perubahan lansekap hutan dan mendorong terjadinya perubahan formasi etnik (lewat kedatangan

penduduk pendatang trans ) yang berpengaruh kepada kehidupan penduduk pribumi sekitar.

Pada sekitar tahun 1960-1999 pemerintahan Orde Baru dengan serangkainnya

pembangunannya mulai melakukan berbagai eksploitasi sumber daya alam di sekitar kawasan PT HIP. Di

mulai dengan pengambil alihan pengelolaan minyak Belanda ke tangan Permina lalu kemudian menjadi

Pertamina (sekitar tahun 1960-an) yang beroperasi hingga sekarang dan mulai membuka sumur-sumur

baru di lokasi lain di sekitar kawasan. Berdasarkan keterangan informan dalam masa tersebut beberapa

penduduk direlokasi ke tempat baru, dan dengan cara represif menggunakan kekuatan militer.

Setelah itu masuk proyek relokasi pemukiman penduduk pribumi dalam skema Transmigrasi

Lokal (1984-an), Pada saat tersebut penduduk pribumi yang mendiami tepi-tepi Sungai Klasafet, yang

dulu tidak terserap dalam kerja perusahaan minyak Belanda, ditarik ke pemukiman baru lewat proyek

Transmigrasi Lokal. Pemukiman baru tersebut berjarak ± 500 meter dari pemukiman lama mereka yang

dibangun di tepi-tepi jalan yang dilakukan bersamaan dengan masuknya kegiatan ABRI Masuk Desa

(AMD), sehingga terbentuklah kampung baru bernama Klamono (Klamono II).”Rumah mereka di tepi

sungai itu dulu gubuk mas, tidak teratur, kotor, dan setelah translok (Transmigrasi Lokal) mereka

mendapat rumah baru yang bisa dibilang lebih layak dari yang mereka huni di tepi sungai tersebut” Ujar

seorang informan.

Kemudian pada pertengahan tahun 1990-an masuk perusahaan HPH PT.Intimpura yang

mengeksploitasi kayu di sekitar kawasan dengan mengantongi ijin dari pemerintah lewat HPH. Aktivitas

PT Intim Pura berdasarkan keterangan informan mengambil kawasan ulayat marga sekitar, namun tidak

didapat keterangan bagaimana mekanisme pelepasan tanah ulayat tersebut. Seorang informan

mengatakan bahwa pada saat itu tidak muncul gejolak konflik karena situasi politik pada saat itu masih

dipegang presiden Suharto yang menggunakan cara-cara paksa lewat militer untuk memuluskan proses

pelepasan ulayat tersebut.

Sementara menurut keterangan informan dari penduduk pribumi HPH tidak terlalu

memunculkan konflik karena marga pemilik ulayat masih mendapat bagian 50% dari seluruh kayu yang

ditebang PT Intim Pura, juga penduduk sekitar terlibat dalam kerja dan mendapat penghasilan dari

mekanisme produksinya. Pembagian hasil 50% kepada Marga kemudian dibagi lagi ke semua anggota

Marga pemilik ulayat. Sambil melakukan kerja kayu di hutan penduduk juga masih bisa berburu atau

memasang jerat pada saat luang. Lingkungan kerja tidak terlalu menjauhkan warga (pekerja) dengan

kebiasaan lamanya, demikian penuturan seorang informan dari Marga Osok.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 48: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

48

Sementara alasan lain juga muncul, yakni berkenaan dengan sifat HPH yang hanya mengambil

kayu diatas lahan (bukan mengambil lahan). Menurut informan dari Marga Osok, yang melepas lahan

ulayatnya ke HPH PT. Intim Pura, pelepasan yang dilakukan oleh marganya tidak melanggar prinsip-

prinsip pengaturan ulayat yang melarang lahan dilepas/dijual secara penuh kepada pihak lain (karena

milik bersama anggota marga). Pelepasannya ke HPH PT. Intim Pura diakui oleh informan hanya sekedar

tanam tumbuh diatasnya bukan lahannya. Sementara alasan lainnya muncul berkenaan dengan tatanan

kehidupan alamiah penduduk pribumi yang tidak begitu terusik oleh aktivitas HPH. Dianggap tidak

terlampau mengusik kehidupan alamiah penduduk pribumi karena PT. Intim Pura melakukan

mekanisme ‘tebang pilih’ bukan ‘tebang habis’ dan hal itu dianggap tidak terlalu mengganggu

keberadaan binatang dan tumbuhan yang menjadi sandaran subsistensi. “Sehabis ditebang nanti muncul

semak, nanti juga muncul binatang, tidak ada habis itu binatang buruan” kata informan tersebut. Di

Maladofok juga tanggapan terhadap HPH PT. Intim Pura amat posisitif karena selain telah ‘membangun’

kampung dengan berbagai fasilitas (rumah, balai pertemuan, jalan dsb) juga aktivitasnya

menguntungkan penduduk. “Intim Pura itu bikin kami punya uang, kayu yang mereka tebang dibagi

dengan pemilik ulayat, dan nilai tiap jenis kayu juga dia kasih harga sesuai kelas-nya, tidak waktu ini

sawit datang, kayu kami di kasih harga seragam, semua kayu itu disesuaikan PERDA kata mereka, dan

semua harganya sama, bagaimana itu?” Ujarnya.

Tahun1997 masuk lagi proyek transmigrasi nasional yang mendatangkan penduduk pendatang

asal Jawa, Timor, sunda, batak, dan lainnya, Mereka mendiami kawasan ulayat marga setempat di lima

Satuan Pemukiman (SP) 1/2/3/4/5. Kondisi sekarang ini sebagian SP tersebut masih berdiri di sekitar

kawasan tersebut, kecuali SP 4 yang sebagian besar penghuninya meninggalkan lokasi karena alasan

buruknya sarana jalan yang membuat hasil pertanian tidak bisa dipasarkan.

Masa Reformasi dan Otonomi Khusus

Pada tahun 2004 berdiri perusahan sawit PT. HIP yang mengambil lahan bekas HPH PT. Intim Pura yang

telah berhenti beroperasi sejak tahun 2000. Keberadaannya kemudian disertai pelepasan hak ulayat

beberapa marga dari kelompok suku Mooi To yang hidup di sekitar kawasan yang meliputi tiga distrik:

Klamono, Sayosa, dan Klayili, Aktivitas pembukaan lahan sawit tersebut disertai relokasi atau

pemindahan (pemekaran) beberapa kelompok marga ke tempat baru. Marga Gisim dan Malak yang dulu

menetap di sekitar Klamono/Klawana berpindah ke lokasi konsesi yang ditampung di barak bernama

divisi 6 yang disertai pemberian mekanisme sawit ‘plasma’ kepadanya. Sementara marga Gilik dan

Klasidin direlokasi ke tempat baru bernama Malalilis yang juga diberikan sawit plasma. Realisasi

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 49: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

49

pemberian sawit plasma tersebut belum diwujudkan perusahaan dan untuk member mereka

penghasilan maka perusahaan member mereka gaji tetap untuk mengerjakan pekerjaan perawatan

sawit inti yang telah ditanam oleh perusahaan.

Relokasi marga tersebut ditanggapi oleh marga lainnya dengan sikap hati-hati, karena mereka

belum merasa yakin tentang masa depan mereka, Pilihan Marga Gisim (Darat)) yang pindah ke divisi 6

oleh marga lain ibarat ‘kelinci percobaan’ yang sedang dipantau dan diamati hasilnya, Bila berhasil dan

terbukti marga Gisim mampu memperbaiki kehidupannya maka skema plasma tentu akan diikuti oleh

marga lainnya, namun jika gagal maka tawaran tersebut sudah tentu akan ditolak. Kasus pemalangan

jalan oleh Marga Gisim yang direlokasi di divisi 6 karena persoalan ketidak puasan terhadap ‘pelayanan’

perusahaan pada akhir-akhir ini sepertinya menjadi pembenaran pihak yang ragu akan skema plasma

tersebut.

Perkebunan sawit yang belum berproduksi karena belum rampungnya pabrik pengolahan hasil

panenan sawit membuat keuntungan yang dijanjikan belum nampak terbukti dimata Marga yang lain.

Sementara gaji atau upah yang selama ini diterima warga yang terlibat di perkebunan sawit oleh

beberapa pihak dipandang tidak mencukupi, “bayangkan mas, gaji mereka sekitar 1,4 juta bagi yang

tetap, atau sekitar 30 ribu perharinya, mana cukup? Belum kondisi panas di kebun sawit, itu bikin kami

tidak tertarik” Tutur seorang informan dari Marga Marin Gofok. Ditambahkan oleh informan tersebut

bila mereka ikut kerja di tempat lain, misalnya di proyek bangunan, maka gajinya lebih besar, meskipun

pekerjaan itu tidak selalu ada, :kerja di proyek kita bisa dapat 70 ribu per hari” Ujarnya lagi,

Proses pelepasan yang terjadi, terlepas dari kesepakatan dengan dengan marga pemilik ulayat,

di konteks HIP juga terdapat sedikit tekanan kepada pihak pemilik ulayat. Seoramg informan dari

Maladofok mengatakan bahwa ketika kesepakatan pelepasan dilakukan maka pihak perusahaan dengan

pemerintah setempat menyebut bahwa dibukanya sawit demi pembangunan dan kesejahteraan, dan

alasan itu tak mungkin ditolak. “karena itu tadi, waktu kami bikin kesepakatan di sebuah hotel,

pemerintah dengan perusahaan menyebut ini demi pembangunan dan kesejahteraan, mana bisa kami

tolak bapak, padahal kami belum paham sekali bagaimana itu kerjanya” demikian tuturannya.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 50: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

50

Lampiran 14. Pelanggaran Hak ulayat

Hak ulayat bersifat komunal, dimiliki, dikuasai, dan dimanfaatkan bersama oleh seluruh anggota marga

dan bisa diakses oleh marga lain. Peralihan hak kepemilikana melalui pewarisan meskipun tidak untuk

dimiliki secara individual. Masyarakat tidak mengenal peralihan hak kepemilikan kepada pihak luar

(menjual). Namun seiring berjalannya waktu, perubahan disekitar warga, kontak-kontak budaya,

masuknya ekonomi uang, percepatan pembangunan di sekitar wilayah ulayat – membuat masyarakat

kini mulai mengenal dan dintroduksikan dengan Sertifikat Hak Milik Tanah Pribadi di atas tanah ulayat

yang bersifat komunal, yang ditenggarai sebagai bentuk legalitas formal.

Dalam konteks masa sekarang, di wilayah kajian, perubahan mengenai status legal tanah privat

diatas tanah komunal, maka terdapat kasus berikut. Pertama adalah terdapatnya fenomena pelepasan

tanah yang merupakan upaya pengakuan dari pihak pembeli kepada marga pemilik ulayat atas hak milik

mereka. Pelepasan ini dikenal juga dengan istilah ‘sirih pinang’ dan biasanya pada tahap ini disertai

dengan uang pembayaran. Tahap kedua adalah pelepasan ini akan disahkan oleh Lembaga Masyarakat

Adat (LMA) sebelum akhirnya pada tahap terakhir pengesahan dilakukan di Badan Pertanahan Nasional

(BPN) dengan dikeluarkan produk akhir berupa sertifikat hak milik pada pemilik yang baru. Pada semua

tahapan biasanya diikuti ongkos-ongkos yang menyertainya. Sedangkan untuk besaran dan mekanisme

pembayaran tidak selalu sesuai berdasarkan tahapan melainkan dilakukan sesuai kesepakatan diawal.

Pelepasan tanah masih menggunakan tata cara atau aturan adat yang berlaku, yaitu pertama membayar

uang pelepasan atau uang ‘sirih pinang’ untuk melaksanakan upacara adat20 baru kemudian baru disusul

dengan pembayaran ganti rugi (substansi nilai tanah) yang penetapannya dilakukan dengan cara

musyawarah.

Pada marga-marga yang terdapat di wilayah kajian ini tidak ada pemimpin yang mewakili marga,

semua anggota marga memiliki hak di sini dan harus dilibatkan dalam suatu masalah dan keputusan.

Mekanisme yang umum ditempuh adalah melalui musyawarah marga, yang hasilnya disampaikan oleh

juru bicaranya. Biasanya jurubicara adalah kakak tertua atau orang-orang tertentu yang memiliki

kemampuan berbicara dan negosiasi.

Bagi pendatang yang pernah membeli tanah dari pemilik marga, sistem sertifikasi jauh lebih

membantu mereka mendapatkan kepastian hukum. Selama ini untuk urusan legalitas peralihan hak

milik dibantu oleh LMA yang dilegitimasi oleh pemerintah untuk mengurusi urusan administrasi terkait

ulayat ini. Seorang informan pendatang yang ditemui mengatakan sertifikasi cukup membantunya

20

Pembeli tanah dari luar pendatang selama ini menyebut pembayaran ini sebagai uang muka

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 51: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

51

antara lain seperti yang dituturkan oleh sorang mantri kesehatan di Kampung Klawana,: “Sekarang enak.

Lebih jelas. Sertifikat tanah harus disertai surat pelepasan dari pemilikk ulayat yang di stempel LMA

maka syah sertifikat kita. Tanpa disertai surat pelepasan yang di stempel LMA sertifikat kita tidak syah”

Kasus jual beli ulayat lain yang pernah ada juga terjadi antara Marga Osok dan Fadan yang

‘resmi menjual’ tanah ulayat-nya kepada PEMDA Sorong. Kedua marga mendapatkan uang ganti rugi

setelah memenangkan tuntutan ganti rugi tanah ulayat mereka yang dipakai untuk daerah transmigrasi.

Kasus lain juga terjadi pada marga Klawom telah ‘menjual putus’ tanah ulayatnya untuk dipergunakan

sebagai kebun kelapa sawit PT. HIP.

Pelanggaran atas Kesepakatan.

Dalam kebiasaan adat suku moi khususnya marga-marga di daerah kajian, transaksi telah

menjadi bagian penting yang diikuti oleh proses negosiasi. Bahkan tidak hanya dalam konteks

perdagangan negosiasi dilakukan juga dalam konteks denda adat. Kesepakatan dianggap juga sebagai

perjanjian yang harus dipenuhi, jika tidak dipenuhi maka akan ada konsekuensi yang mengikutinya yaitu

denda. Sehingga dalam suatu perkara pelanggaran adat atau perjanjian pembayaran denda harus dilihat

sebagai komponen yang berbeda dengan substansi tuntutan. Sebagai contoh kasus seorang laki-laki

yang telat membayar cicilan mas kawin kepada keluarga perempuan (mertua) maka pembayaran cicilan

tetap harus dilakukan ditambah dengan denda karena telat membayar.

Pada kasus tuntutan akan diajukan, biasanya masyarakat setempat mengekspresikannya melalui

pemalangan-pemalangan. Pemalangan, biasanya menggunakan bambu tui, adalah simbol perdamaian

yang mengkomunikasikan tuntutan atas pelanggaran perjanjian yang terjadi. Sehingga jika hal ini terjadi

tahapan yang harus dilalui adalah pembayaran membuka palang terlebih dahulu yang berbeda dengan

subtansi tuntutan itu sendiri. Penetapan besaran pembayaran pembukaan palang tetap melalui proses

negosisasi.

Konflik pemanfaatan lahan.

Beberapa konflik pernah terjadi terkait dengan pemanfaatan dan status lahan ulayat. Biasanya

konflik-konflik tersebut karena persoalan batas wilayah dan klaim lahan. Beberapa kasus konflik yang

pernah terjadi antara lain marga Mamaringofok dengan marga Osok. Kasus ini mempersoalkan klaim

kepemilikan lahan transmigrasi local (translok) yang semula dinyatakan oleh marga Osok sebagai

miliknya. Pada saat itu kepala desa di desa Klamono dikepalai oleh seorang dari marga Osok. Kemudian

marga Mamaringofok datang mengklaim tanah translok adalah masih termasuk wilayah ulayat

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 52: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

52

marganya. Hasil akhirnya marga Osok kalah di pengadilan dan tanah dimiliki oleh Mamaringofok. Akibat

dari keputusan ini beberapa rumah tangga di translok harus membayar uang pelepasan lagi kepada

pemenang klaim yang baru, padahal sebelumnya mereka telah membayar uang pelepasan kepada

marga Osok.

Konflik lahan lain adalah masalah batas ulayat yang diklaim antara marga Mamaringofok dengan

marga Idik pada kasus penggunaan lahan untuk perkebunan sawit PT HIP. Menurut beberapa pihak

yang ditemui, kasus antara kedua marga terjadi karena beberapa sebab, yang pertama karena

keterputusan sejarah antar generasi sehingga tidak lagi diketahui dengan pasti batas-batas ulayat

masing-masing marga. Kedua, permasalahan bertambah panjang karena adanya pertemuan-pertemuan

ekslusif dari perusahaan ke masing-masing marga yang menyebabkan kecurigaan dari marga lainnya.

Selama ini dalam penyelesaian sengketa lahan antar marga, beberapa pihak telah membantu untuk

menyelesaikan seperti kepala desa, distrik dan juga lembaga adat malalmoy. Hingga kini kasus sengketa

lahan dianggap selesai dengan mengacu pada wilayah-wilayah yang memang dimanfaatkan secara

bersama antar kedua marga melalui pranata makan bersama.

Memang dalam sejarahnya, menurut beberapa warga, kedua marga ini pernah menjalin

hubungan lewat makan bersama. Sehingga diduga pula permasalahan klaim lahan antar kedua marga

masih terkait pada wilayah-wilayah makan bersama pendahulu mereka sehingga tidak lagi jelas

kepemilikannya. Ada referensi tertulis yang juga mencatat lahan kedua marga juga pernah dimanfaatkan

sejak tahun 1930an untuk eksplorasi minyak dan gas oleh pihak Belanda.

Ingatan Kolektif (komunal) vs Sertifikasi Formal Atas Lahan Ulayat (Privat)

Seperti sudah di singgung, mengenai sifat penguasaan kawasan ulayat, yang ditandai oleh marga

dengan batas alam melalui ingatan kolektif. Maka terdapat kelemahan dalam intepretasi anggota

pemilik ulayat ketika hal tersebut dituturkan secara lisan dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi.

Ada kemungkinan terjadi reduksi atau kekaburan atas batasan tersebut karena setiap pencerita dan

penerima cerita memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam menangkap secara utuh batasan tersebut.

Atau terjadi perubahan-perubahan fisik alam itu sendiri, yang membuat batas menjadi ‘kabur’ atau

‘hilang’ atau berubah yang mebuat batasan ulayat sulit dikenali.

Dipihak lain, maka pelepasan hak ulayat dalam persepsi formal, seperti yang disyaratkan dalam

persoalan pelepasan ulayat untuk perkebunan sawit, menginginkan batas tersebut bisa dijustifikasi dan

diklarifikasi secara tegas dan jelas lewat surat sertifikasi orang per orang. Persoalannya adalah:

bagaimana individu-individu tersebut menandai setiap batasan hak ulayat komunal mereka dalam

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 53: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

53

memori mereka? Bagaimana individu dalam intra membagi petak demi petak yang menjadi ulayat

mereka? Bagaimana dengan keberadaan pihak lain yang mungkin merasa memiliki ‘tanam tumbuh’

diatas ulayat tersebut karena konsekuensi makan bersama? Bagaimana komunalitas dari sifat hak

ulayat bisa diselaraskan dengan kepemilikan privat atas lahan? Ini adalah serangkaian pertanyaan yang

perlu dicermati lebih jauh untuk memahami dinamika agraria di wilayah sekitar PT HIP.

Proses Pelepasan Ulayat Versi Marga Galus di Maladofok

Seorang Informan dari Marga Fadan dan Galus menyebutkan bahwa dalam proses pelepasan

ulayat marga kepada PT HIP dalam prosesnya tidak memberi ruang untuk bernegosiasi. Seorang

informan dari Maladofok mengatakan bahwa dirinya merasa sungkan dan tidak berani mengkritisi

kesepakatan pelepasan mengingat dirinya berada di tempat yang tidak menyamankan dirinya.

:bayangkan bapak waktu itu kami diinapkan di hotel, ada tentara dan pihak pemerintah, yang

mengatakan bahwa tujuan sawit itu untuk pembangunan dan kesejahteraan, bagaimana kami bisa tidak

setuju?” ujarnya. Sementara informan dari marga fadan mengatakan bahwa pada proses pelepasan itu

tidak memfasilitasi semua suara anggota marga, karena pada akhirnya lobby-lobby dilakukan oleh

individu-individu dan dianggap oleh perusahaan merupakan representasi suara marga. “Seharusnya

perusahaan itu selidik, siapa itu orangnya yang mengaku dari marga, kan belum tentu itu orang disetujui

marganya” tuturnya.

Skema Kebun Plasma dan Perspektif Warga

Menurut salah seorang informan marga yang melepas ulayatnya untuk dibuka sawit plasma,

maka beberapa hal mengenai aturan plasma tersebut tidak masuk di akalnya. Salah seorang informan

dari marga yang melepas tanah ulayat seluas 5000 hektar yang akan dikonpensasi dengan 28 hektar

sawit plasma yang menjadi miliknya, maka hal tersebut menurut beliau tidak masuk di akal seluruh

anggota marganya. Menurutnya yang diserahkan kepada perusahaan adalah lahan milik marganya, lalu

kenapa kemudian ‘janji kesejahteraan’ tidak segera diwujudkan atau tidak dipenuhi, padahal katanya

perusahaan dapat ‘inti’ seluas 4952 hektar (dikurang 48 hektar sawit plasma buat marga penyerah

ulayat). “itu tanah-tanah kami, kami dapat hanya 28 hektar plasma (dari 5000 hektar yang dilepas),

wajar kami minta janji (kesejahteraan dan rumah) mereka penuhi, itu tanah kami, kami tidak meminta

mereka datang kemari”, tuturnya. Beberapa keheranan juga muncul atas konsekuensi utang dari adanya

sawit plasma, menurut mereka justru perusahaan yang dapat untung lebih banyak atas lahan yang

mereka lepas, lalu kenapa mereka kemudian akan dikenai utang atas sawit plasma yang akan mereka

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 54: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

54

terima,”coba dari 5000 yang kami lepas, kami hanya dapat 48 hektar plasma, kemana sisanya,

perusahaan dapat inti, dan itu tak mungkin kalau kami tidak beri mereka lahan”.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 55: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

55

Lampiran 15. Gaya Hidup Relung Berburu Meramu dan Perkebunan Sawit

Dalam tradisi berburu dan meramu yang dipadukan dengan pertanian sederhana dengan membuka

kebun, waktu kerja itu tidak didasarkan pada jam abstraks (jarum jam) seperti pengaturan hari kerja di

perusahaan. Bagi mereka waktu kerja itu, saat berangkat ke kebun, ke hutan untuk berburu, atau

hendak menokok sagu, maka waktu yang mereka pakai adalah waktu yang didasarkan pada ‘kedaulatan’

diri mereka atau menyesuaikan dengan kondisi alam. Dibahasakan oleh mereka dengan mengatakan

bahwa kapan mereka berangkat atau kapan mereka menyelesaikan (menganggap selesai suatu kerja)

adalah kehendak sendiri atau oleh sebab-sebab dari faktor alam. “kalau kami mengantuk kami tidak ke

kebun, hujan seharian kami tidak kerja pula seharian, kalau kami cape berhentilah kami kerja” Tuturnya.

Anggapan mereka bila kerja di sawitan maka kehendaknya dan kebebasan tersebut mungkin

sulit lagi mereka dapat. “Itu saya lihat mereka yang kerja di sawit, harus kerja dari jam segini, pulang

jam segini, diatur perusahaan, buat kami itu tidak cocok,” Ujarnya. Juga mengenai cara-cara mengolah

sawit, kata beberapa informan amat berbeda dengan cara mereka menanam di kebun, “Di kebun itu,

kami tanam, terus kami tinggalkan itu tanaman tumbuh, dan kami bisa bisa mengerjakan yang lain,

urusan kami kan banyak” tuturnya lagi. Menurut mereka, berdasarkan informasi selintas yang mereka

dapatkan, sawit tidak akan tumbuh kalau tidak dirawat dengan rajin,” butuh waktu lama untuk bisa

terbiasa, dan itu pula bapak, di kebun sawit panas sekali, kami pernah itu jalan ke sana, sebentar saja

sudah berasap itu kepala, panas bapak”

Seperti tuturan kepala Marga Gisim (Yerry Gisim) tanah Ulayat yang mereka serahkan kepada PT

HIP seluas 5000 Hektar. Dari keseluruhan penyerahan lahan tersebut PT HIP akan memberikan 28 hektar

lahan sawit plasma kepada marganya. Atas kesepakatan serah terima tersebut maka Marga Gisim Darat

dijanjikan dibangunkan rumah permanen yang akan diberikan dalam jangka waktu tertentu, dan

sebelum rumah tersebut dibangun maka semua kepala keluarga dari marga Gisim darta saat ini tinggal

di Barak yang berada di lokasi kebun di area divisi enam. Ada beberapa persoalan yang muncul

menyangkut perjanjian penyerahan lahan ulayat kepada PT HIP : Pertama adalah menyangkut jenis

perumahan dan juimlah rumah yang dibangun. Gisim Darat meminta rumah tersebut adalah jenis

permanen, sementara PT HIP hanya akan membangun rumah dari bahan kayu. Lalu menyangkut jumlah

rumah yang akan dibangun maka Gisim darat meminta semua kepala keluarga dari Marga Gisim Darat

(15 KK) harus mendapatkan rumah sementara PT HIP hanya akan membangunkan rumah untuk 4 KK

saja.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012

Page 56: LP 2012 2-Asesmen sosial.pdf

56

Ke dua menyangkut keadaan barak tempat tinggal warga Gisim, yang menurut informan

kondisinya amat tidak nyaman; barak yang saling berdempet dan sempit. Kondisi tersebut membuat

privacy-nya amat terganggu karena kegaduhan di sekitar. Menyangkut sempitnya ruang di tiap barak

membuat satu keluarga harus membagi ruang tamu menjadi ruang tidur.

Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012