Limfoma Pada Kepala Dan Leher Diagnosis Dan Manajemen Terkini

Embed Size (px)

Citation preview

LIMFOMA PADA KEPALA DAN LEHER: DIAGNOSIS DAN MANAJEMEN TERKINI Maria A. Rodriguez PENDAHULUAN Limfoma merupakan sekelompok kelainan limfoproliferatif yang heterogen, yang secara luas disubklasifikasikan menjadi limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin.1 Dalam sistem klasifikasi saat ini, limfoma non-Hodgkin lebih lanjut disubkategorikan menjadi penyakit sel B dan penyakit sel T. Penyakit ini paling sering muncul disertai limfadenopati dan sering melibatkan daerah kepala dan leher. Limfoma Hodgkin sangat jarang dijumpai dengan penyakit ekstranodul, sedangkan limfoma non-Hodgkin mungkin dijumpai dengan massa ekstranodul sebagai gejala utama. Saluran gastrointestinal (GI) adalah tempat yang paling sering terjadi penyakit ekstranodul, diikuti oleh organ non limfatik lain di daerah kepala dan leher. Limfoma, secara keseluruhan, keduanya kemosensitif dan radiosensitif sehingga keduanya merupakan keganasan yang dapat disembuhkan. Membedakan limfoma dengan karsinoma dan keganasan lain merupakan hal penting dalam perencanaan terapi. Tujuan bab ini adalah untuk meninjau gejala klinis, metode diagnostik, derajat penyakit, dan terapi pada kelompok penyakit ini dengan menekankan pada terapi pasien dengan gejala melibatkan kelenjar getah bening lokal atau penyakit ekstranodul di daerah kepala dan leher. MANIFESTASI KLINIS Limfoma paling sering muncul sebagai massa nodul yang tidak nyeri. Massa ini bisa menjadi nyeri jika tingkat pertumbuhan limfoma cepat, sehingga menyebabkan nekrosis sentral kelenjar getah bening. Hal ini paling sering terlihat pada limfoma Burkitt atau limfoma limfoblastik dan terkadang merupakan

1

manifestasi dari limfoma sel besar yang agresif. Penyakit Hodgkin jarang bermanifestasi pada ekstranodul di kepala dan leher (Tabel 26-1). Limfoma nonHodgkin sering dijumpai dengan penyakit ekstranodul di cincin Waldeyer. 2 Tonsil dan nasofaring adalah tempat yang paling sering terlibat. Gejala yang berhubungan dengan penyakit ini diantaranya, nyeri tenggorokan, sensasi mengganjal, disfagia, dan gangguan pendengaran akibat sekunder dari otitis media. Pasien dengan manifestasi penyakit pada rongga hidung dan sinus paranasal, yang merupakan tempat ekstranodul kedua yang paling umum di daerah kepala dan leher, dapat muncul gejala dan tanda-tanda obstruksi hidung, sinusitis, drainase disertai darah, atau nyeri. Tempat yang jarang terlibat diantaranya kelenjar tiroid, orbital, dan kelenjar parotis. Gejala sistemik klasik dari limfoma diantaranya, demam, keringat malam, dan penurunan berat badan, tetapi relatif sedikit pasien dengan manifestasi lokal di kepala dan leher muncul gejala-gejala konstitusional tersebut. TABEL 26-1 Manifestasi Klinis Limfoma Hodgkin Kelenjar getah bening yang terlibat Penyakit ekstranodul jarang terjadi Non-Hodgkin Kelenjar getah bening tidak Penyakit ekstra nodul sering terjadi, termasuk saluran gastrointestinal, cincin Waldeyer, testis, sumsum tulang, dan hepar Penyakit nodul lokal atau berdekatan sering terjadi Penyakit nodul lokal jarang terjadi

memiliki pola anatomi yang berdekatan berdekatan

KLASIFIKASI IMUNOHISTOLOGI Limfoma saat ini diklasifikasikan oleh sistem WHO yang diakui secara internasional, yang berasal dari klasifikasi keganasan Revised EuropeanAmerican Lymphoid (REAL). Sistem klasifikasi ini membagi limfoma menjadi 2

tiga kategori: (1) Limfoma Hodgkin, (2) Penyakit sel B, dan (3) Penyakit sel T (Tabel 26-2). TABEL 26-2 Klasifikasi Revised European-American Lymphoma (REAL) Neoplasma Sel B I. Prekursor neoplasma sel B: Prekursor leukemia limfoblastik B atau limfoma II. Neoplasma sel B perifer 1. Leukimia limfositik kronik sel B atau leukimia prolimfositik atau leukimia limfositik sel kecil 2. Limfoma limfoplasmatosit atau imunositoma 3. Limfoma sel mantle 4. Limfoma folikuler tengah: derajat folikuler provisional: 1, sel kecil; 2, campuran; 3, sel besar; subtipe provisional: difus, tipe predominan sel kecil 5. Limfoma sel B zona marginal, ekstranodul (MALT tipe monositoid sel B), nodul subtipe provisional (monositoid sel B), 6. Entitas Provisional: limfoma splenic zona marginal (limfosit villous) 7. Leukemia sel rambut 8. Plasmasitoma atau myeloma sel plasma 9. Difus, Limfoma subtipe sel B besar: Limfoma sel B zona Primer di mediastinal 10. 11. Limfoma Burkitt Entitas Provisional: Limfoma sel B derajat tinggi, mirip Burkitt

Neoplasma Sel T dan Sel NK Putatif I. Prekursor neoplasma sel T: Prekursor limfoma limfoblastik B atau leukemia II. Neoplasma sel T perifer dan sel NK 1. Leukimia limfositik kronik sel T atau leukimia prolimfositik 2. Leukimia limfositik granular besar: tipe sel T, tipe sel NK 3. Mycosis fungoides or Sindrom Sezary 4. Limfoma sel T perifer, tidak spesifik 5. Limfoma sel T Angioimunoblastik

3

6. Limfoma Angiocentric 7. Limfoma sel T Intestinal (terkait enteropathy) 8. Leukimia sel T dewasa atau Limfoma 9. Limfoma sel besar Anaplastik, CD30+, tipe sel T and sel null 10. Entitas Provisional: Limfoma sel besar Anaplastik, mirip Hodgkin

Penyakit Hodgkin I. Limfosit predominan II. Sklerosis Nodular III. Selularitas Campuran IV. Deplesi Limfosit V. Entitas Provisional: Hodgkin's disease klasik kaya limfosit Limfoma Non-Hodgkin yang secara klinis agresif MALT: mucosa-associated lymphoid tissue; NK: natural killer. Limfoma Hodgkin Limfoma Hodgkin sekarang dikenal sebagai penyakit limfosit B, meskipun secara subkategori terpisah karena immunohistologi yang unik dan gejala klinisnya. Histologi limfoma Hodgkin secara klasik menunjukkan tanda reaksi pleomorfik limfoproliferatif, termasuk penampilannya yang berbeda dari penampilan limfoma non-Hodgkin yang lebih monomorfik.3 Bukti untuk histogenesis penyakit ini berasal dari data sitogenetik dan genetik molekuler yang menunjukkan penyusunan ulang gen imunoglobulin pada isolat yang diperkaya sel ReedSternberg dari biopsi kelenjar getah bening.4,5 Sitogenetik sering menunjukkan kelainan pada kromosom 14, kromosom yang (1) berisi gen rantai berat imunoglobulin dan (2) paling sering terangkai-ulang pada limfoma non-Hodgkin sel B.6,7 Pola ekspresi antigen permukaan pada penyakit Hodgkin, bagaimanapun berbeda dari penyakit sel B, dengan satu pengecualian. Perilaku dan ekspresi fenotipik penyakit Hodgkin limfosit-predominan mirip dengan penyakit sel-B indolen.

4

Limfoma non-Hodgkin: Penyakit Sel B dan Penyakit Sel T Histologi Limfoma dideskripsikan berdasarkan dua fitur utama histologi dari jaringan limfoid: (1) pola arsitektur -kelenjar getah bening mungkin mempertahankan pola folikuler dari folikel limfoma normal, atau pola ini mungkin tergantikan seluruhnya dengan limfosit ganas terlihat pada pola difus, dan (2) jenis sel limfosit mungkin terdiri dari berbagai ukuran dari ukuran kecil sampai besar, atau sel dapat campur; juga mungkin menunjukkan karakteristik inti tertentu yang dapat dideskripsikan sebagai cleaved or noncleaved (terbelah atau tidak terbelah), dengan berbagai derajat kepadatan kromatin. Imunokimia Limfoma yang paling umum berasal dari sel B, sekitar 75% sampai 80% dari semua limfoma. Limfoma sel T sekitar 10% sampai 15%, dan limfoma Hodgkin tercatat kurang dari 10% dari semua limfoma, penanda imunohistokimia yang membantu dalam diagnosis dari limfoma sel B termasuk ekspresi rantai ringan kappa atau lambda pada permukaan sel atau di sitoplasma, ekspresi rantai berat di sitoplasma, dan ekspresi penanda pan sel B pada permukaan sel (Tabel 26-3). Limfoma sel T mengekspresikan baik penanda antigen sel T matur, seperti antigen T-helper atau T-supresor, atau penanda diferensiasi sel T. TABEL 26-3 Profil Imunofenotipik dari Beberapa Limfoma yang Umum CD2 CD CD CD2 0 B CLL/small lymphocytic Mantle cell Follicular + + + 5 + + 3 3 + CD1 0 + FM C7 + CD3 0 Leu ML -

5

Immunocytoma Marginal zone T-cell "B" large cell Hodgkin's jarang (+).

+ + + -

+ - -

-

+/-

+/-

+ + -

+

+

+ -

-

B CLL: B-cell chronic lymphocytic leukemia. Perilaku Klinis: Indolen Versus Agresif Baik limfoma sel B dan sel T dapat berupa indolen atau agresif pada perilaku mereka. Definisi indolen dan agresif berdasarkan pada kelangsungan hidup yang diharapkan pada pasien selama 5 tahun. Anggota dari sebuah kelompok studi internasional melihat frekuensi berbagai subtipe limfoma sesuai dengan klasifikasi REAL dan serangkaian klinis.8 Ditunjuk dua kelompok sesuai untuk kelangsungan hidup. Limfoma indolen memiliki 50% atau lebih harapan hidup 5 tahun, dan limfoma agresif memiliki kurang dari 50% tingkat kelangsungan hidup. Meskipun limfoma indolen diantisipasi untuk memiliki rata-rata hidup terpanjang, mereka hampir sama semua, kecuali terbatas pada stadium lokal penyakit di daerah kelenjar getah bening. Remisi mudah diperoleh dengan sejumlah modalitas kemoterapi dan imunoterapeutik. Namun, limfoma indolen cenderung berulang sampai mereka menjadi benar-benar refrakter terhadap terapi dan pada akhirnya berakibat fatal. Limfoma agresif, di sisi lain, potensial dapat disembuhkan dengan kemoterapi, meskipun fraksi harapan pasien sembuh bervariasi tergantung pada tahap penyakit pada presentasi dan skor risiko pasien. Sistem skor risiko yang paling luas diakui adalah Indeks Prognosis Internasional (International Prognostic Index), yang memperhitungkan terutama fitur klinis penyakit (Tabel 26-4).8 Sebuah bukti besar, bagaimanapun, menunjukkan bahwa banyak faktorfaktor biologis lainnya memainkan peran dalam perilaku limfoma, meskipun saat 6

ini tidak dimasukkan ke dalam suatu sistem prognosis risiko formal. Limfoma sel T secara umum mungkin memiliki prognosis yang lebih buruk dari limfoma sel B.10-12 TABEL 26-4 Rata-Rata Harapan Hidup 5 Tahun (%) berdasarkan International Prognostic Index Risk Kelompok Resiko Jumlah Faktor Resiko* Low Low intermediate High intermediate High 0 or 1 2 3 4 or 5 Seluruh Pasien (n = 2031) 73 51 43 26 83 69 46 32 56 44 37 21 Usia < 60 Usia > 60

* Satu poin resiko diberikan pada masing-masing faktor pada saat presentasi: Usia > 60 years; lactate dehydrogenase > normal; Ann Arbor staged III/IV; pasien tidak dapat bergerak secara penuh (Eastern Cooperative Oncology Group performance status 2 atau lebih); 2 atau lebih situs ekstranodul dari penyakit. ETIOLOGI Etiologi yang mendasari limfoma seperti kebanyakan keganasan yaitu tidak diketahui. Namun, sejumlah faktor dapat dikaitkan dengan penyakit ini. Paparan racun lingkungan tertentu atau iradiasi misalnya, mungkin terlibat. Paparan berbagai zat organik, seperti asam fenoksi, chlorophenols, dioxin, dan benzenes, telah ditemukan memiliki beberapa korelasi dengan peningkatan kejadian limfoma.13,14 Pekerjaan yang terpapar agen ini dapat terkait lebih tinggi dari normal risiko untuk limfoma, ini termasuk industri perkayuan, agrikultur, karet dan petrokimia, dan pekerjaan dry cleaning. Orang-orang yang selamat dari ledakan nuklir Nagasaki dan Hiroshima telah dipelajari untuk efek kesehatan jangka panjang irradiasi. Limfoma terjadi pada laju yang meningkat, tetapi usia onset lebih lambat daripada leukemia, dengan 7

waktu rata-rata onset untuk limfoma sekitar 20 tahun setelah paparan.15 Data dari peserta pada uji nuklir "Smoky" AS menunjukkan tidak ada peningkatan yang signifikan dalam risiko untuk limfoma, meskipun satu studi pada keluarga Mormon yang tinggal di dekat lokasi pengujian Nevada telah mengungkapkan sedikit peningkatan yang signifikan dalam kejadian limfoma.16,17 Selain faktor lingkungan, infeksi dapat menyebabkan atau mempengaruhi penderita mengalami limfoma. Salah satu infeksi bakteri yang tampaknya berkaitan dengan limfoma adalah yang disebabkan oleh bakteri Helicobacter pylori, yang terkait dengan limfoma mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) dalam perut.18 Virus Epstein-Barr (EBV) telah terlibat dalam pengembangan limfoma sel B pada penderita immunosuppressed dan telah terlibat dalam beberapa pasien dengan penyakit Hodgkin atau limfoma Burkitt. Pasien imunosupresi yang mengalami peningkatan insiden limfoma termasuk penerima transplantasi organ yang menerima terapi imunosupresif berkepanjangan, individu dengan sindrom imunodefisiensi gabungan kongenital, dan mereka yang mengidap acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).19-25 EBV adalah virus tropik limfosit B yang menyebabkan limfosit yang terinfeksi imortal. Dalam host normal, sistem kekebalan tubuh mengontrol dan memeriksa pertumbuhan dan proliferasi pool limfosit B yang terinfeksi. Jika limfosit T sistem imun terganggu, seperti yang terjadi pada kondisi imunosupresi yang dibahas sebelumnya, proliferasi limfosit B tidak terkontrol, dan akan bermanifestasi klinis limfadenopati yang tampak poliklonal tapi akhirnya menjadi monoklonal sebagai salah satu klon limfosit B yang menjadi ganas dalam perilaku.22 EBV awalnya terisolasi, pada kenyataannya, dari limfoma anak-anak Afrika yang memiliki presentasi klinis yang berbeda dari suatu massa pada rahang dan penampilan histologis berbeda.23 Awalnya dijelaskan oleh Burkitt, limfoma ini sekarang dikenal berasal dari sel B. Di Amerika Serikat, bagaimanapun, mayoritas kasus limfoma Burkitt, dan memang sebagian besar kasus, limfoma sel B selain situasi immunocompromised dijelaskan di sini, tidak bermanifestasi konsisten adanya EBV dalam sel tumor. Limfoma subtipe sel T / sel natural killer (NK)

8

pada rongga hidung, di sisi lain, hampir selalu positif untuk EBV.24-26 Pada manusia, virus yang hanya telah jelas terbukti menjadi agen penyebab limfoma adalah retrovirus yang disebut humans T-cell lymphotropic virus (HTLV-I).27 Virus ini menyebabkan keganasan limfosit T yang dapat menjadi agresif dan fatal. Entitas ini jarang terjadi di Amerika Serikat tetapi umum di Jepang, dan muncul dengan leukemia dan penyakit limfomatous.28 Virus HTLV-I, yang semula diisolasi dari pasien di Amerika Serikat, adalah sebuah retrovirus RNA unik untuk manusia.29 Akhirnya, mekanisme yang tidak diketahui lainnya tentang kekebalan alami mungkin mendasari timbulnya limfoma. Sebuah insiden peningkatan limfoma non-Hodgkin telah dicatat dalam penyakit gangguan imunitas, seperti rheumatoid arthritis, penyakit celiac, dan sindrom Sjogren. Limfoma tiroid timbul paling sering pada pasien dengan riwayat tiroiditis Hashimoto atau dengan temuan histologis tiroiditis Hashimoto pada diagnosis limfoma. Apakah virus juga memainkan peran dalam limfoma sekunder pada penyakit ini adalah masih tidak diketahui.30-34 EPIDEMIOLOGI Deskripsi epidemiologi dalam bagian ini mengacu pada penduduk di Amerika Serikat. Insiden limfoma telah meningkat selama 5 dekade terakhir.35 Meskipun limfoma mencapai kurang dari 10% dari semua malignansi, mereka memiliki pengaruh yang signifikan pada perawatan kesehatan bahwa mereka adalah salah satu penyebab utama kematian kanker pada orang dewasa dan dewasa muda. Limfoma Hodgkin memiliki kurva kejadian bimodal, lebar puncak pertama terjadi pada remaja sampai orang dewasa muda, dan puncak kedua dicatat di usia pertengahan dewasa (50 sampai 60 tahun). Ada frekuensi yang lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. Insiden limfoma non-Hodgkin meningkat terus dengan usia.36 Distribusi histologis cenderung menjadi agresif (grade tinggi,

9

seperti limfoblastik dan jenis Burkitt) pada anak-anak dan remaja, tapi limfoma indolen tingkat rendah cenderung lebih sering di antara lanjut usia dewasa (60 sampai 80 tahun). Sebuah kejadian yang sedikit lebih tinggi telah dilaporkan di antara laki-laki dengan perempuan. Usia rata-rata yang dilaporkan untuk penyakit Hodgkin adalah 32 tahun, dan untuk limfoma non-Hodgkin 42 tahun, sehingga mengarah ke peringkat keempat limfoma sebagai total tahun orang hidup yang hilang di antara semua kematian akibat kanker di Amerika Serikat. EVALUASI DIAGNOSTIK Aspirasi Jarum Halus Ketika seorang pasien muncul dengan lesi di daerah kepala dan leher yang diduga menjadi limfoma, aspirasi jarum berguna dalam membedakan limfoma dari karsinoma atau proses ganas lainnya. Informasi yang dapat diperoleh dari spesimen sitologi termasuk fenotipe (B atau T), yang ditentukan baik oleh studi immunohistokimia atau studi aliran sitometrik. Selain itu, jika sampel cukup besar, studi sitogenetika dapat diperoleh dari spesimen aspirasi jarum halus, bersama dengan studi molekuler.37 Ada keterbatasan, untuk kemampuan diagnostik aspirasi jarum. Karena klasifikasi limfoma juga bergantung pada pola histologis keganasan di kelenjar getah bening, spesimen biopsi bedah diperlukan, terutama dalam diagnosis dari limfoma folikel, dan sangat penting untuk mendiagnosis limfoma Hodgkin. Aspirasi jarum halus juga dapat kehilangan diagnosis limfoma dalam kasus-kasus di mana suatu hiperplasia reaktif bersamaan dapat terjadi sebagai respon terhadap limfoma di kelenjar getah bening, atau mungkin salah menyarankan limfoma dalam kasus kondisi jinak seperti mononukleosis infeksius di mana sel individu mungkin tampak menyimpang. Biopsi Biopsi kelenjar getah bening yang representatif masih menjadi prosedur diagnostik yang optimal, untuk menegakkan diagnosis awal dan klasifikasi yang

10

tepat limfoma dan didukung oleh pedoman Comprehensive Cancer Network (NCCN).38 Seleksi optimal dan penanganan kelenjar getah bening tetap seperti yang direkomendasikan oleh Larson dan kawan-kawan.39 Dokter bedah harus memilih tempat biopsi yang representatif dari suatu penyakit. Dalam kasus di mana lebih dari satu kelenjar getah bening yang terlibat, daerah kelenjar getah bening yang paling representatif harus dipilih. Kelenjar getah bening daerah tertentu seperti daerah parotis dan daerah submandibula mungkin tidak representatif untuk keganasan karena peradangan kronis dapat terjadi di daerahdaerah tersebut. Ketika kelenjar getah bening yang tepat telah dipilih, seluruh kelenjar getah bening harus diambil dalam satu irisan dan kapsul dipertahankan utuh. Hal yang penting untuk menangani kelenjar getah bening secara lembut selama operasi untuk menghindari artefak yang hancur, yang menyulitkan diagnosis. Biopsi amandel, dasar lidah, dan nasofaring dilakukan dengan cara yang sama seperti biopsi pada karsinoma sel skuamosa. Ahli patologi juga harus diberitahu bahwa limfoma dicurigai dalam kasus ini. Penting bahwa jaringan ditempatkan dalam larutan saline dan dipindahkan secepat mungkin ke Laboratorium. Hal ini untuk mencegah dehidrasi dan distorsi dari kelenjar getah bening. Patolog bertanggung jawab untuk faktor teknis juga. Diperlukan bagian yang sangat baik dari kelenjar getah bening sehingga fitur sitologi sel individu dapat dinilai, karena karakteristik inti sel juga memainkan bagian penting dalam penentuan subklasifikasi.

Mikroskop Elektron Dalam kasus di mana limfoma mungkin anaplastik, dan diferensiasi antara limfoma, karsinoma anaplastik, dan keganasan lain tidak jelas dengan menggunakan alat diagnostik yang dibahas sebelumnya, penggunaan mikroskop elektron mungkin dapat membantu. Kehadiran desmosom membedakan limfoma dengan keganasan asal epitelial. Penemuan melanosom menegaskan diagnosis

11

melanoma, dan identifikasi granul neuroendokrin menyingkirkan diagnosis limfoma.40 Penelitian Imunohistokimia Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penelitian imunohistokimia digunakan dalam pengelompokan limfoma menurut garis keturunan mereka, yaitu asal sel B atau sel T. Penelitian immunohistokimia juga dapat berguna dalam membedakan limfoma Hodgkin dari klasifikasi lain limfoma non-Hodgkin yang dapat membingungkan. Penanda yang paling berguna dalam identifikasi subtipe limfoma yang paling umum diuraikan dalam Tabel 26-3. Dalam kasus di mana diagnosis limfoma juga dalam pertanyaan, penelitian tambahan penanda permukaan seperti keratin, pewarnaan musin, atau S100 juga dapat berguna dalam menyingkirkan diagnosis karsinoma sel skuamosa, adenokarsinoma, dan melanoma. Sitogenetika Limfoma ditandai dengan perubahan kromosom non acak berulang karakteristik tertentu yang cenderung menunjukkan pola-pola tertentu sesuai dengan subtipe histologis limfoma (Tabel 26-5).41,42 Limfoma Burkitt dan limfoma sel kecil non cleaved dicirikan oleh translokasi pada kromosom 8, pada suatu titik di mana onkogen myc berada di lengan panjang kromosom 8.41 Translokasi ini bersifat timbal-balik dengan kromosom masing-masing baik untuk rantai berat gen imunoglobulin (kromosom 14) atau rantai ringan kappa dan lambda gen imunoglobulin (kromosom 2 dan 22). Limfoma folikuler ditandai oleh translokasi yang melibatkan rantai berat gen imunoglobulin pada kromosom 14 dan wilayah gen BCL2 pada kromosom 18. Kelainan yang melibatkan lengan panjang kromosom 14 (14q) tersebut sebenarnya kelainan kromosomal paling sering tercatat pada limfoma. Limfoma keturunan sel T yang paling sering memiliki kelainan yang melibatkan segmen lengan panjang kromosom 14, di mana terletak beberapa lokus gen pengkodean reseptor sel T.43

12

TABEL 26-5 Perbedaan Translokasi Kromosom Pada Limfoma Kelainan Sitogenetik t(8; 14) (q24; q32) t(14; 18) (q32; q21) t(11; 14) (q13; q32) t(1; 14) (p22; q32) t(2; 5) (p23; q35) Studi Molekuler Meskipun sitogenetika memberikan bukti tertentu perubahan kromosom berulang atau dapat direproduksi, metodologi sitogenetika hanya berlaku untuk situasi di mana metafase dapat dinilai, yang terjadi pada sekitar setengah dari sampel yang diteliti. Selanjutnya penyempurnaan teknik sitogenetika melibatkan penggunaan probe molekular DNA untuk mencari pola-pola kromosom spesifik untuk penataan ulang menggunakan ekstrak DNA dari sampel tumor. Metodologi ini sangat berguna dalam keganasan limfoid. Pada awal perkembangan sel-sel limfoid, sel induk membentuk garis keturunan sel T atau sel B dengan melakukan penyusunan ulang gen. Setiap sel memiliki penataan ulang genetik spesifik baik gen imunoglobulin atau reseptor sel T. Proses keganasan adalah klonal, yaitu asal mereka dapat ditelusuri ke sel tunggal. Dengan demikian, semua sel dalam tumor limfoid yang diberikan harus memiliki pola yang sama dengan penataan ulang gen sehingga diperoleh jejak khusus untuk gen yang ditata ulang itu. Probe untuk gen imunoglobulin dapat secara rutin digunakan untuk memastikan apakah ada penataan ulang gen klonal untuk imunoglobulin; sama seperti probe untuk gen reseptor sel T dapat digunakan untuk memastikan penataan ulang klonal sel T.41-46 Hal ini mungkin berguna dalam kasus di mana penelitian penanda yang tidak dapat diinterpretasi, atau neoplasma yang secara histologis tidak berdiferensiasi dan tidak mengekspresikan imunoglobulin atau matur. Reseptor sel T terletak 13 Onkogen myc BCL2 BCL1 (cycling D1) BCL10 ALK1 Limfoma Zona Marginal (MALT) Limfoma Sel Besar Anaplastik Subtipe Histologi Limfoma Burkitt atau Mirip Burkitt Limfoma Folikuler; beberapa Limfoma Sel Besar Limfoma Sel Mantle

pada permukaan sel atau di sitoplasma. Hal ini juga mungkin berguna dalam mendeteksi populasi kecil dari sel-sel ganas pada tumor dengan proporsi tinggi limfosit normal reaktif. Stadium Evaluasi stadium limfoma pada pasien dimulai dengan pemeriksaan fisik yang baik. Perhatian harus diberikan untuk semua bidang kelenjar getah bening perifer, terutama servikal, supraklavikula, daerah infraklavikular, aksilaris, epitrokhlear, inguinal, dan femoral. Perhatian juga harus diberikan pada perut untuk mendeteksi kemungkinan splenomegali. Pasien yang datang dengan lesi primer di wilayah kepala dan leher harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh kepala dan leher. Sistem Klasifikasi Ann Arbor saat ini merupakan sistem yang paling banyak digunakan untuk penilaian stadium limfoma (Tabel 26-6).47 Sistem ini awalnya dirancang untuk menilai stadium penyakit Hodgkin, yang merupakan keganasan yang cenderung menyebar dalam pola kedekatan anatomi. Sistem ini sangat baik sehingga berfungsi sebagai indikator prognostik pada penyakit Hodgkin. Ini memiliki beberapa keterbatasan, dalam penilaian stadium limfoma non-Hodgkin, yang mana tidak mengikuti pola penyebaran yang sama seperti yang terlihat pada penyakit Hodgkin. Sistem Ann Arbor, misalnya, tidak memperhitungkan ukuran lesi primer. Beberapa peneliti telah mencatat bahwa ukuran massa tumor memang memiliki makna prognostik utama dalam hal hasil limfoma non-Hodgkin.48-50 Kekurangan dari sistem Ann Arbor untuk penilaian stadium limfoma nonHodgkin secara luas diakui, dan ahli limfoma yang bertemu di Lugano pada pertemuan internasional mengusulkan sistem klasifikasi risiko baru (lihat Tabel 26-4) yang saat ini banyak digunakan.51 TABEL 26-6 Klasifikasi Stadium Ann Arbor Untuk Penyakit Hodgkin Stadium I Melibatkan satu daerah nodus limfatikus (I), atau satu organ/tempat ekstra limfatik (IE)

14

Stadium II

Melibatkan dua atau lebih daerah nodus limfatikus pada sisi diafragma yang sama (II), atau melibatkan organ/tempat ekstra limfatik lokal (IIE)

Stadium III

Melibatkan daerah nodus limfatikus pada kedua sisi diafragma (III), atau melibatkan organ/tempat ekstra limfatik lokal (IIIE) atau lien (IIIS) atau keduanya (IIISE)

Stadium IV A B

Melibatkan satu atau lebih organ ekstra limfatik difus atau tersebar dengan atau tanpa melibatkan nodus limfatikus Asimtomatik Demam, berkeringat, penurunan berat badan > 10%

Selain penelitian laboratorium rutin, biopsi sumsum tulang harus dilakukan untuk menyingkirkan keterlibatan sumsum dengan limfoma, yang lebih umum pada limfoma derajat rendah dan lebih sering terjadi pada limfoma non-Hodgkin dari pada penyakit Hodgkin. Penanda pada limfosit di sumsum tulang dan darah perifer juga bermanfaat untuk pasien dengan limfoma tingkat rendah bahwa pada pasien ini mungkin sel ganas sudah banyak beredar. Selain itu, elektroforesis protein serum dapat berguna, terutama pada pasien dengan limfoma tingkat rendah. Penelitian radiografi harus mencakup computed tomographic (CT) scan kepala dan leher atau magnetic resonance imaging (MRI), pada dada, perut, dan panggul. Pada pasien yang memiliki lesi primer dalam orofaring, pada gastrointestinal atas dapat membantu karena pasien ini mungkin memiliki lesi tambahan di seluruh mukosa di saluran pencernaan. Presentasi dari beberapa lesi mukosa saluran cerna yang memiliki histologi limfosit kecil dan berhubungan dengan H. pylori adalah unik untuk limfoma MALT yang diperkenalkan pertama oleh Isaacson dan rekan sebagai entitas klinikopatologi yang unik.52-57 Positron emission tomography (PET) untuk penilaian stadium dan evaluasi pasien dengan keganasan telah berkembang selama dekade terakhir. Penggunaan isotop radioaktif dan PET sebagai metode pencitraan kanker kepala dan leher telah 15

diusulkan untuk beberapa waktu.58 Perunut radioaktif saat ini yang diterapkan untuk pencitraan limfoma adalah18

Fluorodeoxyglucose (18FDG) karena

peningkatan metabolisme glukosa dalam Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin telah dibuktikan.59-61 PET telah diusulkan sebagai metode penilaian stadium dan mengevaluasi respon pengobatan di kedua gangguan. Namun, PET terbatas karena sensitivitasnya tinggi dalam perubahan inflamasi, sehingga ada positif palsu pada spesifisitas diagnostik.62 Secara khusus benar pada situs penyakit ekstranodal, tapi positif palsu juga dapat terjadi di lokasi nodul seperti timus saat rebound.63 Di daerah kepala dan leher, situs peradangan pada sinus dan rongga mulut spesifisitas penilaian stadium juga bisa tersamar. Setelah pengobatan, kehadiran situs PET residu tidak boleh diterima secara membabi buta sebagai indikasi sisa penyakit aktif karena penyerapan sisa telah dibuktikan dalam uji klinis. Jika benar-benar penting dalam membuat keputusan pengobatan, histologi harus diperoleh setelah terapi di situs penyerapan sisa untuk mengkonfirmasi penyakit aktif persisten. Teknologi fusi baru dikembangkan untuk CT scan dan pencitraan PET kemungkinan akan meningkatkan pada spesifisitas dan aplikasi dari prosedur ini. Kegunaan terbesarnya mungkin terletak pada perencanaan port radiasi.

PENGOBATAN Limfoma Indolen Limfoma terletak pada daerah kepala dan leher jatuh ke dalam kategori stadium I atau II di sistem stadium Ann Arbor, dengan atau tanpa ekstensi lokal ke jaringan ekstranodal (perluasan ke jaringan ekstranodal ditunjuk oleh huruf E). Limfoma indolen jarang hadir dengan penyakit lokal. Karena fitur ini, beberapa studi secara khusus membahas pengelolaan Ann Arbor histologi stadium I dan II limfoma tingkat rendah. Selanjutnya keterbatasan hasil dari kenyataan bahwa sekitar 80%

16

dari pasien dengan histologis yang hadir dengan klinis stadium I atau penyakit yang ditampilkan pada laparotomi memiliki mikroskopis; kelenjar getah bening positif dalam abdomen.64,65 Dengan demikian, hasil dari strategi pengobatan dalam berbagai penelitian mungkin tidak sepenuhnya dibandingkan ketika studi stadium tidak sebanding. Namun demikian, meskipun terbatas, beberapa studi yang dipublikasikan tampaknya menunjukkan bahwa radioterapi saja dapat menyembuhkan sekitar 50% dari pasien.66-69 Kegunaan kemoterapi yang ditambahkan pada radioterapi untuk pasien ini adalah tidak jelas. Beberapa studi telah membahas pertanyaan ini dengan menggunakan cytoxan, vincristine, dan prednison (CVP) sebagai rejimen kemoterapi. Penelitian yang dirancang oleh Monfardini dan rekan, yang mempelajari sejumlah kecil pasien stadium laparotomi (total 26) dengan histologis grade rendah yang secara acak menerima iradiasi atau terapi kombinasi.70 Perbedaan dalam kelangsungan hidup tercatat pada 5 tahun (93% vs 62%), mendukung pendekatan gabungan, tapi ini tidak mencapai signifikansi statistik, mungkin karena jumlah yang kecil, juga merupakan perbedaan yang signifikan dalam kelangsungan hidup bebas penyakit dicatat. Penelitian lain menunjukkan perbedaan dalam kelangsungan hidup bebas penyakit tetapi tidak ada perbedaan dalam kelangsungan hidup atau tidak ada perbedaan dalam parameter apapun sama sekali.71-74 Karena iradiasi hanya menyembuhkan setengah dari pasien ini, pertanyaannya apakah sisa separuhnya bisa dibantu dengan kemoterapi ajuvan. Limfoma Kelenjar Parotis Sindrom Sjogren dikaitkan dengan peningkatan risiko keganasan limfoid, terutama di kelenjar parotis dan konjungtiva. Limfoma klasik yang terkait dengan sindrom Sjogren adalah dari subtipe MALT.75 Limfoma ini tipe sel B dan sering indolen, yaitu, mereka ditandai dengan progresi yang lambat. 76 Mereka sangat peka terhadap radiasi. Daerah yang terkena radiasi dapat kuratif pada pasien dengan penyakit lokal. Percobaan yang lebih baru pengobatan dengan anti-CD20 antibodi monoklonal menunjukkan bahwa pengobatan ini juga dapat sangat

17

efektif. Ketika seorang pasien muncul massa di parotis, penting bahwa tempat lain diperiksa dengan teliti untuk menyingkirkan tempat lain yang terkena penyakit. Lesi tambahan; konjungtiva, kulit, saluran pencernaan, dan saluran pernapasan dapat ditemukan berhubungan dengan limfoma di kelenjar parotis. Lesi limfoma MALT di luar perut biasanya tidak berhubungan dengan H. pylori, maka, pengobatan dengan antibiotik tidak tepat. Namun, kasus yang jarang dari limfoma pada kelenjar parotis yang terkait dengan H. pylori telah dilaporkan.77 Limfoma Agresif Pada limfoma sel besar, yang merupakan mayoritas kasus yang ada di kepala dan leher, manfaat kemoterapi dalam memperoleh kesembuhan telah jelas. Miller dan Jones78 dan Cabanillas79 menetapkan bahwa kemoterapi saja, dengan regimen CHOP (siklofosfamid, doxorubicin, vincristine, dan prednison), bisa bersifat kuratif untuk limfoma sel besar stadium I dan II. Radioterapi saja telah menjadi andalan pengobatan untuk penyakit ini hingga kemoterapi kombinasi kuratif dikembangkan. Untuk limfoma agresif lokal (stadium I dan II), penelitian yang diterbitkan telah menunjukkan hasil yang sangat baik secara keseluruhan ketika pasien diobati dengan kemoradiasi. Tingkat respons lengkap berada di urutan 90%, dan angka kelangsungan hidup 5 tahun bebas penyakit berada dalam kisaran 70% sampai 80%.80-84 Selanjutnya, dengan menggunakan gabungan kemoradioterapi Connors dan rekan telah menunjukkan bahwa penggunaan jumlah terbatas siklus kemoterapi (tiga terapi CHOP) seefektif kemoterapi yang ekstensif (enam sampai delapan siklus).81 Perlu dicatat bahwa seri Connors memasukkan pasien yang umumnya menguntungkan, yaitu, pasien dengan laktat dehidrogenase rendah (LDH), tidak ada gejala sistemik, dan massa tumor kecil. Namun demikian, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak pasien stadium I / II, kemoterapi terbatas dan iradiasi dapat menyembuhkan. Longo dan rekan, dari National Cancer Institute, juga mempublikasikan hasil dalam 49 pasien limfoma grade intermediet stadium I, di antaranya 18 memiliki penyakit lokal pada kepala dan leher. Para pasien diterapi dengan empat siklus

18

ProMACE-MOPP (prednisone, methotrexate, doxorubicin, cyclophosphamide, etoposid, mustard nitrogen, prokarbazin), kombinasi kemoterapi yang lebih intensif dan kompleks daripada CHOP, diikuti oleh radioterapi.84 Follow-up pasien jauh lebih cepat dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, dengan median 42 bulan. Tingkat respon lengkap 96%, dan tidak ada pasien kambuh pada saat publikasi (100% survival bebas penyakit). Para pasien, sekali lagi, secara keseluruhan memiliki kondisi menguntungkan, dengan hanya tiga kasus yang menunjukkan tingkat LDH tinggi. Secara keseluruhan, pasien stadium I melakukannya dengan sangat baik bahkan dengan terapi berbasis CHOP, dan pada pasien tahap II yang kambuh lebih sering terlihat. Sebuah penelitian besar secara acak Southwest Oncology Group (SWOG) yang dipublikasikan oleh Miller dan rekan kerja menunjukkan hasil yang lebih baik bagi pasien dengan penyakit terbatas stadium I/II yang diobati dengan tiga siklus CHOP, diikuti dengan terapi radiasi, bila dibandingkan dengan delapan siklus CHOP tanpa radiasi.85 Namun, follow-up yang lama telah menunjukkan hasil yang kurang menguntungkan bagi pasien tahap II. Oleh karena itu, pasien tahap II mungkin memerlukan kemoterapi lebih ekstensif dari tiga siklus CHOP. Pada pasien usia lanjut, penambahan rituximab (antibodi monoklonal yang ditargetkan terhadap antigen pan-B-CD20) untuk CHOP meningkatkan kelangsungan hidup.86 Oleh karena itu, studi masa depan kemungkinan akan membahas manfaat dari antibodi monoklonal pada penyakit stadium terbatas juga. Limfoma Burkitt dan limfoma limfoblastik harus diobati dengan rejimen kemoterapi agresif.87-89 Mereka jarang muncul sebagai nodal lokal kepala dan leher atau penyakit ekstranodal tetapi mungkin termasuk penyakit leher sebagai bagian dari penyakit sistemik yang lebih luas. Laju pertumbuhan limfoma ini sangat cepat, menjadi dua kali lipat dalam hari, dan massa kelenjar getah bening di leher dapat tumbuh menjadi masalah manajemen jalan napas. Pasien yang didiagnosis dengan temuan histologis harus dipertimbangkan memiliki penyakit akut kritis dan dia harus dirujuk segera untuk kemoterapi.

19

EBV dan Limfoma Agresif: Kasus Khusus Granuloma garis tengah yang mematikan adalah istilah yang sebelumnya diterapkan pada entitas klinis yang ditandai dengan kehancuran ulseratif tanpa henti dari hidung dan struktur dalam midfacial. Hal ini dapat dibingungkan dengan penyakit lain, termasuk infeksi (misalnya, reaksi granulomatosa untuk sifilis, infeksi jamur, atau tuberkulosis), granulomatosis Wegener, vaskulitis entitas lain, dan neoplasma nonlimfoid.90 Hari ini, telah dikenal bahwa gangguan ini sebenarnya adalah sebuah limfoma asal sel NK / sel T.91 Secara histologi, hal itu ditandai oleh nekrosis dan karena itu mungkin sulit untuk mendiagnosis pada biopsi tunggal. Seringkali, pasien memerlukan beberapa biopsi sebelum diagnosis definitif dibuat. Juga karakteristik penyakit ini adalah keterlibatan tumor angiosentrik mungkin jelas, dan EBV atau proteinnya yang biasanya terdeteksi pada sel ganas.92,93 Histologi angiosentrik adalah prediktor independen dari penyakit-spesifik lebih pendek dan keseluruhan kelangsungan hidup untuk pasien dengan penyakit ini. Faktor-faktor prognostik penting lain termasuk LDH yang tinggi dan tingkat mikroglobulin 2 yang tinggi. Terapi intervensi yang tampaknya memiliki manfaat yang paling mapan untuk penyakit ini adalah radiasi. Kombinasi kemoterapi dan radiasi telah dilaporkan mungkin mempunyai manfaat tambahan. Pasien dengan defisiensi imun baik sekunder dari supresi imun pasca-transplantasi atau infeksi human immunodeficiency virus (HIV), mungkin memiliki gangguan limfoproliferatif yang juga muncul di dalam rongga mulut, kelenjar, atau kelenjar ludah. Penyakit ini, bagaimanapun, mungkin memiliki presentasi poliklonal awal, muncul untuk menjadi inflamasi.94,95 Ketika proliferasi berkembang ke keadaan monoklonal, gangguan dapat lebih agresif. Dalam kasus post-transplant lymphoproliferative disorder (PTLD), gangguan pada fase poliklonal mungkin merespon penarikan supresan kekebalan.95 Jika gangguan tersebut berkembang menjadi penyakit monoklonal sel besar sel B, rituximab anti-CD20 antibodi monoklonal telah dilaporkan efektif dalam remisi. Gabungan-modalitas terapi dengan kemoterapi dan radiasi juga bisa efektif, terutama untuk lesi tumor lokal,

20

meskipun dikaitkan dengan risiko antisipasi infeksi. Walaupun pasien dengan AIDS terkait dengan infeksi HIV mungkin juga muncul dengan gangguan limfoproliferatif poliklonal, gangguan yang paling sering adalah monoklonal.96 Selain itu, meskipun PTLD hampir selalu dikaitkan dengan infeksi EBV pada jaringan tumor, hanya setengah dari limfoma terkait AIDS (AIDSrelated lymphomas/ARLs) merupakan positif EBV.97 Subtipe imunohistologi ARL berkisar dari sel T hingga limfoma sel B besar, serta baru-baru ini dijelaskan limfoma plasmablastik pada rongga mulut.98 Yang terakhir ini secara klinis agresif dan secara imunologis ditandai dengan berkurangnya penanda sel B atau sel T tapi dengan positif penanda spesifik plasma sel tertentu seperti CD79a. Penggunaan triple ART saat ini untuk infeksi HIV telah meningkatkan kualitas dan durasi kehidupan bagi pasien. Jika virus ini dikendalikan, limfoma terkait HIV dapat diobati secara agresif, sesuai dengan histologi dari limfoma.99 Hasil dari manajemen kemoradiasi agresif sebagian bergantung pada fungsi sel T pasien dan kondisi komorbiditas lainnya. Indikator prognostik diidentifikasi pada limfoma agresif terkait HIV tidak hanya mencakup faktor terkait limfoma seperti subtipe histologis tetapi juga usia, jumlah CD4, tingkat LDH, infeksi intercurrent lainnya, dan cadangan sumsum.100

RINGKASAN Limfoma adalah sekelompok keganasan limfoid beragam dengan manifestasi klinis bervariasi. Insiden limfoma di Amerika Serikat meningkat, dan efek mereka pada mortalitas pemuda dan pada dewasa produktif adalah penting. Prognosis mereka bervariasi baik menurut respon penyakit pada terapi dan subklasifikasi imunohistologi. Karena klasifikasi imunohistologi memainkan peran kritis dan penting dalam penentuan pengobatan pasien, prosedur diagnostik yang tepat sangatlah penting. Langkah diagnostik yang paling penting masih tetap eksisi bedah; keberhasilan patolog untuk tepat mendiagnosis penyakit terletak pada

21

keahlian teknis dari ahli bedah dalam mengambil dan menangani spesimen bedah. Metodologi yang semakin canggih telah dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir yang membantu dalam diagnosis dan diferensiasi limfoma dari keganasan lain. Ini mulai dari penanda imunohistokimia untuk sitogenetik dan teknik genetika molekuler, yang memungkinkan kita untuk membedakan asal garis keturunan limfosit T atau sel B dan pengecualian atas neoplasma limfoid tidak dalam kasus di mana sel-sel sangat anaplastik dan sel asal primer tidak jelas secara histologis. Saat ini dalam kontroversi ada dalam manajemen limfoma stadium I/II. Untuk limfoma tingkat rendah, masalahnya adalah apakah kemoterapi menambah manfaat untuk iradiasi. Kemoterapi memainkan peran penting dalam penyembuhan limfoma agresif, dan kontroversi lebih berpusat sekitar peran tambahan iradiasi dan antibodi monoklonal. Akhirnya, sistem klasifikasi Ann Arbor berguna sebagai alat prognostik dan terapeutik untuk perencanaan dalam penyakit Hodgkin, tetapi memiliki kekurangan untuk penilaian stadium limfoma non-Hodgkin. Diharapkan bahwa sistem klasifikasi risiko yang baru menggabungkan berbagai faktor prognostik penting, termasuk profil genetik dari tumor, akan membantu kita menyusun terapi yang lebih tepat untuk prognosis antisipasi dari penyakit, dengan terapi yang kurang agresif untuk mereka yang prospek sangat baik dan sebaliknya, dengan pendekatan baru yang agresif bagi mereka yang tidak bisa disembuhkan dengan strategi terapi saat ini.

22