Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    1/28

    Laporan TutorialSkenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    KEJANG DEMAM PADA ANAK

    Oleh : Kelompok Tutorial 14

    Arum Alfiyah Fahmi (G0010028)

    Candra Aji S, (G0010040)Coraega Gena E. (G0010046)

    Erma Malindha (G0010074)

    Gunung Mahameru (G0010088)

    Namira Qisthina (G0010134)

    Paksi Suryo B. (G0010148)

    Puji Rahmawati (G0010154)

    Satria Adi P. (G0010172)

    Yunita Asri P. (G0010202)

    Tutor Pembimbing : dr. Ida Bagus Budi, Sp.B-BKBD

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS SEBELAS MARET

    Surakarta

    2013

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    2/28

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A.Latar Belakang MasalahKejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan

    suhu tubuh (suhu rektal >38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.

    Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures (1980), kejang demam adalah

    suatu kejadian pada bayi atau anak yang biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan

    5 tahun berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi

    intrakranial atau penyebab tertentu. Infeksi ekstrakranial yang paling banyak

    didapatkan yakni sekitar 70% disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bagian

    atas (ISPA).

    Kejang merupakan salah satu kedaruratan pediatri yang dapat berpengaruh

    terhadap kecerdasan anak. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, bisa

    menimbulkan epilepsi, atau bahkan gangguan tumbuh kembang anak. Untuk itu

    diperlukan adanya penanganan kejang demam yang cepat dan benar. Berikut ini

    merupakan skenario kejang demam blok kegawatdaruratan medic yang akan kitabahas dalam skenario ini:

    Anak saya stuip. Seorang anak laki-laki umur 1 tahun dibawa ke IGD oleh

    ibunya dengan keluhan kejang. Kejang baru pertama kali ini kurang lebih 5 menit,

    kejang seluruh tubuh, tangan dan kaki kaku kelojotan, mata mendelik ke atas,

    kemudian kejang berhenti sendiri. Setelah kejang pasien tampak mengantuk.

    Pasien sebelumnya demam tinggi mendadak, batuk, dan pilek. Tidak didapatkan

    riwayat jatuh atau terbentur sebelumnya. Hasil pemeriksaan kesadaran somnolen,

    BB 10 kg, TB 80 cm, suhu 39,8oC, nafas 24x/menit, nadi 100x/menit, isi cukup,

    tekanan darah 100/70 mmHg. Ubun-ubun datar, tidak membonjol, tidak ada kaku

    kuduk. Pada pasien ini diberikan diazepam rektal. Hasil laboratorium Hb 12 gr%,

    hematokrit 35%., jumlah leukosit 22.000/mm3, jumlah trombosit 325.000/mm3,

    GDS 100 mg/dL, Natrium 135 mmol/L, Kalium 4 mmol/L. Pasien selanjutnya

    dirawat di bangsal atas persetujuan orangtua pasien.

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    3/28

    B.Rumusan Masalah1. Apa sajakah jenis-jenis kejang itu?2. Apa sajakah etiologi kejang?3. Bagaimanakah algoritma penatalaksanaan kejang?4. Bagaimanakah patofisiologi gejala dalam scenario?5. Apa sajakah kedaruratan yang terdapat pada skenario dan apa juga alasan

    pasien dimasukkan dalam bangsal,bukan PICU?

    6. Bagaimana prognosis tumbuh kembang anak yang mempunyai riwayatkejang?

    7. Bagaimana interpretasi pemeriksaan laboraturium dalam skenario ini?

    C. Tujuan Pembelajaran1. Mengetahui jenis-jenis kejang.2. Mengetahui etiologi kejang.3. Mengetahui algoritma penatalaksanaan kejang.4. Mengetahui patofisiologi gejala dalam skenario.5. Mengetahui kedaruratan yang terdapat pada skenario dan juga alasan pasien

    dimasukkan dalam bangsal,bukan PICU.

    6. Mengetahui bagaimana prognosis tumbuh kembang anak yang mempunyairiwayat kejang.

    7. Mengetahui bagaimana interpretasi pemeriksaan laboraturium dalamskenario ini.

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    4/28

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Kejang1. Definisi

    Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara

    sebagai akibat dari aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai pelepasan

    listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau

    vokal, berasal dari daerah spesifik korteks serebri, atau umum, melibatkan

    kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini bervariasi, tergantung bagian otak

    yang terkena.

    Penyebab kejang mencakup factor-faktor perinatal, malformasi

    otak congenital, factor genetic, penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis),

    penyakit demam, gangguan metabilisme, trauma, neoplasma, toksin,

    gangguan sirkulasi, dan penyakit degeneratif susunan saraf. Kejang disebut

    idiopatik bila tidak dapat ditemukan penyebabnya.

    2. InsidensSedikitnya kejang terjadi sebanyak 3% sampai 5% dari semua

    anak-anak sampai usia 5 tahun, kebanyakan terjadi karena demam.

    3. Gejala KejangGejala Kejang berdasarkan sisi otak yang terkena:

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    5/28

    4. Jenis Kejanga. Kejang Parsial

    1) Kejang Parsial Sederhana Kesadaran tidak terganggu; dapat mencakup satu atau lebih hal

    berikut ini:

    Tanda-tanda motoriskedutaan pada wajah. Tangan, atau salahsatu sisi tubuh : umumnya gerakan kejang yang sama.

    Tanda atau gejala otonomikmuntah berkeringan, muka merah,dilatasi pupil.

    Gejala somatosensoris atau sensoris khusus-mendengarmusik, merasa seakan jatuh dari udara, parestesia.

    Gejala psikikdejavu, rasa takut, sisi panoramic.2) Kejang parsial kompleks

    Terdapat gangguan kesadaran. Walaupun pada awalnya sebagaikejang parsial simpleks.

    Dapat mencakup otomatisme atau gerakan aromaticmengecapkan bibir, mengunyah, gerakan mencongkel yang

    berulang-ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.

    Dapat tanpa otomatismetatapan terpakub. Kejang Umum (Konvulsif atau Non-Konvulsif)

    1) Kejang Absens Gangguan kewaspadaan dan responsivitas. Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung

    kurang dari 15 detik.

    Awitan dan khiran cepat, setelah itu kembali waspada danberkonsentrasi penuh.

    Umumnya dimulai pada usia antara 4 dan 14 tahun dan seringsembuh dengan sendirinya pada usia 18 tahun.

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    6/28

    2) Kejang MioklonikKedutaan-kedutaan involunter pada otot atau sekelompok otot yang

    terjadi mendadak

    3) Kejang MioklonikLanjutan Sering terlihat pada orang sehat selama tidur, tetapi bila

    patologik, berupa kedutaan-kedutaan sinkron dari leher, bahu,

    lengan atas dan kaki.

    Umumnya berlangusung kurang dari 15 detik dan terjadididalam kelompok.

    Kehilangan kesadaran hanya sesaat4) Kejang Tonik-Klonik

    Diawali dengan hilangnya kesadaran dan saat tonik, kaku umumpada otot ektremitas, batang tubuh, dan wajah, yang langsung

    kurang dari 1 menit.

    Dapat disertai dengan hilangnya kontrol kandung kebih danusus.

    Tidak adan respirasi dan sianosis Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas

    dan bawah.

    Letargi, konfusi, dan tidur dalam fase postical5) Kejang Atonik

    Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkankelopak mata turun, kepala menunduk atau jatuh ketanah.

    Singkat, dan terjadi tanpa peringatan.6) Status Epileptikus

    Biasanya. Kejang tonik-klonik umum yang terjadi berulang. Anak tidak sadar kembali diantara kejang. Potensial untuk depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia memerlukan pengobatan medis darurat dengan segera

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    7/28

    B. Kejang Demam1. Patofisiologi Kejang Demam

    Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan

    dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionic. Dalam keadaan

    normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium

    (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya,

    kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi

    dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel terdapat keadaan

    sebaliknya). Karena perbedaan jenis dan konsentrasi didalam dan diluar sel,

    maka disebut potensial membran. Untuk menjaga keseimbangan potensial

    membaran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang

    terdapat pada permukaan sel (Gardner, 2004).

    Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan

    kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat

    20%. Kenaikan suhu tubuh tertentu dapat mempengaruhi keseimbangan dari

    membrane sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion

    kalium dan natrium dari membran tadi, dengan akibat lepasnya muatan

    listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikan besar sehingga dapat meluas ke

    seluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan

    neurotransmitter dan terjadilah kejang. Pada seorang anak sirkulasi otak

    mencapai 65% dari seluruh tubuh. Sedangkan pada orang dewasa anya 15%.

    Jadi pada kenaikan suhu tubuh sedikit saja pada anak-anak dapat denganmudah memicu terjadinya kejang demam. Disamping itu pada usia < 2

    tahun yang mana masa ortak belum matang, maka neuron-neuron otak

    mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibanding otak yang sudah

    matang, hal ini disebut dengan developmental window. Sehingga pada usia

    < 2 tahun, anak-anak rentan terhadap bangkitan kejang (Berg, 2003).

    Demam sendiri menyebabkan kejang melalui 4 mekanisme, yaitu (1)

    Demam akan menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang imatur, (2)

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    8/28

    Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang akhirnya akan

    mengganggu permeabilitas membran sel, (3) Peningkatan metabolisme

    basal, sehingga terjadi penimbunan asam laktat dan CO2 yang akan merusak

    neuron, (4) Demam akan meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) dan

    meningkatkan kebutuhan oksigen serta glukosa sehingga menimbulkan

    gangguan pengaliran ion-ion dalam keluar masuk sel.

    2. Komplikasi dan Prognosis Kejang DemamKejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak

    menyebabkan komplikasi karena tidak meninggalkan gejala sisa neurologis.

    Pada kejang demam yang lebih lama (lebih dari 15 menit) dapat terjadi

    komplikasi berupa apnea, hipoksemia (akibat meningkatnya kebutuhan

    oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat (akibat

    metabolisme anaerob), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan peningkatan

    metabolisme otak. Rangkaian kejadian di atas menyebabkan gangguan

    peredaran darah di otak. Terjadi pula hipoksemia dan edema otak dan

    akhirnya terjadi kerusakan sel neuron (Deliana, 2002).

    Semakin lama kejang dialami akan semakin banyak kemungkinan

    kerusakan yang terjadi dengan demikian prognosisnya menjadi semakin

    buruk. Pasien mengalami kejang seluruh tubuh yang sering dikenal dengan

    kejang umum, kasus kejang inilah yang termasuk dalam keadaan emergensi

    karena pada kejang seluruh tubuh komplikasinya lebih kompleks dan

    berbahaya. Penting untuk diketahui bagaimana tampilan kejang yang

    dialami seperti pada pasien yang tangan dan kaki kaku, inilah fase tonik

    yaitu fleksi yang hebat, diikuti fase ekstensi yang lebih lama, disertai

    gangguan kesadaran. Pasien kemudian kelojotan, inilah fase klonik yaitu

    relaksasi otot menginterupsi kontraksi tonik, kembalinya tonus otot

    berganti-gantian dengan spasme yang kasar dari fleksor dan berulang secara

    ritmik menyebabkan penampakan seperti hentakan ritmis, yang makin lama

    tampak makin jauh satu sama lain sampai kejang berhenti. Mata mendelik

    ke atas juga merupakan suatu tanda demam akibat kontraksi otot luar bola

    mata, artinya kejang yang dialami pasien bersifat umum, tonik-klonik.

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    9/28

    Informasi pada saat kejang berhenti juga harus ditanyakan meliputi

    bagaimana kejang berhenti dan begaimana keadaan pasien sesaat setelah

    kejang.

    C. Interpretasi Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium Pada SkenarioHasil pemeriksaan, kesadaran somnolen, BB 10 kg, TB 80 cm, suhu

    39.80C, nafas 24 x/menit, nadi 100 x/menit, isi cukup, tekanan darah 100/70

    mmHg. Ubun-ubun datar, tidak menonjol, tidak ada kaku kuduk. Pada

    pemeriksaan fisik di atas, dapat disimpulkan bahwa keadaan pasien tampak

    mengantuk, suhu meningkat, nafas sedikit menurun, nadi normal dan tekanan

    darah meningkat. Hal ini berdasarkan nilai normal pemeriksaan vital sign

    pada anak usia 1 tahun. Tekanan darah normal anak usia 6 bulan-12 tahun

    yaitu 90/60 mmHg dan anak usia 1 tahun-5 tahun yaitu 95/65 mmHg.

    Frekuensi pernafasan normal anak usia 1 bulan-1 tahun yaitu 30-60 x/menit

    dan anak usia 1 tahun-2 tahun yaitu 25-50 x/menit. Frekuensi nadi normal

    anak usia 3 bulan-2 tahun yaitu 80-150 x/menit dan suhu rektal anak normal

    yaitu 36.5-37.50

    C. BB dan TB selain untuk mengetahui status gizi anak juga

    digunakan untuk menentukan dosis obat untuk pasien anak.

    Ubun-ubun datar dan tidak menonjol menunjukkan bahwa tidak ada

    penurunan maupun peningkatan tekanan intrakranial. Ubun-ubun cekung

    dapat ditemukan pada kondisi dehidrasi yang juga dapat menimbulkan

    timbulnya kejang. Tidak ada kaku kuduk menandakan pasien dalam skenario

    tidak mengalami meningitis. Apabila ditemukan tanda-tanda meningeal pada

    anak, maka pemeriksaan selanjutnya yang dapat dilakukan adalahpemeriksaan pungsi lumbal.

    Pada pasien ini diberikan diazepam rektal. Pemberian diazepam

    rektal maksimal 3 kali, apabila berlebihan akan menimbulkan depresi napas.

    Adapun dosis diazepam rektal yaitu 5 mg untuk anak dengan BB < 10 kg dan

    10 mg untuk anak dengan BB > 10 kg. Dipilih diazepam sebagai obat pilihan

    pertama karena mula kerja diazepam cepat sehingga diharapkan episode

    kejang dapat segera berhenti. Kejang pada pasien dalam skenario sudah

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    10/28

    berhenti ketika tiba di IGD, maka pemberian diazepam di sini untuk

    mencegah timbulnya kejang berulang.

    Hasil laboratorium Hb 12gr%, hematokrit 35%, jumlah leukosit

    22.000/mm3, jumlah trombosit 325.000/mm3, GDS 100 mg/dl, natrium 135

    mmol/l, kalium 4 mmol/l. Pasien selanjutnya dirawat di bangsal atas

    persetujuan orang tua pasien. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, hasil yang

    tidak normal yaitu pada jumlah leukosit. Terdapat peningkatan jumlah

    leukosit pada anak di skenario. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi infeksi

    pada pasien. Infeksi yang dialami pasien ini yaitu berupa infeksi respiratori

    akut bagian atas yang tampak dengan adanya batuk pilek pada pasien.

    Pada kasus kejang demam, beberapa pemeriksaan laboratorium yang

    dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut:

    1. Pemeriksaan LCS, biasanya jernih dengans el normal, atau sedikitmeningkat 50-500 per mm3, hitung jenis didominasi sel limfosit.

    2. Banyak pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan namun jarangbersifat diagnostik.

    3. Darah tepi lengkap, dapat menunjukkan polimorfonuklear ringan atauleukositosis mononuklear.

    4. Pemeriksaan cairan serebrospinal : biasanya cairan jernih, jumlah selnormal aqtau sedikit meningkta terutama limfosit, sedikit peningkatan

    protein, kadar gula normal atau sedikit menurun.

    5. Biakan darah.6. Elektrolit lengkap.7. Pemeriksaan serologik darah.8. MRI/CT scan kepala biasanya hanya memperlihatkan edema otak baik

    umum maupun fokal.

    9. EEG biasanya menunjukkan gambaran abnormal berupa aktivitasgelombang lambat umum.

    I nterpretasi hasil pemeriksaan laboratorium pada skenario:

    1. Hemoglobin (Hb)

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    11/28

    Nilai normal dewasa pria 13.5-18.0 gram/dL, wanita 12-16

    gram/dL, wanita hamil 10-15 gram/Cl. Nilai normal anak 11-16 gram/dL,

    batita 9-15 gram/dL, bayi 10-17 gram/dL, neonatus 14-27 gram/Cl.

    Hb rendah (18 gram/dL) berkaitan dengan luka bakar, gagaljantung, COPD (bronkitis kronik dengan cor pulmonale), dehidrasi /

    diare, eritrositosis, polisitemia vera, dan pada penduduk pegunungan

    tinggi yang normal. Dari obat-obatan: metildopa dan gentamisin.

    2. HematokritNilai normal dewasa pria 40-54%, wanita 37-47%, wanita hamil

    30-46%. Nilai normal anak 31-45%, batita 35-44%, bayi 29-54%,

    neonatus 40-68%

    Hematokrit merupakan persentase konsentrasi eritrosit dalam

    plasma darah. Secara kasar, hematokrit biasanya sama dengan tiga kali

    hemoglobin.

    Ht tinggi (> 55 %) dapat ditemukan pada berbagai kasus yangmenyebabkan kenaikan Hb; antara lain penyakit Addison, luka

    bakar, dehidrasi / diare, diabetes melitus, dan polisitemia. Ambang

    bahaya adalah Ht >60%.

    Ht rendah (< 30 %) dapat ditemukan pada anemia, sirosis hati,gagal jantung, perlemakan hati, hemolisis, pneumonia, dan

    overhidrasi. Ambang bahaya adalah Ht

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    12/28

    Nilai normal 4500-10000 sel/mm3. Neonatus 9000-30000

    sel/mm3, Bayi sampai balita rata-rata 5700-18000 sel/mm3, Anak 10

    tahun 4500-13500/mm3, ibu hamil rata-rata 6000-17000 sel/mm3,

    postpartum 9700-25700 sel/mm3

    Segala macam infeksi menyebabkan leukosit naik; baik infeksi

    bakteri, virus, parasit, dan sebagainya. Kondisi lain yang dapat

    menyebabkan leukositosis yaitu:

    Anemia hemolitik Sirosis hati dengan nekrosis Stres emosional dan fisik (termasuk trauma dan habis berolahraga) Keracunan berbagai macam zat Obat: allopurinol, atropin sulfat, barbiturat, eritromisin, streptomisin,

    dan sulfonamid.

    Leukosit rendah (disebut juga leukopenia) dapat disebabkan

    oleh agranulositosis, anemia aplastik, AIDS, infeksi atau sepsis hebat,

    infeksi virus (misalnya dengue), keracunan kimiawi, dan postkemoterapi.

    Penyebab dari segi obat antara lain antiepilepsi, sulfonamid, kina,

    kloramfenikol, diuretik, arsenik (terapi leishmaniasis), dan beberapa

    antibiotik lainnya.

    4. Leukosit (hitung jenis)Nilai normal hitung jenis:

    Basofil 0-1% (absolut 20-100 sel/mm3) Eosinofil 1-3% (absolut 50-300 sel/mm3) Netrofil batang 3-5% (absolut 150-500 sel/mm3) Netrofil segmen 50-70% (absolut 2500-7000 sel/mm3) Limfosit 25-35% (absolut 1750-3500 sel/mm3) Monosit 4-6% (absolut 200-600 sel/mm3)

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    13/28

    Penilaian hitung jenis tunggal jarang memberi nilai diagnostik,

    kecuali untuk penyakit alergi di mana eosinofil sering ditemukan

    meningkat.

    Peningkatan jumlah netrofil (baik batang maupun segmen) relatifdibanding limfosit dan monosit dikenal juga dengan sebutan shift to

    the left. Infeksi yang disertai shift to the left biasanya merupakan

    infeksi bakteri dan malaria. Kondisi noninfeksi yang dapat

    menyebabkan shift to the left antara lain asma dan penyakit-penyakit

    alergi lainnya, luka bakar, anemia perniciosa, keracunan merkuri

    (raksa), dan polisitemia vera.

    Sedangkan peningkatan jumlah limfosit dan monosit relatifdibanding netrofil disebut shift to the right. Infeksi yang disertai shift

    to the rightbiasanya merupakan infeksi virus. Kondisi noninfeksi

    yang dapat menyebabkan shift to the right antara lain keracunan

    timbal, fenitoin, dan aspirin.

    5. TrombositNilai normal dewasa 150.000-400.000 sel/mm3, anak 150.000-

    450.000 sel/mm3.

    Penurunan trombosit (trombositopenia) dapat ditemukan padademam berdarah dengue, anemia, luka bakar, malaria, dan sepsis.

    Nilai ambang bahaya pada 1.000.000 sel/mm3.

    D. Penatalaksanaan Kejang Demam Pada AnakUrutan penatalaksanaan kejang demam pada anak adalah sebagai berikut:

    1. 05 menit:

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    14/28

    a. Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baikb. Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan,

    berikan oksigen

    c. Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaanumum dan neurologi secara cepat

    d. Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi2. 510 menit:

    a. Pemasangan akses intarvenab. Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolitc. Pemberian diazepam 0,2 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau

    diazepam rektal 0,5 mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat

    badan > 10 kg = 10 mg).

    d. Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu dua kalisetelah 510 menit.

    e. Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.3. 1015 menit

    a. Cenderung menjadi status konvulsivusb. Berikan fenitoin 15 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl

    0,9%

    c. Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 10 mg/kgbb sampaimaksimum dosis 30 mg/kgbb.

    4. 30 menita. Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-

    10 mg/kg dengan interval 1015 menit.

    b. Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gasdarah, elektrolit, gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang

    ada. Awasi tanda tanda depresi pernafasan.

    c. Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unitperawatan intensif.

    Ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu

    1. pengobatan fase akut ;

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    15/28

    2. mencari dan mengobati penyebab ; dan3. pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.

    1. Pengobatan fase akutPenatalaksanaan saat kejang : Sering kali kejang berhenti sendiri.

    Pada waktu kejang, yang perlu diperhatikan adalah ABC (Airway,

    Breathing,Circulation). Perhatikan juga keadaan vital seperti kesadaran,

    tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang

    tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian antipiretik.

    Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam

    yang diberikan Intravena (IV). Dosis diazepam IV 0,3-0,5 mg/kgbb/kali

    dengan kecepatan 1-2 mg/menit dalam waktu 3-5 menit dengan dosis

    maks 20 mg.

    Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atu dirumah

    adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis

    diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk

    anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg dengan berat diatas

    10 kg. dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun dan dosis 7,5 mg

    diatas 3 tahun.

    Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum terhenti,

    dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval 5

    menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,

    dianjurkan ke rumah sakit. Dirumah sakit dapat diberikan diazepam IV

    dengan dosis 0,3 -0,5 mg/kg.

    Bila kejang tetap belum berhenti berikan fenitoin dengan dosis

    awal 10-20 mg/kgbb IV perlahan-lahan 1 mg/kgbb/menit atau kurang dari

    50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8

    mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang

    tidak berhenti juga maka pasien harus dirawat diruang intensif. Setelah

    pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis

    karena fenitoin bersifat basa dan dapat menyebabkan iritasi vena.

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    16/28

    Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung

    dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks

    dan faktor resikonya.

    Pemberian Antipiretik : Dosis parasetamol yang digunakan

    adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan dalam 4 kali pemberian per hari dan

    tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen adalah 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali

    sehari. Asam asetilsalisilat tidak dianjurkan karena kadang dapat

    menyebabkan sindrom Reye pada anak kurang dari 18 bulan.

    Pemberian Antikonvulsan : Pemakaian diazepam oral dosis 0,3

    mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulang kejang

    pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/

    kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5Oc. Fenobarbital, karbamazepin, dan

    fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.

    Pemberian obat umat dengan indikasi :

    a. Kejang lama >15 menitb. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,

    misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retatdasi mental,

    hidrosefalus.

    c. Kejang fokald. Pengobatan rumatan dipertimbangkan bila:

    1) Kejang berulang 2 X atau lebih dalam 24 jam2) Kejang demam 4 X atau lebih pertahun

    Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif

    dalam menurunkan risiko berulang kejang. Pemakaian fenobarbital setiap

    hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-

    50% kasus. Dosis asam valproat pada anak anak adalah 15-40 mg/kg/hari

    dalam 2-3 dosis, dan dosis fenobarbital 3-4mg/kg per hari dalam 1-2 dosis.

    Lama Pengobatan Rumat : Pengobatan diberikan selama 1

    tahun bebas kejang, kemudian diberhentikan secara bertahap selama 1-2

    tahun.

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    17/28

    2. Mencari dan mengobati penyebab.Pemeriksaan LCS dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan

    meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun

    demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus

    yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau

    bila kejang demam berlangsung lama.

    3. Pengobatan profilaksisAda 2 cara profilaksis, yaitu :

    a. profilaksis intermiten saat demam danb. profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan setiap hari

    Untuk profilaksis intermiten diberikan diazepam secara oral

    dengan dosis 0,3-0,5mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien

    demam. Diazepam dapat pula diberikan secara intrarektal tiap 8 jam

    sebanyak 5 mg (BB10kg) setiap pasien menunjukan suhu

    >38,5oc. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan

    hipotonia.

    Profilaksis terus-menerus berguna untuk mencegah berulangnya

    kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi dapat

    mencegah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Digunakan fenobarbital

    4-5 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis atau obat lain seperti asam valproat

    dengan dosis 15-40 mg/kgbb/hari. Antikonvulsan profilaksis terus-

    menerus diberikan selama 1-2 tahun setalah kejang terakhir dan dihentikan

    bertahap selama 1-2 bulan.

    Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2

    kriteria (termasuk poin 1 atau 2) yaitu :

    a. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologisatau perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)

    b. Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainanneurologis sementara atau menetap

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    18/28

    c. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudarakandung.

    d. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    19/28

    muscle weakness, nausea, neutropenia disorder, polydipsia, pruritus

    of skin, seizure disorder, sialorrhea, skin rash, sleep automatism,

    tachyarrhythmia, trombositopenia, tremors, visual changes,

    vomiting, xerostomia.

    4. Mekanisme kerjaBekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi

    hambatan neuron GABA. Reseptor Benzodiazepin dalam seluruh sistem

    saraf pusat, terdapat dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam

    korteks otak frontal dan oksipital, di hipokampus dan dalam otak kecil.

    Pada reseptor ini, benzodiazepin akan bekerja sebagai agonis. Terdapat

    korelasi tinggi antara aktivitas farmakologi berbagai benzodiazepin

    dengan afinitasnya pada tempat ikatan.

    Dengan adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap

    reseptornya akan meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan

    meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion klorida akan

    terbuka sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke

    dalam sel. Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan

    hiperpolarisasi sel bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan sel

    untuk dirangsang berkurang.

    5. IndikasiDiazepam digunakan untuk memperpendek mengatasi gejala yang

    timbul seperti gelisah yang berlebihan, diazepam juga dapat diinginkan

    untuk gemeteran, kegilaan dan dapat menyerang secara tiba-tiba.

    Halusinasi sebagai akibat mengkonsumsi alkohol. diazepam juga dapat

    digunakan untuk kejang otot, kejang otot merupakan penyakit neurologi.

    dizepam digunakan sebagai obat penenang dan dapat juga

    dikombinasikan dengan obat lain.

    6. Kontraindikasia. Hipersensitivitas

    b. Sensitivitas silang dengan benzodiazepin lainc. Pasien koma

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    20/28

    d. Depresi SSP yang sudah ada sebelumnyae. Nyeri berat tak terkendalif. Glaukoma sudut sempitg. Kehamilan atau laktasih. Diketahui intoleran terhadap alkohol atau glikol propilena (hanya

    injeksi)

    7. Dosis dan rutea. Antiansietas, Antikonvulsan

    PO (Dewasa) : 2-10 mg 2-4 kali sehari atau 15-30 mg bentuk lepas

    lambat sekali sehari.

    PO (anak-anak > 6 bulan) : 1-2,5 mg 3-4 kali sehari.

    IM, IV (Dewasa) : 2-10 mg, dapat diulang dalam 3-4 jam bila perlu.

    b. Pra-kardioversiIV (Dewasa) : 5-15 mg 5-10 menit prakardioversi.

    c. Pra-endoskopiIV (Dewasa) : sampai 20 mg.

    IM (Dewasa) : 5-10 mg 30 menit pra-endoskopi.

    d. Status EpileptikusIV (Dewasa) : 5-10 mg, dapat diulang tiap 10-15 menit total 30 mg,

    program pengobatan ini dapat diulang kembali dalam 2-4 jam (rute

    IM biasanya digunakan bila rute IV tidak tersedia).

    IM, IV (Anak-anak > 5 tahun) : 1 mg tiap 2-5 menit total 10 mg,

    diulang tiap 2-4 jam.

    IM, IV (Anak-anak 1 bulan5 tahun) : 0,2-0,5 mg tiap 2-5 menit

    sampai maksimum 5 mg, dapat diulang tiap 2-4 jam.

    Rektal (Dewasa) : 0,15-0,5 mg/kg (sampai 20 mg/dosis).

    Rektal (Geriatrik) : 0,2-0,3 mg/kg.Rektal (Anak-anak) : 0,2-0,5

    mg/kg.

    e. Relaksasi Otot Skelet

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    21/28

    PO (Dewasa) : 2-10 mg 3-4 kali sehari atau 15-30 mg bentuk lepas

    lambat satu kali sehari. 2-2,5 mg 1-2 kali sehari diawal pada lansia

    atau pasien yang sangat lemah.

    IM, IV (Dewasa) : 5-10 mg (2-5 mg pada pasien yang sangat lemah)

    dapat diulang dalam 2-4 jam.

    f. Putus AlkoholPO (Dewasa) : 10 mg 3-4 kali pada 24 jam pertama, diturunkan

    sampai 5 mg 3-4 kali sehari.

    IM, IV (Dewasa) : 10 mg di awal, keudian 5-10 mg dalam 3-4 jam

    sesuai keperluan.

    BAB III

    PEMBAHASAN

    Pada skenario dengan judul Anak Saya Stuip didapatkan seorang anak

    laki-laki umur 1 tahun dibawa ke IGD oleh ibunya dengan keluhan kejang. Pada

    anak-anak kejang merupakan hal yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

    Pada kasus kejang informasi yang didapat dari hasil anamnesis terhadap orang

    yang melihat langsung pada saat kejadian merupakan hal yang penting karena

    hampir seluruh kasus kejang tidak sedang kejang pada saat pemeriksaan

    berlangsung. Hal pertama yang diketahui adalah identitas pasien yaitu seorang

    anak laki-laki berusia 1 tahun yang akan mengarahkan diagnosis sesuai

    epidemiologi. Hal-hal lain yang harus digali pada anamnesis kasus kejang

    berguna untuk menyingkirkan diagnosis pseudoseizure sesuai kriteria yang telah

    diketahui kemudian apabila diketahui bahwa pasien sungguh-sungguh mengalami

    kejang maka dapat mengarahkan diagnosis berdasarkan presentasi kejang yang

    dialami. Informasi bahwa kejang baru pertama kali ini memungkinan bahwa

    pasien tidak memiliki penyakit yang memang ditandai kejang berulang.

    Kemudian dikatan pula bahwa kejang baru pertama kali ini kurang lebih 5

    menit, kejang seluruh tubuh, tangan dan kaki kaku kemudian kelojotan, mata

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    22/28

    mendelik ke atas, kemudian kejang berhenti sendiri. Setelah kejang, pasien

    tampak mengantuk. Pasien sebelumnya demam tinggi mendadak, batuk dan pilek.

    Tidak didapatkan riwayat jatuh atau terbentur sebelumya. Mengantuk pasca

    kejang merupakan kondisi biasa terjadi. Hal tersebut diakibatkan oleh kelelahan

    dan menurunnya jumlah neurotransmitter. Demam, batuk, dan pilek merupakan

    indikasi terjadinya infeksi saluran pernafasan atas. Berdasarkan studi

    epidemiologi, penyebab kejang demam tertinggi pada anak adalah ISPA diikuti

    radang telinga tengah, infeksi saluran cerna, dan infeksi saluran kemih (Hanhan,

    2001). Adanya infeksi pada pasien juga dibuktikan dengan hasil pemeriksaan

    leukosit yang melebihi batas normal. Pasien tidak mengalami kaku kuduk yang

    menandakan pasien dalam skenario tidak mengalami meningitis.

    Dari keterangan di atas, dapat dilihat bahwa pasien mengalami kejang

    demam. Kejang demam pada anak terjadi apabila terdapat peningkatan suhu tubuh

    yang bila diukur dengan termometer pada rektal anak akan diperoleh suhu >38 0C.

    Kejang demam pada anak terjadi karena proses ekstrakranial dan terjadi paling

    banyak pada anak usia 3 bulan-5 tahun. Selain demam sebagai faktor risiko dan

    faktor pencetus terjadinya kejang demam pada anak, usia juga merupakan faktor

    risiko terjadinya kejang pada anak. Hal ini berkaitan dengan tahap perkembangan

    otak anak. Pematangan otak anak terjadi sampai anak berusia 2 tahun, yang

    meliputi 6 fase yaitu neurulasi, perkembangan prosensefali, proliferasi neuron,

    migrasi neural, organisasai dan mielinisasi. Pada usia

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    23/28

    mengantuk, hal ini terjadi pada kejang umum tonik-klonik akibat kelelahan.

    Apabila pasien dapat ditanya yaitu pada pasien yang lebih dewasa, biasanya tidak

    ingat dengan kejang yang dialami karena kejang mengenai sistem saraf pusat.

    Pada kasus kejang demam biasanya pasien menangis setelah berhenti kejang.

    Tidak terdapatnya riwayat jatuh atau terbentur sebelumnya dapat

    menyingkirkan penyebab kejang berupa cedera kepala. Cedera kepala baik

    sebelum maupun setelah lahir dapat menyebabkan kelainan cerebrum yang akan

    mendorong respon kejang. Dengan menyingkirkan penyebab ini, maka kejang

    yang dialami pasien dalam skenario adalah disebabkan karena demam tinggi

    mendadak yang dialaminya (ekstrakranial) bukan proses intrakranial.

    Hasil pemeriksaan, kesadaran somnolen, BB 10 kg, TB 80 cm, suhu

    39.80C, nafas 24 x/menit, nadi 100 x/menit, isi cukup, tekanan darah 100/70

    mmHg. Ubun-ubun datar, tidak menonjol, tidak ada kaku kuduk. Pada

    pemeriksaan fisik di atas, dapat disimpulkan bahwa keadaan pasien tampak

    mengantuk, suhu meningkat, nafas sedikit menurun, nadi normal dan tekanan

    darah meningkat. Hal ini berdasarkan nilai normal pemeriksaan vital sign pada

    anak usia 1 tahun. Tekanan darah normal anak usia 6 bulan-12 tahun yaitu 90/60

    mmHg dan anak usia 1 tahun-5 tahun yaitu 95/65 mmHg. Frekuensi pernafasan

    normal anak usia 1 bulan-1 tahun yaitu 30-60 x/menit dan anak usia 1 tahun-2

    tahun yaitu 25-50 x/menit. Frekuensi nadi normal anak usia 3 bulan-2 tahun yaitu

    80-150 x/menit dan suhu rektal anak normal yaitu 36.5-37.50C. BB dan TB selain

    untuk mengetahui status gizi anak juga digunakan untuk menentukan dosis obat

    untuk pasien anak.

    Ubun-ubun datar dan tidak menonjol menunjukkan bahwa tidak ada

    penurunan maupun peningkatan tekanan intrakranial. Ubun-ubun cekung dapat

    ditemukan pada kondisi dehidrasi yang juga dapat menimbulkan timbulnya

    kejang. Tidak ada kaku kuduk menandakan pasien dalam skenario tidak

    mengalami meningitis. Apabila ditemukan tanda-tanda meningeal pada anak,

    maka pemeriksaan selanjutnya yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan pungsi

    lumbal.

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    24/28

    Pada pasien diberikan diazepam per rektal, sesuai prosedur pada

    penanganan kejang anak meskipun pada saat di IGD kejang telah berhenti.

    Diazepam merupakan antikonvulsan dengan onset cepat dan durasi singkat yang

    akan meredakan kejang dan mencegah serangan kejang berikutnya. Serangan

    kejang seluruh tubuh termasuk dalam emergensi yang harus segera ditangani dan

    diutamakan menghentikan kejangnya terlebih dahulu sebelum anamnesis dan

    pemeriksaan terperinci apabila kejang masih dialami pada saat berada di tempat

    pelayanan kesehatan. Pemberian per rektal pada bayi dan anak-anak merupakan

    cara yang tepat karena cepat diserap oleh mukosa anus serta menghindari risiko

    trauma apabila penggunaan dengan injeksi ataupun aspirasi pada penggunaan

    enteral. Sediaan dalam bentuk per rektal juga mudah didapat serta penggunaannya

    ergonomis dengan kemasannya. Pengobatan dapat diberikan kembali, dihentikan

    atau dilanjutkan obat lain sesuai dengan alur penatalaksanaan kejang yang telah

    ditentukan prosedur tetapnya.

    Hasil laboratorium Hb 12gr%, hematokrit 35%, jumlah leukosit

    22.000/mm3, jumlah trombosit 325.000/mm3, GDS 100 mg/dl, natrium 135

    mmol/l, kalium 4 mmol/l. Pasien selanjutnya dirawat di bangsal atas persetujuan

    orang tua pasien. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, hasil yang tidak normal

    yaitu pada jumlah leukosit. Terdapat peningkatan jumlah leukosit pada anak di

    skenario. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi infeksi pada pasien. Infeksi yang

    dialami pasien ini yaitu berupa infeksi respiratori akut bagian atas yang tampak

    dengan adanya batuk pilek pada pasien.

    Pasien dirawat dibangsal dan tidak langsung dipulangkan karena pasien

    baru pertama kali mengalami kejang, sehingga kedaannya masih harus terus

    dievaluasi untuk mencegah terjadinya kejang demam berulang. Adapun risiko

    anak untuk mengalami kejang demam berulang tergantung pada usia anak saat

    pertama kali mengalami kejang demam, bila usia anak < 1 tahun saat kejang

    demam pertama kali maka risikonya 50% untuk mengalami kejang demam

    ulangan, sedangkan bila usia anak > 1 tahun saat kejang demam pertama kali

    maka risikonya menjadi 30% untuk mengalami kejang demam ulangan. Anak

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    25/28

    dengan riwayat kejang demam memiliki risiko 2-3% untuk mengalami epilepsi

    pada usia 7 tahun.

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    26/28

    BAB III

    PENUTUP

    A. SimpulanBerdasarkan jenisnya kejang dibagi dalam kejang parsial dan kejang

    umum. Pada skenario ini kejangnya adalah kejang tonik klonik yang masuk

    dalam kejang umum. Penatalaksanaan kejang untuk lini pertama pada kasus

    ini adalah diazepam per rectal dan untuk jenis kejang yang kompleks serta

    tidak memberikan respon dapat ditambahkan dengan antikonvulsan yang lain.

    Jika kejang berulang >2 kali per 24 jam, maka harus diberikan terapi rumatan

    sampai 1 tahun bebas kejang. Kedaruratan yang terdapat pada skenario ini

    adalah kejang pada pediatri, dan alasan pasien dimasukkan dalam bangsal,

    bukan PICU karena dengan terapi lini pertama pasien sudah memeberikan

    hasil yang diharapkan. Pasien akan dimasukkan ke dalam PICU jika obat

    yang diberikan menyebabkan efek samping terhadap tubuh, misalkan

    nidazolam yang menyebabkan paralisis otot-otot pernapasan sehingga pasien

    memerlukan perawatan di PICU. Anak yang mengalami kejang dan tidak

    mendapat penanganan yang tepat prognosisnya akan mengalami gangguan

    tumbuh kembang. Maka pada kasus skenario ini segera diberikan terapi

    kejang berupa obat antikonvulsan. Selain itu baiknya diberikan terapi suportif

    yaitu obat antipiretik karena kasus ini adalah kejang demam, perhatikan

    posisi pasien untuk tetap menjaga airway terbuka, mencegah aspirasi,

    menjauhkan pasien dari tempat yang berbahaya, serta tidak lupa lakukan

    evaluasi dan segera mengatasi penyebab kejangnya.

    B. Saran1. Setiap kasus kejang demam anak harus ditangani dengan segera, karena

    komplikasinya dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak tersebut

    selanjutnya.

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    27/28

    2. Diskusi tutorial skenario 3 blok kegawatdaruratan medik sudah berjalandengan lancar. Mahasiswa aktif mengutarakan materi-materi yang sudah

    didapatkan.

    3. Tutor sudah mengarahkan diskusi dengan baik sehingga tutorial berjalandengan lancar sesuai tujuan dari sistem berbasis kompetensi.

  • 7/29/2019 Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

    28/28

    DAFTAR PUSTAKA

    Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W (2000).

    The treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis

    Child; 83:415-19.

    Berg A T (2003). Are Febrile Seizures Provoked by a Rapid Rise in Temperature.

    AJDC; 147: 1101-3.

    Chernecky CC & Berger BJ (2008). Laboratory Tests and Diagnostic Procedures

    5th edition. Saunders-Elsevier.

    Deliana M (2002). Tata laksana kejang demam pada anak. Dalam: Sari pediatrivolume 4 nomor 2. Medan: FK USU.

    Gradnner D K (2004). Membran : Struktur, Susunan & Fungsinya. Dalam :

    Ronardi D H, Oswari J ed. Biokimia Harper (alih bahasa) cetakan ke 1.

    Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC: 529-50.

    Hanhan UA, Fialos MR, Orlowski JP (2001). Status Epilepticus. Ped Clin NorthAm. 48.3. 683-94.