Upload
meilani-ayu-lestari
View
467
Download
34
Embed Size (px)
Citation preview
A. PENGERTIAN
Fraktur adalah putusnya hubungan suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh
kekerasan (E. Oerswari, 1989 : 144). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer,
2000 : 347).
Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar. Fraktur
terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi
infeksi (Sjamsuhidajat, 1999 : 1138).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat
trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak
dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang
cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok (FKUI, 1995:543).
Jadi, kesimpulan fraktur adalah suatu cedera yang mengenai tulang yang disebabkan oleh
trauma benda keras.
B. ANATOMI DAN FISIOLOGIS
Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25% berat badan, dan otot
menyusun kurang lebih 50%.Kesehatan baikya fungsi system musculoskeletal sangat
tergantung pada sistem tubuh yang lain. Struktur tulang- tulang memberi perlindungan
terhadap organ vital termasuk otak,jantung dan paru. Kerangka tulang merupakan kerangka
yang kuat untuk meyangga struktur tubuh otot yang melekat ke tulang memungkinkan tubuh
bergerak metrik.
Tulang meyimpam kalsium, fosfor, magnesium, fluor. Tulang dalam tubuh manusia yang
terbagi dalam empat kategori: tulang panjang (missal femur tulang kumat) tulang pendek
(missal tulang tarsalia),tulang pipih (sternum) dan tulang tak teratur (vertebra). Tulang
tersusun oleh jaringan tulang kanselus (trabekular atau spongius).Tulang tersusun atas
sel,matrik protein,deposit mineral.sel selnya terdiri atas tiga jenis dasar osteoblas,osteosit dan
osteocklas.osteoblas berfungi dalam pembetukan tulang dengan mensekresikan matriks
tulang. Matrik merupakan kerangka dimana garam - garam mineral anorganik di timbun.
Ostiosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharahan fungsi tulang dan tarletak
ostion. Ostioklas adalah sel multi nukliar yang berperan dalam panghancuran,resorpsi dan
remodeling tulang. Tulang diselimuti oleh membran fibrus padat di namakan periosteum
mengandung saraf,bembulu darah dan limfatik.endosteum adalah membrane faskuler tipis
yang menutupi rongga sumsum tulang panjang dan rongga – rongga dalam tulang kanselus.
Sumsum tulang merupakan jaringan faskuler dalam rongga sumsum tulang panjang dan
dalam pipih.Sumsum tulang merah yang terletak di sternum,ilium,fertebra dan rusuk pada
orang dewasa,bertanggung jawab pada produksi sel darah merah dan putih.pembentukan
tulang .Tulang mulai tarbentuk lama sebelum kelahiran. (Mansjoer. 2000 : 347)
C. KLASIFIKASI
Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :
1. Fraktur Intrakapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul dan Melalui
kepala femur (capital fraktur)
Hanya di bawah kepala femur
Melalui leher dari femur
2. Fraktur Ekstrakapsuler;
3. Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih besar/yang
lebih kecil /pada daerah intertrokhanter.
4. Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah
trokhanter kecil.
D. ETIOLOGI / PREDISPOSISI
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
1. Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah
secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan
pada kulit di atasnya.
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
a. Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas ) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan kegagalan absorbsi
Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
3. Secara Spontan
Disesbabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan
orang yang bertugas dikemiliteran.
E. PATOFISIOLOGI
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan adanya gaya
dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolic, patologik. Kemampuan otot
mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah
akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi
peubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi
edem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai
serabut saraf yang dapat menimbulkan ganggguan rasa nyaman nyeri.
Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi revral vaskuler yang menimbulkan
nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggau. Disamping itu fraktur terbuka dapat
mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi dan kerusakan jaringan
lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan metabolik,
patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka atau tertutup akan
mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selaian itu
dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri
gerak sehingga mobilitas fisik terganggu, disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai
jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar.
Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan immobilitas
yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada
tempatnya sampai sembuh. (Sylvia, 1995 : 1183)
F. MANIFESTASI KLINIS
1. Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya
perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang.
b. Penekanan tulang.
2. Bengkak : Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
3. Echimosis dari perdarahan Subculaneous.
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur.
5. Tenderness / keempukan.
6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan
kerusakan struktur didaerah yang berdekatan.
7. Kehilangan sensasi ( mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya syaraf/perdarahan ).
8. Pergerakan abnormal.
9. Dari hilangnya darah.
10. Krepitasi (Black, 1993 : 199 ).
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan pada klien dengan fraktur tertutup adalah sebagai berikut :
1. Terapi non farmakologi, terdiri dari :
a. Proteksi, untuk fraktur dengan kedudukan baik. Mobilisasi saja tanpa reposisi,
misalnya pemasangan gips pada fraktur inkomplet dan fraktur tanpa kedudukan baik.
b. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips. Reposisi dapat dalam anestesi umum atau
lokal.
c. Traksi, untuk reposisi secara berlebihan.
2. Terapi farmakologi, terdiri dari :
a. Reposisi terbuka, fiksasi eksternal.
b. Reposisi tertutup kontrol radiologi diikuti interial.
Terapi ini dengan reposisi anatomi diikuti dengan fiksasi internal. Tindakan pada fraktur
terbuka harus dilakukan secepat mungkin, penundaan waktu dapat mengakibatkan
komplikasi. Waktu yang optimal untuk bertindak sebelum 6-7 jam berikan toksoid, anti
tetanus serum (ATS) / tetanus hama globidin. Berikan antibiotik untuk kuman gram
positif dan negatif dengan dosis tinggi. Lakukan pemeriksaan kultur dan resistensi
kuman dari dasar luka fraktur terbuka. (Smeltzer, 2001).
H. KOMPLIKASI
Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa jam
setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan sindrom
kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanent jika tidak ditangani
segera.komplikasi lainnya adalah infeksi, tromboemboli yang dapat menyebabkan kematian
beberapa minggu setelah cedera dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID).
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat pendarahan (baik kehilangan dara eksterna
maupun tak kelihatan ) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak dapat terjadi
pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis,dan vertebra karena tulang merupakan organ yang
sangat vaskuler, maka dapaler terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai
akibat trauma,khususnya pada fraktur femur pelvis.
Penanganan meliputi mempertahankan volume darah,mengurangi nyeri yang diderita
pasien, memasang pembebatan yang memadai, dan melindungi pasien dari cedera lebih
lanjut. Sindrom Emboli Lemak. Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis,fraktur
multiple,atau cidera remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada dewasa muda 20-30th
pria pada saat terjadi fraktur globula lemat dapat termasuk ke dalam darah karma tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karma katekolamin yang di lepaskan
oleh reaksi setres pasien akan memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula
lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk
emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal
dan organ lain awitan dan gejalanya, yang sangat cepat, dapat terjadi dari beberapa jam
sampai satu minggu setelah cidera gambaran khansya berupa hipoksia, takipnea, takikardia,
dan pireksia.
I. PENGKAJIAN FOKUS
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh
(Boedihartono, 1994: 10).
Pengkajian Pasien Post Operasi Fraktur ( Doenges, 1999) meliputi :
a. Gejala Sirkulasi
Gejala : Riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmononal, penyakit vascular perifer
atau Statis vascular (peningkatan resiko pembentu kan thrombus ).
b. Integritas Ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; faktor-faktor stress multiple, misalnya
financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ; stimulasi simpatis.
c. Makanan / Cairan
Gejala : insufisiensi pankreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis) ;
malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane mukosa yang kering (pembatasan
pemasukkan / periode puasa pra operasi).
d. Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
e. Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ; Defisiensi immune
(peningkatan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan) ; Munculnya kanker /
terapi kanker terbaru ; Riwayat keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ;
Riwayat penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat mengubah
koagulasi) ; Riwayat transfusi darah / reaksi transfusi.
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
f. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : penggunaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi, kardiotonik
glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan, analgesic, anti inflamasi,
antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan
rekreasional. Penggunaan alkohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang mempengaruhi
koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga potensial bagi penarikan diri pasca operasi).
g. Pemeriksaan Penunjang :
1) Pemeriksaan Rongent
Menentukan luas atau lokasi minimal 2 kali proyeksi, anterior, posterior lateral.
2) CT Scan tulang, fomogram MRI
Untuk melihat dengan jelas daerah yang mengalami kerusakan.
3) Arteriogram (bila terjadi kerusakan vasculer)
4) Hitung darah kapiler
HT mungkin meningkat (hema konsentrasi) meningkat atau menurun.
Kreatinin meningkat, trauma obat, keratin pada ginjal meningkat.
Kadar Ca kalsium, Hb.
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun
potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 : 17).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur Wilkinson, 2006
meliputi :
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka.
K. FOKUS INTERVENSI DAN RASIONAL
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang
Tujuan dan kriteria hasil:
Nyeri dapat berkurang / hilang
Pasien tampak tenang
a. Lakukan pendekatan pada klien & keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien & keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas & frekuensi nyeri
R/ Tingkat intensitas nyeri & frekuensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ Memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri
d. Observasi tanda-tanda vital
R/ Untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik
R/ Merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgetik berfungsi untuk
memblok stimulasi nyeri
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal.
Tujuan dan Kriteria Hasil:
Pasien memiliki cukup energi untuk beraktifias
Perilaku menampakkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri
Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktifitas tanpa dibantu
Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainnya baik. luka
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup
R/ mengurangi aktifitas dan energi yang tidak terpakai
b. Berikan latihan aktifitas secara bertahap
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktifitas secara perlahan dengan
menghemat tenaga tujuan yang tepat, mobilisasi dini
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan
R/ Mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali
d. Setelah latihan dan aktifitas kaji respon pasien
R/ menjaga kemungkinan adanya –menjaga kemungkinan adanya abnormal dari tubuh
sebagai akibat dari latihan.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka
Tujuan dan Kriteria Hasil:
Tidak terjadi infeksi
Tidak ada tanda-tanda infeksi
a. Kaji keadaan luka (kontinuitas dari kulit) terhadap ada- nya: edema, rubor, kalor,
dolor, fungsi laesa.
R/ Untuk mengetahui tanda-tanda infeksi
b. Anjurkan pasien untuk tidak memegang bagian yang luka.
R/ Meminimalkan terjadinya kontaminasi.
c. Merawat luka dengan menggunakan tehnik aseptik
R/ Mencegah kontami- nasi dan kemungkin- an infeksi silang.
d. Mewaspadai adanya keluhan nyeri men- dadak, keterbatasan gerak, edema lokal,
eritema pada daerah luka.
R/ Merupakan indikasi adanya osteomilitis.
e. Pemeriksaan darah : leokosit
R/ Lekosit yang meningkat artinya sudah terjadi proses infeksi
f. Pemberian obat-obatan : antibiotika
R/ Mempercepat proses penyembuhan luka dan dan penyegahan peningkatan infeksi.
M. KOMPLIKASI FRAKTUR
1. Sindroma Kompartemen
Sindroma kompartemen adalah suatu sindrom yang terjadi karena beberapa hal,
bisa disebabkan oleh fraktur, di mana terjadi peningkatan tekanan intrakompartemen
sehingga terjadi iskemia jaringan.
Peningkatan tekanan ini disebabkan oleh
terisinya cairan ke dalam kompartemen
(fascia), dan tidak diikuti oleh
pertambahan luas/volume kompartemen
itu sendiri. Cairan tersebut dapat berupa
darah atau edema yang disebabkan oleh
fraktur. Dengan meningkatnya tekanan intrakompartemen (interstitial) yang
melampaui tekanan perfusi kapiler (pembuluh darah), akan menyebabkan aliran darah
yang seyogyanya mensuplai oksigen dan nutrisi ke jaringan menjadi tidak adekuat
(kolaps). Hal ini akan memicu terjadinya iskemia jaringan, yang menyebabkan edema
sehingga tekanan intrakompartemen tersebut akan semakin meningkat. Bila hal ini
tidak diatasi, maka iskemia yang terjadi akan menimbulkan kematian jaringan dan
nekrosis, yang pada akhirnya dapat mengancam nyawa.
Secara umum terdapat beberapa tanda (sign) untuk sindroma kompartemen, yang
disingkat menjadi 5P:
Pain (nyeri), yang sering ditemukan dan terjadi di awal sindrom
Parestesia, yaitu gangguan pada saraf sensorik
Paralisis, yaitu gangguan motorik yang ditemukan setelah beberapa waktu
Pallor, yaitu pucat pada kulit akibat berkurangnya suplai darah
Pulselessness, yaitu kehilangan denyut arteri
Cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan teknik fasciotomi, suatu tindakan
operatif untuk membebaskan cairan yang terperangkap di dalam kompartemen.
2. Cedera Vaskular
Cedera vaskular, terutama cedera arteri merupakan konsekuensi berbahaya dari
fraktur yang dapat mengancam jaringan dan nyawa. Pembuluh darah dapat
mengalami cedera di mana saja, namun ada tempat-tempat tertentu yang sangat rentan
terhadap cedera vaskular. Di ekstremitas atas, bagian aksila, lengan atas anterior dan
medial serta fossa antecubital adalah daerah yang berisiko tinggi, sedangkan di
ekstremitas bawah, daerah inguinal, paha medial dan fossa popliteal adalah daerah
yang berisiko tinggi jika mengalami cedera vaskular. Pada daerah-daerah tersebut,
hanya terdapat satu arteri tunggal yang berjalan sepanjang daerah tertentu sebelum
bercabang (furcatio) di daerah yang lebih distal. Arteri tunggal ini nantinya akan
bercabang menjadi dua di ekstremitas atas (a. brachialis bercabang menjadi a.radialis
dan a.ulnaris setelah fossa cubiti) dan tiga di ekstremitas bawah (a.femoralis akan
bercabang menjadi a.tibial anterior, a.tibial posterior, dan a.fibular/peroneal setelah
fossa popliteal). Dengan demikian, apabila terjadi cedera vaskular pada arteri tunggal
ini menyebabkan iskemia yang luas pada jaringan yang lebih distal. Hal ini akan
berbeda jika cedera vaskular terjadi di daerah yang lebih distal setelah percabangan,
di mana risiko iskemia jaringan tidak seluas yang ditimbulkan oleh cedera arteri
tunggal. Braten et al mengemukakan bahwa penanganan cedera vaskular paling baik
dalam jangka waktu 6 jam setelah terjadinya fraktur. Penanganan tersebut meliputi
imobilisasi ekstremitas, penekanan (namun tidak menggunakan torniket), serta
tindakan operatif. Setelah itu disarankan untuk dilakukan fasciotomi demi mencegah
terjadinya sindroma kompartemen.
3. Osteonekrosis
Osteonekrosis (nekrosis avaskular) adalah keadaan yang terjadi di mana tulang
kehilangan suplai darah untuk waktu yang lama/permanen. Tanpa suplai darah,
jaringan tulang akan mati dan menjadi nekrotik. Osteonekrosis paling sering terjadi di
tulang panggul, terutama pada dislokasi panggul posterior disertai fraktur kepala
femur. Koval et al mengemukakan bahwa sepuluh persen pasien dislokasi panggul
anterior mengalami osteonekrosis.
4. Major Blood Loss (Fraktur Pelvis, Fraktur Femur)
Fraktur dengan kehilangan darah (major blood loss) paling sering terjadi pada
fraktur pelvis dan fraktur femur. Hal ini disebabkan vaskularisasi yang ekstensif pada
kedua daerah tersebut. Apabila terjadi perdarahan secara signifikan (lebih dari 1 liter)
dapat berakibat secara sistemik, seperti shock, hipotensi, dan takikardia. Sekitar 40
persen pasien dengan fraktur pelvis mengalami perdarahan intraabdominal yang dapat
berujung pada kematian.
Pada fraktur pelvis, terdapat beberapa lokasi yang sangat rentan terjadinya
perdarahan setelah fraktur:
a. Perdarahan intraosseus (periosteal, kapsular, intramuscular)
b. Perdarahan intrapelvis (a.gluteus superior, obturator, pudendal, dan iliaka)
c. Perdarahan intraabdominal (visceral dan intraabdominal mayor)
d. Perdarahan melalui luka terbuka
Pada fraktur yang disertai dengan rotasi eksternal pelvis, di mana terjadi robekan
ligamen pelvis, dapat terjadi pengumpulan darah dalam jumlah besar di ruang
retroperitoneal dan dapat berekstravasasi ke sekitar pelvis.
Hampir sama dengan fraktur pelvis, fraktur femur juga dapat menyebabkan
kehilangan darah yang sangat masif karena strukturnya yang sangat vaskular.
Lieurance et al mengemukakan bahwa sekitar 40 persen penderita fraktur femur
mengalami kehilangan darah rata-rata sebanyak 1.276 cc. Hal ini dapat diminimalisasi
dengan cara mengimobilisasi tulang yang mengalami fraktur, memperbaiki
deformitas, menyambung (ligasi) pembuluh darah serta resusitasi.
5. Cedera Saraf Perifer (Peripheral Nerve Injury)
Cedera saraf perifer merupakan komplikasi lain dari fraktur. Saraf yang rentan
mengalami cedera adalah saraf yang letaknya di dekat tulang/fascia. Berdasarkan
struktur, fungsi, dan regenerasinya, cedera saraf dapat dibagi menjadi beberapa
golongan:
a. Neurapraxia, yaitu kehilangan fungsi dari sel saraf namun tidak disertai oleh kelainan
struktur.
b. Axonotmesis, yaitu kehilangan fungsi dari sel saraf dan disertai oleh cedera akson,
namun struktur inti beserta selubung dan sel Schwann masih utuh. Pada cedera ini,
regenerasi aksonal dapat mengembalikan fungsi yang hilang.
c. Neurotmesis, yaitu cedera saraf yang lebih berat dari neurapraxia dan axonometsis. Pada
neurotmesis, terjadi kehilangn fungsi disertai cedera aksonal, selubung myelin dan
jaringan konektif sehingga penyembuhan menghasilkan jaringan parut yang menghambat
regenerasi akson.
Beberapa contoh cedera saraf perifer antara lain:
a. Carpal tunnel syndrome (CTS), yaitu sindroma yang ditandai dengan nyeri atau mati rasa
pada jari 1-3 yang disebabkan oleh cedera pada n. medianus. Gejala ini bertambah di
malam hari.
b. Kompresi n.ulnaris, yang berhubungan dengan fraktur dan dislokasi di daerah siku.
Ditandai dengan kesulitan untuk memisahkan jari-jari dan kelemahan pada jari 4-5.
c. Peroneal nerve palsy, yang disebabkan oleh kompresi pada n.peroneal (fibula) ditandai
dengan kelemahan motorik seperti dorsofleksi dan eversi kaki.
Fraktur dapat menyebabkan cedera saraf perifer melalui beberapa mekanisme.
Yang pertama adalah trauma mekanik secara langsung, misalnya dengan terpotong
atau melalui penggunaan torniket. Mekanisme berikutnya adalah melalui
kompresi/tekanan, yang pada fraktur dapat disebabkan oleh tulang atau sindroma
kompartemen. Iskemia yang dihasilkan oleh sindroma kompartemen juga dapat
mencederai sel saraf.
Sel saraf yang cedera dapat mengalami penyembuhan apabila cedera tersebut
tidak mengenai struktur keseluruhan sel saraf. Penyembuhan akan terjadi dengan
kecepatan sekitar 1 mm/hari. Selain itu, dapat dilakukan tindakan operatif, yang pada
prinsipnya merupakan penyambungan saraf yang cedera.
6. Fraktur Vertebra Dan Instabilitas Disertai Defisit Neurologis Memburuk Atau Inkomplit
Vertebra merupakan salah satu bagian rangka aksial pada manusia. Fraktur
vertebra terjadi 4 kali lebih banyak pada pria dan sering terjadi di usia lanjut (>75
tahun). Mekanisme terjadinya cedera pada vertebra antara lain meliputi kontusio,
kompresi, tarikan (stretching) dan laserasi. Karena vertebra merupakan tulang yang
melindungi medula spinalis (sistem saraf pusat), maka cedera pada vertebra dapat
memberi dampak secara neurologis.
Cedera neurologis yang ditimbulkan dapat dibagi menjadi:
a. Cedera spinal komplit, yang ditandai dengan kehilangan fungsi sensoris atau motoris di
bawah level spinal yang mengalami cedera. Pada cedera spinal komplit, mungkin terjadi
kehilangan refleks bulbocavernosus (refleks sfingter anus) yang diatur di segmen S2-S4
dan akan kembali dalam waktu sekitar 24 jam setelah cedera. Apabila refleks
bulbocavernosus sudah kembali namun tidak diikuti oleh kembalinya kemampuan
sensorik dan motorik lain, maka cedera yang terjadi adalah cedera spinal komplit.
b. Cedera spinal inkomplit, yang ditandai dengan adanya fungsi sensorik/motorik yang
tersisa di bawah level spinal yang mengalami cedera. Refleks bulbocavernosus bisa
menghilang atau tetap. Jika refleks bulbocavernosus menghilang, maka salah satu ciri
cedera spinal inkomplit adalah kembalinya fungsi-fungsi sensorik dan motoris lain
setelah refleks bulbocavernosus kembali.
Selain itu, cedera spinal yang diakibatkan oleh cedera vertebra dapat berakibat
spesifik sesuai dengan daerah yang dipersarafinya. Beberapa contoh antara lain:
Segmen servikal
C1-C3 : gangguan fungsi diafragma (untuk pernapasan)
C4 : gangguan fungsi biceps dan lengan atas
C5 : gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan
C6 : gangguan fungsi tangan secara komplit
C7 dan T1 : gangguan fungsi jari tangan
Segmen torakal
T1-T8 : gangguan fungsi pengendalian otot abdominal, gangguan stabilitas tubuh
T9-T12 : kehilangan parsial fungsi otot abdominal dan batang tubuh
Segmen lumbar dan sakral
Cedera pada segmen lumbar dan sakral dapat mengganggu pengendalian tungkai, sistem
saluran kemih dan anus.
Selain itu gangguan fungsi sensoris dan motoris, cedera vertebra dapat berakibat
lain seperti spastisitas atau atrofi otot.
7. Infeksi
Pada fraktur, infeksi dapat terjadi melalui 3 jalur:
Fraktur terbuka yang disertai luka yang terpajan ke lingkungan luar
Fraktur yang disertai hematoma, di mana bakteri dibawa oleh aliran darah
Infeksi pasca operasi
Infeksi pada fraktur dapat dibagi menjadi infeksi luar (superfisial) dan infeksi
dalam. Pada infeksi luar, penanganan dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik
dan pembersihan serta mengelola luka dengan baik. Jika infeksi terjadi di dalam,
maka drainase pus, pembersihan jaringan nekrotik dan mengelola luka merupakan
penanganan yang baik. Pemberian antibiotik juga dapat dilakukan, namun tidak
semua antibiotik memiliki spektrum yang tepat. Sebaiknya dilakukan analisis
mikroorganisme sebelum pemberian antibiotik.
8. Non-Union, Malunion, Delayed Union
Non-union adalah suatu kondisi di mana tidak terjadi penyatuan (penyembuhan)
tulang yang mengalami fraktur setelah beberapa waktu, di mana normalnya tulang
tersebut seharusnya sudah menyatu. Sebagai contoh untuk tulang panjang dikatakan
non-union jika setelah 6 bulan tidak ada penyatuan, atau 3 bulan untuk bagian leher
tulang femur.
Non-union bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti usia, nutrisi yang kurang
baik/adekuat, efek penggunaan steroid, terapi radiasi, infeksi, suplai darah yang tidak
adekuat, atau imobilisasi yang kurang benar. Non-union bisa dibagi menjadi beberapa
tipe:
Hypertropic non-union, di mana terbentuk kalus tulang namun tidak terbentuk
penulangan antara tulang yang fraktur.
Oligotropic non-union, di mana tidak terbentuk kalus tulang untuk penyatuan namun
keadaan lain seperti vaskular membaik.
Atropic non-union, di mana tidak terbentuk kalus tulang dan keadaan lain seperti
vaskular tidak membaik.
Gap non-union, di mana penyatuan tidak terjadi akibat terpotongnya pusat penulangan
(diafisis) pada saat fraktur.
Malunion adalah penyembuhan fraktur dalam posisi yang tidak anatomis
(abnormal). Biasanya disebabkan oleh penanganan yang kurang adekuat. Malunion
dapat menyebabkan gangguan fungsional dan estetik, dan paling sering terjadi sebagai
komplikasi fraktur tulang phalangs. Beberapa contoh malunion adalah malrotasi
(terjadi pada fraktur spiral atau oblik), angulasi, dan pemendekan (shortening).
Delayed union adalah keterlambatan penyembuhan/penyatuan fraktur. Tidak ada
batasan waktu yang jelas kapan suatu penyembuhan fraktur dikatakan delayed union.
Beberapa penyebab delayed union antara lain infeksi dan suplai darah yang inadekuat.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.
Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.