36
LAPORAN PBL 4 BLOK NEUROLOGY AND SPECIFIC SENSE SYSTEMS (NSS) Tutor : : dr. Agung Saprasetya D.L, MSc.PH Disusun Oleh: Kelompok 1 G1A009016 Bunga G1A009020 Dera Fakhrunnisa G1A009033 Bagus Sanjaya H. G1A009037 Ayu Astrini P. S. G1A009059 Karina Adzani Herma G1A009073 Rahmi Laksita Rukmi G1A009078 Amrina Ayu Floridiana G1A009084 Titiyan Herbiyanto Nugroho G1A009094 Suryo Adi Kusumo B. K1A006112 Widhitiya S. P. G1A008115 Andhita Chairunissa KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Laporan Pbl 4 Nss

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan Pbl 4 Nss

LAPORAN PBL 4

BLOK NEUROLOGY AND SPECIFIC SENSE SYSTEMS (NSS)

Tutor : : dr. Agung Saprasetya D.L, MSc.PH

Disusun Oleh:

Kelompok 1

G1A009016 Bunga

G1A009020 Dera Fakhrunnisa

G1A009033 Bagus Sanjaya H.

G1A009037 Ayu Astrini P. S.

G1A009059 Karina Adzani Herma

G1A009073 Rahmi Laksita Rukmi

G1A009078 Amrina Ayu Floridiana

G1A009084 Titiyan Herbiyanto Nugroho

G1A009094 Suryo Adi Kusumo B.

K1A006112 Widhitiya S. P.

G1A008115 Andhita Chairunissa

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2012

Page 2: Laporan Pbl 4 Nss

BAB I

PENDAHULUAN

A. Skenario

Informasi 1

Seorang laki-laki, usia 30 tahun dibawa ke IGD oleh tukang ojek karena

tertabrak mobil saat sedang menyeberang jalan. Menurut keterangan tukang

ojek, kejadian berlangsung sekitar 30 menit sebelum pasien tiba di IGD. Saat

itu pasien tengah menyeberang jalan, kemudian tiba-tiba meluncur sebuah

mobil dengan kecepatan tinggi dan menabrak dari arah kiri pasien. Pasien

terpelanting dan kepalanya membentur tiang listrik yang ada di pinggir jalan.

Pasien seketika langsung tidak sadarkan diri.

Ketika sampai di IGD, pasien tampak gelisah, mata tertutup dan sesekali

mengerang kesakitan. Pasien kemudian muntah menyemprot.

Page 3: Laporan Pbl 4 Nss

BAB II

PEMBAHASAN

I. KLARIFIKASI ISTILAH

Tidak ada istilah yang perlu diklarifikasi.

II. BATASAN MASALAH

a. Identitas

Nama : Tn. X

Umur : 30 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : -

Pekerjaan : -

b. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)

Keluhan utama : Kehilangan kesadaran

Onset : 30 menit yang lalu

Kronologi : pasien tengah menyeberang jalan, kemudian

tiba-tiba meluncur sebuah mobil dengan

kecepatan tinggi dan menabrak dari arah kiri

pasien. Pasien terpelanting dan kepalanya

membentur tiang listrik yang ada di pinggir

jalan. Pasien seketika langsung tidak

sadarkan diri.

Keluhan lain : tampak gelisah, mata tertutup dan sesekali

mengerang kesakitan kemudian muntah

menyemprot.

c. Riwayat Sosial, Ekonomi dan Lingkungan

Dapat ditanyakan pekerjaan pasien, pendapatan pasien, memiliki asuransi

kesehatan atau asuransi pekerjaan, lingkungan rumah dan lingkungan

sekitar rumah pasien.

Page 4: Laporan Pbl 4 Nss

III. ANALISIS MASALAH

1. Patofisiologi muntah menyemprot

2. Apa tindakan pertama yang harus dilakukan ketika mendapat pasien

seperti ini?

3. Trauma di bagian tubuh lain yang mungkin terjadi pada pejalan kaki yang

tertabrak mobil.

4. Cedera kepala dan klasifikasinya.

5. Pemeriksaan yang perlu dilakukan

IV. PENJELASAN MENGENAI ANALISIS MASALAH

1. Patofisiologi muntah menyemprot

Peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK)

Merangsang reseptor tekanan intra cranial

Merangsang pusat muntah di dorso lateral retikulo formasio

Kontraksi duodenum dan antrum di lambung

Peningkatan Tekanan Intra Abdomen

Peristaltik Retrograd

Lambung terisi penuh

Diafragma naik ke kavitas toraks

Peningkatan Tekanan Intra Thoraks

Spinchter esophagus membuka

Page 5: Laporan Pbl 4 Nss

Muntah menyemprot

Kalau berdasarkan kasus, muntah proyektil disebabkan karena

adanya benturan pada bagian kepala yang memungkinkan terjadinya

sesuatu perdarahan, dimana darah ini merupakan komponen yang

mempengaruhi dalam tekanan intracranial. Karena adanya penambahan

darah tetapi otak dan lcs menetap bias menimbulkan terjadinya

peningkatan intracranial, peningkatan ini bias menimbulkan manifestasi

muntah proyektil.

2. Tindakan pertama yang harus dilakukan ketika mendapat pasien seperti

ini

1. Tindakan Pra-Rumah Sakit

Dalam kondisi yang ideal, sedapat mungkin penderita cedera

kepala langsung ditangani oleh tenaga medis maupun paramedic yang

terlatih sejak di lokasi kejadian. Hal ini akan semakin penting apabila

cedera kepala yang terjadi tergolong berat. Pada dasarnya, yang perlu

dilakukan dalam fase ini tidaklah berbeda dalam kasus trauma lainnya.

Jaga jalan napas, mengontrol perdarahan dan mencegah syok,

imobilisasi penderita, mencegah terjadinya komnplikasi dan segera

mengirim ke rumah sakit. Perlu diperhatikan, bahwa imobilisasi di

sini sangatlah penting, karena dapat menentukan keselamatan nyawa

pasien selanjutnya (FK UPH, 2005).

Ambulans harus dilengkapi dengan alat resusitasi dan perawat

yang terlatih, dimana apabila terjadi sesuatu yang tidak

memungkinkan bias diambil tindakan dengan segera.

2. Mencari informasi

a. Tanyakan bagaimana pasien kehilangan kesadaran. Apakah pasien

langsung tidak sadar sesaat setelah kejadian atau pasien sempat

sadar kembali sebelum akhirnya tidak sadar (luside interval).

b. Tanyakan apakah ada riwayat sakit kepala dan muntah karena hal

ini dapat mengidentifikasi adanya peningkatan tekanan intrakranial.

c. Tanyakan ada kejang atau tidak.

Page 6: Laporan Pbl 4 Nss

d. Tanyakan bagaimana ilustrasi kejadian (Sjamsuhidajat, et al, 2004).

3. Stabilisasikan kondisi pasien dengan A B C

4. Lakukan pemeriksaan fisik

b. Pemeriksaan GCS

c. Pemeriksaan pupil

d. Pemeriksaan motorik

e. Pemeriksaan tanda fraktur basis cranii ( racoon eyes, battle sign,

rinorea, otorea)

f. Pemeriksaan luka di kepala dan di seluruh tubuh pasien

g. Pemeriksaan luka terbuka sehingga otak dapat terlihat dari luar

(Sjamsuhidajat, et al, 2004).

3. Trauma di bagian tubuh lain yang mungkin terjadi pada pejalan kaki

yang tertabrak mobil.

1. Trauma kaki

Merupakan tempat tersering dan dapat berupa abrasi dan laserasi,

lokasinya pada tibia bagian atas, area lutut, dan femur. Dikenal istilah

“Bumper fracture” yang berarti fraktur gabungan pada tibia dan fibula

yang biasanya terletak setinggi bamper mobil, fraktur pada femur

jarang terdapat kecuali pada anak kecil yang oleh karena posturnya

yang kecil.

Tibia sering mengalami fraktur yang berbentuk baji, basis dari baji

mengindikasikan arah dari tumbukkan.

Kadang-kadang didapatkan tinggi dari cedera ada di bawah tinggi

normal kebanyakan bamper mobil, hal ini juga dapat disebabkan oleh

karena kendaraan yang berhenti secara tiba-tiba dan terjadi penurunan

bemper depan mobil oleh karena efek dari suspensi1.

Jika kaki yang menahan berat badan terkena tumbukkan maka

fraktur tibia cenderung berbentuk oblik, jika pada kaki yang sedang

terangkat, maka tumbukkan cenderung berbentuk transversal.

Page 7: Laporan Pbl 4 Nss

Pada otopsi, kulit dari kaki bagian bawah harus diinsisi untuk

mencari memar yang dalam oleh karena sering tertutup oleh baju

(Knight, 1996).

2. Cedera kepala

Menduduki tempat kedua, oleh karena tertumbuk kaca mobil, tepi

mobil, atap mobil atau ke tanah dan merupakan penyebab tersering

kematian (Knight, 1996).

3. Cedera jaringan lunak

Sering terjadi dan dapat berupa abrasi, laserasi, memar, luka

remuk1. Pada korban yang jatuh dan terseret di jalan didapatkan luka

lecet serut yang luas2. Dikenal istilah “flying injury” dimana terjadi

oleh karena efek berutarnya roda dari kendaraan merobek kulit dan

otot dari tubuh atau kepala. Jika mobil melindas abdomen atau pelvis

dapat mengakibatkan striae pararel multipel atau laserasi yang dangkal

oleh karena tekanan yang merobek pada kulit (Knight, 1996).

4. Kerusakan tubuh bagian dalam

Kerusakan yang hebat dapat terjadi saat roda melewati pelvis,

abdomen atau kepala, walaupun disertai dengan cedera permukaan

yang ringan. Berat dari kendaraan sendiri dapat menghancurkan

tulang tengkorak dan sering disertai keluarnya otak dari luka laserasi

kulit kepala, tulang pelvis dapat menjadi rata, patah tulang simfisis,

terputusnya sendi sakroiliaka, pada organ dalam dapat terjadi ruptur

limpa atau hati, pada dada dapat terjadi fraktur iga yang dapat melukai

paru dan jantung (Knight, 1996).

4. Cedera kepala dan klasifikasinya

Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :

1. Fraktur kranium

Fraktur kranium diklasifikasikan menjadi :

a. Fraktur kalvaria :

Dapat berbentuk garis atau bintang, depresi atau non depresi, dapat

pula terbuka atau tertutup (Aritonang, 2007).

Page 8: Laporan Pbl 4 Nss

b. Fraktur basis cranii :

Dapat dengan atau tanpa paresis N VII atau kebocoran cairan

cerebrospinal (Aritonang, 2007).

2. Lesi Intrakranial

Lesi ini diklasifikasikan menjadi sebagai berikut :

a. Lesi focal

1) Hematoma epidural

Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria.

Umumnya  terjadi pada regon temporal atau temporopariental

akibat pecahnya arteri meningea media (Aritonang, 2007).

2) Hematoma subdural

Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena

jembatan yang terletak antara korteks cerebri dan sinus venous

tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat

laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak (Aritonang,

2007).

3) Hematoma intraserebral

Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus

temporal, walau terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk

batang otak dan cerebellum (Aritonang, 2007).

b. Lesi difus

1) Komosio ringan

Komosio ringan diakibatkan oleh cedera tetapi kesadaran tetap

tidak terganggu (Aritonang, 2007).

2) Komosio klasik

Komosio klasik merupakan cedera yang mengakibatkan

menurunya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai

dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini

merupakan ukuran beratnya cedera (Aritonang, 2007).

Page 9: Laporan Pbl 4 Nss

3) Cedera axon difus

Merupakan suatu keadaan dimana penderita mengalami koma

pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh

suatu lesi masa atau serangan iskemi (Aritonang, 2007).

5. Pemeriksaan yang perlu dilakukan

1. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dicatat tanda-tanda vital : kesadaran, nadi,

tensi darah, frekuensi dan jenis pernapasan serta suhu tubuh. Tingkat

kesadaran dicatat yaitu kompos mentis (kondisi segar bugar), apatis,

somnolen (ngantuk), sopor (tidur), soporokomo atau koma.

Pemeriksaan Skala Koma Glasgow tidak dapat dilakukan bila

kedua mata tertutup, misalnya bila kelopak mata membengkak.

Rangsangan nyeri untuk menimbulkan respon motorik dilakukan

dengan menekan pertengahan sternum dengan kapitulum metakarpal

(telapak tangan) pertama jari tengah. Bila ada tetraplegi tentu tes ini

tidak akan berguna (Japardi, 2004).

2. Pemeriksaan Neurologis

Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis

lengkap seperti biasanya. Pada pasien yang berada dalam keadaan

koma hanya dapat dilakukan pemeriksaan obyektif. Bentuk

pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan meningens,

yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila kolumna

vertebralis servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh

dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu

dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sarah sensorik

(nervus kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12,

yaitu : nervus I (nervus olfaktoris), nervus II (nervus optikus), nervus

III (nervus okulomotoris), nervus IV (troklearis), nervus V

(trigeminus), nervus VI (Abdusens), nervus VII (fasialis), nervus VIII

(oktavus), nervus IX (glosofaringeus) dan nervus X (vagus), nervus

XI (spinalis) dan nervus XII (hipoglosus), nervus spinalis (pada otot

Page 10: Laporan Pbl 4 Nss

lidah) dan nervus hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai

saraf sensorik dan saraf motorik (Japardi, 2004).

3. Pemeriksaan tanda fraktur basis cranii ( racoon eyes, battle sign,

rinorea, otorea)

4. Pemeriksaan luka di kepala dan di seluruh tubuh pasien

5. Pemeriksaan luka terbuka sehingga otak dapat terlihat dari luar

(Sjamsuhidajat, et al, 2004).

Informasi 2

Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : tampak sakit berat

Kesadaran : GCS E2M4V3

Vital sign : TD = 150/90 mmHg

Nadi = 94 x/ menit

Respirasi rate = 20x/menit

Suhu = 37°C

Kepala : Pupil anisokor, diameter D/S = 2mm/4mm,

reflek cahaya N/↓

Thorak dan abdomen : dalam batas normal

Ekstremitas : tidak ditemukan fraktur maupun luka

terbukan

INTERPRETASI INFORMASI 2

Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : tampak sakit berat, mungkin dapat

disebabkan trauma yang pasien alami

Kesadaran : GCS E2M4V3

Hasil GCS pasien 9 yang dapat

diklasifikasikan sebagai cedera kepala

sedang (GCS 9-12)

Vital sign : TD = 150/90 mmHg Normal

Nadi = 94 x/ menit Normal

Page 11: Laporan Pbl 4 Nss

Respirasi rate = 20x/menit Normal

Suhu = 37°C Normal

Pupil anisokor sebelah sinistra dan reflek cahaya pada pupil sinistra menurun

mengindikasikan ada lesi ipsilateral di kepala yang menyebabkan kelainan

N.III yang ipsilateral juga.

Thorak dan abdomen dalam batas normal sehingga menyingkirkan DD

trauma pada thorak dan abdomen.

Ekstremitas tidak ditemukan fraktur maupun luka terbukan sehingga

menyingkirkan DD trauma pada ekstremitas

DIAGNOSIS BANDING

1. Hematom Subdural

Beberapa gejala klinik yang didapat pada pasien yang mengarah ke

Differential diagnostic Hematom subdural adalah :

a. Ada riwayat trauma kepala yang sering menjadi etiologi hematom

subdural (Isselbacher, et al, 2000).

b. Ada dilatasi anisokor pada pupil sinistra (Isselbacher, et al, 2000).

c. Reflek cahaya pada pupul sinistra menghilang (Isselbacher, et al,

2000).

d. Adanya penurunan kesadaran pada pasien (Isselbacher, et al, 2000).

2. Epidural Hematoma

Karena terdapat tanda dan gejala klinis yang mungkin sesuai dengan

kasus, yaitu :

1. Terdapat lucid interval (masa sadar setelah pingsan sehingga

kesadaran menurun lagi). Terdapat lima gambaran klinik pada

penderita hematoma apidural, yakni :

a. Tanpa penurunan kesadaran

b. Tidak sadar sejak saat kejadian

c. Awalnya sadar kemudian tidak sadar

d. Awalnya tidak sadar kemudian sadar

e. Awalnya tidak sadar diikuti lucid interval dan kemudian tidak sadar

lagi.

Page 12: Laporan Pbl 4 Nss

2. Tensi yang semakin bertambah tinggi.

3. Denyut nadi yang semakin bertambah tinggi

4. Denyut nadi yang semakin bertambah lambat

5. Hemiparesis

6. Pupil anisokor

Pemeriksaan Neurologis

Meningeal Sign (-)

N. Cranialis sulit dinilai

Fungsi Motorik Superior (D/S) Inferior (D/S)

Gerak N/N N/N

Kekuatan 5/5 5/5

Refleks fisiologis N/N N/N

Refleks patologis -/- -/-

Tonus N/N N/N

Trofi Eutrofi Eutrofi

Fungsi sensorik : sulit dinilai

Fungsi vegetatif : sulit dinilai

V. SASARAN BELAJAR

1. Anatomi dan fisiologi trauma kepala

2. Kaku kuduk pada hematom subdural

3. Patogenesis dan patofisiologi hematom epidural

4. Pathogenesis dan patofisiologi hematom subdural

1. Anatomi dan fisiologi trauma kepala

Anatomi

Anatomi kepala dalam kasus ini akan lebih ditekankan kea rah

meninges dan lapisannya.Struktur lapisan kepala terdiri dari paling luar

yaitu SCALP (Skin, Connective tissue, aponeuretic, Loose areolar tissue,

Page 13: Laporan Pbl 4 Nss

Pericranium). Ketika ada trauma yang terjadi maka akan dapat merusak

dari jaringan SCALP itu sendiri, dapat berupa lesi, atau laserasi yang

dapat menyebabkan perdarahan. Kemudian setelah SCALP, ada lapisan

os cranium. Lapisan ini berwujud tulang dank eras, sehingga dapat

melindungi otak dari benturan yang cukup keras. Setelah cranium, aka

nada lapisan duramater, yang kemudian lapisan duramater ini akan dibagi

menjadi dua yaitu, pars endosteal yang lebih dekat ke os. Cranium dan

pars meningeal yang lebih dekat ke meninges. Setelah duramater ada

arachnoid. Perlu diperhatikan, sebelum masuk ke lapisan arachnoid, ada

ruangan yang disebut subdural, ruangan ini cukup sering terjadi

perdarahan apabila mengalami trauma dikarenakan banyaknya pembuluh

darah yang terdapat di ruangan ini. Setelah arachnoid ada lapisan

piamater (Guyton dan Hall, 2008).

Gambar . Lapisan Pelindung Otak

Fisiologi (Mekanisme Fisik Cedera Kepala)

Menurut mekanisme fisik terjadinya cedera kepala, maka dapat

dibagi menjadi dua, yaitu beban static dan beban dinamik.

1. Beban Statis

Beban static secara relative dikatakan terjadi secara perlahan-lahan,

yaitu dalam waktu yang melebihi 200 milidetik. Dalam situasi ini

Page 14: Laporan Pbl 4 Nss

tenaga tekanan mengenai kepala secara bertahap, dan efek tekanan /

efek gencetan terjadi secara lambat. Dalam prakteknya, kasus cedera

beban static jarang terjadi, namun jika terjadi dapat menimbulkan

fraktur multiple, fraktur kominutif, maupun fraktur basis cranii.

Contoh beban statika dalah ketika kepala terjepit dari 2 arah (FK

UPH, 2005).

2. Beban Dinamik

Beban dinamik merupakan mekanisme cedera yang lebih sering

terjadi dalam kasus cedera kepala. Beban yang terjadi di sini terjadi

dalam waktu yang singkat, yaitu kurang dari 200 milidetik. Beban

dinamik dibagi menjadi 2, yaitu :

a. Beban Benturan

Beban benturan dialami kepala dan jaringan otak akibat adanya

benda padat yang membentur kepala dengan kecepatan tertentu.

Beban ini merupakan yang paling sering terjadi dan merupakan

dari kekuatan beban kontak dan beban lanjut. Beban kontak sendiri

merupakan beban benturan yang dialami kepala ketika sedang

dalam posisi istirahat (tidak bergerak). Sedangkan beban lanjut

terjadi bila kepala mengalami akselerasi gerakan dengan atau tanpa

beban kontak (FK UPH, 2005).

b. Beban Guncangan

Beban guncangan dialami kepala ketika terjadi perubahan atau

gerakan mendadak tanpa ada kontak fisik secara langsung ke

kepala. Berdasar prosesnya, peristiwa ini dapat berupa kepala diam

kemudian diguncang secara mendadak, atau dapat pula kepala yang

sedang dalam keadaan bergerak dihentikan secara tiba-tiba. Dalam

kedua kejadian ini tidak terjadi benturan kepala secara langsung,

namun terjadi benturan langsung yang hebat pada bagian tubuh

lainnya, badan, tangan, kaki, dll (FK UPH, 2005).

2. Kaku kuduk pada hematom subdural

Etiologi kaku kuduk :

1. Adanya iritasi meningeal

Page 15: Laporan Pbl 4 Nss

2. Masa pada bagian fossa posterior

Kalau untuk hematoma subdural bisa terjadi kaku kuduk apabila

adanya masa pada bagain fossa posterior, tetapi ini relative lebih sedikit

karena kebanyakan perdarahn subdural terjadi pada konveksitas otak

daerah parietal, dan hanya sebagian kesil terdapat di fossa posterior dan

pada fisura interhemisferik serta tentorium atau di antara lobus temporal

dan dasar tengkorak ((Sastrodiningrat, 2006)

3. Patogenesis dan patofisiologi hematom epidural

Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak

dan dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila

salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi

bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula

terjadi di daerah frontal atau oksipital ( Hafid, 2004).

Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen

spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os

temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural,

desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari

tulang kepala sehingga hematom bertambah besar (Hafid,2004)

Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan

pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini

menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran

tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik

yang dapat dikenal oleh tim medis (Anderson,1995).

Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus

formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya

kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga

(okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan

ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan

naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik

kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski

positif (Anderson,1995).

Page 16: Laporan Pbl 4 Nss

Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan

terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial

yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial

antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan

fungsi pernafasan (Anderson,1995).

Mekanisme Periode Lusid (Periode Sadar-Tidak Sadar) Pada Hematoma

Epidural :

Trauma kepalahipoksia sesaat di otakpingsanada kompensasi

peningkatan simpatisaliran darah lancar kembalisadarseiring

waktu, darah makin menumpukdekompensasi otakpeningkatan TIK

terus-menerus menyebabkan pendorongan otak yang akan mengurangi

pasokan perfusi darah ke otak, khususnya pada area formasio

retikularishipoksia pasien tidak sadar kembali (Isselbacher, et al,

2000).

4. Pathogenesis dan patofisiologi hematom subdural

Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan

dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang

menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam

duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang

bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus

venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi

pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana

mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan

gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural (Baehr and Frotscher,

2010).

Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya

akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah

lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung

memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang

berangsur meningkat (Baehr and Frotscher, 2010).

Page 17: Laporan Pbl 4 Nss

Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi

cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila

volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja

dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara

perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan

terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada

perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan.

Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran

vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan

berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan

penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh

sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan

subdural kronik(Baehr and Frotscher, 2010).

Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan

intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial

dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi

oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi

relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup

tinggi(Baehr and Frotscher, 2010).

Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik

tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains

intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan

tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral

berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi

transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum

dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura

tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma

subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia

basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang

lainnya(Baehr and Frotscher, 2010).

Page 18: Laporan Pbl 4 Nss

Konsekuensi peningkatan tekanan intrakranial akut tergantung pada

letak lesi. Massa pada hemisfer serebri awalnya akan menyebabkan

herniasi tentorium lateral dan juga pergeseran struktur garis tengah. Pada

herniasi tentorium lateral, terjadi herniasi lobus temporal melalui hiatus

tentorium. Kompresi formatio retikularis menyebabkan gangguan tingkat

kesadaran. Palsi nervus III yang disebabkan kompresi kedua nervus dan

nukleus okulomotrius pada otak tengah menyebabkan dilatasi pupil

ipsilateral terfiksasi. Pembengkakan serebri difus dapat menyebabkan

herniasi tentorium sentral. Herniasi terjadi ke arah vertikal melalui hiatus

tentorium. Terjadi penurunan kesadaran; pupil awalnya kecil, terfiksasi

kemudian berdilatasi. Gambaran lain meliputi gangguan lirikan mata ke

atas, terjadi diabetes insipidus akibat tarikan hipofisis dan hipotalamus ke

bawah. Massa subtentorium dapat menyebabkan herniasi tonsil. Herniasi

tonsil menyebabkan kaku kuduk dan kadang posisi kepala terangkat.

Terjadi gangguan kesadarn dan dapat menyebabkan gagal nafas (Ginsberg,

2007).

Skala Hunt dan Hess untuk penentuan derajat PSA

Derajat Status NeurologikI Asimtomatik; atau nyeri kepala minimal dan kaku

kuduk ringanII Nyeri kepala sedang sampai parah; kaku kuduk;

tidak ada deficit neurologic kecuali kelumpuhan saraf kranialis

III Mengantuk; deficit neurologic minimalIV Stupor; hemiparesis sedang sampai berat,

mungkin rigiditas deserebrasi dini dan gangguan vegetatif

V Koma dalam; rigiditas deserebrasi; penampakan parah

Informasi 3

Pemeriksaan Penunjang

Head CT Scan : tampak gambaran hiperdens berbentuk bulan sabit di

region temporal sinistra ukuran 5x2x2 cm sesuai untuk hematoma

subdural akut

Diagnosis : Penurunan kesadaran e.c Hematoma Subdural Akut

Page 19: Laporan Pbl 4 Nss

PENATALAKSANAAN

1. Penanganan Kegawatdaruratan

a. Stabilisasi pasien dengan ABC

b. Airway, menjaga jalan nafas

c. Breathing, memastikan ventilasi berjalan dengan baik

d. Circulation, jaga sirkulasi darah pasien

2. Terapi Konservatif

a. Analgetik, misal dengan pemberian NSAID.

b. Terapi diuretik, menggunakan manitol 20% dengan dosis 0,5 – 1

mg/kgBB setiap pemberian. Pemberian dilakukan setiap 4-6 jam.

c. Antikonvulsan, misal dengan pemberian fenitoin (diazepam)

d. Antibiotik, digunakan antibiotik yang dapat menembus sawar darah

otak, misalnya cephalosporin.

e. Kortikosteroid, berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor

otak. akan tetapi manfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh

karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala

(Japardi, 2002).

3. Terapi operatif

Terapi operatif dilakukan dengan indikasi sebagai berikut (Japardi,

2004) :

a. Massa hematoma kira-kira 40 cc

b. Masa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm

c. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis

tengah dengan GCS 8 atau kurang.

d. Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang

jelas atau pergeseran garis tengat lebih dari 5 mm.

e. Pasien – pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu

disertai berkembangnya tanda – tanda lokal peningkatan tekanan

intrakranial lebih dari 25 mmHg.

Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang )

dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada

Page 20: Laporan Pbl 4 Nss

kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya

fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.

Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya

gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk

melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan

untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah

airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat

dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill craniotomy, subdural

drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural kronik

adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan

komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik

pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika

pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan

klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan

operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan

tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang

lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari

perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang(Ginsberg, 2007).

Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala

yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.

Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran,

pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral

hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi

uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial.

Indikasi Operasi(Ginsberg, 2007),

Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata

Adanya tanda herniasi/ lateralisasi

Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana

CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.

Page 21: Laporan Pbl 4 Nss

Informasi 4

Terapi Inisial

Konservatif

1. Injeksi manitol

2. Antibiotika

3. Antikonvulsan

4. Kortikosteroid

KEGUNAAN PEMBERIAN OBAT PADA TERAPI KASUS

1. Injeksi manitol

Injeksi manitol diberikan dengan tujuan untuk mengurangi peningkatan

tekanan intrakranial (Sjamsuhidajat, et al, 2004).

Obat ini sekarang luas digunakan untuk mengurangi tekanan

intrakranial. Umumnya sediaan yang digunakan adalah larutan 20

persen mannitol (bm 180). Umumnya dipercaya bahwa mannitol

mempertahankan gradien osmotik antara plasma dan otak, dengan

akibat pergeseran cairan keluar dari otak dan, karenanya, menurunkan

TIK (Riyanto, 1992).

2. Antibiotika

Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi yang dapat timbul sebagai

komplikasi trauma kepala dan akibat keadaan imunocompromised yang

disebabkan pemberian imunosupresan yaitu kortikosteroid

(Sjamsuhidajat, et al, 2004).

3. Antikonvulsan

Antikonvulsan seperti fenitoin diberikan sebagai terapi profilaksis pada

24 jam pertama untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic. Jika

pasien mengalami kejang maka akan menyebabkan hipoksia otak yang

berdampak peningkatan tekanan darah sehingga memicu terjadinya

udem otak (Sjamsuhidajat, et al, 2004).

Diperkirakan bahwa perawatan dengan fenytoin yang dimulai sesegera

mungkin (dalam 24 jam) mungkin mencegah terbentuknya fokus

epileptogenik. Young mengadakan penelitian yang memperlihatkan

Page 22: Laporan Pbl 4 Nss

pemberian fenytoin profilaktik tidak mencegah kejang pasca cedera

baik dini maupun tunda. Pada penelitian ini konsentrasi plasma

dipertahankan antara 10 dan 20 ug/m (Riyanto, 1992).

4. Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid masih menjadi kontroversi. Fungsi pemberian

kortikosteroid adalah untuk mengatasi udem otak yang terjadi, sehingga

kortikosteroid diberikan jika pada pasien didapatkan penurunan GCS

yang berat dan terdapat tanda defisit neurologis yang parah

(Sjamsuhidajat, et al, 2004).

Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak

beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung

menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang ber- manfaat pada kasus

cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini

menstabilkan sawar darah otak (Riyanto, 1992).

Page 23: Laporan Pbl 4 Nss

BAB III

KESIMPULAN

1. Diagnosis kerja pada kasus PBL 4 adalah Penurunan kesadaran et causa

Hematoma Subdural Akut.

2. Hematom subdural akut adalah hematom atau perdarahan yang sering terjadi

akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara korteks cerebri dan

sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat

laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Hematom subdural disebut

akut apabila gejala yang timbul berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam.

3. Diagnosis banding hematom subdural adalah hematom epidural, hematom

subaraknoid, dan hematoma intraserebral.

4. Penatalaksanaan pada kasus PBL 4 yaitu hematom subdural akut adalah

Terapi Inisial dan terapi Konservatif. Terapi konservatif meliputi Injeksi

manitol, Antibiotika, Antikonvulsan, dan Kortikosteroid.

Page 24: Laporan Pbl 4 Nss

DAFTAR PUSTAKA

Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016.

Aritonang, Sahat. 2007. Hubungan Kadar Gula Darah Dengan Outcome Cedera Kepala Tertutup Derajat Sedang – Berat Dengan Gambaran Brain CT SCAN Dalam Batas Normal. Available at http://eprints.undip.ac.id/29403/.

Baehr, M dan Frotscher, M. 2010. Diagnosis Topik Neurologi DUUS edisi 4. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Hal 136-41.

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala. Jakarta : Deltacitra Grafindo.

Ginsberg, lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi Edisi 8. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal 113.

Guyton, A.C & John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.

Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D. EGC, Jakarta, 2004, 818-819.

Isselbacher, Kurt J., Eugene Braunwald., Jean D. Wilson., Joseph B. Martin., Anthony S. Fauci., Dennis L. Kasper. 2000. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Volume 5. Edisi 13. Jakarta: EGC. Hal. 2558-2566.

Japardi, Iskandar. 2004 . Penatalaksanaan Cedera kepala secara operatif . Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Knight, Bernard. 1996. Forensic Pathology Edition 2nd. New York : Oxford

Purwirantoro, Toni. 2002. Akurasi Beberapa Tanda dan Gejala Klinik Dalam Menegakkan Diagnosis Hematoma Epidural Pada Kasus Cedera Kepala. Available from : eprints.undip.ac.id/14729/1/2002FK548.pdf, Diakses pada Senin, 26 Maret 2012, Pukul 21.00.

Price, Sylvia; Wilson, Lorraine. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC.

Purwirantoro, Toni. 2002. Akurasi Beberapa Tanda dan Gejala Klinik Dalam Menegakkan Diagnosis Hematoma Epidural Pada Kasus Cedera Kepala. Available from : eprints.undip.ac.id/14729/1/2002FK548.pdf, Diakses pada Senin, 26 Maret 2012, Pukul 21.00.

Page 25: Laporan Pbl 4 Nss

Riyanto, Budi. 1992. Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala. Cermin Dunia Kedokteran No. 77.

Sastrodiningrat, Abdul Gofar. 2006. Memahami Fakta-fakta Perdarahan Subdural Akut. Majalah Kedokteran Nusantara volume 39 No 3.

Scaletta, Tom. 2011. Emergent Management of Acute Subdural Hematoma available on http://emedicine.medscape.com/article/828005-overview di akses pada 24 Maret 2012.University Press.

Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal.820-821.