LAPORAN KASUS MANAGEMEN PERIOPERATIF PASIEN GRAVIDA DENGAN ASMA BERAT YANG MENJALANI SECTIO CAESAREA dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen,SpAn.KAR PROGRAM STUDI ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR 2018
YANG MENJALANI SECTIO CAESAREA
PROGRAM STUDI ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
MENJALANI SECTIO CAESAREA
ABSTRAK
Pasien perempuan 37 tahun dengan diagnosis G2P1001 hamil 32 minggu
Tunggal
Hidup dengan Asma Berat, yang akan menjalani prosedur SC Greencode
.
Preoperasi pasien gravida dengan permasalahan asma berat. Kesadaran
somnolen-apatis
dengan frekuensi nafas 28 x/menit, ronchi (+/+) dan wheezing (+/+),
SpO2 85% on bagging,
dan terdapat sekret warna merah muda (pasien telah dilakukan
resusitasi di triage kebidanan
untuk mengamankan jalan nafas)
menggunakan pipa endotrakheal no 7. Selanjutnya pasien diposisikan
supine untuk menjalani
prosedur pembedahan.
Operasi berlangsung selama 60 menit, hemodinamik stabil tanpa
topangan obat, pasca
operasi pasien dirawat di ruang intensif dengan analgetik morfin 20
mg/ 24 jam dan
parasetamol 1000 mg tiap 8 jam intravena.
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit yang kronis dan umum , dapat menyerang siapa
saja , juga
menyerang ibu hamil . Pada penelitian didapatkan ibu hamil dengan
asma akan menimbulkan
resiko pada bayinya tetapi dengan kontrol yang baik resiko pada
bayi dapat dikurangi .
Pengelolaan asma pada ibu hamil agak berbeda , karena pengobatannya
harus juga
memikirkan efek samping pada bayi kandungannya. Tujuan dan terapi
ibu hamil dengan
asma adalah selain untuk keselamatan ibunya juga untuk bayi yang
dikandung, harus
memperhatikan obat- obat yang dipakai apakah mempengaruhi
janin.
Pengaruh kehamilan terhadap serangan asma pada setiap penderita
tidak sama,
bahkan pada seorang serangan asma pada kehamilan pertama dan
berikutnya tidak sama.
Biasanya serangan asma akan timbul mulai umur kehamilan 24 minggu –
36 minggu dan
berkurang pada akhir kehamilan.
Alamat : Jimbaran, Kuta Selatan
MRS : 26/03/2017, pukul 17.00
DPJP Anestesi : dr. I Made Subagiartha, Sp.An, KAKV, S.H.
Diagnosis : G2P1001, 32 minggu Tunggal Hidup, Asma Berat
Tindakan : SC Greencode
Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 jam sebelum masuk
rumah sakit.
Keluhan sesak disertai dengan batuk berdahak. Pasien juga mengalami
demam hilang timbul.
Riwayat kejang disangkal. 1 jam sebelum operasi pasien mengalami
penurunan kesadaran
dan muntah cairan berbuih warna merah muda, sehingga dilakukan
tindakan resusitasi untuk
mengamankan jalan nafas.
Riwayat penyakit sistemik : tidak ada
Riwayat operasi : tidak ada
Riwayat penyakit lain : Asma (+)
Pemeriksaan Fisik:
BB : 80 kg, TB : 160 cm, BMI 31,25 Suhu axilla 36,9°C; VAS sulit
dievaluasi.
SSP : Somnolen, Apatis
Respirasi. : RR 28 x/menit, ronchi (+/+) dan wheezing(+/+), SpO2
85% on Bagging.
KV : HR 117 x/menit, BP 132/102 mmHg, S1-S2 tunggal, murmur tidak
ada.
GI : Gravida (+), TFU 2 jari di atas umbilicus, DJJ 168
x/menit
UG : BAK spontan.
Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (27/03/2017) : WBC 13,84 x103/µL; HGB 10,89 g/dL; HCT
35,34 %; PLT
210,2 x103/µl.
Kimia Darah (24/03/2017) : SGOT 57,5 U/L (11-27), SGPT 24 U/L
(11-34), GDS 75 mg/dl
Permasalahan Aktual :
• SSP: Kesadaran Somnolen-Apatis
• Respirasi: RR 28 x/menit, ronchi (+/+) dan wheezing(+/+), SpO2
85% on Bagging,
sekret warna merah muda
PERSIAPAN PRA ANESTESIA
• Memberikan penjelasan kepada penderita dan keluarganya tentang
rencana anestesi
yang akan dilakukan mulai di ruang penerimaan, ruang operasi sampai
di ruang
pemulihan.
• Melepaskan perhiasan sebelum ke kamar operasi
• Ganti pakaian khusus sebelum ke ruang operasi
• Memeriksa status present, status fisik dan hasil pemeriksaan
penunjang
• Memeriksa surat persetujuan operasi
• Memasang iv line, cairan pengganti puasa dengan RL dengan tetesan
20
tetes per menit
• Periksa kembali catatan medik penderita, identitas, persetujuan
operasi
• Tanyakan kembali persiapan yang dilakukan di ruang
perawatan.
• Evaluasi ulang status present dan status fisik.
• Penjelasan ulang kepada penderita tentang rencana anestesi.
Persiapan di Kamar Operasi
• Menyiapkan monitor dan kartu anestesia.
• Mempersiapkan obat dan alat anestesia.
• Menyiapkan obat dan alat resusitasi.
• Evaluasi ulang status present penderita
Teknik Anestesi GA-OTT
Fas. Intubasi : Rocuronium 40 mg iv
Induksi : Propofol titrasi sampai pasien terhipnosis
Maintanance : O2 : Air 2:2 lpm, Sevoflurane
Medikasi lain : Ketamin 50 mg, Methylprednisolon 125 mg,
Durante operasi:
Cairan masuk : RL 1000 ml.
Cairan keluar : BAK 60 cc, perdarahan 300 cc
Lama operasi : 1 jam
Pasca operasi
Analgetik : Morfin 20 mg dalam 20 cc NS via syringe pump dengan
kecepatan 0,6 cc/jam
dan paracetamol 1 gr tiap 8 jam IV
Perawatan : Intensif
ASMA BRONKIALE
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit yang ditandai dengan inflamasi jalan nafas ,
obstruksi aliran
udara ekspirasi yang reversibel karena sempitnya jalan nafas
sebagai respon terhadap
berbagai stimuli dan hiperreaktif jalan nafas. Walaupun merupakan
penyakit kronis, derajat
obstruksi aliran udara ekspirasi dapat bervariasi dan berubah dalam
beberapa menit atau
setelah periode beberapa hari sampai minggu. Berbeda dengan asma,
pada pasien dengan
bronchitis kronis atau emphysema pulmonary terjadi obstruksi aliran
udara ekspirasi yang
menetap. Hiperreaktif jalan nafas sebagai respon terhadap berbagai
stimuli (alergen, kimia,
latihan), biasanya asimptomatis pada pasien dengan asma. Derajat
hiperreaktif jalan nafas
setara dengan derajat inflamasi yang terjadi.
Beberapa kondisi yang menyerupai wheezing dan dispnea yang
ditimbulkan oleh
asma bronchial adalah acute left ventricular failure (cardiac
asthma), obstruksi jalan nafas
atas oleh karena tumor atau edema laring, penyakit endobronkial
seperti aspirasi benda asing,
neoplasma, stenosis bronchial, bronchitis kronis. Untuk membedakan
asma dengan penyakit
lain biasanya tidak sulit. Trias dispnea, batuk dan wheezing, serta
adanya riwayat serangan
sebelumnya dan riwayat alergi individu dan keluarga.
PATOFISIOLOGI
jalan nafas, (2) obstruksi jalan nafas yang intermiten, (3)
hiperresponsif bronkus. Trigger
(pemicu) yang berbeda akan menyebabkan eksaserbasi asma oleh karena
inflamasi saluran
nafas atau bronkospasme akut atau keduanya. Sesuatu yang dapat
memicu serangan asma ini
sangat bervariasi antara satu individu dengan individu yang lain
dan dari satu waktu ke waktu
yang lain. Beberapa hal di antaranya adalah alergen, polusi udara,
infeksi saluran nafas,
kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat, atau ekspresi emosi yang
berlebihan. Faktor lain
yang kemungkinan dapat menyebabkan eksaserbasi ini adalah rinitis,
sinusitis bilateral,
poliposis, menstruasi, refluk gastroesopageal dan kehamilan.
Secara klinis, asma diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu
ekstrinsik (alergi), dan
intrinsik (idiosinkrasi). Asma alergi biasanya berkaitan dengan
adanya riwayat alergi dari
keluarga atau individu, reaksi positif pada tes kulit dengan
ekstrak antigen dan meningkatnya
kadar IgE dalam serum, sedangkan asma idiosinkrasi tidak dapat
dijelaskan karena proses
imunologi, tetapi karena abnormalitas system saraf
parasimpatis.
Allergen yang menyebabkan respon imunologi
Pasien dengan atopik, kontak dengan antigen berulang menyebabkan
sintesa dan
sekresi antibodi Imunoglobulin spesifik E (IgE). Antigen berdekatan
dengan molekul IgE,
menyebabkan pelepasan vasoaktif, bronkoaktif, dan kemoaktif
(histamin, interleukin, tumor
necrosis faktor, leukotrien, prostaglandin, platelet activating
factor) dari granula-granula sel
mast. Mediator-mediator kimia ini berperan penting dalam inflamasi
jalan nafas, kontraksi,
dan hiperreaktifitas. Eosinofil menginfiltrasi jalan nafas selama
beberapa jam setelah terkena
alergen dan dapat menambah pelepasan mediator lebih lanjut.
Regulasi Abnormal Sistem Saraf Otonom terhadap Fungsi Jalan
Nafas
Penjelasan lain dari karakteristik asma adalah regulasi abnormal
sistem saraf otonom.
Hipotesa ini didukung dengan adanya obstruksi aliran udara
ekspirasi yang meningkat pada
pasien dengan asma yang diobati dengan non-selektif β-antagonis
(propanolol), diduga
adanya ketidakseimbangan input saraf antara eksitator
(bronkokonstriktor) dan inhibitor
(bronkodilator). Hal ini kemungkinan bahwa mediator-mediator kimia
yang dilepaskan dari
mast sel berinteraksi dengan sistem saraf otonom. Sebagai contoh,
beberapa mediator kimia
dapat merangsang reseptor yang mengiritasi jalan nafas sehingga
menyebabkan reflek
bronkokontriksi, sedangkan beberapa mediator meningkatkan kepekaan
otot polos bronkus
terhadap asetilkolin. Sebagai tambahan, rangsangan reseptor
muskarinik memudahkan
pelepasan mediator dari sel mast, memberikan positif feedback yang
meneruskan terjadinya
inflamasi dan bronkokontriksi .
Selama periode fungsi paru normal atau mendekati normal, pasien
tidak menunjukkan
kelainan fisik. Saat obstruksi aliran udara ekspirasi terjadi,
sejumlah gejala dan tanda muncul
dan menjadi petunjuk tentang beratnya serangan asma. Dalam hal ini
manifestasi klasik asma
adalah wheezing, batuk dan dyspnea.
Wheezing, paling sering dijumpai selama serangan asma akut, adalah
istilah yang
dipakai untuk menggambarkan suara yang dihasilkan karena turbulensi
aliran gas melalui
jalan nafas yang sempit. Saat obstruksi lebih berat, wheezing
menjadi lebih menyolok dan
dapat didengar selama fase awal ekshalasi. Ekshalasi yang dipaksa
dapat mempertunjukkan
wheezing yang tidak dapat didengar selama bernafas tenang. Derajat
obstruksi jalan nafas
dapat berubah dengan tiba-tiba, tidak adanya wheezing pada
kasus-kasus yang berat dapat
menggambarkan tidak adanya aliran udara yang cukup untuk membentuk
suara ekspirasi.
Adanya suara wheezing yang terjadi berulang dan menetap
diperkirakan karena obstruksi
fokal jalan nafas, misalnya menyempitnya bronkus karena aspirasi
benda asing atau karena
neoplasma .
Karakteristik batuk pada asma dari nonproduktif sampai produktif
karena jumlah
sputum yang banyak yang berjenis mukoid dan seringkali sangat kuat.
Eosinofil dan debris
yang lain menyebabkan sputum menjadi berwarna kuning, menetap
walaupun tidak ada
infeksi. Kadang-kadang, batuk merupakan satu-satunya manifestasi
asma.
Dyspnea cenderung bervariasi, tergantung pada beratnya obstruksi
aliran udara
ekspirasi. Pada kasus yang berat obstruksi jalan nafas, terdapat
air hunger (udara yang
terperangkap) mungkin menjadi simptom yang utama, dan pasien
seringkali ingin cepat-cepat
duduk untuk memudahkan bernafas. Ketidaknyamanan di daerah dada dan
sesak (sensasi
karena tidak bisa menghirup udara dengan penuh) sering menyertai
dyspnea pada pasien
dengan asma dan dapat menyerupai angina pectoris.
Volume udara yang dihembuskan dengan paksa dalam 1 detik (FEV1) dan
laju aliran
udara maksimum pada mid-ekspirasi menunjukkan secara langsung
beratnya obstruksi aliran
udara ekspirasi. Pemeriksaan ini memberikan data yang obyektif yang
dapat memperkirakan
beratnya asma serta memonitor perjalanan eksaserbasi asma. Khusus
pasien dengan asma
yang dirawat di rumah sakit karena serangan mempunyai nilai FEV1
kurang dari 35% dari
nilai normal dan MMEFR nilainya 20% dari normal atau kurang. Selama
serangan asma
sedang sampai berat, FRC meningkat 1-2 liter, di mana kapasitas
total paru biasanya bertahan
dalam batas normal. Kapasitas difusi paru untuk karbonmonoksida
tidak menurun.
Abnormalitas residu dideteksi dengan tes fungsi paru yang dapat
bertahan selama beberapa
hari setelah serangan asma walaupun tanpa gejala.
Asma ringan biasanya berhubungan dengan PaO2 dan PaCO2 yang normal.
Takipnea
dan hiperventilasi dapat dilihat selama serangan asma akut, oleh
karena itu tidak
menunjukkan hipoksemia arteri tetapi menunjukkan reflek neural pada
paru. Bila terjadi
obstruksi berat aliran udara ekspirasi, dapat dikaitkan dengan V/Q
mismatch, yang
menghasilkan PaO2 kurang dari 60 mmHg saat bernafas pada udara
ruangan. PaCO2 mungkin
meningkat ketika FEV1 kurang dari 25% dari nilai yang diperkirakan.
Kelemahan otot rangka
yang penting selama bernafas dapat memperberat hiperkarbia. Foto
dada memperlihatkan
hiperinflasi paru, tetapi lebih sering digunakan untuk
menyingkirkan pneumoni atau CHF,
yang dapat dibingungkan dengan asma.
Tabel 1. Severity of Expiratory Airflow Obstruction
Severity FEV1 FEF25-75 PaO2 PaCO2
Mild 65-80% 60-75% >60 <40
Moderate 50-64% 45-59% >60 <45
Marked 35-49% 30-44% <60 >50
Severe <35% <30% <60 >50
Terdapat dua mekanisme yang berbeda dalam hal perkembangan laju
serangan asma.
Ketika yang dominan adalah proses inflamasi saluran pernafasannya,
pasien memperlihatkan
perburukan gejala klinis dan fungsional klas I atau serangan asma
akut tipe lambat. Data
penelitian menunjukkan bahwa sekitar 80-90% pasien asma yang
berkunjung ke rumah sakit
adalah pasien dengan serangan asma tipe I ini. Infeksi saluran
pernafasan atas sering juga
menjadi pemicu serangan. Kemungkinan pasien ini juga mempunyai
reaksi inflamasi akibat
alergi dengan diketemukannya eosinofil pada saluran pernafasannya.
Pada serangan tipe II,
yang dominan adalah terjadinya bronkospasme dan pasien
memperlihatkan serangan asma
yang muncul tiba-tiba atau mendadak (asfiksia atau asma hiper akut)
yang ditandai dengan
obstruksi saluran nafas yang berkembang sangat cepat (sesak muncul
< 3-6 jam setelah
serangan). Alergen yang terhirup, latihan fisik dan stress psikis
yang sering menjadi pemicu
serangan ini. Dalam saluran pernafasannya yang dominan adalah sel
netrofil.
Tabel 2. Perbedaan Karakteristik 2 Tipe serangan pada pasien Asma
Akut
Tipe 1. Perkembangan lambat Tipe 2. Perkembangan cepat
Asma akut berkembang lambat Onset cepat, asfiksia, asma
hiperakut
Laju perburukan > 6 jam Laju perburukan < 6 jam
89-90% wanita 10-20% laki-laki
Dipicu oleh infeksi sal. Pernaf. Atas Dipicu oleh alergen,
exercise, stress psikis
Obstruksi tidak begitu berat Obstruksi yang muncul lebih
berat
Respon lambat thd pengobatan Respon cepat terhadap pengobatan
Mekanisme: inflamasi sal. Pernafasan Mekanisme: perburukan
bronkhospastik
BENTUK-BENTUK ASMA BERDASARKAN ETIOLOGI
Asma bukan penyakit tunggal. Hal ini terdiri dari kelompok kelainan
dengan berbagai
etiologi.
Asma Karena Alergen
Allergen penyebab asma (media IgE) adalah bentuk yang paling sering
terjadi dari obstruksi
aliran udara ekspirasi. Pasien dengan asma yang disebabkan allergen
sering ditandai dengan
atopik, seperti rhinitis alergi dan dermatitis alergi. Predisposisi
genetik diperkirakan sering
terjadi pada pasien dengan riwayat keluarga asma. Eosinofil pada
pemeriksaan darah perifer
dan meningkatnya konsentrasi IgE pada dalam plasma mendukung
diagnosis penyakit atopi.
Kemungkinan, inhalasi antigen mencetuskan pelepasan mediator kimia
dari sel mast,
menyebabkan brokokontriksi, edema mukosa bronkus, sekresi mukus
kental.
Asma Karena Aktivitas
reaktifitas jalan nafas, di mana aktivitas fisik yang hebat
menyebabkan menyempitnya jalan
nafas mendadak dan obstruksi aliran udara ekspirasi. Akhirnya,
dapat menyebabkan spasme
bronkus. Asma karena aktivitas lebih sering terjadi pada anak-anak
dan dewasa muda karena
aktivitas fisik mereka yang lebih tinggi.
Asma Pada Malam Hari
Serangan asma pada malam hari berkaitan dengan perubahan tonus
jalan nafas saat
tidur, variasi konsentrasi katekolamin dalam sirkulasi, reflux
esophageal berkaitan dengan
posisi tidur telentang, atau tertahannya sekret jalan nafas karena
tertekannya reflek batuk,
Meningkatnya kejadian kematian karena asma setelah tengah malam dan
sebelum pagi hari,
menggambarkan fenomena ini.
Asma Karena Aspirin
Aspirin dan kebanyakan NSAID mempercepat terjadinya bronkospasme
pada kira-
kira 8-20% pada pasien dengan asma. Dalam 15 menit sampai 4 jam
setelah injeksi paling
sedikit 10 mg Aspirin, pada pasien yang sensitif akan terjadi
obstruksi jalan nafas, hidung
tersumbat, dan rhinorrhea. Polip nasi, dapat terjadi pada pasien
asma yang sensitif terhadap
aspirin, juga sering terjadi pada pasien yang tidak sensitif dengan
aspirin. Aspirin yang
menyebabkan bronkokontriksi pada pasien asma berkaitan dengan
bloking cyclooxygenase,
yang merubah arachidonic acid menjadi prostaglandin, di mana
arachidonic acid ini
berkaitan dengan pembentukan bronkokonstriktor leukotrien.
Tingginya kejadian sensitifitas
terhadap NSAID berkaitan dengan mekanisme yang meliputi bahwa obat
tersebut
menghambat cyclooxygenase.
Kira-kira 5% pasien dengan asma sensitif terhadap bisulfat dan
metabisulfat, yang
digunakan sebagai pengawet dan antioksidan pada industri – industri
makanan. Bahan-bahan
ini juga terdapat dalam jumlah besar di dalam obat-obatan.
Asma Karena Pekerjaan
Asma adalah bentuk penyakit paru karena pekerjaan tersering yang
terjadi di dunia,
mempengaruhi 5-10% penduduk dunia. Chlorine dan Ammonia adalah
bahan yang paling
sering menjadi penyebab. Sensitif terhadap Latex dapat meningkatkan
terjadinya obstruksi
aliran udara selama bekerja di kamar operasi.
Asma Karena Infeksi
Asma karena infeksi disebabkan karena meningkatnya resistensi jalan
nafas, yang
berkaitan dengan penyakit inflamasi akut bronkus. Agen-agen
penyebab mungkin virus,
bakteri, atau organisme Mycoplasma. Pembasmian organisme penyebab
infeksi dapat
menyebabkan bronkokontriksi dengan cepat.
Selama kehamilan, peningkatan konsentrasi hormonal, efek mekanik
dari uterus yang
membesar, dan peningkatan kebutuhan metabolisme menghasilkan
perubahan yang bermakna
dari fisiologi ibu hamil. Perubahan hormonal tampaknya paling
bertanggungjawab terhadap
perubahan yang terjadi selama trimester pertama. Efek mekanik dari
uterus yang membesar
semakin tampak saat uterus keluar dari pelvis, yang terjadi selama
setengah kehamilan
berikutnya.
Sistem respirasi mengalami beberapa perubahan yang dapat dinilai
sebagai akibat
perubahan hormonal dan fisiologis kehamilan. Peningkatan kadar
hormon progesterone dan
estrogen menyebabkan volume darah dan cardiac output meningkat dan
akibatnya aliran
darah paru juga meningkat. Dengan adanya penurunan konsentrasi
albumin selama
kehamilan yang akan menimbulkan perubahan tekanan onkotik, dapat
terjadi edema paru
ringan. Progesterone juga bertindak sebagai stimulant langsung
respirasi, meningkatkan
kemosensitivitas dari pusat nafas terhadap CO2.
Pada wanita hamil, terjadi peningkatan konsumsi O2 dan produksi CO2
selama proses
kehamilan. Konsumsi oksigen meningkat sekitar 20-40%. Seiring
peningkatan level
progesterone, terjadi peningkatan kemosensitivitas terhadap CO2 dan
produksi CO2 sehingga
terjadi peningkatan ventilasi semenit sampai 25% pada bulan keempat
kehamilan dan
mencapai 45%-70% saat kehamilan cukup bulan. Volume tidal dapat
meningkat sampai 40%
dan frekuensi nafas dapat meningkat sampai 10%. Hal ini menimbulkan
suatu kondisi
takipneu, hipokarbia (PaCO2 27-34 mmHg) dan alkalosis respiratorik
(pH 7,4-7,45).1,2,,3,4,6
Kurva disosiasi oksihemoglobin akan bergeser kekanan sehingga dapat
memfasilitasi
penghantaran oksigen ke fetus. Untuk mencegah peningkatan pH yang
dapat membahayakan,
ginjal akan meresponnya dengan mengekskresikan bikarbonat.4,6
Meskipun konsumsi
oksigen meningkat selama kehamilan, PaO2 biasanya sedikit meningkat
sampai 10% atau
tetap dalam batas normal. Kapasitas vital paru mengalami perubahan
sangat sedikit,
sementara volume cadangan ekspirasi mengalami penurunan akibat
peningkatan tidal
volume, sehingga functional residual capacity (FRC) biasanya
menurun 10-25% setelah
umur kehamilan 12 minggu karena pembesaran uterus dan penurunan
compliance dinding
dada, yang menimbulkan penurunan cadangan oksigen dan potesi
gangguan jalan nafas. Bila
FRC semakim menurun, misalnya akibat morbid obesity, distensi
intraabdominal perioperatif,
pasien dalam posisi supine, trendelenburg atau litotomi, gangguan
jalan nafas dapat
menimbulkan hipoksemia yang berarti. FRC akan kembali normal dalam
waktu 48 jam
setelah persalinan. Penurunan FRC dan peningkatan konsumsi oksigen
dapat menimbulkan
hipoksemia dan asidosis dengan cepat selama suatu periode
hipoventilasi atau apneu.
Perubahan anatomi, peningkatan berat badan dan pelebaran kapiler
mukosa saluran nafas
dapat menimbulkan masalah yang sering terjadi selama ventilasi
sungkup muka dan
kegagalan intubasi pipa endotrakeal. Karenanya preoksigenasi
sebelum induksi anestesia
harus dilakukan dengan baik untuk menghindari hipoksemia pada
pasien hamil.
Sistem Kardiovaskular
Selama kehamilan, cardiac output akan meningkat 30%-50% yang
terjadi akibat
peningkatan denyut jantung (15-30%) dan peningkatan stroke volume
(30%) untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme maternal dan fetal yang meningkat..
Peningkatan denyut
jantung mulai terjadi saat umur kehamilan 6 minggu setelah
konsepsi, dan setelah trimester
ketiga denyut jantung 15-20X/menit lebih cepat daripada nilai basal
sebelum hamil. Volume
plasma juga meningkat sampai 40%-50%. Tekanan darah biasanya turun
selama kehamilan
akibat pengaruh progesterone yang menimbulkan vasodilatasi /
penurunan sistemic vascular
resistance (SVR) dan resistensi yang rendah dari jaringan plasenta.
Tekanan darah mencapai
titik terendah saat trimester kedua dan kembali ke level basal
seiring dengan saat persalinan.
Tekanan nadi akan melebar akibat penurunan diastolik yang lebih
besar dibandingkan
tekanan darah sistolik.
Selama setengah umur kehamilan selanjutnya, uterus yang membesar
akan menekan vena
cava inferior ( aortocaval compression) mengakibatkan penurunan
venous return dan cardiac
output sekitar 25%-30% pada saat ibu hamil berbaring terlentang.
Meskipun tekanan darah
ekstremitas atas dapat dipertahankan dengan mekanisme kompensasi
vasokonstriksi dan
takikardi, perfusi uteroplasental tetap berkurang. Frank
hypotension juga dapat terjadi pada
posisi supine, terutama akibat regional ataupun general anestesia
yang dapat mengurangi
bahkan menghilangkan mekanisme kompensasi normal. Untuk menghindari
ataupun
mengurangi hipotensi yang terjadi, sangat penting dilakukan
penempatan uterus ke lateral
selama operasi apapun pada umur kehamilan diatas 20
minggu.Kombinasi dari aortocaval
compression dan efek hipotensi akibat regional maupun general
anestesia dapat menimbulkan
asfiksia fetus.
Sistem Hematologi
Volume plasma meningkat 40%-50% selama kehamilan. Peningkatan
volume plasma ini
melebihi peningkatan dari sel darah merah mengakibatkan relative
dilutional anemia. Hal ini
dapat mengganggu hantaran oksigen.2,4 Meskipun perdarahan sedang
masih dapat ditoleransi
selama kehamilan, akan tetapi bila sebelumnya sudah ada anemia, hal
ini akan menurunkan
cadangan pasien bila terjadi perdarahan yang bermakna. Selama
kehamilan juga terjadi
perubahan pembekuan darah dan fibrinolisis. Platelets menjadi
semakin reaktif dan
penghancurannya meningkat. Sebagai kompensasinya terjadi
peningkatan produksi platelets.
Pada kehamilan normal terjadi peningkatan sintesa di hepar dan sel
endotelial dari beberapa
faktor prokoagulant. Wanita hamil juga memiliki level faktor
antikoagulan yang normal.
Secara umum aktivitas fibrinolitik terganggu selama kehamilan, akan
tetapi bleeding time dan
clotting time tidak berubah. Secara keseluruhan, kehamilan
merupakan suatu kondisi
hiperkoagulabilitas, dimana resiko thromboemboli berlipat dua
selama kehamilan, sehingga
sebaikannya dipergunakan compression stocking selama management
pembedahan.
Kehamilan mencerminkan suatu kondisi peningkatan yang terkompensasi
dari pembekuan
intravascular. Kehamilan juga menimbulkan leukositosis, sehingga
nilai sel darah putih (wbc)
tidak dapat dipakai sebagai indikator suatu infeksi.
Sistem Gastrointenstinal
pneumonitis aspirasi akibat inkompetensi spinkter esophagus bagian
bawah, perubahan
anatomi gaster dan pylorus karena peningkatan tekanan intra gaster
akibat penekanan oleh
uterus gravid. Peningkatan kadar hormone progesterone juga akan
menurunkan tonus dari
spinkter gastroesofageal. Meskipun belum diketahui dengan jelas
pada saat kapan selama
kehamilan resiko ini menjadi bermakna, propilaksis aspirasi gaster
harus dipertimbangkan
setelah umur kehamilan 16-20 minggu. 1,2,3,4. Akibat dari pengaruh
hormone estrogen dan
progesterone, motilitas lambung menurun dan waktu pengosongan
lambung akan memanjang
Renal system
Dengan meningkatnya cardiac output, kecepatan filtrasi glomerulus
(GFR) meningkat
30%-50%, dan puncaknya terjadi pada akhir trimester pertama,
sehingga terjadi penurunan
creatinine clearance dan blood urea nitrogen (BUN) sampai 25%
setelah trimester pertama,
sehingga nilai laboratorium normal harus disesuaikan pada wanita
hamil. GFR kembali ke
nilai normal mulai trimester ketiga. Pada wanita hamil dapat
terjadi penurunan nilai ambang
batas tubular ginjal terhadap glukosa dan protein sehingga dapat
terjadi glukosuria ringan (1-
10g/d) dan proteinuria (<300mg/d). Ukuran ginjal juga meningkat
sampai 1,5 cm akibat
peningkatan vaskularisasi. Ureter akan berdilatasi akibat efek
relaksasi dari progesterone
terhadap otot polos.
Induksi anestesia umum terjadi lebih cepat selama kehamilan karena
adanya hipervetilasi
alveolar dan penurunan FRC yang memungkinkan terjadinya
keseimbangan yang lebih cepat
dari anestesi inhalasi. Faktor lain yang juga mempercepat indukasi
anestesi adalah penurunan
minimal alveolar concentration (MAC) 30%-40% dari anestesi inhalasi
yang sudah terjadi
mulai awal kehamilan, dan konsentrasi subanestetik dari obat
anestesi sudah dapat membuat
pasien hamil tidak sadar.
Selain terjadi penurunan MAC anestesi inhalasi, kebutuhan
thiopental juga mulai
menurun pada awal kehamilan. Central neural blockade yang dilakukan
dengan epidural
maupun spinal anestesia dapat meluas pada pasien hamil karena
kompresi vena kava akan
mengakibatkan pelebaran / distensi pleksus vertebralis / vena
epidural sehingga
mempersempit ruang epidural dan mengurangi volume cairan CSF. Saat
kehamilan term,
terjadi peningkatan sensitivitas terhadap anestesi lokal selama
regional anestesi sehingga
dosis yang diperlukan dapat berkurang sampai 30%. Perluasan
penyebaran anestesi regional
ini terjadi mulai trimester kedua dan ketiga kehamilan.
Kadar kolinesterase plasma juga menurun mulai awal kehamilan
sekitar 25% dan
kembali normal setelah 7 hari postpartum. Meskipun demikian jarang
terjadi pemanjangan
neuromuscular blok oleh suksinilkolin karena adanya volume
distribusi yang besar yang akan
mengurangi dampak dari berkurangnya hidrolisis obat. Dosis
suksinilkolin harus tetap
dikontrol dengan hati-hati pada pasien hamil dan dokter anestesi
harus memonitor blockade
neuromuscular dengan nerve stimulator untuk memastikan reversal
yang adekuat sebelum
ekstubasi. 1
Sistem Hepar
Secara keseluruhan, fungsi hepar dan aliran darahnya tidak berubah
selama kehamilan.
Dapat terjadi sedikit peningkatan dari serum transaminase dan
laktat dehidrogenase pada
trimester ketiga. Penurunan dari kadar albumin serum disebabkan
bertambahnya volume
plasma akibatnya tekanan onkotik koloid berkurang. Pemecahan dari
mivacurium dan
anestesi lokal golongan ester tidak terganggu.
Tabel 1. Rata-rata perubahan fisiologis selama kehamilan
Parameter Perubahan
Secara umum, tujuan pendekatan preoperative pada pasien-pasien
dengan penyakit
paru adalah untuk menentukan pasien dengan resiko komplikasi paru
paska operasi dan untuk
menentukan terapi perioperatif. Berikut ini beberapa hal yang harus
diperhatikan selama
pengelolaan anestesi pada pasien asma:
• Mengetahui pengertian dasar tentang patofisiologi penyakit
paru.
• Mengenali pasien-pasien dengan resiko tinggi terjadinya
komplikasi pada paru pasca
operasi.
• Manajemen anestesi untuk pasien dengan aman membutuhkan
pengertian tentang
patofisiologi penyakit dan farmakologi obat-obat yang digunakan
untuk pengobatan.
Tabel 7 Obat-obat yang direkomendasikan perioperatif
Class of drug Examples Perioperative
recommendation Notes
ß2 agonists
Oral steroids Prednisolone hydrocortisone until
taking orally (1 mg
Effectiveness in asthma
debated. In severe
Induksi dan Pemeliharaan Anestesi
Sasaran selama induksi dan pemeliharaan anestesi pada pasien dengan
asma adalah
untuk menekan reflek-reflek jalan nafas , untuk menghindari
bronkokontriksi dari
hiperreaktif jalan nafas sebagai respon terhadap rangsangan mekanik
.
Anestesi Regional
Dengan anestesi regional, dapat menghindari manipulasi pada jalan
nafas dan intubasi
trakeal bila daerah operasi di superfisial atau pada ekstremitas.
Konsentrasi pada ketinggian
sensoris pada anestesi mengacu pada blokade sistem saraf simpatis,
maka dari itu
bronkospasme tidak akan terjadi. Namum demikian, harus dipikirkan
bahwa dapat terjadi
kegagalan dalam anestesi regional dan berikutnya memerlukan
anestesi umum (Stoelting,
2002).
kerja cepat seperti Propofol, Etomidat atau Thiopental. Kejadian
wheezing pada pasien asma
lebih tinggi pada yang mendapat Thiopental untuk induksi anestesi
daripada pasien asma
yang mendapat Propofol. Kejadian resistensi jalan nafas setelah
intubasi trakeal pada pasien
sehat lebih rendah setelah induksi dengan propofol daripada setelah
induksi dengan
thiopental atau etomidat. Mekanisme propofol yang menyebabkan efek
bronkodilatasi belum
diketahui. Didasarkan pada observasi, bahwa propofol rupanya
menjadi pilihan secara logis
untuk induksi pasien asma yang hemodinamiknya stabil, khususnya
saat intubasi trakeal atau
rangsangan pada jalan nafas. Sebagai pilihan lain, Ketamin
mempunyai efek simpatomimetik
yang menyebabkan relaksasi otot polos jalan nafas dan menyebabkan
penurunan resistensi
jalan nafas khususnya pada pasien dengan wheezing. Adanya
metabisulfite sebagai pengawet
pada obat, diduga menyebabkan bronkospasme pada pasien dengan
hiperreaktifitas jalan
nafas. Pada umumnya Propofol mengandung metabisulfite. Setelah
pasien dibuat tidak sadar
dengan obat-obat induksi intravena, paru pasien diventilasi dengan
campuran gas yang
mengandung volatile. Tujuan adalah untuk mencapai kedalaman
anestesi yang dapat
menekan reflek hiperreaktifitas jalan nafas, yang cukup untuk
dilakukan intubasi trakeal
tanpa menyebabkan bronkospasme. Sebagai tambahan, salah satu faktor
penyebab terjadinya
bronkospasme pada pasien asma adalah, intubasi trakeal dilakukan
tanpa sebelumnya
memberikan kedalaman anestesi yang cukup untuk menekan reflek jalan
nafas. Hal ini sering
diperkirakan bahwa volatile dengan dosis sebanding sama efektifnya
sebagai bronkodilator.
Tetapi bagaimanapun, pada dosis kurang dari 1,7 MAC, halotan sangat
efektif sebagai
bronkodilator daripada isofluran pada percobaan binatang karena
histamine menyebabkan
terjadinya bronkospasme. Selain itu, bau dari halotan dan
sevofluran (dibandingkan dengan
isofluran dan desfluran) menyebabkan berkurangnya kejadian batuk.
Karena batuk dapat
memicu terjadinya bronkospasme. Selama pamakaian halotan tidak
pantas, karena efek
disritmia jantung. Sebagai tambahan, untuk menekan reflek jalan
nafas, sebelum melakukan
intubasi dapat diberikan Lidokain 1,5 mg/kgBB intravena diberikan
1-3 menit sebelum
melakukan laringoskopi. Keputusan untuk memberikan lidokain
intratrakeal sesaat sebelum
menempatkan tube pada trakea dapat dipertimbangkan karena efek
anestesi topical.
Relaksasi otot skeletal selama pemeliharaan anestesi sering
diberikan pelumpuh otot
nondepolarisasi. Dalam hal ini, obat yang bersifat melepaskan
histamine harus diseleksi.
Sebagai contoh, bronkospasme yang berat setelah pemberian
Atrakurium telah dilaporkan
pada pasien dengan asma. Namun, pada penelitian yang lain
dilaporkan bahwa kejadian
bronkospasme setelah pemberian Atrakurium atau obat pelumpuh otot
nondepolarisasi yang
lainnya tidak ada bedanya. Walaupun sifat histamine release juga
dipunyai oleh
Suksinilkolin, namun tidak ada bukti bahwa obat ini berkaitan
dengan kejadian meningkatnya
resistensi jalan nafas bila diberikan pada pasien asma. Secara
teori, antagonis obat pelumpuh
otot nondepolarisasi yaitu antikolinesterase dapat menyebabkan
bronkospasme disebabkan
rangsangan reseptor kolinergik postganglionic pada otot polos jalan
nafas. Bahwa kejadian
bronkospasme tidak dapat diramalkan terjadi setelah pemberian obat
antikolinesterase dapat
menggambarkan efek protektif yang ditunjukkan dengan pemberian
secara simultan.
Intraoperatif, kadar oksigenasi arterial dan ventilasi yang
diinginkan adalah paling
baik diberikan dengan ventilasi mekanik untuk paru pasien. Laju
aliran inspirasi yang lambat
dapat memberikan gambaran distribusi ventilasi yang setara dengan
perfusi. Waktu yang
cukup untuk ekshalasi pasif penting untuk mencegah udara yang
terjebak bila ada obstruksi
aliran udara ekspirasi. Melembabkan dan menghangatkan gas inspirasi
dapat
dipertimbangkan, terutama pada pasien asma dicetuskan oleh
aktifitas, di mana
bronkospasme diduga berkaitan dengan kehilangan panas di
transmukosa. Pada akhir anestesi
untuk operasi elektif, hati-hati pada saat melepaskan pipa trakeal,
yaitu pada saat anestesi
masih cukup untuk menekan reflek hiperreaktifitas jalan nafas. Bila
dianggap tidak bijaksana
untuk melakukan ekstubasi sebelum pasien sadar, maka sebaiknya
mengurangi rangsangan
pada jalan nafas melalui pipa endotrakeal. Sehingga pemberian
infuse Lidokain intravena
kontinyu 1-3 mg/kgBB/jam dapat diberikan.
Table 9. Obat-obat pilihan untuk asma
Induction Propofol, etomidate, ketamine, midazolam
Opioids Pethidine, fentanyl, alfentanil
Volatile agents Halothane, isoflurane, enflurane, sevoflurane,
ether (nitrous
oxide)
oleh:
- kinking
- sekresi
2. Anestesi tak adekuat
Pada kasus obstruksi mekanis, biasanya digunakan bronkoskopi fiber
optic untuk
mengeluarkan benda yang menyumbat. Bronkospasme yang terjadi pada
pasien yang sedang
dalam keadaan teranestesi dan trakeal tube terpasang, dan tidak ada
serangan asma, diatasi
dengan meningkatkan pemberian anestesi volatile atau pemberian
muscle relaksan. Serangan
asma dapat berkurang dengan pemberian anestesi volatile tapi tak
berespon dengan
pemberian muscle relaksan. Bila bronkospasme karena asma tetap ada
meski sudah diberikan
anestesi volatile, sebaiknya dipertimbangkan untuk memberikan
terapi β agonis. Albuterol
dimasukkan dengan memasang metered-dose inhaler ke alat pemberian
anestesi dengan
bantuan T konektor. Efisiensi pemberian obat dapat ditingkatkan
dengan menempatkan
kateter kecil di dekat ujung distal trakeal tube. Setiap hembusan
inhaler memberikan sekitar
90 μg albuterol. Efek albuterol mengatasi bronkospasme bersifat
adiktif terhadap efek yang
sama dari anestesi volatile. Bila setelah diberikan β2
agonis,bronkospasme masih juga terjadi
maka harus ditambahkan pemberian kortikosteroid, karena efek
terapeutik baru muncul
setelah lewat 3-4 jam.
Bronkospasme biasanya terjadi setelah intubasi.
Tindakan yang dilakukan adalah:Ubah ke Oksigen 100% dan hentikan
semua obat anestesi
yang potensial menyebabkan bronkospasme
Harus diketahui bahwa permasalahan yang dihadapi adalah
bronkospasme, bukan oleh karena
sumbatan pada sirkuit nafas atau pipa endotrakeal
Ventilasi dengan Halotan, Isoflurane, Sevoflurane atau anestesi
intravena
Mungkin dibutuhkan tekanan inflasi yang tinggi selama
inspirasi
Coba berikan Salbutamorl 6-8 puff.
Dapat diberikan obat-obat intravena
Pasien asma yang akan dioperasi darurat memunculkan konflik antara
proteksi airway
untuk mencegah aspirasi dengan resiko bronkospasme akibat anestesi
ringan (light anestesi).
Awake intubasi dapat merangsang reflek trakea dan laring yang akan
memicu bronkospasme.
Lebih jauh lagi, biasanya tak ada cukup waktu untuk memaksimalkan
efek bronkodilator
sebelum operasi. Regional anestesi bisa dipilih bila lapangan
operasi di superficial atau
ekstremitas.
Saat ekstubasi, untuk menghindari bronkospasme karena batuk akibat
reflek pada
pharing dan laring, sebaiknya pasien diekstubasi saat anestesi
dalam. Tetapi, resiko aspirasi,
obstruksi jalan nafas, dan hipoventilasi, bisa terjadi. Bila
ternyata tidak bisa dilakukannya
ekstubasi di kamar operasi, dan membiarkan pasien tetap dengan pipa
endotracheal, maka
untuk mencegah bronkokontriksi adalah dengan loading dose Lidokain
6 mg/kg diberikan
pelan, dilanjutkan dengan infuse 1 mg/kg/jam untuk perokok, 0,5
mg/kg/jam untuk yang
bukan perokok, dan 0,3 mg/kg/jam untuk pasien dengan penyakit berat
seperti CHF,
pneumonia, liver disease.
dapat memperpanjang depresi nafas, sehingga dapat membahayakan
jalan nafas. Morfin
dihindari karena dapat melapaskan histamine dan meningkatkan tonus
vagal sentral, yang
dapat menyebabkan spasme bronkus. Meperidine mungkin pilihan yang
lebih baik untuk
analgesia postoperatif karena kerja spasmolitiknya. Narkotik harus
dititrasi dengan hati-hati
untuk mengontrol nyeri dan tidak mendepresi nafas.
PEMBAHASAN
Asma merupakan salah satu komorbiditas yang mendapat perhatiaan
khusus dalam
bidang anestesi baik dari preoperatif , intraoperatif dan
postoperatifnya. Pada kasus ini
pasien datang dalam kondisi hamil disertai sesak nafas ,muntah buih
merah muda dengan
desaturasi , dan ditemukan rhonki serta wheezing pada kedua
lapangan paru . Dari riwayat
penyakit ditemukan asma tidak terkontrol . Saat kejadian pasien
sudah dalam kondisi
penurunan kesadaran dan gawat janin, sehingga langsung dilakukan
bagging untuk
memperbaiki ventilasi pasien . Dari sejawat obsgyn diputuskan untuk
dilakukan sc saat itu
juga karena pertimbangan gawat janin. Tehnik anestesi yang dipilih
adalah general anestesi
inhalasi dengan menggunakan endotrakeal tube, dengan obat induksi
propofol dan ketamin
dengan mengambil efek bronkodilatasi dari ketamin dan pemilihan
muscle relaxant non
histamine release yaitu rocuronium, maintenance yang digunakan
adalah sevofluran 2%
dengan perbandingan O2 : comress air = 2:2 .
Table 9. Obat-obat pilihan untuk asma
Induction Propofol, etomidate, ketamine, midazolam
Opioids Pethidine, fentanyl, alfentanil
Volatile agents Halothane, isoflurane, enflurane, sevoflurane,
ether (nitrous
oxide)
Medikasi lain yang digunakan adalah metyl prednisolon untuk
mengurangi edema
jalan nafas akibat asma . Dengan tehnik anestesi yang digunakan ,
saturasi oksigen
intraoperatif berangsur-angsur membaik sampai 96% dan wheezing
berkurang.
Bronkospasme intraoperatif jarang disebabkan oleh serangan asma.
Lebih sering
disebabkan oleh:
- kinking
- sekresi
2. Anestesi tak adekuat
7. Pneumotorak
Namun intra operatif pada pasien ini, tidak didapatkan masalah
seperti diatas.
Menejemen Post Operatif
Saat ekstubasi, untuk menghindari bronkospasme karena batuk akibat
reflek pada
pharing dan laring, sebaiknya pasien diekstubasi saat anestesi
dalam. Tetapi, resiko aspirasi,
obstruksi jalan nafas, dan hipoventilasi, bisa terjadi. Bila
ternyata tidak bisa dilakukannya
ekstubasi di kamar operasi, dan membiarkan pasien tetap dengan pipa
endotracheal, maka
untuk mencegah bronkokontriksi adalah dengan loading dose Lidokain
6 mg/kg diberikan
pelan, dilanjutkan dengan infuse 1 mg/kg/jam untuk perokok, 0,5
mg/kg/jam untuk yang
bukan perokok, dan 0,3 mg/kg/jam untuk pasien dengan penyakit berat
seperti CHF,
pneumonia, liver disease.
dapat memperpanjang depresi nafas, sehingga dapat membahayakan
jalan nafas. Morfin
dihindari karena dapat melapaskan histamine dan meningkatkan tonus
vagal sentral, yang
dapat menyebabkan spasme bronkus. Meperidine mungkin pilihan yang
lebih baik untuk
analgesia postoperatif karena kerja spasmolitiknya. Narkotik harus
dititrasi dengan hati-hati
untuk mengontrol nyeri dan tidak mendepresi nafas.
Post operasi pasien kami kirim kirim ke icu dalam kondisi
terintubasi. Pada akhirnya pasien
di ekstubasi di ICU dan dapat kembali dirawat diruangan.
Pada pasien ini dapat lebih di maksimalkan penatalaksanaan
preoperatifnya , selain
dengan bagging manual , pemberian steroid dan beta 2 agonis dapat
diberikan terlebih
dahulu kepada pasien untuk memperbaiki kondisi pasien. Gawat janin
yang terjadi akibat
desaturasi pada ibu yang mana dapat diperbaiki dengan obat-obat
diatas dan diharapkan
dengan kodisi ibu yang baik, janin ikut membaik . Namun karena
diputuskan untuk sc cito,
pasien tidak sempat dioptimalisasi pre oteratifnya, dan obat-obat
tersebut dimasukkan intra
operatif, dengan pemilihan obat-obat anestesi yang non histamine
realse dan mempunyai efek
bronkodilatasi . obat lain yang seharusnya dapat diberikan saat itu
adalah pemberian liokain
intra vena, untuk mengurangi hiperreaktivitas jalan nafas . Beta 2
aguonis secara nebulizer
atau subkutan juga seharusnya dapat diberikan intra operatif, namun
tidak diberikan karena
waktu mendesak dan alat nebulizer dan obatnya belum disiapkan .
Aminofilin tidak kami
berikan dengan pertimbangan pasien mengalami takikardi. Namun
terlepas dari kekurangan
kami, kondisi pasien membaik intra operatif dan pasien dapat
diekstubasi di ICU.
Tabel 7 Obat-obat yang direkomendasikan perioperatif
Class of drug Examples Perioperative
recommendation Notes
ß2 agonists
Effectiveness in asthma
debated. In severe
Penanganan perioperatif asma pada ibu hamil, perlu mendapat
perhatian lebih,
dikarenakan selain menyangkut keselamatan ibu juga keselamatan
janin . Sebisa mungkin
pasien dioptimalkan kondisi preoperatifnya, namun bila tidak
memungkinkan , diperlukan
pemilihan tehnik anaestesi yang dapat meringankan kondisi asma ibu
dengan memilih obat-
obat yang memiliki efek bronkodilatasi ,non histamine release dan
meringankan edema jalan
nafas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Naunghton, NN., Cohen, SE. Nonobstetric surgery during
pregnancy, in : Chesnut
DH, editor. Obstetric anesthesia principle and practice. 3rd ed,
Philadelphia : Elsevier
Mosby, 2004 : 255-269
2. Carvalho, B. Nonobstetric surgery during pregnancy. IARS Review
course lecture ;
2006 march 24-28 ; San Fransisco, California ; 2006. p.23-30
3. Hawkin, JL. Anesthesia for the pregnant patient undergoing
nonobstetric surgery.
Available from : URL : http://www.anesthesia.org.cn/asa2002/
rcl.source/213_Hawkin.pdf. Accessed november 12, 2006
4. Morgan, GE., et all. Maternal & fetal physiology &
anesthesia. In : Morgan, GE
editors. Clinical anesthesiology. 3rd ed. New York : Mc Graw Hill,
2002 : 804-813
5. Yarnell, RW. Emergency surgery during pregnancy. Available from
: URL :
http://www.anesthesia.org/winterlude/wl95/wl95_6.html. Accessed
november 12,
: URL : http://www.medscape.com/viewarticle/52442. Accessed
november 12, 2006
7. Norris, MC. Surgery during pregnancy. In : Norris, MC editor.
Handbook of obstetric
anethesia. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2000 :
153-171
8. Gadalla F. Appendectomy for a pregnant patient. In : Yao, FSF,
editor.
Anesthesiology problem oriented patient management. 5th ed.
Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins, 2003 : 844-857
9. Yankowitz, J., Niebyl, JR. Nonanesthetic drugs during pregnancy
and lactation. In :
Chesnut DH, editor. Obstetric anesthesia principle and practice.
3rd ed, Philadelphia :
Elsevier Mosby, 2004 : 213-214
http://dailymed.nlm.nih.gov/dailymed/search.cfm?startswith=fentanyl&x=16&y=12.
Accessed december 10, 2006
http://dailymed.nlm.nih.gov/dailymed/druginfo.cfm?id=2142. Accessed
december 10,
2006
12. Shervington, JP., Cox, C. Abdominal pain in pregnancy :
diagnosis, surgery and
anaesthesia. The obstetrician & Gynaecologist
2000;2:17-22