Anestesi Penanganan Cairan Perioperatif Pada Pasien Bedah Saraf

Embed Size (px)

DESCRIPTION

PENANGANAN CAIRAN PERIOPERATIF PADA PASIEN BEDAH SARAF

Citation preview

PENANGANAN CAIRAN PERIOPERATIF PADA PASIEN BEDAH SARAFDonald S.Pough dan Christopher McQuittyDepartment of Anesthesiology, University of Texas Medical Branch at Galveston, Texas, USAMark H. ZornowOregon Health & Science University, Portland, Oregon, USA

PENDAHULUANPenanganan cairan perioperatif pada pasien dengan penyakit neurologis atau penyakit serebovaskuler memiliki banyak tantangan. Pasien tertentu mungkin membutuhkan optimalisasi volume intravaskuler, memaksimalisasi aliran darah otak(CBF), dan minimalisasi edema otak. Bab ini meninjau prinsip dasar fisiologis yang menentukan pergerakan(perpindahan) cairan antara ruang intraseluler dan ekstraseluler, jaringan periferal dan otak sebelum mengarah pada kondisi patologis yang spesifik.

PRINSIP FISIS PENGATURAN PERGERAKAN CAIRAN ANTARA RUANG INTRAVASKULER DAN EKSTRAVASKULERTotal Air Tubuh l(TBW) terbagi menjadi volume intraseluler (ICV) dan ekstraseluler(ECV) yang dipisahkan oleh membrane sel yang semipermeable terhadap air tetapi kurang permeable terhadap sebagian besar ion dan semua protein. Berdasarkan beberapa keadaan, air dapat didistribusi kembali antara ICV dan ECV dengan pembentukan gradien(perbedaan) osmotik, biasanya terjadi akibat perubahan konsentrasi serum sodium [Na+]. Pada jaringan periferal distribusi cairan antara volume plasma(PV) dan volume cairan intertisial diatur oleh gradien tekanan onkotik, yaitu proporsi dari tekanan osmotik yang diakibatkan oleh protein. Dengan pengecualian khusus untuk yang terletak di otak dan medulla spinalis, membran kapiler sangat permeable terhadap air, ions, dan senyawa mulekuler berat rendah(Mw) lainnya, tetapi batas pergerakan dari substansi(zat) Mw-tinggi, meliputi albumin, globulin, dan koliod sintetik seperti hydroxyethyl starch(tajin/pati hidroxietil) dan dextrans. Impermeabilitas dari membran kapiler otak terhadap sebagian besar solut hidrofobik adalah karakteristik kunci dari sawar darah-otak/blood-brain barier(BBB).

OsmolalitasOsmolalitas adalah istilah yang digunakan untuk mengukur jumlah partikel pada suatu larutan. Karena pada peresapan yang sedikit dari sebagian besar pelarut, terutama sodium, melewati BBB, perubahan yang tiba-tiba pada osmolalitas dapat menyebabkan perubahan perbandingan yang cepat pada konsentrasi cairan otak. Untuk larutan fisiologis, osmolalitas secara umum dinyatakan sebagai miliosmoles per kilogram(mOsm/kg) dari pelarut, sedangkan satuan ukur untuk osmolaritas adalah miliosmomoles per liter(mOsm/L) dari larutan. Untuk mengencerkan larutan(termasuk sebagian besar dari kepentingan fisiologis), kedua istilah tersebut bisa digunakan secara bergantian. Osmolaritas dari beberapa cairan intravena yang umum digunakan ditunjukkan pada table 1.Osmolalitas dapat dengan mudah dihitung jika Mw dari larutan diketahui. 0,9% larutan sondium klorida(NaCl) berisi 9mg/mL atau 9 g/L. 1 M larutan NaCl akan berisi 58,43 g/L, karena nilai Mw dari NaCl adalah 58,43. Oleh karena itu, 0,9% larutan NaCl akan menjadi larutan 0,154 M atau 154 mmol. Akan tetapi, pada konsentrasi ini, setiap molekul NaCl terpisah menjadi satu ion Na+ dan satu ion Cl- berdisosiasi menjadi 2 mOsm. Oleh karena itu, osmolaritas yang dihitung dari 0,9% saline(larutan garam) adalah 308 mOsm/L.

Table 1. Osmolaritas dan tekanan onkotik dari cairan intravena secara umumCairanSolut yang bertanggung jawab terhadap osmolaritasOsmolaritas (mOsm/L)Tekanan onkotik (mmHg)Solut yang menambah tekanan onkotikTekanan onkotik (mmHg)a

Ringer laktatNa+, Cl-, laktat2735.2690

Ringer laktat D5Glu, Na+, Cl-, laktat52510.1330

Saline 0,9%Na+, Cl-3085.9440

0,45 saline D5Glu, Na+, Cl-4067.8360

0,45 salineNa+, Cl-1542.9720

Manitol 20%Manitol 109821.1910

Pati Hidroxietil(6%)(HespanTM)Na+, Cl-3105.983HES312

Pati Hidroxietil(6%)(HextendTM)Na+, Cl-, laktat3105.983HES312

Dextran 40(10%)bNa+, Cl-0,3005.790Dex1693

Dextran 70 (6%)Na+, Cl-0,3005.790Dex193

Albumin (5%)Na+, Cl-2905.597Alb19

Plasma Na+, Cl-2955.694Prot21

aTekanan onkotik koloidbDextran dengan berat Molekul rendahSingkatan: D5, 5% dextrose(glukosa); glu, glukosa; HES, pati hidrosietil; DEX, dextran; Alb albumin; prot, serum protein.

Ketika larutan yang osmolaritasnya tidak seimbang dipisahkan oleh membran permeabel terhadap air tetapi tidak terhadap solut, perbedaan tersebut menghasilkan tekanan osmotik. Cairan akan bergerak dari larutan dengan osmolaritas rendah menyeberangi membran dan mengencerkan larutan yang osmolaritasnya lebih tinggi. Pergerakan dari cairan berlanjut hingga osmolaritas dari kedua sisi membran seimbang. Setiap perbedaan 1 mOsm menyebrangi membran semipermeabel menghasilkan tekanan kira-kira 19,3 mmHg. Jadi, perbedaan osmolar dapat menghasilkan daya penggerak yang kuat untuk pergerakan air antara ICV dan ECV, dan perbedaan tersebut menyediakan daya penggerak yang lebih besar untuk menyeberangi BBB. Gradien osmolar dihasilkan dari administrasi cairan hipotonik atau hipertonik yang cepat hilang; air akan bergerak dari satu kompartemen hingga osmolaritas di dalam semua kompartemen tubuh seimbang.Apakah dideskripsikan dalam istilah dari osmolaritas ataupun osmolalitas, konsentrasi dari zat terlarut merupakan hal yang penting dalam menentukan pergerakan cairan diantara berbagai kompartemen fisologis. Kosep penting yang dihubungkan dengan osmolaritas dan osmolalitas merupakan osmolalitas inefektif(1). Solut seperti urea yang secara bebas menembus membrane sel dan didistribusi menyeberangi TBW merupakan osmoles yang inefektif dan tidak akan menghasilkan pertukaran cairan. Jadi, uremia tidak akan memerubah distribusi air, tetapi hipernatremia akan mendehidrasi(menghilangkan cairan) ruang intraseluler.

Tekanan onkotik vs tekanan osmotikTekanan onkotik, juga disebut tekanan osmotic koloid, didefinisikan sebagai tekanan osmotic yang dihasilkan oleh solut yang lebih besar dibandingkan arbitrary limit/batasan yang berubah(biasanya 30.000 Mw). albumin ( Mw 69.000), kajin hidroxiethil(Mw rata-rata= 480.000), dekstran 40(Mw rata-rata= 40.000) dan dekstran 70(Mw rata-rata) merupakan senyawa klinis penting yang menggunakan tekanan onkotik. Tekanan osmotik dan tekanan onkotik dari plasma dan larutan manitol, kajin hydroxyethyl, dekstan dan albumin ditunjukkan pada dalam tabel 1. Karena koloid merupakan partikel tergantung dalam larutan, kontribusinya terhadap osmolaritas dan tekanan osmotic hanya sedikit. Tekanan onkotik diproduksi oleh semua plasma protein(albumin, globulin, fibrinogen, dll) dengan jumlah kurang dari satu-setengah dari 1% tekanan total osmotik plasma.Akan tetapi, karena koloid menembus sistemik kapiler secara lambat, konsentrasi protein intravaskuler melampaui konsentrasi protein intertisial. Gradien(prebedaan) antara tekanan onkotik intravaskuler dan interstisial secara parsial bertanggung jawab terhadap pemeliharaan volume intravaskuler, seperti yang ditunjukkan dalam persamaan Starling:Qf=KfA[(Pc-Pi)-(c-i)]Jv= Kf[(Pc-Pi)-(c-i)]Figur 1. Persamaan straling tersebut untuk identifikasi tiga daya penyokong dari pergerakan air dari ruang intravaskuler ke dalam intertisium. Ketiga daya ini adalah tekanan hidrostatik kapiler(Pc) tekanan hidrostatik intertisial(Pi), dan tekanan onkotik intertisial(i). Satu-satunya daya bekerja untuk mempertahankan air di dalam lumen kapiler adalah c, tekanan onkotik plasma.Dimana Qf mengambarkan jumlah bersih cairan yang bergerak antara lumen kapiler dan sekitar ruang intertisial; kf adalah koefisien filtrasi untuk membrane; A adalah luas permukaan membrane kapiler; pc adalah tekanan hidrostatik di dalam lumen kapiler; Pi adalah tekanan hidrostatik intertisial(biasanya negatif); dan adalah koefisien refleksi. Jumlah ini, di mana rentangnya dari 0(tidak ada pergerakan dari zat terlarut menyeberangi membrane) hingga 1 (difusi bebas dari zat terlarut menyeberangi membran), mengukur leakiness/kebocoran dari kapiler dan akan berbeda untuk pembuluh-pembuluh darah di otak dibandingkan dengan jaringan periferal; c tekanan osmotic koloid pada cairan intertisium.Pc , yang secara umum mendekati 20 mmHg; Pi, yang negatif pada jaringan nonedematous; dan i bersama-sama berperan untuk menggerakkan cairan dari kapiler ke dalam ruang intertisial jaringan. Satu-satunya faktor yang dapat mempertahankan volume cairan intravaskuler adalah c, dimana diproduksi secara predominan oleh albumin dan sejumlah immunoglobulin tertentu, fibrinogen, dan plasma protein Mw-tinggi(fig.1). berdasarkan keadaan terbanyak, produk bersih dari empat variable menghasilkan sebuah nilai Qf yang sedikit melampaui nol, menandakan batas bersih fluks cairan dari pembuluh darah dan kedalam ruang intertisial jaringan, dari yang dibersihkan oleh sistem limfatik.Pasien bedah biasanya menunjukkan efek klinis dari perubahan satu atau lebih variable pada persamaan Starling. Pasien yang menerima larutan kristaloid dalam jumlah yang besar berkembang menjadi edema peripheral yang berkaitan dengan delusi protein plasma. Menghasilkan penurunan c, biasanya dengan Pc normal atau meningkat. Oleh karena itu, fluks cairan dari vaskulature ke jaringan meningkat, dan, jika fluks cairan melebihi kapasitas drainase dari lifatik, maka secara klinis timbul edema. Contoh lain dari persamaan Starling adalah edeme fasial, dimana sering dijumpai pada pasien yang diposisikan pronasi, posisi head-down pada bedah lumbal ekstensif. Pada pasien ini, penurunan c dapat menambah formasi/pembentukan edema, faktor yang paling penting mungkin peningkatan Pc regional, yang menyokong peningkatan transudasi cairan kedalam jaringan fasial. Pada salah satu kasus, edema cenderung sembuh dengan sendirinya karena Pi meningkat dan i menurun sebagai akumulasi dari cairan intertisial, dengan demikian mengurangi transudasi cairan.

Pergerakan cairan di antara kapiler darah otak dan jaringan otakStarling equilibrium(keseimbangan Starling) paling akurat menggambarkan faktor pengaturan pergerakan cairan antara ruang intravaskuler dan intertisial periferal ( contoh, intertisium paru, usus, dan otot) akan tetapi, otak dan medula spinalis, tidak seperti kebanyakan jaringan lainya, terisolasi kompartemen intraseluler oleh BBB. Pada kapiler darah otak, untuk kebanyakan zat terlarut mendekati 1,0 secara morfologis, barier(sawar) ini diperkirakan tersusun dari sel-sel endotelian yang membentuk tight junctions(pertemuan dari percabangan yang erat) di dalam pembuluh kapiler yang menyuplai darah otak dan medulla spinalis. Ukuran pori kecil dari BBB(7-9) membatasi tidak hanya pergerakan plasma, tetapi juga sodium, klorida, dan ion potassium antara kompartemen intravaskuler dan ruang intertisial otak. Akibatnya, fungsi BBB dalam modenya mirip dengan membran solute-impermeable pada sebuah osmometer, yaitu, pergerakan transmembran dari air ditentukan oleh konsentrasi relative dari impermen solut.Sebaliknya, dalam dasar kapilari sistemik dimana sel-sel endothelial tidak membentuk tight junctions ukuran pori mungkin 1000-lipat belih besar. Selama pori-pori yang lebih besar masih mungkin menghalangi pergerakan bebas dari kebanyakan protein plasma, elektrolit lebih gampang lewat dari lumen kapiler ke ruang intertisial. Karena itu, dalam jaringan peripheral pergerakan dari air diatur oleh perbedaan konsentrasi transkapilari dari makromolekul besar (c-i), seperti diprediksi oleh persamaan Starling. Sebaliknya, pergerakan cairan masuk dan keluar pada kapiler otak terutama ditentukan oleh gradien osmolar(yang ditentukan oleh konsentrasi relatif dari semua pertikel-partikel yang aktif secara osmotik, termasuk kebanyakan elektrolit) antara plasma dan intertisium. Perbedaan ini menentukan penjelasan fluks cairan mengapa administrasi dari volume yang besar dari kritaloid iso-osmolar akan menghasilkan edema periferal yang berhubungan dengan reduksi delusional isi plasma protein, namun tidak secara umum meningkatkan isi air otak atau tekanan intracranial(ICP).

Implikasi pada pelayanan pasienKarena osmolalitas adalah determinan(faktor) utama dari pergerakan air yang menyeberangi BBB intak(utuh), administrasi dari kelebihan air bebas(yaitu di dalam cairan parenteral atau enteral dimana [Na+] [Na+] plasma) dapat meningkatkan ICP dan menimbulkan edema otak.(3). Sebaliknya, administrasi intravena kristaloid-kristaloid hiperosmolar yang mencolok(seperti manitol) untuk meningkatkan osmolaritas plasma akan menurunkan isi(kandungan) air otak dan ICP. Dengan menggunakan larutan yang hiperosmolar, bagian rutin dari praktek bedah saraf, menggambarkan(mewakili) terapi standar untuk penanganan hipertensi intracranial. Meningkatkan osmolalitas plasma membuat sebuah gradient osmotic yang menyokong pergerakan air kedalam plasma dari kedua ruang intertisial otak dan kompartemen otak intraseluler. Walaupun bukti eksperimental(percobaan) menyakinkan bahwa larutan isotonic kristaloid(dimana [Na+] [Na+] serum) menggunakan efek minimal pada air otak atau ICP, praktek bedah saraf konvensional membatasi penggunaan beberapa kristaloid pada pasien yang berisiko untuk hipertensi intracranial(4). Untuk mempertahankan PV pada pasien, infuse koloid telah sering direkomendasikan berdasarkan kesimpulan diskredit-baru bahwa memelihara atau meningkatkan c akan menurunkan edema otak. Akan tetapi, jika BBB intak, baik bukti teori maupun ekperimen menyarankan koloid tersebut menggunakan efek ini pada edema otak. Baru-baru ini, pertanyaan kristaloid-koloid telah ditujukan dalam model hewan dengan cedera otak memilki bermacam-macam hasil dan kadang dengan hasil yang berlawanan. Warner dan Boehland(5) mempelajari efek dari hemodilusi dengan mas 0,9% saline(larutan garam) atau6% hydroxyethyl starch(dihancurkan dalam 0,9%saline) pada tikus percobaan hingga 10 menit iskmik berat otak depan. Meskipun rata-rata 50% reduksi c dalam grup saline(17,20,8- 9,00,6 mmHg), zat pati memproduksi efek yang tidak benefisial pada pembentukan edema otak. Dengan cara yang sama,pada sebuah penelitian menggunakan cedera otak kriogenik, Zornow et al.(6) menemukan perbedaan pada konten air regional atau ICP pada hewan yang menerima 0,9% saline, 6%zat pati(0,9% salin), atau 5% albumin( dalam 0,9% saline). Sebaliknya, pada tikus yang diperlakukan dengan cairan-perkusi traumatic brain injury(TBI), Drummond et al.(7) melaporkan bahwa 6% hydroxyethyl starch membatasi akumulasi air pada cedera otak dibandingkan dengan larutan iso-osmolar atau hipo-osmolar. Satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa TBI memodifikasi permeabilitas dari BBB jadi solut yang kecil itu dapat lewat dengan mudah sementara protein kurang mudah untuk melewatinya, yaitu setelah TBI dari BBB dapat menunjukkan reaksi yang mirip dengan reaksi sirkulasi sistemik. Akan tetapi, model eksperimental lain dimana BBB terganggu gagal untuk menunjukkan efek protektif peningkatan tekanan onkotik.Sebaliknya, larutan hiperosmolar(hipertonik) dalam keadaan cedera otak yang terlokalisir dengan adanya gangguan BBB, menyebabkan fluks cairan keluar dari jaringan otak dimana BBB tetap intak. Dengan efek, dehidrasi dari kompensasi otak normal terhadap edema pada cedera kepala. Pada eksperimen cedera otak kriogenik, infuse larutan hipertonik melemahkan peningkatan ICP yang berhubungan dengan lesi, tetapi tidak mengubah konten air dari jaringan otak pada daerah lesi atau sekitarnya (8). Yang paling menyerupai mekanisme untuk reduksi ICP adalah penurunan konten air otak pada bagian kontrol yang jauh dari lesi.

KARAKTERISTIK DARI CAIRAN INTRAVENAKebanyakan larutan yang digunakan untuk administrasi intravena dikategorikan menjadi kristaloid dan koloid. Larutan kristaloid terbagi lagi menjadi larutan hipotonik, isotonic, dan hipertonik.

KristaloidKristaloid adalah larutan yang tersusun secara tunggal dari larutan Mw-rendah (Mw < 30.000), yang mungkin bermuatan (contoh Na+, Cl-) atau tanpa muatan (contoh manitol). Karena larutan ini didefinisikan zat terlarut tanpa Mw-tinggi, tekanan onkotik(koloid osmotic) adalah nol. Istilah hipotonik, isotonic dan hipertonik mengarah ke cairan yang total osmolaritasnya lebih rendah, secara kasar sama, atau lebih besar dari osmolalitas serum. Akan tetapi, sebagai hal yang penting dari diskusi adalah impermeabilitas dari BBB terhadap sodium, pertimbangan yang lebih penting adalah apakah cairan tersebut memiliki [Na+] lebih sedikit, rata-rata sama, atau lebih besar dari plasma. Kecuali osmol lain seperti dekstosa atau manitol, yang memiliki kuantitas yang lebih besar, proporsi air yang berlebihan untuk menghasilkan larutan isonatremik merupakan variable yang penting. Larutan yang mengandung cairan bebas ([Na+] lebih kecil dibandingkan serum), ketika diinfus dengan cepat dalam volume yang besar, akan menurunkan osmolalitas plasma, mengarahkan cairan melewati BBB ke dalam otak, dan meningkatkan isi cairan dalam otak dan ICP. Dekstrosa dalam larutan-larutan ini mungkin dapat meningkatkan konsentrasi glukosa serum secara sementara, sehingga mempertahankan cairan secara intravaskular. Namun, seiring dengan menurunnya konsentrasi glukosa dalam serum, perubahan pada [Na+] dalam serum diinduksi oleh perbandingan natrium dengan air dalam cairan infus lagi-lagi menjadi poin yang sangat penting.Cairan isotonik yang paling sering digunakan yaitu larutan Ringer laktat dan larutan garam 0.9%. Larutan Ringer laktat sebenarnya bersifat sedikit hiponatremi jika dibandingkan dengan plasma (Tabel 1). Ketika larutan Ringer laktat dengan volume besar diinfus dengan cepat, cairan bebas yang ada didalamnya (~114 mL/L) dapat menurunkan osmolalitas [Na+] serum dan plasma dan meningkatkan isi cairan dalam otak dan ICP. Gambar 2 mengilustrasikan pengaruh pada [Na+] plasma dari infus cepat larutan Ringer laktat dan larutan garam 0.9% (60 mL/kg selama 2 jam) pada pasien-pasien yang menjalani operasi ginekologis. Pada tingkat kecepatan infus tersebut, larutan ringer laktat dikaitkan dengan penurunan [Na+] plasma sebesar hampir 2.0 mEq/L dan larutan garam 0.9% dikaitkan dengan peningkatan [Na+] plasma sebesar hampir 2.0 mEq/L . Jika dikonversi menurut perbedaan dalam tekanan osmotik, perubahan dalam [Na+] plasma ini setara dengan penurunan dan peningkatan dalam tekanan osmotik plasma sekitar 36 mmHg, dengan perbedaan total antara kedua larutan, yang diinfus dalam volume tersebut selama interval waktu tersebut, yaitu sekitar 72 mmHg.Selama bertahun-tahun, para dokter secara drastis meningkatkan tekanan osmotik plasma untuk mengurangi cairan dalam otak dan ICP. Secara konvensional, manitol hipertonik, yaitu gula dengan komposisi 6 karbon (Mw 182), merupakan agen primer yang digunakan untuk terapi dehidrasi otak. Manitol, yang diekskresikan dalam bentuk utuh di urine, tersedia dalam larutan 20% dan 25% (osmolaritas sebesar 1098 dan 1372 mOsm/L, secara berurutan). Manitol biasanya diberikan dalam dosis 0.25 sampai 1.5 g/kg dan tidak dapat melewati BBB; sehingga, pemberian intravena secara akut meningkatkan osmolalitas plasma dan menciptakan gradien osmotik yang membantu pergerakan cairan dari ruang interstisial otak ke dalam pembuluh darah. Pemberian manitol yang cepat dalam dosis yang besar dapat menciptakan efek bifasik pada ICP. Awalnya, ICP dapat meningkat seiring dengan peningkatan volume darah otak sebagai akibat dari efek vasodilatasi pada otak karena peningkatan osmolaritas plasma yang cepat. Selanjutnya, ICP akan menurun seiring dengan pergerakan cairan dari ruang interstisial otak ke dalam pembuluh darah. Larutan garam hipertonik, yang didefinisikan sebagai larutan garam apapun yang mengandung natrium dalam konsentrasi yang lebih besar dibandingkan dalam larutan garam 0.9%, merupakan larutan kristaloid yang juga telah digunakan pada dehidrasi otak akut dan juga untuk resusitasi volume rendah, terutama pada pasien dengan TBI, dan sebagai alternatif dari manitol untuk menurunkan tekanan osmotik pada ICP. Larutan garam hipertonik telah diusulkan untuk pengobatan syok hemoragik dan untuk mengontrol hipertensi intrakranial. Walaupun Weed dan McKibben hampir 100 tahun yang lalu mengusulkan bahwa larutan garam hipertonik akan menurunkan volume otak, adanya ketertarikan pada masa sekarang ini merupakan peran dari Velasco et al., yang dengan sukses meresusitasi anjing-anjing yang mengalami perdarahan berat dengan larutan garam hipertonik 7.5% bervolume kecil (4.0-6.0 mL/kg). pada pasien yang gagal merespon pemberian manitol dosis besar, infus intravena larutan garam hipertonik dengan volume yang kecil telah dilaporkan dapat menstabilkan tekanan darah dengan cepat, meningkatkan urine output, dan menurunkan ICP. Larutan garam 3% telah digunakan untuk menurunkan ICP pada anak-anak dengan cedera kepala, yang stabil secara hemodinamik. Larutan hipertonik, yang sering dikombinasikan dengan koloid, juga telah digunakan untuk menurunkan ICP pada orang-orang dewasa yang menjalani perawatan khusus bedah saraf. Larutan hipertonik harus diberikan dalam jumlah yang sesuai dan dengan ketat memonitor osmolalitas plasma dan konsentrasi natrium (Tabel 2). Hambatan yang cukup besar dalam mengaplikasikan penggunaan larutan garam hipertonik secara luas yaitu sifat transien dari ekspansi PV yang dihasilkan melalui pemberian larutan garam hipertonik.Larutan garam hipertonik memiliki pengaruh yang hampir sama pada cairan otak dan ICP seperti larutan manitol dengan osmolalitas yang sama. Pada studi acak baru-baru ini yang membandingkan pengaruh pada peningkatan ICP dari infus larutan garam hipertonik/ campuran hidroksietil 7.2% dibandingkan dengan larutan manitol 15%, untuk larutan garam hipertonik, efek yang dihasilkan hanya sedikit lebih baik, namun osmolalitasnya jauh lebih besar. Maka, jika infus intravena 200 mL dari manitol 20% atau 100 mL dari 7.5% larutan garam/ 6% larutan dekstran-70 dengan osmolaritas yang sama diberikan dengan cepat selama 5 menit pada pasien neurologi dan bedah saraf yang mengalami peningkatan ICP, larutan garam dekstran hipertonik memiliki dampak yang lebih besar; namun, dosis yang equimolar dari larutan garam 7.5%, karena larutan ini hampir seluruhnya terionsisasi, memiliki jumlah osmolalitas yang dua kali lipat lebih besar dan diharapkan memberikan dampak yang lebih besar dibandingkan larutan manitol.Larutan garam hipertonik telah dikaitkan dengan, sebagai cairan resusitasi bervolume tinggi menggunakan larutan garam 0.9%, asidosis hiperkloremik (Tabel 3). Perubahan yang bertahap pada praktek neuroanestesi dalam penggunaan larutan Ringer laktat sampai larutan garam 0.9% telah mengakibatkan terjadinya asidosis metabolik hiperkloremik yang umum terjadi secara postoperatif. Asidosis metabolik, biasanya dikarakteristik oleh penurunan pH (27.0 mEq/L), harus dapat diantisipasi pada pasien-pasien bedah saraf yang menerima obat-obatan diuretik atau glukokortikoid, yang menerima perawatan nasogastric suction yang lama, atau dengan pembatasan asupan cairan. Alkalosis metabolik dikaitkan dengan hipokalemia, hipokalsemia terionsisasi, aritmia jantung, dan toksisitas digoksin. Alkalosis metabolik juga dapat menimbulkan hipoventilasi terkompensasi (hiperkarbia). Pergeseran ke kiri dari kurva disosiasi oksihemoglobin yang diinduksi alkalemia dapat membuat oksigen tidak menjadi kurang tersedia pada jaringan, seperti halnya penurunan curah jantung yang diinduksi oleh alkalemia.Sebagai tambahan dalam mengenali adanya defisit volume, penanganan perioperatif dari pasien-pasien bedah saraf memerlukan perkiraan adanya kehilangan darah intraoperatif. Perkiraan visual, teknik yang paling mudah untuk memperhitungkan kehilangan darah intraoperatif, menilai jumlah darah yang diserap menggunakan kassa penyerap dan blok laparotomi, yang diambil dari penutup area bedah, dan dikumpulkan dalam canister. Baik ahli bedah dan ahli anestesi cenderung meremehkan kehilangan darah, atau kesalahan yang terjadi sehingga disesuaikan dengan kehilangan jumlah darah yang sebenarnya. Pemberian resusitasi cairan intraoperatif yang adekuat harus dipastikan dengan mengevaluasi berbagai variabel klinis, antara lain denyut jantung, tekanan darah arteri, urine output, oksigenasi arterial, dan pH. Takikardia merupakan indikator yang tidak sensitif, non-spesifik terhadap hipovolemia. Pada pasien yang menerima obat-obat inhalasi yang cukup keras, perawatan untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat memerlukan volume intravaskuler yang cukup. Usaha mempertahankan tekanan darah, disertai dengan CVP sebesar 6-12 mmHg, lebih tegas menandakan perlunya penggantian volume yang adekuat. Selama hipovolemia berat, pengukuran tekanan darah secara tidak langsung dapat disalahartikan sehingga meremehkan tekanan darah yang sebenarnya. Pada pasien yang menjalani prosedur operasi yang lama, pengukuran tekanan arteri secara langsung bersifat lebih akurat dibandingkan metode pengukuran yang tidak langsung dan memberikan akses yang cukup baik untuk mendapatkan sampel darah arteri. Keuntungan lain dari pengamatan tekanan arteri secara langsung yaitu didapatkannya variasi peningkatan tekanan darah sistolik yang disertai dengan ventilasi bertekanan positif pada kondisi hipovolemia.Urine output biasanya menurun dengan cepat selama hipovolemia tingkat sedang sampai berat. Karena itu, pada keadaan tidak terjadinya glikosuria atau pemberian diuretik, urine output sebesar 0.5-1.0 mL/kg/jam selama pembiusan menunjukkan perfusi renal yang adekuat. pH arteri mungkin dapat menurun hanya ketika hipoperfusi jaringan yang terjadi sudah sampai pada tingkat yang parah. Curah jantung dapat normal meskipun terdapat penurunan aliran darah regional yang berat. Desaturasi hemoglobin vena (Hgb) campuran, suatu indikator yang spesifik dari perfusi sistemik yang buruk, merefleksikan tingkat rata-rata perfusi pada berbagai organ dan tidak dapat menggantikan pengamatan regional seperti urine output.

Penilaian Volume Intravaskuler Secara EchokardiografiBatasan-batasan dari pengamatan tradisional dalam memperkirakan volume ventrikular telah banyak dilaporkan. Preload juga dapat diperkirakan dengan transtorasik echokardiografi atau menggunakan TEE dengan pencitraan dua dimensi (2-D) dan pengukuran kecepatan aliran darah menggunakan Doppler. Secara umum, echokardiografi sekarang dianggap sebagai teknik pengamatan pilihan untuk mengevaluasi preload pada pasien-pasien yang telah menerima bolus cairan untuk mengatasi hipotensi dan pasien yang gagal merespon terhadap pemberian cairan dengan volume yang cukup besar. Dua metode dimana echo 2-D dapat digunakan untuk mengevaluasi preload ventrikular yaitu menggunakan pengukuran left ventricular end-diastolic volume (LVEDV; semikuantitatif), dan dengan menghilangkan left ventricular cavity at end-systole (kualitatif).Pengukuran echokardiografi 2-D dari LVEDV dapat mengukur preload lebih baik dibandingkan dengan pengukuran hemodinamik yang tradisional, namun kurang begitu disukai dalam penggunaannya dibandingkan dengan kuantitasi radionuklir LVEDV. Karena pandangan yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi fungsi ventrikular kiri menggunakan TEE merupakan pandangan transgastrik pada tingkat otot midpapilaris, evaluasi LVEDV dalam satu potongan gambar ini dibandingkan untuk mengevaluasi preload menggunakan pulmonary arterial occlusion pressure (PAOP) (Gambar 4). Dalam studi ini, perubahan pada LVEDV sesuai dengan perubahan pada indeks jantung, sedangkan perubahan pada PAOP tidak sesuai. Volume end-diastolik yang didapatkan pada tingkat transgastrik midpapilaris telah cukup sensitif untuk mendeteksi adany perubahan akut pada preload, bahkan pada pasien dengan abnormalitas gerakan dinding ventrikular. Menghilangnya kavitas end-sistolik yang terlihat pada tingkat transgastrik midpapilaris pada TEE telah digunakan secara klinis sebagai indeks hipovolemia. Terdapat beberapa studi yang mengesahkan penggunaannya. Leung dan Levina membandingkan adanya kehilangan kavitas end-sistolik dengan penurunan LVEDV dan mendapatkan sensitivitas yang tinggi namun dengan spesifisitas yang rendah, karena interaksi yang kompleks dari kontraktilitas ventrikular dan afterload dengan perubahan pada preload, yang menunjukkan bahwa variabel ini harus sesuai dengan pengukuran echokardiografi atau hemodinamik preload lainnya.

Pengamatan Sirkulasi OtakPada pasien dengan penyakit neurologis akut, resusitasi cairan seharusnya dapat mempertahankan atau memperbaiki perfusi otak. Walaupun pengalaman klinis menunjukkan bahwa morbiditas dan mortalitas dapat diubah melalui perubahan terapi pada CBF dan metabolisme otak pada beberapa pasien dengan cedera neurologis, tidak ada data yang memastikan penggunaan klinis umum dari pengamatan neurologis. Berikut ini terdapat 3 pertanyaan yang penting terhadap penggunaan variabel pengamatan otak:1. Pada kondisi apakah tekanan darah, PaCO2, PaO2, dan suhu tubuh memberikan informasi yang tidak mencukupi mengenai kebutuhan CDO2 yang adekuat (CDO2 = CBF x CaO2)?2. Pada situasi yang mana memberikan informasi yang lebih tepat mengenai kecocokan CDO2 yang memungkinakn intervensi pengobatan yang memperbaiki hasilnya?3. Pada proporsi mana dari pasien hingga kategori spesifik akan berkembang dalam menghindari luka yang cukup besar untuk menentukan penerapan hal-hal lain (yang berpotensi mahal) dari peralatan monitoring neurologic?Beberapa data menghitung hubungan antara variabel2 cerebrovasucalr dan penghindaran kerusakan neurologic . Secara virtual semua monitor saraf dilakukan untuk mendeteksi ischemia cerebral yang ada atau mungkin terjadi. Ischemia cerebral didefinisikan sebagai kekurangan CDO2 yang dibutuhkan dalam metabolisme, dapat mengakibatkan suatu reduksi kritis komponen CDO2 apa saja termasuk konsentrasi CBF, HGb, dan saturasi atau kejenuhan Hgb arterial (SaO2). Otak hanya terdiri dari 2% dari total konsumsi oksigen tubuh, tetapi menerima 15% ouput cardiac dan sekitar 15 hingga 20% dari total konsumsi oksigen. Beberapa daerah di otak seperti pada cerebellum, ganglia basal, lapisan CA-1 dari hipotalamus dan zona batas arterial antara cabang-cabang utama jaringan intracranial, muncul untuk diperhatikan akan ischemic.Penerapan monitor otak membutuhkan pemahaman tentang rangsangan saraf kritis dimana intervensi pengobatan mestinya dilakukan. Rangsangan saraf CBF yang berkorelasi dengan beragam pengaruh klinis, perubahan fisiologik, dan perubahan-perubahan beragai variable yang dimonitor telah dibuktikan melalui suatu hewan percobaan (menurut referensi No 46) and tidak bertambah pada data-data klinis (47). Jika suatu monitor kerja otak mendeteksi ischemia cerebral yang parah tidak terjadi. Telah diketahui bahwa oksigenasi cerebral mengkontribusi pada kerja saraf yang telah jatuh di bawah rangsangan saraf kritis. Kekurangan bisa ringan atau parah. Oleh karena ischemia akan mengakibatkan kerusakan nerologik dalam waktu singkat maka tidak mungkin untuk memprediksi (perkirakan) dengan jelas jika perubahan-perubahan dalam fungsi akan diikuti oleh infraksi serebral. Sebagai tambahan, jika ischemia regional berpengaruh pada struktur yang tidak berpartisipasi dalam fungsi yang termonitor, maka infraksi tidak berkembang tanpa peringatan. Perkiraan ini jelas menerangkan mengenai kegagalan monitor untuk mendeteksi ischemia serebral pada pasien-pasien yang mengarah pada perubahan klinis dari infraksi otak, sebagaimana laporan-laporan dari perubahan-perubahan mendasar dalam variabel-variabel termonitor yang mana diikuti oleh tidak adanya perubahan dalam kondisi klinis. Kompleksitas dan heterogenitas jaringan otak secara virtual tidak memungkinkan perkembangan tunggal, secara mantap pada pendugaan monitor otak.Hampir semua pasien, yang kecepatan aliran arterial siap diukur dalam ruang interkranial secara khusus dalam arteri otak tengah (middle cerebral artery=MCA) menggunakan ultrasonografi TCD (transcranial Doppler). Kecepatan aliran Doppler menggunakan pergantian frekuensi yang secara proporsional pada kecepatan terobservasi ketika gelombang suara direfleksi oleh pergerakan sel-sel darah merah. Pergerakan darah menujuh transductor menggantikan frekwensi transmisi menjadi frekwensi-frekwensi yang lebih tinggi; pergerakan darah menjadi frekwensi yang lebih rendah. Aliran darah bergantung dari kecepatan dan diameter rongga. Jika diameter agak konstan (tidak berubah-rubah), maka perubahan dalam kecepatan adalah proporsional dengan perubahan-perubahan di CBF; namun perbedaan intersubject akan sedikit sekali berkorelasi dengan kecepatan aliran darah dengan perbedaan intersubjek dalam CBF.Pengukuran oksegenasi venous jugular merefleksi kesesuaian CBF sebagai oksigenasi venous campuran sistemik yang merefleksi kesesuaian dari output kardiak. CBF, angka metabolik serebral untuk oksigen (CMRO2), CaCO2, dan kandungan oksigen vena jugular (CjvO2) terkait dengan persamaan sebagai berikut:CMRO2 = CBF(CaCO2 CjVO2)Campuran darah vena serebral, seperti campuran darah sistemik, adalah suatu rata-rata global dan mungkin tidak merefleksi tanda hipoperfusi regional. Oleh sebab itu abnoramlitas saturasi (tingkat kejenuhan) vena jugular yang rendah menginatkan kemungkinan adanya ischemia serebral, tetapi normal atau peningkatan saturasi vena jugular tidak mengindikasi prefusi serebral yang baik. Internal jugular dapat ditemukan dengan penandaan anatomik eksternal dan kateter diarahkan ke pada proses mastoid. Pada penggunaan klinis (49), pengambilan sampel gas darah vena jugular atau monitoring berkelanjutan telah mendeteksi desaturasi serebral tak terduga. Saturasi vena jugular telah digunakan sebagai komponen dasar pada monitoring otak pada pasien-pasien setelah TBI (50). Sebagai respons pada desaturasi vena jugular, ekspansi volume adalah satu dari teknik-teknik potencial yang bisa memperbaiki perfusi serebral.Idealnya, oksigenasi serebral menjadi penilaian noninvasif. Sekarang ini, tidak ada noninvasif, dimana monitor berkesinambungan dari sirkulasi serebral yg baik telah tersedia. Baru-baru ini, suatu teknik yang menganjurkan kemungkinan monitoring noninvasif oksigenasi vena serebral telah digambarkan walaupun anggapan bahwa pekerjaan2 itu telah dilakukan (49).

PEMBERIAN CAIRAN DALAM SITUASI2 SPESIFIKPemberian cairan untuk kraniotomiRekomendasi terapi cairan dapat dapat diformulasi berdasarkan princip awal. Sebagai aturan umum, larutan kristaloid isotonic seharusnya digunakan untuk menggantikan kekurangan awal dan kehilangan darah. Pada konsentrasi Hgb pasien berkisar 8g/dL harus diberikan transfusi sel-sel darah merah. Transfusi dapat dilakukan pada suatu konsentrasi Hgb yg lebih tinggi jika ada hipoksi jaringan atau sedang terjadi hemoragi tak terkontrol. Larutan mengandung dextrosa harus dihindarkan walaupun ada indikasi spesifik untuk penggunaannya (mis hipoglisemia). Untuk menurunkan volume otak dan memperbaiki kondisi pemakaian, maka pemberian manitol hipertonik menjadi suatu estndar praktis. Larutan hipertonik dengan menciptakan gradien osmotik diantara permukaan intracelular dan ekstraselular, menyebabkan bergerak melintasi membran sel dan menurunkan volumen jaringan otak. Larutan saline hipertonik bisa digunakan dalam mengembalikan dengan cepat volume dari penderita trauma hipovolemik dengan kerusakan otak dan hipertensi intrakranial. FPP dapat diinfus jika ada hemoragi meskipun hemostasi operasi memadai. Ada beberapa indikasi untuk pemberian koloid sintetik pada pasien operasi saraf. Koloid tidak mencegah formasi edema otak dan ada beberapa bukti yg menunjukkan bahwa dextran dan pati bisa diasosiasi dengan koagulopati.

Kerusakan KepalaPasien yang mengalami TBI sering memiliki kerusakan multipel secara bersamaan dan bisa diikuti hemoragi sebelum tiba di ruang pembedahan atau di ICU (intesive care unit). Pada pasien yang tidak memiliki sejarah kerusakan otot jantung atau disfungsi, hipertensi pada pasien trauma, harusnya naikkan kecurigaan dalam mengembalikan volume yang tidak memadai setelah penanganan kasus-kasus lain (mis tekanan pneumotoraks dan penyumbatan katun) telah dikecualikan. Dokter yang menangani pasien-pasien harus mencapai pengembalian volume secara memadai ketika hemodinamik intrakranial dan ICP diperlukan.Larutan kristaloid isotonik (paling baik 0.9% saline) sering dipakai sebagai larutan pertama yang diinfus pada pasien trauma hipotensif, karena mereka siap dan tidak mahal. Jika evaluasi awal menunjukkan hipertensi intrakranial maka manitol (0.5g/kg) bisa digunakan. Darah utuh yang segar, diperdebatkan sebagai cairan ideal untuk pasien shock hemoragi, yang tidak tersedia di hampir semua pusat donor darah, memperlihatkan kebutuhan tes pada semua donor darah terhadap berbagai agen infeksius dan komitmen bahwa bank darah sudah melakukan fraksi darah donasi kedalam bermacam-macam komponen (platela, plasma, sel-sel darah dst). Kemasan sel-sel darah merah yang diresuspen dalam 0.9% saline atau mencairkan/mengencerkan FFP adalah alternatif yang baik.Walaupun belum diperhatikan suatu standar penanganan, larutan saline hipertonik bisa menjadi bermanfaat dalam berbagai situasi. Pada keadaan dimana dijumpai hipovolemia yang bersamaan dengan hipertensi intrakranial, atau ketika volume besar dari larutan kristaloid isotonik tidak tersedia atau tidak bisa diinfus segera maka penggunaan saline hipertonik menjadi pilihan yang baik. Pada hewan-hewan percobaan secara ekstensif mendukung kemanjuran larutan hipertonik salin tidak menurunkan ICP (51), hal ini sepertinya menunjukkan bahwa BBB dirusak oleh trauma atau ischemia. Pada kasus demikian, adalah tidak dikehendaki dimana manitol akan manjur menurunkan ICP. Larutan saline hipertonik telah dipelajari secara luas untuk mengembalikan prehospital dan sekarang ini sedang digunakan untuk pemunculan prehospital dari hipovolemik, pasienTBI di Eropa. Sepertinya pendekatan ini akan bertambah popularitas di Amerika Serikat.

Diabetes InsipidusDiabetes neurogenik bisa terjadi pada pasien dengan lecet pada daerah yang berbatasan dengan hipotalamus, setelah pengoperasian pituitri, atau sesudah TBI. Sindrom ini dkarakerisasi oleh suatu kegagalan saraf-saraf yang ditemukan di inti supraoptik dari hipotalamus untuk melepaskan hormon anti diuretik (ADH) yaitu vasopressi secara cukup ke dalam sistem sirkulasi. Diabetes insipidus dikarakterisasikan oleh produksi urine dalam volume yang besar berbeda dengan pada keadaan normal atau peningkatan osmolar plasma. Pada kasus yang parah, jumlah urine dalam jumlah banyak mencapai 1 L per jam. Membiarkan diabetes insipidus tanpa penanganan atau karena tak diketahui, akan dapat mengakibatkan hipernatremia yang parah, hipovolemik, dan hipotensi. Untuk melakukan diagnosa diabetes insipidus yang tepat adalah sangat penting memiliki indeks kecurigaan yang tepat ketika berurusan dengan pasien yang beresiko. Konfirmasi bisa diperoleh dengan mendokumentasi kenaikan serum osmolalitas dan konsentrasi Na+ dalam hubungan dengan grafitas spesifik rendah urinaria atau osmolalitas. Ekspansi volumen yang besar harus diselesaikan. Karena sebelum keadaan hiperosmolar/hipernatremik, 0.9% saline bisa menurunkan konsentrasi Na+ serum. Sebagai perhatian, peningkatan cepat akan konsentrasi ion Natrium adalah cepat mengimbangi pergantian osmolar idiogenik intracelular yang melindungi ICV serebral; dan oleh sebab itu jika terapi terlalu cepat menurunkan konsentrasi ion Na serum, edema serebral bisa terjadi. Bersamaan dengan itu, penggantian ADH endogenous harus dimulai dengan cairan vasopressin ( 5 10 unit melalui injeksi intravenus atau intramuskular) atau desmopressin (DDAVP) 1 4 g secara subkutan atau 5 hingga 20 g intranasal setiap 12 hingga 24 jam. DDAVP mengurangi efek vasokonstriktor dari vasopressin dan agak sedikit menghasikan keram perut (52). Tidak lengkapnya defisit ADH (sebagian diabetes insipidus) sering adalah efektif ditangani dengan agen farmakologik yang menstimulasi ADH melepaskan atau merangsang respons ginjal dalam menghasilkan ADH. Kombinasi klorpropamid (100 250 mg/hari) dan chlofibrate atau thiazide diuretik telah menunjukkan efektif pada pasien yang merespon tidak memadainya salah satu obat secara tunggal saja.

Pasien dengan Resiko Ischemia CerebralHal penting pada pasien yang beresiko ischemia serebral yang berhubungan dengan pemberian cairan adalah hemodilusi. Perfusi serebral dapat diperbaiki dengan menurunkan viskositas dara dengan hemodilusi. Hipervolemik hemodilusi dengan dextran, secara statistik tidak signifikan nampak bermanfaat ditandai dengan penurunan hematokrit. Pada kelinci hemodilusi pada Hgb 6 11 g/dL setelah embolisasi MCA, ditemukan oleh penelitinya bahwa hemodilusi (Hgb 6 g/dL) menghasilkan infarct yang besar dalam korteks dan subkorteks (54).Kelompok Studi Stroke Scandinavian yang melakukan studi pada 373 pasien yang secara acak baik yang menerima terapi konvensional maupun yang mendapat hemodilusi normovolemik setelah stroke menunjukkan adanya kenaikan kejadian komplikasi kardiovaskular dan kenaikan kematian awal pasien diantara pasien yang mendapat terapi hemodilusi (55). Kelompok Studi Stroke Akut Italian mengacak 1276 pasien untuk menerima terapi konvensional atau hemodilusi normovolemik dan ditemukan tidak adanya perbedaan dalam hasil (56). Namun kedua studi tersebut mendesak mendapatkan resiko karidovaskular dari perluasan volume. Secara berlawanan, hemodilusi yang dipalajari dalam Kelompok Studi Stroke menggunakan monitor kardiovaskular untuk mengarahkan hemodilusi hipervolemik dengan pentastarch dan meningkatkan output kardiak pada pasien yang mengalami stroke ischemia akut (57).Walaupun kematian secara keseluruhan dan outcome neurologik tidak terjadi lebih tinggi dari kelompok hemodilusi, outcome neurologik nampaknya memperbaiki pasien yang diberi terapi uji coba hingga 12 jam dari serangan strok dan pada siapa output kardiak meningkat 10% atau lebih.Walaupun tidak ada konfirmasi rekomendasi yang bisa diikat pada penggunaan hemodilusi pada pasien yang beresiko ischemia serebral, hal ini memiliki alasan untuk menghindari hipovolemia dan hipotensi dan konsentrasi darah.

Cerebral Aneurysms dan VasospasmPasien yang akan dioperasi setelah gangguan aneurysms serebral membutuhkan perhatian dengan hati-hati dalam manajemen cairan. Vasospasm serebral adalah suatu penyebab morbiditas pada pasien-pasien ini, yang mengakibatkan kematian atau ketidakmampuan yang berat sebanyak kurang lebih 14% dari pasien-pasien yang tetap hidup aneurysmnya terputus, dan bukti angiografik dari vasospasm terjadi pada sebanyak 60-70% pasien setelah mengalami hemoragik subarachnoid (SAH) (58). Arteriografi pada pasien2 yang mengalami vasospasm menunjukkan ketidakteraturan luminal dalam sebagian besar pembuluh-pembuluh darah walaupun hal ini tidak umum dari resisten prekapiler. CBF tidak menurun hingga diameter angiogenik arteri serebral dikurangi 50% atau lebih jika dibanding yang normal. Pembuluh-pembuluh intraparenkim serebral cenderung untuk berdilatasi sesudah serangan kejang dari pembuluh2 yang lebih besar, sehingga kompensasi parsial untuk kenaikan melawan arus ke jantung.Kejadian vasospasm mencapai puncak (peak) di antara hari ke 4 dan ke 10 setelah SAH. Tiga hingga sembilan hari sesudah SAH pasien2 dengan vasospasm simptomatik akan terlihat menjadi tidak seimbang dan mengantuk selama suatu peerioda berjam-jam. Diagnosa bisa dikonfirmasi dengan angiografik atau dengan catatan2 tentang arus kecepatan tinggi melalui pengujian Doppler dari pembulu2 darah serebral. Intervensi terapi yang diterima saat ini bisa menurunkan kejadian atau vasospasm parah. Yang pertama dari intervensi ini adalah dengan terapi hypervolemic-hiperdinamik. Secara teori bukti yang mendukung kebutuhan untuk ekspansi volumen termasuk observasi yaitu setelah SAH, 10% hingga 33% dari pasien berkembang hiponatremia, diasosiasikan dengan keseimbangan Natrium yang negatif dan konsentrasi volumen intravascular. Pasien2 hyponatremic adalah seperti mengembang vasospasm.Pada pasien2 yang menderita perusakan neurologik ke dua menjadi vasospasm, beban volumen dalam kaitan dengan dukungan inotropic dapat menurunkan morbiditas neurologik. Pada satu seri perluasan volumepropilaktis diasosiasikan dengan hasil sebaik yang dicapai dengan propilaksis dengan penghalang kalsium (61). Walaupun tidak ada uji coba klinis yang banyak digunakan suatu rancangan acak terkontrol untuk membandingkan pembesaran volumen dengan menggunakan terapi2 lain untuk vasospasme simptomatik, melaporkan secara klinis fakta2 yang manjur dari hipervolemia termasuk hipertensi dalam penanganan vasospasme. Satu algoritme untuk menghasilkan hipervolemia dan kenaikan tekanan pompa serebral terdiri dari karakterisasi arteri pulmoner dan infus cairan serta saline atau koloid, untuk menaikkan PAOP hingga kurang lebih 15mmHg. Tujuan2 terapi termasuk CVP dari perkiraan 10 mmHg tekanan darah sistol kurang lebi 180 mmHg (suat MAP ~ 130 mmHg), dan CaO2 yang memadai, didefinisikan sebagai konsentrasi Hgb sebanyak 11 gr/dL dan suatu saturasi oxyhemoglobin sebanyak 95% atau lebih. Jika penambahan volume tidak mencapai tujuan2 hemodinamik ini maka vasopressor sedemikian seperti phenileprine atau dopamin perlu ditambahkan. Dengan menggunakan protokol ini hampir semua kekurangan neurologi diatribusi pada perbaikan vasospasme hingga 1 hingga 4 jam. Pada saat penggunaan karakterisasi arteri pulmoner dapat membolehkan kuantifikasi sistemik yang lebih tepat untuk menjawab terapi hiperpolemic maka karakterisasi vena central bisa memonitor informasi yang memadai pada pasien yang memiliki funsi cardiovaskular normal. Pada pasien2 yang tidak ada riwayat penyakit jantung suatu PAOP 14 mmHg diasosiakan dengan tampilan cardiac maksimum (62). Pembesaran volume melebihi batas ini akan meningkatkan PAOP tetapi mungkin tidak akan menaikkan indeks cardiac (62).

ABNORMALITAS ELEKTROLITE PRA DAN POST OPERASI YANG UMUM TERJADI PADA PASIEN OPERASI SARAFOperasi saraf dioasisoasikan dengan penyimpangan baik total natrium tubuh dan ion Na+. Kenaikan atau penurunan natrium tubuh sebagai sat terlarut dan kation ekstraselular utama cenderung untuk meningkatkan atau menurunkan ECV dan PV. Kelainan konsentrasi Na+ seperti hiponatremia dan hipernatremia biasanya mengakibatkan dari kelebihan ataupun kekurangan air. Babi ini mendiskusikan hal-hal ini secara rinci terbatas. Konsentrasi Natrium terutama di regulasi oleh ADH, yang disekresi dalam merespons kenaikan osmolalitas atau menurunkan tekanan darah. ADH merangsang ginjal, mengabsorbsi air dan pelarutan konsentrasi Na+ plasma; ketidakcukupan sekresi ADH menghasilkan eksresi air bebas dalam ginjal yang mana pada tidak adanya intake (konsumsi) air minum yang memadai mengakibatkan hipernatremia. Dalam merespons perubahan konsentrasi Na+ plasma, perubahan dalam sekresi ADH dapat mengalamai osmolalitas pada sekitar 50 - 1400mOsm/kg and volumen urinar dari 0.4 hingga 20L/hari.

HiponatremiaTanda dan gejala dari hiponatremia tergantung baik pada tingkat dan keparahan penurunan [Na+] plasma. Gejala yang biasanya muncul pada tingkat [Na+] sebesar 120 mEq/L atau kurang. Karena BBB sangat tidak permeabel terhadap natrium namun sangat permeabel terhadap air, penurunan [Na+] plasma dengan cepat meningkatkan cairan otak ekstraseluler dan intraseluler. Manifestasi CNS yang akut terkait dengan peningkatan volume cairan otak. Respons kompensasi pada edema otak antara lain pergerakan yang besar dari cairan interstisial ke dalam cairan serebrospinal dan hilangnya cairan intraseluler, termasuk kalium dan osmolit organik (sebelumnya dikenal denan osmolit idiogenik). Karena otak dengan cepat mengkompensasi perubahan osmolalitas, gejala yang timbul lebih berat pada fase akut dibandingkan pada hiponatremia kronis. Pada hiponatremia kronis, koreksi [Na+] plasma yang cepat sampai pada nilai normal dapat mengakibatkan penurunan volume dan isi cairan otak dengan cepat.Hiponatremia ([Na+] < 135 mEq/L) dengan osmolalitas serum yang normal atau tinggi diakibatkan oleh adanya larutan non-natrium, seperti glukosa atau manitol, yang tidak dapat berdifusi dengan bebas di sepanjang membran sel. Gradien osmotik yang dihasilkan akan mengakibatkan hiponatremia dilusional. Perbedaan osmolalitas yang melebihi 10 mOsm/kg antara osmolalitas yang terukur dan yang dikalkulasi menunjukkan terjadinya hiponatremia faktisius atau adanya larutan non-natrium. Pada praktek anestesiologi bedah saraf, hiponatremia dengan osmolalitas yang normal dapat terlihat pada pasien setelah pemberian manitol, tetapi sebelum ekskresi urine telah terjadi.Hiponatremia dengan hiposmolalitas, yang dapat terjadi dengan konsentrasi natrium tubuh yang tinggi atau rendah, dievaluasi dengan menilai BUN, SCr, jumlah total natrium tubuh, osmolalitas urine, dan [Na+] urine. Peningkatan jumlah total natrium tubuh secara khas menyertai hiponatremia pada keadaan edematous, misalnya, pada gagal jantung kongestif, sirosis, nefrosis, dan gagal ginjal. Penurunan kapasitas dilusi urine pada pasien dengan gangguan ginjal dapat mengakibatkan hiponatremia jika terdapat cairan bebas yang berlebihan, yang juga dapat terjadi pada pemberian larutan hipotonik secara perioperatif. Pada hiponatremia dengan jumlah total natrium tubuh yang rendah (hipovolemia), sekresi ADH yang merespon terhadap volume mengorbankan tonisitasnya untuk mempertahankan volume intravaskular.Hiponatremia euvolemik, terkait dengan total natrium tubuh yang secara relatif normal dan ECV, hampir tanpa kecuali diakibatkan oleh syndrome of inappropriate ADH secretion (SIADH). Hiponatremia euvolemik biasanya terkait dengan sekresi ADH ektopik yang berlebihan (seperti yang terjadi pada beberapa neoplasma), pelepasan ADH hipotalamus-pituitari yang berlebihan (yang sekunder terhadap patologi intrakranial, stres, penyakit paru, atau gangguan endokrin), pemberian ADH secara eksogen, potensiasi farmakologis dari aksi ADH, atau obat-obatan yang menyerupai aksi ADH dalam tubulus ginjal.Penanganan hiponatremia terkait dengan osmolalitas serum yang normal atau tinggi memerlukan penurunan dari konsentrasi larutan penyebab yang meningkat (Gambar 4 dan 5). Penanganan pasien edematous (hipervolemik) memerlukan restriksi natrium dan air, dan diarahkan pada perbaikan curah jantung dan perfusi ginjal dan penggunaan diuretik untuk menghambat reabsorbsi natrium. Pada pasien hipovolemik, hiponatremi, volume darah harus dapat diperbaiki, biasanya dengan menggunakan infus larutan garam 0.9%, dan hilangnya natrium secara berlebihan harus dapat diatasi. Penanganan hipovolemia biasanya dijalani dengan menghilangkan stimulus terhadap pelepasan ADH, disertai oleh diuresis air yang cepat.Dasar dari penanganan SIADH adalah restriksi cairan bebas dan eliminasi faktor-faktor yang mempercepat proses tersebut. Restriksi air, cukup untuk menurunkan TBW sebesar 0.5-1.0 L/hari, menurunkan ECV, bahkan jika sekresi ADH yang berlebihan terus berlangsung. Hasil reduksi ini pada glomerular filtration rate (GFR) memperbaiki reabsorbsi tubulus proksimal terhadap garam dan air, sehingga mengurangi terbentuknya cairan bebas, dan menstimulasi sekresi aldosteron. Jika kehilangan cairan pada ginjal, kulit, dan saluran cerna melebihi intake cairan bebas, maka [Na+] serum akan meningkat. Eksresi cairan bebas dapat ditingkatkan dengan pemberian furosemide. Pada pasien yang mengalami kejang atau yang menderita gejala akut dari intoksikasi cairan, larutan garam 3% dapat diberikan pada dosis 1-2 mL/kg/jam, untuk meningkatkan [Na+] plasma sebesar 1-2 mEq/L/jam; namun, prosedur ini tidak dapat berlangsung lebih lama dari beberapa jam saja. Bahkan hiponatremia simptomatis harus dikoreksi secara hati-hati. Walaupun penundaan tindakan koreksi dapt mengakibatkan cedera neurologis, penanganan cepat yang tidak sesuai dapat mengakibatkan dehidrasi otak secara mendadak, sentral pontine mielinolisis, perdarahan otak, atau gagal jantung kongestif. Untuk membatasi resiko terjadinya mielinolisis, [Na+] plasma dapat ditingkatkan sebesar 1-2 mEq/L/jam; namun, [Na+] plasma tidak boleh ditingkatkan lebih dari 12 mEq/L dalam 24 jam atau 25 mEq/L dalam 48 jam.HipernatremiaHipernatremia juga menghasilkan gejala-gejala neurologis (termasuk stupor, koma dan kejang) selain hipovolemia, gangguan ginjal, dan penurunan konsentrasi urine. Karena hipernatremia sering terjadi akibat diabetes insipidus atau kehilangan natrium dan air yang terinduksi secara osmotik, banyak pasien berada pada kondisi hipovolemia atau azotemia. Pasien bedah saraf postoperatif yang telah menjalani operasi pituitary berada pada resiko tertentu untuk mengalami diabetes insipidus yang bersifat transien ataupun memanjang. Poliuria mungkin terjadi hanya beberapa hari dalam minggu pertama setelah operasi, mungkin dapat menjadi permanen, atau mungkin memiliki rangkaian trifasik: diabetes insipidus awal, kembalinya konsentrasi urin, kemudian diabetes insipidus rekuren. Konsekuensi klinis dari hipernatremia yang paling serius adalah pada pasien yang sudah lanjut usia dan saat hipernatremia terjadi secara mendadak. Penyusutan otak dapat merusak pembuluh darah otak yang halus, mengakibatkan subdural hematoma, perdarahan parenkim subkortikal, SAH, dan trombosis vena. Poliuria dapat mengakibatkan distensi kandung kemih, hidronefrosis, dan cedera ginjal yang permanen. Pada tingkat sel, perbaikan volume sel terjadi dengan cepat setelah tonisitasnya berubah. Menurut definisinya, hipernatremia ([Na+] > 150 mEq/L) mengindikasikan defisit air yang absolut atau relatif dan selalu dikaitkan dengan hipertonisitas. Karena hipovolemia disertai kehilangan cairan pada sebagian besar kondisi patologis, gejala hipoperfusi juga dapat timbul. Pada banyak pasien, sebelum terjadi hipernatremia, peningkatan volume urine yang hipotonik menunjukkan adanya gangguan pada keseimbangan cairan. Defisit TBW dapat diperkirakan dari [Na+] plasma menggunakan persamaan:Defisit TBW = 0.6 (berat badan(kg)) [(konsentrasi [Na+]- 140)/ 140]Penanganan hipernatremia yang diakibatkan oleh kehilangan cairan terdiri dari rehidrasi air dan penurunan terkait lainnya pada total natrium tubuh dan elektrolit. Hipernatremia harus dikoreksi secara perlahan karena resiko terjadinya kerusakan neurologis seperti kejang dan edema otak. Defisit air harus diganti selama 24 sampai 48 jam berikutnya, dan [Na+] plasma tidak dapat diturunkan lebih dari 1-2 mEq/L/jam.Penanganan hipernatremia yang sekunder terhadap diabetes insipidus bervariasi tergantung pada etiologi yang bersifat sentral atau nefrogenik. Seperti yang telah ditulis sebelumnya, 2 tipe obat yang paling sesuai untuk mengkoreksi diabetes insipidus sentral (sebuah sindrom defisiensi ADH) yaitu DDACP dan vasopressin akuous.

RINGKASANTerapi cairan yang sesuai pada pasien dengan kelainan neurologis memerlukan pemahaman prinsip-prinsip fisik dasar yang mencakup distribusi cairan antara kompartemen intraseluler dan ekstraseluler. Pada CNS, tidak seperti jaringan perifer, gradien osmolar merupakan faktor primer yang memicu terjadinya pergerakan cairan. Perubahan pada tekanan onkotik serum memiliki efek yang kurang begitu penting terhadap konsentrasi cairan di otak. Sebaliknya, pemberian larutan hipertonik (misalnya, 20% manitol) mengakibatkan dehidrasi dari jaringan otak normal seiring dengan penurunan volume otak dan ICP. Berbagai modalitas pengamatan dapat membantu dokter dalam menilai volume intravaskular. Pemberian cairan tidak boleh dibatasi sampai pada titik dimana curah jantung dan tekanan darah tidak dapat berfungsi. Hipotensi arterial setelah cedera otak merupakan penanda buruk yang berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Selain penanganan volume intravaskular, terapi cairan seringkali harus dimodifikasi untuk mempertimbangkan adanya kelainan pada [Na+], yang umum terjadi pada pasien dengan penyakit neurologis.