6

Click here to load reader

Lansekap Budaya: Makna dan Peranan Pemakaman Hindu Bali ... · pola desa adat di Bali, ... Ini merupakan tantangan di dalam keberlanjutan adat istiadat yang ... dan pergeseran nilai-nilai

  • Upload
    hatu

  • View
    212

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Lansekap Budaya: Makna dan Peranan Pemakaman Hindu Bali ... · pola desa adat di Bali, ... Ini merupakan tantangan di dalam keberlanjutan adat istiadat yang ... dan pergeseran nilai-nilai

Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 2, C042-047, Maret 2018 https://doi.org/10.32315/sem.2.b042

Prosiding Semarnusa IPLBI | C 042 Laboratorium Perkembangan Arsitektur, Departemen Arsitektur ITS, Surabaya ISBN XXX E-ISBN XXX

Lansekap Budaya: Makna dan Peranan Pemakaman Hindu Bali pada Desa-desa Tradisional Bali Aga

Ni Made Yudantini1, I Wayan Kastawan2

1,2 Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana Korespondensi : [email protected]

Abstrak Pemakaman Bali merupakan salah satu lansekap budaya termasuk dalam bentang alam Bali. Dalam pola desa adat di Bali, pemakaman terletak pada area profan yang berfungsi sebagai tempat upacara penguburan dan ngaben (kremasi). Masyarakat Hindu Bali terikat dengan adat istiadatnya dan juga termasuk dalam sistem penguburan dan kremasi. Pemakaman Bali memegang peranan penting di dalam mengikat warganya untuk menjalankan kewajibannya sebagai masyarakat adat dan memiliki hak untuk menggunakan pemakaman. Seiring dengan perkembangan globalisasi, cara-cara pemakaman mulai bergeser, dari cara-cara tradisional menjadi cara-cara yang lebih praktis. Saat ini telah mulai bermunculan wadah-wadah yang menawarkan kremasi yang sederhana tanpa banyak melibatkan masyarakat adat. Ini merupakan tantangan di dalam keberlanjutan adat istiadat yang telah diwariskan turun temurun. Melalui observasi dan wawancara, penelitian kualitatif ini menggali makna dan peranan pemakaman Bali di desa-desa tradisional Bali Aga khususnya di Desa Trunyan dan Desa Buahan di dalam implikasinya pada lansekap budaya serta untuk melestarikan adat istiadat yang dijwai oleh konsep Tri Hita Karana. Walupun berhadapan dengan tantangan, pemakaman Bali masih tetap merupakan zona penting di dalam pola desa dan lansekap budaya Bali. Kata-kunci: Kuburan Bali, lanskap budaya, desa adat, pola desa Pendahuluan

Pulau Bali sebagai salah satu tujuan wisata tentunya mendapatkan pengaruh yang cukup pesat terutama pada dampak dari kemajuan teknologi. Hal ini mempengaruhi pola kehidupan masyarakat dari tradisional menjadi masyarakat dengan pola hidup yang lebih praktis. Hal ini juga berdampak pada cara-cara pemakaman, yang semula tradisional, dimana lebih mengutamakan prosesi adat istiadat dan melibatkan unsur-unsur masyarakat adat, yang kemudian beralih menjadi lebih praktis. Ini didukung oleh munculnya beberapa yayasan ataupun tempat-tempat yang menawarkan cara-cara pemakaman yang lebih sederhana dalam prosesinya, terutama tidak melibatkan masyarakat adat. Observasi pemakaman dilakukan di dua desa tradisional Bali Aga yaitu Desa Trunyan dan Desa Buahan di Kecamatan Kintamani (Gambar 1). Wawancara dilakukan kepada kepala Desa Buahan dan tokoh masyarakat di Desa Trunyan. Penguburan di Desa Trunyan dan Desa Buahan dilaksanakan secara tradisi dan masih dipegang teguh untuk mengikat masyarakatnya secara adat. Dari tantangan dan pergeseran nilai-nilai tersebut, penelitian ini mengkaji makna dan peranan dari pemakaman Hindu Bali di Desa Trunyan dan Desa Buahan. Dari pengamatan ditemukan kekhususan di dalam pengelolaan kuburan. Pemakaman ini juga tidak terlepas dari nilai-nilai dari konsep Tri Hita Karana menjiwai kehidupan masyarakat Bali Aga sebagai perwujudan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan; antara manusia-dengan sesamanya; dan antara manusia dengan alamnya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan bahwa pentingnya untuk melestarikan pemakaman di dalam suatu pola desa tradisional, dan pentingnya menjaga dan

Page 2: Lansekap Budaya: Makna dan Peranan Pemakaman Hindu Bali ... · pola desa adat di Bali, ... Ini merupakan tantangan di dalam keberlanjutan adat istiadat yang ... dan pergeseran nilai-nilai

Kuburan Bali sebagai Lansekap Budaya

C 043 | Prosiding Semarnusa IPLBI

melestarikan adat istiadat yang telah diwariskan oleh para leluhur sebagai pembentuk identitas lokal serta memberi warna pada arsitektur Nusantara.

Kegiatan

Pengertian lansekap adalah budaya dan dihasilkan dari tindakan atau aktivitas manusia (Rapoport, 1992). Lansekap budaya melibatkan karya gabungan antara alam dan manusia (UNESCO, 1972). UNESCO juga menekakan bahwa lansekap budaya adalah untuk mengungkapkan dan mempertahankan keragaman interaksi antara manusia dan lingkungan mereka, untuk melindungi budaya tradisional yang hidup dan melestarikan peninggalan budaya yang telah hilang. Lansekap budaya mencerminkan penggunaan teknik yang spesifik yang berkaitan dengan karakteristik dan batasan lingkungan alam, serta hubungan spiritual tertentu dengan alam lingkungannya. Sementara Palang dan Fry (2003) merumuskan lansekap budaya ke dalam tujuh definisi prinsip yaitu: kategori areal (pemandangan alam dan lansekap perkotaan); tahap kronologis dari sebuah perkembangan; sebagai komponen manusia dalam lansekap; lansekap budaya sebagai desa; lansekap budaya sebagai warisan; sebagai pemandangan dengan kualitas estetis; dan, sebagai elemen dalam lanskap dengan makna untuk aktivitas manusia. Berdasarkan hal tersebut, Taylor dan Lennon (2012, hal. 85) melihat bahwa konsep Tri Hita Karana dalam kosmologi Hindu merupakan keselarasan dan keseimbangan tiga dimensi antara manusia dengan Tuhan, manusia terhadap manusia, dan manusia terhadap lingkungan.

“This is a philosophy of the universe that governs the landscaping of temples and the surrounding environment. In the Hindu cosmology, the macro and micro cosmos exists on three levels: the gods above the mountain peaks, the demons below the earth and sea, and the human world in between”.

Pemakaman Hindu Bali atau disebut dengan istilah setra atau sema merupakan cerminan aktivitas manusia dengan keunikan budaya yang dimiliki masyarakatnya. Lebih lanjut, konsep Tri Hita Karana diterapkan di dalam tipikal pola desa di Bali (Budihardjo, 1995) yang terdiri dari parahyangan, palemahan dan pawongan. Parahyangan adalah mengacu pada tempat suci desa yang terletak pada

Gambar 1. Lokasi Desa Trunyan dan Desa Buahan, di pinggir Danau Batur, Kintamani. Sumber: Pemerintah Propinsi Bali, 2009; Pemerintah Kabupaten Bangli, 2007

Page 3: Lansekap Budaya: Makna dan Peranan Pemakaman Hindu Bali ... · pola desa adat di Bali, ... Ini merupakan tantangan di dalam keberlanjutan adat istiadat yang ... dan pergeseran nilai-nilai

Ni Made Yudantini

Prosiding Semarnusa IPLBI | C 044

area sakral (arah utara-timur/kaja-kangin), palemahan berkaitan dengan permukiman beserta fungsi penunjang lainnya seperti bale banjar, wantilan yang berada pada area tengah dari pola desa. Sedangkan pawongan meliputi area profane desa (arah selatan-barat/kelod-kauh) yang terdiri dari area pemakaman beserta Pura Dalem serta area pertanian dan perkebunan yang mengelilingi desa (Gambar 2).

Dalam kehidupan masyarakat Bali, siklus kehidupan dari lahir dan mati selalu melalui upacara adat dan ini berkaitan erat dengan lansekap budaya yaitu tempat suci untuk hubungan vertical kepada Sang Pencipta dan leluhurnya, permukiman sebagai tempat tinggal, dan kuburan sebagai tempat akhir untuk penguburan serta kremasi. Kuburan Bali merupakan bagian integral dari pola desa tradisional. Secara budaya, masyarakat Bali memiliki upacara kremasi tradisional yang disebut upacara ngaben. Upacara kremasi berlangsung di kuburan dan kemudian abu dibuang ke laut. Hal yang sangat menarik mengenai perencanaan penggunaan lahan di Bali adalah perencanaan yang ramah lingkungan terhadap kebutuhan pemakaman di desa-desa tradisional. Yudantini (2012) menyimpulkan bahwa pemakaman Hindu Bali tidak pernah bertambah dalam luasnya. Hal ini disebabkan oleh sistem kremasi (ngaben) yang diterapkan dalam upacara kematian di Bali. Tentu saja ini sangat menguntungkan pihak perencana kota tidak harus memikirkan kebutuhan pertambahan lahan untuk pemakaman.

Secara fungsi, pemakaman memiliki peranan yang sangat penting, baik sebagai tempat upacara pemakaman serta berfungsi edukasi (Strangstad, 1988). Sebagai tempat edukasi, kuburan merupakan media untuk mempelajari sejarah, seni, sosiologi, geologi maupun pengetahuan bahasa Inggris. Kuburan merupakan salah satu ruang terbuka hijau. Khususnya kuburan Bali, secara ekologis memberikan peluang sebagai hutan kota dan sebagai penyedia oksigen dan menyimpan air tanah untuk kebutuhan kota maupun desa. Pada kuburan Bali memiliki beberapa tanaman khusus yang hanya ada di kuburan, diantaranya adalah pohon kepuh atau kepah (kelumpang/Sterculia foetida) dan pohon beringin (Ficus ssp). Keberadaan pohon beringin/waringin ini memiliki tampilan tempat yang menyedihkan dan menakutkan (Covarrubias, 1974). Secata aturan tradisional, masyarakat Bali dilarang menanam pohon berbunga di kuburan Bali. Pohon-pohon yang ada di kuburan merupakan tanaman langka, biasanya pohon tersebut dibungkus dengan kain warna hitam putih (kain poleng) yang dililitkan di sekitar batang pohon sehingga terlihat lebih menyeramkan dan tidak akan ada yang berani memotong pohon tersebut. Desa-desa tradisional di Bali pada dasarnya memiliki lebih dari satu kuburan sesuai peruntukannya seperti untuk bayi, untuk masyarakat umum, dan untuk yang dituakan atau untuk masyarakat dengan kasta tertentu.

Observasi pemakaman dilakukan di dua desa tradisional Bali Aga yaitu Desa Trunyan dan Desa Buahan. Kedua desa ini berlokasi di pinggir Danau Batur, Kintamani, memiliki karakteristik geografi dan topografi yang relatif sama yaitu dikelilingi perbukitan dan memiliki view desa ke arah Danau

Gambar 2. Implementasi Tri Hita Karana konsep pada pola desa linear di Bali

Sumber: Budihardjo, 1995, hal. 57.

Page 4: Lansekap Budaya: Makna dan Peranan Pemakaman Hindu Bali ... · pola desa adat di Bali, ... Ini merupakan tantangan di dalam keberlanjutan adat istiadat yang ... dan pergeseran nilai-nilai

Kuburan Bali sebagai Lansekap Budaya

C 045 | Prosiding Semarnusa IPLBI

Batur. Desa Trunyan dan Desa Buahan termasuk desa tua atau desa kuno yang sering disebut desa Bali Aga yang memiliki keunikan tersendiri berbeda dengan kebanyakan desa-desa di daerah Bali bagian selatan. Perbedaan ini akibat pengaruh kebudayaan pada era Majapapit dimana desa-desa Bali Aga adalah desa-desa yang menolak pengaruh Majapahit.

Desa Trunyan memiliki luas wilayah sekitar 1,963 hektar. Daerah Trunyan relatif datar pada permukimannya dan dikelilingi oleh perbukitan (Gambar 3). Nama Desa Trunyan tercantum dalam prasati berangka tahun 882 (Caka 804) yang ditetapkan oleh Raja Singhamandhawa (raja Bali Kuno tertua). Desa Trunyan memiliki lima dusun dengan dihuni oleh sekitar 600 kepala keluarga. Pemakaman Desa Trunyan terletak terpisah dari permukiman penduduk namun masih berada di pinggir Danau Batur. Pencapaian ke pemakaman ini hanya dapat dilakukan dengan perahu (jukung) atau boat. Desa Trunyan memiliki cara penguburan dan kremasi (ngaben) khusus dan unik yang hanya ada satu-satunya di Bali yaitu mayat hanya diletakkan di atas tanah ‘primitive sky burial’ (Reuter, 2002) dan hanya dipagari oleh bambu berbentuk segitiga (ancak saji) (Gambar 4). Area pemakaman ini tidak begitu luas, secara adat hanya diijinkan 11 lajur penguburan. Jika ada kematian baru, maka mayat yang paling lama yang telah berupa tulang dan tengkorak ini dipindahkan tulang dan tengkoraknya di atas altar yang berada di sampingnya. Meskipun penguburan unik ini hanya diletakkan begitu saja di atas tanah, namun sama sekali tidak meninggal bau mayat atau bau busuk. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh sebuah pohon besar yang menjaga kestabilan udara dan menetralisir udara sekitarnya sehingga tetap menghasilkan udara yang segar. Pohon ini disebut Taru Menyan (Gambar 7) yang memiliki arti pohon yang harum, yang memberikan udara yang segar. Dalam pelaksanaan upacara kematian ini dilaksanakan oleh masyarakat adat, namun hanya para pria saja yang boleh mengantarkan jenazah ke pemakaman ini.

Desa Buahan memiliki luas wilayah sekitar 14.23 km² atau 1,423 hektar dengan ketinggian area 1000 sampai dengan 1500 dpl (di atas permukaan laut) (Gambar 5). Nama Desa Buahan tercatat dalam prasasti berangka tahun 994 (Caka 916) dimana dalam prasasti tersebut disebutkan patih Kibuahan memberontak dan ingin mempertahankan seluruh tempat suci yang ada di sekeliling Danau Batur. Desa Buahan memiliki empat dusun (Dusun Buahan, Dusun Tabih, Dusun Binyan dan Dusun Munduk) dengan dua desa adat yaitu Desa Adat Binyan dan Desa Adat Buahan. Desa Buahan memilik penduduk kurang lebih 570 kepala keluarga pada tahun 2017 dengan mata pencaharian sekitar 98% merupakan petani dan nelayan, dan 2% lainnya berupa PNS, ABRI, swasta, pedangan, pertukangan dan jasa. Dalam sistem pemerintahan adat Desa Buahan menerapkan sistem Ulu Apad dengan jumlah anggota sebanyak 16 orang, dan juga menganut sistem kedinasan (struktur prajuru). Pola Desa Buahan merupakan pola linear dengan penerapan Tri Hita Karana dan Tri Mandala pada zona-zona permukiman, dimana pada area utama berfungsi sebagai Pura Desa dan Bale Agung, pada zona tengah (madya) untuk permukiman dan fasilitas umum, sedangkan area profane diperuntukkan untuk pemakaman yang dilengkapi dengan Pura Dalem.

Gambar 3. Desa Trunyan di pinggir danau dengan latar belakang perbukitan Gambar 4. Pemakaman di Desa Trunyan dimana mayat dilindungi dengan bambu (ancak saji) Sumber: Yudantini, 2015

Page 5: Lansekap Budaya: Makna dan Peranan Pemakaman Hindu Bali ... · pola desa adat di Bali, ... Ini merupakan tantangan di dalam keberlanjutan adat istiadat yang ... dan pergeseran nilai-nilai

Ni Made Yudantini

Prosiding Semarnusa IPLBI | C 046

Desa Buahan memiliki manajemen khusus untuk kematian baik sistem penguburan dan kremasi (ngaben). Untuk upacara kematian di Desa Buahan, terutama untuk upacara ngaben dikelola oleh dua ‘tilem’ (kelompok) yaitu Tilem Dangin Rurung dan Tilem Dauh Rurung. Sedangkan pemakaman atau setra juga terbagi menjadi dua bagian dan dipisahkan oleh satu pohon yaitu Pohon Udu Tanah (Gambar 8). Pohon besar ini juga sebagai ciri keberadaan pemakaman di Desa Buahan. Kedua setra tersebut adalah Setra Dangin atau sibak kangin dan Setra Dauh atau sibak kauh. Bagi Setra Dangin akan dikelola oleh Tilem Dauh dan Setra Dauh dikelola oleh Tilem Dangin. Untuk pembagian zona pemakaman, pada bagian hulu atau luwan adalah untuk yang dituakan, biasanya untuk kubayan atau yang lebih tinggi statusnya dari sistem ulu apad, dan ditandai dengan penggunaan ancak saji dan juga tedung (payung tradisional). Sedangkan bagian hilir atau teben adalah pemakaman untuk bayi. Upacara ngaben di Desa Buahan disebut biye tanam atau sistem penguburan, dimana yang dibakar adalah simbolis dari mayat tersebut, sedangkan mayatnya dikubur. Seiring dengan perkembangan, Desa Buahan juga melaksanakan kremasi massal, sehingga memudahkan dan meringankan biaya kremasi bagi yang kurang mampu.

Pelajaran

Pemakaman Bali di desa-desa tradisional Bali Aga adalah unik, yaitu sebagai bagian dari pola desa tradisional dan mengikat masyarakat adat. Adapun makna dan peranan yang dapat diambil dari pemakaman pada dua desa ini adalah aspek ekologis dan aspek manajemen pemakaman. Secara ekologis, keberadaan pohon-pohon besar dan langka sebagai ciri dan identitas pemakaman Hindu Bali. Meskipun secara dimensi pemakaman Hindu Bali tidak pernah bertambah dalam luas namun memiliki peranan ekologis yaitu sebagai ruang terbuka hijau serta dapat juga berfungsi sebagai hutan. Pohon-pohon besar yang ada di pemakaman tentu saja akan memberikan udara segar serta dapat menyimpan air tanah untuk menjaga keseimbangan lingkungan secara ekologis.

Gambar 7. Pohon Taru Menyan di Desa Trunyan. Sumber: Yudantini, 2015 Gambar 8. Pohon Udu Tanah di Desa Buahan. Sumber: Observasi, 2017

Gambar 5. Desa Buahan, di pinggir Danau Batur, Kintamani.

Sumber: Observasi, 2017

Page 6: Lansekap Budaya: Makna dan Peranan Pemakaman Hindu Bali ... · pola desa adat di Bali, ... Ini merupakan tantangan di dalam keberlanjutan adat istiadat yang ... dan pergeseran nilai-nilai

Kuburan Bali sebagai Lansekap Budaya

C 047 | Prosiding Semarnusa IPLBI

Adanya sistem pemakaman dan kremasi yang unik pada masing-masing desa tradisional Bali Aga dengan kekhususan pengelolaan manajemennya. Hal ini memperlihatkan bagaimana masyarakat desa tradisional mengatur dirinya sendiri secara kebersamaan dalam sebidang tanah yang mengikat hidupnya. Ikatan ini sebagai wujud hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat khususnya di desa tradisional. Tentu saja ikatan ini tetap harus dijaga dan dilestarikan mengingat berkembangnya teknologi memberi pengaruh yang cukup kuat terhadap pola pemikiran masyarat yang cenderung menjadikan mereka masyarakat yang statis. Nilai-nilai ini yang terkandung dalan konsep Tri Hita Karana harus tetap dilestarikan sebagai ciri masyarakat tradisional khususnya desa-desa Bali Aga. Perlu pemikiran khusus selanjutnya untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dengan adanya wadah atau jasa yang menawarkan proses kremasi yang lebih praktis, namun menggeser nilai-nilai tradisional.

Kesimpulan

Pemakaman merupakan zona penting di dalam pola desa tradisional Bali, tidak saja berfungsi untuk kegiatan penguburan dan kremasi (ngaben), namun juga tersimpan nilai-nilai tradisional yang sangat mengikat masyarakat adatnya sebagai bagian dari desa adat atau desa tradisional di Bali. Meskipun pemakaman Bali tidak pernah mengalami penambahan lahan, namun pemakaman Bali tetap memberikan kontribusi secara ekologis terhadap penyediaan ruang terbuka hijau baik di kota maupun desa. Hal ini karena pemakaman Bali memiliki ciri khas khusus yaitu adanya pohon-pohon besar sebagai identitas lokal pemakaman Hindu Bali. Pohon-pohon besar dan langka tersebut menyediakan air tanah dan udara segar, meskipun terlihat menakutkan karena karakter pohonnya yang lebat dan rimbun. Pemakaman Bali juga memiliki keunikan di dalam pengelolaannya yang melibatnya masyarakat adat. Kemajuan teknologi mempengaruhi pada pola hidup masyarakat kota maupun desa dengan pertimbangan praktis, sehingga melaksanakan kremasi secara praktis pada wadah atau jasa yang menawarkan kremasi yang dilaksanakan secara praktis. Tentu saja hal ini akan berpengaruh pada tata nilai tradisional yang cenderung luntur. Untuk itu perlu kiranya kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai-nilai tradisional yang harusnya tetap dijaga kelestariannya.

Daftar Pustaka

Budihardjo, E. (1995). Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Covarrubias, M. (1974). Island of Bali. Kuala Lumpur: Oxford University Press/Indira. Palang, H., & Fry, G. (Eds.). (2003). Landscape Interfaces, Cultural Heritage in Changing Landscapes (Vol. 1). Dordrecht, the Netherlands: Kluwer Academic Publisher. Rapoport, A. (1992). On Cultural Landscapes. TDSR, III(II), 33-47 Reuter, Thomas A. (2002). Custodians of the Sacred Mountains; Culture and Society in the Highlands of Bali. University of Hawaii Press, Honolulu. Strangstad, L. (1988). A graveyard preservation primer: Altamira Pr. Taylor, & Lennon (Eds.). (2012). Managing Cultural Landscape. London and New York: Routledge, Taylor & Francis Group UNESCO. (1972). Convention concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage. Paris: UNESCO. Yudantini, Ni Made (2012). Learning from Sustainable Landscape of Death in Bali: Landscape Planning and Tri Hita Karana. The 2nd International Conference on Sustainable Technology Development: Developing Sustainable Technology for a Better Future, Denpasar-Bali. Yudantini, Ni Made. (2015). Bali Aga Cultural Landscape Challenges: Conserving the Balinese Traditional Landscape for Future Balinese Indigenous Villages (Bali Aga) and Communities. Doctorate Thesis. Deakin University-Australia.