Pengantar Adat Bali

  • Upload
    ominkty

  • View
    1.909

  • Download
    6

Embed Size (px)

Citation preview

Sebelum sangkep dirnulai umumnya dilakukan pengucapan doa oleh pemangku dengan sarana cane (mecane), kemudian nyakcak krama (absensi kehadiran) baru kemudian mebaosan (bermusyawarah). Sangkepan dipimpin oleh Pekaseh atau Klian Subak, yang didampingi oleh Penyarikan dan Patengen yang bertugas memandu pembicaraan dan rnerumuskan serta mencatat hasil-hasil sangkep. Keputusan rapat umumnya diambil secara musyawarah mufakat (parasparos). 2) Aspek palemahan Aspek palemahan subak tampak dalam wujud fisik subak berupa hamparan daerah persawahan yang dilengkapi dengan system irigasi subak. System irigasi mempunyai fasilitas fisik yang mirip dengan fasilitas irigasi yang dimiliki oleh sistem irigasi lain. Prototipe sistem fisik subak antara lain terdiri atas empelan/bendung dam yang berfungsi sebagai bangunan pengambilan air dari sumbernya. (umumnya sungai), aungan (terowongan), telabah (saluran primer), tembuku aya (bangunan bagi primer), telabah gede (saluran sekunder). , tembuku gede (bangunan bagi sekunder), telabah pemaron (saluran tersir), tembuku pemaron (bangunan bagi tersier), telabah penyahcah (saluran kuarter), tembuku penyahcah (bangunan bagi kuarter, yang terdiri atas penasan untuk sepuluh orang petani atau kanca), tembuku pengalapan (bangunan pemasukan air individual), serta tali kunda (saluran individual). Subak juga mempunyai beberapa bangunan pelengkap Seperti penguras (flushing), pekiuh (overflow) dan petaku (bangunan terjun). Abangan (talang) dan jengkuwung (gorong-gorong) juga umum ditemui dalam subak. Subak umumnya juga mempunyai saluran pembuangan khusus. Air buangan dari suatu petak sawah akan disalurkan kembali ksaluran irigasi74 3) Aspek parhyangan subak Aspek parhyangan subak adalah Pura Subak, tempat anggota subak mengaktualisasikan hubungannya dengan Tuhan. Pura sendiri

Tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat (Hindu) karena setiap aspek kehidupan masyarakat Bali berhubungan langsung dengan berbagai jenis ritual yang dilaksanakan di pura, dari tingkat rumah tangga, desa, kabupaten, provinsi dan juga tempat kerja (profesi). Itu sebabnya, sejak lama Pulau Bali dikenal dunia dengan julukan the Island of Thousand Temples atziu the Island of Gods, suatu julukan yang tidak mengada-ada. Di pulau seluas sekitar 5632,86 km? ini terdapat ribuan pura tersebar di daerah pedesaan maupun perkotaan, daerah pesisir pantai maupun pegunungan. Kondisi sperti ini membuat Pulau Bali seperti ditebari ribuan buah pure, berbagai bentuk dan ukuran besar kecil, dengan status dan fungsi yang bervariasi. Keberadaan ribuan pura dengan arsitektur maupun mancanegara untuk datang ke Bali. Di Bali, istilah pura "yang juga disebut pahyangan, menunjuk kepada tempat suci untuk memuja Tuhan dengan segala manifestasinya serta roh suci leluhur orang-orang Bali. Dalam teologi Hindu, Tuhaxi yang disebut Ida Sanghyang Widi Waga merniliki banyak manifestasi (prabawa) yang disebut dengan Dewa. Disamping sebagai tempat suci untuk memuja Tuhan, pura juga merupakan tempat suci memuja roh suci leluhur orang-orang Bali, baik yang merupakan nenek moyang Bali sendiri maupun tokoh atau orang-orang suci yang berjasa umat Hindu di Bali. Dilihat dari segi karakteristik pura yang itu, jenis-jenis pura yang ada di Bali dapat dikualifikasikan dalam empat kelompok besar, yaitu: a. Pura Kahyangan Jagat, yaitu pura urnum tempat pemujaan Sanghyang Widi Waga/Tuhan Yang Mahaesa dengan segala manefestasinya (prabhawanya) serta roh suci para tokoh masayarakat Hindu sepcrtipendeta besar, penguasa dan lain-lainnya-. Pura Kahyangan Jagat ini terletak pada delapan penjuru mata angin dan ditengah-tengah pulau Bali. Kelompok pura yang termasuk Kahyangah Jagat ini adalah Pura Lempuyang (Puncak Bukit Bisbis,

Abang, Karangasem), Pura Andakasa (Bukit Andakasa, Manggis, Karangasem), Pura Batukaru (Gunung Batukaru, Penebel, Tabanan), Pura Batur (Desa Batur, Kintamani, Bangli), Pura Goa Lawah (Dawan,Klungkung), Pura Uluwatu (Kuta Selatan, Badung), Pura Pangelengan atau Pura Gunung Mangu (Gunung Mangu diperbatasan Tabanan dan Buleleng), dan Pura Besakih (Rendang, Karangasem). Dari delapan pura tersebut, tiga pura yaitu Pura Batur, Pura Andakasa, dan Pura Besakih masing-masing sebagai tempat rnemuja Wisnu, Brahma Siwa disebut Kahyangan Tiga Jagat, sedangkan enam kelompok pura, yaitu Pura Lempuyang, Uluwatu, Batukaru, Pura Gunung Mangu, dan Pura besakih disebut Sad Kahyangan75. b. Para Kahyangan Desa, yaitu pura yang disungsung oleh desa adat (sekarang disebut: desa pakraman) yang meliputi Kahyangan tiga (tiga buah pura di desa pakraman sebagai tempat manifestasi Tuhan meliputi Pura Desa /Bale Agung sebagai tempat pemujaan Brahma, Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Wisnu, dan Pura Dalem sebagai tempat pemujaan Siwa) dan Kahyangan Desa lainnya. c. Pura Swagina, yaitu pura fungsional (kekaryaan) dimana pemujanya (penyungsungnya) adalah mereka yang terikat oleh swagina (kekaryaan) atau profesi yang sama dalam sistern mata pncaharian hidupnya, seperti Pura Subak untuk para petani didacrah pertanian, dan Pura Melanting yang teletak di pasar-pasar yang disungsung oleh para pedagang dipasar, dan lain-lain. d. Pura Kawitan, yaitu pura yang pemujaannya ditentukan oleh ikatan wit (asal usul) berdasarkan ketunggalan leluhur atau garis keturunan secara geneologis, melipuiti

Sanggah/Merajan tempat pemujaan dalam setiap keluarga, Pura Ibu atau Paibon, Panri, Dadia 75 Lihat Ktut Soebandi, Pura Kawitan/Padharman dan Panyungsungan Jagat, Gunung Agung, 1981 ,h.79. Sedangkan menurut Sudaratmaja dan Widiyazid Scethama, Pura Subak Sebagai Pemelihara integritas Kelompok dan Ekosistem Lahan Sawah", dalam: Faisal Kasryno,dkk (Penyunting), Subak dan Kerta Masa Kearifan Lokal Mendukung Pertanian Berkelanjutan, Yayasan Padi Indonesia, Jakarta, 2003, h. 27, disebutkan yang termasuk Pura Sad Kahyangan adalah: Pura Silayukti, Pura Lempuyang, Pura Sakenan, Pura Luhur Batukaru, Pura Rambut Siwi, dan Pura Luhur Uluwatu.

atau Dalem Dadia, Padharman dan sejenisnya. Scperti dsebut di atas, salah satu jenis pura di Bali adalah pura subak yang dikelompokkan dalam kelompok Pura Swagina. Pura Subak adalah pura yang terletak dalam wilayah subak sebagai tempat pemujaan bagi para petani sawah secara individual maupun kelompok untuk memuja Dewi Sri. Pura Subak yang juga disebut pura air memiliki hierarki secara vertikal dan lokasi dimana sumber air diperoleh sampai ke tingkat pembagian di petak-petak sawah, misalnya mulai dari Pura Ulun Danu Batur terletak di pusat penyediaan air dipegunungan yang dipuja kelompok subak lintas kabupaten seperti Kabupaten Badung,Denpasar, Gianyar, Bangli dan Kabupaten lain Bali Selatan; Pura Ulun Suwi seperti Pura Laban Kedewatan yang dipuja oleh 57 subak_,yaitu subak-subak di Kabupaten Badung, Gianyar dan Denpasar; Pura Empelan Pura Bedugul yang dipuja oleh subak dengan beberapa tempek atau munduk sampai pada Pelinggih Pengalapan yang terletak pada petak sawah anggota subak. Pura Subak mempunyai fungsi keagamaan dan sosia176. Fungsi keagamaan diwujudkan dengan berbagai upacara baik yang dilakukan secara kolektif maupun individual sesuai dengan kperluan dan hierarki pura subak. Rangkan upacara keagamaan yang diselenggakan secara kolektif misalnya adalah upacara nangluk merana yang bertujuah untuk mengendalikan hama penyakit tanaman secara gain (niskala). Ada pula rangkaian upacarayang dilqkukan untuk keperluan untu_k memulai budi daya padi dalam suatu subak. Sebelum memulai menanam padi terlebih dahulu kelompok subak harus melakukan rangkaian uapacara yang tujuannya memohon air dari Ulun Danu baik secara langsung maupun tidak langsung. Kelompok Subak akan melakukan upacara magpag toya dengan mengikuti hirarki tersebut. Pada pura subak juga diselenggarakan upacara yang rutin dilakukan setiap enam bulan bali (210 hari), yaitu upacara piodalan (hari jadi) di pura yang bersangkutan. Disamping upacara yang dilakukan secara kolektif,1

76

Bandingkan dengan Sudaratmaja dan Wrdiyazid Soethama, op.cit.,h.29-35.

terdapat juga rangkaian kegiatan upacara yang dilakukan oleh petani berkaitan dengan fase-fase kegiatan pertanian di sawah, memasukkan padi ke lumbung. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berbagai aktifitas usaha tani yang dilakukan oleh petani sawah tidak dapat dilepaskan dengan nilai-nilai agama Hindu yang diwadahi oleh aktifitas-aktitas upacara keagamaan dimana Pura Subak menjadi pusatnya. Dengan jelas dapat dilihat bahwa aktifitas-aktifitas ritual Itu mempersatukan anggota subak untuk mencapai tujuantujuannya, terutama untuk keberhasilan usaha tani mereka. Disamping itu, rangkaian aktifitas ritual itu umumnya dituangkan melalui peraturan awig-awig (peraturan) subak dimana tahapan upacara "keagamaan' di Pura , Subak diatur secara eksplisit dan harus diikuti Qleh anggota subak. Disinilah pura subak memerankan fungsi sebgai wadah berinteraksi anggota subak. Aktivitas-aktivitas anggota subak dalam melaksanakan rangkaian upacara keagamaan di atas, terutama upacara keagamaan yang diselenggarakan secara kolktif menjadi wadah pemersatu anggota subak sehingga mampu menjaga integritas kelompok. mulai semai, tanam, masa pertumbuhan padi, panen, sarnpai

C. Awig-awig Subak Seprti halnya desa pakraman, kehidupan dalam subak diatur oleh suatu aturan-aturan hukum yang dibuat oleh anggota subak secara musyawarah mufakat melalui sangkepan. Aturan-aturan tersebut disebut Awig-awig subak, yang berisi perintah, larangan dan kebolehan serta sanksi dalarn kelernbagaan subak. Pada awalnya bentuk umumnya tidak tertulis, tetapi belakangan ini (sejak 1969) pembuatan awig-awig dalam bentuk tertulis sering dilakukan, baik di desa pakraman ataupun subak. Aturan-aturan yang bersifat pokok dituangkan dalam tertulis, sedangkan aturan-aturan pelaksanaannya yang sifatnya lebih fleksibel dalam pararem-pararem tertulis. Parerem dalah keputusan-keputusan sangkepan yang mempunyai kekuatan mengikat bagi anggota subak.

D. Kewajiban Subak Dalam Pasal 14 Perda Nomor 2/ PD/ DPRD/ 1972, ditegaskan kewajiban subak sebagai suatu organisasi, yaitu: (1) Subak berkewajiban mengatur rumah tangganya sendiri, baik dalam rnengusahakan adanya air maupun mengatur air dengan tertib dan efektif untuk persawahan para krama. subak di dalam wilayahnya; (2) Subak memelihara dan menjaga prasarana-prasarana irigasi dengan ,sebaik-baiknya yang diperlukan untuk. menjamin kelancaran dan tertibnya irigasi di dalam wilayahnya; (3) Dalam melaksanakan urusan rumah tangganya, subak menjalankan peraturan-peraturan, awig-awig dan sima subak yang berlaku; (4) Subak menyclesaikan perselisihan-perselisihan yang timbul dalarn rumah tangganya; (5) Apabila ada pelanggaran dan tindak pidana, diselesaikan menurut hukuin yang berlaku.

E. Subak abian Uraian tentang subak di atas adalah uraian rnengenai subak yeh, yang bergerak di bidang pengairan d,i sawah. Demikianlah pengertian yang umum mengenai subak. Dikalangan masyarakat di perdesaan, dikenal pula organisasi tradisional yang bergerak bidang pertanian lahan kering (perkebunan), yang dikenal dengan sebutan subak abian.(abian=kebun) Secara kelembagaan, subak abian dapat diberikan difinisi sebagai suatu persekutuan masyarakat hukum adat yang mempunyai wilayah serta harta kekayaan sendinri dan berhak mengatur rumah tangganya sendiri, bersifat sisio re1igius, agraris dan ekonomis bergerak dalam bidang pertanian lahan kering dan tadah hujan. Sebagai suatu 0rganisasi, subak abian mempunyai agggota dan pengurus sendiri. Pengurus subak disebut prajuru subak abian, yang umumnya terdiri dari seorang klian suibak abian, yang menjadi pejabat puncak dalam subak_abian, dibantu oleh penyarikan sebagai sekretaris dan petengen sebagai bendahara. Subak abian mempunyai wilayah tertentu, itu sebabnya disamping digunakan sebagai nama

organisasi

tradisional,

subak

abian

juga

digunakan

untuk

menyebut

hamparan

perkebunan/tegalan dengan segenap fasilitas dalamnya, seperti pura subak, bale subak dan lainlain. Seperti halnya subak yeh, subak abian juga mempunyai harta kekayaan sendiri terpisah dari keklayaan anggotanya, mempunyai awg-awig yang dibuat oleh dan rnengikat anggotanya, sehingga subak abian juga dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum. Subak abian diperkirakan sudah ada sejak adanya desa pakraman (desa adat), bahkan lebih awal dari keberadaan subak yeh, sebab kehidupan nenek moyang orang Bali dimulai dengan mata pencaharian berladang setelah merabas hutan. Mata pencaharian berladang ini dapat diketahui dari Prasasti Sukawana A.I tahun 882 M yang menyebutkan istilah perlak yang berarti kebun77. Umumnya organisasi subak abian ini bergerak dalam usaha bersama untuk meningkatkan hasil perkebunan, misalnya yang berkaitan dengan kemudahan memperoleh pupuk dan obatobatan; usaha-usaha bersama dalam pemberantasan hama (merana) seperti bergotong royong mengusir hama tupai, monyet, dan lain-lain termasuk memberantas hama dengan ritual-ritual keagamaan (nangluk merana); serta usaha bersarna dalam memasarkan hasil panen.

Dadia Disamping desa pakraman dan subak, di Bali juga terdapat masyarakat hukum adat yang dilandasi oleh kesamaan wit (asal) berdasarkan kesamaan leluhur, yang disebut sekeha dadia, sekaa dewa, dan sebutan-sebutan lainnya. Dengan dernikian, masyarakat yang tergabung dalam sekaa dadia ini termasuk masyarakat hukum adat geneologis. Mereka diikat oleh suatu_tempat persembahyangan bersama yang rnerupakan tempat roh leluhur mereka bersemayam, yang disebut pura dadia, sanggah gede, dan sebutan lainnya. Sesungguhnya, disamping hidup sebagai anggota desa pakraman, seluruh rnasyarakat Hindu Bali terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok

dadia ini, yang jumlah anggotanya bervariasi dan berternpat tinggal rnenyebar tidak pada suatu teritorial tertentu. Aktifitas utama kelompok dadia ini adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan ritual keagamaan yang ditujukan untuk menyembah dan memulyakan roh leluhur mereka yang bersemayarn pada tempat pura dadia, sanggah gede, serta aktifitas-aktifitas yang ditujukan untuk pemeliharaan tempat persembahyangan bersama tersebut. Disamping mempunyai anggota, pengurus, dan harta kekayaan sendiri, sekaa dadia juga mempunyai awig-awig yang dibuat oleh dan mengikat kelompok dadia trscbut, sehingga dapat diklafikasikan sebagai masyarakat hukum.

Sekaa Dalam masyarakat Bali juga tumbuh dan hidup dengan subur Qrganisasi tradisional Bali yang dibentuk berdasarkan pekerjaan dan kegemaran yang sama, dikenal dengan sekaa. Ada yang menulisnya sekehe, seka dan sekaa2. Ada yang mengatakan bahwa istilah sekaa itu berasal dari se dan eka yang artinya satu kesatuan sehingga dapatlah disejajarkan dengan pengertian persatuan atau perkumpulan. Kelompok ini mempunyai pengurus sendiri serta mernpunyai kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan anggotanya, serta mernpunyai peraturan-peraturan yang dibuat dan berlaku bagi kelompok itu, sehingga layak pula disebut sebagai suatu badan hukum. Mereka beraktivitas dalam bermacam-macam kegiatan, ada yang berdasarkan pekerjaan, kegemaran, dan lain-lain. Narna sekaa itu kemudian disesuaikan dengan kegiatan kelompok tersebut. Tjok Raka Dherana3, rnengemukakan bahwa dalam kehidupan di Bali dikenal beraneka Warna bentuk sekaa berhubung dengan perbedaan obyek usahanya, seperti misa1nya;

2

Lewat lornba sekaa teruna (organisasi pemuda), yang diadakan setiap tahun oleh Pemerintah Daerah di Bali mulai tampak ada keseragaman penulisan, yajtu sekaa Tjok Raka Dherana, 1975. Pokok-pokok Organisasi Kemasyarakatan Adat di Bali, Denpasar. Bagian Penerbitan Fakuitas Hukum & Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, h.1718. Wayan Wi

3

1. Bidang pertanian, seperti sekaa numbeg (perkumpulan macul). 2. Bidang sosial ekonomi, seperti sekaa nembok (perkurnpulan nemembok). 3. Bidang kesenian, seperti sekaa gong (perkumpulan gamelan). 4. Bidang kepernudaan, seperti sekaa teruna (perkumpulan pernuda)

Parisada Hindu Dharma (PHDI) Disamping adanya organisasi kemasyarakatan adat di atas, dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali, khususnya dalam kebidupan beragama terdapat lembaga keagamaan yang berupa majelis tertinggi umat Hindu yang dikenal dengan Parisada Hindu Dhanna Indonesia (PHDI). Secara struktural PHDI terdapat pada tingkat nasional, daerah, provinsi, kabupaten, sarnpai kecamatan. Secara historis, pembentukan Parisada Hindhu Dharma dimulai pada tahun 1950-an, yang mrupakan masa-masa penting perjuangan urnat Hindu di Indonesia, khususnya di Bali. Pengakupan resmi pemerintah terhadap kehadiran agama Hindu di Indonesia baru mulai 5 September 1958, ditandai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Agama RI mengenai pembentukan Bagian Hindu Bali pada Kementerian Agama Republik Indonesia. Sesudah itu, dilanjutkan dengan dibentuk panitia yang bertugas mempersiapkan pembentuklan Dewan Agama Hindu Bali, pada tanggal 7 Oktober 1958, bertempat di Balai Masyarakat Denpasar. Pertemuan yang diadakan oleh panitia pada tanggal 6 Desember 1958 di Bedugul, memutuskan bahwa Hindu Bali Sabha akan diselenggarakan pada bulan l959. Hindu Bali Sabha yang kernudian lebih dikenal dengan sidang pembentukan Parisada Dharma Hindu Bali, baru diadakan pada tanggal 21, 22 dan Februari 1959 bertempat di Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar. Sidang ini me1ahirkan Piagam Parisada. Piagam ini terdiri atas 12 butir menyangkut susunan parisada, siding, pembiyaan, usaha, dan hubungan dengan pemerintah. Bentuk lembaga ini adalah Parisada, bersifat keagamaan Hindu Bali, berkedudukan di Bali. Fungsi lembaga ini merupakan

koordinasi segala kegiatan keagarnaan Hindu Bali, dengan tugas mengatuf, rnemupuk dan memperkembangkan Agama Hindu Bali. Seclangkan tujuannya adalah mempertinggi kesadaran hidup keagamaan dan kemasyarakatan umat Hindu Bali. Keanggotaan terdiri dari para sulinggih yang dipandang ahli atau mempunyai pehgetahuari mendalam soal keagamaan Hindu Bali, sehingga susunan parisada terdifi dari: (a) Pesamuhan sulinggih, clan (b) pesamuhan para waltzka yang keduanya dengan kepziniteraan bersama. Usaha M lembaga iniimeuliputi penyelidikazi, pendidikan, pencrangan dam kesejahteraan masyarakat. PHD} sebagai lembaga keag_amaan Hindu mempunyai posisi pentirig dalam pembinaan hukum adat Bali, khususnya dalam pembinaan aspek keagamaarmya. Melalui bisama-nya (semacam fatwa) PHDI dapat berperan mengembangkan adat dan hukurn adat Bali agar perkembangannya tetap sejalan dengan sastra agama (ajaran agama Hindu).

3 Hukum KeluargaPengertian Hukum Keluarga , Hukum ke1uarga4 adalah keseluruhan norma-norma hukum, tertulis rnaupun tidak tertulis, yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan hubungan Kekeluargaan, baik yang diakibatkan oleh hubungan darah maupun yang diakibatkan oleh suatu perbuatan hukum tertentu. Perbuatan-perbuatan hukum yang dapat menimbulkan hubungan kekeluargaan antara lain adalah pengangkatan anak dan perkawinan. Hubungan-hubungan kekeluargaan itu berisi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam kehidupan keluarga, seperti hak dan kewajiban anak terhadap orang tua atau sebaliknya hak dan kewajiban suami istri, dan seterusnya. Normanorma hukum yang tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan-hubungan tersebut disebut hukum adat kekeluargaan. " Hubungan hukum kekeluargaan yang di atur oleh hukum keluarga ini umurnnya disebabkan oleh adanya hubungan sedarah tetapi ternyata tidak semua hubungan sedarah menimbulkan hubungan hukum kekeluargaan seperti misalnya dalam kasus anak luar kawin yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapak biologisnya. Sebaliknya, tidak semua hubungan hukum kekeluargaan disebab-

4

Dalam literatur-literatur hukum adat, istilah Hukum Keluarga" antara Iain digunakan Soerjono Soekanto dan Djaren Saragih, sedangkan Surojo Wignjodipuro menggunakan istilah Hukum Kekeluargaan" sementara lman Sudiyat lebih suka menggunakan istilah Hukum Kekerabatan". lstilah Belanda untuk bidang hukum ini adalah Verwantschapsrehct" sebagaimana digunakan oleh ter Haar dan VE Kom. Lihat I Ketut Sudantra, Hukum Adar II, bahan kuliah, Denpasar, 1989, h.13.

kan oleh adanya hubungan darah, seperti terjadi dalarn kasus anak angkat (sentana peperasan) di Bali yang tidak mempunyai hubungan darah dengan orang tua angkat, tetapi karena suatu perbuatan hukum tertentu (pengangkatan anak) kemudian mereka mempunyai hubungan hukum kekeluargaan, sarna seperti hubungan anak kandung dengan oang tuanya. Di samping disebabkan oleh hubungan biologis, hubungan hukum kekeluargaan ini juga dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan yang dianut oleh suatu masyarakat. Dengan dernikian maka antara orangorang yang rnempunyai derajat hubungan biologis yang sama belum tentu mengakibatkan derajat hubungan hukum kekeluargaan yang sama pula. Dengan demikian, ruang lingkup hukum adat keluarga ini mliputi hubungan hukum antara anak dengan orang tua; hubungan hukum antara anak dengan sanak saudara (kerabat), baik dari pihak bapak maupun ibu; pengangkatan anak; dan mengenai pemeliharaan anak di bawah umur, trutama dalam hal anak tersebut ditinggalkan mati oleh orang tuanya82. Bagi masyarakat Bali eksistensi hukum adat keluarga masih sangat kuat, artinya masih diakui dan diikuti oleh rnasyarakat Bali khususnya dalam aspek-aspek hukurn yang menjadi ruang lingkup hukum keluarga seperti disebutkan di atas di luar yang telah di atur, oleh Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bagaimana sifat hubungan-hubungan tersebut berlaku dalam masyarakat adat di Bali? Hal inilah yang menjadi pokok bahasan dalam Hukum Keluarga menurut Hukum Adat Bali.

Sistem Kekeluargaan. Hal pertama yang harus mendapat perhatian dalam pembahasan hukum keluarga adalah sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat Bali sebab sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat adalah kunci untuk dapat memahami persoalan yang menjadi ruang lingkup aspek-aspek yang menjadi ruang lingkup hukum keluarga tersebut di atas, bahkan sangat

berpengaruh pula terhadap bidang-bidang' yang lebih luas yaitu perkawinan dan waris. Sistem kekeluargaan disini diartikan sebagai cara menarik garis keturunan, sehingga dapat diketahui dengan siapa seseorang itu mempunyai hubungan hukum kekeluargaan. Dapatlah disebut bahwa sistem kekeluargaan meliputi prinsip-plinsip dasar garis keturunan yang dapat menjelaskan hubungan seseorang dengan orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengannya. Dari pemahaman terhadap sistem kekeluargaan yang dianut dalam berbagai etnis di Indonesia akan dapat diketahui bahwa ternyata diantar orang-orang yang mempunyai hubungan darah dalam derajat yang sama belum tentu secara hukum mempunyai nilai dan hubungan keluarga yang sama pula. Hal ini yang menyebabkan hubungan keluarga antara seorang anak dengan sanak saudara sedarah dalam drajat tertentu (sepupu, paman, bibi, kakek-nnek) dari pihak ibu danipihak bapak dapat berlainan antara masyarakat etnis satu dengan lainnya. Seperti diketahui, sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat di Indonesia sangat beragam, satu dan lain hal disebabkan karena kemajemukan kondisi sosial budaya mgsyarakat Indonesia menyangkut suku, etnis, agama, dan lain-lain. Faktor inilah yang menyebabkan sulitnya pembentukan hukum keluarga yang bersifat nasional di Indonesia walaupun kearah itu bukanya tidak pernah dilakukan. Usaha pembentukan hukum kekeluargaan nasional secar yuridis pernah dituangkan dalam suatu Ketetapan MPRS pada tahun 19605tetapi tindak lanjut isi ketetapan trsbut dalam Bentuk sekaraang tidak ada. Secara umum dalam masyarakat Indonesia dikenal tiga macam sistem kekeluargaan. Sistem kekeluargaan tersebut adalah:

5

Upaya untuk mengadakan hukum kekeluargaan yang bersifat nasional, dengan dasar parental, misalnya adalah upaya yang bersifat nasional, dengan dasar paretal, missal adalah upaya yang dilakukan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional tahun 1962, yang merupakan tindak lanjut TAP MPRS Nomor II Tahun 1960, dalam 402 huruf c sub 4 alenia a TAP MPRS tersebut dinytakan bahwa semua warisan untuk anak-anak dan janda, apabila sipeninggal warisan meninggalkan anak-anak dan janda. Lihat Hazairin, hukum kekeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1982, h.3 dan 115..

1) sistem kekeluargaan patrilieal; 2) sistem kekeluargaan matdlineal; 3) sistem kekeluargaan prental84; Sistem kekeluargaan patrilineal, misalnya dianut dalam masyarakat Batak, Nias, Sumba, Bali ,dan lain-lain. Dalam sistem kekeluargaan ini, keturunan dilacak dari garis bapak. Melalui perkawinan, seorang istri dilepaskan dari hubungan hukum kekeluargaan dengan keluarga asalnya (orang tua kandung) selanjutnya masuk dalam lingkungan kekeluargaan suaminya. Anak-anak yang lahir dan perkawinan ini mendapatkan garis kekeluargaan dari garis bapaknya, sementara dengan keluarga ibunya hanya mempunyai hubungan sosial dan moral saja, bukan hubungan hukum. Sistem kekeluargaan matrilincal dianut dalam masyarakat Minangkabau. Menurut sistem kekeluargaan ini, kturunan dilacak dari garis ibu sehingga anak yang lahir dari suatu perkawinan akan mendapatkan garis kekeluargaan dari garis ibunya 6. Brbeda dengan yang terjadi pada masyarakat patrilineal dan matrilineal yang menarik garis kekeluargaan Secara unilateral (satu garis), dalam masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan parental, garis keturunan dilacak dari dua pihak (bilateral), yaitu baik dari garis bapak maupun ibu sehingga sistem kekeluargaan ini juga disebut sistem kekeluargaan keibu-bapaan. Sistern kekeluargaan ini dianut oleh masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Kalimantan, dan lain-lain. Masyarakat adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang lebih dikenal luas dalam masyarakatan Bali dengan istilah kepurusa atau purusa7. Prinsip-prinsip dalam system kekeluargaan kepurusa sama dengan sistern kekeluargaan yang

6

Lebih jauh mengenai sistem kekeluargaan yang berlaku di Minangkabaulihat Umar Junus, Kebudayaan Minangkabau", da|am:Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, djambatan, 1990,h, 254-257. Dijelaskan bahwa dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal ini seorang terrnasuk keluarga ibunya dan bukan keluarga ayahnya. Seorang ayah berada di luar keluarga anak dan istn'nya. VE Kom, Hukum Adat Kekeluargaan di Bali (diterjemahkan dan diberikan catatan-catatan oleh l Gde Wayan Pangkat), Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana Denpasar, 1978,h. 1. Lihat pula Panetja,,Aneka Catatah Tentang Hukum Adat Bali, CV Kayumas, Denpasar,1986, h.39).

7

dianut dalam Kitab Manawa Dharmacastra, yang dikenal sebagai salah satu kitab hukum Hindu. Itu sebabnya system kekeluargaan yang dianut masyarakat adt bali ini dikatakan dijiwai oleh ajaran Agama Hindu yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bali. Memang diakui terdapat perpaduan yang sangat erat antara adat Bali dengan Agama Hindu dalam hukum keluarga yang berlaku, walaupun tidak dapat dikatakan bahwa hukum yang berlaku bagi masyarakat adat Bali adalah hukum Hindu itu sendiri7. Sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang dianut dalam system kekeluargaan patrilineal, paling tidak ada tiga prinsip dasar yang dianut dalam system kekeluargaan purusa . pertama, keturunan dilacakdari garis laki-laki (bapak). Secara hukum hanya individu-individu yang berasal dari satu bapak asal (wit) yang diperhitungkan sebagai keluarga baik dalam keluarga batih maupun keluarga luas. Orang-orang yang termasuk dalam garis ini lazim disebut keluarga Saking purusa. Sedangkan orang-orang dari keluarga pihak ibu yang lazim disebut keluarga saking pradana sama sekali tidak diperhitungkan sebagai keluarga itulah sebabnya nilai atau derajat hubungan antara seseorng dengan sanak saudara dari garis purusa ( saking purusa) jauh lebih penting dibandingkan dengan hubungannya dengan sanak saudaradari pihak ibu (saking pradana) Prinsip kedua dalam system purusa ini adalah bahwa dalam perkawinan (kecuali dalam bentuk perkawinan Nyeburin8) seorang

7

Ada anggapan bahwa hukum adat yang berlaku dalam suatu masyarakat adalah hukum agama yang dianut oleh masyarakat itu, karena masukanya seseorang kedalam suatu agama, ia menerima sepenuhnya dan tunduk pada hukum agamanya yang bersangkutan. Teori ini dikenal dengan teori reception in compexu yang pertama kali dikenalkan oleh CF Winter dan Salomon (1823-1868) yang kemudian diikuti oleh LWC van Berg (1845-1927) pemerintah colonial Belanda teori ini semula sangat berpengaruh dan sempat diadopsi oleh pemerintah klonia sehingga dalam peraturan perundang-undangan zaman itu hukum yang berlaku bagi masyarakat pribumi disebut dengan istilah undang-undang agama (pasal 75 ayat 3 RR). Dalam perkembangan kemudian, teori ini ditenteng banyak kalangan antara lain snouk Hurgronje dan van vollehoven. Mereka memperkenalkan teori receptive yang intinya menyatakan bahwa hukum yang dianutnya adalah hukum adat, sedangkan hukum agama mersepsi kedalam dan berlaku sepanjang dikehendaki oleh hukum adat. Lihat Otje Salman Soedininggrat, Rekomenseotualisasi Hukum Adat Konterporer, Alumni, Badung 2002, h.78. Mengenal perkawinn nyeburin akan dijelaskan dalam bagian lain, yaitu bidang hukum perkawinan.

8

perempuan dilepaskan dari hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya dan selanjutnya masuk secara total dalam keluarga suaminya. Dengan demikian, seorang anak perernpuan yang sudah kawin (atau anak laki-laki yang kawin nyeburin) tidak lagi diperhitungkan hak dan kewajibannya, materiil maupun immateriil, dalam keluarga asalnya melainkan sepenuhnya diperhitungkan dalam keluarga suaminya. Akibat dari perkawinan adalah trbentuknya keluarga batih yang secara ideal terdiri dari bapak, ibu dan anak. Anak yang lahir dari perkawinan tersebut mendapatkan sanak saudara atau kerabat (keluarga luas) dari pihak bapak, sedangkan dengan sanak saudara dari pihak ibu (saking pradana) anak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum. Walaupun demikian, hubunganhubungan social dan moral antara anak dengan sanak saudara dari pihak ibu tetap ada, bahkan dalam kaitan dengan larangan-larangan perkawinan hubungan-hubungan tersebut tetap diperhatikan. Orang Bali biasanya menyebut sanak saudara dari pihak ibu sebagai hubunganhubungan saking pradana, memisan/memindon ulian meme (sepupu dari pihak ibu) dan lain-lain. Seperti umum terjadi, dalam suatu rumah tangga Bali yang disebut kuren, biasanya terdiri dari suatu keluarga batih, sering ditambah dengan anak laki-laki yang sudah kawin bersama keluarga batih rnereka masing-masing dan dengan orang-orang lain yang menumpang, baik orang-oranpg yang masih merupakan anggota keluarga maupun bukan (pembantu rumah tangga dan lain-lain). Karena belum mampu hidup mandiri anak laki-laki yang sudah kawin biasanya tetap tinggal dalam komplek perumahan (karang) orang tua. Inilah yang disebut dengan konsep ngerob dalam adat Bali. Apabila ada anak laki-laki sudah maju dan marnpu hidup mandiri ia dapat memisahkan diri dari rumah tangga orangtua dan mendirikan rumah dan membentuk rumah tangga yang baru, yang disebut ngarangin. Biasanya tetap ada satu anak laki-1aki89 yang sudah kawin tetap tinggal dalam komplek perumahan Qrang tuanya, apabila nanti Qrang tuanya tidak mampu lagi maka anak laki-laki tersebut kemudian menggantikan dan rnelanjutkan rumah tangga

orang tua, bertanggungjawab terhahap rumah tangga dan memikul kewajiban kemasyarakatan (ayahan ke banjar/desa). Dalam keluarga Bali, tiap-tiap keluarga batih maupun keluarga luas, harus tetap rnemelihara hubungan dengan kelompok keluarga yang lebih luas, yaitu klen purusa yang disebut tunggal dadia dan juga kelompok keluarga purusa yang lebih luas, yang disebut paibon atau panti. Struktur dari klen yang disbut tunggal dadia ini bervariasi diberbagai tempat di Bali. Di desadesa pegunungan, orang-orang dari tunggal dadia yang telah memencar karena hidup neolokal tidak usah lagi mendirikan tempat pemujaan leluhur di masing-masing tempat kediamannya. Sebaliknya di desa-desa dataran, orang-orang dari tunggal dadia ini yang hidup neolokal wajib mendirikan pemujaan (sanggah /merajan) dimasing-masing tempat kediamannya yang disbut kemulan taksu 90. Kemulan Taksu adalah pemujaan keluarga dalam suatu keluarga batih, sedangkan unit tempat pemujaan untuk klan purusa lebih luas yang trrnasuk tunggal dadia, disebut pura dadia, seliinjutnya pura ibu, para panti dan seterusnya untuk tempat pemujan bagi kelempok klan yang lebih luas sampai pada pura kawitan/pedarman yang merupakan pura tempat pemujaan bagi nenek moyang yang merupakan cikal bakal klan di Ba1i91 Kenyataan bahwa beberapa keluarga batih ataupun keluarga luas terhimpun dalam kelornpok atau tunggal sekeha tunggal dadia, paibon atau panti dapat dijadikan petunjuk kuat bahwa secara hukum mereka9

9

Pada daerah-daerah yang masih sangat kuat pengaruh tanah adat (tanah ayahan: tanah pekarangan desa atau tanah ayahan desa) dalam struktur kemasyarakatnya, ada peraturanperaturan adat (dresta) yang menentukan apakah anak laki-laki sulung atau anak laki-laki bungsu, yang tetap tinggal menempati tanah pekarangan orang (uanya sekaligus melanjutkan hak dan kewajiban orang tuanya dalam kelularga keluarga) maupun masyarakat (ngayahang desa). Kecuali ada kesepatan Iain dalam keluarga, umumnya pefaturan-peraturan adat itu ditaati. Bandingkan ha ini dengan VE Korn op. cit.,h.4.

90 I Gusti Ngurah Bagus , Kebudayaan Bali, dalam: Koentjraningrat, Manusia dan kebudayaan di Indonesia, Djambatan, 1990,h. 296. 91Pura kawitan/pedharman yang ada di Bali merupakan tempat pemujaan bagi meraka yang berasal dari satu keturunan (kesatuan-kesatuan keturunan) yang di Bali lazim disebut warga atau soroh, seperti soroh Brahmana, Ksatria, Arya (Vaisia), Pasek, Pande, PuIasan', Sangging, Bujangga Wesnawa, Batugaing dan Iain-Iain. Lihat Ktut Soebandi, Pum Kawitan/Padharman dan Panyungsungan Jagat, Guna Agung, Denpasar, 1981.

merupakan orang-orang yang masih mempunyai hubungan keluarga garis kepurusa. Sebaliknya, jika dua keluarga sudah menghormati memuja sanggah yang berlainan, menjadi petunjuk bahwa tidak ada (1agi) hubungan keluarga kepurusa antara dua keluarga itu. Hal ini yang dulu dipakai pedoman oleh Pengadilan (Raad Kerta) dalam memutus perkara, seperti dapat diljhat dalam Keputusan Raad Kerta Singaraja tangga 2O November 1938 Nomor 18/Civ10. Penting juga disebutkan disini bahwa klan dalam rnasyarakat Bali erat hubungannya dengan soroh yang mengarah kepada sistem kasta atau wangsa yang pada masa lalu sangat mempengaruhi hukum adat di Bali seperti missal tercermin dari larangan-larangan perkawinan antara wangsa yang disebut asupundung dan anglangkahi karangulu. Larangan-larangan perkawinan demikian, dahulu pada jaman kerajaan diancam dengan hukuman mati bagi pelanggarnya selanjutnya seiring dengan perkembangan jaman ancaman hukumannya semakin lunak dan akhirnya pada tahun 1951 dihapuskan samasekali sebagaii larangan perkarwinan93. Sebagairnana diketahui, masyarakat Bali terbagi atas empat kasta atau wangsa94 atau soroh dengan sub-sub wangsa dan gelar rnasing-masing. Empat kasta tersebut adalah Brahmana, Ksatria, dan Sudra. Tiga kasta

10

Lihat Gde Panetja, op. cit, h.43. b

93 Asupundung adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan berkasta Brahmana dan ksatria dalem, sedangkan anglangkahi karangulu adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan dari wangsa yang lebih tinggi, kecuali brahma dan ksatria dalem. Pelanggan terhadap larangan perkwinan tersebut dimasa Ialu diancam hukuman mati. Tahun 1951 melalui Peraturan Gubemur Kepala Daerah Bali, larangan tersebut dihapus. Lihat Gde Panetja, op.cit., h.22. 94 Ketut Vwana dan Raka Santeri menyatakan bahwa dalam kenyataannya hanya ada liga wangsa di Bali yaitu golongan pertama yang dikatakan berasal dari keturunan Danghyang Dwijendra dan Danghyang Astapaka yang sekarang dikenal sebagai golongan Brahmana Wangsa. Yang kedua adalah golongan Ksatria Wanga yang berasal dari ketrurunan para ksatria yang berasal dari dan Majapahit .Go|ongan ketiga adalah golongan Jaba Wangsa, yaitu golongan yang pada jaman kerajaan berlempat tinggal di luar (jaba) jem, puri (tempat tinggal golongan Ksatria Wangsa) dan geria (tempat tinggal golongan Brahmana Wangsa). Dua penulis ini menyebutkan bahwa sistem kasta tidak dikenal dalam ajaran agama Hindu, yang dikenal adalah sistem catur warna, yang membagi masyarakat Hindu menjadi e'rnpat kelompok profesi secara pararel horizontal. Bagiamana sistem pelapisan sosial berdasarkan keturunan (kasta) yang di Bali lazim disebut wangsa itu terjadi, ha! itu dipandang sebagai akibat kesalahpahaman yang dimulai sejak pemerintahan Dalem di Bali pada abad ke XV. Mengenai hal ini dapat dibaca dalam buku Ketutwnana dan Raka Santeri, Kasta da/am Hindu Kesalahphaman Berabad-abad, Yayasan Dharma Naradha,1993.

yang disebut pertama lazim disebut golongan triwangsa atau menak, sedangkan kasta sudra lazim disebutt jaba. Sebagaimana dikutip oleh I Gde Panetja, membuat ikhtisar golongan triwangsa. Sebagai berikut.9511Kasta 1. 2. 3. 4. 5. Sub Kasta Kemenuh Manuaba Kenitan Mas Antapan Titel di muka namanya

Brahmana

y y y

Laki-laki: Ida atau ida Bagus Perempuan: Ida Ayu (Ida ayu) Ida Idewa, digunakan oleh Raja Klungkung yang bertahta dan putra-putranya dari istri padmi sedangkan dari istri penawing memakai title Cokordo. Putra dari Cokordo dari istri padmi juga memakai title Cokorda (untuk laki-laki) dan Cokorda Istri (perempuaan) sedangkan putra dari istri penawing memakai title I Dewa atau Anak Agung (laki-laki) atau I Dewa atau Anak Agung (laki-laki) atu I Dewa Ayu dan Anak Agung Istri (perempuan) Laki-laki : I Dewa Perempuan : Desak Laki-laki : Ngakan Perempuan : Desak Laki-laki : Bagus Perempuan : Ayu Laki-laki : Sang Perempuan : Sang Ayu Laki-laki : Gusti (tanpa I) Perempuan : Ni Gusti Ayu. Yang memegang kekuasaan memakai title I Gusti Agung begitu juga anak-anaknya laki-laki, sedangkan anak permpuannya memakai title Sagung

1.

Kesatria Dalem

Ksatria

2.

Pradewa

y y y y y y y y y y

3. 4. 5.

Pungakan Prabagus Prasangiang

1. Wesya

Arya (Wesya Utama)

2. 3.

Gusti (Jajaran) Gusti

y y y y

Laki-laki : Gusti (tanpa I) Perempuan : Gusti Ayu (sayu) Laki-laki : Gusi Perempuan : Ni Luh (Si luh)

Perkawinan a. Pengeltian perkawinan Dalam masyarakat Bali, perkawinan dikenal dengan istilah pawiwahan, nganten, makerab kambe, pewarangan, dan lain-lain.11

I Gede Panetja, op.cit.h.32-37.

Perkataan kawin sendiri dalam bahasa sehari-hari lebih umum disebut nganten dan makerab kambe, yang hakekatnya sama dengan perkawinan sebagaimana diatur dalam undang-undang perkawinan. Di dalam awig-awig desa pakraman, umumnya perkawinan (pawiwahan) didefinisikan sebagai ...patemoning purusa kelawan pradana, melarapan antuk penunggahan kayun suka cita, kadulurin upasaksi sekala niskala. Konsep sekala-niskala merupakan konsepsi yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Bali yang relegius, senantiasa menjaga keharmonisan hubungan antara dunia nyata (sekala) dan dunia gaib (niskala) dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk dalam perkawinan. Itulah sebabnya, pelaksanaan prkawinan tidak hanya menjadi urusan pribadi calon mempelai, keluarga dan masyarakat (banjar) melainkan juga berurusan dengan roh leluhur yang bersemayam di sanggah atau merajan, bhuta kala, dan Hyang Widhi. Pengertian demikian menunjukkan bahwa dalam alam pikiran orang Bali, perkawinan bukan semata-mata ikatan yang bersifat lahiriah semata, melainkan juga ikatan yang sifatnya rohaniah. Perkawinan bukan kontrak keperdataan yang cukup diselesaikan di Kantor Catatan Sipil semata, melainkan juga rnerupakan urusan keagamaan yang melibatkan betara betari (roh leluhur) yang bersemayam di sanggah/merajan. Alam pikiran demikian selaras dengan alam pikiran yang melandasi perkawinan menurut hukum nasional yang sekarang berlaku. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanap Yang Maha Esa (Pasal 1). . Gede Pudja dan Tjok Rai Sudharta mengemukakan bahwa perkawinan menurut umat Hindu adalah ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri dalam rangka mengatur hubungan seks yang layak guna rnendapatkan keturunan anak dalam rangka menyelamatkan arwah orang tuanya. Sesudah melangsungkan perkawinan pasangan suami istri ini disebut alakirabi, masomahan, atau makurenan. Kuren, somah, rabi, dapat berarti suami atau istri. Suami disebut juga raka dan istri biasanya

b. Bentuk perkawinan Dalam masyarakat Bali dikenal dua bentuk perkawinan yang sangat menentukan kedudukan suami-istri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu di dalam keluarga dan pewarisan. Dua bentuk perkawinan itu adalah: 1. Perkawinan biasa (dikenal dengan nganten biasa). Sesuai namanya, dalam hal ini pihak wanita meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga suaminya. Keseluruhan aktivitas perkawinan, menjadi tanggung jawab keluarga laki-laki. 2. Perkawinan nyentana atau nyeburin. Sebaliknya dari perkawinan biasa, dalam bentuk perkawinan nyeburin pihak laki-laki yang meawak luh (brstatus seperti wanita atau predana) dan meninggalkan keluarganya untuk masuk mnjadi anggota keluarga istrinya yang meawak muani (berstatus sebagai laki-laki atau purusa) dan tetap bertempat tinggal dalam keluarganya pada saat perkawinan di1angsungkan97. Wanita yang dikawini secara nyeburin berstatus sebagai sentana rajeg, yang melanjutkan keturunan keluarganya. c. Cara perkawinan Urnumnya perkawinan dilaksanakan dengan memilih salah satu diantara dua cara melangsungkan perkawinan, yaitu: (1) Perkawinan memadik (meminang), (2) Perkawinan ngerorod (lari bersama).98 Salah satu fase penting yang harus dilewati sebelum me

masuki jenjang perkawinan disebut magelanan (berpacaran atau bertunangan). Gelan artinya, pacar atau tunangan. Apabila proses magelanan (berpacaran) berjalan mulus, akan dipilih perkawinan dengan cara memadik (meminang). Sebaliknya, apabila proses magelanan berjalan kurang mulus (dua sejoli saling mencintai, tetapi hubungan mereka tidak direstui oleh orang tua salah satu pihak), maka mereka akan melangsungkan perkawinan dengan cara ngerorod (lari bersama). d. Persyaratan perkawinan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan beberapa syarat agar perkawinan dapat dilangsungkan. Syarat-syarat tersebut adalah12: (1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (Pasal 6 ayat 1) untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belurn mencapai umur 21 (dua puluh satu) harus mendapat ijin kedua orang tua (Pasal 6 ayat 2). (2) Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun, kecuali ada dispensasi dari Pengadilan (Pasal 7). (3) Perkawinan tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan. Perkawinan dilarang antara dua orang yang: a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas. b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c. berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan

12

jaman dulu dikenal adanya perkawinan kajangkepan/adung-adungan (dalam hal ini proses perkawinan tidak didahului dengan magelanan atau pacaran. Bahkan ada kalanya mereka baru kenal beberapa saat menjelang perkawinan. Dalam hal ini perkawinan dilangsungkan atas kehendak orang tua). Selain itu ada juga perkawinan melegandang (dalam hal ini seorang wanita diculik dan kemudian diajak kawan). Kedua cara melangsungkan perkawinan ini sekarang tidak dikenal lagi. Bahkan perkawinan ngarorod-pun mulai jarang dipilih. Umumnya pasangan pengantin memilih perkawinan dengan cara memadik (meminang).

ibu/bapak tiri. d. berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. f. yang rnempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin (4) Poligami dilarang, kecuali sudah mendapat ijin dari Pengadilan. Karena Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku secara nasional, maka persyaratanpersyaratan perkawinan di atas berlaku pula bagi perkawinan orang Bali Hindu. Dari persyaratan-persyaratan di atas, persyaratan pertama dan ke dua dapat disimpangi apabila hukum agarnanya menentukan lain (Pasal 6 ayat 6). Penyimpangan inilah yang masih melegalkan adanya perkawinan lari bersama berdasarkan persetujuan kedua calon mempelai (ngerorod) karena menurut adat dan agama Hindu, cara perkawinan ngerorod masih diakui eksistensinya 13. Selain syarat-syarat di atas, bagi umat Hindu harus diperhatikan pula syarat menurut agama, yaitu bahwa kedua calon mempelai adalah beragama Hindu. Apabila salah satu atau keduaduanya belum beragama Hindu, maka terlebih dahulu calon mempelai di sudhi-kan (sudhi wadani), suatu upacara keagamaan meresmikan seseorang memeluk agama Hindu14 Menurut undang-undang yang berlaku, akibat hukum apabila persyaratan perkawinan di atas tidak dipenuhi adalah bahwa perkawinan itu dapat dicegah atau dapat dibatalkan. Pihak-pihakyang dapat mencegah atau membatalkan perkawinan telah ditentukan dengan tegas oleh undangundang.

13

I Ketut Sudantra, 2000. "Hukum Perkawinan Bagi Umat Hindu di Bali", Bahan Penyuluhan, dalam Pembinaan/Pembentukan Calon Desa/Kelurahan Sadar Hukum Kabupaten Badung di Desa Persiapan Tibubeneng, Kecamatan Kuta, tanggal 6-10 Juni 2000 (selanjulnya disebut I Ketut Sudantra I), h.18. I Gede Pudja, 1975. Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu (Didasarkan Manusmriti).Jakarta: Mayasari. Lihat pula Natih,Ketut N.1990.Pembinaan Perkawinan Agama Hindu.Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, h. 24.

14

e. Sahnya perkawinan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan tegas menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dengan dernikian, bagi umat Hindu perkawinan harus disahkan menurut ketentuan hukum Hindu. Tatacara pengesahan perkawinan bagi umat Hindu di Indonesia tidaklah seragam karena sangat diwarnai oleh budaya setempat. Demikian pula tatacara pengesahan perkawinan bagi umat Hindu di Bali juga bervariasi yaitu sangat dipengaruhi oleh lokacara dan desa dresta. Menurut Keputusan-keputusan dan Ketetapan-ketetapan Parisada Hindu Dharma15 sahnya perkawinan ditentukan oleh adanya panyangaskara dengan bhuta saksi dan dewa saksi serta adanya penyaksi (saksi) dari prajuru adat (kepala adat) sebagai unsur dari manusa saksi. Inilah yang sering disebut sebagai tri upasaksi dalam upacara perkawinan (samskara wiwaha). Terlepas dari variasi-variasi yang mungkin ditemukan, secara umum dapat dikatakan bahwa pelaksanaan perkawinan bukanlah seuatu yang instan (sekali jadi), melainkan suatu proses yang meliputi rangkaian upacara adat dan keagarnaan. I Gusti Ketut Kaler16 menyebutkan bahwa secara umum pelaksanaan perkawinan maliputi upacara pendahuluan, upacara pokok dan upacara lanjutan. Upacara pendahuluan bertujuan untuk menghilangkan sebel kendel kedua rnempelai sehingga cukup suci untuk keluar rumah, memasuki merajan, dan sebagainya. Upacara ini meliputi byakala kecil disaat mempelai wanita baru diambil dari rumah orang tuanya. Setelah upacara pendahuluan tadi dilalui barulah dilanjutkan dengan upacara pokok. Upacara pokok rneliputi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Hadirnya wakil dari masyarakat, dalarn hal ini prajuru adat (kepala adat) yang menyaksikan upacara perkawinan tersebut. Sudah menjadi tradisi pula, disamping prajuru adat ikut pula

15

Parisada Hindhu Dharma Indonesia Kabupaten Badung.1986.Keputusan Pemuhan Sulinggih dan Walaka se Kabupaten Badung. Kaler, I Gusti Ketut. Tanpa tahun. Cudamani Pawiwahan/Perkawinan dalam Masyarakat Hindu di BaIi. Tanpa nama dan alamat penerbit.

16

sebagai saksi dalam upacara perkawinan tersebut adalah adalah prajuru dines, dalam hal ini kepala dusun atau kepala lingkungan, disarnping keluarga-keluarga terdekat mernpelai pria. Hal ini merupakan unsur manusa saksi. 2. Diayabnya banten byakala atau pekala-kalan atau_pedengen-dengenan oleh yang bersangkutan selaku sarana penyucian. Hal ini adalah unsur bhura saksi. 3. Adanya sesajen yang dihaturkan ke Surya dan Pemerajan sembahyangnya kedua mempelai kehadapan Hyang Widhi dan Batara Betari, Hal ini merupakan unsur dewa saksi. 4. Diayabnya banten sesayut oleh kedua mempelai scbagai upaya untuk mengikatkan kedua mempelai menjadi suami istri (ardan aswari). Rangkaian upacara pokok ,dilaksanakan di rumah keluarga mempelai laki-laki atau rnempelai yang berstatus purusa serta dipimpin oleh rohaniawan yang memenuhi syarat. Upacara ini dapat dipandang sebagai upacara pemuput, yang secara luas dikenal dlam masyarakat dengan istilahistilah yang bervariasi pula seperti pesakapan, mabyakala, byakaon, pekala-kalan, pedengendengenan, dan lain-lain, walaupun rnasih diragukan ketepatan penggunaan isti1ah istilah tersebut untuk mernaknai rangkaian upacara tersebut. Upacara lanjutan, yang juga disebut dengan istilah-istilah yang bervariasi sepcrti mejauman, meaba-abaan, ngaba tipat bantal, ngaba jaja, dan lain-lain bertujuan untuk meningkatkan nilai kesucian dan nilai kesusilaan hubungan perbesanan. Upacara ini berupa pulangnya kedua mempelai kerumah orang tua mempelai wanita dengan membawa gagapan (berupa sesajen) yang kemudian dipersembahkan disanggah atau merajan orang tua mempelai wanita. Pada saat itu rnempelai mohon doa restu dan mepamit (rnohon diri) kepada leluhurnya. Secara hukum, upacara ini dapat dimaknai sebagai upaya magis untuk melepaskan hubungan hukurn kekeluargaan mempelai wanita dengan kluarga asalnya (termasuk roh leluhumya), sehingga hak dan kewajiban dirurnah asalnya tidak ada lagi. Berhubung proses pelaksanaan perkawinan merupakan rangkaian upacara yang mungkin saja tidak selesai dalam waktu yang

bersamaan bahkan dapat berlangsung pada hari yang berbeda, atau mungkin juga baru selesai setelah beberapa bulan, tirnbul permasalahan hukum untuk menetapkan moment yang tepat yang menjadi unsur sahnya perkawinan. Tidak mungkin meletakkan unsur pengesahan perkawinan pada selesainya rangkaian proses di atas, karena hal itu dapat menimbulkan akibat hukum yang tidak menguntungkan bagi status suami istri dan menimbulkan akibat hukum yang berantai, mulai dari status anak yang lahir selama proses itu sampai kepada masalah pewarisan dikernudian hari. Karena itu tepatlah yurisiprudensi yang menyatakan bahwa perkawinan disebut sah sesudah kedua mernpelai melakukan upacara mabyakaon (mabyakala} Yurisprudensi tersebut adalah Keputusan RaadKertha Singaraja Nomor 290/ Crimineel, 14 April 1932 yang mempertimbangkan dalam putusannya bahwa selama mabyakaon belum dilakukan maka perkawinan belum dipandang sah. Pengadilan Negeri Denpasar dalam Keputusannya Nomor 602/ Pdt/ 1960 tangga 2 Juli 1960 menetapkan bahwa suatu perkawinan dianggap sah menurut Hukum Adat Bali apabila telah dilakukanpabyakaonan atau mabyakaon. Demikian pula keputusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 281/ Pdt/ 1966/ PTD tanggal 19 Oktober 1966. Walaupun secara hukum perkawinan telah sah dengan di1akukannya upacara byakala atau byakaon, undang-undang juga memetapkan bahwa perkawinan harus dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil untuk memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Perkawinan. Fungsi pencatatan perkawinan ini adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan sesorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surit keterangan, suatu akte resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. Pada awal pelaksanaan Undang-undang Perkawinan di Bali ditunjuk Camat sebagai pencatat perkawinan bagi umat Hindu (Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 61 /Kesra. H/ C/ 504/ 75, tanggal 29 September 1975), kemudian sejak tahun 1988 pencatatan perkawinan bagi umat Hindu di Bali dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

Bali Nomor 242 Tahun 1988 tanggal 9 Juni 1988). Menurut Pasal 10 jo Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, perkawinan dan pencatatan perkawinan harus dilakukan pada Kantor Catatan Sipil dihadapan Pegawai Pencatat dan dua orang saksi. Ketentuan demikian sulit dapat dilaksanakan pada masyarakat Hindu di Bali karena tempat upacara pengesahan perkawinan harus dilaksanakan di rumah keluarga rnempelai yang berstatus sebagai purusa (umumnya rnernpelai pria) Penetapan waktu upacara perkawinan bagi umat Hindu di Bali sangat ditentukan oleh ala ayuning dewasa (baik buruknya hari) sehingga Pegawai Pencatat Perkawinan yang ada di Kantor Catatan Sipil yang dari segi kuantitas tidak banyak kesulitan menghadiri upacara perkawinan yang mungkin sangat banyak terjadi pada hari tertentu yang dianggap dewasa ayu (hari baik) dan pada tempat yang tersebar pula. Menyadari kesulitan-kesulitan itu maka brdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 233 Tahun 1990 tertanggal 26 Mei 1990 ditunjuk Bendesa Adat/Kelian Adat sebagai Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan bagi Umat Hindu dan menunjuk Kepala Urusan Pemerintahan Kecamatan sebagai kordinator. Penunjukan prajuru adat, dalarn hal ini Bendesa Adat/Klian Adat sebagai Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan dapat dipandang sebagai langkah yang sangat tepat. Pertarna, dalam setiap pelaksanaan pengesahan perkawinan, sejak dulu prajuru adat selalu hadir untuk menyaksikan upacara tersebut. Kedua, sejak dulu pula prajuru adat selalu rnencatat perkawinan dari warganya dalam rangka menetapkan seseorang warga ngawitin ngeranjing makrama (mulainya seseorang secara resmi rnenjadi anggota desa adat yang disebut kerama desa) atau ngawitin tedun ngayah (mulainya seseorang menunaikan kewajiban kepada desa). Keturunan a. Sentana Memperhatikan pengertian perkawinan sesuai dengan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dapat diketahui bahwa perkawinan benujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi keluarga Bali, salah satu ukuran

keluarga yang bahagia adalah adanya anak sebagai penerus keturunan. Tujuan perkawinan dalam pandangan agama Hindu, selain makardi rahayu kayang riwekas (membentuk keluarga yang bahagia dan kekal), juga untuk mendapatkan keturunan Berdasarkan sistem kekeluargaan purusa, maka adanya keturunan laki-laki dalam keluarga sangatlah penting. Dalarn keluarga Bali, keturunan laki-lakilah yang berfungsi sebagai pelanjut keturunan. Anak laki-laki sebagai pelanjut keturunan ini disebut dengan istilah sentana17. Pentingnya nilai anak laki-laki dalam suatu keluarga sesuai dengan ajaran agama Hindu yang sering dikatakan menjiwai kehidupan masyarakat Bali termasuk dalarn pelaksanaan hukum adatnya. Dalam sastra agama (kitab agama) pentingnya nilai anak laki-laki antara lain dilukiskan dalam kitab Manawa Dharmaastra dan Kitab Mahabrata18. Dalam kedua kitab agama ini dengan jelas disebutkan pentingnya fungsi anak laki-laki tidak saja dalam kehidupan di dunia nyata (marcapada) ini, melainkan juga sangat penting fungsinya dalam alam kekekalan (suargaloka). Dalam pandangan masyarakat Bali, anak laki-laki memang mempunyai nilai penting dalam menjalankan kehidupan di dunia nyata, baik dalam kehidupan keluarga maupun kemasyarakatan. Pada anak laki-laki digantungkan harapan sebagai penerus gene

17

18

VE Kom, menyebut anak pelanjut keturunan itu dengan istilah sentana. VE Kom adalah seorang sarjana Belanda yang di sekitar tahun 1930-an menulis buku berbahasa Belanda tentang hukum adat Bali berjudul Het Adatrecht van Bali. Saiah satu bab dalam buku tersebut kemudian diterjemahkan dan diberikan catan-catatan oleh I Gde Wayan Pangkat dengan judul Hukum Adat Kekeluargaan di Bali. Mngenai pengertian sentana ini I Gde Wayan Pangkat dalam komentarnya terhadap tulisan VE Korn memberikan penjeiasan yang Iebih rinci terhadap istilah sentana, baik pengertian dari segi bahasa maupun dari segi konteksnya. Menurutnya, dari segi bahasa yang umurn digunakan, sentana berarti anak-anak keturunan, baik anak laki-laki maupun perempuan. Dalam pengertian khusus terutama dikaitkan dengan sistem kekeluargaan purusa, sentana diartikan sebagai anak pelanjut keturunan. Dalam hubungan ini kemudian muncul bentukan kata seperti sentana peperasan (anak angkat), sentana luh atau sentana rajeg yaitu anak perempuan yang ditingkatkan statusnya menjadi pelanjut keturunan (seperti anak laki-laki). Lihat VE Kom, op.cit. dan h.455, Dalam Kitab Manawa Dharmasastra disebutkan, Putrena lokanjayati pantrena anantyamsnute,atha. putrasya putrana bradhnasyapnotiwistapam" yang artinya melalui anak Iaki ia menundukkan dunia, melalui cucu Iaki ia mencapai kekekalan tetapi melalui anak dari cucunya ia mencapai alam matahari. Lihat I Gde Pudja dan Tjok Rai Sudharta, Manawa Dhannayastra (Manu Dharmagastra) atau Weda Smrti Compendium Hukum Hindu

rasi; memelihara dan memberi nafkah jika orang tuanya sudah tidak mampu; melaksanakan upacara agama (seperti: ngaben; dan lain-lain); serta selalu bhakti kepada leluhur yang bersemayam di sanggah atau merajan, dan menggantikan kedudukan bapaknya dalam rnasyarakat kalau anak tersebut sudah kawin (menjadi kerama banjar atau kerama dsa)19 Arti penting anak laki-laki bagi kehidupan seseorang di alam kekelalan (suargaloka) adalah berkaitan dengan kepercayaan bahwa proses seseorang untuk dapat mencapai alam sorga sangat ditentukan oleh adanya seorang cucu laki-laki. Dari seorang anak laki-laki diharapkan dilahirkan cucu laki-laki sebagai penerus keturunan yang selanjutnya akan mengantarkan roh leluhur ke alam sorga, I cucu nyupat i kaki, demikianlah kepercayaan masyarakat Hindu Bali, suatu kepercayaan yang dilandasi oleh ajaran Hindu; sebagaimana diceritrakan dalam mahacarita Mahabrata pada bagian Adipzirwa. Dalam kitab diceritrakan mengenai perternuan Sang Jaratkaru dengan atman (roh) ayahandanya yang brnama Sang Wiku Wara Bhrata di suarga loka (alam kekekalan). Dikisahkan pada saat itu Sang Jagatkaru menyaksikan atman ayahandanya dalam keadaan hampir terjatuh ke dalam kawah neraka. Atas pertanyaan Sang Jaratkaru, sang menjelaskan bahwa 'ia rnengalami keadaan seperti itu karena anaknya berketetapan hati untuk tidak beristn (nyukla brahmacari) sehingga didunia nyata ia tidak mempunyai pelanjut keturunan. Menyaksikan keadaan atma ayahandanya itu, Sang Jagatkaru kernudian menggakhiri kehidupan brahmacari dan mengambil istri. Setelah perkawinannya itu melahirkan seorang putra yang bernama Sang Astika, barulah atman Sang Wiku Wara Bhrata terlepas dari marabahaye; jatuh ke kawah candra dimuka20. Ajaran yang ditulis dalarn kisah Mahabtara tersebut sama maknanya dengan bunyi ploka 138 buku IX Kitab

Manawadharmacastra yang menyatakan bahwa: Pumnamo narakadyas mattraya te pitaram su

19 20

Peneliti FH Unud, Hukum Adat Bali (Laporari Penelitian), 1991:45. Lihat Ida Bagus Ngurah Adhi Perkawinan Nyebur Menurut Adaat Bali

tah, tasmatputra itiproktah swayamewa swayambhu wa yang artinya: Karena anak laki akan mengantar Pitara dari neraka yang disebut Put, karena itu ia disebut Putra dengan kelahirannya10721 Kedudukan anak laki-laki seperti disebutkan di atas berbeda dengan kedudukan anak perempuan, baik deha (gadis) maupun deha tua (perawan tua, wanita yang tidak kawin sampai tua). Terhadap anak perempuan tidak digantungkan harapan-harapan ataupun tanggungjawab sebagaimana tanggung jawab anak laki-laki seperti diuraikan di atas, sebab seorang anak perempuan sesuai kodratnya suatu saat akan kawin. Prinsip dalam pcrkawinan purusa, adalah dengan perkawinan itu seorang anak perempuan akap -mengikuti suami dan secara hukum putus hubungannya dengan orang tua kandung dan sanak saudara dari keluarga asalnya. Tetapi bagaimana kalau dalam suatu keluarga tidak mernpunyai anak laki-laki sebagai pelanjut kturunan? Hal akan menimbulkan suatu keadaan yang disebut ceput atau putung108 suatu keadaan dimana suatu keiuarga (dinasti) tidak mempunyai pelanjut keturunan. Di masa kerajaan Bali, seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan keturunan (ahli waris) maka raja yang bertanggungjawab terhadap jenazah orang109

itu dan mengambil warisan yang . Untuk mnghindari keturunan tidak

ditinggalkannya berdasarkan hak camput raja

mernpunyai keturunan), maka suatu keluarga dapat memanfaatkan lembaga yang disediakan oleh hukum adat yaitu lembaga pengangkatan, anak perempuan menjadi pelanjut keturunan (sentana rajeg) maupun dengan mengangkat anak orang lain menjadi anak angkat (sentana peperasan) melalui lembaga pengangkatan anak.

21

Lihat I Gede Pudja dan Tjok Rai Sudharta, op.cit. h. 566 VE Korn, op.cit.h.10 109 I Gede Panetja, op.cit.h.63108

di Bali, seperti Tabanan dan Badung, tetapi tidak dikenal pada beberapa daerah lain. seperti Buleleng dan Karangasem. Sentana rajeg mempunyai kedudukan yang sama dengan anak lakilaki, yaitu sebagai penerus keturunan dalam keluarga artinya keturunan atau ahli Waris111 22

. Secara harpiah sentana atau santana

, sedangkan rajeg berarti: tegak, (nge)rajegang artinya

meneguhkan atau menegakkanl12. Dalam konsep hukum adat Ba1i, sentana rajeg berarti anak perempuan yang karahajegang sentana yaitu ditegakkan atau dikukuhkan statusnya menjadi purusa atau penerus keturunan sehingga berstatus sebagai ahli waris. Pengangkatan status anak perempuan menjadi anak pelanjut keturunan dibenarkan oleh hukum Hindu. Dalam Kitab Manawa Dharmacastra disebutkan mengenai anak wanita yang ditegakkan sebagai penerus keturunan ini dengan sebutan putrika. Cloka 127 buku IX menyebutkan, Aputro nena widhine sutam kurwiraputrikani, yadpamzfn bhawedasyam tanmama syatswadhakara , yang artinya: Ia yang tidak mempunyai anak laki dgpat menjaidikan anaknya yang perempuan menjadi demikian menurut acara penunjukan anak wanita dcngan mcngatakan kepada suaminya, anak laki yang lahir dari padanya akan melakukan upacara penguburan saya1 13. C. Sentana paperasan (anak angkat) Cara lain untuk menghindari keputungan adalah dengan pengangkatan anak, yaitu mcngangkat anak orang lain sebagai pelanjut

22

Anggapan bhwa anak perempuan yang berstalus sentana rajeg itu menjadi seperti laki-Iaki dalarn segala hal adalah sualu anggapan yang keliru. Misalnya, apakah seorang sentana mjeg yang sudah kawin kacebunh berstatus sebagai kepala keluarga dalam rumah tangga selanjutnya melaksanakan kewajiban-kewajiban kemasyarakatan sebagai kepala rumah tangga, tidaklah demikian adanya. Walaupun dalam catatan krama desa, bisajadi disebutkan nama sentana rajeg itu , tetapi dalam melaksanakan ayahan Ianang/ayahan muani (kewajiban anggota desa laki-laki) terhadap desa, terrnasuk menghadiri sangkepan (rapat desa) adalah boleh berpoligami sebagaimana bisa dilakukan oleh laki-laki.

111

Lihat Sn' Reshi Anandakusuma, Kamus Bahasa Ba/i,CV Kayumas, Dernpasar, 1986,h.169. J Kersten S.V.D, Bahasa Bali, Nusa lndah, Ende Flores, 1984, h.530 J Kersten SVD,1984, Bahasa Bali, Ende-Flores, Nusa Indah,h.482. Gde Pudja dan Tjok Rai Sudharta,1978, Manawa Dharmagastra (Manu Dharmagrastra) atau Weda Smerti Compendium Hukum Hindu,Departemen Agama RI, h. 562.

112 113

keturunan. Berbeda dengan penetapan anak perempuan menjadi sentana rajeg, pengangkatan anak orang lain menjadi anak angkat haruslah dilakukan melalui suatu upaya hulmm khusus, yang disebut pengangkatan anak Beberapa istilah lokal untuk menyebut pengangkatan zinak adalaht ngidih_pianak, nyentanayang, ngedeng atau ngangge pianak, angkat anak. dan Sedangkan anak yang diangkat ituu disebut sentana, anak ban ngidih, anak sumendi, dan smtana peperasan 114 . Seperti sempat disinggung di atas, motif utama pengangkatan anak dalam masyarakat Bali adalah untuk mendapatkan anak sebaagai pelanjut keturunan. Selain itu, diternukan pula motif sebagai penuntun lahirnya anak kandung, penyelamatan status anak luar kawiil dan motif untuk rnenggantikan kewajiban kemasyarakatan (ayahan) didesa/banjar. Motif terakhir ini misalnya dapat dilihat pada pengangkatan adik kandung (laki-laki maupun prempuan) sebagai anak angkat oleh seorang kakak yang tidak mernpunyai anak yang semata-mata tujuannya adalah apabila si adik kandung sudah kawin, dalam rumah tangga tersebut hanya kena satu ayahan ke desa, karena sang adik yang berstatus sebagai anak angkat menggantikan kewajiban kemasyarakatan kakaknya yang statusnya berubah menjadi orang tua angkatnya. Pengangkatan anak barulah dapat dipandang sah dengafi akibat I akibat yng mendapat perlindungan hukum apabila telah dilakukan acara pengangkatan anak yang disebut pamerasarz atau Acara pemerasan mrupakan rangkaian perbuatan yang meliputi upacara-upacara keagamaan dengan memakai sajen-sajenl15 yang diseselenggarakan oleh seorang rohaniawan (pedanda, pemangku) dan disaksikan oleh pihak-pihak yang berwenang. Upacara ini biasanya dilakukan pada suatu hari yang dianggap baik (dewasa ayu) sesuai petunjuk rohaniawan yang muput (menyelesaikan dengan doa-doa) upacara tersebut, biasanya dicari paweton (hari 1ahir menurut wuku)23

23

Sesajen-sesajen yang diperlukan dalam pengangkafian anak bervariasi sesuai dengan petunjuk rohaniawan dan tukang banten (orang yang membuat sesajen), besar kecilnya (nista,madya utama) disesuaikan dengan kemampuan orang yang menyeienggarakan

anak tersebut. Upacara ini meliputi dua bagian, sehingga dalam literatur hukum adat pengangkatan anak digolongkan sebagai perbuatan hukum rangkap. Perbuatan pertama adalah upacara perpisahan (mepamit) dengan keluarga asal, orang tua, saudara kandung, sanak saudara dan roh leluhur yang bersemayam di sanggah/merajan keluarga asal. Perbuatan kedua adalah upacara rnemasukkan anak tersebut dilingkungan keluarga orang tua angkat sebagai keluarga barunya. Upacara pertama, berfungsi untuk melepaskan hubungan hukum anak tersebut dengan keluarga asal dan roh leluhurnya. Setelah itu dilanjutkan dengan sembah sujud dirumah keluarga orang tua angkat yang berfungsi untuk memasukkan anak angkat tersebut dalam lingkungan keluarga barunya, dengan demikian berarti anak tersebut telah mmpunyai hubungan hukum dengan keluarga barunya (orang tua angkat) itu. Upacara meperas merupakan syarat mutlak sahnya pengangkatan anak, sebagaimana dapat dilihat dari keputusan-keputusan Pengadilan sejak jaman Raad Kertha dahulu, walaupun ditemukan juga keputusan-keputusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya24. Rangkaian upacara pengangkatan anak biasanya dihadiri oleh sanak saudara satu klan (dadia) dan warga masyarakat (banjar), paling tidak dihadiri oleh pengurus desa (prajuru) yang berfungsi sebagai saksi terhadap peristiwa hukum itu dan pada gilirannya nanti akan mengumumkannya (siar) kepada masyarakat25. Kehadiran saksi dari masyarakat ini sering disebut sebagai salah satu bagian dari tri upasaksi (tiga saksi) yang harus ada dalam perbuatan pengangkatan anak, yaitu_dewa saksi (Saksi roh leluhur dewa dewi yang bersemayam disanggah /merajan), bhuta saksi (saksi dari mahluk gaib yang disebut bhuta) dan manusa saksi (saksi dari masyarakat luas yang dipersonifikasikan olch prajuru desa). Walaupun diakui bahwa siar rricrupakan hal penting karena berhubungan dengan status keanggotaan di

24

Misalnya, Keputusan Raad Kenha Singaraja Tanggal 21 Februari 1941 N0 13/Civiel dengan tegas menyatakan bahwa anak yang belum diperas belum sah menjadi seniana, meskipun ia dipelihara dari sejak kecil oleh orang yang memintanya. Sebaliknya, Keputusan Pengadilan yang menyatakan upacara meperas bukan syarat mutlak adalah Keputusan Raad Kertha Denpasar Tanggal 16 Maret 1937 Nomor 65/Civiel. Lihat I Gde Panetja, op. cit, h. 65-66. Bandingkan dengan VE Korn, op.cit., h. 21 dan 80

25

desa pekraman/banjar, tetapi secara hukum siar bukanlah syarat mutlak26. Selain upacara meperas dan siar, sejak dulu pengangkatan anak-anak sering dilakukan dengan pembuatan surat sentana, walaupun hal ini tidak merupakan syarat sahnya pengangkatan anak, melainkan semata-rnata berfungsi sebagai alat bukti bahwa telah terjadi pengangkatan anak. Pada masa sekarang ini pun adanya bukti-bukti tertulis mengenai pengangkatan anak ini lebih panting lagi, mengingat pentingnya alat bukti surat dalam setiap proses hukum. Menurut hukum yang sekarang berlaku, pengangkatan anak dilakukan dengan penetapan hakim. Dengan demikian permohonan pengangkatan anak diajukan kepada Pengadilan Negeri dalam daerah hukum dapa yang bersangkutan. Dengan sahnya pengangkatan anak tersebut maka timbul akibat hukum yang berkaitandengan hubungan-hubungan hukum kekeluargaan. Upacara mepamit secara hukum memutuskan hubungan anak tersebut dengan orangtua dan sanak saudara keluarga asalnya sehingga anak tersebut tidak lagi terikat dengan hak dan kewajibannya sebagai anak dalarn keluarga asalnya tersebut, termasuk dalam hubungan waris. Dengan upacara meperas maka antara anak tersebut dengan keluarga orang tua angkat timbul hubungan hukurn kekleuargaan yang sama seperti hubungan hukurn yang diakibatkan oleh hubungan darah, yaitu sama seperti anak kandung. Dalam proses pengangkatan anak, sangatlah penting dipenuhinya persyaratan-persyaratan dalam pengangkatan anak terutama persyaratan mengenai pihak yang mengangkat (orang tua angkat) dan anak yang diangkat (anak angkat). Persyataran-persyaratan tersebut adalah seperti uraian berikut ini. Persyaratan pihak yang mengangkat Orang yang dapat mengangkat anak, biasanya ada1ah laki-laki yang sudah kawin dan tidak mempunyai anak laki-laki. Demikian lah VE Korn memulai tulisannya mengenai persyaratan rnengenai

26

Lihat Korn, op.cit.,h.21. Bandingkan dengan I Gde Panetja, op.cit h.65.

siapa dan dalam keadaan bagaimana biasanya orang mengangkat anakl19. Berdasarkan logika, pernyataan bahwa orang tua angkat haruslah seorang laki-laki dapat diterima, jika diingat tujuan pengangkatan anak adalah untuk rnelanjutkan garis purusa (laki-laki) sedangkan perempuan pelanjut keturunan. Tetapi hendaklah ditafsirkan laki-laki dalam fungsinya sebagai pelanjut keturunan sehingga perempuan yang brstatus sentana rajeg harus dimasukkan dalam pengertian istilah disini. Laki-laki yang dapat mengangkat anak adalah 1aki-laki yang sudah kawin, secara logika juga dapat diterima karena hanya orang yang sudah kawin yang dapat mernpunyai anak. Demikian juga syarat belum mempunyai anak lelaki juga masuk akal mengingat tujuan pengangkatan anak dalgim tertib pumsajustru untuk mendapatkan anak laki-laki sebagai pclanjut keturunan. Tetapi seperti juga dicatat oleh Korn, kadang-kadang dijumpai juga pengangkatan anak oleh janda dan laki-laki ataupun perempuan bujangan. Tidak sedikit pula orang yang sudah mempunyai anak laki-laki juga mengangkat anak120. Berkaitan dengan hal di atas masalah yang sering mendapat perhatian orang adalah pengangkatan anak oleh janda dan pengangkatan anak oleh orang yang masih bujang. Mengenai janda mengangkat anak, tampaknya rnenurut hukum adat belum pasti benar hukumnya karena dalam berbagai keputusan Pengadilan terdapat pendirian yang berbeda-beda. Dengan demikian hal ini tergantung nanti kepada keyakinan hakim apabila kasus seperti ini diajukan kepada Pengadilan. Sampai saat ini ada dua pendapat yang berbeda dari pengadilan menganai hal ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa pengangkatan anak oleh janda dapat ditolerir jika pengangkatan anak itu dilakukan dengan tujuan untuk melanjutkan kcturunan suaminya, bahkan hal itu dapat dipandang sebagai kewajiban (swadharmading) janda tersebut terhadap suaminya. Pendapat demikian dikuatkan oleh Keputusan Pengadilan Negeri Denpasar untuk Daerah Gianyar Tanggal 18 November 195 3 N0

64/ Pdt dan juga Keputusan Pengadilan Negeri Denpasar Tanggal 6 Oktober 1953 Nomor 213/ Pdt. Sebelumnya Raad Kertha Singaraja juga mengijinkan janda mengangkat anak melalui Keputusan Tanggal 27 Juli 1950. Tetapi ada pendapat lain yang menyatakan bahwa janda tidak dapat mengangkat anak sebab janda bukanlah ahli waris terhadap harta peninggalan suaminya. Janda hanya berhak untuk menghasili harta warisan suaminya. Dengan anak seorang janda dapat mengalihkan harta warisan tersebut dari ahli yang sebenarnya, yaitu iparnya. Pendapat seperti ini dapat dilihat dan' Keputusan Pengadilan Negeri Singaraja Tanggal 25 Juli 1953 N0 54/ Pdt. Jauh sebelumnya, Raad Kertha Denpasar - juga mempunyai sikap yang sama dengan Keputusan Pengadilan Negeri Singaraja ini melalui Keputusan Raad Kertha Denpasar N0. 87/ Sipil tertanggal 3 Juni 11938121. Perbedaan pendapat juga terjadi dalam hal pengangkatan anak oleh orang yang belum kawin. Perbedaan pendapat ini diakui oleh I Gde Wayan Pangkat dalarn kornentarnya terhadap tulisan VE Korn. Menurut I Gde Wayan Pangkat sebagian masyarakat berpendapat bahwa orang yang belum kawin, boleh mengangkat anak sedangkan sebagian lain berpendapat hanya orang sudah kawin dapat mengangkat anak. Perbedaan pendapat ini antara lain dapat dilihat dari peristiwa yang dicatat oleh Gde Panetja. Peristiwanya terjadi di Kota Singaraja, seorang pemuda diangkat anak oleh bibinya dan tidak ada seorang anggota keluarga yang menaruh keberatan atas pengangkatan anak ini shingga persoalan ini tidak sampai ke Pengadilan. Dipihak lain Gde Panctja juga mencatat peristiwa dimana Pengadilan Negeri Singaraja menolak permohonan seorang deha tua (perawan tua) untuk mengangkat anak dengan alasan yang bersangkutan belum pernah kawin sehingga tidak ada keturunan27

.

27

I Gde Panetja, op. cit.,h. 67-69. Menurut Gde Panetja, keputusan-keputusan yang mendukung faham janda tidak boleh mengangkat anak tidak tepat mengingat tujuan pengangkatan anak itu sendiri. 122 VE Kom, op4ci2., h.70. 123 I Gde Panetja, op4cit.,h.7O

Jyktgykjtgykji Persyaratan anak yang diangkat . Disarnping persyaratan menyangkut orang yang mengangkat, penting juga diperhatikan persyaratan bagi anak yang diangkat. Siapa dan dari lingkungan mana sentana patut dipilih. Sebuah laporan penelitian Hukum Adat Ba1i 28 yang dilakukan pada tahun 1981 menyebutkan bahwa anak angkat harus dicari dari lingkungan keluarga terdekat dari garis purusa, yang merupakan pasidikara29. Apabila tidak ada anak dari garis purusa, maka dapat dicari dari keluarga menurut garis pradana (garis ibu). Apabila tidak ada dari keluarga menurut garis purusa maupun pradana, maka dapat di dari keluarga lain, bahkan yang tidak ada hubungan keluarga L (sekama-kama). Tidak ada penjelasan apakah- anak yang dimaksud tersebut anak laki-laki saja yang dapat diangkat atau termasuk anak perempuan. Pada masa Raacl Kcrtha dahulu, keharusan mengangkat sentana dari graris purusa berlaku di daerah Buleleng, Jembrana, Klungkung dan pada umumnya daerah-daerah lain di Bali, kecuali di daerah Tabanan dan Badung. Di dua daerah tersebut terakhir ini terdapat kekecualian terhadap azas umum di atas, sedangkan pada darah-daerah yang tersebut pertama sudah menjadi ymisprudensi tetap dari Raad Kertha bahwa yang diangkat itu harus orang laki-laki yang termasuk golongan keluarga kepurusa paling dekat dengan pengangkat. Di daerah Badung sudah sejak dulu diperbolehkan mengangkat anak lelaki atau perempuan dari keluarga pancer perempuan (pradana) bahkan diperbolehkan dan' orang yang tidak termasuk keluarga sekalipun. Sedangkan di daerah Tabanan, semula terdapat pendirian yang ketat seperti yang berlaku di daerah Buleleng, tetapi belakangan timbul kecendrungan untuk menuruti

Team Peneliti F H Unud, Hukum Ada! Bali (Laporan Penelitian), Kerjasama F H Unud dengan BPHN DeparlemenKehakiman RI, 1981, h. 49 29 Pasidikara berasal dari k~ata sidikara yang dalam kamus berarrti bergaul akrao, selalufolong menolong, pinjam merninjam. Lihat J Kersten, Ada tiga golongan pasidikara, yaitu waris (mempunyai hubungan saling waris mewarisi), pasidikara sumbah (rnempunyai hubungan dapat saling menyembah Ieluhur, saling dapat rhmikul jenasah) dan pasidikara idih pakidih (hubungan yang akrab, masing-masing dapat meminta dari yang lain, termasuk dalam hal perkawinan)

28

kelonggaran pilihan pengangkatan sentana sebagaimana berlaku di daerah Badung126. Tampaknya keputusan-keputusan Raad Kertha yang mengharuskan rnengangkat anak dari garis purusa tersebut mendapat pengaruh kuat dari Paswara Residen Bali dan Lombok tanggal 13 Okmber 1900. Paswara ini semula berlaku hanya untuk daerah Buleleng dan Jembrana saja, tetapi ketika dalam tahun 1915 juga diberlakukan untuk daerah Bali Selatan ternyata didaerah ini peswara tersebut tidak dihiraukan. Pasal I 1 dan' Paswara tersebut rnenyatakan bahwa seseorang boleh mengangkat anak dari keluarga purusa terdekat dan paling jauh derajat ke delapan (Bali: mingtelu). Boleh menyimpang dari ketentuan ini jika ada persetujuan keluarga lebih dekat dari calon prtama itu atau dengan izin pemerintah. Peswara ini juga melarang mengangkat anak dari orang dengan siapa si pengangkat pernah berperkara yang diselesaikan dengan surnpah137 Mengenai batas umu'r anak yang diangkat sccara umum tidak ada batasan adat yang tegas. Hasil penelitian tahun 1981 hanya memberikan kreteria yang masih sangat umum yaitu bahwa anak yang diangkat haruslah anak yang belum dewasa dan usianya lebih muda dari pada yang mengangkat128. Ukuran dewasa pun menurut hukum adat di Bali tidak begitu jelas karena berbeda setempat demi setempat. Memang ada yang mengatakan, misalnya dikatakan olehI17

Selengkapnya bunyi Pasal 11 Paswara Residen Bali dan Lombok 1900 sepeni diterjemahkan oleh30

I Gde Wayan Pangkat, menyebutkan sebagai berikut: (1) Apabila seseorang tergolong dalam kasta manapun juga yang tidak mempunyai anak lelaki, berkehendak mengangkat seorang anak, maka dia harus menjatuhkan pilihan atas seseorang dari keluarga yang terdekat dalam keturunan/pancar lelaki sampai derajat kedelapan. " (2) Dibolehkan menyimpang dari peraturan di atas ini dengan ijin sejelas-jelasnya dari ang gota-anggota keluarga yang lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan anak yang ingin dijadikan sentana dibandingkan dengan mereka yang melakukan pengangkatan itu atau setelah mendapat ijin dari pemerintah apabila pemerintah berpendapat bahwa cukup terdapat alasan untuk menyiompang dari peraturan seperti disebutkan dalam ayat 1. (3) Apabila tidak terdapat anggota-anggota keluargha Ielaki yang sedarah sampai derajat tersebut di atas, maka pilihannya adalah bebas dengan pengertian bahwa baik di dalam hal penama maupun di dalam hal kedua seseorang tidak boleh diangkat menjadi anak sentana dengan siapa orang itu petnah berperkara yang diseiesaikan dengan pengangkatan sumpah. . 127 Team FH Unud, op.cit., h.49.

30

De Kat Angelino seperti dikutip oleh VE Korn, bahwa kitab-kitab hukum agama menentukan bahwa anak yang diangkat harus anak yang belum mengalami pergantian gigi, tapi hal ini belum jelas sumbernya. Dahulu, memang pernah menetapkan bahwa anak yang diangkat tidak boleh berumur lebih dari tiga bulan Bali31, tetapi peraturan ini tidak pernah ditaati, sehingga tidak dapat disimpulkan seperti itulah hukum adat yang berlaku. Mengingat sima (adat setempat) yang sangat bervariasi, mungkin saja desa-desa pakraman (kesatuan masyarakat adat) di Bali mempunyai aturan tertentu mengenai hal ini, tetapi hal itu tidak bisa dikatakan berlaku sebagai hukurn adat yang berlaku umum di Bali. Misalnya, menurut penelitian VE Korn, di Desa Bugbung, satu desa di Kabupaten Karangasem, seorang anak sentana tidak boleh berumur lebih dari tiga bulan bali, dimana upacara pengesahan pengangkatan anak tersbut dilakukan pada saat anak tersebut berumur tiga bulan. Demikian, hukum adat tidak memberikan batasan yang pasti mengenai batas umur anak yang diangkat. Bahkan dibeberapa tempat dijumpai seorang yang sudah kawin dan juga sudah punya anak diangkat menjadi anak angkat. Dalam hal anak angkat tersebut sudah punya anak rnaka pada saat pengangkatan si ayah tersebut harus dinyatakan secara tersendiri dan tegas bahwa juga anak-anaknya diangkat secara sah32 d. Bebinjat, astra (anak luar kawin) Dalam keadaan normal, seorang anak mempunyai hubungan hukum dengan kedua orang tuanya, artinya seorang anak mempunyai hak dan kewajiban bertimbal balik dengan kedua orang tuanya. Orang tua wajib memelihara anaknya sampai dewasa, dernikian sebaliknya seorang anak wajib rnernelihara kedua orang tuanya ketika orang tuanya sudah tidak mampu lagi. Tetapi anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah antara kedua orang tuanya (anak luar

31

Satu bulan bali sama dengan tiga puluh Iima hari kalender masehi. Dalam tiga bulan bali, seorang anak Bali akan diupacarai yang disebut nelubulanin atau nigangsasihin. VE Korn,op.cit., h. 17.

32

kawin) hanya hubungan hukurn dengan ibunya saja. Demikian undang-undang mengaturnya. Hukum adat Bali mengkualifikasikan status anak, dalam dua golongan, yaitu anak sah dan anak tidak sah. Anak kandung yang lahir dari perkawinan yang sah maupun anak angkat, laki-laki ataupun perempuan, dikualifkasikan sebagai anak sah. Anak sah mempunyai hubungan hukum dengan kedua orang tuanya. Dalam masyarakat Bali anak yang lahir di luar perkawinan yang sah lazim disebut bebinjat dan astra. VE Korn mengaburkan pengertian bebinjat dan astra, yaitu dengan rnenyamakan pengertian keduanya. Menumt I Gde Wayan Pangkat131,anak astra tidak sama dengan anak bebinjat. Anak bebinjat adalah anak yang ayah biologisnya sama sekali tidak diketahui, sedangkan anak astra adalah anak yang ayah biologisnya diketahui, tetapi anak itu telah lahir sebelum upacara perkawinan dilaksanakan. Apabila si ayah kemudian mengawini ibunya sebagaimana mestinya, maka si anak dapat berstatus sebagai anak sah. Apabila si ayah tidak mengawini ibunya dengan sebagaimana mestinya, maka anak tersebut tetap berstatus sebagai astra. Umumnya seorang anak mempunyai hubungan hukum dengan kedua orang tuanya. Keadaan ini tidak berlaku bagi anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya saja, sedangkan dengan bapak biologisnya anak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum.33

b. Putusnya hubungan antara anak dengan orang tua Hubungan hukurn antara anak dan orang tua berisi hak dan kewajiban yang bertimbal balik. Orang tua wajib memelihara anaknya sampai anaknya dewasa, rnelakukan upacara-upacara keagamaan yang berkaitan dengan-pertumbuhan usia anak (nelubulanin, otonan, dan lain-lain) mengawinkan anaknya, dan seterusnya. Sebaliknya seorang anak wajib melaksanakan swadharmaning sentana yaitu mengikuti nasehat yang baik dari orang tuanya, memelihara orang tuanya ketika orang tuanya sudah tidak mampu lagi, menguburkan

33

VE Korn, op.cit. ,h.9 dan 57

atau mengadakan upacara pembakaran jenazah orang tuanya (ngaben) dan selanjutnya menyemayarnkan serta menyembah roh orang tuanya dan leluhurnya disanggah/merajan. Sebagai timbal balik atas kewajiban-kewajibannya itu maka seorang anak berhak atas harta peninggalan orang tuanya. Hubungan hukurn antara orang tua dengan seorang anak putus apabila anak tersebut diangkat anak oleh orang lain ataupun kawin keluar, anak perempuan kawin mcninggalkan orang tuanya atau anak laki-laki yang kawin nyeburin. Disamping karena perbu.atau perbuatan hukum itu, hubungan antara orang tua dan anak juga dapat diputuskan atas dasar alas an yang gawat bahwa seorang anak tidak melaksanakan swadhdrmaning sentana, seperti disebutkan di atas. Menurut I Gde Panetja pemecatan anak kandung tidak terjadi sebaliknya pemecatan anak angkat lebih sering terj adi karena daripada a1asan-alasan yang dapat digunakan untuk memecat anak angkat. Pemutusan hubungan itu dilakukan dengan pemecatan anak yang dalarn bahdsa Bali disebut pegat mapianak. Menurut VE Korn pemutusan hubungan hukum tersebut dilakukan dengan upacara pemecatan, yakni sarna dengan upacara di dalam perceraian, misalnya menyebarkan bcras kuning, dan mematahkan uang kepeng. Pernecatan anak ini kernudian dilaporkan kepada parnong atau prajuru dsa/banjar dan Kepala Desam. Tidak dijelaskan oleh Korn, mengenai pihak-pihak yang berhak melakukan pemecatan. Tetapi secara logika dapat dimengerti bah_wa hanyalah orang tua yang berhak rnelakukan pemecatan anak, bukan pihak-pihak lainnya. Seperti halnya perceraian, karena pemecatan anak merupakan pemutusan hubungan keluarga yang mempunyai konskuensi yang luas terutama dibidang waris maka pemutusan hubungan itu haruslah dilakukan berdasarkan keputusan hakirn. Hakim harus ekstra hatihati dailam memberikan keputusan mengenai hal ini, mengingat luasnya konskuensi pemecatan anak terhadap nasib anak tersebut dikemuadian hari.

harta tersebut maka harus berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah kekuasaan masing-masing suami atau istri tersebut kecuali para pihak rnenentukan lain. Dengan demikian terhadap harta bawaan ini suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk rnelakukan perbuatan hulqlm mengenai hana bendanya itu. Perceraian a. Perceraian diatur oleh undang-undang Perkawinan dapat putus baik karena kematian salah satu pihak atau karena perceraian. Perceraian dalarn masyarakat Bali, khususnya dalam awig-awig desa adat lazim disebut nyapian atau palas perabian, sementara sehari-hari sering disebut palas saja. Apabila perkawinan putus karena kematian suami, istri akan tetap tinggal dalam lingkungan keluarga suami dengan status sebagai balu (janda) dan tetap melaksanakan swadharmaning balu135. Hal ini konsisten dengan prinsip yang dianut dalam sistem kekeluargaan kepurusa yaitu dengan perkawinan seorang istri sudah menjadi bagian dari keluarga suami. Masalah perceraian sudah diatur secara nasional melalui Undang~undang Perkawinan. Undang-undang ini menganut prinsip mempersukar perceraian. Selain menentukan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri, Undang-undang Perkawinan juga menentukan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 39). Dengan demikian, walaupun proses pcrceraian menurut34

34

Di daiam awig-awig desa adat umumnya disebutkan kewajiban-kewajiban janda (swadharmaning balu), seperti misalnya disebutkan seperti di bawah ini: a. ngamanggehang patibrata, tan kengin ngamargiang paradara/dratikrama. b. nguwasayang waris pagunakayan, tan kengin ngadol, ngadeang, makidihang, sajawaning polih kabebasan sak/ng pianak utawi pakulawargan ipun. c. kawenangang malih mawiwaha, prade sampun polih paigum saking pianak deha/temna utawi kulawarga kapurusan, tur prasida ngupajiwa sentana.

adat dan agama tetap penting dilakukan oleh umat Hindu di Bali dalam hubungannya dengan persoalan-persoalan adat khususnya menyangkut status keanggotaan di banjar atau desa adat (seperti tetegenan kerama seperti ayah-ayah, reramon, dan sebagainya), tetapi semua proses itu tidak mernpunyai makna hukum lagi. Faktor yang menentukan terjadinya perceraian menurut hukum yang berlaku Di sekarang adalah adanya keputusan Pengadilan. Di luar prosedur itu tidak terjadi perceraian, artinya apabila perceraian hanya dilakukan disaksikan secara adat dengan disaksiknn prajuru adat (pemimpin adat) tidak memutuskan hubungan perkawinan. Tatacara perceraian diatur menurut Peraturan Pmerintah Nomor 9 Tahun 1975. Menurut Pasal 9, perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pema- ' $3 dat, penjudi dan sebagainya yang sukar disenbutkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 (dua) V Qsid tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang at? sah atau karena hal Iain di luar kemarhpuannya. Inf c. Salah satu pihak mendapat hukumanpenjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang perkawinan brlang- Pa sung. - {Pi d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. ad e Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/iss1 f. Antara suami dan istn' terus menerus terjadi perselisihan dan penengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Berdasarkan alasan atau alasan-alasan di atas, suami atau istri dapat mengajukan gugatan perceraian kepada Pengadilan. Gugatan Pengadilan. perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Jika tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap demikian juga

bila tergugat berternpat tinggal di luar negeri maka gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan tempat kediaman penggugat. Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar negeri permohonan gugatan itu akan disampaikan kepada tergugat oleh Ketua Pengadilan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat (Pasa1 20). Dalarn hal perceraian karena alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain seperti disebutkan di atas gugatan perceraian juga diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat (Pasal 21 ayat 1). Perneriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya_berkas/surat gugatan perceraian. Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar negeri sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung dimasukkannya gugatan percraian pada Kepanitraan Pengadilan (Pasal 29). Pada sidang perneriksaan gugatan perceraian suami is