80
KONFLIK DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE DI DESA AYAH, KECAMATAN AYAH, KABUPATEN KEBUMEN, JAWA TENGAH SKRIPSI PROGRAM STUDI AGROBISNIS PERIKANAN JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DAN KELAUTAN Oleh : CYNTHIA JUNE INDAH WIDIYASARI NIM. 135080407113021 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

KONFLIK DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE …repository.ub.ac.id/377/1/CYNTHIA JUNE INDAH WIDIYASARI.pdf · konflik dalam pengembangan ekowisata mangrove di desa ayah, kecamatan

  • Upload
    others

  • View
    33

  • Download
    9

Embed Size (px)

Citation preview

KONFLIK DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE DI DESA AYAH, KECAMATAN AYAH, KABUPATEN KEBUMEN, JAWA

TENGAH

SKRIPSI PROGRAM STUDI AGROBISNIS PERIKANAN

JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DAN KELAUTAN

Oleh : CYNTHIA JUNE INDAH WIDIYASARI

NIM. 135080407113021

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG 2017

KONFLIK DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE DI DESA AYAH, KECAMATAN AYAH, KABUPATEN KEBUMEN, JAWA

TENGAH

SKRIPSI PROGRAM STUDI AGROBISNIS PERIKANAN

JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DAN KELAUTAN

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Brawijaya

Oleh : CYNTHIA JUNE INDAH WIDIYASARI

NIM. 135080407113021

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG 2017

PERNYATAAN ORISINALITAS

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:Konflik dalam

Pengembangan Ekowisata Mangrove di Desa Ayah, Kecamatan Ayah,

Kabupaten Kebumen, Jawa Tengahadalah benar merupakan hasil karya saya

sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana

pun.

Semua data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Apabila

dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Skripsi ini hasil jiplakan, maka

saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku.

Malang, Juni 2017

Cynthia June I.W

135080407113021

UCAPAN TERIMAKASIH

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirabilalamin segala puji dan syukur senantiasa saya

panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia yang diberikan, pemilik

segala ilmu dan kekuatan yang tak terbatas, yang telah memberikan saya

kekuatan, kesabaran, ketenangan, dan kemampuan sehingga saya mampu

menyelesaikan penyusunan tugas akhir skripsi yang diberi judul ―Konflik dalam

Pengembangan Ekowisata Mangrove di Desa Ayah, Kecamatan Ayah,

Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah”.

Selama proses penulisan skripsi ini, saya banyak mendapat dukungan dan

bantuan dari pihak – pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah

ikut menyumbangkan doa, pikiran, tenaga dan inspirasi bagi saya. Dengan

segala ikhlas dan tulus, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga

kepada:

1. Kedua orang tua saya yaitu Bapak Edy Wijaya dan Ibu Sri Syahbaniawati beserta nenek dan kakek saya yang sudah seperti orangtua kandungIbu Siti Susiyah dan (alm) Engkong Patty Abdullah yang selalu mendoakan, mendukung dalam bentuk moral maupun materi.

2. Bapak Dr. Ir. Edi Susilo, MS selaku dosen pembimbing 1 yang telah sabar membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan saya sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini diwaktu yang tepat.

3. Ibu Wahyu Handayani, S.Pi., MP., MBA selaku dosen pembimbing 2 yang senantiasa menerima sayauntuk berdiskusi, memberikan kritik dan saran yang membangun sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dengan baik hingga akhir.

4. Ibu Dr. Ir. Pudji Purwanti, MP selaku dosen wali serta ketua program studi Agrobisnis Perikanan UB Kampus III yang selalu memberikan motivasi, dorongan dan semangat selama di bangku kuliah.

5. Keluarga besar civitas akademika Universitas Brawijaya Kampus III, terimakasih untuk segala perjuangannya demi masa depan pendidikan yang lebih baik.

6. Keluarga besar 3B adik kandung saya Arython Senna Rizky Sunan adik kecil saya Anisa Rizkia Jaya yang menjadikan acuan saya untuk segera menyelesaikan skripsi ini dan segera lulus, Ses Lenny, Uwi dan Om Nurman terimakasih atas doa, dukungan dan bantuan materi selama ini.

7. Amelia Hudayana dan Atni Rachmawati, sahabat dari maba, yang sangat membantu sekali saat pengerjaan skripsi ini untuk menjadi teman bertukar pikiran saya dan editor saya.

8. Keluarga Agrobisnis Perikanan Kampus III yang selalu menemani di kala suka dan duka selama kurang lebih 3,5 tahun di bangku perkuliahan.

9. Ahmad Latief Hiwaman Ansor yang selalu mendukung, sabar menghadapi saya terutama dalam pengerjaan skripsi ini, memberikan motivasi dan semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini

10. Teman-teman saya sejak sekolah di SMPN 77 Jakarta #1111000 11. Teman-teman waktu di SMAN 1 Jakarta angkatan 2011 terutama Izhar,

Taris, Pupe karena kalian sudah menulis nama saya di skripsi kalian kecuali Ais yang belum lulus juga

12. Teman-teman saya ketika Ronin di NF Kenari tahun 2011: Irwin, Nazwa, Esti, Nikita, Azhar, Azmil, dkk yang sudah sarjana duluan membuat saya segera ingin menyusul

13. Orang-orang yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini mulai dari proposal hingga saat turun lapang: Yhonandha, Alif, Bastian, Keluarga Besar Jatijajar, Masyarakat Desa Ayah

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Dengan

segala kekurangan yang ada, maka saya mengharapkan masukan serta

kritikan yang membangun. Namun dengan kekurangan tersebut saya

berharap semoga karya skripsi ini menjadi amal yang dapat memberikan

manfaat bagi penulis dan pembaca.

Malang, Juni 2017

Cynthia June I.W

135080407113021

RINGKASAN

CYNTHIA JUNE INDAH WIDIYASARI. Konflik dalam Pengembangan

Ekowisata Mangrove Ayah di Desa Ayah, Kecamatan Ayah, Kabupaten

Kebumen, Jawa Tengah .(Dibawah bimbingan Dr. Ir. Edi Susilo, MS dan

Wahyu Handayani, S.Pi., MP., MBA)

Konflik akan selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia. Konflik dalam

Pengembangan Ekowisata dapat terjadi dimana saja dan dengan siapa saja,

dalam penelitian ini kawasan yang diamati sebagai tempat penelitian adalah

Ekowisata Mangrove Ayah, tidak semua daerah memiliki kawasan mangrove

membuat pihak pengelola mengembangan ekowisata yang diselenggarakannya

sejak tahun 2014.

Tujuanpenelitianiniadalahuntuk memaparkan proses konflik, mencari

faktor-faktor penyebab konflik dan membuat model penyelesaian konflik

dalampengembangansumberdaya alam Ekowisata Mangrove Ayah. Penelitian Ini

dilakukan di wilayah Ekowisata Mangrove Ayah, Desa Ayah, Kecamatan Ayah,

Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, mulai tanggal 4 April—14 April 2017.

Metode penelitian yang digunakanya yaitu metode Penelitian Kualitatif

dengan teknik pengambilan sampel menggunakan snowball sampling.

Pengambilan data dilakukan dengan melihat keadaan sekitar dan hubungan

antar masyarakat, wawancara mendalam terhadap informan, serta dokumentasi

data-data pendukung penelitian. Analisis data yang digunakan yaitu model Miles

and Huberman. Aktivitas Penelitian ini menggunakan model reduksi data,

penyajian data, dankesimpulanatauverifikasi data.

Pada penelitian ini diketahui berawal dari perbedaan cara berpikir dan

berpendapat dalam pengembangan hutan mangrove membuat masing-masing

pihak merasa kelompoknya lah yang telah mengelola hutan mangrove tersebut.

Pihak pengelola yaitu KPL Pansela yang mempunyai legalitas hukum terkait

kelembagaannya didukung oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan sementara

pihak Kelompok Masyarakat Desa menganggap bahwa mereka yang selama ini

telah mengelola tetapi tidak dianggap. Sementara dipihak lain ada Dinas

Pariwisata yang juga memperebutkan hak pengelolaan karena hutan mangrove

di Desa Ayah berpotensi untuk dijadikan destinasi wisata. Jenis konflik ini sudah

tergolong terbuka yang dikarenakan isu-isu permasalahan yang timbul ke

permukaan dan mulai melibatkan banyak pihak.

Penyelesaian konflik dalam pengembangan Ekowisata Mangrove Ayah

hanya sebatas pembicaraan saja, dari berulang kali mediasi yang dilakukan

kedua belah pihak hanya sepakat pada saat mediasi. Hal ini disebabkan oleh

ketidakjelasan status lahan dan pengelolaan yang membuat masing-masing

kubu tetap pada pendiriannya bahwa merekalah yang benar. Pihak yang

mempunyai kewenangan yaitu Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak belum

terlibat langsung dalam konflik ini sehingga Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Kab. Kebumen yang sudah membantu pihak KPL Pansela untuk mengelola

hutan mangrove di Desa Ayah mengeluarkan surat keputusan menutup

sementara Ekowisata Mangrove Ayah untuk umum, hal ini merupakan

penyelesaian sementara untuk meredam konflik yang ada diantara masyarakat

dengan berbagai pihak.

Pada penelitian ini saran yang dapat diberikan adalah perlu diadakannya

Focus Group Discussion (FGD) yang meliputi pihak-pihak yang terlibat hingga

instansi-instansi yang memiliki kewenangan. Pihak KPL Pansela sebaiknya tetap

pada tujuan kelembagaannya untuk konservasi bukan untuk mencari

keuntungan, Kelompok Masyarakat Desa lebih memerhatikan aset desa yang

dimiliki juga merawat dan menjaganya, pihak pemerintah daerah juga lebih

memerhatikan aset yang dimiliki daerahnya terutama wilayah-wilayah yang

memiliki potensi untuk dikembangkan dan menambah pemasukan daerah dan

untuk pemerintah pusat lebih cepat tanggap terhadap masalah yang tidak bisa

diselesaikan oleh pemerintahan daerah.

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas

limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

diberi judul“Konflik dalam Pengembangan Ekowisata Mangrove di Desa

Ayah, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa

Tengah”.Penelitianinidilakukanselama 10 hari, bulan April 2017, dan bertujuan

untuk memberikan gambaran kondisi konflik pengembangan Ekowisata

Mangrove Ayah. Tulisan ini, disajikan pokok-pokok bahasan yang meliputi

Proses terjadinya konflik, faktor-faktor penyebab terjadinya konflik. penyelesaian

konflik dalam pengembangan ekowisata. Teknik pengambilan sampel dalam

penelitian ini menggunakan metode snowball sampling. Situasi sosial dalam

penelitian ini adalah kawasan hutan mangrove yang dijadikan ekowisata.

Temuan-temuan hasil penelitianini saya mencoba menarik beberapa pelajaran

dan memberikan masukan bagi penanganan konflik khususnya di sekto

rpengembangan Ekowisata Mangrove Ayah

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Brawijaya.Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak

kekurangan dalam hal penyusunan, oleh karena itu penulis menerima segala

kritikan dan mengharapkan saran yang membangun agar tulisan ini bermanfaat

bagi yang membutuhkan.

Malang, Juni 2017

Cynthia June I.W

135080407113021

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN................................................................................. ii PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................................... iii UCAPAN TERIMAKASIH ................................................................................... iv RINGKASAN ...................................................................................................... vi KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii

I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................... 3 1.3. Tujuan ..................................................................................................... 3 1.4. Kegunaan ................................................................................................ 4

II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 5 2.1. Penelitian Terdahulu .............................................................................. 5 2.2. Konflik ..................................................................................................... 6

2.2.1. Pengertian Konflik ......................................................................... 6 2.2.2. Penyebab Konflik .......................................................................... 6 2.2.3. Dampak Konflik ............................................................................. 7 2.2.4. Strategi Penyelesaian Konflik ...................................................... 8

2.3. Ekowisata .............................................................................................. 11 2.3.1. Definisi Ekowisata ....................................................................... 11 2.3.2. Pengembangan Ekowisata ......................................................... 13

2.4. Mangrove .............................................................................................. 14 2.4.1. Definisi Mangrove ....................................................................... 14 2.4.2. Fungsi dan Manfaat Mangrove ................................................... 14

2.5. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 15

III. METODE PENELITIAN ................................................................................. 18 3.1. Jenis Penelitian .................................................................................... 18 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 18 3.3. Populasi dan Sampel ........................................................................... 18 3.4. Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 20 3.5. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 21

3.5.1. Observasi ..................................................................................... 21 3.5.2. Wawancara .................................................................................. 22 3.5.3. Dokumentasi ................................................................................ 22

3.6. Metode dan Analisa data ..................................................................... 23

IV. KEADAAN UMUM PENELITIAN .................................................................. 26 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ...................................................... 26

4.1.1. Letak Geografis ........................................................................... 26 4.1.2. Keadaan Topografis ........................................................................... 27 4.2. Kondisi Penduduk dan Ketenagakerjaan ........................................... 28

4.2.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ........................ 28 4.2.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ................ 28 4.2.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian .................. 29 4.2.4. Jumlah Penduduk Menurut Angkatan Kerja .............................. 30

4.3. Gambaran Umum Ekowisata Mangrove Ayah .................................... 31 4.3.1. Sejarah Ekowisata Mangrove Ayah............................................ 31 4.3.2. Aktivitas Ekowisata Mangrove Ayah .......................................... 34

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 37 5.1. Lokasi dan Cakupan Wilayah .............................................................. 37 5.1.1. Lokasi ................................................................................................. 37 5.1.2. Cakupan Wilayah ............................................................................... 38 5.2. Akar Masalah Konflik Ekowisata Mangrove ....................................... 40 5.3. Pihak Terlibat dalam Konflik Ekowisata Mangrove Ayah .................. 41 5.3.1. Kelompok Peduli Lingkungan Pantai Selatan (KPL Pansela) ......... 41 5.3.2. Kelompok Masyarakat Desa (Sri Rezeki) .......................................... 42 5.3.3. Dinas Pariwisata ................................................................................ 42 5.3.4. Dinas Kehutanan dan Perkebunan ................................................... 43 5.3.5. Instansi-instansi Pengairan ............................................................... 44 5.4. Proses Terjadi Konflik di Dalam Pengembangan Ekowisata

Mangrove .......................................................................................... 44 5.4.1. Pasca Tsunami Tahun 2006 .............................................................. 45 5.4.2. Perubahan Fungsi Menjadi Ekowisata Mangrove ............................ 46 5.4.3. Perebutan Hak Pengelolaan Berdasarkan Hasil Diskusi Dengan

Pihak-Pihak Yang Terlibat ............................................................... 48 5.5. Resolusi dan Pihak Terlibat di Dalamnya ........................................... 53 5.5.1. Resolusi dari pihak KPL Pansela ...................................................... 53 5.5.2. Peraturan di Kawasan Hutan Mangrove Desa Ayah ........................ 54 5.5.3. FGD (Focus Group Discussion) Antara Pihak Yang Terlibat

Langsung Maupun Tidak Langsung ............................................... 55 5.5.4. Model Penyelesaian Konflik Pengembangan Ekowisata di Desa

Ayah .................................................................................................. 56 5.6. Kondisi PerkembanganSetelah Terindikasi Ada Konflik ................... 58

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 59 6.1 Kesimpulan ........................................................................................... 59 6.2 Saran ..................................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 62

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Daftar Informan .............................................................................................. 20

2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin .............................................. 28

3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ...................................... 29

4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ....................................... 30

5. Jumlah Penduduk Menurut Angkatan Kerja ................................................... 31

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 17

Gambar 2. Komponen dalam Analisis Data : Model Alir ..................................... 24

Gambar 3. Kerangka Analisis Penelitian ............................................................ 25

Gambar 4. Peta Kabupaten Kebumen ............................................................... 26

Gambar 5. Denah Desa Ayah ............................................................................ 27

Gambar 6. Perkembangan Mangrove Ayah ....................................................... 33

Gambar 7. Pemberian Materi Tentang Mangrove .............................................. 35

Gambar 8. Penanaman Bibit Mangrove ............................................................. 35

Gambar 9. Wilayah Ekowisata ........................................................................... 37

Gambar 10. Wilayah Sigong .............................................................................. 38

Gambar 11. Papan Nama di Pintu Masuk Ekowisata Mangrove ........................ 39

Gambar 12. Peta Wilayah Mangrove ................................................................. 39

Gambar 13. Masterplan Ekowisata Mangrove ................................................... 43

Gambar 14. Pos Bantuan dari Dishubun Kab. Kebumen ................................... 46

Gambar 15. Wisata Menggunakan Perahu ........................................................ 47

Gambar 16. Model Penyelesaian Konflik ........................................................... 57

Gambar 17. Kondisi Ekowisata Mangrove Setelah Penutupan .......................... 58

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Dokumentasi Peneliti Selama di Lapang. ...................................................... 64

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konflik akan selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia. Manusia

memiliki perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, sistem hukum,

bangsa, suku,agama, kepercayaan, aliran politik, serta budaya dan tujuan

hidupnya. Perbedaan inilah yang seringkali menimbulkan konflik. Selama masih

ada perbedaan tersebut, konflik tidak dapat dihindarkan dan selalu akan terjadi

(Wirawan, 2010). Konflik dapat terjadi antara individu-individu, antara kelompok-

kelompok dan antara organisasi-organisasi. Apabila dua orang individu masing-

masing berpegang pada pandangan yang sama sekali bertentangan tanpa ada

kompromi, kemudian menarik kesimpulan yang berbeda dan cenderung bersifat

tidak toleran, maka dapat dipastikan akan timbul konflik tertentu (Winardi, 2007).

Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan

lautan sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi,

sosial, dan lingkungan hidup namun semakin hari semakin kritis

ketersediaannya. Di beberapa daerah pesisir di Indonesa sudah terlihat adanya

pendegradasian ekosistem mangrove akibat penebangan mangrove yang

dilakukan secara berlebihan. Mangrove telah dirubah menjadi fungsi yang lain

dikarenakan berbagai kegiatan pembangunan (Dongoran, 2010). Luas ekosistem

mangrove di Indonesia mencapai 75 % dari luas ekosistem mangrove di Asia

Tenggara. Sebaran ekosistem mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir

Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Luas sebaran ekosistem mangrove terus

mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi 3,24 juta

hektar pada tahun 1987, dan tinggal 2,50 hektar pada tahun 1990. Penurunan

2

luasan ekosistem mangrove tersebut menunjukan bahwa degradasi kawasan

mangrove cukup tinggi dengan laju 200 ribu hektar/tahun (Dahuri, 1996)

Kebumen merupakan sebuah Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.

Letaknya yang memanjang dibagian selatan Pulau Jawa menjadikan Kebumen

memiliki banyak pantai yang difungsikan sebagai tempat wisata maupun

kegiatan perikanan seperti contohnya Pantai Ayah yang terletak di Desa Ayah,

Kecamatan Ayah. Pantai Ayah merupakan salah satu daerah pantai di

Indonesia yang sedang berkembang dalam pariwisata dan perikanannya.

Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Logending Kabupaten Kebumen diadakan

untuk mendukung kegiatan tersebut (Kusuma, 2013).

Pada tahun 2006 mangrove di Pantai Ayah dikelola oleh kelompok

masyarakat yang menamakan dirinya sebagai Kelompok Peduli Lingkungan

Pantai Selatan atau disingkat KPL Pansela. Awal mula mangrove dikelola

berdasarkan inisiatif para pemuda sekitar yang sadar akan wilayah daerah

mereka yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia dan pertemuan

lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia yang sewaktu-waktu jika terjadi

perpatahan atau keretakan bisa mengakibatkan Tsunami. Oleh sebab itu mereka

mengelola mangrove dengan tujuan sebagai mitigasi bencana Tsunami seiring

perkembangan zaman KPL Pansela mendapatkan nilai ekonomis dari mangrove

itu sendiri, mangrove yang tadinya hanya dijadikan mitigasi bencana Tsunami

sekarang juga menjadi daerah ekowisata. Perubahan fungsi sumberdaya inilah

yang menimbulkan konflik antar KPL Pansela dengan nelayan, nelayan tidak

terima dengan dibangunnya mangrove disekitar Pantai Ayah karena menurut

mereka dengan adanya mangrove wilayah tangkapan mereka jadi terganggu

serta dianggap hanya ingin memonopoli. Setelah konflik dengan nelayan mulai

mereda timbul lah konflik baru dengan kelompok lain yang juga masyarakat

sekitar Pantai Ayah yang mengaku-ngaku sebagai pengelola Ekowisata

3

Mangrove Pantai Ayah, permasalahannya disini adalah lahan yang digunakan

oleh KPL Pansela adalah milik negara sehingga pemerintah akhirnya ikut andil

dalam konflik antara KPL Pansela dan kelompok masyarakat tersebut. Akan

tetapi pemerintah yang seharusnya menengahi perselisihan yang ada, malah

memperkeruh suasana dengan ingin ikut mengelola kawasan Ekowisata

Mangrove Ayah. Hal ini membuat kelompok masyarakat semakin geram merasa

aset desanya diperebutkan. Sampai saat ini permasalahan yang terjadi di

Ekowisata Mangrove Pantai Ayah belum menemukan titik terang. Dalam bidang

perikanan seringkali ditemukan konflik terutama tentang hak pengelolaan dan

hak kepemilikan, konflik tersebut akan menjadi penghambat perkembangan

perikanan, sebagai inisiasi pengembangan lebih lanjut ekowisata mangrove

maka penelitian dengan judul “Konflik dalam Pengembangan Mangrove di Desa

Ayah, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah” penting untuk

dilakukan.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang maka perumusan masalah dalam

penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana proses terjadinya konflik di Ekowisata Mangrove Ayah?

2. Apa faktor penyebab terjadinya konflik di Ekowisata Mangrove

Ayah?

3. Bagaimana model penyelesaian konflik yang terjadi dalam

pengembangan Ekowisata Mangrove Ayah?

4

1.3. Tujuan

Merujuk pada perumusan permasalahan diatas penelitian ini bertujuan

untuk :

1. Memaparkan proses terjadinya konflik di Ekowisata Mangrove

Ayah

2. Mencari faktor-faktor penyebab terjadinya konflik di Ekowisata

Mangrove Ayah

3. Membuat model penyelesaian konflik berdasarkan akar masalah

yang menjadi penyebab terjadinya konflik.

1.4. Kegunaan

Penelitian ini dimaksudkan untuk dapat memberikan manfaat,

antara lain :

1) Pemerintah

Pemerintah Daerah dapat menjadikan bahan pertimbangan untuk

menentukan kebijakan dalam pengelolaan dan penetapan

kegiatan ekonomi yang berlangsung.

2) Masyarakat

Sebagai bahan informasi untuk tetap menjaga, memanfaatkan,

dan melestarikan sumberdaya mangrove sehingga dapat terus

dikembangkan.

3) Perguruan Tinggi, Mahasiswa dan Peneliti

Sebagai sarana informasi keilmuan untuk menambah wawasan

pengetahuan dan menjadi referensi yang dapat digunakan untuk

penelitian lebih lanjut.

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Menurut Sahlan (2015) faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya

konflik di kecamatan lambu Kabupaten Bima adalah kurangnya sosialisasi dari

pemerintah terkait kebijakan yang dikeluarkannya; pemerintah kurang terbuka

terhadap masyarakat mengenai kebijakkan-kebijakkan yang di keluarkannya;

kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah kurang tepat, kebijakkan tersebut

banyak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang termuat dalam Undang-Undang

No. 4 Tahun 2009. Selain itu, kebijakan tersebut dapat mengganggu kepentingan

orang banyak, terutama masyarakat Lambu yang bermata pencaharian sebagai

petani; serta adanya perbedaan kepentingan antara pemerintah dengan

masayarakat terkait penggunaan lahan. Kemudian konflik tersebut mengalami

eskalasi konflik yang dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, seperti kurangnya

sosialisasi, kurang netralnya pemerintah maupun stakeholder lainnya;

komunikasi politik yang macet dan tidak berjalan dengan baik; serta penanganan

konflik yang lambat. Pemerintah maupun masyarakat telah melakukan beberapa

hal sebagai resolusi konflik seperti negosiasi, kosuliasi, mediasi, dan terakhir

arbitrasi.

Menurut Kadir (2013) konflik yang terjadi antara pemerintah dengan

masyarakat sekitar taman nasional disebabkan oleh perbedaan persepsi dan

pemberian informasi yang kurang benar dan lengkap terkait tata batas kawasan

hutan dan pemanfaatan sumberdaya alam hutan, belum efektifnya kegiatan

sosialisasi kebijakan taman nasional, serta rendahnya tingkat pendapatan

masyarakat sekitar kawasan TN Babul. Upaya yang dilakukan adalah menjaga

komunikasi dan dialog degan masyarakat, melakukan sosialisasi kebijakan

6

taman nasional dan mendetailkan kegiatan-kegiatan pada setiap zona TN Babul

dengan tetap memperhatikan kondisi dan aspirasi yang berkembang dalam

masyarakat.

Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian terdahulu

adalah adanya banyak aktor yang terlibat mulai dari pihak pengelola yaitu KPL

Pansela, Kelompok Masyarakat Desa (Sri Rezeki), Pemerintah daerah dalam hal

ini adalah Dinas Pariwisata, dengan berbagai macam kepentingan untuk

mengelola ekowisata sehingga menimbulkan konflik perebutan hak pengelolaan.

2.2. Konflik

2.2.1. Pengertian Konflik

Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa Latin con yang berarti

bersama dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan (Setiadi, 2011). Konflik

adalah relasi sosial antar aktor sosial yang ditandai oleh pertentangan atau

perselisihan dan kemarahan, baik dinyatakan secara terbuka ataupun tidak,

dalam rangka mencapai keinginan atau tujuan masing-masing (Kinseng, 2013).

Pendapat lain yang dikemukakan Putnam (1987) dalam Wijono (2012) Konflik

adalah interaksi antar individu, kelompok dan organisasi yang membuat tujuan

atau arti yang berlawanan, dan merasa bahwa orang lain sebagai pengganggu

yang potensial terhadap pencapaian tujuan mereka.

2.2.2. Penyebab Konflik

Penyebab timbulnya konflik itu dikarenakan kurangnya kontrol sosial yang

masyarakat tidak diikuti dengan tindakan para penegak hukum sehingga para

pelanggar peraturan ini tidak akan merasakan ketakutan karena telah memahami

ketika melakukan peanggaran tidak akan mendapatkan hukuman yang tercantum

dalam peraturan (Kurniawan,2014)

7

Menurut Wijono (2012) menjelaskan tentang sumber konflik

antarpribadi/kelompok melalui kondisi-kondisi pemula (antecedent conditions)

yang meliputi:

a) Persaingan terhadap sumber-sumber (competition resources)

b) Ketergantungan terhadap tugas (task interdependence)

c) Kekaburan deskripsi tugas (jurisdictional ambiguity)

d) Masalah status (status problem)

e) Rintangan komunikasi (communication barriers)

f) Sifat-sifat individu (individual traits)

2.2.3. Dampak Konflik

Menurut Wijono (2012) dalam Kurniawan (2014)Dalam sebuah konflik

akan menimbulkan berbagai macam dampak. Dampak konflik antar warga yang

paling berbahaya adalah dampak terhadap psikologis, dampak terhadap

kehidupan sosial, ekonomi dan dampak terhadap budaya. Dari berbagai macam

dampak tersebut tidak selamanya bernilai negatif, namun juga ada dampak yang

bernilai positif, dampak-dampak tersebut adalah sebagai berikut:

1) Dampak Positif Konflik

a. Membawa masalah-masalah yang diabaikan sebelumnya secara

terbuka,

b. Memotovasi orang lain untuk memahami setiap posisi orang lain,

c. Mendorong ide-ide baru, memfasilitasi perbaikan dan perubahan,

d. Dapat meningkatkan kualitas keputusan dengan cara mendorong

orang untuk membuat asumsi melakukan perbuatan.

2) Dampak Negatif Konflik

a. Dapat menimbulkan emosi dan stress negatif,

b. Berkurangya komunikasi yang digunakan sebagai persyaratan

untuk kordinasi,

8

c. Timbulnya pertukaran gaya partisipasi menjadi gaya otoritatif,

d. Dapat menimbulkan prasangka-prasangka negatif,

e. Memberikan tekanan loyalitas terhadap sebuah kelompok.

2.2.4. Strategi Penyelesaian Konflik

Suatu upaya yang diharapkan pihak-pihak yang berkonflik untuk

menjalani kehidupan yang damai. Konflik adalah produk yang timbul dari sebuah

hubungan antar individu, timbulnya konflik karena adanya sebuah perselisihan

perselisihan, sehingga untuk menyelesaikan konflik dapat dilakukan dengan cara

meluruskan kembali perselisihan-perselisihan yang terjadi. Komunikasi yang baik

merupakan cara yang paling utama harus dilakukan untuk menjadikan konflik

yang ada bisa terselsesaikan dan terpecahkan secara baik.

Menurut Nasikun (1993) dalam Sahlan (2015), pola penyelesaian

konflik dapat dilakukan dalam beberapa pendekatan, di antaranya:

1. Negosiasi adalah proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna

mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak dengan pihak lain.

Negosiasi juga diartikan suatu cara penyelesaian sengketa secaradamai

melalui perundingan antara pihak yang berperkara. Dalam hal ini,

negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk

mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai

kepentingan yang sama maupun yang berbeda.

2. Konsiliasi (Conciliation), Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi

terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan

tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-

pihak yang berkonflik. Lembaga yang dimaksud diharapkan berfungsi

secara efektif, yang sedikitnya memenuhi empat hal:

a. Harus mampu mengambil keputusan secara otonom, tanpa

campur tangan dari badan-badan lain,

9

b. Lembaga harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga

itulah yang berfungsi demikian,

c. Lembaga harus mampu mengikat kepentingan bagi pihak-pihak

yang berkonflik,

d. Lembaga tersebut harus bersifat demokratis.Konsiliator nantinya

memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara

terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu,

konsiliator tidak berhak untuk membuatputusan dalam sengketa untuk

dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses

konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang

dituangkan dalam bentuk kesempatan di antara mereka.

3. Mediasi (Mediation), pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk

menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihat, berkaitan

dengan penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka alami. bahwa

mediasi merupakansalah satu bentuk negosiasi antara para pihak yang

bersengketa dan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu demi

tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis. Sementara itu,

pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketadinamakan

sebagai mediator. Oleh karena itu, pengertian mediasi mengandung

unsur-unsur, antara lain:Merupakan sebuah proses penyelesaian

sengketa berdasarkan perundingan;Mediator terlibat dan diterima oleh

para pihak yang bersengketa di dalamperundingan; Mediator bertugas

membantu para pihak yang bersengketa untuk mencaripenyelesaian.

Tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang

dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri

sengketa.Dengan demikian, putusan yang diambil atau yang dicapai oleh

mediasi merupakan putusan yang disepakati bersama oleh para pihak

10

yang dapat berbentuk nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tatanan

dalam masyarakat.

4. Arbitrasi (Arbitration), pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk

menerima pihak ketiga, yang akan berperan untuk memberikan

keputusan-keputusan, dalam rangka menyelesaikan yang ada. Berbeda

dengan mediasi, cara arbitrasi mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik

untuk menerima keputusan yang diambil oleh pihak arbitrer.

Sedangkan menurut Pruitt dan Rubin (2009) mengembangkan

teori dasar strategi penyelesaian konflik yang disebut dengan dual

concern model (model kepedulian rangkap-dua). Model ini melacak

pemilihan strategi berdasarkan kekuatan kepedulian relatif atas hasil

yang diterima oleh diri sendiri dan hasil yang diterima oleh pihak lain.

Sifat dari masing-masing strategi tersebut di atas adalah sebagai

berikut:

1. Contending (bertanding); segala macam usaha untuk menyelesaikan

konflik menurut kemauan seseorang tanpa memperdulikan kepentingan

pihak lain. Pihak-pihak yang menerapkan strategi ini tetap

mempertahankan aspirasinya sendiri dan mencoba membujuk pihak lain

untuk mengalah, termasuk mengeluarkan ancaman kepada pihak lain.

2. Problem Solving (pemecahan masalah); meliputi usaha

mengidentifikasikan masalah dan mengembangkan serta mengarah pada

solusi yang memuaskan kedua belah pihak. Pihak-pihak yang

menerapkan strategi ini berusaha mempertahankan aspirasinya sendiri

tetapi sekaligus berusaha mendapatkan cara untuk rekonsiliasi dengan

aspirasi pihak lain. Hasilnya dapat berupa kompromi atau solusi integratif.

Problem Solving mencerminkan adanya keinginan untuk berkolaborasi.

11

3. Yielding (mengalah); pihak yang menerapkan strategi ini menurunkan

aspirasinya sendiri dan bersedia menerima kekurangan dari yang

sebetulnya diinginkan. Memang menciptakan solusi, tetapi bukan solusi

yang berkualitas tinggi.

4. Inaction (diam); Tidak melakukan apa-apa. Strategi ini biasanya ditempuh

untuk mencermati perkembangan lebih lanjut. Inaction merupakan

tindakan temporer yang tetap membuka kemungkinan bagi upaya

penyelesaian kontroversi. Inaction dapat pula merupakan implikasi dari

sikap keras kepala kedua belah pihak yang tetap menginginkan adanya

status quo.

5. Withdrawing (menarik diri); pihak yang memilih strategi ini memilih untuk

meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis secara

permanen. Withdrawing Melibatkan pengabaian terhadap kontroversi.

Withdrawing dapat pula mempunyai konotasi pemaksaan yang jauh lebih

dalam, dimana situasi ketidakpastian sengaja diciptakan sehingga pihak

lain tidak akan mendapatkan apa yang diinginkannya dan diharapkan

akan mengalah.

Walaupun terdapat lima strategi yang berbeda dalam penyelesaian konflik

sebagaimana disebutkan di atas, akan tetapi pada kebanyakan situasi konflik

yang terjadi menuntut diterapkannya kombinasi dari beberapa strategi di atas.

Sangat jarang hanya digunakan satu macam strategi secara eksklusif.

2.3. Ekowisata

2.3.1. Definisi Ekowisata

Ekowisata menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No.33 Tahun 2009,

adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggungjawab dengan

memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-

12

usaha konservasi sumberdaya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat

lokal. Jenis-jenis ekowisata di daerah antara lain:

a. Ekowisata bahari,

b. Ekowisata hutan,

c. Ekowisata pegunungan dan/atau,

d. Ekowisata karst.

Menurut Hakim (2004) dalam Saragih (2016) Ekowisata adalah

perjalanan wisata ke suatu lingkungan baik alam yang alami ataupun buatan

serta budaya yang ada yang bersifat informatif dan partisipatif yang bertujuan

untuk menjamin kelestarian alam dan sosial-budaya. Ekowisata menitikberatkan

pada tiga hal utama yaitu, keberlangsungan alam atau ekologi, memberi manfaat

ekonomi, dan secara psikologis dapat diterima dalam kehidupan sosial

masyarakat.

Pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke

waktu. Namun, pada hakekatnva pengertian ekowisata adalah suatu bentuk

wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami

(natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan

budaya bagi masyarakat setempat. Atas dasar pengertian ini, bentuk ekowisata

pada dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh

penduduk dunia (Saragih, 2016)

Menurut Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia

(2009), ekowisata memiliki banyak definisi, yang seluruhnya berprinsip pada

pariwisata yang kegiatannya mengacu pada 5 (lima) elemen penting, yaitu:

1) Memberikan pengalaman dan pendidikan kepada wisatawan,

sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan apresiasi terhadap

daerah tujuan wisata yang dikunjunginya. Pendidikan diberikan melalui

pemahaman tentang pentingnya 7 pelestarian lingkungan, sedangkan

13

pengalaman diberikan melalui kegiatankegiatan wisata yang kreatif

disertai dengan pelayanan yang prima.

2) Memperkecil dampak negatif yang bisa merusak karakteristik

lingkungan dan kebudayaan pada daerah yang dikunjungi.

3) Mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan dan

pelaksanaannya.

4) Memberikan keuntungan ekonomi terutama kepada masyarakat

lokal. Oleh karena itu, kegiatan ekowisata harus bersifat profit

(menguntungkan).

5) Dapat terus bertahan dan berkelanjutan.

Berdasarkan dari elemen ekowisata, terdapat beberapa cakupan

ekowisata yaitu untuk edukasi, pemberdayaan masyarakat, peningkatan

ekonomi, serta upaya dalam kegiatan konservasi.

2.3.2. Pengembangan Ekowisata

Pengembangan ekowisata di suatu kawasan erat kaitannya dengan

pengembangan obyek dan daya tarik wisata alamnya (ODTWA)

(Qomariah,2009) . Menurut Departemen Kehutanan (2007) keseluruhan potensi

ODTWA merupakan sumber daya ekonomi yang bernilai tinggi dan sekaligus

merupakan media pendidikan dan pelestarian lingkungan. Lebih rinci

Departemen Kehutanan (2007) menjelaskan pengembangan ODTWA sangat

erat kaitannya dengan peningkatan.

Usman (1999) mengemukakan bahwa pengembangan ekowisata

Indonesia, hal yang penting dan perlu diperhatikan adalah keikutsertaan

masyarakat setempat dalam setiap kegiatan kepariwisataan. Konsep

pengembangan wisata dengan melibatkan atau mendasarkan kepada peran

serta masyarakat (community based ecotourism), pada dasarnya adalah

memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tinggal di daerah-daerah

14

yang menjadi obyek dan daya tarik wisata untuk mengelola jasa-jasa pelayanan

bagi wisatawan.

2.4. Mangrove

2.4.1. Definisi Mangrove

Istilah mangrove tidak diketahui secara pasti asal usulnya. Ada yang

mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari

bahasa Portugis dan Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon

mangrove sebagai mangue dan istilah Inggris grove, bila disatukan akan menjadi

mangrove atau mangrave. Ada kemungkinan pula berasal dari bahasa Malay,

yang menyebut jenis tanaman ini dengan mangi-mangi atau mangin. Mangrove

adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut

dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali

ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian

menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan

air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh

air garam atau air payau (Irawanto, 2006).

Menurut Siswanto (2014) Mangrove adalah kelompok tumbuhan berkayu

yang tumbuh di sekeliling garis pantai dan memiliki adaptasi yang tinggi terhadap

salinitas payau dan harus hidup pada kondisi lingkungan yang demikian.

2.4.2. Fungsi dan Manfaat Mangrove

Setidaknya ada tiga fungsi utama ekosistem hutan mangrove yang di

kemukakan Nontji (2005) yaitu:

1) Fungsi fisis, meliputi: pencegah abrasi, perlindungan terhadap

angin, pencegah intrusi garam, dan sebagai penghasil energi serta hara.

2) Fungsi biologis, meliputi: sebagai tempat bertelur dan tempat

asuhan berbagai biota.

15

3) Fungsi ekonomis, meliputi: sebagai sumber bahan bakar (kayu bakar dan

arang), bahan bangunan(balok, atap, dan sebagainya), perikanan, pertanian,

makanan, minuman, bahan baku kertas, keperluan rumah tangga, tekstil, serat

sintesis, penyamakan kulit, obat-obatan, dan lain-lain.

Menurut Purnobasuki (2005) manfaat dari mangrove sebagai berikut:

1) Tempat pemijahan (Nursery Ground)

2) Tempat berlindung fauna

3) Habitat alami yang membentuk keseimbangan ekologis

4) Perlindungan pantai dari bahaya abrasi

5) Perangkap sedimen

6) Penyerap bahan pencemaran

7) Penahan angin laut

8) Sumber obat

2.5. Kerangka Pemikiran

Pemanfaatan sumberdaya khususnya dibidang perikanan seringkali

menciptakan konflik, baik dalam hal pengelolaan hingga ke hak kepemilikan.

Pada awalnya Mangrove yang berada di Pantai Ayah hanya dimanfaatkan

sebagai wilayah mitigasi tsunami, namun seiring berjalannya waktu pengelola

yaitu KPL Pansela menemukan peluang untuk menjadikan Hutan Mangrove ini

sebagai wisata edukasi, semakin canggihnya teknologi membuat siapapun bisa

mengenal dunia dengan lebih dekat sampai akhirnya tempat yang awalnya

dibuat konsep sebagai wisata edukasi berubah fungsi menjadi tempat

pariwisata yang dikunjungi wisatawan umum, perubahan fungsi yang

menghasilkan nilai ekonomi lah yang akhirnya menimbulkan konflik antara KPL

Pansela dengan Kelompok Sri Rezeki. Kelompok Sri Rezeki adalah kelompok

16

masyarakat asli Desa Ayah. Mereka menganggap bahwa mangrove disana

warisan orang tuanya dan mereka juga mengklaim bahwa merekalah yang

meneruskan pengelolaan tetapi adanya LSM (KPL Pansela) dianggap merebut

pengelolaanhutan mangrove untuk mengambil keuntungan sepihak karena

pada pengelolaan hutan mangrove berbasis wisata edukasi tidak melibatkan

kelompok masyarakat tersebut ditambah lagi adanya dukungan dari pihak Dinas

Kehutanan dan Perkebunan. Kemudian melihat adanya peluang untuk dijadikan

pariwisata membuat instansi terkait dalam hal ini Dinas Pariwisata Kabupaten

Kebumen ingin ikut mengelola. Hal ini membuat Kelompok Sri Rezeki yang

notabene masyarakat Desa Ayah semakin geram, mereka tidak ingin

pengelolaan diserahkan kepada pemerintah karena mereka khawatir tidak

dilibatkan dalam pengelolaannya. Sementara lahan yang digunakan adalah

milik negara karena lahan yang ditanami adalah aliran sungai sehingga

kewenangan ada di Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu-Opak

Yogyakarta dan berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Presiden

Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelengaraan, Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, tahapan persiapan pengadaan tanah

bagi pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan oleh Gubernur,

sehingga dalam penyelesaian permasalahan ini juga harus melibatkan

Pemerintah Provinsi.

17

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Kelompok Sri

Rezeki

KPL Pansela

Dinas Pariwisata

Dishutbun

Mangrove

Ekowisata

Konflik Proses Penyebab

Analisis

Solusi Pemerintah

dan Instansi

Pengairan

III. METODE PENELITIAN

1.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan menggunakan tipe

deskriptif kualitatif, dimana peneliti mendeskripsikan atau mengontruksi

wawancara mendalam terhadap sample penelitian. Penelitian disini bertindak

selaku fasilitator dan realitas dikontruksi oleh sampel penelitian, sampel itu

seperti nara sumber, informan, teman dan guru. Selanjutnya peneliti bertindak

sebagai aktivis yangikut memberi makna secara kritis pada realitas yang ada

dikontruksi sample peneliti Sugiyono (2011).

Pada penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan situasi, kondisi

dan berbagai kejadian yang terjadi dilapang berdasarkan fakta-fakta yang ada

dalam KPL Pansela, Kelompok Sri Rezeki, masyarakat desa dan instansi-

instansi terkait.

1.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dengan judul Konflik dalam Pengembangan Ekowisata

dilaksanakan di Mangrove Pantai Ayah atau Pantai Logending yang terletak di

Desa Ayah, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Penelitian ini

dilaksanakan pada 4 —14 April 2017.

1.3. Populasi dan Sampel

Penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi oleh

Spradley dinamakan social situation atau situasi sosial yang terdiri atas tiga

elemen yaitu: tempat (place), pelaku (actors) dan aktivitas (activity) yang

berinteraksi secara sinergis. Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan

populasi karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada

19

situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan diberlakukan ke populasi

tetapi ditransferkan ke tempat lain pada situasi sosial yang memiliki kesamaan

dengan situasi sosial pada kasus yang dipelajari (Sugiyono, 2011). Situasi sosial

dalam konflik ini adalah lokasi hutan mangrove yang diperebutkan serta orang-

orang yang terlibat didalam pengelolaan hutan mangrove tersebut.

Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden tetapi

sebagai narasumber atau partisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian.

Teknik pengambilan sampel sumber data menggunakan Snowball sampling,

sumber data yang awalnya sedikit lama-lama menjadi besar. Hal ini dilakukan

karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu tersebut belum mampu

memberikan data yang memuaskan, maka mencari orang lain lagi yang dapat

digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian jumlah sampel sumber data

akan semakin besar, seperti bola salju yang menggelinding, lama-lama menjadi

besar (Sugiyono 2011).

Penelitian ini dalam mencari sampel yaitu mendatangi lokasi Ekowisata

Mangrove Ayah tujuannya agar nantinya akan mempermudah untuk mencari

sumber sampel. Setelah menemukan satu sampel dan kurang memperoleh data

lengkap atau tidak akurat maka terus mencari sampel sumber data lain hingga

data yang dibutuhkan sudah jenuh dan tidak perlu mencari data baru lagi.

Berikut data diri informan, yang digunakan bukan nama asli melainkan

nama inisial demi memberikan keamanan kepada informan, mengenai sampel

pertama sampai dengan sampel selanjutnya yaitu menggunakan teknik snowball

sampling bukan menentukan informan secara sendiri, melainkan melalui saran

dan petunjuk dari sample-sample sebelumnya, ada beberapa sample yang telah

ditemui yaitu:

20

Tabel 1. Daftar Informan

No. Informan Keterangan

1 Ka Pendiri KPL Pansela

2 Su Masyarakat Desa Ayah, umur 40 tahun tinggal di Ayah sejak 2002

3 Ms Ketua Kelompok Masyarakat Desa Ayah (Kelompok Sri Rezeki), umur 50 tahun, tinggal di Ayah sejak 1967

4 Bs Camat Ayah

5 Ta Ketua Kelompok Nelayan Pantai Ayah, umur 47 tahun, tinggal di Ayah sejak 1999

6 Ar Kepala Seksi Pengendalian dan Pendayagunaan Pengelolaan Sumber Daya Air Serayu Citanduy Purwokerto

7 Pt Sekertaris Kasubbag BMN Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak Yogyakarta

1.4. Jenis dan Sumber Data

Data pada dasarnya adalah kumpulan observasi atau pengamatan. Jenis

data yang digunakan adalah data teks, berupa alfabet dan data image, seperti

foto, dan diagram yang didapatkan selama penelitian (Fauzi, 2001). Berdasarkan

sumbernya, data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer

dan sekunder.

a. Data primer

Menurut Arikunto (2010), data primer merupakan data dalam bentuk

verbal atau kata – kata yang diucapkan secara lisan, gerak – gerik atau perilaku

yang dilakukan oleh subjek yang dapat dipercaya, yakni subjek penelitian atau

informan yang berkenaan dengan variabel yang diteliti atau data yang diperoleh

dari responden secara langsung. Data primer diperoleh melalui wawancara

langsung kepada responden.

Data hasil wawancara yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi

sejarah Ekowisata Mangrove Ayah, wawancara dari pihak KPL PanselaDan

Kelompok Sri Rezeki diantaranya, mendapat informasi tentang keberadaan

mangrove di Desa Ayah yang sudah ada sejak tahun 1975 tetapi masih belum

dimanfaatkan dengan baik keberadaan mangrove tersebut. Mendapat informasi

21

tentang permasalahan-permasalahan yang ada sehingga terjadinya konflik yaitu,

Kelompok Sri Rezeki yang ingin mengelola ekowisata mangrove tersebut serta

adanya perbedaan kepentingan. Cara penyelesaian yang di berikan dalam

permasalahan-permasalahan yang terjadi.

b. Data sekunder.

Menurut Arikunto (2010), data sekunder adalah data yang diperoleh dari

teknik pengumpulan data yang menunjang data primer. Dalam penelitian ini

diperoleh dari hasil observasi yang dilakukan oleh penulis serta dari studi

pustaka. Dapat dikatakan data sekunder ini bisa berasal dari dokumen –

dokumen grafis seperti tabel, catatan, SMS, foto dan lain – lain.

Jenis data sekunder yang diambil meliputi: keadaan umum lokasi

penelitian (keadaan topografi dan geografis), jumlah penduduk, keadaan

penduduk.

1.5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang di gunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini

adalah dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi.

1.5.1. Observasi

Menurut Hadi (1986) dalam Sugiyono (2011) bahwa observasi

merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari

berbagai proses biologis dan psikologis. Dua di antara yang terpenting adalah

proses – proses pengamatan dan ingatan.

Observasi dalam penelitian ini adalah peneliti melakukan pengamatan

secara langsung, serta merekam hasil wawancara dan dokumentasi berupa foto

agar memperoleh data yang diinginkan oleh peneliti.

22

1.5.2. Wawancara

Wawancara merupakan percakapan antara dua orang yang salah

satunya bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi untuk suatu tujuan

tertentu (Herdiyansyah, 2010).

Menurut Sugiyono (2011), macam – macam wawancara adalah :

1) Wawancara terstruktur

Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila

peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi

apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu dalam melakukan wawancara, peneliti

telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan – pertanyaan tertulis

yang alternatif jawabannya pun telah disiapkan. Wawancara terstruktur ini setiap

responden diberi pertanyaan yang sama dan peneliti mencatat.

2) Wawancara tak terstruktur

Wawancara yang bebas di mana tidak menggunakan pedoman

wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk

pengumpulan datanya. Pedoman wawancara hanya berupa garis besar

permasalahan yang akan ditanyakan. Untuk memperoleh informasi yang lebih

dalam tentang responden maka penelitian dapat menggunakan wawancara tidak

terstruktur.

Sehingga dalam penelitian ini, wawancara dilakukan secara terstruktur

maupun tak terstruktur yang ditujukan kepada para pihak yang bersangkutan

yaitu Pengurus KPL Pansela, Kelompok Sri Rezeki, masyarakat desa dan

instansi-instansi terkait.

1.5.3. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data

kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh

subjek sendiri atau oleh orang lain oleh subjek. Dokumentasi merupakan salah

23

satu cara yang dapat dilakukan peneliti kualitatif untuk mendapatkan gambaran

dari sudut pandang subjek melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya

yang ditulis atau dibuat langsung oleh subjek yang bersangkutan (Herdiyansyah,

2010). Dokumentasi penelitian ini menggunakan buku, jurnal, foto, serta internet

untuk menunjang penelitian ini yang di anggap berharga untuk dimasukkan ke

dalam metode.

1.6. Metode dan Analisa data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis

data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapang, dan bahan-bahan lain,

sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan

kepadaorang lain. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak

sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan dan setelah selesai di

lapangan (Sugiyono, 2011). Analisis data lapang yang digunakan yaitu model

Miles and Huberman. Aktivitas dalamanalisis data ini yaitu Reduksi data (data

reduction), Penyajian data (data display) dan Conclusion drawing/verification.

a. Reduksi data (Data reduction)

Data yang diperoleh jumlahnya cukup banyak untuk itu perlu dilakukan

reduksi data untuk mempermudah peneliti dalam mengumpulkan data-data

selanjutnya. Reduksi data adalah proses merangkum, menyeleksi hal-hal pokok

atau penting data-data yang diperoleh dari lapang.

b. Penyajian data (Data display)

Setelah mereduksi data kemudian data disajikan dalam bentuk uraian

singkat, bagan, flowchart dan sejenisnya. Dalam penelitian kualitatif penyajian

data disajikan dalam bentuk teks yang bersifat naratif. Menurut Maulidharta

(2016) Fenomena atau situasi social sangatlah kompleks dan dinamis, maka

data yang ditemukan dilapangan akan mengalami perkembangan. Bila temuan

24

penelitian menunjukkan keseragamanatau tidak ada yang berubah maka

selanjutnya dapat melakukan penulisan hasil penelitian.

c. Conclusion drawing/verification.

Penarikan kesimpulan dan verifikasi adalah langkah terakhir. Kesimpulan

masih bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti yang kuat

yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila

kesimpulan dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid

dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka

kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang belum

pernah ada (Sugiyono, 2011).

Gambar 1. Komponen dalam Analisis Data : Model Alir

Sumber : Miles dan Huberman, 1992

Tahap pertama penelitian ini adalah pengumpulan data melalui

wawancara dengan informan yang dianggap mengetahui segalanya. Kemudian

informan memberikan informasi tertentu yang berisikan kode-kode untuk data

25

berikutnya. Konflik diawali dengan salah paham antara pengelola dengan

nelayan yang mana nelayan menganggap dengan dijadikan ekowisata mangrove

hanya akan menguntungkan salah satu pihak saja kemudian konflik semakin

berkembang dengan timbulnya kelompok lain yang berasal dari desa setempat

yang merasa tidak dilibatkan dalam pengelolaan ekowisata mangrove. Lalu dari

data yang didapat diidentifikasi, klasifikasi untuk disajikan bahwa konflik yang

ada di Ekowisata Mangrove Ayah dikarenakan kurangnya komunikasi antara

pengelola dengan nelayan dan masyarakat sekitar dengan dibangunnya

Ekowisata Mangrove Ayah. Setelah dirasa data cukup kemudian ditarik

kesimpulan bahwa konflik yang ada di Ekowisata Mangrove Ayah harus dicari

cara penyelesaiannya supaya tidak mengganggu pengembangan Ekowisata

Mangrove Ayah. Gambar. 3 menunjukan analogi analisis data yang digunakan.

Gambar 2. Kerangka Analisis Penelitian

Awal Pengumpulan Data

Wawancara langsung ke informan

Konflik terjadi antara pengelola, kelompok

masyarakat, pemkab

Konflik disebabkan oleh salah pahamnya

berbagai pihak

Dicari cara penyelesaian konflik

Hasil analisis temuan baru

IV. KEADAAN UMUM PENELITIAN

4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

4.1.1. Letak Geografis

Kebumen merupakan salah satu kabupaten yang berada di bagian selatan

Provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan Kabupaten Purworejo di sebelah

selatan Kabupaten Cilacap dan Banyumas di sebelah barat serta Kabupaten

Wonosobo dan Banjarnegara di sebelah utara. Secara geografis Kabupaten

Kebumen terletak pada7°27' - 7°50' Lintang Selatan dan 109°22' - 109°50' Bujur

Timur.

Gambar 1. Peta Kabupaten Kebumen Sumber: Google (diakses tanggal 10 Mei 2017)

28

4.2. Kondisi Penduduk dan Ketenagakerjaan

4.2.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Keadaan Jumlah pendudukDesa Ayah. Berdasarkan jenis kelamin jumlah

penduduk laki-laki lebih besar dari perempuan. Akan tetapi selisihnya tidak terlalu

besar yaitu 935 jiwa untuk laki-laki dan 914 jiwa untuk

perempuan.Tabel.2menunjukkan jumlah penduduk Desa Ayah.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Sumber: Balai Desa Ayah, 2017

Keadaan penduduk Desa Ayah relatif sedang. Sehingga jika dalam suatu

hubungan sosial terjadi masalah akan mudah diredam dan terorganisir.

4.2.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan adalah salah satu instrumen penting untuk peningkatan

kualitas dan kuantitas pendidikan. Di Desa Ayah masih terdapat 2,13 %

perempuan yang belum tamat SD dan 2,72 % laki laki yang belum tamat SD.

Sedangkan sedangkan yang menamatkan Akademi dan Perguruuan Tinggi baru

3 % untuk wanita dan 2,6 % untuk laki laki .

No. Jenis Kelamin Jumlah (jiwa)

1. Laki-Laki 935

2. Perempuan 914

Total 1.849

29

Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Sumber: Balai Desa Ayah, 2017

Mayoritas penduduk Desa Ayah menyelesaikan pendidikan dijenjang

wajib belajar 9tahun (SD-SMP-SMA). Pebedaan tingkat pendidikan di Desa Ayah

dapat mempengaruhi terjadinya konflik, karena adanya perbedaan status sosila

dimana tingkat pendidikan Desa Ayah lebih banyak pada lulusan SD, maka

tingkat pemikiran kurang berkembang,. Terlihat dari pola pendidikan dan

pemikiran akan menimbulkan perbedaan pendapat atau pemikiran sehingga

menimbulkan konflik dan perbedaan status sosial. Dalam hal kesediaan sumber

daya manusia (SDM) yang memadahi dan mumpuni, keadaan ini merupakan

tantangan tersendiri. Sebab ilmu pengetahuan setara dengan kekuasaan yang

akan berimplikasi pada penciptaan kebaikan kehidupan.

4.2.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Sebagian besar masyarakat Desa Ayah bermata pencaharian sebagai

Wiraswasta hal ini dikarenakan wilayah Desa Ayah yang berada di kawasan

wisata sehingga masyarakat membuka usaha-usaha yang ada di rumah mereka

masing-masing, lalu diikuti dengan Pertanian hal ini disebabkan wilayah tanah

sawah yang berada di Desa Ayah mencapai 50% dari total keseluruhan tanah

yang ada.

No. Tamat Pendidikan Laki-laki Perempuan

1 Tidak Tamat SD 20 25

2 Tamat SD 302 335

3 Tamat SLTP 200 195

4 Tamat SLTA 162 166

5 Diploma 6 7

6 Strata-1 25 28

7. Strata-2 2 -

30

Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Sumber: Balai Desa Ayah, 2017

Perbedaan kepentingan Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia

memiliki kepentingan dan usaha yang berbeda, baik kebutuhan dasar maupun

kebutuhan sosial, yang dapat menimbulkan pertentangan antar individu atau

kelompok. Pada masyarakat nomaden sering terjadi pertikaian antar kelompok

untuk mendapatkan daerah yang subur, sedangkan pada masyarakat industri

sering terjadi perselisihan untuk mendapatkan bahan baku atau konsumen dan

dalam aspek kehidupan politik terjadi perselisihan antar kelompok untuk

mendapatkan partisipan. Jadi konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan

dapat terjadi pada setiap masyarakat dengan berbagai tingkatannya (Pasaribu,

2013dalam Maulidharta, 2016).

Pebedaan jenis pekerjaan dan sumber penghasilan di Desa Ayah dapat

mempengaruhi terjadinya konflik, karena adanya perbedaan pekerjaan dapat

menimbulkan perbedaan kepentingan karena Desa Ayah mayoritas

penduduknya adalah wiraswasta maka jika dilihat ada suatu peluang yang akan

menghasilkan rupiah pasti akan mengundang banyak orang untuk mengelolanya.

4.2.4. Jumlah Penduduk Menurut Angkatan Kerja

Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah berkaitan dengan ketenagakerjaan, yaitu

untuk melihat bagaimana kondisi masyarakat yang ada dalam suatu wilayah dan

No. Mata Pencaharian 2014 2015 2016

L P L P L P

1. Pertanian 110 84 120 91 119 81

2. Perdagangan 10 20 6 21 12 27

3. Karyawan Swasta 81 68 88 73 82 69

4. Wiraswasta 245 206 255 210 259 221

5. PNS 18 19 18 19 18 19

31

bagaimana kualitas sumber daya manusia dalam suatu wilayah sehingga dapat

memperoleh kesempatan kerja.

Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Angkatan Kerja

No. Klasifikasi 2016

L P

1 Usia Kerja 102 96

2 Angkatan Kerja 562 590

3 Mencari Kerja 156 168

Sumber: Balai Desa Ayah, 2017

Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan sendirinya akan

mencerminkan laju pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi pula. Cepatnya laju

pertumbuhan angkatan kerja yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan

kesempatan kerja akan menimbulkan berbagai persoalan contohnya adalah

pengangguran. Salah satu usaha untuk menghambat angkatan kerja muda

adalah melalui perluasan sarana pendidikan. Pendidikan memang dapat

menunda masuknya penduduk usia muda dalam pasar tenaga kerja. Di samping

memperluas sarana pendidikan, peningkatan mutu pendidikan juga perlu

dilakukan. Dengan demikian akan tercipta tenaga kerja yang terampil dan tepat

guna.

4.3. Gambaran Umum Ekowisata Mangrove Ayah

4.3.1. Sejarah Ekowisata Mangrove Ayah

Pada tahun 1975 ada seorang sahabat Kyai Wasil yang datang ke Desa

Ayah, Kyai Wasil adalah tokoh masyarakat yang tinggal di Desa Ayah, saat itu

rumah Kyai Wasil berada di bantaran sungai, lalu sahabat Kyai Wasil

mengatakan bahwa daerah ini bahaya jika airnya naik atau terjadi air rob, tak

lama kemudian sahabat Kyai Wasil tersebut datang kembali ke Desa Ayah

dengan membawa 40 bibit tanaman bakau lalu Kyai Wasil dengan beberapa

masyarakat desa saat itu menanam batang-batang tanaman bakau. Tiga tahun

32

kemudian tanaman bakau sudah berkembang dan menghasilkan buah dengan

inisiatif masyarakat desa yang pada waktu itu bernama Kelompok Sri Tani

Rezeki, buah-buah tanaman bakau tersebut ditanam kembali.

Seiring dengan perkembangan waktu tanaman bakau tersebut menghasilkan

nilai ekonomi yang bisa dimanfaatkan masyarakat sekitar, banyak masyarakat

yang memanfaatkan kayu bakau menjadi kayu bakar untuk memasak, serta juga

menumbuhkan ekosistem baru dengan bermunculan hewan-hewan seperti

kepiting, udang dan buaya. Tahun 1982 ada pengusaha tambak udang yang

tertarik untuk membangun usaha diwilayah sekitar tanaman bakau namun

perusahaan tersebut berakhir dengan gulung tikar pada tahun 1984 karena

usaha tersebut tidak berkembang, setelah perusahaan gulung tikar, tambak

tersebut mendatangkan benih-benih ikan bandeng pada saat air pasang saat itu

banyak masyarakat yang memanfaatkan tambak tersebut akan tetapi tambak

yang dikelola masyarakat juga tidak berjalan lancar, jika air pasang akan

membawa kembali ikan-ikan bandeng tersebut ke habitatnya lalu oleh

masyarakat sebagian tambak-tambak tersebut ditanami tanaman bakau, saat itu

yang masyarakat manfaaatkan kayu-kayunya saja dan buahnya dijadikan bibit

untuk ditanami kembali.

Tsunami yang terjadi di Pangandaran tahun 2006 memberikan dampak

tsunami kecil pada Desa Ayah yang mengakibatkan beberapa tanaman bakau

dan ekosistem yang berada didalamnya juga ikut rusak. Dua tahun pasca

tsunami ada seseorang yang mengasuh mantan anak-anak jalanan dan biasa

memanfaatkan ikan-ikan hasil tangkapan nelayan dan kepiting yang mereka

ambil dari akar-akar tanaman bakau untuk dijadikan lauk, beliau beserta anak-

anak asuhnya merasa kesulitan untuk mencari lauk pauk, sehingga beliau

berpikir untuk menanami kembali tanaman-tanaman bakau dengan membentuk

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bernama Kelompok Peduli

34

mencetak foto-foto tersebut menjadi banner lalu dipasang pada pos penyuluhan

yang berada didalam hutan mangrove.

4.3.2. Aktivitas Ekowisata Mangrove Ayah

Ekowisata Mangrove Ayah terletak di dalam kawasan Pantai Logending Desa

Ayah, Kebumen. Pada dasarnya Ekowisata Mangrove Ayah adalah wilayah

Muara Sungai Bodo. Lahan yang sudah tetanami pohon bakau sekitar 17 hektar

dari 50 hektar. Setelah dikembangkan hutan bakau tersebut memiliki nilai

ekonomi yang bisa diambil dengan menjadikannya daerah ekowisata. Sesuai

dengan pengertian ekowisata adalah kegiatan wisata alam yang memperhatikan

unsur pendidikan, konservasi dan peningkatan pendapatan penduduk lokal,

berikut aktivitas yang ada di kawasan Ekowisata Mangrove Ayah.

a. Kegiatan Wisata Alam

Wisatawan yang berkunjung ke kawasan Ekowisata Mangrove rata-rata ingin

menikmati suasana teduh berjalan di kawasan hutan mangrove sekaligus sambil

mengabadikan momen dengan berfoto. Cukup dengan biaya Rp.15.000

pengunjung dapat menikmati berkeliling menggunakan perahu sembari

mengenal jenis-jenis dan manfaat dari mangrove itu sendiri.

b. Pendidikan dan Penelitian

Kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan contohnya kegiatan penyadaran

diri terhadap lingkungan yang biasanya diadakan oleh sekolah-sekolah yang

datang berkunjung. Mereka akan dibekali pemahaman tentang jenis-jenis

mangrove, manfaat mangrove, cara penanaman mangrove.

35

Gambar 7 menunjukan kegiatan pemberian materi tentang mangrove

yang dilakukan oleh KPL Pansela, pada saat kunjungan para pelajar Sekolah

Dasar. Selain dikunjungi pelajar ada juga kalangan mahasiswa atau peneliti

yang datang untuk melakukan penelitian di dalam hutan mangrove.

c. Konservasi

KPL Pansela adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap kegiatan

konservasi didalam kawasan Hutan Mangrove di Desa Ayah. Pengunjung juga

bisa ikut menanam mangrove karena pihak KPL Pansela juga menyediakan

sendiri bibit-bibit mangrove.

Gambar 5. Penanaman Bibit Mangrove Sumber: Dokumentasi Peneliti,2017

Gambar 4. Pemberian Materi Tentang Mangrove Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2017

36

Kegiatan penanaman bibit mangrove seperti pada Gambar.8 merupakan

bentuk penyadaran diri siswa-siswi Sekolah Dasar terhadap lingkungan

sebelumnya yang sudah dibekali materi tentang cara penanaman mangrove

sebelumnya.

d. Peningkatan Pendapatan Masyarakat Lokal

Disekitar pintu masuk juga terdapat warung-warung kecil yang dibangun

masyarakat untuk berjualan makanan dan minuman. Masyarakat sekitar juga

banyak yang memanfaatkan wilayah hutan mangrove untuk mencari kepiting,

ikan ataupun belut.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

1.1. Lokasi dan Cakupan Wilayah

1.1.1. Lokasi

Lokasi yang terjadi konflik berada di bagian selatan Desa Ayah, Kabupaten

Kebumen tepatnya di hutan mangrove yang berada didalam kawasan Pantai

Logending. Lahan yang dijadikan hutan mangrove merupakan muara Kali Bodo

dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ijo. Dari sekitar 50 hektar sudah sekitar 17

hektar yang tertanami pohon bakau yang meliputi wilayah Sigong sedang

dikembangkan menjadi Kawasan Ekosistem Esensial dan wilayah yang sudah

menjadi ekowisata. Berikut pemaparan dari beberapa informan.

InformanCamat Ayah menyatakan: “total mangrove sekitar 10 hektar

ya sekitar segitu oh ini.. kalo luasan itu sekitar 17 hektar total 50

hektar yang sudah ditanami 17 hektar”

Sementara penuturan kelompok masyarakat sebagai berikut:

Informan kelompok masyarakat menyatakan: “kurang lebih 7

hektaran yang sudah ditanami yang untuk wisata”

Kawasan Ekowisata Mangrove jika dilihat dari sisi Pantai Logending

ditunjukan pada Gambar 9.

Gambar 1. Wilayah Ekowisata Sumber:Dokumentasi Peneliti,2017

40

Wilayah hutan mangrove terbagi menjadi dua bagian seperti yang tertera

pada Gambar. 12 (1) merupakan wilayah yang dijadikan tempat ekowisata

terletak di dalam kawasan Pantai Logending, Desa Ayah. Gambar.12 (2)

merupakan wilayah Sigong yang sedang dikembangkan menjadi Kawasan

Ekosistem Esensial (KEE). Menurut penuturan seorang masyarakat desa,

wilayah sigong merupakan suatu pulau yang wilayahnya berbatasan langsung

dengan Desa Jetis Kabupaten Cilacap.

1.2. Akar Masalah Konflik di Dalam Pengembangan Ekowisata Mangrove

Jika ditelusuri lebih lanjut akar permasalahan pada konflik ini hanya

ada satu yaitu tentang status. Status itu sendiri dibagi dua, yang

pertama status lahan dan kedua status pengelolaan yang sah dari

pemerintah. Berikut hasil wawancara dengan pihak KPL Pansela:

”pangkal permasalahannya hanya satu kalimat adalah penyebabnya adalah “status”. Status itu dibagi dua yang menjadi masalah, status lahan penetapan status lahan dan juga status pengelola yang sah dari pemerintah, ndak ada yang ditunjuk kalo andai ditunjuk status lahan ini milik negara ya mesti pemerintah atau pihak-pihak lain tidak akan ada yang mengganggu sudah terus status pengelola sah yang ditunjuk Pansela atau siapa ya kamipun tidak akan, tidak akan anu tidak akan mengclaim bahwa itu adalah ee.. lahan saya, nda usah”

Sampai saat ini belum ada kejelasan tentang hak pengelolaan karena pihak

yang berwenang yaitu Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak belum turun

langsung untuk menyelesaikan permasalahan ini. Hal ini yang menimbulkan

perbedaan pemahaman dan perbedaan kepentingan diantara para pihak karena

masing-masing pihak menganggap lahan yang digunakan adalah lahan timbul

sehingga banyak pihak yang merasa dapat memiliki lahan tersebut.

41

1.3. Pihak Terlibat dalam Konflik Pengembangan Ekowisata Mangrove Ayah

Pihak-pihak yang terlibat langsung dalam konflik pengembangan di

Ekowisata Mangrove Ayah antara lain: pihak Kelompok Peduli Lingkungan

Pantai Selatan (KPL Pansela), kelompok masyarakat Desa Ayah, dan instansi

terkait dalam pengertian Dinas Pariwisata Kabupaten Kebumen, sementara pihak

yang hanya sebagai pengamat dan pihak yang terlibat tidak langsung seperti

Dinas Kehutanan dan Perkebunan, instansi pengairan yaitu Pengelola Sumber

Daya Air (PSDA) Serayu-Citanduy dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS)

Serayu-Opak. Hal tersebut tergantung pada intensitas hubungan yang dilakukan

antara masing-masing pihak terhadap konflik dan sample utama konflik.

Penjelasan tentang pihak-pihak yang terkait sebagai berikut:

1.3.1. Kelompok Peduli Lingkungan Pantai Selatan (KPL Pansela)

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini bergerak dibidang lingkungan dan

fokus terhadap kegiatan konservasi hutan. Pasca tsunami tahun 2006

terbentuklah kelompok ini yang kemudian dilegalkan di notaris pada tahun 2010

dengan tujuan untuk memulihkan kembali ekosistem hutan mangrove yang

diterjang gelombang tsunami. Lalu mereka mencoba untuk menggandeng

pemerintah yang waktu itu adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan untuk

mengadakan program penanaman mangrove hal tersebut ternyata mendapat

respon baik dari pemerintah. Selang beberapa tahun tepatnya tahun 2014

mangrove yang ditanam sudah semakin berkembang sehingga membentuk

hutan. Terlintaslah untuk membuka wisata edukasi lalu mereka swadaya

membangun tracking untuk mempermudah akses hutan mangrove tersebut.

Tahun 2015 mulai dikenalkan kepada masyarakat, hingga pejabat

pemerintahanpun mengunjungi lokasi tersebut dan akhirnya memberikan

bantuan untuk membangun pos-pos. Visi dan Misi KPL Pansela tidak dipaparkan

42

dengan jelas kepada masyarakat hal inilah yang membuat masyarakat

beranggapan bahwa KPL Pansela adalah LSM yang hanya memperdaya

masyarakat, ditambah adanya dukungan dari pemerintah dan dianggap

mengambil keuntungan sepihak yang menimbulkan rasa cemburu sosial

dikelompok masyarakat.

1.3.2. Kelompok Masyarakat Desa (Sri Rezeki)

Tidak semua masyarakat desa yang terlibat dalam konflik ini melainkan hanya

beberapa orang yang membentuk kelompok dan menamakan dirinya sebagai

Kelompok Sri Rezeki mereka beranggapan bahwa mereka sudah lama tinggal di

Desa Ayah, hutan mangrove yang sekarang ada adalah hasil penanaman orang

tua mereka dan merekalah yang meneruskan warisan orang tua tersebut tetapi

menurut pemahaman mereka ada LSM yang mengaku-ngaku bahwa hutan

mangrove yang sekarang ada dikelola serta dikembangkan menjadi wisata oleh

LSM. Serta dukungan pemerintah terhadap LSM tersebut yang menimbulkan

rasa cemburu sosial.

1.3.3. Dinas Pariwisata

Melihat adanya lokasi yang bisa dijadikan tempat pariwisata membuat Dinas

Pariwisata akhirnya menyadari hutan mangrove yang ada di Desa Ayah bisa

untuk dikembangkan dan dikelola lebih lanjut sesuai dengan visi misi Dinas

Pariwisata Kabupaten Kebumen sebagai berikut :

Visi : Kebumen Sebagai Daerah Tujuan Pariwisata Dengan Memelihara Nilai-nilai Budaya Misi : (1) Mengembangkan destinasi dan pemasaran pariwisata yang berdaya saing tinggi

(2) Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah yang berlandaskan nilai-nilai luhur

(3) Mengembangkan sumber daya industri pariwisata dan pemberdayaan masyarakat

(4) Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan pariwisata yang profesional

43

Sebelum dibuka ekowisata mangrove Dinas Pariwisata sama sekali tidak

melihat adanya peluang untuk dijadikan tempat wisata setelah mulai dikenal

khalayak umum Dinas Pariwisata semakin mengupayakan untuk mendapatkan

hak pengelolaan hutan mangrove tersebut. Dinas Pariwisata juga sudah

membuat masterplan dan mempunyai anggaran sebanyak 3,8 milyar untuk

mengelola kawasan tersebut.

(a) (b)

Gambar 13 (a) merupakan masterplan kawasan ekowisata mangrove

secara keseluruhan yang nantinya akan dibangun juga pondok-pondok

penginapan dikawasan hutan mangrove, gambar 12 (b) merupakan rancangan

pintu masuk hutan mangrove. Masterplan ini sudah dipaparkan ke masyarakat

sekitar bulan desember 2016.

1.3.4. Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Dinas Kehutanan dan Perkebunan atau yang biasa disingkat dengan

Dishutbun tidak terlibat langsung dalam konflik ini karena kontribusi Dishutbun

hanya sebatas memfasilitasi KPL Pansela dalam merawat dan menjaga kawasan

hutan mangrove. Sejak 2017 Dishutbun Kab.Kebumen sudah termasuk kedalam

Gambar 5. Masterplan Ekowisata Mangrove Sumber: KPL Pansela, 2016

44

Badan Lingkungan hidup sehingga KPL Pansela sekarang berjalan sendiri untuk

menjaga konservasi hutan mangrove di Desa Ayah.

1.3.5. Instansi-instansi Pengairan

Lahan yang digunakan untuk Kawasan Hutan Mangrove merupakan Daerah

Aliran Sungai Ijo sehingga melibatkan pihak instansi pengairan dalam hal ini

adalah Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak yang berada di

Yogyakarta, supaya tidak mengganggu aktivitas yang ada di DAS perlu dilakukan

pengkajian tentang rekomendasi teknis tetapi BBWS tidak bisa berjalan sendiri

karena pihak BBWS belum bisa mengeluarkan izin untuk penyewaan lahan.

Pihak yang bisa mengeluarkan izin untuk penyewaan adalah Balai Pengendalian

Sumberdaya Air (PSDA) yang berpusat di Semarang dan memiliki cabang yang

berada di Purwokerto. Balai PSDA nantinya akan bekerjasama dengan BBWS

untuk membuat surat izin penyewaan yang akan diserahkan kepada pihak

Pemerintah Provinsi dalam hal ini adalah Gubernur sesuai dengan Peraturan

Daerah setempat.

1.4. Proses Terjadi Konflik di Dalam Pengembangan Ekowisata Mangrove

Awal mula terjadi konflik di Kawasan Hutan Mangrove Desa Ayah setelah ada

bencana Tsunami Pangandaran tahun 2006 yang memberikan dampak pada

Desa Ayah. Kemudian ada pihak yang merawat kembali pohon-pohon mangrove

yang berada disekitar kawasan dengan tujuan awal memulihkan ekosistem.

Seiring perkembangan zaman hutan mangrove berubah fungsi menjadi

ekowisata dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga banyak pihak yang

ingin memperebutkan hak pengelolaan. Visualisasi sederhana proses konflik

dapat dilihat pada Gambar 14.

45

Gambar 6. Visualisasi Proses Konflik

1.4.1. Pasca Tsunami Tahun 2006

Pasca Tsunami di Pangandaran tahun 2006 yang memberikan dampak

kerusakan Pantai Logending dan wilayah mangrove di Desa Ayah membuat

seseorang warga yang biasa memanfaatkan wilayah mangrove berinisiatif

membentuk suatu kelompok yang bernama Kelompok Peduli Lingkungan Pantai

Selatan (KPL Pansela) dengan tujuan awal untuk mengembalikan ekosistem

mangrove. Namun tujuan baik ini tidak mendapat respon baik dari pihak nelayan

Pantai Logending mereka menanggap dengan ditanamnya mangrove malah

membuat daerah parkir perahu mereka semakin terbatas. Selang beberapa

tahun tanaman bakau yang mereka tanam sudah semakin berkembang dan

membentuk hutan serta sudah banyak manfaat yang bisa diambil para nelayan

karena mulai banyak ikan yang hidup disekitaran mangrove membuat

permasalahan yang terjadi dengan nelayan mereda.

2006

Tsunami

2015

Ekowisata Mangrove

2016

Perebutan Hak Pengelolaan

46

1.4.2. Perubahan Fungsi Menjadi Ekowisata Mangrove

KPL Pansela yang dibentuk dengan tujuan untuk memelihara dan merawat

lingkungan Pantai Selatan mempunyai ide untuk menjadikan kawasan tersebut

menjadi tempat wisata edukasi, dengan swadaya kelompok tersebut mereka

mengumpulkan kayu-kayu untuk membangun tracking, ide tersebut ternyata

mendapat respon baik dari pemerintah kabupaten yaitu Dinas Kehutanan dan

Perkebunan yang akhirnya melakukan survey ke Ekowisata Mangrove Ayah dan

memberikan bantuan untuk membangun pos-pos yang bisa digunakan untuk

acara dan mushola serta dibangun juga toilet di dekat pos tersebut. Dinas

Kehutanan dan Perkebunan juga menyarankan untuk menjadikan hutan

mangrove tersebut menjadi Kawasan Ekosistem Esensial (KEE).Hal ini

menimbulkan kecemburuan dari pihak kelompok masyarakat desa setempat

(Kelompok Sri Rezeki) mereka beranggapan bahwa mereka yang telah

mengelola hutan mangrove tersebut karena sebelumnya orang tua mereka yang

membawa bibit mangrove ke Desa Ayah, tetapi saat ada LSM yang mempunyai

embel-embel konservasi lingkungan langsung didukung penuh dan dipercaya

untuk mengelola hutan mangrove tersebut.

Gambar 7. Pos Bantuan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Kebumen

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2017

47

Lewat kunjungan dari para pejabat daerah akhirnya mengundang media

untuk meliput kawasan tersebut sehingga pada tahun 2016 mulai ramai

pengunjung yang hanya sekedar ingin berfoto-foto atau sekedar menikmati

suasana berjalan-jalan di bawah pohon mangrove. Gambar.16 menunjukkan foto

kegiatan menyusuri hutan mangrove menggunakan perahu, dengan membayar

Rp.15.000 pengunjung bisa mengelilingi hutan mangrove sekaligus diberikan

informasi tentang mangrove yang dipandu oleh KPL Pansela.

Belum usai permasalahan antara KPL Pansela dengan Kelompok

masyarakat (Sri Rezeki) timbul lah permasalahan baru tepatnya pada libur Hari

Raya Idul Fitri tahun 2016 jumlah wisatawan yang berkunjung meningkat,

membuat Dinas Pariwisata Kebumen menyadari untuk mengembangkan dan

mengelola Ekowisata Mangrove Ayah, hal ini semakin membuat kelompok

masyarakat desa setempat (Kelompok Sri Rezki) geram. Kelompok masyarakat

(Sri Rezeki) menanggap wilayah tersebut warisan dari orang tua mereka tetapi

mereka tidak diikutsertakan dalam pengelolaan hutan bakau tersebut. Mereka

tidak mau pengelolaan jatuh kepada instansi-instansi tertentu karena khawatir

tidak dilibatkan dalam pengelolaannya. Akhirnya mereka menuntut kepada

Gambar 8. Wisata Menggunakan Perahu Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2017

48

pemerintah desa untuk bertindak namun pemerintah desa juga tidak memiliki hak

kewenangan sepenuhnya lalu diserahkan kepada pemerintah kabupaten. Namun

Kelompok masyarakat (Sri Rezeki) kecewa dengan pihak pemerintahan

seharusnya Pemda turun kedalam konflik ini untuk menyelesaikan masalah

bukan menambah masalah dengan ikut ingin mengelola. Selain konflik antara

Kelompok Sri Rezeki dan Dinas Pariwisata timbul lagi masalah baru yaitu dugaan

pungutan liar yang dilakukan oleh Kelompok Sri Rezeki, Kelompok Sri Rezeki

yang ingin juga ikut mengelola dan merasakan hasilnya, membuat gardu di dekat

pintu masuk parkiran untuk menarik iuran masuk padahal jika wisatawan

menggunakan perahu dengan mengeluarkan uang Rp. 15.000 sudah termasuk

tiket masuk Ekowisata Mangrove. Hal ini akhirnya membuat masalah meluas lagi

dan ikut melibatkan pihak kepolisian, yang sampai sekarang masih diusut

kasusnya. Setelah ditelusuri lahan yang ditanami tanaman bakau tersebut milik

Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak Yogyakarta.

1.4.3. Perebutan Hak Pengelolaan Berdasarkan Hasil Diskusi Dengan

Pihak-Pihak Yang Terlibat

Berikut ini adalah hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat

dalam konflik:

Informan 1 menyatakan bahwa: ” individu intinya kan „aku‟ aku tau

ya? Saya. Saya harus tampil saya harus bisa, saya harus bisa

memiliki bisa andil dan macem-macem itu secara individu nah

secara lembaga memang ada antara lembaga yang mengklaim

dulu pernah menanam dengan lembaga yang baru ya kami dirikan

juga terlibat yang namanya Pansela itu lembaga. Jadi lembaga

awalnya lembaga itu eee lembaga bayaran kalo menanam bakau

mangrove itu ya kalo mau dibayar baru nanam tidak ada

perawatan nah kalo kami Pansela selama ini ndak, entah dapet

program atau tidak sudah menjadi konsep kami dalam Pansela

tetep menanam, dirawat, kalo yang lembaga pertama merasa dulu

pernah menanam tapi konflik ini timbul kan setelah mangrove yang

diciptakan ini menghasilkan rupiah, dia tidak belajar ee.. proses

menghasilkan itu kayak bagaimana mereka itu tidak tahu, malah

dulu rusak ditebangi, kayu-kayunya ditebangi, keempatnya tadi

49

bicara masalah birokrat pemerintah, pemerintahpun sama setelah

tau dikelola oleh dikembangkan oleh Kelompok Pansela,

pemerintah ingin ikut dengan berdalih lahan itu milik lahan timbul,

lahan yang dibuat oleh negara, ingin menguasai juga nah seperti

itu, terus juga dari pihak lain ada pemilik modal besar ingin andil

menguasai ingin membangun, nah ini multiconflict yang kami lihat,

nah dan itu versi pandangan saya.”

Dari hasil wawancara dengan pihak KPL Pansela, ada 4 aktor yang terlibat

dalam konflik yaitu individu, lembaga, birokrat, dan pihak lain. Kemudian

informan juga memberikan petunjuk aktor-aktor yang bisa peneliti temui seperti

beberapa masyarakat desa untuk menemukan fakta-fakta lainnya.

Informan 2 selaku masyarakatDesa Ayah menyatakan: “ awal

mula masalah? Dulunya mangrove ini dikelola oleh Pansela ya

kan terus setelah dikelola Pansela terus dibuka tracking maksud

tujuan dari dibuat tracking menurut Pansela adalah mangrove

education ternyata setelah ada mangrove education ternyata

pengunjungnya tidak hanya anak-anak sekolah saja ternyata ada

umum juga ya kan, karena ada umum disitu timbul cemburu,

timbullah konflik antara masyarakat bahwa pengertiannya

masyarakat itu dibuka pariwisata pengertiannya seperti itu tapi

pengertiannya Pansela kan mangrove education tapi pengertian

masyarakat dia itu naik perahu bayar otomatis ada dana

pemasukan cemburunya masyarakat karena ada uang sih, tapi

tujuan Pansela sebenarnya arahannya nanti melibatkan

masyarakat juga sebenarnya Pansela tersebut juga sudah

melibatkan masyarakat cuman belum seluruhnya baru sebagian.

Itu sepengertian saya, saya dilingkungan sini, saya sih gatau

bagaimana tapi pengelihatan saya begitu.”

Masyarakat Desa Ayah ini mengetahui tentang adanya konflik yang terjadi

tetapi dari sini peneliti menemukan informasi terbaru bahwa ternyata masyarakat

Desa Ayah yang berseteru tidak seluruhnya namun hanya beberapa orang saja

atau membentuk suatu kelompok. Peneliti pun terus mencari kebenaran tersebut.

Informan 3:“setelah peristiwa tsunami itu ada proyekan dari dinas

pada waktu itu dinas kehutanan dan perkebunan (dishutbun) itu

turun kesini membikin kelompok masyarakat namanya kelompok

Sri Rezeki kalo saya itu ya Kelompok Peduli Lingkungan lah KPL

lah mendapat bantuan mungkin dari sana ada kucuran dana dari

pemerintah untuk ee.. membeli bibit dan untuk menanami lagi

50

pada waktu itu tahun 2006 setelah itu selang perjalan waktu laa..

singkat cerita lah ya mba perkembangan zaman dan program

pemerintah otomatis lah seperti masyarakat dari berita ke berita

isitlahnya pemikirannya lebih luas, masyarakat lebih tau lebih jauh,

laa.. mempunyai inisiatif mau dikembangkan permasalahan hutan

bakau terus dengan mau dibikin wisata, wisata desa karena

sekarang dianjurkan pemerintah tapi kenapa seperti pemerintahan

daerah tidak mendukung tidak mendukung kemauan masyarakat

yang mempunyai inovasi inisiatif untuk membangun daerahnya

sendiri malah mau istilahnya meminta aset masyarakat padahal itu

asli asal muasal jerih payah masyarakat desa kenapa seperti

pemerintah daerah desanya sendiri, ya kebetulan saya mbak yang

didepan yang dituakan disitu saya sampe sudah meminta izin ke

dinas-dinas terkait karena wilayah itu yang mempunyai

kepemilikan tanah tersebut itu adalah tanah milik negara artinya

yang mempunyai kewenangan instansi PSDA (Pengelola Sumber

Daya Air) kalo dipusat itu DAS itu pengelolanya yang

berketempatan di Purwokerto terus pusatnya di Semarang, sudah

membuka pintu lebar-lebar untuk mendukung kegiatan masyarakat

dan juga dari Dinas Lingkungan Hidup kaitannya dengan

kelestarian hutan mangrove juga mendukung atas dasar inisiatif

masyarakat tapi kenapa seperti pemda kok ngotot.”

Peneliti menyimpulkan narasumber ke-3 merupakan salah satu masyarakat

desa yang paham dan terlibat langsung dalam konflik yang terjadi.

Informan 4 “jadi dulu kawasan mangrove itu kan dulunya belum

seperti marak saat ini dulu warga masyarakat biasalah saat itu

tanamannya apa bahasa jawanya bakau ya. Warga masyarakat

bakau itu kan biasa dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah

tanggalah, kemudian sejak 2006 atau 2008 ada LSM KPL Pansela

bikin LSM mengajukan program ke pemerintah waktu itukan

perkebunan kewenangan masih dipegang kabupaten, Pansela

sudah memiliki SK bahwa LSM itu yang akan mengelola

konservasi mangrove di kawasan Pantai Ayah termasuk wilayah

BBWS Serayu Opak. Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak itu

kan disana ada sungai, Sungai Bodo DAS Ijo, punya kewenangan

menanam, memelihara kemudian juga memberdayakan

masyarakat sekitar untuk ikut terlibat dalam pengelolaan,

penanaman dan pemeliharaan mangrove karena konservasi,

puncaknya pada tahun 2016 hari raya, mereka (kelompok

masyarakat) berinisiatif mengelola mangrove jadi saya ga tau

tanpa sepengetahuan desa atau bagaimana tapi ada kelompok

masyarakat yang memanfaatkan mangrove itu dengan

kepentingan untuk wisata dalam arti wisatawan yang datang ke

wilayah mangrove itu untuk apa ya membayar sewa perahu untuk

berkeliling disana lah itu yang menjadi kecemburuan karena

51

keuntungannya katakanlah bisa sampai ratusan juta sepanjang

liburan itu ya tentunya pihak Pansela selaku lembaga yang

diberikan kewenangan untuk melakukan konservasi itu merasa

jadi rusak karena banyaknya pengunjung yang dateng kesitu

kemudian mungkin iseng megang-megang mangrovenya, buang

sampah disitu. Pihak desa merasa ada kelompok yang

memanfaatkan, Pansela juga merasa terusik tapi kelompok

masyarakat itu juga tidak mau divonis ada dampak kerusakan

lingkungan disisi lain warga masyarakat cemburu karena disitu

ada uangnya sehingga kepentingan-kepentingan skala desa itu

sudah tidak akur lagi.”

Informan 4 ini merupakan Camat Ayah sehingga peneliti anggap sebagai wakil

suara dari pihak pemerintahan.

Informan 5 yaitu Ketua Kelompok Nelayan Pantai Ayah.

Mengatakan bahwasanya. orang-orang itulah ada yang nganu yaa

yang biasa kalo udah diliat uang ya segi berbagai instansi-instansi

terkait rasanya ngikut memiliki. ya tingkatnya dari provinsi, daerah,

sampai desa jadi asal-usulnya mangrove ini di tanahnya siapa sih?

Yang masih jadi pertanyaan sekarang. Instansi-instansi terkait

hanya melihat dari duitnya tapi tidak melihat menanam di

perkebunan siapa sih? Tapi sudah ada titik terang selama 3 bulan

kesana. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa yang bisa

menjamin adalah PSDA itu lah yang punya tanah

Awalnya peneliti ingin mewawancara pihak nelayan karena Pantai Ayah

merupakan Pangkalan Pendaratan Ikan sehingga banyak nelayan yang bukan

asli Ayah yang mendaratkan hasil tangkapannya sehingga sulit untuk menemui

pihak nelayan yang asli Desa Ayah dan akhirnya peneliti mewawancarai Ketua

Kelompok Nelayan Pantai Ayah. Dari hasil wawancara dengan informan 5

peneliti menyimpulkan bahwa beliau tidak mempermasalahkan tentang lahan

parkir perahu-perahu nelayan serta wilayah penangkapan ikan yang dahulu

dipermasalahkan melainkan beliau juga ikut tergabung mendukung kelompok Sri

Rezeki untuk mengelola lahan tersebut. Berdasarkan wawancara dengan Ketua

Kelompok Nelayan penulis juga menemukan ketidakkonsistenan informan dalam

memberikan informasi berikut kutipannya:

52

“ya awal mulanya ya masyarakat sini nanem cuma berapa pohon

ada itungannya terus ada kegiatan nganu ya bantuan biaya

nanem tapi ya nanemnya itu ditanahnya dulunya itu pengairan

sekarang PSDA”

“nanami bakau-bakau udah bilang belum, nanem di tanah orang

seperti apalah, kamu punya tanah ditanemin pohon pisang sama

orang gimana rasanya? Ya seperti itu.”

“dulunya gatau itu kepunyaan masyarakat cuma taunya tanah itu

tanah timbul gatau orang yang hak itu PSDA, masyarakat nanem

ya masyarakat gatau taunya tanah pengairan aja.

Berikut ini adalah hasil wawancara dari pihak PSDA Serayu-Citanduy:

Informan 6 yaitu Kepala Seksi Pengendalian dan Pendayagunaan

PSDA Serayu-Citanduy,“Ini mangrove awalnya ditanami

masyarakat kemudian setelah tumbuh itu dipake wisata para

remaja, itu masuk kesana menemukan suasana yang lain lah,

utamanya yang dijadikan wisata adalah Pantai Logending yang

sudah dikelola pemerintah. Setelah itu pemerintah melalui

kehutanan melakukan program penanaman dengan

menggandeng LSM, nah LSM ini berusaha menguasai, akhirnya

berebut gitu kan.”

Informan tersebut sudah tidak netral dalam menanggapi konflik yang terjadi

cenderung berpihak kepada kelompok masyarakat desa, hal ini disebabkan

karena beliau tidak terlalu sering menghadiri rapat yang membahas tentang

konflik yang terjadi sehingga beliau hanya mendengarkan keluhan dari

masyarakat desa yang datang ke PSDA Serayu-Citanduy.

Kemudian peneliti berusaha menemui pihak Balai Besar Wilayah Sungai

Serayu Opak tetapi peneliti hanya bertemu dengan seorang sekretaris Kepala

Subbagian Barang Milik Negarabeliau mengatakan:

Informan 7“wah kalo ada konflik itu saya baru tau mbak coba nanti saya tanyakan sama orang yang ada di lapangan ya tetapi kalo liat wilayahnya sih iya itu memang wewenang BBWS.”

Dari Informan tersebut peneliti menyimpulkan bahwa pihak BBWS masih netral dalam kasus ini dan belum ikut turun langsungdalam penyelesaian konflik ini.

53

1.5. Resolusi dan Pihak Terlibat di Dalamnya

1.5.1. Resolusi dari pihak KPL Pansela

Pihak KPL Pansela yang merasa kegiatan konservasinya terusik karena

konflik semakin meluas sementara dari berulang kali mediasi yang dilakukan

tidak juga menyelesaikan masalah, akhirnya membicarakan hal ini ke Dinas

Kehutanan dan Perkebunan yang selama ini juga turut membantu dalam hal

pengelolaan Ekowisata Mangrove Ayah karena pada awal kegiatan penanaman

mangrove pasca tsunami pihak KPL Pansela tidak mengetahui lahan yang

digunakan kewenangan dari BBWS Serayu Opak Yogyakarta. KPL Pansela

mengusulkan menutup sementara Ekowisata Mangrove Ayah kecuali untuk

kunjungan dinas, penelitian, dan konservasi. Melalui Dinas Kehutanan dan

Perkebunan mengeluarkan surat keputusan tanggal 30 Desember 2016 yang

berisikan

“Penutupan kawasan hutan mangrove dilaksanakan sementara. Selama periode penutupan akan dilaksanakan kegiatan pemulihan kawasan dan pengamanan hutan mangrove, untuk kegiatan pemulihan dan pengamanan hutan, Dishutbun menunjuk Kelompok Tani Hutan (KTH), Pansela sebagai kelompok binaan yang terdaftar di Dinas, selaku koordinator pelaksana. KTH dan Pansela diberi kewenangan untuk menggunakan fasilitas milik dinas berupa Pos Penyuluhan, Pos Pantau, dan Perahu pengaman”

Periode penutupan dilaksanakan tanggal 9 Januari—9Maret 2017 namun

dalam 2 bulan tersebut tidak juga mendapatkan status pengelolaan yang jelas,

Pemerintah Provinsi memperpanjang masa penutupan Ekowisata Mangrove

Ayah sampai waktu yang belum ditentukan. Penutupan yang dimaksud teruntuk

wisatawan umum yang berkunjung, tidak ada penarikan biaya tiket masuk karena

hal ini dianggap sebagai pungutan liar.

Berikut merupakan penuturan Camat Ayah:

“jika sesuai aturan kawasan wisata itu dikelola dengan cara menarik tiket berarti harus ada ketentuannya ada pihak pengelola ada izinnya atau tidak kemudian ada jaminan keselamatan, kenyamanan atau

54

tidak lah ini tidak sehingga pada waktu itu Polri melihat ini adalah illegal pungutan liar”

1.5.2. Peraturan di Kawasan Hutan Mangrove Desa Ayah

Kawasan Hutan Mangrove di Desa Ayah menggunakan Daerah Aliran

Sungai sehingga untuk pengelolaannya harus memperhatikan beberapa

peraturan yang berkaitan dengan cara memanfaatkan sempandan sungai untuk

beraktivitas supaya tidak mengganggu aliran sungai dan menimbulkan masalah

baru serta perlu diperhatikan cara perizinan untuk membangun suatu bangunan

disuatu lokasi berdasarkan peraturan daerah setempat. Berikut adalah

pemaparan dari beberapa peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan

mangrove di Desa Ayah.

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No.

28/PRT/M/2015 tentang penetapan garis sempadan sungai dan sempandan

danau pasal 22 dan pasal 24 berbunyi

Pasal 22

(1) Sempadan sungai hanya dapat dimanfaatkan secara terbatas untuk: a. Bangunan prasarana sumber daya air; b. fasilitas jembatan dan dermaga; c. jalur pipa gas dan air minum; d. rentangan kabel listrik dan telekomunikasi; e.kegiatan lain sepanjang tidak mengganggu fungsi sungai, antara lain kegiatan menanam tanaman sayur-mayur; dan f. bangunan ketenagalistrikan.

(2) Dalam hal di dalam sempadan sungai terdapat tanggul untuk kepentingan

pengendali banjir, perlindungan badan tanggul dilakukan dengan larangan:

a.menanam tanaman selain rumput; b.mendirikan bangunan; dan c. mengurangi

dimensi tanggul.

Pasal 24

(1) Pemanfaatan sempadan sungai dan sempadan danau sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 22 dan Pasal 23 dilakukan berdasarkan izin dari Menteri, gubernur,

atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam pengelolaan sumber

daya air.

(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan

mempertimbangkan rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air pada

wilayah sungai yang bersangkutan.

Mengacu PERMEN PUPR No. 28/PRT/M/2015 pemanfaatan sempandan

sungai harus melalui izin dari gubernur dalam hal ini sebagai wakil dari

55

pemerintah pusat dengan pertimbangan rekomendasi teknis dari pihak pengelola

sumber daya air yaitu Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak.

Izin yang dikeluarkan gubernur berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa

Tengah No. 18 Tahun 2013 Pasal 3, 4, 32 yang berbunyi:

Pasal 3

Ruang lingkup Peraturan Gubernur ini meliputi: a. Persiapan pengajuan penetapan lokasi; b. Tata cara penetapan lokasi; c. Pendelegasian persiapan pengadaan tanah; d. Biaya operasioal dan Biaya pendukung; dan e. Pengawasan, pelaporan dan evaluasi.

Pasal 4

Persiapan pengajuan penetapan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a meliputi: a. Pembentukan Tim persiapan pengadaan tanah; b. Pemberitahuan rencana pembangunan; c. Pendataan; d. Konsultasi publik; e. Tim kajian keberatan.

Pasal 32

Tata cara penetapan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b sebagai berikut: a) Instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada Gubernur, dilengkapi dengan Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah; b) Tim persiapan melakukan 1. pemberitahuan rencana pembangunan kepada masyarakat pada lokasi; 2. Pendataan awal lokasi rencana pembangunan; 3. Konsultasi publik rencana pembangunan; 4. konsultasi publik ulang dalam hal terdapat keberatan; 5. Melaporkan kepada Gubernur perlunya dilakukan kajian terhadapkeberatan atas lokasi rencana pembangunan; c) Tim Kajian keberatan melakukan kajian keberatan atas lokasi rencana pembangunan, yang hasil kajiannya dituangkan dalam bentuk rekomendasi untuk diterima atau ditolaknya keberatan; d. Dalam hal Gubernur berdasarkan rekomendasi Tim Kajian Keberatan memutuskan menerima keberatan maka instansi yang memerlukan tanah membatalkan rencana pembanguan atau memindahkan lokasi pembangunan ke tempat lain; e. Gubernur menetapkan lokasi pembangunan berdasarkan kesepakatan atas lokasi rencana pembangunan dalam konsultasi publik oleh Tim Persiapan atau berdasarkan rekomendasi ditolaknya keberatan oleh Tim KajianKeberatan.

1.5.3. FGD (Focus Group Discussion) Antara Pihak Yang Terlibat Langsung

Maupun Tidak Langsung

Sampai saat ini mediasi yang dilakukan hanya melibatkan pihak pihak yang

terlibat langsung belum melibatkan pihak-pihak yang terlibat secara tidak

langsung. Kedepannya mediasi yang dilakukan perlu melibatkan pihak-pihak

yang terlibat secara tidak langsung seperti pemerintahan provinsi dan instansi-

instansi terkait juga perlu diadakan terlebih dahulu FGD (Focus Group

56

Discussion) antara pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung untuk

membahas tujuan pengembangan hutan mangrove yang berkelanjutan serta

tetap memperhatikan peraturan-peraturan yang berkaitan pembangunan di

wilayah sempandan sungai.

1.5.4. Model Penyelesaian Konflik Pengembangan Ekowisata di Desa Ayah

Model penyelesaian konflik dalam pengembangan ekowisata di Desa Ayah

yang dihasilkan dari penelitian ini adalah seperti yang tertera pada Gambar 17

57

Gambar 9. Model Penyelesaian Konflik

Hutan Mangrove

Mitigasi Bencana

Tsunami

Ekowisata

Pihak yang Terlibat

Langsung:

1. KPL Pansela 2. Kelompok

Masyarakat 3. Dinas Pariwisata Pihak yang Terlibat

Tidak Langsung:

1. Instansi Pengairan

2. Pemerintah

Provinsi

3. Dinas Kehutanan

dan Perkebunan

Status Lahan

dan Status

Pengelolaan

Proses Penyelesaian

1. FGD dengan mengkaji

semua peraturan dan

perundangan yang mecakup

pengelolaan kawasan hutan

mangrove

2. Mediasi

3. Hasil mediasi, calon

pengelola membuat

rekomtek untuk kawasan

tersebut

Terwujudnya Pengembangan Ekoswisata Mangrove

Ayah

Instansi Pengairan

mengkaji rekomendasi

teknis yang diajukan oleh

calon pengelola

Pemerintah Provinsi

melalui Gubenur

mengeluarkan surat

keputusan untuk

pengelola

59

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Hasil uraian konflik pengembangan Ekowisata Mangrove Ayah maka dapat

diambil kesimpulan dalam penelitian ini adalah wilayah mangrove yang

tujuan awalnya untuk pemulihan ekosistem dan sebagai wilayah mitigasi

bencana tsunami berubah fungsi menjadi ekowisata. Akan tetapi sasaran

pengunjung hutan mangrove meleset dari perkiraan, wisatawan yang

berkunjung memanfaatkan hutan mangrove sebagai objek pariwisata untuk

berlibur bukan sebagai wisata edukasi yang akhirnya merusak ekosistem

yang berada di hutan mangrove tersebut. Perubahan fungsi hutan mangrove

yang dapat menghasilkan keuntungan dalam bentuk materi membuat

banyak pihak yang tadinya tidak sadar dalam pengelolaan hutan merasa

ingin terlibat atau ikut dalam pengelolaan hutan. Sementara pihak-pihak

yang terlibat dalam perebutan hak pengelolaan ini tidak tahu dengan status

kejelasan lahan tersebut sehingga pihak-pihak terkait tidak ada yang mau

mengalah.

2. Faktor-faktor penyebab terjadinya konflik yaitu;

a. Status lahan,

b. Status pengelolaan,

c. Perbedaan kepentingan,

d. Perbedaan pemahaman.

3. Penyelesaian konflik sementara dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan

adalah menutup sementara Ekowisata Mangrove Ayah untuk umum mulai

tanggal 9 Januari—9Maret 2017 dan diperpanjang oleh Pemerintah Provinsi

sampai hak pengelolaan sudah jelas.

60

6.2 Saran

Saran yang disampaikan terdiri dari dua yaitu implikasi yang berkaitan

dengan akademis dan implikasi praktis:

1. Proposisi yang didapat pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Jika didalam pengembangan ekowisata menghasilkan nilai ekonomi, maka

dapat timbul konflik.

b. Konflik dalam pengembangan ekowisata terjadi karena ketidakjelasan status

lahan, status pengelolaan, perbedaan kepentingan dan perbedaan pemahaman

Proposisi ini memberikan arti bahwa individu ataupun kelompok berusaha

memperebutkan sesuatu yang memiliki nilai ekonomi. Oleh karena itu untuk

mengatasi konflik yang terjadi perlu diadakan Focus Group Discussionantara

pihak-pihak yang terlibat seperti KPL Pansela, Kelompok Masyarakat Desa (Sri

Rezeki), Pemerintah Daerah dan pihak yang berwenang yaitu instansi-instansi

pengairan.

2. Saran yang bisa diberikan kepada para pihak yang terlibat konflik sebagai

berikut:

a) KPL Pansela

Sebaiknya KPL Pansela tetap berjalan pada kegiatan konservasi yang

memang tujuan awal mereka karena fungsi Lembaga Swadaya Masyarakat

memang bertujuan untuk membantu masyarakat tanpa memperoleh

keuntungan.

b) Kelompok Masyarakat (Sri Rezeki)

Masyarakat harus lebih sadar terhadap aset desa yang mereka miliki dan

juga harus memiliki rasa untuk menjaga serta merawat aset-aset tersebut

jangan sampai ada pihak-pihak dari luar desa yang mengelola dan merawat,

61

setelah hasilnya baik lalu ingin merebut kembali dengan mengclaim bahwa

aset tersebut milik desa.

c) Pemerintah

Pemerintah lebih memperhatikan aset-aset daerah yang mereka miliki,

jangan tunggu pihak lain yang membuka jalan untuk memberikan pemasukan

untuk daerah dan pemerintah pusat harus lebih tanggap tentang

permasalahan yang berada di daerah mereka.

62

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Ed Revisi. Jakarta : Rineka Cipta.

Dahuri, M. 1996.Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Dongoran, R.A. 2010. Partisipasi Masyarakat Kabupaten Simeulue dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami.Medan: Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Herdiansyah, H. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika

Kadir, A. 2013. Konflik pada Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Provinsi Sulawesi Selatan dan Upaya Penyelesaiannya. Makassar : Balai Penelitian Kehutanan.

Kurniawan, D. 2014. Faktor Penyebab dan Dampak Konflik Antar Warga di Kecamatan Way

Panji Kabupaten Lampung Selatan. Lampung : Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Negeri Lampung.

Kusuma, N. 2013. Studi Lapis Lindung Pemecah Gelombang Hexapod, Tetrapod, dan Kubus Modifikasi. Yogyakarta : Fakultas Teknik. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Maulidharta, S. 2016. Konflik Pengembangan Ekowisata di Pantai Batu Bengkung, Desa Gajahrejo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Malang: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya Malang.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.

Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 18 tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis

Pelaksanaan Persiapan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan

Umum

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 33 tahun 2009 tentang

Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor:

28/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan

Danau.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan

Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelengaraan, Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Purwanti, P. E.Susilo, dan Erlinda. 2017. Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan. Malang: UB Press.

Qomariah. L. 2009. Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat Di Taman Nasional Meru Betiri ( Studi Kasus Blok Rajegwesi Sptn I Sarongan ). Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Sahlan. 2015. Konflik Antara Masyarakat dengan Pemerintah (Studi Kasus Pada Eksplorasi Tambang di Kecamatan Lambu Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat). Makassar : Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin.

Siswanto, Y.2014. Antara Merusak Dan Memanfaatkan Hutan Mangrove Pada Masyarakat

Pesisir (Studi Etnosains pada Hutan “Bakau” di Masyarakat Pesisir Desa Pematang Pasir, Lampung). Lampung: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: CV. Alfabeta. 2014.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Usman, M. 1999. Peluang Pengembangan Ekoturisme Indonesia sebagai Andalan Alternatif Kepariwisataan Nasional. Bogor: Departemen Kehutanan.

Winardi, J. 2007. Manajemen Konflik, (Konflik Perubahan Dan Pengembangan). Bandung: Mandar Maju

Wirawan. 2010. Konflik Dan Manajemen Konflik; Teori, Aplikasi Dan Penelitian. Jakarta : Salemba Humanika