Upload
mukhammad-harfat-kholid
View
61
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kolesterol dan perlemakan hati
Citation preview
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kolesterol
Kolesterol ada dalam diet semua orang, kolesterol merupakan lipid
berwarna kekuningan dan berupa seperti lilin yang diproduksi oleh tubuh kita,
terutama di dalam hati. Kolesterol merupakan zat antara yang diperlukan dalam
biosintesis hormon steroid. Struktur kolesterol dapat dilihat pada (gambar 2.1).
Kolesterol memiliki 2 gugus metil yang terikat pada rantai C-13 dan C-10 dengan
5 ikatan rangkap. Rantai cabang hidrokarbon terikat pada atom C-17, sedangkan
gugus hidroksil terdapat pada atom C-3. Kolesterol sangat larut dalam lemak tetapi
hanya sedikit larut dalam air. Kolesterol secara spesifik mampu membentuk ester
dengan asam lemak. Hampir 70% kolesterol dalam lipoprotein plasma memamng
dalam bentuk ester kolesterol (Guyton, 2007)
Gambar 2.1 Struktur molekul kolesterol (Sumber: Zamora A., 2007)
Kolesterol merupakan bahan perantara pembentuk sejumlah komponen
penting seperti vitamin D (untuk membentuk tulang), hormon seks (estrogen dan
testosteron) dan asam empedu (untuk pencernaan). Kolesterol merupakan sterol
yang banyak terdapat di dalam semua jaringan hewan dan manusia, baik dalam
6
bentuk kolesterol ataupun terikat sebagai ester kolesterol dan dinyatakan sebagai 3-
hidroksi-5,6 kolesten (Wirahadikusuma, 1985)
2.1.1 Pembentukan Kolesterol
Kolesterol yang ada dalam tubuh berasal dari dua sumber, yaitu dari
makanan (eksogen) dan kolesterol endogen yang di sintesa oleh tubuh sendiri.
Kolesterol yang disintesa tubuh manusia setiap hari adalah 1 gram per hari
sedangkan hasil sintesis dari makanan sekitar 0,3 gram per hari. Setelah kolesterol
eksogen dicerna dalam usus halus, maka akan bergabung dengan kolesterol
endogen yang disintesis oleh tubuh kemudian dinding usus halus akan menyerap
kolesterol tersebut. Dalam sel mukosa usus halus, ester kolesterol, trigliserida dan
fosfolipid disintesis kembali dan dibungkus dengan protein selanjutnya
disekresikan dalam bentuk kilomikron. Kolesterol dalam tubuh dikeluarkan melalui
dua cara, yaitu diubah menjadi empedu sebagai garam-garam kolesterol dan sterol
netral yang dibuang melalui feses. Awalnya asam empedu disintesa dalam hati
dengan bahan dasar kolesterol. Asam empedu ini digunakan dalam proses
pencernaan, khususnya lemak dengan cara pembentukan kilomikron (Soraya,
2006).
Menurut Mayes (1995) pembentukan kolesterol dibagi dalam lima tahap
(Gambar 2.2):
a. Asetil-CoA membentuk HMG-CoA (3-hidroksi-3-metilglutaril-CoA) dan
mevalonat. Pada awalnya, 2 molekul asetil-CoA berkondensasi membentuk
aseto-asetil-CoA dan reaksi kondensasi ini dikatalisis oleh enzim sitosolik
tiolase. Aseto-astil-CoA berkondensasi dengan moleku asetil-CoA selanjutnya
untuk membentuk HMG-CoA dan reaksi kondensasi ini dikatalisis oleh enzim
HMGCoA sintetase. HMG-CoA diubah menjadi mevalonat dalam proses
reduksi dua tahap oleh NADPH dengan dikatalisis oleh enzim HMG-CoA
reduktase.
7
Gambar 2.2 Sintesis Kolesterol dalam Tubuh. (Sumber: Gadbut et al. 1997)
b. Mevalonat membentuk unit isopronoid yang aktif. Mevalonat mengalami
fosforisasi oleh ATP untuk membentuk beberapa senyawa terfosforilasi yang
aktif, dengan bantuan reaksi dekarboksilasi maka akan terbentuk unit isoprenoid
yang aktif, yakni isopentenilfosfat.
c. Enam unit soprenoid membentuk skualena. Tiga molekul isopentenilpirofosfat
mengalami kondensasi membentuk farnesil pirofostat. Proses ini terjadi lewat
isomerisasi senyawa isopentenilpirofosfat yang meliputi pergeseran ikatan
rangkap untuk membentuk dimetilalil pirofosfat, diikuti dengan kondensasi
hingga terbentuk geranil pirofosfat, kondensasi selanjutnya akan membentuk
farsenil pirofosfat. Dua molekul farsenil pirofosfat berkondensasi dalam suatu
reaksi eliminasi pirofosfat hingga terbentuk praskualena pirofosfat dan diikuti
reduksi NADPH serta pirofosfat radikal sisanya. Senyawa yang dihasilkan
adalah skualena.
8
d. Skualena diubah menjadi lanosterol. Skualena dubah menjadi skualena 2, 3-
oksida oleh enzim skualena epoksidase, setelah itu akan terjadi siklisasi oleh
enzim lanosterolsiklase menjadi lanosterol.
e. Lanosterol diubah menjadi kolesterol, gugus metil pada C14 dioksidasi menjadi
CO2 untuk membentuk 14-dismetil lanosterol. Dua gugus metal lagi pada C4
dikeluarkan untuk untuk membentuk zimosterol, selanjutnya pergeseran ikatan
rangkap dalam cincin B untuk mengambil posisi diantara C5 dan C6. Akhirnya
kolesterol akan terbentuk setelah ikatan rangkap pada rantai samping reduksi.
2.1.2 Lipoprotein
Lipoprotein adalah bola-bola kecil yang mentranspor lemak dalam
tubuh dan terdiri dari protein, kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid (Zamora A.,
2007). Lipoprotein berbentuk sferik dan mempunyai inti trigliserid dan kolesterol
ester dan dikelilingi oleh fosfolipid dan sedikit kolesterol bebas. Setiap lipoprotein
berbeda dalam ukuran, densitas, komposisi lemak, dan komposisi protein. Dengan
menggunakan ultrasentrifusi, pada manusia dapat dibedakan enam jenis lipoprotein
yaitu high density lipoprotein (HDL), low density lipoprotein (LDL), intermediate
density lipoprotein (IDL), very low density lipoproten (VLDL), kilomikron, dan
lipoprotein a kecil (Lp(a)) (Adam, 2009).
Metabolisme lipoprotein dapat dibagi menjadi atas tiga jalur yaitu jalur
metabolisme endogen, eksogen, dan reverse cholesterol transport. Kedua jalur
pertama berhubungan dengan metabolisme kolesterol-LDL dan trigliserida, sedang
jalur reverse cholesterol transport khusus mengenai metabolisme kolesterol-HDL
(Adam, 2009).
Jalur metabolisme eksogen dimulai saat makanan berlemak yang kita
makan terdiri atas trigliserida dan kolesterol. Selain itu, di dalam usus juga terdapat
kolesterol yang berasal dari hati yang disekresi melalui empedu ke usus halus.
Keduanya, baik yang berasal dari lemak dan berasal dari hati disebut lemak
eksogen. Selanjutnya, kolesterol dan trigliserida yang ada dalam usus diserap ke
dalam enterosit mukosa usus halus. Trigliserida diserap dalam bentuk asam lemak
bebas sedangkan kolesterol diserap sebagai kolesterol. Dalam usus halus, asam
9
lemak diubah kembali menjadi trigliserida, sedang kolesterol diubah menjadi
kolesterol ester melalui proses esterifikasi dan keduanya bersama dengan fosfolipid
dan protein akan membentuk lipoprotein yang dikenal dengan kilomikron.
Kemudian kilomikron ini akan masuk ke saluran limfe dan akhirnya melalui duktus
torasikus akan masuk ke dalam aliran darah. Trigliserida dalam kilomikron akan
mengalami hidrolisis menjadi asam lemak bebas oleh enzim lipoprotein lipase.
Asam lemak bebas dapat disimpan sebagai trigliserida kembali ke jaringan lemak,
tetapi bila terdapat dalam jumlah yang banyak sebagian akan diambil oleh hati
menjadi bahan untuk pembentukan trigliserida hati (Adam, 2009)
Jalur metabolisme endogen dimulai saat trigliserida dan kolesterol yang
disitesis dalam hati disekresi ke aliran darah sebagai VLDL. VLDL akan
mengalami hidrolisis oleh enzim lipase dan berubah menjadi IDL yang kemudian
juga akan mengalami hidrolisis menjadi LDL. LDL adalah lipoprotein yang banyak
mengandung kolesterol. Sebagian dari kolesterol di LDL akan dibawa ke hati dan
jaringan steroidegenik lainnya seperti kelenjar adrenal, testis, dan ovarium yang
mempunyai reseptor untuk kolesterol-LDL. Sebagian lagi dari kolesterol-LDL akan
mengalami oksidasi dan ditangkap oleh reseptor scavenger-A (SR-A) di makrofag
dan akan menjadi sel busa. Makin banyak kadar kolesterol-LDL dalam plasma
makin banyak yang akan mengalami oksidasi dan ditangkap oleh sel makrofag
(Adam, 2009).
Pada jalur reverse cholesterol transport, HDL dilepaskan sebagai partikel
kecil miskin kolesterol disebut HDL nascent berbentuk gepeng yang berasal dari
usus halus dan hati. HDL nascent akan mendekati makrofag dan mengambil
kolesterol yang tersimpan dalam makrofag. Setelah mengambil kolesterol dari
makrofag, HDL nascent berubah menjadi HDL dewasa berbentuk bulat.
Selanjutnya kolesterol bebas akan diesterifikasi oleh lecithin cholesterol
acyltransferase (LCAT) menjadi kolesterol ester. Sebagian kolesterol ester yang
dibawa HDL akan mengalami duaa jalur. Jalur pertama akan membawa kolesterol
ester ke dalam hati. Jalur kedua adalah akan ditukarkan dengan trigliserida dari
VLDL dan IDL (Adam, 2009).
10
2.1.3 Kuning Telur
Dilihat dari aspek gizi , maka telur merupakan salah satu bahan makanan
yang berasal dari produk ternak unggas yang paling komplit baik dari aspek protein,
lemak dan kandungan gizi lainnya. Telur terdiri atas tiga bagian utamam, yaitu kulit
telur dengan bobot sekitar 11%, putih telur dengan bobot sekitar 58%, dan kuning
telur dengan bobot sekitar 31%. Kandungan dan komposisi gizi masing-masing
bagian tersebut berbeda satu dengan lainnya. Kuning telur mengandung 60%
lipoprotein. Lipoprotein kuning telur terdiri atas 85% lemak dan 15% protein. Hasil
uji coba tentang kandungan kolesterol dalam telur diperoleh kisaran 11,00-12,30
mg/g kuning telur. Besar kandungan kolesterol tergantung besar kecilnya kuning
telur (Ariyani, 2006)
2.2 Hati
2.2.1 Anatomi Hati
Hati atau hepar merupakan organ terbesar di dalam tubuh. Hati bertekstur
lunak dan lentur, serta terletak di bagian atas cavitas abdominalis tepat di bawah
diaphragma. Sebagian besar hati terletak di bawah arcus costalis dexter, dan
diaphragma setengah bagian kanan memisahkan hati dari pleura, paru, pericardium,
dan jantung. Permukaan atas hati yang cembung melengkung di bawah kubah
diaphragma. Permukaan posteroinferior, atau visceralis membentuk cetakan visera
yang letaknya berdekatan, karena itu bentuknya menjadi tidak beraturan.
Permukaan ini berhubungan dengan pars abdominalis oeshopagus, gaster,
duodenum, flexura coli dextra, ren dexter dan glandula suprarenalis dextra, dan
vesica biliaris (Snell, 2006).
Hati dapat dibagi dalam lobus dexter yang besar dan lobus sinister yang
kecil. Keduanya dipisahkan oleh perlekatan peritoneum yang disebut ligamentum
falciforme. Lobus dexter terbagi lagi menjadi lobus quadratus dan lobus caudatus,
namun secara fungsional lobus quadratus dan lobus caudatus merupakan bagian
dari lobus sinister (Snell, 2006).
11
Gambar 2.3 Anatomi Hati (Sumber: http://www.netterimages.com/)
Lobulus hati merupakan suatu unit fungsional dasar hati (Guyton, 2007).
Secara mikroskopis di dalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli, setiap
lobulus berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati yang berbentuk kubus yang
tersusun radial mengelilingi vena sentralis (Amirudin, 2006). Vena sentralis
menghimpun semua darah dan menyalurkannya ke vena hepatika, kemudian
meniggalkan permukaan posterior hati ke vena cava inferior dan dialirkan ke
jantung untuk diedarkan ke seluruh tubuh (Snell, 2006).
Hati menerima darah sebanyak 1500 ml/menit, yaitu 28% dari darah yang
keluar jantung, yang dapat diperinci 1000 ml per menit adalah darah vena yang
berasal dari lambung, usus halus, dan usus besar, pankreas dan limpa. Darah ini
mengalir ke hati melalui vena porta. Darah ini kurang mengandung oksigen tetapi
kaya akan zat-zat gizi dan mungkin mengandung toksin dan bakteri. Sisanya kurang
lebih 500 ml per menit didapatkan dari arteri hepatika, dimana darah ini memiliki
saturasi oksigen yang tinggi. Didalam hati juga terdapat saluran empedu. Jika vena
porta, arteri hepatika, dan saluran empedu terdapat dalam satu daerah maka daerah
tersebut disebut porta hepatika (Ganong, 2008).
12
Gambar 2.4 Sistem hepatobiliaris normal (Sumber: Kinanti, 2009)
2.2.2 Histologi Hati
Secara histologis, hati tersusun oleh beberapa tipe sel, dimana yang
terpenting adalah sebagai berikut:
a. Sel hepatosit
Sel-sel ini merupakan 70% dari semua sel di hati dan 90% dari berat hati
total. Bentuknya poligonal dengan 6 atau lebih permukaan, berukuran 20-35 m,
dengan membran sel yang jelas. Inti sel hepatosit bulat atau lonjong dengan
permukaan teratur dan besarnya bervariasi dari satu sel dengan lainnya. Masing-
masing inti bentuknya vesicular dengan granula kromatin tampak jelas dan tersebar,
dengan satu atau lebih anak inti. Mitokondria kecil-kecil tetapi berjumlah banyak
di dalam sitoplasma, dan aparat golgi biasanya tampak terletak dekat dengan inti
atau tepi sel dan dekat kanalikuli biliaris. Hepatosit tersusun dalam unit-unit
fungsional yang disebut asinus, atau lobulus. Setiap lobulus memiliki sebuah vena
sentral (vena terminalis) dan traktus portal yang terletak di perifer (Lesson, 1996).
13
Gambar 2.5 Gambar histologi dari satu sel parenkim hati(Sumber: Kinanti,
2009)
Organel-organel sitoplasma yang terdapat pada hepatosit (Lesson, 1996):
1) Endoplasmik retikulum kasar (ERK)
Mengandung saccus yang parallel, pipih atau sisternal, disebut kasar
karena pada permukaan luar melekat poliribosom, tersebar secara acak di
sitoplasama. ERK dan ribosom bertanggungjawab terhadap sintesa protein. Selain
itu, ERK ini dapat bekerja sama dengan endoplasmik retikulum halus dalam sintesa
lipoprotein atau enzim
2) Endoplasmik retikulum halus (ERH)
Mempunyai fungsi dalam sintesa trigliserida, detoksikasi obat-obatan, dan
metabolisme kolesterol. Pada percobaan binatang, ERH tampak meningkat saat
pembentukan glikogen, sehingga diduga berhubungan dengan sintesa glikogen
3) Kompleks Golgi
14
Jumlahnya banyak terletak di permukaan kanalikuli empedu atau di
samping inti, berkaitan dengan fungsi sekresi
4) Lisosom
Mengandung enzim hidrolisis asam, enzim untuk sintesa protein. Setiap
hepatosit terdapat 15-20% lisosom. Mempunyai fungsi menimbun bahan-bahan
dari luar, seperti feritin, zat besi, lipofusin, yang tidak dicerna dalam waktu lama
dan dapat membentuk residual bodies
5) Perioksisom atau mikrobodies
Bentuk ovoid, berisi enzim-enzim metabolisme
6) Mitokondria
Pada sel hati terdapat kurang lebih 1000. Didapatkan enzim oksidatif
fosforilase. Lebih banyak didapatkan pada daerah sentrilobuler
7) Glikogen
Tampak sebagai granul-granul padat, terdiri dari partikel alfa dan beta,
diameter 15-30mm. Glikogen ini akan dipecah menjadi glukosa dan kemudian
masuk sirkulasi.
b. Sel duktus biliaris
Sel-sel duktus biliaris membentuk duktulus dalam traktus portal lobulus
hati. Duktulus dari lobulus-lobulus yang berdekatan menyatu menjadi duktus yang
berjalan menuju hilus hati, dengan ukuran dan garis tengahnya secara bertahap
membesar. Duktus-duktus empedu intrahepatik besar membentuk duktus empedu
ekstrahepatik yang keluar dari hati di hilus hati.
c. Sel vaskular
Hati memiliki pendarahan ganda, organ ini menerima darah arteri melalui
arteri hepatica dan darah vena melalui vena porta. Arteri hepatika dan vena porta
masuk ke hati di porta hepatika lalu bercabang-cabang menjadi pembuluh-
pembuluh yang lebih halus berjalan sejajar sampai mencapai traktus. Cabang-
cabang kecil vena porta dan arteri hepatika bersama-sama dengan duktus empedu
terbungkus dalam suatu jaringan ikat traktus portal dan dikenal sebagai triad portal.
Dari traktus portal, darah vena dan arteri masuk ke dalam sinusoid lobulus dan
mengalir menuju vena terminal, yang merupakan pembuluh utama yang keluar dari
15
lobulus. Sinusoid dilapisi oleh sel-sel kupfer, yang membentuk suatu lapisan
berpori tak kontinyu, yang secara tidak sempurna memisahkan ruang darah dari sel-
sel hati (Mochamad, 2004). Sel kupffer merupakan sel retikuloendotel atau
makrofag jaringan yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain
(Guyton, 2007). Terdapat sebuah ruang sempit Disse (ruang perisinusoidal) yang
memisahkan sel kupfer dari sel-sel hati (Mochamad, 2004).
Gambar 2.6 Struktur mikroskopis hati (Sumber: http://www.britannica.com/)
Secara kasar asinus hati digambarkan sebagai segitiga yang mempunyai
cabang-cabang terminal dari arteri hepatika dan vena porta yang memanjang dari
daerah portal pada basisnya, dan venula-venula hepatik terminal (vena sentralis)
pada apeksnya (Robbin et al., 2011). Atas dasar kedekatannya pada vena distribusi
dan kandungan enzim di dalamnya, maka sel-sel dalam asinus hati dapat dibagi
dalam zona-zona. Sel-sel pada zona 1 adalah daerah elipsoid yeng tepat
mengelilingi arteriol hepatika dan venul porta terminal, merupakan zona pertama
yang dipengaruhi oleh darah yang masuk. Pada zona 1 ini paling banyak dijumpai
enzim yang terlibat dalam metabolisme oksidatif dan glukoneogenesis. Sel-sel zona
2 yang terletak di tengah merupakan zona yang memberikan respon terhadap darah.
Disini dijumpai enzim campuran (zona 1 dan 3). Sel-sel zona 3 terletak di dekat
ujung-ujung asinus. Zona ini mengandung enzim yang terlibat dalam glikolisis,
16
metabolisme obat dan lipid. Susunan menurut zona ini dapat menerangkan beberapa
perbedaan kerusakan selektif dari hepatosit oleh berbagai agen toksik atau penyakit
(Bloom dan Fawcet, 2002).
Gambar 2.7 Lobulus hati (Sumber: http://www.britannica.com/
2.2.3 Fungsi Hati
Hati memiliki berbagai macam fungsi yang komplek dan vital bagi tubuh.
Fungsi-fungsi utama hati adalah pembentukan empedu, penyimpanan dan
pelepasan karbohidrat, pembentukan urea, metabolisme kolesterol, metabolisme
hormon polipeptida, pembentukan protein plasma, reduksi dan konjugasi hormon
steroid, sintesis asam hidroksikolekalsiferol, detoksikasi obat dan toksin (Ganong,
2008).
Sel hati mensintesis albumin, factor pembekuan, yaitu fibrinogen,
komponen beberapa komplemen, sel-antitripsin, dsb, mengeluarkan berbagai sisa
buangan produk tubuh, serta bahan yang berpotensi toksik. Sel hati juga terlibat
dalam metabolisme berbagai obat. Karenanya penyakit hati yang ekstensif akan
mempengaruhi berbagai fungsi vital dan berpengaruh hebat pada tubuh
(Underwood, 1999).
http://www.britannica.com/
17
Salah satu fungsi penting yang sering menyebabkan kerentanan kerusakan
sel hati adalah fungsinya sebagai organ tempat metabolisme obat dan zat kimia lain.
Jalur metabolisme obat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu reaksi fase 1
(biotransformasi) dan reaksi fase 2 (konjugasi). Reaksi fase 1 mencakup reaksi
enzimatik oksidasi, hidroksilasi, reduksi dan hidrolisis. Dalam reaksi tersebut,
gugus baru dimasukkan ke dalam molekul obat menjadi lebih polar dan oleh
karenanya menjadi lebih mudah diekskresikan. Sedangkan reaksi fase 2 merupakan
sintesis enzimatik. Di sini suatu gugus fungsional ditutupi (dilindungi) gugus baru
misalnya asetil, sulfat, asam glukoronat atau beberapa asam amino lain, yang
meningkatkan kepolaran obat tersebut. Obat yang tahan terhadap enzim
metabolisme obat atau yang sangat hidrofilik akan diekskresikan sebagian besar
tanpa berubah (Foye, 1995).
2.2.4 Kerusakan dan Respon Hati terhadap Jejas
Hati memiliki kemampuan metabolisme paling kompleks di dalam tubuh,
tetapi hati juga mudah mengalami cedera karena pengaruh metabolik yang
dikerjakannya, oleh mikroba, maupun oleh karena neoplastik tertentu. Sebagian
besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal, dan setelah diserap,
toksikan dibawa oleh vena porta ke hati. Enzim yang memetabolisme xenobiotik
dalam hati meningkat terutama sitokrom P450; keadaan ini sebenarnya ditujukan
untuk mengubah sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan menjadikan
lebih mudah diekskresikan karena bahan toksikan tadi menjadi lebih larut dalam
air. Keadaan tertentu, bisa terjadi efek sebaliknya, beberapa toksikan diaktifkan
sehingga menimbulkan lesi yang berakibat terjadinya nekrosis dari sel-sel
hepatosit. Toksikan dapat menyebabkan berbagai efek toksik terhadap sel hati yang
menyebabkan berbagai jenis kerusakan hati (Lu, 1995).
Respon hati terhadap jejas secara umum ada lima, yaitu:
a. Degenerasi dan akumulasi intraseluler
1) Degenerasi hidrofik
18
Toksin dan reaksi imunologik dapat menyebabkan pembengkakan
hepatosit, sel terlihat edem disertai sitoplasma yang irreguler dan ruang-ruang
kosong.
2) Akumulasi intrasel
Beberapa bahan dapat terakumulasi di dalam hepatosit. Penimbunan
trigliserida abnormal dalam sel parenkim hati disebut dengan perlemakan hati
(steatosis) (Lu, 1995). Mekanisme yang mendasari akumulasi abnormal trigliserida
di sel parenkim hati antara lain:
a) Masuknya asam lemak bebas berlebihan ke dalam hati
b) Sintesis asam lemak meningkat
c) Oksidasi asam lemak berkurang
d) Esterifikasi asam lemak menjadi trigliserid meningkat
e) Sintesis apoprotein berkurang
f) Sekresi lipoprotein terganggu dari hati (Robbin et al., 2011)
Akumulasi droplet-droplet lemak multipel yang tidak sampai menggeser
inti sel ke tepi dikenal sebagai steatosis mikrovesikuler. Akumulasi droplet lemak
besar dan tunggal yang menggeser inti ke tepi disebut dengan steanosis
makrovesikuler. Lemak larut dalam preparasi histologi rutin, meninggalkan ruang
kosong tidak beraturan yang tidak tercat dalam sitoplasma.
b. Nekrosis
Gambar 2.8 Nekrosis hati (Sumber: http://sites.tigroslazuli.com/)
Semua agen penyebab jejas yang signifikan dapat menyebabkan terjadinya
nekrosis. Hepatosit yang mengalami nekrosis akibat agen toksik dan reaksi
19
imunologik menunjukkan gambaran hepatosit yang mengkerut, piknosis, dan
eosinofilik kuat yang mengandung fragmen-fragmen nukleus. Hepatosit juga dapat
mengalami pembengkakan dan ruptur yang disebut nekrosis lisis. Nekrosis sering
terjadi di daerah terminal vena hepatika (nekrosis sentrilobular) (Robbin et al.,
2006). Mekanisme toksikan tertentu (senyawa radikal bebas) dalam menimbulkan
nekrosis sel hati adalah dengan mengikat protein dan lemak tak jenuh pada
membran organel atau membran sel yang menyebabkan peroksidasi lipid dan
akhirnya terjadi kerusakan sel (Lu, 1995).
c. Inflamasi
Jejas pada hati dapat mengakibatkan influks sel-sel radang akut dan kronik
atau yang disebut dengan hepatitis. Terjadinya inflamasi dapat merupakan onset
dari adanya nekrosis, dan sebaliknya inflamasi dapat mengakibatkan nekrosis. Sel
limfosit T yang tersensitisasi dapat menyerang hepatosit-hepatosit sehat yang
mengakibatkan terjadinya kerusakan hati. Inflamasi dapat terbatas pada daerah
masuknya leukosit (traktus portal) atau menyebar ke daerah parenkim.
d. Regenerasi
Hati mempunyai daya regenerasi tinggi. Proliferasi hepatoseluler ditandai
dengan mitosis, menebalnya hepatosit cord dan beberapa disorganisasi struktur
parenkim.
d. Fibrosis
Gambar 2.9 Fibrosis hati (Sumber: http://flagshipbio.com//)
Jaringan fibrosa terbentuk akibat respon terhadap reaksi inflamasi atau
agen toksik. Fibrosis adalah kerusakan irreversibel. Pembentukan jaringan fibrosa
ini dapat mengganggu aliran darah dan perfusi hepatosit. Pada stadium awal,
20
fibrosis berkembang di sekitar traktus portal atau vena hepatika, atau terdeposisi
langsung di dalam ruang perisinusoidal (dari Disse). Pada stadium lanjut terjadi
sirosis, yaitu fibrosis membagi hati dalam nodul-nodul yang dikelilingi jaringan
parut (Robbin et al., 2011).
2.3 Radikal Bebas
Para ahli biokimia menyebutkan bahwa radikal bebas merupakan salah
satu bentuk senyawa oksigen reaktif, yang secara umum diketahui sebagai senyawa
yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Senyawa ini terbentuk di dalam
tubuh, dipicu oleh bermacam-macam faktor. Radikal bebas bisa terbentuk,
misalnya ketika komponen makanan diubah menjadi bentuk energi melalui proses
metabolisme. Pada proses metabolisme ini, sering kali terjadi kebocoran elektron.
Dalam kondisi demikian, mudah sekali terbentuk radikal bebas, seperti anion
superoksida, hidroksi, dll. Radikal bebas juga terbentuk dari senyawa lain yang
sebenarnya bukan radikal bebas, tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas.
Misalnya hidrogen peroksida H2O2, ozon, dll. Kedua kelompok senyawa tersebut
sering diistilahkan sebagai senyawa oksigen reaktif (SOR) atau reactive oxygen
species (ROS) (Winarsi, 2007).
Radikal bebas memiliki reaktivitas yang sangat tinggi. Elektron yang tidak
berpasangan dalam radikal bebas cenderung untuk mencari pasangan dengan cara
mengikat atau menyerang elektron disekelilingnya. Jika elektron yang terikat oleh
senyawa radikal bebas tersebut bersifat ionik, dampak yang timbul memang tidak
begitu berbahaya. Akan tetapi, bila elektron yang terikat radikal bebas berasal dari
senyawa yang berikatan kovalen, akan sangat berbahaya karena ikatan digunakan
bersama-sama pada orbital terluarnya. Umumnya, senyawa yang memiliki ikatan
kovalen adalah molekul besar (biomakromolekul), seperti lipid, protein, maupun
DNA (Winarsi, 2007).
Semakin besar ukuran biomolekul yang mengalami kerusakan, semakin
parah akibatnya. Kerusakan sel akan berdampak negatif pada struktur dan
fungsinya. Secara biologis senyawa biomolekul memiliki fungsi yang sangat
21
penting. Oleh sebab itu, adanya kerusakan struktur dan fungsi sel akan sangat
mengganggu sistem kerja organ secara umum (Winarsi, 2007).
Sebagai akibat dari aktivitas dari radikal bebas akan terbentuk radikal
bebas baru radikal bebas baru yang berasal dari atom atau molekul yang elektronnya
diambil untuk berpasangan dengan radikal sebelumnya. Namun, bila dua senyawa
radikal bertemu, elektron-elektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa
tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya,
bila senyawa radikal bebas bertemu dengan senyawa bukan radikal bebas, akan
terjadi 3 kemungkinan,
a. Radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak berpasangan (reduktor)
kepada senyawa bukan radikal bebas.
b. Radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas.
c. Radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi, 2007).
Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas mirip dengan
rancidity oxidative, yaitu melalui 3 tahapan raksi berikut.
a. Tahap inisiasi, yaitu tahapan yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas.
b. Tahap propagasi, yaitu tahap dimana radikal bebas cenderung bertambah banyak
dengan membuat reaksi rantai dengan molekul lain.
c. Tahap terminasi, apabila terjadi reaksi antara radikal bebas dengan radikal bebas
lain atau antara radikal bebas dengan suatu senyawa pembasmi radikal
(scavenger) (Winarsi, 2007)
2.4 Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan.
Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi
berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal.
Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi,
dengan mengikat radikal bebas. Akibatnya, kerusakan sel dapat dihambat (Winarsi,
2007).
22
Berkaitan dengan reaksi oksidasi di dalam tubuh, status antioksidan
merupakan parameter penting untuk memantau kesehatan seseorang. Tubuh
manusia memiliki sistem antioksidan untuk menangkal reaktivitas radikal bebas,
yang secara berkelanjutan dibentuk sendiri oleh tubuh. Bila senyawa oksigen reaktif
ini melebihi jumlah antioksidan dalam tubuh, kelebihannya akan menyerang
komponen lipid, protein, maupun DNA sehingga mengakibatkan kerusakan-
kerusakan yang disebut dengan stres oksidatif. Namun demikian, reaktivitas radikal
bebas dapat dihambat melalui 3 cara berikut. Yaitu, mencegah atau menghambat
pembentukan radikal bebas baru, menginaktivasi atau menangkap radikal dan
memotong propagasi (pemutusan rantai), dan memperbaiki kerusakan oleh radikal
bebas (Winarsi, 2007).
Antioksidan dapat berupa enzim (misalnya superoksida dismutase atau
SOD, katalase, dan glutation peroksidase), vitamin (misalnya vitamin E, C, A, dan
-karoten), dan senyawa lain (misalnya flavonoid, albumin, bilirubin, dll).
Antioksdan enzimatis merupakan sistem pertahanan utama (primer) terhadap
kondisi stres oksidatif. Enzim-enzim tersebut merupakan metaloenzim yang
aktivitasnya sangat tergantung pada adanya ion logam. Aktivitas SOD bergantung
pada logam Fe, Cu, Zn, dan Mn, enzim katalase bergantung pada Fe, dan enzim
glutation bekerja dengan cara mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas baru
(Winarsi, 2007).
Disamping antioksidan yang bersifat enzimatis, ada juga antioksidan
nonenzimatis yang dapat berupa senyawa nutrisi maupun nonnutrisi. Kedua
kelompok antioksidan nonenzimatis ini disebut juga antioksidan eksogen karena
dapat diperoleh dari bahan makanan, seperti vitamin C, E, A, dan -karoten.
Glutation, asam urat, bilirubin, albumin, dan flavonoid juga termasuk dalam
kelompok ini. senyawa- senyawa ini berfungsi menangkap senyawa oksidan serta
mencegah terjadinya reaksi berantai (Winarsi, 2007).
Antioksidan nonenzimatis banyak ditemukan dalam sayutran maupun
buah-buahan, biji-bijian, serta kacang-kacangan. Sering kali bahan-bahan tersebut
dilupakan oleh anak-anak generasi saat ini. mereka lebih menyenangi produk-
produk instan. Oleh sebab itu, banyak anak muda terkena berbagai penyakit
23
degeneratif, diduga karean kurangnya konsumsi sayuran dan buah-buahan yang
mengandung antioksidan (Winarsi, 2007).
2.5 Perlemakan Hati Nonalkoholik
2.5.1 Definisi
Perlemakan hati nonalkoholik merupakan kondisi yang semakin disadari
dapat berkembang menjadi penyakit hati lanjut. Dikatakan sebagai perlemakan hati
apabila kandungan lemak di hati (sebagian besar terdiri atas trigliserida) melebihi
5% dari seluruh berat hati. Karena pengukuran berat hati sangat sulit dan tidak
praktis, diagnosis dibuat berdasarkan analisis spesimen biopsi jaringan hati, yaitu
ditemukannya minimal 5-10% sel lemak dar keseluruhan hepatosit. Kriteria lain
yang juga sangat penting adalah pengertian nonalkohholik, konsumsi alkohol
sampai 20gram per hari masih digolongkan sebagai nonalkoholik (Hasan, 2009).
2.5.2 Patogenesis
Patogenesis perlemakan hati nonalkoholik belum jelas. Berbagai hipotesis
menjelaskan mekanisme patogenesis perlemakan hati non alkoholik seperti
perbedaan distribusi lemak atau sistem antioksidan. Terdapat three hit theory
yang mengawali patogenesis dan progresifitas dari perlemakan hati non alkoholik.
Hit yang pertama adalah akumulasi lemak pada penderita obesitas, sementara hit
yang kedua adalah induksi sitokin inflamasi akibat stres oksidatif, peroksidasi lipid,
dan endotoksin. Kedua hit ini menyebabkan kematian sel, infiltrasi sel inflamasi,
dan fibrosis hati yang merupakan hit ketiga (Depner, 2014).
Makanan yang masuk ke dalam tubuh terdiri atas trigliserida dan
kolesterol. Selain kolesterol yang berasal dari makanan, dalam usus juga terdapat
kolesterol dari hati yang disekresi bersama empedu ke usus halus. Baik lemak di
usus halus yang berasal dari makanan maupun yang berasal dari hati disebut lemak
eksogen. Trigliserida dan kolesterol dalam usus halus akan diserap ke dalam
enterosit mukosa usus halus. Trigliserida akan diserap sebagai asam lemak bebas
sedang kolesterol akan mengalami esterifikasi menjadi kolesterol ester dan
24
keduanya bersama dengan fosfolipid dan apoliproprotein akan membentuk
lipoprotein yang dikenal dengan kilomikron (Adam, 2009)
Kilomikron ini akan masuk ke saluran limfe dan akhirnya melalui duktus
torasikus akan masuk ke dalam aliran darah. Trigliserida dalam kilomikron akan
mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase yang berasal dari endotel
menjadi asam lemak bebas (free fatty acid (FFA)) = non-esterified fatty acid
(NEFA). Asam lemak bebas dapat disimpan sebagai trigliserida kembali di jaringan
lemak, tetapi bila terdapat dalam jumlah yang banyak sakan diambil oleh hati untuk
pembentukan trigliserida hati (Adam, 2009). Asam lemak bebas yang diambil oleh
hati dihantarkan melalui sirkulasi darah arteri dan portal. Di dalam hati, asam lemak
bebas akan mengalami metabolisme lebih lanjut, seperti proses re-esterifikasi
menjadi trigliserida atau digunakan untuk pembentukan lemak lainnya. (Hasan,
2009).
Trigliserida dalam hati akan diubah menjadi VLDL. Proses sintesis VLDL
dari trigliserida diawali oleh disintesisnya apolipoprotein B oleh ribosom di
retikulum endoplasma kasar kemudian disatukan dengan lipoprotein di retikulum
endoplasma halus yang merupakan tapak utama sintesis trigliserida. Lipoprotein
mengalir lewat aparatus golgi, tempat residu karbohidrat ditambahkan pada
lipoprotein. Kemudian, VLDL dilepaskan dari sel hati melalui penyatuan vakuola
sekretorik dengan membran sel (Murray et al, 2002).
Intake asam lemak bebas yang terus meningkat lama-kelamaan tidak dapat
diimbangi oleh sintesis VLDL oleh trigliserida hati, kondisi ini yang menyebabkan
perlemakan hati. Penumpukan lemak dalam hati memicu mitokondria untuk
beradaptasi menigkatkan respirasi untuk lebih banyak menghasilkan ATP yang
digunakan untuk sintesis VLDL dari trigliserida. Adaptasi mitokondria terhadap
perlemakan hati diperankan oleh peroxisome proliferator activated receptor
coactivator 1 (PGC-1) yang merupakan pengatur mitokondria di kebanyakan sel.
PGC-1 bertindak sebagai co-activator yang berinteraksi dengan protein-protein
dan mempengaruhi transkripsi dari DNA mitokondria. PGC-1 telah diketahui
berikatan dan mengaktivasi banyak faktor-faktor transkripsi termasuk nuclear
respiratory factor 1 (NRF-1) yang mentranskrip subunit-subunit dari kelima
25
kompleks respirasi. Keduanya, PGC-1 dan NRF-1 meregulasi adaptasi
mitokondria. Hasil adaptasi mitokondria ini meningkatakan respirasi mitokondria
untuk menghasilkan ATP yang digunakan untuk mengubah jumlah trigliserida hati
yang meningkat menjadi lipoprotein. Perubahan atau adaptasi mitokondria ini
dalam jangka panjang akan berdampak negatif karena memicu terbentuknya
senyawa radikal bebas. Senyawa radikal bebas ini merupakan efek samping yang
timbul akibat meningkatnya respirasi mitokondria (Rubin et al, 2014).
Senyawa radikal bebas yang terbentuk dari hasil adaptasi mitokondria
merupakan kompensasi akibat penumpukan lemak yang berlebihan di hati adalah
aktivasi beta oksidasi asam lemak mitokondria karena aktivitas dari carmitine
palmitoyltransferase (CPT-I) yang merupakan gerbang yang mengatur masuknya
asam lemak rantai panjang ke dalam mitokondria. Sebagian beasar elektron-
elektron berperan dalam rantai respirasi dan bermigrasi sepanjang rantai respirasi
ke cytochrome c oxidase. Ketidakseimbangan antara input elektron yang tinggi dan
pembatasan aliran elektron menyebabkan reduksi yang berlebihan pada kompleks
I dan III rantai respirasi. Hal inilah yang mendasari kompleks-kompleks yang
tereduksi akan bereaksi dengan oksigen untuk membentuk reactive oxygen species
(ROS) (Jurnalis, 2014).
Berkurangnya oksigen pada kompleks I dan III menghasilkan radikal
anion superoksida yang mengalami dismutasi menjadi hidrogen peroksida (H2O2)
oleh enzim superoksida dismutase. ROS mengoksidasi asam lemak tidak jenuh
yang menyebabkan lipid peroksidasi membentuk produk-produk seperti 4-
hydroxynonenal (HNE) dan malodialdehyde (MDA). ROS dan produk-produk
reaktif aldehid lipid peroksidasi secara langsung merusak DNA mitokondria dan
polipeptida rantai respirasi (Jurnalis, 2014).
Selanjutnya, produksi ROS yang berlebihan meningkatkan ekspresi
beberapa sitokin-sitokin yang mampu mengaktivasi kaspase dan meningkatnya
permeabilitas mitokondria, infiltrasi netrofil, dan sintesis kolagen dalam sel hati.
Bahan-bahan antioksidan terutama glutatin secara cepat dikonsumsi, namun tidak
dapat mencukupi untuk menetralkan peningkatan kadar ROS sehingga
mengakibatkan nekroinflamasi. Beberapa sinyal lain yang berasal dari jaringan
26
adiposa seperti leptin dan TNF- memeperberat proses inflamasi hepatik (Jurnalis,
2014).
2.5.3 Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Perlemakan Hati
Dalam hati, perubahan berlemak ringan dapat tidak berpengaruh pada
penampakan makro. Bila penimbunan progresif, alat tubuh membesar dan
bertambah kuning, pada keadaan ekstrim, hati dapat seberat 3 sampai 6 kg dan
berubah menjadi alat tubuh yang kuning cerah, konsistensinya lunak, permukaan
halus, tepi tumpul dan berminyak (Robbin et al, 2011).
Gambar 2.10 Makroskopis dan mikroskopis perlemakan hati (Sumber:
http://www.liver.ca/)
http://www.liver.ca/
27
Gambar 2.11 Perbandingan sel hepatosit (Sumber: http://www.liver.ca/)
Karakteristik histologis perlemakan hati nonalkoholik adalah
ditemukannya perlemakan hati dengan atau tanpa inflamasi. Perlemakan umumnya
didominasi oleh gambaran sel makrovesikuler yang mendesak inti hepatosit ke tepi
sel. Perubahan berlemak berawal dari timbulnya inklusi kecil terikat selaput
(lisosom) bertaut erat pada retikulum endoplasma dan mungkin berasal dari
lisosom. Mula-mula tampak di bawah mikroskop cahaya sebagai vakuol lemak
kecil dalam sitoplasma di sekitar inti. Pada proses selanjutnya, vakuol melebur
membentuk ruang jernih yang mendesak inti ke tepi sel atau hepatocyte balloning
(Robbin et al, 2011). Selain itu, pada biopsi hati ditemukan juga infiltrasi sel
radang, nukleus glikogen, mallorys hyaline, dan fibrosis. Ditemukannya fibrosis
pada perlemakan hati nonalkoholik menunjukkan kerusakan hati lebih lanjut dan
lebih berat. (Hasan, 2009).
2.6 Tauge / kecambah kacang hijau
Kecambah adalah tumbuhan kecil yang baru tumbuh dari biji kacang-
kacangan yang disemaikan atau melaului perkecambahan. Perkecambahan
merupakasn proses keluarnya bakal tanaman dari lembaga. Proses ini disertai
dengan mobilisasi cadangan makanan dari jaringan penyimpanan atau keping biji
http://www.liver.ca/
28
ke bagian vegetatif. Kecambah yang dibuat dari biji kacang hijau disebut tauge
(Astawan, 2005).
Gambar 2.12 Tauge atau kecambah kacang hijau (Sumber:
http://www.food.detik.com/)
Taksonomi kacang hijau sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Leguminales
Famili : Leguminosae
Genus : Vigna
Spesies : Vigna radiata (L) R. Wilzcek
Kandungan zat gizi pada biji sebelum dikecambahkan berada dalam
bentuk tidak aktif atau terikat. Setelah perkecambahan, bentuk tersebut diaktifkan
sehinga meningkatkan daya cerna bagi manusia. Peningkatan zat-zat gizi pada
tauge mulai tampak sekitar 24-48 jam saat perkecambahan. Pada saat
perkeambahan, terjadi hidrolisis karbohidrat, protein, dan lemak menjadi senyawa-
senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna tubuh. Walaupun beberapa
kandungan gizi dalam kecambah memiliki kadar lebih rendah dibandingkan biji
kacang hijau, tetapi kandungan gizi tersebut dalam bentuk senyawa terlarut yang
http://www.food.detik.com/
29
lebih mudah diserap tubuh. Vitamin yang ditemukan dalam jumlah bermakna dalam
tauge adalah vitamin C, thiamin, riboflavin, niasin, asam pantothenik, vitamin B6,
folat, kolin, -karoten, vitamin A, vitamin E (-tokoferol), dan vitamin K. mineral
yang ditemukan dalam jumlah bermakna dalam tauge adalah kalsium (Ca), besi
(Fe), magnesium (Mg), fosfor (P), potasium (K), sodium (Na), zinc (Zn), tembaga
(Cu), mangan (Mn), dan selenium (Se) (USDA, 2009).
Tauge mempunyai kandungan beberapa antioksidan maupun zat yang
berhubungan dengan antioksidan. Kadar terbanyak kandungan tersebut dalam tauge
adalah fitosterol dan vitamin E (Winarsi,2007).
Fitosterol merupakan senyawa sterol tanaman. Senyawa ini sebenarnya
banyak terkandung dalam minyak nabati yang berhubungan dengan sifat
hipokolesterolemia. Fitosterol dan komponennya dapat melawan peroksidasi lipid
yang dapat diakibatkan oleh peningkatan low density lipoprotein (LDL). Fitosterol
secara kimiawi bertindak sebagai suatu antioksidan, scavenger radikal bebas, dan
secara fisik sebagai penyetabil membran. Fitosterol juga mempunyai efek protektif
terhadap penyakit kardiovaskuler maupun kanker kolon dan payudara. Kandugan
fitosterol dalam tauge diperkirakan sekitar 23 mg/ 100 gram tauge (USDA, 2009).
Vitamin E adalah salah satu fitonutrien yang secara alami memiliki 8
isomer, yatu dikelompokkan dalam 4 tokoferol (, , , ). Suplemen vitamin E di
alam yang terbanyak adalah dalam bentuk -tokoferol. Senyawa ini telah diketahui
sebagai antioksidan yang mampu mempertahankan integritas membran sel.
Senyawa ini juga dilaporkan bekerja sebagai scavenger radikal bebas oksigen,
peroksi lipid, dan oksigen singlet. Sebagai antioksidan, vitamin E berfungsi sebagai
donor ion hidrogen yang mampu mengubah radikal peroksil menjadi radikal
tokoferol yang kurang reaktif, sehingga tidak mampu merusak rantai asam lemak.
Kandungan vitamin E dinilai sebagai kandungan antioksidan yang paling besar
kadarnya dalam tauge jika ditinjau efek antioksidan yang dapat ditimbulkan.
Kandungan vitamin E dalam tauge adalah 1,53 mg per 10 gram. Kandungan -
tokoferol dalam tauge paling tinggi terjadi pada usia perkecambahan 48 jam
(Winarsi, 2007).
30
2.7 Kerangka Konseptual
Gambar 2.12 Kerangka konseptual
Perlemakan hati dapat digolongkan menjadi alkoholik dan nonalkoholik.
Batasan seseorang didiagnosa perlemakan hati nonalkoholik apabila konsumsi
alkohol perhari tidak lebih dari 20 gram/hari. Perlemakan hati nonalkoholik
merupakan kondisi yang semakin disadari dapat berkembang menjadi penyakit hati
lanjut.
Diet tinggi lemak dapat memicu timbulnya perlemakan hati. Kondisi ini
akan meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam darah. Asam lemak bebas akan
Diet Tinggi Kolesterol
Kadar FFA
Trigliserida di Hati
Respirasi Mitokondria (Adaptasi Mitokondria)
Radikal Bebas
Metabolisme Lemak di Hati
Ekstrak tauge
(Vigna radiata (L))
Fitosterol dan Vitamin E
Antioksidan Eksogen
Sintesis Lipoprotein dari Trigliserida
Perlemakan hati
Merusak Mitokondria
31
dibawa ke organ hati untuk pembentukan trigliserida hati dan kemudian diubah
menjadi VLDL dan dikeluarkan kembali ke dalam sirkulasi darah. Sintesis VLDL
oleh retikulum endoplasma dan aparatus golgi dari trigliserida hati membutuhkan
ATP yang dihasilkan oleh respirasi mitokondria. Apabila terjadi peningkatan
trigliserida hati maka akan terjadi peningkatan kebutuhan ATP untuk mensintesis
lipoprotein. Hal ini memicu adaptasi mitokondria untuk meningkatkan respirasi
mitokondria. Dalam jangka panjang, adaptasi mitokondria ini menyebabkan
diproduksinya senyawa radikal bebas yang dapat merusak mitokondria. Akibatnya,
proses sintesis lipoprotein terganggu sehingga trigliserida akan menumpuk dalam
sel hepatosit dan menyebabkan perlemakan hati.
Kecambah adalah tumbuhan kecil yang baru tumbuh dari biji kacang-
kacangan yang disemaikan atau melaului perkecambahan. Kecambah yang dibuat
dari biji kacang hijau disebut tauge. Di dalam tauge terkandung berbagai macam
zat. Diantaranya, tauge tinggi akan kandungan vitamin E dan fitosterol yang
berfungsi sebagai antioksidan eksogen untuk menangkal radikal bebas.
Penelitian ini ditujukan untuk membuktikan pengaruh pemberian ekstrak
tauge (Vigna radiata (L)) terhadap kondisi histopatologi perlemakan hati
nonalkoholik pada tikus wistar jantan yang diberi diet kuning telur.
2.8 Hipotesis
Berdasarkan teori pada latar belakang dan tinjauan pustaka, maka hipotesis
penelitian yang diajukan adalah ekstrak tauge (Vigna radiata (L)) dapat
menghambat terjadinya perlemakan hati nonalkoholik pada tikus wistar jantan yang
diberi diet kuning telur.