Upload
hatruc
View
248
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KETIDAKADILAN GENDER PADA PEREMPUAN DALAM
NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN DAN GENI
JORA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Ila Nurlaila
109013000041
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
ABSTRAK
ILA NURLAILA, 109013000041, ―Ketidakadilan Gender Pada Perempuan dalam
novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora Serta Implikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra di Sekolah‖. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dosen Pembimbing: Rosida Erowati, M. Hum.
Gender merupakan konsep kultural yang dibangun oleh masyarakat. Hal inilah
yang menyebabkan adanya kesulitan pergerakan bagi perempuan untuk
menembus perubahan pandangan terhadap gender karena hal ini dibangun oleh
sekelompok masyarakat. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah:
1) Bagaimana struktur yang membangun novel Perempuan Berkalung Sorban
dan Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy? 2) Bagaimana ketidakadilan pada
perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora Karya
Abidah El Khalieqy? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketidakadilan
pada perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi. Subjek
penelitian ini adalah ketidakadilan terhadap perempuan dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban dan Geni Jora, dan sebagai objek penelitian adalah novel
Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora. Teknik pengumpulan data pada
penelitian ini menggunakan metode penentuan unit analysis, pencatatan data dan
analisis.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tampak ketidakadilan gender yang terjadi
pada perempuan dalam novel ―Perempuan Berkalung Sorban‖ dan ―Geni Jora‖
meliputi lima aspek, yaitu, . 1) Marginalisasi terhadap perempuan. 2) Subordinasi
terhadap perempuan. 3) Stereotip terhadap perempuan. 4) Violence (kekerasan)
yang terjadi pada perempuan. 5) Beban kerja terhadap perempuan. Sikap-sikap
yang ditunjukan oleh tokoh utama dan nilai-nilai yang terkandung dalam kedua
novel tersebut dapat dijadikan pembelajaran sastra. Kata Kunci: Ketidakadilan, Gender, Perempuan
i
ABSTRACT
ILA NURLAILA, 109013000041, " Gender Inequalities toward Women in
―Perempuan Berkalung Sorban‖ and ―Geni Jora‖ novel and its Implications for
Literature Learning at School". Indonesian Language and Literature Departement,
Faculty of Tarbiyah and Teaching Science, State Islamic of Syarif Hidayatullah
Jakarta. Advisor: Rosida Erowati, M.Hum.
Gender is a cultural concept which is built by the society. This caused movement
difficulty to break gender point of view because this concept is built by certain
society. Mirroring that concept, this research focuses on problem; 1) how is the
structure of Perempuan Berkalung Sorban by Abidah El Khalieqy novel is? 2)
how does the author face the gender inequalities in Perempuan Berkalung Sorban
and Geni Jora novel by Abidah El Khalieqy? The aim of this study is to know the
author’s attitude of inequitable gender in Perempuan Berkalung Sorban and Geni
Jora novel.
The method used in this study is content analysis method. The subject of this
study, gender inequalities toward women of the Perempuan Berkalun Sorban and
Geni Jora novel by Abidah El Khalieqy, and as the object research is Perempuan
Berkalung Sorban and Geni Jora novel. Data collection in this study using the
method of determining the unit of analysis, data recording, and analysis.
Based on the research, gender inequalities toward women includes five aspects: 1)
The marginalization toward women. 2) The subordinate toward women. 3) The
stereotype toward women. 4) The violence toward women. 5) The force labor
toward women. These atittudes showed by main character a moral values inside
both novel. These attitudes are valued for literature.
Keyword: Inequalities, Gender, Women
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan Rahmat dan
Hidayah-Nya, serta kesehatan jasmani dan rohani kepada penulis sehingga
diberikan kemudahan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
―Ketidakadilan Gender dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora
Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah‖. Solawat Serta
salam semoga tetap tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw, dan
kesejahteraan semoga selalu menyertai keluarga Beliau, para sahabatnya, dan kita
sebagai umatnya yang mengarapkan syafa’at darinya.
Penulis menyusun skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi
ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat banyak nasihat, saran,
bantuan, bimbingan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada:
1. Dra. Nurlena Rifa’I, MA., P.h.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta
yang telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini;
2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z. A., M. Pd., selaku Ketua Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang selalu memberikan Ilmu,
bimbingan, dan motivasi dalam proses penyusunan skripsi ini;
3. Rosida Erowati, M. Hum., selaku dosen Pembimbing skripsi yang
telah sedia meluangkan waktunya, sabar dalam membimbing,
mengarahkan, dan memberikan ilmunya kepada penulis. Hingga
akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
4. Seluruh Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Dosen
FITK yang tidak dapat disebutkan satu per satu namanya, yang telah
memberikan ilmunya selama penulis menjadi mahasiswi di Jurusan
iii
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta. Ilmu yang
Bapak dan Ibu berikan sangat bermanfaat bagi penulis;
5. Dra. Siti Sahara selaku dosen penasihat Akademi yang memberikan
motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
6. Ucapan teristimewa ditujukan kepada kedua orang tua penulis, yaitu
Drs. Zaenal Abidin S. Pd. I. dan Komariyah A.Z. S.Pd. I. yang telah
merawat, membimbing, dan tak henti-hentinya memberikan semangat
dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Ucapan teristimewa juga ditujukan kepada kakak terbaik penulis, Eva
Rifa’atul Mahmudah, S. Pd. yang selalu memberikan semangat dan
motivasi kepada penulis.
8. Sahabat-sahabat terbaik penulis, yaitu Dessy Triwulansari Sudrajat, S.
Pd., Dian Ahati Mulyani, AMG., Puri Restiana Dewi, S.IP., Riska
Rosiana Sularno, AMGK., Ratu Dewi Fauziah, Amd. Kep., Qaulfillah
Medina Nurdin, Emma Purnama Sari S. Pd., Wulan Alfitiana S. Pd.,
Nurul Mardiah S. Pd., Irina Widya Ningsih S. Pd., Nuraida Marliani
Sari S. Pd.. Terimakasih atas semua dukungan dan motivasi yang telah
kalian berikan selama ini, kalian adalah sahabat terbaik penulis.
9. Teman-teman penulis, Harmella S. Pd., Ummul Kulsum S. Pd., Ina
Rofiatul Husna S. Pd., Inayah, Anis Novita S. Pd., Santi Novianti S.
Pd., Helrahmi Yusman S. Th. Q., Siti Nurfitriani, S. Pd., Slamet Yahya
Sri Abdullah S. Pd. I., Mutia Mutmainah S. Pd., Rhani Az-Zhara,
Sonya Maryana.
10. Teman-teman satu perjuangan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sasra
Indonesia angkatan 2009 khususnya kelas A yang tidak bisa
disebutkan satu per satu.
11. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi
ini.
iv
Semoga semua bantuan doa, motivasi, serta bimbingan yang telah
diberikan mendapatkan balasan dari Allah Swt. Selain itu, penulis berharap
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak agar dapat
membantu meningkatkan mutu pembelajaran dan pengajaran bahasa dan
sastra Indonesia.
Jakarta, 2 Mei 2014
Ila Nurlaila
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT…………………………………………………………………. ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 4
C. Batasan Masalah .................................................................................. 4
D. Rumusan Masalah ................................................................................ 5
E. Tujuan Penelitian ................................................................................ 5
F. Manfaat Penelitian ............................................................................... 5
G. Metodologi Penelitian .......................................................................... 6
A. BAB II LANDASAN TEORI ............................................................ 9
A. Hakikat Gender .................................................................................... 9
B. Hakikat Novel ...................................................................................... 12
C. Unsur Intrinsik Novel........................................................................... 13
D. Hakikat Pembelajaran Sastra............................................................... 19
E. Penelitian yang Relevan ....................................................................... 23
BAB III BIOGRAFI PENGARANG ........................................................... 27
B. Biografi Abidah El Khalieqy............................................................. 27
1. Abidah dan Kultur Pesantren ........................................................... 30
2. Konsep Dasar Pembuatan Novel Perempuan Berkalung Sorban dan
Geni Jora ......................................................................................... 31
C. Sinopsis Perempuan Berkalung Sorban .......................................... 33
D. Sinopsis Geni Jora ............................................................................... 34
BAB IV HASIL ANALISIS........................................................................... 37
A. Unsur Intrinsik Perempuan Berkalung Sorban.................................... 37
1. Tema ................................................................................................ 37
vi
2. Tokoh dan Penokohan ..................................................................... 38
3. Alur .................................................................................................. 45
4. Latar ................................................................................................. 49
5. Sudut Pandang ................................................................................. 53
B. Struktur Geni Jora ............................................................................... 54
1. Tema ................................................................................................ 55
2. Tokoh dan Penokohan ..................................................................... 56
3. Alur .................................................................................................. 66
4. Latar ................................................................................................. 68
5. Sudut Pandang ................................................................................. 71
C. Analisis Ketidakadilan Gender Pada Perempuan yang Terdapat dalam
Novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora .......................... 72
1. Marginalisasi Terhadap Perempuan ................................................ 74
2. Subordinasi Terhadap Perempuan ................................................... 80
3. Stereotip Terhadap Perempuan........................................................ 83
4. Kekerasan Terhadap Perempuan ..................................................... 87
5. Beban Kerja Terhadap Perempuan .................................................. 92
D. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ............................ 97
BAB V PENUTUP.......................................................................................... 100
A. Simpulan .............................................................................................. 100
B. Saran..................................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 103
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1: RPP
Lampiran 2 : Materi
PROFIL PENULIS
vii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Selama berabad-abad manusia telah membuat gambaran tentang
perempuan dengan cara pandang yang ambigu. Perempuan dipuja sekaligus
direndahkan. Ia dianggap sebagai keindahan bagaikan bunga yang baru saja
mekar, lalu kemudian dicampakkan begitu saja setelah layu. Tubuh
perempuan identik dengan pesona dan kesenangan, tetapi dalam waktu yang
bersamaan ia dieksploitasi demi hasrat dan keuntungan. Masyarakat muslim
memuji perempuan, dalam hadis yang mengatakan bahwa ―Surga di bawah
kaki ibu‖ dan pada saat lain, ketika ia menjadi seorang istri, ia harus tunduk
sepenuhnya kepada suami, tak boleh keluar rumah sepanjang suami tak
mengijinkan. Dalam pandangan masyarakat yang kolot perempuan selalu
dianggap nomor dua dibanding laki-laki. Perempuan hanyalah makhluk
lemah yang tidak berdaya, yang bisanya hanya menangis. Perempuan
tugasnya hanyalah memasak di dapur, mengurus anak, melayani suami dan
patuh terhadap suami. Perempuan dianggap tidak mampu melakukan
pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Perempuan juga tidak harus
memperoleh pendidikan yang tinggi, cukup mampu baca tulis saja.
Banyak perempuan yang rela menerima kodratnya dan menjalani
keadaan hidup dengan pasrah mengabdi pada kaum laki-laki. Namun, tidak
sedikit pula perempuan yang merasakan ketidakadilan pada dirinya dan ingin
terlepas dari anggapan bahwa perempuan itu makhluk lemah yang tidak bisa
apa-apa. Anggapan terhadap perbedaan gender inilah yang pada akhirnya
akan menimbulkan ketidakadilan gender. Perbedaan gender sebenarnya
bukan suatu masalah sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender
(gender inequalities). Namun, yang menjadi masalah adalah ternyata
1
2
perbedaan gender ini telah menimbulkan berbagai ketidakadilan, baik bagi
kaum laki-laki dan utamanya terhadap kaum perempuan.1
Islam sebagai agama, pada hakikatnya terlihat pada aspek nilai-nilai
kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Salah satu bentuk elaborasi dari
nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan tulus terhadap kesamaan dan
kesatuan manusia.2 Islam menghapuskan sekat-sekat diskriminasi dan
subordinasi. Atas dasar keadilan dan kesetaraan semua dipersaudarakan
dalam Islam.3 Namun kenyataannya posisi perempuan masih dalam posisi
subordinasi dari laki-laki. Dipinggirkan, dan mendapat diskriminasi dalam
berbagai kesempatan dan dalam berbagai sektor kehidupan.
Dalam aspek pendidikan perempuan merupakan salah satu pihak yang
paling sedikit tersentuh dalam pembaharuan pemikiran Islam. Hal ini terbukti
menurut intelektual Palestina D. Ghada Karni sebagaimana dikutip oleh
Faridi yang mengatakan bahwa di sektor pendidikan perempuan jauh
ketinggalan, baik dari tingkat kebutaaksaraan terlebih partisipasinya pada
lembaga pendidikan formal. Dalam kebutaaksaraan kondisi Somalia
merupakan Negara terparah karena 80 persen perempuan buta huruf, di Irak
dan Libia, tingkat kebutaaksaraan mencapai 51 persen, di Kwait 33 persen.4
Dari data tersebut terlihat bahwa pada kenyataan dalam dunia pendidikan
perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki.
Dalam lingkungan keluarga perempuan sering mendapat kekerasan
yang dilakukan oleh anggota keluarga yang lain seperti suami. Jumlah
kekerasan yang terjadi pada perempuan di Indonesia meningkat tiap
tahunnya. Data kekerasan yang terjadi pada perempuan di Indonesia adalah
sebagai berikut: pada tahun 2001 terdapat 3.169 kasus kekerasan pada
1 Riant Nugroho, Gender dan Stratedi Pengarus-Utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), h. 9
2 Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, (Yogyakarta, Kibar Press, 2006), h. 3-4
3 Ibid., h. 10 4 Asnal Mala, Perspektif Gender dalam Pendidikan Pesantren,
https://groups.yahoo.com/neo/groups/IslamProgresif/conversations/topics/370 diunduh pada 27 Maret 2014, pukul 15.45 WIB.
3
perempuan, tahun 2002 sebanyak 5.163 kasus, tahun 2003 sebanyak 7.787
kasus, tahun 2004 sebanyak 14.040 kasus, tahun 2005 sebanyak 20.391
kasus, tahun 2006 sebanyak 22.512 kasus, dan pada tahun 2007 sebanyak
25.522 kasus.5 Dilihat dari data tersebut, kekerasan yang terjadi pada
perempuan terus meningkat setiap tahunnya.
Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan yang
terjadi pada perempuan, Abidah El Khalieqy mengajak pembaca untuk
mengetahui secara lebih detail permasalahan yang sering terjadi pada
perempuan terkait dengan ketidakadilan gender yang biasa dialami
perempuan. Penggambaran Abidah tentang sosok perempuan Islam berbeda
dengan sosok perempuan Islam yang biasa diceritakan pada novel-novel yang
bernuansa Islam lainnya seperti Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih
karya Habiburrahman El Shirazy. Dalam karyanya, Abidah menunjukkan
sosok perempuan yang sangat berani untuk menuntut kebebasan dari patriarki
dan juga mengkritisi dunia laki-laki yang tergambarkan pada novelnya yang
berjudul Perempuan Berkalung Sorban (2001) dan Geni Jora (2003).
Perempuan Berkalung Sorban merupakan novel yang pernah mendapatkan
protes dan menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Dua tahun kemudian
Abidah menulis novel yang berjudul Geni Jora. Geni Jora merupakan novel
Abidah yang mendapatkan juara kedua dalam Sayembara Novel Dewan
Kesenian Jakarta. Permasalahan yang cukup kompleks mengenai kedudukan
wanita dalam Islam, keluarga dan masyarakat juga terlihat dalam novel
Perempuan Berkalung Sorban. Sebagai karya yang berbicara mengenai
agama dan moral, Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora merupakan
salah satu yang dianjurkan untuk dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran
sastra.
Sebagai lembaga pendidikan, sekolah bertugas memberikan
pembelajaran moral, agama, dan sosial kepada para siswanya. Pembelajaran
5 Ninik Rahayu, Penghapusan Undang-Undang No. 23 tahun 2004. Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/653- undang-undang-no-23-tahun-2004-tentang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-uu- pkdrt.html. diunduh pada tanggal 10 Januari 2014 pukul 07. 50
4
ini bisa dilakukan dengan memberikan pembinaan melalui karya sastra. Pada
hakikatnya, Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora merupakan buku
yang berisi cerita yang baik dan menarik yang turut memberikan pengaruh
dan peranan yang sangat penting dalam pembentukan watak, prilaku, dan
kepribadian anak. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengangkat
skripsi yang berjudul “Ketidakadilan Gender Pada Perempuan dalam Novel
Perempuan Berkalung Sorban dan Novel Geni Jora serta Implikasinya
terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”
B. Identifiksi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat
diidentifikasikan beberapa masalah, sebagai berikut:
1. Secara keseluruhan Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora karya
Abidah El Khalieqy sangat menarik untuk dikaji, sehingga perlunya
pemahaman lebih mendalam mengenai novel tersebut.
2. Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora karya Abidah El Khalieqy
menggambarkan perjuangan perempuan untuk mendapatkan kebebasan
dari budaya patriarki. Oleh karena itu, hampir semua bagian
mengungkapkan perjuangan perempuan untuk bebas dari budaya
patriarki.
3. Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora karya Abidah El Khalieqy
relevan dengan dunia pendidikan, sehingga dapat diimplikasikan dalam
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah.
C. Batasan Masalah
Batasan masalah ini diharapkan agar pembahasan dalam penelitian
tidak meluas. Adapun pembatasan masalahdalam penelitian ini yaitu, analisis
ketidakadilan gender pada perempuan yang terdapat dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban dan Geni Jora karya Abidah El Khalieqy.
5
D. Rumusan Masalah
Agar permasalahan dalam penelitian ini menjadi jelas dan terarah,
perlu adanya perumusan masalah. Perumusan masalah dalam penelitian
adalah:
1. Bagaimana struktur yang membangun novel Perempuan Berkalung
Sorban dan Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy?
2. Bagaimana ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban dan Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan struktur novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni
Jora karya Abidah El Khalieqy
2. Mendeskripsikan ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel
Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pembacanya.
Adapun manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Bagi pembaca umum, diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
studi analisis terhadap sastra di Indonesia, terutama dalam bidang penelitian
novel Indonesia, dan juga diharapkan dapat mempermudah pemahaman
makna novel dan dunia pemikiran yang melatarbelakanginya.
b. Bagi pendidik, diharapkan dapat menggunakan penelitian ini sebagai
Implikasi di dunia pendidikan.
6
G. Metodologi Penelitian
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung mulai dari bulan September 2013 sampai
April 2014. Penelitian ini tidak terkait dengan tempat tertentu karena bersifat
kepustakaan.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara-cara, strategi untuk memahami realitas,
langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat.
Metode penelitian berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih
mudah untuk dipecahkan dan dipahami.6 Metode penelitian mengemukakan
secara teknis tentang metode-metode yang digunakan dalam penelitian.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik
analisis isi (content analysis) yang sering kali digunakan untuk mengkaji
pesan-pesan. Metode analisis ini digunakan untuk menelaah isi dari suatu
dokumen. Dokumen yang dimaksudkan di sini adalah novel Perempuan
Berkalung Sorban (PBS) dan Geni Jora (GJ) karya Abidah El Khalieqy.
Sedangkan pendekatan kualitatif merupakan salah satu pendekatan yang yang
secara primer menggunakan paradigma pengetahuan berdasarkan pandangan
konstruktivis (seperti makna jamak dari pengalaman individual, makna yang
secara sosial dan historis dibangun dengan maksud mengembangkan suatu
teori atau pola. Pendekatan ini juga menggunakan strategi penelitian seperti
naratif. Peneliti mengumpulkan data penting secara terbuka terutama
dimaksudkan untuk mengembangkan tema-tema dari data.7 Data yang
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Ini
dikarenakan penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang temuan-
temuannya tidak diperoleh dari hasil statistik atau bentuk hitungan.
6Nyoman, Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 34.
7 Emzir, Metode Penelitian Pendidikan Kuantitaf dan Kualitatif, (Jakarta, PT Raja Trafindo Persada, 2008), h. 28.
7
Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan
angka-angka. Hal itu disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif,
selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap
apa yang sudah diteliti.8
3. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dan objek penelitian adalah tempat memperoleh data. Dalam
penelitian ini yang menjadi subjek penelitian data adalah ketidakadilan
gender dalam novel PBS dan GJ karya Abidah El-Khalieqy. Sedangkan objek
yang digunakan pada penelitian ini adalah novel PBS dan novel GJ karya
Abidah El Kahlieqy.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik pustaka. Teknik pustaka yaitu mempergunakan sumber-sumber
tertulis untuk memperoleh data. Dalam pengumpulan data ini peneliti
menyimak novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy secara cermat dan
teliti. Setelah itu peneliti mencatat data-data yang yang berhubungan dengan
tujuan penelitian. Adapun langkah-langkah pengumpulan data dalam novel
GJ yaitu: 1. Membaca cermat novel GJ dan novel PBS karya Abidah El
Khalieqy, 2. Mencatat kalimat yang menggambarkan adanya ketidakadilan
gender terhadap perempuan dalam novel GJ karya dan PBS Abidah El
Khalieqy, 3. Menganalisis ketidakadilan gender terhadap perempuan dalam
novel GJ dan novel PBS karya Abidah El Khalieqy.
5. Teknik Analisis Data
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah suatu metode yang
memberikan perhatian terhdap data alamiah, data yang berhubungan dengan
8 Lexy J Moelong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rusdakarya.2001), h. 11.
8
konteks keberadaannya.9 Sesuai dengan namanya yaitu metode kualitatif,
memperlihatkan nilai-nilai dan sumber datanya merupakan karya, naskah, dan
penelitiannya sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana.
Dalam pendekatan kualitatif semua permasalahan yang ada dalam sastra
dapat dianalisis dengan sebaik-baiknya. Terdapat lima ciri utama penelitian
kualitatif, diantaranya:
a. Latar alamiah (natural setting) sebagai sumber data, dan peneliti
merupakan instrument kunci, maksudnya dalam penelitian kualitatif
berasumsi bahwa perilaku manusia secara signifikan dipengaruhi oleh latar
situasi dan budaya di mana perilaku itu muncul.
b. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif yang berarti data terurai dalam
bentuk data-data atau gambar-gambar, bukn dalam bentuk angka-angka.
c. Lebih mengutamakan proses bukan hasil. Dalam hal ini analisis data
cenderung induktif. Dalam penelitian ini, peneliti mengkontruksi konsep
secara lebih jelas di tengah kegiatan penelitian setelah mengumpulkan
berbagai data fenomena dan memeriksa bagian-bagiannya.
d. Makna merupakan sesuatu yang esensial bagi pendekatan kualitatif.
Dengan demikian peneliti akan memberikan makna terhadap fenomena
yang ditelitinya.10
Berdasarkan uraian di atas maka, peneliti akan menggunakan metode
penelitian kualitatif karena sesuai dengan objek yang akan diteliti.
9 Nyoman, Kutha Ratna., op. cit. h. 47 10 M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 25-26
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hakikat Gender
Gender adalah berbagai atribut dan tingkah laku yang dilekatkan pada
perempuan dan laki-laki dan dibentuk oleh budaya.1 Dalam Womens Studies
Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang
berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik mental emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
di masyarakat.2 Oakley dalam Riant Nugroho mengartikan gender sebagai
konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun pada
kebudayaan manusia. Gender merupakan behavioral defferences (perbedaan
perilaku) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara secara sosial,
yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh
manusia (bukan kodrat) melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Caplan
dalam Riant Nugroho mengemukakan bahwa behavioral defferences (perbedaan
perilaku) antara perempuan dan laki-laki bukanlah sekedar biologis, namun
melalui proses sosial dan kultural. Sementara itu, Kantor Kementrian Negara
Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dalam Riant Nugraha
mengartikan bahwa gender adalah peran-peran sosial yang dikontruksikan oleh
masyarakat, serta tanggung jawab dan kesempatan laki-laki dan perempuan yang
diharapkan agar peran-peran sosial tersebut dapat dilakukan oleh keduanya (laki-
laki dan perempuan).3
1 Edriana Noerdin, Potret Kemiskinan Perempuan. (Jakarta, Women Research Institute, 2006) h. 1
2 Siti Musdah Mulya, op. cit. h. 55 3 Riant Nugroho, op.cit., h. 3
9
10
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa gender adalah
pembeda antara perempuan dengan laki-laki baik itu mengenai hak, kewajiban,
tanggung jawab, dan peran yang dapat dibentuk dan diubah oleh kultur budaya,
tradisi, pemahaman agama, dan status sosial masyarakat setempat. Gender yang
berlaku dalam suatu masyarakat ditentukan oleh pandangan masyarakat antara
laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu gender berbeda dengan jenis kelamin.
Jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) merupakan ketentuan Tuhan yang
mutlak sedangkan gender terwujud dari ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh
manusia bukan oleh Tuhan.
1. Perbedaan Gender
Gender differences (perbedaan gender) sebenarnya bukan suatu masalah
sepanjang tidak menimbulkan gender inequalities (ketidakadilan gender).
Namun, yang menjadi masalah adalah ternyata perbedaan gender ini telah
menimbulkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan utamanya
terhadap kaum perempuan.
Di masyarakat, laki-laki selalu digambarkan dengan sifat-sifat maskulin,
seperti perkasa, berani, rasional, keras dan tegar. Sebaliknya perempuan
digambarkan dengan sifat-sifat feminis, seperti lembut, pemalu, penakut,
emosional, rapuh dan penyayang.4 Feminisitas dan maskulinitas ini telah
dianggap sebagai kodrat yang sudah tertanamkan dari lahir.
2. Ketidakadilan Gender
Gender inequalities (ketidakadilan gender) merupakan sistem dan struktur
di mana kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut
dengan demikian agar dapat memahami perbedaan yang menyebabkan
4 Siti Musdah Mulya, op. cit., h. 56.
11
ketidakadilan, maka dapat dilihat dari berbagai manifestasinya, yaitu sebagai
berikut: 5
a. Marginalisasi
Bentuk marginalisasi yang biasa terjadi pada perempuan adalah yang
disebabkan oleh gender defferences (perbedaan gender). Gender defferences
sebagai akibat dari beberapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu,
serta marginalisme dari proses marginalisasi kaum perempuan. Bentuk
marginalisasi terhadap kaum perempuan dapat terjadi dalam rumah tangga,
masyarakat atau kultur, dan bahkan negara.
b. Subordinasi
Subordinasi timbul sebagai akibat pandangan gender terhadap kaum
perempuan, sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak
penting muncul dari adanya anggapan bahwa perempuan itu emosional atau
irasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin merupakan bentuk
dari subordinasi yang dimaksud.
c. Stereotip
Pelebelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin
tertentu, secara umum dinamakan stereotip. Akibat dari stereotip ini biasanya
timbul diskriminasi dan berbagai ketidakadilan. Salah satu bentuk stereotip ini
adalah bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali stereotip yang terjadi
di masyarakat yang dilekatkan kepada umumnya kaum perempuan, sehingga
berakibat menyulitkan, membatasi, memiskinkan, dan merugikan kaum
perempuan.
d. Violence
Violence (kekerasan) merupakan assoult (invasi) atau serangan terhadap
fisik maupun intregitas mental psikologis seseorang yang dilakukan terhadap
jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan sebagai akibat dari perbedaan
5 Riant Nugroho, op.cit., h. 9.
12
gender. Violence terhadap perempuan banyak sekali terjadi karena stereotip
gender. Gender violence pada dasarnya disebabkan karena ketidaksetaraan
kekuatan yang ada dalam masyarakat. Violence yang disebabkan oleh bias
gender ini disebut gender—relalite violence.
e. Beban Kerja
Peran gender perempuan dalam anggapan masyarakat luas adalah
mengelola rumah tangga sehingga banyak perempuan yang menanggung
beban kerja domestik lebih banyak dan lebih berat dibanding kaum laki-laki.
Kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok
untuk menjadi kepala keluarga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik
rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan.6
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa ketidakadilan gender
yang terwujud dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotip, dan beban
kerja pada umumnya telah terjadi pada berbagai kalangan masyarakat. Semua
perwujudan ketidakadilan gender ini saling terkait satu sama lain. Perwujudan
ketidakadlinan gender itu tersosialisasikan kepada perempuan dan laki-laki
dan pada akhirnya laki-laki dan perempuan menjadi terbiasa dan menganggap
bahwa peran gender itu merupakan suatu kodrat yang harus dijalani.
B. Hakikat Novel
Kata novel berasal dari kata latin novellas yang diturunkan pula dari kata
novies yang berarti baru. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan
jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka novel ini
muncul kemudian.7 Pengertian novel menurut Sudjiman adalah prosa rekaan
yang panjang yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian
6 Riant Nugroho, op.cit., h. 9. 7Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 164.
13
peristiwa dan latar secara tersusun.8 Sedangkan menurut Wellek dan Warren,
novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada
saat novel itu ditulis. Romansa, yang ditulis dalam bahasa yang agung dan
dipindah, menggambarkan apa yang tidak pernah terjadi dan tidak mungkin
terjadi.9
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah
karya sastra fiksi yang di dalamnya memaparkan pengalaman pengarang dengan
mencantumkan tokoh, watak, latar, sudut pandang, alur, tema, amanat, dan lain-
lain.
C. Unsur Intrinsik Novel
Novel memiliki struktur yang kompleks dan biasanya dibangun dari unsur-
unsur yang dapat didiskusikan. Salah satunya adalah unsur intrinsik novel. Unsur
intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membangun karya sastra itu
sendiri. Unsur-unsur ini secara faktual dijumpai pembaca pada saat membaca
karya sastra. Kepaduan antara unsur intrinsik inilah yang membuat suatu novel
dapat terwujud.
Unsur intrinsik novel terdiri dari tema, alur, penokohan, latar dan sudut
pandang.
1. Tema
Pembahasan mengenai makna yang terdapat di dalam sebuah karya
sastra (novel) merupakan pembahasan mengenai tema. Tema adalah ide,
gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya
sastra.10 Tema berarti kandungan umum dari isi yang ada di dalam karya
sastra tersebut atau juga disebut dengan ide dari cerita yang dimaksud.
8 Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1998), h. 53 9 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1993), h. 282. 10 Fanannie, Telaah Sastra, (Surakarta: Anggota IKAPI Jateng, 2001), Cet.II, h.84
14
Istilah tema menurut Scharbach dalam Aminuddin berasal dari bahasa latin
yang berarti ―tempat meletakkan suatu perangkat‖. Disebut demikian karena
tema adalah ide yang mendasari cerita sehingga berperanan juga sebagai
pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang
diciptakannya.11
Staton dalam Nurgiantoro mengartikan tema sebagai ―makna sebuah
cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara
yang sederhana‖.12
Karena sastra adalah refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang
diungkapkan bisa bermacam-macam. Tema bisa berupa permasalahan moral
etika, sosial, agama, budaya yang berhubungan erat dengan kehidupan.
2. Alur (Plot)
Menurut Abrams dalam Wahyudi Siswanto alur ialah rangkaian cerita
yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah
cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.13 Selain itu, alur
adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan dengan hukum
sebab akibat. Artinya peristiwa pertama menyebabkan peristiwa kedua,
peristiwa kedua menyebabkan terjadinya peristiwa ketiga. Dan demikian
selanjutnya hingga pada dasarnya peristiwa terakhir ditentukan terjadinya
peristiwa pertama.14
Ada berbagai pendapat tentang tahapan-tahapan peristiwa dalam suatu
peristiwa. Aminudin dalam Wahyudi Siswanto membedakan tahapan-
tahapan peristiwa atas pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian,
dan penyelesaian. Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita
rekaan atau drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. Yang
11 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Sastra, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002), h. 91. 12 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press,2009), h. 70 13 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, ( Jakarta: PT Grasindo, 2008 ), h.159. 14 Yakob Sumarjo dan Saini KM, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1986), h.
139.
15
dikenalkan dari tokoh ini misalnya, nama, asal, ciri fisik, dan sifatnya.
Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua
kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama. Komplikasi
atau rumitan adalah bagian tengah alur rekaan atau drama yang
mengembangkan tikaian. Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan atau
drama yang melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi
tanggapan emosional pembaca. Leraian adalah bagian struktur alur yang
sesudah tercapai klimaks. Pada tahap ini peristiwa-peristiwa yang terjadi
menunjukkan perkembangan lakuan ke arah selesaian. Selesaian adalah
tahap akhir suatu cerita atau drama. Dalam tahap ini semua masalah dapat
diuraikan, kesalahpahaman dijelaskan; rahasia dibuka.15
Berdasarkan beberapa pendapat tentang alur yang telah dikemukakan
di atas alur merupakan rangkaian peristiwa yang di dalamnya terdapat
pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan akhirnya cerita itu
mencapai penyelesaian bagaimana cerita itu dapat terselesaikan.
3. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan adalah salah satu unsur yang terpenting dalam
suatu cerita. Kehadiran tokoh ikut menentukan apakah ia mempunyai peran
baik atau buruk, yaitu sebagai tokoh yang dipuja atau dipuji (protagonis)
atau sebagai tokoh yang menghalangi tujuan tokoh protagonis (antagonis).
Di dalam sebuah karya fiksi, istilah tokoh merujuk pada pelaku yang
ada dalam cerita tersebut. Istilah tokoh dalam sebuah cerita, menunjuk pada
penempatan atau pelukisan gambaran tokoh-tokoh tertentu dengan watak
tertentu. Tokoh cerita adalah orang orang yang ditampilkan dalam karya
sastra yang sifatnya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
15 Wahyudi Siswanto, op.cit., h. 159-160.
16
diekspresikan dalam ucapan dan tindakan.16 Dari penjelasan Abrams
tersebut, sudah jelas bahwa pengertian ―Tokoh‖ mengacu pada orangnya
(pelaku cerita).
Istilah penokohan mempunyai pengertian yang lebih luas daripada
pengertian tokoh. Nurgiyantoro mengatakan bahwa penokohan menyangkut
masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, bagaimana
penempatan dan pelukisannya dalam cerita sehingga mampu memberikan
gambaran yang jelas bagi pembaca.17 Dengan demikian Nurgiyantoro
berpendapat bahwa penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan
perwatakan, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh, cerita,
bagaimana perwatakan, bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam
sebuah cerita sehingga mampu memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca.
Dilihat dari fungsi penampilan, tokoh dibedakan menjadi dua, yaitu:18
a. Tokoh protagonis
Altenberhand dan Lewis dalam Burhan Nurgiyantoro
mengemukakan bahwa tokoh protagonis sebagai tokoh yang kita kagumi,
tokoh yang berpendirian pada norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi
kita.
b. Tokoh antagonis
Tokoh antagonis adalah tokoh yang menjadi penyebab terjadinya
konflik. Biasanya berbanding terbalik dengan tokoh protagonis secara
langsung maupun tidak langsung.
16 M.H. Abrams, A Glosaary Literary Terms, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981), h. 20.
17 Burhan Nuriyantoro. Op. cit ., h. 166. 18 Ibid., h. 178.
17
4. Latar
Latar adalah segala keterangan, petunjuk atau pengacuan yang
berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu
karya sastra.19Nurgiyantoro mengatakan bahwa latar memberikan pijakan
cerita secara konkret dan jelas yang sangat penting untuk memberikan kesan
realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu, yang seolah-olah
sungguh ada dan terjadi.20 Rusnaya mengatakan bahwa latar berfungsi untuk
menunjukkan tempat kejadian dan untuk memberikan kemiripan kenyataan
dalam hal menimbulkan kesungguhan.21 Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa latar adalah tempat, waktu atau suasana yang
memperjelas kondisi peristiwa-peristiwa yang ada dalam sebuah karya
sastra.
Stanton dalam Nurgiyantoro mengelompokan latar bersama dengan
tokoh dan plot ke dalam fakta (cerita), sebab ketiga hal inilah yang akan
dihadapi dan dapat diimajenasi oleh pembaca secara faktual jika membaca
cerita fiksi. Ketiga hal inilah yang secara kongkret dan langsung membentuk
cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang
bersebab-akibat dan itu perlu pijakan, di mana dan kapan.‖22
Secara garis besar, latar dalam fisik dapat dikelompokkan menjadi
beberapa jenis latar, diantaranya adalah:
a. Latar tempat
Gambaran tentang peristiwa atau cerita dalam fiksi terjadi. Gambaran
latar tempat itu ada yang sangat luas ada pula yang sangat sempit. Tempat itu
bisa terdiri atas negara, kota, kampung atau desa, pelosok, pantai, hutan,
rumah, kapal laut, mobil, kereta, di udara, di darat.
19 Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1991), h.30. 20 Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 217. 21 Yus Rusyana, Metode Pengajaran Sastra, (Bandung: Gunung Larang, 1982), h. 48. 22 Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 216.
18
b. Latar waktu
Unsur yang menggambarkan kapan, masa dan saat tertentu terjadinya
peristiwa dalam karya fiksi itu. Faktor waktu ini ada hubungannya dengan
tempat, gambaran suatu tempat pada waktu, masa, zaman, atau musim
tertentu. Latar waktu mempunyai kaitan erat dengan sejarah. Latar waktu juga
bisa dihubungkan dengan yang berlaku setiap hari, yaitu malam, siang, tengah
hari, pagi, sore dan lain sebagainya.23
Adapun fungsi latar adalah memberikan informasi sebagaimana adanya,
selain itu latar berfungsi sebagai pemerjelas konflik, pemerjelas tokoh, dan
adanya latar juga berfungsi sebagai simbol yang menunjukkan keadaan atau
jati diri tokoh. Menurut Panuti Sudjiman latar berfungsi sebagai proyeksi
keadaan batin para tokoh.24
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar merupakan landasan
berlangsungnya berbagai peristiwa dan kisah yang diceritakan dalam cerita
fiksi. Latar memberikan landasan berpijak secara konkret dan jelas. Hal itu
akan memberikan kesan realis kepada pembaca, bahwa cerita yang dikisahkan
seolah-olah ada dan sungguh-sungguh terjadi.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita.25
Sudut pandang (point of view) dapat dipahami sebagai cara sebuah cerita
dikisahkan. Menurut Robert Stanton dalam Adib Sofia dan Sugihastuti
mengartikan sudut pandang sebagai posisi yang merupakan dasar berpijak kita
untuk melihat secara hati-hati agar ceritanya memiliki hasil yang sangat
memadai.26
23 Tuloli. Teori Fiksi. (Gorontalo, BMT Nurul Jannah. 2000), h. 155 24 Sudjiman, op. cit., h. 46. 25Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h.69. 26Adib Sofia dan Sugihastuti, Feminisme dan Sastra: Menguak Citra Perempuan dalam
Layar Terkembang, (Bandung: Katarsis, 2003), h. 16
19
Secara garis besar sudut pandang dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu berperan langsung sebagai orang pertama, sebagai tokoh yang terlibat
dalam cerita yang bersangkutan dan hanya sebagai orang ketiga yang berperan
sebagai pengamat.
Pada sudut pandang yang menggunakan orang pertama, pengarang
memakai istilah ―aku‖ dalam ceritanya, ia menjadi tokoh utama. Dalam hal ini
narator ikut terlibat dalam cerita. Narator masuk ke dalam cerita menjadi
tokoh ―aku‖, yaitu tokoh yang menceritakan kesadaran dirinya sendiri, serta
segala peristiwa atau tindakan yang diketahui, didengar, dilihat, dialami,
dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain, kepada pembaca. Pembaca
hanya menerima apa yang diceritakan oleh tokoh aku.
Adapun sudut pandang orang ketiga, narator menjadi seorang yang
berada di luar cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh dengan
menyebutkan nama, atau menggunakan kata ia, dia, mereka. Nama-nama
tokoh cerita, khususnya tokoh utama, terus menerus tersebut, dan sebagai
variasi digunakan kata ganti. Hal ini akan memudahkan pembaca dalam
mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.
Dilihat dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa sudut
pandang adalah cara pengarang menentukan posisinya dalam suatu karyanya
sastra. Dan caranya pun bermacam-macam, hal tersebut disesuaikan dengan
penceritaan dan peristiwa yang akan diciptakan oleh pengarang.
D. Hakikat Pembelajaran Sastra
Materi atau bahan pelajaran merupakan salah satu komponen penting selain
komponen pengajar dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Proses
pembelajaran bisa disebut interaktif edukatif yang sadar akan tujuan, artinya
interaksi yang telah dicanangkan untuk satu tujuan tertentu, setidaknya tercapai
tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran yang dirumuskan dalam satuan
20
pembelajaran.27 Pelajaran-pelajaran yang dirancang tentunya memiliki peranan
yang sangat penting bagi terlaksananya tujuan pendidikan. Tujuan dari
pembelajaran tersebut terdiri dari tiga aspek yaitu tujuan kognitif, tujuan afektif,
dan tujuan psikomotorik. Ada banyak materi pembelajaran di sekolah, salah
satunya adalah pembelajaran sastra. Kaitannya dengan pembelajaran, sastra
memiliki konstribusi yang sangat besar dalam dunia pendidikan khususnya bagi
pembelajaran sastra di sekolah. Sebagaimana yang disebutkan dalam kurikulum
1994 dan Garis-garis Besar Program Pengajaran bahasa Indonesian tentang
pembelajaran sastra tertera bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan untuk
meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan
mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran,
dan daya khayal serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan
hidup.
Berdasarkan pedoman tersebut, jelas sekali bahwa pembelajaran sastra
memiliki tujuan yang jelas, secara tidak langsung melalui pembelajaran sastra.
Peserta didik dituntut untuk mengapresiasikan karya sastra yang dibaca dan
dipelajarinya. Mengapresiasi berarti menilai dan memaknai dari karya sastra itu
sendiri, mengungkapkan nilai dan pesan apa yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembacanya. Oemarjati mengungkapkan bahwa:
Mengapresiasikan sastra berarti menanggapi sastra dengan kemampuan
afektif yang disatu pihat peka terhadap nilai-nilai yang dikandung sastra
yang bersangkutan baik yang tersurat maupun tersirat dan kerangka
tematik yang mendasarinya. Di lain pihak kepekaan tanggapan tersebut
berupaya memahami pola tata nilai yang diperolehnya dari bacaan di
dalam proporsi yang sesuai dengan konteks persoalan. Dengan demikian
pembelajaran di sekolah dilakukan dengan metode yang tepat mengacu
kepada kemampuan afektif siswa, sehingga menjadi apresiatif.28
27 Iskandarwassid, dan Dadang Suhendar, Strategi Pembelajaran Bahasa, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 202.
28 Boen, S Oemarjati, ―PembinaanApresiasi Sastra dalam Proses Belajar-Mengajar‖ dalam Bambang Kaswanti Purwa (ed), ―Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa: Pembahasan Pembelajaran‖, (Yogyakarta: Kanisisus, 1991), h. 58.
21
Karya sastra mengandung unsur pendidikan dan pengajaran. Pengajaran
tersebut berkaitan dengan pembelajaran sastra di sekolah yang mempunyai
intruksional khusus bagi pendidikan. Secara umum tujuan pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia bidang sastra dalam kurikulum 2004, yaitu 1) Agar peserta
didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan kemampuan
berbahasa; 2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia
sebagai khazanah budaya dan intelektuan manusia Indonesia. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa karya sastra yang baik selalu mengandung sesuatu yang
patut direnungkan. Hasil perenungan itu pada akhirnya dapat memperkaya
pengetahuan intelektual pembaca dan menumbuhkan semacam emosi dan
dorongan positif terhadap perkembangan pengetahuan manusia itu sendiri.
Seperti yang dikemukakan oleh Horace bahwa fungsi karya sastra sebagai dulce
et utile, yaitu sebagai penghibur sekaligus berguna.29 Pengertian ini menunjukan
bahwa fungsi karya sastra bukan hanya untuk mengibur, tetapi juga karya sastra
dapat mengajarkan sesuatu yang berguna.
Seperti kita ketahui ada empat keterampilan berbahasa yaitu menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis. Mengikutsertakan sastra dalam kurikulum
berarti akan membantu siswa melatih keterampilan membaca, dan mungkin
ditambah sedikit kemampuan menyimak, berbicara, dan menulis yang saling
berhubungan satu sama lain.
Dalam pengajaran sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak
dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman, atu lewat
pita rekaman. Siswa dapat melatih kemampuan bicara dengan ikut berperan
dalam suatu lakon drama. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan
membaca dengan membacakan puisi atau pun prosa cerita, dan karena sastra itu
29
Achadiati Ikram, dkk, ―Sejarah Kebudayaan Indonesia Bahasa, Sastra, dan Aksara‖, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 33.
22
menarik, siswa dapat mendiskusikannya dan kemudian menuliskan hasilnya
sebagai latihan keterampilan menulis.30
Dengan demikian, kehadiran sastra dalam pembelajaran mempunyai
peranan yang sangat penting. Karena dengan pembelajaran sastra siswa dapat
menemukan fakta-fakta yang berisikan pengetahuan. Fakta-fakta yang ditemukan
itu dapat berupa nilai-nilai kemanusiaan seperti, nilai moral, nilai pendidikan,
nilai sosial, nilai budaya, dan nilai religius. Bahkan dapat lebih dari itu, dengan
pembelajaran sastra, siswa dapat melatih kemampuan dalam menganalisis dan
merealisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah
kecakapan yang bersifat indra, yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif, dan
yang bersifat sosial.31 Dalam pelaksanaan pengajaran sastra dapat membantu
pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu
keterampilan berbahasa, meningkatkan kemampuan budaya, mengembangkan
cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak. Sesuai dengan amanat
Kurikulum 2004, pembelajaran sastra hendaknya digunakan peserta didik sebagai
salah satu kecakapan hidup dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan
harus dicapai peserta didik melalui pengalaman belajar. Dalam kurikulum 2004
kecakapan hidup ini disebut sebagai Standar Kompetensi Lintas Kurikulum.
Kecakapan hidup dapat dikelompokkan ke dalam lima jenis. Kelima jenis
kecakapan itu adalah:
1. Kecakapan mengenal diri (self awarenesses) atau kecakapan personal
2. Kecakapan berpikir rasional (thinking skill)
3. Kecakapan sosial (social skill)
4. Kecakapan akademik (academic skill)
5. Kecakapan vokasional (cocasional skill)32
30 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), Cet VIII, h. 17. 31 Ibid., h. 19. 32 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: 2008), h. 171-173.
23
Mengacu pada amanat kurikulum di atas, maka dapat dikatakan bahwa
pembelajaran sastra memiliki peranan yang sangat besar terhadap pembentukan
siswa, karena dengan pembelajaran sastra siswa dituntut mengapresiasikan nilai-
nilai yang terkandung dalam karya sastra yang telah dipelajarinya. Dan nilai-nilai
kemanusiaan tersebut ditanamkan dalam diri siswa sehingga dapat
mempengaruhi daya imajinasi, pola pikir, emosional, kreatifitas, dan intelektual
siswa.
Banyak jenis karya sastra yang dapat diapresiasikan oleh siswa untuk
pembelajara, salah satunya adalah novel. Novel biasanya sering dipilih untuk
diapresiasi karena novel adalah jenis karya sastra yang menceritakan kehidupan
seorang manusia. Dalam novel terdapat konflik permasalahan yang terkadang
terjadi pula dalam kehidupan nyata yang menjadikan cerita itu tidak terlihat
monoton. Cerita itu disampaikan oleh penulis dengan menggunakan bahasa yang
sehari-hari. Selain itu dalam sebuah novel juga biasanya terdapat nila-nilai
kemanusiaan yang bisa direnungkan pada kehidupan sehari-hari. Begitulah sastra
dengan hasil karyanya, dapat memberikan sisi positif bagi kehidupan, terutama
dalam dunia pendidikan.
E. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang
penelitian sebelumnya yang telah dilakukan. Penulis melakukan tinjauan di
internet dan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam hal ini penulis
tidak menemuka judul skripsi yang sama dengan yang penulis kaji. Pada bagian
ini dipaparkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
pertama skripsi dengan judul ‖Kehidupan Pesantren dalam Novel Geni Jora
Karya Abidah El Khalieqy Kajian Sosiologi Sastra‖. Penelitian ini dilakukan
oleh Ana Fitria Vivi Suhartina mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Sebelas Maret pada tahun 2011. Penelitian dibatasi pada
kehidupan pesantren yang ada dalam novel Geni Jora karya Abidah El Kalieqy.
24
Hasil dari penelitian ini adalah: (1) Aspek sosial budaya pesantren dalam novel
Geni Jora karya Abidah El Khalieqy yaitu: (a) Kedudukan Pondok Pesantren
dalam Novel Geni Jora , (b) Kedudukan Kyai sebagai Pembawa Nilai Sosial
Budaya dalam Novel Geni Jora , (c) Masjid dan Masyarakat Pesantren dalam
Novel Geni Jora , (d) Santri, Kyai, dan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora
(2) Tanggapan pembaca terhadap novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy
adalah selain menceritakan tentang feminisme, novel ini juga banyak
mengandung nilai- nilai agama khususnya agama islam karena dalam novel ini
settingnya ada di Pesantren.
Persamaan penelitian Ana Fitria Vivi Suhartina dengan penelitian ini
terletak pada pengarang yang sama dari objek yang dikaji, yaitu Abidah El
Khaieqy. Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek kajian dan objek
kajiannya. Peneliti Ana Fitria Vivi Suhartina mengkaji tentang kehidupan
pesantren yang ada dalam novel Geni Jora. Sedangkan di sini penulis mengkaji
tentang ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban dan Geni Jora.
Kedua, skripsi dengan judul ‖Novel Menebus Impian Karya Abidah El
Khalieqy Kajian Feminisme dan Nilai Pendidikan‖. Penelitian ini dilakukan oleh
Primasari Wahyuni mahasiswi Universitas Sebelas Maret pada tahun 2011.
Penelitian dibatasi pada nilai pendidikan yang ada dalam novel Menembus
Impian karya Abidah El Khalieqy. Hasil penelitian ini sebagai berikut: (1)
eksistensi perempuan dalam novel Menebus Impian yang meliputi: (a) kebebasan
memilih bagi perempuan (kebebasan memilih pasangan hidup, memilih
pekerjaan, menentukan pendidikan, dan menentukan nasibnya sendiri); dan (b)
perlawanan perempuan; (2) pokok-pokok pikiran feminisme, meliputi: (a)
kekerasan yang dialami perempuan (kekerasan fisik, seksual, kekerasan psikis,
dan kekerasan ekonomi); (b) kemandirian tokoh perempuan; (c) tokoh profeminis
dan kontra feminis; (d) analisis feminisme liberal dalam novel; (3) keadaan sosial
masyarakat yang terdapat dalam novel; dan (4) nilai-nilai pendidikan dalam
25
novel Menebus Impian antara lain: nilai agama, nilai moral, nilai sosial, dan nilai
budaya/adat. Hasil penelitian ini merupakan model kajian secara feminisme yang
dapat digunakan sebagai salah satu model pembelajaran apresiasi sastra,
khususnya apresiasi prosa fiksi.
Persamaan penelitian Primasari Wahyuni dengan penelitian ini terletak
pada pengarang yang sama dari objek yang dikaji, yaitu Abidah El Khaieqy.
Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek kajian dan objek kajiannya. Peneliti
Ngismatul Marfuah meneliti nilai pendidikan yang ada dalam novel Menembus
Impian. Sedangkan di sini penulis mengkaji tentang ketidakadilan gender pada
perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora.
Ketiga, skripsi dengan judul ―Aspek Sosial dalam novel Menembus Impian
Karya Abidah El Khalieqy dan Skenario Pembelajarannya di Kelas XI SMA‖.
Penelitian ini dilakukan oleh Ngismatul Marfuah mahasiswi Pendidikan Bahasa
Dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Purworejo pada tahun 2013.
Penelitian dibatasi pada aspek sosial yang ada dalam novel Menembus Impian
karya Abidah El Khalieqy. Hasil penelitian ini adalah: (1) aspek-aspek sosial
dalam novel Menebus Impian karya Abidah El Khalieqy, meliputi (a) aspek cinta
kasih terdiri dari cinta kasih antara Nur Kemalajati kepada Emak, cinta kasih
Emak kepada Nur Kemalajati, dan cinta kasih Nur Kemalajati kepada Dian
Septiaji, (b) aspek agama ditunjukkan dengan ketaatan dalam menjalankan
perintah agama, (c) aspek ekonomi ditunjukkan dengan adanya perubahan
tingkat perekonomian, (d) aspek pendidikan terdiri dari pendidikan formal dan
non-formal. (2) hubungan aspek-aspek sosial dalam novel Menebus Impian
antara lain: (a) hubungan aspek cinta kasih dengan aspek pendidikan, (b) aspek
cinta kasih dengan ekonomi, (c) aspek ekonomi dengan aspek pendidikan. (3)
novel Menebus Impian karya Abidah El Khalieqy dapat digunakan sebagai bahan
pembelajaran di kelas XI SMA.
Persamaan penelitian Ngismatul Marfuah dengan penelitian ini terletak
pada pengarang yang sama dari objek yang dikaji, yaitu Abidah El Khaieqy.
26
Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek kajian dan objek kajiannya. Peneliti
Ngismatul Marfuah meneliti aspek sosial yang ada dalam novel Menembus
Impian. Sedangkan di sini penulis mengkaji tentang ketidakadilan gender pada
perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora.
27
BAB III
BIOGRAFI PENULIS, SINOPSIS PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN
DAN GENI JORA
A. Biografi Abidah El-Khalieqy
Abidah Al-Khalieqy lahir Jombang, Jawa Timur 1 Maret 1965 dan dikenal
sebagai perempuan penyair kontemporer Indonesia. Setamat Madrasah
Ibtidaiyah, melanjutkan sekolah selama 6 tahun di Pondok Pesantren PERSIS,
Bangil, Pasuruan, SMA Muhammadiyah, Jakarta Utara, Madrasah Aliyah
Negeri, Klaten, dan Fakultas Syari’ah (Hukum) IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta. Pembina Seni dan Sastra pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Pendiri Sudi Apresiasi Sastra (SAS) Yogyakarta tahun 1987, Pengurus Lingkar
Penyair Yogyakarta (1987-1990).1
Di pesantren Persis, ia mulai menulis puisi dan cerpen dengan nama
Idasmara Prameswari, Ida Arek Ronopati, atau Ida Bani Kadir. Memperoleh
ijazah persamaan dari Madrasah Aliyah Muhammadiyah Klaten, dan menjadi
juara Penulisan Puisi Remaja Se-Jawa Tengah (1984). Alumni Fakultas Syariah
IAIN Sunan Kalijaga ini menulis tesis ―Komoditas Nilai Fisik Perempuan dalam
Perspektif Hukum Islam‖ (1989). Pernah aktif dalam Forum Pengadilan Puisi
Yogyakarta (1986-1988). Kelompok Diskusi Perempuan Internasional (KDPI)
Yogyakarta, 1988-1990). Menjadi peserta dalam pertemuan APWLD (Asian
Pacific Forum on Women, Law and Development, 1989).2
1 Abidah El Khalieqy, Geni Jora, (Bandung: Qanita, 2009), h. 270. 2 Abidah El Khalieqy, Mikraj Odyssey, (Bandung: Qanita, 2009), h. 163.
27
28
Karya-karya kesustraannya diikutkan dalam berbagai buku antologi
bersama seperti: ASEANO: An Antology of Poems Southeast Asia (1996), Cyber
Album Indonesia – Australia (1998), Force Majeure (2007), Rainbow:
Indonesian Womens Poet (2008), Word Without Borders (2009), E-books
Library For Diffabel (2007) dan lebih dari 15 buku sastra lainnya.3
Sebagian karya-karya kesusastraannya terhimpun dalam antalogi Ibuku
Laut Berkobar (1998) dan Percintaan dan Kemabukan. Sedangkan puisi-puisinya
tentang perempuan dan aborsi diterjemahkan oleh Geo Fax dan dirilis dalam
bentuk Cyberalbum. Selain tertuang dalam dua antologi di atas, serta novel Atas
Singgasana, karya-karya Abidah juga terdapat dalam ASEANO : Anthology of
Poems Shout East Asia, Antologi-antologi dan leksikon sastra modern Indonesia.
Karya-karyanya banyak juga dipublikasikan melalui media massa baik
lokal maupun nasional. Sebagai seorang penyair yang kreatif pada 1994 hingga
2000, Abidah diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk membaca karya puisinya
di Taman Ismail Marzuki dan membacakan puisi-puisinya di sekretariat ASEAN.
Selain membaca puisi-puisinya juga menjadi pembicara pada Forum Penyair
Abad 21 di TIM, menjadi pembicara dalam Program Sastrawan Bicara, Siswa
Bertanya (2000).
Abidah tercatat pernah mewakili Indonesia dalam ASEAN Writer’s
Conference Workshop Poetry di Manila Pilipina pada tahun 1995 dan menjadi
pendamping dalam Bengkel Kerja Penulisan Kreatif Majelis Sastra Asia
Tenggara (MASTERA) pada tahun 1997. Selain itu, Abidah pun pernah
mendapat penghargaan Seni di bidang Sastra dari Pemerintah DIY.
Abidah juga pernah mengikuti Konferensi Perempuan Islam se-Asia
Pasifik dan Timur-Tengah pada tahun 1999, International Literary Festival
3 Abidah El Khalieqy, Perempuan Berkalung Sorban, (Yogyakarta: Araska, 2012), h. 242.
29
Biennale pada tahun 2007, Jakarta International Litelary Festival pada tahun
2008, Aceh International Litelary Festival pada tahun 2009.
Berikut ini merupakan buku-buku karya Abidah El Khalieqy yang sudah
diterbitkan:
1. Ibuku Laut Berkobar (1997)
2. Menari Di Atas Gunting (2001)
3. Perempuan Berkalung Sorban (2001, Sudah difilmkan dan dicetak lebih dari
50.000 ex)
4. Atas Singgasana (2002, menjadi bacaan di SMA seluruh Indonesia, dan
dicetak oleh Diknas Lebih dari 30.000 ex.)
5. Geni Jora (2004, juara kedua dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian
Jakarta)
6. Mahabbah Rindu (2007)
7. Nirzona (2008)
8. Mikraj Odyssey (2009)
9. Menembus Impian (2010, sudah difilmkan)
10. Lampuki (2011), dan
11. Mataraisa (2012)
Abidah juga dikenal sebagai sosok aktivis dalam berbagai kegiatan diskusi,
menjelajah kota-kota, mesjid-mesjid dan situs-situs kuno di Timur Tengah,
Damaskus, Marrakesh, Casablanca, Tangier, El-Shareque, Amman, puing-puing
kota Iran. Selain sebagai aktivis, Abidah juga dikenal sebagai sosok yang
menyenangi alunan musik. Bahkan Abidah sangat hafal lagu-lagu Arab, Suriah
dan Maroko dari El-Arabi Serghini, Omar Metioui, Jorge Rozemblum, Majida al-
Roumi, Mayada el Hennawi sampai Rasheed Thaha.
30
1. Abidah dan Kultur Pesantren.
Sejak kecil Abidah hidup di tengah keluarga santri. Kognisi sosial
kaum santrilah yang membentuk kepribadian dan pemikirannya. Abidah
adalah salah satu produk masyarakat santri yang bersentuhan dengan dunia
modern. Jombang, kota kelahirannya di mana ia melalui masa kecilnya
adalah salah satu pusat pesantren besar di Indonesia, yang tertua adalah
Pesantren Gedang, yang didirikan oleh kakek Kyai Hasyim Asy’ari,
kemudian Pesantren Tambak Beras, Sambong, Sukopuro, Paculgung,
Watugajah dan masih ada sekitar 15 lebih pesantren kecil yang di wilayah
Jombang.
Masyarakat santri adalah masyarakat Indonesia yang mempunyai ciri
unik dan khusus. Mereka mempunyai sebuah tradisi intelektual yang
diwarisi dari generasi ke generasi. (Sachiko:2000). Tradisi tersebut
dipelihara dan dikembangkan di pondok-pondok pesantren, yakni tradisi
keilmuwan keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab salaf yang amat kuat
mereka pegang. Istilah-istilah seperti NU, Bahtsul Masail, Kyai, Gus,
mazhab Syafi’i, Tareqat, Manaqib,Dhiba’, Sholawat, Tahfidz Qur’an,
Rebana, adalah istilah-istilah yang diasosioriskan pada masyarakat unik ini.
Tokoh–tokoh seperti Gus Dur, Gus Mus, Emha, Nurkholis Majid, hampir
semua masyarakat Indonesia tahu bahwa mereka berasal dari dan tergolong
sebagai kaum santri. Kantong-kantong wilayah santri yang terkenal adalah
Banten-Jawa Barat, Sarang-Rembang-Lasem-Jateng Jateng, Lirboyo-Kediri,
Tebu Ireng-Tambak Beras-Jombang, Tremas-Pacitan Jatim. Tetapi saat ini
hampir di seluruh pelosok pulau Jawa terdapat pondok pesantren baik kecil
maupun besar. Hal ini tak lepas dari perjuangan tokoh-tokoh santri dalam
berdakwah dan menyebarkan ajaran pesantren.
Kultur pesantren adalah kultur yang khas. Cliffort Geertz
menggambarkan bahwa santri adalah bagian dari masyarakat Jawa
sebagaimana pernyataannya: ―Santri mewakili sikap menitik beratkan pada
31
segi-segi Islam dalam sinkretisme, pada umumnya berhubungan dengan
unsur pedagang dan petani. Abangan mewakili sikap yang menitik beratkan
segi-segi sinkretisme Jawa yang menyeluruh, secara luas berhubungan
dengan unsur-unsur mistik kerakyatan. Dan priyayi menitik beratkan pada
segi-segi Hinduisme dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi.‖
Karena pada umumnya pusat-pusat pesantren ada di daerah pedesaan,
kehidupan sehari-hari kaum santri lebih akrab dengan kehidupan masyarakat
desa dari pada kota, kehidupan mereka yang sebenarnya kurang terekspos ke
luar wilayah mereka. Tetapi ketika perkembangan zaman semakin pesat,
benturan-benturan dengan dunia luar mulai mereka rasakan. Bahkan kini pun
banyak pesantren-pesantren besar eksis di tengah-tengah masyarakat kota.4
2. Konsep Dasar Pembuatan Novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni
Jora
Menurut Abidah persoalan perempuan itu tidak lekang oleh zaman.
Sejak Adam sampai Muhammad, sejak zaman Muhammad sampai sekarang,
persoalan perempuan dengan berbagai macam sisinya masih saja aktual
untuk dibicarakan. Itu sebabnya perempuan disebut-sebut dalam Al-Quran
dan Hadist sebagai bagian dari masalah kehidupan dunia selain kekuasaan
dan harta. Dalam sejarahnya sampai kini, persoalan perempuan timbul lebih
disebabkan oleh sumber-sumber tiranik yang bergerak melalui sistem
patriarki. Oleh pikiran dan konstruksi budaya kaum lelaki. 5
Bagi Abidah sebagai penulis, yang menjadi konsep dasar pembuatan
novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebagai pengingat dan motivasi
bagi kaum laki-laki dan perempuan, khususnya kaum muslimah untuk
4Fatichatus Sarifah, Biografi Abidah El Khalieqy, Artikel diakses di
http://www.solopos.com/2012/07/06/abidah-el-khalieqy-menulis-adalah-panggilan-hidup-199603 pada tanggal 26 Agustus 2013, pukul 07.08 WIB
5Siti Rizkia Kamilah, Skripsi, Analisis Isi Pesan Dakwah Pada Novel Perempuan Berkalung Sorban, (Wawancara pribadi dengan Abidah El-Khalieqy melalui email: Jakarta, 04 Juni 2010)
32
melakukan perubahan sosial dan budaya yang didasarkan pada prinsip-
prinsip kemanusiaan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan
yang sama di hadapan Tuhan YME. Sehingga tidak ada seorang pun dari
mereka yang dapat merandahkan bahkan menindas sesamanya. Selain itu
juga sebagai penyemangat bagi kaum perempuan agar bisa lebih berani
mengkritisi terhadap ajaran-ajaran Islam (khususnya hadits-hadits misoginis)
yang disalahgunakan atau dijadikan alasan untuk merendahkan kaum
perempuan. Maka untuk dapat melakukan itu perempuan harus memiliki
pengetahuan yang memadai, dan membangun sikap yang mandiri.
Hampir di setiap tulisannya, Abidah sebagai pengarang novel selalu
menggambarkan sosok perempuan yang kuat, cerdas, dan pandai. Hal ini
merupakan sebuah harapan dari Abidah agar menjadi inspirasi bagi
pembacanya, terutama bagi generasi perempuan saat ini dan masa yang akan
datang. Dan itu merupakan bagian yang penting dari proses kreasi hasil
karyanya.
Secara ideal perempuan menginginkan keadilan sosial dan persamaan
pada segala aspek kehidupannya, seperti dalam bidang ekonomi, politik,
sosial, dan budaya. Tapi itu semua seakan sulit terwujud karena pada
kenyataannya masih banyak keluarga muslim yang melihat perempuan
hanya sebagai ibu rumah tangga. Menurut Abidah kondisi perempuan di
Indonesia masih sangat termarginalkan. Abidah ingin mencari akar
permasalahannya dan ia beritakan ke publik melalui novel. Walaupun
selama ini permasalahan perempuan sudah banyak ditulis, mulai dari
masalah penderitaan mereka sampai keterpinggiran mereka. Tetapi Abidah
merasa perlu membahas bagaimana solusi ke depannya untuk menyikapi
kondisi tersebut. Oleh karena itu lahirlah novel Perempuan Berkalung
Sorban dan Geni Jora sebagai media dari pemberdayaan perempuan.
33
B. Sinopsis Perempuan Berkalung Sorban
Seorang gadis kecil bernama Anisa hidup di lingkungan pesantren sebagai
putri seorang kiai. Anisa adalah anak yang lincah dan cerdas, namun posisinya
sebagai perempuan menjadikannya tidak bebas berkreasi. Anisa selalu merasa
keluarganya dan adat sangat tidak adil. Ia dilarang berkuda, berbicara saat
makan, berpendapat, dan bergurau bersama, sementara kedua kakak laki-lakinya
diizinkan melakukan hal tersebut. Ia juga harus rajin belajar dan bangun pagi,
sementara kakaknya boleh bermalas-malasan sesuka hati, semua itu hanya karena
ia seorang perempuan. Anisa tidak pernah tinggal diam atas prlakuan itu, ia
selalu berontak. Anisa mempunyai seorang saudara sekaligus sebagai satu-
satunya sahabat yang selalu memahaminya, Lek Khudori, begitu panggil Anisa.
Namun, kedekatan mereka harus terenggang ketika Khudori harus melanjutkan
studinya ke Kairo, dan hanya suratlah penyambung bisu hubungan keduanya.
Setelah lulus sekolah dasar, Anisa dipaksa menikah dengan putra seorang
kiyai, dialah Samsudin. Samsudin selalu melakukan kekerasan dalam rumah
tangga, selalu membentak, memukul, memaksa, bahkan dalam berhubungan
suami-istri Samssudin sering meminta yang tidak wajar. Suatu ketika, Anisa
didatangi seorang janda yang tengah hamil tua, dia mengaku bahwa anak tersebut
adalah buah hatinya bersama Samsudin. Kemudian Anisa harus bersedia
dipoligami. Merasa senasib mendapat perlakuan kurang baik dari Syamsudin,
Anisa dan mbak Kalsum, si istri muda, sepakat untuk saling bantu. Mbak Kalsum
juga sering belajar mengaji pada Anisa.
Di sisi lain, kembalinya Khudori dari Kairo mengembalikan harapan Anisa
untuk memerdekakan diri pula. Dengan ditemani Khudori, Anisa berani
menceritakan semua kejadian yang ia alami selama berumah tangga dengan
Syamsudin. Kemudian, keluarga Anisa melakukan musyawarah dengan keluarga
Syamsudin untuk perceraian mereka. Perceraian itupun terjadi, Anisa merasa
sangat lega. Namun, Anisa dan Khudori kembali resah ketika cinta mereka yang
tumbuh seiring dengan berjalannya waktu itu tidak mendapat restu dari orang tua
34
Anisa. Mereka kemudian melanjutkan hidup masing-masing sambil menunggu
masa idah Anisa dan restu dari orang tuanya.
Anisa melanjutkan studinya, ia kuliah di Yogjakarta. Di sana ia mengikuti
organisasi yang mengurusi hak-hak perempuan. Ia juga aktif dalam duni tulis-
menulis. Di tengah-tengah kesibukan yang ia nikmati, Khudori kembali datang
dan meminangnya. Kali ini Khudori sudah mendapat restu dari orang tua Nisa.
Mereka pun menikah. Kehidupan rumah tangga mereka sangat damai. Khudori
sering membantu Anisa menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Walaupun
kadang terjadi masalah, keduanya bisa mengatasi itu dengan baik. Kebahagiaan
mereka bertambah lengkap setelah cukup lama menunggu dengan sabar untuk
mendaptkan momongan. Anisa melahirkan seorang bayi yang kemudian diberi
nama Mahbub yang berarti cinta kasih.
Suatu hari Anisa dan Khudori menghadiri sebuah undangan pernikahan
teman lamanya di kampung kelahirannya. Di situ, mereka bertemu kembali
dengan Syamsudin. Dari matanya, nampak kebencian dan keirian Syamsudin
pada Khudori. Kemudian Syamsudin meninggalkan tempat itu. Tak jauh dari
pertemuan itu, Anisa mendapat kabar bahwa Khudori mengalami kecelakaan dan
tidak dapat diselamatkan lagi. Tuduhan Anisa selalu mengarah pada satu nama:
Syamsudin. Namun, bagaimanapun juga ia tak punya bukti yang nyata. Akhirnya
ia harus menjalani hidup ini tanpa Khudori dan membesarkan Mahbub seorang
diri.
C. Sinopsis Geni Jora
Nama tokoh utama cerita ini adalah Kejora. Kejora merupakan seorang
perempuan yang cerdas, selalu ranking satu di kelas. Ia pun merupakan
perempuan mandiri dengan cita-cita tinggi yaitu mendobrak dominasi laki-
laki. Untuk seorang anak dari seorang ayah yang tunduk patuh pada ajaran-ajaran
Islam, agak aneh juga ia dinamai Kejora. Kakak perempuannya bernama
Bianglala. Kedua saudara lelaki mereka bahkan bernama Samudra dan Prahara.
35
Kejora terlahir dari seorang ibu berstatus istri kedua, Kejora beserta ketiga
saudaranya tumbuh di dalam rumah besar dengan tiga dinding tinggi tebal
mengurung mereka seperti sebuah harem, hanya bagian pintu pagar saja yang
agak terbuka memperlihatkan dunia luar. Ibu tirinya, istri pertama ayahnya,
tinggal di dalam harem itu juga.
Rumahnya dengan rumah mereka beradu punggung, hanya dipisahkan oleh
sebuah halaman seluas lapangan bulutangkis. Kejora kecil hanya dibolehkan ke
luar halaman untuk sekolah dan les bahasa Arab. Sementara, adik lelakinya,
Prahara, boleh bermain sepuasnya di luar rumah dari pagi hingga petang. Ini
membuat Kejora kesal karena merasa dibeda-bedakan.
Ketika Kejora dan Lola (nama panggilan Bianglala) menginjak remaja,
mereka menyukai pemuda yang berada di sebelah rumah. Setiap pagi, kedua
gadis cilik itu memanjat pohon yang banyak tumbuh di halaman rumah mereka,
demi mengintip pemuda tetangga keturunan Arab bernama Ali Baidawi alias
Alec Baldwin, jogging. Memanjat pohon dan mengintip Alec Baldwin adalah
bentuk perlawanan terhadap perlakuan diskriminasi orang tua mereka.
Rumah tangga orang tuanya benar-benar sebuah lembaga patriarkhi yang
memberi tempat utama bagi lelaki. Sementara perempuan seperti dirinya, ibunya,
ibu tirinya, dan Lola, hanya berada di urutan kedua. Selalu ke dua, meski ia jauh
lebih cerdas dari adik lelakinya itu. Neneknya, oleh sebab lama berada di bawah
dominasi para lelaki, akhirnya justru menjadi salah satu agen patriarkhi di rumah
tersebut. Kesemua ini membuat Kejora tumbuh dengan sebuah "dendam" di hati.
Dendam kepada penguasaan para lelaki.
Selanjutnya, Kejora, oleh ayahnya, disekolahkan ke pesantren paling top di
kotanya. Di pesantren ini, para santrinya dididik dengan aturan dan disiplin keras
berdasarkan syariat Islam dan diajarkan pula ilmu pengetahuan umum lainnya,
tidak semata-mata pelajaran agama saja. Dari sini, kelak diharapkan akan lahir
perempuan-perempuan muslim cerdas dengan pengetahuan dan ilmu yang tak
kalah hebat dibanding mereka yang jebolan sekolah umum. Kejora mewakili
36
gambaran seorang santri ideal tersebut. Ia yang berpikiran moderat kerap kali
mendebat para ustadznya terutama untuk hal-hal yang dirasa mengganggu
logikanya.
Dalam pesantren ini ia menemukan kejanggalan-kejanggan seperti ada
persaingan akademis yang berbuah kecemburuan, ada geng-gengan yang saling
bermusuhan, sampai dengan skandal asmara sejenis alias lesbianisme. Tak
terhindarkan memang, mengingat sehari-hari yang mereka temui dan gauli
adalah kaum sejenis. Sudah tentu, lesbian merupakan sesuatu yang haram di
pesantren tersebut dan pelakunya pasti diganjar hukuman rotan.
Setelah menyelesaikan sekolahnya di pesantren, Kejora melanjutkan
kuliahnya di Damaskus dengan mendapatkan beasiswa dari pesantrennya dulu.
Di sana Kejora bertemu dengan Zakky yang tak lain adalah putra dari pemilik
pesantren tempat ia bersekolah. Dan pada akhirnya ia menjalin kasih dengan
Zakky. Zakky yang merupakan play boy terkadang membuat Kejora cemburu
sampai pada akhirnya Kejora yang tak tahan lagi melihat tingkah Zakky yang
menyukai Lola, memutuskan untuk mengencani Asaav sahabat Zakky untuk
membalaskan rasa sakit hatinya itu. Zakky yang tidak terima dengan tindakan
yang akan dilakukan Kejora pun pada Akhirnya berjanji bahwa akan menjadikan
Kejora sebagai satu-satunya wanita di sisi Zakky.
37
BAB IV
HASIL ANALISIS
A. Unsur Intrinsik Novel Perempuan Berkalung Sorban
Analisis unsur intrinsik dalam novel PBS berupa tema, tokoh dan
penokohan, alur, latar (tempat, waktu, sosial), dan sudut pandang. Unsur-unsur
tersebut didapat dari data atau fakta yang ada dalam novel PBS karya Abidah El
Khalieqy melalui pembacaan yang cermat dan berulang.
A. Tema
Tema dari novel PBS adalah pembebasan seorang perempuan dari
budaya patriarki yang selama ini memasungnya. Tema tersebut tergambar
jelas dari perjalanan hidup Annisa untuk memperoleh kesetaraan gender
antara perempuan dan laki-laki. Penggambaran tokoh Annisa dalam novel
PBS ini dibuat untuk mengembangkan gagasan kesetaraan gender. Hampir
seluruh bab dalam novel PBS ini membahas tentang usaha tokoh utama
Annisa untuk mendapatkan keadilan antara perempuan dan laki-laki. Hal ini
dapat dilihat dari kutipan novel PBS sebagai berikut: ―….. Selembut embun
pagi yang menetes dari langit biru. Mengisi jadwal dan kewajiban hari-
hariku untuk tetap melangkah, memerdekakan kaumku yang masih saja
lemah. Agar mereka selalu hadir dan mengalir di tengah zaman. Membawa
kemudi. Panji matahari.‖ ( PBS. h. 241)
Kutipan tersebut menjelaskan tekad kuat Annisa untuk tetap
memperjuangkan hak-hak kaum perempuan yang selama ini termarginalkan.
Bukan hal yang mudah bagi Annisa untuk mendapatkan hak-haknya sebagai
perempuan. Annisa harus menghadapi berbagai macam rintangan. Salah
satunya adalah orang tua Annisa yang masih menjunjung tinggi nilai
patriarki. Pada akhirnya ia mendapatkan apa yang selama ini ia cari yaitu
37
38
kesetaraan yang ia dapatkan ketika menikah dengan Khudhori yang sangat
mendukung akan kesetaraan gender antara laki-laki dengan perempuan.
B. Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan pelaku yang ada dalam sebuah cerita. Penokohan
dalam novel PBS dapat diketahui melalui perbuatan, kebiasaan, dialog yang
dilakukan oleh tokoh tersebut. Penokohan dapat berubah-ubah sesuai
dengan kedalaman cerita tersebut. Perubahan itu terjadi dari jahat menjadi
baik atau tokoh baik yang tetap baik. Dengan demikian tokoh dan
penokohan tersebut dapat dikenali oleh pembaca.
Nurgiyantoro membedakan tokoh ke dalam beberapa kriteria.1 Dilihat
dari fungsi penampilan, tokoh dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Tokoh Protagonis
Berikut ini merupakan tokoh protagonis yang ada dalam novel
PBS karya Abidah El Khalieqy:
1) Annisa
Annisa merupakan tokoh utama dalam novel ini. Tokoh
Annisa memiliki porsi penceritaan yang banyak tentang
kehidupannya, Annisa juga berperan sebagai pencerita sehingga ia
selalu muncul mulai dari awal hingga akhir cerita. Annisa
digambarkan secara analitik oleh pengarang sebagai anak dari
seorang Kiai yang mempunyai pondok pesantren khusus
perempuan di daerahnya. Hal ini dapat dibuktikan dalam kitipan
berikut: ‖……Pondok Pesantren Putri yang didirikan oleh
Bapakku, Kiai Haji Hanan Abdul Malik, memiliki cita-cita dan
harapan untuk mendidik dan menjadikan remaja putri agar
menjadi kaum muslimmah yang berguna….‖ (PBS. h. 53)
Dari kutipan di atas terlihat bahwa pengarang membuat tokoh
utama yang seorang anak dari tokoh terpandang di desanya, yang
1 Nurgiantoro, op. cit., h. 178.
39
menjunjung nilai-nilai patriarki. Melalui penggambaran kondisi
keluarga Annisa yang disampaikan pengarang secara analitik telah
memberikan gambaran terhadap pembaca bahwa Annisa
dibesarkan dalam lingkungan yang menekankan nilai-nilai
patriarki.
Annisa merupakan tokoh perempuan yang diciptakan oleh
pengarang sebagai pelopor perbaikan derajat perempuan,
khususnya dalam lingkungan pesantren salaf. Annisa berusaha
membebaskan diri dari cara pandang orang-orang yang
memandang sesuatu hanya dari jenis kelamin. Annisa digambarkan
sebagai sosok yang memiliki tekad kuat dan pantang menyerah.
Tekad tersebut ia implementasikan ketika ia sedang tersudutkan.
Seperti pada kutipan berikut: ―Apa pun yang terjadi, aku harus
bisa, aku mesti belajar naik kuda, aku akan tetap belajar naik
kuda, naik kuda.‖ (PBS. h. 35)
Secara dramatik, pengarang memunculkan penokohan Annisa
sebagai sosok yang kritis, ini terbukti dengan rasa ingintahuannya
yang sanggat tinggi terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya.
Ia selalu mempertanyakan tentang perbedaan perlakuan yang
didapatkannya. Selain itu Annisa juga digambarkan secara
dramatik sebagai orang yang sangat menyukai ilmu pengetahuan.
Annisa juga memiliki sifat pasrah, sifat pasrah ini
ditunjukkan ketika Annisa dijodohkan dengan Samsudin. Ia tidak
bisa menolak permintaan kedua orang tuanya untuk menikah,
padahal saat itu ia masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah.
Tetapi sifat pasrah yang ditujukkan Annisa ini bertentangan dengan
sifatnya yang berontak. Dari awal cerita pengarang
menggambarkan Annisa secara dramatik sebagai sosok yang sering
berontak dan melanggar aturan yang dibuat ayahnya.
Selama hidup dengan Samsudin, Annisa sama sekali tidak
pernah bercerita tentang kekerasan yang selalu diterimanya dari
40
Samsudin. Ini bertentangan dengan penggambaran usianya yang
masih sangat muda yaitu duduk di kelas 1 Madrasah Tsanawiyah.
Pengarang menghadirkan tokoh utama yang masih sangat muda
dan harus menjalani kekerasan pisik, psikis, dan seksual tiap
harinya, dan ia masih bisa bertahan tanpa ada sedikitpun rasa takut
yang dihadirkan kepada sosok Samsudin.
2) Khudhori
Khudhori merupakan tokoh utama tambahan dalam novel
PBS ini. Porsi penceritaannya banyak walaupun tidak sebanyak
porsi penceritaan Annisa. Khudhori digambarkan secara analitik
melalui tokoh Annisa sebagai sosok yang mempunyai wawasan
yang luas. Ini terbukti dari pemahamannya yang sangat banyak
tentang puisi-puisi kuno, memahami nilai-nilai ajaran islam secara
luas dan mendalam, ia juga mengenal dengan sangat baik karya-
karya Mozart dan Beethoven. Selain itu ia juga dapat melanjutkan
pendidikannya di Mesir dan juga Berlin. Ini menunjukkan bahwa
selain memiliki wawasan yang luas, ia juga memiliki semangat dan
kemauan yang tinggi, seperti pada kutipan berikut: ―……Lek
Khudhori suka pada puisi, bahkan juga mengenal nama-nama
penyair dunia yang terkenal.‖ (PBS. h. 36)
Pengarang mencoba menggambarkan sosok Khudhori
sebagai sosok yang cuek tidak peduli akan masalah yang sedang
dihadapinya. Ini terbukti dengan ketidakpeduliannya terhadap
fitnah yang ditujukkan padanya. Padahal fitnahan tersebut sudah
membuatnya bertengkar dengan istrinya Annisa, seperti pada
kutipan: ―…. Jika ada yang bilang aku sudah menikah, aku tidak
mau melacak dari mana sumbernya, silahkan Nisa melacaknya
sendiri. Sebab aku tidak suka melayani fitnah. Oke?‖ (PBS. h. 217)
Dari kutipan di atas, pengarang menjelaskan bahwa Khudhori
tidak pernah menanggapi apa pun kabar jelek yang menerpa
41
dirinya. Ini terlihat janggal karena Khudhori merupakan seorang
suami yang berarti merupakan seorang pemimpin dalam
keluarganya yang seharusnya dapat mengatasi permasalahan dalam
rumah tangga. Bukan malah membiarkannya melarut dan semakin
menjadi.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Khudhori
memiliki sifat cuek, bijaksana, penyayang, serta memiliki wawasan
yang sangat luas.
Penggambaran tokoh Khudhori mendukung terbentuknya tema
dalam novel Perempuan Berkalung Sorban ini. Sikap Khudhori
yang selalu mendukung pemikiran-pemikiran yang dimiliki Annisa
tentang sistem patriarkat yang seharusnya sudah tidak dijadikan
patokan dalam kehidupan. Penggambaran tokoh Khudhori
diceritakan semuanya oleh Annisa.
3) Kalsum
Kalsum adalah istri kedua Samsudin yang usianya jauh di
atas usia Samsudin. Kalsum digambarkan secara analitik oleh
Annisa sebagai seorang yang matrialistis. Salah satu alasan
mengapa ia mau menikah dengan Samsudin adalah karena
Samsudin memiliki warisan yang sangat banyak. Ini terbukti pada
kutipan berikut: Satu hal yang menjadi pikiran serius bagi Kalsum
adalah masalah uang. Ia anak perempuan dari seorang makelar
tanah yang selalu bau rupiah. (PBS. h. 105)
Dalam hal ini Kalsum mengalami perubahan karakter.
Pengarang secara dramatik menggambarkan tokoh Kalsum yang
pada awalnya suka mengatur dan tidak ramah terhadap Annisa
menjadi sosok yang ramah dan menjadi teman berkeluh kesah
Annisa.
42
4) Haji Hanan Abdul Malik (Ayah Annisa)
Haji Hanan Abdul Malik adalah pemilik salah satu pesantren
putri di Jawa Timur sekaligus ayah Anissa yang selalu menerapkan
sistem patriarki di lingkungan keluarga dan pesantrennya.
Pengarang menggambarkan penokohan Haji Hanan Abdul Malik
secara dramatik. Haji Hanan digambarkan sebagai sosok yang
tegas dalam mengambil keputusan. Ini terlihat ketika Annisa
melanggar peraturan yang dibuat ayahnya ini, ia tidak segan-segan
untuk menghukum Annisa walaupun Annisa merupakan putrinya,
seperti pada kutipan berikut: ― Sekarang dengar! Mulai hari ini
kau tidak boleh keluar rumah selain sekolah dan ke pondok. Jika
sekali ketahuan membangkang, bapak akan kunci kamu dalam
kamar selama seminggu, paham?‖ (PBS. h. 40)
Selain itu, Haji Hanan juga digambarkan sebagai orang yang
bijaksana. Ini terbukti ketika ia dihadapkan dengan persoalan
Annisa yang ingin bercerai dengan Samsudin karena kelakuan
Samsudin yang selalu berbuat kasar terhadap Annisa. Ia tidak mau
mengambil keputusan secara gegabah karena khawatir akan
membuat hubungannya dengan keluarga besar Samsudin yang
notabenenya adalah teman dekat ayahnya menjadi renggang karena
persoalan ini, seperti pada kutipan berikut ini: ―Tentu saja bu,
masalahnya bukan aku mau atau tidak mau, tetapi aku sedang
berpikir, kira-kira ini akan mengganggu persahabatan kami
selanjutnya.‖ (PBS. h. 147) Kutipan tersebut menunjukan bahwa Haji
Hanan Abul Malik merupakan orang yang sangat hati-hati dalam
mengambil keputusan. Bahkan walaupun keputusan tersebut
berhubungan erat dengan nasib putrinya. Hal ini sedikit janggal
karena sebagai orang tua ia seharusnya lebih mengutamakan
keselamatan dan kebahagiaan anaknya.
Pada dasarnya dalam sebuah keluarga setiap anak
mempunyai hak dalam mendapatkan perlakuan dan didikan yang
43
sama tanpa dibeda-bedakan dengan anak yang lainnya. Akan tetapi
dalam novel ini Haji Hanan memperlakukan anak perempuan dan
laki-lakinya dengan berbeda. Membuat kecemburuan terjadi pada
pihak yang merasa dinomorduakan.
Dalam novel ini tokoh Haji Hanan Abdul Malik mengalami
perubahan sikap yang pada awalnya sangat keras apalagi mengenai
hal-hal yang berhubungan dengan budaya patriarki, menjadi
melunak dan tidak terlalu terpatok pada budaya patriarki. Ini
terbukti ketika Annisa diijinkan untuk melanjutkan kuliahnya di
Yogyakarta. Padahal sebelumnya ia menentang keras Annisa
melanjutkan sekolah apalagi di luar kota.
Dari kutipan diatas, terlihat bahwa Haji Hanan Abdul Malik
memiliki sifat yang tegas dan bijaksana
5) Hajah Mutminah (Ibu Annisa)
Hajah Mutmainah merupakan ibu dari Annisa. Peranan ibu
dalam novel ini hanya di lingkup domestik, seperti mengasuh anak,
mencuci, membersihkan rumah dan sebagainya. Itu pula yang ia
ajarkan kepada Annisa. Pengarang menceritakan penokohan hajah
Mutminah dalam PBS ini secara dramatik. Hajah Mutminah
digambarkan sebagai seorang yang bijaksana. Ini terbukti ketika
ketika Annisa dan Rizal yang baru saja pulang dengan basah
kuyup. Iya tidak memarahi Annisa dan menyalahkannya atas
kejadian Rizal yang tercebur di bumblang seperti yang dilakukan
oleh suaminya. Ia hanya menyuruh keduanya untuk lekas mandi,
seperti pada kutipan berikut: ―‟ Sudah, sudah, sekarang mandi
sana. Kau Rizal, kau juga Nisa.‟ Suara ibu menyela sambil
mendekati kami berdua, memberi keputusan yang adil.‖ (PBS. h. 22)
Selain bijaksana, Hajah Mutminah juga digambarkan oleh
pengarang sebagai seorang ibu yang penyayang. Seperti pada
kutipan berikut: ―Apapun reaksinya, Pak, kita harus menyelesaikan
44
masalah ini secara kekeluargaan. Demi Nisa pak. Bapak harus
membincangkan masalah ini dengan Kyai Nasir.‖ (PBS. h. 147)
Kutipan tersebut menunjukan ibu yang panik mendengar anak
perempuannya dianiaya oleh suaminya. Hal yang pada umumnya
dilakukan semmua ibu ketika mendengar anaknya terluka.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hajah
Mutminah mempunyai sifat yang bijaksana dan penyayang.
b. Tokoh Antagonis
Samsudin
Samsudin diceritakan sebagai seorang sarjana hukum yang
sama sekali tidak mengerti tentang hukum. Secara dramatik,
pengarang memunculkan penokohan Samsudin dengan karakter
sosok yang kejam, hal ini terbukti dengan perlakuannya terhadap
istrinya yang selalu kasar tanpa belas kasih. Ia selalu memukul,
menendang, menjambak rambut Annisa tanpa merasa bersalah
sedikitpun atas apa yang telah ia lakukan, seperti pada kutipan
berikut: ―Ia menampar mukaku bertubi-tubi hingga pipi dan
mukaku lebam kebiru-biruan. Untuk kali pertama, kucakar
wajahnya dan ia membanting badanku ke lantai.‖ (PBS. h. 111) Hal
ini tidak sesuai dengan peranannya sebagai suami yang seharusnya
bisa melindungi istrinya.
Samsudin digambarkan secara analitik oleh Annisa sebagai
seseorang yang suka memaksakan kehendaknya. Ini terbukti ketika
samsudin memaksa untuk menggauli Annisa, padahal ia dalam
keadaan haid (tidak suci).
Seusai gombal begitu, ia memaksakan lidahnya untuk
dimasukkan ke mulutku, dan jika aku menolaknya, ia
mengulanginya dengan beringas dan mengirim kembali air
kotoran itu ke mulutnya. Seperti biasanya, sembari menahan
45
rasa mual di perut, lambungku terasa kejang dan ingin
muntah. Lalu kedua kaki juga kejang…..(PBS. h. 110)
Penggambaran karakter Samsudin bertolak belakang dengan
latar belakang keluarganya yang merupakan Kyai, yang seharusnya
dapat bersikap baik, menghargai istrinya, tidak melakukan
kekerasan dalam rumah tangganya. Selain itu, hal ini juga tidak
sesuai dengan latar belakang pendidikannya yaitu Sarjana hukum
yang seharusnya lebih mengerti dan paham mengenai masalah
hukum dan tidak seharusnya melakukan kekerasan dan
pemerkosaan dalam rumah tangga.
Samsudin juga didambarkan secara analitik melalui tokoh
Annisa sebagai sosok pemalas dan juga jorok, seperti pada kutipan
berikut: Samsudin bangun saat matahari terbit dan tanpa berkumur
atau cuci muka dulu, ia langsung menhirup kopi panas di meja
baru kemudian ke kamar mandi. Sekalipun dalam kondisi junub, ia
hanya mandi biasa. Hanya kadang-kadang ia mandi junub, atau
kebetulan gatal karena banyak ketombe dan terpaksa ia
menyamponya. (PBS. h. 88)
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Samsudin
memiliki sifat yang kejam, suka memaksakan kehendaknya, malas
dan jorok.
3. Alur
Alur adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan
dengan hukum sebab akibat. Artinya peristiwa pertama menyebabkan
peristiwa kedua, peristiwa kedua menyebabkan terjadinya peristiwa ketiga.
46
Dan demikian selanjutnya hingga pada dasarnya peristiwa terakhir
ditentukan terjadinya peristiwa pertama.2
Alur yang digunakan dalam novel PBS adalah alur maju. Peristiwa-
peristiwa yang diceritakan dalam novel ini menceritakan kehidupan tokoh
utama dalam menghadapi permasalahan dalam hidupnya. Alur disusun
mulai dari pengenalan, kemudian dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi
mulai terdapat konflik, komplikasi, klimaks, peleraian dan penyelesaian.
Cerita ini diawali dengan pengenalan tokoh utama Annisa. Tahap
pengenalan ini berfungsi untuk memberikan informasi awal kepada
pembaca. Informasi awal yang yang diperkenalkan kepada pembaca yaitu
ketika Annisa yang sedang melihat-lihat buku kenanangannya. Melalui
penceritaan sorot balik, cerita beralih ke masa lalu melalui lamunan tokoh
utama. ―Meski sudah berlalu, jauh di belakang waktu, masa kanak itu
banyak menyimpan cerita. Kadang mengasyikkan, tapi lebih banyak
menyebalkan. Dan kini, setelah aku mendapatkan gelar, sudah memiliki
Mahbub, anak semata wayangku, cerita itu sering muncul seturut dengan
pengetahuan yang kudapatkan dari lembaran buku kehidupan.‖ (PBS. h. 17)
Kutipan di atas bermaksud untuk mempersiapkan pembaca melihat
cerita selanjutnya. Situasi berkembang dengan adanya perbedaan perlakuan
yang dirasakan tokoh utama dengan kaum laki-laki. Kesenjangan yang
dirasakan Annisa ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Tradisi dalam keluarga
Tradisi dalam keluarga Annisa yang sangat menjunjung nilai-nilai
patriarki membuatnya dibedakan dengan kedua kakak laki-lakinya.
Pengarang menggambarkan kedua kakak laki-laki Annisa diberi
kebebasan untuk melakukan apa saja yang diinginkannya tanpa
mendapat tekanan dari siapa pun. Sedangkan perempuan hanya
2 Yakob Sumarjo dan Saini KM, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1986), h.
139.
47
mendapatkan tugas dengan bentuk segala macam pelayanan untuk
kaum laki-laki. ‖Apa ibu belum mengatakan padamu kalau naik kuda
hanya pantas dipelajari oleh kakakmu Rizal, atau kakakmu Wildan.
Kau tahu, mengapa? Sebab kau ini anak perempuan, Nisa. Nggak
pantas, anak perempuan kok naik kuda, pencilakan, apalagi keluyuran
mengelilingi ladang, sampai ke blumbang segala. Memalukan!‖ (PBS. h.
21)
Adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki diperlihatkan
dengan sangat jelas dalam novel ini. Latar belakang pendiri pesantren
putri salaf, mendukung terjadinya konflik dalam keluarga. Ayah Annisa
yang merupakan pendiri Pesantren Putri merasa harus benar-benar
menerapkan aturan dengan berkiblat pada sistem patriarki.
2. Tadisi berpendapat
Budaya dalam pesantren salaf yaitu perempuan tunduk dengan
aturan dan perintah laki-laki. Setiap perkataan dan perintah harus
dipatuhi dan inilah yang membuat perempuan tidak memiliki hak untuk
mengutarakan pendapatnya.
Begitu juga yang terjadi pada Annisa. Meskipun banyak
pertanyaan yang ia miliki untuk diutarakan berkaitan dengan
peranannya yang dimarginalkan, ketika ia menanyakan semua itu maka
jawaban yang didapatkan tidaklah sesuai dengan yang ia harapkan.
Ujung-ujungnya akan kembali pada pokok persoalan semula bahwa
perempuan tidak layak untuk bertanya terlalu banyak. Bahkan pada
persoalan mendasar mengenai hak dan kewajiban, seperti pada kutipan
berikut:
‖’Tidak perlu diteruskan. Lebih baik kita memperdalam topik
kita malam ini, ‖ tegas pak Kiai dengan nada memutus. Ada
yang terasa aneh dalam benakku.
Ada yang aneh dalam benakku, bukannya pertanyaanku juga
dalam rangka memperdalam topik malam ini. (PBS. h. 76)
48
3. Tradisi perjodohan
Masyarakat pesantren yang masih menjunjung kebudayaan
patriarki menjadikan adanya sekat antara perempuan dan laki-laki. Para
Kyai yang menjadi sosok yang dipercayai oleh masyarakat masih
terikat dengan pola pikir yang sangat tua yaitu perempuan harus
diajarkan menjadi seorang ibu rumah tangga dan menjadi pelayan
suami bahkan untuk suami yang bukan merupakan pilihannya sendiri.
Dalam tradisi pesantren, perempuan diajarkan untuk selalu menerima
posisinya sebagai seorang ibu, istri dan seorang perempuan yang
mempunyai posisi kedua setelah laki-laki.
Tradisi perjodohan ini juga sangat melekat dalam budaya Jawa
yang diangkat dalam novel PBS ini yaitu ketika Annisa harus dengan
terpaksa menerima perjodohan dengan Samsudin saat dirinya masih
duduk di bangku MTs (setara dengan SMP) seperti pada kutipan
berikut:
Rupanya mereka tengah merundingkan sesuatu untuk masa
depanku. Alangkah jauhnya mereka melewati nasibku. Begitu
riangnya mereka menggambari masa depanku semau-maunya.
Pastilah mereka mengira, alangkah bodoh dan naifnya aku ini,
sehingga untuk menentukan nasib masa depanku sendiri, tak perlu
lagi mereka melibatkanku. (PBS. h. 81)
Dalam novel ini perempuan menikah pada usia yang relatif muda
sudah menjadi hal yang lumrah. Mereka tidak perlu menunggu sesuatu,
seperti menunggu menuntut ilmu, karena menuntut ilmu bukanlah hal
yang diwajibkan untu perempuan. Perempuan hanya diwajibkan
menuntut ilmu yang berkaitan dengan tugasnya sebagai perempuan
yang nantinya akan mendampingi laki-laki. Dalam novel ini pengarang
mengungkap tradisi dalam pesantren yang lebih mementingkan mengaji
kitab-kitab kuning, dan ironisnya dalam novel ini pengarang
menggambarkan interpretasi terhadap kitab-kitab kuning itu dilakukan
oleh kaum lelaki sehinga menjadi suatu kewajaran jika keadilan untuk
49
perempuan menjadi sangat bias. Keberadaan laki-laki dan perempuan
menjadi tidak seimbang.
Konflik mencapai klimaksnya ketika Annisa selalu mendapatkan
penyiksaan secara bertubi-tubi yang dilakukan oleh suami pertamaya,
Samsudin. Annisa mendapat kekerasan secara pisik mupun psikis yang
membuat Annisa mengalami trauma. Leraian dalam novel ini yaitu
ketika keluarga Annisa mengetahui kekejaman yang telah dilakukan
oleh Samsudin, dan pada akhirnya mencari jalan keluar untuk
permasalahan Samsudin dan Annisa yaitu dengan cara perceraian. Pada
tahap ini keluarga Annisa mulai tidak bersikap keras pada Annisa,
ruang lingkupnya yang dulu dibatasi mulai direnggangkan sedikit demi
sedikit, dan pada akhirnya diberikan izin untuk menikah dengan
Khudhori
Bagian terakhir dari novel ini yaitu pengarang memberikan
penyelesaian yang sangat jelas. Pengarang meniadakan tokoh Khudhori
yang selama ini menjadi tokoh yang selalu ada untuk mendukung tokoh
utama, dan mengharuskan Annisa hidup berdua dengan putra semata
wayangnya. Pada tahap penelesaian ini pengarang menjadikan tokoh
utama sebagai perempuan yang harus hidup mandiri tanpa sosok laki-
laki yang selalu mendukungnya.
4. Latar
Latar merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa
dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa
yang sedang berlangsung. Latar mencakup latar tempat dan waktu yang
diceritakan dalam sebuah cerita. Penggambaran latar dalam novel PBS
adalah sebagai berikut:
a. Latar Tempat
Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa dalam
sebuah karya fiksi. Adapun latar tempat utama dalam novel ini
50
yaitu di Jawa Timur, ini dapat terlihat dari bahasa yang digunakan
pengarang yaitu bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa
Jawa, seperti pada kutipan berikut: ―O.... jadi rupanya kamu yang
mempunyai inisiatif, bocah wedok. Kamu yang mengajarkan
kakakmu jadi penyelam seperti ini? Kamu yang membujuk
kakakmu mengembara?‖ (PBS. h. 21)
Pada kutipan di atas terdapat kata wedok yang berarti
perempuan dalam bahasa Jawa terutama Jawa Timur. Selain pada
kutipan tersebut, kata-kata yang memakai bahasa Jawa seperti
bumblang, kecemplung, pencikalan dan lain-lain. Selain dengan
penggunaan kosakata dalam bahasa Jawa, latar belakang penulis
juga mempengaruhi latar tempat dalam novel ini. Seperti yang telah
diketahui, bahwa Abidah El-Khalieqy berasa dari Jawa Timur.
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar peristiwa
dalam cerita ini berlangsung di daerah Jawa Timur.
Pengarang juga menggunakan beberapa latar tempat untuk
novel PBS ini. Latar tempat yang digunakan pengarang yaitu:
1) Pesantren
Dalam cerpen ini digambarkan bahwa Annisa merupakan
anak dari pemilik pesantren putri di Jawa Timur. Pesantren
seringkali dianggap sebagai sub-kultur yang memiliki aturan
main dan sistem nilai sendiri di dalam kultur besar di negeri
ini. Dalam masyarakat kesalapahaman antara gender dan seks
seringkali terjadi dan bahkan semuanya dianggap sebagai
kodrat. Kesahlakaprahan semacam ini, juga seringkali terjadi
di kalangan pesantren khususnya dalam pola pemikiran Kyai
dan santri.3 Hal tersebut terlihat sekali dalam novel PBS ini.
Pola pikir para Kyai yang cenderung kolot, dengan menjadikan
perempuan sebagai sosok nomor dua setelah laki-laki membuat
perempuan tidak dapat melakukan hal sesuai dengan
3Asnal Mala, op, cit.
51
keinginannya. Melalui penjelasan secara deskriptif dan juga
melalui dialog-dialog yang ada, latar pesantren ini
mempengaruhi pola pikir masyarakat di sekitar pesantren. Pola
pikir yang keliru inilah yang diajarkan juga di pesantren putri
milik ayah Annisa, sehingga dalam penerapan terhadap
santrinya, para ustadz dan Kyai selalu mendoktrin santrinya
agar berpola pikir yang sama dengan pola pikir mereka, seperti
pada kutipan berikut:
―Pondok Pesantren Putri yang didirikan oleh bapakku,
Kyai Haji Hanan Abdul Malik memiliki cita-cita dan
harapan untuk mendidik dan menjadikan remaja putri
agar menjadi kaum muslimah yang berguna bagi bangsa
dan Negara. Meskipun pada prakteknya pondok kami
selalu menekankan pendidikan akhlak perempuan dalam
bermasyarakat dan berumah tangga.‖ (PBS. h. 53)
Dari kutipan di atas terlihat bahwa pengarang
menggambarkan kehidupan pesantren yang dimiliki oleh ayah
Annisa merupakan pesantren yang masih kental dengan
budaya patriarki. Dalam budaya pesantren, laki-laki
digambarkan sebagai sosok yang bisa melakukan apa saja yang
ia inginkan tanpa adanya batasan, aturan dan larangan yang
berlaku. Sementara itu perempuan dimarginalisasikan dengan
adanya interpretasi tentang kitab-kitab yang menjadi bacaan
wajib di pesantren. Ini dapat dilihat dari kebebasan kedua
saudara laki-laki Annisa, yaitu Rizal dan Wildan. Mereka
berdua dapat dengan bebas melakukan apa saja yang
diinginkan tanpa mendapat tentangan dari orang-orang
sekitarnya termasuk kedua orang tuanya yang merupakan
pemilik pondok pesantren.
Menurut Ayah Annisa antara laki-laki dan perempuan
mempunyai dunianya masing-masing. Dunia perempuan
merupakan dunia rumah tangga yang nanti pada akhirnya
perempuan dididik dengan pola pikir bahwa perempuan
52
diciptakan untuk menjadi pelayan laki-laki (suami). Tidak
sepantasnya laki-laki melakukan tugas perempuan yaitu tugas
rumah tangga.
2) Rumah Samsudin
Melalui penggambaran secara deskriptif dan melalui
dilalog yang ada, latar tempat yang ada pada cerita ini terdapat
di rumah Samsudin. Sesuai dengan kutipan: ―Selain Samsudin,
hanya akulah satu-satunya penghuni rumah ini. Jika ia pergi
perasaanku menjadi seluasa untuk berbuat apa saja yang
kusuka. Mau masak dulu atau mencuci dulu, sama sekali tidak
masalah. Akan menjadi masalah jika tetangganya yang datang
dan menanyakan ke mana Samsudin pergi.....‖ (PBS. h. 96)
Kutipan tersebut, memperlihatkan Annisa yang telah menikah
dan mendiami rumah Samsudin. Semua kekerasan dan
penyiksaan yang terjadi pada Annisa terjadi di rumah Samsudin.
Karena hanya di rumahnya lah Samsudin dapat melakukan
kekerasan terhadap Annisa tanpa bisa diketahui oleh orang lain.
3) Yogyakarta
Secara deskriptif, pengarang menggambarkan latar tempat
yang lainnya, yaitu di daerah Yogyakarta. Yogyakarta yang
dikenal sebagai kota pelajar menjadi pilihan latar tempat
selanjutnya oleh pengarang. ‖Yogyakarta mendapat julukan kota
pelajar, kota budaya dan kota wisata. Disebut sebagai kota
pelajar karena banyak terdapat sekolah dan tempat kursus,
sehingga banyak penduduk yang menetap untuk menuntut
ilmu.‖ 4 Latar Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar
dipilih pengarang untuk dijadikan simbol pendidikan yang
4 Renggo Astuti, Wahyuningsih, Taryati. Pengetahuan Sikap, Kepercayaan, dan Perilaku
Generasi Muda Terhadap Budaya Tradisional di Kota Yogyakarta. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1998)., h.12.
53
sedang dijalani oleh Annisa. Annisa yang dulunya tidak pernah
diijinkan untuk melanjutkan sekolahnya. Kemudian diberi ijin
oleh kedua orang tuanya untuk melanjutkan sekolahnya di
Yogyakarta.
b. Latar Waktu
Latar waktu yang digunakan dalam novel PBS yaitu sekitar
tahun 80-an. Karena di dalam novel tersebut menceritakan tentang
perjuangan seorang wanita untuk menyamakan kedudukan dan
haknya dengan laki-laki. Dan pada tahun 80-an kedudukan wanita
masih berada di bawah laki-laki. Banyaknya kesenjangan-
kesenjangan sosial yang terjadi pada perempuan. Kesenjangan-
kesenjangan sosial antara laki-laki dan perempuan pada tahun 80-an
itu diangkat pengarang melalui ketidakadilan yang dialami tokoh
Annisa pada tahun 80-an.
Selain itu alasan yang mendukung bahwa novel ini berlatar
waktu tahun 80-an adalah kejadian-kejadian atau kehidupan tokoh
Annisa yang menggambarkan kehidupan pada era 80-an, seperti,
peralatan atau alat komunikasi yang digunakan masih berupa surat,
telepon masih jarang sekali dimiliki oleh masyarakat. ―Pada saat
usia kandunganku mencapai lima bulan, ibu dan bapak mengunjungi
kami untuk melihat dengan mata kepala sendiri cerita kehamilanku
yang telah kukabarkan melalu surat. Terlihat ibu begitu terharu dan
gembira dan bapak mengeleng-gelengkan kepala terus menerus,
seakan tak percaya dengan semuanya.‖ (PBS. h. 222)
5. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara pengarang menceritakan sebuah cerita,
bagaimana menampilkan tokoh, latar, dan peristiwa-peristiwa yang ada
dalam cerita pada pembaca. Dalam novel PBS ini, Abidah El Khalieqy
54
menggunakan sudut pandang orang pertama tokoh utama. Karena
dalam novel PBS ini, pengarang menggunakan kata ―aku‖ untuk
mendeskripsikan tokoh utama dan dengan kata ―aku‖ tokoh utama ini
dapat mendeskripsikan tokoh lainnya. Dengan menggunakan sudut
pandang ―aku‖ membuat pembaca merasa seperti berada dalam cerita,
karena pembaca mudah meresapi cerita tersebut. Kutipan yang
mendukung sudut pandang orang pertama tokoh utama pada novel PBS
ini yaitu sebagai berikut: ―….. seorang laki-laki hitam bertubuh pendek
dengan perut menonjol Sembilan senti ke arah depan tiba-tiba
nyelonong di antara kami. Sejurus aku terpana. Darah mendesir dan
lidahku kelu.‖ (PBS. h. 62)
Penggunaan sudut pandang orang pertama tokoh utama ini
menggambarkan bahwa pengarang tidak ikut dalam cerita. Posisi
pencerita pada sudut pandang ini adalah pada tokoh utama. Tokoh
utama yang menggambarkan berbagai peristiwa yang terjadi dalam
cerita. Hal itu dapat dilihat dari peristiwa yang dialami Annisa,
penggambaran tokoh-tokoh lainnya dari sudut pandang tokoh utama.
Melalui tokoh Annisa, pengarang menuangkan kehidupan masyarakat
desa tempat tinggalnya sebagai masyarakat yang masih patuh dengan
sistem patriarki. Perasaan batin kehidupan perempuan yang ingin bebas
dari belenggu patriarki banyak dituangkan melalui tokoh Annisa.
B. Unsur Intrinsik Novel Geni Jora
Analisis unsur intrinsik dalam novel GJ berupa tema, tokoh dan
penokohan, alur, latar (tempat, waktu, sosial), dan sudut pandang. Unsur-
unsur tersebut didapat dari data atau fakta yang ada dalam novel GJ karya
Abidah El Khalieqy melalui pembacaan yang cermat dan berulang.
55
1. Tema
Tema dalam novel GJ termasuk tema mayor, yaitu makna pokok
cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya. Tema dari
novel ini sendiri adalah sebuah gugatan untuk menuntut perlakuan yang
adil terhadap kaum perempuan. Hampir seluruh bab pada novel GJ
membahas gugatan untuk menuntut perlakuan yang adil terhadap kaum
perempuan. Perjuangan tokoh utama yang bernama Kejora untuk
mendapatkan posisi yang setara dengan laki-laki. Ia berpegang pada
prinsip keadilan antara laki-laki dan perempuan. Dapat dilihat dari
kutipan berikut:
―Jika misalnya Zakky poligami, apa reaksi Kak Jora,‖ tanya
Najwa,
―Aku akan poliandri, pakai cara-cara yang legal.‖
―Seperti apa?‖
―Pertama aku akan mengkhulu’nya. Lalu menikah lagi dengan
bintang film yang gantengnya melebihi Zakky. Poliandri atau tidak,
yang penting rasa adilnya. Sama-sama dua.‖ (GJ. h. 192)
Kutipan tersebut menjelaskan tokoh utama Kejora yang memegang
teguh prinsipnya agar disejajarkan dengan kaum laki-laki. Bukan hal
yang mudah bagi Kejora untuk memperjuangkan keadilan gender.
Apalagi ia harus dihadapkan pada kemunafikan yang diperlihatkan oleh
Zakky, dan kekolotan pola pikir nenek yang masih kental dengan budaya
patriarki. Tokoh Zakky ini mengalami simbolisasi sebagai pendukung
patriarki yang punya tendensi seksualitas, perempuan hanya pemuas
hasrat petualangannya sebagai lelaki. Kejora menemukan sikap
ketidakseimbangan dalam diri Zakky, yaitu antara intelektualitas-religius
dan libido-seksualnya. Kejora tidak mau begitu saja menyerah pada
kemunafikan Zakky. Dalam pandangan Kejora ideologi patriarki penuh
kepalsuan. Kecenderunannya ada pada tendensi libido seksual laki-laki.
56
2. Tokoh dan penokohan
Penokohan dalam novel GJ dapat diketahui melalui perbuatan,
kebiasaan, dialog yang dilakukan oleh tokoh tersebut. Dalam sastra
populer penokohan dapat berubah-ubah sesuai dengan kedalaman cerita
tersebut. Perubahan itu terjadi dari jahat menjadi baik atau tokoh baik
yang tetap baik. Dengan demikian tokoh dan penokohan tersebut dapat
dikenali oleh pembaca. Ada pun tokoh dan penokohan dalam novel GJ
diuraikan sebagai berikut:
a. Tokoh Protagonis
Ada pun tokoh dan penokohan dalam novel GJ diuraikan sebagai
berikut:
1). Kejora
Tokoh Kejora merupakan tokoh utama dari novel GJ. Tokoh
Kejora berperan sebagai pencerita, sehingga ia selalu muncul dari
awal hingga akhir cerita. Kejora memiliki porsi penceritaan yang
sangat banyak tentang kehidupannya.
Kejora digambarkan secara analitik melalui tokoh Nadia dan
dirinya sendiri sebagai perempuan yang memiliki paras cantik dengan
matanya yang belok. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
―Kamu tidak adil Kejora‖ kata Nadia, ―ayo ceritakan, alam
seperti apa yang telah melahirkan gadis cantik sepertimu.…‖ (GJ. h. 30)
Kejora namaku, matakku belok, seperti boneka cantik dari
negeri Antah….. (GJ. h. 47)
Kejora dibesarkan di lingkungan keluarga yang menjunjung
tinggi nilai-nilai budaya patriarki. Ia selalu dijadikan yang nomor dua
dan harus selalu mengalah dari saudara laki-lakinya. Oleh sebab itulah
Kejora menjadi sosok yang tidak mau mengalah, seperti pada kutipan
berikut: ―……jika ditonjok hidungmu, ganti tonjok hidungnya. Jika
dia meninjumu, tinju dia dengan kekuatan yang sama. Sebagaimana
57
Zakky mengiris hatiku, kuiris pula hatinya hingga luka berdara-
darah oleh cemburu..
Pada usianya yang masih muda yaitu usia sembilan tahun,
Kejora sudah dapat merefleksikan dirinya dan kaum perempuan di
lingkungannya yang selalu di nomorduakan. Melalui dialog antara
Kejora dan juga nenek, pengarang menggambarkan sikap kritis kejora
yang sudah muncul dari usia Sembilan tahun:
―Jadi selama ini nenek selalu mengalah?‖
―Itulah yang harus nenek lakukan cucu.‖
―Pantas nenek tak pernah diperhitungkan.‖
―Diperhitungkan?‖ Nenek terlonjak
―Benar, nenek tidak pernah diperhitungkan, nenek tahu apa
sebabnya?‖
―Sebab nenek mematok harga mati, dan harga mati nenek adalah
kekalahan. (GJ. h.81)
Sikap kritis yang digambarkan oleh pengarang ini bertentangan
dengan usia Kejora saat itu. Kejora yang masih berusia sembilan tahun
sudah dapat berpikir tentang dia dan kaum perempuan yang selalu di
nomorduakan. Pemikiran Kejora saat itu tidak sesuai dengan usianya
pada saat itu.
Kejora melanjutkan sekolahnya di pesantren. Kejora merupakan
santri yang sangat pandai. Hal ini terbukti dari dia yang selalu
mendapatkan peringkat pertama di sekolahnya. Bukan hanya itu dia
bahkan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Damaskus.
Padahal sekolah hanya memberikan beasiswa untuk satu orang saja.
Pengarang secara analitik menggambarkan Kejora sebagai sosok
yang tegas. Ini terbukti ketika Kejora menggantikan posisi Encik
Rahmah (petugas yang selalu memeriksa bawaan santri) yang selalu
melakukan pelanggaran. ―Telah berkali-kali kusaksikan perilaku Encik
Rahmah yang melanggar itu. Saat tiba giliranku diangkat menjadi
ketua majelis tahkim, aku pun bertindak untuk mengganjar kenakalan
Encik Rahmah. Pada akhirnya, ia pun digeser kedudukannya oleh
Encik yang lain.‖ (GJ. h.161)
58
Secara dramatik pengarang memunculkan penokohan Kejora
dengan sifat pecemburu. Hal ini terbukti dengan kecemburuannya yang
besar terhadap kakaknya Lola. Padahal Lola adalah kakaknya yang
amat menyayanginya dan tidak mungkin menghianatinya dengan cara
berhubungan dengan Zakky. Sesuai dengan kutipan berikut: ―Kakak
kandungku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan calon
suamiku,ini keterlaluan…..‖(GJ. h. 215)
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Kejora adalah
seorang perempuan yang cantik dan cerdas. Ia memiliki sifat yang tegas
dalam mengambil setiap keputusan. Ia orang yang mempunyai usaha
yang keras untuk dapat membuktikan dirinya. Ia juga seorang yang
tidak mau mengalah, baik pada saudara laki-lakinya ataupun pada
Zakky kekasihnya. Kejora sangat sabar ketika Sonya temannya
menggosipkan dia meliki hubungan khusus dengan Elya sahabatnya.
Selain itu Kejora juga mudah cemburu. Ia memperlihatkan
kecemburuannya yang amat besar ketika Zakky membuat janji dengan
kakaknya Bianglala.
2). Zakky Hedouri
Zakky Hedouri adalah putra madirul ma’had tempat Kejora
menuntut ilmu sekaligus kekasih hati Kejora. Porsi penceritaan Zaaky
dalam novel ini cukup banyak, walau tidak sebanya kemunculan
Kejora. Zakky digambarkan secara analitik melalui tokoh Kejora
sebagai seorang play boy yang senang mengoleksi perempuan cantik.
―Kau benar, Nadia. Zakky sendiri adalah petualang kelas kakap.
Kupikir, ia mengenal semua ciri-ciri perempuan cantik Maroko, dari
Sijjilmasa hingga Pulau Magadore, dari Ausara hingga Tician Ticha,
selama tiga tahun ia kuliah di sini.‖ (GJ. h.45)
Zakky digambarkan secara analitik oleh Kejora sebagai sosok
yang pintar dan mempunyai banyak kelebihan yang dapat membuat
59
para gadis tergila-gila. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai sosok
yang gemar minum-minuman keras, seperti pada kutipan berikut ini:
―…..Aktivitas intelektual yang cukup bergengsi di Taqiyeh, itu
saja sudah membuat para perempuan yang ada di majelisnya
saling mmeremas jemari, setiap kali Zakky melontarkan humor di
antara kajian-kajian seriusnya……. Masih banyak kelebihan yang
ia miliki.‖ (GJ. h.160)
……kegemaran Zakky minum khamar dan berganti-ganti
pasangan. Semua yang kemilau menjadi pudar dan kusam oleh
tingkah laku yang tak terpuji.‖ (GJ. h.148)
Sifat Zakky yang gemar minum-minuman keras dan berganti-
ganti pasangan ini sangat bertolak belakang dengan latar belakang
keluarganya yaitu pemilik pesantren terkenal. Di mana seharusnya
sebagai putra pemilik pesantren ia sersikap baik, alim, dan mentaati
ajaran agamnya, tidak suka berganti-ganti pasangan dan tidak suka
minum-minuman keras. Pada cerita ini pun Zakky digambarkan
sebagai sosok yang pecemburu dan tidak bisa menahan emosinya.
Seperti pada kutipan berikut:
―Kalian bersekongkol untuk melecehkanku ya? Berkonspirasi
untuk menghianatiku? Dasar para penghianat!!
Kursi ditendang. Meja dilantakkan, buku berhamburan. Kamarku
banjir makian. (GJ. h.181)
Pengarang membuat sosok Zakky yang tidak mudah terbawa
emosi dan pecemburu ini menjadi sosok yang lemah dan selalu
mengalah jika dihadapkan dengan kekasihnya Kejora. Seolah
pengarang ingin menyampaikan bahwa bukan hanya laki-laki saja
yang bisa mengendalikan situasi keadaan. Perempuan pun bisa
melakukannya. Ini ditunjukkan dari tokoh Kejora yang tidak mau
mengalah pada siapa saja, dan tokoh Zakky yang seakan lemah dan
patuh di hadapan perempuan (Kejora). ―Aku tidak akan poligami. Ini
janjiku. Jika aku mengingkarinya, kau boleh melalukan hal yang
sama. Dan itu adalah hukuman paling menyakitkan untukku. Aku
tidak siap. Dan tidak akan pernah siap menyaksikan kau dengan yang
lain, Jora. Aku ingin kau hanya untukku. Selamanya!‖ (GJ. h. 260)
60
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Zakky adalah seorang
yang pandai dan cerdas. Ia memiliki sifat playboy karena dia suka
berganti-ganti pasangan. Tetapi setelah bertemu dengan Kejora dia
sudah tidak suka meladeni perempuan yang mendekatinya lagi. Mau
mengalah, walaupun Zakky adalah seorang laki-laki tetapi ia tidak
sungkan untuk mengalah pada kekasihnya Kejora. Selain itu Zakky juga
seorang yang mudah cemburu, mudah terbawa emosi.
3). Elya Huraibi
Elya diceritakan sebagai sahabat baik Kejora. Ia digambarkan
sebagai seorang yang perhatian dan penyayang terutama terhadap
Kejora. Ia sangat terkesan dengan kecerdasan yang dimiliki oleh
Kejora. Ia juga tak segan-segan memperlihatkan kekagumannya
tersebut kepada Jora. Pengarang menggambarkan penokohan secara
dramatic. Elya digambarkan sebagai sahabat yang sangat setia kawan.
Ia selalu ada di samping Kejora dan selalu mendengarkan cerita Kejora
mengenai keadaan keluarganya dan sistem patriarki yang selalu
ditanamkan dalam keluarganya. Elya digambarkan sebagai perempuan
yang tegas, perhatian dan penyayang, seperti pada kutipan berikut:
―Seperti seorang kaka yang penuh perhatian. Elya senantiasa
mendorongku untuk maju dengan kritik dan pujian. Ia mengkritikku
dengan luapan kasih saying dan memujiku hampir setiap waktu.
Kadang, aku merasa, Elya lebih memperhatikanku daripada dirinya
sendiri.‖ Kejora menggambarkan Elya sebagai sosok yang begitu
perhatian dan penuh kasih sayang. Selain itu ia juga sangat mengagumi
kepintaran dan kecerdasan Kejora. Elya selalu ada di sisi Kejora saat ia
senang atau pun saat Kejora sedang sedih, ia akan menjadi pendengar
yang selalu bisa menenangkan hati Kejora.
Elya juga digambarkan sebagai seorang yang cuek tidak peduli
atas gosip yang terjadi mengenai dirinya. Ini terbukti ketika ia dan
Kejora digosipkan memiliki hubungan khusus melebihi perteman. Ia
61
tidak mengambil pusing gosip tersebut dan membiarkannya hilang
dengan sendirinya, seperti pada kutipn berikut:
―……beberapa kakak kelas enam terus menanyaiku‖
―Masa? Siapa mereka?‖
―Diantaranya ka Lubna dan ka Sekha,‖
―Mereka menanyakan persahabatan kita atau gosip murahan?‖
―Gosip murahan‖ katanya ―lalu kujawab dengan gosip mahalan.‖
Lanjut Elya, sambil terus menerus tertawa. (GJ. h.127)
Dari kutipan di atas, pengarang menjelaskan bahwa Elya Huraibi
tidak pernah menanggapi gosip yang mengatakan bahwa ia dan Kejora
merupakan pasangan Lesbi. Ini bertentangan karena sangatlah wajar
jika Elya berusaha menepis gosip yang menimpanya. Gosip tersebut
telah mencemarkan nama baiknya dan juga teman dekatnya dan
seharusnya Elya melakukan pencegahan agar gossip itu tidak semakin
menjadi dan bukan malah membiarkannya begitu saja.
Penggambaran tokoh Elya mendukung terbentuknya tema dalam
novel Geni Jora. Sikap dan pemikiran-pemikirannya Elya yang yang
selalu mendukung pandangan Kejora. Penggambaran tokoh Elya
diceritakan semuanya oleh Kejora.
4). Bianglala
Bianglala atau sering disebut Lola ini merupakan kakak kandung
Kejora. Pengarang menghadirkan Lola ketika Kejora mendapatkan
perlakuan tidak adil di lingkungan rumahnya. Lola dan Jora sama-sama
tidak mendapatkan kebebasan di dalam rumahnya sendiri. Porsi
penceritaan Lola sendiri pun tidak terlalu banyak. Lola digambarkan
secara analitik oleh Kejora sebagai perempuan yang memiliki wajah
cantik, seperti kutipan berikut: ― Bianglala. Seperti pelangi sore hari,
saat matahari bersinar di sebelah barat dan hujan turun di sebelah
timur. Ia adalah spectrum besar yang melengkung oleh terurainya
cahaya yang menembus rintik hujan. Merah, jingga, kuning, hijau, biru,
dan ungu. Indah nian penampilanmu Lola.‖ (GJ. h.212)
62
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Bianglala mempunyai
keindahan rupa yang sangat mempesona. Tidak hanya berwajah cantik,
Lola juga merupakan orang yang professional dalam mengerjakan
pekerjaannya. Ketika ia medapatkan sebuah pekerjaan ia akan
menyelesaikannya tanpa menunda-nundanya. Terbukti pada kutipan
berikut:
―……Sorry ya Zak, ini uang honorariummu dan lain lain. Tinggal
tanda tangan, ayo silakan!
―Acara masih besok kenapa terburu-buru?‖
―Aku ingi segala sesuatunya beres lebih awal. Nggak apa-apa
kan?‖ (GJ. h. 263)
Dari kutipan di atas, terlihat jelas bahwa Lola memiliki sikap
yang bertanggungjawab terhadap pekerjaannya. Bertentangan dengan
kebiasaan dalam kultur patriarki. Dalam GJ Abidah menawarkan tokoh-
tokoh perempuan yang berpendidikan dan memiliki pekerjaan di area
publik.
5). Asaav Muscovic
Asaav Muscovic adalah sahabat baik Zakky yang merupakan
seorang mualaf keturunan Yahudi. Pengarang menggambarkan Asaav
secara analitik melalui tokoh Kejora sebagai seorang yang ramah dan
suka dengan humor. Seperti pada kutipan berikut: ―Biasanya orang
Yahudi pintar dalam berdagang dan pelitnya minta ampun. Tetapi
Asaav lain. Ia membawa sebagian kebiasaan bangsa Yahudi yang suka
humor.‖ (GJ. h.175) Penggambaran sikap Asaav yang memiliki humor
juga terlihat secara dramatik ketika ia sering melontarkan humor-humor
segar yang membuat suasana nyaman jika beradadi dekatnya.
Pengarang menggambarkan penokohan Asaav secara dramatik
sebagai seorang yang tidak mudah terbawa emosi. Ini terbukti ketika
Zakky yang memukulnya bertubi-tubi karena kesalahpahaman. Ia tidak
membalasnya. Seperti pada kutipan berikut: ―tersinggung dan malu
oleh sindiran Asaav. Lebih malu lagi karena Asaav tidak membalasnya,
63
tak meladeni kemarahan yang kekanak-kanakan.‖ (GJ. h. 225) Kutipan
tersebut menjelaskan bahwa sikapnya yang tidak mudah terbawa emosi
ini tidak sesuai dengan penggambaran orang-orang Yahudi yang
biasanya pelit dan mudah terbawa emosi.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa Asaav merupakan orang
yang memiliki humor dan tidak mudah terbawa emosi.
b. Tokoh Antagonis
1) Nenek
Nenek adalah tokoh yang menerapkan sistem patriarki dalam
keluarga Kejora. Tokoh neneklah yang selalu menempatkan
perempuan sebagai kelas dua, inferior, dan harus selalu mengalah
dalam hubungannya dengan laki-laki sangat jelas.
Pandangan nenek Kejora yang mengatakan, ―Perempuan harus
selalu mengalah, sebab jika perempuan tidak mau mengalah, dunia ini
akan jungkir balik berantakan seperti pecahan kaca. Tidak ada laki-
laki yang mau mengalah. Laki-laki selalu ingin menang dan menguasai
kemenangan,‖ (GJ. h. 81) kutipan tersebut menunjukkan begitu kuatnya
ideologi patriarki menguasai tatanan kehidupan ini.
Tokoh nenek digambarkan secara dramatik sebagai sosok yang
pasrah menerima apa adanya apa pun yang terjadi pada dirinya, seperti
pada kutipan berikut:
―Jadi selama ini nenek selalu mengalah?‖
―Itulah yang harus nenek lakukan, cucu.‖
―Pantas nenek tidak pernah diperhitungkan.‖
―Diperhitungkan?‖ nenek terlonjak
―Benar. Nenek tidak pernah diperhitungkan. Nenek tahu kenapa?‖
―Apa sebabnya, cucu?‖
―Sebab nenek telah mematok harga mati, dan harga mati nenek
adalah kekalahan. Siapakah yang mau memperhitungkan pihak
yang kalah?‖ (GJ. h. 82)
Sikap pasrah dan selalu mengalah dari kaum laki-laki itu terjadi
karena nenek sangat menjunjung tinggi budaya patriarki. Itu juga ia
64
terapkan dalam cara mendidik anggota keluarga laki-laki dan
perempuan. Pada dasarnya setiap anak berhak mendapatkan perlakuan
dan didikan yang sama tanpa menimbang-nimbang apakah ia anak laki-
laki atau perempuan. Akan tetapi dalam novel ini nenek
memperlakukan cucu perempuan dan laki-lakinya dengan berbeda.
Membuat kecemburuan terjadi pada pihak yang merasa dinomorduakan.
2) Sonya Al-Katiri dan Namya Al-Katiri
Sonya Al-Katiri dan Namya Alkatiri adalah teman Kejora saat ia
masih di pesantren. Sonya dan Namya digambarkan secara dramatik
sebagai perempuan yang tidak hormat pada orang tua, sesuai dengan
kutipan berikut: ―Samar-samar kedengar dari ujung sebelah kiri
seorang santri menyahut, „Andai ada seribu Kejora, Ustad Omar akan
lupa istrinya. Andai….‟ (dengan intonasi orang membaca puisi)‖ (GJ. h.
52) kutipan tersebut menegaskan bahwa Namya sama sekali tidak
memiliki rasa hormat kepada gurunya. Hal ini bertentangan dengan
statusnya sebagai santri di pesantren tersebut, yang seharusnya bisa
menghormati orang yang lebih tua terlebih lagi gurunya sendiri. Dalam
pendidikan di pesantren tentunya diajarkan bagaimana cara
memperlakukan orang lain dengan baik dan itu tidak terlihat dari diri
Alkatiri bersaudara ini.
Secara dramatik, pengarang menggambarkan Namya sebagai anak
yang suka berbohong. Terbukti ketika di ruang kelas ia yang sedang
menggoda Kejora dan ketika ditanya oleh ustadnya ia tidak
menjawabnya dengan jujur.
―Ustad Omar jatuh cinta padamu.‖
………..
―Kau Namya! Coba ulangi sekali lagi apa yang kau katakan tadi?‖
―Saya bilang pada Jora bahwa otaknya hebat.‖ (GJ. h. 53)
Namya dan Sonya Tidak hanya itu saja, latar belakang keluarga
mereka yang kaya raya membuat mereka senang memamerkan barang-
barang mewah yang mereka miliki, seperti pada kutipan berikut: ―Ia
65
berdiri di muka cermin daan memberikan komentar panjang lebar
tentang kehebatan gaunnya kepada teman-teman yang bersedia
mendengarkan.‖ (GJ. h. 61)
Sonya dan Namya juga suka membuat keonaran di lingkungan
pesantren. Kadang-kadang mereka mencuri makanan milik teman-
temannya, bolos tidak masuk pada jam pelajaran, dan sebagainya.
Sikap-sikap yang terdapat dalam diri Sonya dan Namya bertentangan
dengan kodratnya sebagai perempuan yang biasanya bersikap lembut,
menghormati orang lain dan tidak melakukan hal-hal yang buruk.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa tokoh Sonya dan Namya
memiliki sifat yang sama, yaitu sama-sama tidak memiliki rasa hormat
pada orang tua, pamer, pembohong, dan juga suka mencari keributan di
pesantren.
3) Khalil dan Hasan
Khalil dan Hasan adalah paman Kejora sekaligus orang
kepercayaan ayah Kejora. Khalil dan Hasan digambarkan secara
analitik melalui Kejora sebagai lelaki yang memiliki sikap semena-
mena terhadap Kejora dan Bianglala. Mereka sering sekali melakukan
pelecehan seksual terhadap Kejora dan Bianglala, seperti pada kutipan
berikut:
…..pandanganku masih terlalu jelas untuk mengintip tangan
paman Hasan yang memegang pundak Lola, dan secepat kilat
Lola menepisnya. Kulihat paman mengucapkan sesuatu dan Lola
menggeleng. Paman bangkit berdiri di belakang Lola tetapi
tangannya menjulur cepat ke payudaranya. Lola tersentak, tetapi
paman Khalil di sampingnya malah tertawa. (GJ. h. 112) Ketipan tersebut pengarang mendeskripsikan bahwa kedua paman
Kejora telah melakukan tindak pelecehan seksual terhadap Bianglala.
Hal tersebut bertentangan dengan status Khalil dan Hasan yang masih
keluarga dekat Kejora yang seharusnya bisa menyayangi dan
melindungi Jora dan Lola.
66
3. Alur
Alur adalah rangkain cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadikan oleh para pelaku
dalam suatu cerita.5 Alur atau Plot yang digunakan dalam novel GJ adalah
alur maju. Tahapan alur dalam novel ini meliputi penyituasian atau
pengenalan, peristiwa mulai bergerak melalui pengembangan masalah
dalam cerita, konflik, klimaks dan peristiwa ditutup dengan penyelesaian.
Tahap pengenalan terlihat dari panorama tempat yang menjadi latar cerita.
Kejora merupakan tokoh utama dalam novel ini bersama kekasihnya Zakky
yang yang sedang bepergian di negara Timur Tengah.
Novel ini terbentuk oleh satu alur utama dan dua alur bawahan. Alur
utama dimulai dengan pengenalan tokoh Kejora yang sedang melakukan
perjalanan untuk mendatangi Konferensi Perempuan Dunia. Setelah itu
melalui penceritaan sorot balik, cerit beralih ke masa lalu melalui lamunan
tokoh utama. Seperti pada kutipan berikut: ―…..Spanyolan sepanjang
perjalanan mengingatkanku saat Rihlah Mahabbah keliling Jawa sebagai
acara perpisahan setelah lulus pesanntren beberapa tahun silam. Dan kamu
memutar Syidi Ana-nya Mayada untuk Jawa Barat,….. Apa kabarmu, Javis-
syarqi? Kifak Inta?‖ (GJ. h. 45—46) Kutipan tersebut dimaksudkan untuk
mempersiapkan pembaca untuk cerita selanjutnya, yaitu cerita Kejora
semasa di Pesantren, dan masuk dalam alur bawahan pertama. Alur
bawahan pertama ini dimulai dengan Kejora yang sedang menghadapi ujian
yang diadakan pesantrennya. Seperti pada kutipan berikut:
―Sebutkan hal-hal yang membatalkan salat?‖
―Hanya ada satu ustadz.‖
―Iya, sebutkan‖
…………….
―Tidak memiliki imajenasi.‖
Beliau pun tertawa dan memintaku menjelaskan jawabanku. (GJ. h. 49)
5 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grsindo, 2008), h, 159
67
Informasi pertama yang diberikan dari alur bawahan adalah Kejora
yang cerdas dan memiliki pemikiran tersendiri. Situasi berkembang dengan
adanya fitnah yang disebarkan oleh Sonya mengenai Kejora dan juga Elya
yang merupakan sepasang kekasih.
Konflik mencapai klimaksnya ketika Kejora mulai merasakan benih-
benih cinta kepada Elya. Kedekatan Elya dan juga Kejora dan ditambah
pesantren yang didiami Kejora merupakan pesantren Khusus putri ini
membuat Jora merasa nyaman dengan kedekatannya dengan Elya, dan mulai
menganggap dirinya sudah memiliki rasa cinta terhadap Elya sahabatnya.
Pada tahap ini Kejora pertengkaran di dalam batinnya mengenai
perasaannya terhadap Elya, dan pada akhirnya Kejora mulai menjaga jarak
dengan Elya.
Bagian terakhir dari alur bawahan ini Kejora yang mulai menyadari
kekeliruan mengenai perasaan yang dirasakannya terhadap Elya. Dan
akhirnya mereka mulai dekat kembali, walau pun gossip buruk terus saja
menerpa mereka.
Alur bawahan pertama terbentuk dari peristiwa-peristiwa ketika
Kejora sedang berada di pesantren. Sedangkan alur bawahan yang kedua
terbentuk dari peristiwa-peristiwa menyangkut kehidupan Kejora saat ia
masih kecil.
Selanjutnya alur bawahan pertama ini masuk ke dalam alur utama,
pada peristiwa yang menggambarkan kehidupannya setelah ia kuliah di
Damaskus. Pada tahap ini ditunjukkan suara emosional yang semakin panas
karena tokoh mulai dilibatkan dengan konflik. Konflik pada alur utama
adalah ketika Zakky cemburu pada sahabatnya sendiri Assav.
Konflik mencapai klimaksnya ketika Kejora juga merasakan
kecemburuan terhadap kakaknya Lola. Leraian dalam alur utama pada novel
Geni Jora ini adalah ketika Zakky menjelaskan kesalahpahaman yang
terjadi antara dia dan juga Kejora.
68
Bagian terakhir pada alur utama dalam novel ini adalah pengarang
memberikan penyelesaian yang jelas. Pengarang membuat sosok Zakky
yang pada mulanya adalah seorang play boy, menjadi seoang laki-laki yang
berkomitmen dengan Kejora bahwa dia tidak akan pernah poligami dan juga
akan selalu mencintai Kejora. Dalam hal ini Kejora mendapatkan apa yang
ia inginkan yaitu posisinya sebagai perempuan dihargai oleh pasangannya.―
Aku tidak akan poligami. Ini janjiku. Jika aku mengingkarinya, kau boleh
melakukan hal yang sama. Dan itu adalah hukuman paling menyakitkan
untukku. Aku tidak siap. Dan tidak akan pernah siap menyaksikan kau
dengan yang lain, Jora. Aku ingin kau hanya untukku. Selamanya!‖ (GJ. h.
261)
.
4. Latar
Latar merupakan segala sesatu yang merujuk pada apa saja yang ada
di dalam peristiwa., baik tempat maupun waktu. Penggambaran latar pada
novel GJ adalah sebagai berikut:
a. Latar Tempat
Secara keseluruhan, tempat yang menjadi latar cerita dalam
novel GJ mengambil lokasi yang berada di Timur Tengah yang salah
satunya adalah Maroko. Maroko merupakan Negara islam yang
menghargai kebebasan untuk perempuan. Pada tahun 2004 Raja
Mohammed VI dari Maroko memulai suatu Undang-Undang
Keluarga Maroko baru. UU tersebut dimaksudkan untuk mengatasi
ketidaksetaraan yang dipaksakan atas kaum perempuan, melindungi
hak-hak anak, dan menjaga martabat kaum lelaki. Kaum perempuan
di Maroko diberi kebebasan, termasuk kemerdekaan mengenakan
jilbab atau tidak.6 Tema dari novel ini pun mendukung pemilihan
latar tempat di negara Timur Tengah, seperti Maroko. Negara Islam
6 Murai Yusuko, Kathleen Martinez, dan Meriem Boulekbod, artikel Pandangan Kaum
Muda Perubahan Kebudayaan di Maroko http://www.commongroundnews.org/article.php?id=20170&lan=ba&sp=0 , diunduh pada 13 Maret 2014 pukul 20.05 WIB.
69
yang di dalam pemerintahannya sangat menghargai kebebasan bagi
kaum perempuan.
Latar tempat dalam novel ini diceritakan secara deskriptif oleh
tokoh Kejora, seperti pada kutipan berikut.
Setelah Damaskus, inilah perjalanan kedua yang menggetarkan
jaringan sarafku. Maroko. Sebuah tempat penuh kontras dan
keindahan yang menakjubkan. Negara modern dengan jiwa
yang bersahaja. Lebih dari separuh buminya adalah sahara,
taman Allah sebagaimana legenda arab yang terjaga.
Menandingi Sahara yang perkasa, Pegunungan Atlas
membentang bagai tulang punggung Maroko. (GJ. h. 11)
Pemilihan latar tempat di Negara Maroko ini karena sebagai
simbol dari kebebasan untuk perempuan yang terlihat di sana. Selain
di Maroko, Abidah juga menggambarkan latar di rumah Kejora.
Penggambaran latar ini diceritakan melalui dialog-dialog antara
Kejora dan anggota keluarganya, seperti Lola, Nenek, Prahara dan
Ibu. Di rumah ini lah Kejora dan saudara perempuannya Lola
mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan anggota keluarganya
yang laki-laki. Pandangan nenek Kejora yang masih kolot, yang
selalu berpikir bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin yang
peringkatnya selalu berada di atas perempuan memicu tokoh Kejora
untuk dapat membuktikan diri bahwa perempuan bukanlah makhuk
nomer dua yang selalu berada di bawah laki-laki.
Pesantren juga menjadi latar tempat pada novel ini.
Penggambaran latar ini disampaikan secara deskriptif. Di pesantren
inilah Abidah memcoba menceritakan sisi lain yang biasanya ada di
pesantren. Seperti santri-santi yang mengalami lesbian (penyuka
sesama jenis), dan beberapa santri yang suka membuat keributan di
pesantren seperti yang dilakukan oleh geng Sonya dan Geng Detty.
Semua hal ini sangat meresahkan dan sulit sekali untuk diberantas
tuntas hingga ke akar-akarnya.
Selain itu, Yogyakarta menjadi latar tempat yang lain dalam
novel ini. Pengarang menggambarkan latar tempat Yogyakarta
70
secara deskriptif melalui penggambaran dari Kejora tentang kota-
kota yang berada di daerah Yogyakarta, seperti pada kutipan berikut
ini:
Sepanjang emperan Malioboro, anda akan menemukan segala
keindahan barang-barang kerajinan dengan harga yang relatif
murah. Berbekal kepandaian menawar, anda bisa memborong
berbagai bentuk tas kulit, topi, sepatu, gelang gading, baju
batik, segala macam aksesoris, mainan anak, alat kesehatan,
rupa- rupa cincin, dan batu akik. (GJ. h. 254)
Selain itu pengambilan latar tempat Yogyakarta sebagai simbol
bahwa perempuan pun mempunyai hak yang sama dalam
mendapatkan pendidikan, karena Yogyakarta merupakan tempat
yang terkenal dengan kualitas pendidikannya yang baik.
b. Latar Waktu
Latar Waktu dalam novel GJ tidak begitu dijelaskan secara
rinci mengambil latar pada tahun berapa. Banyak latar waktu yang
disebutkan secara deskriptif maupun melalui dialog-dialog yang ada
tentang latar waktu yang hanya sekedar latar waktu pagi, siang, sore
dan malam. Selain itu dalam novel GJ terdapat perubahan periode
waktu yang terjadi selama penceritaan.
Tedapat dua perubahan periode waktu yang terjadi dalam novel
GJ. Perubahan periode waktu yang pertama dimulai dari Kejora
masih duduk di kelas lima Sekolah Dasar dan berusia 9 tahun sampai
Kejora duduk di kelas empat di pesantrennya (setara dengan kelas
satu Sekolah Menengah Atas) yang panjang waktu penceritaannya
selama lima tahun. Perubahan periode waktu yang kedua diawali
dari Kejora yang berada di kelas lima di Pesantrennya sampai Kejora
melanjutkan kuliah di Damaskus yang panjang waktu penceritaanya
berkisar enam tahun. Jadi perubahan periode waktu keseluruhan
dalam novel GJ adalah sebelas tahun.
71
5. Sudut pandang
Sudut pandang merupakan cara pengarang untuk menceritakan
sebuah cerita, bagaimana menampilkan tokoh, latar, dan peristiwa-
peristiwa yang ada dalam cerita kepada pembaca. Dalam novel GJ ini,
Abidah El Khalieqy menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku
utama. Dalam novel ini tokoh utama akuan adalah Kejora. Karena dalam
novel GJ ini tokoh utamanya yaitu Kejora yang menceritakan tentang
kehidupan yang dialaminya dan tokoh Kejora pula lah yang menceritakan
tokoh tokoh lainnya. Dengan menggunakan sudut pandang aku ini
membuat pembaca seakan-akan masuk ke dalam cerita dan dapat lebih
meresapi cerita. Kutipan yang mendukung sudut pandang orang pertama
pelaku utama ini sebagai berikut: ―Ibu seorang perempuan sederhana
yang mengelola rumahnya menjadi kastil yang indah bagi anak-anak dan
suaminya. Ia tak pernah kemana-mana. Ia melangkahi pintu besar hanya
diwaktu takziah, pesta pernikahan, atau menjadi imam salat jumat di
langgar yan khusus untuk perempuan.‖ (GJ. h. 102) Pada kutipan tersebut,
tokoh aku (Kejora) lah yang menceritakan bagaimana tokoh-tokoh
lainnya ada dan mengisi cerita dalam novel ini. Tokoh lainnya
diceritakan melalui pendapat dan pandangan tokoh Kejora. Dengan
menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama ini pembaca
dapat merasa lebih dekat dan masuk ke dalam cerita.
Penggunaan sudut pandang orang pertama pelaku utama ini
menunjukkan bahwa pengarang tidak sama sekali masuk ke dalam cerita.
Posisi pencerita dalam sudut pandang ini terdapat pada tokoh utamanya
yaitu Kejora. Segala bentuk peristiwa yang ada dalam cerita digambarkan
melalui pandangan Kejora. Selain itu, penggambaran tokoh-tokoh lain
yang terdapat pada novel ini juga digambarkan melalui pandangan
Kejora. Melalui tokoh Kejora pengarang mengungkapkan bagaimana
system patriarki yang harus diterima oleh Kejora.
72
C. Analisis Ketidakadilan Gender Pada Perempuan yang Terdapat dalam
Novel Perempuan Berkalung Sorban dan Novel Geni Jora
Abidah El-Khalieqy merupakan sastrawan yang berasal dari Jawa
Timur. Kekhasan Abidah dalam menulis karya sastra dapat dibedakan dengan
mudah ketimbang sastrawan lain, karena Abidah memiliki ciri-ciri khusus,
yaitu setiap karyanya baik novel maupun cerpen tidak terlepas dari hal-hal
yang bersangkutan dengan agama, khususnya agama islam. Dalam beberapa
karyanya Abidah mengangkat tentang posisi perempuan dalam agama dapat
dilihat dengan jelas dari beberapa karyanya, seperti, novelnya yang berjudul
Perempuan berkalung Sorban (2001) dan Geni Jora (2003). Dalam karyanya
tersebut, Abidah mengkritisi tradisi dan pandangan beragama yang kental
dengan budaya patriarki dan cenderung tidak memihak pada perempuan
terutama dalam lingkungan pesantren salaf. Pandangan dan pengamatannya
mengenai posisi perempuan dalam islam terutama dalam lingkup pesantren
ini ia tuangkan dalam cerpen maupun novel. Perempuan Berkalung Sorban
(2001) contohnya, Abidah mengungkapkan bahwa tujuannya dalam membuat
novel PBS ini adalah untuk mensosialisasikan hak-hak reproduksi perempuan
yang sudah diratifikasi oleh PBB.7
Dalam PBS Abidah berbicara tentang budaya patriarki yang sudah
mendarah daging. Novel ini, erat kaitannya dengan nilai-nilai kegamaan.
―Agama merupakan batu fondasi perbedaan gender.‖8 Dari kutipan tersebut
terlihat bahwa dalam agama pun membahas tentang gender. Perbedaan ini
dibahas dalam beberapa kitab yang biasa dipelajari di pesantren seperti kitab
Uqud al Lujani. Menurut penelitian Martin Van Bruinisen, professor Belanda
yang meneliti kitab kuning di Indonesia, kitab Uqud al Lujani adalah salah
satu kitab yang banyak dipelajari di pesantren. Padahal, kelompok kritis islam
Indonesia menyimpulkan bahwa kitab ini sangat tidak ramah pada perempuan
7 Wawancara dengan Abidah EL Khalieqy dalam Koran Tempo (Edisi 15 Februari 2009) 8 Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007) h. 84
73
karena banyak pernyataan yang dinilai menyudutkan perempuan.9 Pada novel
ini dikisahkan seorang perempuan yang ingin mendapatkan pengakuan
kesetaraan dari kaum laki-laki. Melalui tokoh utamanya, Annisa, ia
menyampaikan kritiknya terhadap Kyai dan kitab-kitab yang berkarakter
menyudutkan perempuan. Selain itu, dalam PBS juga membahas hak-hak
reproduksi perempuan dengan memunculkan tokoh Samsudin yang sering
melakukan kekerasan terhadap Annisa. Setelah ia mendapatkan perbedaan
perlakuan yang dilakukan di lingkungan rumah dan pesantren serta
mendapatkan kekerasan seksual oleh Samsudin, pada akhirnya Annisa
menikah dengan Khudhori yang tidak memandang permasalahan atas dasar
gender dan dapat menghargai Annisa sebagai perempuan walaupun pada
akhirnya Annisa harus rela kehilangan Khudhori dan hidup sendiri bersama
anaknya.
Dari cerita di atas sangat jelas bahwa Abidah menginginkan perempuan
meraih kemandiriannya sendiri tanpa ketergantungan pada kaum laki laki,
dan perempuan harus menguasai ilmu pengetahuan agar ia dapat mandiri.
Kematian Khudhori, suami keduanya, yang membuat Annisa harus hidup
sendiri dan membesarkan anaknya sendiri menjadi simbol bahwa perempuan
harus mampu hidup mandiri tanpa bantuan laki-laki.
Keputusan Abidah untuk mengkritik para Kyai dan kehidupan
pesantren kitab-kitab yang menyudutkan perempuan ini berdampak negatif.
Terlebih setelah novel PBS ini difilmkan, ia dianggap melecehkan agama
Islam.
Berdasarkan paparan tersebut, sangatlah jelas bahwa keputusan Abidah
mengkritik kehidupan pesantren salaf yang terlalu berpatok pada kitab-kitab
yang menyudutkan perempuan memunculkan reaksi negatif dari pembaca.
Pada tahun 2004 ia menerbitkan sebuah novel yang berjudul Geni Jora yang
masih bercerita tentang upaya pembebasan perempuan dari budaya patriarki
9 Asnal Mala, Op,cit.
74
namun Abidah tidak menyampaikan kritiknya secara terang-terangan seperti
pada novel PBS. Berikut ini adalah pembahasan mengenai Ketidakdilan
Gender yang terlihat dalam novel PBS dan GJ.
1. Marginalisasi terhadap Perempuan
Salah satu bentuk ketidakadilan yang terdapat dalam novel PBS
dan GJ adalah marginalisasi. Marginalisasi pada perempuan merupakan
batasan-batasan yang diterima oleh perempuan. Nilai-nilai partriarki
yang sangat kental membuat kaum perempuan mengalami diskriminasi
dalam kehidupannya. Di dalam keluarga, marginalisasi terhadap
perempuan sudah terjadi dalam bentuk diskriminasi atas anggota
keluarga laki-laki dan perempuan. ―Keluarga merupakan pengaruh
pertama dan utama dalam perkembangan seorang anak.‖10 Kutipan
tersebut menyatakan bahwa seorang anak akan tumbuh menjadi
seseorang yang berkarakter seperti apa itu tergantung dari bagaimana
cara didikan yang diterapkan oleh orang keluarganya. orang tua
selayaknya dapat memperlakukan anak-anak mereka tanpa melakukan
diskriminasi atas dasar jenis kelamin.
Dalam PBS disinggung bagaimana cara didik orang tua yang
selalu membeda-bedakan perlakuan untuk anak laki-laki dan anak
perempuan. Hal ini dialami oleh tokoh utama yang selalu mendapatkan
perlakuan yang berbeda dengan saudara laki-lakinya, seperti pada
kutipan berikut: ―Tidak seperti Wildan dan Rizal yang bebas keluyuran
dalam kuasanya, main bola, dan main layang-layang, sementara aku
disekap di dapur untuk mencuci kotoran bekas makanan mereka,
mengiris bawang hingga mataku pedas demi kelezatan dan
kenyamanan perut mereka.‖ (PBS. h. 23) Kutipan tersebut bercerita
tentang bagaimana tokoh utama mendapatkan perlakuan berbeda yang
dilakukan oleh ayahnya. Sikap tidak suka akan perbedaan perlakuan
10 Saparinah Sadli, Berbeda tetapi Setara, (Jakarta, Kompas, 2010) , h. 158.
75
yang diterima, ditunjukan oleh sikap tokoh utama yang sering
melanggar aturan-aturan yang ada. Sikap-sikap yang ditunjukan oleh
tokoh utama bermakna bahwa ia inginkan pembebasan dari budaya
patriarki yang ada di lingkungannya. Ia tidak menerima hanya karena
alasan ia merupakan seorang anak perempuan membuat ia diperlakukan
berbeda.
Pengambilan latar tempat di daerah Jawa juga mempengaruhi
terjadinya diskriminasi terhadap perempuan pada novel ini. ―Dalam
konstruksi budaya Jawa, munculnya kecenderungan boy preference
(lebih berpihak pada anak laki-laki). Kecenderungan tersebut akhirnya
menimbulkan ketidakadilan yang terefleksi dalam perlakuan yang
berbeda terhadap anak laki-laki dan perempuan.‖11 Seperti yang
dijelaskan pada kutipan tersebut, bahwa dalam budaya masyarakat Jawa
anak laki-laki lebih diutamakan dan dihargai kebebasannya daripada
anak perempuan. Ini pula yang terjadi dalam novel PBS yang
mengambil latar di daerah Jawa Timur.
Sikap yang ditunjukkan oleh Annisa menunjukkan bahwa ia
memiliki keinginan untuk diperlakukan secara adil, meskipun ia
seorang perempuan. Ia tidak menerima perlakuan orang-orang di
sekitarnya yang menganggap perempuan sebagai makhuk lemah.
Perlakuan orang-orang terhadap perempuan tentunya bertentangan
dengan Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 13:
ابا شع ث جانام كر و نا جاناا ن ان ي أا
لا عجلنا ن جاا د نلا دا ر ك جا اى نا ونشال
عكأني
11 Rahmawati dalam Amiroh Ambarwati, Perspektif Feminis dalam Novel Perempuan di Titik Nol Terjemah Novel Imra‟ atun‟ inda Nuqtah Karya Nawal El Sadaawi dan Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy. (Muwazah: 2009)., h. 27
76
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah iialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-
Hujurat/49;13).
Dari ayat tersebut tampak jelas bahwa hubungan antara manusia
dan laki-laki diatur oleh norma agama. Ayat tersebut memberi penjelasan
bahwa pada dasarnya manusia semua diciptakan sama, meskipun berasal
dari bangsa, suku, budaya yang berbeda. Hal ini bertentangan dengan
perlakuan yang dilakukan oleh orang-orang sekitar Annisa, yang
membeda-bedakannya dengan saudara laki-lakinya.
Dalam Al Qur-an pun dijelaskan bahwa perempuan dan laki laki
pada dasarnya sama, yang membedakan antara keduanya hanyalah iman
ketakwaannya. Jadi tak seharusnya batasan-batasan terhadap kaum
perempuan itu dibuat. ―Al-Qur‟ an sangat menekankan nilai keadilan,
kesetaraan dan keharmonisan. Islam sebagai agama yang memberi
rahmat bagi semesta alam, tentu anti rasialisme dan menolak
diskriminasi.‖12
Kembali pada pembahasan terhadap marginalisasi pada perempuan,
hal ini juga terlihat ketika Samsudin melakukan praktek poligami secara
terbuka. Meskipun dalam hukum islam poligami diperbolehkan, bukan
berarti suami boleh melakukan praktek poligami seenaknya. Tokoh
utama dalam novel ini dipoligami dengan alasan suami yang ingin
menyakiti istrinya. Ia kemudian melakukan perselingkuhan yang
membuat wanita lain ini mengalami kehamilan dan akhirnya meminta
pertanggungjawaban Samsudin. Apalagi dalam melakukan praktik
12 Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan dalam Berbagai Perspektif, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012) h. 26.
77
poligaminya, Samsudin tidak bisa berlaku adil ketika memperlakukan
istri pertama dan istri keduanya.
Dua tahun kemudian Abidah kembali menulis novel yang
bertemakan sama dengan Perempuan Berkalung Sorban, yaitu novel
Geni Jora. Marginalisasi juga terjadi pada tokoh utama GJ yaitu, Kejora.
Tidak jauh berbeda dengan penggambaran Annisa pada PBS, pada GJ
Abidah menggambarkan Kejora selalu mendapatkan diskriminasi dari
neneknya. Ia selalu dinomorduakan dari adik laki-lakinya, Prahara.
Perlakuan nenek yang cenderung memarginalkan perempuan
menyebabkan tidak adanya penghargaan terhadap prestasi yang
diperoleh perempuan. Oleh karena itu, Kejora selalu termotivasi untuk
melawan ketidakadilan tersebut, seperti tampak pada kutipan berikut:
―Ini kah nilai rapot sekolahan, Cucu. Betapa pun nilai Prahara di
sekolahan, sebagai laki-laki, ia tetap ranking pertama di dunia
kenyataan. Sebaliknya kau. Berapa pun rankingmu, kau adalah
perempuan dan akan tetap sebagai perempuan.‖ (GJ. h. 82) Sebagai
perlawanan terhadap ketidakadilan yang didapatnya, Kejora selalu
belajar dan terus meningkatkan prestasinya.
Pada GJ, Abidah juga mengangkat tentang praktik poligami. Di sini
yang melakukan praktik poligami adalah ayah Kejora. Namun,
penggambaran praktik poligami dalam GJ lebih baik dari penggambaran
praktik poligami dalam PBS. Dalam GJ alasan ayah Kejora melakukan
praktik poligami adalah karena istri pertamanya tidak bisa mendapatkan
keturunan dan ayah Kejora memperlakukan kedua istrinya dengan adil.
‖Semuanya lebih dari cukup, Sayang. Tak ada sesuatu pun yang kurang.
Allah melimpahkan segala kesenangan, kebahagiaan dan kenikmatan
yang tak terhingga pada kita semua. Dan ini harus kita syukuri‖ (GJ. h.
102) Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh ayah mampu berlaku
adil dalam praktik poligaminya. Dilihat dari konsep ceritanya, tokoh ayah
memiliki sifat yang jauh berbeda dengan tokoh Samsudin dalam PBS.
Sikap tokoh ayah Kejora yang melakukan praktik poligami dikarenakan
78
istri pertamanya tidak mampu memberikan keturunan ini lebih masuk
akal dan dapat ditolerir daripada sikap Samsudin yang sengaja
melakukan perselingkuhan dan praktik poligami untuk menyakiti Annisa.
Walaupun begitu terlihat jelas sikap Abidah menunjukkan bahwa
―poligami sebagai keadaan darurat, dapat dilakukan asal syarat-
syaratnya dapat dipenuhi.‖13 Kutipan tersebut menyatakan pandangan
Abidah bahwa sesungguhnya poligami dapat dilakukan jika memang
dalam keadaan yang terdesak seperti dalam PBS ketika Kalsum datang
ke Annisa untuk minta dinikahi oleh Samsudin karena dirinya sudah
terlanjur hamil. Dan dalam GJ, ayah Kejora melakukan praktik poligami
karena tidak memiliki keturunan dari istri pertamanya. Walaupun begitu
praktik poligami juga harus dilakukan dengan cara yang adil. M Quraish
Shihab dalam Wiyatmi menyatakan bahwa ―poligami itu bukan anjuran,
tetapi salah satu solusi yang diberikan kepada mereka yang sangat
membutuhkan dan memenuhi syarat-syaratnya.‖14 Dari kutipan di atas
terlihat bahwa poligami itu ada dan boleh dilakukan pada saat-saat
terdesak saja, dan itu pun harus dengan ketentuan-ketentuan yang ada,
tidak bisa sembarangan melakukan poligami. Selain itu, pada GJ
digambarkan juga sikap Kejora yang menolak jika dia harus dimadu. Hal
ini menunjukan pada dasarnya tidak ada wanita yang menginginkan
dimadu. Berbeda dengan sikap Annisa yang tidak dapat berbuat apa-apa
saat ia harus dimadu.
Dilihat dari konsep cerita, tokoh Kejora dalam GJ memiliki sifat
yang hampir sama dengan Annisa dalam PBS. Tetapi yang membedakan
antara Annisa dalam PBS dengan Kejora dalam GJ adalah pada sikap
Annisa yang pasrah dan menerima begitu saja untuk dijodohkan dengan
laki-laki pilihan orang tuanya, dan juga menerima keputusan Samsudin
berpoligami dikarenakan ia sama sekali tidak mencintai Samsudin.
Berbeda dengan Kejora yang dibebaskan untuk memilih calon
13 Wiyatmi, op.cit, h. 169 14 Ibid., h. 170
79
pendamping hidupnya sendiri, ia juga bersikeras menolak poligami
dengan alasan apa pun.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa dalam kedua novelnya, yaitu
Perempuan Berkalung Sorban (2001) dan Geni Jora (2003) Abidah
selalu mengangkat isu diskriminasi yang terjadi pada perempuan dan
praktik poligami yang biasa dilakukan laki-laki. Dalam penceritaannya,
Annisa dan Kejora memiliki perbedaan dalam menuntut kesetaraan.
Tokoh Annisa dalam PBS mentuntut keadilan dan kesetaraan secara
terang-terangan, tetapi di sini tokoh utama tetap menerima keputusan
yang diberikan oleh orang-orang sekitarnya, seperti perjodohan. Namun
dalam GJ, Abidah menjadi lebih baik dalam memposisikan tokoh utama.
Tokoh utama GJ tidak dijodohkan secara paksa, ia juga digambarkan
sebagai perempuan yang tidak mau mengalah terhadap ketidakadilan
yang terjadi padanya.
Dalam novel PBS dan juga GJ terlihat ada dua pola poligami yang
terjadi, pola pertama, poligami dilakukan dengan terbuka, istri pertama
terpaksa memberi izin, hubungan antara istri pertama dengan kedua
kurang baik. Penyebab poligami dilakukan karena hubungan antara
suami dengan istri pertama tidak harmonis, keduanya menikah karena
perjodohan dan bukan atas landasan saling mencintai, suami melakukan
perselingkuhan yang menyebabkan kehamilan perempuan lain. Dan ini
terjadi dalam PBS. Pola kedua, poligami dilakukan dengan terbuka, ada
izin istri pertama, kedua istri berhubungan dengan baik. Penyebab
poligami karena istri pertama tidak dapat memberikan keturunan.15 Dari
kutipan tersebut terlihat bahwa Abidah ingin Jika sesuatu ketidakadilan
terjadi padanya ia akan membalasnya satu tingkat dari apa yang
diterimanya, bahkan ia tak segan-segan untuk berpoliandri jika suatu saat
pasangannya melakukan poligami.
15 Wiyatmi, op,cit., h. 162
80
2. Subordinasi terhadap Perempuan
Subordinasi adalah suatu sikap yang menempatkan perempuan
pada posisi yang tidak penting muncul dari adanya anggapan bahwa
perempuan itu emosional atau irasional sehingga perempuan tidak bisa
tampil memimpin.16 Konsep subordinasi pada perempuan dalam PBS
berbeda dengan konsep subordinasi pada perempuan dalam GJ. Dalam
PBS subordinasi terlihat dalam lingkup rumah tangga yaitu melalui
pendidikan yaitu dengan memprioritaskan anak laki-laki untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dibandingkan perempuan,
ini disebabkan adanya anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah
tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga yang
kerjaannya hanya untuk mengurusi urusan rumah tangga. Dalam PBS
tokoh utama tidak diizinkan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi, sedangkan kedua saudara laki-lakinya boleh. Tapi walaupun
demikian Abidah tetap menggambarkan tokoh utama yang memiliki
pintar. Tokoh utama yang diceritakan menikah ketika ia baru lulus
Sekolah Dasar karena perjodohan, tetap melanjutkan sekolahnya setelah
ia menikah. ―Maka, sekalipun sudah hampir dua minggu aku absen dari
panggilan guru,, kupaksakan diri ini untuk kembali ke sekolah
Tsanawiyah. Dengan penuh keyakinan bahwa segalanya akan berubah
ketika lautan ilmu itu telah berkumpul di sini, dalam otakku.‖(PBS. h. 98)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh utama tidak ingin putus
sekolah lantaran ia sudah menikah. Ia tetap melanjutkan sekolahnya
sampai akhirnya Aliyah (setara dengan SMA). Saat Aliyah ia bercerai
dengan Samsudin dengan alasan karena selama ini Samsudin selalu
berbuat kasar dan tak henti-hentinya menyakitinya. Terlihat bahwa
tokoh-tokoh perempuan dalam PBS tidak memiliki kesempatan untuk
melanjutkan sekolahnya dan hanya menjadi ibu rumah tangga saja.
Pemikiran yang seperti inilah yang coba disingkirkan dengan
16 Rian Nugroho, op. cit., 13
81
penggambaran tokoh Annisa yang teguh kukuh tak menyerah untuk terus
bersekolah.
Peranan orang tua yang seharusnya bisa melindungi hak-hak anak,
baik itu anak laki-laki ataupun perempuan, dan memberikan pendidikan
yang layak kepada anaknya, tidak memaksakan kehendak orang tua
terutama dalam pernikahan dan pemilihan jodoh. Anak perempuan
memiliki kebebasan sendiri menentukan pasangan hidupnya, dan orang
tua hanya cukup memberikan nasihat dan pertimbangannya. Semua hal
itu tidak terlihat dalam novel ini yang hampir semua tokoh
perempuannya tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang tinggi, dan
pemaksaan pernikahan yang dilakukan oleh orang tua tokoh utama.
Dua tahun kemudian dalam novel yang berjudul Geni Jora karya
Abidah El Khalieqy terlihat penggambaran yang berbeda mengenai
pendidikan untuk perempuan. Dalam GJ dijelaskan bahwa pendidikan
bagi wanita pun penting. Ini ditunjukkan dari keadaan Kejora yang sama
sekali tidak mengalami kesulitan untuk menuntut ilmu meskipun ia
adalah seorang perempuan. Berbeda dengan PBS yang hampir semua
tokoh perempuannya tidak melanjutkan sekolahnya ke jenjang lebih
tinggi. Dalam GJ tokoh perempuan di sini mendapatkan dukungan untuk
melanjutkan sekolahnya ke jenjang lebih tinggi, seperti pada kutipan
berikut:
―Kami mau les, Om.‖ Aku menjawab
―Mau les? Les apa?‖
―Les bahasa Arab.‖
―Masa? Kalian mau jadi TKW?‖
Idih! Om norak. Kami sih mau masuk pesantren, bukan jadi TKW
Om.‖
―Oh...begitu. hebat, dong. Ngomong-ngomong bukannya kalian
selama ini juga tinggal di pesantren?‖ (GJ. h. 105)
Kutipan di atas menyatakan bahwa dari kecil Kejora dan Lola
sudah dipersiapkan untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Bahkan
82
sampai mengikuti les agar bisa diterima di sekolah yang diinginkan.
Walaupun biasanya mereka tidak pernah diijinkan untuk keluar dari
rumah tapi untuk menuntut ilmu mereka diijinkan untuk membuka
gerbang rumahnya. Penggambaran perempuan yang sulit mendapatkan
pendidikan yang diperlihatkan dengan sangat jelas di PBS tidak terlihat
dalam novel GJ. Selain itu, melalui tokoh Omi (ibunda Zakky) dijelaskan
bahwa perempuan pun mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan
pendidikan. Abidah juga memberikan pandangannya tentang pendidikan
dalam tradisi Syi’i, yaitu pendidikan bagi perempuan lebih penting
daripada pendidikan bagi laki-laki, seperti pada kutipan berikut: ―Akan
sangat berbeda jika sudah membicarakan masalah pendidikan. Omi Ida
banyak dipengaruhi pernikahan Fathimiyah yang justru tidak
mengkoloni Turki. Dalam tradisi Syi‟ I, pendidikn untuk perempuan bagi
perempuan lebih utama dibandingkan pendidikan bagi laki-laki.‖ (GJ. h.
189) Kutipan tersebut terlihat bahwa Abidah menambahkan pandangan
tentang kebudayaan yang mengutamakan pendidikan untuk perempuan
dibandingkan laki-laki melalui tokoh Omi Ida yang merupakan ibu dari
Zakky. Melalui tokoh Omi Ida, Abidah ingin menyampaikan
pandanganya bahwa pendidikan juga sangat penting bagi kaum
perempuan.
Pemilihan Negara Timur Tengah sebagai tempat untuk melanjutkan
sekolah karena Negara-negara di Timur Tengah dapat dijadikan sebagai
simbol kebebasan. Seperti kutipan berikut.
Di sini kutemukan orang Afrika bergandengan tangan dengan
orang Prancis. Orang Prancis bermain football bersama orang Arab
dan orang Yahudi menjual taring macan pada orang Herber.
Sementara orang Herber berdesak-desakan memotong permadani
Tazenakht dengan permata asli untuk ditawarkan kepada orang
Afrika. Berduyun-duyun manusia dari berbagai ras yang berkulit
hitam, berkulit cokelat, dan berkulit putih, meramaikan kebidupan
dan membentuk kebudayaan Maroko. (GJ. h. 12—13)
83
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan dalam menggambarkan Subordinasi pada perempuan dalam
PBS dan GJ. Dalam PBS, digambarkan bahwa pendidikan bagi
perempuan tidaklah penting, oleh karena itu tokoh-tokoh perempuan
dalam PBS tidak melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi.
Sedngkan dalam GJ tokoh-tokoh perempuannya dapat melanjutkan
sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan ke luar negeri. Selain itu
dalam PBS tokoh utamanya dipaksa untuk menerima perjodohan oleh
orang tuanya yang berujung pada perceraian. Sedangkan dalam GJ tokoh
utamanya diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan pendamping
hidupnya.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa terdapat perbedaan saat
menggambarkan subordinasi pada perempuan kedua novelnya, yaitu
Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora. Dalam PBS Abidah selalu
mengangkat isu subordinasi yaitu mengenai pendidikan yang tidak terlalu
penting bagi perempuan. Akan tetapi pada GJ, Abidah tida menyinggung
subordinasi mengenai pendidikan. Karena semua tokoh perempuan
dalam GJ berpendidikan tinggi.
3. Stereotip terhadap Perempuan
Stereotip adalah pelebelan atau penandaan negatif terhadap
kelompok atau jenis kelamin tertentu.17 Stereotip-stereotip itu
mencerminkan kesan umum mengenai bahasa perempuan dan laki-laki.
Stereotip-stereotip tersebut jarang sekali berpihak pada perempuan.18
Dalam PBS dan GJ, terdapat pandangan yang berbeda tentang
stereotipe yang terjadi pada perempuan. Bentuk stereotip yang
ditampilkan dalam PBS yaitu anggapan bahwa perempuan itu
penggoda, seperti pada kutipan berikut: ‖…… keakrabanmu dengannya
17 Riant Nugroho, op.cit., h. 12 18 David Graddol dan Joan Swann, Gender Voice: Telaah Kritis, Relasi Bahasa Gender,
(Pedati: 2003), h. 2
84
akan menimbulkan kecurigaan masyarakat. Terlebih sekarang ini.
Ingatlah, bahwa kau adalah seorang janda, Nisa. Dan statusmu itulah
yang membuat pikiran orang dalam menilaimu. Jika sedikit saja kau
lengah, mereka akan berebut menggunjingkanmu. ‖ (GJ. h. 145) dari
kutipan berikut terlihat bahwa budaya dalam masyarakat PBS
memberikan stereotif yang negatif bagi perempuan, yaitu perempuan
sebagai makhluk penggoda. Ini ditunjukkan dari tokoh Annisa yang
mendapatkan pelbelan negatif itu hanya karena ia seorang perempuan
dan seorang janda, sehingga msyarakat menyimpulkan bahwa ia
seorang perempuan penggoda saat ia sering pergi berdua dengan
Khudhori.
Selain itu, adanya keyakinan di masyarakat bahwa tugas
perempuan adalah untuk melayani suami berakibat pada
menomorduakan pendidikan bagi perempuan, hal ini terlihat pada
kutipan berikut:
―.....dalam budaya nenek moyang kita, seorang laki-laki memiliki
kewajiban dan seorang perempuan memiliki kewajiban.
Kewajiban seorang laki-laki, yang terutama adalah bekerja
mencari nafkah, baik di kantor, di sawah, di laut, atau di mana
saja asal bisa mendatangkan rezeki halal. Sedangkan seorang
perempuan, mereka juga memiliki kewajiban, yang terutama
adalah mengurus urusan rumah tangga dan mendidik anak.....” (PBS. h. 27)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa budaya yang ada membentuk
anggapan bahwa dalam rumah tangga yang seharusnya mencari nafkah
adalah laki-laki (suami) dan tugas perempuan (istri) adalah mengurus
segala keperluan rumah tangga dan melayani. Hal ini membuat stereotip
tentang pendidikan untuk perempuan tidak terlalu diutamakan. ―Tetapi
anak perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Sudah cukup
jika telah mengaji dan khatam. Sudah ikut sorongan kitab kuning. Kami
juga tidak terlalu terburu. Ya, mungkin menunggu si Udin Wisuda
kelak.‖ (PBS. h. 81) Kutipan tersebut menunjukkan bahwa pandangan
orang-orang terhadap pendidikan untuk anak perempuan pada masa itu
85
tidaklah penting. Karena perempuan bukanlah pemimpin dalam
keluarga yang berkewajiban untuk mencari nafkah, jadi bagi mereka
(perempuan) pendidikan bukanlah hal yang utama yang harus mereka
dapatkan.
Tetapi penggambaran Abidah mengenai sosok Samsudin yang
malas, tidak bertanggung jawab dan kepala keluarga yang tidak
memiliki pekerjaan seakan melelehkan stereotip tentang suami yang
seharusnya mencari nafkah di luar rumah, sesuai dengan kutipan beriku:
―sekalipun sarjana, Samsudin tidak bekerja atau belum mendapat
pekerjaan.‖ Kutipan tersebut telah mematahkan stereotip yang ada pada
novel ini, karena sebagai laki-laki Samsudin benar-benar tidak bisa
diandalkan. Untuk biaya hidup mereka pun masih mengandalkan orang
tua Samsudin.
Dua tahun kemudian, dalam novelnya yang berjudul Geni Jora,
Abidah juga memperlihatkan pelebelan yang negative untuk kaum
perempuan, seperti pada kutipan berikut: ―Ayah akan berpihak pada
mereka, sebab mereka orang kepercayaannya. Belum lagi kalau Nenek
tahu, ia akan memojokanku, memojokkan kita berdua.sebab itu, jaga
mulutmu.‖ (GJ. h. 91) Pada kutipan tersebut terlihat bahwa Lola yang
sudah dilecehkan oleh kedua pamannya namun tak mau memberitahu
kepada siapa pun perihal tersebut, ini dikarenakan ia beranggapan
bahwa Ayah dan Neneknya tidak akan membelanya, bahkan akan
menyalahkannya. Anggapan seperti inilah yang diangkat oleh Abidah
dalam GJ. Anggapan yang mengatakan bahwa pelecehan seksual yang
sering terjadi pada perempuan tidak terlepas dari kesalahan perempuan.
Dalam hal ini perempuan menjadi korban yang disalahkan.
Selain itu, dalam GJ juga dijelaskan bahwa laki-laki adalah pihak
yang nantinya akan mencari nafkah untuk membiayai kehidupan
keluarganya. Namun dalam GJ, pentingnya pendidikan untuk
86
perempuan juga mendapat porsi yang sama dengan pentingnya
pendidikan bagi laki-laki, sehingga semua tokoh perempuan dalam GJ
bersekolah sampai jenjang yang tinggi.
Penggambaran tokoh utama sebagai salah satu mahasiswa yang
sedang kuliah di Damaskus. Selain Kejora, Elya, dan Lola tokoh
perempuan dalam GJ juga melanjutkan sekolahnya ke jenjang
perguruan tinggi. Ini berbeda dengan tokoh-tokoh perempuan yang ada
dalam PBS yang mayoritasnya pendidikan terakhirnya SD, SMP,
ataupun SMA. Dalam PBS hanya Annisa yang memperjuangkan
haknya untuk terus mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-
laki. Dalam GJ Abidah mencoba menunjukkan pandangannya pada
pembaca bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-
laki dalam hal mendapatkan pendidikan yang yang tinggi juga layak.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa dalam PBS dan GJ sama-
sama mengangkat isu tentang stereotip yang sering dipasangkan pada
perempuan, perempuan sebagai makhluk penggoda yang, dan walaupun
mereka mengalami kekerasan atau pelecehan seksual, itu tetap saja
perempuanlah yang akan dipersalahkan. Gambaran seperti inilah yang
masih kita temui dalam kehidupan nyata. Perbedaan terlihat ketika
Abidah menggambarkan laki-laki sebagai pencari nafkah yang
berakibat pendidikan bagi perempuan dinomorduakan dalam PBS.
Namun dalam GJ adanya anggapan bahwa laki-laki merupakan orang
yang mencari nafkah dalam keluarga tidak membuat hak perempuan
dalam mendapatkan pendidikan menjadi hilang.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa dalam kedua novelnya,
yaitu PBS dan PBS Abidah mengangkat isu pelebelan negatif yaitu
pelebelan bahwa perempuan merupakan makhluk penggoda. Dalam
PBS, Annisa yang merupakan janda dianggap sering menggoda
Khudhori karena mereka berdua sering pergi keluar bersama. Begitu
87
pula dalam GJ, Lola yang dilecehkan oleh kedua pamannya, tidak
berani melaporkannya kepada ayahnya karena takut nantinya ia yang
akan disalahkan. Selain itu anggapan bahwa laki-laki merupakan
pencari nafkah membuat perempuan sulit untuk mendapatkan haknya di
dunia pendidikan dalam PBS, sedangkan dalam GJ, anggapan seperti
itu tidak mempengaruhi pendidikan yang akan mereka (perempuan)
jalani.
4. Kekerasan (Violence) terhadap Perempuan
Violence (kekerasan) merupakan assoult (invasi) atau serangan
terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang yang
dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu. Kekerasan terhadap sesama
manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun kekerasan
terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender.
Dikaitkan dengan novel PBS dan GJ, diceritakan kekerasan dan
pelecehan seksual yang diterima tokoh utama. Dalam PBS, jenis
kekerasan yang pertama kali munculkan adalah tindakan pelecehan
yang dialami oleh tokoh utama dan sahabatnya ketika mereka pergi ke
bioskop. Di sini detegaskan bahwa banyak sekali tindak pelecehan yang
terjadi pada perempuan di tempat umum, seperti pada kutipan berikut:
―’Maaf mungkin lain kali. Sebab seseorang sedang menunggu kami di
ujung jalan itu.’ Aku menirukan Aisyah lalu secepatnya pergi ke utara.
Tetapi lelaki itu tidak gampang dibohongi, ia menangkap tanganku dan
berusaha meringkus tubuhku...‖ (GJ. h. 45) Dari kutipan tersebut dapat
diketahui bahwa pelecehan pada perempuan dapat terjadi di mana saja,
kapan saja dan oleh siapa saja.
Selain itu, pada PBS digambarkan bahwa tokoh utamanya yang
selalu mendapatkan kekerasan baik kekerasan fisik maupun seksual.
Kekerasan seksual yang dialami Annisa adalah pemerkosaan oleh
suaminya sendiri. Dikatakan sebagai perkosaan, padahal dilakukan
88
oleh suami sendiri ini karena hubungan suami-istri dibangun atas dasar
mencintai dan saling memahami, tidak ada paksaan di dalamnya apalagi
jika perilaku seksual yang dilakukan itu menyimpang, ini bisa
dikategorikan dalam kasus pemerkosaan. Di sini Abidah mengangkat
mengenai pemerkosaan dalam perkawinan dengan memunculkan tokoh
utama yang selalu mendapatkan semua hal itu dari suaminya. Seperti
yang terlihat pada kutipan berikut.
Dengan paksa pula ia membuka bajuku dan semua yang nempel
di badan. Aku meronta kesakitan tapi ia kelihatan semakin buas
dan tenaganya semakin lama semakin berlipat-lipat. Matanya
mendelik ke wajahku. Kedua tangannya mencengkeram
lenganku. Beban gajihnya begitu berat menindih tubuhku
sehingga semuanya menjaid tidak tertahankan. Seperti ada
peluru karet yang menembus badanku. (PBS. h. 90)
Kutipan di atas menunjukan bahwa tokoh utama dalam PBS
mendapatkan kekerasan seksual oleh suaminya sendiri. Sehingga
menimbulkan trauma yang besar kepapa tokoh Annisa. Samsudin
sebagai suami merasa mempunyai hak dan kekuasaan penuh atas
Annisa, ia tidak peduli bagaimana perasaan Annisa saat itu. Hal ini
bertentangan dengan Al-Quran surat Annisa ayat 19 yang artinya ―Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.‖ (Q.S. Annisa/4: 19)
Dari ayat tersebut tampak jelas bahwa seorang suami haruslah
memperlakukan dan menggauli istrinya dengan baik. Tidak dengan
paksaan apalagi dengan kekerasan. Ini sangat bertolak belakang pada
89
penggambaran suami (Samsudin) pada PBS yang memperlakukan dan
menggauli istrinya secara paksa dan kasar.
Selain itu Annisa juga mendapatkan kekerasan secara fisik yang
dilakukan oleh Samsudin. Anissa mendapatkan kekerasan fisik ketika ia
mulai memberontak terhadap prilaku Samsudin yang menyimpang.
Seperti yang terlihat dari kutipan berikut: ―Plak! Plaakk!! Ia menampar
mukaku bertubu-tubi hingga pipi dan pundakku lebam dan kebiru-
biruan.‖ (GJ. h.111). Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Annisa
mendapat tindak kekerasan oleh suaminya sendiri hanya karena ketika
Samsudin menginginkan berhubungan intim dengan Annisa tanpa
ditutupi selimut, sedangkan Annisa menginginkan selimut itu membuat
Samsudin geram. Kekerasan seperti ini tidak selayaknya dilakukan
seorang suami terhadap istrinya. Karena pada dasarnya pemerintah pun
melindungi perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) melalui sebagaimana dikemukakan dalam:
Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.19
Kekerasan yang terjadi pada Annisa membuatnya mengalami
trauma. Selain kekerasan seksual dan fisik dari Samsudin, ia juga sering
dicemooh dan dimaki. Bahkan yang lebih keterlaluan lagi, Annisa
diperlihatkan oleh Samsudin cara berhubungan suami istri dengan istri
barunya, Kulsum. Samsudin melakukan hubungan seksual dengan istri
keduanya tepat dihadapan Annisa dan hal ini menimbulkan perasaan
19 Ninik Rahayu penghapusan Undang-Undang No. 23 tahun 2004. Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/653- undang-undang-no-23-tahun-2004-tentang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-uu- pkdrt.html. diunduh pada tabffal 10 Januari 2014 pukul 07. 50 WIB
90
yang menjijikkan dalam jiwa Annisa, dan pada akhirnya ini menjadi
tekanan mental yang dialami oleh Annisa ketika menikah dengan
Samsudin.
Lewat tokoh Annisa, Abidah ingin memberi gambaran tentang
bagaimana seorang istri yang selalu di siksa secara lahir maupun batin
oleh suaminya. Dalam PBS, Abidah memunculkan sosok tokoh utama
yang selalu melawan kekerasan dan pemaksaan yang dilakukan oleh
suaminya. Sosok Samsudin yang digambarkan sebagai putra seorang
Kyai dan telah menjadi sarjana hukum, namun perangainya tidaklah
seperti orang yang mengerti agama dan hukum. Menunjukkan bahwa
tidak semua orang yang berasal dari keluarga Kyai atau pun ulama
merupakan orang yang arif yang mengerti dan mengaplikasikan
ilmunya dalam kehidupan sehari-hari.
Dua tahun kemudian dalam novel yang berjudul Geni Jora.
Abidah mengangkat pelecehan seksual pada perempuan yang sering
terjadi. Hampir sama dengan PBS, dalam GJ tokoh utama beserta
kakaknya mengalami tindak pelecehan seksual. Jika dalam PBS tokoh
utama dan sahabatnya dilecehkan oleh orang lain yang tidak memiliki
hubungan darah dan pelecehan itu terjadi di tempat umum, dalam GJ
pelecehan itu dilakukan oleh pamannya sendiri, dan terjadi di rumah
Kejora. Seperti yang ditunjukkan pada kutipan berikut.
..sore itu senja hampir turun, tetapi pandanganku masih terlalu
jelas untuk mengintip tangan paman Hasan yang memegang
pundak Lola, dan secepat kilat Lola menepisnya. Kulihat paman
mengucapkan sesuatu dan Lola menggeleng. Paman bangkit
berdiri di belakang Lola tetapi tangannya menjulur cepat ke
payudaranya. Lola tersentak, tetapi paman Khalil di sampingnya
malah tertawa. (GJ. h. 90)
Kutipan di atas menyatakan bahwa penegasan pandangan Abidah
tentang pelecehan yang terjadi pada perempuan. Memiliki hubungan
darah tidak menutup kemungkinan untuk untuk melakukan tindak
91
pelecehan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan
nyaman bagi penghuninya berubah menjadi tempat yang tidak aman
bagi penghuninya. Dalam novel ini dominasi patriarki yang terwujud
dalam tindak semena-semena dan kekerasan seksual yang dilakukan
oleh laki-laki dan dilakukan oleh orang terdekat (keluarga) sendiri..
Pelecehan seksual yang sering dilakukan oleh kedua paman Kejora
terhadap Kejora dan Bianglala menunjukkan adanya dominasi
patriarki tersebut. Kejora dan Bianglala tidak mau melaporkan
perbuatan tersebut kepada ayahnya, karena mereka tidak yakin ayahnya
akan berpihak padanya. Oleh karena itu, keduanya bersepakat pada
suatu hari harus dapat membalas perbuatan tersebut.
―Kau akan membalasnya? Kapan?‖
―Nanti, tunggu saja,‖ jawab Lola dingin, namun tegas dan pasti.
Aku merinding, tak kusangka, kakakku Bianglala yang pendiam,
ternyata dalam dirinya menyimpan magma. Tak kubayangkan
saat magma itu meledak, seratus prahara bakal menderak-derak,
melantakkan paman Hasan si biludak burik. Aku senang
mendengar ucapan kakakku dan ―hari pembalasan‖ terus
kutunggu-tunggu. (GJ. h. 122)
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Jora dan Lola
menunjukkan sikap perlawanan yang ingin dilakukannya, untuk
membalaskan dendam kepada pamannya yang telah melecehkan ia dan
adiknya. Tetapi di sini tidak diceritakan bagaimana Lola membalaskan
dendamnya. Di sini hanya di jelaskan ketika sudah besar saat Kejora
bertemu dengan pamannya, cara pandangannya kepada Kejora penuh
hormat dan rasa takut. Seakan pernah terjadi suatu kejadian antara
mereka.
Dari kedua novel karyanya, dapat disimpulkan bahwa pengarang
mengangkat isu kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam bentuk
pemerkosaan pada perempuan, serangan fisik dan tindakan pemukulan
yang terjadi dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual. Terdapat
perbedaan pandangan kekerasan yang terlihat dalam PBS dan GJ.
92
Dalam PBS Abidah mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan
dalam bentuk pemerkosaan pada perempuan, serangan fisik dan
tindakan pemukulan yang terjadi dalam rumah tangga, dan pelecehan
seksual. Sedangkan dalam GJ Abidah hanya mengangkat peleceh
seksual yang sering terjadi pada perempuan. Kekerasan yang
digambarkan dalam PBS sering kita jumpai dalam realitas kehidupan
sosial yang ada, di mana hak-hak reproduksi perempuan seakan dicabut
dan perempuan yang kehilangan hak-hak reproduksinya diperlakukan
secara semena-mena.
5. Beban Kerja Terhadap Perempuan
Bentuk ketidakadilan yang terakhir terdapat dalam PBS dan GJ
adalah beban kerja. Anggapan yang menyebutkan bahwa perempuan
memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok menjadi kepala
rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah
tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan.20 Kutipan tersebut
menjelaskan bahwa sudah sejak lama anggapan mengenai perempuan
yang hanya boleh memiliki pekerjaan yang hanya di area domestik saja
Menurut Sugihastuti Citra wanita dalam aspek keluarga dgambarkan
sebagai wanita dewasa, seorang istri dan seorang ibu rumah tangga.21
Pencitraan perempuan yang lemah lembut membuat dia harus berada di
sektor domestik. Pandangan inilah yang membuat perempuan sulit
bergerak di ruang publik.
Dikaitkan dengan novel PBS terdapat gambaran mengenai beban
kerja ditunjukan melalui tokoh utama dalam novel PBS. Dalam PBS
tokoh utama yang dari kecil sudah ditekankan bahwa pekerjaan
perempuan adalah di rumah menjadi ibu rumah tangga, seperti pada
20 Riant Nugroho, op,cit, h. 16 21 Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty, (Bandung:
Nuansa, 2000), h. 123.
93
kutipan berikut: ―Tidak seperti Wildan dan Rizal yang bebas keluyuran
dalam kuasanya. Main bola, layang-layang, sementara aku disekap di
dapur untuk mencuci kotoran bekas makanan mereka, mengiris bawang
hingga mataku pedas demi kelezatan dan kenyamanan perut mereka...‖
(PBS. h. 49)
Kutipan di atas menyatakan bahwa beban kerja pada perempuan
memang sekitar pekerjaan domestik seperti memasak, mencuci,
membersihkan rumah, dan lainnya. Sebenarnya pekerjaan rumah tangga
itu bukanlah kodrat yang harus dijalani oleh perempuan seperti yang
dijelaskan oleh Lusi Margiyani dalam Muhammad Hidayat ―Memang
benar perempuan mempunyai kodrat haid, mengandung, melahirkan dan
menyusui, tetapi mengasuh anak yang dikandung bukanlah kodrat.
Begitu pula memasak, mencuci dan seterusnya adalah bukan kodrat.‖22
Dari kutipat tersebut dapat disimpulkan bahwa peranan perempuan untuk
memasak, mencuci dan pekerjaan rumah tangga lainnya bukan
merupakan kodrat yang diterimanya dari lahir. Tapi semua itu adalah
sistem budaya dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Hal ini juga
diperlihatkan pada tokoh-tokoh perempuan dalam PBS, seperti pada
tokoh Lek Umi dan ibu Annisa yang selalu mengerjakan pekerjaan
rumah tangga walaupun mereka dalam keadaan lelah. Dalam novel ini
ditunjukkan juga bahwa pekerjaan dalam sektor domestik bukan
merupakan kodrat yang harus diterima perempuan dengan memasukkan
tokoh ibu Dita yang selalu bekerja mencari nafkah sedangkan suaminya
hanya bermalas-malasan di rumah di awal cerita PBS.
‖Tetapi ibunya Dita juga pergi ke kantor, pak guru, dan tidak
pernah ke pasar.‖
―Oya? Siapa itu Dita?‖
―Tetangga saya, pak.‖
22 Lusi Margiyani dalam Muhammad Hidayat Rahz, Perempuan dengan Bebaskan Tumbuh dalam Perempuan yang menuntun, (Ashoka Indonesia, 2000) h. 91
94
―Baik.. baik.. jad anak-anak, memang ada seorang ibu yang juga
pergi ke kantor, mungkin karena suaminya sudah meninggal
sehingga si ibu harus mencari nafkah sendiri untuk....‖
―Tetapi ayahnya Dita belum meninggal, pak. Ayahnya Dita
memiliki banyak burung dan setiap burungnya diberi makan
burung dan mengajarinya kalimat... rezeki nomplok, rezeki
nomplok, rezeki nomplok.‖ (PBS. h. 25—25)
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa bukan hanya laki-laki saja
yang bisa mencari nafkah di luar sana, tetapi di perempuan juga bisa
melakukannya. Dengan memunculkan cerita ibu Dita yang membanting
tulang untuk mencari nafkah sedangkan ayahnya hanya asik-asikan di
rumah dengan burung-burung peliharaannya. Sindiran yang dilakukan
untuk menunjukkan bahwa beban kerja yang dialami perempuan kian
bertambah ketika suami yang seharusnya mencari nafkan malah
bersantai-santai di rumah, dan menganggap semua burung-burung yang
dipeliharanya itu yang mendatangkan rezeki.
Pandangan lain tentang berban kerja oleh perempuan ditunjukkan
ketika tokoh Annisa menikah dengan Khudori. Annisa tidak menanggung
beban kerja rumah tangga sendiri. Sebelum ia mempunyai pembantu
rumah tangga, Khudhori selalu membantunya dalam mengerjakan
pekerjaan rumah. ―Nisa... Nisa... eh, tak kulihat suamimu sejak tadi, apa
ia sedang pergi? Sedang nyuci popok di belakang, sebentar lagi juga
selesai. Maklum PRT-nya belum dapat juga, Mbak. Mungkin besok
didatangkan dari kampung, ibu yang carikan..‖ (PBS. h. 230) Pada kutipan
tersebut terlihat beban rumah tangga tidak ditanggung oleh Annisa
sendiri, tetapi terkadang dibantu juga oleh suaminya dan itu semua
mereka lakukan bersama sebelum datangnya pembantu rumah tangga.
Karena setelah adanya pembantu rumah tangga pekerjaan Annisa lebih
ringan lagi.
Dua tahun kemudian dalam novelnya GJ, terlihat perbedaan yang
terjadi dalam penceritaan beban kerja untuk perempuan. Dalam GJ
95
tokoh-tokoh perempuannya tidak diberikan beban kerja yang menumpuk
seperti yang terjadi pada tokoh-tokoh perempuan dalam PBS, karena di
sini diceritakan bahwa keluarga Kejora adalah keluarga yang kaya raya,
dan mereka mampu mempekerjakan tiga pembantu untuk satu rumah.
―Kini Wak Girun, dan Wak Tiwar dua dari enam pembantu kami, telah
siap dengan lawakannya sebelum mempertontonkan kobolehannya untuk
menari zapin.‖ (GJ. h. 86)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan dalam GJ, Abidah tidak
menyinggung masalah beban kerja terhadap perempuan. Tidak
semestinya semua beban kerja di di terima oleh pihak perempuan.
Apalagi jika perempuanlah yang menjadi tulang punggung keluarga,
maka beban kerja itu akan semakin menumpuk dan membebani.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa ada perbedaan pengangkatan
masalah beban kerja pada perempuan dalam PBS dan GJ. Dalam PBS,
Abidah menceritakan bahwa tokoh utama dan tokoh-tokoh perempuan
yang ada di PBS ini diberikan beban kerja yang amat banyak. Seluruh
pekerjaan rumah tangga harus dikerjakan oleh perempuan tanpa adanya
campur tangan laki-laki. Ini dikarenakan faktor lingkungan dan kebiasaan
mereka yang memang patuh pada budaya patriarki. Tetapi melalui tokoh
Khudhori yang akhirnya menjadi suami Annisa. Pandangan tersebut
mulai ditepiskan. Sebagai suami Annisa Khudhori tidak segan segan
untuk membantu istrinya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Berbeda dengan GJ, dalam GJ, tokoh perempuan tidak diberikan beban
kerja. Ini sesuai dengan kultur patriaki, sosok ayah dalam GJ
digambarkan sebagai orang yang hebat, kaya, berkuasa, berwibawa, dan
menguasai ilmu agama. Jadi dalam ceritanya tidak ada penggambaran
beban kerja terhadap perempuan.
Dari paparan mengenai ketidakadilan gender terhadap perempuan
yang meliputi marginalisasi, subordinasi, stereotip, violence, dan beban
96
kerja dalam PBS dan GJ, dapat disimpulkan bahwa ketidakadilan gender
yang selalu dibahas dan muncul dalam kedua novel tersebut meliputi,
diskriminasi terhadap perempuan, praktik poligami yang dilakukan laki-
laki, dan pelecehan seksual. Penulis dapat menyimpulkan bahwa
pengarang tetap konsisten membahas diskriminasi terhadap perempuan,
praktik poligami yang dilakukan laki-laki, dan pelecehan seksual dan
itulah isu ketidakadilan gender yang ingin dipertahankan oleh pengarang.
Perempuan masih dikurung secara normatif sebagai penunggu
rumah, pengasuh anak, dan ’thengak-thenguk’ di depan tungku api.
Bergelut dengan suara riuh dan sumpah serapah di tengah pasar , di
jalan dan kantor. Realitas demikian memperlihatkan bahwa hasil
keringat dan darah perempuan bukan mereupakan milik mereka
sepenuhnya. Hak-hak reproduksi perempuan, keselamatan dan
kebahagiaan dalam menjalani kehidupan, masih saja dicuri dan
diselewengkan oleh kaum partriarki dan oleh berbagai alasan yang
diambil dari ayat-ayat suci, kitab-kitab keagamaan, dan fatwa para
Kiai.‖23 Kutipan di atas menjelaskan mengapa dalam novelnya Abidah
mengangkat tema Ketidakadilan gender terhadap perempuan yang
didasarkan nilai-nilai partriarki yang melekat dan penyalahartian ayat-
ayat suci seperti pada surat An-Nisa ayat 3 yang menyatakan laki-laki
dapat menikahi empat perempuan dengan berbagai syarat:
Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi masing-masing
dua, tiga, atau empat—kemudian jika kalian takut tidak akan
berlaku adil, kawinilah seorang saja—atau kawinilah budak-budak
yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada
tindakan pada tidak berbuat aniaya. (QS, An-Nisa; 3) Sebelumnya sudah menjadi hal biasa jika seorang pria Arab
mempunyai istri banyak tanpa ada batasan. Dengan diturunkannya
ayat ini, seorang muslim dibatasi hanya boleh beristri maksimal
empat orang saja, tidak boleh lebih dari itu.24 Dari kutipan di atas, dapatlah dipahami turunnya ayat itu karena
untuk memberi batasan menikah terhadap laki-laki tetapi untuk
23 AD. Eridani, Perawan Kumpulan Fiksi Pembela Perempuan, (Jakarta: Rahima, 2009), h.
7. 24 Wiyatmi, op.cit. h. 157-158.
97
melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan laki-laki yang terjadi
dahulu. Karena dijelaskan dalam ayat tersebut, bahwa jika seseorang
hendak melakukan poligami, dia harus bisa berlaku adil pada setiap
istrinya, namun pada dasarnya seadil-adilnya pernikahan adalah
pernikahan yang monogami. Hal ini yang kemudian diangkat oleh
Abidah dalam novelnya PBS.
D. Impikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah
Pendidikan merupakan salah satu faktor kemajuan bangsa. Bangsa bisa
maju karena didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
Maka dari itu diperlukan upaya untuk menciptakan dan mengembangkan
pendidikan guna menciptakan generasi bangsa yang berkualitas. Pendidikan
berkualitas dapat dilihat dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang
dimiliki oleh setiap individu. Sebagai bentuk kepedulian terhadap pendidikan,
terlihat upaya pemerintah dalam mengembangkan pendidikan. Pemerintah
telah melakukan berbagai usaha dengan melakukan beberapa perubahan
untuk kemajuan pendidikan, khususnya perubahan dalam kurikulum.
Perubahan kurikulum ini bertujuan untuk menjadikan pendidikan semakin
berkembang sesuai zamannya. Sebagai proses kemanusiaan manusia
pendidikan menjadi esensi untuk memberdayakan manusia sebagai individu
yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tonggak kokohnya
peradaban bangsa.
Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran bahasa dan sastra
indonesia bidang sastra adalah: 1) Peserta didik mampu menikmati dan
memanfaatkan karya sastra untuk memanfaatkan karya sastra untuk
mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan serta meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa. 2) Peserta didik menghargai dan
mengembangkan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya intelektual
98
manusia Indonesia. Tujuan itu dijabarkan ke dalam kompetensi
mendengarkan, berbicara, dan menulis sastra. 25
Sesuai dengan tujuan pembelajaran di atas, telihat bahwa peserta didik
haruslah mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk
memperluas wawasan. Tujuan ini berhubungan dengan pembentukan dan
pengembangan karakter peserta didik yang sejalan dengan sistem
pembelajaran di Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai upaya pembentukan
karakter peserta didik, diperlukan campur tangan dari berbagai pihak,
terutama pendidik. Pendidik diharapkan mampu mendidik, memberi arahan,
membimbing, dan mendukung peserta didik agar menjadi kepribadian yang
baik.
Pembentukan kepribadian ini dapat dilakukan dengan memberikan
pembelajaran kepada peserta didik. Pendidik dapat memberikan pembelajaran
dengan memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu,
pembentukan karakter juga dapat dilakukan dengan pengenalan saatra kepada
peserta didik. Dengan mengajarkan sastra pada peserta didik, diharapkan
peserta didik mampu menyerap nilai-nilai positif yang terkandung dalam
karya sastra tersebut. Tetapi pendidik haruslah cermat dalam menentukan
karya sastra mana yang bisa dijadikan pembelajaran di sekolah, karena setiap
bacaan yang dibaca dapat mempengaruhi perkembangan setiap individu yang
membacanya. Oleh karena itu, pendidik harus pandai dalam memilah dan
memilih bacaan mana yang tepat dan mengandung nilai-nilai positif untuk
diberikan pada peserta didiknya. Salah satu karya yang cocok dan dapat
dijadikan referensi dalam pembelajaran sastra adalah karya dari Abidah El-
Khalieqy. Ia merupakan sastrawan yang dalam setiap karyanya mengandung
nilai-nilai religi, moral, sosial dan budaya. Contoh karya Abidah yang dapat
menjadi rujukan untuk pembelajaran sastra di sekolah adalah novel PBS dan
GJ.
25 Siswanto, op.cit. h. 171
99
Dalam pembelajaran ini, standar kompetensi yang harus dikuasai oleh
peserta didik adalah dapat mengidentifikasi unsur intrinsik novel seperti tema,
alur, tokoh dan penokohan, sudut pandang, dan latar, dan juga unsur
ekstrinsik yang meliputi latar belakan tentang pembuatan karya tersebut.
Dalam novel PBS dan GJ, pendidik dapat memberikan rujukan kepada
peserta didik untuk membacanya, kemudian menemukan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, serta mengetahui apa latar belakang penulis
membuat novel tersebut. Maka dengan demikian, peserta didik dapat
mengambil manfaat dan contoh yang baik dari berbagai peristiwa dan
karakter yang ada pada novel tersebut.
Nilai positif dapat dilihat dari penggambaran tokoh utama dalam PBS
yang mempunyai rasa ingintahu yang tinggi, ia ilmu pengetahuan yang
menjadikannya pandai dan cerdas. Selain itu ia juga mempunyai tekat yang
kuat dan pantang menyerah dalam menghadapi masalah yang
menyudutkannya. Selain itu nilai positif juga dapat diambil dari tokoh
Khudhori yang mempunyai sifat bijaksana, tenang dalam menghadapi suatu
permasalahan dan berpikiran positif. Apabila kita melihat sikap dari tokoh
Samsudin yang pemalas, kasar dan suka memfitnah ini, siswa dapat
mengetahui bahwa itu merupakan sifat yang negatif yang jangan sampai
ditiru oleh siswa.
Nilai positif dalam GJ juga bisa kita ambil dari tokoh Kejora yang
memiliki kecerdasan tinggi dan memiliki jiwa kepemimpinan. Ini dapat
dijadikan sebagai contoh untuk siswa agar karaktenya dapat terbentuk dengan
sifat-sifat pisitif.
Dengan mengetahui sikap-sikap dari beberapa tokoh dalam novel PBS
dan GJ ini diharapkan peserta didik mampu mengembangkan karakter yang
ada di dirinya dan mampu menyerap nilai-nilai positif yang ada. Pada
dasarnya pembelajaran pembacaan novel ini diharapkan dapat membantu
siswa dalam membentuk karakternya menjadi lebih baik.
99
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam novel
Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora karya Abidah El Khalieqy,
dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Sruktur yang membangun novel Perempuan Berkalung Sorban meliputi
tema yang diangkat dari perjuangan seorang perempuan untuk
memperoleh hak dan kebebasan dari budaya patriarki. Alur yang
digunakan adalah alur maju dengan tokoh utama Annisa. Selain tokoh
utama Annisa, tokoh-tokoh tambahan yang ada pada novel ini adalah,
Khudhori, Samsudin, ayah Annisa, ibu Annisa, Rizal, dan Wildan. Latar
tempat yang terdapat dalam novel ini yaitu bertempat di daerah Jawa,
sedangkan latar waktu terjadinya peristiwa cerita dalam novel adalah pada
tahun 1980-an. Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen ini adalah
sudut pandang orang pertama, tokoh utama. Selanjutnya ialah struktur
yang membangun bovel Geni Jora. Tema yang diangkat dalam novel ini
adalah tentang gugatan yang menuntut perlakuan yang adil terhadap kaum
perempuan dengan tokoh utama Kejora. Tokoh tambahan yang
mendukung novel ini adalah, Zakky, Elya, Asaav,Lola, Sonya dan Nenek.
Alur yang digunakan pengarang adalah alur maju dengan memunculkan
peristiwa batin di dalamnya. Latar tempat yang dipakai dalam novel ini
adalah daerah-daerah negara Timur tengah seperti Damaskus, Tangier,
dan Cassablanca, selain di negara Timur Tengah, Geni Jora juga
mengambil latar tempat di indonesia, yaitu Yogyakarta. Latar waktu pada
novel Geni Jora tidak diketahui kapan tepatnya terjadi, hanya
menunjukkan malam, siang, sore dan pagi hari saja. Dalam novel ini
sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang orang pertama tokoh
utama.
99
100
2. Ketidakadilan Gender yang terjadi pada perempuan dalam novel
Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora dikelompokan menjadi lima
aspek. 1) Marginalisasi terhadap perempuan. Diskriminasi pada
perempuan sangat terlihat pada kedua novel ini. 2) Subordinasi terhadap
perempuan. Dalam hal ini, terlihat perbedaan penyampaian subordinasi
pada kedua novel ini. Ini terlihat dari tokoh-tokoh perempuan dalam
Perempuan Berkalung Sorban yang tidak berpendidikan tinggi,
sedangkan dalam Geni Jora tidak terlihat sama sekali pandangan bahwa
perempuan tidak perlu sekolah terlalu tinggi karena semua tokoh
perempuan dalam Geni Jora digambarkan berpendidikan dan pintar. 3)
Stereotip terhadap perempuan. Dalam hal ini Abidah mengangkat
pandangan yang biasanya didapatkan oleh perempuan yaitu perempuan
sebagai makhluk penggoda. 4) Violence (kekerasan) yang terjadi pada
perempuan. Dalam hal ini pengarang mencoba untuk mengungkap
kekerasan yang sering terjadi pada perempuan. Terdapat perbedaan
pandangan mengenai kekerasan yang ditunjukkan pengarang pada
Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora. Dalam Geni Jora Abidah
tidak mengangkat masalah kekerasan fisik seperti yang terjadi dalam
Perempuan Berkalung Sorban. Namun, dalam Geni Jora diceritakan pula
pelecehan seksual yang dialami tokoh utama. 5) Beban kerja terhadap
perempuan. Beban kerja yang harus diterima oleh perempuan dalam
Perempuan Berkalung Sorban tokoh-tokoh wanitanya dibebankan dengan
pekerjaan di sektor domestik sedangkan pada Geni Jora tokoh
perempuannya tidak dibebankan dengan beban kerja.
3. Ketidakadilan Gender yang terjadi pada perempuan dalam novel
Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora dapat diimplikasikan pada
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XII,
dalam aspek membaca. Dalam pembelajaran ini, standar kompetensi yang
harus dikuasai adalah memahami isi novel dengan kriteria dasar mampu
mengidentifikasi tema, alur, penokohan, latar dan sudut pandang serta
menemukan unsur ekstrinsik dalam novel yang telah dibaca.
101
Pembelajaran Sastra melalui pembacaan novel, ini diharapkan dapat
membantu siswa dalam menemukan hal-hal yang positif dalam dua karya
ini. Hal-hal positif yang terkandung dalam kedua novel ini dapat
membantu membentuk karakter siswa. Hal-hal positif yang terdapat pada
kedua novel ini adalah sifat tegas yang ditunjukkan oleh tokoh Ayah
dalam mendidik anak-anaknya, serta dalam tokoh Annisa yang tegas
dalam menghadapi Samsudin. Selain tegas ada juga cerdas dan
berwawasan luas, ini ditunjukkan oleh Annisa, dan Kejora yang memiliki
kecerdasan dan kritis dalam menanggapi kejadian-kejadian yang terjadi di
sekitarnya, dan menghadapi kenyataan hidup dengan penuh harapan.
B. Saran
Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan, ada beberapa saran yang
diajukan penulis:
1. Diharapkan Guru dan mahasiswa program sastra hendaknya dapat
memaksimalkan penggunaan bahan pembelajaran sastra. Novel
Perempuan Berkalung Sorban dan novel Geni Jora dapat dijadikan
pembelajaran sastra di sekolah. Oleh karena itu, diharapkan pendidik dapat
memanfaatkan karya sastra ini sebagai media pembelajaran di sekolah.
2. Pembaca karya sastra sebaiknya mengambil nilai-nilai positif dalam karya
sastra yang telah dibacanya dalam kehidupan di masyarakat. Perempuan
Berkalung Sorban dan Geni Jora merupakan novel yang mengandung
nilai-nilai positif dan tidak ada salahnya untuk membaca novel tersebut.
Daftar Pustaka
Abrams, M.H. A Glosaary Litertaty Terms. New York: Holt, Rinehart and
Winston. 1981.
Aminuddin. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo. 2002.
Al-Quranul Karim dan Terjemahannya. Jakarta: PT. Syaamil Cipta Media. 2005.
Astuti Renggo, Wahyuningsih, Taryati. Pengetahuan Sikap, Kepercayaan, dan
Perilaku Generasi Muda Terhadap Budaya Tradisional di Kota
Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1998.
AD, Eridani. Perawan: Kumpulan Fiksi Pembela Perempuan. Jakarta: Rahima.
2009
Edriana Noerdin, Potret Kemiskinan Perempuan. Jakarta: Women Research
Institute. 2006.
Emzir. Metode Penelitian Pendidikan Kuantitaf dan Kualitatif. Jakarta: PT Raja
Trafindo Persada. 2008.
Fayumi, Badriyah dkk. Keadilan dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam). Tim
Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI. 2001.
Graddol David dan Joan Swann. Gender Voice: Telaah Kritis Relasi Bahasa
Gender. Pedati. 2003.
Ikram, Achadiati, dkk. Sejarah Kebudayaan Indonesia Bahasa, Sastra, dan
Aksara. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Iskandarwassid, dan Dadang Suhendar. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung:
Remaja Rosdakarya. 2008.
102
103
Kamilah, Siti Rizkia. Skripsi, Analisis Isi Pesan Dakwah Pada Novel Perempuan
Berkalung Sorban. Jakarta.2010.
Khalieqy Abidah El. Geni Jora. Bandung: Qanita. 2009.
Khalieqy Abidah El. Mikraj Odyssey. Bandung: Qanita. 2008
Khalieqy Abidah El. Perempuan Berkalung Sorban. Yogyakarya: Araska. 2009
Kosasih. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya. 2012.
Mala, Asnal. Perspektif Gender dalam Pendidikan Pesantren,
https://groups.yahoo.com/neo/groups/IslamProgresif/conversations/topics
/370 diunduh pada 27 Maret 2014, pukul 15.45 WIB.
Margiyani, Lusi dalam Muhammad Hidayat Rahz, Perempuan dengan Bebaskan
Tumbuh dalam Perempuan yang Menuntun, Ashoka Indonesia. 2000.
Moeleong, lexy. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rusdakarya.
2001.
Mosse Cleves Julia. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset. 2007.
Murai Yusuko, Kathleen Martinez, dan Meriem Boulekbod, Pandangan Kaum
Muda Perubahan Kebudayaan di Maroko
http://www.commongroundnews.org/article.php?id=20170&lan=ba&sp=
0 , diunduh 13 Maret 2014 pukul 20.05 WIB.
Ninik Rahayu, Penghapusan Undang-Undang No. 23 tahun 2004. Tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/653-undang-undang-
no-23-tahun-2004-tentang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-
uu-pkdrt.html. diunduh 10 januari 2014 pukul 07. 50 WIB.
104
Noerdin, Edriana dkk. Potret Kemiskinan Perempuan. Jakarta: Women Research
Institute. 2006.
Nugroho, Riant. Gender dan Strategi Pengarus Utamanya di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Press.
2000.
Nurhayati, Eti. Psikologi Sastra dalam Berbagai Perspektif. Jakarta: Pustaka
Pelajar. 2012.
Nurkhoiron, M. Jilbab, Komodifikasi, dan Pergulatan Identitas Islam. Depok:
Srinthil Kajian Multikultural Desantara. 2009.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama. 2008.
Purwo, Bambang Kaswanti. Bulir-bulir Sstra dan Bahasa Pembahasan
Pembelajaran. Yogyakarta: Kanisius. 1991.
Rahmanto. B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 2000.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2007.
Rusyana, Yus. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang. 1982.
Saldi, Saparinah. Berbeda tetapi Setara. Jakarta: Kompas. 2010
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008.
Sudjiman, Panuti Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. 1998.
105
Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toety Heraty.
Bandung: Nuansa. 2000.
Tarigan, Henry, Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa, 1993.
Tuloli, Nani. Teori Fiksi. Gorontalo: BMT Nurul Jannah. 2000.
Waluyo, Herman. Apresiasi dan pengajaran sastra. Suarkarta: Sebelas Maret
University Press. 2002.
Wellek Rene dan Austin Weren . Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. 1993.
Wiyatmi. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia.
Yogyakarta: Ombak. 2012.
Lampiran 1
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
MATA PELAJARAN : Bahasa dan Sastra Indonesia
KELAS/ SEMESTER : XII (dua belas) / I (satu)
PROGRAM : Umum
ALOKASI WAKTU : 4 x 45 menit
ASPEK : Mendengarkan
A. STANDAR KOMPETENSI
Memahami pembacaan novel
B. KOMPETENSI DASAR
Menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel
C. INDIKATOR PEMBELJARAN
Indikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya dan
Karakter Bangsa
Kewirausahaan/
Ekonomi Kreatif
Siswa mampu mendengarkan
pembacaan penggalan novel
dengan baik.
Siswa mampu menceritakan
kembali penggalan novel yang
diceritakan.
Siswa mampu menentukan unsur-
unsur intrinsik pada penggalan
novel yang telah dibacakan.
Siswa mampu mengidentifikasi
Aktif
Komunikatif
Kreatif
Mandiri
Kepemimpinan
Lampiran 1
D. STRATEGI PEMBELAJARAN E. KEGIATAN PEMBELAJARAN
Tahap Kegiatan Pembelajaran Alokasi
Waktu
Nilai Budaya
dan Karakter
Bangsa
Pembuka
(Apresiasi)
Apresiasi berupa absen dan motivasi
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran
secara komunikatif
Guru dan siswa bertanya jawab tentang
penokohan, latar dan juga alur
Guru dan siswa bertanya jawab
20 menit Aktif
Komunikati
f
unsur-unsur intrinsik pada
penggalan novel yang telah
dibacakan.
Materi Pokok Pembelajaran Penggalan novel yang dibacakan
Penokohan dalam novel
Latar dalam novel
Alur dalam novel
Cara mengidentifikasi tema, penokohan,
latar dan alur dalam novel
Tatap Muka Terstruktur Mandiri
Memahami pembacaan
penggalan novel
Mengidentifikasi alur,
penokohan, dan latar
dalam penggalan novel
yang dibacakan
Siswa mampu
berdiskusi mengenai
alur, penokohan, dan
latar novel yang sudah
diidentifikasi
Lampiran 1
mengenai cara mengidentifikasi
penokohan, latar, dan alur dalam novel
Inti a. Eksplorasi
Siswa mendengarkan pembacaan
penggalan novel melalui rekaman/
siswa lain
Siswa secara mandiri mengidentifikasi
penokohan novel
Siswa secara mandiri mengidentifikasi
latar novel
Siswa secara mandiri mengidentifikasi
alur novel
b. Elaborasi
Siswa mendiskusikan alur,
penokohan, latar penggalan novel
yang sudah dibacakan
Siswa saling memberi masukan
kekurangan hasil identifikasinya
Siswa mempresentasikan hasil
identifikasi alur, penokohan, dan latar
novel yang sudah diperbaiki
c. Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, siswa:
Menyimpulkan tentang hal-hal yang
belum diketahui
Menjelaskan tentang hal-hal yang
belum diketahui
150 menit Mandiri
Kreatif
Penutup Siswa diminta menjelaskan 10 menit Komunikatif
Lampiran 1
(internalisasi
dan persepsi)
kesulitannya dalam menyimak
pembacaan novel
Siswa diminta mengungkapkan
pengalamannya dalam
mengidentifikasi alur, penokohan dan
latar dalam novel.
Siswa mengungkapkan permasalahan
di masyarakan yang sesuai dengan
permasalahan dalam novel
Siswa mengerjakan uji kompetensi
dan menjawab kuis uji teori
F. METODE DAN SUMBER BELAJAR Sumber Belajar V Pustaka rujukan Engkos Kosasih. Cerdas Berbahasa
Indonesia untuk SMA/MA Kelas
XII. Jakarta Halaman13-15.
Burhan Nurgiyantoro. 2005. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakrta:
Gajah Mada University Press,
Halaman 23.
V Media cetak dan
elektronik
Artikel atau siaran pembahasan novel
Geni Jora
V Website internet Artikel pembahasan novel Geni Jora
V Lingkungan Kejadian di masyarakat yang sesuai
dengan penokohan alur dan latar novel
Metode V Presentasi
V Diskusi Kelompok
Lampiran 1
V Inquri dan
pemeragaan model
PENILAIAN
Mengetahui, Jakarta, 21 April 2014
Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran,
————————————– ——————————
NIP NIP
TEKNIK DAN
BENTUK
V Tes Lisan
V Tes Tertulis
V Observasi Kinerja/Demontrasi
V Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas, projek, portofolio
V Pengukuran Sikap
INSTRUMEN /SOAL
Daftar pertanyaan lisan tentang pengertian dan perbedaan novel Indonesia & terjemahan
Tugas/perintah untuk melakukan diskusi, presentasi, pemberian tanggapan
Daftar pertanyaan uji kompetensi dan kuis uji teori untuk mengukur tingkat pemahaman
siswa terhadap teori dan konsep yang sudah dipelajari
Lampiran 2
Uraian Materi
Mengidentifikasi alur, latar, dan penokohan dalam penggalan novel yang
dibacakan.
1. Alur
Alur adalah jalan cerita yang berupa peristiwa-peristiwa yang disusun satu
per satu dan saling berkaitan menurut hokum sebab akibat dari awal
sampai akhir cerita. Alur dapat juga disebut sebagai rangkaian kejadian
atau susunan peristiwa yang membentuk sebuah cerita. Alur meliputi
beberapa tahapan, yaitu:
a. Tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi pelukisan pengenalan
situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap
pembuka cerita, pemberian informasi awal yang berfungsi
melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
b. Tahap pemunculan konflik. Masalah-masalh dan peristiwa-peristiwa
yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan.
c. Tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap
sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar
intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita
semakin mencekam dan menegangkan.
d. Tahap klimaks, konflik ata pertentangan-pertentangan yang terjadi,
yang diakui dan ditimpakankepada para tokoh cerita mencapai titik
intensitas puncak.
e. Tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi
penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain , sub-
sun konflik atau konflik tambahan, jika ada juga diberi jalan keluar dan
cerita diakhiri.
2. Latar
Latar dapat diartikan sebagai waktu dan tempat terjadinya peristiwa di
dalam sebuah karya sastra. Latar perlu digambarkan sebelum cerita
Lampiran 2
digubah dan watak tokoh dibangun dan dikembangkan. Oleh karena itu
maka terdapat beberapa jenis latar, diantaranya:
a. Latar tempat, yaitu gambaran tentang di mana peristiwa atau cerita
dalam fiksi terjadi. Gambaran latar tempat itu ada yang sangat luas
ada pula yang sangat sempit. Tempat itu nisa berdiri atas Negara, kota,
kmpung atau desa, pelosok, pantai, hutan, rumah, kapal laut, mobel,
kereta.
b. Latar waktu, merupakan unsur yang menggambarkan kapan masa
dalam fiksi terjadi. Faktor waktu ini ada hubungannya dengan tempat,
gambbaran suatu tempat pada waktu yang berlaku setiap hari, yaitu
malam, siang, tengah hari, sore, dan lain sebagainya.
c. Ltar social, berhubungan dengan prilaku kehidupan social masyarakat
di suatu tempat. Kehidupan social sangat banyak aspek yang
terkandung di dalamnya, seperti agama, kebiasaan, adat istiadat,
padangan hidup, cara berpikir, emosi, status, kedudukan social,
pendidikan dan ekonomi.
3. Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan pemeran dalam suatu karya sedangkan penokohan
merupakan sifat yang diberikan pada setiap tokoh. Berikut di bawah ini
merupakan teknik-teknik yang dilakukan oleh pengarang untuk
menggambarkan dan mengembangkan watak para tokoh diantaranya
sebagai berikut:
a. Menggambarkan secara langsung atau metode analitik
b. Metode kontekstual, pengarang menggambarkan melalui konteks
bahasa dan wacana
c. Metode aliran kesadaran, yang diutamakan bukan aspek dari luar fisik
tokoh, tetapi aspek dalam batin dan pikirannya
d. Melalui tingkah laku tokoh
e. Melalui tokoh dan tokoh lain
f. Melalui latar kehidupan tokoh lain
g. Melalui gambaran fisik tokoh
Profil Penulis
Ila Nurlaila, lahir di Pandeglang, pada 02 Juni
1991 ini biasa disapa Ila. Ia adalah anak kedua dari
dua bersaudara. Ia menuntaskan pendidikan dasar di
SD Negeri 2 Pandeglang, kemudian melanjutkan
pendidikannya di SMP Negeri 1 Pandeglang. Setelah
itu, ia melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 1
Pandeglang. Setelah lulus SMA pada tahun 2009, ia
memilih melanjutkan pendidikannya di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
dengan pilihan jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Penulis sangat menyukai seni, khususnya dalam seni peran. Itulah yang
menjadi alasan mengapa ia masuk menjadi anggota UKM Teater Syahid. Ia
tercatat pernah menjadi sutradara pementasan drama Buku Wajah karya Irina
Widia Ningsih (2012) dan juga pernah menjadi pengajar di Binus International
School.