62

Pemetaan Wilayah Rawan Ketidakadilan Gender Kota Dan Sleman

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pemetaan wilayah

Citation preview

  • i

    KATA PENGANTAR

    Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penyusunan dan penulisan Pemetaan Daerah Rawan Ketidakadilan Gender Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Ekonomi di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta Tahun 2010 telah dapat dilaksanakan dengan baik. Pemetaan ini merupakan lanjutan pemetaan pada tahun 2009 yang telah memetakan Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunung Kidul. Dengan demikian lima Kabupaten/Kota di Provinsi DIY secara keseluruhan sudah terpetakan sampai tahun ini.

    Sebagai salah satu produk Sistem Informasi yang dikembangkan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Provinsi DIY, hasil pemetaan ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pembaca mengenai kondisi dan situasi Ketidakadilan gender yang dilihat dari tiga aspek dan diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait dalam menyusun kebijakan program pembangunan.

    Terwujudnya Pemetaan Daerah Rawan Ketidakadilan Gender Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Ekonomi di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta ini berdasarkan data-data primer maupun sekunder yang dihimpun dari instansi terkait di Provinsi DIY, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Untuk itu kami sampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi tingginya kepada semua pihak yang telah membantu pemetaan ini.

    Kami menyadari buku Pemetaan ini masih banyak kekurangan, untuk itu saran dan perbaikan buku ini dimasa datang sangat diharapkan.

    Yogyakarta, November 2010

    Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Provinsi DIY

    Dra. Siti Munawaroh, Apt, M. Kes NIP. 19540807 198103 2 004

    ii

    DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . DAFTAR ISI . DAFTAR TABEL . DAFTAR GAMBAR BAB I PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang Masalah. 1.2. Permasalahan.. 1.3. Maksud dan Tujuan. 1.4. Sasaran. 1.5. Studi Pustaka............................................................................... 1.6. Metode Pemetaan 1.7. Hasil .. 1.8. Batasan Operasional BAB II KONDISI WILAYAH PROVINSI DIY 2.1. Kabupaten Sleman

    2.1.1. Penduduk . 2.1.2. Pendidikan 2.1.3. Kesehatan. 2.1.4. Ekonomi

    2.2. Kota Yogyakarta. 2.2.1. Kondisi Penduduk .. 2.2.2. Pendidikan.. 2.2.3. Kesehatan. 2.2.4. Ekonomi

    i ii v x

    1 1 5 6 7 7

    11 12 13

    15 13 17 19 21 25 27 29 31 33 35

  • iii

    BAB III PEMETAAN DAERAH RAWAN KETIDAKADILAN GENDER

    BIDANG PENDIDIKAN, KESEHATAN, DAN EKONOMI DI KABUPATEN SLEMAN DAN KOTA YOGYAKARTA..

    3.1. Kabupaten Sleman 3.1.1. Deskripsi Bidang Pendidikan

    3.1.1.1. Angka Melek Huruf.. 3.1.1.2. Angka Partisipasi Kasar (APK). 3.1.1.3. Angka Partisipasi Murni. 3.1.1.4. Angka Putus Sekolah. 3.1.1.5. Angka Kelulusan. 3.1.1.6. Lama Sekolah.

    3.1.2. Deskripsi Bidang Kesehatan 3.1.2.1. Angka Harapan Hidup 3.1.2.2. Angka Kematian Ibu (AKI). 3.1.2.3. Angka Kematian Bayi (AKB). 3.1.2.4. Angka Partisipasi KB .

    3.1.3. Deskripsi Bidang Ekonomi .. 3.1.3.1. Pendapatan Regional dan Pendapatan Per Kapita 3.1.3.2. Upah Pekerja Non Pertanian 3.1.3.3. Perempuan dan Ketenagakerjaan ..

    3.2. Kota Yogyakarta. 3.2.1. Deskripsi Bidang Pendidikan

    3.2.1.1. Angka Melek Huruf. 3.2.1.2. Angka Partisipasi Kasar (APK) 3.2.1.3. Angka Partisipasi Murni (APM) 3.2.1.4. Angka Putus Sekolah

    37 38 38 38 40 43 45 46 48 49 49 52 56 65 67 67 68 69 76 76 76 78 80 83

    iv

    3.2.1.5. Angka Kelulusan 3.2.1.6. Lama Sekolah...

    3.2.2. Deskripsi Bidang Kesehatan. 3.2.2.1. Angka Harapan Hidup 3.2.2.2. Angka Kematian Ibu (AKI).. 3.2.2.3. Angka Kematian Bayi (AKB).. 3.2.2.4. Angka Partisipasi KB..

    3.2.3. Deskripsi Bidang Ekonomi. 3.2.3.1. Pendapatan Regional dan Pendapatan Per Kapita.. 3.2.3.2. Upah Pekerja Non Pertanian . 3.2.3.3. Perempuan dan Ketenagakerjaan.

    BAB IV PENUTUP.......................................................................... 4.1. Kesimpulan. 4.2. Rekomendasi.. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

    84 87 88 88 90 92 94 96 96 97 98 106 106 111 112

  • v

    DAFTAR TABEL Tabel 2.1.Jumlah Penduduk dirinci berdasarkan Kecamatan dan Jenis Kelamin . Tabel 2.2. Kunjungan bayi ke Puskesemas Tabel 2.2. Batas Wilayah administratif Kota Yogyakarta. Tabel 2.4. Indikator iklim di Kota Yogyakarta.................................. Tabel 2.5. Bentuk, fungsi dan luas penggunaan lahan di Kota Yogyakarta.. Tabel 2.6. Jumlah Penduduk di setiap kecamatan di Kota Yogyakarta. Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Buta Huruf Menurut Gender dan

    Kecamatan di Kabupaten Sleman Tahun 2009 Tabel.3.2 Angka Partisipasi Kasar Menurut Jenjang Pendidikan dan Gender di Kabupaten Sleman Tahun 2008-2009 Tabel 3.3 Angka Partisipasi Kasar Menurut Gender, Jenjang Pendidikan dan Kecamatan di Kabupaten Sleman Tahun 2009. Tabel 3.4 Angka Partisipasi Murni Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Sleman Tahun 2008-2009.. Tabel 3.5 Angka Putus Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sleman Tahun 2008-2009.. Tabel 3.6 Jumlah Siswa Mengulang Menurut Jenjang Pendidikan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sleman Tahun 2008-2009..

    18 22 27 28 29 30 39 41 42 44 46 47

    vi

    Tabel 3.7 Rata-rata Lama Sekolah Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Sleman Tahun 2004-2008 Tabel.3.8 Indeks Pemberdayaan Manusia Kabupaten Sleman Tahun 2004-2008............................................................... Tabel 3.9 Angka Harapan Hidup Kabupaten Sleman Tahun 2004-2008. Tabel 3.10 Angka Harapan Hidup Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Sleman Tahun 2004-2008. Tabel 3.11 JumlahKematian Ibu Marternal Menurut Kecamatan di Kabupaten Sleman Tahun 2009.. Tabel 3.12 Jumlah Ibu Melahirkan dan Nifas yang Ditolong Tenaga Kesehatan di Kabupaten SlemanTahun 2009 Tabel 3.13 Bayi Lahir Mati Menurut Kecamatan di Kabupaten Sleman Tahun 2009.. Tabel 3.14 Status Gizi Balita Menurut Kecamatan di Kabupaten Sleman Tahun 2009.. Tabel 3.15 Infeksi Menular Seksual di Kabupaten Sleman Tahun 2009 Tabel 3.16 Cakupan Imunisasi Bayi di Kabupaten Sleman Tahun 2009.. Tabel 3.17 Jumlah Pemakaian Alat Kontrasepsi KB Aktif Menurut Kecamatan di Kabupaten Sleman Tahun 2009. Tabel 3.18 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan di Kabupaten Sleman Tahun 2009.. Tabel 3.19 Jumlah Pencari Kerja di Kabupaten Sleman Tahun 2009.. Tabel 3.20 Jumlah TKI Menurut Jenis Kelamin dari Kabupaten Sleman Tahun 2009

    48 50 50 51 53 54 57 59 61 63 66 70 71 72

  • vii

    Tabel 3.21 Jumlah Perempuan dalam Parlemen di Kabupaten Sleman Tahun 1999-2014 Tabel 3.22 Jumlah Kepala Rumah Tangga di Kabupaten Sleman Tahun 2009. Tabel 3.23 Jumlah Perempuan dalam Profesi Pejabat Maupun Manajer di Kabupaten Sleman Tahun 2009.. Tabel 3.24 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Melek Huruf di Kota Yogyakarta Tahun 2008. Tabel 3.25 Angka Partisipasi Kasar (APK) Menurut Jenjang Pendidikan dan Jenis Kelamin di Kota Yogyakarta Tahun 2008/2009 Tabel 3.26 Angka Partisipasi Kasar (APK) Menurut Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan dan Kecamatan di Kota Yogyakarta Tahun 2008/2009 Tabel 3.27 Angka Partisipasi Murni (APM) Menurut Jenjang Pendidikan di Kota Yogyakarta Tahun 2008/2009 Tabel 3.28 Angka Partisipasi Murni (APM) Menurut Jenjang Pendidikan dan Kecamatan di Kota Yogyakarta Tahun 2008/2009. Tabel 3.29 Jumlah Siswa, Mengulang dan Putus Sekolah Menurut Kecamatan di Kota Yogyakarta Tahun 2008/2009 Tabel 3.30 Angka Lulusan Menurut Tingkat Pendidikan dan Kecamatan di Kota Yogyakarta Tahun 2008/2009. Tabel 3.31 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk di Kota Yogyakarta Tahun 2004-2008.

    73 74 75 77 78 79 81 82 84 85 87

    viii

    Tabel 3.32 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Yogyakarta Tahun 2004-2008. Tabel 3.33 Angka Harapan Hidup (AHH) Menurut Jenis Kelamin Kota YogyakartaTahun 2004-2008.. Tabel 3.34 Jumlah Kematian Ibu (AKI) Marternal Menurut Kecamatan di Kota Yogyakarta Tahun 2008.. Tabel 3.35 Kelahiran dan Kematian Bayi Menurut Kecamatan dan Puskesmas di Kota Yogyakarta Tahun 2008.. Tabel 3.36 Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS), Peserta KB, Peserta KB Baru dan KB Aktif menurut Kecamatan dan Puskesmas di Kota Yogyakarta Tahun 2008. Tabel 3.37 Jumlah Peserta KB Aktif Menurut Jenis Kontrasepsi di Kota Yogyakarta Tahun 2008 Tabel 3.38 Upah Pekerja Perempuan Non Pertanian Kota Yogyakarta Tahun 2004 2007.. Tabel 3.39 Jumlah Pencari Kerja yang Terdaftar di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2007-2009. Tabel.3.40. Jumlah TPAK sesuai sex rasio di Kota Yogyakarta......... Tabel 3.41 Jumlah Perusahaan dan Tenaga Kerja Menurut Undang-Undang No.7 Tahun 1981 di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta Tahun 2009.. Tabel 3.42 Jumlah Perempuan dalam Parlemen di Kota Yogyakarta Tahun 1999-2014. Tabel 3.43 Jumlah Penduduk berdasarkan Kepala Rumah Tangga dan Jenis Kelamin di Kota Yogyakarta Tahun 2008-2009 Tabel 3.44 Jumlah Pejabat Pemerintahan Menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan di Kota YogyakartaTahun 2009

    89 90 91 92 94 95 98 99 100 101 102 103 104

  • ix

    Tabel 3.45 Prosentase Perempuan Sebagai Pekerja Profesional di Kota Yogyakarta Tahun 2004-2008.

    105

    x

    DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1. Diagram Siswa Mengulang dan Putus Sekolah di Kota Yogyakarta..................................................... Gambar 3.2 Jumlah Pencari Kerja yang Terdaftar di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta menurut Tingkat Pendidikan.

    25 45

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang Masalah Perencanaan pembangunan yang tepat merupakan salah satu aspek penting yang menentukan keberhasilan dari program-program pembangunan. Dalam pembangunan yang berwawasan gender perencanaan tersebut harus juga memperhatikan bagaimana laki-laki maupun perempuan dapat secara adil mengakses, berpartisipasi, memberikan kontrol serta memperoleh manfaat yang sama dari proses pembangunan yang dilaksanakan. Berkaitan dengan pentingnya perencanaan pembangunan yang adil gender itulah sangat diperlukan adanya informasi dan analisis keadaan gender di wilayah sasaran guna menentukan target serta arah pembangunan yang dilaksanakan. Latar belakang itulah yang mendorong Badan Pemberdayaan Perempuan dan masyarakat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan Analisis gender melalui pemetaan wilayah ketidakadilan gender di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi, tiga bidang yang menjadi indikator dalam menilai keberhasilan pembangunan manusia.

    Secara umum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah yang telah sejak lama sadar pentingnya pelibatan laki-laki maupun perempuan dalam pembangunan. Hal ini diperkuat dengan penerapan pengarusutamaan gender pada semua sendi pembangunan di DIY. Hal tersebut tampak pada perencanaan pembangunan jangka panjang 20 tahunan, dan

    2

    penjabaran dalam perencanaan jangka menengah, maupun perencanaan jangka pendek.

    Usaha pemerintah tersebut tampak memberi hasil yang baik. Hal tampak pada indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG) di DIY yang terus meningkat. Peningkatan ini mencerminkan bahwa pembangunan telah memberikan dampak positif pada kesejahteraan masyarakat.

    Implementasi serta keseriusan pemerintah yang lain dalam pembangunan gender dibuktikan salah satunya melalui keikutsertaan aktif Pemerintah dalam berbagai konvensi internasional yang berkaitan dengan pembangunan gender dan pemberdayaan perempuan. Salah satu kesepakatan internasional yang ikut disepakati oleh Indonesia adalah Millenium Development Goals (MDGs) yang juga telah diratifikasi oleh berbagai negara berkembang meliputi : penghapusan pencapaian wajib belajar pendidikan dasar, peningkatan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan, penurunan angka kematian bayi, peningkatan kesehatan ibu, penanganan HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, dan pengembangan kemitraan untuk pembangunan berkelanjutan. Dalam urutan ke-tiga tujuan tersebut disepakati Pemerintah Indonesia akan lebih memperhatikan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan. Penyetaraan gender menjadi isue yang menarik untuk diangkat.

    Keberhasilan pembangunan pemerintah tersebut tidak berarti serta merta bisa menghapus deskriminasi gender yang selama ini diterima kaum perempuan dalam mendapatkan akses pembangunan. Masih banyak permasalahan yang terjadi baik

  • 3

    pada tingkat birokrasi pemerintah maupun pada masyarakat. Pada tingkat birokrasi permasalahan terkait dengan pelaksanaan berbagai UU dan peraturan pemerintah yang belum maksimal dalam rangka perlindungan perempuan dan peningkatan kualitas hidup perempuan. Pada tingkat masyarakat terkait dengan dukungan peningkatan kualitas hidup perempuan belum berjalan dengan baik. Peningkatan kualitas hidup perempuan patut dijadikan isu sentral pembangunan karena menyangkut kualitas hidup generasi mendatang. Hal yang berkaitan dengan pendidikan perempuan, kesehatan perempuan dan penentuan kebijakan terhadap perempuan adalah bagian yang menentukan kualitas hidup generasi mendatang. Kualitas kesehatan perempuan yang baik akan menghasilkan keturunan berkualitas baik pula. Pendidikan perempuan yang tinggi akan menghasilkan generasi yang cerdas dalam keluarga. Akses terhadap kebijakan terutama politis akan mampu mengangkat harkat perempuan ke arah yang lebih baik.

    Arah kebijakan pengarusutamaan gender ini dipilih berdasarkan kondisi empiris bahwa pendekatan pembangunan yang dilakukan selama ini, kenyataaannya belum memberikan manfaat yang setara antara laki-laki dan perempuan. Permasalahan yang tampak adalah masih relatif rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, hal ini dapat diihat dari perbandingan antara IPM, IPG dan IDG di Provinsi DIY. Data tahun 2008, menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk Provinsi DIY sebesar 74,88, sedangkan IPG pada tahun yang sama untuk Provinsi DIY sebesar 71,50, dilihat dari

    4

    deviasi antara IPM dan IPG masih terdapat perbedaan sebesar 4,51, dimana nilai IPM lebih besar dibandingkan IPG, secara deskriptif dapat dinyatakan bahwa masih terjadi ketimpangan antara laki-laki dengan perempuan dalam pembangunan. Langkah positif dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, adalah dengan memberikan perhatian yang serius terhadap pertumbuhan serta perkembangan IPG dan IDG di Provinsi DIY.

    Sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 yang menjamin bahwa seluruh warga Indonesia mempunyai kedudukan sama di depan hukum (Arumwaty, dkk, 2008) maka Isu kesetaraan dalam pembangunan menjadi sebuah keharusan untuk diperjuangkan. Salah satunya adalah bagaimana memperjuangkan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam pembangunan melalui peningkatan kualitas hidup baik laki-laki maupun perempuan.

    Sebagai langkah awal menuju pembangunan yang adil gender sangat diperlukan informasi tentang tingkat kualitas hidup laki-laki dan perempuan sebagai base line untuk menentukan kebijakan-kebijakan pembangunan dan program pemerintah selama ini. Kualitas hidup tersebut dapat diketahui dari berbagai indikator misalnya pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Langkah nyata yang perlu dilakukan untuk ketersediaan informasi tersebut adalah dengan menyusun sebuah peta yang menggambarkan permasalahan gender di wilayah provinsi Daerah istimewa yogyakarta yang dinyatakan dalam bentuk peta spasial, Keluaran dari kegiatan ini adalah sebuah matriks dari berbagai indikator dan sebarannya antara laki-laki dan perempuan.

  • 5

    Pada tahun 2010 sebagai kelanjutan dari tahun 2009 yang telah memetakan wilayah Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulonprogo, dan Kabupaten Gunung Kidul, pemetaaan tahun ini akan mendeskripsikan berbagai data yang menunjukkan seberapa jauh pembangunan telah berhasil meningkatkan kualitas hidup masyarakat baik laki-laki maupun perempuan secara setara di dua wilayah yaitu Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. 1.2. Permasalahan

    Pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi adalah usaha peningkatan kualitas hidup yang dapat diakses secara setara antara laki-laki dan perempuan. Permasalahan ketimpangan akses pembangunan antara laki-laki dan perempuan dapat memunculkan daerah rawan ketidakadilan gender. Untuk itu perlu dilakukan pemetaan daerah rawan ketidakadilan gender Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dimana di kedua wilayah tersebut permasalahan yang dihadapi adalah antara lain:

    (1) Belum tersedianya data pemetaan daerah rawan ketidakadilan gender yang mampu menunjukkan tingkat kualitas hidup manusia sebagai dasar pijakan kebijakan pembangunan gender di tingkat kecamatan.

    (2) Belum ada peta analisis yang mampu menunjukkan berbagai kelemahan dan kelebihan untuk tiap-tiap wilayah kecamatan dalam menjalankan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup manusia berbasis gender. Pendidikan, kesehatan dan ekonomi adalah usaha

    6

    peningkatan kualitas hidup tersebut yang dapat diakses setara antara laki-laki dan perempuan. Permasalahan ketimpangan akses pembangunan antara laki-laki dan perempuan dapat memunculkan daerah rawan ketidakadilan gender.

    1.3. Maksud dan Tujuan Maksud:

    Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya pengumpulan data dari sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang berhubungan dengan isu-isu gender dengan mengacu pada indikator IPM, IPG dan IDG, untuk melihat sebaran masing-masing indikator tersebut dalam lingkup kecamatan-kecamatan di Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya pada dua kabupaten/kota sasaran. Tujuan: 1. Mengetahui kedudukan dan peran perempuan dan laki-laki di

    berbagai sektor. 2. Mendiskripsikan peta relasi gender di sektor kesehatan,

    pendidikan, dan ekonomi. 3. Menyajikan data capaian pembangunan sesuai jenis kelamin

    bidang pendidikan, bidang kesehatan, dan bidang ekonomi. 4. Mengetahui berbagai permasalahan ketidakadilan gender, di

    semua bidang tersebut di atas. 5. Mengetahui analisis isu-isu prioritas untuk perencanaan,

    penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi

  • 7

    kebijakan program, dan kegiatan pembangunan daerah yang responsif gender.

    1.4. Sasaran Lokasi Kegiatan : Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta Target Group : Kecamatan di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta 1.5. Studi Pustaka

    Pembangunan Nasional yang diselenggarakan bersama harus merata di semua lapisan masyarakat dan di seluruh wilayah tanah air, di mana setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan berperan serta dan menikmati hasilnya secara adil sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan secara materiil maupun spirituil. Arah pembangunan ditujukan kepada pemerataan dan pemberantasan kemiskinan (Pospowardojo: 1989).

    Keberhasilan dan pemerataan pembangunan di segala bidang dapat diketahui dengan melihat peningkatan angka kualitas hidup manusia. Berbagai faktor bisa dilihat yaitu sektor kesehatan melalui angka harapan hidup. Semakin tinggi angka harapan hidup manusia, dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkat kesehatan masyarakat juga semakin tinggi. Sektor pendidikan dapat dilihat dari tingkat rata-rata lama sekolah dan tingkat melek huruf. Semakin lama mereka menempuh jenjang pendidikan dan semakin banyak jumlah masyarakat yang melek huruf, maka tingkat pendidikan masyarakat semakin tinggi. Sektor ekonomi bisa dilihat dari rata-rata pengeluaran riil dan angkatan kerja.

    8

    Semakin tinggi pengeluaran yang dilakukan dan semakin banyak angkatan kerja yang bekerja maka tingkat ekonomi masyarakat semakin baik.

    Pada prinsipnya, perempuan di Indonesia memiliki hak yang sama dengan laki-laki sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin seluruh warga negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum. Klausul tersebut memberi isyarat bahwa tidak ada satupun penduduk yang merasa dirinya sebagai warga negara kelas satu dan memperoleh perlakuan khusus (previlege) dibandingkan dengan yang lainnya. Peluang kesetaraan yang luas berdasarkan undang-undang dasar tersebut harus ditangkap sebagai pemicu bahwa perempuan juga mampu berperan sebagai agen solusi permasalahan. Syaratnya tentu bertumpu pada peningkatan kecerdasan, pengetahuan serta ketrampilan yang memadai (Arumwaty: 2007).

    Bidang pendidikan mempunyai peran penting dalam peningkatan kualitas hidup perempuan. Pendidikan yang baik adalah syarat utama apabila akan meningkatkan pembangunan kapabilitas manusia. Melalui pendidikan, khususnya pendidikan formal, seseorang dapat meningkatkan pengetahuannya. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin besar potensi dalam pengembangan diri untuk meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan tinggi perempuan akan bermanfaat pada pemberdayaan perempuan yang berkualitas. Perempuan yang berkualitas tersebut diharapkan akan menghasilkan anak-anak yang berkualitas pula.

  • 9

    Selain bidang pendidikan, bidang kesehatan juga mempunyai peran penting dalam peningkatan kualitas hidup perempuan. Kondisi kesehatan dan status gizi ibu merupakan elemen pokok mata rantai tercapainya kualitas SDM yang berkualitas. Perempuan secara kodrati memiliki fungsi reproduksi yang berbeda dengan laki-laki, untuk itu perempuan seharusnya memiliki hak untuk menikmati standar tertinggi dalam hal kesehatan fisik dan mental. Pemenuhan hak kesehatan terhadap perempuan seharusnya dimulai dari sejak bayi masih dalam kandungan. Pemenuhan gizi pada ibu hamil akan berdampak pada kesehatan dan kualitas bayi yang akan dilahirkan kelak.

    Secara simultan kualitas hidup perempuan akan meningkatkan kualitas hidup bangsa. Kualitas hidup ibu yang relatif rendah akan menghasilkan anak yang tumbuh kembangnya tidak sempurna. Perbaikan gizi merupakan syarat utama untuk meningkatkan kesehatan ibu hamil, menurunkan angka kematian bayi dan balita, serta meningkatkan angka tumbuh kembang anak, yang pada gilirannya akan meningkatkan harapan hidup perempuan. Peran yang dapat menunjang capaian tersebut antara lain adalah kemudahan perempuan terhadap akses pelayanan kesehatan, penanganan kesehatan dengan tenaga profesional, penyuluhan tentang pemakaian alat kontrasepsi dan berbagai upaya lain yang bertujuan meningkatkan pengetahuan perempuan tentang kesehatan.

    Bidang ekonomi adalah bagian lain yang dalam pemberdayaan perempuan masuk dalam salah satu prioritas yang harus diperhatikan. Pertumbuhan ekonomi dalam hal ini akan

    10

    berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Pada tingkat ini diperlukan usaha yang kuat untuk menghapus diskriminasi berdasar jenis kelamin dalam sektor pekerjaan formal. Kesamaan hak untuk mendapatkan pekerjaan harus didorong sebagai bagian usaha pemberdayaan perempuan dan pemenuhan hak-hak perempuan. Kualitas SDM perempuan akan berkait erat dengan permasalahan ekonomi tersebut, dan kualitas SDM perempuan akan meningkat apabila dimulai dari pendidikan yang baik dan kesehatan yang memadai.

    Berkaitan dengan masalah pemerataan pembangunan pengukuran tingkat kualitas hidup manusia harus mampu menunjukkan bahwa semua warga negara baik laki-laki dan perempuan memperoleh hak yang sama dalam mengakses pembangunan. Salah satu upaya untuk mengetahui hal tersebut adalah dengan memunculkan data terpilah antara laki-laki dan perempuan dalam membuat indeks kualitas hidup manusia. Data terpilah tersebut sangat strategis untuk membuat peta kondisi riil di masyarakat dan sangat strategis pula untuk pedoman pengambilan kebijakan pembangunan yang sensitif gender.

    Daerah rawan ketidakadilan gender adalah daerah yang mempunyai dua kriteria tingkat pembangunan yang rendah. Pertama, tingkat pembangunan pendidikan, kesehatan dan ekonomi dengan berbagai indikator yang rendah. Kedua, disparitas antara angka laki-laki dan perempuan yang tinggi. Indikator pembangunan dengan angka-angka yang rendah menunjukkan bahwa di daerah tersebut indeks kualitas hidup manusianya memang rendah. Disparitas yang besar lebih

  • 11

    mengarah pada ketimpangan indeks kualitas hidup antara laki-laki dan perempuan. Berbagai kondisi umum yang terjadi di Indonesia, disparitas tersebut ditunjukkan dengan angka indeks laki-laki lebih besar dibandingkan dengan angka perempuan. 1.6. Metode Pemetaan Pemetaan sosial (social mapping) adalah proses penggambaran masyarakat yang sistematik serta melibatkan pengumpulan data dan informasi mengenai masyarakat. Pemetaan sosial juga bisa disebut social profiling (Netting, 1993). Metode dan teknik pemetaan sosial meliputi survei formal, pemantauan cepat (rapid appraisal), dan metode partisipatoris. Salah satu metode survei formal yang dapat dilakukan adalah penggunaan laporan statistik yang sudah ada Metode pemetaan yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut.

    a. Sumber Data Sumber data pemetaan adalah data sekunder yang berupa laporan-laporan statistik dari dinas-dinas terkait berikut ini. (1) bidang pendidikan sumber data berasal dari Dinas

    Pendidikan (2) bidang kesehatan sumber data berasal dari Dinas

    Kesehatan (3) bidang ekonomi sumber data berasal dari Dinas Tenaga

    Kerja dan Transmigrasi

    12

    b. Lokasi Pemetaan Lokasi pemetaan adalah Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta, sebagai dasar pemilihan adalah purposive

    c. Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan (1) inventarisasi data sekunder laporan statisik dari Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2) Focus Group Discussion (FGD) dengan dinas instansi terkait.

    d. Analisis data Analisis yang digunakan dalam pemetaan ini adalah analisis deskriptif kualitatif dengan persentase dan deskriptif kuantitatif.

    1.7. Hasil Keluaran: 1. Tersedianya buku peta daerah rawan ketidakadilan gender

    bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi dengan paparan data sebagai berikut: a. Demografi: kelahiran, kematian, perpindahan penduduk,

    kepala keluarga, serta perempuan sebagai kepala rumah tangga.

    b. Bidang pendidikan: buta huruf, Angka Partisipasi Sekolah (APS) Angka Partisipasi Murni (APM), dan Angka Partisipasi Kasar (APK), drop out sekolah, lama sekolah, dan tingkat kelulusan SD/SLTP/SLTA.

  • 13

    c. Bidang kesehatan: usia harapan hidup, Penduduk sakit, AKI, Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Partisipasi Keluarga Berencana.

    d. Bidang ekonomi (termasuk ketenagakerjaan): pengeluaran riil perkapita, upah pekerja perempuan dalam kegaitan non pertanian, prosentase perempuan dalam angkatan kerja, tenaga kerja Indonesia, Angaktan Kerja Lokal, Angkatan Kerja Luar Negeri, dan Angkatan Kerja Dalam Daerah, serta angka peran perempuan dan laki-laki dalam politik dan pemerintahan: Anggota MPR/DPR/DPD, DPRD, PNS menurut eselon, pamong desa, pengusaha, perempuan pekerja professional.

    2. Tereksposenya hasil pemetaan daerah rawan ketidakadilan gender bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.

    1.8. Batasan Operasional

    Peta : merupakan gambaran dua dimensi dari kenampakan obyek yang ada di permukaan bumi dan atau benda angkasa, dituangkan dalam bidang datar, proyeksi tegak lurus, dicirikan dengan adanya skala, (ICA,1980)

    Pemetaan : Merupakan aktifitas untuk menggambarkan suatu obyek dengan tematik tertentu, pada bidang datar, yang diatur sesuai tata cara kartografi (Basuki Sudihardjo,1990)

    Tematik : Merupakan gambaran dari obyek yang dituangkan pada peta dua dimensi, sesuai aturan kartografi, dengan batasan khusus, atau topik khusus

    14

    Ketidak adilan : Dibatasi dalam pengertian Disparitas, ataupun kesenjangan kompetensi yang dimiliki antara laki-laki dan prempuan, khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi

    Tematik Ketidak adilan : Pemetaan yang dilaksanakan dengan topik utama dan khusus pada ketidak setaraan atau disparitas antara kompetensi laki-laki dengan perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.

  • 15

    BAB II

    KONDISI WILAYAH PEMETAAN 2.1. Kabupaten Sleman

    Merupakan wilayah dari Provinsi DIY yang terletak di bagian utara. Kabupaten Sleman memiliki luas 574,82 hektar, yang sebelah utaranya berbatasan dengan Kabupaten Magelang (Propinsi Jateng), sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten (Propinsi Jateng), sebelah selatan berbatasan dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulonprogo.

    Secara Administratif, Kabupaten Sleman terdiri dari 17 kecamatan yang terbagi menjadi 86 desa/kelurahan. Faktor geografi yang mencakup antara lain aspek keadaan alam dan sumber daya alam (SDA), dapat berpengaruh terhadap pembangunan, dan pengaruh ini mungkin bersifat menunjang dan mungkin pula bersifat menghambat. Tersedianya sumber daya alam jelas merupakan faktor penunjang pembangunan baik secara langsung maupun tidak langsung. Keadaan geografi yang tidak menguntungkan adalah keadaan pemukiman yang terpencar-pencar dan terpencil serta adanya pemukiman yang padat. Gambaran topografi di Kabupaten Sleman meliputi dataran rendah, dataran tinggi, gunung, serta sungai-sungai. Adapun gunung yang masih aktif terdapat di sebelah utara Kecamatan Pakem yaitu Gunung Merapi yang akhir-akhir ini sering menyemburkan lava pijar. Sungai-sungai yang mengalir di

    16

    Kabupaten Sleman adalah Sungai Gajah Wong, Sungai Progo, Sungai Krasak, Sungai Boyong, Sungai Code dll. Sumber daya alam, baik yang terkandung di daratan dan di sungai merupakan potensi ekonomi yang besar; ini berarti bahwa pengelolaan sumber daya alam secara efisien dan efektif akan meningkatkan pendapatan pemerintah daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat jelas akan memberikan dampak positif penyediaan dana pembangunan.

    Oleh karena tanahnya yang subur dan adanya gunung berapi yang masih aktif, Kabupaten Sleman memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam. Hasil utama pertaniannya berupa padi, palawija sayuran, dan buah-buahan. Faktor iklim yang antara lain mencakup aspek lamanya musim kemarau dan musim penghujan serta banyaknya curah hujan. Aspek-aspek tersebut berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah, kekeringan, dan lain sebagainya yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat.

    Sarana dan prasarana perhubungan baik transportasi dan komunikasi adalah merupakan sarana untuk memperpendek jarak antara daerah satu dengan daerah yang lain. Kabupaten Sleman memiliki jaringan jalan raya lingkar (ring road) dan jalan raya biasa yang dapat menjangkau wilayah-wilaah kecamatan maupun desa/kelurahan dan pedukuhan. Jalan raya lingkar dengan jalur Kecamatan Gamping-MlatiDepok. Sehubungan dengan jaringan jalan yang cukup luas tersebut, Kabupaten Sleman memiliki jalan Negara sepanjang 61,65 km, dan jalan propinsi sepanjang 139,69

  • 17

    km. Dari jalan Negara yang ada, 55,49 km kondisinya baik dan 6,17 km kondisinya sedang, sedang untuk jalan propinsi yang kondisinya baik sepanjang 113,28 km dan yang kondisinya sedang hanya 26,11 km. Panjang jalan kabupaten adalah 1.041,43 km dan tidak seluruhnya dalam kondisi baik; dari panjang jalan tersebut hanya 314,33 km yang berkondisi baik, sisanya dalam kondisi sedang dan rusak. Sarana transportasi masyarakat sleman pada umumnya adalah meliputi : bus sebanyak 5.857 unit, mobil penumpang sebanyak 40.249 unit, sepeda motor 393.545 unit dan mobil beban/truk sebanyak 9.664 unit.

    2.1.1. Penduduk

    Penduduk, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok masyarakat merupakan sasaran pembangunan, oleh karena itu aspek kependudukan sangat perlu dipertimbangkan dalam pembangunan. Jumlah penduduk di Kabupaten Sleman pada tahun 2009 adalah 1.053.500 orang yang tersebar di 17 Kecamatan dan dari jumlah tersebut 75.596 berusia 7-12 tahun (7,18 %), 36.081 orang berusia 13-15 tahun (3,42 %), dan 43.404 orang berusia 16-18 tahun (4.12 %). Berdasarkan data tahun 2009, penduduk Kabupaten Sleman bertambah 0,99 % per tahun dengan angka kelahiran sebesar 0,008 persen per tahun dan migrasi ke dalam sebesar 0,91 % per tahun. Menurut catatan terakhir pada tahun 2009, kepadatan penduduk adalah 1.832 per km dengan Kecamatan Depok sebagai kecamatan terpadat (5.124 per km) Mlati dengan 3.207 jiwa per km serta Gamping dan Godean dengan masing-masing 3.014 jiwa dan 2.316 jiwa per

    18

    km. Sebaran penduduk Kabupaten Sleman secara rinci berdasarkan Kecamatan dan Jenis kelamin dapat dilihat dalam Tabel 2.1. berikut ini.

    Tabel. 2.1. Jumlah Penduduk dirinci berdasarkan

    Kecamatan dan Jenis Kelamin Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah

    Moyudan 16.585 17.387 33.972 Minggir 15.888 16.953 32.842 Seyegan 22.615 23.192 45.827 Godean 31.270 31.699 62.969 Gamping 44.597 44.696 89.293 Mlati 47.416 45.185 92.601 Depok 96.776 87.631 184.407 Berbah 21.923 22.783 44.706 Prambanan 23.679 24.593 48.272 Kalasan 33.983 34.899 68.882 Ngemplak 26.785 27.699 54.484 Ngaglik 43.474 43.604 87.078 Sleman 29.987 30.985 60.973 Tempel 25.433 26.131 51.564 Turi 16.899 17.200 34.099 Pakem 15.957 16.787 32.745 Cangkringan 14.056 14.751 28.807

    Jumlah 527.324 526.176 1.053.500 Sumber : Dinas Dukcapil Kab.Sleman,2009

  • 19

    2.1.2. Pendidikan Sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, substansi kinerja pendidikan meliputi tiga kinerja pengembangan pendidikan nasional yakni: kinerja pemerataan dan perluasan pendidikan, kinerja peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, dan kinerja manajemen pendidikan. Capaian program pemerataan dan perluasan pendidikan di Kabupaten Sleman dilihat dari berbagai indikator yaitu: angka partisipasi kasar, angka partisipasi murni, angka melanjutkan, rasio siswa per sekolah, rasio siswa per kelas, rasio siswa per guru, rasio ruang kelas per kelas, dan rasio kelas per guru. Untuk tingkat SD/MI dan paket A pada tahun 2009/2010 dicapai: APK 116,40 %, APM 99,83 %, angka melanjutkan TK/RA-SD/MI = 118,41 %; R-S/S = 170,67; R-S/K = 25,32; R-S/G = 14,56; R-K/G = 0,56; R-K/RK = 0,95. Sedangkan untuk tingkat SMP/MTs dan paket B capaiannya adalah: APK 115,28 %, APM 81,00 %, angka melanjutkan = 102,71 %; R-S/S = 322,57; R-S/K = 33,0; R-S/G = 22,08; R-K/G = 0,36; R-K/RK = 0,95; dan untuk tingkat SM APK 76,57 %, APM 53,89 %, angka melanjutkan = 99,58 %; R-S/S = 298,4; R-S/K = 29,34; R-S/G = 18,65; R-K/G = 0,63; R-K/RK = 0,90. (Dinas Pendidikan kab. Sleman,2009) Capaian kinerja mutu dan relevansi pendidikan indikatornya meliputi: persentase siswa baru SD asal TK/RA (%RB), angka mengulang (AU), angka putus sekolah (APS), angka lulusan (AL), prosentase kelayakan guru (%GL), prosentase ruang kelas kondisi baik (%RKb), dengan persentase fasilitas

    20

    sekolah (%FS). Pada tahun 2009/2010 kinerja yang dicapai untuk tingkat SD/MI adalah: RB = 97,45 %; AU = 3,48 %, angka putus sekolah (APS) = 0,04 %; angka lulusan (AL) = 100 %. Untuk kualifikasi guru; jumlah guru SD 6.186 orang dan 39,41 % telah berpendidikan Sarjana (S1). Kondisi ruang kelas dari sejumlah 3.641 ruang kelas 68,86 % kondisinya baik, 18,85 % rusak ringan dan lainnya dalam kondisi rusak berat. Dari 975 unit lembaga SD/MI 64,47 % memiliki perpustakaan, 4,41 % memiliki lapangan olahraga, dan 4,60 % memiliki ruang UKS. Untuk tingkat SMP/MTs: AU = 0,66 %, angka putus sekolah (APS) = 0,12%; angka lulusan (AL) = 93,67 %. Untuk kualifikasi guru; jumlah guru 3.242 orang dan 76,13 % telah berpendidikan Sarjana (S1 ke atas). Kondisi ruang kelas dari sejumlah 1.246 ruang kelas 85,96 % kondisinya baik, 8,43 % rusak ringan dan lainnya dalam kondisi rusak berat. Dari 855 unit lembaga SMP/MTs 58,47 % memiliki perpustakaan, 33,67 % memiliki lapangan olahraga, dan 43,86 % memiliki ruang UKS; dan untuk tingkat SM (SMA,SMK, MA), capaiannya adalah: AU = 0,34 %, angka putus sekolah (APS) = 0,19 %; angka lulusan (AL) = 98,28 %. Untuk kualifikasi guru; jumlah guru SMA 1.761 orang (88,63 % berpendidikan S1 ke atas), SMK 1.920 orang (84,22 % berpenddikan S1 ke atas). Kondisi ruang kelas dari sejumlah 1.222 ruang kelas 88,63 % kondisinya baik, 9,33 % rusak ringan dan lainnya dalam kondisi rusak berat. Dari 577 unit lembaga SD/MI 97,25 % memiliki perpustakaan, 70,64 % memiliki lapangan olahraga, dan 263,30 % memiliki ruang laboratorium, serta 50,46 % memiliki ruang praktek/ketrampilan SMK.

  • 21

    2.1.3. Kesehatan Tujuan utama pembangunan kesehatan adalah untuk

    meningkatkan kualitas sumber daya manusia, kualitas kehidupan, memperpanjang usia harapan hidup manusia, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat, dengan tujuan akhirnya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pola hidup sehat. Derajat kesehatan masyarakat dapat ditinjau dari angka kematian, status gizi dan angka kesakitan. Gambaran derajat kesehatan di Kabupaten Sleman pada tahun 2009 adalah sebagai berikut.

    Pada program peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat (YANKESMAS), pada tahun 2009 (Dinas Kesehatan Kab. Sleman, 2010), jumlah sasaran ibu hamil ada 13.836 jiwa, ibu bersalin ada 13.207 jiwa, dan ibu nifas sebanyak 13.207 jiwa. Kunjungan ibu hamil untuk pertama kali (K-1) mencapai 13.206 jiwa (98 %), yang berarti bahwa tingkat kesadaran ibu hamil dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan sudah sangat baik, sedang untuk kunjungan K-4, sesuai dengan standar yang ada, mencapai 12.659 jiwa (91,49 %), pencapaian tahun 2009 dibanding tahun 2008 mengalami penurunan dan tidak mencapai target dengan standar nasional yang 95 %. Kondisi ini disebabkan karena kurangnya kesadaran untuk memeriksakan kehamilannya di fasilitas pelayanan kesehatan dan juga sistem pencatatan dan pelaporan ibu hamil yang dilaporkan ke dinas kesehatan belum mencakup semua sarana pelayanan kesehatan. Pencapaian K-1, tiga puskesmas terendah ada di wilayah puskesmas Depok III yakni sebesar 83 %, begitu juga pencapaian K-4, tiga terendah berada di Puskesmas Ngaglik I, sebesar 56,7 % Puskesmas Depok II sebesar 59,06 %, dan Turi yang sebesar 66,35 %. Untuk

    22

    persalinan ibu hamil di Kabupaten Sleman tahun 2009 terdapat 13.207 ibu bersalin dan 89,34 % nya ditolong oleh tenaga kesehatan professional (dokter dan bidan) dan yang mendapat pelayanan nifas mencapai 8.148 jiwa (61,69 %).

    Tabel. 2.2. Kunjungan bayi ke Puskesemas

    Di Kab. Sleman Tahun 2009

    Kecamatan Jml bayi KunjunganJml lahir

    hidup Ditimbang BBLR

    Gamping 1.022 417 905 259 5 Godean 834 429 806 799 44 Moyudan 452 306 452 457 3 Minggir 477 246 367 368 10 Seyegan 530 92 588 289 10 Mlati 1.005 320 973 164 25 Depok 1.657 805 1.219 104 6 Berbah 806 37 489 160 2 Prambanan 615 164 541 125 1 Kalasan 794 642 712 100 1 Ngemplak 672 168 606 169 20 Ngaglik 1.039 278 1.067 1.062 19 Sleman 625 797 958 963 22 Tempel 683 260 753 0 0 Turi 473 319 535 494 16 Pakem 456 319 460 224 6 Cangkringan 378 34 392 34 0 Jumlah 12.579 5.400 11.843 5.771 180

    Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Sleman,2010

  • 23

    Kunjungan bayi di pelayanan kesehatan pada tahun 2009 (Dinas Kesehatan Kab. Sleman, 2010) terdata 5.400 bayi, dan dari bayi yang ditimbang sebanyak 5.771 bayi ditemukan dengan Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR) sebanyak 180 bayi. Dari kematian bayi pada tahun 2009 sebanyak 54 bayi, dan lahir mati sebanyak 51 bayi, sehingga total kematian sebanyak 105. Kematian tertinggi di Ngemplak II sebanyak 12 bayi, kemudian disusul Sleman sebanyak 10 bayi, dan kemudian Kalasan sebanyak sembilan bayi.

    Jumlah kematian maternal pada tahun 2009, tercatat sembilan ibu yang meninggal terdiri dari kematian ibu hamil seorang, kematian ibu bersalin lima orang, kematian ibu nifas sebanyak tiga orang. Penyebab kematiannya adalah: perdarahan dan sepsis, TBC dan SLE (post partum 30 days), in partu rupture uteri dengan riwayat mioma, cardiomyopati, perdarahan post partum intraperitoneal, H1N1 indirect, anemis aplastis, dan gagal jantung stadium IV karena hypertiroid. Kegiatan penjaringan deteksi dini tumbuh kembang balita (DTKB) dilakukan di semua posyandu dengan sasaran seluruh balita yang ada di posyandu. Hasil DTKB tahun 2009 dengan menggunakan metode DENVER II, baru mencapai 21,27 %, dan angka pencapaian ini mengalami penurunan bila dibanding angka pada tahun 2008, namun bila dipandang dari target KW SPM yang 90 % Nampak masih jauh. Untuk hasil deteksi dini tumbuh kembang anak sekolah SD/SMP dan siswa SMU tahun 2009, dari murid SD/SMP sebanyak 15.752 siswa diperiksa ternyata sebanyak 14.752 siswa (93,72 %), dan

    24

    dari siswa SMU sebanyak 23.390 berhasil diperiksa sebanyak 22.505 siswa (96,22 %).

    Untuk pelayanan kesehatan reproduksi remaja, telah dilaksanakan oleh 24 puskesmas ramah remaja di Kabupaten Sleman, dengan pembentukan kader sebaya, konseling remaja oleh psikolog, penyuluhan dan pembinaan langsung. Untuk program keluarga berencana, dari sasaran 144.299 pasangan usia subur (PUS) di Kabupaten Sleman, 10.057 PUS adalah peserta KB aktif baru sedangkan peserta KB aktif nya sebanyak 119.189 PUS, dan terdiri 32.672 orang sebagai akseptor dengan IUD, MOP/MOW sebanyak 6.443, inplant 3.940, suntik 56.450, pil sebanyak 12.027 dan konsodom sebanyak 7.657 orang. Dilihat dari pencapaiannya dari tahun 2003 2009 cenderung mengalami peningkatan, meski sejak tahun 2005 peningkatannya tidak terlalu tinggi.

    Jumlah seluruh balita di posyandu pada tahun 2009 sejumlah 75.283 balita; yang melakukan penimbangan secara teratur mencapai 58.048 balita. Dari data tersebut, menunjukkan bahwa pertisipasi masyarakat untuk menimbangkan balitanya di posyandu masih belum maksimal. Dari hasil pemantauan status gizi (PSG) yang dilaksanakan pada bulan februari dan Agustus 2009, jumlah balita yang dipantau dan naik berat badannya mencapai 38.042 balita, bawah garis merah (BGM) ada 566 balita. Menurut penilaian status gizi balita di Kabupaten Sleman terdapat balita gizi buruk sebanyak 0,53 %, gizi kurang mencapai 10,32 %, gizi baik 86,63 % dan bergizi lebih 2,13 %. Seluruh balita gizi buruk dilakukan pelacakan epidemiologi dan hasilnya ditemukan

  • 25

    tetap yaitu sejumlah 309 balita atau (0,53%); dan sebagai penyebab gizi buruk tersebut adalah penyakit penyerta, kelainan bawaan sejak lahir dan pola asuh yang salah. Dari seluruh balita dengan gizi buruk sudah mendapat pelayanan kesehatan yang sesuai, di antaranya adalah dengan mendapatkan pemberian makanan tambahan (PMT) berupa makanan pendamping air susu ibu (MP ASI), dan rujukan ke rumah sakit. Program pemberian kapsul vitamin A untuk balita juga berjalan dengan baik; untuk anak balita yang mendapat dua kali vitamin A dosis 200.00 IU dalam setahun, yaitu pada bulan Februari dan Agustus. Dari jumlah balita yang ada sebanyak 75.283 sasaran mendapat vitamin A dua kali sebanyak 86.057 anak atau mencapai 114,31%. 2.1.4. Ekonomi Kondisi ketenagakerjaan di Kabupaten Sleman dapat dikatakan bahwa angka pengangguranya masih sangat tinggi; dan pada tahun 2007 mengalami peningkatan dari 43.654 orang menjadi 46.448 orang, akan tetapi pada tahun 2008 terjadi penurunan menjadi 42.524 orang. Penurunan ini menunjukkan bahwa penanganan masalah ketenagakerjaan di Kabupaten Sleman berjalan dengan baik, walaupun angka penganggurannya masih tinggi. Tingginya angka pengangguran dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: jumlah lapangan kerja yang ada, jumlah pencari kerja, rendahnya kualitas sumber daya manusia atau tingkat kemampuan (skill) pencari kerja. Di Kabupaten Sleman nampak bahwa kelompok jabatan sebagai tenaga professional dan teknisi yang terbesar, yang kemudian disusul dengan pejabat

    26

    pelaksana, tenaga tata usaha. Sedang untuk tingkat pendidikan, pencari kerja kebanyakan hanya berpendidikan SLTA yang kondisi ini memang rawan untuk meningkatkan angka pengangguran mengingat lulusan SLTA kurang sekali mendapatkan bekal keahlian (skill) yang memadai selama belajar di bangku sekolahnya. Sebenarnya untuk lowongan kerja di Kabupaten Sleman membutuhkan pencari kerja dari tingkat pendidikan SLTA, sehingga hal ini merupakan peluang yang cukup baik bagi pencari kerja di Sleman. Dari data Disnakersos & KB Sleman, penyumbang terbesar lowongan pada tahun 2008 berasal dari sektor pengolahan yang mencapai 2.065 orang, demikian pula untuk tahun sebelumnya (2007). Dari data angkatan kerja yang ada di Kabupaten Sleman yang terbanyak pada usia di atas 35 tahun, dan pada tahun 2008 mencapai 277.051 orang atau 59,48 %, sedangkan keterlibatan kaum perempuan kebanyakan pada sektor perdagangan yang mencapai 57,2 %. Untuk membekali dan meningkatkan ketrampilan sejak tahun 2006 telah pula diadakan program-progam pelatihan, misalnya menjahit, bengkel sepeda motor, computer, mengelas dll. Dari berbagai sub kejuruan pelatihan, untuk sub kegiatan menjahit dan bengkel sepeda motor yang merupakan pelatihan yang paling diminati di tahun 2008; ini sangat beralasan mengingat ketrampilan-ketrampilan tersebut dapat dipakai untuk usaha mandiri dengan modal usaha yang sangat kecil. Disamping pelatihan tersebut di atas program

  • 27

    pelatian juga diberikan untuk tujuan kewirausahaan dan meliputi kegiatan TKM, WUB, TTG, ternak sapi, ternak ikan dll. 2.2. Kota Yogyakarta

    Kota Yogyakarta terbentang dari 110o2419-110o2853 BT dan 7o4926-7o1524 lS dengan ketinggian rata-rata 114 meter diatas permukaan laut. Sebagian wilayah dengan luas 1.657 hektar terletak pada ketinggian kurang dari 100-meter dpl, sedangkan sisanya 1.593 hektar berada pada ketinggian 100-199 meter dpl. Secara administratif, Kota Yogyakarta berbatasan dengan wilayah sebagai berikut :

    Tabel.2.3. Batas Wilayah administratif Kota Yogyakarta

    Batas Kabupaten/kecamatan

    Utara Kabupaten Sleman

    Timur Kabupaten Bantul dan Sleman

    Selatan Kabupaten Bantul

    Barat Kabupaten Bantul dan Sleman Sumber BPS Kota Yogyakarta,2009

    Berdasarkan pada catatan indikator iklim dari Dinas Perhubungan Provinsi DIY (BPS, DIY,2009) antara lain suhu udara, kelembaban, tekanan udara, kecepatan angin, arah angin, curah hujan, hari hujan dalam sebulan, bersumber data BPS 2009, disajikan pada tabel.2.4 berikut ini:

    28

    Tabel.2.4. Indikator iklim di Kota Yogyakarta Indikator Minimum Maksimum

    Suhu udara (C) 23.1 29.3 Kelembaban udara (%) 52 95 Tekanan udara(mb) 1006.6 1011.0 Kecepatan angin (knot) 0 19 Arah angin (derajad) 0 240 Curah hujan(mm) 143.9 - Hari hujan dalam sebulan 0 10.4

    Sumber : BPS, DIY,2009 Penggolongan tipe iklim oleh Koppen daerah Kota Yogyakarta termasuk pada tipe iklim Am, sedangkan menurut tipe Schmidt dan Forguson termasuk tipe D dengan nilai Q rata-rata 80%, yakni rasio perbandingan antara bulan terkering dengan bulan basah sedangkan menurut tipe iklim Oldeman termasuk tipe D1. Memperhatikan pada variabel fisiografis dan iklim nampaknya berpengaruh bagi pemanfaatan lahan secara umum, bentuk serta variasi pemanfaatan lahan di Kota Yogyakarta

    Secara umum jenis tanah di Kota Yogyakarta adalah regusol eutrik dan regusol dendrik. Bentuk dan variasi penggunaan lahan di Yogyakarta terdiri atas pertanian lahan sawah, bukan sawah, bangunan dan pekarangan, kebun, serta pemanfaatan lainnya. Secara rinci agihan bentuk dan luas penggunaan lahan pada tahun 2008 (BPS Kota Yogyakarta,2009) seluas 3251 hektar terdiri atas 88 ha sawah dan 3163 lahan bukan sawah, disajikan pada tabel 2.5.

  • 29

    Tabel 2.5. Bentuk, fungsi dan luas penggunaan lahan

    di Kota Yogyakarta

    No Jenis land use luas (ha) Persentase1 Sawah 88 2.7 2 Tegal/kebun 6 0.18 3 Pekarangan 2.729 83.94 4 Penggunaan lain 428 13.18 3.251 100 Sumber : BPS Kota Yogyakarta,2009, dengan modifikasi

    Penggunaan lahan terbesar untuk Kota Yogyakarta di

    dominasi oleh bangunan dan lahan pekarangan dengan luasan 2.729 hektar setara dengan 83.94 persen dari seluruh luas Kota Yogyakarta, diikuti oleh penggunaan lain seluas 428 hektar, dan sawah seluas 88 hektar terdiri atas sawah irigasi setengah teknis. dengan pemanfaatan lahan sawah yang kecil, dibandingkan dengan jumlah penduduk, dimungkinkan daya dukung sumberdaya lahan tidak mencukupi untuk penyiapan pangan bagi penduduknya. Penggunaan sawah tersebar di kecamatan Umbulharjo (51 ha), Tegalrejo (18 ha), Kotagede (12 ha), Mergangsan (5 ha), dan Mantrijeron (2 ha).

    2.2.1. Penduduk

    Dengan luasan 3.251 hektar, Kota Yogyakarta terdiri atas 14 kecamatan dan, jumlah penduduk pada tahun 2008 berdasarkan hasil proyeksi (BPS,2009) sebesar 456.915 jiwa,

    30

    Secara kondisional distribusi penduduk pada setiap kecamatan yang ada disajikan pada tabel 2.6.

    Tabel 2.6. Jumlah Penduduk di setiap kecamatan di Kota Yogyakarta

    Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Mantrijeron 18.398 19.044 37.442 Kraton 10.612 11.908 22.520 Mergangsan 17.352 18.569 35.921 Umbulharjo 39.191 40.129 79.320 Kotagede 16.097 16.207 32.304 Gondokusuman 27.062 28.648 55.710 Danurejan 10.999 11.583 22.582 Pakualaman 5.754 6.014 11.768 Gondomanan 7.398 8.595 15.993 Ngampilan 9.537 10.695 20.232 Wirobrajan 15.856 15.248 31.104 Gedongtengen 9.708 10.714 20.422 Jetis 15.019 15.442 30.461 Tegalrejo 20.244 20.792 41.036 Jumlah 223.227 233.688 456.915

    Sumber : BPS, Kota Yogyakarta,2009

    Jumlah penduduk paling banyak adalah di Kecamatan Umbulharjo, diikuti kecamatan Gondokusuman, dan paling rendah jumlah penduduk di Kecamatan Pakualaman. Jika dilihat dari kategori jenis kelamin penduduk di Kota Yogyakarta lebih banyak perempuan, dengan perbedaan berkisar 4,68626 persen, dengan

  • 31

    demikian dalam hal ini tidak terjadi disparitas. Selanjutnya dilihat dalam konteks disparitas gender, tiga hal penting yang perlu dilihat, yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi khususnya ketenagakerjaan. 2.2.2. Pendidikan

    Pendidikan di Kota Yogyakarta cukup menggembirakan, pelaksanaan program pembangunan pendidikan telah menyebabkan semakin berkembangnya suasana belajar mengajar di berbagai jenis dan jenjang pendidikan; dengan dilaksanakannya program pembangunan, pelayanan pendidikan telah menjangkau semua kelurahan, dan daerah dengan penduduk miskinpun telah telah mendapatkan akses yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Mengingat pembangunan di setiap jenjang tidak sama, maka secara rinci akan diurai tentang keadaan dari tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama sampai tingkat sekolah menengah atas. 1. Tingkat Sekolah Dasar (SD dan MI) Berdasarkan data yang ada pada tahun 2008/2009, jumlah SD dan MI sebanyak 192 sekolah; siswa baru tingkat satu sebanyak 8.445 siswa dan seluruhnya sebanyak 46.521 siswa, sedangkan lulusannya sebanyak 7.382. Untuk menampung sejumlah siswa tersebut tersedia ruang kelas sebanyak 1.766 yang rinciannya adalah: 1.528 berkondisi baik, 142 kondisinya rusak ringan, dan 96 kondisinya rusak berat. Jumlah guru yang mengajar di SD/MI sebanyak 2.882 orang yang di antaranya

    32

    adalah 89,31 % layak mengajar, 7,04 % semi layak mengajar, dan 3,64 % tidak layak mengajar.

    2. Tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP dan MTs)

    Dari data yang ada pada tahun 2008/2009, jumlah SMP dan MTs sebanyak 65 sekolah Apabila dilihat dari status sekolah, jumlah sekolah negeri lebih banyak di sekolah dasar dibandingkan dengan Madrasah Ibtidaiyah, sedangkan jumlah Madrasah Ibtidaiyah swasta sama banyak dengan negeri. Guru yang mengajar di SMP dan MTs sebanyak 1.986 orang dan diantaranya yaitu sebanyak 89,33 % adalah yang layak mengajar, 3,52 % semi layak mengajar, da 7,15 % tidak layak mengajar. Untuk menunjang kegiatan belajar mengajar di SMP dan MTs terdapat failitas perpustakaan sebanyak 6 ruangan, lapangan olah raga, ruang UKS sebanyak 54 buah dan laboratorium sebanyak 176 buah. Lebih lanjut bahwa jumlah siswa yang ada di SMP lebih banyak daripada yang di MTs; jumlah SMP sebanyak 58 sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 22.538 dalam ruangan sebanyak 694 serta diasuh oleh 1.769 orang guru, sedangkan jumlah MTs sebanyak tujuh sekolah dengan jumlah siswanya sebanyak 2.028 orang, serta diasuh oleh 217 orang guru.

    3. Tingkat Sekolah Menengah (SM dan MA).

    Berdasarkan data yang ada pada tahun 2008/2009 jumlah SMA, SMK, dan MA adalah sebanyak 82 sekolah, sedang siswa barunya untuk tingkat satu sebanyak 12.413 orang siswa dari

  • 33

    seluruhnya siswa yang sebanyak 35.737 orang siswa, dengan lulusan sebanyak 10.363 orang siswa. 2.2.3. Kesehatan Tujuan utama pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, kualitas kehidupan, memperpanjang usia harapan hidup manusia, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat, dengan tujuan akhirnya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pola hidup sehat

    Derajat kesehatan masyarakat dapat ditinjau dari angka kematian, status gizi dan angka kesakitan. Angka kematian balita yang merupakan kematian yang terjadi pada balita sebelum usia lima tahun, dan pada tahun 2008 jumlahnya adalah delapan, sama dengan yang ada pada tahun 2007, namun kalau dibandingkan dengan angka tahun 2006 jumlah ini meningkat. Sedangkan kalau dilihat dalam tujuh tahun terakhir, angka kematian balita di Kota Yogyakarta masih jauh lebih kecil dari angka maksimal yaitu 43 per 1000 kelahiran hidup, dan pada tahun 2008 terdapat 1,6 % kematian bayi. Untuk angka kematian ibu (AKI) untuk tahun 2008 jumlahnya satu orang, dan ini merupakan penurunan jika dibandingkan dengan yang terjadi pada tahun 2007 dan 2006; pada tahun 2006 dan 2007 jumlah kematian ibu masing-masing adalah tiga dan empat orang. Kasus demam berdarah dengan (DBD) di Kota Yogyakarta merupakan kasus yang perlu diwaspadai dan utamanya pada musim penghujan. Angka kesakitan DBD di Kota Yogyakarta

    34

    mengalami peningkatan dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2004 dengan angka yang selalu di atas angka yang diperbolehkan secara nasional. Meskipun pada tahun 2005 angka kesakitan DBD mengalami peurunan, tetapi pada tahun 2006 terjadi ledakan penderita, sedangkan pada tahun 2007 terjadi penurunan, dan pada tahun 2008 sedikit mengalami kenaikan. Untuk penanganannya kasus DBD di Kota Yogyakarta dari tahun 2002 2008 adalah 100 % dan ini merupakan angka yang jauh di atas angka nasionalnya yaitu 80 %. Angka kesakitan polio di Kota Yogyakarta adalah nol persen, atau tidak ada kasus polio. Persentase ini sesuai dengan indikator yang ditetapkan pada standart pelayanan minimal. Kasus yang ada di Kota Yogyakarta adalah Acute Flacid Paralisys (AFP), yaitu dua kasus pada tahun 2005 dan 2004, dan 13 kasus pada tahun 2003, empat kasus pada tahun 2006, satu kasus pada tahun 2007, dan dua kasus pada tahun 2008 (Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta,2009)

    Untuk persentase ibu hamil yang mengalami kurang energi kronik (KEK) mengalami kenaikan yang fluktuatif dari tahun 2002 sampai tahun 2008; pada tahun 2005 mengalami penurunan, pada tahun 2006 mengalami kenaikan, pada tahun 2007 mengalami penurunan lagi sebesar 0,64 %, dan pada tahun 2008 mengalami penurunan lagi sebesar 1,91 %. pemberian PMT dan pemulihan selama 100 hari, baik dari Propinsi DIY maupun oleh Pemkot Yogyakarta secara konseling.

    Persentase ibu hamil yang mengalami anemia gizi besi (AGB) di Kota Yogyakarta sampai tahun 2008 terus mengalami penurunan, dan hal ini merupakan hasil pembangunan kesehatan

  • 35

    yang menggembirakan, dan ini merupakan penerapan program pemberian/pendampingan minum tablet Fe 90 pada ibu hamil Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta,2009).

    Persentase bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR) di Kota Yogyakarta mulai tahun mengalami kenaikan lagi pada tahun 2008 sebesar 2,96 %. Kenaikan angka ini menunjukkan bahwa jumlah bayi yang BBLR mengalami kenaikan untuk diperhatikan dan dipantau status kesehatan ibu hamil melalui antenatal care (ANC) (Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta,2009) 2.2.4. Ekonomi

    Dengan berbagai potensi yang ada dan diikuti kerja keras dan semangat gotong royong yang tinggi, kondisi ekonomi mengalami peningkatan. Tingkat pendapatan daerah yang diukur dari pendapatan perkapita, penerimaan pajak dan bangunan (PBB), dan pendapatan asli daerah (PAD). Pada tahun 2008 PAD Kota Yogyakarta adalah sebesar Rp 130.098.000,00, product domestic regional bruto (PDRB) nya sebesar Rp 8.963.000.000,00, dan rata-rata pendapatan per kapita adalah Rp 1.574.000,00, sedangkan UMR yang berlaku Rp 586.000,00

    Mengenai keadaan sandang, pangan, dan perumahan dapat disebutkan sebagai berikut: keadaan sandang sudah mencukupi dan garmen merupakan komditas ekspor andalannya Kota Yogyakarta; keadaan pangan masyarakat Kota Yogyakarta telah tecukupi; perumahan rakyat cukup memadai. Mata pencaharian penduduk Kota Yogyakarta adalah di sektor pertanian, perburuhan dan perikanan sebanyak 786 orang (0,38

    36

    %), di sektor pertambangan, penggalian, industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air, sektor bangunan sebanyak 31.847 orang (15,42 %), di sektor perdaganan, perhubungan, keuangan dan di sektor lainnya sebanyak 173.881 orang (84,20 %).

    Jenis komoditi ekspor yang selama ini terdaftar di departemen Perindustrian dan Perdagangan di Kota Yogyakarta adalah terdiri dari: garmen, kerajinan, mebelair. Jumlah koperasi yang sudah berbadan hokum di Kota Yogyakarta sebanyak 514 buah dengan rinciannya: sebuah KUD, 107 Koperasi Pegawai Negeri, dan 406 koperasi lain-lain.

  • 37

    BAB III

    PEMETAAN DAERAH RAWAN KETIDAKADILAN GENDER BIDANG PENDIDIKAN, KESEHATAN, DAN EKONOMI DI KABUPATEN SLEMAN DAN KOTA YOGYAKARTA

    Pemetaan daerah rawan ketidakadilan gender untuk daerah didasarkan pada tiga indikator yaitu; pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Data yang digunakan adalah data sekunder berwujud laporan statistik dari dinas terkait. Minimnya ketersediaan data terpilah merupakan kendala yang dihadapi para pelaksana pemetaan untuk melakukan analisis gender. Pada umumnya data-data yang mengacu pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG) berbasis kecamatan belum ada. Oleh karena itu, kegiatan pemetaan ini cenderung memanfaatkan data-data sekunder yang ada sebagai pemetaaan awal yang digunakan untuk melihat seberapa jauh data terpilah yang telah dibuat oleh dinas-dinas di pemerintah daerah Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Data-data pilah berdasarkan gender yang tersedia adalah data Jumlah Kematian Ibu Maternal, Persalinan ditolong Nakes, Persentase Bayi Lahir Mati, Status Gizi Balita, Angka Kesakitan Penyakit Menular Seksual (PMS), Program Imunisasi Bayi, Program Keluarga Berencana, Perempuan Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja, Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas yang Buta Huruf, Angka Partisipasi Kasar, Angka Putus Sekolah dan data lain yang terkait dengan bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Fakta,

    38

    data, dan informasi mengenai kesenjangan gender ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai kondisi dan posisi laki-laki serta perempuan terutama terkait dengan bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Pemetaan yang dilakukan di tingkat kabupaten dan kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai masukan yang sangat berharga dalam penyusunan rencana pengembangan dan pemberdayaan perempuan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 3.1 Kabupaten Sleman 3.1.1 Deskripsi Bidang Pendidikan

    Pendidikan merupakan salah satu indikator penting yang mampu mengukur kualitas sumber daya manusia yang ada di suatu wilayah. Diasumsikan bahwa semakin baiknya pendidikan dalam arti luas, antara lain perencanaan, implementasi, dan evaluasi yang berorientasi pada masyarakat, memberikan kemungkinan untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi masyarakat dalam kurun waktu 5 sampai 10 tahun ke depan. Beberapa indikator nyata dalam variabel pendidikan antara lain adalah Angka Melek Huruf, Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK). 3.1.1.1 Angka Melek Huruf Tingginya partisipasi masyarakat pada tingkat dini untuk mengikuti program pendidikan formal mendorong semakin tingginya Angka Melek Huruf di Kabupaten Sleman. Dalam hal ini

  • 39

    Angka Melek Huruf menjadi indikator pendidikan lainnya yang cukup menggambarkan kualitas pembangunan khususnya dalam bidang pendidikan. Angka Melek Huruf dihitung dari persentase penduduk berusia 15 tahun ke atas yang mampu membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya. Secara umum Angka Melek Huruf penduduk berusia 15 tahun ke atas di Kabupaten Sleman senantiasa mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 Kabupaten Sleman memiliki Angka Melek Huruf di atas 90 persen. Dilihat dari komposisi umur, sebagian penduduk yang termasuk kelompok ini tergolong dalam kelompok usia lanjut. Hal ini menjadi kendala bagi peningkatan Angka Melek Huruf secara nyata. Dilihat dari jenis kelamin (sex rasio), Angka Melek Huruf untuk laki-laki cenderung lebih tinggi dari perempuan. Klasifikasi data Angka Melek Huruf diindikasikan oleh jumlah penduduk yang buta huruf, sebagaimana disajikan pada Tabel.3.1.

    Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Buta Huruf Menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan di Kabupaten Sleman Tahun 2009

    Buta Huruf No Kecamatan

    Laki-laki % Perempuan % 01 Gamping 5 2,31 20 5,4902 Godean 10 4,00 20 5,4903 Moyudan 16 7,4 10 2,8204 Minggir 18 8,33 10 2,8205 Seyegan 8 3,70 10 2,8206 Mlati 10 4,00 14 2,8207 Depok 6 2,77 10 2,8208 Berbah 30 13,88 18 5,08

    40

    Lanjutan Tabel 3.1 Buta Huruf

    No Kecamatan Laki-laki % Perempuan %

    09 Prambanan 20 9,25 60 16,94 10 Kalasan 20 9,25 25 7,06 11 Ngemplak 10 4,00 21 5,93 12 Ngaglik 10 4,00 20 5,49 13 Sleman 8 3,70 20 5,49 14 Tempel 2 0,92 4 1,12 15 Turi 20 9,25 12 3,38 16 Pakem 9 4,16 30 8,47 17 Cangkringan 16 7,40 50 14,12

    JUMLAH 218 354 Sumber: Dinas Pendidikan Kabupatem Sleman 2009

    Dilihat dari persentase Angka Buta Huruf, jumlah

    perempuan di Kabupaten Sleman yang buta huruf relatif lebih banyak daripada laki-laki. Rentang deviasi di atas 10 persen mengindikasikan bahwa masih terdapat kesenjangan gender pada kondisi buta huruf di Kabupaten Sleman. Secara parsial, buta huruf terbanyak pada kelompok perempuan terdapat di Kecamatan Prambanan (16,94%) dan yang terendah di Kecamatan Tempel (1,12%). 3.1.1.2 Angka Partisipasi Kasar (APK) Indikator APK dimanfaatkan untuk mengukur proporsi anak sekolah pada suatu jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut.

  • 41

    Angka Partisipasi Kasar dapat memberikan gambaran tentang banyaknya anak yang menerima pendidikan pada jenjang tertentu. Berdasarkan jenjang pendidikan dan jenis kelamin, Angka Partisipasi Kasar (APK) Kabupaten Sleman selama 2 tahun (2008-2009) dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut ini:

    Tabel.3.2 Angka Partisipasi Kasar Menurut Jenjang Pendidikan dan Gender di Kabupaten Sleman

    Tahun 2008-2009 2008 2009 No SEKOLAH

    L P L P 1 SD 115,19 109,44 138,30 93,992 MI 4,13 3,08 4,57 2,953 SMP 100,70 96,58 111,89 86,924 MTs 24,70 23,20 19,15 15,795 SMA 23,31 36,17 29,99 25,426 MA 5,36 10,18 5,18 6,907 SMK 38,43 49,42 51,68 36,51

    Sumber: Bappeda Kabupaten Sleman 2010

    Berdasarkan Tabel 3.2 tersebut di atas, Angka Partisipasi Kasar (APK) berdasarkan jenjang pendidikan dari tahun 2008-2009 menunjukkan kenaikan, khususnya untuk kelompok laki-laki pada tingkat SD, SMP, dan SMA. Sementara itu, APK perempuan rata-rata mengalami penurunan untuk semua tingkatan pendidikan. APK tertinggi pada tahun 2009 untuk laki-laki pada tingkat SD sebesar 138,30, tingkat SMP sebesar 96,58. APK perempuan tertinggi pada tingkat pendidikan SD sebesar 93,99

    42

    dan pada tingkat SMP sebesar 86,92. Secara rinci, APK berdasarkan gender menurut kecamatan di Kabupaten Sleman dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut ini:

    Tabel 3.3 Angka Partisipasi Kasar Menurut Gender, Jenjang Pendidikan dan Kecamatan di Kabupaten Sleman

    Tahun 2009 APK SD APK SMP APK SMA

    No. Kecamatan L P L P L P

    01 Prambanan 147,74 93,22 150,09 88,09 141,86 43,85

    02 Kalasan 167,37 105,57 130,11 98,28 88,76 59,51

    03 Berbah 123.71 78.24 81.92 99.47 77.99 55.30 04 Depok 278.74 168.75 167.67 144.15 216.58 172.98 05 Cangkringan 127.93 73.18 112.09 58.78 88.97 86.04 06 Ngemplak 106,93 63,53 130,95 83,82 18,50 13,48 07 Pakem 147.33 83.53 196.84 146.03 169.43 86.66 08 Ngaglik 124,96 97,30 159,76 155,77 89,22 75,92 09 Turi 130,78 100,84 109,57 75,95 3475 38,13 10 Tempel 201,95 121,96 107,30 91,17 46,66 118,57 11 Sleman 161,84 147,01 161,57 151,74 87,21 63,46 12 Mlati 114.45 87.25 101.5 111.36 47.86 36.3 13 Gamping 121.43 98.42 155.87 150.05 49.76 55.41 14 Godean 138.22 100.44 116.8 130.37 26.16 113.36 15 Seyegan 122.86 75.93 110.13 73.46 160.37 50.13 16 Moyudan 77,90 50,29 95,88 58,44 116,29 54,41 17 Minggir 97,71 57,03 125,06 72,57 31,00 22,28

    Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman 2009 Seperti yang terlihat pada Tabel 3.3 di atas, Angka Partisipasi Kasar (APK) Kabupaten Sleman cukup baik. Distribusi APK laki-laki untuk tingkat SD lebih tinggi dibandingkan dengan

  • 43

    APK perempuan. APK tertinggi pada tingkat SD terdapat di kecamatan Depok dengan APK laki-laki sebesar 278,74 dan perempuan sebesar 168,75. APK tingkat SD yang terendah terdapat di Kecamatan Moyudan dengan APK laki-laki sebesar 77,90 dan APK perempuan sebesar 50,29. Pada tingkat pendidikan SMP, terdapat perbedaan APK yang signifikan di mana APK laki-laki lebih tinggi dibandingkan APK perempuan. Bias gender terlihat dari tingginya APK laki-laki pada tingkat SMP di Kecamatan Pakem sebesar 196,84, sementara APK perempuan sebesar 146,03. Pada tingkatan SMA termasuk paket C, APK laki-laki menduduki posisi lebih tinggi dari APK perempuan, dan selanjutnya secara parsial dalam tingkat kecamatan, APK tertinggi terdapat di Kecamatan Depok, dengan APK laki-laki sebesar 216,58 dan APK perempuan sebesar 172,98. Sementara itu, APK terendah terdapat di Kecamatan Ngemplak dengan APK laki-laki sebesar 18,50 dan APK perempuan sebesar 13,48. 3.1.1.3 Angka Partisipasi Murni

    Berbeda dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Putus Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM) lebih tepat untuk menggambarkan usia anak pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan kelompok usianya. Secara umum dapat disebutkan bahwa APM menunjukkan kenaikan yang signifikan. Dari data APK yang ada terlihat bahwa banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di bawah usia 7 tahun di Sekolah Dasar (SD). Sebaliknya, dari data APM, kelompok anak tersebut tidak termasuk dalam pembilang atau penghitung APM untuk jenjang

    44

    SD, SMP, ataupun SMU, karena usia mereka berada di luar usia sekolah yang sudah ditentukan untuk masing-masing tingkat pendidikan. Hal inilah yang menjadi faktor penyebab APM < APK. Secara umum nilai APM untuk Kabupaten Sleman dapat dilihat pada Tabel.3.4 berikut ini:

    Tabel 3.4 Angka Partisipasi Murni Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Sleman

    Tahun 2008-2009 APM 2008 APM 2009 No

    SEKOLAH

    L P L P 01 SD 99,85 92,40 118,36 81,04 02 MI 3,32 1,17 3,62 2,31 03 SMP 71,45 65,97 77,03 61,29 04 MTs 12,42 12,06 13,90 11,37 05 SMA 16,67 23,72 19,99 17,38 06 MA 4,77 4,95 3,51 4,42 07 SMK 29,03 35,10 37,54 26,71

    Sumber: Bappeda Kabupaten Sleman 2010

    Pada tahun 2008 APM untuk Kabupaten Sleman pada jenjang pendidikan SD rata-rata sebesar 96,12 persen. Hal ini berarti bahwa dari 100 penduduk usia sekolah dasar (7-12 tahun) sebanyak 96 orang sudah mengikuti pendidikan SD, dengan perbandingan APM laki-laki 99,85% dan APM perempuan 92,40%. Kondisi semacam ini memperlihatkan bahwa masih terjadi paritas antara laki-laki dan perempuan. Hal serupa terjadi pada jenjang pendidikan SMP dan SMA, di mana Angka Partisipasi Murni laki-

  • 45

    laki lebih tinggi daripada perempuan. Pada tahun 2009 secara umum APM laki-laki pada jenjang pendidikan SD sampai SMA jauh lebih tinggi dari pada APM perempuan. 3.1.1.4 Angka Putus Sekolah

    Angka putus sekolah merupakan angka yang diperoleh dari suatu keadaan anak yang tidak mampu meneruskan pendidikan sesuai dengan usianya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, baik faktor internal maupun eksternal. Angka Putus Sekolah (APS) diperlukan untuk mengetahui seberapa besar kegagalan sistem pendidikan di suatu wilayah. Angka Putus Sekolah untuk Kabupaten Sleman menunjukkan kecenderungan positif, dimana dari semua jenjang sekolah dan usia dari tahun 2008 sampai 2009 mengalami jumlah penurunan putus sekolah .

    Perhitungan Angka Putus Sekolah (APS) dilaksanakan dengan memperhitungkan jumlah penduduk pada usia sekolah yang putus sekolah dengan jumlah usia yang sama dan bersekolah pada tingkatan yang sesuai (mis. SD). Angka Putus Sekolah (APS) Kabupaten Sleman dapat dilihat pada Tabel 3.5.

    Dilihat dari jenjang pendidikan SD pada tahun 2008, Angka Putus Sekolah (APS) laki-laki lebih tinggi dibandingkan APS perempuan, dimana APS laki-laki sebesar 28 sedangkan perempuan 9. Kecenderungan yang sama terjadi pada tahun 2009, di mana APS laki-laki untuk jenjang pendidikan SD masih jauh lebih tinggi dibandingkan APS perempuan. APS laki-laki pada tingkat SMP mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dengan APS perempuan: APS laki-laki sebesar 31 dan APS perempuan

    46

    sebesar 5. Secara keseluruhan dapat disebutkan bahwa, APS anak laki-laki lebih besar dibandingkan anak perempuan. Kecenderungan ini terjadi pada setiap jenjang pendidikan mulai dari SD/MI, SMP/MTs/ sampai dengan SMA/SMK/MA.

    Tabel 3.5 Angka Putus Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan dan

    Jenis Kelamin di Kabupaten Sleman Tahun 2008-2009

    APS 2008 APS 2009 No

    SEKOLAH L P L P

    01 SD 28 9 26 8 02 MI 0 0 0 0 03 SMP 24 13 31 5 04 MTs 0 0 9 3 05 SMA 3 2 7 11 06 MA 1 0 7 1 07 SMK 36 36 32 3

    Sumber: Bappeda Kabupaten Sleman 2010

    3.1.1.5 Angka Kelulusan Membahas Angka Kelulusan tidak bisa dilepaskan dari

    jumlah siswa mengulang ujian nasional. Penghitungan Angka Kelulusan dilakukan dengan membandingkan jumlah murid pada jenjang tertentu dengan jumlah siswa mengulang. Secara umum jumlah siswa mengulang di Kabupaten Sleman dapat dilihat dari Tabel 3.6 berikut ini:

  • 47

    Tabel 3.6 Jumlah Siswa Mengulang Menurut Jenjang Pendidikan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sleman

    Tahun 2008-2009 Siswa mengulang

    2008 Siswa mengulang

    2009 No SEKOLAH L P L P

    1 SD 2.192 947 2.127 8492 MI 48 23 43 93 SMP 133 11 170 234 MTs 20 1 58 35 SMA 42 6 30 106 MA 8 2 13 67 SMK 87 29 34 17

    Sumber: Bappeda Kabupaten Sleman 2010 Jumlah siswa mengulang terbesar pada tahun 2008

    maupun 2009 terdapat pada jenjang SD dengan jumlah siswa laki-laki jauh lebih banyak daripada siswa perempuan. Sebagai contoh, pada jenjang SD pada tahun 2009 anak laki-laki mengulang berjumlah 2.127 siswa, sedangkan anak perempuan sebesar 849 siswa. Secara keseluruhan, jumlah siswa mengulang dari tahun 2008 sampai 2009 terjadi penurunan baik pada jenjang pendidikan SD, SMP, maupun SMA. Hal ini berarti bahwa jumlah kelulusan ataupun angka kelulusan siswa dari tahun 2008 sampai 2009 mengalami peningkatan baik pada siswa laki-laki maupun perempuan.

    48

    3.1.1.6 Lama Sekolah Rata-rata lama sekolah merupakan salah satu indikator di bidang pendidikan yang sangat berguna untuk mengetahui tingkat pendidikan penduduk secara umum. Rata-rata lama sekolah atau MYS (mean years schooling) adalah sebuah angka yang menunjukkan rata-rata lamanya bersekolah seseorang dari masuk sekolah dasar sampai tingkat pendidikan terakhir. Selama tahun 2004-2008 rata-rata lama sekolah di Kabupaten Sleman mengalami kenaikan yang signifikan. Pada tahun 2004 rata-rata lama sekolah penduduk mencapai 9,75 tahun yang meningkat pada tahun 2008 sebesar 10,15 tahun. Angka 10,15 menunjukkan rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Sleman setingkat SMA kelas 1 atau kelas 2. Gambaran secara nyata persebaran rata-rata lama sekolah di Kabupaten Sleman dapat dilihat pada Tabel 3.7 berikut ini:

    Tabel 3.7 Rata-rata Lama Sekolah Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Sleman Tahun 2004-2008

    Lama sekolah (Th) Tahun

    L P 2004 10,60 8,90 2005 10,90 9,20 2006 11,00 9,20 2007 11,30 10,30 2008 11,09 9,22

    Sumber: BPPM Provinsi DIY 2009

  • 49

    Dilihat secara parsial rata-rata lama sekolah, untuk laki-laki pada tahun 2004 sebesar 10,6 tahun dan meningkat pada tahun 2008 sehingga mencapai 11,09 tahun, secara numerikal terdapat kenaikan, tetapi kenyataan tetap sama setara dengan jenjang SMP kelas 3 atau SMA kelas 1. Demikian pula untuk perempuan rata-rata lama sekolah pada tahun 2004 sebesar 8,9 dan meningkat nyata pada tahun 2008 menjadi 9,22 tahun, artinya pada tahun 2004 rata-rata lama sekolah setara dengan SMP kelas 3, dan pada tahun 2008 menjadi setara dengan SMA kelas 1. 3.1.2 Deskripsi Bidang Kesehatan 3.1.2.1 Angka Harapan Hidup

    Angka Harapan Hidup (AHH) merupakan indikator sosial yang cukup efektif untuk mengevaluasi kinerja pemerintah khususnya dalam pembangunan kesehatan. Tingginya Angka Harapan Hidup mengindikasikan tingkat layanan kesehatan seperti yang diharapkan, sebaliknya AHH yang rendah mencerminkan buruknya kualitas pembangunan kesehatan. Angka Harapan Hidup menjadi bagian dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Salah satu kegunaan IPM adalah untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan manusia di suatu wilayah. IPM untuk Kabupaten Sleman selama tahun 2004 sampai 2008 mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan semakin baiknya kualitas pembangunan manusia di Kabupaten Sleman. Secara detil gradasi tahunan IPM Kabupaten Sleman terlihat pada Tabel 3.8 berikut ini:

    50

    Tabel.3.8 Indeks Pemberdayaan Manusia Kabupaten Sleman Tahun 2004-2008

    Tahun IPM 2004 75,10 2005 70,60 2006 76,22 2007 76,70 2008 76,70

    Sumber: BPS Provinsi DIY, 2009

    Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Sleman selama tahun 2004 sampai 2008 menunjukkan kenaikan dari 75,10 pada tahun 2004 menjadi 76,10 pada tahun 2008. Secara keseluruhan IPM Kabupaten Sleman berdasarkan penggolongan termasuk dalam kategori menengah atas (66IPM80). Sedangkan Angka Harapan Hidup di Kabupaten Sleman dapat dilihat pada Tabel 3.9 berikut ini:

    Tabel 3.9 Angka Harapan Hidup Kabupaten Sleman Tahun 2004-2008

    Tahun AHH 2004 72,70 2005 72,70 2006 73,80 2007 74,15 2008 74,48

    Sumber: BPS Provinsi DIY 2009

  • 51

    Angka Harapan Hidup (AHH) Kabupaten Sleman pada tahun 2008 adalah 74,48. Angka ini bisa diterima karena hampir semua fasilitas kesehatan yang besar tersedia di Kabupaten Sleman, yaitu: RS Sarjito, RS Panti Rapih, RS Islam dan sebagainya. Berdasarkan data terpilah, Angka Harapan Hidup (AHH) Kabupaten Sleman dapat dilihat pada Tabel 3.10 berikut ini:

    Tabel 3.10 Angka Harapan Hidup Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Sleman Tahun 2004-2008

    AHH Tahun

    L P 2004 70,80 74,70 2005 70,80 74,80 2006 71,60 75,70 2007 72,20 76,10 2008 72,63 76,33

    Sumber: BPS. Provinsi DIY 2009

    Angka Harapan Hidup (AHH) disusun berdasarkan data terpilah menurut jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Dari data time series selama 5 tahun terjadi perubahan yang frekuensional naik turun. AHH laki-laki dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 naik secara signifikan: pada tahun 2004 sebesar 70,80 dan meningkat pada tahun 2008 sebesar 72,63. Dapat diasumsikan bahwa, semakin baiknya asupan gizi serta masukan lainnya dapat meningkatkan Angka Harapan Hidup. Sebaliknya AHH perempuan meningkat dari tahun 2004 sampai

    52

    2008 yang tercatat sebesar 76,33. Ditinjau dari AHH, terdapat kemungkinan bahwa AHH perempuan relatif lebih lama, artinya tingkat kepasrahan selain asupan gizi yang baik yang mendorong AHH perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki di Kabupaten Sleman.

    3.1.2.2 Kematian Ibu (AKI)

    Deskripsi bidang kesehatan di Kabupaten Sleman diawali

    dengan data jumlah kematian ibu melahirkan. Jumlah kematian ibu

    maternal di Kabupaten Sleman tahun 2009 sebanyak 9 kasus

    yaitu; 1 kasus kematian ibu hamil di Kecamatan Depok, Angka

    Kematian Ibu terbesar terjadi di Kecamatan Depok yaitu sebanyak

    2 ibu, diikuti di Kecamatan Kalasan, Pakem, Ngaglik, Turi, Sleman,

    dan Seyegan. Kematian ibu dalam kasus ini disebabkan oleh

    kematian ibu hamil (1 orang) di Kecamatan Turi, kematian ibu

    bersalin (5 orang) di Kecamatan Seyegan, Depok, Ngaglik, dan

    Pakem, dan kematian ibu nifas (3 orang) di kecamatan Mlati,

    Kalasan, dan Sleman. Gambaran persebaran kematian ibu

    martenal menurut kecamatan dapat dilihat pada Tabel 3.11 berikut

    ini:

  • 53

    Tabel 3.11 JumlahKematian Ibu Marternal Menurut Kecamatan di Kabupaten Sleman

    Tahun 2009 Kematian

    No Kecamatan Ibu Hamil Ibu Bersalin Ibu Nifas

    Jml

    01 Prambanan - - - - 02 Kalasan - - 1 1 03 Berbah - - - - 04 Depok - 2 - 2 05 Cangkringan - - - - 06 Ngemplak - - - - 07 Pakem - 1 - 1 08 Ngaglik - 1 - 1 09 Turi 1 - - 1 10 Tempel - - - - 11 Sleman - - 1 1 12 Mlati - - 1 1 13 Gamping - - - - 14 Godean - - - - 15 Seyegan - 1 - 1 16 Moyudan - - - - 17 Minggir - - - -

    JUMLAH 1 5 3 9 Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman 2009 & Puskesmas per

    Pecamatan 2009

    Dari Tabel Jumlah Kematian Ibu (AKI) marternal Kabupaten Sleman pada tahun 2009 dapat diketahui 9 orang meninggal yang terdiri dari: kematian ibu hamil sebanyak 1 orang,

    54

    ibu bersalin sebanyak 5 orang, dan kematian ibu nifas sebanyak 3 orang. Faktor penyebab kematian tersebut adalah pendarahan dan sepsis, TBC, dan SLE (post partum 30 hari), inpartu rupture uteri dengan riwayat mioma, cardiomyopati, perdarahan post partum intraperitoneal, H1N1 indirect, anemia aplastik, dan gagal jantung stadium IV karena hypertiroid. Jumlah persalinan yang terjadi di Kabupaten Sleman tahun 2009 dapat dilihat dari 13.207 ibu hamil, ditolong oleh tenaga kesehatan professional yaitu dokter dan bidan sebanyak 11.799 ibu bersalin (89,34%), dan yang memperoleh pelayanan nifas sebanyak 8.148 jiwa (61,69%).

    Tabel 3.12 Jumlah Ibu Melahirkan dan Nifas yang Ditolong Tenaga

    Kesehatan di Kabupaten Sleman Tahun 2009

    Jml Ibu Ditolong

    Jml Ibu Ditolong Kecamatan

    Bersalin Nakes %

    Nifas Nakes %

    Prambanan 646 528 81,73 646 367 56,81 Kalasan 834 714 85,61 834 603 72,3 Berbah 636 489 76,89 636 348 54,72 Depok 1720 1222 68,84 2020 627 25,5 Cangkringan 397 367 92,44 397 230 57,93 Ngemplak 705 607 87,65 1137 289 60,9 Pakem 479 450 93,95 479 271 56,58 Ngaglik 1091 1067 54,55 1091 645 57,04 Turi 497 528 106,2 497 245 49,3

  • 55

    Lanjutan Tabel 3.12 Jumlah Ibu

    Ditolong Jumlah Ibu

    Ditolong Kecamatan Bersalin Nakes

    % Nifas Nakes

    %

    Tempel 717 748 104,3 717 601 103,6Sleman 866 963 111,2 866 946 109,2Mlati 1.055 978 93,21 1.055 372 34,87Gamping 1.073 904 82,83 1.073 869 79,41Godean 876 806 92,06 876 635 72,30Seyegan 619 589 95,15 619 556 89,82Moyudan 497 454 91,35 497 194 39,03Minggir 500 385 77,00 500 370 74,00 13.207 11.799 89,34 13.207 8.168 61,69

    Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman 2009 & Puskesmas per Kecamatan 2009

    Keterangan: Angka yang dicetak miring pada beberapa kecamatan merupakan angka rata-rata dari banyaknya ibu bersalin maupun ibu nifas yang ditolong nakes

    Data jumlah persalinan yang ditolong tenaga kesehatan menunjukkan persentase yang sangat tinggi. Persalinan ditolong tenaga kesehatan (nakes) sebesar 89,34 %, di atas target 80%. Persentase persalinan ditolong nakes terbesar terdapat di Puskesmas Sleman di Kecamatan Sleman (111,20%), sedangkan yang terendah terdapat di Puskesmas Ngaglik I di Kecamatan Ngaglik (55,02%). Tingginya persentase persalinan di Kecamatan Sleman yang melebihi 100% disebabkan oleh banyaknya warga dari luar Kecamatan Sleman yang melakukan persalinan di

    56

    Kecamatan Sleman ataupun ditolong petugas medis yang ada di wilayah Kecamatan Sleman. 3.1.2.3 Angka Kematian Bayi (AKB)

    Secara tidak langsung kesehatan ibu dipengaruhi oleh

    beberapa hal, antara lain tingkat pendidikan ibu yang rendah,

    kondisi sosial ekonomi ibu yang rendah, kedudukan dan peran ibu

    dalam keluarga yang tidak mendukung, perilaku ibu hamil yang

    tidak berdasar ketentuan medis, kondisi lingkungan yang buruk

    dan alat penunjang yang tidak memadai. Hal-hal yang perlu

    diperhatiakan dalam rangka meningkatkan status kesehatan ibu

    adalah mempermudah akses terhadap pelayanan kesehatan,

    peningkatan kualitas dan efektifitas pelayanan kesehatan dan

    peningkatan sistem rujukan kesehatan maternal yang semakin

    dipermudah. Kualitas layanan kesehatan terhadap ibu bersalin

    ditinjau dari Angka Kematian Bayi lahir pada tahun 2009 sebanyak

    54 bayi dan lahir mati sebanyak 51 bayi, sehingga total kematian

    sebesar 105. Kematian tertinggi di Puskesmas Ngemplak II di

    Kecamatan Ngemplak sebanyak 12 bayi yang terdiri dari: lahir

    mati 2 bayi dan bayi mati 10 bayi yang diikuti oleh Kecamatan

    Sleman sebanyak 10 bayi, dan Kecamatan Kalasan sebanyak 9

    bayi.

  • 57

    Tabel 3.13 Bayi Lahir Mati Menurut Kecamatan di Kabupaten Sleman Tahun 2009

    Kecamatan Puskesmas Lahir Mati % Prambanan Prambanan 0 0 Kalasan kalasan 4 0,56 Berbah Berbah 0 0 Depok Depok I 1 0,33 Depok II 2 0,39 Depok III 0 0 Cangkringan Cangkringan 0 0 Ngemplak Ngemplak I 3 1 Ngemplak II 2 0,65 Pakem Pakem 0 0 Ngaglik Ngaglik I 2 0,33 Ngaglik II 1 0,22 Turi Turi 1 0,19 Tempel Tempel I 1 0,25 Tempel II 4 1,13 Sleman Sleman 5 0,52 Mlati Mlati I 4 0,72 Mlati II 5 1,18 Gamping Gamping I 0 0 Gamping II 4 0,64 Godean Godean I 1 0,25 Godean II 1 0,24 Seyegan Seyegan 2 0,34 Moyudan Moyudan 3 0,66 Minggir Minggir 5 1,28

    Sumber: Dinkes Kab. Sleman 2009 & Puskesmas per Kecamatan 2009

    58

    Dari data persalinan ibu hamil yang ada, adanya 117.999 bayi lahir hidup menunjukkan bahwa kematian bayi baru lahir (neonatal) di Kabupaten Sleman masih sangat tinggi, meskipun secara nasional kematian bayi di Kabupaten Sleman sebesar 6,67 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2009 (Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman 2009). Beberapa hal yang menjadi penyebab terkait dengan layanan kesehatan pada kehamilan, persalinan, dan perawatan bayi baru lahir. Penyebab kematian bayi lahir karena asfiksia, hipoterma, BBLR (Berat Badan Lahir Rendah). Dilihat dari distribusinya, persentase bayi lahir mati terbesar terdapat di 3 kecamatan yaitu Kecamatan Minggir di puskesmas Minggir sebesar 1,28 persen, Kecamatan Mlati di puskesmas Mlati II sebesar 1,18 persen, dan Kecamatan Tempel di puskesmas Tempel II sebesar 1,13 persen.

    Jumlah seluruh balita di posyandu pada tahun 2009 di Kabupaten Sleman adalah 75.283 balita (Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman 2009) yang melaksanakan penimbangan secara teratur mencapai 58.048 balita (77,11%). Hal ini mengindikasikan bahwa partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kesehatan dimulai dari usia dini sangat diperhatikan oleh masyarakat dewasa ini. Dengan persentase tersebut, nampaknya perlu ditingkatkan layanan terhadap pemangku kebutuhan yaitu masyarakat. Dari hasil Pemantauan Status Gizi (Februari-Agustus 2009), dari seluruh balita yang ada di Kabupaten Sleman, ditemukan 309 balita (0,53 %) yang teridentifikasi mempunyai status gizi buruk. Distribusi kategori gizi

  • 59

    yang ada di Kabupaten Sleman dapat dilihat pada Tabel 3.14 berikut ini:

    Tabel 3.14 Status Gizi Balita Menurut Kecamatan

    di Kabupaten Sleman Tahun 2009 Kecamatan Puskesmas Jml Balita Gizi Buruk %

    Prambanan Prambanan 3.679 24 0,90Kalasan Kalasan 4.754 29 0,69Berbah Berbah 3.628 13 0,44Depok Depok I 2.153 4 0,21 Depok II 2.790 4 0,17 Depok III 4.854 13 0,65Cangkringan Cangkringan 2.264 10 0,52Ngemplak Ngemplak I 1.727 8 0,51 Ngemplak II 2.289 15 0,67Pakem Pakem 2.728 15 0,75Ngaglik Ngaglik I 3.495 4 0,15 Ngaglik II 2.723 12 0,60Turi Turi 2.832 13 0,60Tempel Tempel I 2.209 17 0,97 Tempel II 1.878 7 0,51SLEMAN Sleman 4.939 16 0,4Mlati Mlati I 3.531 6 0,24 Mlati II 2.486 14 0,57Gamping Gamping I 2.838 9 0,33 Gamping II 3.279 14 0,54Godean Godean I 2.530 8 0,43 Godean II 2.462 14 0,82

    60

    Kecamatan Puskesmas Jml Balita Gizi Buruk % Seyegan Seyegan 3.529 10 0,37 Moyudan Moyudan 2.832 17 1,00 Minggir Minggir 2.853 13 0,70

    Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman 2009 Persentase gizi buruk tertinggi terdapat di Kecamatan Moyudan, diikuti Kecamatan Godean di Puskesmas Godean II, dan terendah di Kecamatan Depok puskesmas Depok I. Penyebab gizi buruk berdasarkan pelacakan epidemologi adalah adanya penyakit penyerta, kelainan sejak lahir, dan karena pola asuh yang salah. Seluruh balita dengan gizi buruk di Kabupaten Sleman sudah memperoleh layanan kesehatan sesuai yang dibutuhkan, diantaranya adalah PMT (Pemberian Makanan Tambahan) berupa MPASI (Makanan Pendamping Air Susu Ibu) dan rujukan ke Rumah sakit.

    Untuk menangani kasus gizi buruk di Sleman seluruh penderita mendapat pelayanan berobat gratis di rumah sakit yang sudah bekerja sama dengan Jamkesos. Penanganan kasus gizi buruk memiliki beberapa kendala, antara lain perilaku masyarakat seperti pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan belum banyak ibu yang menyadari pentingnya pemberian ASI sehingga pemberian ASI selama 2 tahun jarang dipenuhi.

    Data kesakitan penyakit menular seksual juga menunjukkan kondisi yang menurun. Angka kesakitan infeksi menular seksual pada tahun 2009 sejumlah 49 kasus dan ditangani sebanyak 100%. Infeksi Menular Seksual sebanyak 49

  • 61

    kasus yang tersebar di beberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Sleman dapat dilihat pada Tabel 3.15 berikut ini:

    Tabel 3.15 Infeksi Menular Seksual di Kabupaten Sleman Tahun 2009

    Kecamatan Puskesmas Jml Kasus Ditangani %

    Prambanan Prambanan 1 1 100 Kalasan kalasan 0 0 100 Berbah Berbah 1 1 100 Depok Depok I 2 2 100 Depok II 1 1 100 Depok III 2 2 100 Cangkringan Cangkringan 9 9 100 Ngemplak Ngemplak I 1 1 100 Ngemplak II 2 2 100 Pakem Pakem 0 0 100 Ngaglik Ngaglik I 3 3 100 Ngaglik II 1 - - Turi Turi 0 0 100 Tempel Tempel I 0 0 0 Tempel II 0 0 0 SLEMAN Sleman 1 1 100 Mlati Mlati I 4 4 100 Mlati II 12 12 100 Gamping Gamping I 4 4 100 Gamping II 0 0 0 Godean Godean I 0 0 0 Godean II 3 3 100

    62

    Kecamatan Puskesmas Jml Kasus Ditangani %

    Seyegan Seyegan - - - Moyudan Moyudan 0 0 0 Minggir Minggir 2 2 100 Jumlah 49 49 100

    Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman 2009

    Infeksi Menular Seksual tertinggi di Kecamatan Mlati sebanyak 12 kasus yang setara dengan 24,48 persen dari seluruh angka kesakitan karena IMS. Jumlah ini diikuti oleh Kecamatan Cangkringan sebanyak 9 kasus yang setara dengan 18,36 persen. Secara umum dapat disebutkan bahwa hampir setiap kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Sleman terdapat kesakitan akibat IMS.

    Program penyehatan masyarakat yang lain diberikan untuk bayi adalah imunisasi. Untuk Kabupaten Sleman program ini telah menunjukkan hasil yang baik dilihat dari persentase cakupan bayi yang memperoleh imunisasi lengkap yang tercatat telah mencapai 100 persen. Kegiatan imunisasi dilaksanakan dengan pembinaan, supervisi dan penyediaan logistik serta distribusi rutin vaksin dan logistik setiap bulan ke seluruh UPT Puskesmas dan 2 buah rumah sakit pemerintah serta surveilans kejadian ikutan pasca imunisasi (KIP) dan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3), pemberian layanan imunisasi langsung ke sasaran bayi, ibu hamil, wanita subur (calon pengantin), dan anak sekolah yang dilaksanakan oleh Puskesmas. Sasaran wanita subur dan ibu hamil imunisasi yang diberikan adalah TT(1-5)

  • 63

    dengan cakupan tahun 2009 sebesar 105,6 %, sedangkan untuk anak usia sekolah dasar/ sederajad klas I sampai IV adalah imunisasi campak, DT, dan TT yang diberikan serentak pada bulan Nopember setiap tahun ( Dinas Kesehatan Sleman, 2009). Untuk me