62
KARYA ILMIAH BAHASA INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS BANGSA Oleh: Hidayat Bahktiar (A410080059) JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENGETAHUAN

Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

KARYA ILMIAH

BAHASA INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS

BANGSA

Oleh:

Hidayat Bahktiar

(A410080059)

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENGETAHUAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

TAHUN 2009/2010

Page 2: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi kemudahan,

kelancaran dan kekuatan serta petunjuk dan bimbingan kepada kami, karena

atas petunjuk-Nyalah penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah ini dengan

baik.

Banyak pihak yang telah membantu menyelesaikan secara langsung dan

tidak langsung dalam penyelesaian Karya Ilmiah ini ini maka dari itu

menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bpk. Muhammad Rohmadi, S.S., M.Hum. selaku Dosen mata kuliah

Bahasa Indonesia, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

2. Teman-teman semua yang telah membantu dalam menyelesaikan

penulisan Karya Ilmiah ini.

Akhirnya, Semoga penyusunan Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak. Dalam penyusunan Karya Ilmiah ini kami sadar masih terdapat

kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu kritik dan saran sangat kami

harapkan sehingga terdapat kesempurnaan pada Karya Ilmiah ini. Semoga

Karya Ilmiah ini dapat memberikan arti dalam pengembangan pendidikan yang

akan datang. Amien…

Surakarta, Juni 2009

Penulis,

ii

Page 3: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………..………………………..……………………… ii

DAFTAR ISI…………………………………..………………………………… iii

ABSTRAK…………………………………..…………………………...……… iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………. 1

B. Perumusan Masalah……………………………………………… 2

C. Tujuan Program………………………………………………..… 3

D. Metode Penelitian………………………………………………... 3

E. Kegunaan Program………………………………...……………... 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Bahasa Indonesia……………………………..…………..…4

1. Melayu Kuno. ……………………………..…………..…..4

2. Melayu Klasik…………………………………………..….5

3. Bahasa Indonesia…………………………………………..6

B. Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan

perkembangan Bahasa Indonesia………………………………...7

C. Fungsi Bahasa Indonesia…………………………………………10

D. Sastra Indonesia Sebagai Identitas Budaya……………….……...12

E. Perkembangan Bahasa Indonesia Di Era Globalisasi…………….23

F. Bahasa Indonesia dan Siaran Televisi Nasional……………….....28

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………..….. 30

B. Saran...............................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..…… 33

iii

Page 4: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

ABSTRAK

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana

disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan

bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda

28 Oktober 1928. Meski demikian, hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia

yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu karena dalam percakapan

sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia

Secara sejarah, bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari

bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau

mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan

bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa

Indonesia baru dianggap "lahir" atau diterima keberadaannya pada tanggal 28

Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara

resmi diakui keberadaannya

Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa

Indonesia. Tahun 1896 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu. Tanggal 16 Juni 1927

Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Tanggal 28

Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu

menjadi bahasa persatuan Indonesia. Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan

muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan

Takdir Alisyahbana. Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa

Baru Bahasa Indonesia. Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa

Indonesia I di Solo. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang

Dasar 1945. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai

pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya. Tanggal 28 Oktober s.d 2

November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Tanggal 16

Agustus 1972 H. M. Soeharto. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang

Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh

wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara). Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978

diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Tanggal 21-26 November

iv

Page 5: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Tanggal 28 Oktober

s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta.

Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa

Indonesia VI di Jakarta. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres

Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta.

Fungsi Bahasa Indonesia Seminar Politik Bahasa Nasional, 25-28 Februari

1975 di Jakarta, antara lain merumuskan bahwa di dalam kedudukannya bahasa

nasional, bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI) berfungsi sebagai:Lambang

kebanggaan nasional. Lambangidentitasnasional, Pemersatu berbagai masyarakat

yang berbeda latar belakang sosial budayabahasa. Alat perhubungan antar budaya

dan antar daerah (Pusat Pembinaan dan pengembanganBahasa,1975:5). Beriringan

dengan pesatnya perkembangan BI sebagai lambang identitas nasional,

teraktualisasikan pula perkembangan bahasa daerah (selanjutnya disingkat BD)

sebagai lambang identitas daerah yang keberadaannya diakui di dalam UUD 1945.

Indonesia terdiri dari berbagai sukubangsa dan budaya, agama, kepercayaan,

dan ideologi. Bahwa suku bangsa yang satu tak memahami suku bangsa lain; budaya

yang satu diperlakukan seolah-olah tak bersentuhan dengan budaya lain; juga

merupakan kenyataan yang sangat mungkin sewaktu-waktu dapat menjadi masalah

serius, seperti terjadi di Sambas, dan beberapa daerah lain. pemahaman dan usaha

mempelajari kebudayaan sukubangsa lain, di luar etnisnya sendiri, niscaya menjadi

sangat signifikan jika mengingat kemungkinan terjadinya desintegrasi bangsa tadi.

Arus globalisasi tentu saja akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan dan

penghidupan manusia sejagat.

Persoalan lain yang terjadi dalam hubungan kesukubangsaan dan kebangsaan

atau antara etnisitas dan nasionalisme adalah adanya tuntutan pengakuan dan

keinginan yang berlebihan untuk mempertahankan identitas etnis dan agama.

Sejatinya keberadaan masing-masing etnis itu berbeda dan perbedaan yang

beranekaragam itu sebagai pluralitas faktual, maka perlu ada kesadaran kesetaraan

hubungan antar-etnis itu. Lewat kesadaran kesetaraan itu, usaha untuk mengapresiasi

etnis dan budaya lain relatif menjadi lebih gampang dan fleksibel. Usaha memelihara

toleransi menjadi lebih terbuka.

v

Page 6: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

Menempatkan kesusastraan Indonesia sebagai pintu masuk menuju

pemahaman pluralitas budaya dan keberagaman etnik masyarakat di wilayah

Nusantara ini, tentu saja bukan tanpa alasan. Selain persoalan konflik etnik dan

agama yang perlu segera mendapat penanganan serius, juga hasrat beberapa daerah

yang berlebihan hendak mewujudkan identitas etnik dalam kerangka negara merdeka

(ethnonationalism) dapat menjadi ancaman. Kinilah saatnya memanfaatkan khazanah

kesusastraan Indonesia yang sarat bernafaskan kultur etnik untuk dijadikan salah satu

alat atau kendaraan yang akan membawa pada pemahaman keberagaman etnik

dengan pluralitas budayanya. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor berikut,

tak berlebihan jika gagasan ini dicobakan.

Kata Kunci: Bahasa Indonesia, Sejarah Bahasa Indonesia, Melayu Globalisasi Identitas Bangsa, Identitas Budaya.

vi

Page 7: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Etnik atau ethnic groups secara umum dipahami sebagai masyarakat suku,

atau masyarakat yang secara tradisi memiliki persamaan identitas. Wujud identitas

itu misalnya bahasa, tempat tinggal, pola kekerabatan, pola perkawinan, religi,

arsitektur rumah, pola tempat tinggal, dan lain-lain. Mengenai bahasa, maka

makalah ini berusaha mengkaji fungsi bahasa baik secara konseptual maupun

secara praksis. Bahasa sebagai salah satu identitas, di mana bahasa bisa menjadi

identitas kolektif etnik, tetapi bahasa bisa juga menjadi identitas yang lebih luas

dari etnik yaitu bangsa. Ciri yang menonjol dari identitas bangsa Indonesia

tercermin dari adanya bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Walaupun dalam

perkembangannya secara historis bahasa Indonesia yang baru muncul pada tahun

1928 dalam peristiwa Sumpah Pemuda kemudian mendapat beragam pengaruh

kosa kata dari berbagai bahasa, akan tetapi bahasa Indonesia memiliki akar tradisi

etnik yaitu bahasa Melayu.

Fenomena ini berbeda misalnya dengan Philipina yang memiliki 2 bahasa

nasional yaitu bahasa Tagalog dan bahasa Inggris (Amerika), atau India yang

bahasa nasionalnya adalah bahasa Inggris, atau Negara Aljazair yang bahasa

nasionalnya bahasa Prancis, atau Singapura yang bahasa nasionalnya bahasa

Inggris dan meninggalkan bahasa nenek moyangnya yaitu bahasa Melayu. Akar

budaya kaum kolonial yang tercermin di dalam bahasanya itulah kemudian yang

menjiwai negara-negara tersebut di muka yang telah mengadopsi bahasa bekas

negara penjajahnya untuk dijadikan bahasa persatuan sebagai perekat etnik.

1

Page 8: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

Bahasa Indonesia adalah alat komunikasi paling penting untuk

mempersatukan seluruh bangsa. Oleh sebab itu, merupakan alat mengungkapkan

diri baik secara lisan maupun tulisan, dari segi rasa harsa dan cipta serta piker baik

secara efektif dan logis. Semua warga negara Indonesia harus mahir dalam

menggunakan Bahasa Indonesia karena itu merupakan kewajiban bergaul di

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu kita harus memajukan

kepribadian Indonesia di dalam maupun di luar negeri. Bahasa Indonesia tentu

saja memiliki karakter khusus karena dia berakar dari tradisi etnik lokal yang

kemudian dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa persatuan yang berfungsi

sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa Indonesia bersifat fleksibel dan ini

tampak dalam berbagai dialek misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek

Sulawesi Selatan, dialek Palembang, dialek Papua dll, dan menurut Ferdinand de

Saussure (1996: 80) hal ini adalah aspek parole dari bahasa. Bahasa Indonesia

baku (ejaan yang disempurnakan/EYD) dalam konteks Saussurian disebut sebagai

aspek langue. Langue-lah yang menjadi titik tekan kajian ilmu linguistik, langue

merupakan fakta sosial yang artinya dia menjadi milik kolektif sistem dan berada

di atas fakta individu. Parole adalah fakta individu. Sosialisasi Bahasa Indonesia

baku secara massal dan berkesinambungan misalnya dilakukan oleh TVRI atau

TV-TV swasta yang menggunakan bahasa baku dalam siarannya. Untuk itu maka

makalah ini akan mencoba mengkaji kasus pemanfaatan Bahasa Indonesia sebagai

bahasa pengantar pada siaran televisi-televisi yang siarannya berjangkauan

nasional.

Kepribadian Indonesia dapat tercipta dari kemahiran berbahasa Indonesia,

bagi mahasiswa Indonesia semua itu dapat tercermin dalam tata pikir, tata tulis,

tata ucapan dan tata laku. Berbahasa Indonesia dalam konteks Ilmiah dan

Akademis, sebagai mahasiswa harus lebih dapat menggunakan bahasa Indonesia

dengan baik dan benar supaya negeri ini bisa tetap utuh terjaga.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang yang dijabarkan di atas dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut:

“Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Kebersamaan Bangsa”

2

Page 9: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

C. Tujuan Program

Tujuan dari karya tulis ini adalah untuk mengetahui dan memahami sejarah

perkembangan bahasa indonesia dan bahasa indonesia sebagai identitas dan

penyatu bangsa.

D. Metode Penelitian

Dalam melakukan menulis karya tulis ini penulis menggunakan buku

Bahasa Indonesia Untuk Penulisan Karya Tulis Ilmiah, sebagai acuan dalam

pembahasan masalah dan situs-situs pendidikan di internet sebagai sumber

pembahasan masalah.

E. Kegunaan Program

Dengan adanya karya tulis adalah supaya mengetahui dan memahami

sejarah perkembangan bahasa indonesia dan bahasa indonesia sebagai identitas

dan penyatu bangsa, sehingga dalam kehidupan bermasyrakat dapat menggunakan

bahaa Indonesia yang baik dan benar, menjaga keutuhan bahasa Indonesia sebagai

kebudayaan dan identitas nasional di era globalisasi ini dan mengetahui

pentingnya bahasa indonesi di mayarakat luas.

3

Page 10: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia

yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad

awal penanggalan modern. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan

istilah Melayu Pasar. Jenis ini sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan

ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-

istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan para penggunanya.

Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi yang pada masa lalu

digunakan oleh kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan

Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat

halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar.

Pemerintah kolonial Belanda melihat kelenturan Melayu Pasar dapat

mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda berusaha meredamnya dengan

mempromosikan Bahasa Melayu Tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya

sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu

Pasar sudah digunakan oleh banyak pedagang dalam berkomunikasi.

1. Melayu Kuno

Penyebutan pertama istilah "Bahasa Melayu" sudah dilakukan pada masa

sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti

berbahasa Melayu Kuno dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis

dengan aksara Pallawa atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya

pada abad ke-7 sampai ke-12. Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa

4

Page 11: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di

dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.

Berbagai batu bertulis (prasasti) yang ditemukan itu seperti:

1. Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683

2. Prasasti Talang Tuo di Palembang, tahun 684

3. Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat, tahun 686

4. Prasasti Karang Brahi antara Jambi dan Sungai Musi, tahun 688

Yang kesemuanya beraksara Pallawa dan bahasanya bahasa Melayu Kuno

memberi petunjuk bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu Kuno sudah

dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya.

Prasasti-prasasti lain yang bertulis dalam bahasa Melayu Kuno juga terdapat

di : a). Jawa Tengah: Prasasti Gandasuli, tahun 832, dan Prasasti Manjucrigrha

b). Bogor, Prasasti Bogor, tahun 942

Kedua-dua prasasti di pulau Jawa itu memperkuat pula dugaan bahwa bahasa

Melayu Kuno pada ketika itu bukan saja dipakai di Sumatra, melainkan juga dipakai

di Jawa.

Penelitian linguistik terhadap sejumlah teks menunjukkan bahwa paling

sedikit terdapat dua dialek bahasa Melayu Kuno yang digunakan pada masa yang

berdekatan.

2. Melayu Klasik

Karena terputusnya bukti-bukti tertulis pada abad ke-9 hingga abad ke-13, ahli

bahasa tidak dapat menyimpulkan apakah bahasa Melayu Klasik merupakan

kelanjutan dari Melayu Kuno. Catatan berbahasa Melayu Klasik pertama berasal

dari Prasasti Terengganu berangka tahun 1303.

Seiring dengan berkembangnya agama Islam dimulai dari Aceh pada abad ke-

14, bahasa Melayu klasik lebih berkembang dan mendominasi sampai pada tahap di

mana ekspresi “Masuk Melayu” berarti masuk agama Islam.

5

Page 12: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

3. Bahasa Indonesia

Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca

(bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya

sebagai bahasa ibu. Bahasa ibu masih menggunakan bahasa daerah yang jumlahnya

mencapai 360 bahasa.

Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya

Malay Archipelago bahwa "penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa

tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-

negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan

dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di

seluruh Hindia Belanda."

Jan Huyghen van Linschoten di dalam bukunya Itinerario menuliskan bahwa

"Malaka adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu

membuat sebuah kota dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan

mengambil kata-kata yang terbaik dari segala bahasa di sekitar mereka. Kota

Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar yang utama di

kawasan tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa

yang paling sopan dan paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh."

Bahasa Indonesia modern dapat dilacak sejarahnya dari literatur Melayu

Kuno. Pada awal abad ke-20, bahasa Melayu pecah menjadi dua. Di tahun 1901,

Indonesia di bawah Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen sedangkan pada

tahun 1904 Malaysia di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Bahasa

Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional pada saat Sumpah Pemuda

tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas

usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam

pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa :

"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan

kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa

persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa

6

Page 13: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa

persatuan."

Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak

dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur

Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan

Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan

kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana

disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan

bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda

28 Oktober 1928. Meski demikian, hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia

yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu karena dalam percakapan

sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan bahasa

daerahnya masing-masing sebagai bahasa ibu seperti bahasa Melayu pasar, bahasa

Jawa, bahasa Sunda, dan lain sebagainya. Untuk sebagian besar masyarakat

Indonesia lainnya, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua dan untuk taraf resmi

bahasa Indonesia adalah bahasa pertama. Bahasa Indonesia merupakan sebuah

dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia.

Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus

menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari

bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu

yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar

Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah.

B. Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa

Indonesia

7

Page 14: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

1. Tahun 1896 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Van Ophuijsen yang

dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.

Ejaan ini dimuat dalam Kitab Logat Melayu.

2. Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku

bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan

Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan

penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan,

buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang

tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat

luas.

3. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam

pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang

berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[5]

4. Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar

bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.

5. Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya

sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.

6. Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa

Indonesia.

7. Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo.

Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan

pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan

dan budayawan Indonesia saat itu.

8. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang

salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa

negara.

9. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai

pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.

10. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa

Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa

8

Page 15: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang

diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.

11. Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia,

meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD)

melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan

Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.

12. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman

Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia

(Wawasan Nusantara).

13. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa

Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati

Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan,

dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha

memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.

14. Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV

di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari

Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan

dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat

yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan

kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia

dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.

15. Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa

Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar

bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat

seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan

Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di

Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa

Indonesia.

16. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa

Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia

dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam,

Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan

9

Page 16: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa

Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.

17. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di

Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan

Pertimbangan Bahasa.

C. Fungsi Bahasa Indonesia

Di dalam ilmu sosial-budaya apabila mengkaji fenomena sosial dengan

perspektif fungsi maka mau tidak mau akan menyandarkan pijakan paradigma pada

pendekatan fungsionalisme. "Fungsionalisme sebagai perspektif teoritik dalam

antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme/makhluk hidup. Artinya,

sistem sosial-budaya dianalogikan sebagai sistem organisme, yang bagian-

bagiannya atau unsur-unsurnya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga

memberikan peranan bagi pemeliharaan, stabilitas, integrasi, dan kelestarian hidup

organisme itu. Dengan analogi seperti itu maka semua sistem budaya memiliki

syarat-syarat fungsional, atau sistem budaya memiliki kebutuhan sosial yang harus

dipenuhi agar sistem sosial-budaya dapat bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu

tidak terpenuhi maka sistem sosial-budaya itu akan mengalami disintegrasi dan

mati, atau dia akan berubah menjadi sistem lain tetapi beda jenis" (David Kaplan &

Albert Manners, 2000: 77-78).

Pendekatan fungsional ini dikembangkan oleh dua orang antropolog Inggris

yaitu Bronislaw Malinowski dan Radcliffe Brown (Adam Kuper, 1996; 40). Dengan

mengacu pada pendekatan fungsional itu maka stabilitas dan integrasi sistem sosial-

budaya sangat tergantung pada fungsi dari unsur-unsur yang menjadi bagian dari

sistem. Kalau suatu sistem organisme/makhluk hidup itu unsur-unsurnya adalah

kaki, mata, telinga, tangan, mulut, atau hidung maka sistem sosial-budaya yang

bernama negara (sebagai contoh) unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah,

birokrasi, aparat keamanan, wilayah, bahasa, mata uang, atau penduduk. Semua

unsur tersebut tidak hanya saling berhubungan akan tetapi juga saling

menyumbangkan fungsinya masing-masing agar integrasi sistem tetap terjaga.

Apabila salah satu unsur mengalami disfungsi atau tidak mampu menyumbangkan

10

Page 17: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

peran sesuai kapasitasnya, maka akibatnya akan dirasakan oleh unsur-unsur yang

lain. Pada akhirnya integrasi sistem akan goncang.

Salah satu kelemahan dari pendekatan fungsionalisme ini adalah pada

asumsinya bahwa kondisi sistem sosial-budaya itu selalu dalam keadaan stabil dan

terintegrasi. Maka pendekatan fungsional tidak mampu menjelaskan adanya

perubahan sistem sosial budaya secara menyeluruh. Hal ini wajar karena semua

pendekatan teoritik selalu memiliki kelebihan dan kekuarangan. Kita kembali pada

sistem sosial-budaya yang bernama negara, yaitu negara Indonesia, yang unsur-

unsurnya akan terdiri dari pemerintah, bangsa, wilayah, bahasa, atau penduduk.

Dalam hal ini kita ambil salah satu unsur negara yaitu bahasa.

Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa

persatuan, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia. Apabila Bahasa Indonesia

sebagai unsur dari sistem negara pada suatu saat tidak mampu memberikan

fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, atau identitas bangsa

maka akan terbayangkan adanya kegoncangan sistem sosial-budaya. Dalam

peristiwa kenegaraan pasti akan terjadi kekacauan karena tidak ada bahasa

kenegaraan. Semua orang akan membenarkan bahasa yang mereka gunakan sesuai

etnisnya walau masing-masing berbeda bahasa. Tidak akan ada bahasa persatuan

yang menjadi bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia yang memiliki latar

belakang etnis dan bahasa beraneka macam. Tidak akan ada bahasa yang dijadikan

identitas kebersamaan bahwa semua unsur itu menjadi bagian dari sistem yang

bernama negara Indonesia. Inilah yang disebut sebagai disintegrasi atau distabilitas

sistem negara.

Sebagai identitas bangsa atau negara maka bahasa Indonesia menjadi ciri atau

tanda yang membedakan dengan bangsa lain atau negara lain. Identitas ini bisa saja

menjadi salah satu faktor kebanggaan pada sebuah bangsa, yang kadang-kadang

diiringi dengan sikap merendahkan atau menganggap aneh identitas bangsa lain.

Identitas ini tidak stabil atau baku akan tetapi selalu berproses lewat wacana untuk

berkomunikasi, sehingga identitas selalu terjaga, dinamis, berubah, atau malah

musnah. Berawal dari merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan identitas yang

berupa Bahasa Indonesia maka bisa jadi ini adalah awal dari disintegrasi negara

Indonesia. Tidak ada lagi alat komunikasi sesama warga Indonesia yang menjadi

11

Page 18: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

kebanggaan bersama, masing-masing merasa bangga dengan bahasa daerahnya atau

bangga dengan bahasa manca negara sehingga bahasa Indonesia akan ditinggalkan.

Fungsi Bahasa Indonesia Seminar Politik Bahasa Nasional, 25-28 Februari

1975 di Jakarta, antara lain merumuskan bahwa di dalam kedudukannya bahasa

nasional, bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI) berfungsi sebagai:

1) Lambang kebanggaan nasional.

2) Lambangidentitasnasional,

3) Pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial

budayabahasa.

4) Alat perhubungan antar budaya dan antar daerah (Pusat Pembinaan

dan pengembanganBahasa,1975:5).

Beriringan dengan pesatnya perkembangan BI sebagai lambang identitas

nasional, teraktualisasikan pula perkembangan bahasa daerah (selanjutnya disingkat

BD) sebagai lambang identitas daerah yang keberadaannya diakui di dalam UUD

1945 yang secara bersamaan dengan BI menghadapi arus globalisasi. Kenyataan

menunjukkan bahwa tidak ada persaingan antara BI dan BD. Oleh karena itu,

pemerintah tidak ragu-ragu mengonsepkan kurikulum muatan lokal yang

memberikan peluang bagi sekolah-sekolah untuk mengajarkan BD di daerah

masing-masing.

D. Sastra Indonesia Sebagai Identitas Budaya

Ketika Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, menegaskan pernyataan sikap para

pemuda Indonesia: “bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; berbangsa yang

satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” saat

itulah identitas etnis –diwakili Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra),

Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda

Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia—dan agama –

diwakili Jong Islamieten—melekat dalam semangat kebangsaan atas nama

Indonesia. Sejak saat itu pula, bahasa Melayu –sebagai bahasa etnis— diangkat

12

Page 19: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

menjadi bahasa persatuan dalam semangat politik keindonesiaan, dan tidak dalam

hubungan kultural kesukubangsaan.

Selepas peristiwa itu, berbagai puak dengan keanekaragaman kultur dan

bahasa, mulai dipersatukan melalui klaim kesadaran adanya persamaan tanah air

(wilayah), nasib bangsa yang terjajah, dan persamaan menggunakan alat

komunikasi antar-etnik (bahasa). Tentu saja klaim kesadaran keindonesiaan para

pemuda waktu itu dalam konteks kebangsaan yang bersifat politis, dan tidak dalam

hubungan kultural. Meski begitu, dalam lampiran hasil keputusan kongres pemuda

itu, dinyatakan bahwa dasar persatuan Indonesia itu dilandasi oleh kesamaan

semangat “kemauan, sejarah, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan.” Di

mana kultur etnik ditempatkan, apakah yang dimaksud kemauan, sejarah, dan

hukum adat, berada dalam konteks etnisitas, mengapa kebudayaan (etnik) tidak

eksplisit dijadikan sebagai landasan semangat persatuan keindonesiaan?

Di sinilah pernyataan “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,”

mestinya punya makna penting sebagai alat perekat. Pasalnya, jauh sebelum

Sumpah Pemuda, bahasa Melayu telah menjadi lingua franca bagi penduduk di

wilayah Nusantara ini. Jadi, de facto, bahasa Melayu sudah menjadi alat komunikasi

antar-etnis, sekaligus juga sebagai sarana untuk saling mengenal lebih dekat

keberagaman kultur etnisnya. Bukankah fungsi bahasa, di antaranya adalah untuk

melakukan adaptasi dan integrasi sosial? Jadi, sejak Sumpah Pemuda dicetuskan,

sejak itulah sesungguhnya terbuka lebar peluang untuk saling memahami berbagai

kultur etnik dalam kerangka keindonesiaan.

Meskipun demikian, dalam perjalanannya, peluang untuk memahami berbagai

kultur etnik melalui kesamaan bahasa itu, seperti diabaikan begitu saja. Sutan

Takdir Alisjahbana, misalnya, tiba-tiba saja menyodorkan konsep kebudayaan

Indonesia dengan orientasi ke Barat. Alisjahbana juga sama sekali tidak

menyinggung kebudayaan etnik, lantaran ia terperangkap oleh pemikiran dikotomis

mengenai kebudayaan tradisional (kebudayaan Indonesia lama) dan modern

(kebudayaan Indonesia baru). Dikatakannya, “Tiada sekali-kali termaksud untuk

mencela segala yang lama, untuk menyuruh orang melemparkan segala yang

13

Page 20: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

tumbuh dalam berabad-abad di lingkungan tanah Indonesia ini. Dalam pusaka

turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat

dipakai untuk perumahan yang baru.” Selanjutnya, dikatakan pula, “… dalam

zaman jarak menjadi dekat dan watas menjadi kabur oleh radio, surat kabar, buku,

dan mesin terbang ini, Indonesia menjadi sebahagian daripada dunia yang luas…

dalam pembangunan kebudayaan Indonesia yang baru, yang akan menjadi

sebahagian daripada kebudayaan dunia, Indonesia Muda tiada mungkin menjadi

penonton…”

Dalam beberapa artikel Alisjahbana yang lain yang kemudian menjadi

Polemik Kebudayaan itu, di satu pihak, ia memberi penyadaran pentingnya orientasi

bangsa Indonesia dalam membangun kebudayaan sendiri, dan di lain pihak,

memberi penekanan pada pengaruh asing (Barat) yang bagi Alisjahbana, mesti

disikapi dengan menyerap pengaruh itu dan menjadikan kebudayaan Indonesia

sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Oleh karena itu, menurut Alisjahbana,

kebudayaan tradisional mesti ditempatkan sebagai masa lalu. Secara eksplisit

dikatakannya: masa lalu sudah mati semati-matinya!

Jelas, meski pada awalnya Alisjahbana masih menyatakan, bahwa “Dalam

pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang

dapat dipakai untuk perumahan yang baru,” ia sama sekali tak melihat –bahkan

tidak menyinggung— signifikansi kebudayaan daerah (etnik) sebagai bagian dari

usaha membangun kebudayaan Indonesia. Dengan begitu, kebudayaan etnik pun,

bagi Alisjahbana, sekadar kisah masa lalu. Bahwa pandangan Alisjahbana

menafikan keberadaan kultur etnik, tentu saja masalahnya berkaitan dengan tuntutan

semangat zamannya. Dalam hal ini, boleh jadi pertimbangannya semata-mata atas

dasar pentingnya bangsa Indonesia mengejar ketertinggalannya dari bangsa lain.

Atau, sangat mungkin pula Alisjahbana sengaja menutup mata atas kebudayaan

etnik. Justru di situlah sesungguhnya sumber masalah yang menimpa kebudayaan

Indonesia. Masalah itu kemudian terus mengalir mengikuti perjalanan waktu, dan

seolah-olah kebudayaan Indonesia terjelma begitu saja secara serempak, tanpa

keterlibatan –atau tanpa perlu melibatkan— ihwal kultur etnik.

Pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah: apa yang dimaksud dengan

kebudayaan Indonesia? Apakah kebudayaan Indonesia yang baru itu, semua

14

Page 21: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

unsurnya diambil dari kebudayaan asing atau kebudayaan daerah yang menyerap

pengaruh asing? Perdebatan dalam Polemik Kebudayaan itu juga ternyata sama

sekali tidak merumuskan konsep kebudayaan Indonesia. Yang ditekankan,

bagaimana bangsa Indonesia menyikapi pengaruh asing dan menempatkan tradisi

sebagai bagian dari masa lalu yang harus dibenamkan semati-matinya atau justru

dijadikan sebagai sumber inspirasi.

Ketidakjelasan rumusan itu pula yang boleh jadi dihadapi oleh para penyusun

Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 32 UUD 1945, dinyatakan: “Pemerintah

memajukan kebudayaan nasional Indonesia.” Lalu apa yang dimaksud dengan

kebudayaan nasional Indonesia, tak ada pula rumusannya. Hanya, di dalam

penjelasan Pasal 32 itu, dinyatakan, bahwa “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan

yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan

lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh

Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju

ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan

baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya

kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa

Indonesia.”

Kembali, penjelasan yang semestinya mendudukkan konsep kebudayaan

nasional Indonesia, kebudayaan bangsa, dan (puncak-puncak) kebudayaan daerah

dalam pengertian yang lebih terang, justru menimbulkan persoalan, karena tidak ada

keterangan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan konsep itu. Bahkan

pernyataan puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai kebudayaan bangsa,

menafikan sebagian keberadaan kebudayaan daerah sebagai bukan kebudayaan

bangsa. Atau, mengidentifikasikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan

nasional, tentu saja tidak dapat dilakukan begitu saja mengingat keduanya

mempunyai peranan yang berbeda. Kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional

masing-masing menempati kotaknya sendiri yang tidak secara gampang dapat

dipertukarkan tempatnya. Persoalannya makin rumit ketika ada pekerja budaya yang

justru tidak berada di wilayah kebudayaan daerah. Tentu saja mereka tidak mungkin

dapat mencapai “puncak-puncak” kebudayaan daerah. Rumusan yang berbau

hegemonik ini sepatutnya tak muncul jika ada kesadaran bahwa sesungguhnya

15

Page 22: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

kebudayaan Indonesia tak dapat melepaskan diri dari hubungannya antara

kebudayaan nasional (bangsa) dan kebudayaan daerah (etnik).

Penafikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan yang lahir dari rahim etnik

kesukubangsaan, juga muncul dalam semangat yang melandasi para seniman dan

budayawan yang tergabung dalam “Gelanggang Seniman Merdeka”. Dalam

pernyataan sikap berkebudayaannya yang dirumuskan dalam “Surat Kepercayaan

Gelanggang”, mereka cenderung menempatkan kebudayaan Indonesia sebagai

bagian dari kebudayaan dunia, dan sama sekali tak ada usaha untuk

mempertimbangkan kebudayaan etnik yang sesungguhnya merupakan bagian yang

tak terpisahkan dari kebudayaan keindonesiaan. Perhatikan kutipan beberapa

penggalan Surat Kepercayaan Gelanggang berikut ini.

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini

kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami tidak akan memberikan suatu kata

ikatanuntukkebudayaanIndonesia.Kalau kami berbicara tentang kebudayaan

Indonesia,kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama. Kebudayaan

Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan

dari segala sudut dunia yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara

sendiri.

Lihatlah elan yang dikumandangkan para seniman yang belakangan dicap

sebagai Angkatan 45 itu. Klaim “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” dan

“Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara

yang dilontarkan dari segala sudut dunia” menegaskan orientasi mereka pada

kebudayaan dunia yang di dalam konteks itu tidak lain merupakan kebudayaan

Barat.

Sementara itu, pernyataan: “Kalau kami berbicara tentang kebudayaan

Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama,”

mengisyaratkan betapa mereka tak lagi melihat kebudayaan etnik yang sebenarnya

sejak mereka lahir sudah nemplok dengan sendirinya. Pertanyaannya kemudian:

mungkinkah kebudayaan etnik diabaikan begitu saja –bahkan ditiadakan, jika

mereka sendiri lahir dan dibesarkan dalam lingkaran kebudayaan etnik. Dengan

demikian, bagaimana mungkin mereka dapat merumuskan dan memahami identitas

16

Page 23: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

kebudayaannya, jika mereka sendiri, belum apa-apa, sudah menolak kebudayaan

masa lalunya. Jadi, tidak dapat lain, usaha merumuskan kebudayaan Indonesia dan

penjelasannya tentang itu, mesti berangkat atau bersumber dari kebudayaan masa

lalunya itu; kebudayaan daerah, kebudayaan etnik. Tanpa itu, kita akan tetap

terjebak pada perumusan yang mengawang-awang dan tidak membumi.

Pemaparan di atas sesungguhnya sekadar hendak menegaskan kembali, betapa

rumusan-rumusan tentang kebudayaan Indonesia yang selama ini kita terima, telah

gagal mengakomodasi keberadaan kebudayaan daerah –kebudayaan etnik. Jadi, titik

tekan dalam mencermati persoalan kebudayaan Indonesia kini, mestinya tidak lagi

terpaku dan berkutat pada konsep-konsep yang abstrak dan mengawang-awang,

melainkan pada cara pandang dan pemahaman yang bersifat praksis.

Demikian juga, pemahaman kebudayaan etnik yang sekadar disajikan dalam

bentuk pengetahuan hapalan tentang pakaian tertentu, jenis kesenian, dan nama

suku bangsa sebagaimana yang banyak disajikan dalam buku-buku pelajaran, tanpa

penjelasan lebih lanjut tentang filsafat yang mendiaminya, semangat yang

menjiwainya, dan ruh kebudayaan yang melatarbelakanginya, telah mereduksi

kekayaan dan kekhasan kebudayaan etnik itu sendiri. Dengan begitu, sangat

mungkin kita sekadar hapal nama, istilah, atau konsep tentang kebudayaan etnik

tertentu, tetapi sama sekali tidak dapat memahami peristiwa besar kebudayaan yang

berada di sebaliknya. Dalam hal itu, barangkali, perlu dipikirkan langkah-langkah

praksis yang memungkinkan kita dapat mengenal, memahami, dan memberi

apresiasi sewajarnya atas berbagai macam budaya etnik. Dengan kata lain,

diperlukan sikap inklusif dan terbuka dalam menerima kebudayaan etnik lain

sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan kita dalam lingkup keindonesiaan. Sikap

apresiatif terhadap kultur etnik mana pun, sedikitnya dapat membawa kita

mengenal, memahami dan memberi penghargaan yang proporsional, bahwa kultur

etnik yang tersebar di wilayah Indonesia ini sesungguhnya merupakan bagian dari

diri kita, dan bagian dari milik kita sebagai warga Indonesia.

Di dalam kerangka itulah, kesusastraan sebagai “potret” budaya sebuah

komunitas yang lahir lewat proses pergulatan dan kegelisahan kultural

pengarangnya, boleh jadi dapat kita jadikan sebagai salah satu sarana mencapai

tujuan itu. Bukankah kesusastraan merupakan hasil evaluasi kritis atas problem

17

Page 24: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

sosial budaya yang terjadi dalam kehidupan yang melingkari diri seorang

pengarang. Sangat mungkin, karya sastra sebagai sistem gagasan, sistem nilai atau

segala sesuatu yang keluar dari pikiran manusia justru merepresentasikan semangat

atau kegelisahan yang berkaitan erat dengan kebudayaan yang telah melahirkan,

membesarkan, dan sekaligus juga mempengaruhi diri pengarang.

Kesusastraan Indonesia, secara kultural pada awalnya adalah kesusastraan

‘etnik’ yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa nasional yang

diangkat dari bahasa etnik Melayu. Sebagai sastra yang ruhnya berasal dari kultur

etnik, ia tak terlepas dari berbagai hal yang melingkarinya. Paling tidak, sumbernya

jatuh pada diri sastrawan yang juga tidak terlepas dari latar belakang etnik yang

melahirkan dan membesarkannya.

Sebagai anggota kelompok sosial atau sukubangsa, sastrawan mengusung

sesuatu yang berhubungan dengan ruh, semangat dan nilai budaya kelompok

sukubangsa tertentu. Sayangnya, saat karya itu diejawantahkan dalam bahasa

Indonesia, masalah etnik yang melingkarinya tadi, tiba-tiba seperti dianggap selesai,

atau diperlakukan seolah-olah tidak ada hubungannya dengan kultur etnik. Problem

budaya sukubangsa, latar belakang etnik, mendadak lenyap begitu saja ketika ia

menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia sekadar sarana yang di

dalam kerangka Sumpah Pemuda sebagai pernyataan “menjunjung bahasa

persatuan”. Di dalam kemajemukan masyarakat Indonesia, pluralitas etnis adalah

kenyataan. Tentu saja tidak serta-merta lebur dan menjelma dalam keseragaman,

hanya lantaran ia menggunakan bahasa yang sama: bahasa Indonesia.

Maka, ketika Mohammad Yamin mengusung soneta dan berbicara tentang

“Tanah Air” (1922) dan “Indonesia Tumpah Darahku” (1928), semangat pantun

diperlakukan sekadar sebagai bentuk, dan bukan jiwa atau ruh yang mengilhaminya.

Demikian juga, ketika novel-novel awal Balai Pustaka terbit, masalah kawin paksa

seolah-olah muncul sebagai tema sentral. Lalu, kemanakah semangat pengelanaan

yang menjadi salah satu ciri (kultur) orang Minang? Periksalah, dalam hampir

semua novel terbitan Balai Pustaka masa itu, sebagian besar tokoh utamanya tidak

pernah lepas dari semangat pengelanaan (merantau). “Konsep merantau menurut

alam pikiran Minangkabau ialah untuk menimba segala sesuatu yang tidak mereka

18

Page 25: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

dapati di alam tradisional. Perantauan adalah sumber dari sesuatu yang baru .…”

Bukankah itu merupakan representasi kultur Minangkabau?

Ketika Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan, bahwa kebudayaan tradisional

(: kultur etnik) –sebagai masa lalu—yang harus mati semati-matinya, dalam

kenyataannya, pernyataan itu sekadar slogan belaka. Majalah Poedjangga Baroe

yang dikelolanya, justru banyak pula memuat berbagai tulisan yang mengangkat

kebudayaan tradisional (kultur etnik) atau kesusastraan yang berorientasi pada unsur

kedaerahan. Jadi, meskipun Alisjahbana menganjurkan agar bangsa Indonesia

berorientasi ke Barat, ia sendiri tidak menolak dan membiarkan orang berbicara

tentang berbagai pemikiran yang berkaitan dengan kebudayaan tradisional (:

kebudayaan daerah). Oleh karena itu, suara Alisjahbana sesungguhnya tak cukup

representatif mewakili suara angkatan Pujangga Baru mengingat tidak sedikit di

antaranya –termasuk Armijn Pane dan Amir Hamzah— yang tidak mau

meninggalkan kebudayaan etnik yang telah melahirkan dan membesarkannya itu.

Masalah yang sama, juga terjadi pada seniman dan budayawan Gelanggang

yang memproklamasikan sikap berkeseniannya lewat Surat Kepercayaan

Gelanggang. Dari sejumlah besar sastrawan Gelanggang, hanya Chairil Anwar yang

melanjutkan kekaguman Alisjahbana terhadap kebudayaan Barat. Tetapi Chairil

Anwar tidak secara bulat-mentah memamahnya. Ia justru menerjemahkan semangat

Barat untuk kepentingan kreativitasnya. Maka, seperti dikatakan Sutardji Calzoum

Bachri, “Ambillah Barat dan kebudayaan Indonesia baru akan menjadi kreatif

sesuai dengan tuntutan zaman.”

Chairil Anwar memang wakil generasi itu. Tetapi di sana masih ada Asrul

Sani, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat Karta Mihardja, Rivai

Apin, dan sederetan nama lain yang juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja.

Maka, kita dapat melihat, pernyataan “melap-lap kebudayaan lama” justru telah

diterjemahkan dalam sejumlah karya mereka sebagai penggalian pada sumber

tradisi (: etnik). Asrul Sani ternyata masih mencintai Sang Mamak (“Surat dari

Ibu”) dan melakukan pengelanaannya dalam semangat Minangkabau. Pramoedya

Ananta Toer (Bukan Pasar Malam) menguak secara kritis feodalisme Jawa, Sitor

Situmorang mengusung eksistensialisme dalam kegamangan berhadapan dengan

kultur leluhurnya, dan Achdiat Karta Mihardja membongkar tarekat dalam sebagian

19

Page 26: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

masyarakat Sunda berhadapan dengan rasionalitas agama. Dengan demikian,

pernyataan “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia …” dapatlah kita tafsirkan

dalam kaitannya atau dalam berhadapan dengan kultur etnik.

Sejak tahun 1950-an, semangat mengangkat kebudayaan etnik, tidak lagi

terpusat pada Minangkabau (: Sumatra), tetapi menyebar ke dalam diri sastrawan

yang berlatar etnis lain, seperti Jawa, Bali, Dayak, Melayu, dan Cirebon. Keadaan

itu terus berkembang ketika ada usaha untuk melakukan semacam revitalisasi tradisi

dalam kemasan modern. Itulah yang terjadi dalam perjalanan kesusastraan

Indonesia tahun 1970-an, dan terus berlanjut sampai sekarang. Timbul

pertanyaannya: mengapa masalah kultur etnik jarang disinggung para pengamat

sastra yang membincangkan novel-novel awal Balai Pustaka?

Ada dua kemungkinan yang melatarbelakangi hal tersebut. Pertama, terjebak

oleh cara pandang kolonial, sebagaimana yang diterapkan pada Balai Pustaka. Cara

pandang kolonial itu pula yang menempatkan sastra sebagai produk elitis, dan

menciptakan dikotomi roman Balai Pustaka dan roman picisan (: bacaan liar).

Kedua, terkungkung oleh cara pandang strukturalis. Dalam dua dasawarsa lebih,

pendekatan struktural ini mendominasi pengajaran sastra di berbagai peringkat

pendidikan. Akibatnya, karya sastra yang sesungguhnya menyimpan kekayaan

kultur etnik, tidak dapat lebih jauh dimaknai, ditafsirkan, dan dikaitkan dengan

kebudayaan yang melingkari diri pengarangnya.

Indonesia terdiri dari berbagai sukubangsa dan budaya, agama, kepercayaan,

dan ideologi. Bahwa suku bangsa yang satu tak memahami suku bangsa lain;

budaya yang satu diperlakukan seolah-olah tak bersentuhan dengan budaya lain;

juga merupakan kenyataan yang sangat mungkin sewaktu-waktu dapat menjadi

masalah serius, seperti terjadi di Sambas, dan beberapa daerah lain. Bahkan, jika

ihwal etnisitas ini diangkat secara berlebihan dan disuarakan sebagai sebuah

gerakan, ia malah menjadi ancaman bagi keutuhan integrasi bangsa, seperti

diperlihatkan Aceh dan Papua. pemahaman dan usaha mempelajari kebudayaan

sukubangsa lain, di luar etnisnya sendiri, niscaya menjadi sangat signifikan jika

mengingat kemungkinan terjadinya desintegrasi bangsa tadi.

20

Page 27: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

Mengingat kesusastraan Indonesia secara kultural merupakan kesusastraan

‘etnik’ maka usaha mempelajarinya, langsung atau tidak langsung, diharapkan

sampai ke sebuah muara yang bernama Indonesia yang pluralis, yang multietnik,

yang multikultural. Oleh karena itu, mempelajari sastra Indonesia yang berdarah-

daging etnis, dapat pula kiranya dianggap sebagai usaha memahami identitas

budaya etnis lain, kebudayaan lain, dan dapat pula dimaknai sebagai salah satu

bentuk apresiasi terhadapnya.

Persoalan lain yang terjadi dalam hubungan kesukubangsaan dan kebangsaan

atau antara etnisitas dan nasionalisme adalah adanya tuntutan pengakuan dan

keinginan yang berlebihan untuk mempertahankan identitas etnis dan agama.

Sejatinya keberadaan masing-masing etnis itu berbeda dan perbedaan yang

beranekaragam itu sebagai pluralitas faktual, maka perlu ada kesadaran kesetaraan

hubungan antar-etnis itu. Lewat kesadaran kesetaraan itu, usaha untuk

mengapresiasi etnis dan budaya lain relatif menjadi lebih gampang dan fleksibel.

Usaha memelihara toleransi menjadi lebih terbuka.

Menempatkan kesusastraan Indonesia sebagai pintu masuk menuju

pemahaman pluralitas budaya dan keberagaman etnik masyarakat di wilayah

Nusantara ini, tentu saja bukan tanpa alasan. Selain persoalan konflik etnik dan

agama yang perlu segera mendapat penanganan serius, juga hasrat beberapa daerah

yang berlebihan hendak mewujudkan identitas etnik dalam kerangka negara

merdeka (ethnonationalism) dapat menjadi ancaman. Kinilah saatnya memanfaatkan

khazanah kesusastraan Indonesia yang sarat bernafaskan kultur etnik untuk

dijadikan salah satu alat atau kendaraan yang akan membawa pada pemahaman

keberagaman etnik dengan pluralitas budayanya. Dengan mempertimbangkan

beberapa faktor berikut, tak berlebihan jika gagasan ini dicobakan.

Pertama, sejak zaman Balai Pustaka hingga kini, sastrawan Indonesia

sebenarnya tidak dapat meninggalkan kebudayaan etniknya. Suara Alisjahbana yang

menekankan orientasi ke Barat, tak sepenuhnya diikuti sastrawan lain masa itu.

Demikian juga pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang yang mengaku sebagai

ahli waris kebudayaan dunia, tidak tercermin dalam karya-karya yang dihasilkan

para perumus pernyataan itu.

21

Page 28: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

Kedua, pluralitas kultural yang dimiliki suku-suku bangsa di wilayah

Nusantara merupakan lahan yang tak bakal habis digali dan dimanfaatkan bagi

pemerkayaan khazanah sastra Indonesia. Periksa saja karya-karya yang dihasilkan

sastrawan kita yang mengalami kegelisahan kultural atas budaya etniknya. Dari

Minangkabau, dapat disebut nama-nama Chairul Harun, Warisan (1979), Darman

Munir, Bako (1983) dan Dendang (1990), Wisran Hadi, Orang-Orang Blanti (2000),

dan Gus tf Sakai, Tambo: Sebuah Pertemuan (Grasindo, 2000). Dari kultur Jawa,

dapat disebutkan di antaranya, karya Arswendo Atmowiloto, Canting (1986),

Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Umar Kayam, Para Priyayi (1992),

Kuntowijoyo, Pasar (1994), dan Danarto dalam antologi cerpennya, Setangkai

Melati di Sayap Jibril (2001). Dari kultur Melayu dapat disebutkan karya Ediruslan

Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba (2000), Taufik Ikram Jamil, Hempasan

Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001). Dari kultur Madura dapat kita

cermati dari sejumlah antologi puisi D. Zawawi Imron, Bantalku Ombak Selimutku

Angin (1996; II, 2000), dari kultur Dayak, pilihan jatuh pada novel Upacara (1978)

karya Korrie Layun Rampan, dan dari kultur Papua (Asmat), Namaku Teweraut

(2001), Aning Sekarningsih. Dari kultur Bali, Bila Malam Bertambah Malam (1971:

II, 2003) karya Putu Wijaya dan Tarian Bumi (2000) karya Oka Rusmini. Tentu

masih banyak nama dan karya lain yang belum disebutkan yang memperlihatkan

kuatnya kegelisahan kultural yang dihadapi pengarangnya. Karya-karya itu sangat

pantas menjadi bahan awal untuk memperkenalkan berbagai kultur etnik yang

tersebar di Nusantara ini.

Ketiga, hadirnya begitu banyak penerbit di luar Jakarta, seperti Riau, Padang,

Yogyakarta, Surabaya, Magelang, Bandung, Lampung, telah memungkinkan

munculnya kesemarakan bagi khazanah kesusastraan Indonesia. Dalam hal ini,

karya-karya yang diterbitkan penerbit dari berbagai kota itu memperlihatkan

kuatnya kultur etnik.

Keempat, munculnya sastrawan-sastrawan wanita dengan latar belakang

budaya yang berbeda, ikut pula meramaikan peta kesusastraan Indonesia. Yang

menarik adalah beragamnya bentuk representasi yang jika dilihat dari perspektif

kultural, justru memperlihatkan pengagungan pada keanekaragaman dan pluralitas.

22

Page 29: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

Kelima, diberlakukannya otonomi daerah makin melebarkan peluang bagi

sastrawan daerah untuk melakukan eksplorasi kekayaan budaya suku bangsanya

sendiri. Dengan demikian, bakal meramaikan konstelasi kesusastraan Indonesia

melalui eksplorasi dan penggalian berbagai budaya etnik. Kondisi ini makin

mempertegas adanya keanekaragaman budaya dan pluralitas yang melekat dalam

diri sastrawan Indonesia.

E. Perkembangan Bahasa Indonesia Di Era Globalisasi

Kita tengah memasuki abad XXI. Abad ini juga merupakan milenium III

perhitungan Masehi. Perubahan abad dan perubahan milenium ini diramalkan akan

membawa perubahan pula terhadap struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan

struktur kebudayaan dunia.

Arus globalisasi menimbulkan pengubah sosial yang menurut Emil Salim

(1990) menimpa empat bidang kekuatan yang menonjol daya dobraknya. Keempat

bidang kekuatan itu, yakni pertama gelombang perkembangan yang amat tinggi

dalam bidang IPTEK. Gelombang kedua, yakni bidang ekonomi, misalnya yang

dapat kita amati penyatuan pasar Eropa Barat, AS, dan Kanada. Kecenderungan

ini merupakan perilaku ekonomi global yang praktis telah mencakup sebagian

wilayah di dunia ini tanpa mengenal batas. Gelombang ketiga, yakni masalah

lingkungan hidup, misalnya kalau terjadi pencemaran laut di Selat Malaka,

dampaknya tidak hanya dirasakan Malaysia, Singapura, dan Indonesia, tetapi juga

di negara tetangga lainnya. Gelombang keempat, yakni bidang politik sehingga

dewasa ini tak ada lagi suatu negara yang hanya memeprtaruhkan potensi yang

terdapat di dalam negaranya.

Arus globalisasi itu telah menimbulkan pengubah sosial yang dalam waktu-

waktu yang akan datang akan terjelma dalam perilaku sosial, baik perilaku sosial

bermasalah maupun perilaku sosial yang positif . Kenyataan menunjukkan di

mana-mana selalu digebyarkan kata atau urutan kata persaingan, harga bersaing,

persaingan global, kalah bersaing, dan memasuki persaingan global.

Arus globalisasi tentu saja akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan dan

penghidupan manusia sejagat. Pengaruh itu, anara lain akan terlihat dalam bidang

23

Page 30: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

pendidikan dan kebudayaan. Salah satu pokok yang dihadapi dunia pendidikan

adalah masalah identitas bangsa.

Kalau kita berbicara identitas bangsa, mau tidak mau kita akan berbicara

tentang kebudayaan, dan kalau kita berbicara tentang kebudayaan, mau tidak mau

kita akan mempersoalkan bahasa. Itu sebabnya Makagiansar (1990) menekankan

perlunya kesadaran tentang identitas budaya, bahkan Emil Salim (1990)

menyatakan upaya mempertahankan identias merupakan prioritas yang harus

diperjuagkan mati-matian dengan cirri utama keseimbangan antara aspek material

dan spiritual. Pengaruh arus globalisasi dalam identitas bangsa itu tecermin, antara

lain, dari sikap lebih mengutamakan penggunaan bahasa asing (disingkat BA)

daripada penggunaan BI, misalnya dalam penamaan kompleks perumahan, dan

sikap mementingkan kegiatan tertentu, misalnya demi kegiatan pengembangan

pariwisata dan bisnis. Syukurlah sikap seperti itu mulai disadari, dan diambil

langkah-langkah nyata mengganti kata-kata asing dengan kata-kata Indonesia.

Fenomena paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun waktu ini adalah

terjadinya proses globalisasi. Proses perubahan inilah yang disebut Alvin Toffler

sebagai gelombang ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama (agrikultiur) dan

gelombang kedua (industri). Perubahan yang demikian menyebabkan terjadinya

pula pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah,

kemudian kepada kapital atau modal, selanjutnya (dalam gelombang ketiga) kepada

penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan tekhnologi).

Proses globalisasi ini lebih banyak ditakuti daripada dipahami untuk

kemudian diantisipasi dengan arif dan cermat. Oleh rasa takut dan cemas yang

berlebihan itu, antisipasi yang dilakukan cenderung bersifat defensif membangun

benteng-benteng pertahanan dan merasa diri sebagai objek daripada subjek di dalam

proses perubahan.

Bagaimana dengan bahasa dan sastra? Apakah yang terjadi dengan bahasa dan

sastra Indonesia di dalam proses globalisasi? Apakah yang harus dilakukan dan

kebijakan yang bagaiman yang harus diambil dalam hubungan sastra Indonesia

dalam menghadapi proses globalisasi atau di dalam era pasar bebas?

24

Page 31: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses

globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus

identitas dan jati diri . Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan

budaya besar atau kekuatan budaya global.

Anggapan atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar.

Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak

menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi telah

membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Akan tetapi,

Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox memperlihatkan hal yang justru

bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya,

Naisbitt mengatakan “Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin

perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi”. Ia di dalam bukunya

itu juga mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks sehubungan

dengan masalah ini. “Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat

kesukuan”, “berfikir lokal, bersifat global.” Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa

kedua bagi semua orang, bahasa pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih penting

dan dipertahankan dengan lebih giat.

Dari pernyataan Naisbitt itu, kalau kita mempercayai, proses globalisasi tetap

menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis (tribe) sebagai masalah yang

penting yang harus dipertimbangkan. Dalam bukunya yang lain Megatrends 2000,

Naisbitt juga mengatakan bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era

pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya untuk bepergian dan menikmati

karya-karya seni. Peristiwa-peristiwa kesenian yang akan menjadi perhatian utama

dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang sebelumnya lebih mendapat

tempat.

“Berpikir lokal, bertindak global”, seperti yang dikemukakan Naisbitt itu,

pastilah akan menempatkan masalah bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra

Indonesia, sebagai sesuatu yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir

tidak akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk masyarakat

(lokal) Indonesia adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir dan kemudian

dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra,

yakni karya sastra Indonesia.

25

Page 32: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik.

Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan

pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar.

Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia.

Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa

pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah

“menggusur” sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang

semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan

menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan bahasa

Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama

masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa

Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa

Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula.

Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut

akan banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang

strategis dari masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa

masyarakat kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai

Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di

dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan

menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru)

untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Pasifik

(mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan kawasan ini

(termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu

pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan

bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah

semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah

menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di

Nusantara.

Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan

bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru (atau lebih

tepat manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah

proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah

26

Page 33: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan,

tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di

dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia

yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih.

Dengan demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya

adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan

perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam

globalisasi karena ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah

bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-

tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan

masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya).

Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John

Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan

sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di dunia.

Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya

paradigma tentang “pembinaan” dan “pengembangan” bahasa. Bahasa Indonesia

pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi

bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu

mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang

mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah ditentukan

oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh

mekanisme “pasar”. Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan “bahasa yang

baik dan benar”. Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.

Di dalam kehidupan sastra juga diperlukan suatu politik sastra. Sastra

Indonesia harus lebih dimasyarakatkan, tidak saja untuk bangsa Indonesia, tetapi

juga untuk masyarakat yang lebih luas. Penerbitan karya-karya sastra harus

dilakukan dalam jumlah yang besar. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi

semestinya menjadi tempat untuk membaca karya-karya sastra. Pengajaran sastra

haruslah menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran.

27

Page 34: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek

perubahan, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia) amat

potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global.

Jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah satu global-tribe

di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke

arah itu. Bahasa Melayu (dan Indonesia) harus siap menerima peranan yang

demikian. Sastra Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah

dunia yang global. Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan

kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu. Untuk itu, diperlukan suatu politik

bahasa ( dan sastra) yang terbuka, bukan bersifat defensif.

F. Bahasa Indonesia dan Siaran Televisi Nasional

Apabila Bahasa Indonesia masih tetap diperlukan sebagai salah satu identitas

kebersamaan bagi warga negara Indonesia maupun bahasa persatuan yang bisa

menjaga integrasi negara Indonesia, maka tentu saja harus ada sosialisasi dan

pewarisan (transmission). Beberapa cara bisa dilakukan untuk hal itu, dan salah satu

cara yang diungkapkan di sini adalah peranan stasiun televisi bersiaran nasional

baik milik pemerintah (TVRI) maupun milik swasta (RCTI, SCTV, TPI, ANTV,

Indosiar, dll). Tidak semua materi siaran televisi itu selalu menggunakan bahasa

Indonesia baku, yang oleh Ferdinand de Saussure (1996:360-361) disebut sebagai

aspek langue dari bahasa. Bahasa dalam siaran televisi ini menarik untuk dikaji

karena dia menjadi bagian dari dinamika masyarakat di Indonesia.

Teknologi canggih bernama televisi yang berbasis pada media satelit palapa

ini mulai muncul di Indonesia pada tahun 1960-an. Fenomena sosial-budaya yang

begitu banyak dan begitu luas kemudian "bisa dilipat-lipat" untuk dihadirkan di

dalam ruang-ruang yang sempit sekalipun seperti ruang keluarga di dalam rumah.

Teknologi televisi-lah beserta hard ware-nya yang bisa menjadi salah satu media

transformasi dari dunia yang luas kemudian bisa hadir di tengah-tengah ruang

keluarga. "Dunia yang begitu luas dan besar kini bisa 'dilipat-lipat' dalam bentuk

28

Page 35: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

televisi, surat kabar, majalah, internet, dan radio sehingga bisa hadir di tengah-

tengah keluarga dan di ruang yang sempit sekalipun" (Yasraf Amir Piliang, 1999).

TVRI selama puluhan tahun menjadi pemain tunggal stasiun penyiaran

televisi di Indonesia yang telah menjangkau berbagai pelosok Indonesia. Baru pada

paruh ke-dua tahun 1980-an mulai muncul stasiun televisi swasta di Jakarta dengan

siaran lokal yaitu RCTI. Setelah itu kemudian muncul stasiun TPI, SCTV, Indoesiar

dan lain-lain yang jangkauan siarannya berskala nasional seperti halnya TVRI.

Walaupun begitu dalam hal misi, tentu saja TVRI lebih terlihat sebagai stasiun

televisi yang lebih mengedepankan aspek non-komersial dengan meniadakan siaran

iklan, yang kemudian disusul dengan membatasi siaran iklan. Sumber operasional

TVRI berasal dari dana pemerintah dan hak siar iklan dari televisi-televisi swasta.

Slogan "TVRI menjalin persatuan dan kesatuan" bukanlah sekedar jargon yang

tanpa arti. Di balik slogan ini terkandung semangat untuk menjadi agen atau media

perekat bagi berbagai etnis di Indonesia agar tetap dalam kondisi terintegrasi, tidak

terpecah-belah. Slogan TVRI itu hampir mirip dengan slogan "sekali di udara tetap

di udara" milik Radio Republik Indonesia (RRI) yang menyimpan semangat untuk

terus mengudara melakukan siaran walau segenting apa pun keadaan negara. Kalau

masyarakat Indonesia dalam kondisi selalu terpisahkan oleh ruang dan waktu

dengan saudara-saudaranya sesama warga Indonesia yang lain, maka siaran berita

televisi berusaha menjadi media pemersatu ke dalam "waktu yang sama", dan

seolah-olah para pemirsa televisi berada di dalam "satu ruang yang sama".

Ada kelebihan pada siaran TV jika dibanding dengan siaran radio.

Siaran radio hanya menyuguhkan aspek audio sehingga masyarakat hanya bisa

mendengar tanpa bisa melihat wajah dan ekspresi penyiar radio. Siaran televisi

selain bersifat audio juga ada aspek visual, sehingga masyarakat bisa mendengar

sekaligus bisa melihat wajah dan ekspresi sang penyiar televisi. Dari hal ini muncul

kesan seolah-olah antara penyiar televisi dengan masyarakat pemirsa berada di

dalam suatu "ruang dan waktu" yang sama. Pada hal-hal tertentu TVRI bisa

dianggap sebagai sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat Indonesia

melalui siaran-siarannya yang ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia, atau

masyarakat Indonesia di negara tetangga yang masih bisa menangkap siaran TVRI.

29

Page 36: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana

disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga

merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Meski demikian, hanya sebagian kecil dari

penduduk Indonesia yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu

karena dalam percakapan sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia.

Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia

yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak

abad-abad, Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi.

Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa

Indonesia

a) Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit

buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de

Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat).

b) Tahun 1896 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Van

Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan

Moehammad Taib Soetan Ibrahim

c) Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin

mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan

Indonesia.

d) Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang

menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh

Sutan Takdir Alisyahbana.

30

Page 37: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

e) Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru

Bahasa Indonesia.

f) Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia

I di Solo..

g) Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar

1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa

Indonesia sebagai bahasa negara.

h) Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik

sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.

i) Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres

Bahasa Indonesia II di Medan.

j) Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik

Indonesia.

k) Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang

Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi

berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).

l) Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres

Bahasa Indonesia III di Jakarta.

m) Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa

Indonesia IV di Jakarta.

n) Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres

Bahasa Indonesia V di Jakarta.

o) Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres

Bahasa Indonesia VI di Jakarta.

p) Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa

Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta.

Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa

persatuan, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia.

31

Page 38: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

Fungsi Bahasa Indonesia Seminar Politik Bahasa Nasional, 25-28 Februari

1975 di Jakarta, antara lain merumuskan bahwa di dalam kedudukannya

bahasa nasional, bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI) berfungsi:

a) Lambang kebanggaan nasional.

b) Lambangidentitasnasional,

c) Pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial

budayabahasa.

d) Alat perhubungan antar budaya dan antar daerah (Pusat

Pembinaan dan pengembanganBahasa,1975:5).

Kesusastraan Indonesia secara kultural merupakan kesusastraan ‘etnik’

maka usaha mempelajarinya, langsung atau tidak langsung, diharapkan

sampai ke sebuah muara yang bernama Indonesia yang pluralis, yang

multietnik, yang multikultural. Oleh karena itu, mempelajari sastra

Indonesia yang berdarah-daging etnis, dapat pula kiranya dianggap sebagai

usaha memahami identitas budaya etnis lain, kebudayaan lain, dan dapat

pula dimaknai sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadapnya.

Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek

perubahan, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia)

amat potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam

dunia global, Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan

berubahnya paradigma tentang “pembinaan” dan “pengembangan” bahasa.

Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara,

melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal.

B. Saran

Kritik dan saran yang membangun, kami harapkan untuk perbaikan dan

kemajuan karya ilmiah ini.

32

Page 39: Karya Tulis Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa

DAFTAR PUSTAKA

www.wikipedia.com

www.nawala.com

www.mahayana-mahadewa.com

http://CARI/ILMU/ONLINE/BORNEO.htm

http:// Gomarthe5’s Weblog.com

http:// Indonesia\bahasa-identitas-bangsa.html

Rosihan, Anwar. 1991. Bahasa Indonesia dan Media Massa

Elektronika. Makalah Munas V dan Semloknas I HPBI. Padang: Panitia

Penyelenggara.

Rohmadi, Muhammad dkk. 2009. Bahasa Indonesia untuk

penulisan karya tulis ilmiah. Surakarta: Media Perkasa

33