42
i ULOS” Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur Ulosbagi Masyarakat Batak Toba di Salatiga oleh, Ade Marella Simarmata 712013040 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Program Studi Ilmu: Teologi, Fakultas: Teologi Guna Memenuhi Sebagian dari prasyaratanmencapai Gelar Sarjana Sains Teologi ( S.Si-Teol ) Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana 2018

Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

i

“ULOS”

Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur Ulosbagi Masyarakat

Batak Toba di Salatiga

oleh,

Ade Marella Simarmata

712013040

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Program Studi Ilmu: Teologi, Fakultas: Teologi

Guna Memenuhi Sebagian dari prasyaratanmencapai Gelar Sarjana Sains Teologi

( S.Si-Teol )

Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana

2018

Page 2: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

ii

Page 3: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

iii

Page 4: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

iv

Page 5: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

v

Page 6: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

vi

MOTTO

Bahwa hanya Allah lah yang menciptakan, membentuk, menuntun, mengasihi, menebus,

melindung, dan lain sebagainya. Maka, segala yang ada di dalam diri kita ataupun kehidupan

kita, semua berasal dari pada Tuhan. Syukuri, hargai dan jagalah! sebab itu adalah anugerah

dari Tuhan sebagai salah satu lambang dari Kasih Setianya kepada kita. ―Sebab itu marilah

kita mengajar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling

membangun.(Roma 14:19)‖. Kiranya Allah memperkaya kita dengan kerinduan untuk

menjadi berkat.

Page 7: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

vii

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan yang telah mengaruniakan berkat dan kasih

sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berdujul ― Ulos

Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur Ulos bagi Masyarakat Batak

Toba di Salatiga‖ dengan baik.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya tugas akhir ini tidak lepas dari dukungan,

perhatian, doa, bimbingan, kasih dan ilmu dari berbagai pihak. Karena itu, penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo sebagai pembimbing 1 dan Pdt. Merry Rungkat

sebagai pembimbing 2 yang telah membimbing penulis dengan kesabaran. Terima

kasih bapak Eben dan ibu Merry yang tidak pernah lelah membaca serta memberikan

masukan untuk penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih juga untuk

waktu, motivasi serta serta ilmu yang diberikan kepada penulis selama proses

bimbingan.

2. Ayah, Mama, kakak Hotmaulina Simarmata, kakak Abdi.H. Simarmata, kakak

Candia.A. Simarmata, kakak Coningiya Simarmata dan keluarga besar Simarmata

yang selalu memberikan dukungan dan motivasi, sehingga penulis bisa

menyelesaikan tugas akhir ini sengan baik. Kiranya Tuhan selalu memberkati kita.

3. N. A. S yang sudah bersedia meluangkan waktunya. Terima kasih sudah selalu setia

memberikan penulis semangat, motivasi, serta menghibur penulis disaat penulis

mengalami kesusahan dalam penulisan tugas akhir. Kiranya Tuhan selalu

memberkati.

4. Para Dosen Fakultas Teologi UKSW, antara lain: Bapak David, bapak Eben

(pembimbing 1), bapak Jhon, ibu Retno, bapak Rama, kakak Merry (pembimbing 2),

bapak Yusak, bapak Toni, bapak Handri, ibu Ningsih,bapak Nimali, bapak Simon,

kakak Astrid, kakak Feri, kakak Irene, kakak ira, bapak Izak, bapak Yopi, bapak

Totok, bapak Nelman, bapak Agus, bapak Yusak, serta seluruh dosen fakultas

Teologi. Terima kasih untuk ilmu, kedisiplinan, pengalaman, motivasi serta doa yang

di peroleh penulis. Berkat ilmu dan motivasi dari para dosen, penulis dapat

menyelesaikan dan meraih keberhasilan ini. Kiranya Tuhan selalu memberkati bapak

dan ibu serta kehidupan selanjutnya.

Page 8: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

viii

5. Para Pegawai dan Tata Usaha Fakultas Teologi, antara lain : ibu Budi, bapak Adi,

bapak Eko dan ibu Liana. Terima kasih atas bantuan dan informasi yang diberikan

selama penulis menempuh studi di UKSW. Kiranya Tuhan memberkati bapak dan ibu

serta kehidupan selanjutnya.

6. HBKP Salatiga yang menjadi tempat penelitian penulis, yang sudah bersedia

membantu penulis dalam memberikan data atau informasi dengan baik. Penulis

mengucapkan terima kasih kepada para narasumber yang sudah bersedia membantu

penulis dalam proses penyelesaian penulisan tugas akhir. Kiranya Tuhan selalu

memberkati kehidupan selanjutnya dan pelayanan di HKBP Salatiga.

7. Teman-teman angkatan 2013 dan sahabat-sahabat penulis yang selama ini membantu

demi kelancaran skripsi. Penulis mengucapkan terimakasih untuk kebersamaan yang

telah kita lewati bersama-sama. Sukses untuk kita semua.

Salatiga, 01 Juni 2018

Penulis

Ade Marella Simarmata

Page 9: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

ix

ABSTRAK

Kebudayaan telah menjadi salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia. Melalui

budaya, manusia hendak memahami kesehariannya secara bermakna. Baik secara individu

maupun dalam relasinya dengan masyarakat. Kekayaan budaya baik dari bahasa, busana,

kuliner, filsafat, dan berbagai nilai lainnya telah memperkaya sekaligus mewarnai perjalanan

kehidupan manusia. Budaya Batak adalah satu dari sekian kekayaan budaya di Indonesia

yang terus berkembang. Seiring berkembangnya zaman pemaknaan terhadap budaya Batak

pun semakin berbeda. Salah satunya adalah pemaknaan terhadap ulos. Simbol yang telah

dimaknai sebagai sesuatu yang luhur ini telah mendapatkan peranan tambahan seiring

berkembangnya zaman. Tambahan peranan tersebut merupakan salah satu bagian dari

ketidaktahuan subyek yang hendak memakai ulos. Baik ketidaktahuan fungsi, makna, sejarah,

dan nilai lainnya. Pergeseran ini merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan kembali

dalam melestarikan kebudayaan Batak di Indonesia.

Kata Kunci: Kebudayaan, Simbol, Ulos

Page 10: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

x

DAFTAR ISI

Halaman Judul .......................................................................................................................... i

Lembar Pengesahan................................................................................................................. ii

Pernyataan Tidak Plagiat...................................................................................................... iii

Pernyataan Persetujuan Akses .............................................................................................. iv

Pernyataan Persetujuan Publikasi Tugas Akhir Untuk Kepentingan Akademis ............. v

Motto ........................................................................................................................................ vi

Kata Pengantar ...................................................................................................................... vii

Abstrak..................................................................................................................................... ix

DAFTAR ISI............................................................................................................................. x

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 5

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................... 5

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................................. 5

1.5 Metode Penelitian .................................................................................................. 5

1.6 Sistematika Penulisan ............................................................................................ 6

II. TEORI .............................................................................................................................

2.1 Kebudayaan dan Simbol .......................................................................................... 7

2.2 Teori Perubahan Sosial dan Busana ....................................................................... 11

III. HASIL PENELITIAN ...................................................................................................

3.1 Sejarah Ulos Batak Toba dan Fungsinya ............................................................. 15

3.2 Sejarah Latar Belakang Kehidupan Jemaat HKBP Salatiga .................................. 15

3.3 Makna Ulos Menurut Masyarakat Batak Toba di Salatiga .................................... 17

3.4 Hasil Kuesioner Terhadap Pemaknaan Ulos dan Budaya Batak Toba .................. 19

IV. Kajian Kritis Terhadap Kemerosotan Pemaknaan Nilai Luhur Ulos dalam

Masyarakat Batak Toba di Salatiga ……………………………………………....22

V. KESIMPULAN dan SARAN……………………………………………………....27

VI. DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….........32

Page 11: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

1

“ULOS”

Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur Ulosbagi

Masyarakat Batak Toba di Salatiga

1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat majemuk. Kemajemukan

Indonesia sangat kaya mulai dari suku, kebudayaan, bahasa, kepercayaan, seni, dan berbagai

keragaman lainnya. Kekayaan itu terbentang dari Sabang sampai Merauke. Setiap masyarakat

memiliki corak hidup berbudaya yang berbeda-beda. Salah satunya terdapat di dalam suku

Batak. Corak budaya yang berbeda-beda itu menghiasi setiap kehidupan yang tidak hanya

untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak

terbagi menjadi 6 yaitu Toba, Simalungun, Mandailing, Pakpak, Angkola, Karo.1

Perbedaan itu tidak menghambat relasi mereka dalam menjalani persaudaraan, justru

dengan perbedaan itu mereka saling melengkapi dan menghiasi satu sama lain. Salah satu

faktornya adalah karena sejak kecil mereka ditanamkan kepada nilai-nilai persaudaraan yang

tinggi dan terus dibekali mengenai silsilah dari marganya. Salah satu penanaman nilai

persaudaraan yang seringkali ditanamkan dalam masyarakat Batak adalah Dalihan Na Tolu.

Mengingat bahwa penelitian ini akan berpusat kepada suku BatakToba, maka yang akan

dipaparkan adalah Dalihan Na Tolu yang berasal dari BatakToba.

Istilah Dalian Na Tolu (DNT) diartikan sebagai tungku nan tiga. Masyarakat Batak itu

diumpamakan sebagai kuali, maka DNT itulah tungkunya. Terlebih bahwa tungku digunakan

oleh masyarakat sebagai tempat kuali untuk memasak yang terdiri dari tiga batu. Tungku

akan berfungsi dengan baik, jika ia mempunyai tiga kaki dengan panjang yang sama. Sebab,

itu akan memberikan keseimbangan yang baik ketika meletakkan kuali atau peralatan

memasak di atasnya dan bahan yang dimasakpun tidak akan oleng atau tumpah. Selain itu,

jika tungku terbuat dari besi, terlebih tungku itu mempunyai tiga bagian penopang yang

sejajar, maka tempat duduk kuali pun akan kuat. Karena tungku itulah, maka terjadi

1Payung Bangun, ―Kebudayaan Batak,‖ ed. Koentjaraningrat (Sapdodadi: Djambatan, 1975), 94-95.

Page 12: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

2

keseimbangan kuali yang digunakan menanak nasi diatasnya dan melalui itu menyalalah api

solidaritas masyarakat.2

Masyarakat Batak selalu berpedoman pada DNT dalam segala geraknya termasuk

dalam usaha menegakkan pergaulan dan adat istiadat. Dan fungsi DNT telah bermanfaat

mengatur tata cara dan tata hidup masyarakat.3Sistem DNT dalam masyarakat Batak dibagi

atas tiga dasar adat yaitu, (1) hula-hula, (2) dongan tubu, dan (3) boru. Hubungan antara suatu

marga dengan yang lainnya sangat erat bagi orang Batak yang diwujudnyatakan dalam tutur

sapa sehari-hari yang ditentukan oleh DNT.

DNT sebagai dasar demokrasi Batak yang lebih sempurna dari susunan hubungan

antar masyarakat bangsa lain. Demokrasi dalam arti sesungguhnya di Toba itu adalah sikap

musyawarah antara anggota-anggota masyarakat dalam DNT yang secara teratur dalam

perundingan karena hal-hal yang perlu dikerjakan bersama demi kepatuhan kepada adat.4

Maka daripada itu tutur sapa dalam masyarakat itu sangat penting sehingga dimana saja

orang Batak bertemu selalu lebih dahulu menanyakan marga. Seperti pepatah Batak yang

mengatakan “jolo tinitip sangar bahan huru-huruan, jolo sinungkun marga asa binoto

partuturan.” Artinya harus lebih dahulu mengetahui marga, baru dapat mengetahui tutur

sapa. Itulah sebabnya setiap orang tua, mengajarkan kepada keturunannya tentang pentingnya

bertutur sapa satu sama lain. “Pantun hangoluan tois hamagoan.” Artinya orang yang sopan

santun akan selamat, tetapi orang yang serakah atau kasar akan celaka.5 Hubungan kekerabat

dalam masyarakat Batak yang disebut sebagai partuturan atau tegur sapa.

Salah satu simbol yang menjadi pelengkap makna dari DNT adalah ulos. Peneliti akan

membahas topik mengenai salah satu kekayaan di suku Batak yaitu, Ulos. Mengingat arti dan

makna ulos merupakan simbol adat budaya warisan leluhur. Misalnya, dalam pesta

pernikahan, orang tua perempuan bersama DNT nya harus menyerahkan ulos kepada orang

tua laki-laki dan kepada anak serta menantunya sesuai dengan kewajiban adat.

Ulos menjadi salah satu simbol yang mudah dipahami oleh masyarakat sebagai bagian

dari budaya Batak. Selain itu, ulos adalah semacam kain khusus yang ditenun dengan motif-

motif tersendiri. Contohnya jika ada seseorang yang menggunakan atribut yang bermotifkan

ulos sudah pasti dikenal sebagai orang Batak (Identitas). Motif dan warna-warna kain itu

2E.H. Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya (Bandung: Tarsito, 1982), 112. 3E.H Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya, 113. 4T.E Tarigan dan Emilkam Tambunan, Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba (Ende: Nusa Indah, 1974), 48. 5E.H. Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya, 120.

Page 13: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

3

mengandung arti yang khusus pula, dan tidak dapat dipakai pada sembarang acara adat.6Ulos

merupakan salah satu pelestarian budaya Batak yang begitu berharga. Dahulu, dalam

kehidupan sehari-haruulos digunakan oleh leluhur sebagai selendang atau sarung.

Terkhusunyaulos dipakai untuk menghangatkan tubuh mereka yang memang tinggal di

daerah pegunungan. Mengingat leluhur masyarakat Batak dahulu tinggal di daerah

pegunungan.

Ulos menjadi begitu berharga bagi masyarakat Batak tidak hanya pada upacara-

upacara adat tertentu, tetapi dalam kehidupan sehari-haripun ulos begitu berharga. Selain itu,

ada pemaknaan berharga yang terkandung di dalam ulosyaitupada nilai kekerabatannya yang

amat tinggi. Hal itu terlihat jelas pada adanya aturan tertentu mengenai pemberian ulos.

Misalnya pemberian ulos terhadap kerabat yang berada di bawah kita, seperti halnya

pemberian ulos kepada anak mereka. Lalu, pemberian ulos terhadap orang yang menikah atau

yang disebut sebagai ―ulos holong‖. Dikatakan bahwa pemberian ulos kepada kedua

mempelai menjadi pelambang kasih sayang dari mereka yang memberikannya.

Berbicara tentang ulos, ia mempunyai makna yang sakral dan penggunaannya harus

disesuaikan dengan kondisi yang ada. Nenek moyang orang Batak zaman dahulu membuat

ulos sebagai lambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan rohaniah serta

digunakan pada upacara yang khusus. Selain itu, fungsi ulos membawa arti yang khusus

dalam setiap upacara dari yang terkecil hingga terbesar.

Ada tiga warna dasar pada ulos, yaitu warna Putih, Merah, dan Hitam. Ketiga warna

ini memiliki makna masing-masing yang dipandang masih sakral dalam kalangan masyarakat

BatakToba. Putih merupakan Banua Ginjang (Benua Atas), yang memiliki makna tempat

bersemayam Mulajadi Na Bolon (Tuhan).Merah merupakan Banua Tongah (Benua Tengah),

yang memiliki makna suatu dunia fana yakni bumi yang didiami manusia.Hitam merupakan

Banua Toru (Benua Bawah), yang memiliki makna tempat roh-roh jawab dan tempat yang

sangat gelap.7

Beranjak di zaman modern, tentu pemaknaan terhadap ulos akan terkikis oleh

semangat zaman. Terutama oleh muda/i Batak yang memiliki peran sebagai penerus

budayanya. Mengingat saat ini sudah banyak masyarakat Batak yang telah merantau. Tidak

heran banyak diantara mereka yang tidak begitu peduli terhadap makna luhur dari ulos.

6E.H. Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya, 92. 7T.E Tarigan dan Emilkam Tambunan, Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba (Ende: Nusa Indah, 1974), 26.

Page 14: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

4

Jangankan pemaknaan luhur terhadap ulos, untuk berbahasa Batakpun mereka mengalami

kesulitan. Ya, itu tidak dapat disangkal mengingat zaman yang semakin modern. Kesadaran

masyarakat tidak lagi tertuju terhadap kebudayaan yang luhur, tetapi bagaimana budaya itu

dapat bersatu padu dalam semangat zaman. Kesulitan semakin dihadapi disini dan

masyarakat semakin ditantang untuk tetap melestarikan kebudayaannya yang sangat kaya itu.

Salah satu contohnya adalah bagaimana muda/i Batak yang malu untuk berbahasa Batak

terhadap sesamanya. Terlebih mereka yang begitu mengikuti arus zaman yang modern dan

mengatakan bahwa budaya leluhur adalah suatu hal yang sangat kuno. Begitu juga dengan

memaknai ulos yang hanya dipakai pada momen tertentu dan setelah itu disimpan rapat-rapat

di dalam lemari mereka. Selain itu cara mereka yang mencoba untuk memasukkan motif

Batak ke dalam pakaian atau semangat modern mereka tanpa melihat makna luhurnya. Jadi,

tidak heran jika semakin lama kebudayaan itu semakin terkikis bahkan semakin praktis untuk

memaknainya sebagai harta yang begitu berharga.

Zaman semakin berkembang dan pemaknaan ulos semakin merosot. Hal ini menjadi

suatu kekhawatiran sendiri dikalangan masyarakat BatakToba, terkhusunya orang-orang

Batak yang sudah merantau. Seringkali pemaknaan terhadap ulos tidak dihayati sebagaimana

adanya. Selain itu kekeliruan juga terjadi pada penjualan-penjualan souvenir, pakaian,

aksesoris yang memotif ulos. Misalnya, ulos Ragi Idup yang sering dijadikan pakaian

ataupun jas, padahal jika dilihat dari makna luhurnya, ulos Ragi Idup ini dimaknai hanya

boleh dipakai ataupun digunakan oleh sesorang yang sudah mengawinkan anaknya menurut

adat budaya BatakToba.

Maka dari pada itu, sangat penting bagi masyarakat BatakToba untuk lebih

menghayati dan memahami makna luhur dari ulos, supaya tidak menggunakan ulos dengan

semena-mena dan mengejar nilai ekonomi semata. Karena ulos merupakan salah satu aspek

kebudayaan yang paling penting, sekaligus sering kali digunakan pada setiap acara-acara adat

maupun keluarga di masyarakat Toba. Seharusnya ulos tidak hanya dipakai terus-menurus

untuk hal komersialisasi tapi perlu dilihat juga makna atau nilai adat budayanya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti akan meneliti topik dengan judul

“Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur Ulosbagi Masyarakat

Batak Toba di Salatiga.”Walaupun di sisi lain masyarakat tidak begitu peduli terhadap

pemaknaan ulos dan kebudayaannya. Namun, itu tidak menjadikan masyarakat pesimis.

Semangat zaman tentu akan selalu berubah, tetapi perhatian disini adalah bagaimana cara

Page 15: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

5

agar budaya tidak termakan oleh semangat zaman, melainkan semakin kaya setiap harinya.

Ulos hendaklah menjadi salah satu aspek budaya yang menyatukan masyarakat Batak dari

berbagai sikap individualistis masyarakat modern yang begitu egois dan serba praktis. Biarlah

kiranya harta budaya yang berharga itu semakin dipelihara dan dimaknai semakin baik oleh

masyarakat Batak Toba. Sebab itu juga merupakan pemberian dari Tuhan kepada manusia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pandangan masyarakat Batak Toba di Salatiga terhadap pemaknaan

nilai luhur pada ulos?

2. Apa yang menyebabkan merosotnya pemaknaan nilai luhur pada ulos?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan makna dari nilai luhur ulos yang sebenarnya dalam masyarakat

BatakToba di Salatiga.

2. Menganalisa kemerosotan pemaknaan nilai luhurulos yang menjadi

komersialisasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan peneliti dalam penelitian ini adalah:

1. Peneliti hendak memberikan sumbangan kepada jemaat di HKBP Salatigauntuk lebih

memahami dan menghayati kembali nilai luhur dari ulos, supaya persaudaraan dan

keakraban di jemaat dapat diwujudkan kembali.

2. Penelitian ini hendak memberikan suatu kontribusi kepada masyarakat Batak Toba di

Salatiga untuk lebih memahami dan menghayati nilai luhur ulos, terkhsusnya kepada

generasi muda atau masyarakat Batak Toba yang sudah merantau supaya terwujudnya

nilai-nilai historis, kultural, filosofis, dan religi.

1.5 Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu, metode kualitatif dan

kuantitatif yakni dengan cara wawancara dan mengumpulkan data di lapangan. Saya

memakai metode wawancara dan pengumpulan data karena penelitian ini membutuhkan

keterangan yang jelas langsung dari masyarakat BatakToba dan juga jemaat di HKBP

Salatiga. Mengingat bahwa penelitian kuantitatif terkait erat dengan proses induktif, yaitu

Page 16: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

6

bertitik tolak dari data spesifik kepada yang umum. Selain itu, penelitian kuantitatifhendak

mencari fakta dan penyebab perilaku manusia dan ingin mengetahui banyak tentang sejumlah

variabel sehingga perbedaan-perbedaan dapat diidentifikasi.8Terlebih bahwa tujuan metode

kuantitatif adalah menemukan berapa banyak dan jenis manusia apa saja dalam populasi

umum yang memiliki karakteristik.

1.6 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan Tugas Akhir ini peneliti akan membagi tulisannya dalam beberapa

bagian. Bagian pertama, peneliti akan menjabarkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, dan manfaat penelitian. Bagian kedua, peneliti akan memaparkan teori-teori yang

akan dipakai dalam pembuatan Tugas Akhir. Peneliti menggunakan beberapa teori

kebudayaan untuk mengkaji sejauh mana antara kebudayaan dan peradaban terkait erat di

dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Budaya

adalah pikiran; akal budi ataupun sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang

(beradab, maju). Sedangkan kebudayaan ialah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)

manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat, ataupun keseluruhan pengetahuan

manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta

pengalamannya, serta yang menjadi pedoman tingkah langkuhnya. Menurut

Koentjaraningrat, istilah peradaban biasanya dipakai untuk menunjuk bagian-bagian dan

unsur-unsur kebudayaan yang halus dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan serta

sopan-santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan struktur

yang kompleks9. Bagian ketiga, peneliti akan mengumpulkan dan menyampaikan data-data

melalui wawancara dan mengumpulkan data dari para partisipan.Bagian keempat, peneliti

akan menganalisa antara teori-teori dengan data yang telah didapatkan/dikumpulkan dari

partisipan yang terdapat di bagian ketiga.Bagian kelima, berisikan penutup serta peneliti akan

membuat kesimpulan dan saran

8William Chang, Metodologi Penulisan Ilmiah Teknik Penulisan Esai, Skripsi, Tesis, dan Disertasi (Jakarta: Penerbit

Erlangga, 2014), 32. 9Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspekti Ilmu Budaya Dasar (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), 36.

Page 17: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

7

2. Perspektif Teori Simbol dan Busana terhadap Ulos dalam Masyarakat Batak Toba di

Salatiga

2.1 Kebudayaan dan Simbol

Manusia diciptakan oleh Allah dengan kebaikan. Berulang kali dalam kisah

penciptaan di kitab Kejadian mengatakan hal itu. Seluruh ciptaan Allah selalu terlahir dengan

kebaikan. Terlebih manusia yang diciptakan seturut gambar-Nya atau dengan istilah yang

sangat dikenal yaitu Imago Dei. Manusia terlahir dengan kekhasan bahwa dia dapat berpikir,

bertindak, dan memiliki perasaan. Keterlahirannya sebagai ciptaan yang khusus itu

memberikan arti penting bahwa manusia diberikan kesempatan oleh Allah untuk menamai

seluruh ciptaan-Nya. Kesempatan yang baik dan luhur itu tidak dapat disalahartikan bahwa

manusia adalah makhluk yang superior. Namun, dipahami sebagai suatu aktivitas berpikir

dan bertindak yang dilakukan oleh manusia.

Aktivitas berpikir dan bertindak sudah selalu sarat dengan istilah memahami. Salah

satu anugerah yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah pemberian akal budi untuk

memahami. Ada istilah bahwa mengerti dari luar, memahami dari dalam. Kedua istilah itu

menyiratkan bahwa aktivitas memahami tidak hanya sekedar permasalahan data, tetapi juga

pada keseluruhan aspek yang hendak dipahami. Pemahaman tidak akan lahir tanpa pikiran

manusia dan pewahyuan dari Yang Ilahi.

Ada berbagai macam cara manusia memahami atas apa yang ditemuinya. Mulai dari

memahami apa yang dilihatnya, dirasakannya, dihirupnya, terlebih pada relasi dengan seluruh

ciptaan Allah. Salah satu bentuk yang mewakili proses pemahaman itu adalah simbol. Apa itu

simbol dan mengapa harus simbol? Simbol merupakan kesatuan sebuah kelompok, seperti

semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan memakai simbol. Ia sekaligus merupakan

sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasi, dan landasan pemahaman

bersama. Setiap komunikasi, dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-

simbol. Masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol.10

Manusia sudah disertai oleh simbol sejak ia datang ke dunia. Tanpa simbol, manusia

tidak dapat memahami apa yang dihadapinya. Simbol adalah representasi atas apa yang

hendak dipahami manusia. Ia digunakan untuk mengerti kebudayaan, agama, masyarakat,

kitab suci, bahkan sampai kepada Tuhan. Setiap unsur yang terdapat di dalam kehidupan

10 F.W. Dillistone, diterjemahkan., Daya Kekuatan Simbol (Yogyakarta:Kanisius, 2006), 15.

Page 18: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

8

akan bersinggungan dengan simbol. Melalui simbol manusia menciptakan sesuatu agar ia

mudah menyatu dengannya, sehingga tidak terasing dengan yang lainnya. Kebudayaan adalah

salah satu bagian dari perwujudan simbol yang diciptakan manusia itu. Sebelum memasuki

pembahasan selanjutnya, ada baiknya perlu diterangkan pemaknaan terhadap budaya melalui

para ahli kebudayaan.

Raymond Williams mengemukakan bahwa kebudayaan (culture) merupakan kata

yang begitu kompleks untuk dipahami, terutama dalam bahasa inggris. Awalnya, kata

―culture” erat kaitannya dengan kultivasi, yaitu pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan

upacara-upacara religius.11

Namun, mengalami perkembangan sejak abad ke-16 hingga 19

mengingat istilah ini mulai diterapkan dengan luas pada akal budi manusia dan sikap-perilaku

pribadi lewat pembelajaran. Tidak hanya untuk individu saja, melainkan mulai memasuki

perannya sampai kepada masyarakat sebagai keseluruhan, mulai dari situ terciptalah

peradaban (civilization). Selanjutnya, semakin berkembang ketika memasuki kebangkitan

Romantisisme, budaya dipakai sebagai penggambaran akan perkembangan kerohanian yang

dikontraskan dengan perubahan material dan infrastruktural. Terlebih pada akhir abad ke-19

yang ikut mempengaruhi dinamika pemaknaan atas budaya, di mana lahir istilah ―budaya

rakyat‖ (folk culture) dan ―budaya nasional‖ (national culture).12

Penjabaran sejarah itu memberikan 3 bentuk pemahaman terkait perubahan-perubahan

historis yaitu, (1) mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis dari seorang

individu, sebuah kelompok, atau masyarakat; (2) memetakan khazanah kegiatan intelektual

dan artistik sekaligus produk-produk yang dihasilkan, kerap dipahami dalam istilah kesenian;

(3) menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat

kebiasaan sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat.13

Clifford Geertz juga mengemukakan bahwa kebudayaan berarti suatu pola makna

yang ditularkan secara historis, yang diejawantahkan dalam simbol-simbol, suatu sistem

konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis, yang menjadi sarana

manusia untuk menyampaikan, mengabdikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka

tentang serta sikap-sikap mereka terhadap hidup.14

Bentuk-bentuk simbolis, dalam suatu

konteks sosial yang khusus, mewujudkan suatu pola atau sistem yang dapat disebut suatu

11Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 7. 12Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan,8. 13Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan,8. 14 F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol, 115-116.

Page 19: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

9

kebudayaan. Menafsirkan suatu kebudayaan adalah menafsirkan sistem bentuk simbolnya

dan dengan demikian menurunkan makna yang autentik. Geertz mengajukan setiap objek,

tindakan, peristiwa, sifat, atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi,

dan konsepsi ini adalah makna simbol. Jadi, penafsiran kebudayaan pada dasarnya adalah

penafsiran simbol-simbol, sebab simbol-simbol bersifat teraba, tercerap, umum, dan

konkret.15

Mary Douglas mengemukakan bahwa simbol-simbol alami tidak akan ditemukan

dalam butir-butir leksikal yang individual. Tubuh jasmani dapat mempunyai makna universal

hanya sebagai sistem yang menjawab sistem sosial, dengan mengungkapkannya sebagai

sebuah sistem. Apa yang disimbolkannya secara alami adalah hubungan bagian-bagian

sebuah organisme dengan keseluruhan ... Dua tubuh itu adalah diri sendiri dan masyarakat:

kadang-kadang keduanya sedemikian dekatnya sehingga hampir menjadi satu; kadang-

kadang keduanya terpisah jauh. Tegangan antara keduanya memungkinkan pengembangan

makna-makna.16

Selanjutnya adalah Paul Tillich yang memiliki definisi lain mengenai simbol yang

sejati. Ada 3 fungsi yang menurutnya perlu diperhatikan dalam memahami simbol. Pertama,

ia membedakan antara simbol dan tanda. Keduanya menunjukkan pada sesuatu yang lain di

luar dirinya sendiri. Namun, kalau sebuah tanda bersifat univok, arbitrer dan dapat diganti,

karena tidak mempunyai hubungan intrinsik dengan sesuatu yang ditunjuknya itu, sebuah

simbol sungguh-sungguh mengambil bagian dalam realitas yang ditunjuknya dan yang

sampai tingkat tertentu diwakilinya. Simbol berfungsi seperti ini tidak secara mandiri tetapi

dalam kekuatan hal yang ditunjuknya.

Kedua, membukakan kepada manusia adanya tingkat-tingkat realitas yang tidak dapat

dimengerti dengan cara lain. Hal ini secara khusus berlaku untuk simbol-simbol seni. Tillich

berpendapat, simbol-simbol sendi –sebenarnya, semua hasil karya seni — membukakan roh

manusia kepada dimensi pengalaman estetis dan membukakan realitas kepada dimensi makna

intrinsiknya. Simbol-simbol keagamaan menjadi medium realitas tertinggi melalui barang-

barang, orang-orang, peristiwa-peristiwa yang, berkat fungsi-fungsinya sebagai medium,

menerima sifat ―kudus‖. Dalam mengalami tempat-tempat, saat-saat, buku-buku, kata-kata,

gambar-gambar, dan tindakan-tindakan yang kudus, simbol-simbol yang kudus menyatakan

15 F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol, 116. 16 F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol, 108.

Page 20: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

10

sesuatu dari ―Yang Kudus sendiri‖ dan menghasilkan pengalaman akan kekudusan dalam

orang-orang dan kelompok-kelompok.17

Ketiga, simbol adalah membuka dimensi-dimensi roh batiniah manusia sehingga

terwujudlah suatu korespondensi atau korelasi dengan segi realitas tertinggi. Ciri ketiga ini

hanya melukiskan satu segi dari apa yang tidak boleh tidak merupakan proses dua arah.

Simbol memperluas penglihatan tentang realitas transenden; bersamaan dengan itu, simbol

memperluas roh manusia untuk memampukannya ditangkap oleh penglihatan itu dan dengan

demikian tumbuh berkembanglah pengertian rohaninya.

Pemahaman-pemahaman mengenai budaya telah dipaparkan di atas. Hal itu

menandakan bahwa betapa pentingnya peran budaya terhadap kelangsungan hidup. Manusia

masuk di dalamnya dan menghayati setiap bagian kebudayaan. Ia menciptakan budaya, tetapi

dirinya dibentuk oleh budaya tersebut. Keadaan itu menandakan bahwa manusia dan budaya

merupakan dialog yang tidak dapat terpisahkan. Misalnya, orang mengenal budaya batak

melalui simbol berupa motif ulos, atau seseorang dengan mudah mengenal bahwa orang yang

dijumpainya beragama Kristen karena memakai kalung salib, dan berbagai macam contoh

lainnya. Jadi, budaya seringkali dipahami melalui simbol entah itu berwujud benda ataupun

yang lainnya.

Satu permasalahan yang kerap dipergumulkan hingga saat ini adalah kecenderungan

manusia yang mudah mengenal budaya asing, tetapi mengindahkan kebudayaannya sendiri.

Masyarakat Indonesia merupakan salah satu dari bagian tersebut. Kerapkali budaya dipahami

hanya pada objek, benda tertentu tanpa menghayati nilai-nilai budaya yang sebenarnya lebih

dalam dibandingkan benda-benda saja. Tidak heran jika budaya menjadi barang dagangan

atau komoditi yang sangat menguntungkan sampai saat ini. Indonesia dikenal akan

kemajemukannya dan itu merupakan simbol berharga yang dimilikinya. Namun, apakah

simbol itu hanya sebatas ―simbol‖ saja tanpa memaknainya secara utuh?

Keragaman itu ada dan hidup di setiap daerah di Indonesia. Tidak ada daerah yang

tidak memiliki kebudayaan. Masyarakat menghayati dan memaknainya baik sebagai individu

maupun masyarakat. Sudiarja dalam salah satu tulisannya mengenai kebudayaan mengatakan

bahwa ―kebudayaan daerah tidak dapat diartikan sekadar penampakan luar seperti cara

berpakaian maupun adat istiadat lahiriah. Lebih dari itu, kebudayaan daerah, terutama, adalah

17F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol,125.

Page 21: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

11

perasaan, pemikiran, dan pandangan filsafatnya yang mendalam, yang tidak mustahil bisa

mengubah tampilan luarnya. Sering dikatakan bahwa budaya adalah akitivitas atau bahkan

kreativitas, bukan benda atau barang hasil karya.‖18

Ungkapan Sudiarja memberikan salah satu pemahaman penting bahwa kebudayaan

daerah tidak sekedar kepada materi belaka, tetapi juga kepada penghayatan hidup manusia.

Dalam hal ini ulos yang dimiliki oleh masyarakat Batak tidak dapat dimaknai sebatas benda

sejarah belaka. Namun, ulos merupakan sarana penting yang merepresentasikan keeratan

masyarakat batak. Hal ini menjadi permasalahan tertentu ketika ulos dimaknai sebagai barang

komoditi belaka. Terlebih, masyarakat lainnya mengenal ulos sebatas benda sejarah atau

budaya dari masyarakat Batak saja. Seharusnya budaya dimaknai sebagai keseluruhan hidup

manusia. Artinya budaya adalah aktivitas yang mempengaruhi dan membentuk keseluruhan

individu yang seharusnya berbudaya, bukan ―ber-buaya‖.

2.2Teori Perubahan Sosial dan Busana

Manusia adalah makhluk sosial dan memiliki peran dalam perubahan sosial di

sekitarnya. Ia tidak hanya hidup sebagai individu yang otentik, tetapi juga hidup bersama

dengan yang lainnya. Kebersamaan dengan yang lain itu disebut sebagai hidup

bermasyarakat. Hal itu mengindikasikan suatu peran, kontribusi, dan tanggung jawab dalam

menata kehidupan bersama. Indentitasnya sebagai makhluk sosial telah membentuk suatu

aktivitas sosial dan menciptakan tatanan sosial bersama yang nantinya akan berdampak pada

perubahan sosial yang terus menerus.

Walaupun perubahan sosial sebetulnya bukan merupakan satu titik, dua titik

perubahan sikap komunitas suatu masyarakat akibat berubahnya suatu tatanan masyarakat,

atau perubahan yang terjadi karena dipakainya ide-ide inovatif, tetapi suatu gerak perubahan

yang sangat besar dan maha dahsyat. Artinya ada kebutuhan-kebutuhan yang dirasa begitu

penting dari kebutuhan sebelumnya. Kebutuhan untuk perubahan yang berkelanjutan,

pengembangan yang lebih maju, dan sebagainya. Misalnya, peningkatan fungsi handphone

yang awalnya hanya digunakan untuk menelepon, tetapi sudah ditambahkan dengan fitur

yang lebih canggih seperti kamera, edit video, permainan, dan lainnya. Hal itu semakin

membentuk sifat masyarakat yang konsumerisme, sekaligus membentuk sikap masyarakat

yang semakin individualistik.

18 Sudiarja, ―Pendidikan versus Kebudayaan?‖, BASIS, Nomor 11-12, Tahun ke-64, 9.

Page 22: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

12

Akibatnya, perubahan sosial membentuk peradaban manusia semakin berkembang

dan meningkat. Satu sisi manfaat dari perubahan sosial adalah manusia memahami

kehidupannya yang berkaitan dengan lingkungan kebudayaannya. Karena perubahan sosial

bukan lagi akibat pembangunan yang sedang gencar dilakukan oleh seperangkat birokrasi

pemerintah, tetapi suatu bentuk perubahan yang benar-benar menjadi keinginan organisme

sosial dalam bentuknya yang wajar.

Ada dua proses perubahan sosial menurut Roy Bhaskar yaitu proses reproduction dan

proses transformation. Proses reproduction adalah proses mengulang-ulang, menghasilkan

kembali segala hal yang diterima sebagai warisan budaya dari nenek moyang sebelumnya.19

Penekanannya mengacu kepada proses pengulangan kehidupan manusia, adanya keterkaitan

antara masa lampau dengan masa kini dan yang akan datang. Baik itu dari segi material

(kebendaan, teknologi) maupun immaterial (non-benda, adat, norma, dan nilai-nilai).

Sedangkan proses transformation adalah proses penciptaan hal yang baru yang dihasilkan

oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berubah adalah aspek budaya yang sifatnya

material, sedangkan yang sifatnya norma dan nilai sulit sekali diadakan perubahan (bahkan

ada kecenderungan untuk dipertahankan).20

Misalnya, seorang laki-laki batak yang cenderung

memilih pakaian dengan setelan kemeja, jas, sepatu, dan celana panjang untuk beribadah di

gereja, tetapi ia tetap memakai bahasa batak untuk berkomunikasi dengan jemaat lainnya.

Wilbert Moore mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan penting dari

struktur sosial, dan struktur sosial yang dimaksudkannya adalah pola-pola perilaku dan

interaksi sosial. Lebih tepatnya, perubahan sosial adalah proses di mana terjadi perubahan

struktur masyarakat yang selalu berjalan sejajar dengan perubahan kebudayaan dan fungsi

suatu sistem sosial, hal ini dinamakan ―perubahan sosial hubungan fungsional‖, karena setiap

struktur mendapat dukungan dari nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan.21

Istilah-istilah perubahan sosial dalam kebudayaan akan dikenakan pada penerapan

cara masyarakat batak toba dalam menghadapi perubahan sosial yang terjadi di dalam

kehidupan mereka. Salah satunya adalah mengenai cara berbusana masyarakat batak toba

yang telah mengalami perubahan-perubahan yang signifikan. Sebelumnya, diperlukan

beberapa pemahaman yang akan terkait pada cara berbusana.

19 Agus Salim, Perubahan Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002),20. 20 Agus Salim, Perubahan Sosial, 21. 21 Jacobus Ranjabar, Perubahan Sosial dalam Teori Makro Pendekatan Realitas Sosial (Bandung: Alfabeta, 2008), 17.

Page 23: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

13

Teori busana akan selalu berkaitan dengan ekspresi atau presentasi diri manusia.

Busana, dalam hal ini seperti pakaian, tempat tinggal, rumah yang dihuni, dan lainnya

merupakan bagian di mana manusia mengekspresikan dirinya. Salah satu pendekatan yang

dapat dipakai sejauh ini adalah pendekatan dramaturgis. Pendekatan yang penekanannya

cenderung kepada bagaimana masyarakat melakukannya. Kiranya pernyataan berikut dapat

membantu untuk memahami pendekatan dramaturgis dalam hubungannya dengan teori

busana:

Pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan,

dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia, yakni bahwa makna

kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan diri dalam interaksi dengan

orang lain yang juga ekspresif. Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah

perilaku manusia bersifat dramatik.22

Salah satu bentuk presentasi diri adalah interaksi individu dengan individu lainnya.

Interaksi-interaksi yang dilakukan oleh setiap individu merupakan suatu penyajian gambaran

diri yang akan diterima oleh individu lainnya. Kebanyakan atribut, milik atau aktivitas

manusia digunakan untuk presentasi-diri ini, termasuk busana yang dipakainya, tempat

tinggalnya, rumah yang dihuninya, cara berjalan, cara berbicara, bekerja merupakan bagian

bentuk dari presentasi diri. Kiranya pernyataan yang dikemukakan oleh Mari S.

Condronegoro dapat membantu untuk memahami secara mendalam bagaimana busana begitu

mempengaruhi cara orang berbudaya yakni:

Busana adalah sebuah ekspresi budaya, yang pada tingkat pertama dari kebutuhan

manusia pakaian berfungsi sebagai pelindung, baik pelindung terhadap kotoran, terhadap

sengatan matahari maupun terhadap dingin. Namun pada tingkatan kedua kebutuhan

manusia, pakaian berfungsi sosial pula. Semakin rumit struktur suatu masyarakat semakin

bervariasi pula ragam busana manusia mengikuti aneka peranan dan golongan manusia di

dalamnya. Dengan kata lain keanekaragaman itu terkait dengan aneka status sosial tertentu.

Disamping itu, seringkali pula busana itu dikenai konvensi-konvensi tertentu yang dikaitkan

dengan peristiwa-peristiwa atau situasi-situasi tertentu.23

22 Yuke Ardhiati, Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol,

Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1965 (Depok: Komunitas Bambu, 2005), 40. 23 Yuke Ardhiati, Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol,

Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1965, 69-70

Page 24: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

14

Salah satu contohnya adalah seseorang yang menggunakan kain ulos tentu mudah

dikenal ia sebagai individu yang bersuku Batak. Walaupun suku Batak sendiri terdiri dari

berbagai macam jenisnya seperti Angkola, Toba, Simalungun, Mandailing, dan lainnya.

Intinya siapapun yang menggunakan ulos sudah dipastikan dikenal sebagai individu yang

bersuku Batak. Contoh lainnya juga dapat dilihat melalui atribut agama. Seseorang yang

menggunakan kalung salib dikenal sebagai seorang Kristen, begitu juga dengan peci maupun

jilbab sudah tentu dikenal sebagai seorang muslim. Kiranya setiap atribut-atribut

menyingkapkan status dari penggunanya. Jadi, busana tidak hanya dipakai sebagai pelindung

fisik manusia saja, tetapi juga sebagai penyingkapan status sosial manusia.

Page 25: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

15

3. Hasil Penelitian Terhadap Pemaknaan Ulos bagi Masyarakat Batak Toba di Salatiga

3.1 Sejarah Ulos Batak Toba dan Fungsinya

Ulos adalah pakaian sehari-hari sejak leluhur suku Batak ada di dunia ini. Mengingat

dulu belum dikenal produksi tekstil yang menggunakan teknologi canggih seperti sekarang

ini, di mana pakaian dapat didapatkan dengan mudah dan cepat. Laki-laki memakai ulos

sebagai hande-hande atau ikat kepala atau detar. Perempuan memakai kain sebatas dada,

ditambah dengan selendang dan tambahan di bagian kepala. Seiring berkembangnya zaman,

masyarakat Batak Toba mulai mengenal benang sebagai bahan untuk membuat pakaian. Ada

tiga jenis warna yang dipakai saat itu adalah merah, hitam, dan putih. Warna merah adalah

simbol hidup dan kehidupan itu sendiri. Sedangkan putih adalah simbol dan lambang

kepribadian yang suci. Terakhir yaitu hitam melambangkan perilaku yang mantap.24

Fungsinya pun beragam di antaranya sebagai pakaian, selendang, dan kain penutup

kepala. Mengingat para leluhur masyarakat Batak hidup di daerah pegunungan, sehingga

dibutuhkan ulos untuk menghangatkan tubuh mereka. Kegunaan ini berdasarkan kebutuhan

fisik sebagai penghangat tubuh. Pakaian tentu dipakai untuk menghangatkan tubuh mereka

dari dingginnya iklim pegunungan, sekaligus untuk menutup bagian badan yang tidak pantas

diperlihatkan. Selendang seringkali dipakai oleh perempuan dan dipakai dalam aktivitas

sehari-hari maupun acara tertentu seperti pesta, serta acara adat lainnya. Kain penutup kepala

dipakai untuk menutup serta melindungi bagian kepala, saat ini masih terdapat perempuan

yang memakai kain penutup kepala untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

3.2 Sejarah Latar Belakang Kehidupan Jemaat HKBP Salatiga

Gereja HKBP Salatiga berkembang seirama dengan perkembangan orang dari suku

Batak yang berada di Salatiga. Awalnya HKBP masuk ke Salatiga pada tahun 1956.25

Kerinduan muda/i akan suasana kebaktian yang bernuansa Batak, maka inisiatif saat itu

adalah mendirikan HKBP Salatiga. Menjelang akhir tahun 1957 adanya keinginan yang lebih

untuk mendirikan HKBP. Awalnya jemaat HKBP menggunakan gedung gereja GPIB

Salatiga yang hingga saat ini berdiri di Taman Sari Salatiga. Kebaktian untuk jemaat HKBP

Salatiga dimulai pukul 10:00 WIB. Sejak tahun 1958 ditetapkan sebagai hari berdirinya

HKBP Salatiga dan pada tahun 1983 barulah HKBP Salatiga memiliki gedungnya sendiri.

24 R.H.P Sitompul, Ulos Batak Tempo Dulu – Masa Kini (Jakarta:KERABAT, 2009), 15. 25 Majelis,Sejarah HKBP Salatiga,Salatiga, 2008, 4.

Page 26: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

16

Terkait dengan penelitian mengenai pemaknaan ulos bagi masyarakat Batak Toba

yang dilakukan di gereja HKBP Salatiga. Penulis akan memaparkan hasil penelitiannya yang

berdasarkan wawancara. Penelitian tidak hanya dilakukan di gereja HKBP Salatiga, tetapi

berkunjung ke rumah warga yang tentunya berbudaya Batak Toba dan beberapa mahasiswa/i

Batak Toba yang berada di universitas. Gereja HKBP Salatiga merupakan salah satu gereja

yang tetap memakai kebudayaan Batak Toba baik dalam liturgi, bahasa, dan cara

bergerejanya. Hal itu yang menjadi salah satu penimbang di mana penelitian lebih banyak

dilakukan di gereja, mengingat banyaknya masyarakat Batak Toba Salatiga yang beribadah di

gereja tersebut.

Mayoritas masyarakat Batak yang berada di Salatiga adalah para perantau. Terkait

dengan data statistik jemaat HKBP Salatiga saat ini terdapat 67 untuk Kepala Keluarga,

terdapat 15 Muda/i yang asli dari HKBP Salatiga, sedangkan 44 lainnya merupakan perantau.

Tidak semua di antara mereka yang memahami budaya Batak secara mendalam. Beberapa di

antara mereka yang memahaminya adalah para orang tua, sedikit menemukan para muda/i

yang memahami budaya Batak. Tidak berarti mereka tidak dapat menggunakan bahasa Batak

untuk berinteraksi. Mereka tetap menggunakan bahasa Batak dalam berkomunikasi dengan

sesamanya. Walaupun tidak sepenuhnya memahami budaya Batak, bahkan tidak jarang

mereka mencampur bahasa Batak dengan Jawa untuk berkomunikasi.

Masyarakat Batak Toba di Salatiga pada umumnya tidak meninggalkan kebudayaan

mereka sepenuhnya. Ada begitu banyak di antara mereka yang membentuk perkumpulan

seperti arisan, ibadah keluarga dengan tujuan agar mempererat persaudaraan. Walaupun

hidup dalam perantauan, semangat untuk hidup bersama layaknya keluarga tetaplah erat.

Tidak peduli dari golongan mana, agama apa, atau perbedaan lainnya, mereka tetap menjalin

relasi dengan acara-acara tersebut. Salah satunya terlihat dari bagaimana cara mereka agar

tetap saling membantu jika ada permasalahan baik di dalam gereja, masyarakat, pekerjaan,

kesulitan perekonomian, dan lainnya. Terlebih kepada UKSW yang dari tahun ke tahun

mengalami kenaikan jumlah mahasiswa/i-nya. Mereka datang dengan latar belakang suku,

agama, budaya, maka tidak mengherankan jika banyak di antara mereka juga bergabung dan

berbaur dengan masyarakat sekitar. Peran muda/i Batak Toba baik dalam lingkup universitas,

masyarakat, maupun gereja juga terbukti melalui pelayanan yang mereka lakukan. Jadi,

dalam hal ini mereka merupakan bagian dari masyarakat Salatiga, sebab partisipasi mereka

dalam masyarakat, gereja, dan universitas pun terbukti dengan jelas.

Page 27: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

17

3.3 Makna Ulos Menurut Masyarakat Batak Toba di Salatiga

Ada beragam pendapat dan pemaknaan yang dimiliki masyarakat Batak Toba di

Salatiga terkait dengan pemaknaan ulos. Perbedaan paham terjadi diakibatkan beragamnya

latar belakang kehidupan yang dimiliki oleh setiap narasumber. Ada narasumber dengan latar

belakang sebagai keluarga yang membuat ulos. Narasumber yang lainnya lahir dan tumbuh

besar di desa, tetapi memiliki pemahaman yang lebih terbuka dan tidak menunjukkan adanya

eksklusivitas dalam berbudaya. Ada juga narasumber yang lahir dan tumbuh besar di

perkotaan dan tidak diajarkan mengenai makna ulos maupun budaya Batak. Perbedaan latar

belakang kehidupan tersebut tentunya akan memperkaya hasil penelitian yang hendak dikaji.

Berikut akan dipaparkan hasil penelitian melalui wawancara oleh beberapa narasumber.

Pertama, akan dipaparkan pada narasumber yang tidak setuju jika ulos dipakai atau

dijadikan sebagai barang hiasan, komoditi, ataupun lainnya.26

Narasumber pertama adalah

Bonar Dominggus Simanjuntak. Ia hidup dalam latar belakang keluarga penenun ulos yang

tidak menggunakan mesin, tetapi alat menenun tradisional. Menurutnya ulos dimaknai

sebagai simbol sakral dengan maknanya yang mendalam. Kesakralannya terwujudkan dalam

bentuk penyembahan kepada Tuhan, terutama dalam acara-acara tertentu seperti pernikahan,

kematian, ibadah, serta pengikat tali persaudaraan. Dahulu ulos sangat dihormati dan

dimaknai sebagai simbol yang begitu berharga, terlebih jika itu pemberian dari tulang (paman

atau saudara laki-laki dari pihak ibu). Pemberian ulos dari tulang merupakan nilai yang sakral

menurut kebudayaan Batak, sehingga ulos tersebut harus dijaga dengan baik-baik. Sebab

dalam tradisi Batak sendiri, peran tulang sangat diperhatikan dan penting, terkhususnya

dalam acara pernikahan mengingat tulang adalah saudara dari marga ibu.

Perkembangan zaman juga turut mempengaruhi paradigma masyarakat Batak Toba.

Menurut Bonar, jika dahulu orang Batak membuat ulos dengan kain penenun yang tradisional

itu, maka sekarang ulos dapat dibuat menggunakan mesin jahit. Ada ketidaksetujuan darinya

jika ulos dibuat menggunakan mesin jahit. Menurutnya, ulos harus dibentuk dengan penuh

penghayatan, terlebih tidak sembarangan membentuknya, harus ada pola yang jelas dalam

pembentukan ulos. Komposisi warna, benang yang bagus, dan ritual dalam pembuatan ulos

perlu dibentuk oleh sang penenun ulos. Jadi, menenun ulos merupakan salah satu bentuk

penghayatan berbudaya dan itu berasal dari satu sumber yang jelas yaitu Tuhan. Seorang

26 Berdasarkan ―wawancara‖ dengan Bonar Dominggus Simanjuntak (mahasiswa fakultas teologi UKSW angkatan 2015)

pada tanggal 26 Februari 2018.

Page 28: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

18

penenun yang menghayati dengan sungguh-sungguh dalam membuat ulos, tentu akan

menghasilkan ulos dengan kualitas terbaik.

Ketidaksetujuan atas pembentukan ulos menjadi barang komoditi, maupun pajangan,

hiasan, ataupun lainnya tidak mengindikasikan nilai konservatisme berbudaya. Mengingat

sejak dahulu nenek moyang orang Batak menggunakan ulos sebagai busana juga, tidak

berarti bahwa ada ulos yang tidak dapat dipakai sebagai busana. Ada ulos yang dapat

dijadikan sebagai busana, maupun barang komoditi. Ulos yang tidak dapat dipakai sebagai

komoditi ataupun hiasan, pajangan, dan lainnya adalah ulos Ragi Hotang. Ulos ini

merupakan salah satu simbol yang selalu dipakai pada acara-acara penting, sakral, dan yang

tertentu saja. Ia sangat menyesalkan dengan banyaknya masyarakat Batak saat ini yang tidak

memahami makna ulos dengan baik. Ulos Ragi Hotang yang menurutnya amatlah sakral dan

saat ini telah diperjualbelikan sebagai baju, celana, jas, tas, dan lainnya. Menurutnya, tidak

sepantasnya ulos dipergunakan untuk hal seperti itu. Ada ulos yang dapat dijadikan busana

yaitu ulos sadum dan beberapa ulos lainnya.

Kedua, akan dipaparkan hasil wawancara berdasarkan beberapa narasumber yang

setuju jika ulos dijadikan barang komoditi, hiasan, pajangan, dan lainnya. Ada dua

narasumber yaitu St. M.I.H Siregar dan Sihaloho.27

Keduanya lebih terbuka terhadap

pemaknaan ulos, misalnya peran ulos yang dijadikan barang komoditi merupakan bentuk dari

perkenalan terhadap budaya Batak kepada masyarakat lain. Hal ini dapat disimpulkan sebagai

sebuah perluasan, pelebaran terhadap identitas kebudayaan Batak melalui simbol ulos.

Seseorang yang menggunakan ulos tentu sudah dapat ditebak sebagai orang Batak.

Menurut st. Marid Siregar, seharusnya masyarakat Batak bangga jika ulos dijadikan

barang komoditi. Karena melalui hal tersebut kebudayaan Batak semakin terkenal dan maju.

Jadi, membentuk masyarakat lain untuk mengenal budaya Batak lebih mendalam. St. A.

Sihaloho juga memberikan pendapat bahwa setiap jenis ulos dapat dijadikan busana maupun

barang komoditi dan dijadikan hiasan. Masyarakat yang menjadikan ulos sebagai busana,

komoditi, hiasan ataupun lainnya tentu merupakan bentuk ekspresi terhadap budaya mereka.

Adanya suatu kebanggan bagi mereka untuk memperkenalkan kepada masyarakat bahwa ia

adalah individu yang berbudaya Batak. Salah satu narasumber juga memiliki berbagai macam

ulos dengan motifnya yang lengkap, baik itu ikat kepala, penutup kepala, dan sebagai

27 Berdasarkan ―wawancara‖ dengan St. Marid Iwan Harrys Siregar dan St. A. Sihaloho (majelis gereja HKPB Salatiga)

pada tanggal 26 Februari 2018.

Page 29: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

19

penghias tempat persembahan gereja. Menurutnya, masyarakat Batak tidak harus kaku dalam

memperlakukan ulos. Seharusnya ulos dibentuk semakin kreatif dan mengikuti gaya

perkembangan zaman. Kebudayaan Batak harus berkembang di tengah-tengah zaman yang

semakin modern. Jikalau masyarakat Batak tidak mau mengembangkan kebudayaannya,

maka budaya Batak juga akan musnah suatu saat nanti.

3.4 Hasil Kuesioner Terhadap Pemaknaan Ulos dan Budaya Batak Toba

Bagian ini akan memaparkan beberapa hasil kuesioner dari sejumlah pertanyaan

mengenai pemaknaan terhadap ulos dan budaya Batak. Penulis mengambil beberapa

narasumber dan memfokuskan kepada muda/i Batak di dalam tubuh gereja HKBP Salatiga.

Berikut hasil kuesioner yang telah dibagikan.

Bagian pertama dalam kuesioner adalah pemahaman terhadap budaya Batak itu

sendiri. Sepuluh pernyataan disiapkan dan narasumber hanya perlu memberikan tanda

centang antara ya dan tidak. Bagian pertama ini meliputi bagaimana narasumber menghayati

kebudayaan Batak baik melalui penggunaan bahasa Batak, falsafahnya, penghayatan terhadap

nilai budaya Batak sebagai pemberian dari Tuhan. Menurut hasil kuesioner yang dibagikan

kepada setiap narasumber, ada satu pernyataan di mana mereka tidak malu untuk berbahasa

Batak, berbudaya Batak dalam kehidupan sehari-harinya. Ada suatu kebanggaan tersendiri

dalam pribadi mereka sendiri dalam berbudaya Batak. Penghargaan mereka terhadap budaya

Batak sebagai pemberian dari Tuhan pun tertera dalam kusioner dengan hasil 9:1. Hal ini

membuktikan bagaimana antusias masyarakat Batak Toba di Salatiga begitu menghormati

kebudayaan Batak sebagai nilai-nilai dalam hidup mereka. Sekalipun mereka adalah para

perantau, tetapi kebudayaan tetap mereka hayati sebagai pemberian berharga dari Tuhan.

Bagian kedua dalam kuesioner meliputi pemahaman terhadap ulos. Masyarakat Batak

Toba di Salatiga menghargai bahwa ulos merupakan salah satu simbol yang begitu bermakna

dimiliki oleh masyarakat Batak sejak dulu. Namun, dalam kuesioner tertera bahwa ulos

sebagai simbol yang bermakna bagi mereka tidak mendapati tempat untuk dipakai setiap hari.

Namun, mereka menyetujui bahwa ulos dipakai oleh para leluhur setiap harinya. Hal ini

mengindikasikan adanya perubahan paradigma dalam berbudaya. Masyarakat saat ini lebih

memilih ulos untuk dipakai dalam acara-acara tertentu saja. Keberhargaan ulos ditentukan

tidak dipakai dalam kegiatan sehari-hari, melainkan dalam acara tertentu saja. Walaupun

pada hakikatnya, ulos merupakan salah satu bagian yang sulit dipisahkan sejak dulu dalam

masyarakat Batak, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun acara tertentu. Hasil kuesioner

Page 30: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

20

dalam bagian dua ini juga membuktikan bahwa adanya ketidaksetujuan dari masyarakat

Batak Toba di Salatiga jika para muda-mudi Batak tidak peduli dengan budaya Batak. Hasil

kuesioner menjawab justru banyak muda-mudi yang peduli dengan budayanya. Hal ini

memberikan satu indikasi bahwa diperlukannya pendidikan khusus untuk mendalami

pemahaman mereka terhadap ulos. Begitu juga terhadap kontribusi orang tua dalam

kehidupan sehari-hari para muda-mudi Batak Toba. Hasil kuesioner membuktikan masih

banyak orang tua yang peduli terhadap budaya Batak dan mengajarkan kepada anak-anaknya

mengenai budaya Batak.

Selanjutnya, ada hal menarik ketika melihat hasil kuesioner terhadap pemaknaan

masyarakat Batak Toba di Salatiga terkait dengan ulos. Dalam kuesioner nomor tujuh sampai

dengan sepuluh mengindikasikan adanya kesulitan dalam memahami ulos secara mendalam.

Banyak di antara mereka yang setuju jika ulos dipakai sebagai barang pajangan dan hiasan di

dalam rumah. Menurut mereka itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri dalam kehidupan

orang Batak jika mereka mau memajang atau memperlihatkan ulos di dalam rumah mereka

sendiri. Namun, mereka juga sangat setuju jika ulos merupakan salah satu simbol yang

mempererat tali persaudaraan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Hasil kuesioner juga

membuktikan adanya keragu-raguan mereka dalam memahami ulos dengan baik. Satu sisi

mereka mengetahui ulos memiliki banyak macam motifnya, tetapi sisi lainnya banyak di

antara mereka yang tidak mengetahui dan memahami jenis ulos dengan baik.

Bagian ketiga dalam kuesioner merupakan kebermaknaan ulos dalam masyarakat

Batak di Salatiga. Umumnya, masyarakat Batak di Salatiga lebih memilih agar ulos tidak

dijadikan sebagai barang komersialisasi. Ulos merupakan simbol berharga bagi mereka dan

sulit untuk menyangkal hal tersebut. Hasil kuesioner membuktikan bahwa ulos tidak hanya

sekedar sebagai simbol yang mempererat persaudaraan dalam masyarakat Batak, tetapi itu

merupakan anugerah terindah yang diberikan dari Tuhan kepada masyarakat Batak. Terlebih

dari itu, ulos merupakan salah satu simbol yang dipergunakan untuk menyembah Tuhan.

Misalnya, dalam acara pernikahan, ulos merupakan salah satu simbol sekaligus representasi

doa, harapan, berkat dari si pemberi kepada si penerima ulos.

Terkait dengan permasalahan apakah ulos dapat dijadikan kemeja, tas, rok, celana,

dan lainnya tentu merupakan hal yang sulit untuk ditentukan. Tidak heran jika para

narasumber menghadapi kesulitan untuk menentukan pendapatnya, sebab hal itu tetap

dipergumulkan hingga sekarang. Jadi, banyak di antara mereka yang memilih untuk

Page 31: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

21

menjawab netral. Selebihnya, mereka sangat setuju jika gereja juga turut ambil bagian untuk

memperkaya tradisi budaya Batak dan terus mengembangkan pemaknaan ulos kepada

jemaatnya. Tujuannya agar gereja tidak senantiasa sibuk dengan program tahunan dan

berbagai macam acara lainnya, sehingga nilai-nilai kebudayaan pun menjadi tersingkirkan.

Page 32: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

22

4. Kajian Kritis Terhadap Kemerosotan Pemaknaan Nilai Luhur Ulos dalam

Masyarakat Batak Toba di Salatiga.

Awalnya, ulos dimaknai yang erat kaitannya dengan kondisi fisik manusia, sekaligus

sebagai simbol yang bermakna. Masyarakat Batak dahulu pada umumnya memahami ulos

sebagai pemberi panas. Maksudnya adalah secara fisik ulos sangat berguna untuk

menghangatkan tubuh mereka dari dinginnya cuaca. Mengingat para leluhur masyarakat

Batak hidup di daerah pegunungan, sehingga dibutuhkan ulos untuk menghangatkan tubuh

mereka. Ada tiga elemen kehidupan yang dipahami oleh suku Batak. Ketiganya terdiri dari

(1) darah, (2) nafas, (3) panas. Unsur panas memiliki tiga bagian lagi yaitu matahari, api, dan

ulos.28

Darah adalah elemen budaya kekerabatan marga. Nafas merupakan elemen

kepedulian akan harkat dan martabat sesama manusia. Terlebih suku Batak memahami

matahari sebagai sumber kehangatan dalam kehidupan manusia dengan alam semesta. Api

dipahami sebagai sumber kehangatan dalam kehidupan tubuh jasmani. Sedangkan ulos

merupakan sumber kehangatan dalam hubungan spiritual kekerabatan Batak. Setidaknya

unsur-unsur ini yang dipahami oleh leluhur bangsa Batak dahulu, sehingga perlu dipahami

oleh masyarakat Batak saat ini.

Ulos pada umumnya memiliki beragam jenis dan makna. Diantaranya adalah ulos

ragi jugia, ulos ragi idup, ulos ragi sibolang, ulos ragi hotang, ulos sadum, ulos ragi runjat,

ulos ragi mangiring, ulos bintang maratur, dan lainnya. Ulos ragi jugia memiliki kekhususan

berdasarkan raginya. Jika ulos pada umumnya memiliki 5 ragi saja, ulos ragi jugia memiliki

7 ragi. Begitu juga dengan ulos ragi sibolang yang dalam situasi tertentu memiliki warna

yang berbeda. Misalnya untuk warna dominan putih dipakai untuk acara sukacita, sedangkan

hitam kepada acara dukacita seperti halnya ulos saput. Setiap ulos memiliki peran dan

fungsinya masing-masing. Misalnya untuk ulos ragi idup hanya dapat dipakai oleh mereka

yang sudah memiliki cucu. Hal itu merupakan suatu keindahan tersendiri bagi mereka yang

telah layak memakai ulos ragi idup. Artinya mereka yang telah memakai ulos ragi idup

sedang menikmati kehidupannya. Setidaknya untuk setiap ulos memiliki makna dan

fungsinya masing-masing. Hal ini seringkali tidak dihiraukan oleh masyarakat Batak yang

hidup di zaman modern.

28 H.P Panggabean Kata Sambutan dalam buku R.H.P Sitompul, Ulos Batak Tempo Dulu – Masa Kini (Jakarta:KERABAT,

2009), vi.

Page 33: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

23

Melalui hasil penelitian terhadap masyarakat Batak toba di Salatiga. Penulis hendak

menganalisis bahwa masyarakat Batak toba pada dasarnya mengetahui dan memaknai ulos

sebagai sesuatu yang sakral. Namun, mereka memiliki kebimbangan dengan masalah teknis.

Misalnya apakah ulos dapat dijadikan taplak meja, baju, pajangan, dan lainnya. Sekiranya

untuk hal ini perlu diperlihatkan kembali apa fungsi dan makna ulos bagi leluhur bangsa

Batak dulu. Terutama gambaran ulos dalam acara adat budaya Batak itu sendiri. Pertama,

ulos dimaknai sebagai hubungan kekerabatan antara si pemberi dan penerima ulos. Kedua,

ulos merupakan hubungan penghormatan/penghargaan dari si pemberi kepada penerima ulos.

Ketiga, ulos dimaknai sebagai hubungan kekerabatan spiritual yang dilandasi pengharapan

spiritual dalam doa bagi kehidupan si penerima ulos.

Seturut apa yang dinyatakan oleh Paul Tillich bahwa simbol membuka dimensi-

dimensi roh batiniah manusia sehingga terwujudlah suatu korespondensi atau korelasi dengan

segi realitas tertinggi. Simbol memperluas penglihatan tentang realitas transenden; bersamaan

dengan itu, simbol memperluas roh manusia untuk memampukannya ditangkap oleh

penglihatan itu dan dengan demikian tumbuh berkembanglah pengertian rohaninya.29

Artinya

ulos sendiri memiliki dimensi yang memperluas penglihatan masyarakat Batak Toba sejak

dulu tentang realitas yang transenden. Ada nilai rohani yang dimakanai melalui ulos dan

sekiranya hal ini diketahui oleh masyarakat Batak toba di Salatiga secara umum. Namun,

dalam mengambil suatu keputusan penting yang menyangkut hal teknis mereka kesulitan

untuk hal itu.

Ulos tidak hanya berhenti pada makna spiritual belaka. Terlepas dari itu ia juga

memiliki makna historis di dalamnya. Makna historis itu selalu dilakukan secara turun-

temurun sejak leluhur Batak hidup. Adanya hubungan kekeraabtan antara si pemberi dan

penerima ulos. Berdasarkan apa yang dinyatakan oleh Clifford Geertz bahwa kebudayaan

berarti suatu pola makna yang ditularkan secara historis, yang diejawantahkan dalam simbol-

simbol, suatu sistem konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis, yang

menjadi sarana manusia untuk menyampaikan, mengabdikan, dan mengembangkan

pengetahuan mereka tentang serta sikap-sikap mereka terhadap hidup.30

Artinya ulos sebagai

simbol luhur dari suku Batak merupakan salah satu penularan kebudayaan yang historis. Ulos

juga merupakan bagian dari cara memahami masyarakat Batak akan nilai persatuan dan

persaudaraan. Tidak hanya sebatas penurunan atau pewarisan secara historis belaka, tetapi

29 F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol, 125. 30 F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol, 115-116.

Page 34: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

24

sekiranya penghayatan terhadap nilai-nilai kehidupan terdapat di setiap tenunan ulos. Nilai,

warna, bentuk, ukuran dan setiap instrumen yang terdapat di dalam ulos merupakan satu

kumpulan pengetahuan, penghayatan, pemaknaan tertentu yang telah dihidupi oleh

masyarakat Batak.

Menurut Mari S. Condronegoro busana begitu mempengaruhi cara orang berbudaya.

Busana adalah sebuah ekspresi budaya, yang pada tingkat pertama dari kebutuhan manusia

pakaian berfungsi sebagai pelindung, baik pelindung terhadap kotoran, terhadap sengatan

matahari maupun terhadap dingin. Namun pada tingkatan kedua kebutuhan manusia, pakaian

berfungsi sosial pula. Semakin rumit struktur suatu masyarakat semakin bervariasi pula

ragam busana manusia mengikuti aneka peranan dan golongan manusia di dalamnya. Dengan

kata lain keanekaragaman itu terkait dengan aneka status sosial tertentu. Di samping itu,

seringkali pula busana itu dikenai konvensi-konvensi tertentu yang dikaitkan dengan

peristiwa-peristiwa atau situasi-situasi tertentu.31

Ulos secara busana dimaknai sebagai suatu simbol pengerat persaudaraan dengan

sesama. Pemakaian ulos memiliki suatu golongan dan pemaknaan yang bervariasi di

dalamnya. Misalnya, ulos ragi jugia yang saat ini sudah sangat langka dimiliki oleh

masyarakat Batak tentu memiliki standarisasi dan tidak sembarangan individu yang dapat

memilikinya. Mengingat bahwa individu yang telah memiliki dan memakai ulos ragi jugia

merupakan subyek yang sangat dihormati dalam masyarakat Batak. Status sosial dari ulos

telah mengikat setiap individu dan masyarakat Batak untuk menghormati siapapun yang

layak memakai ulos tersebut.

Hal itu merupakan sarana penting untuk memahami ulos dengan baik. Tentu saja

diperlukan lebih lagi agar dalam pemahaman, pemaknaan, dan pengaplikasiannya tidak

keliru. Sekiranya hasil penelitian dalam masyarakat Batak toba di Salatiga dengan

pemahaman yang telah dipaparkan seputar ulos dapat dipertimbangkan kembali. Pertama,

ulos perlu diajarkan kembali kepada masyarakat Batak pada umumnya. Ulos sangat penting

untuk dipahami dan dihayati dengan baik. Tujuannya agar dalam pengaplikasiannya ia tidak

disalahartikan sebagai barang komoditi belaka. Pengembangan ulos tentu diperbolehkan,

tetapi sekiranya tidak melupakan maknanya yang mendalam. Tentu tidak dapat menilai ulos

pada sekedar bagus atau tidaknya, tetapi maknanya juga perlu diperhatikan. Jika hanya

31 Yuke Ardhiati, Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol,

Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1965, 69-70.

Page 35: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

25

melihat ulos berdasarkan indah atau tidaknya melalui luarnya, tentu perlu dipertanyakan

pemahamannya terhadap ulos sekaligus budaya Batak itu sendiri.

Kedua, kebudayaan selalu berjalan dinamis dan dalam pergumulan perkembangan

zaman tentu ia selalu dimaknai secara berbeda. Sekiranya ulos sebagai suatu simbol berharga

untuk masyarakat Batak perlu diperhatikan kembali. Boleh saja mengembangkan ulos dengan

baik dan memahaminya secara beragam, tetapi sekiranya tidak layak juga jika ulos dimaknai

secara sesuka hati. Misalnya, ulos ragi idup yang dijadikan sebagai jas, pakaian, tas, ataupun

barang lainnya. Tentu itu sudah sangat menyimpang dari makna aslinya yang seharusnya

dapat dipakai oleh mereka yang telah memiliki cucu. Hal ini sudah menjadi trend tersendiri

dalam masyarakat Batak saat ini yang hanya mengedepankan arus zaman tanpa mau melihat

kembali maknanya secara mendalam. Sekiranya hal itu perlu diperhatikan kembali dalam

memaknai ulos sebagai suatu simbol luhur dari Tuhan.

Ketiga, perlu diupayakan untuk memberikan pemahaman kepada generasi muda sejak

dini. Mengingat ada satu ulos yang saat ini sudah sangat jarang ditemukan yaitu ulos ragi

jugia. Ulos yang dikatakan merupakan ulos tertinggi diantara seluruh ulos dalam adat Batak.

Tentu budaya Batak akan semakin dimaknai secara keliru nantinya jika tidak diberikan

pemahaman yang benar dan jelas sejak dini. Sekiranya gereja seperti HKBP atau gereja suku

yang terkait dapat membantu secara terus menerus dalam mengupayakan ulos sebagai simbol

yang sangat luhur dimiliki oleh suku Batak. Misalnya, gereja dapat membentuk program

pengembangan budaya baik dengan memperkenalkan dan pendalaman ulos setiap satu kali

dalam seminggu. Sekiranya itu sangat membantu para muda/i terkhususnya yang lahir di

kota. Gereja tentu sangat membantu jika ia berkontribusi untuk terus mengupayakan nilai,

makna, penghayatan kepada jemaatnya akan ulos. Tentu ada beberapa lembaga yang

bertanggungjawab untuk melestarikan kebudayaan, tetapi tidak dapat sepenuhnya bergantung

pada lembaga seperti itu. Sekiranya kesadaran diri sendiri juga perlu ditumbuhkan untuk

melestarikan ulos dengan baik. Terlebih kepada pemahaman, pemaknaan kepada seluruh

kehidupan masyarakat Batak.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis hendak menganalisis bahwa ulos tidak

sepenuhnya dapat digunakan sebagai hiasan seperti taplak meja, pajangan dinding, maupun

barang komoditi lainnya. Penulis hendak mengambil sikap konsisten terhadap pemaknaan

ulos sebagai suatu pemberian luhur dari Tuhan dan setiap ulos memiliki penghayatannya

masing-masing. Ulos tidak dapat secara sembarangan diperjualbelikan begitu saja dengan

Page 36: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

26

alasan untuk memperluas kebudayaan Batak ataupun mengikuti arus zaman yang terus

berubah. Sekiranya ulos merupakan simbol yang luhur, di mana setiap pemberi dan penerima

terdapat doa di dalamnya, pengharapan, dan nilai-nilai lainnya. Tidak sepantasnya pula ulos

dijadikan barang komoditi karena itu telah merusak citra, pemaknaan, dan penghayatan

terhadap ulos sebagai simbol luhur dari Tuhan.

Ada berbagai bentuk kebimbangan dalam memutuskan apakah ulos dapat dijadikan

sebagai hiasan, taplak meja, maupun barang komoditi lainnya. Sekiranya masyarakat Batak

sendiri sudah dapat mengetahuinya bahwa itu tidak dapat digunakan secara sembarangan.

Walaupun ada diantara masyarakat Batak Salatiga tersendiri yang mengatakan bahwa ulos

dapat dijadikan pajangan dinding sebagai suatu kebanggaan dalam rumahnya, terlebih jika

seseorang berkunjung ke rumahnya. Penulis hendak menyikapi bahwa kalaupun ulos

digunakan sebagai suatu kebanggaan, mengapa tidak digunakan saja media print untuk hal

tersebut? Sebab banyak masyarakat Batak saat ini yang memahami ulos sebagai simbol luhur

justru tidak menggunakan ulos secara sembarangan seperti itu. Justru masyarakat yang

memaknai dan menghayati ulos sebagai nilai luhur tentu cenderung menggunakan media

print dibandingkan memakai ulos asli sebagai pajangan dengan alasan ‗kebanggaan‘.

Kebimbangan tersebut tentu akan selalu dilanjutkan jika masyarakat Batak sendiri

tidak diberikan pemahaman yang jelas terhadap makna ulos. Jelas secara simbolis, ulos

mendapatkan pemaknaan yang luhur. Tentu sudah sepantasnya juga ulos tidak dijadikan

barang murahan yang dapat dijadikan apa saja sesuai dengan keinginan pemiliknya. Ulos

diberikan oleh si pemberi kepada si penerima dengan penghayatan yang mendalam dengan isi

pengharapan, doa, syukur, dan hal-hal baiknya. Tentu dalam hal ini ulos tidak dapat dijadikan

barang komoditi ataupun hal lainnya, mengingat sebagai simbol yang luhur tentu ulos sudah

selayaknya diperlakukan dengan baik.

Page 37: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

27

5. Penutup

5.1. Kesimpulan

Melalui proses penelitian dan kajian kritis terhadap kemerosotan pemaknaan nilai luhur ulos

dalam masyarakat Batak Toba di Salatiga. Penulis menyimpulkan bahwa ada kemerosotan

pemaknaan nilai luhur terhadap ulos. Kemerosotan itu ada ketika beberapa narasumber

mengatakan bahwa semua ulos dapat dijadikan barang komoditi. Misalnya saat penulis hendak

mengajukan pertanyaan apakah semua jenis ulos dapat dijadikan barang komoditi, diantara

mereka yang menjawab ―ya, tentu boleh‖. Narasumber tersebut tidak menjawab secara ragu-ragu,

melainkan dengan leluasanya ia mengatakan hal tersebut. Ketidaksesuaian ini tentu perlu

diperhatikan kembali bahwa pada dasarnya tidak semua ulos dapat dijadikan barang komoditi.

Alasannya, ada ulos yang memiliki makna dan fungsi yang sangat mendalam untuk digunakan.

Misalnya, ulos ragi idup yang hanya dapat dipakai oleh seorang bapak yang sudah memiliki cucu.

Tentu tidak logis jika ulos ragi jugia dipakai oleh mereka yang belum memiliki cucu dengan

bentuk jas, baju, dan jenis lainnya.

Selanjutnya, penulis hendak mendapatkan satu kesimpulan bahwa banyak masyarakat Batak

Toba yang tidak mengetahui setiap jenis ulos dan makna luhurnya. Hal ini terkikis akibat

berkembangnya zaman dan kesadaran untuk memahami kebudayaan semakin sedikit. Salah

satunya adalah proses penenunan ulos yang saat ini telah memakai mesin. Ulos dibentuk dengan

penghayatan dari si penenun. Setiap tenunan memiliki penghayatan spiritual dari si penenun yang

ia dapatkan dari Tuhan. Misalnya untuk jenis ulos ragi jugia, ulos yang dikatakan sudah semakin

sedikit masyarakat Batak yang memilikinya. Ulos ragi jugia dibentuk secara khusus dengan

memiliki 7 ragi dan tidak 5 ragi seperti ulos yang lainnya. Simbol ini dibentuk dengan 7 ragi yang

melambangkan 7 harapan bagi si penerima ulos. Diantaranya, (1) Hagabeon atau sudah memiliki

keturunan baik dari anak laki-laki dan perempuan(2) Hamoraon atau kekayaan (3) Hasangapon

atau kehormatan (4) Garis Parngoluan (5) Mempunyai Kharisma (6) Keturunan yang rukun (7)

Memiliki ilmu yang tinggi (Elmu). Tepatnya bahwa spiritualitas si penenun ulos dengan 7 harapan

untuk si penerimanya tentu melambangkan suatu pemaknaan luhur yang tidak dapat disepelekan.

Seperti Tuhan yang memberikan anugerah kepada manusia dengan seluruh kasih-Nya. Demikian

juga setiap tenunan ulos dimaknai sebagai anugerah dari Tuhan yang hendak diberikan melalui

ulos sebagai simbol yang begitu luhur dimiliki oleh suku Batak Toba.

Page 38: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

28

5.2 Saran

Setelah melakukan proses penelitian dan kajian kritis, penulis hendak mengkhususkan diri

kepada gereja suku yang memiliki nuansa kebudayaan Batak. Misalnya, HKBP, GKPS, HKI, dan

lain sebagainya. Gereja-gereja tersebut merupakan bagian dari kebudayaan Batak. Tentu tidak

selamanya gereja hanya berkutat dalam masalah program gereja tahunan, dan menghiraukan di

dalam tubuhnya sendiri bahwa jemaat tidak mengetahui dan memahami dengan baik

kebudayaannya sendiri. Banyak diantara masyarakat Batak yang tidak memahami ulos dengan

baik, terlebih kepada kebudayaannya sendiri. Dalam hal ini saran tidak hanya kepada mereka

yang mengurusi pelestarian budaya dalam tingkat pemerintahan, tetapi gereja juga perlu

berpartisipasi. Mengingat gereja-gereja suku tersebut berdiri tidak hanya pada landasan firman

Tuhan, tetapi juga pada nilai kebudayaan. Kiranya gereja dapat memberikan pendidikan yang

lebih kepada masyarakat Batak dapat melalui pertemuan-pertemuan gereja yang diadakan setiap

satu bulan sekali. Tentu dengan melibatkan para pakar kebudayaan, selain itu setiap jemaat perlu

hadir dengan tujuan memperkaya penghayatan serta pemaknaan bagi masyarakat Batak. Terlebih

kepada pemaknaan ulos sebagai suatu nilai luhur yang diberikan dari Tuhan kepada suku Batak.

Page 39: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

29

Lampiran

1. Kuesioner Pemahaman Terhadap Budaya Batak

No Pertanyaan Ya Tidak

1. Saya adalah orang batak yang memahami budaya saya dengan baik. 6 4

2. Saya dilahirkan dalam tradisi batak yang begitu ketat. 7 3

3. Sejak kecil saya diajarkan untuk mengetahui silsilah marga saya. 8 2

4. Saya dapat berkomunikasi dengan bahasa batak dengan lancar. 5 5

5. Saya mahir dalam berbahasa batak bukan karena keluarga saja, tetapi juga

karena lingkungan saya.

7 3

6. Saya senang dengan seluruh warisan budaya batak seperti falsafahnya,

busana, kuliner, kesenian, dan lainnya.

9 1

7. Saya sering memperkenalkan budaya batak kepada orang lain. 9 1

8. Saya tidak pernah malu untuk berbahasa batak, menggunakan busana batak

dalam kehidupan sehari-hari.

10 0

9. Saya sangat menghargai budaya batak sebagai pemberian dari Tuhan yang

sangat berharga.

9 1

10. Saya sangat menghidupi nilai-nilai budaya batak seperti Dalian Na Tolu. 8 2

2. Kuesioner Pemahaman Terhadap Ulos

Keterangan:

SS = Sangat Setuju TS = Tidak Setuju S = Setuju STS =

Sangat Tidak Setuju N = Netral

No. Pertanyaan SS S N TS STS

1. Ulos adalah salah satu simbol dan makna berharga yang dimiliki

atau diwarisi oleh masyarakat batak sejak dulu.

7 3

2. Saya setuju jika ulos dipakai untuk acara tertentu saja dan tidak

dipakai setiap hari.

3 4 2 1

3. Saya setuju jika semua masyarakat batak memiliki pemahaman 7 2 1

Page 40: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

30

yang mendalam mengenai ulos dalam budaya batak.

4. Saya tahu jika nenek moyang orang batak dulu memakai ulos

dalam kegiatan sehari-harinya.

1

5. Banyak muda/i yang tidak lagi peduli dengan budaya batak,

bahkan malu mengakuinya.

1 2 2 4 1

6. Banyak orang tua saat ini yang tidak lagi mengajari kepada

anak-anaknya mengenai budaya batak karena dianggap tidak

relevan lagi dalam perkembangan zaman.

2 1 7

7. Saya menyukai rumah-rumah orang batak yang memakai ulos

untuk taplak meja, pajangan dinding, dan lainnya.

4 4 1 ?

8. Ulos merupakan simbol yang mempererat tali persaudaraan

dalam kehidupan masyarakat batak.

3 6 1

9. Banyak macam motif dan jenis ulos dalam budaya batak. 7 3

10. Saya mengetahui dan memahami setiap motif dan jenis ulos

dengan baik.

1 ? 3 2 3

3. Kuesioner atas Kebermaknaan Ulos dalam Masyarakat Batak Salatiga

Keterangan:

SS = Sangat Setuju TS = Tidak Setuju S = Setuju STS =

Sangat Tidak Setuju N = Netral

No. Pertanyaan SS S N TS STS

1. Ulos harus diperkenalkan dan diajari sejak dini bagi generasi penerus

budaya batak agar tidak senantiasa dipahami sebagai busana belaka,

tetapi ada nilai-nilai luhur disetiap ulos.

9 1

2. Saya setuju jika ulos hendaknya dipakai setiap hari untuk

melestarikan kebudayaan batak yang semakin merosot.

3 3 2 2

3. Saya setuju jika ulos dapat dibentuk sebagai kemeja, tas, rok, celana,

dan lainnya demi komersialisasi belaka.

2 1 5 2

4. Ulos tidak hanya sekedar busana yang dipakai dalam acara tertentu

saja, lebih dari itu ulos merupakan simbol persaudaraan yang

harmoni dan anugerah dari Tuhan yang sangat berharga.

5 3 2

5. Ulos tidak sepantasnya dipakai sebagai taplak meja, pajangan 2 1 3 3 ?

Page 41: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

31

dinding, dan lainnya, sebab ulos merupakan warisan yang sangat

berharga dan bermakna untuk masyarakat batak.

6. Tidak semua ulos dapat diperjualbelikan, sebab ada ulos yang

memiliki nilai yang sangat berharga, sehingga hanya ulos tertentu

saja yang dapat dijadikan komersialisasi.

3 3 2 2

7. Saya setuju jika gereja turut berpartisipasi dalam mengembangkan

dan memberikan pemahaman yang lebih mengenai ulos atas nilai

luhurnya yang diberikan oleh Tuhan.

2 5 3

8. Saya setuju jika ulos diperjualbelikan dengan berbagai macam motif

seperti baju, celana, rok, tas, dan busana lainnya.

2 4 3 1

9. Saya tidak setuju jika ulos dipakai dalam kegiatan sehari-hari, sebab

itu sangat berlebihan.

1 4 3 1 1

10. Saya setuju jika ulos dipakai dan dimaknai tidak hanya sebagai

mempererat tali persaudaraan, tetapi juga penyembahan kepada

Tuhan.

2 4 1 2

Page 42: Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur ......untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak Misalnya saja, dalam suku Batak

32

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ardhiati,Yuke.Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota,

Interior, Kria, Simbol, Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1965.Depok: Komunitas Bambu,

2005.

Bangun, Payung. “Kebudayaan Batak”. Sapdodadi: Djambatan, 1975.

Chang, William. Metodologi Penulisan Ilmiah Teknik Penulisan Esai, Skripsi, Tesis, dan

Disertasi. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2014.

Dillistone, F.W. Daya Kekuatan Simbol. Diterjemahkan oleh A. Widyamartaya. Yogyakarta:

Kanisius, 2006.

Majelis,Sejarah HKBP Salatiga. Salatiga, 2008

Maran, Rafael Raga. Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspekti Ilmu Budaya Dasar.Jakarta:

Rineka Cipta, 2007.

Ranjabar, Jacobus. Perubahan Sosial dalam Teori Makro Pendekatan Realitas

Sosial.Bandung: Alfabeta, 2008.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Salim, Agus. Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002.

Sitompul,R.H.P.Ulos Batak Tempo Dulu – Masa Kini.Jakarta:KERABAT, 2009.Tarigan, T.

E dan Emilkam Tambunan. Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba. Ende: Nusa Indah,

1974.

Tambunan, E. H. Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya.

Bandung: Tarsito, 1982.

Majalah

Majalah Basis: Edisi Dalam Kerja Sama Peringatan 60 Tahun Sanata Dharma, No. 11-12, Tahun ke-

64, November-Desember, 2015.