37
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Motivasi Berprestasi 2.1.1 Pengertian Motivasi Berprestasi Setiap tingkah laku individu pada dasarnya dipengaruhi faktor-faktor pendorong yang didasari oleh keinginan untuk mencapai suatu tujuan. Handoko dalam (Ninawati, 2002:77) mengemukakan bahwa faktor pendorong ini disebut motif, yaitu suatu alasan atau dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu atau melakukan tindakan tertentu.Sedangkan motivasi dinyatakan sebagai suatu tenaga atau faktor yang menimbulkan, mengarahkan, dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Robbins (2008:244) menyatakan motivasi sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu atau sejumlah sasaran, usaha tersebut terkoordinasi oleh kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. McClelland (Irwanto, 2002:206) menyatakan tiga kebutuhan utama yang mendorong perilaku manusia, yaitu

library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2013-1... · Web viewKarakteristik budaya Batak, diantaranya mengenal adanya marga. Suku bangsa Batak, lebih khusus

  • Upload
    others

  • View
    21

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Motivasi Berprestasi

2.1.1 Pengertian Motivasi Berprestasi

Setiap tingkah laku individu pada dasarnya dipengaruhi faktor-faktor

pendorong yang didasari oleh keinginan untuk mencapai suatu tujuan. Handoko

dalam (Ninawati, 2002:77) mengemukakan bahwa faktor pendorong ini disebut

motif, yaitu suatu alasan atau dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat

sesuatu atau melakukan tindakan tertentu.Sedangkan motivasi dinyatakan sebagai

suatu tenaga atau faktor yang menimbulkan, mengarahkan, dan

mengorganisasikan tingkah lakunya.

Robbins (2008:244) menyatakan motivasi sebagai suatu usaha yang sungguh-

sungguh untuk mencapai sesuatu atau sejumlah sasaran, usaha tersebut

terkoordinasi oleh kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya.

McClelland (Irwanto, 2002:206) menyatakan tiga kebutuhan utama yang

mendorong perilaku manusia, yaitu berprestasi, motivasi berafiliasi, dan motivasi

berkuasa.

McClelland, Atkinson, Clark dan Lowell (Woolfolk, 2004:384) menyatakan

bahwa orang-orang yang berusaha keras untuk berhasil dalam bidangnya,

pencapaian prestasi bukan untuk suatu pujian atau hadiah namun benar-benar

karena keinginan berprestasi. Motivasi berprestasi diartikan sebagai keinginan

untuk lebih dari yang lain atau dorongan untuk berusaha mencapai keunggulan

dan kesuksesan.Murray (Purwanto, 1997:20) mendefinisikan motivasi berprestasi

sebagai hasrat atau tendensi untuk mengerjakan suatu tugas yang sulit dengan

cepat dan sebaik mungkin.

Heckhausen (Purwanto, 1997:20) menyatakan bahwa motivasi berprestasi

merupakan usaha yang keras untuk meningkatan atau mempertahankan

kecakapan diri setinggi mungkin dalam semua aktivitas dengan menggunakan

standar keunggulan sebagai pembanding. Standar keunggulan tersebut dapat

berupa kesempurnaan tugas lalu presentasi sendiri sebelumnya dan juga sebagai

presentasi untuk orang lain.

Monks dkk (1998, 188) menjelaskan kembali berupa standar suatu

keunggulan menurut Heckhausen, yaitu:

1. Prestasi orang lain yang artinya bahwa anak tersebut ingin berbuat lebih

baik daripada yang telah diperbuat oleh orang lain.

2. Prestasi diri sendiri yang lampau, artinya bahwa anak ingin berbuat

melebihi prestasinya yang lalu, ingin menghasilkan yang lebih baik

daripada apa yang telah dihasilkannya semula.

3. Tugas yang harus dilakukannya, berarti bahwa ia ingin menyelesaikan

tugas sebaik mungkin. Jadi tugasnya sendiri menjadi tantangan bagi anak.

Adapun standar keunggulan siswa lain adalah standar keunggulan yang

berhubungan dengan pencapaian prestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan

prestasi yang dicapai oleh siswa lain (misalnya teman sekelas). Standar ini lebih

ditujukan kepada keinginan siswa untuk menjadi juara pertama dalam setiap

kompetisi.

Winkel (1997:96) menyatakan bahwa motivasi berprestasi sangat ditentukan

oleh hasrat (keinginan atau tekad) untuk berprestasi dengan baik menurut ukuran

dan pandangan sendiri, bukan menurut ukuran atau pandangan orang lain.

Dengan demikian achievement motivation dalam rangka belajar

(akademis)merupakan intensifikasi dari bentuk motivasi intrinsik.

Berdasarkan penjelesan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa

motivasi berprestasi adalah suatu keinginan atau dorongan dalam diri seseorang

dalam rangka mengatasi rintangan, bekerja keras untuk mencapai prestasi yang

membanggakan dan sesuai dengan yang diinginkan sebaik mungkin untuk

mendapatkan hasil yang lebih baik dari pada sebelumnya atau mempertahankan

prestasi maksimal yang pernah diraihnya menurut ukuran dan pandangan sendiri,

bukan menurut ukuran pandangan orang lain.

2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi

Crow & Crow (1989:24) mengemukakan salah satu faktor yang

mempengaruhi motivasi berprestasi adalah sikap terhadap lingkungan. Artinya

bahwa sikap terhadap lingkungan merupakan petunjuk tentang pandangan dan

penilaian individu terhadap lingkungan. Sikap positif terhadap lingkungan akan

meningkatkan motivasi berprestasi, dan sebaliknya sikap yang negatif terhadap

lingkungan akan menurunkan motivasi berprestasi seseorang tersebut.

Pengaruh inteligensi dalam motivasi berprestasi dipengaruhi oleh inteligensi,

artinya inteligensi yang tinggi akan diikuti oleh motivasi berprestasi yang tinggi

dan sebaliknya inteligensi yang rendah akan diikuti motivasi berprestasi yang

rendah pula. Hal tersebut juga diperkuat oleh Handoko dalam (Ninawati,

2002:77) yang mengungkapkan bahwa motivasi dipengaruhi oleh pengalaman

masa lampau, taraf inteligensi, kemampuan fisik, situasi lingkungan, cita-cita

hidup, dan sebagainya.

Faktor lain yang juga mempengaruhi motivasi berprestasi menurut Horner

(Sprinthall, 1990:529) adanya rasa takut akan sukses. Horner menuliskan bahwa

faktor penting dalam membentuk level terendah dari prestasi adalah adanya rasa

takut akan sukses. Dia juga menuliskan bahwa wanita, karena pemikiran dan

budaya mereka, cenderung lebih pada kondisi ini daripada laki-laki.

Heckhausen (Monks dkk, 1998:191) berpendapat bahwa tinggi rendahnya

motivasi berprestasi dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain; faktor

situasional, norma kelompok, tujuan yang ditetapkan, harapan-harapan yang

diinginkan, resiko yang ditimbulkan sebagai akibat dari prestasi yang diperoleh,

cita-cita yang mendasari, sikap kehidupan dan lingkungan, harga diri yang tinggi,

adanya rasa takut akan sukses atau adanya kecenderungan menghindari sukses,

pengalaman-pengalaman yang dimiliki, serta kemampuan yang terkandung di

dalam diri individu atau potensi dasar yang dimiliki.

Mussen dkk (1992:289) mengemukakan bahwa ada empat faktor yang

mempengaruhi motivasi berprestasi, yaitu :

1. Nilai pencapaian (nilai intensif)

Nilai pencapaian atau nilai intensif adalah nilai yang dilekatkan si

anak pada keberhasilan dalam bidang itu.Nilai pencapaian merupakan

pengaruh penting pada seleksi kegiatan bila mereka mempunyai pilihan.

2. Harapan akan keberhasilan

Anak yang berharap akan berhasil dan yang percaya bahwa mereka

memiliki kemampuan mengerjakan tugas pada kenyataannya memang

mengerjakan tugas dengan baik. Salah satu alasan untuk harapan siswa

yang tinggi adalah keberhasilan masa lalu.Tetapi harapan tinggi pada

gilirannya dapat memberi siswa perasaan efikasi yaitu suatu perasaan

mampu yang memuaskan dan mendorong mereka untuk mencoba lebih

giat di masa datang.

3. Atribusi mengenai keberhasilan dan kegagalan

Satu alasan mengapa anak dengan tingkat perfomansi yang sama

mungkin memiliki harapan-harapan keberhasilan yang berbeda adalah

karena mereka menafsirkan keberhasilan dan kegagalan mereka secara

berbeda. Konsep atribusi diterapkan pada motivasi berprestasi oleh

Bernard Weiner dan rekan-rekannya (Mussen dkk, 1992:290). Mereka

mengemukakan bahwa persepsi manusia mengenai sebab keberhasilan

dan kegagalan mereka sendiri merupakan faktor penentu yang penting

dari perilaku berprestasi dan harapan mengenai performansi masa depan.

4. Standar perfomansi

Sewaktu mengevaluasi performansi diri sendiri, pasti akan

dibandingkan dengan suatu standar keunggulan. Bila standar yang

digunakan adalah diri pribadi atau didasarkan pada performansi masa lalu

maka keduanya disebut standar otonom, sedangkan bila didasarkan pada

perbandingan dengan performansi orang lain maka standar ini disebut

dengan standar perbandingan sosial.

Tetapi selain keempat faktor tersebut Mussen dkk (1992:296) juga

menyebutkan bahwa nilai dari harapan orang tua juga berpengaruh pada

anak. Harapan dan tuntutan orang tua sehubungan dengan prestasi lebih

mungkin menaikkan motivasi berprestasi anak bila orang tua juga

membuat tuntutan untuk perilaku yang matang, dan tuntutan semacam itu

perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak.

Menurut Hawadi (2001:44) sebenarnya ada dua bentuk atau ragam

berprestasi yaitu motivasi yang berasal dari luar dirinya (motivasi

ekstrinsik), yang artinya bahwa motif berprestasi ini muncul karena faktor

di luar dirinya baik itu dari lingkungan rumah maupun sekolah, dan

motivasi yang berasal dari dalam diri (motivasi intrinsik), yang berarti

motif berprestasi ini muncul tanpa dorongan dari pihak luar. Pada

kenyataannya ada siswa yang motif berprestasinya bersifat intrinsik

sedangkan pada orang lain bersifat ekstrinsik. Hal ini disebabkan karena

adanya :

A. Faktor Individual

Penelitian Harter (Hawadi, 2001:45) menunjukkan bahwa hanya

siswa yang mempersepsikan dirinya untuk berkompetensi dalam bidang

akademis yang mampu mengembangkan motivasi intrinsik.Siswa-siswa ini

dikatakannya lebih menyukai tugas-tugas yang menantang dan selalu

berusaha mencari kesempatan memuaskan rasa ingin tahunya.Sebaliknya

pada siswa-siswa dengan persepsi diri yang rendah akan lebih menyukai

tugas-tugas sekolah yang mudah dan tergantung pada pengarahan guru. Yang

termasuk faktor individual antara lain pengaruh orang tua.

Dari penelitian Ames dan Acter (Hawadi, 2001:45) terlihat bahwa

pada ibu yang amat menekankan nilai rapor pada anaknya, motivasi yang

berkembang lebih ke arah ekstrinsik, sedangkan ibu yang lebih

mengutamakan bagaimana anaknya bekerja dan melihat bahwa keberhasilan

adalah dari hasil usaha, maka motivasi yang berkembang lebih kearah

intrinsik.

a. Faktor Emosional

Besar kecilnya kelas berpengaruh terhadap pembentukan ragam

motivasi siswa.Kelas yang besar cenderung bersifat formal, penuh persaingan

dan kontrol dari guru.Dengan setting seperti ini maka setiap siswa cenderung

menekankan pentingnya kemampuan bukan pada penguasaan bahan

pelajaran.Sebaliknya, pada kelas yang kecil kesannya tidak formal, hal ini

membuat siswa dapat membuat pilihan-pilihan sendiri.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi motivasi berprestasi adalah sikap terhadap lingkungan, taraf

inteligensi, pengalaman masa lalu, kemampuan fisik, cita-cita hidup, adanya

rasa takut akan sukses, norma kelompok, tujuan yang ditetapkan, resiko yang

ditimbulkan harga diri yang tinggi, nilai pencapaian, harapan akan

keberhasilan, atribusi mengenai keberhasilandan kegagalan, standar

performansi, nilai dan harapan orang tua.

2.1.3 Dimensi-Dimensi Motivasi Berprestasi

Ada 4 hal yang membedakan tingkat motivasi berprestasi tinggi dari

seseorang dan orang lain menurut McClelland (Reni Akbar, 2001:87) :

a. Tanggung jawab : seorang siswa yang memiliki motivasi berprestasi

tinggi akan bertanggung jawab atas tugas atau pekerjaan yang diberikan

kepadanya. Siswa akan tugas yang diberikan.

b. Mempertimbangkan resiko : siswa yang memiliki motivasi berprestasi

tinggi akan memilih dalam mengerjakan tugas. Siswa akan mengerjakan

tugas yang menantang namun masih dapat ia kerjakan yang

memungkinkannya untuk menyelesaikan dengan baik.

c. Memperhatikan umpan balik : siswa dengan motivasi berprestasi tinggi

akan menyukai pemberian umpan balik atas apa yang telah ia kerjakan.

d. Kreatif – inovatif : siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi

cenderung bertindak kreatif. Siswa akan mencari cara agar ia dapat

menyelesaikan tugasnya dengan efektif dan efisien.

Dari uraian tokoh di atas, maka teori ini akan dijadikan instrument (alat

ukur) motivasi berprestasi.

Murray (Alwisol, 2004:240) mengemukakan ciri-ciri individu yang

memiliki motivasi berprestasi tinggi yaitu :

a. Lebih kompetitif

b. Lebih bertanggung jawab terhadap keberhasilan diri

c. Senang menetapkan tujuan yang menantang tetapi cukup realistis

d. Memilih tugas dengan tingkat kesulitan yang cukup, yang pasti

apakah bisa diselesaikan atau tidak

e. Senang dengan kinerja interpreneur yang beresiko tetapi cocok

dengan kemampuannya

f. Menolak kerja rutin

g. Bangga dengan pencapaian dan mampu menunda untuk memperoleh

kepuasan yang lebih besar

2.2 Remaja

Definisi remaja menurut Santrock (2008), adalah masa perkembangan transisi

antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mencakup perubahan

biologis, kognitif dan social-emosional. Masa remaja akhir ( late adolescence)

15-19 tahun, pada umur tersebut muncul minat yang lebih nyata untuk

berkarir, berhubungan dan eksploitasi identitas (Santrock, 2003).

2.4 Etnis dan Moral

2.4.1 Pengertian Etnis

Koentjaraningrat (1990:264) memberikan pengertian etnis adalah suatu

golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan

kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas tadi sering kali (tetapi tidak

selalu) dikuatkan oleh kesatuan bangsa. Kesatuan bangsa mengandung arti bahwa

mereka memiliki keseragaman budaya dan kebudayaan tertentu.

Menurut Tan (dalam Basti, 2002:42) pengertian etnis atau suku adalah

kategori sosial yang digunakan masyarakatuntuk membedakan suatu kelompok

tertentu yang mempunyai ciri-ciri berbeda dengan kelompok lain. Identifikasi

sebuah kelompok etnis menurut Weber (dalam Basti, 2002:43) diawali oleh

perasaan sadar akan kesamaan budaya. Weber yakin setiap aspek budaya menjadi

titik awal pembentukan kelompok etnis.Bahasa dan kepercayaan religius

merupakan aspek yang penting dalam identifikasi etnis. Demikian pula gaya

hidup, misalnya sandang, pangan, dan papan.

2.4.2 Etnis Jawa

A. Identifikasi

Daerah kebudayan ditanah Jawa meliputi seluruh bagian tengah dan timur

dari pulau Jawa. Sebelum terjadi perubahan status seperti sekarang ini, ada

daerah-daerah yang secara kolektif sering disebut daerah kejawen. Daerah-daerah

itu adalah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri.

Daerah diluar itu dinamakan Pesisir dan Ujung Timur.

Jawa, merupakan salah satu wilayah di nusantara yang memiliki sumber-

sumber kearifan lokal yang sangat kaya dan beragam. Salah satu sumber dan

wujud kearifan lokal yang berasal dari budaya Jawa adalah etika Jawa. Sudah

menjadi pengetahuan umum bahwa dalam etika Jawa terkandung tata nilai

kehidupan Jawa, seperti norma, keyakinan, kebiasaan, konsepsi, dan simbol-

simbol yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa, misalnya tepa slira,

rukun, andhap asor, unggah-ungguh, mawas diri, dan sebagainya.

Yogyakarta dan Surakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa.Sama halnya

dengan daerah-daerah kejawen lainnya, di dalam wilayah Daerah Istimewa

Yogyakarta sebelah selatan terdapat kelompok-kelompok masyarakat Jawa yang

masih mengikuti atau mendukung kebudayaan Jawa ini. Pada umumnya mereka

membentuk kesatuan-kesatuan hidup setempat yang menetap di desa-desa

(Koentjaraningrat (ed), 2002:329). Nilai-nilai budaya Jawa Yogyakarta dan juga

di wilayah kebudayaan Jawa lainnya dalam bentuk ungkapan-ungkapan atau

falsafah-falsafah.Ungkapan dan falsafah Jawa Yogyakarta tersebut lahir dari

lingkungan keraton, untuk kemudian menjadi konsep dasar perilaku masyarakat

di lingkungan tersebut (Kusrestuwardhani dkk, 2003:38).

B. Etika

Etika Jawa pada intinya didasarkan pada pantas dan tidak pantas. Ada dua

kaidah dasar dalam etika Jawa yaitu prinsip rukun dan prinsip hormat. Rukun

bertujuan untuk mempertahankan keadaan harmonis. Rukun berarti berada dalam

keadaan selaras, tenang dan tentram tanpa perselisihan dan pertentangan. Kaidah

hormat menyatakan agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu

menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya

(Suseno, 2001: 39). Sistem etis yang berprinsip pada rukun dan hormat akan

menghasilkan keselarasan hidup. Sistem etis bertujuan mengarahkan manusia

pada keadaan psikologis berupa rasa ketenangan batin, kebebasan dari

ketegangan emosional. Sistem ini di kenal dengan istilah harmoni maupun

selaras. Etika Jawa secara garis besar disampaikan melalui dua cara. Pertama,

melalui pituduh (wejangan, anjuran) yang isinya memberikan nasihat berupa

anjuran. Kedua, melalui pepali (wewaler) artinya larangan agar orang Jawa

menjauhi perbuatan yang tidak baik. Nasihat dan larangan merupakan inti budi

pekerti atau etika. Tujuan pemberian nasihat dan larangan adalah keadaan

selamat atau slamet. Budi pekerti atau etika bagi masyarakat Jawa merupakan

suatu keharusan. Budi pekerti atau etika Jawa disampaikan dari pihak tertentu

kepada pihak lain yang memiliki posisi tidak sama (bertingkat). Etika Jawa

dijalankan sebagai usaha untuk menjaga keselarasan hidup manusia (Endraswara,

2003: 37).

Mengacu pada grand desain pendidikan karakter yang dikembangkan oleh

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1995, etika Jawa yang

masih relevan untuk menjawab tantangan masa kini sehingga dapat dimanfaatkan

untuk sumber pendidikan karakter dan budi pekerti bagi siswa antara lain sebagai

berikut.

1. Urip samadya

Dalam menjalani hidup, orang Jawa memegang prinsip urip samadya.

Dengan sikap samadya manusia akan dapat mengukur kemampuannya, tidak

memaksakan kehendak untuk meraih sesuatu yang tidak mungkin diraihnya.

Sikap hidup samadya menjauhkan seseorang dari perbuatan yang menghalalkan

segala cara untuk mendapatkan yang diinginkannya. Prinsip hidup ini juga

melahirkan sikap nrima ing pandum, menerima segala yang diberikan Yang

Maha Kuasa. Namun demikian, tidak berarti sikap hidup samadya dan nrima ing

pandum ini diisi dengan bermalas-malasan, tanpa mau berusaha.

2. Memiliki watak rereh, ririh, dan ngati-ati.

Rereh, artinya sabar dan bisa mengekang diri. Ririh, artinya tidak tergesa-

gesa dalam bertindak, mempunyai pertimbangan matang untuk sebuah tindakan

dan keputusan. Ngati-ati, artinya berhati-hati dalam bertindak (Herusatoto,

2000:83). Dengan sikap rereh, ririh, dan ngati-ati, berarti manusia dapat

menguasai dirinya, menguasai nafsunya. Manusia akan sempurna bila dapat

menguasai nafsu. Sementara itu, orang yang dikuasai nafsu akan berbahaya bagi

orang-orang di sekitarnya. Dengan sikap rereh, ririh, dan ngati-ati tentu akan

dapat melahirkan penyelesaian yang baik.

3. Aja dumeh

Kata yang singkat ini mengandung ajaran yang sangat luas. Kata ini dapat

diterapkan dalam berbagai sikap dan perbuatan, misalnya aja dumeh pinter, aja

dumeh kuasa, aja dumeh kuwat, dan sebagainya. Aja dumeh sangat dekat dengan

watak adigang, adigung, adiguna. Aja dumeh mengandung maksud “jangan

mentang-mentang”. Sikap hidup aja dumeh akan membawa seseorang pada sikap

rendah hati, sederhana, tidak merasa “paling” dibandingkan dengan orang lain di

sekitarnya.

4. Tepa slira

Tepa slira berarti tenggang rasa, tolerasi, menghargai orang lain, nepakke

awake dhewe. Apabila kita merasa senang dan bahagia jika orang lain

berperilaku baik kepada kita, maka hendaknya kita juga berusaha bersikap baik

terhadap orang lain (Heru Satoto, 2000:94). Tepa slira adalah sikap individu

untuk mengontrol pribadinya berdasarkan kesadaran diri. (Suseno, 2001: 61)

Wujud sikap tepa slira adalah sikap menjaga hubungan baik dengan sesama

sebagai anggota masyarakat.

5. Jujur

Jujur merupakan karakter yang sifatnya universal. Masyarakat Jawa pun

menganggap sikap jujur sebagai etika yang harus dipegang teguh dan dimiliki

oleh setiap orang Jawa. Hal ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan Jawa seperti,

jujur bakal mujur, artinya orang yang jujur akan mendapatkan keberuntungan.

Kebalikannya adalah goroh growah, yaitu orang yang berbohong akan mendapat

kerugian.

6. Kerja keras

Manusia Jawa tidak boleh lalai untuk selalu berupaya mencukupi

kebutuhannya. Oleh karena itu manusia Jawa harus senantiasa bekerja keras akan

mampu hidup mandiri dan layak tanpa bergantung pada belas kasihan orang lain.

Sikap hidup semacam ini tercermin dalam ungkapan Jawa sapa ubet, ngliwet yaitu

siapa yang kreatif dalam berusaha mencari rezeki, maka pasti akan mendapatkan

hasilnya. Di samping itu, dalam bekerja manusia Jawa juga berprinsip bahwa

bekerja tidak melihat pada besar kecilnya hasil yang harus diperoleh, tetapi lebih

mementingkan apa yang harus dikerjakan. Hasil menjadi perkara belakangan,

sebagaimana ungkapan sepi ing pamrih, rame ing gawe. Etos kerja ini sangat luar

biasa karena menunjukkan semangat pengabdian yang besar. Orang yang bekerja

dengan semangat pengabdian ini sangat diperlukan dalam membangun bangsa.

7. Tanggung jawab

Tanggung jawab merupakan sikap yang juga harus dimiliki oleh manusia

Jawa. Sehingga dalam masyarakat Jawa ditemukan juga ungkapan tinggal

glanggang colong playu yang arti harfiahnya meninggalkan gelanggang dan

secara diam-diam melarikan diri. Ungkapan ini merupakan sindiran bagi

seseorang yang suka lepas tangan, cuci tangan dari tanggung jawab yang

seharusnya diembannya. Oleh karena itu, perilaku tinggal glanggang colong playu

harus dihindari karena merupakan perilaku negatif dan jauh dari sikap ksatria

sejati.

2.4.3 Etnis Batak

A. Identifikasi

Suku bangsa Batak mendiami wilayah Sumatera Utara. Suku bangsa Batak

terdiri atas beberapa bagian kecil, seperti Batak Toba, Batak Karo, Batak

Simalungun, Batak Pakpak, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Karakteristik

budaya Batak, diantaranya mengenal adanya marga.

Suku bangsa Batak, lebih khusus terdiri atas sub bagian suku bangsa :

1. Toba

Mendiami daerah induk yang meliputi daerah danau Toba, pulau Samosir,

Dataran Tinggi Toba, Asahan, Silindung, daerah antara Barus dan

Sibolga, dan daerah pegunungan Pahae dan Habinsaran

2. Karo

Mendiami suatu daerah induk yang meliputi dataran tinggi Karo, Langkat

Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, dan sebagian dari Dairi.

3. Simalungun

Mendiami daerah induk Simalungun.

4. Pakpak

Mendiami daerah induk Dairi.

5. Angkola

Mendiami daerah induk Angkola dan Sipirok, sebagian dari Sibolga dan

Batang Toru, dan bagian utara dari Padang Lawas.

6. Mandailing

Mendiami daerah induk Mandailing, Ulu, Pakatan dan bagian selatan dari

Padang Lawas (Koentjaraningrat (ed), 2002:94-95).

Dalam budaya Batak, mereka menjunjung tinggi musyawarah dalam

setiap pengambilan keputusan baik dalam lingkup kecil (keluarga) maupun

luas (pemerintahan) dan adat yang mengatur kehidupan tiap individu maupun

seluruh marga. Pelanggaran terhadap adat mendapat sanksi masyarakat

berupa pengucilan dari pergaulan hidup masyarakatnya Etnis Batak, mereka

sebagai masyarakat yang keras dan gigih dalam pendiriannya. Ini terlihat dari

bagaimana mereka selalu memprioritaskan kerja kerasnya dan komitmennya

terhadap suatu pekerjaan dan dalam berorganisasi pun mereka sangat solid.

2.4.4 Etnis Minang

A. Identifikasi

Suku bangsa Minangkabau menempati wilayah Provinsi Sumatera Barat,

suku bangsa Minangkabau sering dinamakan pula suku bangsa Padang. Dalam

pandangan orang Minangkabau, daerah asal dibagi ke dalam bagian-bagian

khusus yaitu darat dan pesisir. Daerah darat dianggap sebagai daerah asal dan

daerah utama dari pemangku adat Minangkabau. Secara tradisional, daerah darat

dibagi ke dalam tiga luhak (kabupaten), yaitu Tanah Datar, Agam, dan Limo

Puluah Koto (Koentjaraningrat (ed), 2002:248).

B. Pola Pikir

1. Landasan Berpikir

Semua ketentuan adat Minang yang terhimpun dalam pepatah-petitih

adalah rasional atau masuk akal.Menurut Amir (1999) Orang Minang lebih

senang melakukan hal yang nyata, berkelana, dan merantau untuk mengubah

nasib diri dari pada melakukan dan membicarakan hal yang irrasional seperti

kuntilanak, babi ngepet dan lain sebagainya.

Kalau diperhatikan sejarah kehidupan orang Minang, mereka sering

mengadakan perlawanan terhadap kondisi yang tidak

menyenangkan.Kebiasaan merantau misalnya, merupakan perlawanan

terhadap kendala yang dihadapi orang Minang.

2. Alue Patuik

Alue artinya alur atau jalur yang benar.Patuik artinya pantas, sesuai, atau

masuk akal. Alue patuik artinya orang Minang harus dapat meletakkan

sesuatu pada tempatnya.Tujuan utama dari prinsip ini adalah untuk

menciptakan keadilan dalam masyarakat dan sekaligus menghindari sengketa

antara anggota masyarakat. Dengan cara demikian akan tercapai kehidupan

yang rukun, aman, dan damai.

3. Anggo Tanggo

Anggo artinya anggaran seperti Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah

Tangga. Anggo Tanggo artinya peraturan atau segala yang ditentukan dan

harus dituruti.Tujuan yang ingin dicapai dengan prinsip ini adalah untuk

menciptakan disiplin dan ketertiban dalam lingkungan kekerabatan,

masyarakat, dan dalam mengatur nagari. Anggo Tanggo ini dihimpun dalam

apayang menurut adat disebut “Limbago nan sapuluah” yang menjadi dasar

dari Hukum Adat Minangkabau.Limbago nan sapuluah ini terdiri dari (Amir,

1999:78:80) :

a. Cupak (hukum) nan duo : (i) Cupak Usali (Asli)

(ii) Cupak Buatan (Pelengkap)

b. Undang nan ampek : (i) Undang-undang Luhak Rantau

(ii) Undang-undang Pembentukan

Nagari

(iii) Undang-undang Dalam Nagari

(iv) Undang-undang nan 20

c. Kato nan ampek : (i) Kato Pusako

(ii) Kato Daulu

(iii) Kato Buatan (Kato Mufakat)

(iv) Kato Kamudian (Kato Bacari)

4. Raso jo Pareso

Raso artinya rasa, pareso artinya periksa atau teliti. Raso jo Pareso

artinya membiasakan mempertajam rasa kemanusiaan atau hati nurani yang

luhur dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menghadapi masalah, kita (orang

Minang) dituntut membiasakan diri melakukan penelitian yang cermat untuk

mendapatkan kebenaran yang hakiki dan tidak tergesa-gesa dalam

bertindak.“Alue jo patuik, anggo jo tango, raso jo pareso” dalam adat

minang sering disebut dengan istilah “Tungku nan tigo sajarangan”(Amir,

1999:86).

C. Sifat-Sifat Orang Minang

1. Hubungan Individu dan Kelompok

Manusia secara alami tidak mungkin hidup sendiri. Setiap individu

membutuhkan orang lain untuk bisa hidup. Sudah merupakan hukum alam

dan merupakan takdir Tuhan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa

orang lain. Sifat dasar masyarakat Minang adalah kepemilikan bersama

(communal bezit).Tiap individu menjadi milik bersama dalam

kelompoknya.Sebaliknya tiap kelompok (suku) menjadi milik dari semua

individu yang menjadi anggota kelompok itu.Rasa saling memiliki ini

menjadi sumber dari timbulnya rasa setia kawan (solidaritas) yang tinggi, rasa

kebersamaan, dan rasa tolong menolong (Amir, 1999:98).

2. Sifat Pribadi Minang

Salah satu tujuan adat pada umumnya, adat Minang pada khususnya

adalah membentuk individu yang berbudi luhur, manusia yang berbudaya,

dan manusia yang beradab.Untuk mencapai masyarakat yang sedemikian,

diperlukan manusia-manusia dengan sifat-sifat dan watak tertentu.Sifat-sifat

yang ideal itu menurut adat Minang beberapa diantaranya sebagai berikut

(Amir, 1999:98-103).

a. Hiduik Baraka, Baukue jo Bajangko

Dalam menjalankan hidup dan kehidupan, orang Minang dituntut

untuk selalu memakai akalnya. Berukur dan berjangka artinya harus

mempunyai rencana yang jelas dan perkiraan yang tepat.

b. Baso-Basi – Malu jo Sopan

Adat minang mengutamakan sopan santun dalam pergaulan. Budi

pekerti yang tinggi menjadi salah satu ukuran martabat seseorang, etika

menjadi salah satu sifat yang harus dimiliki oleh setiap individu orang

Minang.

c. Tenggang Raso

Pergaulan yang baik adalah pergaulan yang dapat menjaga perasaan

orang lain. Karena itu adat mengajarkan supaya selalu berhati-hati dalam

pergaulan jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Tenggang rasa

salah satu sifat yang dianjurkan adat.

d. Setia (Loyal)

Setia adalah teguh hati, merasa senasib dan menyatu dalam lingkungan

kekerabatan. Sifat ini menjadi sumber dari lahirnya sifat setia kawan, cinta

kampung halaman, cinta tanah air, dan cinta bangsa. Dari sini pula berawal

sikap saling membantu, saling membela, dan saling berkorban untuk sesama.

2.4.5 Etnis Tionghoa

A. Identifikasi

Orang Tionghoa yang ada di Indonesia terdiri dari beberapa suku bangsa

yang berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwangtung. Ada empat bahasa

Cina di Indonesia, yaitu bahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka, dan Kanton. Para

imigran Tionghoa yang terbesar ke Indonesia mulai abad ke-16 sampai kira-kira

pertengahan abad ke-19 berasal dari suku bangsa Hokkien yang berasal dari

provinsi Fukien bagian selatan.Daerah itu merupakan daerah yang sangat penting

dalam pertumbuhan perdagangan orang Cina ke seberang lautan.

Kepandaian berdagang ini yang ada di dalam kebudayaan suku bangsa

Hokkien telah terendap berabad-abad lamanya dan masih tampak jelas pada

orang Tionghoa di Indonesia.Diantara pedagang-pedagang Tionghoa di Indonesia

mereka lah yang paling berhasil. Hal ini disebabkan karena sebagian besar dari

mereka sangat ulet, tahan uji, dan rajin.Orang Hokkien dan keturunannya yang

telah berasimilasi sebagai keturunan paling banyak terdapat di Indonesia Timur,

Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Pantai Barat Sumatera.

Orang Teo-Chiu dan Hakka (Khek) disukai sebagai kuli perkebunan dan

pertambangan di Sumatera Timur, Bangka, dan Biliton (Koentjaraningrat (ed),

2002:353). Orang Hakka adalah yang paling miskin diantara para perantau

Tionghoa. Kini banyak orang Hakka menetap di Jakarta dan Jawa Barat

(Koentjaraningrat (ed), 2002:354).

Orang Tionghoa sebagai kelompok etnis “asing” yang terbesar tidak

mempunyai daerah pijakan asal di Negara ini seperti kelompok etnis lainnya

yang mempunyai daerah asal mereka sendiri meskipun mereka menyebar

keseluruh Nusantara (Coppel, 1994:21). Para Warga Negara Indonesia (WNI)

keturunan Tionghoa yang telah lama berdiam di Indonesia, biasanya lebih luas

terpencar dimana-mana di seluruh kota, sedangkan orang Tionghoa asing imigran

yang baru datang cenderung untuk terpusat lebih banyak di daerah yang menjadi

pusat perdagangan atau Chinatown (BPS, dalam Coppel, 1994:30).

Walaupun banyak diantara orang Tionghoa di sana yang sudah lahir di

Indonesia, tetapi mereka masih juga disebut sebagai orang Tionghoa totok oleh

orang Indonesia asli (Koentjaraningrat (ed), 2002:354-355).

B. Pola Pikir

Leman (2007) menjelaskan bahwa etnis Tionghoa mendidik dan

mengharapkan anaknya memiliki daya juang dalam mencapai target atau

kesuksesan, Masyarakat etnis Tionghoa mendidik anaknya untuk memiliki daya

juang sebagai bentuk perlawanan sejak jaman kolonial (Liem, 2000). Etnis

Tionghoa mempunyai kepercayaan diri tinggi dibanding dengan masyarakat

pribumi. Dengan keuletan yang dimiliki membuat keturunan Tionghoa merasa

hebat dalam segala bidang yang mereka tekuni. Besar kecilnya kesempatan,

mereka tidak pernah merasa takut untuk terus maju dan selalu fokus dengan

tujuan awal.

2.5 Kerangka Berpikir

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Rusyan dkk, (1992:99) mendefinisikan motivasi adalah penggerak tingkah

laku ke arah suatu tujuan dengan didasari adanya suatu kebutuhan. Sementara

menurut McDonald (Rusyan dkk, 1992:100) yang dimaksud motivasi adalah

perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan

dan reaksi untuk mencapai tujuan.

Robbins (Hariyanto, 2008:371) menyatakan motivasi sebagai suatu usaha

yang sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu atau sejumlah sasaran, usaha

tersebut terkoordinasi oleh kemampuan seseorang dalam memenuhi

kebutuhannya.McClelland (Irwanto, 2002, 206) menyatakan tiga kebutuhan

utama yang mendorong perilaku manusia, yaitu berprestasi, motivasi berafiliasi,

dan motivasi berkuasa.

Etnis adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan

identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas tadi sering

kali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bangsa. Leman (2007)

menjelaskan bahwa etnis Cina mendidik dan mengharapkan anaknya memiliki

daya juang dalam mencapai target atau kesuksesan, sedangkan etnis Jawa

Christiana (2005) menjelaskan bahwa etnis Jawa lebih berfokus pada nilai nilai

kerukunan, berbudi luhur, dan sikap ‘nrima’ sehingga harapan pada anaknya lebih

pada nilai nilai tersebut dibandingkan dengan pencapaian kesuksesan atau

prestasi. sedangkan etnis Batak mereka dikenal sebagai masyarakat yang keras

Motivasi Berprestasi Etnis

Jawa Batak TionghoaMinang

dan gigih dalam pendiriannya. Ini terlihat dari bagaimana mereka selalu

memprioritaskan kerja kerasnya dan komitmennya terhadap suatu pekerjaan yang

mereka cintai dan dalam berorganisasi pun mereka sangat solid. Sedangkan etnis

Minang memiliki sifat dasar kepemilikan bersama, yakni tiap individu menjadi

milik bersama dari kelompoknya dan sebaliknya, tiap kelompok (suku) menjadi

milik dari semua individu yang menjadi anggota kelompok itu. Rasa saling

memiliki ini menjadi sumber dari timbulnya rasa setia kawan (solidaritas) yang

tinggi, rasa kebersamaan, dan rasa tolong menolong (Amir MS, 1999:98)

Berdasarkan dari uraian dan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan

bahwa latar belakang etnis Jawa, Batak, Minang dan Tionghoa pada remaja saat

ini berhubungan dengan berprestasi, terutama dapat terlihat dari cara mereka

hidup berdasarkan filosofi-folosofi hidupnya. Penelitian ini ingin

mengungkapkan perbedaan motivasi berprestasi pada remaja yang berbeda-beda

dari etnis mereka masing-masing yang meliputi aspek tanggung jawab,

mempertimbangkan resiko, memperhatikan umpan balik, dan kreatif.