21
BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG JURNAL Pterigium merupakan suatu pertumbuhan berlebih jaringan ikat fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasive. Biasanya tumbuh terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium ini mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium ini akan berwarna merah. Pterigium dapat mengenai kedua mata. Pterigium diduga disebabkan iritasi lama akibat debu, cahaya sinar matahari,dan udara yang panas. PATOFISIOLOGI Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultra violet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinyapenebalan dan 1

Jurnal Mata Isi Daftar Pustaka

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pustaka

Citation preview

Page 1: Jurnal Mata Isi Daftar Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG JURNAL

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan berlebih jaringan ikat

fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasive. Biasanya

tumbuh terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal

konjungtiva. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral

atau di daerah kornea. Pterigium ini mudah meradang dan bila terjadi iritasi,

maka bagian pterigium ini akan berwarna merah. Pterigium dapat mengenai

kedua mata. Pterigium diduga disebabkan iritasi lama akibat debu, cahaya

sinar matahari,dan udara yang panas.

PATOFISIOLOGI

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak

dengan ultra violet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinyapenebalan dan

pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.

Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai

kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultra violet, debu dan

kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal,

kemudian melalui pungtum lakrimalisdialirkan ke meatus nasi inferior.

Daerah nasal konjungtiva juga relative mendapat sinar ultraviolet yang

lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena

disamping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar

ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada

1

Page 2: Jurnal Mata Isi Daftar Pustaka

bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan

dengan bagian temporal.

GEJALA DAN GAMBARAN KLINIS

Keluhan penderita :

Mata merah dan timbulnya bentukan seperti daging yang menjalar ke kornea.

Gambaran klinis :

Pterigium ada 2 macam, yaitu yang tebal dan mengandung banyak

pembuluh darah, atau yang tipis dan tidak mengandung pembuluh darah. Di

bagian depan dari apek pterigium terdapat infiltrat kecil – kecil yang disebut :

“islet of flutch”. Pterigium yang mengalami iritasi dapat menjadi merah dan

menebal yang kadang – kadang dikeluhkan kemeng oleh penderita.

PENGOBATAN

Pterigium ringan tidak perlu diobati. Pterigium yang mengalami iritasi,

dapat diberikan anti inflamasi tetes mata (golongan steroid, non steroid seperti

indomethacin 0,1% dan sodium diclofenac 0,1%) dan vasokonstriktor tetes

mata.

Indikasi operasi :

Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3mm dari limbus.

Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil.

Pterigium yang sering memberi keluhan mata merah, berair dan silau karena

astigmatismus. Serta Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.

2

Page 3: Jurnal Mata Isi Daftar Pustaka

Untuk mencegah terjadinya kambuhan setelah operasi, dikombinasikan

dengan pemberian :

Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatistika) : 2x1 tetes/hari selama

5hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari

kemudian tapering off sampai 6 minggu.

Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari,

diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.

Topical thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1

tetes/3jam selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotic

Chlorampenicol, dan steroid selama 1 minggu.

PENCEGAHAN

Pada penduduk daerah tropik yang bekerja diluar rumah seperti

nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet,

dianjurkan memakai kaca mata pelindung sinar matahari.

II. RUMUSAN MASALAH JURNAL

Untuk mengetahui efek dari operasi pterigium dengan topografi

kornea, dimana menjadi masalah penting dalam penyelesaian tatalaksana pre

dan pasca operasi pterigium.

III. TUJUAN JURNAL

Untuk mengevaluasi tingkat kesuksesan efek dari operasi pterigium

topografi kornea. Untuk menyelidiki efek dari operasi pterigium dengan

topografi kornea.

3

Page 4: Jurnal Mata Isi Daftar Pustaka

IV. MANFAAT JURNAL

Memperdalam pengetahuan tentang operasi pterigium dengan

topografi kornea. Sebagai proses pembelajaran proaktif bagi Dokter Muda

yang tengah menjalani kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Mata.

4

Page 5: Jurnal Mata Isi Daftar Pustaka

BAB II

ISI JURNAL

2.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan berlebih jaringan ikat

fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasive. Biasanya

tumbuh terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal

konjungtiva. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral

atau di daerah kornea. Pterigium ini mudah meradang dan bila terjadi iritasi,

maka bagian pterigium ini akan berwarna merah. Pterigium dapat mengenai

kedua mata. Pterigium diduga disebabkan iritasi lama akibat debu, cahaya

sinar matahari,dan udara yang panas.

Beberapa mekanisme telah dilaporkan untuk menjelaskan perataan

kornea yang disebabkan oleh pterigium. Yaser baru – baru ini mendalilkan

bahwa penyatuan air mata di pterigium puncak memainkan peranan penting

dalam perubahan topografi kornea.

2.2 METODE PENELITIAN

Penelitian sampel terdiri dari 20 mata dari 17 pasien yang menjalani

operasi pengangkatan pterigium primer dari Januari 2003 sampai November

2004, di Departemen Ophtalmology Rumah Sakit Nicolle Charles, Universitas

Tunis, Tunisia.

Pasien adalah 14 perempuan dan 3 laki – laki. Rata – rata usia mereka

adalah 29 – 66 tahun, dengan pengecualian riwayat trauma kornea, pernah

operasi mata termasuk operasi pterigium, jaringan parut kornea, dan pterigium

kambuhan setelah operasi.

5

Page 6: Jurnal Mata Isi Daftar Pustaka

Topografi kornea komputerisasi dan videokeratografi (TMS -2,

Computed Anatomi Inc, New York, NY) diperoleh pada 20 mata dengan

pterigium sebelum operasi. TMS – 2 sistem model topografi bergantung pada

Placido jenis refleksi cincin konsentris. Informasi ini digunakan untuk

menghitung daya dalam dioptri dan jari – jari kelengkungan setiap melingkar.

Untuk setiap mata, akuisisi diulangi sampai gambar terfokuskan.

ANALISIS STATISTIK

Data dinyatakan sebagai rata – rata ± standar deviasi. Perbandingan

antara nilai – nilai pra- dan pasca operasi dilakukan dengan paired dua ekor ;

nilai p kurang dari 0,05 dianggap signifikan secara statistik.

6

Page 7: Jurnal Mata Isi Daftar Pustaka

WARNA WARMER

Warna (merah, orange, kuning) mewakili daerah “curam” sedangkan

warna dingin (hijau dan biru) menandakan datar untuk mengoreksi indeks bias

kornea.

2.3 HASIL PENELITIAN JURNAL

Sebelum operasi, peta penilaian topografi kornea menunjukan perataan

kornea di garis tengah dan pada kuadran hidung, dimana pterigium berada

(gambar 1A). Ini perubahan fitur topografi kornea menurun atau menghilang

setalah operasi (gambar 1).

Perubahan parameter bias setelah operasi pengangkatan dirangkum

dalam Tabel 1. Pembedahan signifikan meningkatkan kekuatan sferisnya dari

41.65 ± 3,29 – 44,58 ±1,55 dioptri (D) (p = 0,04) (Tabel I, gambar.2).

7

Page 8: Jurnal Mata Isi Daftar Pustaka

Pra operasi silidris simulasi keratometric di tingkat pusat 3mm

menurun pada 16 mata, meningkat pada 2 mata, dan tetap tidak berubah pada

2 mata (gambar 3). Nilai rata – rata yang menurun secara signifikan dari 5,47

± 3,45 D sebelum operasi menjadi 1,79 ± 1,52 D pasca operasi (p = 0,0005).

Namun tidak ada korelasi linear diamati secara keratometric pra- dan pasca

operasi silindris. Sumbu silindris tidak berubah setelah operasi. Berarti sumbu

pra operasi dari curam meridian kornea

adalah 85,5°.

A

B

8

Page 9: Jurnal Mata Isi Daftar Pustaka

2

3

2.4 DISKUSI JURNAL

Telah ditetapkan bahwa, sebelum memasuki zona optic, pterigium

dapat menyebabkan pendataran pusat kornea. Sering mengakibatkan

pengaturan silindris. Perubahan topografi kornea telah terungkap

menggunakan komputerisasi sistem topografi kornea. Dalam studi ini, gambar

videokeratoscopic diperoleh TMS – 2 sistem memungkinkan kita untuk

9

Page 10: Jurnal Mata Isi Daftar Pustaka

menganalisis perubahan permukaan kornea disebabkan oleh pterigium dan

reversibilitas mereka setelah sukses operasi.

Beberapa mekanisme telah dilaporkan untuk menjelaskan

mendatarkan kornea yang disebabkan oleh pterigium. Yasar et al 6 baru-baru

ini mendalilkan bahwa penyatuan air mata di pterygium puncak memainkan

peranan penting dalam topografi kornea perubahan. Bahkan, meniskus air

mata berkembang antara yang kornea puncak dan peningkatan pterygium

dapat meratakan kelengkungan kornea yang normal di daerah itu 7,8.

Selain itu, fibrosis sub-epitel di bawah kepala pterygium dapat

menyebabkan mendatarkan lokal oleh traksi langsung

efek pada stroma yang mendasari 3.

Mekanisme ini tampaknya tidak mungkin 3,6, karena tidak ada

myofibroblast. Sel-sel yang ditemukan di dalam kepala dan tubuh specimen

jaringan pterygium 7.

Namun, Touhami et al 9, menggunakan immunostaining dengan

penanda spesifik sel dan ultra analisis, baru-baru ini ditemukan myofibroblast.

Sel-sel dalam jaringan fibrovascular di sekitar kepala dan tubuh dari

pterygium, yang dipelajari . Hal ini mungkin menjelaskan pterigium yang

mempunyai efek traksi . Sebagai pterygium terutama hasil dari kekurangan sel

induk 2, dan karena ini demikian tingkat kekambuhan rendah dilaporkan

setelah teknik ini 10, kami memilih pterygium eksisi dengan limbo -

konjungtiva autograft sebagai prosedur bedah. Sebagaimana dilaporkan dalam

studi saat ini , perataan horizontal bentuk topografi yang paling sering kornea

mata dengan pterygia 1 , 4 , 6. Namun, perubahan dalam topografi kornea fitur

yang sering berkurang atau hilang setelah berhasil dilakukan operasi 1, 11.

Bahar et al 11, melaporkan penurunan yang signifikan dalam kornea Silindris

di tingkat pusat 3 mm setelah operasi pterygium . Tomidokoro et al 1, sama

melaporkan bahwa operasi menurun.

10

Page 11: Jurnal Mata Isi Daftar Pustaka

Silindris kornea dengan tidak ada perubahan dalam sumbu , melainkan

juga menurun SAI dan SRI tetapi secara signifikan meningkatkan kekuatan

bola kornea 1. Selain itu , operasi tersebut memberikan perubahan yang terjadi

dalam daya bola dan astigmatisme kornea yang signifikan dimana berkorelasi

dengan pra operasi pterygium ekstensi 1.

Demikian juga, dalam penelitian ini, berarti Silindris keratometric

menurun secara signifikan 5, 47-1, 79 D dalam operasi. Kami tidak

menemukan efek dari operasi pada sumbu pterygium yang di lakukan pada

astigmatisme. Seperti dalam beberapa laporan lainnya 11, kami menemukan

ada korelasi antara pre – dan pasca operasi Silindris kornea. Memang,

Silindris hingga 3 dioptri dapat bertahan dalam beberapa kasus, beberapa

pasien bahkan Silindris pra operasi mereka meningkat setelah operasi.

Temuan ini telah dilaporkan oleh lain 1, 11, 12. Bahar et al11,

menggambarkannya sebagai efek yang tidak terduga pada operasi bentuk

kornea . Hal Ini bisa dikaitkan bentuk kornea itu sendiri, karena semua kasus

telah mengalami prosedur operasi yang sama .

Dalam penelitian kami, SAI dan SRI juga menurun operasi,

menunjukkan kualitas optic (pengelihatan / lensa) yang lebih baik dari

permukaan kornea . Kami percaya bahwa UCVA dan BSCVA terjadi

perbaikan setelah dilakukan operasi , seperti yang dilaporkan oleh penulis

lain11, 13, dapat dijelaskan dengan kualitas optik yang lebih baik terkait dengan

kornea.

11

Page 12: Jurnal Mata Isi Daftar Pustaka

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Melalui peningkatan yang signifikan dalam kekuatan kornea bola

setelah operasi , kita bisa menunjukkan bahwa mendatarkan kornea sentral

disebabkan oleh pterigium adalah reversibel oleh operasi pengangkatan .

Selain itu , peningkatan bola kekuatan kornea mungkin telah diinduksi sedikit

non – statistic pergeseran rabun signifikan dicatat setelah operasi ( Tab. I).

Dengan demikian , seperti yang sebelumnya disarankan ( 1 ), kami

percaya bahwa katarak atau operasi bias , jika dipertimbangkan pada pasien

ini, harus dilakukan setelah operasi pterygium sehingga memiliki stabilisasi

komponen bias kornea .

Penelitian kami menegaskan bahwa operasi pterygium sukses secara

signifikan mengurangi Silindris topografi , SRI , SAI , dan merata kornea .

Perubahan topografi kornea yang disebabkan dengan pterygium yang hampir

reversibel setelah perawatan bedah .Namun, prediksi yang tepat dari

perubahan bias kadang-kadang diperlukan terutama jika katarak lebih lanjut.

SARAN

Penelitian ini akan lebih bermanfaat apabila dilanjutkan dengan

penyajian mengenai standart penatalaksanaan pterigium yang disesuaikan

dengan hasil – hasil penelitian terkait

12

Page 13: Jurnal Mata Isi Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

1. Tomidokoro A, Myata K, Sakaguchi Y, Samejima T, Tokunaga T, Oshika

T. Effects of pterygium on corneal spherical power and astigmatism.

Ophthalmology 2000; 107:1568-71.

2. Dushku N, Reid TW. Immunohistochemical evidence that human

pterygium originate from an invasion of vimentinexpressing altered limbal

epithelial basal cells. Curr Eye Res 1994; 13: 473-81.

3. Corbett MC, Rosen ES, O’Brart DPS. Presentation of topographic

information. Corneal Topography: Principles and Applications. London: BMJ

Books, 1999; 32-58.

4. Lin A, Stern GA. Correlation between pterygium size and induced cornea

astigmatism. Cornea 1998; 17: 28-30.

5. Pavilack MA, Halpern BL. Corneal topographic changes induced by

pterygia. J Refract Surg 1995; 11: 92-5.

6. Yasar T, Ozdemir M, Cinal A, Demirok A, Ilhan B, Durmus AC. Effects of

fibrovascular traction and pooling of tears on corneal topographic changes

induced by pterygium. Eye 2003; 17: 492-6.

7. Oldenburg JB, Garbus J, McDonnell JM, McDonnell PJ. Conjunctival

pterygia: mechanisms of corneal topographic changes. Cornea 1990; 9: 200-4.

8. Corbett MC, Rosen ES, O’Brart DPS. Corneal surface disease. Corneal

Topography: Principles and Applications. London: BMJ Books, 1999; 101.

9. Touhami A, Di Pascuale MA, Kawatika T, et al. Characterisation of

myofibroblasts in fibrovascular tissues of primary and recurrent pterygia. Br J

Ophthalmol 2005;89: 269-74.

10. Fernandes M, Sangwan VS, Bansal AK, et al. Outcome of pterygium

surgery: analysis over 14 years. Eye 2005; 19: 1182-90.

13

Page 14: Jurnal Mata Isi Daftar Pustaka

11. Bahar I, Loya N, Weinberger D, Avisar R. Effect of pterygium surgery on

corneal topography: a prospective study. Cornea 2004; 23: 113-7.

12. Cinal A, Yasar T, Demirok A, Topuz H. The effect of pterygium surgery

on corneal topography. Ophthalmic Surg Lasers 2001; 32: 35-40.

13. Walkow T, Daniel J, Meyer CH, Rodrigues EB, Mennel S. Long-term

results after Bare sclera pterygium resection with excimer smoothing and

local application of mitomycin C. Cornea 2005; 24: 378-81.

14