Upload
habao
View
290
Download
14
Embed Size (px)
Citation preview
JURNAL ILMIAH
PANNMED (Pharmacist, Analyst, Nurse, Nutrition, Midwifery, Environment, Dentist)
VOL. 9, NO. 2, SEPTEMBER-DESEMBER 2014
TERBIT TIGA KALI SETAHUN (PERIODE JANUARI, MEI, SEPTEMBER)
Penanggung Jawab:
Dra. Ida Nurhayati, M.Kes.
Redaktur:
Drg. Herlinawati, M.Kes.
Penyunting Editor:
Soep, SKp., M.Kes.
Nelson Tanjung, SKM., M.Kes.
Desain Grafis & Fotografer:
Ir. Zuraidah, M.Kes.
Dra. Ernawaty, M.Si., Apt.
Yusrawati Hasibuan, SKM., M.Kes.
Sekretariat:
Sri Utami, SST, M.Kes.
Elizawardah, SKM., M.Kes.
Rina Doriana, SKM., M.Kes.
Sumarni, SST.
Hafniati
Alamat Redaksi:
Jl. Let Jend Jamin Ginting KM 13.5
Kelurahan Laucih Kec. Medan Tuntungan
Telp: 061-8368633
Fax: 061-8368644
DAFTAR ISI Editorial Mutu Organoleptik Cider Jambu Biji (Psidium
guajava) pada Varietas yang Berbeda oleh Ida
Nurhayati..........................................................90-92
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap
Peningkatan Perilaku Penderita Tuberkulosis Paru
dalam Kepatuhan Berobat di Rindu A3 RSUP H.
Adam Malik Medan oleh Netty Panjaitan, Risma
Dumiri, Tiurlan.................................93-102
Indeks Plak Antara Gigi Berjejal dengan Gigi Tidak
Berjejal Setelah Menyikat Gigi pada Siswa-Siswi SMP
PAB 5 Patumbak Tahun 2014 oleh Asmawati, Adriana
Hamsar, Nurhamidah..........................................103-106
Hubungan Kebiasaan Menyikat Gigi Sebelum Tidur
dengan Terjadinya Karies Gigi pada Siswa-Siswi SMP
Swasta Darussalam Medan Tahun 2014 oleh Ety Sofia
Ramadhan.............................................................107-110
P
Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Rumah Tangga
Terhadap Penggunaan Antibiotik di Desa Kuta Mbelin
Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo oleh Rini
Andarwati.............................................................111-118
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Presentasi Bokong
pada Ibu Hamil di Rumah Sakit Umum Kota
Padangsidimpuan Tahun 2013 oleh Setiawaty
Suluhbara............................................119-122
Pengaruh BPJS Terhadap Minat Masyarakat dalam
Upaya Peningkatan Kesehatan di RSUD Doloksanggul
Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang
Hasundutan Tahun 2014 oleh Adelima C. R.
Simamora, Doni Simatupang, Agustina Boru
Gultom................................................123-127
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Hipertensi pada
Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Anak
dan Balita Binjai dan Medan Tahun 2014 oleh
Abdul Hanif Siregar, Syarif Zen Yahya, Surita
Ginting...........................................................128-133
ISSN 1907-3046
Manfaat Mengunyah Permen Karet yang Mengandung
Xylitol dan Non Xylitol dalam Menurunkan Indeks
Plak pada Siswa-Siswi Kelas VI-A SDN 060930 Titi
Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 oleh
Yetti Lusiani, Etty M. Marthias, Hasny.............134-137
Efektifitas Pemberian Soyghurt Terhadap Penurunan
Kadar Kolesterol dalam Darahmencit (Mus musculus)
dengan Jumlah Bakteri Asam Laktat dan Suhu
Inkubasi yang Optimum oleh Rosmayani
Hasibuan...............................................................138-145
Gambaran Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut
Terhadap Terjadinya Karies Gigi Molar 1 pada Siswa/i
Kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa Deli Tua
Tahun 2014 oleh Rina Budiman.........................146-149
Gambaran Pengetahuan Orang Tua Tentang Diet
Makanan Terhadap Karies Gigi pada Siswa/i Kelas IV
SD Negeri No. 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan
oleh Ngena Ria, Susy Adrianelly Simaremare..150-152
Pengaruh Berkumur dengan Larutan Teh Hijau
Terhadap pH Saliva pada Siswa-Siswi SD Negeri
024761 Kecamatan Binjai Utara Tahun 2014 oleh
Manta Rosma, Netty Jojor Aritonang................153-156
Gambaran Tingkat Kecemasan Anak Terhadap
Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut pada Siswa/i
Kelas V-B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7 Medan
Tahun 2014 oleh Nelly Katharina Manurung....157-161
Motivasi Anak dalam Pemeliharaan Kesehatan Gigi
Terhadap Status Kesehatan Gigi pada Siswa/i Kelas
III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning
Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua Tahun 2014
oleh Rosdiana T. Simaremare, Asnita Bungaria
Simaremare..........................................................162-165
Efektifitas Penyuluhan dengan Media Poster Terhadap
Peningkatan Pengetahuan Tentang Kebersihan Gigi
pada Siswa/i Kelas III dan IV di SDN 104186 Tanjung
Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014 oleh Rawati
Siregar, Sondang..............................................166-169
Gambaran Pengetahuan Ibu Rumah Tangga Tentang
Menyikat Gigi Terhadap def-t dan DMF-T pada Siswa-
Siswi SD Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan
Medan Johor Tahun 2014 oleh Aminah Br. Saragih,
Herlinawati...........................................................170-173
Hubungan Frekuensi Minum Soft Drink Terhadap pH
Saliva dan Angka DMF-T pada Siswa/i Kelas XI IPA
MAN 2 Model Jalan Williem Iskandar No. 7A Kec.
Medan Tembung Tahun 2014 oleh Intan
Aritonang..............................................................174-177
Pengaruh Komunikasi Teraupetik dengan Intensitas
Nyeri Persalinan Kala I Fase Laten di Klinik Delima
Medan Tahun 2014 oleh Dina Indarsita, Sri Utami,
Rina Sari...............................................................178-183
Uji Efek Penyembuhan Luka Sediaan Gel Ekstrak
Etanol Daun Afrika (Vernonia Amygdalina.Del) pada
Mencit Jantan oleh Ernawaty, Tri Bintarti, Maya
Handayani............................................................184-187
Kharakteristik Balita dan Sosio Demografi
Berhubungan dengan Status Gizi Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal
Tahun 2014 oleh Rina Doriana Pasaribu......188-194
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Kecemasan Pasien TB Paru di RA 3 RSUP Haji
Adam Malik Medan oleh Soep.....................195-198
Diterbitkan oleh : POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN
Jl. Jamin Ginting KM. 13,5 Kel. Lau Cih Medan Tuntungan Kode Pos : 20136
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal PANNMED merupakan salah satu wadah untuk menampung hasil penelitian Dosen Politeknik
Kesehatan Kemenkes Medan.
Jurnal PANNMED Edisi September-Desember 2014 Vol. 9 No.2 yang terbit kali ini menerbitkan
sebanyak 22 Judul Penelitian.
Redaksi mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Direktur atas supportnya sehingga Jurnal ini dapat terbit 2. Dosen-dosen yang telah mengirimkan tulisan hasil penelitiannya dan semoga dengan terbitnya jurnal
ini dapat memberi semangat kepada dosen yang lain untuk berkreasi menulis hasil penelitian sehingga
bisa diterbitkan ke Jurnal Pannmed ini.
Akhir kata, kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun agar jurnal ini dapat menjadi jurnal yang
berkualitas seperti harapan kita bersama.
Redaksi
90
MUTU ORGANOLEPTIK CIDER JAMBU BIJI (Psidium guajava)
PADA VARIETAS YANG BERBEDA
Ida Nurhayati Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Medan
` Abstrak
Indonesia termasuk negara penghasil buah-buahan. Dengan berlimpahnya buah-buahan maka dilakukan
pengawetan. Cider (Anggur buah) merupakan salah satu cara pengawetan untuk menambah nilai ekonomis
buah, selain itu cider merupakan salah satu minuman beralkhohol yang rasanya manis, mempunyai aroma
harum dan khas dibuat melalui fermentasi khamir jenis Sacharomyces cerevisiae. Buah jambu biji
mempunyai kadar vitamin C tinggi yaitu 87% dan vitamin A 25% serta kandungan karbohidrat 12,2%,
selain itu juga mengandung zat mineral, besi, fosfat dan kapur.(Rismunandar,1997).Cider telah lama dikenal
sejak berabad-abad yang lalu sebagai minuman tradisional Negara Timur Tengah dan Eropa. Adanya
kemajuan teknologi kini minuman anggur tidak hanya dibuat dari beras atau buah anggur namun buah -
buahan yang rasanya manis juga dapat dibuat cider. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu
organoleptik cider jambu biji dengan varietas yang berbeda (yaitu cider dari jambu biji biasa dibandingkan
dengan cider dari jambu biji bangkok). Penilaian mutu organoleptik dilakukan dengan cara menilai warna,
rasa, aroma dan konsistensi cider jambu biji. Selanjutnya dilakukan penghitungan kadar alkohol yang
dihasilkan oleh cider tersebut. Penelitian ini bersifat eksperimen yang dilakukan pada tanggal 10-17 Maret
2003 di laboratorium Teknologi Pangan Jurusan Gizi Poltekkes Medan. Pembuatan cider jambu biji biasa
dan jambu biji bangkok masing-masing dilakukan dengan ulangan sebanyak dua kali. Penelitian ini
menggunakan 2 (dua) perlakuan dan 2 (dua) ulangan sehingga terdapat 4 (empat) unit percobaan. Terdapat
perbedaan nyata rasa (F hitung 8,82 > F tabel 3,34) dan aroma (F hitung 10,44 > F tabel 3,34) antara cider
jambu biji biasa dengan jambu biji bangkok. Namun warna (F hitung 2,24 > F tabel 4,20) dan kekentalan (F
hitung 2,64 < F tabel 3,34) tidak menunjukkkan perbedaan nyata. Mutu organoleptik yang meliputi warna,
rasa, aroma dan kekentalan cider jambu biji biasa lebih disukai dari pada jambu biji bangkok. Mutu
organoleptik yang meliputi warna, rasa, aroma dan kekentalan cider jambu biji biasa lebih disukai dari pada
jambu biji bangkok. Kandungan alkohol cider jambu biji biasa setelah fermentasi 7 hari adalah 13%
sedangkan kandungan alkohol cider jambu biji bangkok 13,6%.
Kata kunci: Mutu organoleptik, cider jambu biji
PENDAHULUAN
Pengawetan buah-buahan dapat dilakukan
dengan bermacam-macam cara antara lain dengan
fermentasi. Cider (Anggur buah) merupakan salah satu
minuman beralkhohol yang rasanya manis. Mempunyai
aroma yang harum dan khas dibuat melalui fermentasi
khamir jenis Sacharomyces cerevisiae.
Buah jambu biji mempunyai kadar vitamin C
tinggi yaitu 87% dan vitamin A 25% serta kandungan
karbohidrat 12,2%, selain itu juga mengandung zat
mineral, besi, fosfat dan kapur. Rismunandar (1997)
mengatakan buah jambu biji umumnya digunakan oleh
masyarakat untuk mencegah penyakit sariawan dan untuk
meningkatkan daya tahan terhadap infeksi.
Cider telah lama dikenal sejak berabad-abad yang
lalu sebagai minuman tradisional Negara Timur Tengah
dan Eropa. Adanya kemajuan teknologi kini minuman
anggur tidak hanya dibuat dari beras atau buah anggur
namun buah -buahan yang rasanya manis juga dapat dibuat
cider.
Jambu biji banyak dijumpai di pasaran.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera
Utara tahun 2000 bahwa rata rata produksi tanaman
jambu biji adalah 16,43 ton meningkat dari tahun
sebelumnya. Dengan demikian salah satu upaya untuk
meningkatkan nilai ekonomis jambu biji adalah dengan
pembuatan cider atau anggur buah. Dari hal tersebut
penulis mencoba meneliti pembuatan cider dari jambu
biji dengan varietas yang berbeda, yaitu dengan
menggunakan jambu biji biasa dibandingkan dengan
jambu biji bangkok yang selanjutnya akan dinilai mutu
organoleptiknya.
TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
mutu organoleptik cider jambu biji dengan varietas
yang berbeda (yaitu cider dari jambu biji biasa
91
dibandingkan dengan cider dari jambu biji bangkok).
Penilaian mutu organoleptik dilakukan dengan cara
menilai warna, rasa, aroma dan konsistensi cider jambu
biji. Selanjutnya dilakukan penghitungan kadar alkohol
yang dihasilkan oleh cider tersebut.
METODE
Penelitian ini bersifat eksperimen yang dilakukan
pada tanggal 10-17 Maret 2003 di laboratorium Teknologi
Pangan Jurusan Gizi Poltekkes Medan. Pembuatan cider
jambu biji biasa dan jambu biji bangkok masing-masing
dilakukan dengan ulangan sebanyak dua kali. Penelitian ini
menggunakan 2 (dua) perlakuan dan 2 (dua) ulangan
sehingga terdapat 4 (empat) unit percobaan.
Bahan : Jambu biji bangkok dan biasa masing-masing 2
kg, gula pasir 1200 gr, ragi Sacharomyces cereviciae
sebanyak 60 gr dan Aquadesh 2 ltr.
Alat : Pisau, wakskom, timbangan duduk, blender, kain
saring, gelas ukur, Erlenmeyer, inkubator, beaker glass,
thermometer, autoclave, hot plate, spatula, selang
fermentasi.
Prosedur :
Pembuatan starter dan sari buah
1) Jambu biji dikupas, dicuci dan dihancurkan dengan
blender hingga menjadi bubur jambu biji. 2) Ditambahkan
aquadesh 1:1 dari volume bubur jambu biji. 3) Disaring
untuk diambil sarinya dan diukur volumenya. 4)
Ditambahkan gula pasir 20% dari volume sari buah. 5)
Diambil 100 ml sari buah kemudian ditambahkan ragi
Sacharomyces cereviciae 1%. 6) Diaduk hingga rata dan
dimasukkan kedalam inkubator selama 24 jam dengan
suhu 30oC hingga timbul gas. 7) Sari buah selebihnya
setelah diambil untuk pembuatan starter dipanteurisasi
selama 1 jam dalam autoclave.
Peragian/Fermentasi
1) Larutan starter yang sudah jadi dimasukkan ke dalam
sari buah yang sudah dipasteurisasi dalam erlemmeyer. 2)
Erlenmeyer ditutup menggunakan gabus yang tengahnya
sudah diberi selang, kemudian ujung selang yang lain
dicelupkan ke dalam beaker glass yang berisi air. 3)
Diinkubasikan dalaminkubator selama 7 hari dengan suhu
30oC.
Pemeraman1) Setelah fermentasi 7 hari, dilakukan
pasteurisasi selama 1 jam dengan suhu 70oC. 2) Cider
dipindahkan ke dalam botol yang sudah disterilkan. 3)
Disimpan lagi ke dalam inkubator pada suhu 30oC selama
7 hari.
Perhitungan kadar alkohol (UI, 1997)
ta = t cider sebelum fermentasi t aquadesh sebelum fermentasi tb = t cider sesudah fermentasi t aquadesh sesudah fermentasi
t = tb ta Dikonversikan dalam tabel Steinkrous
t = titik didih
Tingkat kesukaan konsumen yang meliputi warna, rasa,
aroma dan kekentalan diujikan ke 30 orang panelis terlatih.
Adapun skala pengukuran yang digunakan skala sebagai
berikut : 1 = Tidak suka, 2 = Agak suka, 3 = Suka, 4 =
Amat suka,
5 = Amat sangat suka.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Warna merupakan daya tarik suatu produk
makanan. Konsumen dalam memilih makanan pertama
kali sangat dipengaruhi oleh warna. Warna cider jambu biji
secara umum adalah hijau muda sampai dengan hijau tua.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada
perbedaan nyata antara warna cider jambu biji biasa dan
warna cider jambu biji bangkok (F hitung 2,24 < F tabel
4,20).
Rasa cider jambu biji dalam penelitian ini
terdapat perbedaan nyata antara rasa cider jambu biji
biasa dan jambu biji bangkok ( F hitung 8,82 > F tabel
3,34). Rasa cider adalah manis disertai asam dan
adanya rasa segar pada waktu diminum, hal ini
disebabkan adanya proses fermentasi dalam pembuatan
cider jambu biji. Bahan dasar cider ini adalah
karbohidrat sehingga setelah difermentasikan dapat
menghasilkan alkohol dan CO2 yang menyebabkan
rasa segar dalam cider.
Aroma merupakan bagian penting dan sangat
menentukan kualitas minuman cider. Dalam penelitian
ini terdapat perbedaan nyata antara aroma jambu biji
biasa dengan jambu biji bangkok (F hitung 10,44 > F
tabel 3,34) Aroma cider dalam penelitian ini adalah
spesifik aroma jambu biji.
Kekentalan cider jambu biji biasa dan jambu
biji bangkok tidak menunjukkan perbedaan nyata (F
hitung 2,64 < F tabel 3,34). Kekentalan cider
dipengaruhi oleh bahan-bahan untuk pembuatan cider
Yaitu jambu biji, ragi dan gula.
SIMPULAN
1. Warna cider jambu biji biasa tidak menunjukkan perbedaan nyata dibandingkan dengan cider dari
jamu biji bangkok dalam taraf agak suka dan
suka.
2. Rasa cider jambu biji biasa menunjukkan perbedaan nyata dibandingkan dengan rasa
cider dari jamu biji bangkok dalam taraf suka
dan agak suka.
3. Aroma cider jambu biji biasa menunjukkan perbedaan nyata dibandingkan dengan cider dari
jamu biji bangkok yaitu pada taraf agak suka.
4. Kekentalan cider jambu biji biasa tidak menunjukkan perbedaan nyata dibanding dengan
2.43 2.76
2.06 2.7
1.93 2.43
2.63 2.66
0 2 4 6
WARNA
RASA
AROMA
KEKENTALAN
TINGKAT KESUKAAN KONSUMEN
JAMBU BIJI BIASA
JAMBU BIJI
BANGKOK
92
cider dari jamu biji bangkok yaitu pada taraf
suka.
5. Mutu organoleptik yang meliputi warna, rasa, aroma dan kekentalan cider jambu biji biasa lebih
disukai dari pada jambu biji bangkok.
6. Kandungan alkohol cider jambu biji biasa setelah fermentasi 7 hari adalah 13% sedangkan
kandungan alkohol cider jambu biji bangkok
13,6%.
RUJUKAN
Ansori Rahman, 1999, Pengantar Teknologi
Fermentasi, Depdikbud Dirjen Dikti PAU
Pangan dan Gizi , IPB Bogor.
Astawan, Made Wahyuni, Mia, 1991, Teknologi Tepat
Guna. Akademika Presindo. Jakarta.
Biro Pusat Statistik , 2000, Kabupaten Deli Serdang,
Propinsi Sumatera Utara.
Bukle, K.A, 1978. Technology in Preservation, In a
Course Manual in Food Science, Australian
Vice Chancellors Committe.
Daulay, Rahman Djunjun Ansori, 1992. Teknologi
Fermentasi Sayur dan buah-buahan. Dep. P
dan K, PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
Desrosier, Norman.W, 1988. Teknologi Pengawetan
Pangan, UI, Jakarta.
Fardiaz, Srikandi, 1992. Mikrobiologi Pengolahan
Pangan Lanjutan. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Kapti Rahayu dan Slamet Sudarmadji, 1988. Proses-
proses Mikrobiologi Pangan, PAU Pangan
dan Gizi UGM Yogyakarta.
Rismunandar, 1997, Tanaman Jambu Biji, Sinar Baru
Bandung.
Santoso, Hieronymus Budi, 1996. Teknologi Tepat
Guna Anggur Pisang, Kanisius, Yogyakarta.
Winarno, F.G, 1995, Kimia Pangan dan Gizi,
Gramedia, Jakarta
Winarno, F.G, 1999, Sterilisasi Komersial Produk
Pangan, Gramedia, Jakarta
Winarno, F.G, 2000. Kerusakan bahan Pangan dan
Cara Pencegahannya, Ghalia Indonesia
Jakarta
93
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP PENINGKATAN
PERILAKU PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DALAM KEPATUHAN
BEROBAT DI RINDU A3 RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Netty Panjaitan, Risma Dumiri, Tiurlan Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan
` Abstrak
Pendidikan kesehatan merupakan suatu proses perubahan pada diri seseorang secara dinamis, yang
didalamnya seseorang menerima atau menolak informasi, sikap, maupun praktek baru, yang berhubungan
dengan tujuan hidup sehat yang dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu dan masyarakat
(Notoatmodjo, 2010). Pendidikan kesehatan mendidik individu atau masyarakat supaya mereka dapat
memecahkan masalah-masalah kesehatan yang dihadapi. Adapun tujuan penelitian untuk mengetahui
pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap peningkatan perilaku penderita TB Paru dalam kepatuhan berobat
di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan. Jenis penelitian quasi eksperimen dengan rancangan one group
pre-post test. Populasi penelitian penderita yang dirawat di Rindu A3 RSUP Haji Adam Malik Medan
dengan BTA (+) dengan besar sampel 40 responden dan tehnik pengambilan sampel secara accidental
sampling. Metode pengumpulan data menggunakan kuisioner melalui pre-test dan post-test sebelum dan
setelah pemberian pendidikan kesehatan. Analisa data dilakukan dengan uji t berpasangan dengan taraf
kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan responden sebelum dan setelah pemberian
pendidikan kesehatan secara signifikan mengalami peningkatan dari 9,32 menjadi 19,10 dengan nilai
p=0.001 (
94
lain yang mengikuti, adanya gangguan imunologis dan
faktor penderitanya sendiri, seperti kurangnya pengetahuan
mengenai TB Paru, kekurangan biaya, malas berobat dan
merasa sudah sembuh.
Sujayanto (2000), mengatakan pengobatan yang
tidak teratur akan menyebabkan kekebalan terhadap obat.
Pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang
tidak lengkap dimasa lalu, menimbulkan kekebalan ganda
kuman TB Paru terhadap obat Antituberkulosis (OAT)
atau Multi Drug Resistance (MDR), yang pengobatanya
menjadi sangat mahal, dengan lama pengobatan 18-24
bulan, dengan efek samping yang lebih berat (Depkes RI,
2008).
Hasil penelitian Asmariani S (2012), mengatakan
pengetahuan yang baik mempunyai peluang sebesar 23,22
kali patuh menelan Obat Anti TB (OAT) secara baik dan
secara signifikan mempunyai peluang sebesar 13,00 kali
patuh menelan OAT. Sejalan dengan penelitian Lumban
Tobing T (2008) menyatakan pengetahuan yang kurang
berpotensi 2,5 kali lebih besar dan sikap yang kurang 3,1
kali lebih besar terhadap penularan Tuberkulosis Paru.
Penanggulangan Tuberkulosis Paru salah satunya
dilaksanakan melalui promosi atau pendidikan kesehatan
(Depkes, 2008). Pendidikan kesehatan sebagai bagian dari
kesehatan masyarakat, berfungsi sebagai media atau sarana
untuk menyediakan kondisi sosio-psikologis sedemikian
rupa sehingga individu atau masyarakat berperilaku sesuai
dengan norma-norma hidup sehat. Dengan perkataan lain
pendidikan kesehatan bertujuan untuk mengubah
pengetahuan, sikap dan tindakan individu atau masyarakat
sehingga sesuai dengan norma norma hidup sehat.
Pendidikan kesehatan akan berpengaruh pada perilaku
kesehatan, selanjutnya perilaku kesehatan akan
berpengaruh kepada meningkatnya indikator kesehatan
masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikan
kesehatan (Notoatmodjo, 2003).
Jika penderita dan keluarga tidak memiliki
pengetahuan yang baik tentang pengobatan dan
pencegahan penularan Tuberkulosis paru, maka akan sulit
untuk menentukan sikap serta mewujudkannya dalam
suatu perbuatan/tindakan. Pengetahuan dan sikap
menentukan perilaku atau tindakan seseorang.
Pengetahuan seseorang tentang TB Paru yang mencakup
pengertian, penyebab, cara penularan, manfaat makan obat
secara teratur serta cara pencegahan suatu penyakit.
Pengetahuan merupakan domain terbentuknya suatu
perilaku (Notoatmodjo, 2010).
Pendidikan kesehatan secara langsung perorangan sangat
penting, artinya untuk menentukan keberhasilan
pengobatan penderita. Pendidikan ditujukan kepada suspek
TB Paru, penderita TB Paru dan keluarganya, supaya
penderita menjalani pengobatan secara teratur dan sampai
sembuh serta tidak menularkan penyakitnya pada orang
lain. (Depkes, 2005).
Berdasarkan paparan diatas, maka peneliti ingin
mengetahui bagaimana pengaruh pendidikan kesehatan
terhadap peningkatan perilaku penderita Tuberkulosis Paru
dalam kepatuhan berobat di Ruang Rindu A3 RSUP H.
Adam Malik Medan
B. Perumusan Masalah
Bagaimana pengaruh pendidikan kesehatan
terhadap peningkatan perilaku penderita Tuberkulosis Paru
dalam kepatuhan berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam
Malik Medan
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum : Menganalisis pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap
peningkatan perilaku penderita Tuberkulosis Paru dalam
kepatuhan berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik
Medan
2. Tujuan Khusus : a. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap
dan tindakan penderita Tuberkulosis Paru dalam
kepatuhan berobat sebelum diberikan pendidikan
kesehatan di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik
Medan
b. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan tindakan penderita Tuberkulosis Paru dalam
kepatuhan berobat setelah diberikan pendidikan
kesehatan di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik
Medan
c. Untuk mengetahui peningkatan Perilaku penderita Tuberkulosis Paru sebelum dan setelah pendidikan
kesehatan dalam kepatuhan berobat di Rindu A3
RSUP H. Adam Malik Medan.
D. Hipotesis Ho : Ada pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap
peningkatan perilaku penderita Tuberkulosis Paru
dalam kepatuhan berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam
Malik Medan
Ha : Tidak ada pengaruh Pendidikan Kesehatan
terhadap peningkatan perilaku penderita Tuberkulosis
Paru dalam kepatuhan berobat di Rindu A3 RSUP H.
Adam Malik Medan
E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat
sebagai berikut :
1. Bagi Pihak Rumah Sakit secara khusus petugas kesehatan di ruang Rindu A3 RSUP. H. Adam Malik
Medan agar melakukan secara kontiniu pendidikan
kesehatan sebagai salah satu metode dalam promosi
kesehatan untuk meningkatkan perilaku penderita TB
Paru dalam menjalani pengobatan dan pencegahan bagi
anggota keluarga dan orang lain
2. Bagi penderita : untuk meningkatkan perilaku penderita dalam menjalani pengobatan sampai sembuh
3. Bagi Peneliti : untuk meningkatkan pengetahuan tentang gambaran perilaku penderita dalam kepatuhan
berobat sehingga membantu dalam program
penanggulangan Tuberkulosis Paru
95
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Pendidikan Kesehatan Pendidikan kesehatan adalah suatu proses
perubahan pada diri seseorang yang dihubungkan
dengan pencapaian tujuan kesehatan individu, dan
masyarakat. Pendidikan kesehatan sesungguhnya
merupakan suatu proses perkembangan yang berubah
secara dinamis, yang didalamnya seseorang menerima
atau menolak informasi, sikap, maupun praktek baru,
yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat (Suliha,
dkk., 2002).
Pendidikan kesehatan pada dasarnya mendidik
individu atau masyarakat supaya mereka dapat
memecahkan masalah kesehatan yang dihadapi.
Pendidikan kesehatan berperan cukup penting dalam
perubahan pengetahuan setiap individu (Sarwono,
2003).
2. Teori Perubahan Perilaku Batasan perilaku menurut Notoatmodjo (2007) dari
pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau
aktifitas organisme yang bersangkutan. Perilaku manusia
pada hakekatnya adalah aktifitas dari manusia itu sendiri.
Menurut Sarwono (2004) perilaku manusia merupakan
hasil dari berbagai macam pengalaman serta interaksi
manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam
bentuk pengalaman, sikap dan tindakan. Pengetahuan dan
sikap merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang
masih bersifat terselubung, yang disebut covert behaviour,
sedangkan tindakan nyata seseorang sebagai respon
terhadap stimulus adalah merupakan over behaviour.
Menurut Sarwono (2004) batasan perilaku
kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk
pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya
khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap
tentang kesehatan. Perilaku aktif dapat dilihat sedangkan
perilaku pasif tidak tampak, misalnya pengetahuan,
persepsi atau motivasi. Beberapa ahli membedakan
perilaku dalam tiga domain yaitu pengetahuan
(knowledge), sikap (attitude) dan tindakan (practice).
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini
terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap
suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni melalui mata dan telinga. Ada 6
tingkatan pengetahuan yang tercakup dalam ranah kognitif
mempunyai enam tingkatan yaitu : Tahu (know),
Memahami (comprehension), Aplikasi (application),
Analisis, Sintesis dan Evaluasi (Notoatmodjo, 2007).
Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup
dari seorang terhadap suatu stimulus atau objek.
Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang
tertutup. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek
(Notoatmodjo, 2005).
Notoatmodjo (2007), yang mengutip pendapat
Achmadi, menjelaskan jenis sikap, yaitu : (a) sikap positif,
yang menunjukkan atau memperlihatkan menerima,
menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana
individu itu beda; (b) Sikap negatif, menunjukkan
penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma yang
berlaku dimana individu itu berbeda.
Tindakan adalah mekanisme dari suatu
pengamatan yang muncul setelah seseorang
mengetahui stimulus, kemudian mengadakan penilaian
atau persepsi terhadap apa yang telah di ketahui untuk
mewujudkan dalam suatu tindakan atau praktek. Suatu
sikap belum otomatis tewujud dalam suatu tindakan.
Agar terwujud sikap menjadi suatu perbuatan nyata
diperlukan faktor pendukung berupa fasilitas dan
dukungan dari pihak lain. (Notoatmodjo, 2007). Ada 3
faktor penyebab mengapa seseorang melakukan
perilaku tertentu, yaitu (a). faktor pemungkin, (b).
Faktor pemudah, (c) faktor penguat. Ketiga faktor ini
dipengaruhi oleh faktor penyuluhan serta organisasi.
3. Tuberkulosis Paru a. Pengertian Tuberkulosis adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis).
Sebagian besar kuman TB tidak hanya menyerang paru,
tetapi juga dapat mengenai organ tubuh lainnya.
Tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan tetapi dapat
ditularkan dari seseorang ke orang lain. Basil penyebab
tuberkulosis ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Jerman
yang bernama Robert Koch pada tahun 1882. Basil
tuberkulosis akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar
37C (Depkes, 2007).
b. Cara Penularan Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif.
Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet
nuclei). Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di
mana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.
Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang
penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan
hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita
tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan
kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam
udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI,
2007).
c. Resiko Penularan Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan
dengan percikan dahak. Penderita TB paru dengan BTA
positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih
besar dari penderita TB paru dengan BTA negatif. Risiko
penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual
Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi
penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun.
ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Pada daerah
dengan ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang di
antara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Sebagian
besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi
penderita TB paru, hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB
96
akan menjadi sakit TB. Faktor yang memengaruhi
kemungkinan seseorang menjadi penderita TB Paru adalah
daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi
HIV/AIDS dan malnutrisi atau gizi buruk. (Depkes RI,
2007).
d. Gejala Klinis TB Paru Gejala utama penderita TB Paru adalah batuk
berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat
diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut di atas
dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan
lain-lain. Mengingat prevalensi TB Paru di Indonesia saat
ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit
Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut di atas,
dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) penderita TB
Paru, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung (Depkes RI, 2007).
e. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada
orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang
dahak secara mikroskopis. Untuk memantau kemajuan
pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak
dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan
dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif.
Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif,
hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan
positif (Depkes RI, 2007).
f. Pemeriksaan Dahak Menurut Depkes RI (2002), diagnosis ditegakkan melalui
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
Pemeriksaan tiga spesimen Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS)
dahak secara mikroskopis langsung merupakan
pemeriksaan yang paling efisien, mudah dan murah, dan
hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakan.
B. Kerangka Teori Berikut kerangka teori pada gambar 1. dibawah ini:
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian Lokasi dalam penelitian ini di Rumah Sakit Umum
Pusat H. Adam Malik Medan di ruang Rindu A3
Medan.
B. Waktu Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan selama kurang lebih
5 bulan mulai bulan Juni sampai dengan bulan
Nopember 2013
C. Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah quasi eksperimen (eksperimen semu)
dengan rancangan one group pre-post test (Arikunto,
2002). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa
pengaruh pendidikan kesehatan terhadap peningkatan
perilaku penderita Tuberkulosis Paru dalam kepatuhan
berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan
D. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dari penelitian ini adalah semua
penderita yang dirawat di Rindu A3 RSUP Haji Adam
Malik Medan dengan BTA (+) sebanyak 157 orang
yang dirawat pada bulan Juli - Agustus 2013. Tehnik
pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental
sampling yaitu berdasarkan kebetulan siapa saja yang
ditemui dan sesuai persyaratan data yang diinginkan.
Menurut Arikunto (2002), bila terdapat populasi
lebih dari 100 orang maka pengambilan sampel
berkisar antara 10-15% atau 20-25% dari total
populasi. Maka sampel penelitian ini adalah: 25/100
x 157 = 39,25. Jadi besarnya sampel dalam
penelitian ini adalah 40 responden.
Pemilihan sampel penelitian didasarkan atas kriteria
sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :
- Penderita TB Paru yang dirawat di Ruang Rindu A3
selama bulan Juli Agustus 2013
- Dapat berkomunikasi secara verbal, dapat membaca
dan menulis.
- Usia diatas 17 tahun atau telah dewasa.
- Tidak ada penyakit penyerta
b. Kriteria ekslusi
Kriteria ekslusi pada penelitian ini antara lain :
- Penderita yang saat dilakukan penelitian sedang
dalam kondisi yang tidak memungkinkan
dilakukan penelitian, misalnya dalam kondisi
lemah
- Tidak bersedia menjadi responden.
E. Tehnik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan kuisioner
dimana data primer diperoleh melalui pre-test dan
post-test. Data sekunder di peroleh melalui data
medikal rekord RSUP H. Adam Malik Medan.
F. Metode Pengukuran Metode pengukuran variabel dalam penelitian ini
menggunakan skala ordinal untuk mengukur
pengetahuan, sikap dan tindakan responden.
1. Mengukur Pengetahuan didasarkan atas hasil pre test dan post test dengan 20 pertanyaan
dengan kategori jawaban benar diberi skor 1,
dan salah diberi skor 0. Selanjutnya jumlah
97
skor tersebut dikonversi atas 3 kategori sesuai
dengan Arikunto (2006), maka skor tertinggi
20, skor terendah adalah 0 dengan
pengkategorian pengetahuan sbb :
Pengetahuan Baik, jika total skor >76,7% atau skor benar 15
Pengetahuan Cukup, jika total skor 56,6% s/d 75% atau benar 11-14
Pengetahuan Kurang, jika total skor 55% atau skor benar 10
2. Untuk penilaian Sikap didasarkan atas hasil pre test dan post test dengan 10 pertanyaan, dengan
2 kategori jawaban yaitu Setuju diberi skor 1,
dan Tidak Setuju skor 0 dengan pengkategorian
sebagai berikut :
Sikap Baik, jika total skor 50 %
Sikap Tidak Baik, jika total skor < 50 % 3. Untuk penilaian Tindakan didasarkan atas hasil
pre test dan post test dengan 5 pertanyaan,
dengan 2 kategori jawaban yaitu tindakan Baik
diberi skor 1, dan Tidak Baik skor 0 dengan
pengkategorian berikut :
Tindakan Baik, jika total skor 5
Tindakan Tidak Baik, jika total skor < 5
G. Tehnik Pengolahan dan Analisa Data Tehnik pengolahan data menggunakan
komputerisasi dengan cara terlebih dahulu
pengecekan data yang sudah dikumpulkan,
melakukan penilaian (skor), melakukan editing dan
pengkodean pada data yang ada dan dibuat dalam
bentuk tabel, distribusi frekuensi selanjutnya
dianalisa menggunakan analisis univariat dan
bivariat. Analisis Univariat menggunakan distribusi
frekuensi dan statistik deskriptif untuk melihat
karakteristik responden yang meliputi : jenis
kelamin, umur, pendidikan, status perkawinan,
pekerjaan, Jenis bangunan rumah, Luas ventilasi,
pendapatan, kategori pasien, sumber pencahayaan
dan kondisi kamar.
Analisis Bivariat dilakukan untuk
mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan
meilputi: pengetahuan, sikap dan tindakan
responden sebelum dan setelah pemberian
pendidikan kesehatan dengan menggunakan uji pair
t-test dengan taraf kepercayaan 95% dan hasil
analisa dikatakan bermakna (signifikan) jika nilai p
value < 0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Tempat Penelitian Rumah Sakit Haji Umum Pusat Adam Malik
Medan adalah Rumah Sakit kelas A sesuai SK
Menkes No. 335/Menkes/SK/VII 1990, juga
sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai SK Menkes
No. 502/Menkes/SK/-/1990. Rumah Sakit Haji
Umum Pusat Adam Malik Medan memiliki 10
Poliklinik rawat jalan dan 2 instalasi ruang rawat
inap : Rindu A unit rawat inap yaitu RA1, RA2,
RA3, RA4 neurologi, RA4 bedah saraf, RA5 dan
Rindu B yaitu RB1, RB2, RB3, RB4 anak.
2. Analisis Univariat Analisis univariat terhadap responden disajikan
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi berdasarkan jenis
kelamin, umur, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan,
jenis bangunan rumah, luas ventilasi, pendapatan, kategori
pasien, sumber pencahayaan dan kondisi kamar
a. Karakteristik Responden Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden yang dirawat Di Ruang Rindu A3 Rumah Sakit
Umum Pusat H. Adam Malik Medan
No Karakteristik Responden n %
1 Jenis kelamin
- Laki-laki - Perempuan
25
15
66,7
33,3
2 Umur (tahun)
- 24 - 34 - 35 45 - 46 56 - 57 67 - 68 78
11
9
10
9
1
27,5
22,5 25,0
22,5
2,5
3 Pendidikan
- SD - SLTP - SLTA - Akademi/Sarjana
7
5
20
8
17,5
12,5
50,0
20,0
4 Status Perkawinan
- Tidak kawin - Kawin - Janda/duda
9
27
4
22,5
67,5
10,0
98
5 Pekerjaan
- Wiraswasta - Petani - PNS/TNI/POLRI/Pensiunan - Tidak bekerja
19
10
2
9
47,5
25,0
5,0
22,5
6 Jenis Bangunan Rumah
- Permanen
- Semi permanen
- Darurat
34
5
1
85,0
12,5
2,5
7 Luas Ventilasi
- < 10%
- 10 20%
- >20%
8
32
0
20,0
80,0
0
8 Pendapatan
- < 1,4 jt - 1,4 2 jt - 2 3 jt - 3 5 jt - >5 jt
0
21
16
2
1
0
52,5
40,0
5,0
2,5
9 Kategori pasien
- Baru - Kambuh - Gagal - Pindahan - Defaulter
16
12
12
0
0
40,0
30,0
30,0
0
0
10 Sumber Pencahayaan
- Ya
- Tidak
24
16
60,0
40,0
11 Kondisi kamar
- Kering
- Lembab
- Basah
25
15
0
62,5
37,5
0
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan
jenis kelamin, responden penderita Tuberkulosis Paru
mayoritas laki-laki sebesar 66,7% dan perempuan sebesar
33,3%. Berdasarkan kategori umur terbanyak responden
pada rentang usia 24-34 tahun sebesar 27,5% diikuti
responden rentang usia 46-56 tahun sebesar 25%.
Berdasarkan jenjang pendidikan mayoritas
responden berpendidikan SLTA yaitu sebesar 50%,
sedangkan berdasarkan status perkawinan mayoritas
responden kawin sebesar 67,5%. Berdasarkan tabel diatas
juga dapat diketahui bahwa pekerjaan responden mayoritas
wiraswasta yaitu sebesar 47,5%, sedangkan berdasarkan
kondisi rumah mayoritas responden memiliki bangunan
rumah permanen sebesar 85%.
Berdasarkan luas ventilasi rumah, mayoritas (80%)
luas ventilasi berkisar antara 10-20% luas bangunan,
berdasarkan besarnya pendapatan responden, mayoritas
(52,5%) berpenghasilan antara 1,4 juta 2 juta per bulan.
Berdasarkan kategori pasien : responden pasien baru
sebesar 40%, responden kambuh dan gagal masing-masing
sebesar 30%. Berdasarkan sumber pencahayaan, terdapat
60% rumah/kamar responden mendapatkan sinar matahari
langsung dan berdasarkan kondisi rumah/kamar, kering
sebanyak 62,5% dan lembab sebanyak 37,5%.
b. Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Responden Sebelum dan Setelah Pemberian
Pendidikan Kesehatan dalam Peningkatan
Perilaku Penderita Tuberkulosis Paru
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kategori
Pengetahuan Responden sebelum dan
Setelah Pendidikan Kesehatan di Ruang
Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan
Kategori
Pengetahuan
Sebelum Setelah
N % n %
Baik 0 0 40 100
Cukup 17 42,5 0 0
Kurang Baik 23 57,5 0 0
Total 40 100 40 100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pengetahuan
responden sebelum pemberian pendidikan kesehatan
57,5% berada pada tingkat pengetahuan Kurang Baik dan
42,5% berpengetahuan cukup, sedangkan pengetahuan
responden setelah pendidikan kesehatan 100%
berpengetahuan baik.
99
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Kategori Sikap
Responden Sebelum dan Setelah Pendidikan
Kesehatan di Ruang Rindu A3 RSUP H.
Adam Malik Medan
Kategori Sikap Sebelum Setelah
N % N %
Baik 40 100 40 100
Tidak Baik 0 0 0 0
Total 40 100 40 100
Dari tabel 3 diatas untuk kategori sikap responden
sebelum dan setelah pemberian pendidikan kesehatan
100% mempunyai sikap yang baik.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kategori Tindakan
Responden Sebelum dan Setelah Pendidikan
Kesehatan di Ruang Rindu A3 RSUP H.
Adam Malik Medan
Kategori
Tindakan
Sebelum Setelah
n % N %
Baik 5 12,5 40 100
Tidak Baik 35 87,5 0 0
Total 40 100 40 100
Dari tabel 4. diatas dapat dilihat bahwa tindakan
responden sebelum pendidikan kesehatan 87,5%
mempunyai tindakan yang tidak baik, setelah
pemberian pendidikan kesehatan 100% responden
memiliki tindakan yang baik.
3. Analisa Bivariat Analisis bivariat dalam penelitian ini untuk
mengetahui pengaruh sebelum dan setelah pendidikan
kesehatan terhadap peningkatan Perilaku penderita
Tuberkulosis Paru dalam kepatuhan berobat di ruang
Rindu A3 RSUP H Adam Malik Medan. Uji statistik
yang digunakan adalah uji t berpasangan dengan
tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05). Berikut ini
sebaran data tingkat Pengetahuan, Sikap dan Tindakan
Responden Sebelum dan Setelah Pemberian Pendidikan
Kesehatan dalam tabel dibawah ini.
Tabel 5. Pengetahuan Responden Sebelum dan
Setelah Pendidikan Kesehatan tentang
Tuberkulosis Paru dalam Kepatuhan
Berobat di Ruang Rindu A3 RSUP H Adam
Malik Medan
Kategori
Pengetahuan
Uji Statistik
Nilai
rerata Nilai t Nilai p
Sebelum 9,32 -19,626 ,000
Setelah 19,10
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa
terdapat perbedaan nilai rata-rata pengetahuan
responden sebelum dan setelah pemberian pendidikan
kesehatan yaitu dari 9,32 menjadi 19,10 dengan nilai t
= -19,62. Hasil uji t berpasangan diperoleh nilai
p=0,001 ( 0,05) yang berarti
tidak terdapat perubahan sikap responden secara signifikan
sebelum dan setelah pendidikan kesehatan.
Tabel 7. Tindakan Responden Sebelum dan Setelah
Pendidikan Kesehatan tentang
Tuberkulosisi Paru dalam Kepatuhan
Berobat di Ruang Rindu A3 RSUP H
Adam Malik Medan
Kategori
Tindakan
Uji Statistik
Nilai rerata Nilai t Nilai p
Sebelum 2,78 -10,738 .000
Setelah 5,00
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa
tindakan responden menunjukkan, terdapat perbedaan rata-
rata nilai sebelum dan setelah diberikan pendidikan
kesehatan yaitu dari 2,78 menjadi 5,00 pada nilai t = -
10,738 dan nilai p=0,001 yang berarti terdapat perbedaan
secara signifikan tindakan responden sebelum dan sesudah
dilakukan pendidikan kesehatan.
Pembahasan
1. Pengetahuan Responden Sebelum dan Setelah Pemberian Pendidikan kesehatan
Dari data hasil penelitian tabel 2 pengetahuan
responden sebelum pemberian pendidikan kesehatan
mayoritas pengetahuannya kurang baik (57,5%),
setelah diberi pendidikan kesehatan seluruh responden
pengetahuannya menjadi baik (100%). Hasil uji t
berpasangan pada taraf kepercayaan 95% ( = 0,05),
untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan
terhadap pengetahuan responden tentang Tuberkulosis
Paru dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nilai
rata-rata pengetahuan responden sebelum dan setelah
pemberian pendidikan kesehatan yaitu dari 9,32
menjadi 19,10 dengan nilai t = -19,626 dan nilai p=
0,001 menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan
(tabel 7).
Keadaan ini memberikan gambaran bahwa
pemberian pendidikan kesehatan bermanfaat dalam
peningkatan pengetahuan responden. Peranan
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat
100
sangat penting karena ketidakteraturan berobat, putus
berobat atau karena kombinasi obat anti tuberkulosis
tidak adekuat menyebabkan timbulnya masalah
resistensi obat anti tuberkulosis yang membutuhkan
waktu pengobatan yang lebih lama , yaitu 18-24 bulan,
biaya yang lebih besar dan efek samping obat yang
lebih berat (Taufan, 2008). Keberhasilan pengobatan
Tuberkulosis juga tergantung pada keadaan sosial
ekonomi serta dukungan dari keluarga, sehingga
adanya keinginan, dan upaya dari penderita serta dan
dukungan keluarga sangat dibutuhkan untuk
mempercepat proses kesembuhan. Petugas kesehatan
mempunyai peran bukan hanya memberi obat tetapi
juga memberikan pendidikan kesehatan kepada
penderita dan keluarganya, untuk meningkatkan
pengetahuan mereka tentang resiko-resiko bila putus
berobat, manfaatnya bila menelan obat secara teratur
akan meningkatkan kepatuhan untuk berobat secara
tuntas (Sari, 2005).
William G (2008) menyatakan faktor terbesar
untuk kesembuhan penderita adalah kepatuhan terhadap
pengobatan, yang juga berdampak menurunkan resiko
penyakit berkembang menjadi MDR Tuberkulosis,
merupakan alasan utama menggunakan strategi DOTS
yang dilaksanakan di pelayanan primer, yang salah satu
dari lima elemen tersebut adalah menelan OAT tidak boleh
terputus. Sesuai dengan teori bahwa pendidikan kesehatan
adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan
seseorang melalui tekhnik praktek belajar atau instruksi
dengan tujuan mengubah atau memengaruhi perilaku
manusia secara individu, kelompok maupun masyarakat
untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai tujuan hidup
sehat. (Notoatmodjo, 2007). Sejalan dengan hasil
penelitian Asmarani (2012) yang mengatakan bahwa
pengetahuan yang baik mempunyai peluang sebesar 23,22
kali patuh menelan OAT secara baik dan secara signifikan
mempunyai peluang sebesar 13,00 kali patuh menelan
OAT. Penelitian lain yang dilakukan Lumban Tobing T
(2008) di Kabupaten Tapanuli Utara menyatakan bahwa
potensi penularan TB Paru 2,5 kali lebih besar pada yang
berpengetahuan kurang dan 3,1 kali lebih besar pada yang
bersikap kurang dalam pencegahan TB Paru. Hasil
penelitian ini sesuai dengan teori perilaku kesehatan,
bahwa pengetahuan dapat mendasari seseorang untuk
bertindak termasuk untuk bertindak melakukan
pencegahan TB Paru. Upaya dalam meningkatkan
pengetahuan dan sikap pencegahan penularan TB Paru
dilakukan melalui penyuluhan atau pendidikan kesehatan.
Pendidikan kesehatan pada penderita TB Paru
adalah suatu proses perubahan pada diri penderita yang
dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan
individu, yang didalamnya seseorang menerima atau
menolak informasi, sikap, maupun praktek baru, yang
berhubungan dengan tujuan hidup sehat (Suliha, dkk.,
2002).
2. Sikap Responden Sebelum dan Setelah Pemberian Pendidikan kesehatan
Hasil penelitian pada tabel 3 menunjukkan
bahwa sikap responden sebelum dan setelah pendidikan
kesehatan 100% baik. Hasil uji t berpasangan pada
taraf kepercayaan 95% diperoleh nilai rerata sikap
responden sebelum dan setelah pendidikan kesehatan
dari 7,68 menjadi 8,02 dengan nilai t = -2,876 dan
p=0,006. Secara uji statistik tidak terdapat perubahan
sikap responden secara signifikan sebelum dan setelah
pemberian pendidikan kesehatan.
Pendidikan kesehatan menurut Newcomb dalam
Notoatmodjo (2003) salah seorang ahli psikologi sosial
menyatakan sikap secara nyata menunjukkan konotasi
adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu
yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi
yang bersifat emosional terhadap simulus. Sikap
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak
dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu
dengan kata lain fungsi sikap belum merupakan
tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan
prodisposisi perilaku atau tindakan. Allport (1954),
dalam Notoatmodjo (2010) menjelaskan bahwa sikap
mempunyai 3 komponen pokok yaitu kepercayaan, ide
dan konsep, evaluasi terhadap suatu objek dan
kecenderungan untuk bertindak Dengan perkataan lain
fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi
terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan
predisposisi perilaku (tindakan), atau reaksi tertutup.
Seseorang yang diberi stimulus dalam hal ini
pendidikan kesehatan, selanjutnya orang tersebut akan
bersikap terhadap stimulus. Oleh sebab itu indikator
untuk sikap kesehatan sejalan dengan pengetahuan
kesehatan, yakni sikap terhadap sakit dan penyakit
yaitu bagaimana pendapat seseorang terhadap gejala,
penyebab, cara pencegahan dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2010). Penderita TB Paru yang diberi
pendidikan kesehatan, pengetahuannya akan
meningkat, diikuti perubahan sikap menjadi baik, dan
menerima, merespon, menghargai dan bertanggung
jawab untuk mematuhi program pengobatan.
3. Tindakan Responden Sebelum dan Setelah Pemberian Pendidikan kesehatan
Berdasarkan tabel 4 mayoritas (87,5%)
tindakan responden tidak baik sebelum diberikan
pendidikan kesehatan dan 100% tindakan responden
baik setelah pendidikan kesehatan. Hasil uji statistik
pada tabel 7 terdapat perbedaan nilai rata-rata sebelum
dan setelah pendidikan kesehatan yaitu dari 2,78
menjadi 5,00 dengan nilai t = -10,738 dan nilai p=
0,001 yang secara statistik menunjukkan terjadi
peningkatan secara signifikan tindakan responden
sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan
tentang TB Paru.
Pendidikan kesehatan sebagai stimulus, menyebabkan
seseorang mengadakan penilaian dan pendapat
terhadap apa yang diketahuinya atau disikapinya dan
selanjutnya diharapkan akan melaksanakan praktik atau
tindakan kesehatan atau dikatakan perilaku kesehatan.
Perilaku kesehatan pada penderita TB Paru mencakup:
menggunakan masker, menutup mulut pada waktu
batuk, tindakan terhadap penutup mulut, membuang
dahak ditempat tertutup dan diberi desinfektan dan alat
101
makan/minum untuk pasien dibuat tersendiri.
Pendidikan kesehatan yang diberikan, meningkatkan
pengetahuan, sikap yang baik, dan memerlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan,
antara lain fasilitas (pemberian leaflet, masker) disertai
advokasi berdampak meningkatkan perilaku berupa
tindakan yang baik (100%).
Menurut Green perilaku dipengaruhi oleh tiga
faktor utama (Notoadmodjo, 2010) yaitu : faktor
predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat
(reinforcing factors). faktor predisposisi (predisposing
factor) merupakan faktor utama yang positif
mempermudah terwujudnya perilaku dan disebut juga
faktor pemudah. Peningkatan perilaku yang diharapkan
adalah perilaku yang langgeng, adalah yang berdasarkan
pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) dalam
Notoatmodjo, (2010) mengungkapkan bahwa sesorang
mengadopsi perilaku baru melalui suatu proses yaitu
awareness, interest, evaluation, trial dan adoption.
awareness (kesadaran) diperoleh seseorang harus lebih
dahulu mengetahui stimulus/objek, dan ketika objek
diketahui, diupayakan objek tersebut menarik, sehingga
sampai kepada tahap interest. Setelah tahap interest ini
dilalui, seseorang itu akan mulai menimbang-nimbang baik
tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya, yang berarti
sikapnya lebih baik. Sikap yang baik, membuat dirinya
ingin mencoba perilaku baru, setelah dicoba dan ternyata
dirasa menguntungkan, subjek/ penderita TB Paru telah
berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan yang
didapatnya, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Perilaku yang melalui proses ini, sifatnya berlangsung
lama, karena perilaku ini sudah menjadi miliknya atau
diadopsi.
Peningkatan perilaku dalam bentuk tindakan pada
penderita TB Paru, yaitu tindakan yang tadinya tidak
menggunakan masker, batuk tidak menutup mulut, setelah
mendapat pendidikan kesehatan, seluruh responden
menggunakan masker, dan tissu yang digunakan untuk
menutup mulut dikumpulkan di plastik dan dibuang
ditempat sampah medik yang disediakan atau dibakar.
Peningkatan stimulus ini juga disertai penyediaan fasilitas,
yaitu dengan tersedianya masker .
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Tingkat pengetahuan responden terdapat perbedaan nilai rata-rata sebelum dan setelah pemberian
pendidikan kesehatan dari 9,32 menjadi 19,10
dengan nilai t 19,626. Hasil uji t berpasanagan pada
taraf kepercayaan 95% ( = 0,05) didapat nilai p =
0,001 yang berarti secara signifikan mengalami
peningkatan pengetahuan responden sebelum dan
setelah pemberian pendidikan kesehatan tentang TB
Paru. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa
upaya peningkatan pengetahuan dan sikap dalam
pencegahan penularan TB Paru yang dilakukan
melalui pendidikan kesehatan bermanfaat dalam
peningkatan pengetahuan responden hal ini sesuai
dengan teori perilaku kesehatan, bahwa pengetahuan
dapat mendasari seseorang untuk bertindak termasuk
untuk bertindak melakukan pencegahan TB Paru.
2. Sikap responden sebelum dan setelah pendidikan kesehatan 100% baik. Hasil uji t berpasangan
diperoleh nilai rata-rata sikap responden sebelum
7,68 dan setelah pendidikan kesehatan 8,02
dengan nilai t = -2,876 dan nilai p=0,006 yang
secara uji statistik tidak terdapat perubahan sikap
responden secara bermakna sebelum dan setelah
pemberian pendidikan kesehatan.
3. Mayoritas (87,5%) tindakan responden tidak baik sebelum diberikan pendidikan kesehatan dan
100% tindakan responden baik setelah pendidikan
kesehatan. Hasil uji statistik terdapat perbedaan
nilai rata-rata sebelum dan setelah pendidikan
kesehatan yaitu 2,78 menjadi 5,00 dengan nilai t
= -10,738 dan nilai p= 0,001 yang secara statistik
menunjukkan terjadi peningkatan secara
bermakna tindakan responden sebelum dan
sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang
TB Paru. Pendidikan kesehatan diharapkan dapat
meningkatkan perilaku kesehatan pada penderita
TB Paru mencakup: menggunakan masker,
menutup mulut pada waktu batuk, tindakan
terhadap penutup mulut, membuang dahak
ditempat tertutup dan diberi desinfektan dan alat
makan/minum untuk pasien dibuat tersendiri.
B. Saran 1. Kepada RSUP H. Adam Malik Medan,
diharapkan dapat memberikan penyuluhan
kesehatan tentang TB Paru secara terprogram dan
berkesinambungan untuk meningkatkan
pengetahuan pasien dalam menjalankan regimen
terapi untuk memaksimalkan penyembuhan
penyakit secara maksimal dalam waktu yang lebih
singkat sehingga dapat menurunkan bahkan
mencegah penularan penyakit kepada anggota
keluarga.
2. Kepada pasien, untuk dapat mewujudkan pengetahuan yang telah diberikan kedalam bentuk
tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari,
untuk mempercepat proses penyembuhan,
mencegah keparahan penyakit dan penularan
terhadap anggota keluarga dan orang lain
3. Bagi peneliti lain, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan kelompok
intervensi dan kelompok kontrol untuk lebih
mengetahui efektifitas pemberian pendidikan
kesehatan dalam peningkatan pengetahuan, sikap
dan tindakan penderita TB Paru dalam
kepatuhannya menjalankan regimen terapi
4. Bagi Jurusan Keperawatan, sebagai referensi sumber bacaan tentang pengetahuan, sikap dan
tindakan penderita Tuberkulosis Paru, untuk
memperluas wawasan dan pengetahuan baik
untuk pembelajaran pribadi maupun untuk
khalayak umum.
102
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto S.2006. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan
Praktek. Edisi Revisi V. Jakarta, Rineka Cipta
Amin. 2006. Di dalam Asmariani , S. 2012. Faktor-
Faktor Yang Menyebabkan Ketidakpatuhan
Penderita TB Paru Minum Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) di Wilayah Kerja
Puskesmas Gajah Mada Kecamatan
Tembilahan Kota Kabupaten Indragiri Hilir.
Skripsi. PSIK Univeritas Riau.
Aditama, T. 2002. Tuberkulosis: Diagnosis, Terapi dan
Masalahnya. Edisi ke empat. Yayasan Penerbit
Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta
Asmariani, S. 2012. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan
Ketidakpatuhan Penderita TB Paru Minum
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di Wilayah
Kerja Puskesmas Gajah Mada Kecamatan
Tembilahan Kota Kabupaten Indragiri Hilir.
Skripsi. PSIK Univeritas Riau.
Crofton, J. 2002. Tuberkulosis Klinis. Edisi Kedua.
Widya Medika. Jakarta
Depkes RI, 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberculosis. Cetakan I, Edisi ke II, Jakarta.
_________ 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberculosis.Jakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.2012.Profil
Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2011.
Medan
Green, L.W. 1991 dalan Notoatmodjo 2007. Perencanaan
Pendidikan Kesehatan Sebuah Pendekatan
Diagnostik. Edisi terjemahan.Proyek
Pengembangan FKM.Dep P dan K. Jakarta
Hopewell Philip.C., 2006, Standard Internasional untuk
Pelayanan Tuberculosis, Diagnosis, Pengobatan
Kesehatan Masyarakat, alih bahasa Yusuf.A dkk,
The Global Fund, Jakarta.
Lumban Tobing, T. 2008. Pengaruh Perilaku Penderita
TB Paru dan Kondisi Rumah Terhadap
Pencegahan Potensi Penularan TB Paru Pada
Keluarga Di Kabupaten Tapanuli Utara. Tesis.
Pasca Sarjana. Universitas Sumatera Utara.
Nursalam. 2003. Konsep Dan Penerapan Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika :
Jakarta
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Notoatmodjo, S. 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan,
Rineka Cipta. Jakarta
____________. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu
Prilaku. Jakarta. Rineka Cipta
____________. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta
Rineka Cipta
Sarwono S. 2004. Sosiologi Kesehatan: Beberapa
Konsep Beserta Aplikasinya. Jogyakarta : Gajah
Mada University Pers.
Sari (2005). Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap
PMO Dengan Pencegahan Penyakit TB Paru
Paru Di Puskesmas Pandanaran Kota Semarang.
Semarang: UNIMUS.
Siswanto. (2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan penderita TB Paru. Dikutip dari
http://www.google.co.id/ pada tanggal 20 Agustus
2013
Taufan, S, 2006, Pengobatan Tuberculosis Paru Masih
Menjadi Masalah. www.gizi.net/cgi-
bin/berita/fullnews.cgi, Senin 24/03/2008
Williams G, (2008) TB Guidelines for Nurses in the
Care and Control of Tuberculosis and Multi-
drug Resistant Tuberculosis, ICN - International
Council of Nurses 1201 Geneva (Switzerland).
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgihttp://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi
103
INDEKS PLAK ANTARA GIGI BERJEJAL DENGAN GIGI TIDAK
BERJEJAL SETELAH MENYIKAT GIGI PADA SISWA-SISWI SMP PAB 5
PATUMBAK TAHUN 2014
Asmawati1, Adriana Hamsar
2, Nurhamidah
3
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan
` Abstrak
Penyebab utama penyakit periodontal adalah plak. Plak gigi adalah deposit lunak yang melekat pada
permukaan gigi dan terdiri atas mikroorganisme. Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya
perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi pada siswa-siswi
SMP PAB 5 Patumbak. Jenis penelitian ini dilakukan adalah analitik dengan metode eksperimen semu dan
rancangan yang digunakan adalah pre test and post test only group design. Penelitian ini dilakukan dengan
jumlah populasi 140 orang dan pengambilan sampel dilakukan pada siswa kelas 1 dan kelas 2 berjumlah 28
orang, yaitu 14 orang siswa/i yang memiliki gigi berjejal dan 14 orang siswa/i dengan gigi tidak berjejal.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh indeks plak rata-rata sampel gigi berjejal dan gigi tidak
berjejal sebelum menyikat gigi dengan kategori baik yaitu (0,74) dan (0,87). Setelah dilakukan kegiatan
menyikat gigi, rata-rata indeks plak siswa/i yang memiliki gigi berjejal maupun yang memiliki gigi tidak
berjejal sama-sama dikategorikan baik yaitu 0,29 dan 0,36. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ada
perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi pada siswa-siswi
SMP PAB 5 Patumbak.
Kata kunci: Indeks plak, gigi berjejal, gigi tidak berjejal
PENDAHULUAN
WHO bekerja sama dengan Federation of
National Dental Assosiation (FDI) dan International
Assosiation of Dental Research (IADR) membuat tujuan
globalnya dengan slogan Global Goals for Oral Health
2020.Tujuannya adalah untuk mengurangi penyakit gigi
dan mengurangi dampaknya terhadap kesehatan dan
perkembangan psikososial, dengan menekankan
pentingnya kesehatan rongga mulut. Selain itu,
mengurangi dampak manifestasi penyakit sistemik di
rongga mulut pada seseorang dan memanfaatkan
manifestasi ini untuk melakukan deteksi dini dan
pencegahan serta penatalaksanaan penyakit sistemik.
(WHO, 2003).
Plak merupakan penyebab lokal dan utama
terbentuknya penyakit gigi dan mulut yang lain seperti
karies gigi (lubang gigi), kalkulus (karang gigi),
gingivitis (radang pada gusi), periodontitis atau radang
pada jaringan penyangga ggi. (Megananda, dkk. 2009).
Gigi berjejal disebabkan oleh banyak faktor seperti gigi
susu yang terlambat dicabut padahal gigi tetapnya
sudah tumbuh. Bisa juga karena gigi susu dicabut
sebelum waktunya, adanya gigi gigi berlebihan
sehingga dapat menghalangi terjadinya oklusi normal.
Kondisi dimana gigi berjejal merupakan salah
satu faktor terjadinya penumpukan plak pada gigi. Sisa
makanan yang menyangkut pada gigi yang berjejal
mengakibatkan sulitnya saliva membersihkan sisa
makanan tersebut. Apabila penyikatan gigi tidak
dilakukan dengan baik dan benar maka sisa makanan
tersebut mengakibatkan terjadinya penumpukan plak.
(Yowono, L., 2010)
Setelah mengetahui bahwa gigi berjejal dapat
menyebabkan penumpukan plak pada gigi sulit
dibersihkan karena tidak terjangkau ketika menyikat
gigi. Hasil survey awal diketahui bahwa pada siswa/i
SMP PAB 5 Patumbak sebanyak 20% ditemukan siswa
yang mempunyai gigi berjejal. Sehingga, peneliti
tertarik untuk melihat perbedaan indeks plak antara
siswa/i yang mempunyai gigi yang berjejal dengan gigi
yang tidak berjejal setelah menyikat gigi.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui perbedaan indeks plak
antara gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah
menyikat gigi.
Manfaat Penelitian
1. Menambah wawasan pengetahuan siswa-siswi
bahwa gigi berjejal menyebabkan tumpukan plak
yang sulit dibersihkan karena ada bagian gigi
yang sulit dijangkau oleh sikat gigi
2. Sebagai informasi dan bahan masukan bagi pihak
sekolah tentang bahwa gigi berjejal lebih sulit
dibersihkan daripada gigi yang tidak berjejal
sehingga perlu ketelitian yang lebih untuk
membersihkannya dan sebisa mungkin dirawat
jika sudah parah.
104
3. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan
bagi peneliti lain dan sebagai bahan referensi di
perpustakaan Jurusan Keperawatan Gigi
Poltekkes Kemenkes Medan.
Hipotesis
Ada perbedaan indeks plak antara gigi berjejal
dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi.
METODE PENELITIAN
Jenis Dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang di gunakan adalah
eksperimen dengan rancangan pre test and post test only
group design, yang bertujuan untuk mengetahui apakah
ada perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dan gigi
tidak berjejal pada siswa-siswi SMP PAB 5 Patumbak.
Populasi dan sampel penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa
siswi SMP PAB 5 Patumbak tahun 2014. Jumlah populasi
dalam penelitian ini berjumlah 140 orang.
Sampel penelitian ini adalah berjumlah 28
orang, siswa-siswi SMP PAB 5 Patumbak (20% dari
populasi).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
1.1. Analisa Univariat Analisa data secara univariat dilakukan untuk
mendapatkan gambaran distribusi frekuensi responden.
Analisa ini digunakan untuk memperoleh gambaran
masing-masing Variabel independent (bebas) yaitu rata-
rata indeks plak gigi berjejal sebelum menyikat gigi.
Tabel 1 Distribusi frekuensi indeks plak gigi berjejal
sebelum menyikat gigi pada siswa-siwi SMP
PAB 5 Patumbak Tahun 2014.
Kriteria Jumlah siswa Jumlah indeks plak
Baik 11 7,11
Sedang
Buruk
3
0
3,24
0
Jumlah
Rata-rata indeks plak
14 10,35
0,74
Dari tabel distribusi frekuensi diatas, dapat
diketahui bahwa bahwa rata-rata skor indeks plak siswa/i
gigi berjejal sebelum menyikat gigi di SMP PAB 5
Patumbak adalah 0,74 (Kriteria baik).
Tabel 2 Distribusi frekuensi indeks plak gigi berjejal
setelah menyikat gigi pada siswa-siwi SMP
PAB 5 Patumbak Tahun 2014
Kriteria Jumlah Siswa Jumlah Indeks Plak
Baik 14 4,06
Sedang
Buruk
0
0
0
0
Jumlah
Rata-rata indeks plak
14 4,06
0,29
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi diatas,
dapat diketahui bahwa dari 14 siswa-siswi SMP PAB 5
Patumbak tahun 2014 rata-rata indeks plak gigi berjejal
setelah menyikat gigi adalah 0,29 (kriteria baik)
Tabel 3. Distribusi frekuensi indeks plak gigi tidak
berjejal sebelum menyikat gigi pada siswa-siwi
SMP PAB 5 Patumbak Tahun 2014.
Kriteria Jumlah siswa Jumlah indeks plak
Baik 10 7,05
Sedang
Buruk
4
0
5,2
0
Jumlah
Rata-rata indeks plak
14 12,25
0,87
Dari tabel distribusi frekuensi diatas, dapat
diketahui bahwa bahwa rata-rata skor indeks plak siswa-
siswi gigi tidak berjejal sebelum menyikat gigi di SMP
PAB 5 Patumbak adalah 0,87 (Kriteria baik).
Tabel 4 Distribusi frekuensi indeks plak gigi tidak
berjejal setelah menyikat gigi pada siswa-siwi
SMP PAB 5 Patumbak Tahun 2014
Kriteria Jumlah Siswa Jumlah Indeks Plak
Baik 13 3,84
Sedang
Buruk
1
0
1,1
0
Jumlah
Rata-rata indeks plak
14 4,94
0,36
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi diatas,
dapat diketahui bahwa dari 14 siswa-siswi SMP PAB 5
Patumbak tahun 2014 rata-rata indeks plak gigi berjejal
setelah menyikat gigi adalah 0,36 (kriteria baik)
1.2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat berguna untuk mengetahui
perbedaan indeks plak gigi berjejal dan tidak berjejal
sebelum dan sesudah menyikat gigi tahun 2014 dengan
menggunakan uji t.
Tabel 5 Perbedaan Indeks Plak Gigi Berjejal Sebelum dan
Sesudah Menyikat Gigi pada siswa-siswi SMP
PAB 5 Patumbak Tahun 2014
Mean Indeks
Plak (Sebelum-
Setelah)
Karies
TOTAL
Sig p Ada tidak ada
F % F % F % Melakukan 5 12,5 11 27,5 16 40
0,00
Tidak
melakukan
23 57,5 1 2,5 24 60
Total 28 70 12 30 40 100
Mean Indeks Plak
(Sebelum-
Setelah)
N t Std Sig
(2Tailed)
95%
0,21 14 1,88 0,42 0,08 (-0,03-0,46)
105
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan hasil
Pired Sample Test untuk gigi berjejal sebelum dan setelah
menyikat gigi bahwa dari 28 orang siswa-siswi SMP PAB
5 Patumbak terdapat rata-rata 0,21 dengan nilai t hitung
sebesar 1,88.
Standart Deviasi yang diperoleh adalah 0,42
dengan signifikan (p) 0,08 dan menggunakan tingkat
kepercayaan 95%.
Dari hasil diatas terlihat bahwa t hitung adalah
1,88 dengan nilai p 0,08. Oleh karena itu nilai p > 0,05
artinya tidak ada perbedaan indeks plak antara gigi berjejal
sebelum dan setelah menyikat gigi.
Tabel.6. Perbedaan Indeks Plak Gigi Tidak Berjejal
Sebelum dan Setelah Menyikat Gigi Pada
Siswa/i SMP PAB 5 Patumbak
Mean Indeks
Plak (Sebelum-
Setelah)
N t Std p 95%
0,21 14 1,88 0,42 0,08 (-0,03-0,46)
Dari diatas menunjukkan hasil Pired Sample Test
untuk gigi berjejal sebelum dan setelah menyikat gigi yaitu
mean indeks plak sebelum dan setelah menyikat gigi pada
gigi berjejal adalah 0,21 dengan jumlah sampel 28 orang
dan menghasilkan nilai t hitung sebesar 1,88. Standart
Deviasi yang diperoleh adalah 0,42 dengan signifikan (p)
0,08 dengan nilai p 0,08 (p > 0,05) maka tidak ada
perbedaan indeks plak antara gigi berjejal sebelum dan
setelah menyikat gigi.
Pembahasan
Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat ada
tidaknya perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan
gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi pada siswa-siswi
SMP PAB 5 Patumbak. Penelitian ini mengambil sampel
siswa-siswi yang mempunyai gigi berjejal sebanyak 14
orang dan siswa-siswi yang mempunyai gigi tidak berjejal
sebanyak 14 orang yang dipilih mulai dari kelas 1 sampai
kelas 2 SMP PAB 5 Patumbak.
Penyebab utama penyakit Periodontal adalah
plak. Plak gigi adalah deposit lunak yang melekat pada
permukaan gigi, terdiri atas mikroorganisme yang
berkembang biak dalam suatu matrik interseluler jika
seseorang melalaikan kebersihan gigi dan mulutnya.
(Pintauli,dkk)
Gigi berjejal atau crowded disebabkan banyak faktor. Gigi
berjejal bisa terjadi akibat gigi susu yang terlambat dicabut
padahal gigi tetapnya sudah tumbuh. Bisa juga karena gigi
susu dicabut sebelum waktunya. Akibatnya rahang kurang
berkembang dan gigi tetap yang tumbuh kemudian
kekurangan tempat untuk tumbuh dalam posisi normal.
Dari hasil penelitian ini program komputer
dengan menggunakan uji t Dependent yang mencari ada
tidaknya perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan
gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi diperoleh hasil t
hitung adalah 1,88 dengan nilai p 0,08. Oleh karena itu
nilai p > 0,05 maka H0 diterima artinya tidak ada
perbedaan indeks plak antara gigi berjejal sebelum dan
setelah menyikat gigi.
Tidak adanya perbedaan indeks plak antar gigi
berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi
terjadi dikarenakan oleh tidak semua counfonding
variabel (variabel pengganggu) dikendalikan. Variabel
pengganggu yang dikendalikan hanya jenis sikat gigi
dan pasta gigi sedangkan tehnik menyikat gigi dan
lama menyikat gigi tidak dikendalikan.
Teori ini yang mendukung peneliti untuk tidak
mengendalikan tehnik menyikat gigi dalam mencari
ada tidaknya perbedaan indeks plak antara gigi berjejal
dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi pada
siswa/i SMP PAB 5 Patumbak. Hasil yang didapat
dengan uji t Dependent dihasilkan bahwa tidak adanya
perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi
tidak berjejal setelah menyikat gigi pada siswa/i SMP
PAB 5 Patumbak.
Walaupun hasil yang diperoleh tidak ada
perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi
tidak berjejal, bagi yang memiliki gigi berjejal harus
lebih teliti untuk membersihkan giginya karena bagi
gigi berjejal mempunyai peluang yang lebih besar
untuk terjadinya penumpukan plak dikarenakan ada
bagian-bagian gigi yang sulit dijangkau oleh sikat gigi.
Dan bagi yang memiliki gigi tidak berjejal agar tidak
mengabaikan kebersihan gigi dan mulutnya. Untuk
memperoleh hasil pembersihan plak gigi yang optimal
diharapkan agar menyikat gigi dengan cara yang baik
dan benar.
Adapun manfaat yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah bahwa bagi yang memiliki gigi
normal (tidak berjejal) untuk tidak mengabaikan
kebersihan gigi dan mulutnya. Walaupun gigi tidak
berjejal lebih mudah dibersihkan daripada gigi yang
berjejal namun jika mengerti atau terampil dalam
membersihkannya, maka tidak ada perbedaan dengan
gigi berjejal yang memang terdapat kesulitan dalam
membersihkannya karena ada bagian-bagian gigi yang
tidak terjangkau oleh sikat gigi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Rata-rata indeks plak sebelum menyikat gigi pada gigi berjejal 0,74 (Baik) dan rata-rata
indeks plak pada gigi tidak berjejal 0,87
(Baik). Setelah dilakukannya kegiatan
menyikat gigi rata-rata indeks plak pada gigi
berjejal sama-sama baik. Rata-rata indeks plak
gigi berjejal 0,29 dan gigi tidak berjejal 0,36.
2. Hasil Dependent Sample Test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan indeks plak antara
gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah
menyikat gigi pada siswa-siswi SMP PAB 5
Patumbak.
Saran
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang
perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi tidak
berjejal setelah menyikat gigi disarankan:
106
1. Gigi yang berjejal menyebabkan tumpukan plak yang ada sulit dibersihkan karena ada bagian-
bagian gigi yang sulit terjangkau oleh sikat gigi,
oleh karena itu perlu ketelitian yang lebih dalam
membersihkannya dan sebisa mungkin dirawat jika
parah.
2. Menyikat gigi dengan cara yang baik dan benar agar memperoleh kebersihan gigi dan mulut yang
optimal.
DAFTAR PUSTAKA
M. Sopiyudin Dahlan 2011. Statistik untuk kedokteran dan
kesehatan. Jakarta: Salemba Medika
Pintauli, S., 2007. Menuju Gigi dan Mulut Sehat. USU
Press. Medan.
Yuwono, L., 2007. Plak Gigi sumber penyakit Gigi dan
Mulut, http://Lilliana Yuwono.wordpress.com/plak
gigi/ diakses tanggal 20 desember.
Nurjannah N, 2012. Ilmu Pencegahan Penyakit
Jaringan Keras dan Jaringan Pendukung Gigi,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Oral Health Promotion through Schools. WHO
Information Series on School Health. Document 8.
Geneva: WHO; 2003.
H P Megananda, Herijulianti E, Nurjanah N. 2009.
Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan
Jaringan Pendukung Gigi. Buku Ajar. Poltekkes
Depkes. JKG Bandung.
Erwin N, 2013. Seputar Kesehatan Gigi dan Mulut,
Penerbit Rapha Publishing, Yogyakarta.
http://lilliana/
107
HUBUNGAN KEBIASAAN MENYIKAT GIGI SEBELUM TIDUR DENGAN
TERJADINYA KARIES GIGI PADA SISWA-SISWI SMP SWASTA
DARUSSALAM MEDAN TAHUN 2014
Ety Sofia Ramadhan Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan
` Abstrak
Menyikat gigi termasuk bagian perawatan gigi dan mulut yang harus dilakukan secara personal, menyikat
gigi adalah persoalan yang sangat relatif mudah dilakukan sehingga hal ini perlu ditumbuhkan menjadi suatu
kebiasaan. Sebagai kebiasaan yang perlu di wajibkan, kegiatan menyikat gigi seharusnya dilakukan minimal
2 kali sehari yaitu pagi setelah sarapan dan malam sebelum tidur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
atau membuktikan apakah ada hubungan menyikat gigi sebelum tidur dengan terjadinya karies gigi pada
siswa-siswi SMP swasta Darussalam Medan. Penelitian ini menggunkan uji chi-square, data primer didapat
melalui kuesioner dan pemeriksaan langsung ke rongga mulut siswa, sampel penelitian sebanyak 40 orang
siswa siswi SMP Swasta Darussalam Medan. Dari hasil penelitian yang ditemukan mayoritas responden
yang menyikat gigi sebelum tidur frekuensi terjadinya karies sebanyak 12,5 %, responden yang tidak
melakukan menyikat gigi sebelum tidur frekuensi terjadinya karies 57,5%, nilai p (0,00) ; p < 0,05, secara
statistik ada hubungan yang bermakna. disimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara menyikat gigi
sebelum tidur dengan terjadinya karies gigi.
Kata kunci: Kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur, karies gigi
PENDAHULUAN
Masalah kesehatan gigi dan mulut menjadi
perhatian yang penting dalam pembangunan kesehatan
yang salah satunya disebabkan oleh rentannya
kelompok anak usia sekolah dari gangguan kesehatan
gigi. Usia sekolah merupakan masa untuk meletakkan
landasan kokoh bagi terwujudnya manusia berkualitas
dan kesehatan merupakan faktor penting yang
menentukan kualitas sumber daya manusia ( Warni,
2009 ).
Tujuan dari sikat gigi adalah untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan mulut terutama
gigi serta jaringan sekitarnya. Menurut Boediharjo
tujuan pembersihan gigi adalah untuk menghilangkan
plak dari seluruh permukaan gigi. Menyikat gigi
dianjurkan untuk membersihkan seluruh deposit lunak
dan plak pada permukaan gigi dan gusi. Menyikat gigi
yang tepat pada waktunya ialah pagi sesudah sarapan
dan malam sebelum tidur.
Gangguan kesehatan yang sangat khas dan
sering terjadi pada anak-anak adalah penyakit gigi
berlubang atau yang dikenal dengan karies gigi
(Sudarmoko, 2011). Gigi berlubang atau karies adalah
penyakit jaringan keras gigi akibat aktivitas bakteri
yang menyebabkan terjadinya pelunakan dan
selanjutnya lubang pada gigi (Poltekkes Kemenkes
Jakarta, 2012 ).
Usia anak 12 tahun adalah usia penting untuk
diperiksa karena umumnya anak-anak meninggalkan
bangku sekolah dasar pada umur 12 tahun. Selain itu,
semua gigi permanen diperkirakan sudah erupsi pada
kelompok umur ini kecuali gigi molar tiga.
Berdasarkan ini, umur 12 tahun ditetapkan sebagai
umur pemantauan global untuk karies ( Karjati, 2010).
Hasil Depkes RI (2002) dalam Warni (2009)
menyimpulkan bahwa masalah kesehatan gigi dan
mulut yang paling dikeluhkan adalah penyakit karies
gigi. Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2001 disebutkan pula bahwa prevalensi
karies gigi aktif pada umur 10 tahun ke atas sebesar
52% dan akan terus meningkatkan seiring dengan
bertambahnya umur hingga mencapai 63% pada
golongan umur 45-54 tahun, khusus pada kelompok
umur anak usia sekolah dasar sebesar 66,8%-69,9%
(Depkes RI, 2004).
Sampai saat ini karies masih merupakan
problem dalam ilmu kedokteran gigi dan ini
prevalensinya cukup tinggi. Karena itu
penanggualangannya, terutama pencegahannya tetap
memerlukan perhatian, apalagi dengan perubahan pola
makan seperti yang terjadi di Indoneisa sekarang ini .
makanan yang lebih praktis dan cepat saji lebih disukai,
makanan kecil yang sangat mudah diperoleh dalam
kemasan menarik, tetapi umumnya bersifat kariogenik,
dipromosikan dengan bantuan iklan yang menggoda,
108
yang menyebabkan anak-anak lebih tertarik (Sundoro,
2007).
Menyikat gigi sangat penting dalam
mencegah terjadinya karies. Karena salah satu faktor
yang dapat menurunkan frekuensi karies gigi yaitu
menyikat gigi sesudah makan dan sebelum tidur selain
itu waktu yang dianjurkan dalam menyikat gigi
maksimal 5 menit, menyikat gigi pada waktu pagi hari
sesudah sarapan bertujuan untuk membersihkan sisa-
sisa makanan yang melekat di permukaan gigi,
sedangkan menyikat gigi pada waktu malam hari
bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa makanan yang
melekat pada permukaan gigi, dan begitu pentingnya
menyikat gigi sebelum tidur karena kuman-kuman
yang di dalam mulut beraktifitas, dan aktifitas kuman
di malam hari biasanya akan meningkat 2 kali lipat di
bandingkan pada siang hari karena saat tidur di mana
mulut tidak melakukan aktifitas seperti makan minum,
atau berbicara. kemampuan saliva yang berfungsi
untuk menetralisir kuman-kuman dalam mulut juga
berkurang dan sebanyak apapun kuman dalam mulut,
bila kita sudah menyikat gigi dan kondisi mulut sudah
bersih dapat di pastikan tidak akan terjadi karies atau
peradangan pada gusi yang mengakibatkan terjadinya
pembentukan karang gigi (miamiauculz, 2009).
Berdasarkan latar belakang masalah di atas
maka peneliti maka peneliti melakukan penelitian
untuk melihat hubungan kebiasaan menyikat gigi
sebelum tidur malam. Penelitian ini dilakukan pada
siswa SMP swasta Darussalam Medan.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan kebiasaan
menyikat gigi sebelum tidur dengan terjadinya karies.
Manfaat Penelitian
1. Menambah wawasan pengetahuan siswa-siswi
dalam menerapkan ilmu tentang waktu menyikat
gigi
2. Sebagai informasi dan bahan masukan bagi pihak
sekolah tentang kejadian karies gigi pada siswa-
siswi SMP Swasta Darussalam Medan.
3. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan
bagi peneliti lain dan sebagai bahan referensi di
perpustakaan Jurusan Keperawatan Gigi politehnik
kesehatan Medan.
Hipotesis
Adanya pengaruh kebiasaan menyikat gigi
sebelum tidur malam dengan terjadinya karies gigi.
METODE PENELITIAN
Jenis Dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang di gunakan adalah analitik
dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk
mengetahui apakah ada hubungan menyikat gigi sebelum
tidur (independent) dengan karies gigi (dependent) pada
siswa siswi SMP Swasta Darussalam medan.
Populasi dan sampel penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karateristik
tentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk di pelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya (Setiawan, 2010). Sampel
adalah sebagian dari populasi yang mewakili suatu
populasi ( Saryono, 2008). Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh siswa siswi SMP