24
MAKALAH MATA KULIAH HUKUM ADAT HUKUM ADAT SUKU KUTAI Disusun Oleh Kelompok 1. Nursiah 2. Erhansyah 3. Lia Oktaviani 4. Ledyka Oktaviani 5. Nur Rahma 6. Linda Kasmawati FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KUTAI KARTANEGARA MEI 2015

Hukum Adat Kutai

  • Upload
    aortaeb

  • View
    77

  • Download
    3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Written by Nursiah, student of Kutai Kartanegara University. Kutai is a tribe in East Kalimantan referred an oldest Hindis kingdom in Indonesia.

Citation preview

  • MAKALAH

    MATA KULIAH HUKUM ADAT

    HUKUM ADAT SUKU KUTAI

    Disusun Oleh Kelompok

    1. Nursiah

    2. Erhansyah

    3. Lia Oktaviani

    4. Ledyka Oktaviani

    5. Nur Rahma

    6. Linda Kasmawati

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS KUTAI KARTANEGARA

    MEI 2015

  • DAFTAR ISI

    COVER MAKALAH

    KATA PENGANTAR

    DAFTAR ISI

    BAB I PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG ...

    B. RUMUSAN MASALAH ...

    C. TUJUAN ........................

    1

    3

    3

    BAB II PEMBAHASAN

    A. TINJAUAN TEORI HUKUM ADAT .. 4

    B. IDENTIFIKASI SUKU KUTAI ... 7

    C. HUKUM ADAT KUTAI .. 13

    BAB III PENUTUP

    A. KESIMPULAN .

    B. SARAN .

    18

    18

    DAFTAR RUJUKAN

  • KATA PENGANTAR

    Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan YME,

    karena atas segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga kita semua pada saat

    ini dalam keadaan sehat hingga kita bisa menyelesaikan tugas penyusunan Makalah

    Studi Kasus Hukum Adat Madura : Carok dan Pernikahan di Bawah Umur.

    Di dalam makalah ini terdapat tiga bab, bab pertama pendahuluan, kedua

    pembahasan dan terakhir penutup. Di dalamnya mencoba mengurai sejarah dan adat

    istiadat Kutai serta kaitannya dengan hukum adat yang masih berlaku dan dipakai

    masyarakat Kutai hingga saat ini.

    Kami meyakini, di dalam penyusunan makalah setebal 18 halaman ini masih

    banyak kekurangannya sehingga memerlukan banyak kritik dan saran yang sifatnya

    konstruktif. Kami akan sangat terbuka untuk berdiskusi demi memperkaya

    khasanah dan keilmuan, khususnya di bidang hukum adat.

    Demikian pengantar ini kami sampaikan dengan harapan mudah-mudahan

    makalah ini dapat memberikan masukan, khususnya bagi mahasiswa Fakultas

    Hukum Universitas Kutai Kartanegara..

    Tenggarong, 13 April 2015

    Penulis

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Identitas Kutai menjadi cukup terkenal di Indonesia karena dalam buku-

    buku sejarah, terutama yang diajarkan di sekolah-sekolah pada masa orde baru,

    nama Kutai diperkenalkan sebagai sebuah nama kerajaan Hindu tertua di

    Indonesia. Label tertua tersebut diberikan karena Kutai adalah satu-satunya

    daerah yang memiliki bukti sejarah faktual, yakni ditemukannya tujuh buah

    prasasti batu sejak tahun 1879 di Bukit Berubus, Kecamatan Muara Kaman,

    Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.1

    Namun identitas serta budaya Kutai, terutama kerajaan Kutai

    Kartanegara ing Martapura atau Martadipura, berangsur tenggelam pasca

    kemerdekaan Indonesia pada 1945. Terlebih pada tahun 1947, status kesultanan

    Kutai beralih daerah swapraja Kutai yang masuk ke dalam federasi Kalimantan

    Timur. Bersama kesultanan Kutai, ada kesultanan Bulungan, Sambaliung,

    Gunung Tabur dan Pasir yang ikut berfusi membentuk Dewan Kalimantan

    Timur, diketuai Sultan Aji Muhammad Parikesit, Sultan Kutai ing Martapura

    ke-20. Pada 21 Januari 1960, identitas kesultanan Kutai Kartanegara ing

    Martapura resmi dibubarkan dan diserahkan ke pemerintah daerah melalui

    Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai, yang diselenggarakan di

    1 Dalam perkembangannya, identitas kerajaan Kutai adalah yang kerajaan Hindu tertua di

    Indonesia menjadi perdebatan, menyusul temuan-temuan hasil analisa arkeologis di daerah lain. Di

    antaranya di Amuntai, Kalimantan Selatan yang dahulunya pernah di bawah pengaruh Kesultanan

    Banjar, pada 1996, ditemukan bukti bahwa kekuasaan Hindu telah bercokol di daerah itu sejak abad

    ke-3 sebelum Masehi. Kesultanan Banjar, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses

    melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

  • Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong. Sejak itu Sultan Aji Muhammad

    Parikesit dan keluarganya hidup sebagai rakyat biasa.

    Dalam perkembangannya, di era reformasi, kesultanan Kutai kembali

    dihidupkan. Pada tahun 1999, Syaukani Hasan Rais, Bupati Kutai Kartanegara

    periode 1999-2004 dan 2005-2006, menghidupkan kembali Kesultanan Kutai

    Kartanegara ing Martapura dengan tujuan pelestarian budaya. Setelah

    mendapatkan persetujuan Abdurahman Wahid, Presiden Republik Indonesia

    ke-4 pada pada 7 November 2000, Putra Mahkota Kesultanan Kutai

    Kartanegara, Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan

    menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad

    Salehuddin II pada 22 September 2001.

    Meskipun teretorial kekuasaan kesultanan Kutai semakin menyusut

    hingga di masa Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sekarang ini2, namun

    dihidupkannya kembali budaya kesultanan, kembali memperkuat identitas

    Kutai di mata nasional dan dunia. Pelaksanaan pesta adat Erau di Kabupaten

    Kutai Kartanegara dibuat makin semarak dan belakangan melibatkan budaya

    kerajaan-kerajaan dari daerah dan negara lain. Yang juga menjadikan nama

    Kutai makin tersohor adalah karena kekayaan alam yang amat potensial, baik

    renewable maupun unrenewable resources. Eksploitasinya bukan saja

    melibatkan investor dari dalam negeri, tetapi juga manca negara. Itu semua

    membuat Kutai Kartanegara menjadi kabupaten terkaya di Indonesia, dengan

    2 Dahulunya mencakup Samarinda, Balikpapan, Penajam, Bontang, Kutai Barat, Kutai

    Timur dan Mahakam Ulu. Kesultanan Kutai Ing Martadipura dan Kabupaten Mahakam Ulu,

    Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei

    2015.

  • nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pemerintahan

    daerahnya jauh di atas rata-rata.

    Sekarang ini, istilah Kutai bukan saja dikenal sebagai nama kerajaan atau

    nama daerah saja, tetapi juga dikenal sebagai salah satu identitas etnis asli di

    Bumi Borneo, terutama di Provinsi Kalimantan Timur. Di samping suku Dayak

    yang identitasnya jauh lebih dikenal3, suku Kutai pasti juga memiliki kekayaan

    adat istiadat, termasuk norma-norma yang berlaku atau yang masih ditaati

    urang-urang Kutai hingga sekarang.

    B. Rumusan Masalah

    Penulisan karya tulis ilmiah ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan

    berikut :

    1. Bagaimanakah suku Kutai itu?

    2. Bagaimanakah hukum adat suku Kutai itu?

    3. Apakah hukum adat suku Kutai masih berlaku hingga saat ini dan jika

    masih berlaku, bagaimanakah praktiknya?

    C. Tujuan

    Dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan artikel ini adalah

    untuk mengetahui dan memahami identitas suku Kutai serta tentang hukum adat

    yang berlaku bagi masyarakat suku Kutai, terutama yang bermukim di bekas-

    bekas kekuasaan kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura.

    3 Ini karena sejumlah artikel ahli sejarah mendefinisikan etnis Kutai sebagai subsuku

    Dayak, suku asli yang mendiami Bumi Borneo. Suku Kutai, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa

    Indonesia Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

  • BAB II

    PEMBAHASAN

    A. Tinjauan Teori Hukum Adat

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terdapat tiga makna kata adat

    yang relatif dapat dipakai dalam karya tulis ilmiah ini, yakni: (1) berarti aturan

    (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu

    kala; (2) cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan;

    kebiasaan; (3) wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya,

    norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu

    sistem4. Untuk makna terminologis hukum adat, ada banyak definisi yang

    diberikan para ahli hukum dan atropologi dan banyak perselisihan. Namun,

    patut dikemukakan bahwa hukum adat memiliki batasan berdasarkan unsur-

    unsur yang membentuknya,5 yakni :

    1. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat;

    2. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis;

    3. Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sakral;

    4. Adanya keputusan kepala adat atau pimpinan suku;

    5. Adanya sanksi atau akibat hukum;

    6. Tidak tertulis;

    7. Ditaati dalam masyarakat.

    4 KBBI Offline, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Aplikasi diakses melalui

    http://kbbi.web.id pada 13 Mei 2015. 5 Bewa Ragawino, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial

    dan Politik Universitas Padjadjaran. Diakses melalui http://pustaka.unpad.ac.id pada 13 Mei 2015.

  • Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, hukum adat diakui

    ketentuan-ketentuan berikut :

    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, khususnya pada Pasal

    18B ayat (2) Bab IV :

    Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

    adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai

    dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

    Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

    2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU No. 6/2014),

    khususnya pada Bab XIII Ketentuan Khusus Desa Adat.

    3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 (Permendagri No.

    52/2014) tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat

    Hukum Adat.

    4. Khusus di Kabupaten Kutai Kartanegara, di daerah dimana kekuasan

    kesultanan Kutai Martapura dan Kutai Kartanegara ing Martapura berpusat,

    terdapat dua peraturan daerah yang masih berlaku, yakni Peraturan Daerah

    Nomor 7 Tahun 2000 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan dan

    Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Dalam Wilayah Kabupaten

    Kutai serta Peraturan Dearah Nomor 13 Tahun 2006 tentang Lembaga

    Kemasyarakatan dan Lembaga Adat.

    Secara eksplisit, pengaturan tentang hukum adat di Indonesia sebenarnya

    terdapat di dalam UU No. 6/2014 dan Permendagri No. 52/2014. Bahkan dalam

    Permendagri tersebut, istilah hukum adat ditetapkan dengan makna berikut :

  • Seperangkat norma atau aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang

    hidup dan berlaku untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersumber pada

    nilai budaya bangsa Indonesia, yang diwariskan secara turun temurun, yang

    senantiasa ditaati dan dihormati untuk keadilan dan ketertiban masyarakat,

    dan mempunyai akibat hukum atau sanksi. (Pasal 1 poin 3)

    Dalam ketentuannya, hukum adat hanya dapat diberlakukan di desa adat

    yang di dalamnya terdapat masyarakat hukum adat, yakni berarti : Warga

    negara Indonesia yang memiiki karakteristik khas, hidup berkelompok secara

    harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan

    atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan

    lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata

    ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah

    tertentu secara turun temurun. (Pasal 1 poin 1 Permendagri No. 52/2014).

    Sementara dalam penjelasan UU No. 6/2014, yang dimaksud dengan desa adat

    adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis

    mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar

    teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

    desa berdasarkan hak asal usul. Berdasarkan peraturan perundang-undangan

    tersebut, sekarang ini sebuah komunitas tidak dapat serta merta menjadi

    masyarakat hukum adat dan sebuah wilayah tidak dapat pula secara instan

    mendapat status desa adat, melainkan melalui proses birokrasi yang cukup

    rumit. Ada syarat dan tahapan yang harus dilalui.

  • B. Identifikasi Suku Kutai

    Eksplorasi Terma Kutai

    Asal muasal nama Kutai diperkirakan baru muncul setelah berdirinya

    kerajaan Kutai pada abad ke-14. Dalam naskah Salasilah Kutai, disebutkan

    bahwa Kutai berasal dari cerita Putri Karang Melenu, istri Aji Batara Agung

    Dewa Sakti, raja Kutai Kartanegara pertama, yang sedang hamil dan ngidam

    makan hewab buruan dengan sumpit. Aji kemudian pergi berburu dan

    menemukan seekor tupai yang sedang makan buah petai dan ia disumpit lalu

    jatuh di tepian mampi. Tanah di tempat Aji itu berdiri menyumpit tupai itulah

    tanah yang diberinama Kutai, karena tanah itu tinggi sendirinya.6

    Sementara Constantinus Alting Mees, peneliti Belanda dalam karya

    ilmiahnya bertajuk de Kroniek van Koetai (1935), meyakini bahwa nama Kutai

    berasal dari kata koti yang berarti ujung. Keyakinan Mees ini didasarkan

    atas posisi Kutai yang terletak di ujung timur pulau Kalimantan.7 Orang-orang

    Belanda sebelumnya, yang telah mempelajari kerajaan Kutai, menyebutnya

    dengan kata Koetie.8

    Muncul juga pendapat yang menyatakan bahwa nama Kutai berasal dari

    bahasa Cina, yakni kho-thay. Kata kho dapat dimaknai sebagai pulau atau

    negeri, sedangkan thay berarti besar. Kho-tay kemudian dilafalkan Kutai,

    memiliki arti kerajaan yang besar. Selain itu, istilah Kutai bisa jadi berasal dari

    6 Hooykaas, C., Silsilah Raja-Raja Kutai (Dalam Negeri) Kutai (Kertanegara), dalam

    Penyedar Sastra, J.B. Wolters-Groningen. (Jakarta, 1952). Hal. 214. 7 Anwar Soetoen, et.al., Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai, Pemerintah Daerah

    Kabupaten Kalimantan Timur. (Tenggarong, 1975). Hal. 21. 8 Staatsblad van Nederlandsch Indie [van de jaren 1816-1845]. Diakses melalui

    https://books.google.co.id pada 13 Mei 2015.

  • India, karena ada istilah quetairy dalam catatan sejarahnya. Quetairy berarti

    hutan belantara.9

    Asal-usul penamaan Kutai juga disinggung dalam Nagarakretagama,

    kitab legendaris yang dibuat pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, yakni

    pada abad ke-14 oleh Empu Prapaca. Dalam Negarakrtagama, disebutkan

    salah satu daerah yang berhasil ditaklukkan Gajah Mada adalah Tunyung Kute

    atau dapat juga diterjemahkan Tunjung Kute. Mengenai penafsiran ini, T.B.C.

    Brandes, sejarawan asal Belanda, menyimpulkan bahwa kata Tunyung atau

    Tunjung disebut terpisah dengan kata Kute atau Kutai.10

    Dalam artikel lain, disimpulkan bahwa Kutai digunakan untuk

    mengidentifikasi nama sebuah kerajaan, nama suatu daerah dan nama suku

    bangsa atau etnis di Kalimantan Timur.11 Sekarang ini, etnis Kutai dikenal

    dengan karakteristik berikut :

    1. Banyak berdiam di Provinsi Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten

    Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat dan Kota Samarinda.

    2. Umumnya bermukim di tepi sungai Mahakam dan anak sungainya.

    3. Mayoritas beragama Islam.

    4. Umumnya berkarakteristik fisik dan sosiolinguistik ras Melayu.

    9 Drs. H.M. Asli Amin dan Drs H. Amir Hamzah Idar, Awang Long. Badan Perencanaan

    Pembangunan Dearah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur. (Samarinda, 1998), hal 33-34. 10 Soetoen, et.al., Op.Cit., 22. 11 Iswara N. Raditya, Kerajaan Kutai Martapura. Diakses melalui

    http://m.melayuonline.com pada 13 Mei 2015.

  • Sejarah Ringkas Kerajaan Kutai

    Dalam banyak tulisan, disebutkan bahwa di daerah aliran sungai

    Mahakam dahulunya terdapat dua kerajaan besar, yakni kerajaan Kutai atau

    Kutai Martapura atau Kutai Mulawarman dan kerajaan Kutai Kartanegara atau

    Kutai Kartanegara ing Martapura. Sebutan Martapura sekarang berubah

    menjadi Martadipura, sedangkan sebutan Kartanegara, dahulunya adalah Kerta

    Negara. Peradaban kerajaan Kutai bermula pada abad ke-4 dan berakhir pada

    abad ke-14. Kerajaan Kutai berpusat di Bukit Berubus, Kecamatan Muara

    Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Sedangkan

    kerajaan Kutai Kartanegara dahulunya berpusat di Kutai Lama, Kecamatan

    Anggana, Kutai Kartanegara. Di masa kolonialisme Belanda, pusat kerajaan

    sempat pindah ke Jembayan, Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara dan

    kemudian beralih ke Tangga Arung yang sekarang disebut Tenggarong, ibukota

    Kabupaten Kutai Kartanegara.

    Sumber utama adanya kerajaan Kutai Martapura yang pusat keratonnya

    ada di Muara Kaman adalah peninggalan situs kerajaan di Bukit Berubus serta

    empat prasasti batu Yupa yang terdapat ukiran aksara Pallawa berbahasa

    Sanskerta. Dari terjemah prasasti Yupa, isinya sama sekali tidak menyebutkan

    nama Kutai, hanya memberitakan tentang kaum Brahma yang memuji-muji

    keagungan Raja Mulawarman, anak dari Raja Asmawarman. Sumber lainnya

    adalah naskah Salasilah Koetai atau Silsilah Raja-Raja Kutai yang ditulis pada

    tahun 1858 oleh Moehammad Tahir beraksara Arab dan digubah dengan bahasa

    aksara Melayu oleh Mohammad Tayib pada tahun 1878.

  • Dalam Salasilah Koetai12, disebutkan bahwa kerajaan yang berpusat di

    Muara Kaman ini adalah bernama Martapura, tidak ada embel-embel nama

    Kutai. Disebutkan pula nama-nama raja yang pernah memerintah kerajaan

    Martapura, dimulai dari Mulawarman, Sriwarman, Marawijayawarman,

    Gajayanawarman, Tunggawarman, Jayanagawarman, Nalasingawarman, Nala

    Perana Tungga, Gadonggawarman Dewa, Indera Warmana Dewa, Sangga

    Wirama Dewa, Singa Wargala Warmana Dewa, Canderawarman, Mula Tungga

    Dewa, Nala Indera Dewa, Indera Mulia Warmana Dewa, Sri Langka Dewa,

    Guna Perana Tungga Dewa, Wijayawarman, Indera Mulia, Sri Aji Dewa, Mulia

    Putera, Nala Pendita, Indra Paruta Dewa dan yang terakhir Maharaja Dharma

    Setia.

    Antara Dayak dan Kutai

    Pada artikel berjudul suku Kutai di Ensiklopedia Wikipedia13, dijelaskan

    bahwa suku Kutai merupakan suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan

    Timur yang sebagian besar beragama Islam yang menjadi bagian rumpun Suku

    Dayak, terutama subsuku Tunjung dan Benuaq. Semula orang Kutai ini adalah

    suku Tunjung dan Benuaq yang kemudian berfusi dengan Jawa, Melayu dan

    Banjar, akhirnya menjadi suku baru, disebut Kutai. Nama Kutai awalnya

    bukanlah nama suku, tetapi nama daerah atau negeri, karena perkembangan

    politik dan budaya, nama Kutai menjadi nama etnis. Dari artikel suku Kutai

    12 Sesuai isi naskah yang diterbitkan kembali pada tahun 2002. Adham, D., Silsilah Kutai,

    Bagian Kehumasan dan Keprotokoleran Bagian Kehumasan dan Keprotokoleran Pemerintah

    Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. (Tenggarong, 2002). Hal. 192-196. 13 Suku Kutai, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia Diakses melalui

    http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

  • tersebut, dapat diketahui bahwa klaim asal muasal suku Kutai dari suku

    Tunjung dan Benuaq berdasarkan analisa bahasa dan budaya yang ada

    kemiripan. Sayangnya, tidak ada referensi yang jelas dan dapat

    dipertanggungjawabkan atas klaim bahwa etnis Kutai merupakan subsuku

    Dayak.

    Menurut DR Yeti Maunati,14 Istilah Dayak sebenarnya merupakan

    konstruksi istilah modern yang diberikan para peneliti Belanda sekitar abad ke-

    19. Sebutan dayak merujuk kepada orang-orang pribumi di Pulau Kalimantan

    yang beragama bukan Islam dan non Melayu. Ada sebanyak 450 subsuku

    Dayak dengan kesamaan budaya, seperti rumah panjang, mandau, sumpit,

    produksi keranjang rotan, manik-manik dan ritual-ritual adat pada umumnya.

    Dari penelitian Yeti dapat diketahui bahwa suku Dayak dan suku Kutai sangat

    berbeda, suku Kutai tidak termasuk dalam subsuku Dayak.

    Sub Suku Kutai

    Dalam KBBI, sub berarti di bawah, agak, dekat. Sedang kata suku, lebih

    tepatnya dalam konteks ini adalah suku bangsa atau etnis. Dalam KBBI, bagian

    dari suatu kelompok manusia yang secara fisik sama. Padanan kata suku adalah

    puak.

    Jika dilihat dari kesamaan karakteristik dan perbedaan bahasa, maka di

    Kutai juga ada. Pada suku Kutai, dalam artikel Ensiklopedia Wikipedia berjudul

    Suku Kutai, golongan yang bertalian atau berdekatan dengan Kutai, dalam hal

    ini dari segi bahasa, adalah sebagai berikut :

    14 DR Yekti Manuati, Identitas Dayak, LKIS. (Yogyakarta, 2006). Hal 45-50.

  • Kutai Muara Kaman, puak jenis ini disebut puak pantun, merupakan sub

    suku Kutai yang paling tua, mendiami wilayah Muara Kaman, Kutai

    Kartanegara sampai ke daerah Kutai Timur, mencakup Muara Wahau,

    Muara Ancalong, Muara Bengkal dan Kombeng.

    Kutai Keraton, oleh para peneliti sosiolinguistik disebut juga puak melani,

    yang berkembang di Pesisir, merupakan puak termuda di tanah Kutai,

    merupakan percampuran antara Dayak dengan pendatang yakni Banjar,

    Jawa, Bugis dan Melayu.

    Kutai Kota Bangun, disebut juga puak Tulur. Puak ini bertalian juga dengan

    Dayak Tunjung dan Benuaq (Ohong dan Bentian). Wilayahnya meliputi

    Kenohan, Kembang Janggut, Tabang, Muara Wis, sebagian Muara Muntai,

    hingga daerah-daerah di Kutai Barat. Dikatakan puak Tulur, karena daerah-

    daerah tersebut dulunya dipimpin oleh Aji Tulur Jejangkat, yang menjadi

    bagian dari Kesultanan Kartanegara dan Martapura. Puak ini diyakini

    berasal dari puak ot danum.

    Kutai Muara Pahu atau puak Pahu adalah suku yang mendiami wilayah

    Sungai Kedang Pahu. Suku ini tersebar di Kecamatan Muara Pahu dan

    sekitarnya. Puak ini merupakan keturunan Dayak Benuaq yang

    meninggalkan budaya nenek moyang atau haloq dan sekarang menganut

    agama Islam.

    Kutai Kedang atau puak Punang adalah suku yang mendiami wilayah

    pedalaman. Diperkirakan suku ini adalah hasil percampuran antara puak

    pantun dan puak sendawar (tunjung-benuaq).

  • C. Hukum Adat Kutai

    Pada zaman Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura masih

    berkuasa, terdapat peraturan-peraturan tertulis dan mengikat bagi raknyat yang

    mendiami wilayah-wilayah di tanah Kutai. Dua peraturan perundang-undangan

    tersebut adalah Panji Kelaten yang terdiri dari 39 pasal yang mengatur

    persoalan kesultanan dan Beraja Niti atau peraturan Maharaja terdiri dari 164

    pasal yang mengatur persoalan perdata dan pidana.15

    Sekarang Panji Kelaten dan Beraja Niti tentu saja tidak berlaku lagi dan

    sebagian isinya hanya berlaku sebagai peraturan adat yang tidak tertulis.

    Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut :

    Erau

    Erau berasal dari bahasa Kutai, eroh yang artinya ramai, riuh, ribut, suasana

    yang penuh sukacita. Suasana yang ramai, riuh rendah suara tersebut dalam arti:

    banyaknya kegiatan sekelompok orang yang mempunyai hajat dan mengandung

    makna baik bersifat sakral, ritual, maupun hiburan. Erau pertama kali

    dilaksanakan pada upacara tijak tanah dan mandi ke tepian ketika Aji Batara

    Agung Dewa Sakti berusia 5 tahun. Setelah dewasa dan diangkat menjadi Raja

    Kutai Kartanegara yang pertama (1300-1325), juga diadakan upacara Erau.

    Sejak itulah Erau selalu diadakan setiap terjadi penggantian atau penobatan

    Raja-Raja Kutai Kartanegara. Dalam perkembangannya, upacara Erau selain

    sebagai upacara penobatan raja, juga untuk pemberian gelar dari raja kepada

    tokoh atau pemuka masyarakat yang dianggap berjasa terhadap kerajaan.

    15 Adham, D., Op.Cit., hal 243-271.

  • Hingga sekarang tradisi Erau tetap terpelihara dan semakin berkembang. Di

    Kutai Kartanegara, Erau diselenggarakan sebagai sebuah tradisi yang

    dilaksanakan setiap tahun dengan pusat kegiatan di kota Tenggarong, biasanya

    bertepatan dengan peringatan hari jadi kota Tenggarong. Yang termasuk di

    dalam tradisi adatnya adalah beluluh sultan, menjamu benua, merangin,

    merebahkan ayu, mengulur naga dan belimbur.

    Perkawinan Adat Kutai

    Perkawinan adat Kutai. Sekarang ini, prosesi perkawinan adat Kutai hanya

    dilakukan sebagain warga Kutai, terutama keluarga kerajaan Kutai. Selain itu

    juga masih melekat bagi sebagian warga di daerah Kedang Ipil.16 Proses

    perkawinan adat ini meliputi tahapan berikut :

    Pertunangan, Seperti halnya lazimnya, juga dalam adat-istiadat Kutai,

    sebelum terjadi perkawinan biasanya didahului oleh kesepakatan antara dua

    keluarga bersatu dalam ikatan resmi. Proses inilah yang biasanya disebut

    dengan istilah pertunangan. Dalam pertunangan adat Kutai, tidak ada

    upacara adat yang khusus, melainkan hanya dilakukan acara penyerahan

    cincin pertunangan di mana pada cincin tersebut diikat dengan tali atau

    benang sebagai simbol bahwa si pemakai cincin telah diikat oleh

    seseorang untuk menjadi pasangan resmi.

    Ritual Memang. Setelah semua bahan yang diperlukan telah lengkap, maka

    pada malam hari menjelang Hari-H perkawinan diadakan upacara Memang

    16 Sri Warsono, dkk., Perubahan Nilai Upacara Tradisional pada Masyarakat Suku Kutai

    di Desa Kedang Ipil, Depdikbud Kaltim, (Samarinda, 1998), hal 28-34.

  • atau ritual memanjatkan doa yang bertempat di kediaman mempelai laki-

    laki. Upacara ini dilakukan dengan tujuan untuk mengusir roh-roh jahat agar

    tidak mengganggu jalannya perkawinan. Peralatan yang dipersiapkan dalam

    pelaksanaan upacara Memang adalah alat-alat yang digunakan untuk malam

    hari. Semua peralatan untuk upacara malam hari itu disiapkan agar

    bermanfaat sesuai dengan fungsi masing-masing. Acara upacara memang

    dipimpin oleh orang khusus yang disebut sebagai Dukun Memang dan

    didampingi oleh beberapa orang sebagai pembantu. Acara ini dihadiri oleh

    tetua dan para tokoh adat, para sesepuh, serta keluarga, kerabat dan tetangga

    dekat mempelai laki-laki.

    Beluluh, atau membaca doa saat pelaksanaan ritual memang. Berikut ini

    adalah isi dari doa Beluluh tersebut:

    Tembon diang gari duki tembon dian

    Mari panten biar dibara jantan

    Jalan urang naik bapung ladang

    Unggah bapuningsing jaka campur ragi cama

    Daka silik ragi kuar takut takandung

    Disambanan urang berait tamber

    Berait rawang akan di banak minak

    Nariang baik tahu jalan urang bakum

    Cadang, nak bupung ningsing

    Ningsing akan campur ragi camak

    Silir ragi kuak

  • Singsing akan kemata alo pajeh

    Esok lagi buku tunggayan

    Indah lagi buku samutan

    Maningsing akan irap ragi nyimpi

    Perkawinan. Pagi hari pada Hari H atau hari di mana perkawinan itu

    dilaksanakan, setiap kelompok petugas sudah bersiap-siap untuk

    menjalankan tugas mereka masing-masing. Kaum perempuan, yakni para

    gadis dan ibu-ibu, bertugas untuk menyelesaikan persiapan makanan untuk

    pesta yang sudah dimulai sejak dua hari sebelumnya. Dukun Memang

    bersama para pembantunya serta sebagian warga bertugas menyiapkan

    semua peralatan upacara perkawinan, di antaranya adalah memasang daun

    madam dan daun muru di pintu rumah sanggrahan sebagai pengusir roh-roh

    jahat yang bisa mengganggu jalannya upacara perkawinan. Selanjutnya,

    Dukun Memangi dan para pembantunya memandikan kedua calon

    mempelai di rumah mereka masing-masing. Kedua mempelai dimandikan

    dengan Ranam Bunga (air bunga) supaya kedua calon pengantin terlihat

    elok dan rupawan. Selain itu, kedua calon pengantin juga diwajibkan untuk

    melakukan ritual puja-puji dengan air Ranam Pemaden agar keduanya

    bersih dan suci dari pikiran-pikiran kotor atau hal-hal negatif lainnya dan

    memperoleh keselamatan. Setelah ritual memandikan pengantin selesai,

    kedua calon mempelai didandani dengan pakaian yang paling indah. Untuk

    calon pengantin laki-laki, diharuskan mengenakan songkok (kopiah)

    berwarna hitam. Menjelang pukul 13.00 atau jam 1 siang, pengantin

  • perempuan dibawa ke rumah sanggrahan terlebih dulu untuk menunggu

    kedatangan pengantin laki-laki. Setelah pengantin laki-laki datang dan

    disandingkan dengan pengantin perempuan, maka keduanya kemudian

    diarak mengelilingi rumah sanggrahan sebanyak tiga kali putaran sambil

    menyebarkan uang logam yang akan disambut dan diperebutkan dengan

    rasa riang gembira oleh anak-anak yang mengikuti arak-arakan pengantin

    tersebut. Prosesi ini dilakukan dengan tujuan dan harapan agar kehidupan

    kedua mempelai nantinya akan mendapatkan kesejahteraan dan mampu

    memberikan kegembiraan kepada anak-anak mereka nantinya. Setelah

    acara arak-arakan dan tabur uang selesai dilaksanakan, maka kedua

    mempelai masuk ke dalam rumah sanggrahan dan duduk di tengah-tengah

    para hadirin yang sudah ada di dalam rumah. Posisi duduk kedua mempelai

    menghadap tetua adat dan para saksi.

  • BAB III

    PENUTUP

    A. Kesimpulan

    Dari makalah ini dapat disimpulkan beberapa hal, yakni :

    1. Bahwa suku Kutai adalah salah satu suku yang mendiami beberapa daerah

    di Kalimantan Timur, berpusat di Tenggarong, Kabupaten Kutai

    Kartanegara. Suku Kutai berhubungan dengan Dayak, sehingga ada yang

    menyebut Kutai merupakan perkembangan dari Dayak, terutama Tunjung

    Benuaq. Dikaji berdasarkan sosilolinguistiknya, di dalam suku Kutai

    terdapat beberapa sub suku, yakni Pantun, Kedang, Tulur , Melani dan Pahu.

    2. Dahulunya peraturan yang berlaku di tanah Kutai, terutama dalam masa

    kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura, dituangkan dalam Panji

    Kelaten dan Braja Niti. Meskipun tidak berlaku lagi seiring meleburnya

    kerajaan Kutai Kartanegara ing Martapura dalam kesatuan negara

    Indonesia, namun beberapa tradisi di dalamnya masih dijalankan.

    3. Hukum adat yang masih dijalankan dalam suku Kutai adalah pada saat

    pelaksanaan erau dan perkawinan adat.

    B. Rekomendasi

    Sumber-sumber utama adat Kutai di Tenggarong sangat minim.

    Seharusnya, di pusat peradaban Kutai yang dikenal memiliki peradaban tua di

    masa dahulu, seharusnya memiliki banyak referensi terkait. Selain itu, entitas

    budaya Kutai saat ini sudah mulai pudar, untuk menarik wisatawan, entitas dan

    identitas Kutai harus dibangkitkan dan dilestarikan.

  • DAFTAR RUJUKAN

    ------------, KBBI Offline, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Aplikasi

    diakses melalui http://kbbi.web.id pada 13 Mei 2015.

    ------------, Staatsblad van Nederlandsch Indie [van de jaren 1816-1845]. Diakses

    melalui https://books.google.co.id pada 13 Mei 2015.

    ------------, Bahasa Melayu Kutai Kota Bangun, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa

    Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

    ------------, Bahasa Melayu Kutai Tenggarong, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa

    Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

    ------------, Dayak, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui

    http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

    ------------, Erau, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui

    http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

    ------------, Gajah Mada, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses

    melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

    ------------, Hukum Adat, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses

    melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

    ------------, Kabupaten Kutai Kartanegara, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa

    Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

    ------------, Kabupaten Mahakam Ulu, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa

    Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

    ------------, Kakawin Nagarakretagama, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa

    Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

  • ------------, Kerajaan Kutai, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses

    melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

    ------------, Kesultanan Banjar, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia.

    Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

    ------------, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Ensiklopedia

    Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13

    Mei 2015.

    ------------, Majapahit, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses

    melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

    ------------, Sejarah Kalimantan Timur, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa

    Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

    ------------, Suku Dayak, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses

    melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

    ------------, Suku Kutai, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses

    melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

    ------------, Tenggarong, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses

    melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

    Adham, D. 2002. Silsilah Kutai. Tenggarong: Bagian Kehumasan dan

    Keprotokoleran Bagian Kehumasan dan Keprotokoleran Pemerintah Daerah

    Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

    Amin, Drs. H.M. Asli, dan Drs H. Amir Hamzah Idar. 1998. Awang Long.

    Samarinda: Badan Perencanaan Pembangunan Dearah Provinsi Daerah Tingkat

    I Kalimantan Timur.

  • Haj, Ahmad Al-. 2002. Sejarah Kutai. Tenggarong: Bagian Kehumasan dan

    Keprotokoleran Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan

    Timur.

    Hooykaas, C. 1952. Silsilah Raja-Raja Kutai (Dalam Negeri) Kutai (Kertanegara).

    Jakarta: Dalam Penyedar Sastra, J.B. Wolters-Groningen.

    Manuati, DR Yekti. 2006. Identitas Dayak. Yogyakarta: LKIS.

    Raditya, Iswara N. Kerajaan Kutai Martapura. Diakses melalui

    http://m.melayuonline.com pada 13 Mei 2015.

    Ragawino, Bewa. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia. Fakultas Ilmu

    Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran. Diakses melalui

    http://pustaka.unpad.ac.id pada 13 Mei 2015.

    Soetoen, Anwar, et.al. 1975. Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai. Tenggarong:

    Pemerintah Daerah Kabupaten Kalimantan Timur.

    Warsono, Sri, dkk. 1998. Perubahan Nilai Upacara Tradisional pada Masyarakat

    Suku Kutai di Desa Kedang Ipil. Samarinda: Depdikbud Kaltim.