Upload
syifa-rakhmi-sungaidi
View
1.177
Download
20
Embed Size (px)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keberhasilan Pemerintah dalam Pembangunan Nasional, telah
mewujudkan hasil yang positif di berbagai bidang, khususnya di bidang
medis atau ilmu kedokteran sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan
penduduk serta meningkatkan umur harapan hidup manusia, akibatnya jumlah
penduduk lansia meningkat. Saat ini, diseluruh dunia jumlah lansia
diperkirakan ada 500 juta dengan usia rata-rata 60 tahun dan diperkirakan
pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar. Secara Demografi, menurut
sensus penduduk tahun 1980 di Indonesia terdapat 5,3 juta orang (4,3%) yang
berusia 60 tahun keatas. Pada tahun 2020 akan meningkat menjadi 11,09%,
meningkatnya umur harapan hidup dipengaruhi oleh majunya pelayanan
kesehatan, menurunnya angka kematian bayi dan anak, perbaikan gizi dan
sanitasi, serta meningkatnya pengawasan terhadap penyakit infeksi
(Bandiyah, 2009). Adanya keterbatasan pergerakan dan berkurangnya
pemakaian sendi dapat memperparah kondisi tersebut (Ulliya, dkk, 2009).
Penurunan kemampuan muskuloskeletal dapat menurunkan aktivitas fisik
(physical activity), sehingga akan mempengaruhi lansia dalam melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari (activity of daily living atau ADL) (Ulliya
dkk., 2009). Memelihara kesehatan untuk hidup yang tidak bergantung
1
2
dengan orang lain besar kemungkinan harus memprioritaskan kekuatan otot
(Broman dkk., 2006).
Pada lansia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi
normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi. Keadaan ini menyebabkan
munculnya penyakit degeneratif yang merupakan penumpukan distorsi
metabolik dan struktural (Darmojo dan Martono, 2009). Pada proses menua
biasanya terjadi penurunan produksi cairan sinovial pada persendian,
tonus otot menurun, kartilago sendi menjadi lebih tipis dan ligamentum
menjadi lebih kaku serta terjadi penurunan kelenturan (fleksibilitas), sehingga
mengurangi gerakan persendian.
Senam bugar lansia (SBL) termasuk senam aerobic low impact
(menghindari gerakan loncat-loncat), Senam Bugar Lansia adalah senam
aerobic low impact yang dikeluarkan Persatuan Wanita Olahraga Seluruh
Indonesia (Perwosi) khusus bagi lanjut usia dengan pelaksanaan durasi senam
kurang lebih 30 menit dengan 5 menit latihan pemanasan, 20 menit latihan
inti dan 5 menit pendinginan (Ulliya dam Agustin, 2008). Senam lansia akan
menambah penguatan otot, daya tahan tubuh, kelenturan tulang dan sendi,
sehingga sistem muskuloskeletal yang menurun dapat diperbaiki. Selain itu
senam lansia bermanfaat untuk memelihara kebugaran jantung dan paru
(Herawati dan Wahyuni, 2004)
3
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di Panti Sosial Tresna
Wredha Unit Budhi Luhur Kasongan Bantul, senam lansia dapat
menyebabkan kemandirian melakukan aktivitas dasar sehari-hari dalam
kategori mandiri (96,23%) (Ardiyanti, 2009). Penelitian Ulliya dkk (2007)
pada lansia di Panti Sosial Tresna Wredha Wening Wardoyo Ungaran, bahwa
latihan ROM selama 3 minggu sudah dapat meningkatkan ROM fleksi sendi
lutut pada lansia yang mengalami keterbatasan gerak. Latihan ROM adalah
latihan yang menggerakkan persendian seoptimal dan seluas mungkin sesuai
kemampuan seseorang yang menyebabkan peningkatan fungsi
muskuloskeletal sehingga berpengaruh pada ADL. Latihan fisik tubuh bagian
atas dapat meningkatkan kekuatan lengan (26%), fleksibilitas bahu (10%)
sehingga dapat meningkatkan kemandirian dalam melakukan activity of daily
living (Venturelli dkk., 2010).
Pengaruh SBL terhadap activity of daily living (ADL) belum banyak
diteliti. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti pengaruh senam
lansia terhadap activity of daily living (ADL) pada lansia.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang dapat dirumuskan masalah sebagai berikut
“Bagaimanakah hubungan senam lansia terhadap activity of daily living
(ADL) pada lansia?’’
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum
4
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
senam lansia terhadap ADL (activity of daily living) pada lansia.
1.3.2. Tujuan khusus
1.3.2.1. Untuk mengetahui activity of daily living (ADL)pada lansia
yang melakukan senam lansia di Kecamatan Pedurungan
Semarang.
1.3.2.2. Untuk mengetahui activity of daily living (ADL) pada lansia
yang tidak melakukan senam lansia di Kecamatan
Pedurungan Semarang.
1.3.2.3. Untuk membandingkan activity of daily living (ADL) pada
lansia yang melakukan senam lansia dengan yang tidak
melakukan senam lansia di Kecamatan Pedurungan
Semarang.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat teoritis
Memberikan informasi kepada peneliti selanjutnya mengenai
pengaruh senam lansia dan activity of daily living (ADL) pada lansia.
1.4.2. Manfaat praktis
1.4.2.1 Memberikan informasi bahwa senam lansia dapat menjadi
alternatif pilihan penatalaksanaan kasus penurunan activity of
daily living (ADL)
1.4.2.2 Sebagai masukan kepada lansia dan keluarganya serta bagi
masyarakat untuk menyadari pentingnya latihan fisik agar
tercapainya derajat kesehatan yang optimal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Activity of daily living (ADL)
2.3.1. Definisi
Activity of daily living merupakan salah satu alat ukur untuk
menilai kapasitas fungsional seseorang dengan menanyakan aktivitas
kehidupan sehari-hari, untuk mengetahui lansia yang membutuhkan
pertolongan orang lain dalam melakukan kehidupan sehari-hari atau
dapat melakukan secara mandiri. Sehingga menghasilkan informasi yang
berguna untuk mengetahui adanya kerapuhan pada lansia yang
membutuhkan perawatan (Gallo dkk., 1998).
2.3.2. Pengukuran ADL
2.3.2.1 Indeks Barthel
Indeks ADL Barthel merupakan alat ukur yang banyak
dipakai. Kuesioner ADL Barthel merupakan instrumen ukur
yang andal dan sahih serta dapat digunakan untuk mengukur
status fungsional dasar lansia di Indonesia (Agung, 2007).
Indeks barthel digunakan untuk mengkaji kemampuan dalam
merawat diri mereka sendiri, namun pokok-pokoknya
ditekankan pada jumlah bantuan fisik yang akan diperlukan
bila tidak dapat melakukan fungsi yang diberikan (Gallo dkk,
1998). Indeks Barthel mungkin bisa menjadi indikator yang
5
6
baik untuk mengkaji ada tidaknya kebutuhan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari (Gallo dkk., 1998).
2.3.2.2 Indeks Katz
Indeks katz dikembangkan untuk mempelajari hasil
pengobatan dan prognosis pada orang tua (Hermoddson dan
Ekhdal, 2010). Indeks ini merangkum kinerja secara
keseluruhan dalam 6 fungsi yaitu mandi, berpakaian, toilet
(toileting), berjalan atau pindah posisi (walking & transfering),
kontinensia (continence), dan makan yang dinyatakan dalam
kelas A-G (Gallo dkk, 1998). Indeks Katz lebih cenderung
menggunakan rentang “mandiri”, “semi mandiri (dibantu)”, dan
“tergantung” (Gallo dkk., 1998).
Indeks Katz A : mandiri untuk 6 aktivitas
Indeks Katz B : mandiri untuk 5 aktivitas
Indeks Katz C : mandiri, kecuali bathing dan satu
fungsi lain
Indeks Katz D : mandiri, kecuali bathing, dressing
dan 1 fungsi lain
Indeks Katz E : mandiri, kecuali bathing, dressing,
toileting dan satu fungsi lain
Indeks Katz F : mandiri, kecuali bathing, dressing,
toileting, transferring dan satu
fungsi lain
7
Indeks Katz G : tergantung pada orang lain untuk 6
aktivitas
(Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999)
2.3.2.3 Indeks Lawton
Indeks Lawton merupakan suatu alat yang memberikan
informasi status fungsional. Indeks Lawton terdiri dari 8
aktivitas yaitu dapat menggunakan telepon, mencuci pakaian,
berbelanja, menyiapkan makanan, menjaga rumah,
mengadakan perjalanan, dapat mengatur keuangan, minum
obat secara teratur (Vitenggl dkk., 2006)
Indeks Lawton dapat disaring menjadi 5 aktivitas utama
untuk membuat pemeriksaan lebih menyeluruh. Kelima
aktivitas utama tersebut meliputi kemampuan untuk
mengadakan perjalanan, berbelanja, menyiapkan hidangan,
pekerjaan rumah tangga, dan pengaturan keuangan pribadi
(Gallo dkk., 1998).
2.3.3 Karakteristik ADL
Berdasarkan nilai skor indeks barthel
0-20 : ketergantungan total
21-61 : ketergantungan berat
62-90 : ketergantungan sedang
91-99 : ketergantungan ringan
8
100 : mandiri, tetapi tidak berarti penderita dapat hidup sendiri,
penderita mungkin tidak memasak, menjaga rumah/tidak
dapat bermasyarakat
(Gallo dkk., 1998)
2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi ADL
2.3.4.1 Depresi
Keterbatasan dalam melakukan activity of daily living
(ADL) dapat menyebabkan depresi dan depresi dapat
meningkatkan factor resiko disabilitas fisik (keterbatasan
ADL) (Sumirta, 2008).
2.3.4.2 Kelenturan
Pembatasan atas lingkup gerak sendi (ROM) banyak
terjadi pada lansia, akibat dari kekakuan otot dan tendon.
Kekakuan otot betis sering memperlambat gerak dorso-fleksi.
Selain itu kekakuan otot aduktor dan abduktor paha juga
sering dijumpai. Oleh karena itulah latihan kelenturan sendi
merupakan komponen penting dari program latihan/olah raga
bagi lansia (Darmojo dan Martono, 2009).
2.3.4.3 Keseimbangan
Keseimbangan merupakan penyebab utama yang sering
mengakibatkan seorang lansia jatuh. Keseimbangan
merupakan tanggapan motorik yang dihasilkan dari berbagai
faktor diantaranya input sensorik dan kekuatan otot. Selain
terjadinya menurunnya kekuatan otot, bertambahnya umur
9
akan menyebabkan keseimbangan menurun (Darmojo dan
Martono, 2009).
2.3.4.4 Self efficacy (keberdayagunaan mandiri)
Self efficacy adalah suatu istilah untuk menggambarkan
rasa percaya atas keamanan dalam melakukan aktivitas. Hal
ini sangat berhubungan dengan ketidaktergantungan dalam
aktivitas sehari-hari (ADL). Dengan keberdayagunaan
mandiri ini seorang lansia mempunyai keberaniaan dalam
melakukan aktivitas/olahraga (Darmojo dan Martono, 2009).
2.2. Senam Lansia
2.2.1. Definisi
Senam bugar lansia adalah senam aerobic low impact
(menghindari loncat-loncat), intensitas ringan sampai sedang,
gerakannya melibatkan sebagian besar otot tubuh, sesuai dengan gerak
sehari-hari, gerakan antara kanan dan kiri mendapat beban yang
seimbang (Budiharjo dkk., 2004).
2.2.2. Jenis Senam Lansia
Senam bugar lansia disusun dalam empat paket yaitu paket
A, B, C, dan D masing-masing paket diperuntukan untuk kondisi yang
berbeda. Paket A (untuk lansia yang tidak tahan berdiri dilakukan
sambil duduk di kursi), paket B (untuk lansia dengan kondisi
sedang), paket C (untuk lansia dengan kondisi baik), paket D
(untuk lansia dengan tingkat kondisi prima). Tiap paket latihan
10
SBL mempunyai susunan yaitu latihan pemanasan, inti dan
pendinginan (Budiharjo dkk., 2004).
2.2.3. Manfaat Senam Lansia
2.2.3.1. Daya Tahan Kardiovaskular
Komponen ini menggambarkan kemampuan dan
kesanggupan melakukan kerja sistem peredaran darah
pemapasan, dalam menyediakan oksigen yang dibutuhkan
(Sumintarsih, 2006).
2.2.3.2. Kekuatan Otot
Kekuatan otot banyak digunakan dalam kehidupan
sehari-hari, terutama untuk tungkai yang harus menahan berat
badan. Makin tua seseorang makin kurang pula kekuatan otot.
Agar menjadi lebih kuat, otot-otot harus dilatih melebihi
normalnya. Intensitas latihan beragam dari latihan
berintensitas rendah sampai berintensitas tinggi. Dengan
latihan ini akan mempertahankan kekuatan otot
(Sumintarsih, 2006).
2.2.3.3. Daya Tahan Otot
Daya tahan otot adalah kemampuan dan kesanggupan
otot untuk kerja berulang-ulang tanpa mengalami kelelahan.
Senam membantu meningkatkan daya tahan otot dengan cara
melakukan gerakan-gerakan ringan, seperti: melompat-
lompat, mengangkat lutut, dan menendang, sehingga
11
tubuh menjadi kuat. Tubuh yang seimbang akan
mengurangi risiko terluka (Sumintarsih, 2006).
2.2.3.4. Kelenturan (Fleksibilitas)
Kelenturan adalah kemampuan gerak maksimal suatu
persendian. Pada usia lanjut banyak terjadi kekakuan sendi,
hal ini dapat diatasi dengan melakukan latihan pada sendi.
Setelah menyelesaikan latihan, peregangan akan membantu
meningkatkan kelenturan (Sumintarsih, 2006).
2.2.3.5. Komposisi Tubuh
Komposisi tubuh berhubungan dengan pendistribusian
otot dan lemak di seluruh tubuh dan pengukuran komposisi
tubuh ini memegang peranan penting, baik untuk kesehatan
tubuh maupun untuk berolahraga. Kelebihan lemak tubuh
dapat menyebabkan kegemukan atau obesitas dan
meningkatkan resiko untuk menderita berbagai macam
penyakit. Senam Bugar Lansia sangat baik untuk membakar
lemak dalam tubuh sehingga menurunkan jumlah angka
kesakitan pada lansia (Sumintarsih, 2006).
2.3. Lansia
2.1.1. Definisi
Menurut Undang-undang RI No. 3 tahun 1986 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia pada BAB 1 pasal 1 ayat 2 yang berbunyi
12
lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas
(Nugroho, 2000).
Lansia akan selalu berhubungan dengan perubahan atau
penurunan fisiologi, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan
pada otot, susunan syaraf, dan jaringan lain. Menua merupakan
berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dalam
maupun luar tubuh. Tidak ada batas yang jelas pada usia berapa
penampilan seseorang mulai menurun, karena setiap orang fungsi
fisiologisnya berbeda, baik dalam pencapaian puncak maupun saat
menurunnya. Umumnya fungsi fisiologis tubuh mencapai puncaknya
pada usia antara 20-30 tahun. Setelah mencapai puncak, fungsi alat
tubuh akan stabil beberapa saat, kemudian menurun sedikit demi
sedikit sesuai bertambahnya usia. Tetapi aktivitas fisik dapat
menghambat atau memperlambat kemunduran fungsi organ tubuh
yang disebabkan bertambahnya usia (Nugroho, 2000).
2.1.2. Penggolongan atau batasan umur lansia
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia lansia meliputi usia
pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 - 59 tahun,
lansia (elderly) antara 60 - 74 tahun, lansia tua (old) antara 75 - 90
tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Nugroho, 2000).
2.1.3. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia
Perubahan fisik menurut Nugroho (2000) antara lain sebagai berikut:
2.1.3.1. Sel
13
Menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal,
darah, dan hati. Jumlah sel otak menurun dan otak menjadi
atrofi beratnya berkurang 5-10%.
2.1.3.2. Sistem Persyarafan
Menurunnya hubungan persyarafan, lambat dalam
respon dan waktu untuk bereaksi, mengecilnya saraf panca
indera dan kurang sensitif terhadap sentuhan.
2.1.3.3. Sistem Pendengaran
Hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada
telinga, Membran timpani menjadi atrofi dan pendengaran
bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami
ketegangan jiwa atau stres.
2.1.3.4. Sistem Penglihatan
Hilangnya respon terhadap sinar, sfingter pupil timbul
sklerosis, lensa lebih suram, hilangnya daya akomodasi dan
menurunya lapang pandang.
2.1.3.5. Sistem Kardiovaskuler
Elastisitas dinding aorta menurun, kemampuan jantung
memompa darah menurun. Hilangnya pembuluh darah dan
tekanan darah meninggi.
2.1.3.6. Sistem pengaturan temperatur tubuh
Suhu yang sering ditemukan pada lansia yaitu
temperatur tubuh menurun (hipotermia) akibat metabolisme
yang menurun.
14
2.1.3.7. Sistem Respirasi
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi
kaku. Menurunnya aktivitas dari silia dan paru-paru
kehilangan elastisitas.
2.1.3.8. Sistem Gastrointestinal
Kehilangan gigi, indera pengecap menurun, esofagus
melebar, rasa lapar menurun, peristaltik lemah dan timbul
konstipasi, serta fungsi absorpsi melemah.
2.1.3.9. Sistem Genitourinaria
Pada ginjal dan otot vesika urinaria mengalami
kelemahan. Hal ini menyebabkan frekuensi buang air seni
meningkat pada lansia wanita, sedangkan vesika urinaria
pada lansia laki-laki susah dikosongkan sehingga
mengakibatkan retensi urin.
2.1.3.10. Sistem Endokrin
Pada lansia seperti menurunnya reabsorbsi sodium
dan air, penurunan lanjut metabolisme, penurunan respon
sistem kekebalan, penurunan efisiensi dari respon stres,
peningkatan jumlah gula darah 2 jam setelah makan, tidak
toleransi terhadap karbohidrat dan jaringan tepi kebal
terhadap insulin.
2.1.3.11. Sistem Kulit (Integumentary System)
Kulit keriput, permukaan kulit kasar dan bersisik,
menurunnya respon terhadap trauma, mekanisme proteksi
15
kulit menurun. Kulit kepala dan rambut menipis berwarna
kelabu.
2.1.3.12. Sistem Muskulosletal
Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh.
Terjadi kifosis, persendian membesar dan menjadi kaku.
Tendon mengerut dan mengalami skelerosis, serta terjadi
atrofi serabut otot.
2.1.4. Teori Proses Menua
2.1.4.1. Teori Radikal Bebas
Produk hasil metabolisme oksidatif yang sangat reaktif
(radikal bebas) dapat bereaksi dengan berbagai komponen
penting selular, termasuk protein, DNA, dan lipid, dan
menjadi molekul-molekul yang tidak berfungsi dan
mengganggu fungsi sel lainnya
Teori radikal bebas dikenalkan pertama kali oleh
Denham Harman pada tahun 1956, Harman menyatakan
bahwa mitokondria sebagai generator radikal bebas, juga
merupakan target kerusakan dari radikal bebas tersebut.
Radikal bebas adalah senyawa kimia yang berisi
elektron tidak berpasangan, sebagai contoh reactive oxygen
spesies (ROS) dan reactive nitrogen spesies (RNS). Karena
elektronnya tidak berpasangan secara kimiawi radikal bebas
akan mencari pasangan akan bereaksi dengan substansi lain
terutama protein dan lemak tak jenuh. Sebagai contoh
16
membran sel yang mengandung sejumlah lemak, sehingga
dapat bereaksi dengan radikal bebas dan menyebabkan
membran sel mengalami perubahan. Akibat perubahan pada
struktur membran tersebut membran sel menjadi lebih
permeabel dan memungkinkan radikal bebas melewati
membran secara bebas. Struktur didalam sel seperti
mitokondria dan lisosom juga diselimuti oleh membran yang
mengandung lemak sehingga mudah diganggu oleh radikal
bebas. Radikal bebas dapat bereaksi dengan DNA sehingga
dapat menyebabkan mutasi pada kromosom dan karenanya
menyebabkan kerusakan mesin genetik normal dari sel. Lebih
jauh, teori radikal bebas secara menyatakan terdapat
akumulasi radikal bebas secara bertahap didalam sel sejalan
dengan waktu, dan bila kadarnya melebihi konsentrasi
ambang maka mungkin berkontribusi pada perubahan-
perubahan yang dikaitkan dengan penuaan (Setiati dkk.,
2006).
2.1.4.2. Teori Error Catastrophe.
Menurut Constantinides dalam Darmojo dan Martono
(2004), proses menua disebabkan oleh kesalahan-kesalahan
yang beruntun sepanjang kehidupan berlangsung dalam
waktu yang cukup lama, terjadi kesalahan dalam proses
traskripsi (DNA→RNA), maupun dalam proses translasi
(RNA→protein/enzim). Kesalahan tersebut akan
menyebabkan terbentuknya enzim yang salah, sebagai reaksi
17
dan kesalahan-kesalahan lain yang berkembang dan akan
menyebabkan terjadinya reaksi metabolisme yang salah,
sehingga akan mengurangi fungsional sel.
2.1.4.3. Teori Glikolisasi
Suatu proses glikolisasi nonenzimatik yang
menghasilkan pertautan glukosa-protein yang disebut sebagai
advance glycation end products (AGEs) dapat menyebabkan
penumpukan protein dan makromolekul lain yang
termodifikasi sehingga terjadi disfungsi pada manusia yang
menua.
Proses glikasi menunjukan perubahan fungsional,
meliputi menurunnya aktivitas enzim dan menurunnya
degradasi protein abnormal. Ketika manusia menua AGEs
berakumulasi di berbagai jaringan, termasuk kolagen,
hemoglobin, lensa mata. Karena muatan kolagennya tinggi,
jaringan ikat menjadi kurang elastis dan kaku. Kondisi
tersebut dapat mempengaruhi elastisitas pembuluh darah.
AGEs juga dapat berinteraksi dengan DNA dan
karenanya mungkin mengganggu kemampuan sel untuk
memperbaiki perubahan pada DNA (DNA repair) (Setiati
dkk., 2006).
2.1.5. Konsep Kesehatan
Kesehatan lanjut usia meliputi kesehatan badan, dan
social lanjut usia, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari
18
penyakit, cacat, dan kelemahan (Hardywinoto dan
Setiabudhi, 1999). Konsep kesehatan meliputi 3 hal yang
menyangkut kesehatan pada lansia, yaitu status fungsional,
masalah kesehatan utama pada lansia (sindroma geriatri), dan
penyakit atau disease. Dari perbedaan konsep tersebut
seharusnya semua tindakan pencegahan, promosi,
pengobatan, dan rehabilitasi dijalankan (Darmojo dan
Martono, 2009).
2.1.5.1. Status Fungsional
Status fungsional merupakan interaksi dari gangguan
fisik, gangguan psikis, dan gangguan social ekonomi. Status
fungsional pada lansia menunjukan apakah seorang lansia
sebagai individu masih dapat melakukan fungsinya sehari-
hari, sehingga status fungsional ini secara praktis diperiksa
dengan menilai kemampuan hidup sehari-harinya (Darmojo
dan Martono, 2009).
2.1.5.2. Sindroma Geriatri
Sindroma geriatri adalah suatu sindroma yang terdiri
atas keluhan atau persepsi adanya abnormalitas atas
kesehatannya oleh penderita lansia. Keluhan ini sangat
beragam sehingga memerlukan perhatian yang serius dari
pengelola kesehatan, keluhan tersebut harus ditindak lanjuti
untuk mencari sebab-sebab yang mungkin barasal dari
kelainan fisik, psikis, atau gangguan sosial. Sebab-sebab
19
yang melatari keluhan dalam sindroma geriatri ini seringkali
sangat kompleks (Darmojo dan Martono, 2009).
2.1.5.3 Penyakit Pada Usia Lanjut
Jenis penyakit yang diderita pada lansia adalah
penyakit degeneratif. Walaupun demikian penyakit infeksi
masih perlu ditangani dengan hati-hati, mengingat hal ini
dapat mencetuskan berbagai penyakit lain (Darmojo dan
Martono, 2009).
2.1.6 Jenis Psikologi Lansia
2.1.6.1 Tipe Konstruktif
Pada tipe ini mempunyai integritas yang baik, dapat
melewati hidupnya, mempunyai toleransi tinggi, humoristik,
fleksibel, dan tahu diri. Biasanya sifat-sifat ini dibawa saat
masih muda. Mereka dapat menerima fakta-fakta proses
menua, mengalami pension dengan tenang, juga dalam
mengahadapi masa akhir (Darmojo dan Martono, 2009).
2.1.6.2 Tipe ketergantungan (dependent)
Pada tipe ini sangat dipengaruhi kehidupan keluarga.
Apabila kehidupan keluarga harmonis maka pada masa lanjut
usia tidak akan timbul gejolak. Akan tetapi jika pasangan
hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan
menjadi merana apalagi jika terus terbawa arus kedukaan
(Darmojo dan Martono, 2009).
2.1.6.3 Tipe Bermusuhan (hostility)
20
Pada tipe ini setelah memasuki masa lanjut usia tetap
merasa tidak puas dengan kehidupannya. Banyak keinginan
yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama
sehingga menyebabkan kondisi ekonomi rusak (Darmojo dan
Martono, 2009).
2.1.6.4 Tipe membenci/menyalahkan diri
Tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena
perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung
membuat susah dirinya (Darmojo dan Martono, 2009).
2.1.6.5 Tipe Defensif
Pada tipe ini sering emosinya tidak dapat dikontrol,
memegang teguh pada kebiasaannya, takut menghadapi tua.
Selalu menolak bantuan dan tak menyenangi masa pensiun
(Darmojo dan Martono, 2009).
2.4. Hubungan Senam Lansia dengan ADL
Pada proses menua biasanya terjadi penurunan activity of daily living
(Venturelli dkk., 2010) yang terjadi akibat berkurangnya produksi cairan
sinovial pada persendian, tonus otot menurun, kartilago sendi menjadi
lebih tipis dan ligamentum menjadi lebih kaku serta terjadi penurunan
kelenturan (fleksibilitas) (Ulliya dkk., 2007).
Senam lansia akan menambah penguatan otot, daya tahan tubuh, dan
kelenturan tulang dan sendi, sehingga sistem muskuloskeletal yang menurun
dapat diperbaiki. Penelitian Ardiyanti (2009) yang dilakukan di Panti Sosial
21
Tresna Wredha Unit Budhi Luhur Kasongan Bantul, senam lansia dapat
menyebabkan kemandirian melakukan aktivitas dasar sehari-hari (96,23%).
Kelenturan
Depresi
Self efficacy
Keseimbangan
22
2.5. Kerangka Teori
Lansia
Proses Menua
Penurunan Fungsi: Muskuloskeletal Respirasi Pendengaran GIT Perkemihan Penglihatan
Activitiy of Daily Living (ADL)
Senam Lansia
23
2.6. Kerangka Konsep
2.7. Hipotesis
Senam lansia dapat meningkatkan activity of daily living (ADL) pada
lansia.
Senam Lansia Activity of daily living (ADL)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian analitik
observasional dengan rancangan penelitian case control.
3.2. Variabel dan Definisi Operasional
3.2.1. Variabel
1. Variabel Bebas : Senam lansia
2. Variabel Tergantung : Activity of daily living (ADL)
3.2.2. Definisi Operasional
3.2.2.1. Senam Lansia
Kegiatan senam yang dilakukan lansia empat kali
dalam seminggu secara rutin sesuai dengan panduan Senam
Bugar Lansia (SBL) selama 30 menit tanpa berhenti. Senam
lansia yag digunakan adalah senam lansia paket C dan D.
Skala : Nominal
3.2.2.2. Activity of daily living (ADL)
Activity of daily living (ADL) adalah aktifitas sehari-hari
yang terdiri atas beberapa macam kegiatan, yaitu mandi
(bathing), berpakaian (dressing), toilet (toileting), berjalan atau
pindah posisi (walking & transfering), kontinensia (continence),
24
25
makan (feeding) yang diukur dengan menggunakan indeks
barthel.
Skala : Rasio
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah lansia Kecamatan
Pedurungan Semarang.
3.3.2. Sampel dan Besar Sampel
3.3.2.1 Sampel
Sampel penelitian diambil dari total populasi lansia di Panti
Wreda Pucang Gading dan Kelurahan Penggaron Lor
Semarang yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.
a. Inklusi
- Bersedia ikut dalam penelitian
- Sehat
- Jenis kelamin: laki-laki dan perempuan
- Usia: 60-74 tahun
b. Ekslusi
- Responden menolak mengikuti kegiatan
- Depresi
3.3.2.2 Besar Sampel
Rumus: n = 2 [ (zα+ z β ) s(x1 - x2 ) ]
2
26
Keterangan:
SS :: Simpang baku kedua kelompok,(Airlambang,2001) = 3x1-x2: Perbedaan klinis yang diinginkan x1-x2 (clinical
judgment) = 2Zα : Tingkat kemaknaan a (ditetapkan oleh peneliti) =1,96Zβ : Power (ditetapkan oleh peneliti) = 0,842
Perhitungan:
n=2[ (1 , 96+0 ,842 ) 32 ]
2
¿2[ 8 ,4062 ]
2
¿2 x17 ,64
¿35
Jumlah sampel yang dibutuhkan untuk penelitian adalah 35
orang.
3.3.3. Cara Pemilihan Sampel
Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode
consecutive sampling.
3.4. Alat dan Bahan
3.4.1. Alat-alat yang digunakan :
Indeks barthel
Lembar Inform Consent
SPSS 13.0
3.5. Cara Penelitian
3.5.1. Kelompok Perlakuan
27
- Datang ke Panti Wredha Pucang Gading Semarang yang
melakukan senam lansia.
- Lansia melakukan senam lansia sebanyak empat kali dalam
seminggu.
- Melakukan wawancara terhadap lansia di Panti Wredha Pucang
Gading Semarang yang memenuhi kriteria inklusi untuk
mengukur ADL pada lansia dengan menggunakan indeks barthel.
- Menghitung ADL berdasarkan hasil pengukuran indeks barthel.
- Hasil yang didapatkan dicatat.
3.5.2. Kelompok Kontrol
- Datang ke tempat lansia di Kelurahan Penggaron Lor Semarang
yang tidak melakukan senam lansia
- Lansia tidak melakukan aktifitas sebelum dilakukan pengukuran.
- Melakukan wawancara terhadap lansia di Kelurahan Penggaron
Lor Semarang yang memenuhi kriteria inklusi untuk mengukur
ADL pada lansia dengan menggunakan indeks barthel.
- Menghitung ADL berdasarkan hasil pengukuran indeks barthel.
- Hasil yang didapatkan dicatat.
Datang ke tempat penelitian
Panti Wreda Pucang Gading Semarang yang
mengadakan senam lansia
Diambil sampel berdasarkan kriteria inklusi
Lansia di Kelurahan Penggaron Lor yang tidak mengadakan senam lansia
Dilakukan pengukuran menggunakan indeks
barthel
Sesuai
Pengumpulan dan pengolahan data
Analisis data
28
3.6. Alur Kerja
29
3.7. Tempat dan Waktu Penelitian
3.7.1. Tempat penelitian
Penelitian dilakukan di Panti Wreda Pucang Gading dan
Kelurahan Penggaron Lor Semarang.
3.7.2. Waktu penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2011 sampai dengan bulan
September 2011.
3.8. Analisis Hasil
Untuk mengetahui pengaruh senam lansia terhadap activity of daily
living pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol maka dilakukan
analisis menggunakan T-test independent jika sampel normal dan homogen.
Apabila sampel tidak homogen dan normal maka akan dilanjutkan dengan
menggunakan Mann Withney. Pengolahan analisis data dilakukan dengan
menggunakan SPSS 13.0 for Windows.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, I., 2007, Uji Keandalan dan Kesahihan Indeks Activity of Daily Living Barthel Untuk Mengukur Status Fungsional Dasar Pada Usia Lanjut di RSCM, Jakarta (Abstrak Tesis)
Ardiyanti, N., 2009, Hubungan Antara Senam Lansia Dengan Kemandirian Melakukan Aktivitas Dasar Sehari-hari di PTSW Unit Budhi Luhur Kasongan Bantul, Yogyakarta (Abstrak)
Bandiyah, S., 2009, Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik, Nuha Medika, Yogyakarta, 2-4
Broman, G., Quintana, M., Lindberg, T., Jansson, E., Kaijser, L., 2006, High Intensity Deep Water Training Can Improve Aerobic Power in Elderly Women, Eur J Appl Physiol, 98: 117–123
Budiharjo, S., Prakosa, D., Soebijanto, 2004, Pengaruh Senam Bugar Lansia terhadap Kekuatan Otot Wanita Lanjut Usia Tidak Terlatih di Yogyakarta, Sains Kesehatan, 17 (1), 111-121
Darmojo, B. dan Martono, H., 2009, Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universtitas Indonesia, Jakarta, 4-8, 25-26, 93-94, 106-108
Gallo, JJ., Reichel, W., Andersen, LM., 1998, Gerontologi, EGC, Jakarta, 122-129
Hardywinoto, SKM. dan Setiabudhi, T., 1999, Panduan Gerontologi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 124, 137
Herawati, I. dan Wahyuni, 2004, Perbedaan Pengaruh Senam Otak dan Senam Lansia Terhadap Keseimbangan pada Orang Lanjut Usia, Infokes, 8 (1), Maret – September 2004
Hermodsson, Y. dan Ekhdal, C., 2010, Early Planning of Care and Rehabilitation After Amputation for Vascular Disease by Means of Katz Index of Activities of Daily Living, Scandinavian Journal Of Caring Sciences Vol. 13 (4): 234-239.
Nugroho, 2000, Keperawatan Gerontik, EGC, Jakarta, 13-14, 19, 21-26
30
31
Setiati S., Harimurti, K., Roosheroe, A. G., 2006, Proses Menua dan Implikasi Kliniknya, Dalam Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, K. T., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jilid 3, Edisi IV, Jakarta, 1335-1341
Sumintarsih, 2006, Kebugaran Jasmani Untuk Lanjut Usia, Olahraga, edisi Agustus, 147-150
Sumirta, IN., 2009, Hubungan Antara Aktivitas Fisik Dengan Depresi pada Lansia di Panti Pelayanan Lanjut Usia “Wana Seraya” Denpasar, Jurnal ilmiah keperawatan, 2 (1): 77-83
Ulliya, S. dan Agustin, D., 2008, Perbedaan Tingkat Depresi pada Lansia Sebelum dan Sesudah dilakukan Senam Bugar Lansia di Panti Wredha Wening Wardoyo Ungaran, Media Ners, 2 (1): 1-44
Ulliya, S., Soempeno, B., Kushartanti, WBM., 2007, Pengaruh Latihan Range of Motion (ROM) Terhadap Fleksibilitas Sendi Lutut Pada Lansia di Panti Wredha Wening Wardoyo Ungaran, Media Ners,1 (2): 72-78
Venturelli, M., Lanza, M., Muti, M., Scena, F., 2010, Positive Effects of Physical Training in Activity of Daily Living-Dependent Older Adults, Experimental Aging Research, 36: 190–205
Vittengl, J. R., C. N. White, R. J. McGovern B. J. Morton, 2006, Comparative validity of seven scoring systems for the instrumental activities of daily living scale in rural elders, Aging & Mental Health, 10(1): 40-47
32
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
LEMBAR INFORM CONSENT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : (L/P)
Umur/Tgl Lahir :
Alamat :
Telp :
Dengan ini menyatakan setuju untuk menjadi responden dalam penelitian
yang berjudul “Hubungan Senam Lansia terhadap Range Of Motion (ROM)
Lutut pada Lansia”
Dari penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal yang berhubungan dengan penelitian tersebut, serta tindakan medis yang akan
33
dilakukan dan kemungkinan pasca tindakan yang dapat terjadi sesuai penjelasan yang diberikan.
Semarang,………………….20……
Pelaksana, Yang membuat pernyataan,
Ttd Ttd
(……………………) (…………………………..)
*Coret yang tidak perlu