Upload
muhamad-amars
View
145
Download
18
Embed Size (px)
DESCRIPTION
aa
Citation preview
Penyebab, Komplikasi dan Penatalaksanaan
Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder atau hipertensi non esensial adalah hipertensi yang
dapat diketahui penyebabnya. Hipertensi sekunder meliputi kurang lebih 5% dari
total penderita hipertensi. Timbulnya penyakit hipertensi sekunder sebagai
akibat dari suatu penyakit, kondisi atau kebiasaan tertentu.1
Hipertensi sekunder mempengaruhi sejumlah kecil dari populasi hipertensi,
tetapi pengaruhnya cukup signifikan. Tidak seperti hipertensi primer, hipertensi
sekunder berpotensi dapat disembuhkan. Penentu untuk pemeriksaan tergantung pada
indeks kecurigaan terhadap penyebab hipertensi selama pemeriksaan pasien dan
pengobatan. Pengujian tertentu yang tersedia harus seimbang tergantung pada risiko
dan biaya pemeriksaan serta pengobatan dengan manfaat yang diperoleh jika
penyebab sekunder dihilangkan.1
I. ETIOLOGI
Hipertensi sekunder dapat diketahui penyebab spesifiknya, dan
digolongkan dalam 4 kategori1,2 :
1. Hipertensi Kardiovaskuler biasanya berkaitan dengan peningkatan resistensi
perifer total kronik yang disebabkan oleh ateroslerosis.
2. Hipertensi renal (ginjal) dapat terjadi akibat dua defek ginjal : penyakit
jaringan ginjal itu sendiri atau oklusi parsial arteri renalis.
a) Penyakit parenkim ginjal penyebab paling umum dari hipertensi
sekunder. Hipertensi bisa disebabkan karena kelainan glomerolus, tubulus
interstitial dan kelainan polikistik. Kebanyakan kasus berhubungan
dengan peningkatan volume intravaskuler atau peningkatan aktivitas
sistem renin-engiotensin-aldosteron. Hipertensi mempercepat progresi ke
renal insufisiensi dan kontrol yang ketat agar tekanan darh menjadi
130/85 mmHg atau lebih rendah akan memperlambat proses ini.
Dilatasi arteriol eferen oleh angiotensin-converting enzyme inhibitor
mengurangi progresi penyakit ini.
b) Hipertensi Renovaskular yaitu karena stenosis arteri renalis, terdapat pada
1-2% pasien dengan hipertensi. Ini disebabkan karena hyperplasia
dilapisan fibromuskuler pada individu yang muda, lebih sering pada
wanita berusia < 50 tahun. Kelainan pembuluh darah ginjal yang lain
adalah stenosis karena aterosklerosis pada arteri renalis proximal.
Mekanisme dari terjadinya hipertensi ialah peningkatan pelepasan renin
karena penurunan aliran darah ginjal dan tekanan perfusi. Renal vaskular
hipertensi akan tampak bila satu cabang dari arteri renalis mengalami
stenosis, tetapi pada 25% pasien kedua arteri mengalami stenosis, tetapi
pada 25% pasien kedua arteri mengalami obstruksi.
Hipertensi renovaskular harus dicurigai pada beberapa keadaan :
(1) onset pada usia <20 tahun atau > 50 tahun, (2) adanya bruit di
epigastrium atau bruit arteri renals, (3) adanya aterosklerosis pada aorta
atau arteri-arteri perifer, (4) bila terdapat penurunan fungsi ginjal yang
tiba-tiba setelah pengaturan dari angiotensin-converting enzym inhibitor.
3. Hipertensi endokrin terjadi akibat gangguan-gangguan endokrin dan adanya
sindrom cronn
a) Feokromositoma adalah suatu tumor medula adrenal yang mengeluarkan
epinefrin dan norepinefrin dalam jumlah yang berlebihan. Peningkatan
abnormal kadar kedua hormon ini mencetuskan peningkatan curah
jantung dan vasokontriksi umum, keduanya menimbulkan hipertensi yang
khas untuk penyakit ini.
Penyebab hipertensi karena feokromositoma hanya 0,1%. Tumor
pada medulla adrenal atau dari sel kromafil ektopik akan menyebabkan
kontraksi pembuluh darah. Sel adenokortikal berperan dalam sintesis
epinefrin akan menyebabkan peningkatan curah jantung dan gangguan
toleransi glukosa.
b) Cushing’s Syndrome yaitu akibat produksi berlebihan steroid zona
fasikulata adrenal dalam bentuk kortisol (hidrokortison). Glukokortikoid
memacu pembentukan glikogen dan glukosa dari protein
(glukoneogenesis). Meningkatkan pembentukan lemak, menghambat
sistem imun dan memacu saraf simpatik. Penyebab sindrom Cushing: (1)
adenoma kelenjar pituitary, (2) adenoma adrenal atau karsinoma, (3)
adenokortikotropin hormon (ACTH, ektopik dan (4) pengobatan
glukokortikoid jangka panjang
c) Hiperaldosteronisme primer yaitu pasien dengan sekresi aldosteron
berlebihan terdapat pada 0,5% dari seluruh kasus hipertensi. Lesi
biasanya terletak pada adenoma adrenal, tetapi beberapa pasien memiliki
hiperplasia adrenal bilateral
d) Sindrom Cronn berkaitan dengan peningkatan pembentukan hormon
korteks adrenal. Hormon ini adalah bagian dari jalur hormonal yang
menyebabkan retensi garam dan air oleh ginjal. beban garam dan air yang
berlebihan di dalam tubuh akibat peningkatan kadar aldosteron
menyebabkan tekanan darah meningkat.
4. Hipertensi neurogenik terjadi akibat lesi saraf .
a) Masalahnya adalah kesalahan kontrol tekanan darah akibat defek di pusat
kontrol kardiovaskuler atau di baroreseptor.
b) Hipertensi neurogenik juga dapat terjadi sebagai respon kompensasi
terhadap penurunan aliran darah otak. Sebagai respon terhadap ganguan
ini, muncullah suatu refleks yang meningkatkan tekanan darah sebagai
usaha untuk mengalirkan darah kaya oksigen ke jaringan otak secara
adekuat.
Penyebab lain Hipertensi Sekunder1,3,4
Selain keempat kategori di atas terdapat penyebab lain berupa
gangguan elektrolit berupa hiperkalemia, gangguan anatomi coarctasio
aorta, akromegali, hipertiroidisme, hiperparatiroid, pengobatan dengan
siklosporin dan NSAID, sleep apnea, serta penggunaan estrogen pada wanita
pengguna kontrasepsi oral yang menyebabkan expansi volume sehingga
meningkatkan aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron. Abnormalitas
pada peningkatan sintesis renin oleh hepar ini dapat dihubungkan dengan
hipertensi sekunder.
Pada faktanya pasien yang memiliki hipertensi pada usia muda tanpa
riwayat keluarga dengan hipertensi atau mereka yang pertama kali
menunjukkan gejala hipertensi pada usia diatas 50 tahun, lebih cenderung
memiliki hipertensi sekunder.
II. KOMPLIKASI5
Komplikasi pada hipertensi yang tidak diobati berkaitan dengan
meningkatnya tekanan darah yang menimbulkan perubahan fungsi pada sistem
vaskularisasi dan hati, atau karena aterosklerosis yang biasanya menyertai suatu
hipertensi yang lama.
a) Penyakit hipertensif kardiovaskular
Komplikasi kardiovaskular merupakan penyebab utama dari kematian
karena hipertensi sekunder. Elektrokardiografi menunjukkan adanya hipertrofi
ventrikel kiri pada 15% kasus hipertensi kronik. Ini merupakan prediktor yang
kuat untuk menentukan prognosis. Hipertrofi ventrikel kiri dapat menyebabkan
gagal jantung kongestif, aritmia ventrikel, iskemia miokard dan kematian
mendadak.
b) Penyakit hipertensif serebrovaskular
Hipertensi merupakan predisposisi utama dari stroke, terutama
perdarahan intraserebral dan juga infark serebral. Komplikasi serebrovaskular ini
sangat berkaitan dengan tekanan darah sistolik daripada tekanan darah diastolik.
Insiden dari komplikasi ini dikurangi dengan penggunaan terapi antihipertensi.
Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol juga dapat mempengaruhi
kemampuan Anda untuk berpikir, mengingat dan belajar. Masalah dengan konsep
memori atau pemahaman lebih sering terjadi pada orang yang memiliki tekanan darah
tinggi.
c) Penyakit ginjal hipertensi
Hipertensi kronik dapat menimbulkan nefrosklerosis, penyebab umum
dari renal insufisiensi. Pengontrolan tekanan darah yang agresif dapat
mengurangi proses ini. Pada pasien dengan hipertensif nefropati, tekanan darah
harus 130/85 mmHg atau lebih rendah bila ada proteinuria. ACE inhibitor
terbuktif efektif untuk mencegah komplikasi lanjut.
d) Komplikasi aterosklerosis
Merupakan komplikasi hipertensi jangka lama. Faktor resiko
pembentukan aterosklerosis diantaranya juga termasuk : merokok, dislipidemia
dan DM. Terapi antihipertensi dapat efektif untuk mengurangi adanya
komplikasi lanjut yang dapat menimbulkan penyakit jantung koroner. Komplikasi
ini biasa diikuti oleh Sindrom Metabolik. Sindrom ini termasuk sekelompok
gangguan metabolisme tubuh yang ditandai dengan lingkar pinggang meningkat,
trigliserida tinggi, rendahnya high-density lipoprotein (HDL), tekanan darah tinggi,
dan kadar insulin tinggi. Jika seseorang memiliki tekanan darah tinggi, orang tersebut
mungkin memiliki komponen lain dari sindrom metabolik. Komponen tersebut
berupa semakin besarnya risiko terkena penyakit diabetes, penyakit jantung atau
stroke.
III. PENATALAKSANAAN1,2,6
Penanggulangan hipertensi sekunder secara umum adalah pengobatan
kausal penyebab dari hipertensi sekunder, berbeda dengan hipertensi primer
yang bertujuan menghilangkan gejala agar tidak memperburuk kondisi organ
lain; secara garis besar dibagi menjadi 2 jenis penatalaksanaan :
A. Penatalaksanaan Non Farmakologis (perubahan gaya hidup)
Secara umum penatalaksanaan non farmakologis diantaranya:
Menghilangkan stress
Pengaturan diet
Olahraga teratur
Menurunkan berat badan (bila diperlukan)
Kontrol faktor resiko lain yang bisa memperberat terjadinya
aterosklerosis.
Pengaturan diet terdiri atas 3 aspek :
1. Karena manfaat dari restriksi natrium dan volume intravaskular dalam
menurunkan tekanan darah, pasien sebelum diinstruksikan untuk
mengurangi intake natrium secara drastis. Bagaimanapun juga beberapa
penelitian menyebutkan adanya penurunan 5 mmHg pada tekanan darah
sistolik dan penurunan 2,6 mmHg pada tekanan diastolik bila sodium
dikurangi sampai 75 meq/hari. Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa
beberapa pasien dengan hipertensi sangat sensitif terhadap garam dan
kadar asupan sodium mempengaruhi tekanan darah. Karena tidak adanya
resiko yang nyata dari restriksi natrium ringan, pendekatan yang paling
praktis ialah dengan menyarankan diet restriksi natrium ringan (hingga 5
gr NaCl/hari), yang bisa didapatkan dengan tidak menambahkan garam
pada makanan yang biasa. Pendekatan yang pada faktornya berguna ialah
dengan metode diet DASH (dietary approaches to stop hypertension)
yang menggunakan makanan-makanan alami yang tinggi kalium dan
rendah lemak jenuh, penekanan pada konsumsi buah dan sayuran serta
produk-produk rendah kalori. Diet ini secara signifikan menurunkan
tekanan darah kepada hipertensi stage I. Kombinasi dari diet DASH
dengan restriksi natrium sedang akan membuat tekanan darha yang besar
daripada dengan manipulasi diet tunggal.
2. Restriksi kalori diharuskan pada pasien hipertensi dengan overweight.
Beberapa pasien yang obese menunjukkan penurunan tekanan darah yang
signifikan sebagai konsekuensi dari penurunan berat badan. Pada
penelitian TAIm (Trial of Antihypertensive Interventions and
Management), penurunan berat badan (rata-rata 4,4 kg dalam 6 bulan)
akan menurunkan tekanan darah sebanyak 2,5 mmHg.
3. Restriksi asupan kolesterol dan lemak jenuh direkomendasikan, karena
dengan diet ini akan menurunkan insiden komplikasi arteriosklerosis.
Olahraga teratur juga dianjurkan sesuai dengan status batas
kardiovaskular pasien. Olahraga tidak hanya membantu menurunkan berat
badan tetapi juga terbukti menurunkan tekanan arteri. Olahraga isotonik
(seperti berenang, joging) lebih baik daripada olahraga isometrik (seperti
angkat beban)
B. Penatalaksanaan Farmakologis pada Hipertensi Sekunder
1. Hipertensi ginjal
Terdapat cukup bukti bahwa hipertensi mempercepat penurunan
fungsi ginjal. Berhubungan dengan patofisiologi hipertensi dan kelainan
ginjal, pengobatan hipertensi akan mengurangi progresivitas fungsi ginjal.
a) Pembatasan Natrium
Retensi natrium disertai peningkatan cairan ekstraselular sangat
berperan terhadap hipertensi ginjal dan penurunan tekanan darah. Cara-cara
pembatasan natrium yaitu: (1) pembatasan natrium dalam sehari sampai 2 g
(88 mmol); (2) Mengukur berat badan dan tekanan darah secara teratur; (3)
pemeriksaan ureum dan kreatinin serum dan (4) dilarang pemberian
tambahan garam kalium.
Pembatasan natrium sebanyak 2 g/hari pada pasien rawat jalan sangat
bermanfaat tetapi perlu pendidikan terhadap diet dan kerjasama dengan
pasien. Pasien dievaluasi terhadap tanda-tanda dehidrasi (hipotensi ortostatik
atau penurunan berat badan yang cepat) atau peningkatan ureum dan
kreatinin. Bila terjadi gagal ginjal terminal dengan gejala asidosis metabolik
yang memerlukan bikarbonat, pemakaian natrium perlu disesuaikan.
Pemberian cairan sitrat lebih baik daripada natrium klorida. Bila dengan cara
ini belum memberikan hasil yang memuaskan terhadap pengendalian tekanan
darah, perlu ditambahkan diuretic.
b) Diuretik
Tiazid khasiatnya kurang bila diberikan pada pasien hipertensi renal
dengan kadar kreatinin lebih dari 2 mg% atau kliren kreatinin kurang dari 30
mL/menit sebab kerjanya pada nefron distal dimana natrium rendah.
Diuretik loop seperti furosemid, asam etakrin, bumetamid, dan
toresemid merupakan pilihan utama untuk penanggulangan kelebihan cairan
ekstraselular dan hipertensi dengan filtrasi glomerolus kurang dari 30
ml/menit. Kerja diuretik loop adalah menghambat reabsorbsi natrium dan
klorida pada loop Henle yang naik di daerah medulla sebanyak 25 – 30%.
Perlu pembatasan natrium selama pengobatan dengan diuretik, sebab retensi
natrium dapat terjadi sebagai kompensasi. Berat badan ditimbang setiap hari
dan waktu penimbangan yang sama untuk mengetahui keseimbangan
natrium. Dosis permulaan furosemid pada pasien dengan filtrasi glomerolus
kurang dari 50% adalah dosis tunggal intravena 40 mg perhari atau oral 80
mg perhari.
Efek samping adalah hipokalemia dan gangguan toleransi gula. Efek
furosemid menjadi toksik bila gagal ginjal memburuk atau pemberian
bersama aminoglikosida.
Pengobatan kombinasi diuretik loop dan tiazid
Pengobatan kombinasi ini dapat memberi khasiat positif walaupun tes
klirens kreatinin kurang dari 10 mL/menit. Kerja pengobatan kombiasi ini
adalah diuretik loop bekerja pada bagian proksimal yang menghambat
absorbsi natrium, sehingga natrim yang tiba di distal diekskresi oleh diuretik
tiazid
c) Penghambat Enzim Pengkonversi Angiotensin
Kerja obat golongan ini adalah menurunkan tekanan dalam kapiler
glumerulus sehingga mencegah terjadinya sklerosis dan kerusakan
glomerulus. Menurut Diabetes Collaborative Study Group pada diabetes tipe
II, pemberian kaptopril dapat memperlambat progresivitas fungsi ginjal. Jadi
kerja penghambat enzim pengkonversi angiotensin selain antihipertensi juga
untuk memperlambat progresivitas penyakit ginjal.
d) Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium mempunyai sifat vasodilatasi arteriol aferen
sehingga tekanan dalam kapiler glomerulus meningkat. Keadaan tersebut
dalam waktu lama akan mempengaruhi fungsi ginjal.
e) Pengobatan Kombinasi
Pengobatan kombinasi antara golongan penghambat enzim
pengkonversi angiotensin dan antagonis kalsium diberikan pada pasien
hipertensi dengan gagal ginjal yang berat atau yang telah resisten. Bila
kombinasi kedua obat tersebut belum berhasil dapat ditambahkan vasodilator
seperti minoksidil. Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan
relaksasi otot polos dan mengakibatkan penurunan resisten vaskular yang
diikuti oleh aktivitas simpatik dan terjadi takikardia. Penyekat beta perlu
ditambahkan untuk mencegah rangsangan pada jantung.
f) Diet Rendah Protein
Diet rendah protein mempunyai pengaruh terhadap penurunan tekanan
dalam kapiler glomerulus. Karena itu diet rendah protein perlu dilakukan
bersamaan dengan cara-cara di atas untuk mengendalikan tekanan darah agar
penurunan faal ginjal dapat diperlambat. Pembatasan protein adalah 0,3
sampai 0,5 kg/BB.
2. Hipertensi Renovaskular
Penatalaksanaan hipertensi renovaskular meliputi terapi obat,
Percutaneus Transluminal renal Angiplasty (PTRA), nefrektomi, dan ablasi
renal (renal ablation).
Banyak studi menunjukkan bahwa tekanan darah dapat dikendalikan
pada kebanyakan pasien hipertensi renovaskular, terutama pada pemakaian
penghambat enzim pengkonversi angiotensin dosis tinggi atau kombinasi
beberapa obat antihipertensi. Namun demikian, pemakaian obat
antihipertensi memberikan risiko penyumbatan arteri renalis yang dapat
mengakibatkan trombosis arteri atau perburukan fungsi ginjal yang progresif.
Penghambat enzim pengkonversi angiotensin walaupun efektif dalam
menurunkan tekanan darah tetapi memberikan risiko yang tinggi untuk
terjadinya azotemia, akibat penurunan laju filtrasi glomerulus. Antagonis
kalsium menghambat aktivitas angiotensin II pada arteriol sistemik, arteriol
aferen, mesangium dan zona glomerulosa korteks adrenal. Jadi, antagonis
kalsium tidak menghambat secara penuh aksi angiotensin II pada arteri
aferen. Dengan demikian, berbeda dengan penghambat enzim pengkonversi
angiotensin, antagonis kalsium dapat mempertahankan laju filtrasi
glomerulus pada daerah ginjal setelah stenotik (post stenotic area). Penyakit
beta (beta blocker) juga efektif dalam menurunkan tekanan darah karena
kerjanya yang menghambat sekresi renin. Tetapi risiko untuk terjadinya
penurunan laju filtrasi glomerulus daerah ginjal setelah stenotik tetap tinggi.
Diuretik, dapat dipergunakan pada hipertensi yang resisten, tetapi pada
umumnya tidak terlalu efektif.
Percutaneus transluminal renal angioplasty (PTRA), nefroktomi dan
ablasi renal, adalah tindakan-tindakan bedah yang dapat mengatasi hipertensi
renovaskular secara kausal.
3. Hiperaldosteronisme Primer
Bila penyebabnya adalah suatu adenoma, pembedahan merupakan
pengobatan pilihan, walaupun tidak semua pasien berhasil menjadi
normotensi. Pada bentuk hiperplasia pengobatan ditujukan untuk
memperbaiki keseimbangan elektrolit yaitu dengan pemberian antagonis
aldosteron (spironolakton) atau diuretik hemat kalium (amilorid).
4. Cushing’s Syndrome
Pada tumor adrenal dilakukan tindakan pembedahan dan pemberian
kortikosteroid sebagai subtitusi. Pada kasus hyperplasia akibat rangsangan
ACTH, pengobatan ditujukan baik terhadap kelenjar adrenal maupun
terhadap hipofisis. Bila harus dilakukan pembedahan terhadap kelenjar
adrenal, harus diikuti dengan pemberian kortkosteroid subtitusi.
5. Feokromositoma
Pengobatan medikamentosa mendahului tindakan pembedahan sangat
bermanfaat. Fenoksibenzamin (dibenzilin) atau prazosin oral sangat efektif.
Antagonis kalsium juga digunakan oleh beberapa sarjana. Penghambat dan
yaitu labetalol secara teori bermanfaat.
Pertimbangan Khusus
Beberapa kelompok pasien hipertensi memerlukan suatu pertimbangan
khusus dalam pemilihan obat antihipertensi. Di antaranya adalah :
1. Gangguan ginjal
Adanya gangguan ginjal karena menurunnya tekanan arteri pada
pasien hipertensi sering terlihat dari adanya peningkatan serum kreatinin.
Bila serum kreatinin meningkat pada pasien hipertensi yang diobati
dengan ACE inhibitor ini perlu perhatian khusus, karena pada pasien ini bisa
mengalami gangguan pada arteri renalis bilateral. Fungsi ginjalnya akan
berlanjut memburuk selama pemberian ACE inhibitor.
Penggunaan ACE inhibitor harus berhati-hati pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal dan fungsi ginjal harus dinilai secara berkala (setiap
4-5 hari) pada 3 minggu pertama.
Walaupun obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan stenosis
arteri renalis bilateral, bersama dengan penghambat reseptor angiotensin
merupakan obat pilihan pada pasien dengan stenosis arteri renalis unilateral
dan dengan fungsi ginjal kontralateral yang normal, serta bisa juga pada
pasien dengan gagal ginjal kronik dengan atau tanpa diabetes mellitus.
2. Penyakit jantung koroner
blocker berguna sebagai obat antihipertensi pada pasien dengan
penyakit jantung koroner. ACE inhibitor juga berguna untuk pasien ini
khususnya dengan hipertensi dan disfungsi ventrikel kiri
3. Diabetes mellitus
ACE inhibitor atau penghambat reseptor angiotensin merupakan
langkah pertama pengobatan hipertensi pada pasien dengan DM tipe II.
Keduanya diketahui tidak memiliki efek merugikan pada metabolisme
glukosa atau lemak dan meminimalisir terjadinya nefropati diabetik dengan
mengurangi resisten pembuluh darah renal dan tekanan perfusi renal. Suatu
penelitian telah menunjukkan bahwa pengaturan tekanan darah yang rendah
pada pasien dengan diabetes adalah ideal untuk mencegah progresivitas dari
gangguan end-organ yaitu pada tekanan darah 130/80 mmHg.
4. Usia tua (> 65 tahun)
Beberapa penelitian melaporkan bahwa pasien usia tua yang sehat,
baik wanita maupun laki-laki yang diobati dengan obat antihipertensi
menunjukkan pengurangan resiko stroke.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jun R. Chiong, Wilbert S. Aronow, Ijaz A. Khan, Chandra K. Nair, Krishnaswami
Vijayaraghavan e, Richard A. Dart f, Thomas R. Behrenbeck g, Stephen A.
Geraci. Secondary hypertension: Current diagnosis and treatment. International
Journal of Cardiology (2007). IJCA-09600; No of Pages 16.
www.elsevier.com/locate/ijcard
2. Tagor H. Et al, Hipertensi, Buku Ajar Kardiologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2001 : 1997 – 212
3. Massie B.M, Systemic Hypertension, CMDT 2003, Current Medical dIagnosis &
Treatment 42nd edition, International edition, Lange Medical Books/McGraw-Hill
Medical Publishing Division, 2003 : 409 – 34
4. Chobanian A.V et al, The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure, JAMA,
May 21st, 2003, Volume 289, No. 19 : 2560 – 68
5. Staff of Mayoclinic. Secondary Hypertension : Complications.
http://www.mayoclinic.com/health/secondaryhypertension/DS01114/DSECTION
=complications (diakses 22 Februari 2013)
6. Zenizlev C., Hypertension at http://www.emedicine.com/journal/topic3118.htm
(diakses 22 Februari 2013)