15
1

HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK - infodiknas.cominfodiknas.com/.../04/Hak-Informasi-atas-Kesehatan-Bank-Abdul-Rokhim.pdf · Penilaian Terhadap Kesehatan Bank Seorang nasabah harus

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK - infodiknas.cominfodiknas.com/.../04/Hak-Informasi-atas-Kesehatan-Bank-Abdul-Rokhim.pdf · Penilaian Terhadap Kesehatan Bank Seorang nasabah harus

1

Page 2: HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK - infodiknas.cominfodiknas.com/.../04/Hak-Informasi-atas-Kesehatan-Bank-Abdul-Rokhim.pdf · Penilaian Terhadap Kesehatan Bank Seorang nasabah harus

2

Page 3: HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK - infodiknas.cominfodiknas.com/.../04/Hak-Informasi-atas-Kesehatan-Bank-Abdul-Rokhim.pdf · Penilaian Terhadap Kesehatan Bank Seorang nasabah harus

3

HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK

Dr. H. Abdul Rokhim, SH, MH1

(Dipublikasikan dalam Jurnal “Negara dan Keadilan”, Program Pascasarjana Unisma

Malang, ISSN: 2302-7010, Vol. 6 No. 10, Pebruari 2017, h. 72-83)

Abstract

The right to information is one of human rights in a democratic state. Right to

information on the health of the banks is a control for the community, especially bank

customers, who entrust or save their money in a bank, in order to prevent the occurrence

of banking practices that harm the public interest. Unfortunately, the provision of the

right to information on the health of banks in Indonesia as stipulated in Article 29

paragraph (4) of the Banking Act is very inadequate and not in line with the application

of the principle of economic democracy adopted in the national banking system based

on Article 2 of the Banking Act.

Keywords: Right to Information, Health Bank

A. Pendahuluan

Krisis ekonomi-moneter yang pernah terjadi pada tahun 1997-1998 di Indonesia

sangat berpengaruh negatif bukan hanya terhadap kalangan dunia usaha, tetapi juga

berpengaruh terhadap sendi-sendi ekonomi rakyat secara keseluruhan. Bahkan sebagai

akibat dari krisis tersebut, banyak perusahaan yang secara faktual sudah bankrut

(pailit), meskipun secara legal-formal belum pernah dinyatakan bankrut, termasuk di

dalamnya perusahaan yang bergerak di sektor perbankan.

Dalam rangka menunjang dan menumbuhkan kembali gairah ekonomi rakyat

secara nasional, sektor perbankan mempunyai peran yang sangat strategis. Hal ini

terutama disebabkan oleh peran ganda dari fungsi utama bank, yaitu pertama sebagai

wahana dalam menghimpun dana-dana masyarakat, dan kedua menyalurkannya

kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat atau kalangan dunia usaha secara

efektif dan efisien untuk mendukung peningkatan pembangunan ekonomi rakyat.

Usaha perbankan yang demikian sejalan dengan asas demokrasi ekonomi yang dianut

dalam sistem perbankan modern saat ini.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah

dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (disingkat: UU

Perbankan) seperti dirumuskan pada pasal 2 menganut asas demokrasi ekonomi dalam

perbankan nasional. Asas demokrasi ekonomi mengandung arti bahwa setiap

kebijaksanaan dalam bidang ekonomi mensyaratkan adanya partisipasi publik dalam

pengambilan keputusan dan realisasinya serta adanya sarana kontrol berupa

transparansi informasi yang berkenaan dengan realisasi dari kebijaksanaan tersebut.

Khusus di bidang perbankan, dengan dianutnya asas tersebut berarti dalam

menjalankan sutau usaha bank wajib memberikan informasi yang transparan dan tidak

menyesatkan mengenai tingkat kesehatan keuangan bank kepada masyarakat, terutama

kepada para nasabah dan calon nasabah, supaya mereka dapat memilih dan

mempertimbangkan kondisi suatu bank. Sebelum memutuskan untuk berperan serta

dalam kegiatan ekonomi tersebut. Informasi yang demikian ini sangat diperlukan

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Page 4: HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK - infodiknas.cominfodiknas.com/.../04/Hak-Informasi-atas-Kesehatan-Bank-Abdul-Rokhim.pdf · Penilaian Terhadap Kesehatan Bank Seorang nasabah harus

4

untuk memberikan perlindungan preventif kepada masyarakat yang ingin menyimpan

dana mereka kepada suatu bank. Keberadaan hak informasi atas kesehatan bank juga

sekaligus merupakan sarana kontrol bagi masyarakat untuk mencegah terjadinya

praktik-praktik perbankan yang merugikan kepentingan masyarakat luas.

B. Rumusan Masalah

Persoalan hukum yang dianalisis dalam penelitian ini adalah bagaimana

pengaturan mengenai hak nasabah bank untuk memperoleh informasi menurut UU

Perbankan?

Kajian terhadap persoalan ini sangat berguna bagi masyarakat luas, khususnya

bagi nasabah bank, sebagai salah satu langkah antisipatif dan preventif sebelum

mereka memutuskan untuk memilih suatu bank yang sehat, layak dan aman sebagai

mitra kerja dalam meningkatkan dan memperlancar kegiatan ekonomi masyarakat di

bidang penyimpanan dan penyaluran dana.

C. Pembahasan

1. Hak Informasi

Di Indonesia, pembahasan mengenai informasi kepada nasabah pernah menjadi

perdebatan yang serius pada saat pembahasan Rancangan Undang-undang Perbankan

(RUU Perbankan),2 khususnya tentang pengawasan dan pembinaan terhadap perbankan

sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (5) RUU Perbankan, yang menegaskan: “Bank

wajib memberi keterangan kepada nasabahnya mengenai transaksi yang mengandung

resiko kerugian bagi nasabahnya yang dilaksanakan melalui bank”.

Kalangan perbankan menolak ketentuan Pasal 25 ayat (5) RUU Perbankan

tersebut, karena ketentuan itu dianggap membahayakan pihak bank, sebagaimana yang

diutarakan oleh Rasjim Wiraatmadja sebagai berikut:

Ayat ini dinilai terlalu berbahaya bagi perbankan. Arti kata “transaksi yang

mengandung resiko kerugian bagi nasabahanya” dalam ayat tersebut sangat luas

sekali, sehingga nantinya akan menimbulkan berbagai penafsiran yang

memusingkan bank. Bisa saja bank digugat dan dituntut ganti rugi kerugian oleh

nasabahnya karena ia anggap bank yang bersangkutan belum/tidak memenuhi

kewajibannya memberi keterangan mengenai transaksi yang ia laksanakan

melalui bank yang bersangkutan yang mengakibatkan kerugian baginya. Oleh

sebab itu, saya sarankan sebaiknya ketentuan Pasal 25 ayat (5) dihapus saja.3

Ketentuan pasal 25 ayat (5) RUU Perbankan tersebut benar-benar telah berhasil

“dimentahkan” oleh kalangan perbankan dengan alasan bahwa perlindungan nasabah

dalam RUU itu dipandang berlebihan. Menurut mereka, ketentuan yang mewajibkan

kepada bank untuk “memberikan” informasi atau keterangan tersebut dinilai sangat

berat, sehingga dikhawatirkan tidak ada orang yang akan sanggup menjadi bankir. Oleh

karena itu, pada akhirnya ketentuan itu diubah seperti tersebut dalam Pasal 29 ayat (4)

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan terhadap Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disingkat: UU Perbankan), yang

menyatakan: “Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi

mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi

nasabah yang dilakukan melalui bank”.

2 RUU Perbankan yang dibuat sebelum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 3 Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah terhadap Produk Tabungan dan

Deposito, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. h. 43.

Page 5: HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK - infodiknas.cominfodiknas.com/.../04/Hak-Informasi-atas-Kesehatan-Bank-Abdul-Rokhim.pdf · Penilaian Terhadap Kesehatan Bank Seorang nasabah harus

5

Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan, itu berarti tidak ada

kewajiban bagi bank untuk “memberikan” informasi atau keterangan kepada nasabah

mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian terkait transaksi yang dilakukannya

kepada bank. Menurut pasal ini, bank hanya diwajibkan “menyediakan” informasi

tersebut untuk kepentingan nasabah. Jadi, menurut ketentuan ini bank tidak wajib

memberikan informasi kepada nasabah, bank hanya menyediakan informasi itu untuk

kepentingan nasabah.

Bagi bank sebenarnya ada atau tidaknya ketentuan tersebut tidak menutup

peluang untuk “bermain-main” dengan nasabah. Karena, sudah merupakan rahasia

umum bahwa bank sering melakukan rekayasa akutansi atau yang dikenal dengan

“window dressing”. Kalau hal ini dilakukan oleh bank, maka apapun yang dilaporkan

bank kepada nasabahnya tidak akan membuat “borok” mereka atas kesehatan bank

ketahuan, setidaknya bagi masyarakat awam mengenai neraca keuangan bank itu saja

sulit untuk mengetahui atau mengaksesnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan

jika kemudian masyarakat (nasabah) menjadi korban atas ketertutupan informasi

mengenai kesehatan bank, baik disebabkan oleh keawamannya membaca laporan

keuangan maupun karena informasi yang diberikan bisa jadi malah menyesatkan.

Nasabah pun tak bisa berbuat apa-apa ketika bank mengalami collapse dan uang

mereka sulit diselamatkan, karena ketidaktahuan nasabah mengenai kesehatan

keuangan bank. Tragisnya, meski bank akhirnya dilikuidasi, kita tak pernah

mendengar informasi dari Bank Indonesia selaku lembaga pengawas eksternal

perbankan secara nasional, yang sejak tahun 2011 menjadi kewenangan Otoritas Jasa

Keuangan (OJK), itu melakukan black list terhadap seorang bankir yang nyata-nyata

telah menelantarkan dana milik nasabah.4

Mengacu pada ketentuan Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan, untuk kepentingan

nasabah informasi itu “wajib disediakan” oleh bank. Informasi yang wajib disediakan

itu pun hanya sempit dan sangat terbatas ruang lingkupnya. Menurut penjelasan pasal

tersebut, informasi yang disediakan adalah informasi mengenai tingkat resiko dari

kegiatan yang menjadi sasaran penggunaan atau penempatan dana. Apabila informasi

telah disediakan, maka bank dianggap telah “memenuhi” kewajiban yang diatur dalam

UU Perbankan. Informasi tersebut perlu diberikan oleh bank dalam hal bank bertindak

sebagai perantara dalam melakukan penempatan dana dari nasabah atau

membeli/menjual surat berharga untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya.

Apabila kita mengacu kepada penjelasan pasal tersebut maka teramat sempitlah

kewajiban bagi bank untuk memberikan informasi kepada nasabahnya. Karena

informasi itu hanya untuk pelayanan bank yang bertindak sebagai “perantara” dalam

melakukan penempatan dana dari nasabah, atau untuk membeli/menjual surat berharga

untuk kepentingan dan atas perintahnya saja. Keadaaan yang demikian ini kurang

memberikan penghargaan yang proporsional kepada nasabah sebagai pihak konsumen

jasa perbankan yang telah memberikan kepercayaan kepada bank yang bersangkutan.

Seharusnya bank berkewajiban memberikan informasi yang lengkap mengenai seluruh

jasa yang diberikan oleh bank terhadap nasabah yang menggunakan jasa tersebut, tidak

terbatas hanya memberikan informasi manakala bank bertindak selaku perantara saja.

Informasi sangat dibutuhkan dan memang merupakan hak nasabah, karena itu

sewajarnya bank memberikannya, kecuali yang berkenaan dengan rahasia bank. Dalam

hal ini, cukuplah bank memberikan informasi yang bisa (mudah) dipahami oleh

4 Suara Merdeka. 24 November 1992, h. 4.

Page 6: HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK - infodiknas.cominfodiknas.com/.../04/Hak-Informasi-atas-Kesehatan-Bank-Abdul-Rokhim.pdf · Penilaian Terhadap Kesehatan Bank Seorang nasabah harus

6

nasabah sesuai dengan kemampuan intelektual nasabah tersebut, tidak perlu bersifat

teknis perbankan yang justru akan sulit dipahami.5

Hak atas informasi ini sangat diperlukan untuk mengimbangi hak yang dimiliki

oleh bank dalam melakukan analisis kredit yang mendetail terhadap bonafiditas calon

debitur dan mengharuskan mereka untuk menyediakan jaminan atas pinjaman yang

diminta. Sebaliknya, kalau masyarakat menyimpan dana di bank yang dipercayainya,

bank sama sekali tidak memberikan jaminan atas uang nasabah tersebut, misalnya

dalam bentuk asuransi deposito.6

Karena itulah wajar apabila nasabah atau masyarakat (calon) nasabah menuntut

adanya keterbukaan informasi mengenai kesehatan suatu bank dengan tujuan untuk

mencegah agar dana mereka tidak disalahgunakan oleh pihak pengelola perbankan

yang tidak fair dan tidak berhati-hati. Prinsip kehati-hatian (prudencial principle) di

dalam perbankan bertujuan agar bank dalam menjalankan atau mengelola usahanya

dalam keadaan sehat dan tidak bertindak ceroboh yang pada akhirnya merugikan para

nasabah penyimpan dana7 dan para kreditur bank lainnya.

2. Penilaian Terhadap Kesehatan Bank

Seorang nasabah harus cerdas memilih bank dalam menyimpan dananya.

Idealnya, sebelumnya menempatkan dananya di bank, nasabah perlu terlebih dahulu

mengetahui apakah bank tersebut sehat atau tidak. Meski dalam realitas tidak mudah

untuk mengetahui hal itu. Pentingnya kesehatan bank tidak hanya untuk kepentingan

nasabah, tetapi juga untuk kepentingan bank sebagai lembaga keuangan.8

Pentingnya lembaga keuangan, khususnya perbankan, dalam pencipataan sistem

keuangan yang sehat, menurut Anwar Nasution, mempunyai beberapa alasan, antara

lain:9

a. Keunikan karakteristik perbankan yang rentan terhadap serbuan masyarakat

yang menarik dana secara besar-besaran (bank runs) sehingga berpotensi

merugikan deposan dan kreditur bank;

b. Penyebaran kerugian di antara bank-bank sangat cepat melalui contagion

effect sehingga berpotensi menimbulkan sistem problem;

c. Proses penyelesaian bank-bank bermasalah membutuhkan dana dalam

jumlah yang tidak sedikit;

d. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sebagai lembaga

intermediasi akan menimbulkan tekanan-tekanan dalam sektor keuangan

(finacial distress); dan

e. Ketidakstabilan sektor keuangan akan berdampak pada kondisi

makroekonomi, khususnya dikaitkan dengan tidak efektifnya transmisi

kebijakan moneter.

5 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. 1993. h.

33. 6 Jawa Pos, 25 Agustus 1998. h. 1-2.

7 Sutan Remy Sjahdeini, Sudah Memadaikah Perlindungan Yang Diberikan Oleh Hukum

Kepada Nasabah Penyimpan Dana? Orasi Ilmiah dalam rangka Dies Natalis XL/Lustrum VIII,

Surabaya, 10 November 1994, h. 14. 8 Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan: Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2012, h. 41.

9 Anwar Nasution, “Beberapa masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia”, Makalah

dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh BPHN – Departemen

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Page 7: HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK - infodiknas.cominfodiknas.com/.../04/Hak-Informasi-atas-Kesehatan-Bank-Abdul-Rokhim.pdf · Penilaian Terhadap Kesehatan Bank Seorang nasabah harus

7

Untuk menilai apakah bank itu sehat atau tidak, ada 3 (tiga) faktor yang harus

diperhatikan, yaitu:10

a. Keadaan keuangan bank, meliputi likuiditas, rentabilitas, dan solvabilitas;

b. Kualitas aktiva produktif, yakni kekayaan bank berupa penanaman dalam

berbagai aktiva yang diharapkan dapat memberi penghasilan pada bank;

c. Tata kerja kepatuhan bank terhadap peraturan perundang-undangan,

terutama yang berkaitan dengan bidang perpajakan.

Penilaian tingkat kesehatan bank di Indonesia sampai saat ini secara garis besar

didasarkan pada faktor CAMEL (Capital, Assets Quality, Management, Earning dan

Liquidity). Seiring dengan penerapan risk based supervision, penilaian tingkat

kesehatan juga memerlukan penyempurnaan sistem penilaian yang memperhitungkan

sensitivity to market risk atau risiko pasar. Dengan demikian faktor-faktor yang

diperhitungkan dalam system baru ini adalah didasarkan lima faktor CAMEL. Kelima

faktor tersebut merupakan faktor yang menentukan kondisi suatu bank. Apabila suatu

bank mengalami permasalahan pada salah satu faktor tersebut, apalagi menyangkut

lebih dari satu faktor, maka bank tersebut akan mengalami kesulitan.11

Suatu bank yang mengalami masalah likuiditas (meskipun bank tersebut

modalnya cukup, selalu untung, dikelola dengan baik, kualitas aktiva produktifnya

baik), apabila permasalahan tersebut tidak segera dapat diatasi maka bank tersebut akan

menjadi tidak sehat. Pada waktu terjadi krisis perbankan di Indonesia pada tahun

1997-1998 sebetulnya tidak semua bank dalam kondisi tidak sehat, tetapi karena terjadi

rush (pengambilan dana oleh para nasabah secara besar-besaran dalam waktu hampir

bersamaan) maka bank mengalami kesulitan likuiditas, akibatnya sejumlah bank yang

sebenarnya sehat menjadi tidak sehat.

Persoalannya adalah menurut ketentuan undang-undang siapa atau lembaga apa

yang memiliki otoritas untuk menilai kesehatan bank? Di Indonesia, ketentuan

mengenai kesehatan bank, antara lain diatur dalam Pasal 29 ayat (1), (2), (3), Pasal 30,

Pasal 31, dan Pasal 31A UU Perbankan:

Menurut Pasal 29 UU Perbankan:

(1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia.

(2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan

modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan

aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan

usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. (3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan

melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak

merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada

bank.

Berdasarkan ketentuan pasal 29 ayat (1) UU Perbankan, sebagaimana tersebut di

atas maka lembaga yang berwenang menilai apakah suatu bank sehat atau tidak adalah

Bank Indonesia selaku bank sentral. Namun, sejak dibentuknya Otoritas jasa Keuangan

(OJK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan

10

Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Cet. III, Grafiti, Jakarta, 2003, h.

98 11

Hernawa Rachmanto, “Analisis Tingkat Kesehatan Bank Syariah dengan Menggunakan

Metode Camel”, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2006, Lihat:

http://julmian-syah.blogspot.co.id/2012/04/kesehatan-bank-metode-camel.html

Page 8: HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK - infodiknas.cominfodiknas.com/.../04/Hak-Informasi-atas-Kesehatan-Bank-Abdul-Rokhim.pdf · Penilaian Terhadap Kesehatan Bank Seorang nasabah harus

8

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253), maka kewenangan untuk menilai

kesehatan bank sudah bukan merupakan kewenangan Bank Indonesia, tetapi berubah

menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan.

OJK adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 21 Tahun

2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang

terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK adalah

lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai

fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan.

OJK didirikan untuk menggantikan peran Bapepam-LK dalam pengaturan dan

pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan, serta menggantikan peran Bank

Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan bank, serta untuk melindungi konsumen

industri jasa keuangan.

OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa

keuangan: (1) terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; (2) mampu

mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan (3)

mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Salah satu wewenang OJK

adalah menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan. Dengan

demikian, Bank Indonesia tidak lagi berwenang untuk menerbitkan peraturan dan

melakukan penilaian tentang atau yang terkait dengan kesehatan bank.

Ruang lingkup pengawasan mengenai kesehatan bank yang diatur oleh OJK

tidak jauh berbeda dengan pengaturan pengawasan yang dibuat oleh Bank Indonesia,

meliputi aspek likuiditas (kemampuan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek),

rentabilitas (kemampuan menghasilkan laba), solvabilitas (kemampuan untuk melunasi

seluruh utang dengan menggunakan seluruh aset yang dimiliki), kualitas aset, rasio

kecukupan modal, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap

simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan

kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing) dan standar

akuntansi publik.

Dalam rangka untuk melakukan pengawasan terhadap kesehatan bank yang

selama ini menjadi kewenangan Bank Indonesia untuk melakukan pembinaan dan

pengawasan, OJK mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik

Indonesia Nomor 4 /POJK.03/2016 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.

Menurut Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 4/POJK.03/2016, Bank

wajib melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara individu dengan

menggunakan pendekatan risiko (Risk-based Bank Rating) sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (3), dengan cakupan penilaian terhadap faktor-faktor: a. profil

risiko (risk profile); b. Good Corporate Governance (GCG); c. rentabilitas (earnings);

dan d. permodalan (capital).

Penilaian terhadap faktor profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

huruf a merupakan penilaian terhadap risiko inheren dan kualitas penerapan

manajemen risiko dalam operasional Bank yang wajib dilakukan terhadap 8 (delapan)

risiko, yaitu: a. risiko kredit; b. risiko pasar; c. risiko likuiditas; d. risiko operasional; e.

risiko hukum; f. risiko stratejik; g. risiko kepatuhan; dan h. risiko reputasi.

Selanjutnya, terkait sistem penilaian atas kesehatan bank, Pasal 3 Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan No. 4/POJK.03/2016 menentukan:

(1) Bank wajib melakukan penilaian sendiri (self-assessment) atas Tingkat Kesehatan

Bank sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3).

Page 9: HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK - infodiknas.cominfodiknas.com/.../04/Hak-Informasi-atas-Kesehatan-Bank-Abdul-Rokhim.pdf · Penilaian Terhadap Kesehatan Bank Seorang nasabah harus

9

(2) Penilaian sendiri (self-assessment) Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) wajib dilakukan paling sedikit setiap semester untuk posisi akhir

bulan Juni dan akhir bulan Desember.

(3) Bank wajib melakukan pengkinian penilaian sendiri (self-assessment) Tingkat

Kesehatan Bank sewaktu-waktu apabila diperlukan.

(4) Hasil penilaian sendiri (self-assessment) Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang telah mendapat persetujuan dari Direksi

wajib disampaikan kepada Dewan Komisaris.

(5) Bank wajib menyampaikan hasil penilaian sendiri (self-assessment) Tingkat

Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Otoritas Jasa

Keuangan.

Berdasarkan ketentuan pasal 3 Peraturan OJK tersebut diatas, OJK hanya

mengatur mengenai kewajiban bank untuk menyampaikan hasil self-assessment

mengenai tingkat kesehatan bank kepada OJK, tetapi sama sekali tidak mengatur

mengenai kewajiban bagi OJK untuk mengumumkan kepada publik mengenai hasil

penilaian atas kesehatan bank. Selanjutnya, peraturan OJK itu juga tidak mengatur

mengenai kewajiban bank untuk memberikan informasi mengenai kesehatan bank yang

bersangkutan kepada nasabahnya. Yang diatur hanyalah kewajiban bank untuk

menyampaikan hasil penilaian sendiri atas tingkat kesehatan banknya kepada OJK

selaku lembaga penilai tingkat kesehatan bank.

Ketentuan mengenai kewajiban bank untuk memberikan informasi atau

keterangan atau penjelasan mengenai usahanya kepada Bank Indonesia selaku

pengawas bank terkait kesehatan bank sebelum digantikan oleh OJK, diatur pada Pasal

30 UU Perbankan, yang menentukan:

(1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia, segala keterangan, dan

penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank

Indonesia. (2) Bank atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi

pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib

memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari

segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang

bersangkutan. (3) Keterangan tentang bank yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diumumkan dan bersifat rahasia. Di samping berdasarkan ketentuan UU Perbankan tersebut di atas, dalam rangka

menjaga dan memberikan jaminan kepada masyarakat, khususnya nasabah kreditur,

mengenai kesehatan bank, Pasal 31 UU Perbankan menentukan bahwa: “Bank

Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala maupun setiap

waktu apabila diperlukan”. Untuk itu, menurut Pasal 31A UU Perbankan: “Bank

Indonesia dapat menugaskan Akuntan Publik untuk dan atas nama Bank Indonesia

melaksanakan pemeriksaan terhadap bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31”. Dalam penjelasan Pasal 29 ayat (1), (2), (3) dan (4) dikemukakan bahwa

mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada

bank atas dasar kepercayaan, maka setiap bank perlu menjaga kesehatannya dan

memelihara kepercayaan masyarakat padanya. Sejalan dengan itu, Bank Indonesia

diberi wewenang dan kewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan

terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya, baik yang bersifat preventif dalam

bentuk ketentuan-ketentuan, petunjuk, nasehat, bimbingan dan pengarahan maupun

Page 10: HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK - infodiknas.cominfodiknas.com/.../04/Hak-Informasi-atas-Kesehatan-Bank-Abdul-Rokhim.pdf · Penilaian Terhadap Kesehatan Bank Seorang nasabah harus

10

secara represif dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan

perbaikan.

Pengawasan bank merupakan suatu proses pemeriksaan dan monitoring untuk

menjamin pelaksanaan aturan mengenai pasar serta aturan prudencial industri

perbankan untuk memelihara kesehatan usahanya. Pemeriksaan itu dapat bersifat

administratif, yakni untuk sekedar memenuhi aturan formal. Sementara di lain pihak,

pemeriksaan juga bersifat antisipatif, yakni menganalisis kemungkinan kejadian di

masa depan, berdasarkan fakta yang tersedia hingga masa kini.

Pengawasan bank dapat dibedakan antara pengawasan internal dan eksternal.

Pengawasan internal dilakukan oleh: (a) pemilik bank, (b) pemimpin usaha bank, dan

(c) deposan. Pemiliki memiliki kepentingan untuk mencegah terjadinya erosi modal

investasi dan mengupayakan agar modal investasi tersebut memberikan balas jasa yang

sebesar-besarnya. Untuk mencegah deposito mereka, deposan menuntut kebenaran

dalam laporan keuangan bank. Sedang, pengawasan eksternal dilakukan oleh Bank

Indonesia sebagai bank sentral.

Selama ini, dalam persaingan yang semakin ketat telah merangsang bank untuk

melakukan ekspansi kegiatan yang seringkali mengandung resiko tinggi tanpa

mengindahkan asas kehati-hatian (prudencial principle) maupun kemungkinan

dampaknya terhadap kesehatan bank itu sendiri. Ekspansi kegiatan perbankan yang

sangat menonjol, setelah deregulasi perbankan (Paket Oktober/Pakto 1998), adalah

terutama pada ekspansi kredit dan transaksi dalam bentuk devisa. Margin trading

valutas asing telah menyebabkan krisis bank Duta tahun 1990, sehingga perlu

mendapatkan suntikan dana sekitar US$ 700 juta dari simpatisan pemiliknya, karena

dewasa ini bank-bank dilarang melakukan sendiri maupun menjalani kegiatan

transaksi surat-surat berharga,12

maka bank-bank nasional tidak melakukan margin

trading sekuritas. Kasus yang ada, seperti yang pernah dialami oleh Bank Pacifik,

Bank Yama dan Bank Artha Prima, adalah “endorsmen” commercial papers dalam

jumlah yang jauh lebih besar dari pada nilai modal serta aktiva bank.

Berbagai kasus yang menggambarkan adanya kelemahan pengawasan internal,

seperti kasus Bank Summa dan Bapindo, terutama disebabkan oleh lemahnya: a.

seleksi nasabah kredit; b. administrasi agunan kredit; c. pengawasan penggunaan kredit;

dan d. penagihan kembali kredit yang pernah dikucurkan. Kelemahan internal itu

mencerminkan bahwa tidak dipatuhinya “alat pengaman” berupa the four Cs, yaitu:

capital, character, collateral, dan capacity, dalam praktek perbankan sehari-harinya.

Ironisnya, dalam pemberian suatu kredit, terkadang mereka lebih percaya terhadap

“katabelece” seorang pejabat dari pada pengaman yang umumnya sudah diatur dalam

perundang-undangan. Akibatnya, banyak bank, khususnya bank pemerintah yang

kesehatannya terganggu, hanya karena banyaknya kredit macet (non performing loan)

atau kredit bermasalah.

Sebagai bank sentral, Bank Indonesia bertanggung jawab untuk membantu

bank-bank bermasalah. Namun demikian, seperti halnya dengan informasi tentang

bank itu sendiri, tidak ada informasi yang rinci mengenai apa yang telah diperbuat oleh

Bank Indonesia dalam rangka pembinaan tersebut. Laporan statistik mingguan maupun

bulanan Bank Indonesia, misalnya, tidak memuat langkah pembinaan itu secara khusus.

Sementara itu, laporan tahunan Bank Indonesia hanya menyinggungnya secara samar

dan justru bersifat disinformatif dan menyesatkan.13

12

Penjelasan Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan 13

Newsletter, No. 30/VIII/September/1997, h. 22-24.

Page 11: HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK - infodiknas.cominfodiknas.com/.../04/Hak-Informasi-atas-Kesehatan-Bank-Abdul-Rokhim.pdf · Penilaian Terhadap Kesehatan Bank Seorang nasabah harus

11

Di beberapa negara maju, kebutuhan informasi tentang kemampuan atau

kesehatan suatu bank sudah bisa dipenuhi oleh semacam lembaga penilai risiko

(Rating Agencies). Di negara-negara yang menganut keterbukaan informasi, bank-bank

yang bertaraf internasional sudah terbuka untuk dinilai oleh berbagai lembaga penilai

resiko dari berbagai negara. Hal ini merupakan suatu praktek perbankan global yang

juga menjadi tantangan dunia perbankan di Indonesia. Penilaian lembaga rating ini

meliputi kemampuan suatu bank untuk membayar utang berjangkanya, sesuai dengan

jadwal waktu yang sudah ditentukan dalam perjanjian. Perangkingan terhadap lembaga

bank yang dikaitkan dengan tingkat kesehatan bank secara teknis bisa dipaparkan

dalam bentuk huruf ataupun angka-angka sesuai dengan kebutuhan.

Saat ini di Indonesia, penilaian peringkat (rating) kesehatan bank umum diatur

dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan RI No. 4/POJK.03/2016, khususnya pasal 9,

yang menentukan bahwa:

(1) Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank ditetapkan berdasarkan analisis

secara komprehensif dan terstruktur terhadap peringkat setiap faktor sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan

memperhatikan materialitas dan signifikansi masing-masing faktor.

(2) Peringkat Komposit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan:

a. Peringkat Komposit 1 (PK-1);

b. Peringkat Komposit 2 (PK-2);

c. Peringkat Komposit 3 (PK-3);

d. Peringkat Komposit 4 (PK-4); dan

e. Peringkat Komposit 5 (PK-5).

(3) Peringkat Komposit 1 (PK-1) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a

mencerminkan kondisi Bank yang secara umum sangat sehat sehingga dinilai

sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan

kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya.

(4) Peringkat Komposit 2 (PK-2) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b

mencerminkan kondisi Bank yang secara umum sehat sehingga dinilai mampu

menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan

faktor eksternal lainnya.

(5) Peringkat Komposit 3 (PK-3) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c

mencerminkan kondisi Bank yang secara umum cukup sehat sehingga dinilai

cukup mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan

kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya.

(6) Peringkat Komposit 4 (PK-4) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d

mencerminkan kondisi Bank yang secara umum kurang sehat sehingga dinilai

kurang mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan

kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya.

(7) Peringkat Komposit 5 (PK-5) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e

mencerminkan kondisi Bank yang secara umum tidak sehat sehingga dinilai tidak

mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi

bisnis dan faktor eksternal lainnya.

Informasi mengenai rating atau peringkat komposit suatu bank akan sangat

membantu pemakai jasa perbankan (nasabah) dan bank itu sendiri dalam menentukan

suku bunga dari suatu bank. Semakin rendah rating suatu bank, suku bunga yang harus

dibayar akan semakin tinggi. Sebab, jika tidak demikian maka jasa perbankan yang

ditawarkan tidak akan laku. Akan tetapi, jika tingkat suku bunganya semakin tinggi,

Page 12: HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK - infodiknas.cominfodiknas.com/.../04/Hak-Informasi-atas-Kesehatan-Bank-Abdul-Rokhim.pdf · Penilaian Terhadap Kesehatan Bank Seorang nasabah harus

12

maka risiko akan terjadinya kerugian yang mungkin dialami oleh suatu bank juga akan

semakin tinggi. Dengan kata lain, suatu bank yang sehat biasanya memasang suku

bunga yang relatif rendah. Dengan adanya informasi mengenai kesehatan bank, tentu

diharapkan nasabah akan bisa menerima kenyataan yang ada apabila terjadi sesuatu

pada diri bank yang bersangkutan, karena sejak semula nasabah sudah mengetahui dan

telah mempertimbangkannya.

Di Indonesia, Bank Indonesia menerbitkan peraturan mengenai penilaian

terhadap kesehatan bank yang saat ini sudah diubah melalui Peraturan Ojk,

perangkingan bank secara samar-samar sebenarnya mulai ada. Munculnya istilah

“bank papan atas” dan “bank papan bawah”, sebenarnya menunjukkan bahwa upaya ke

arah perangkingan suatu bank sudah mulai ada atau mulai dilakukan. Bahkan, di

kalangan perbankan sendiri juga mengharapkan bahwa masing-masing bank akan

mengumumkan suku bunga sesuai dengan rating-nya.14

Upaya yang lebih konkrit

tampaknya sudah harus segera diwujdukan, mengingat kebutuhan akan informasi itu

sudah sangat mendesak.

Sebagaimana diketahui bahwa melalui Paket Kebijakan Februari 1991 atau

dikenal dengan sebutan “Paktri 91”, pemerintah telah menetapkan beberapa syarat

yang harus dipenuhi oleh bank untuk dapat diukur tingkat kesehatannya, termasuk di

dalamnya mengenai rasio kecukupan modal atau Capital Adequancy Ratio (CAR) dan

Loan to Deposits Ratio (LDR). CAR adalah perbandingan antara modal yang tersedia

dan hutang yang diberikan, sedang LDR adalah perbandingan antara jumlah dana

simpanan para nasabah yang berhasil dikerahkan oleh bank. Tujuan ditetapkannya

CAR dan LDR adalah agar bank di dalam memberikan pinjaman terhadap terhadap

nasabah debitur harus dibatasi, karena hal ini dikhawatirkan akan mendatangkan resiko

terhadap bank maupun nasabah penyimpan dana (nasabah kreditur). dengan nilai dan

bobotnya masing-masing pemenuhan persyaratan itu akan diukur oleh pemerintah

sejauh mana tingkat kesehatan bank yang bersangkutan.

Persoalannya adalah dapatkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan

informasi mengenai tingkat kesehatan suatu bank kepada masyarakat, khususnya

kepada nasabah?

Dalam hal ini, OJK terkendala oleh ketentuan dalam UU Perbankan yang

mengatur mengenai rahasia bank. Pemerintah, termasuk dalam hal ini OJK menurut

Pasal 30 ayat (3) UU Perbankan, dengan alasan apapun tidak dapat mengungkapkan

atau mengumumkan kepada masyarakat mengenai segala keterangan, dokumen, dan

penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan kepada Bank Indonesia

mengenai usahanya sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) dan (2),

karena hal itu bersifat rahasia.

Pertimbangannya adalah meskipun penilaian itu sendiri belum tentu

mencerminkan keadaan sesungguhnya mengenai kondisi bank, diumumkannya secara

terbuka mengenai tingkat kesehatan bank tidak bisa diingkari akan mempengaruhi

prestise dan citra bank, serta image masyarakat terhadap bank yang bersangkutan.

Apabila pemberian peringkat terhadap tingkat kesehatan suatu bank oleh OJK

tidak diumumkan secara terbuka, maka sebagai gantinya perlu ada sebuah lembaga

penilai swasta independen terhadap kesehatan bank. Dalam hal ini, yang harus

diperhatikan adalah: pertama, kriterianya harus diketahui secara terbuka, dan kedua,

kriteria tersebut harus diukur secara kuantitatif berdasarkan cara perhitungan yang

14

Suara Merdeka, 21 Januari 1992, h. 4.

Page 13: HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK - infodiknas.cominfodiknas.com/.../04/Hak-Informasi-atas-Kesehatan-Bank-Abdul-Rokhim.pdf · Penilaian Terhadap Kesehatan Bank Seorang nasabah harus

13

sama dan tidak mengandung unsur-unsur subyektif. Misalnya, penilaian menyangkut

Return on Asset (ROA), Return on Investment (ROI), LDR, dan sebagainya.

Idealnya, penilaian peringkat seperti ini lebih tepat dilakukan terhadap

bank-bank go public yang telah menjual sahamnya di pasar modal, kendati tidak

tertutup kemungkinan hal itu juga diterapkan terhadap bank yang belum go public.

Sebab, sebagai perusahaan publik, adalah hak seluruh masyarakat untuk mengetahui

mengenai posisi dan kondisi keuangan perusahaan yang bergerak di sektor perbankan.

Harus diakui cara ini tidak menutup peluang terjadinya konfik kepentingan (conflic of

interest) antara lembaga penilai dengan pihak yang dinilai. Namun, paling tidak

dengan penilaian ini dapat memberikan referensi (acuan) bagi masyarakat untuk tidak

sama sekali sprekulatif dalam menempatkan uangnya.

Tentunya, semakin banyak credit rating yang tersedia, maka semakin banyak

memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam menentukan dimana sebaiknya

mereka menyimpan uangnya. Sebab, selama ini dalam praktik perbankan di Indonesia

posisi nasabah dalam menyimpan uangnya di bank sama halnya dengan “membeli

seekor kucing dalam karung”, mereka sama sekali buta (blind), tidak mengetahui

mengenai kesehatan suatu bank, mereka biasanya hanya tertarik kepada bank karena

informasi mengenai tingkat suatu suku bunga yang ditawarkan atau karena adanya

berbagai “iming-iming” hadiah yang menggiurkan mereka.

Mestinya, dalam sistem perbankan nasional yang menganut asas demokrasi

ekonomi sebagaimana disebutkan pada pasal 2 UU Perbankan, masyarakat (khususnya

nasabah) mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang transparan atas kesehatan

bank dimana mereka menempatkan dananya. Hak untuk memperoleh informasi atas

kesehatan bank itu nyatanya terdistorsi atau bahkan terhalangi oleh ketentuan

mengenai rahasia bank. Jadi, apalah artinya masyarakat (khususnya nasabah)

berdasarkan UU Perbankan diberikan hak informasi atas kesehatan bank, kalau

ternyata berdasarkan UU Perbankan yang sama hak itu sulit diakses atau diperoleh

dengan dalih atau demi kerahasiaan bank? Itu sama artinya dengan adagium dalam

bahasa Arab “wujuduhu kaadamihi” (adanya sama dengan tidak adanya)!

D. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai hak

informasi atas kesehatan bank sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU

Perbankan sangat tidak memadai dan tidak sejalan dengan penerapan asas demokrasi

ekonomi yang dianut oleh sistem perbankan berdasarkan pasal 2 UU Perbankan,

khususnya dilihat dari kepentingan nasabah.

Pengaturan mengenai kewajiban bank dalam menyediakan informasi dan bukan

memberikan informasi, di samping tidak tegas juga sangat sempit materinya. Karena,

pertama, informasi itu diberikan hanya untuk pelayanan bank yang bertindak sebagai

perantara dalam melakukan penempatan dana dari nasabah atau untuk membeli/

menjual surat berharga untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya saja.

Seharusnya bank berkewajiban memberikan informasi yang lengkap mengenai seluruh

jasa yang diberikan oleh bank terhadap nasabah yang menggunakan jasa tersebut.

Kedua, nasabah bank tidak berhak untuk mendapatkan informasi mengenai kesehatan

bank, karena hal ini menyangkut rahasia bank yang tidak boleh diumumkan kepada

masyarakat (Pasal 30 ayat (3) UU Perbankan). Larangan untuk mempublikasikan

keterangan mengenai kesehatan bank ini tidak sesuai dengan norma-norma perbankan

internasional dalam rangka melindungi nasabah bank secara preventif.

Page 14: HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK - infodiknas.cominfodiknas.com/.../04/Hak-Informasi-atas-Kesehatan-Bank-Abdul-Rokhim.pdf · Penilaian Terhadap Kesehatan Bank Seorang nasabah harus

14

E. Rekomendasi

Perlindungan hukum secara preventif kepada masyarakat, terutama nasabah

bank, melalui instrumen hukum yang antisipatif kiranya lebih baik daripada

perlindungan hukum secara represif setelah banknya dinyatakan tidak sehat, bankrut,

dan dilikuidasi. Oleh karena itu, perlu dilakuan perubahan atau revisi terhadap UU

Perbankan dan UU OJK, khususnya menyangkut pengaturan mengenai kesehatan bank,

pengawasan terhadap bank, perlindungan terhadap nasabah dan kreditur lainnya, serta

yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai hak atas informasi bagi nasabah atas

kesehatan bank, untuk mencegah terjadinya kemungkinan permainan “pat gulipat”

dalam dunia perbankan.

Page 15: HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK - infodiknas.cominfodiknas.com/.../04/Hak-Informasi-atas-Kesehatan-Bank-Abdul-Rokhim.pdf · Penilaian Terhadap Kesehatan Bank Seorang nasabah harus

15

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Anwar Nasution, “Beberapa masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia”,

Makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang

diselenggarakan oleh BPHN – Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia

RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

1993

Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah terhadap Produk

Tabungan dan Deposito, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995

Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan: Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2012

Sutan Remy Sjahdeini, Sudah Memadaikah Perlindungan yang Diberikan oleh Hukum

kepada Nasabah Penyimpan Dana? Orasi Ilmiah dalam rangka Dies Natalis

XL/Lustrum VIII, Surabaya, 10 November 1994

Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Cet. III, Grafiti, Jakarta,

2003

Perundang-undangan:

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7

Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 4/POJK.03/2016 tentang Penilaian Tingkat

Kesehatan Bank Umum

Website:

Hernawa Rachmanto, “Analisis Tingkat Kesehatan Bank Syariah dengan

Menggunakan Metode Camel”, UII, Yogyakarta, 2006. Lihat:.

http://julmian-syah.blogspot.co.id/2012/04/kesehatan-bank-metode-camel.html

Majalah dan Harian:

Newsletter, No. 30/VIII/September/1997

Jawa Pos, 25 Agustus 1998

Suara Merdeka, 21 Januari 1992

Suara Merdeka. 24 November 1992