19
Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS) Ditinjau Berdasarkan Hukum Kesehatan Sarah Mega Ridho Sianturi dan Wahyu Andriyanto Program Sarjana Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Email: [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas mengenai penolakan pasien ODHA dalam mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Penolakan pasien ODHA ini disebabkan karena keterbatasan informasi dan pengetahuan tentang HIV- AIDS yang menyebabkan timbulnya rasa takut tertular virus HIV sehingga timbul sikap diskriminasi dan tidak rasional terhadap ODHA. Dalam penulisan skripsi ini, bentuk penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder. Permasalahan yang dibahas dalam skipsi ini adalah terkait perlindungan hukum bagi ODHA sebagai konsumen jasa pelayaan kesehatan, pengaturan standar pelayanan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan bagi ODHA, dan pertanggungjawaban rumah sakit atas penolakan terhadap ODHA dalam memberikan pelayanan kesehatan. Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya peraturan-peraturan yang menjamin hak-hak pasien ODHA untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, adanya peraturan mengenai standar pelayanan kesehatan rumah sakit bagi ODHA dan juga pertanggungjawaban hukum dapat dikenakan kepada rumah sakit apabila menolak pasien ODHA dalam memberikan pelayanan kesehatan dengan alasan yang tidak rasional. Pertanggungjawaban rumah sakit meliputi pertanggungjawaban hukum perdata, pertanggungjawaban hukum pidana, dan pertanggungjawaban hukum administrasi. Kata kunci: Pasien, ODHA, Pelayanan Kesehatan, Pertanggungjawaban, Rumah Sakit. Abstract This thesis discusses the rejection of patients living with HIV-AIDS (PLWHA) in getting health services in the hospital. The rejection of PLWHA is due to the limited information and knowledge about HIV-AIDS that causes fear of contracting HIV virus so that there is discrimination and irrational attitude toward PLWHA. In writing this thesis, the form of research used is juridical-normative study by using secondary data as the main data source. The problems discussed in this thesis are related to legal protection for PLWHA as consumers of health services, standard setting of hospital services in meeting the needs of health services for PLWHA, and the hospital's responsibility for the rejection of PLWHA in providing health services. The conclusion of this research is the existence of regulation which guarantee the rights of PLWHA to get health services, the regulation about hospital standard for PLWHA and also legal liability can be applied to hospital if reject PLWHA in giving health service with irrational reasons. Hospital liability includes civil liability, criminal liability, and administrative law liability. Keywords: Patient, PLWHA, Health Service, Legal Liability, Hospital. Pendahuluan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan permasalahan kesehatan global yang pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di Amerika Serikat. Penyakit AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang merusak sistem kekebalan dan pertahanan tubuh manusia. Infeksi virus ini mengakibatkan Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS) Ditinjau Berdasarkan Hukum Kesehatan

Sarah Mega Ridho Sianturi dan Wahyu Andriyanto

Program Sarjana Ilmu Hukum, Fakultas Hukum

Email: [email protected]

Abstrak

Skripsi ini membahas mengenai penolakan pasien ODHA dalam mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Penolakan pasien ODHA ini disebabkan karena keterbatasan informasi dan pengetahuan tentang HIV-AIDS yang menyebabkan timbulnya rasa takut tertular virus HIV sehingga timbul sikap diskriminasi dan tidak rasional terhadap ODHA. Dalam penulisan skripsi ini, bentuk penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder. Permasalahan yang dibahas dalam skipsi ini adalah terkait perlindungan hukum bagi ODHA sebagai konsumen jasa pelayaan kesehatan, pengaturan standar pelayanan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan bagi ODHA, dan pertanggungjawaban rumah sakit atas penolakan terhadap ODHA dalam memberikan pelayanan kesehatan. Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya peraturan-peraturan yang menjamin hak-hak pasien ODHA untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, adanya peraturan mengenai standar pelayanan kesehatan rumah sakit bagi ODHA dan juga pertanggungjawaban hukum dapat dikenakan kepada rumah sakit apabila menolak pasien ODHA dalam memberikan pelayanan kesehatan dengan alasan yang tidak rasional. Pertanggungjawaban rumah sakit meliputi pertanggungjawaban hukum perdata, pertanggungjawaban hukum pidana, dan pertanggungjawaban hukum administrasi.

Kata kunci: Pasien, ODHA, Pelayanan Kesehatan, Pertanggungjawaban, Rumah Sakit.

Abstract

This thesis discusses the rejection of patients living with HIV-AIDS (PLWHA) in getting health services in the hospital. The rejection of PLWHA is due to the limited information and knowledge about HIV-AIDS that causes fear of contracting HIV virus so that there is discrimination and irrational attitude toward PLWHA. In writing this thesis, the form of research used is juridical-normative study by using secondary data as the main data source. The problems discussed in this thesis are related to legal protection for PLWHA as consumers of health services, standard setting of hospital services in meeting the needs of health services for PLWHA, and the hospital's responsibility for the rejection of PLWHA in providing health services. The conclusion of this research is the existence of regulation which guarantee the rights of PLWHA to get health services, the regulation about hospital standard for PLWHA and also legal liability can be applied to hospital if reject PLWHA in giving health service with irrational reasons. Hospital liability includes civil liability, criminal liability, and administrative law liability.

Keywords: Patient, PLWHA, Health Service, Legal Liability, Hospital.

Pendahuluan

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan permasalahan kesehatan

global yang pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di Amerika Serikat. Penyakit AIDS

merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang

merusak sistem kekebalan dan pertahanan tubuh manusia. Infeksi virus ini mengakibatkan

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 2: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

terjadinya penurunan sistem kekebalan tubuh secara terus-menerus dimana mengakibatkan

kekebalan tubuh seseorang menurun atau hilang sehingga tidak dapat lagi menjalankan

fungsinya dalam memerangi infeksi dan penyakit-penyakit yang berakibat kematian. Penyakit

HIV-AIDS merupakan suatu masalah besar bagi kesehatan dan sangat berpengaruh pada

pertumbuhan sosio-ekonomi di negara-negara seluruh dunia, termasuk Indonesia.1 Kasus

HIV-AIDS di Indonesia pertama kali terjadi pada tahun 1987 di Bali, dimana ada seorang

wisatawan Belanda meninggal di RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat) Sanglah Denpasar akibat

penyakit ini. Sejak saat itu, kasus HIV-AIDS di Indonesia terus bertambah. Berdasarkan data

statistik Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia jumlah

kumulatif penderita HIV sampai Juni 2016 sebanyak 208.920 orang, sedangkan total

kumulatif kasus AIDS sebanyak 82.556 orang.2

Seseorang yang terinfeksi virus HIV atau menderita AIDS sering disebut dengan

ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS). Adapun beberapa masalah yang dialami ODHA baik

fisik maupun psikologis, antara lain depresi, penurunan berat badan, gangguan kulit,

kecemasan, kehilangan ingatan, perasaan takut, penurunan gairah kerja, penolakan bahkan

kecenderungan untuk bunuh diri. Selain itu, rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap

penyakit HIV-AIDS menambah buruk situasi yang dialami oleh ODHA, dimana

menyebabkan tekanan psikologis kepada ODHA akibat stigmatisasi yang diberikan oleh

masyarakat. Hal ini dikarenakan akan pengetahuan masyarakat bahwa penularan penyakit ini

sering diasosiasikan dengan seks dan penggunaan narkoba sehingga banyak orang yang

menjadi tidak peduli, tidak menerima, dan takut terhadap penyakit ini. Adanya stigmatisasi

juga menyebabkan diskriminasi terhadap ODHA. Diskriminasi terjadi ketika pandangan-

pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk memperlakukan ODHA secara tidak

adil, sehingga tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh akses sosial, seperti pendidikan,

fasilitas umum, pelayanan kesehatan dan sebagainya.

Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat

memuaskan setiap pemakai jasa layanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata

penduduk serta penyelenggaraan sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah

1 Direktorat Bina Gizi Masyarakat Dijen Bina Kesehatan Masyarakat, “Pedoman Pelayanan Gizi Bagi ODHA” http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/01/buku-odha-rev5.pdf, diakses 30 Desember 2016.

2 Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, “Situasi Penyakit HIV AIDS di Indonesia” http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin-Situasi-Penyakit-HIV-AIDS-di-Indonesia.pdf, diakses 14 Februari 2017.

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 3: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

ditetapkan.3 Namun yang terjadi pada praktiknya ialah rumah sakit kadangkala menolak calon

pasien ODHA dalam memberikan pelayanan kesehatan. Penolakan ini disebabkan karena

keterbatasan informasi dan pengetahuan tentang HIV-AIDS yang menyebabkan timbulnya

rasa takut tertular virus HIV sehingga timbul sikap diskriminasi dan tidak rasional terhadap

ODHA. Sehubungan dengan itu, stigma dan diskriminasi dapat dikatakan sebagai hambatan

yang paling besar dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia.

Sebagai contoh terdapat kasus yang terjadi pada Desember tahun 2015 yaitu RSUD (Rumah

Sakit Umum Daerah) Ciamis menolak calon pasien ODHA yang hendak melahirkan dengan

alasan rumah sakit tidak siap menangani persalinan calon pasien ODHA. Padahal sebelumnya

pada tahun 2013, pernah ada kasus serupa akan tetapi hal itu tidak menjadikan pelajaran bagi

RSUD Ciamis.4

Dalam mengupayakan perawatan kesehatan, Pemerintah mempunyai tugas dan

tanggung jawab agar tujuan pembangunan di bidang kesehatan mencapai hasil yang optimal

melalui pemanfaatan tenaga, sarana, dan prasarana baik dari segi jumlah (kuantitas) maupun

mutu (kualitas). Rumah sakit sebagai sarana dalam memberikan jasa pelayanan kesehatan

sudah seharusnya dapat berfungsi dengan baik, adil, aman dan dapat menjangkau masyarakat

luas untuk lebih siap menghadapi ODHA. Dengan melihat persoalan di atas, maka penolakan

ODHA yang dilakukan oleh rumah sakit telah bertentangan dengan hak atas kesehatan bagi

setiap orang.

Berdasarkan uraian latar belakang, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian

ini adalah:

1. Bagaimana perlindungan hukum bagi ODHA sebagai penerima jasa pelayanan

kesehatan?

2. Bagaimana pengaturan mengenai standar pelayanan rumah sakit dalam memenuhi

kebutuhan pelayanan kesehatan bagi ODHA?

3. Bagaimana pertanggungjawaban rumah sakit atas penolakan terhadap ODHA

dalam memberikan pelayanan kesehatan?

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian

ini adalah:

3 Ridwan Azwar, Kiat Sukses di Bidang Jasa, (Jakarta: Andi Offset, 1996), hlm. 12.

4 Pikiran Rakyat, “RSUD Ciamis Tolak Persalinan Pasien ODHA”, http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2015/12/04/352456/rsud-ciamis-tolak-persalinan-pasien-odha, diakses pada 23 Januari 2017.

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 4: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

1. Tujuan Umum

Dengan menelaah latar belakang dan pokok permasalahan di atas, dapat

dikemukakan bahwa tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk memahami dan

memberikan gambaran mengenai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan

dari rumah sakit bagi ODHA di Indonesia.

2. Tujuan Khusus

1) Mengetahui perlindungan hukum bagi ODHA sebagai penerima jasa pelayanan

kesehatan.

2) Mengetahui pengaturan mengenai standar pelayanan rumah sakit dalam

memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan bagi ODHA.

3) Mengetahui pertanggungjawaban hukum dari rumah sakit terkait penolakan

terhadap ODHA dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Tinjauan Teoritis

1. Pelayanan Kesehatan di Indonesia

Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-

Undang Dasar 1945 untuk melakukan upaya peningkatan derajat kesehatan baik

perseorangan, maupun kelompok atau masyarakat secara keseluruhan.5 Pelayanan kesehatan

adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, serta memiliki tujuan

untuk meningkatkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Adapun aspek

pelayanan kesehatan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Kesehatan, yaitu pelayanan

kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Rumah sakit adalah institusi

pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara

paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.6 Rumah

sakit merupakan salah satu fasilitas pelayanan kesehatan dimana tempat penyelanggaraan

upaya pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran

gigi.7 Rumah sakit merupakan institusi yang mempunyai kemandirian untuk melakukan

hubungan hukum yang penuh dengan tanggung jawab. Rumah sakit bukan (persoon) yang

5 Veronica Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), hlm. 77.

6 Indonesia, Undang-Undang Rumah Sakit, UU No. 44 Tahun 2009, LN No. 153 Tahun 2009, TLN No. 5072, Ps. 1 angka 1.

7 Indonesia, Menteri Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Kedokteran, Permenkes No 1438 Tahun 2010, Ps. 1 angka 6.

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 5: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

terdiri dari manusia sebagai (natuurlijk persoon) melainkan rumah sakit diberikan kedudukan

hukum sebagai (persoon) yang merupakan badan hukum (rechtspersoon) sehingga rumah

sakit diberikan hak dan kewajiban menurut hukum.8 Menurut Soerjono Soekanto, fungsi

rumah sakit ialah menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan medis serta penunjang

medis, pelayanan perawatan, rehabilitasi dan pencegahan maupun peningkatan kesehatan,

sebagai tempat pendidikan atau latihan tenaga medis maupun paramedis, dan sebagai tempat

penelitian dan pengembangan serta teknologi bidang kesehatan.9

2. Pertanggungjawaban Hukum Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan suatu sarana upaya kesehatan, yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan. Dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit harus memiliki standar

pelayanan rumah sakit yaitu semua standar pelayanan yang berlaku di rumah sakit antara lain

standar operasional prosedur, standar pelayanan medis, dan standar asuhan keperawatan.10

Berkaitan dengan pertanggungjawaban perdata, dibedakan antara kerugian yang dapat

dituntut berdasarkan wanprestasi dengan kerugian yang dapat dituntut berdasarkan perbuatan

melawan hukum. Kerugian dengan berdasarkan wanprestasi hanyalah kerugian yang bersifat

materiil. Sedangkan kerugian dengan berdasarkan perbuatan melawan hukum, selain

kerugian yang bersifat materiil juga kerugian yang bersifat immateriil yang bersifat

kebendaan, namun dapat diperkirakan nilai kebendaannya.11 Apabila rumah sakit melakukan

pelanggaran atas kewajibannya maka rumah sakit harus bertanggung jawab secara hukum

sebagaimana diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang Rumah Sakit.

Pertanggungjawaban hukum hendaknya memiliki dasar, yaitu bahwa hal yang

menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seseorang untuk menuntut orang lain sekaligus

berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi

8 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 91. 9 Soerjono Sokeanto, Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan), (Jakarta:IND-HILL-CO, 1989),

hlm. 91.

10 Ns. Ta’adi, Hukum Kesehatan Pengantar Menuju Perawat Profesional, (Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2002), hlm. 11.

11 Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran, (Malang: Bayumedia, 2007), hlm. 69.

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 6: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

pertanggungjawaban.12 Di dalam literatur luar negeri secara umum rumah sakit mempunyai 4

(empat) bidang tanggung jawab yaitu:13

1) Tanggung Jawab Terhadap Personalia yaitu berdasarkan hubungan “Majikan-

Karyawan” (Vicarious Liability, Respondeat Superior, atau Let The Master

Answer). Teori ini masih berlaku berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata Pasal 1366 jo 1365 jo 1367.

2) Tanggung Jawab Terhadap Mutu Pengobatan Perawatan (Duty of Due Care) yaitu

bahwa tingkat pemberian pelayanan kesehatan, baik oleh dokter maupun oleh

perawat dan tenaga kesehatan lainnya harus berdasarkan ukuran standar profesi.

Dengan demikian, secara yuridis rumah sakit bertanggung jawab apabila ada

pemberian pelayanan yang tidak lazim atau dibawah standar.

3) Tanggung Jawab Terhadap Sarana dan Peralatan yaitu termasuk peralatan dasar

perhotelan, perumahsakitan, peralatan medis, gas medik, dan lain-lain.

4) Tanggung Jawab Terhadap Keamanan Bangunan dan Perawatannya yaitu

dilakukan apabila terjadi bangunan roboh, genteng jatuh dan segala peristiwa yang

berhubungan dengan bangunan hingga mencederai orang.

Pertanggungjawaban hukum rumah sakit dapat dibebankan kepada pihak yang

memiliki jabatan atau petinggi di suatu rumah sakit. Hal ini dikarenakan rumah sakit sebagai

subjek hukum yang termasuk dalam bentuk badan hukum (dalam hal ini korporasi). Namun,

pada praktiknya pertanggungjawaban hukum rumah sakit dapat dibebankan kepada pihak

rumah sakit itu sendiri sebagai suatu subjek hukum. Hak dan Kewajiban ODHA

Hak asasi manusia memiliki hubungan yang sangat erat dengan kesehatan. Pada

dasarnya dalam hak asasi manusia tidak boleh ada pembedaan perlakuan dan diskriminasi

terhadap siapapun. Pelanggaran dan kurangnya perhatian pada hak asasi manusia dapat

menimbulkan dampak yang buruk, salah satunya pada kesehatan seseorang. Kebijakan dan

program kesehatan dapat meningkatkan atau pun melanggar hak asasi manusia pada tingkat

perencanaan atau penerapannya. Oleh karena itu, risiko dan dampak tersebut dapat dikurangi

dengan cara mempertimbangkan, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia.

12 Titik Triwulan Tutik, Perlindungan Hukum bagi Pasien, (Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2010), hlm. 35.

13 J. Guwandi, Hospital Law (Emerging Doctrines & Jurisprudence), (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002), hlm. 13.

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 7: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

ODHA memilik hak dan kewajiban layaknya seperti pasien penyakit lainnya. Adapun

hak-hak ODHA sebagai berikut:14

1) Mendapat perawatan yang manusiawi dan tidak dibeda-bedakan;

2) Mendapat keterangan yang jelas mengenai keadaan kesehatan ODHA dan

perawatan yang dijalaninya;

3) Didengar dan diberikan perhatian terhadap segala keluhan dan pertanyaan ODHA;

4) Tidak adanya penghakiman bagi ODHA;

5) Adanya penjaminan kerahasiaannya;

6) Meminta pendapat dokter lain apabila merasa tidak puas;

7) Mengetahui pilihan alternatif pengobatan, perawatan dan diberikan kesempatan

untuk memilih.

Menurut Undang-Undang Kesehatan, setiap orang berkewajiban untuk mewujudkan,

mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya yang

meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan

berwawasan kesehatan. Oleh karena itu, ODHA memiliki kewajiban-kewajiban sebagai

berikut:15

1) Menjelaskan masalah kesehatan dengan jelas dan terbuka, agar dokter dapat

memberikan pengobatan yang tepat bagi ODHA;

2) Mengatakan kepada dokter apabila tidak memahami kondisi dan cara perawatan

diri;

3) Mengatakan kepada dokter apabila anjuran tidak dapat dilaksanakan;

4) Apabila ada obat-obatan lain baik obat tradisional maupun narkoba wajib

memberitahukan kepada dokter.

Metode Penelitian

Bentuk penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu suatu

penelitian terhadap data sekunder atau lebih dikenal dengan penelitian studi kepustakaan.16

14 Budi Hadisetyono, “Hak Kesehatan Penderita HIV-AIDS: Kendala-Kendala Yang Dihadapi Penderita HIV-AIDS Dalam Memperoleh Obat-obat Anti Retroviral Sebagai Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah,” Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta, 2007.

15 Ibid.

16 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 13.

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 8: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis mengenai masalah analisis

yuridis perlindungan hukum bagi ODHA atas pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dalam

penelitian yuridis normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum,

yakni penelitian terhadap norma-norma hukum yang ada dalam berbagai perangkat hukum.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu yaitu

penelitian yang bertujuan menggambarkan secara sifat suatu individu, keadaan, gejala atau

kelompok tertentu, atau menentukan frekuensi suatu gejala.17 Jenis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan

kepustakaan. Data sekunder ini mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, dan hasil-

hasil penelitian yang berwujud laporan.18 Adapun data sekunder mencakup bahan hukum

primer yakni peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder yakni buku-buku

mengenai hukum kesehatan, hukum perlindungan konsumen, dll; jurnal hukum; artikel;

internet; penelitian, skripsi dan tesis serta bahan hukum tersier yakni kamus.

Untuk mendukung penelitian ini, dilakukan pula wawancara kepada narasumber

berkompeten, yakni Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, S.H., SpF. selaku Guru Besar Tetap

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan

Medikolegal; dr. Irawati, M.Kes. selaku Kepala Seksi HIV-AIDS Direktorat Jenderal

Pencegahan dan Pengendalian Penyakit; dan Hartini selaku staf advokasi IPPI (Ikatan

Perempuan Positif Indonesia).

Hasil Penelitian

Setiap orang memiliki hak atas pelayanan kesehatan untuk melakukan upaya

peningkatan derajat kesehatan yang dijamin oleh hukum yang berlaku di Indonesia. Fasilitas

kesehatan merupakan salah satu akses menuju pelayanan kesehatan bagi seluruh pasien.

Pasien sebagai konsumen merupakan individu yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan

yang disediakan bagi masyarakat dalam bidang kesehatan. Pasien sebagai konsumen jasa

pelayanan kesehatan memiliki hubungan dengan tenaga kesehatan yang disediakan oleh

penyedia atau pemberi jasa pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, pihak rumah sakit sebagai

penyedia atau pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan.

17 Sri Mamudji, et. al., Metode Peneltian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.

18 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), hlm. 12.

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 9: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

Adanya perlindungan hukum memiliki kaitan yang sangat erat dengan hak. Hak

adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum.19 Setiap pasien termasuk

pasien ODHA sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan diberikan hak oleh undang-undang

sebagaimana diatur dalam Pasal 32 huruf c Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang

Rumah Sakit (yang selanjutnya disebut Undang-Undang Rumah Sakit) bahwa setiap pasien

memiliki hak untuk memperoleh layanan kesehatan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa

diskriminasi. Selain itu, dalam Pasal 32 huruf e Undang-Undang Rumah Sakit juga mengatur

bahwa pasien juga memiliki hak untuk memperoleh layanan kesehatan yang efektif dan

efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi. Rumah sakit wajib

menghormati dan melindungi hak-hak pasien sebagaimana diatur dalam Kode Etik Rumah

Sakit dan Pasal 29 huruf m Undang-Undang Rumah Sakit. Kemudian, pasien ODHA juga

memiliki hak untuk menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila memberikan

pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana serta memiliki

hak untuk mengeluhkan pelayanan rumah sakit apabila tidak sesuai dengan standar pelayanan

kesehatan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Hak-hak tersebut diatur dalam Pasal 32 huruf q dan r Undang-Undang Rumah

Sakit. Disamping itu, Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen (yang selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen) sama halnya

dengan Undang-Undang Rumah Sakit mengatur hak pasien bahwa dapat mengajukan gugatan

kepada pelaku usaha, melalui lembaga yang secara khusus bertugas menyelesaikan sengketa

antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan.

Standar pelayanan minimal adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar

yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh bagi setiap warga secara

minimal. Standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan (yang selanjutnya disebut SPM)

Bidang Kesehatan merupakan acuan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam

penyediaan pelayanan kesehatan yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal.20 SPM

Bidang Kesehatan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia termasuk ODHA dalam

mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Standar pelayanan kesehatan rumah sakit

bagi ODHA diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku di Indonesia. Pasal 2 ayat (2) huruf

l Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal

19 Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 24.

20 Indonesia, Menteri Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan, Nomor PM 43 Tahun 2016, Ps. 1.

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 10: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

Bidang Kesehatan (yang selanjutnya disebut Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar

Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan) menjelaskan bahwa penyelenggaraan pelayanan dasar

kesehatan meliputi setiap orang yang berisiko terinfeksi HIV/AIDS baik Ibu hamil, pasien

TB, pasien IMS, waria/transgender, pengguna NAPZA, dan warga binaan lembaga

pemasyarakatan mendapatkan pemeriksaan HIV/AIDS sesuai dengan standar yang telah

ditentukan. Dalam Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun

2017 tentang Pelaksanaan Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B Dari Ibu Ke

Anak Di Indonesia mengatur kewajiban rumah sakit untuk melakukan pelayanan kesehatan

Ibu dan anak terkait eliminasi penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B sejak ante natal care

(ANC) pelayanan selama kehamilan sejak trimester pertama/K1, persalinan dan nifas bayi

baru lahir secara inklusif dan mendapatkan penanganan dini yang komprehensif

berkesinambungan.

Selain itu, Pasal 35 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun

2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS (yang selanjutnya disebut Peraturan Menteri

Kesehatan tentang Penanggulangan HIV dan AIDS) mengatur bahwa setiap Ibu hamil yang

terinfeksi HIV/AIDS memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan persalinan di semua

fasilitas kesehatan. Adapun pelayanan persalinan ini dilakukan dengan memperhatikan

prosedur kewaspadaan standar dan tidak memerlukan alat pelindung diri khusus bagi tenaga

kesehatan. Selanjutnya Pasal 36 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan HIV

dan AIDS juga mengatur tindakan yang harus dilakukan oleh rumah sakit pada pasca

melahirkan. Setiap bayi baru lahir dari Ibu yang terinfeksi HIV/AIDS harus segera

mendapatkan profilaksis ARV dan kotrimoksazol dimana dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengaturan mengenai fasilitas pelayanan kesehatan

bagi ODHA juga diatur dalam Pasal 41 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan

HIV dan AIDS yaitu bahwa setiap ODHA berhak memperoleh akses pelayanan kesehatan,

setiap fasilitas kesehatan wajib memberikan pelayanan kesehatan pada ODHA, setiap rumah

sakit sekurang-kurangnya kelas C wajib mampu mendiagnosis, melakukan pengobatan dan

perawatan ODHA sesuai dengan ketentuan dalam sistem rujukan.

Fasilitas kesehatan memiliki peranan penting dalam rangka pengendalian HIV-AIDS

di Indonesia, dengan tujuan untuk mengendalikan penyebaran, menurunkan jumlah kasus

baru HIV-AIDS, dan mewujudkan akses pengobatan bagi semua ODHA yang diatur dalam

Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2013 tentang

Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual. Adapun Surat Edaran

tersebut menjelaskan bahwa fasilitas kesehatan baik rumah sakit maupun puskesmas wajib

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 11: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

memasukkan layanan HIV-AIDS ke dalam salah satu layanan pokoknya sebagai bagian dari

standar pelayanan di rumah sakit. Hal ini dilakukan karena pada dasarnya layanan HIV-AIDS

sudah menjadi salah satu penilaian dalam akreditasi suatu rumah sakit. Selanjutnya,

sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan

HIV dan AIDS, rumah sakit sebagai penyedia atau pemberi jasa pelayanan kesehatan wajib

melaksanakan tindakan preventif untuk mencegah penularan infeksi HIV-AIDS. Tindakan

preventif ini meliputi kewaspadaan umum (universal precaution), kepatuhan kepada program

pencegahan infeksi sesuai standar, penggunaan darah yang aman dari HIV, dan adanya

komunikasi, informasi serta edukasi kepada pasien.

Pembahasan

1. Perlindungan Hukum Bagi ODHA Sebagai penerima Jasa Pelayanan Kesehatan

Berdasarkan beberapa perlindungan hukum terhadap pasien ODHA sebagai konsumen

jasa pelayanan kesehatan yang telah diuraikan di atas, maka timbul permasalahan apabila

dikaitkan dengan kasus-kasus yang terjadi di Indonesia yaitu penolakan pasien ODHA dalam

mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dalam penelitian ini, penulis telah

menguraikan kasus penolakan persalinan Ibu hamil L yang terinfeksi HIV-AIDS oleh RSUD

Ciamis dan Hartini yang mengalami hal serupa dimana ia ditolak oleh rumah sakit dan

puskesmas untuk melakukan persalinan dengan jelas telah melanggar hukum. Pasien ODHA

tidak seharusnya mengalami penolakan perawatan oleh rumah sakit, karena Undang-Undang

tentang Rumah Sakit telah mengatur hak-hak pasien. Pasal 32 huruf c Undang-Undang

Rumah Sakit mengatur bahwa pasien ODHA memiliki hak untuk memperoleh pelayanan

kesehatan secara manusiawi dan tanpa adanya sikap diskriminasi baik yang dilakukan oleh

tenaga kesehatan dan rumah sakit. Di samping itu, memperoleh pelayanan kesehatan yang

efektif dan efisien juga merupakan hak pasien ODHA sebagaimana diatur dalam Pasal 32

huruf e Undang-Undang Rumah Sakit. Hal ini bertujuan agar pasien ODHA terhindar dari

kerugian fisik dan materi. Berdasarkan kasus yang telah penulis uraikan di atas, kerugian

secara fisik dapat terjadi secara besar karena kondisi pasien ODHA yang ingin melakukan

persalinan. Adanya penolakan Ibu hamil yang terinfeksi HIV/AIDS dapat menimbulkan

resiko buruk terhadap kandungan sang Ibu, seperti pendarahan, keguguran, bahkan kematian

terhadap Ibu dan bayi yang dikandung. Hak-hak pasien tersebut wajib untuk dihormati dan

dilindungi oleh rumah sakit sebagaimana diatur dalam Pasal 29 huruf m Undang-Undang

Rumah sakit dan Kode Etik Rumah Sakit Rumah.

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 12: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

Selain itu, pasien ODHA sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan memiliki

perlindungan diri apabila mendapatkan pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan standar.

Perlindungan diri ini ialah hak untuk menggugat dan/atau menuntut rumah sakit baik secara

perdata maupun pidana dan hak untuk mengeluhkan pelayanan rumah sakit melalui media

cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hal ini diatur dalam Pasal

32 huruf q dan r Undang-Undang Rumah Sakit serta Pasal 45 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen. Dengan demikian, seyogyanya rumah sakit sebagai salah satu institusi pelayanan

kesehatan tidak boleh mendiskriminasi setiap pasien khususnya pasien ODHA dalam

memberikan pelayanan kesehatan.

2. Standar Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Bagi ODHA

Berdasarkan beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia mengenai standar

pelayanan kesehatan rumah sakit bagi ODHA yang telah diuraikan di atas, maka timbul

permasalahan apabila dikaitkan dengan kasus penolakan pasien ODHA dalam mendapatkan

pelayanan kesehatan di rumah sakit. Tindakan penolakan persalinan tehadap Ibu hamil L yang

terinfeksi HIV-AIDS oleh RSUD Ciamis dan Hartini oleh rumah sakit dan puskesmas jelas

tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap ODHA

termasuk Ibu hamil terinfeksi HIV-AIDS wajib mendapatkan pelayanan dasar kesehatan yang

sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (2) huruf l

Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan. Selain

itu, kasus ini juga tidak sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 37 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan

Hepatitis B Dari Ibu Ke Anak Di Indonesia. Rumah sakit berkewajiban untuk memberikan

pelayanan kesehatan bagi Ibu dan anak yang terinfeksi HIV-AIDS dalam rangka eliminasi

penularan HIV-AIDS di Indonesia dari Ibu ke anak sehingga dapat dicapai tujuan untuk

menuju titik nol (getting to zero). Adaya sikap penolakan yang dilakukan oleh rumah sakit

tentunya secara langsung tidak mendukung upaya eliminasi penularan HIV-AIDS, mengingat

penularan antara Ibu ODHA kepada bayi yang dikandungnya merupakan proses penularan

HIV-AIDS dalam jumlah yang tinggi di Indonesia. Salah satu upaya pemerintah terkait hal ini

ialah program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission). Adapun konsep dasar

program ini adalah mengurangi dan menurunkan viral load atau hubungan antara satu partikel

RNA dengan virus HIV dalam tubuh serendah-rendahnya dan mengoptimalkan kesehatan

bayi dari Ibu ODHA.

Standar pelayanan kesehatan oleh rumah sakit bagi persalinan ODHA juga dilindungi

oleh Pasal 35 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 13: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

mengatur bahwa setiap Ibu hamil yang terinfeksi HIV-AIDS memiliki hak untuk

mendapatkan pelayanan persalinan di semua fasilitas kesehatan. Apabila dikaitkan dengan

kasus ini, dengan jelas bahwa seyogyanya rumah sakit menerima proses persalinan yang ingin

dilakukan oleh Ibu hamil L yang terinfeksi HIV-AIDS dan Hartini. Disamping itu, bayi yang

dilahirkan oleh Ibu hamil L yang terinfeksi HIV-AIDS dan Hartini harus segera mendapatkan

profilaksis ARV dan kotrimoksazol untuk mencegah terjadinya risiko-risiko buruk. Hal ini

diatur dalam Pasal 36 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.

Kemudian, berdasarkan Pasal 36 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, seharusnya pelayanan

RSUD Ciamis paling sedikit meliputi pelayanan medik, pelayanan kefarmasian, pelayanan

keperawatan dan kebidanan, pelayanan penunjang klinik, pelayanan penunjang nonklinik, dan

pelayanan rawat inap. Pasal 41 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan HIV

dan AIDS juga mengatur bahwa setiap rumah sakit sekurang-kurangnya kelas C wajib mampu

mendiagnosis, melakukan pengobatan dan perawatan ODHA sesuai dengan ketentuan dalam

sistem rujukan. Selain itu, dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

481/MENKES/SK/XII/2013 tentang Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang Dengan HIV dan

AIDS dijelaskan bahwa RSUD Ciamis merupakan rumah sakit rujukan bagi ODHA di

Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. RSUD Ciamis memiliki tugas untuk menyiapkan sarana,

prasarana, dan fasilitas kesehatan serta membentuk tim kelompok kerja khusus HIV-AIDS

yang terdiri dari tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya yang telah dilatih melalui

pelatihan khusus HIV-AIDS. Melihat adanya ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan di

atas, maka seyogyanya RSUD Ciamis telah siap untuk menangani pelayanan kesehatan

termasuk persalinan ODHA. Berdasarkan hasil wawancara dengan dr. Irawati, M. Kes. selaku

Kepala Seksi HIV-AIDS Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, setiap

rumah sakit tipe C pasti sudah mendapatkan pelatihan untuk menangani seseorang yang

terinfeksi HIV-AIDS.21 Oleh karena itu, alasan tidak adanya sarana dan kesiapan tenaga

kesehatan dalam menangani pasien ODHA tidak menjadikan alasan yang kuat untuk menolak

persalinan Ibu hamil yang terinfeksi HIV-AIDS dan Hartini. Menurut Pasal 58 Peraturan

Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, fasilitas kesehatan yang masih

memiliki keterbatasan dimana tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 41 yang telah dijelaskan

sebelumnya, harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Menteri ini paling lambat

dalam waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini berlaku. Seyogyanya,

21 Wawancara dengan dr. Irawati, M.Kes pada tanggal 16 Mei 2017 pukul 10.00.

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 14: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

RSUD Ciamis segera memperbaiki dan mempersiapkan jauh hari baik dari sarana dan

kesiapan tenaga kesehatan, sehingga kasus penolakan yang terjadi pertama kali pada tahun

2013 tidak terjadi lagi seperti yang telah terjadi pada tahun 2015.

Salah satu peranan rumah sakit dan puskesmas dalam bidang pelayanan kesehatan

ialah pengendalian HIV-AIDS dimana pertumbuhan ODHA setiap tahunnya relatif

meningkat. Rumah sakit dan puskesmas wajib memasukkan layanan HIV-AIDS sebagai

layanan pokok sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 129 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan Infeksi

Menular Seksual. Tindakan preventif merupakan salah satu upaya pengendalian penularan

HIV-AIDS yang wajib dilakukan oleh rumah sakit sebagaimana datur dalam Pasal 42

Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Dengan demikian

apabila dikaitkan dengan kasus ini, RSUD Ciamis telah melanggar hukum yang berlaku

karena melakukan penolakan persalinan ODHA. Adanya penolakan ini menyatakan bahwa

layanan HIV-AIDS di RSUD Ciamis bukan merupakan layanan pokok sehingga upaya

preventif terhadap penularan HIV-AIDS tidak dilakukan oleh rumah sakit.

3. Pertanggungjawaban Rumah Sakit Atas Penolakan ODHA Dalam Memberikan

Pelayanan Kesehatan.

Berdasarkan kasus yang telah penulis uraikan di atas, RSUD Ciamis dan pihak rumah

sakit yang telah menolak persalinan Hartini sebagai pasien ODHA dapat dibebankan

ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Pihak rumah sakit wajib bertanggung jawab terhadap

kerugian yang dialami oleh pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Pihak rumah

sakit melakukan penolakan persalinan bagi pasien ODHA dengan sisi lain bahwa mereka

telah mengetahui adanya peraturan-peraturan yang secara tegas melarang rumah sakit untuk

menolak pasien dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien ODHA. Sehingga atas

perbuatan melawan hukum dengan kesengajaan dimana adanya unsur diskriminasi yang

dilakukan oleh rumah sakit dapat dikenakan Pasal 1365 KUHPerdata.

Kemudian dalam hal pertanggungjawaban hukum pidana, faktor utama adanya beban

pertanggungjawaban pidana ialah bahwa dalam suatu perbuatan ada kesalahan yang terdiri

dari kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Dalam doktrin hukum pidana dikenal 3 (tiga)

bentuk kesengajaan yaitu kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk),

kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn), dan kesengajaan sebagai

kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzjin). RSUD Ciamis dan rumah sakit yang

melakukan penolakan terhadap persalinan Ibu Hamil L yang terinfeksi HIV-AIDS dan Hartini

dengan bentuk kesengajaan kepastian. Pihak rumah sakit dengan sengaja melakukan

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 15: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

penolakan persalinan, karena sudah mengetahui bahwa calon pasien yang ingin melakukan

persalinan adalah ODHA. Pihak rumah sakit mengetahui benar bahwa perbuatannya di

samping akibat yang dimaksudnya, akan terjadi suatu akibat lain. Hal ini dikarenakan, rumah

sakit secara pasti sudah memiliki pengetahuan bagaimana cara penanganan pelayanan

kesehatan bagi ODHA terutama dalam kondisi darurat dan mengetahui bahwa akan ada

risiko-risiko buruk atau kerugian yang akan dialami oleh pasien ODHA. Sehingga atas

perbuatan melawan hukum dengan sengaja yang dilakukan oleh rumah sakit dapat dikenakan

Pasal 190 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (yang selanjutnya

disebut Undang-Undang Kesehatan). Dalam Pasal 190 Undang-Undang Kesehatan diatur

bahwa pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan

praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak

memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak

Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Apabila perbuatan rumah sakit tersebut

mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan

dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)

tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Korporasi sebagai subjek hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum

pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan. Apabila

dikaitkan dengan kasus yang telah diuraikan sebelumnya, rumah sakit merupakan korporasi

yang memiliki hak dan kewajiban dan dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum. Adapun

hukuman yang dikenakan dalam sudut pandang pertanggungjawaban pidana kororasi, apabila

rumah sakit melakukan tindak pidana ialah berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga)

kali pidana denda terhadap pasal yang dilanggar. Disamping pidana denda, korporasi dapat

dijatuhi pidana tambahan berbentuk pidana administratif berupa pencabutan izin usaha

dan/atau pencabutan status badan hukum.

Selain itu, dalam pertanggungjawaban hukum administrasi apabila rumah sakit tidak

memenuhi pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat,

peningkatan mutu pelayanan kesehatan, mengutamakan keselamatan pasien, pengembangan

jangkauan pelayanan, dan peningkatan kemampuan kemandirian Rumah Sakit, maka

Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang memiliki tugas untuk melakukan pembinaan dan

pengawasan terhadap rumah sakit sebagaimana tercantum dalam Pasal 54 Undang-Undang

Rumah Sakit memiliki wewenang untuk memberikan sanksi administratif yaitu berupa

teguran, teguran tertulis, tidak diperpanjang izin operasional, dan/atau denda dan pencabutan

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 16: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

izin. Apabila dikaitkan dengan kasus, rumah sakit tidak memenuhi pemenuhan kebutuhan

pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi pasien ODHA, tidak mengutamakan keselamatan

pasien, dan tidak melakukan pengembangan jangkauan dan peningkatan kemampuan rumah

sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien ODHA. Hal ini dapat dilihat bahwa

RSUD Ciamis telah melakukan penolakan persalinan pasien ODHA dalam kasus yang serupa

dengan jangka waktu yang cukup lama antara kasus pertama dengan kasus yang kedua.

Dengan demikian, atas perbuatan yang dilakukan oleh RSUD Ciamis dapat dikenakan Pasal

54 ayat (5) Undang-Undang Rumah Sakit.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut,

yaitu:

1. Pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan memiliki hak-hak yang dilindungi

oleh hukum. Adapun perlindungan hukum tersebut berupa peraturan-peraturan yang

berlaku di Indonesia terkait dengan hak pasien dan kewajiban rumah sakit. Peraturan

tersebut meliputi Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Kode

Etik Rumah Sakit, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen. Namun, pada praktiknya masih terdapat rumah sakit yang tidak

mengindahkan peraturan-peraturan tersebut khususnya terhadap pasien ODHA. Hal

ini disebabkan oleh stigma dan diskriminasi yang menempel pada ODHA.

2. Rumah sakit sebagai penyedia atau pemberi jasa pelayanan kesehatan memiliki

kewajiban untuk memenuhi standar pelayanan kesehatan rumah sakit dalam

memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan

kesehatan. Pemerintah telah menentukan standar pelayanan kesehatan rumah sakit

bagi ODHA diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku di Indonesia diantaranya

adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan

Minimal Bidang Kesehatan, Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 37 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan

Hepatitis B Dari Ibu Ke Anak Di Indonesia, 35 Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, dan Surat

Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2013 tentang

Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual.

3. Rumah sakit sebagai subjek hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum

terhadap penolakan yang dilakukan rumah sakit terhadap pasien ODHA yang ingin

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 17: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

mendapatkan pelayanan kesehatan. Pertanggungjawaban itu meliputi

pertanggungjawaban hukum perdata, pertanggungjawaban hukum pidana, dan

pertanggungjawaban hukum administrasi negara. Pertanggungjawaban hukum perdata

dapat mencakup pemberian ganti rugi kepada pihak yang dirugikan yaitu pasien

ODHA yang mendapat penolakan persalinan. Dalam hal pertanggungjawaban hukum

pidana dapat diberikan pada rumah sakit sebagai korporasi sebagaimana diatur dalam

Pasal 190 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Pasal 201

ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berupa pidana

penjara dan denda. Selain itu, pertanggungjawaban hukum administrasi dapat

dikenakan terhadap rumah sakit berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 44

Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dengan sanksi administratif yaitu berupa teguran,

teguran tertulis, tidak diperpanjang izin operasional, dan/atau denda dan pencabutan

izin.

Saran

Saran yang dapat penulis kemukakan adalah:

1. Diperlukan peningkatan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah baik melalui

badan atau instansi yang berwenang dalam mengawasi pelaksanaan pelayanan

kesehatan yang dilakukan oleh rumah sakit, khususnya terhadap pasien ODHA. Sikap

diskriminasi dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien ODHA harus

dihindari terutama bagi tenaga kesehatan yang merupakan pihak pelaku diskriminasi

tertinggi bagi pasien ODHA. Hal ini dikarenakan, seharusnya tenaga kesehatan sudah

memiliki pengetahuan mengenai ruang lingkup HIV-AIDS dan cara melayani pasien

ODHA.

2. Mendorong pemerintah untuk melakukan peningkatan sosialisasi mengenai

pengetahuan tentang ruang lingkup HIV-AIDS baik cara penularan, pengobatan,

pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS kepada masyarakat umum. Hal ini dapat

meliputi kegiatan seminar, talkshow, maupun pembinaan-pembinaan mengenai HIV-

AIDS.

3. Dilakukan pembenahan mengenai panduan atau pedoman pelayanan kesehatan bagi

ODHA, sehingga mereka merasa nyaman, puas dengan proses pengobatan yang

dijalankan dan mengetahui bahwa setiap pasien ODHA memiliki hak akses untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan di seluruh fasilitas kesehatan.

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 18: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

Daftar Referensi Books: Azwar, Ridwan. (1996). Kiat Sukses di Bidang Jasa. Jakarta: Andi Offset. Bastable, Susan B. (2002). Perawat Sebagai Pendidik: Prinsip Pengajaran. Jakarta: EGC, 2002. Chazawi, Adami. (2007). Malpraktik Kedokteran. Malang: Bayumedia. Guwandi, J. (2002). Hospital Law (Emerging Doctrines & Jurisprudence). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Koeswadji, Hermien Hadiati. (1998). Hukum Kedokteran. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Komalawati, Veronica. (1989). Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Mamudji, Sri, et. al. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Mamudji, Sri dan Soerjono Soekanto. (1994). Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Mertokusumo, Sudikno. (1999). Mengenai Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1999. Soekanto, Soerjono. (1989). Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan). Jakarta:IND-HILL-CO. Soekanto, Soerjono. (1986). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.

Ta’adi, Ns. (2002). Hukum Kesehatan Pengantar Menuju Perawat Profesional. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Tutik, Titik Triwulan. (2010). Perlindungan Hukum bagi Pasien. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya. Online Document:

BD Dictionary. (2017, Maret 5). “Corporate Liability”. http://www.businessdictionary.com/definition/corporate-liability.html.

Direktorat Bina Gizi Masyarakat Dijen Bina Kesehatan Masyarakat. (2016, Desember 30 “Pedoman Pelayanan Gizi Bagi ODHA.” http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/01/buku-odha-rev5.pdf.

Hukum Kesehatan. (2017, Maret 8). Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit, PPT Mata Kuliah Hukum Kesehatan, bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/hukes-tanggung-jawab-rumah-sakit.ppt teori central responsibility. Pikiran Rakyat. (2017, Januari 23) “RSUD Ciamis Tolak Persalinan Pasien ODHA.” http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2015/12/04/352456/rsud-ciamis-tolak-persalinan-pasien-odha.

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017, Februari 14) “Situasi Penyakit HIV AIDS di Indonesia.” http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin-Situasi-Penyakit-HIV-AIDS-di-Indonesia.pdf. Theses, Dissertation: Hadisetyono, Budi. (2007). Hak Kesehatan Penderita HIV-AIDS: Kendala-Kendala Yang Dihadapi Penderita HIV-AIDS Dalam Memperoleh Obat-obat Anti Retroviral Sebagai Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah. Tesis Magister Universitas Indonesia. Jakarta.

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017

Page 19: Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang

Regulation: Indonesia. Menteri Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Kedokteran. Nomor PM 1438/MENKES/PER/IX/2010.

Indonesia. Menteri Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan. Nomor PM 43 Tahun 2016.

Interview: Wawancara dengan Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, S.H., SpF., Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, pada hari Sabtu, 1 April 2017 pukul 12.30 WIB, di Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat. Wawancara dengan dr. Irawati, M.Kes., Kepala Seksi HIV-AIDS Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, pada hari Selasa, 16 Mei 2017 pukul 10.00 WIB, di Wisma PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia). Wawancara dengan Hartini, staf advokasi IPPI (Ikatan Perempuan Positif Indonesia), pada hari Jumat 21 April 2017 pukul 10.00 WIB, di Jalan tebet Timu Dalam X D Nomor 3 Tebet, Jakarta Selatan.

Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017