42
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah-Nyalah kami dapat melakukan diskusi tutorial dengan lancar dan menyusun laporan hasil diskusi tutorial ini dengan tepat waktunya. Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada dr. Harman Juniardi Sp. Onk Rad sebagai tutor atas bimbingan beliau pada kami dalam melaksanakan diskusi ini. Kami juga mengucapkan terima kasih pada teman-teman yang ikut berpartisipasi dan membantu kami dalam proses tutorial ini. Kami juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan-kekurangan yang ada dalam laporan ini. Hal ini adalah semata-mata karena kurangnya pengetahuan kami. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun yang harus kami lakukan untuk dapat menyusun laporan yang lebih baik lagi di kemudian hari. 1

Gangguan Mental pada anak

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Gangguan Mental pada anak

Citation preview

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah-Nyalah kami dapat melakukan diskusi tutorial dengan lancar dan menyusun laporan hasil diskusi tutorial ini dengan tepat waktunya.

Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada dr. Harman Juniardi Sp. Onk Rad sebagai tutor atas bimbingan beliau pada kami dalam melaksanakan diskusi ini. Kami juga mengucapkan terima kasih pada teman-teman yang ikut berpartisipasi dan membantu kami dalam proses tutorial ini.

Kami juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan-kekurangan yang ada dalam laporan ini. Hal ini adalah semata-mata karena kurangnya pengetahuan kami. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun yang harus kami lakukan untuk dapat menyusun laporan yang lebih baik lagi di kemudian hari.

Mataram, 27 April 2014

PenyusunDAFTAR ISI

Kata Pengantar .1

Daftar Isi ..2BAB I : PENDAHULUAN

1.1. Skenario...31.2. Learning Objective (LO).....31.3. Mind Map4

BAB II : PEMBAHASAN 1.1. Analisis skenario......5

1.2. ADHD.....61.3. Autisme............161.4. Retardasi mental......20BAB III : PENUTUP28Daftar Pustaka...29BAB I

PENDAHULUAN1.1. SKENARIO 2Seorang ibu, membawa anak sulungnya yang berusia 7,5 tahun dan berjenis kelamin laki-laki memeriksakan diri pada sebuah klinik kejiwaan karena khawatir atas tingkah laku anaknya tersebut. Sebenarnya sejak anaknya balita si ibu telah menyadari bahwa anaknya mempunyai perilaku yang berbeda dengan teman sebayanya, anaknya terlihat sangat hiperaktif, tetapi ibu pasien ragu apakah anaknya menderita suatu penyakit atau hanya karena manja dan keras kepala saja. Pada saat bermain, anaknya sering mengganggu teman-temannya, sering berlarian dan sangat sulit untuk disuruh tenang meskipun sebentar. Guru anaknya di sekolah melapor kepadanya bahwa pada saat pelajaran di sekolah, anaknya tidak konsentrasi dan sering meninggalkan bangku ketika guru menerangkan. Pada saat disuruh duduk kembali maka akan terlihat gelisah sambil terus menggerakkan kaki dan tangannya. Saat diberikan pelajaran di sekolah, anaknya tidak sulit untuk mengikuti. Melihat hal ini guru menyarankan agar anaknya dibawa ke dokter karena curiga dia menderita gangguan perilaku dan tumbuh kembang.1.2. LEARNING OBJECTIVES1. Analisis skenario2. DD

1.3. MIND MAP

BAB IIPEMBAHASAN

1.1. ANALISIS SKENARIOIdentitas : Anak usia 7 tahun 6 bulan

Laki Laki ( risiko gangguan kognitif maupun gangguan pervasif

Anak sulung

KU : Gangguan tingkah Laku

RPS :

1. Saat bermain : Sering mengganggu teman-temannya (Impulsivitas) Sering berlarian (Hiperaktifitas) Sangat sulit untuk disuruh tenang meskipun sebentar (Hiperaktifitas)

2. Di Sekolah :

Tidak konsentrasi (Inatensi) Sering meninggalkan bangku ketika guru menerangkan (Hiperaktifitas) Saat disuruh duduk kembali ( terlihat gelisah sambil terus menggerakkan kaki dan tangannya (Hiperaktifitas)

Saat diberikan pelajaran ( tidak sulit untuk mengikuti

RPD : Sejak balita sudah tampak hiperaktif

Fungsi kognitif: Anak tidak sulit mengikuti pelajaran sekolah ( kemungkinan tidak ada masalah dalam kognitif, autisme dan retardasi mental dapat disingkirkanKriteria Diagosis DSM (V)

Menurut kriteria diagnosis DSM V

1. Minimal 6 bulan sudah terpenuhi (sejak balita)2. Minimal 6 kriteria juga sudah terpenuhi, terdiri dari : Inatensi ( Tidak konsentrasi Hiperaktifitas (sering berlarian; sangat sulit untuk disuruh tenang meskipun sebentar; sering berlarian; sangat sulit untuk disuruh tenang meskipun sebentar. Impulsivitas ( sering mengganggu teman-temannya

Tindakan Lanjutan Anamnesis lebih lanjut terkait gejala-gejala : Inatensi, Hiperaktivitas, Impulsifitas Lakukan observasi sesuai panduan penegakan diagnosis ADHD dalam DSM-V. Lakukan terapi psikologi bersamaan dengan observasi. Lakukan Tes IQ untuk menyingkirkan diagnosis autisme dan RM.1.2. Attention Deficit Hyperactivity Disorders (ADHD)Gangguan yang ditandai oleh rentang perhatian yang buruk yang tidak sesuai dengan perkembangan atau ciri hiperaktivitas dan impulsivitas atau keduanya tidak sesuai dengan usia.Tiga tipe gangguan defisit atensi dan hiperaktivitas:

Predominan inatensi Predominan hiperaktif-impulsif

Tipe kombinasi

EpidemiologiAngka kejadian pasti di Indonesia belum diketahui, sedangkan di Amerika insidensi bervariasi dari 2 sampai 20 % anak-anak sekolah dasar. Di Inggris dilaporkan angka kejadiannya lebih rendah dari Amerika yaitu kurang dari 1%. Anak laki-laki memiliki insidensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan, dengan rasio 3-5: 1.

Etiologi Tidak diketahui

Faktor penyumbang: paparan toksin pranatal, prematuritas, kerusakan mekanis pranatal pada sistem saraf janin

Riwayat keluarga

Cedera otak

Faktor neurokimia: kelainan neurotransmitter

Faktor neurologis: gangguan pertumbuhan otak

Faktor psikososial

Gejala KlinisGejala dapat timbul saat masih bayi, gejala yang kemugkinan dapat timbul berupa, peka terhadap stimuli dan mudah marah dengan suara, cahaya, temperatur, dan perubahan lingkungan lainnya. Dan kadang yang terjadi adalah kebalikannya, yaitu anak tenang dan lemah, banyak tidur, dan tampaknya berkembang lambat pada bulan-bulan pertama kehidupan. Namun yang paling sering terjadi adalah sikap aktif bayi di tempat tidurnya.

Karakteristik Anak-anak dengan ADHD:

Hiperaktivitas, impulsivitas Gangguan motorik perseptual

Labilitas emosi

Defisit koordinasi menyeluruh

Gangguan atensi

Gangguan daya ingat dan pikiran

Ketidakmampuan belajar spesifik

Gangguan bicara dan pendengaran

Tanda neurologis dan irregularitas EEGSesuai dengan DSM IV, terdapat tiga gejala utama yaitu inattentiveness atau tidak mampu memusatkan perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas.

Tidak Mampu Memusatkan Perhatian (Inattentiveness)Sesuai dengan definisi, penderita ADHD menunjukkan kesulitan memusatkan perhatian dibandingkan dengan anak normal dengan umur dan jenis kelamin yang sama. Orangtua atau guru sering mengemukakan masalah konsentrasi atau pemusatan perhatian dengan istilah, seperti: melamun, tidak dapat berkonsentrasi, kurang konsentrasi, sering kehilangan barang barang, perhatian mudah beralih, belum dapat menyelesaikan tugas sendiri, kalau belajar harus selalu ditunggu, sering bengong, mudah beralih dari satu kegiatan ke kegiatan yang lain, lambat dalam menyelesaikan tugas.

Pemusatan perhatian adalah suatu kondisi mental yang berupa kewaspadaan penuh atau alertness, sangat berminat atau arousal, selektivitas, perhatian terus-menerus atau sustained attention, rentang perhatian atau span of attention. Anak yang menderita gangguan ini mengalami kesulitan yang besar untuk dapat memiliki daya dan upaya terus-menerus atau perhatian terus-menerus dalam menyelesaikan tugas. Kesulitan tersebut kadang-kadang dapat dijumpai pada waktu anak sedang bermain, yaitu perhatian terhadap satu mainan sangat singkat dan sangat mudah beralih dari satu mainan ke mainan yang lain. Kondisi ini paling sering dilihat pada waktu anak harus menyelesaikan tugas yang membosankan, kurang menarik, atau tugas yang diulang-ulang, seperti menyelesaikan pekerjaan sekolah dan menyelesaikan pekerjaan rumah.Masalah utama yang terjadi pada kondisi ini adalah terjadinya penurunan persistensi upaya atau berkurangnya respons terhadap tugas secara terus-menerus akibat pengaruh dari dalam diri anak itu sendiri, bukan karena pengaruh rangsangan atau sangat sedikit pengaruh dari luar.HiperaktivitasGangguan ini memiliki karakteristik utama yaitu aktivitas yang sangat berlebihan atau tidak sesuai dengan tingkat perkembangannya, baik aktivitas motorik maupun vokal. Hiperaktivitas paling sering dijumpai sebagai kegelisahan, tidak bisa diam atau restless, tangan dan kaki selalu bergerak atau fidgety, tubuh secara menyeluruh bergerak tidak sesuai situasi. Gerakan gerakan tersebut seringkali tanpa tujuan, tidak sesuai dengan tugas yang sedang dikerjakan atau situasi yang ada.

Orangtua atau guru sering mengungkapkan anak dengan hiperaktivitas sebagai tidak dapat duduk diam, tidak bisa diam, nge-gratak, lasak, banyak bicara, berlari-lari dan memanjat manjat berlebihan, di dalam kelas selalu berjalan jalan, dan banyak ngobrol dengan teman, sering menyeletuk. Pada berbagai penelitian ditunjukkan bahwa gerakan pergelangan tangan, pergelangan kaki dan gerakan seluruh tubuh lebih banyak dibandingkan dengan yang normal. Gejala ini sangat berfluktuasi yang menunjukan adanya kegagalan mengatur tingkat aktivitas sesuai dengan situasi atau tuntutan tugas.Gejala hiperaktivitas bukan merupakan gejala yang terpisah dari impulsivitas. Berbagai penelitian terhadap gejala ini dengan pengukuran objektif ataupun skala penilai perilaku, tidak didapatkan bukti bahwa hiperaktivitas merupakan faktor atau dimensi yang terpisah dari impulsivitas. Perilaku Impulsif (Impulsiveness)Anak yang menderita ADHD pada umumnya tidak mampu menghambat tingkah lakunya pada waktu memberikan respons terhadap tuntutan situasional dibandingkan dengan anak normal pada umur dan jenis kelamin sama. Kondisi ini seringkali disebut sebagai impulsivitas. Seperti halnya dengan gejala tidak mampu memusatkan perhatian, gejala ini juga merupakan kondisi multi dimensional. Gejala impulsivitas dapat berupa tingkah laku kurang terkendali, tidak mampu menunda respons, tidak mampu menunda pemuasan, atau menghambat prepotent response atau respons yang sangat mendesak.

Gambaran klinis anak yang menderita gangguan ini sering dilaporkan terlalu cepat memberikan respons, terlalu cepat memberikan jawaban sebelum pertanyaan selesai ditanyakan. Sebagai akibatnya ia sering melakukan kesalahan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Anak ini juga tidak mampu mempertimbangkan akibat buruk atau akibat yang merugikan dari keadaan di sekitarnya atau perilakunya, sehingga ia terlalu sering mengambil risiko yang tidak perlu. Orangtua atau guru sering mengungkapkan gejala impulsivitas sebagai sering usil, sering mengganggu anak lain, sering menyelak dalam pembicaraan orang lain, sering tidak sabar, cepat bosan, sering tidak dapat menunggu giliran, sering gusar bila keinginannya tidak terpenuhi.Gejala impulsivitas ini sering tampak sebagai mengambil jalan pintas dalam menyelesaikan tugas. Kalau berbicara sering asal berbicara tidak menghiraukan perasaan orang lain atau konsekuensi sosial yang terjadi.Anak dengan gejala ini dalam pandangan kebanyakan orang memberikan kesan tidak bertanggung jawab, tidak dapat mengendalikan diri, kekanak-kanakan, tidak dewasa, mementingkan diri sendiri, malas, tidak sopan atau nakal, sehingga sering mendapatkan hukuman, kritikan, teguran, atau dikucilkan oleh orang dewasa atau teman sebaya.

Diagnosis Pada kehidupan sehari-hari di sekolah dan di rumah, anak yang mengalami ADHD tidak disadari oleh orang tua dan guru sebagai anak yang perlu segera ditolong untuk mengatasi gangguan tersebut. Sebagian besar masyarakat menganggap gangguan tersebut sebagai perilaku buruk yang tidak dapat diterima oleh lingkungannya.Pedoman deteksi dan diagnosis ADHD ini disusun berdasarkan bukti ilmiah dan konsensus yang telah disepakati oleh para ahli. Pedoman ini dapat digunakan untuk semua anak usia pra sekolah (3-4 tahun) sampai usia remaja (17 tahun). Istilah yang dipakai dalam pedoman ini sesuai dengan DSM-IV-TR (American Psychiatric Association, 2001).Pemeriksaan dan penilaian terhadap anak pra sekolah, anak usia sekolah dan remaja untuk ADHD wawancara klinis dengan orang tua/pengasuh; untuk memperoleh keterangan lengkap tentang pasien, yaitu tentang keadaan pasien dalam melaksanakan tugasnya di sekolah maupun di rumah, menilai adanya kondisi komorbid, dan memperoleh riwayat keluarga, sosial dan kesehatan/penyakitnya.Susunan urutan pemeriksaan ADHD :a. Rujukan datang dari sekolah atau keluarga/orang tua

b. Penilaian/observasi perilaku anak berdasarkan kuesioner untuk orang tua/guru (SPPAHI, Conners Teacher Rating Scale/Conners Parent rating Scale),

c. Dirujuk kepada psikiater anak atau dokter spesialis anak atau keduanya untuk dilakukan pemeriksaan : 1) Pemeriksaan fisik :

Skrining terhadap keracunan timah hitam, anemia defisiensi Fe, dan defisiensi nutrisional lainnya

Pemeriksaan neurologik lengkap, termasuk tes perseptual motorik untuk menyingkirkan defisit neurologik fokal

Pemeriksan fungsi kelenjar gondok 2) Wawancara riwayat penyakit :

Riwayat antenatal dan perinatal

Riwayat perkembangan psikomotorik

Riwayat ritme tidur

Riwayat keluarga

Riwayat sekolah (rapor, skrining potensi prestasi)

Riwayat medik terutama trauma kepala, infeksi, alergi dan neurologik 3) Pemeriksaan inteligensi, kesulitan belajar dan sindrom otak organik :

Tes Inteligensi (Weschler Intelligence Scale for Children)

Tes Woodcock Johnson

4) Pemeriksaan psikometrik/kognitif peseptual :

Continous Performance Test (Test of Variable of Attention/TOVA )

Wisconsin Card Sort

Stroop Color Word Test

5) Evaluasi situasi rumah untuk melihat ada atau tidaknya pengaruh faktor lingkungan

6) Apabila hasil pemeriksan sesuai dengan kriteria diagnosis ADHD (berdasarkan DSM-IV atau PPDGJ III/ICD-10) segera dimulai pengobatan dengan psikostimulan.

7) Pemeriksaan dan monitor efek samping pengobatan, efektifitas pengobatan setiap 3 bulan. Pengobatan dengan farmakoterapi yang lain dapat dipertimbangkan. Kriteria Diagnostik Menurut DSM IVA. Salah satu atau keduanya (1) atau (2)

(1) Enam ( atau lebih ) dari gejala tidak mampu memusatkan perhatian seperti di bawah ini menetap selama paling sedikit 6 bulan pada derajat maladaptif dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan:

Tidak mampu memusatkan perhatian (a) Sering gagal memusatkan perhatian pada hal-hal kecil atau membuat kesalahan yang ceroboh (tidak hati-hati) dalam pekerjaan sekolah, pekerjaan, kegiatan lain

(b) Sering sulit mempertahankan perhatian pada waktu melaksanakan tugas atau kegiatan bermain

(c) Sering seperti tidak mendengarkan pada waktu diajak bicara langsung

(d) Sering tidak mengikuti petunjuk dan gagal menyelesaikan pekerjaan sekolah dan tugas (tidak disebabkan oleh perilaku menentang atau kegagalan memahami petunjuk)

(e) Sering sulit mengatur tugas dan kegiatan (f) Sering menghindar, tidak suka atau enggan melibatkan diri dalam tugas yang memerlukan ketekunan yang berkesinambungan (seperti: melakukan pekerjaan rumah atau pekerjaan sekolah)

(g) Sering menghilangkan benda-benda yang diperlukan untuk melaksanakan tugas atau kegiatan

(h) Perhatiannya sering mudah dialihkan oleh rangsangan dari luar

(i) Sering lupa dalam kegiatan sehari hari (2) Enam ( atau lebih ) dari gejala hiperaktivitas dan impulsivitas seperti di bawah ini menetap selama paling sedikit 6 bulan pada derajat adaptif dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan:

Hiperaktivitas (a) Sering tangan dan kakinya tidak bisa diam atau tidak bisa duduk diam

(b) Sering meninggalkan tempat duduk di dalam kelas atau di situasi lain pada saat diharapkan ia untuk tetap diam

(c) Sering berlari-lari atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang tidak sesuai untuk hal tersebut

(d) Sering mengalami kesulitan bermain atau mengikuti kegiatan waktu senggang dengan tenang

(e) Sering dalam keadaan siap gerak (atau bertindak seperti digerakkan oleh mesin)

(f) Sering bicara berlebihan Impulsivitas (g) Sering melontarkan jawaban sebelum pertanyaan selesai ditanyakan

(h) Sering sulit menunggu giliran

(i) Sering menyelak atau memaksakan diri terhadap orang lain (misalnya: memotong percakapan atau mengganggu permainan) B. Gejala hiperaktif-impulsif atau tidak mampu memusatkan perhatian yang menimbulkan masalah telah ada sebelum usia 7 tahun.

C. Kegagalan yang ditimbulkan oleh gejala-gejala tersebut tampak pada dua atau lebih tempat (misalnya di sekolah atau tempat kerja dan di rumah).

D. Didapatkan bukti yang jelas adanya kegagalan yang bermakna secara klinis pada fungsi sosial, akademik, dan okupasional.

E. Gejala-gejala tersebut tidak disebabkan oleh gangguan perkembangan pervasif, gangguan skizofrenia atau gangguan psikotik dan tidak diakibatkan oleh adanya gangguan mental lain (misalnya: gangguan alam perasaan, gangguan cemas, gangguan disosiatif, gangguan kepribadian)

TatalaksanaADHD adalah gangguan yang bersifat heterogen dengan manisfestasi klinis yang beragam. Sampai saat ini belum ada satu jenis terapi yang dapat diakui untuk menyembuhkan anak dengan ADHD secara total. Berdasarkan evidence based, dan National Intistute of Mental Health, serta organisasi profesional lainnya di dunia seperti AACAP (American Academy of Child and Adolescent Psychiatry), penanganan anak dengan ADHD yang terbaik adalah dengan pendekatan komprehensif berdasarkan prinsip pendekatan yang multidisiplin. Dengan pendekatan ini maka anak selain mendapatkan terapi obat, juga diberi terapi perilaku, terapi kognitif dan latihan keterampilan sosial. Di samping itu perlu pula memberikan psikoedukasi kepada orang tua, pengasuh serta guru yang sehari-harinya berhadapan dengan anak tersebut.Tujuan utama dari penanganan anak dengan ADHD adalah; Memperbaiki pola perilaku dan sikap anak dalam menjalankan fungsinya sehari-hari terutama dengan memperbaiki fungsi pengendalian diri.

Memperbaiki pola adaptasi dan penyesuaian sosial anak sehingga terbentuk suatu kemampuan adaptasi yang lebih baik dan matang sesuai dengan tingkat perkembangan anak. TERAPI PSIKOFARMAKA

Pemberian obat pada anak dengan ADHD sudah dimulai sejak kurang lebih 50 tahun yang lalu. Obat yang merupakan pilihan pertama adalah obat golongan psikostimulan. Dikenal ada 3 macam obat golongan psikostimulan, yaitu : Golongan metilfenidat (satu-satunya yang dapat ditemukan di Indonesia)

Golongan deksamfetamin

Golongan pemolin Fakta mengenai pemberian obat golongan psikostimulan; Barkley, dan kawan-kawan mengatakan bahwa efektivitas pemakaian obat golongan metilfenidat adalah sebesar 60-70% dalam mengurangi gejala hiperaktivitas-impulsivitas dan inatensi. Pemberian obat jenis psikostimulan ini dikatakan cukup efektif untuk mengurangi gejala-gejala ADHD.

Efek samping yang sering ditemukan dalam pemakaian obat golongan ini adalah, penarikan diri dari lingkungan sosial, over fokus, letargi, agitasi, iritabel, mudah menangis, cemas, sulit tidur, penurunan nafsu makan, sakit kepala, pusing dan timbulnya tics yang tidak ada sebelumnya. Pada umumnya efek samping ini timbul pada waktu pemakaian pertama kali atau jika terjadi peningkatan dosis obat yang diberikan. Dengan demikian adanya gejala-gejala di atas dapat menandakan bahwa dosis yang diberikan terlampau tinggi.

Gejala efek samping akan hilang dalam beberapa jam sampai hari setelah obat dihentikan atau diturunkan dosisnya.

Penghentian pemakaian obat golongan psikostimulan sebaiknya dilakukan secara bertahap untuk menghindari terjadinya efek yang tidak menguntungkan.Beberapa obat lainnya yang dapat juga digunakan untuk mengobati gejala ADHD adalah; Obat antidepresan golongan trisiklik

Obat antidepresan golongan SSRI

Obat antidepresan golongan MAOI

Obat antipsikotik atipikal

Obat golongan antikonvulsan PENDEKATAN PSIKOSOSIAL:1. Pelatihan keterampilan sosial bagi anak dengan ADHD dengan tujuan agar anak dapat lebih mengerti norma-norma sosial yang berlaku sehingga mereka dapat berperilaku serta bereaksi sesuai dengan norma yang ada dan dapat berinteraksi dengan lebih optimal. 2. Edukasi bagi orang tua, agar orang tua dapat mengerti latar belakang gejala ADHD yang ada pada anak mereka sehingga mereka dapat bereaksi dengan lebih sesuai dan memberikan respons yang lebih adekuat.

3. Edukasi dan pelatihan bagi guru, pelatihan dan edukasi ini bertujuan:

Mengurangi terjadinya stigmatisasi pada anak dengan ADHD di sekolah, sehingga menghindari adanya anggapan buruk terhadap anak-anak ini, misalnya cap sebagai anak nakal, bandel atau malas, dsb.

Meningkatkan kemampuan guru dalam berempati terhadap perilaku dan reaksi emosi anak didik mereka yang mengalami ADHD (lihat peran guru dalam penanganan anak dengan ADHD). PERAN GURU

Mengikuti proses belajar mengajar merupakan salah satu tugas kewajiban anak, demikian juga anak dengan ADHD. Oleh karena itu guru sangat berperan dalam membantu menangani permasalahan anak dengan ADHD di sekolah. Tugas ini merupakan tugas yang terberat bagi guru oleh karena anak dengan ADHD mempunyai berbagai permasalahan seperti, kesulitan memusatkan perhatian, tidak mampu duduk diam, serta kesulitan untuk mengendalikan perilakunya dengan baik.Selama ini dikenal ada 3 jenis guru yang ditugaskan di sekolah, yaitu: Guru khusus atau guru PLB (pendidikan luar biasa)

Guru reguler (guru kelas atau guru bidang studi)

Guru bimbingan dan konseling

Mereka pada umumnya mempunyai berbagai tugas yang berbeda-beda dalam membantu anak dengan ADHD.1. Peran guru khusus (guru PLB)

Pelayanan PLB dapat diselenggarakan di sekolah khusus atau sekolah luar biasa, sekolah biasa atau sekolah reguler, di rumah sakit, atau di dalam keluarga. Pengkajian mendalam bagi anak-anak dengan ADHD biasanya dilakukan secara intensif oleh bidang kajian atau kekhususan pendidikan bagi anak dengan kesulitan belajar. Berbagai peran guru bagi anak dengan ADHD yang mengalami kesulitan belajar adalah: Menyusun rancangan program identifikasi, penilaian, dan pembelajaran.

Berpartisipasi dalam penjaringan, penilaian, dan evaluasi anak yang membutuhkan pelayanan khusus.

Berkonsultasi dengan para ahli yang terkait dalam penanganan anak dengan ADHD, terutama dalam menginterpretasikan laporan para ahli tersebut.

Melaksanakan berbagai tes untuk anak, baik yang formal maupun informal.

Berpartisipasi dalam penyusunan Program Pembelajaran Individual (PPI).

Mengimplementasikan PPI.

Menyelenggarakan pertemuan dan wawancara dengan orangtua.

Bekerjasama dengan guru reguler atau guru kelas untuk memahami anak dan menyediakan pembelajaran yang efektif.

Membantu anak dalam mengembangkan pemahaman diri dan memperoleh harapan untuk berhasil serta berkeyakinan untuk mengatasi kesulitan. 2. Peran guru kelas

Tujuan pembelajaran yang dirancang untuk anak dengan ADHD hanya dapat dicapai jika semua orang yang terlibat dalam proses pembelajaran dan pendidikan anak terintegrasi dengan baik. Dalam sistem pendidikan di Indonesia, maka peran guru kelas atau guru reguler dalam membantu menangani anak dengan ADHD adalah dalam bentuk merancang suatu program pembelajaran individual dengan melibatkan guru lain, orangtua, dan guru Bimbingan Konseling (BK, jika ada). 3. Peran guru BK

Guru BK tidak selalu tersedia di setiap sekolah. Beberapa peran yang dapat dilakukan oleh guru BK dalam menangani anak dengan ADHD adalah: Menjadi anggota tim dalam penyusunan PPI.

Bersama guru PLB menyusun program identifikasi, penilaian, dan pembelajaran.

Memberikan bimbingan dan konseling bagi orangtua anak dengan ADHD.

Menyelenggarakan pertemuan dengan orangtua bersama guru PLB dan guru reguler.

Bersama guru kelas atau guru PLB membantu anak untuk mengembangkan dirinya dengan melakukan pendekatan modifikasi perilaku. Untuk ini maka guru kelas atau guru PLB sebaiknya mengikuti pelatihan untuk dapat menerapkan tehnik modifikasi perilaku yang optimal

PERAN ORANGTUA

Peran orangtua merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam membantu pengembangan potensi anak dengan ADHD ini. Beberapa strategi yang dapat dilakukan orangtua untuk membantu anak dengan ADHD adalah sebagai berikut: 1. Berusaha mengenali dan memberi respons emosi yang tepat pada anak dengan ADHD, yaitu dengan beberapa cara seperti:

Berkomunikasi secara aktif dengan seluruh anggota keluarga.

Ciptakan suasana rumah yang kondusif agar seluruh anggota termasuk anak dengan ADHD ini secara bebas dapat mengemukakan apa yang membuat mereka merasa senang, takut, marah, atau tidak puas.

Tidak bersifat menghakimi atau menyalahkan pada waktu anak dengan ADHD mengemukakan perasaan maupun pikirannya.

Jika tidak mungkin berbicara secara langsung, bantu mereka untuk membuat catatan kecil atau menulis atau membuat gambar mengenai apa yang mereka rasakan atau pikirkan.

Belajar untuk mengerti dan menerima mereka sebagai mana adanya. 2. Tunjukkan empati

a. Orangtua sebaiknya belajar mengerti bagaimana sudut pandang anak dengan ADHD mengenai dirinya, kehidupan, dan lingkungannya.

b. Orangtua juga sebaiknya dapat membayangkan bagaimana kehidupan sehari-hari anak dengan ADHD ini.

c. Berbagilah dengan sesama anggota keluarga lain mengenai perasaan dan pikiran yang dirasakan orangtua sehingga seluruh anggota keluarga bisa mengerti dan berempati terhadap anak dengan ADHD yang tinggal bersama mereka. 3. Selalu bertanya untuk mendapatkan masukkan

a. Selalu bertanya tentang apa yang anda bisa lakukan dan bantuan apa yang dibutuhkan pada anak dengan ADHD maupun saudara kandungnya dan anggota keluarga lainnya.

b. Usahakan agar anda selaku orangtua bersikap reseptif dan mau menerima berbagai pendapat yang diberikan.

c. Jika terjadi perseteruan dalam keluarga bantu mereka untuk menyelesaikan masalah ini. 4. Melakukan modifikasi perilaku sederhana dengan cara:

a. Buat daftar perilaku anak dengan ADHD yang menjadi permasalahan dan susun prioritas masalah.

b. Diskusikan hal ini dengan anak dan tetapkan satu atau dua perilaku yang akan dimodifikasi.

c. Beri informasi ini kepada seluruh anggota keluarga sehingga mereka dapat mendukung perbaikan perilaku yang diharapkan. 5. Jelaskan dan selalu lakukan evaluasi mengenai harapan yang ingin dicapai kepada anak dengan ADHD maupun saudara kandungnya secara jelas dan singkat.

6. Membantu anak dengan ADHD ini untuk mengembangkan beberapa strategi dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan tertentu, dengan mengajarkan anak dengan ADHD dan saudara kandungnya cara penyelesaian masalah yang optimal, seperti:

Mengidentifikasi masalah Mencari berbagai alternatif penyelesaian masalah Pilihan alternatif terbaik Lakukan alternatif yang terpilih Evaluasi apakah berhasil atau tidak, jika tidak maka cari alternatif yang lain.6. Rancang tata ruang rumah yang ramah bagi anak dengan ADHD, seperti:

Sediakan ruang bermain tersendiri yang tidak terlalu besar, berikan berbagai aktivitas yang terstruktur.

Ciptakan struktur tata ruang yang sederhana dan tidak kompleks.

Kurangi hal-hal yang dapat membuat anak teralih perhatiannya, seperti kurangi penggunaan radio, TV atau permainan komputer. Matikan alat-alat tersebut jika tidak digunakan.

Sediakan ruang belajar yang sesuai, yaitu cukup tenang dan terpisah dari kegiatan rumah tangga lainnya. 7. Bantu anak dengan ADHD untuk dapat mengorganisasikan kegiatannya dan mengembangkan keterampilan sosialnya, dengan jalan:

Mempersiapkan keperluan sekolah pada malam sebelumnya, misalnya menyiapkan buku, menyesaikan pekerjaan rumah. Siapkan waktu yang cukup di pagi hari (sebelum berangkat sekolah) untuk sarapan pagi, berpakaian, dsb.

Melatih anak dengan ADHD untuk dapat mengorganisasikan kegiatan-kegiatannya seperti melatih mereka untuk mencatat segala pekerjaan rumah yang ada, siapkan batas waktu tertentu dan supervisi pekerjaan rumah tersebut.

Melatih anak dengan ADHD untuk dapat bersosialisasi dengan baik, misalnya dengan melakukan main peran. Selalu mendukung anak agar dapat berperilaku positif.

Menggunakan berbagai isyarat yang hanya dimengerti oleh orangtua dan anak jika anak menunjukkan perilaku yang tidak sesuai, sehingga menghindari kritikan secara langsung di muka umum.

Membuat jadwal harian anak yang konsisten, dan tempatkan jadwal tersebut di tempat-tempat yang terbaca oleh anak. Jadwal tersebut umumnya memuat:

Jam bangun tidur di pagi hari

Jam mandi di pagi hari dan sore hari

Jam makan pagi, siang dan malam

Jam pulang sekolah

Jam tidur siang

Jam les (jika anak mendapatkan pelajaran tambahan)

Jam bermain, nonton TV dan beristirahat Jam tidur di waktu malam Jika ada perubahan kegiatan atau jadwal, maka sebaiknya anak diberitahu beberapa hari sebelumnya. 8. Usahakan untuk selalu bertemu dengan guru kelas anak secara reguler dan diskusikan berbagai sisi kelebihan dan kekurangan anak.

9. Tanyakan pada guru, apa yang dapat anda lakukan sebagai orangtua untuk membantu anak agar dapat mengikuti pelajaran dengan baik.

10. Usahakan agar orangtua mengikuti kemajuan anak di dalam sekolah.

11. Jika terjadi perselisihan/konflik dengan anak ADHD, orangtua dapat melakukan time out sehingga mencegah memburuknya hubungan orangtua-anak.

12. Jika orangtua terus merasakan kesulitan, diskusikanlah perasaan ini dengan dokter atau konselor.

13. Orangtua juga bisa melakukan pertemuan dengan orang tua yang anaknya menderita ADHD melalui grup pendukung ADHD.

14. Jika dibutuhkan, orangtua bisa membicarakan permasalahan yang dihadapi dengan konselor yang memahami ADHD. Prognosis ADHD biasanya berlanjut pada usia dewasa (gejala hiperaktif kurang jelas). Tanpa pemahaman diri, dewasa ADHD cenderung berperilaku risiko tinggi :

Merugikan diri dan orang di lingkungan Meningkatkan angka perceraian, PHK, kriminalitas, adiksi, penghuni RSJ.1.3. AUTISMEEpidemiologiAutisme merupakan gangguan perkembangan yang ditandai oleh gangguan pada proses interaksi sosial, penyimpangan komunikasi, dan pola perilaku yang timbul sebelum anak tersebut mencapai usia tiga tahun. Autisme terjadi sekitar 0,5 -1 pada 1000 anak dengan rasio antara laki-laki dan wanita 4:1. Berdasarkan statistik departemen pendidikan Amerika Serikat angka pertumbuhan autisme adalah 10-27 persen per tahun. National Institute of Mental Health Amerika (NIMH) memperkirakan antara 2 dan 6 per 1000 orang menderita autisme.

Etiologi Penyebab dari autisme adalah multifaktorial, salah satu faktor penyebab dari autisme yaitu:

1. Kelainan Organik-Neurologis-Biologis

Faktor psikodinamika dan keluarga tidak terbukti berpengaruh terhadap autisme, namun beberapa anak autisme berespon terhadap stresor psikososial, seperti kelahiran seorang adik atau pindah ke rumah baru, dengan eksaserbasi gejala. Gangguan dan gejala autisme berhubungan dengan kondisi yang memiliki lesi neurologis, terutama rubella congenital, fenilketonuria/PKU, sklerosis tuberosus dan gangguan Rett

Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI), menemukan hipoplasia pada lobulus vermal VI dan VII serebelar dan abnormalitas kortikal, terutama polimikrogria, pada beberapa pasien autisme. Kelainan tersebut mungkin mencerminkan migrasi sel yang abnormal dalam enam bulan pertama gestasi

Pemeriksaan Positron Emmision Tomography (PET) ditemukan peningkatan metabolisme kortikal difus

Gangguan perkembangan amigdala, hipokampus2. Kelainan genetik Kemungkinan kejadian pada kembar monozigot 60%

Mutasi pada kromosom no. 2, 7, 13, 15, 16, 17, dan kromosom X

Pada anak kembar, kemungkinan terjadi autisme lebih besar pada saudara yang satu apabila saudara kembarnya terkena.3. Gangguan imunologis

Inkompatibilitas imunologi antara ibu dan embrio atau janin dapat menyebabkan gangguan autistik. Limfosit beberapa anak autistik bereaksi dengan antibodi maternal, yang meningkatkan kemungkinan bahwa jaringan neural embrionik atau ekstraembrional mungkin mengalami kerusakan selama kehamilan.4. Faktor Perinatal

Tingginya insidensi berbagai komplikasi perinatal, tetapi belum dinyatakan sebagai penyebab secara langsung. Selama gestasi, perdarahan maternal setelah trimester pertama dan mekonium dalam cairan amnion sering ditemukan. Dalam periode neonatus, ditemukan insidensi tinggi sindroma gawat pernafasan dan anemia neonatus. Tingginya insidensi pemakaian medikasi selama kehamilan dari ibu5. Faktor Neuroanatomi

Lobus temporalis kemungkinan abnormal. Sehingga dapat menyebabkan perilaku sosial menghilang, kegelisahan, perilaku motorik berulang, dan ditemukan kumpulan perilaku yang terbatas. Penurunan sel purkinye di serebelum kemungkinan menyebabkan kelainan atensi, kesadaran dan proses sensorik.

6. Faktor Biokimiawi

1/3 pasien mengalami peningkatan serotonin plasma, tedapat juga pada retardasi mental

Insidensi tinggi hiperserotonemia

Keparahan gejala menurun saat rasio 5-hydroxyindoleacetic acid [5-HIAA, metabolit serotonin] cairan serebrospinalis terhadap homovanillic acid cairan serebrospinalis meningkat. 5-HIAA cairan serebrospinalis mungkin berbanding terbalik dengan kadar serotonin darah, kadar tersebut meningkat pada sepertiga pasien autistik, juga terdapat pada retardasi mentalGejala Klinisa. Gangguan komunikasi: tampak tuli, gangguan bicara, biasanya menggunakan kata ganti yang salah, seperti saya diganti dengan kamu, terlambat bicara, mengeluarkan kata-kata yang tidak dapat dimengerti, sering meniru dan mengulang kata tanpa ia mengerti maknanya (echolalia)b. Gangguan sensoris: sensitif terhadap suara, rasa, sentuhan, kadang tidak merasakan sakit bila terluka

c. Gangguan psikososial: kontak mata yang minim bahkan tidak ada, menarik diri dari lingkungan sosial, tampak kurang empati dan simpati.d. Gangguan perilaku: hiperaktif atau hipoaktif, suka menyakiti diri sendiri.

e. Gangguan emosi: tertawa atau menangis tanpa sebab, tidak mengungkapkan emosi secara tepat.

f. Stereotipi, yaitu gerakan, postur tubuh, atau ucapan yang dilakukan berulang-ulang dan berpola.

Terapi Terapi harus intensif dan terpadu

Secara formal sebaiknya 4-8 jam sehari

Seluruh keluarga harus terlibat untuk memicu komunikasi dengan anak

Kerjasama tim : psikiater, psikolog, neurolog, dokter anak, terapis bicara dan pendidik

Autisme tidak dapat sembuh dengan sempurna, terapi hanya bersifat meningkatkan kualitas hidup melalui peningkatan perkembangan yang semula tidak dimiliki Terapi-terapi tersebut antara lain :1) Terapi Medikamentosa

Beberapa terapi medikamentosa yang dapat diberikan adalah : Haloperidol

Suatu obat antipsikotik yang mempunyai efek meredam psikomotor, biasanya digunakan pada anak yang menampakkan perilaku temper tantrum yang tidak terkendali serta mempunyai efek lain yaitu meningkatkan proses belajar biasanya digunakan dalam dosis 0,2 mg. Fenfluramin

Suatu obat yang mempunyai efek mengurangi kadar serotonin darah yang bermanfaat pada beberapa anak autism. Naltrexone

Merupakan obat antagonis opiat yang diharapkan dapat menghambat opioid endogen sehingga mengurangi gejala autisme seperti mengurangi cedera pada diri sendiri dan mengurangi hiperaktifitas.

Clompramin

Merupakan obat yang berguna untuk mengurangi stereotipik, konvulsi, perilaku ritual dan agresifitas, biasanya digunakan dalam dosis 3,75 mg. Lithium

Merupakan obat yang dapat digunakan untuk mengurangi perilaku agresif dan mencederai diri sendiri. Ritalin

Untuk menekan hiperaktifitas. Risperidon

Dengan dosis 2 x 0,1 mg telah dapat mengendalikan perilaku dan konvulsi.

2) Terapi Psikologis

Intervensi difokuskan pada peningkatan kemampuan bahasa dan komunikasi, self help dan perilaku sosial serta mengurangi perilaku yang tidak dikehendaki seperti melukai diri sendiri/self mutilation, temper tantrum dengan penekanan pada peningkatan fungsi individu dan bukan menyembuhkan dalam arti mengembalikan anak autisme ke posisi normal. Bisa dengan pemberian mainan bervariasi dengan tujuan mengurangi kekakuan. Memberikan stimulasi spesifik dan latihan untuk mengkompensasikan keterlanbatan perkembangan secara menyeluruh. Mencegah timbulnya gangguan sekunder. Cara-cara tersebut hanya dapat dilakukan pada anak autisme dengan lingkungan yang terstruktur dan teratur dengan baik. Anak autisme memiliki pola berpikir yang berbeda, mereka mengalami kesulitan untuk memahami lingkungannya ( sehingga harus diciptakan lingkungan terstruktur, antara lain dengan : Keteraturan waktu dan tempat Memberi stimulasi dan pelatihan melalui berbagai aspek yang sesuai dengan minat yang dimiliki masing-masing anak. Pengajaran bertahap dan menggunakan alat peraga Dilakukan secara individual/khusus Pemberian pengertian kepada orang tua tentang kondisi dan bersikap menerima serta dilatih untuk dapat melakukan terapi sendiri terhadap anak mereka.3) Terapi Wicara

Melalui pendekatan behaviouris-model operant conditioning ( pelatihan dengan proses pemberian reinforcement dan meniru vokalisasi terapis.4) Fisioterapi

Pemberian terapi ini berfungsi merangsang perkembangan motorik dan kontrol tubuh.5) Alternatif Terapi Lainnya

a. Musik : menyanyi, menari mengikuti irama dan memainkan alat musik. Berguna untuk mengekspresikan diri.b. Son Rise Program : program ini didasarkan pada sikap menerima dan mencintai tanpa syarat pada anak autisme. Latihan dan stimulasi yang intensif dapat menghasilkan perkembangan pada anak tanpa adanya tanda-tanda autis.c. Program Fasilitas Komunikasi : merupakan metode penyediaan dukungan fisik, misalnya papan alphabet, papan gambar, mesin ketik atau komputer.d. Terapi Vitamin : pemberian vitamin B6 dalam dosis tinggi yang dikombiasikan dengan magnesium, mineral dan vitamin lainnya.e. Diet Khusus/Dietary Intervention : disesuaikan dengan cerebral allergies yang diderita pada penyandang autis.

PrognosisGangguan autistik memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan prognosis yang terbatas. Prognosis terbaik adalah, anak-anak autistik dengan IQ di atas 70 dan mereka yang menggunakan bahasa komunikatif pada usia 5 sampai 7 tahun.

Hanya 1 atau 2 persen yang mencapai status normal dan mandiri dengan pekerjaan yang mencukupi, 5 sampai 10 persen mencapai status normal ambang. Prognosis membaik jika lingkungan atau rumah adalah suportif dan mampu memenuhi kebutuhan anak tersebut yang sangat banyak.1.4. RETARDASI MENTALBerdasarkan American Association on Mental Retardation, definisi Retardasi mental merujuk kepada keterbatasan substansial pada fungsi. Ditandai dengan secara signifikan fungsi intelektual dibawah rata-rata, muncul bersamaan dengan keterbatasan pada dua atau lebih area keterampilan adaptif: komunikasi, merawat-diri, hidup dirumah, kemampuan sosial, penggunaan komunikasi, kesehatan dan keamanan, fungsi akademik, waktu luang, dan kerja. Retardasi mental bermanifestasi sebelum usia 18 tahun. Secara peraktik anak-anak dibawah umur 18 tahun harus memiliki IQ < 75 dan defisit setidaknya 2 dari perilaku adaptif yang mengindikasikan diagnosis retardasi mental. Epidemiologi

Berdasarkan sampling empiris, baroff (1991) hanya 0.9% populasi yang dapat diasumsikan retardasi mental. Diperkirakan sekitar 89% anak-anak mengalami retardasi mental ringan, 7% retaradasi mental sedang, dan 4% retardasi mental berat hingga sangat berat. Lebih banyak laki-laki dibanding perempuan.

Prevalensi retardasi mental sekitar 1% dalam satu populasi. Di Indonesia 1-3% penduduknya menderita kelainan ini. Insidennya sulit diketahui karena retardasi mental kadang-kadang tidak dikenali sampai anak-anak usia pertengahan dimana retardasinya masih dalam taraf ringan. Insiden tertinggi pada masa anak sekolah dengan puncak umur 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

Klasifikasi

DSM-IV mengklasifikasi menjadi empat tingkatan retardasi mental: mild, moderate, severe, dan profound. Kategori ini berdasarkan level fungsional di tiap individu.

Retardasi mental ringanSekitar 85% dari populasi retardasi mental pada kategori ini. IQ-nya antara 55-70, dan mereka dapat menerima keterampilan akademik sampai level grade 6. Pada umunya anak-anak dengan retardasi mental ringan tidak dikenali sampai anak tersebut menginjak tingkat pertama atau kedua disekolah. Keterampilan sosial dan komunikasinya mungkin adekuat dalam tahun-tahun prasekolah. Tetapi saat anak menjadi lebih besar, defisit kognitif tertentu seperti kemampuan yang buruk untuk berpikir abstrak dan egosentrik mungkin membedakan dirinya dari anak lain seusianya.

Retardasi mental sedangSekitar 10% dari populasi retardasi mental diperkirakan dalam kategori ini. Individu dengan retardasi mental sedang memiliki IQ antara 40-55. Mereka dapat melakukan perkerjaan. Keterampilan komunikasi berkembang lebih lambat. Isolasi sosial dirinya mungkin dimulai pada usia sekolah dasar. Dapat dideteksi lebih dini jika dibandingkan retardasi mental ringan.

Retardasi mental beratSekitar 3-4% dari populasi retardasi mental yang termasuk kategori ini. Individu dengan retardasi mental berat memiliki IQ 25-40. Bicara anak terbatas dan perkembangan motoriknya buruk. Pada usia prasekolah sudah nyata ada gangguan, Pada usia sekolah mungkin kemampuan bahasanya berkembang. Jika perkembangan bahasanya buruk, bentuk komunikasi non-verbal dapat berkembang.

Retardasi mental sangat beratHanya sekitar 1-2% dari populasi retardasi mental diklasifikasikan sebagai retardasi sangat berat. Memiliki IQ dibawah 25. Mereka dapat mengembangkan kemampuan komunikasi dasar dengan dukungan dan latihan. Keterampilan komunikasi dan motoriknya sangat terbatas. Pada masa dewasa dapat terjadi perkembangan bicara dan mampu menolong diri sendiri secara sederhana. Tetapi seringkali masih membutuhkan perawatan orang lain.

EtiologiFaktor-faktor etiologi retardasi mental dapat secara primer genetik, developmental, didapat, atau kombinasi. Penyebab genetik termasuk kondisi kromosom; faktor developmental termasuk ekposure prenatal terhadap infeksi dan toksin; dan sindrom yang didapat termasuk trauma prenatal (e.g. prematurity) dan faktor sosiokultural. Pada tiga perempat orang dengan retardasi mental penyebabnya tidak diketahui.

Penyebab kelainan mental ini adalah faktor keturunan (genetik) atau tak jelas sebabnya (simpleks). Keduanya disebut retardasi mental primer. Sedangkan faktor sekunder disebabkan oleh faktor luar yang berpengaruh terhadap otak bayi dalam kandungan atau anak-anak.

Retardasi mental menurut penyebabnya, yaitu :

1. Akibat infeksi dan/atau intoksikasi.

Dalam kelompok ini termasuk keadaan retardasi mental karena kerusakan jaringan otak akibat infeksi intrakranial, karena serum, obat atau zat toksik lainnya.

2. Akibat rudapaksa dan atau sebab fisik lain.

Rudapaksa sebelum lahir serta juga trauma lain, seperti sinar x, bahan kontrasepsi dan usaha melakukan abortus dapat mengakibatkan kelainan dengan retardasi mental.

3. Akibat gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi.

Semua retardasi mental yang langsung disebabkan oleh gangguan metabolisme (misalnya gangguan metabolime lemak, karbohidrat dan protein), pertumbuhan atau gizi termasuk dalam kelompok ini.

Ternyata gangguan gizi yang berat dan yang berlangsung lama sebelum umur 4 tahun sangat mempengaruhi perkembangan otak dan dapat mengakibatkan retardasi mental. Keadaan dapat diperbaiki dengan memperbaiki gizi sebelum umur 6 tahun, sesudah ini biarpun anak itu dibanjiri dengan makanan bergizi, intelegensi yang rendah itu sudah sukar ditingkatkan.

4. Akibat penyakit otak yang nyata (postnatal).

Dalam kelompok ini termasuk retardasi mental akibat neoplasma (tidak termasuk pertumbuhan sekunder karena rudapaksa atau peradangan) dan beberapa reaksi sel-sel otak yang nyata, tetapi yang belum diketahui betul etiologinya (diduga herediter). Reaksi sel-sel otak ini dapat bersifat degeneratif, infiltratif, radang, proliferatif, sklerotik atau reparatif.

5. Akibat penyakit/pengaruh pranatal yang tidak jelas

Keadaan ini diketahui sudah ada sejak sebelum lahir, tetapi tidak diketahui etiologinya, termasuk anomali kranial primer dan defek kogenital yang tidak diketahui sebabnya.

6. Akibat kelainan kromosom.

Kelainan kromosom mungkin terdapat dalam jumlah atau dalam bentuknya.

7. Akibat prematuritas.

Kelompok ini termasuk retardasi mental yang berhubungan dengan keadaan bayi pada waktu lahir berat badannya kurang dari 2500 gram dan/atau dengan masa hamil kurang dari 38 minggu serta tidak terdapat sebab-sebab lain seperti dalam sub kategori sebelum ini.

8. Akibat gangguan jiwa yang berat.

Untuk membuat diagnosa ini harus jelas telah terjadi gangguan jiwa yang berat itu dan tidak terdapat tanda-tanda patologi otak.

9. Akibat deprivasi psikososial.

Retardasi mental dapat disebabkan oleh fakor-faktor biomedik maupun sosiobudaya.

Patologi/ PatogenesisSecara umum otak individu memperlihatkan hanya perubahan ringan, nonspesifik yang berhubungan dengan derajat kecacatan intelektual. Perubahan ini meliputi mikrosefali, gray matter heterotopias in the subcortical. Hanya sedikit dari bagian otak yang memperlihatkan perubahan spesifik pada dendrit dan sinaps, dengan dysgenesis dendrite neuron spina atau korteks piramidal, atau gangguan pertumbuhan cabang dendrit.

Manifestasi KlinisKebanyakan anak-anak dengan kecacatan intelektual datang pertama kali ke dokter spesialis anak pada saat bayi karena dysmorphism, berkaitan disfungsi, atau gagal mencapai perkembangan yang sesuai umur, tetapi dysmorphism adalah tanda awal yang membawa anak-anak ke dokter. Sebagian besar anak-anak dengan cacat intelektual tidak mampu mengimbangi perkembangan anak lain seumurnya. Pada masa awal bayi, gagal mencapai perkembangan yang diharapkan meliputi, gangguan respon visual atau pendengaran, tonus otot yang tidak biasa (hipo atau hipertonia) atau postur tubuh dan kesulitan makan. Antara 6 hingga 18 bulan, keterlambatan motorik (gagal duduk, merayap, berjalan). Keterlambatan bahasa dan masalah perilaku merupakan masalah utama setelah 18 bulan.

DiagnosisKriteria Diagnostik

Fungsi intelektual secara bermakna di bawah rata-rata IQ, kira-kira 70 atau kurang pada tes IQ yang dilakukan secara individual (untuk bayi, pertimbangan klinisnya adalah fungsi intelektual yang jelas di bawah rata-rata)

Adanya defisit atau gangguan penyerta dalam fungsi adaptif sekarang pada sekurangnya dua bidang keterampilan berikut. - komunikasi, merawat diri sendiri, aktivitas di rumah, keterampilan sosial/interperso - menggunakan sarana masyarakat, mengarahkan diri sendiri, keterampilan fungsional, pekerjaan, liburan, kesehatan, dan keamanan

Bermula sebelum usia 18 tahun

Anamnesis

Anamnesis dapat diperoleh dari orang tua atau pengasuh, dengan menggali riwayat ibu hamil, proses persalinan dan kelahiran; adanya riwayat keluarga retardasi mental; pertalian darah orang tua; dan gangguan herediter.

Interview psikiatri

Kemampuan verbal pasien meliputi bahasa reseptif dan ekspresif, harus dinilai sedini mungkin dengan mengobservasi komunikasi antara pengasuh dan pasien dan dengan cara menggali riwayatnya.

Kontrol pasien atas pola motilitas harus dipastikan dan bukti klinis atas kebingungan dan distorsi dalam persepsi dan memori harus dievaluasi. kegunaan bicara, tes realitas, dan kemampuan untuk mengeneralisasi dari pengalaman harus dinilai. Kontrol frustasi, toleransi, dan impulse, terutama motorik, agresifitas, dan dorongan seksual.

Pemeriksaan fisik

Konfigurasi dan ukuran kepala memberi petunjuk kondisi yang bervariasi, seperti mikrosefali, hidrosefalus, dan sindrom down. Wajah pasien mungkin memiliki beberapa tanda retardasi mental seperti hipertelorisme, hidung rata, alis yang lebat, lipatan epicanthal, perubahan retina, ukuran telinga tidak simetris, lidah yang menjulurm dan pertumbuhan gigi yang terganggu.

Pemeriksaan neurologis

Gangguan sensori sering terjadi pada pasien dengan retardasi mental. Gangguan sensori dapat meliputi gangguan pendengaran, mulai dari tuli kortikal hingga defisit pendengaran ringan. Gangguan penglihatan mulai dari kebutaan hingga gangguan konsep spasial, pengenalan desain dan konsep body-image. Banyak anak dengan retardasi mental berat, bagaimanapun juga, tidak memiliki keabnormalan neurologis.

Gangguan pada area motorik bermanifestasi kepada keabnormalan tonus otot (spastisitas atau hipotonia), refleks (hiperrefleksia), dan gerakan involunter (koreoatetosis).Pemeriksaan Laboratorium

Tes labaoratorium digunakan untuk menguraikan penyebab retardasi mental, termasuk analisis kromosom, tes urin dan darah untuk gangguan metabolik, dan neuroimaging.

Penatalaksanaan

Tatalaksana individu dengan retardasi mental adalah berdasarkan penilaian aspek sosial, pendidikan, psikiatri, dan lingkungan. Retardasi mental dengan variasi gangguan psikiatri komorbid sering memerlukan penatalaksanaan yang khusus.

Pencegahan primer adalah tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan atau menurunkan kondisi yang menyebabkan gangguan. Tindakan tersebut termasuk pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat umum, usaha terus menerus dari profesional bidang kesehatan untuk menjaga dan memperbaharui kebijakan kesehatan masyarakat, aturan untuk memberikan pelayanan kesehatan maternal dan anak yang optimal, dan eradikasi gangguan yang diketahui disertai kerusakan sistem saraf pusat. konseling keluarga dan genetik dapat membantu.

Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mempersingkat perjalanan pennyakit sedangkan pencegahan tersier bertujuan untuk menekan kecacatan yang terjadi. Dalam pelaksanaannya kedua jenis pencegahan ini dilakukan bersamaan, yang meliputi pendidikan untuk anak; terapi perilaku, kognitif dan psikodinamika; pendidikan keluarga; dan intervensi farmakologis.

Pendidikan untuk anak

Seting pendidikan untuk anak dengan retardasi mental seharusnya meliputi program komperhensif yang bertujuan dalam melatih keterampilan adaptif, sosial, dan pekerjaan. Perhatian lebih ditujukan pada komunikasi dan upaya untuk meningkatkan kualitas hidup.

Terapi perilaku, kognitif, dan psikodinamik

Kesulitan beradaptasi diantara anak-anak dengan retardasi mental sangat luas dan bervariasi. Terapi perilaku telah digunakan selama bertahun-tahun untuk membentuk dan meningkatkan perilaku sosial dan untuk mengontrol dan mengurangi perilaku agresif dan merusak. Terapi kognitif, seperti membuang kepercayaan buruk dan latihan relaksasi denan intruksi sendiri, juga direkomendasikan. Terapi psikodinamik dilakukan denga pasien dan keluarganya untuk menurunkan konflik tentang ekspetasi yang menghasilkan kecemasan, kemarahan, dan depresi.

Pendidikan Keluarga

Salah satu area yang penting yang harus dilakukan dokter adalah mengedukasi keluarga tentang pasien dengan retardasi mental tentang cara untuk meningkatkan kompetensi dan percaya diri.

Farmakologi

Pengobatan tidak terlalu berguna untuk mengatasi gejala utama dari retardasi mental; tidak ada agen yang ditemukan dapat meningkatkan fungsi intelektual. Pengobatan mungkin berguna dalam mengatasi gangguan psikiatrik dan perilaku yang berhubungan. Psikofarmakologi secara umum diarahkan pada gejala khusus yang kompleks meliputi ADHD, perilaku membahayakan diri, dan agresif.

Komplikasi

Anak-anak dengan retardasi mental memiliki gangguan emosional, penglihatan, pendengaran, ortopedik, yang lebih tinggi dibanding dengan anak lainnya. Jika tidak ditanggulangi, gangguan tersebut dapat secara potensial mempengaruhi outcome individu dibanding dengan gangguan intelektualnya.

Pencegahan

Contoh program pencegahan primer, meliputi:

1. Meningkatkan kewaspadaan publi terhadap bahaya alkohol dan berbagai obat-obatan yang dapat mengganggu janin

2. Mencegah hamil muda dan promosi antenatal care3. Mencegah luka trauma

4. Mencegah keracunan

5. Mendukung gerakan hubungan seks aman untuk mencegah PMS

6. Mengimplementasikan program imunisasiPrognosis

Retardasi mental ringan mungkin tidak selalu seumur hidup. Anak mungkin memenuhi krteria retardasi mental pada usia awal tetapi selanjutnya berubah ke gangguan perkembangan yang lebih spesifik (gangguan komunikasi, autisme).

Untuk penderita retardasi mental sedang, tujuan edukasi adalah untuk meningkatkan kemampuan adaptif dan pertahanan diri dan kemampuan melakukan pekerjaan sehingga mereka dapat hidup dalam dunia orang dewasa.

Pada saat dewasa penderita dengan retardasi mental sangat berat biasanya memerlukan dukungan pervasif yang lebih.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Anak 7,5 tahun datang dengan keluhan sangat aktif dirumah dan sekolahnya. Kektifannya hingga mengganggu lingkungan sekitarnya. Dokter melakukan anamnesis lebih lanjut.

Dari gejala tersebut, diperlukan anamnesis lebih lanjut dan pemeriksaan neurologis serta status mental. Kelompok kami mendiagnosis banding dengan ADHD, autisme, dan retardasi mental. Diagnosis kerja dari kelompok kami adalah ADHD. Namun dikarenakan baru pertama kali datang ke dokter, masih diperlukan kunjungan ulang untuk melakukan evaluasi yang lebih lanjut.

Penatalaksanaan awal ialah kita dapat melakukan pendekatan secara psikologis untuk mendekatkan dengan anak tersebut sebelum ditegakkan diagnosis pastinya untuk mendapatkan terapi farmakologis yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

APA. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5th ed. Arlington: American Psychiatric Assocations.

Maslim, R. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: Ilmu Kedokteran Jiwa Unika Atmajaya.Sadock, B.J., Kaplan, H.I. 2010. Sinopsis Psikiatri. Jakarta: Binarupa Aksara.

29