Author
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
GAMBARAN INTERAKSI SOSIAL PADA ANAK TUNARUNGU USIA
SEKOLAH DI SLB SEJAHTERA DAN SLB-B TUNAS KASIH KOTA
BOGOR TAHUN 2017
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Dalam Menyelesaikan Mata Kuliah
Karya Tulis Ilmiah Diploma III Keperawatan Program Studi Keperawatan Bogor
Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung
Disusun oleh :
SIGIT DHEA APRIANA
NIP P17320314039
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN BOGOR
2017
LEMBAR PERSETUJUAN
GAMBARAN INTERAKSI SOSIAL PADA ANAK TUNARUNGU USIA
SEKOLAH DI SLB SEJAHTERA DAN SLB-B TUNAS KASIH KOTA
BOGOR TAHUN 2017
Disusun oleh:
SIGIT DHEA APRIANA
P17320314039
Karya Tulis Ilmiah ini telah disetujui untuk diujikan pada tanggal 7 Juli 2017
Pembimbing
Ningning Sri Ningsih,M.Kep
NIP. 19650420199002001
Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Bandung
Program Studi Keperawatan Bogor
Sigit Dhea Apriana
P17320314039
Gambaran Interaksi Sosial Anak Tunarungu Usia Sekolah Di SLB Sejahtera dan
SLB-B Tunas Kasih Kota Bogor Tahun 2017.
i-ix + 56 halaman, VI Bab, 8 Tabel, 7 Lampiran
ABSTRAK
Anak mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, dimana salah satu
kekurangannya adalah anak dengan gangguan pendengaran. Anak yang mengalami
gangguan pendengaran akan mengalami berbagai hambatan dalam meniti
perkembangannya terutama pada aspek berbahasa dan penyesuaian social yang
mengakibatkan anak tunarungu mengalami hambatan perkembangan bahasa dan
bicara yang tentu mempengaruhi kemampuan berkomunikasinya. Karena hambatan
tersebut, anak tunarungu akan merasa kesepian yang berkepanjangan karena
mengalami penolakan saat berinteraksi dengan teman sebayanya. Hal ini menjadi
faktor penghambat dari kemampuan interaksi sosial, agar interaksi sosial berjalan
dengan baik, diharapkan manusia mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri
terhadap lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran interaksi sosial pada anak
tunarungu usia sekolah di SLB Sejahtera dan SLB-B Tunas Kasih Kota Bogor.
Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran interaksi sosial pada
anak tunarungu. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian deskriptif. Pengambilan sample yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Probability Sampling dengan teknik Proportionate Random Sampling.
Peneliti menggunakan kuesioner social interaction dengan menggunakan skala
likert. Hasil penelitian ini didapatkan lebih dari setengahnya (67%) atau sebanyak
22 responden memiliki interaksi sosial tinggi. Dari 22 responden yang memiliki
interaksi sosial tinggi sebagian besar berjenis kelamin laki-laki. Diharapkan bagi
pihak terkait untuk dapat melakukan pengembangan pembelajaran interaksi sosial
dengan cara membentuk sebuah kelompok belajar pada saat pembelajaran di
sekolah agar anak dapat lebih berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
Daftar Pustaka : 24 ( 2005-2016)
Kata Kunci : Interaksi Sosial Anak Usia Sekolah Tunarungu.
LEMBAR PENGESAHAN
GAMBARAN INTERAKSI SOSIAL PADA ANAK TUNARUNGU USIA
SEKOLAH DI SLB SEJAHTERA DAN SLB-B TUNAS KASIH KOTA
BOGOR TAHUN 2017
SIGIT DHEA APRIANA
NIM. P17320314039
Karya Tulis Ilmiah ini telah diujikan dan disahkan pada tanggal 7 Juli 2017
Tim Penguji
Ketua ( Pembimbing ) : Ningning Sriningsih. M.kep (.........................)
NIP. 19650420199002001
Anggota: : Dwi Susilowati. M.Kes (.........................)
NIP. 197007131993032001
: Siti Nur halimah. APPd. M.PH (.........................)
NIP. 196602021988032001
Mengetahui :
Program Studi Keperawatan Bogor
Ketua
Susmadi, S.Kp, M.Kep
NIM.196503131989011001
i
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr. Wb.
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, karena atas ridho dan karunia-Nyalah
peneliti dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Gambaran
Interaksi Sosial Pada Anak Tunarungu Usia Sekolah Di SLB Sejahtera Dan SLB-
B Tunas Kasih Kota Bogor Tahun 2017”. Karya Tulis Ilmiah ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Pendidikan Diploma
III Keperawatan pada Program Studi Keperawatan Bogor Politeknik Kesehatan
Kemenkes Bandung.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini peneliti tidak lepas dari hambatan
serta kesulitan. Namun berkat bimbingan, arahan serta bantuan dari berbagai
pihak akhirnya peneliti dapat menyelesaikan proposal penelitian ini. Oleh karena
itu, dalam kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan terima kasih serta
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Susmadi, S.kp, M.Kep selaku Ketua Program Studi Keperawatan
Bogor Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung.
2. Ibu Ningning Sri Ningsih, S.kp, M.Kep selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, bantuan serta motivasi dalam penyusunan
Proposal penelitian ini.
3. Ibu Yuyun Rani Haryuningsih. M.kes selaku wali tingkat IIIA yang selalu
memberikan semangat dan motivasinya dalam menyusun Proposal penelitian.
4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Keperawatan Bogor yang banyak
memberikan ilmu, motivasi dan semangat.
ii
5. Kepada kedua orang tua saya dan adik saya yang selalu memberikan
semangat dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.
6. Alfin Afiyat, Adi Rahmansyah, Dian Rahmatilah, Farhan Widinar Alfandi,
Hamdani, Reno Hartono, Randi Anugrah, Syahrial Irfansyah teman-teman
yang selalu memberikan tawa disetiap harinya.
7. Dina Nur Fajrin seseorang yang spesial yang selalu memberikan semangat
dari awal pembuatan proposal hingga saat ini, yang selalu ada sampai saat ini.
8. Kania Dwi Jatnika teman seperjuangan dalam pembuatan KTI yang tidak
henti-hentinya memberikan bantuan dan motivasi kepada saya.
9. Jajaran Staff Pegawai di Lingkungan Program Studi Keperawatan Bogor
yang telah banyak membantu dalam proses penyusunan Karya Tulis Ilmiah
ini.
Mudah-mudahan segala amal dan jasa yang telah di berikan kepada peneliti
mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Peneliti menyadari walaupun sudah berusaha secara maksimal, mencurahkan
segala pikiran dan kemampuan yang dimiliki, tetapi peneliti memiliki
keterbatasan. Untuk itu peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun demi tercapainya suatu kesempurnaan dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
Semoga Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
keperawatan, pembaca pada umumnya dan profesi keperawatan khususnya, Amin
Bogor, 7 Juli 2017
Peneliti
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
DAFTAR SKEMA ............................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 6
C. Tujuan ................................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 8
A. Landasan Teori ..................................................................................... 8
1. Anak Usia Sekolah ..................................................................... 8
2. Anak Tunarungu ....................................................................... 12
3. Interaksi Sosial .......................................................................... 22
B. Kerangka Teori ................................................................................... 30
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................... 31
A. Kerangka Konsep ................................................................................ 31
B. Definisini Operasional ........................................................................ 32
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 35
v
A. Desain Penelitian ................................................................................ 35
B. Waktu dan Tempat .............................................................................. 35
1. Waktu Penelitian ....................................................................... 35
2. Tempat Penelitian ..................................................................... 36
C. Populasi dan Sampel ........................................................................... 36
1. Populasi ..................................................................................... 36
2. Sampel ...................................................................................... 37
D. Teknik Pengambilan Sampel .............................................................. 39
E. Pengumpulan Data .............................................................................. 41
1. Instrumen Penelitian ................................................................. 41
2. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 42
3. Prosedur Penelitian ................................................................... 43
F. Pengolahan Data ................................................................................. 44
G. Analisa Data ........................................................................................ 46
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ...................................... 47
A. Gambaran Umum Lahan Praktik ........................................................ 47
B. Hasil Penelitian ................................................................................... 47
1. Gambaran Karakteristik Anak Usia Sekolah ............................ 48
2. Gambaran Interaksi Sosial Anak Tunarungu Usia Sekolah ..... 50
C. Pembahasan ........................................................................................ 51
1. Karakteristik Responden ........................................................... 49
vi
2. Usia ........................................................................................... 50
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ............................................... 54
A. Kesimpulan ......................................................................................... 54
B. Rekomendasi ....................................................................................... 54
1. Peneliti selanjutnya ................................................................... 54
2. Institusi Pendidikan .................................................................. 55
3. Tempat penelitian ..................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 56
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Karakteristik Anak Usia Sekolah .......................................................... 8
Tabel 3.1 Variabel dan Definisi Operasional ........................................................ 32
Tabel 4.1 Waktu Penelitian ................................................................................... 34
Tabel 4.2 Populasi siswa dan siswi usia Remaja di SLB Kota Bogor .................. 35
Tabel 5.1 Frekuensi tingkat interaksi sosial berdasarkan jenis kelamin...............47
Tabel 5.2 Frekuensi tingkat interaksi sosial berdasarkan usia .............................. 48
Tabel 5.3 Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin pada Anak
Tunarungu Usia Sekolah ....................................................................................... 49
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Tingkat Interaksi Sosial Berdasarkan Jenis
Kelamin pada Anak Tunarungu Usia Sekolah ...................................................... 52
viii
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Kerangka Teori .................................................................................... 29
Skema 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................ 30
Skema 4.1 Rumus Sample..................................................................................... 36
Skema 4.2 Formula perhitungan Drop Out ........................................................... 37
Skema 4.3 Formula Perhitungan Teknik Proportionate Random Sampling......... 39
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan individu yang unik, dimana mereka mempunyai kebutuhan
yang berbeda-beda sesuai dengan tahapan usianya, anak bukan miniatur dari
orang dewasa atau orang dewasa dalam tubuh yang kecil.(Dwi, 2011). Anak
merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan
perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan
masa pertumbuhan dan perkembangan yang di mulai dari bayi (0-1 tahun), usia
bermain/toddler (1- 2,5 tahun) pra sekolah (2,5 - 5 tahun), usia sekolah (5-11
tahun), dan remaja (11- 18 tahun) (Hidayat, 2008).
Setiap anak mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada anak
yang terlahir secara normal serta tumbuh dan berkembang dengan normal, akan
tetapi ada pula anak tidak normal karena memiliki gangguan baik secara fisik,
mental, sosial, maupun psikologis ( Triani, 2013).
Menurut data WHO (World Health Organization) ditahun (2011), 360 juta
orang lahir dengan cacat dengar dan ketulian atau sekitar 5,3 persen dari total
penduduk dunia. Berdasarkan data statistik Depertemen Pendidikan Nasional
Indonesia menunjukkan bahwa jumlah anak-anak tuna rungu di Indonesia cukup
tinggi mencapai 0,17% dimana 17 dari 10.000 anak pra sekolah sampai umur 12
tahun mengalami tunarungu. Berdasar kan data dari Dinas Pendidikan Luar Biasa
(2009) jumlah siswa tunarungu di Kota Bogor berjumlah 496 siswa.
2
Menurut Winarsih (2007), tunarungu adalah suatu istilah umum yang
menunjukan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat. Tunarungu
juga dapat diartikan sebagai keadaan dari seorang individu yang mengalami
kerusakan pada indra pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa menangkap
berbagai rangsang suara atau rangsang lain melalui pedengaran (Suharmini 2009).
Anak yang mengalami kelainan pendengaran akan menanggung konsekuensi
yang sangat kompleks. Mereka akan mengalami berbagai hambatan dalam meniti
perkembangannya terutama pada aspek berbahasa dan penyesuaian social
(Sadjaah, 2005).
Tahapan-tahapan perkembangan bahasa yang dilalui oleh anak tunarungu
sama dengan tahapan perkembangan bicara dan bahasa anak pada umumnya.
Hanya saja setelah fase meraban (Babbling), anak tunarungu tidak mengalami
perkembangan secara optimal sehingga proses penerimaan bicara dan bahasa anak
tunarungu terganggung karena tidak ada stimulus yang masuk ke dalam area
bahasa anak dan menyebabkan anak tunarungu tidak memiliki pengalaman bahasa
yang baik. Oleh karena itu anak tunarungu tidak mampu berbicara dan berbahasa
dengan baik.
Dampak yang ditimbulkan dari hambatan pendengaran pada anak tunarungu
mempengaruhi pada perkembangan kognitif, perkembangan bicara dan bahasa,
perkembangan sosial emosi, dan prestasi akademik. dampak yang ditimbulkan
anak tunarungu dalam perkembangan bicara dan bahasa adalah kesulitan
berbahasa yang ditandai dengan kesulitan dalam dalam keterampilan
menggunakan lambang, mengucapkan lambang serta mengadakan penggabungan
3
dari lambang-lambang tersebut, kesulitan dalam mengungkapkan perasaan ide,
gagasan, kesulitan dalam berkomunikasi dengan lawan bicara (Ridwan, 2014).
Gangguan dalam pendengaran yang berdampak pada hambatan berbahasa dan
berbicara, menjadikan hambatan pula bagi anak tunarungu dalam interaksi
sosialnya (Sadjaah, 2005).
Menurut Soekanto (2012), interaksi sosial adalah hubungan antara individu
satu dengan individu lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain
atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Interaksi
sosial merupakan salah satu cara individu untuk memelihara tingkah laku sosial
individu tersebut sehingga individu tetap dapat bertingkah laku sosial dengan
individu lain.
Anak tunarungu dalam interaksi sosial memiliki andil yang cukup besar untuk
kehidupan jangka panjang mereka. Mereka yang mengalami penolakan saat
berinteraksi dengan teman sebayanya akan merasa kesepian yang berkepanjangan
(Most, 2007).
Anak tunarungu pada dasarnya juga ingin bersosialisasi dengan masyarakat
umum. Penguasaan bahasa yang kurang dan ketidakmampuan mendengar dengan
baik merupakan salah satu hambatan proses komunikasi dengan masyarakat di
sekelilingnya. Hal ini tentu mempengaruhi perkembangan sosial anak tunarungu.
Kondisi ini dapat diperparah apabila lingkungan kurang mampu memberikan
kesempatan, peluang, dan penghargaan kepada anak tunarungu untuk berinteraksi
secara luas terhadap lingkungannya (Sunardi dan Sunaryo, 2007).
4
Menurut Mangunsong (2010) hambatan dari aspek psikologis dan sosial pada
tunarungu akan muncul apabila individu telah berinteraksi dengan lingkungannya.
Gangguan pendengaran pada anak akan menimbulkan konsekuensi yang paling
penting berupa keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa. keterlambatan ini
dapat menyebabkan masalah sosial dan emosional.
Kemampuan intelegensi anak tunarungu sama dengan kemampuan anak pada
umumnya tetapi karena anak tunarungu memiliki hambatan dalam kemampuan
bicara dan bahasa mengakibatkan anak tunarungu mengalami keterbatasan dalam
memperoleh informasi yang diterimanya. Sejalan dengan pendapat di atas bahwa
perkembangan kognitif anak tunarungu dipengaruhi oleh perkembangan bicara
dan bahasa. Kesulitan lainnya yang muncul sebagai akibat dari ketunarunguan
adalah berhubungan dengan bicara, membaca, menulis, tetapi tidak berhubungan
dengan tingkat intelegensi (Rahadja, 2006).
Dalam prestasi akademik, anak tunarungu mengalami kesulitan dalam
mengikuti pembelajaran bahasa lisan dan tulisan. Dalam bidang akademik
membaca merupakan yang paling rendah prestasinya hal ini dikarenakan melihat
dampak dari ketunarunguan. Hilangnya pendengaran, apakah ringan atau berat,
menimbulkan dampak yang rendah bagi kemampuan bahasa anak tunarungu yang
paling jelas terlihat dalam pemaknaan bahasa yang dibacanya (Ridwan, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Marghareta (2017), mengenai interaksi sosial
antar anak tunarungu diketahui bahwa kontak sosial dan komunikasi terjadi dalam
interaksi sosial antar-anak tunarungu dan „anak dengar‟. interaksi sosial antar-
anak tunarungu tampak dalam ajakan bermain, mendekati sesama teman
5
tunarungu, berkomunikasi baik secara oral maupun bahasa isyarat dalam bentuk
abjad atau gerak tubuh. selain itu, mereka juga melibatkan ekspresi perasaan
dalam beragam bentuk mimik wajah ataupun tingkah laku. anak tunarungu
tampak lebih pasif karena menunggu ajakan interaksi „anak dengar‟ ketika sedang
bersama. mereka juga cenderung untuk mengajak anak kecil untuk berinteraksi
dibandingkan dengan teman sebayanya. selain itu, anak tunarungu berkomunikasi
dengan cara menggerakan bibir atau menuliskan pesan. anak tunarungu juga
berinteraksi dengan „orang dengar‟. bentuk interaksi sosial kompleks dan
penolakan sosial tampak dalam interaksi anak-anak tunarungu maupun anak
tunarungu dengan „anak dengar‟.
Penelitian kualitatif dilakukan oleh Milla (2014) didapatkan hasil bahwa anak
tunarungu mampu menjalin interaksi sosial dengan sesama tunarungu, anak
normal, guru kelas, maupun dengan guru pendamping khusus di sekolah. Interaksi
sosial ini ditunjukkan dengan menjalin percakapan, makan bersama, bermain
bersama, belajar bersama, menjalin kerja
sama, dan sebagainya.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di SLB-B Tunas
Kasih, peneliti melakukan wawancara dengan bantuan guru serta observasi pada 4
anak tunarungu usia sekolah di dapatkan 2 dari 4 anak tunarungu berusia 8-9
tahun mereka tidak berinteraksi dengan teman yang lain nya yang berada di dalam
kelas.
Berdasarkan dampak yang ditimbulkan dari hambatan yang dimiliki anak
tunarungu diatas, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam prestasi
6
akademik maka peneliti tertarik untuk meneliti interaksi sosial pada anak
tunarungu dengan judul “gambaran interaksi sosial pada anak tunarungu usia
sekolah di SLB Sejahtera dan SLB-B Tunas Kasih Kota Bogor Tahun 2017”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah
“Bagaimana interaksi sosial pada anak tunarungu usia sekolah di SLB Sejahtera
dan SLB-B Tunas Kasih Kota Bogor Tahun 2017?”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran interaksi sosial pada
anak tunarungu.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah agar teridentifikasi nya:
a. Teridentifikasinya karakteristik anak tunarungu (umur,jenis kelamin) di
SLB Sejahtera dan SLB-B Tunas Kasih.
b. Teridentifikasinya gambaran interaksi sosial anak tunarungu usia
sekolah di SLB Sejahtera dan SLB-B Tunas Kasih.
7
D. Manfaat Penelitian
1. Peneliti
Diharapkan dapat menambah wawasan, pengalaman dan meningkatkan
pengetahuan bagi peneliti mengenai interaksi sosial anak tunarungu usia
sekolah di SLB Kota Bogor, Serta mendapatkan informasi mengenai interaksi
sosial anak tunarungu usia sekolah di SLB Kota Bogor.
2. Institusi Keperawatan Bogor
Diharapkan bahwa hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan
bahan bacaan mahasiswa keperawatan khususnya keperawatan anak, terutama
tentang interaksi sosial anak tunarungu usia sekolah, serta sebagai data untuk
penelitian selanjutnya dengan variabel yang berbeda.
3. Penelitian Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi peneliti
selanjutnya untuk lebih mendalami tentang Interaksi Sosial dan hubungannya
dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Anak Usia Sekolah
a. Definisi
Menurut Wong (2009) usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun,
yang artinya sekolah menjadi pengalaman inti anak. Periode ketika anak-
anak dianggap mulai bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam
hubungan dengan orangtua mereka, teman sebaya dan orang lainnya. Usia
sekolah merupakan masa anak memperoleh dasar dasar pengetahuan untuk
keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh
keterampilan tertentu.
Anak usia sekolah adalah anak yang berusia 6-12 tahun, memiliki
fisik lebih kuat mempunyai sifat individual serta aktif dan tidak
bergantung kepada orangtua. Banyak ahli menganggap masa ini
sebagaimasa tenang atau masa latent, dimana apa yang telah terjadi dan
dipupuk pada masa-masa sebelumnya akan berlangsung terus untuk masa-
masa selanjutnya (Gunarsa, 2006).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa anak usia sekolah adalah
masa diperolehnya dasar dasar pengetahuan untuk keberhasilan
penyesuaian diri pada kehidupan dewasa, memperoleh keterampilan
tertentu dan mempunyai lingkungan lain selain keluarga dengan
9
kemampuan-kemampuan interaksi sosial, belajar tentang nilai moral dan
budaya dari lingkungan selain keluarganya.
b. Tumbuh Kembang Anak Usia Sekolah
1) Perkembangan Biologis
Saat umur 6-12 tahun, pertumbuhan serata 5 cm pertahun untuk
tinggi badan dan meningkat 2-3 kg pertahun untuk berat badan.
Selama usia tersebut anak laki-laki dan perempuan memiliki
perbedaan ukuran tubuh. Anak laki-laki cenderung kurus dan tinggi,
anak perempuan cenderung gemuk. Pada usia ini, pembentukan
jaringann lemak lebih cepat perkembangannya dari pada otot
(Cahyaningsih, 2011).
2). Perkembangan Psikososial
Masa kanak-kanak pertengahan adalah periode perkembangan
psikoseksual yang dideskripsikan oleh Freud sebagai periode laten,
yaitu waktu tengan antara fase odipus pada masa kanak-kanak awal
dan erotisme masa remaja. Selama waktu ini, anak-anak membina
hubungan dengan teman sebaya sesama jenis setelah pengabaian pada
tahun-tahun sebelumnya dan didahului ketertarikan pada lawan jenis
yang menyertai pubertas.
3). Perkembangan Sosial
Salah satu agent sosial penting dalam kehidupan anak usia
sekolah adalah kelompok teman sebaya. Selain orang tua dan sekolah,
10
kelompok teman sebaya memberi sejumlah hal yang penting kepada
anggotanya. Anak-anak memiliki budaya mereka sendiri, disertai
rahasia, adat istiadat, dan kode etik yang meningkatkan rasa
solidaritas kelompok dan melepaskan diri dari orang dewasa. Melalui
hubungan dengan teman sebaya, anak belajar bagaimana menghadapi
dominasi dan permusuhan, berhubungan dengan pemimpin dan
pemegang kekuasaan, serta menggali ide-ide dari lingkungan fisik.
c. Ciri-ciri Anak Usia Sekolah
Menurut Wong (2009) ciri-ciri anak sekolah adalah sebagai berikut:
1) Anak mulai masuk ke lingkungan sekolah.
2) Anak mulai bergabung dengan teman seusianya dan
menggabungkan diri ke dalam kelompok teman sebaya.
a) Dimulai dengan tanggalnya gigi susu pertama
b) Mulai terlibat dalam perilaku sosial dan motorik yang kompleks.
c) Terjadi perkembangan fisik, mental, sosial yang kontinu,
disertai penekanan pada perkembangan kompetensi
keterampilan.
d. Karakteristik Anak Usia Sekolah
Menurut Supandi dalam Sumiati (2013) mengatakan karakteristik
anak usia sekolah dapat dikelompok menjadi dua bagian yaitu kisaran usia
sekolah dasar awal 6-9 tahun dan usia sekolah akhir 10-12 tahun yang
memiliki karakteristik sebagai berikut:
11
Tabel 2.1
Karaketristik anak usia sekolah
No Usia sekolah awal (6-9
tahun) Usia sekolah akhir (10-12 tahun)
1 Perkembangan sosial yang
pesat
Perhatian tertuju kepada kehidupan
praktis sehari-hari
2
Ada hubungan yang kuat
antara keadaan jasmani dan
prestasi sekolah
Ingin tahu, ingin belajar, dan
realistis
3 Suka memuji diri sendiri Timbul minat kepada pelajaran-
pelajaran khusus
4
Kalau tidak dapat
menyelesaikan tugas, tugas
tersebut fianggaonya tidak
penting
Anak memandang nilai sebagai
ukuran yang tepat mengenai prestasi
belajarnya disekolah
e. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
Menurut Yuniarti (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan antara lain:
1) Ras/etnik
Beberapa ahli antropologi berpendapat bahwa ras kuning memepunyai
hereditas lebih pendek dibandingkan dengan ras kulit putih
2) Keluarga
Ada kecenderungan keluarga memiliki postur tubuh tinggi, pendek,
kurus, gemuk atau kurus.
3) Umur
Kecepatan tumbuh kembang ditemukan paling besar pada masa fetus,
masa bayi dan masa adeolensi
12
4) Jenis Kelamin
Pada umur tertentu pria dan wanita berbeda dalam ukuran besar,
kecepatan tumbuh, proporsi jasmani, dan lain-lainnya sehingga
memiiliki ukuran normal tersendiri. Wanita menjadi dewasa lebih dini,
yaitu mulai adolisensi pada umur 10 tahun, sedangkan pria mulai pada
umur 12 tahun.
5) Genetik
Genetik adalah bawaan anak yaitu potensi anak yang akan menjadi ciri
khasnya. Ada beberapa kelainan genetic yang berpengaruh pada
tumbuh kembang anak seperti kerdil.
2. Anak Tunarungu
a. Definisi
Menurut Arifin (2015) anak tunarungu adalah seorang anak yang
mengalami kerusakan pada satu atau lebih pada organ telinga luar, organ
telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam sehingga organ
tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
Pengertian tersebut juga didukung oleh Effendi (2006) yang
mengatakan bahwa seorang anak dikatakan tunarungu apabila mengalami
kerusakan pada organ telinga. Kerusakan organ ini bisa karena sebuah
kecelakaan atau tidak diketahui sebabnya.
Menurut Somantri (2007) tunarungu merupakan suatu keadaan di
mana seorang anak kehilangan sebagian atau seluruhnya yang
13
menyebabkan pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional di dalam
kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan
pendengaran baik sebagian atau seluruhnya, sehingga ia tidak dapat
menggunakan alat pendengarannya secara maksimal dalam kehidupan
sehari-hari.
b. Karakteristik Anak Tunarungu
Pada umumnya anak tunarungu mengalami pertumbuhan fisik secara
normal, namun mereka mengalami hambatan dalam perkembangan. Anak
tunarungu biasanya mengalami hambatan dalam komunikasi karena
mereka memiliki keterbatasan dalam kegiatan berbahasa. Pertumbuhan
fisik yang normal ini menyebabkan ketunaan para anak tunarungu tidak
dapat terlihat secara langsung.
Penampilan anak tunarungu tidak akan jauh berbeda dengan anak
normal pada umumnya. Kekurangan mereka baru bisa diketahui setelah
mereka diajak berkomunikasi. Apabila dicermati, ternyata terdapat
beberapa ciri atau karakteristik yang dimiliki anak tunarungu. Berikut
adalah beberapa karakteristik yang dimiliki anak tunarungu :
1) Karateristik dalam Aspek Bahasa-bicara
Kemampuan berbahasa memerlukan ketajaman pendengaran. Hal ini
dikarenakan melalui pendengaran anak dapat meniru berbagai suara di
sekitarnya dan mulai belajar bahasa. Bagi anak tunarungu, mereka
14
memiliki hambatan pendengaran yang berdampak pada kemampuan
berbahasa dan bicara. Akibatnya, perkembangan bahasa dan bicaranya
menjadi berbeda dengan perkembangan bahasa dan bicara anak
normal atau pada anak yang mendengar (Sunardi dan Sunaryo, 2007).
Berikut adalah karakteristik segi bahasa dari anak tunarungu.
a) Miskin dalam perbendaharanan kata, sehingga kesulitan pula bagi
dirinya untuk mengekspresikan bahasa dan bicaranya.
b) Penggunaan bahasa isyarat atau berbicara verbal tergatung dari
kebiasaan di lingkungan anak.
c) Keterbatasan untuk membentuk ucapan dengan baik, oleh karena
berbicara lisan (verbal) diperlukan sejumlah kata-kata.
d) Irama dan gaya bahasanya monoton.
e) Sulit memahami kata-kata yang bersifat abstrak.
f) Sulit memahami kata-kata yang mengandung arti kiasan.
g) Bahasa tulisan terlihat pendek-pendek, sederhana, dan
menggunakan bahasa yang diingatnya saja.
h) Seringkali menggunakan kalimat tunggal, tidak menggunakan
katakata yang banyak oleh karena keterbatasan dalam mengingat
kata-kata yang rumit (Milla, 2014).
2) Karakteristik dalam Aspek Emosi-sosial
Anak tunarungu pada dasarnya juga memiliki keinginan untuk
mengetahui dunia di sekitarnya. Namun karena kemampuan
mendengarnya terhambat, segala hal yang terjadi di sekelilingnya
15
seperti terkesan tiba-tiba. Hal ini tentu mempengaruhi perkembangan
emosi dan sosialnya. Perasaan bingung dan tidak mengerti mewarnai
perkembangan emosinya pada tahap awal ketika anak tidak/belum
menyadari keberadaannya pada dunia yang berbeda dengannya
(Winarsih, 2007).
Anak tunarungu memiliki keterbatasan dalam berbahasa-bicara yang
merupakan alat untuk melakukan kontak sosial dan mengekspresikan
emosinya. Sudah menjadi kejelasan bahwa hubungan sosial banyak
ditentukan oleh komunikasi antara seseorang dengan orang lain
(Sunardi, 2007). Keterbatasan dalam mendengar/menggunakan
bahasa-bicara dalam mengadakan kontak sosial tadi berdampak pula
padanya untuk menarik diri dari lingkungan (terisolir), ditambah
orang sekelilingnya kurang kepedulian terhadap keberadaannya
(Sadjaah, 2005).
3) Karakteristik dalam Aspek Motorik
Anak gangguan pendengaran tidak ketinggalan oleh anak normal
dalam perkembangan bidang motorik (Lani Bunawan dalam Edja
Sadjaah, 2005). Bahkan tidak jarang anak tunarungu baru dapat
dikenali ketika mereka diajak berkomunikasi. Perkembangan motorik
kasar anak tunarungu tidak banyak mengalami hambatan, terlihat otot-
otot tubuh mereka cukup kekar, mereka memperlihatkan gerak
motoric yang kuat dan lincah (Yuke Siregar dalam Edja Sadjaah,
2005). Jika anak murni mengalami ketunarunguan maka
16
perkembangan fisiknya tidak mengalami hambatan, kecuali ia
mengalami ketunaan penyerta (double handicapped) (Sunardi dan
Sunaryo, 2007).
4) Karakteristik dalam Aspek Kepribadian
Anak tunarungu memiliki keterbatasan dalam merangsang emosi. Ini
yang meyebabkan anak tunarungu memiliki pola khusus dalam
kepribadiannya. Mereka memiliki sifat ingin tahu yang tinggi, agresif,
mementingkan diri sendiri dan kurang mampu dalam mengontrol diri
sendiri (impulsif), kurang kreatif, kurang mempunyai empati,
emosinya kurang stabil bahkan memiliki kecemasan yang tinggi
(anxiety) (Edja Sadjaah, 2005).
Jika dilihat secara fisik, anak tunarungu memang tidak jauh berbeda
dengan anak normal lainnya. Namun, kecacatan yang diderita oleh
anak gangguan pendengaran menampakkan suatu karakteristik/sifat
yang khas atau berbeda dari anak normal, yaitu:
Anak gangguan pendengaran memiliki sifat egosentris yang tinggi.
a) Memiliki perasaan takut akan hidup yang lebih luas selain
keluarganya.
b) Memiliki sifat ketergantungan pada orang lain (keluarganya),
kurang mandiri, senang bergaul dengan orang yang dekat saja.
c) Perhatian pada sesuatu yang terpusat, sulit untuk dialihkan
apalagi disenangi dan sudah dikuasainya.
d) Memiliki imajinasi yang rendah.
17
e) Memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa nuansa.
f) Memiliki sifat yang ekstrim atau bertahan pada sesuatu yang
dianggapnya benar sering dikatakan sebagai anak yang keras
kepala (Van Uden dalam Edja Sadjaah, 2005).
c. Perkembangan Sosial Anak Tunarungu
Perkembangan sosial adalah kemampuan anak dalam berinteraksi
dengan orang lain dalam situasi tertentu (Sunardi dan Sunaryo, 2007).
Keluarga dan lingkungan luar merupakan hal yang sangat berpengaruh
bagi perkembangan sosial anak. Berikut adalah beberapa hasil penelitian
yang dilakukan para ahli :
1. Hubungan antar manusia dalam keluarga sangat berpengaruh terhadap
perkembangan sosial anak, khususnya hubungan antara ibu dan ayah,
hubungan anak dengan kakak dan adiknya, hubungan anak dengan
kedua orangtuanya.
2. Posisi anak dalam urutan anak-anak dalam keluarga dalam jumlah
anggota keluarga juga berpengaruh terhadap perkembangan sosial
anak. Selain itu perlu diperhatikan juga jenis kelamin kakak atau adik
anak yang berkesulitan.
3. Perlakuan anggota keluarga terhadap anak, yang ditolak atau selalu
menjadi kambing hitam, akan menunjukkan perkembangan sosial
yang terganggu bila dibandingkan dengan anak-anak yang diterima
dalam keluarga.
18
4. Tuntutan orangtua kepada anak juga berpengaruh terhadap motivasi
anak untuk menyesuaikan diri secara sosial dalam lingkungannya.
5. Cara orangtua dalam mendidik anak juga sangat berpengaruh terhadap
tingkah laku dan sikap sosial anak (Sunardi dan Sunaryo, 2007).
Selain keluarga, orang-orang di luar keluarga juga berpengaruh
terhadap perkembangan sosial anak, terutama teman-teman sebayanya.
Sebagai makhluk sosial manusia pasti memiliki kebutuhan untuk
berinteraksi dengan lingkungan, demikian pula dengan anak tunarungu.
Anak tunarungu pada dasarnya juga ingin bersosialisasi dengan
masyarakat umum. Penguasaan bahasa yang kurang dan ketidakmampuan
mendengar dengan baik merupakan salah satu hambatan proses
komunikasi dengan masyarakat di sekelilingnya. Hal ini tentu
mempengaruhi perkembangan sosial anak tunarungu. Kondisi ini dapat
diperparah apabila lingkungan kurang mampu memberikan kesempatan,
peluang, dan penghargaan kepada anak tunarungu untuk berinteraksi
secara luas terhadap lingkungannya (Sunardi dan Sunaryo, 2007).
Berkaitan dengan perkembangan sosialnya, berikut adalah beberapa
ciri atau sifat yang sering ditemukan pada anak tunarungu.
1. Sifat egosentris yang lebih besar daripada anak mendengar. Sifat ini
membuat mereka sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan
perasaan orang lain serta kurang menyadari/peduli tentang efek
perilakunya terhadap orang lain. Dalam tindakannya dikuasai perasaan
19
dan pikiran secara berlebihan. Sehingga mereka sulit menyesuaikan
diri. Kemampuan bahasa yang terbatas akan membatasi pula
kemampuan untuk mengintegrasikan pengalaman dan akan makin
memperkuat sifat egosentris ini.
2. Memiliki sifat implusif, yaitu tindakannya tidak didasarkan pada
perencanaan yang hati-hati dan jelas serta tanpa mengantisipasi akibat
yang mungkin timbul akibat perbuatannya. Apa yang mereka inginkan
biasanya perlu segera dipenuhi. Adalah sulit bagi mereka untuk
merencanakan atau menunda suatu pemuasan kebutuhan dalam jangka
panjang.
3. Sifat kaku (rigidity), menunjuk pada sikap kurang luwes dalam
memandang dunia dan tugas-tugas dalam kesehariannya.
4. Sifat lekas marah atau tersinggung.
5. Perasaan ragu-ragu dan khawatir (Uden dan Meadow dalam Winarsih,
2007).
d. Tahap-tahap Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu
Ada 2 tahapan yang dialami oleh anak tunarungu ketika berinteraksi
dengan sesamanya. Menurut Yuhan (2013), tahapan-tahapan tersebut
adalah:
1. Inisiasi Interaksi Sebaya
Inisiasi merupakan tahap awal anak tunarungu dalam membangun
sebuah interaksi. Anak tunarungu berusaha untuk mengamati
lingkungan sekitarnya terlebih dahulu. Mereka mempelajari
20
bagaimana oran lain saling berinteraksi satu sama lain. Pengamatan
yang mereka lakukan juga membuat mereka melihat kesempatan
untuk bergabung dalam sebuah interaksi sosial. Adanya sebuah
kesempatan inilah yang akan membuat anak tunarungu akan memulai
inetaraksi sosial mereka dengan cara berkomunikasi. Komunikasi
yang mereka gunakan biasanya bahasa nonverbal atau gestur tubuh.
2. Memantau Interaksi Sebaya
Tahap kedua ini merupakan cara seorang anak tunarungu
mempertahankan sebuah interaksi yang sudah terjadi. Anak tunarungu
mengalami kesulitan untuk mempertahankan sebuah interaksi sosial
dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan dengan banyaknya faktor-
faktor yang menghambat anak tunarrungu dalam berinteraksi.
e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial Anak
Tunarungu
Menurut Yuhan (2013) ada berapa faktor yang mempengaruhi
interaksi sosial pada anak tunarungu, yaitu:
a) Bahasa dan kemampuan berbicara
Seorang anak tunarungu memiliki keterlambatan dalam perkembangan
berbicara. Mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
mengucapkan suatu kata sehingga mereka memiliki masalah dengan
interaksi sosial mereka. Kemampuan berbahasa mereka juga dijadikan
sebagai indikator perkembangan kognitif dan sosio-emosi mereka.
21
b) Jenis kelamin
Kecenderungan laki-laki untuk berinteraksi dengan teman
sebaya/sejawat lebih besar daripada perempuan.
c) Familiaritas dan tingkat pedengaran yang sama dengan teman sebaya.
Anak-anak tunarungu lebih nyaman untuk berinteraksi dengan
sebayanya yang memiliki tingkat pendengaran yang sama. Hal ini
membuat mereka lebih mudah dalam berkomunikasi karena mereka
memahami hal yang sama. Setiap anak tunarungu memiliki strategi
masing-masing untuk berinteraksi dengan teman sebayanya. Salah
satu kunci mereka untuk berinteraksi adalah kesamaan pemahaman
akan suatu hal. Mereka akan lebih mudah membangun sebuah
interaksi dengan anak yang mendengar apabila mereka memiliki
pemahaman yang sama dengan anak yang mendengar.
d) Model komunikasi
Ada dua model komunikasi yang biasa dimiliki oleh anak tunarungu.
Model yang pertama adalah komunikasi oral. Komunikasi ini yang
paling banyak dikuasai oleh anak tunarungu karena ini merupakan
model yang paling mudah untuk dipahami. Mereka terbiasa untuk
membaca gerak bibir lawan bicaranya atau mereka berusaha untuk
bisa mengucapkan kata-kata dengan pelafalan yang jelas. Model
komunikasi yang kedua adalah komunikasi menggunakan bahasa
isyarat. Berapa anak tunarungu mampu untuk berkomunikasi dengan
bahasa ini tapi tidak banyak. Biasanya, anak-anak yang mampu
22
berkomunikasi dengan bahasa isyarat sudah terlatih sejak kecil dimana
orangtua mereka juga belajar bahasa isyarat.
3. Interaksi Sosial
a. Definisi
Interaksi sosial berasal dari dua kata, yaitu interaksi dan sosial.
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2005), interaksi sosial berarti
hubungan sosial yang dinamis antara individu dengan individu, kelompok
dengan individu, maupun kelompok dengan kelompok.
Interaksi sosial diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial timbal
balik yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang-orang secara
perseorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang
dengan kelompok-kelompok manusia (Abdulsyani, 2007).
Menurut Wedjajati (2008), agar hubungan interaksi berjalan dengan
baik, diharapkan manusia mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri
terhadap lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial
merupakan hubungan timbal balik antara dua atau lebih individu dimana
dalam hubungan tersebut perilaku setiap individu mempengaruhi,
mengubah, dan memperbaiki perilaku individu lainnya.
b. Syarat-syarat Interaksi Sosial Anak Tunarungu
Syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak sosial (social
contact) dan adanya komunikasi (communication) (M. Burhan Bungin,
23
2006). Selayaknya anak normal pada umumnya, syarat tersebut juga
berlaku dalam proses interaksi sosial yang dilakukan oleh anak tunarungu.
Seperti yang telah disampaikan pada sub-bab sebelumnya, hambatan
perkembangan komunikasi merupakan persoalan yang mendasar pada
anak tunarungu (Sunardi dan Sunaryo, 2007). Kurangnya kemampuan
mendengar mengakibatkan anak tunarungu mengalami hambatan
perkembangan bahasa dan bicara yang tentu mempengaruhi kemampuan
berkomunikasinya, terutama komunikasi secara lisan. Hal ini yang menjadi
salah satu faktor penghambat dari kemampuan interaksi sosial tunarungu.
1) Kontak Sosial
Kontak sosial adalah hubungan antara satu orang atau lebih dengan
saling mengerti tentang maksud dan tujuan masing-masing dalam
kehidupan masyarakat (Abdulsyani, 2007). Kontak sosial tidak saja
terjadi dengan menyentuh seseorang, oleh karena itu kontak sosial
dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Kontak sosial secara
langsung adalah kontak sosial yang terjadi tanpa menggunakan
perantara atau dengan kata lain adanya tatap muka. Sebaliknya,
kontak sosial secara tidak langsung adalah kontak sosial yang terjadi
dengan menggunakan alat sebagai perantara. Alat tersebut dapat
berupa telepon, radio, surat, internet, dan sebagainya. Perkembangan
teknologi informasi seperti sekarang ini dapat memungkinkan kontak
sosial dapat terjadi di mana saja dan kapan saja.
24
Kontak sosial dapat bersifat positif atau negatif. Kontak sosial bersifat
positif dapat mengarah pada suatu kerja sama. Sedangkan kontak
sosial yang bersifat negatif dapat mengarah pada suatu pertentangan.
Kurangnya pemahaman masyarakat umum tentang karakteristik anak
tunarungu juga menjadi salah satu faktor tidak lancarnya kontak sosial
dengan mereka. Kadangkala masyarakat salah persepsi dalam
memberi tanggapan terhadap anak tunarungu, hal ini dikarenakan
mereka tidak memahami bahasa yang anak tunarungu gunakan. Di
samping itu, kekurangan akan pemahaman bahasa lisan ataupun
tulisan seringkali menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu
secara negatif atau salah dan ini sering menjadi tekanan bagi emosinya
(Sunardi dan Sunaryo, 2007). Beberapa hal tersebut mengakibatan
maksud atau tujuan dalam kontak sosial anak tunarungu tidak tercapai.
2) Komunikasi
Arti terpenting dari komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan
tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak
gerik badaniah, atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin
disampaikan oleh orang tersebut (Soekanto,2012). Orang yang
bersangkutan kemudian memberikan reaksi berdasarkan pengalaman
yang dia miliki. Hakekatnya komunikasi merupakan aktivitas yang
kompleks, karena di samping terkait dengan kemampuan bahasa dan
bicara, juga dipengaruhi oleh sistim syaraf, pemahaman (kemampuan
kognitif), dan kemampuan sosial (Sunardi dan Sunaryo,2007). Oleh
25
karena itu, terjadinya ketidakmatangan atau gangguan dalam
kemampuan bahasa dan bicara pada anak tunarungu ini cenderung
menghambat perkembangan komunikasinya.
Masalah penting yang dirasakan oleh anak gangguan pendengaran
adalah ketidakmampuan dan keterbatasan dalam mendengar suara-
suara, bunyi, nada, kata-kata yang disebut bahasa dari lingkungan
sekitarnya (Sadjaah, 2005). Padahal pendengaran adalah salah satu
cara untuk mendapatkan informasi tentang lingkungan(Atkinson, Rita
L., tanpa tahun). Kesulitan demikian mengakibatkan mereka kurang
memiliki kosa kata sebagai alat utama dalam komunikasi. Akibatnya
mereka akan kurang mengerti kegunaan kata-kata, sulit
mengekspresikan emosi, serta sulit menyatakan pikiran atau ide.
Selain menggunakan bahasa verbal, anak tunarungu juga biasa
berkomunikasi dengan tulisan, bahasa isyarat, dan bahasa tubuh.
Namun kurangnya pengetahuan masyarakat umum tentang bahasa
isyarat ini membuat anak tunarungu tidak bisa menggunakan bahasa
tersebut pada semua orang (Sunardi dan Sunaryo,2007).
c. Proses-proses Interaksi Sosial Anak Tunarungu
Menurut Gillin (Soekanto, 2012), ada dua golongan proses sosial
sebagai akibat dari interaksi sosial, yaitu:
1) Proses Asosiatif
Proses asosiatif adalah sebuah proses yang terjadi saling pengertian
dan kerja sama timbal balik antara orang per orang atau kelompok
26
satu dengan kelompok lainnya (Burhan Bungin, 2006). Proses
asosiatif menghasilkan pencapaian tujuan-tujuan bersama. Adapun
bentuk-bentuk proses asosiatif adalah sebagai berikut :
a) Kerja sama (cooperation)
Menurut Burhan Bungin (2006), kerja sama adalah usaha
bersama antara individu atau kelompok untuk mencapai satu
atau beberapa tujuan bersama. Kerja sama dapat terjadi apabila
di antara individu atau kelompok tertentu menyadari adanya
kepentingan dan ancaman yang sama. Soerjono Soekanto
(2012) menjelaskan bahwa kerja sama mungkin akan
bertambah kuat apabila ada bahaya dari luar yang mengancam
suatu kelompok tertentu.
b) Akomodasi (Accomodation)
Istilah akomodasi menunjuk pada suatu keadaan dan menunjuk
pada proses. Menurut Burhan Bungin (2006), akomodasi yang
menunjuk pada suatu keadaan berarti adanya suatu keadaan
seimbang dalam interaksi sosial antara individu dan antar
kelompok di dalam masyarakat, terutama berhubungan dengan
norma-norma dan nilai-nilai sosial dalam masyarakat tersebut.
Sedangkan akomodasi yang menunjuk pada suatu proses
berarti akomodasi menampakkan suatu proses untuk
meredakan pertentangan yang terjadi di masyarakat, baik
27
pertentangan antar individu, kelompok dan masyarakat,
maupun nilai dan norma yang ada di masyarakat itu.
c) Asimilasi
Menurut Soerjono Soekanto (2012), proses asimilasi ditandai
dengan adanya usaha untuk mengurangi perbedaan-perbedaan
yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok-
kelompok manusia. Apabila dua kelompok mengadakan
asimilasi, batas-batas antara kelompok-kelompok tersebut akan
hilang dan melebur menjadi satu kelompok.
2) Proses Disasosiatif
Proses sosial disasosiatif merupakan proses perlawanan (oposisi)
yang dilakukan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok dalam
proses sosial di antara mereka pada suatu masyarakat (Bungin, 2006).
Menurut Soerjono Soekanto (2012), oposisi diartikan sebagai cara
berjuang melawan seseorang atau sekelompok manusia untuk mencapai
tujuan-tujuan yang diinginkan. Bentuk-bentuk proses disasosiatif adalah
persaingan, kompetisi, dan konflik
1. Persaingan (competition) adalah proses sosial di mana individu atau
kelompok-kelompok manusia bersaing mencari keuntungan pada
bidangbidang kehidupan yang menjadi pusat perhatian umum
dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam
prasangka yang telah ada, namun tanpa mempergunakan ancaman
atau kekerasan (Burhan Bungin, 2006).
28
Soekanto (2012) mengungkapkan bahwa persaingan bersifat
pribadi dan tidak pribadi. Persaingan bersifat pribadi disebut juga
rivalry. Pihak yang melakukan persaingan pribadi adalah orang
perorangan. Sedangkan persaingan bersifat tidak pribadi, yang
langsung bersaing adalah kelompok.
2. Kontravensi (contravention) adalah proses sosial yang berada
antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian (Bungin, 2006).
Kontravensi merupakan sikap mental yang tersembunyi terhadap
orang lain atau unsur kebudayaan suatu golongan tertentu. Sikap
tersembunyi tersebut berubah menjadi kebencian, tetapi tidak
sampai menjadi pertentangan atau pertikaian (Soekanto, 2012).
3. Conflict (pertentangan atau pertikaian) adalah proses sosial di mana
individu ataupun kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya
dengan cara menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman
dan/atau kekerasan (Soekanto, 2012). Pertentangan dapat terjadi
karena pribadi atau kelompok menyadari adanya perbedaan-
perbedaan dengan pribadi atau kelompok lain. Perbedaan tersebut
misalnya dalam ciri badaniah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, pola
perilaku, prinsip, politik, maupun ideologi. Perbedaan ciri tersebut
dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga menjadi suatu
pertentangan atau pertikaian di mana pertikaian itu dapat
menghasilkan ancaman dan kekerasan fisik (Bungin, 2006).
29
d. Cara mengukur Interaksi social
Kuesioner kemampuan interaksi sosial yang dikembangkan oleh
Usman (2013) digunakan untuk mengukur interaksi sosial pada anak
dengan tunarungu. Kuesioner ini sudah dinyatakan valid dan relabel
karena telah dilakukan uji instrument sebelumnya. Kuesioner ini terdiri
dari 18 pertanyaan dengan 3 indikator, yaitu indikator kerjasama
sebanyak 7 pernyataan, indikator persaingan 7 pernyataan, dan
indikator pertentangan sebanyak 4 pernyataan. Skala yang digunakan
adalah skala likert. Penilaian sangat mudah dengan memberi nilai 0-4
pada setiap jawaban pernyataan, yang terdiri dari pilihan hampir selalu,
sering, kadang-kadang dan hampir tidak pernah.
30
B. Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan teori dan tujuan penelitian yang ingin dilihat, maka
kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :
Skema 2.1
Kerangka Teori
Syarat-syarat Interaksi Sosial
:
1. Kontak Sosial
2. Komunikasi
Sunardi dan Sunaryo,
2007
Faktor - faktor yang
mempengaruhi Interaksi
Sosial pada anak Tunarungu:
1. Bahasa dan kemampuan
berbicara
2. Jenis kelamin
3. Familiaritas dan tingkat
pedengaran yang sama
dengan teman sebaya.
4. Model komunikasi.
Yuhan, 2013
Gambaran Interaksi Sosial
pada Anak Tunarungu usia
sekolah
Proses-proses Interaksi Sosial :
a) Proses Asosiatif:
1. Kerja sama
2. Akomodasi
3. Asimilasi
Soekanto, 2012
b) Proses Asosiatif:
1. Kerja sama
2. Akomodasi
3. Asimilasi
31
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN
A. Kerangka Konsep
Skema 3.1
Anak usia sekolah adalah anak yang berusia 6-12 tahun, memiliki fisik lebih
kuat mempunyai sifat individual serta aktif dan tidak bergantung kepada orangtua.
Setiap anak mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada anak yang
terlahir secara normal serta tumbuh dan berkembang dengan normal, akan tetapi ada
pula anak tidak normal karena memiliki gangguan baik secara fisik, mental, sosial,
maupun psikologis ( Triani, 2013).
Menurut data WHO (World Health Organization) ditahun 2011, 360 juta orang
lahir dengan cacat dengar dan ketulian atau sekitar 5,3 persen dari total penduduk
dunia (Keswara, 2013). Berdasarkan data statistik Depertemen Pendidikan Nasional
Indonesia menunjukkan bahwa jumlah anak-anak tuna rungu di Indonesia cukup
tinggi mencapai 0,17% dimana 17 dari 10.000 anak pra sekolah sampai umur 12
tahun mengalami tunarungu.Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Luar Biasa
(2009) jumlah siswa tunarungu di Kabupaten Bogor berjumlah 496 siswa.
Tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukan kesulitan mendengar
dari yangringan sampai yang berat. Anak yang mengalami kelainan pendengaran
akan menanggung konsekuensi yang sangat kompleks. Mereka akan mengalami
berbagai hambatan dalam meniti perkembangannya terutama pada aspek berbahasa
Gambaran Interaksi Sosial Pada Anak Tunarungu Usia Sekolah
32
dan penyesuaian sosial. Gangguan dalam pendengaran yang berdampak pada
hambatan berbahasa, menjadikan hambatan pula bagi anak tunarungu dalam interaksi
sosialnya (Sadjaah, 2005).
Anak tunarungu dalam interaksi sosial memiliki andil yang cukup besar untuk
kehidupan jangka panjang mereka. Meraka yang mengalami penolakan saat
berinteraksi dengan teman sebayanya akan merasa kesepian yang berkepanjangan
(Most,2007). Penolakan ini juga menjadi acuan apakah seorang anak tunarungu akan
terus berinteraksi atau menhindari suatu interaksi.
Penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran interaksi sosial
pada anak tunarungu usia sekolah karena interaksi sosial merupakan salah satu cara
individu untuk memelihara tingkah laku sosial individu tersebut sehingga individu
tetap dapat bertingkah laku sosial dengan individu lain.Berdasarkan uraian di atas
maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian berjudul “Gambaran Interaksi
Sosial Pada Anak Tunarungu Usia Sekolah”.
B. Definisini Operasional
Untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel tersebut diberi
batasan atau “definisi operasional”. Definisi operasional ini juga bermanfaat untuk
mengarahkan kepada pengukuran dan pengamatan terhadap variabel-variabel yang
bersangkutan serta pengembangan instrumen/alat ukur (Notoatmodjo, 2010).
33
Tabel 3.1
Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1. Karakteristik
Umur
Lamanya hidup
seseorang yang
diukur dari lahir
sampai ulang tahun
yang terakhir.
Kuesioner A
Data
Demografi
Mengisi
Kuesioner yang
berisikan data
demografi
1. Anak Usia
Sekolah
2. 1 = 12 tahun
3. 2 = 11 tahun
4. 3 = 10 tahun
5. 4 = 9 tahun
6. 5 = 8 tahun
7. 6 = 7 tahun
8. 7 = 6 tahun
Ordinal
Jenis Kelamin Penafsiran dua gender
manusia yang
ditentukan secara
biologis sejak lahir.
Kuesioner A
Data
Demografi
Mengisi
kuesioner yang
berisikan data
demografi
1= Laki-laki
2= perempuan
Nominal
2.
Interaksi
Sosial pada
Anak
Tunarungu
Hubungan-hubungan
social timbal balik
yang dinamis, yang
menyangkut
hubungan antara
orang-orang secara
perseorangan,
antarakelompok-
kelompokmanusia,
maupunantara orang
dengankelompok-
kelompokmanusia.
(Abdulsyani, 2007)
Kuesioner B
Interaksi
Sosial
Mengisi
kuesioner yang
terdiri dari 18
pertanyaan
tentanginteraksis
ocialyang paling
sesuai dengan
kondisi
responden
(untuk
pernyataan
favorable,
pilihan jawaban
: Selalu : 4,
Sering : 3,
Kadang –
kadang : 2,
hampir tidak
pernah : 1).
(untuk
pernyataan
unfavorable,
pilihan jawaban
Selalu : 1,
Sering : 2,
1= Tinggi bila
skor : ≥ 52
2= Rendah bila
52< mean
Ordinal
34
Kadang –
kadang : 3,
hampir tidak
pernah : 4).
Skor maksimal :
80
Skor minimal :
20
Setelah
pengumpulan
data, tiap-tiap
angket
kemudian diberi
skor, lalu jumlah
skor
diakumulasikan
secara
keseluruhan dan
diambil nilai
rata-rata.
Setelah nilai
rata-rata
diketahui, lalu
dilihat untuk
masing-masing
responden
apakah dia
termasuk
kategori bisa
berinteraksi
sosial atau tinggi
atau rendah
35
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian
yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau mengambarkan suatu fenomena yang
terjadi di dalam masyarakat. Pada umunya metode penelitian ini digunakan untuk
membuat penilaian terhadap suatu kondisi dan penyelenggaraan suatu program di
masa sekarang (Notoatmodjo, 2010).
B. Waktu dan Tempat
1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan melalui 6 tahapan, dengan waktu penelitian
selama 3 bulan terhitung sesuai dengan kalender akademik. Penelitian dibagi
menjadi beberapa tahapan, yaitu dengan rincian sebagai berikut :
Tabel 4.1 Waktu Penelitian
No. Kegiatan Waktu Pelaksanaan
1 Pembuatan Proposal 20Februari-3April 2017
2 Ujian Proposal 05April-07April 2017
3 Pengumpulan data 25April-29April 2017
4 Pengolahan Data 1Mei-2Juli
5 Laporan akhir penelitian 5Juli-7Juli 2017
36
2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SLB Sejahtera dan SLB-B Tunas kasih Kota
Bogor. Alasan dilakukan penelitian di tempat tersebut karena di SLB
Sejahtera dan SLB-B Tunas kasih Kota Bogor sudah pernah dijadikan sebagai
tempat penelitian tetapi belum pernah berhubungan dengan interaksi sosiall
tunarungu usia sekolah.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan elemen atau subjek riset, dalam arti lain
populasi dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang memiliki nilai yang
semua ingin diteliti sifatnya (Azwar, 2014).
Pada penelitian ini populasinya adalah seluruh anak tunarungu usia
sekolah yang berusia 6-12 tahun di SLB Sejahtera dan SLB-B Tunas kasih
Kota Bogor. Berdasarkan studi pendahuluan jumlah anak tunarungu usia
sekolah di SLB Sejahtera sebanyak 7 siswa/siswi dan di SLB-B Tunas kasih
sebanyak 23 siswa/siswi.
Tabel 4.2
Populasi siswa dan siswi usia Remaja di SLB Kota Bogor
Tempat Jumlah Siswa
SLB-B Tunas Kasih 2 23 orang
SLB Sejahtera 14 orang
Jumlah Populasi 37 orang
37
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang dengan cara tertentu dianggap
representatif untuk mewakili populasi (Azwar, 2014). Sampel terdiri dari
bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek
penelitian melalui sampling. Sedangkan sampling adalah proses menyeleksi
porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2008).
a. Besar Sampel Minimal
Menetapkan besarnya atau jumlah sampel minimal suatu penelitian
tergantung kepada dua hal, yaitu pertama adanya sumber-sumber yang dapat
digunakan untuk menentukan batas maksimal dan dari besarnya sampel.
Kedua, kebutuhan dari rencana analisis yang menentukan batas minimal dari
besarnya sampel (Notoatmodjo, 2010).
Dalam menentukan jumlah sampel, peneliti menggunakan rumus yang
dikembangkan oleh Nursalam (2008).
Skema 4.1 Formula Perhitungan Sampel
(sumber : Nursalam, 2008)
Keterangan :
n = Besar Sampel
N = Besar Populasi
d² = Tingkat Kepercayaan yang diinginkan (10%, 5%, 1%).
38
Berdasarkan hal tersebut jumlah siswa dan siswi anak tunarungu usia
sekolah di SLB Sejahtera dan SLB-B Tunas Kasih berjumlah 37 orang,
Maka:
N = 37
d2 = 0,01
n =
n =
n =
n =
n = 27,007 dibulatkan menjadi 27 responden.
b. Rumus Perhitungan Drop Out
Skema 4,2 Rumus Perhitungan Drop Out
( Sumber: Sastroasmoro, 2008 ) Keterangan :
n‟ = Besar sampel yang akan dihitung
n = Jumlah sampel sebelum dihitung (30 sampel)
f = Perkiraan proporsi drop out (10% = 0.1)
Setelah sebelumnya didapatkan n (jumlah sampel) = 27 responden, maka
untuk perhitungan antisipasi dropout sebagai berikut:
39
30
Jadi, besar sampel / jumlah responden yang dibutuhkan dalam penelitian
ini adalah sebanyak 30 orang.
c. Kriteria Sampel
1) Kriteria Inklusi
Kriteria Inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh
setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel. Kriteria
penelitian ini diantaranya :
a) Anak tunarungu usia sekolah
b) Anak tunarungu yang bisa membaca dan menulis.
c) Anak tunarungu yang bersedia menjadi responden.
2) Kriteria Eklusi
Kriteria Eklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat
diambil sebagai sampel. Adapun kriteria eklusi dalam penelitian ini adalah
:
1. Anak tunarungu yang tidak hadir pada saat pengumpulan data.
D. Teknik Pengambilan Sampel
Metode pengambian sample yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Probability Sampling dengan teknik Proportionate Random Sampling, yaitu
dengan cara pengambilan sampel yang dikombinasikan dengan teknik lain yang
berhubungan denga populasi yang tidak homogen. Maka dalam menentukan
40
anggota sample, peneliti akan mengambil wakil-wakil dari tiap-tiap kelompok
yang ada dalam populasi yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah anggota
subjek yang ada dalam masing-masing anggota kelompok tersebut (Arikunto,
2010).
Peneliti menggunakan teknik pengambilan sample Proportionate Random
Sampling karena dilihat dari responden yang dimiliki tingkat kelas dan sekolah
yang berbeda sehigga dengan menggunakan teknik pengambilan sample ini akan
didapatkan proporsi dari masing-masing sekolah. Jumlah sample yang diambil
untuk masing-masing sekolah ditentukan kembali dengan rumus dari Noor (2011)
sebagai berikut:
( sumber :Noor, 2011 )
Ketewrangan :
n : Jumlah sampel siswa/siswi perkelas
Diketahui bahwa jumlah siswa tunarungu usia sekolah di SLB B Tunas
Kasih 2 sebanyak 23 orang, sedangkan untuk SLB Sejahtera siswa
tunarungu usia sekolah berjumlah 14 orang. Maka peneliti melakukan
langkah-langkah Proportionate Random Sampling sebagai berikut:
SLB-B Tunas Kasih 2 Kota Bogor :
SLB Sejahtera Kota Bogor :
3/3 × 3 = 18,65 = 19 sampel
4/3 × 3 = 11,35 = 11 sampel
n=(Populasi kelas/ jumlah populasi keseluruhan) x jumlah sampel yang ditentukan
41
Setelah diketahui jumlah sampel dari masing-masing sekolah, peneliti
melakukan pemilihan acak sederhana dengan memberikan nomer kepada setiap
individu, mulai dari 0,1,2,3 dan seterusnya. Kemudian nomor-nomor tersebut
dipilih secara random/acak dengan mengocok nomer tersebut dan ketika salah
satu nomer itu keluar maka dia akan dijadikan sampel.
E. Pengumpulan Data
1. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk
pengumpulan data (Notoatmodjo, 2010).
a. Kuesioner A
Kuesioner A berisikan data karakteristik responden atau data demografi
meliputi usia, jenis kelamin. Responden mengisi dan memberikan tanda
checklist (√) pada pilihan jawaban yang sudah disediakan.
b. Kuesioner B
Kuesioner B berisikan 18 pernyataan tentang Interaksi sosiall. Instrument
yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Skala Likert.
Kuesioner ini telah dilakukan uji validitas dan realibilitas oleh usman
(2013) untuk perhitungan realibilitas didapatkan hasil r11=0,527 untuk
intrumen kemampuan interaksi sosiall. Skor tersebut dapat dikategorikan
cukup atau sedang. Pengisian dilakukan dengan cara memberi tanda
checklist (√) pada kolom yang telah disediakan dengan pilihan sanga t
setuju (SS), setuju (S), kurang setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).
Pada pernyataan positif, ”Sangat Setuju” diberi skor 4, ”Setuju” diberi
42
skor 3, ”Tidak Setuju” diberi skor 2, dan ”Sangat tidak Setuju” diberi skor
1. Pada pernyataan negatif, ”Sangat tidak Setuju” diberi skor 4, ”Kurang
Setuju” diberi skor 3, ”Setuju” diberi skor 2, dan ”Sangat Setuju” diberi
skor 1. Jumlah keseluruhan nilai maksimal dari seluruh pertanyaan adalah
72, sedangkan jumlah minimal dari seluruh pertanyaan adalah 18. Jawaban
dari setiap responden dijumlahkan lalu diakumulasikan secara keseluruhan
untuk menemukan mean.
c. Instrument Pendukung
1) Alat Tulis
Alat Tulis yang digunakan adalah pensil atau pulpen untuk mencatat
hasil pengumpulan data.
2) Komputer
Komputer digunakan untuk mengolah data setelh data dari responden
terkumpul.
2. Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini menggunakan kuesioner untuk pengambilan data.
Kuesioner berisi pernyataan mengenai interaksi sosiall anak tunarungu usia
sekolah dimana responden menjawab pernyataan berupa jawaban setuju
atau sangat tidak setuju. Pernyataan terdiri dari penyataan positif dan
negative.
Dalam pengumpulan data ini, peneliti memberikan kuesioner kepada
anak usia sekolah dengan tunarungu yang hadir disekolah. Peneliti berada
43
pada tempat dimana responden mengisi kuesioner agar ketika timbul
pertanyaan yang kurang dimengerti responden bisa langsung
menanyakannya kepada peneliti.
3. Prosedur Penelitian
Dalam pengumpulan data, peneliti mengacu pada tahapan yang
ditetapkan dalam prosedur dibawah ini:
a. Setelah proposal penelitian disetujui pembimbing dan koordinator mata
kuliah maka peneliti mengajukan permohonan izin penelitian kepada
SLB Sejahtera dan SLB-B Tunas Kasih Kota Bogor.
b. Menyerahkan surat izin penelitian pada pihak SLB Sejahtera dan SLB-B
Tunas Kasih Kota bogor.
c. Setelah mendapat izin dan persetujuan dari SLB Sejahtera dan SLB-B
Tunas Kasih Kota Bogor, selanjutnya peneliti mulai melakukan
pendekatan untuk memberikan penjelasan dan informed consent pada
calon responden.
d. Setelah mendapatkan persetujuan dari pihak responden, dan responden
menandatangani inform consent, selama mengisi kuesioner peneliti
memberikan kesempatan pada responden untuk menjawab semua
pertanyaan dan untuk meminta penjelasan terhadap pertanyaan
penelitian.
e. Setelah semua data terkumpul, tahap selanjutnya adalah proses
pengolahan data dan dilanjutkan dengan pembuatan laporan penelitian.
44
F. Pengolahan Data
Menurut Notoatmodjo (2010) apabila data yang diolah kualitasnya jelek,
maka hasilnya juga jelek. Oleh. Karena itu dibutuhkan pengolahan data karena
data yang diperoleh langsung dari peneliti masih mentah, belum memberikan
informasi apa-apa, dan belum siap untuk disajikan. Pada bagian ini data yang
telah terkumpul diolah dan dianalisa melalui beberapa tahapan :
1) Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang
diperoleh atau dikumpulkan (Hidayat, 2014). Pada tahap ini peneliti
melakukan editing dengan cara memeriksa jawaban, kejelasan penulisan dari
30 responden yang telah mengisi semua bagian kuesioner yang diberikan.
2) Coding
Coding menurut Hidayat (2013), merupakan kegiatan pemberian kode
numberik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Kode
adalah isyarat yang dibuat dalam bentuk angka atau huruf yang memberikan
petunjuk atau identitas pada suatu informasi atau data yang akan dianalisis
(Hasan, 2006).Pemberian kode ini sangat penting bila pengolahan dan
analisis data menggunakan computer. Biasanya dalam pemberian kode dibuat
juga daftar kode dan artinya dalam satu buku (Code Book) untuk
memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu kode dari suatu variabel.
Pada karakteristik umur peneliti memberi kode “1” untuk anak usia l2 tahun,
kode “2” untuk anak usia 11 tahun, kode “3” untuk usia 10 tahun, kode “4”
45
untuk usia 9 tahun, kode “5” untuk usia 8 tahun, kode “4” untuk usia 7 tahun,
kode “3” untuk usia 6 tahun. Pada karakteristik jenis kelamin peneliti
memberi kode responden “1” untuk laki-laki dan “2” untuk responden
perempuan. Pada pernyataan interaksi sosiall menggunakan skala Likert
dengan favorable dan unfavorable. Favorable yaitu pilihan jawaban diberi
nilai 4 untuk sangat setuju ,3 untuk setuju , 2 untuk tidak setuju, dan 1 untuk
sangat tidak setuju. Sedangkan unfavorable yaitu diberi nilai 4 untuk sangat
tidak setuju , nilai 3 untuk tidak setuju, nilai 2 untuk setuju, dan nilai 1 sangat
setuju. Pernyataan favorable dalam variabel interaksi sosiall terdapat pada
pernyataan nomor 1, 2, 3, 4, 5, 9, 10, 11, 12, 15, 17 pernyataan unfavorable
terdapat pada nomor 6, 7, 8, 13, 14, 16, 18.
3) Data Entry
Menurut Hidayat (2013), data entry adalah kegiatan memasukan data yang
telah dikumpulkan ke dalam master tabel atau database komputer, kemudian
membuat distribusi frekuensi sederhana atau bisa juga dengan membuat tabel
kontigensi. Data yang di entry yakni jawaban-jawaban dari masing-masing
responden yang dalam bentuk “kode” (angka atau huruf), dimasukan ke
dalam program atau “softwere” komputer. Softwere yang peneliti guanakan
adalah Microsoft Excel. Setiap jawaban responden yang sudah diberi kode,
di-enrty sesuai dengan kode yang telah dibuat. Pengelompokan data ini
selanjutnya diolah untuk pembuatan tabel atau diagram distribusi frekuensi.
46
4) Cleaning
Menurut Notoatmodjo (2010), apabila semua data dari setiap sumber data
atau responden selesai dimasukkan, peneliti perlu memeriksa kembali untuk
melihat kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode,
ketidak lengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau
koreksi. Pada tahap ini, peneliti melihat variabel apakah datanya sudah benar
atau belum. Sorting peneliti mengelompokan data menurut klasifikasi data
misalnya menurut kelas atau menurut tanggal pengembalian.
G. Analisa Data
Analisa data yang digunakan adalah analisa univariat yang dilakukan
terhadap variable dari hasil penelitian. Dalam analisis ini didapatkan hasil data
dalam bentuk distribusi frekuensi dan presentasi dari tiap variabel (Notoatmodjo,
2010). Dalam tahap ini, peneliti menganalisis gambaran interaksi sosiall anak
tunarungu usia sekolah di SLB Sejahtera Interpretasi Data.
Data diinterpretasikan dengan menggunakan skala menurut Arikunto (2006)
sebagai berikut :
0% : Tidak satupun
1%-25% : Sebagian kecil
26%-49% : Kurang dari setengahnya
50% : Setengahnya
51%-75% : Lebih dari setengahnya
76%-99% : Sebagian besar
100% : Seluruhnya
47
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
A. Gambaran Umum Tempat Penelitian
SLB-B Tunas Kasih terletak di jalan Abdullah bin Nuh No. 16 Yasmin
semplak Kelurahan Semplak Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor. Didirikan pada
tanggal 18 Juli 1988, dibawah yayasan Tunas Kasih. Kegiatan belajar mengajar di
laksanakan mulai pukul 07.00-13.00 WIB. SLB-B Tunas Kasih Kota Bogor di
Pimpin Oleh Kepala Sekolah Yaitu Dede Supartman, S.Pd. Responden yang
diambil di SLB-B Tunas Kasih sebanyak 20 orang dari 23 anak usia sekolah.
SLB Sejahtera Kota Bogor terletak di jalan Gunung Batu No. 101 Loji Kota
Bogor. Dirintis oleh Kantor departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Bogor. Secara formal berdiri pada tanggal 07 Februari 1977. Kegiatan belajar
mengajar dilaksanakan mulai pukul 07.00-13.00 WIB. SLB Sejahtera Kota Bogor
Dipimpin oleh Kepala Sekolah yaitu Dra. Leni Kurniati. Responden yang di ambil
di SLB Sejahtera sebanyak 13 orang dari 14 anak usia sekolah.
B. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran Interaksi Sosial
anak Tunarungu usia sekolah (6-12 tahun) di SLB Sejahtera dan SLB-B Tunas
Kasih Kota Bogor Tahun 2017 dengan jumlah responden sebanyak 33 orang.
Hasil dari pengumpulan data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisa
dengan cara analisis univariat. Hasil data ditampilkan dalam bentuk diagram dan
48
tabel yang menjelaskan interaksi sosial anak tunarungu usia sekolah di SLB
Sejahtera dan SLB-B Tunas Kasih Kota Bogor.
1. Gambaran Karakteristik Anak Usia Sekolah
a. Jenis Kelamin
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin pada Anak
Tunarungu Usia Sekolah di SLB Sejahtera dan SLB-B Tunas Kasih tahun
2017
( n=30 )
Jenis Kelamin Jumlah %
Laki-laki 15 50%
Perempuan 15 50%
Jumlah 30 100%
Interpretasi Data:
Berdasarkan Tabel 5.1 diatas menunjukan bahwa dari 30 responden
setengahnya memiliki jumlah yang sama antara laki-laki dan perempuan
(50%) dengan jumlah responden masing-masing 15 orang.
49
b. Usia
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia pada Anak
Tunarungu Usia Sekolah di SLB Sejahtera dan SLB-B Tunas Kasih
tahun 2017
( n=30 )
Usia Jumlah %
12 Tahun 1 2%
11 Tahun 11 37%
10 Tahun 6 20%
9 Tahun 2 7%
8 Tahun 0 0%
7 Tahun 8 27%
6 Tahun 2 7%
Total 30 100%
Interpretasi Data:
Berdasarkan Tabel 5.2 dari 30 responden lebih dari setengahnya (59%)
berada di kisaran usia 10-12 tahun dibandingkan anak tunarungu yang
berusia 6 tahun (7%) atau 2 orang.
50
2. Gambaran Interaksi Sosial Anak Tunarungu Usia Sekolah
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Tingkat Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu
Usia Sekolah di SLB Sejahtera dan SLB-B Tunas Kasih tahun 2017
( n=30 )
Interaksi Sosial Jumlah %
Tinggi 19 63%
Rendah 11 37%
Total 30 100%
Interpretasi Data:
Berdasarkan Tabel 5.3 diatas menunjukkan bahwa dari seluruh responden,
bahwa lebih dari setengahnya (63%) atau sebanyak 19 responden memiliki
interaksi sosial yang tinggi.
51
C. Pembahasan
Pada pembahasan ini akan dijelaskan karateristik antara hasil penelitian
dengan kajian teoritik yang berjudul Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu Usia
Sekolah di SLB Sejahtera dan SLB-B Tunas Kasih Kota Bogor Tahun 2017.
Berdasarkan hasil bahwa lebih dari setengahnya (63%) atau sebanyak 19
responden memiliki interaksi sosial yang tinggi. Penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Milla (2014) mengenai Interaksi Sosial Anak
Tunarungu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak tunarungu mampu
menjalin interaksi sosial dengan sesama tunarungu, guru kelas, maupun dengan
guru pendamping khusus di sekolah. Interaksi sosial ini ditunjukkan dengan
menjalin percakapan, makan bersama, bermain bersama, belajar bersama,
menjalin kerja sama, dan sebagainya, hal ini menunjukan interaksi sosial pada
anak tunarungu tinggi.
Hal ini sejalan dengan Yuhan (2013) bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi interaksi sosial adalah model komunikasi, Model yang pertama
adalah komunikasi oral. Komunikasi ini yang paling banyak dikuasai oleh anak
tunarungu karena ini merupakan model yang paling mudah untuk dipahami.
Mereka terbiasa untuk membaca gerak bibir lawan bicaranya atau mereka
berusaha untuk bisa mengucapkan kata-kata dengan pelafalan yang jelas. Model
komunikasi yang kedua adalah komunikasi menggunakan bahasa isyarat. Sudah
terbiasa menggunakan model komunikasi oral maupun isyarat dengan sesama
penyandang tunarungu, sehingga interaksi sosialnya tinggi.
52
Tingginya interaksi sosial di SLB Sejahtera dan SLB-B Tunas Kasih dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya adalah usia dan jenis kelamin.
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Tingkat Interaksi Sosial Berdasarkan Jenis Kelamin
pada Anak Tunarungu Usia Sekolah di SLB Sejahtera dan SLB-B Tunas
Kasih Tahun 2017
( n= 30 )
Berdasarkan jenis kelamin, dapat disimpulkan bahwa responden yang
memiliki interaksi sosial tinggi lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dengan
(58%) atau 11 responden sedangkan yang memiliki interaksi sosial rendah lebih
banyak berjenis kelamin perempuan dengan (64%) atau sebanyak 7 responden.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Yuhan (2013), dimana kecenderungan laki-laki
untuk berinteraksi dengan teman sebaya/sejawat lebih besar daripada perempuan.
Ini terlihat ketika sekumpulan anak laki-laki sedang berkumpul bersama,
umumnya lebih mudah bergaul, bermain dan kooperatif berbeda dengan anak
perempuan yang terlihat pemalu dan cenderung pasif saat sedang bermain dengan
sekumpulan anak perempuan yang lain. Hal itu terjadi karena terdapat beberapa
perbedaan atau kondisi antara laki-laki dan perempuan yang tidak bisa serta merta
digabungkan.
Kategori Pilihan Tinggi Rendah Total
Jumlah F Jumlah F Jumlah F
Interaksi
Sosial
Berdasarkan
Jenis
Kelamin
Laki-laki 11 58% 4 36% 15 50%
Perempuan 8 42% 7 64% 15 50%
Jumlah 19 100% 11 100% 30 100%
Total 30 100%
53
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dari 30
responden memiliki karakteristik yang berbeda diperoleh dari hasil penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Responden dalam penelitian ini berjumlah sama imbang antara laki-laki dan
perempuan masing-masing 15 responden.
2. Proporsi usia responden yang paling tinggi adalah usia 11 tahun yaitu
sebanyak 11 orang (37%)
3. Lebih dari setengahnya (63%) atau 19 responden memiliki interaksi sosial
tinggi dan kurang dari setengahnya (37%) atau 11 responden memiliki
interaksi sosial rendah.
B. Rekomendasi
Dari hasil yang tersaji dalam penelitian ini, maka peneliti menyampaikan
berbagai rekomendasi bagi pihak pihak terkait sebagai berikut:
1. Peneliti selanjutnya
Peneliti mengarapkan data yang sudah ada mengenai interaksi sosial anak
tunarungu usia sekolah dapat dimanfaatkan dan di kembangkan oleh peneliti
selanjutnya untuk melakukan penelitian yang masih berkaitan dengan interaksi
sosial serta menambahkan komponen karateristik pada responden. Peneliti
54
memiliki rekomendasi judul untuk peneliti selanjutnya, yaitu gambaran
keterampilan sosial pada anak tunarungu usia sekolah.
2. Institusi Pendidikan
Diharapkan kepada dosen keperawatan yang akan melakukan penelitian agar
memanfaatkan data penelitian yang sudah didapat sebagai pengembangan
pembelajaran juga sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa keshatan, khususnya
mahasiswa keperawatan tentang keperawatan anak.
3. Tempat penelitian
Setelah mengetahui bahwa lebih dari setengahnya anak tunarungu usia
sekolah memiliki interaksi sosial tinggi, diharapkan pihak sekolah lebih
meningkatkan lagi interaksi sosial dengan cara memberikan tugas kelompok atau
memberikan permainan yang bersifat berkelompok agar anak dapat lebih
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, contohnya memberikan tugas bermain
susun balok secara berkelompok.
55
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bambang syamsul. 2015. Psikologi Sosial. Bandung : Cv. Pustaka setia.
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : PT
Rineka Cipta.
Asra, Sumiati. 2013. Metode Pembelajaran. Bandung : Wacana Prima.
Azwar, S. 2014. Psikologi Intelegensi. Yogyakarta : Pustaka pelajar.
Cahyaningsih, D.S 2011. Pertumbuhan Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta
: Rineka Cipta.
Gunarsa, S.D., & Gunarsa, Y.S.D 2006. Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia.
Hidayat, A. Alimul, 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta :
Salemba Medika.
Hidayat, A.A.A. 2013. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.
Jakarta: Salemba Medika.
Marghareta Langen, (2016), Interaksi Sosial Antar-anak Tunarungu dan Anak
Tunarungu dengan „anak dengar‟, skripsi dipublikasikan
https://repository.usd.ac.id/8986/2/119114018_full.pdf (Diakses pada 04
April 2016)
Milla Febriana Tanjung, (2014), Interaksi Sosial Anak Tunarungu di SD Negeri 4
Bejen Karanganyar, skripsi dipublikasikan,
http://eprints.uny.ac.id/14348/1/SKRIPSI_Milla%20Febriana%20Tanjung
_PGSD_10108241054.pdf (Diakses pada 04 April 2017)
Murni Winarsih. 2007. Intervensi Dini Bagi Anak Tunarungu dalam Pemerolehan
Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi. Direktorat Ketenagan.
Noor, Juliansyah. 2011. Metedologi Penelitian : Skripsi, Tesis, Disertai, dan karya
ilmiah. Jakarta : Kencana
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metedologi penelitian Keperawatan.
Jakarta.
Sadja‟ah, Edja. 2005. Pendidikan Bahasa bagi Anak Gangguan Mendengar.
Jakarta : Dapartemen Pendidikan Nasional.
56
Sastroasmoro, Sudigdo dan Ismael, Sofyan. 2008. Dasar-dasar Metedologi
Penelitian Klinis. Edisi ke-3. Jakarta : Sagung Seto.
Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.
Somantri, Sutjihati. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : PT. Refika
Aditama.
Suharmini, Tin 2009. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta : Kanwa
Publisisher.
Sunardi dan Sunaryo. 2007. Intervensi Dini Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta :
Depiknas
Tanjung, Milla Febriana. 2014. Interaksi Sosial Anak Tunarungu di SD Negeri 4
Bejen Karanganyar. Yogyakarta : Tidak di Publikasikan.
Triyani. 2013. Interaksi Sosial Anak Tunagrahita di SDN kepuhan Bantul ( SD
Inklusif ). Yogyakarta : Tidak diterbitkan.
Usman, Husaeni. 2013. Manajemen : Teori, praktik dan riset pendidikan Ed.4,
cet.1-Jakarta : Bumi Aksara.
Wong, L. Donna. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Vol : 1. Edisi6.
Jakarta : EGC.