Hambatan Belajar Anak Tunarungu

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hambatan

Citation preview

HAMBATAN BELAJAR ANAK TUNARUNGU Anak tunarungu di dalam mengaktualisasikan potensiyang dimilikinya seringkali dihadapkan kepada berbagai masalah dalam kehidupannya. Anak tunarungu adalah seseorang yang mengalami hambatan atau keterbatasandalam kemampuan mendengar, dari keterbatasannya itu seringkali mempengaruhi kehidupannya secara kompleks baik sebagai mahluk pribadi maupun sebagai mahluk sosial. Dikatakan kompleks karena ketunarunguan membawa dampak terhadap perkembangan bicara dan bahasa, kecerdasan, emosi, maupun perkembangan pribadi dan sosialnya. Meadow (1976), Myklebust (1953) menyatakan bahwa, yang ditimbulkan karena hilangnya kemampuan mendengar (tunarungu) adalah terhambatnya komunikasi dengan dan diantara kaum tunarungu serta lingkungannya. Lebih berat lagi apabila seseorang mengalami ketunarunguan sejak lahir, ia tidak akan mengembangkan kemampuan berbahasanya secara spontan, sehingga dalam usaha untuk bermasyarakat akan timbul berbagai permasalahan seperti aspek sosial, emosional dan mental. Lebih rinci, Boothroyd (1980) menyatakan ketunarunguan sebagai kelainan primer yang bersifat motoris (fisik), dapat mengakibatkan terjadinya kelainan sekunder (dampak) pada berbagai aspek kehidupan dan perkembangan Anak Tunarungu, yaitu dalam kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, fungsisosial, emosi, kognitif, dan sebagainya. Selain berbagai dampak tersebut di atas, ketunarunguan akan berdampak juga terhadap proses perkembangan pendidikan (proses belajar) dan lebih jauh lagi adalah kurangnya peluang atau sempitnya kesempatan dalam mencari pekerjaan. Berkaitan dengan bagaimana Anak Tunarungu mempersepsi lingkungan di luar dirinya sebagai bagian dari proses belajar, Myklebust (1963), mengemukakan suatu konsep tentang sensory deprivationatau kehilangan/kemiskinan penginderaan. Melalui kelima indera seseorang memperoleh informasi mengenai segala perubahan yang terjadi dalam lingkungannya, sehingga ia dapat mengatur keseimbangan antara kebutuhan diri dengan keadaan di luar. Ke lima indera bekerjasama dalam arti bahwa walaupun yang dirangsang hanya salah satu indera, pengalaman penginderaan melalui indera tersebut akan memperoleh makna berdasarkan pengalaman yang telah diperoleh sebelumnya melalui indera-indera lainnya. Berkaitan dengan keberfungsian dan integritas penginderaan tersebut di atas, Saunders (1960) menjelaskan bahwa jika salah satu indera tidak berfungsi akan terjadi distorsi dalam memperoleh informasi dari luar, ada sesuatu yang hilang atau kurang lengkap dalam keseluruhan dunia penghayatan/persepsi seseorang. Sehingga masalahnya bukan hanya terletakpada berkurangnya daya pendengaran melainkan perubahan dalam keseluruhan struktur penghayatan yang meliputi suatu kesadaran dan pemahaman tentang benda, kejadian, serta orang dalam lingkungannya bahkan termasuk dirinya. Selanjutnya Myklebust mengemukakan bahwa dari kelima indera manusia, pendengaran dan penglihatan merupakan indera yang paling canggih dan digolongkan sebagai indera jarak jauh (distance sense), berbeda dengan ketiga indera lainnya yaitu perabaan, pengecap, dan pencium yang dinamakan indera jarak dekat (near sense). Pada orang tunarungu yang tergolong Tuli (Deaf), maka indera penglihatan yang akan mengambil peran terpenting, baru kemudian indera peraba, pencium dan pengecap. Sedangkan bagi mereka yang masih memiliki banyak sisa pendengaran (Hard of Hearing) di samping indera penglihatan, pendengaran masih berperan, kemudian indera lainnya. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka ketunarunguan sebagai suatu kelainan atau gangguan (impairment) pada organ pendengaran, dapat mengakibatkan terjadinya suatu ketidakmampuan/kekurangmampuan dalam fungsi pendengaran (hearing disability) dan kemudian bila tidak ditangani menjadi suatu kendala atau hambatan (handicap) dalam berbagai aspek kehidupan seseorang seperti bidang komunikasi dan bahasa, kognitif dan intelektual, serta sosial emosi (Meadow, 1980). Keadaan ini dapat menyebabkan Anak Tunarungu mengalami hambatan dalambelajar dan kurang dapat mengambil manfaat dari kesempatan pendidikan yang secara lazim tersedia bagi anak pada umumnya karena mereka kurang dapat memenuhi kebutuhannya yang khusus, sehingga mereka tidak dapat berkembang secara optimal. Akibatnya mereka akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang kurang mandiri, kurang memiliki kemampuan memadai dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Berdasarkan uraian/pengantar di atas, maka hambatan yang dialami anak tunarungu, terutama hambatan belajar tidak akan lepas dari dampak ketunarunguan, yaitu: 1.Hambatan Penguasaan Bahasa dan Komunikasi Ketunarunguan tidak hanya mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan berbicara, lebih dari itu dampak paling besar adalah terjadinya kemiskinan bahasa (Van Uden, 1977; Meadow, 1980). Leigh (1994), memperjelas bahwa dampak ketunarunguan adalah kemiskinan dalam penguasaan bahasa secara keseluruhan. Artinya tanpa pendidikan khusus, terlebih bagi Anak Tunarungu berat, mereka tidak akan mengenal lambang bahasa atau nama guna mewakili suatu benda,kegiatan, peristiwa dan perasaan serta tidak akan (sulit) memahami aturan atau sistem bahasa yang berlaku dan digunakan oleh lingkungannya. Oleh karena itu dari berbagai dampak yang ada akan menimbulkan hambatan yang kompleks dan saling mempengaruhi satusama lain. Lebih lanjut Leigh (1994) mengemukakan bahwa masalah utama kaum tunarungu bukan terletak pada tidak dikuasainya suatu sarana komunikasi lisan melainkan akibat hal tersebut terhadap perkembangan kemampuan berbahasanya secara keseluruhan yaitu mereka tidak atau kurang mampu dalam memahami lambang dan aturan bahasa. Secara lebih spesifik, mereka tidak mengenal atau mengertilambang/kode atau nama yang digunakan lingkungan guna mewakili benda-benda, peristiwa kegiatan, dan perasaan serta tidak memahami aturan/system/tata bahasa. Keadaan ini terutama diderita anak tunarungu yang mengalami ketulian sejak lahir atau usia dini (tuli pra bahasa). Van Uden (1997) menjelaskan proses penguasaan bahasa seseorang (pendengaran normal) sejak lahir sampai menguasai bahasa adalah sebagai berikut: -tahap prelingual (pra bahasa) sejak lahir sampai usia 1,6 tahun merupakan masa sebelum kemampuan berbahasa berkembang, walaupun anak menggunakan tanda-tanda (signal) tertentu seperti menangis, menunjuk dan mulai memahami lambang yang digunakan lingkungan sekitar, namun mereka sendiri belum mengembangkan suatu sistem lambang. -Tahap interlingual (antar-bahasa) merupakan masa antara, dimana anak mulai mengembangkan suatu sistem lambang yang sebagian sudah sama dengan sistem lambang yang digunakan lingkungannya namun untuk sebagian masih berbeda. -Tahap postlingual (purna-bahasa), sejak usia 3 tahun anak akan makin memahami dan menerapkan secara tepat aturan bahasa sebagaimana berlaku di lingkungannya sehingga sewaktu berusia 4 tahun sampai akhir memasuki tahap purna bahasa. Untuk anak tunarungu yang seusia dengan anak normalmeskipun sudah dididik dengan baik sejak usia dini, proses penguasaan bahasanya mengalami perbedaan mencolok. Anak dengar pada usia 4 tahun sudah memasuki tahap penguasaan bahasa sedangkan bagi anak tuli hal itu baru dicapai pada usia 12 tahun. 2.Hambatan dalam Perkembangan Kognitif dan Daya PikirInteligensi anak tunarungu secara potensial pada umumnya sama dengan anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasa (Myklebust, 1964, dalam Moores, 1982:148). Keterbatasan informasi dan kurangnya daya abstraksi anak akibat ketunarunguan menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas, dengan demikian perkembangan inteligensi secara fungsional juga terhambat. Hal ini mengakibatkan anak tunarungu kadang-kadang menampakkan keterlambatan dalam belajar dan menampakkan keterbelakangan mental. Cruickshank yang dikutip Siregar (1981:6) mengatakan bahwa: anak-anak tunarungu sering memperlihatkan keterlambatan dalambelajar dan kadang tampak terbelakang. Keadaan ini tidak hanya disebabkan oleh derajat gangguan pendengaran yang dialami anak, tetapi juga tergantung pada potensi kecerdasan yang dimiliki, rangsangan mental, serta dorongan dari lingkungan luar yang memberikan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan kecerdasan itu. Pendapat lain yang mendukung pernyataan di atas adalah pernyataan Rittenhouse yang dikutip Hallahan & Kauffman, (1998:285) adalahsebagai berikut: ... karena anak tunarungu berprestasi sangat jauh di bawah rata-rata kelas sekolahnya, terutama di kelas yang agak tinggi, ada kecenderungan atau anggapan bahwa mereka secara kognitif kemampuannya kurang. Kesulitan akademik yang dihadapi anak tunarungu bukanlah karena masalah kognitif yang kurang, akan tetapi sebenarnya kesulitan dalam bahasa dan pendidiklah yang belum memaksimalkan kelebihan kognitif anak tunarungu. Keterlambatan atau prestasi rendah kaum tunarungu dalam mengerjakan tugas dimana dituntut penalaran dengan bahasa bukan berarti potensi kecerdasan atau inteligensi mereka rendah. Bila kesulitan dalam penyampaian instruksi pada tes kecerdasan dapat diatasi dan perangkat tes yang digunakan bersifat non verbal yaitu tidak menuntut kemampuan berbahasa lisan maka kaum tunarungu menunjukkan penyebaran angka kecerdasan yang normal artinya sebagian besardiantara mereka akan berada pada taraf rata-rata (Myklebust, 1964; Furth, 1966). Pendapat lain diungkapkan Pintner (Moores, 1982:154) yang menyatakan bahwa anak tunarungu jauh tertinggal dibandingkan anak normal dan anak tunarungu itu inferior (rendah) inteligensinya. Sementara Myklebust (1953), menyatakan bahwa anak-anak tunarungu secara umum tidaklah inferior inteligensinya, bahwa sekalipun anak tunarungu secara kuantitatif (Skor IQ-nya) sama dengan anak normal, akan tetapi secara kualitatif mereka belum tentu sama. Lebih lanjut iamengatakan, aspek kualitatif dari fungsi perceptual dan konseptual dan penalaran anaktunarungu tampaknya berbeda. Myklebust menyimpulkan bahwa anak tunarungu sulit untuk melakukan fungsi yang sama luas serta keabstrakannya bila dibandingkan dengan anak normal. Anak tunarungu dianggap lebih konkrit dan kurang abstrak bila dibandingkan anak normal (Moores, 1982: 154-155). Helen Keller sebagai penyandang tunanetra dan tunarungu, menggambarkan kondisi ketunarunguan, sebagai berikut: ...ketulian merupakan bencana yang lebih besar (daripada kebutaan) karena berarti kehilangan rangsangan yang paling vital bagi seseorang yaitu suara manusia yang membawa bahasa, yang dapat menggugah/merangsang pikiran dan menempatkan kita dalam jajaran manusia intelektual.. Pendapat tersebut didasarkan kepada pengalaman pribadi tentang hubungan antara pikiran dan bahasa, yang kemudian dipertegas oleh berbagai ahli. Bahasa merupakan sistem lambang yang digunakan untuk berkomunikasi, sehingga antara pikiran dan bahasa lebih bersifat timbal balik serta interaktif, artinya perkembangan kognitif dapat mempengaruhi penguasaan bahasa dan bahasa dapat mempengaruhi kognisi. Meskipun tidak semua pikiran secara global akan mempengaruhikeseluruhan aspek bahasa dan sebaliknya (Cromer, 1988). Ada aspek pikiran tertentu yang berkembang secara bebas dari bahasa, namun beberapa aspek lainnya sangat dipengaruhi bahasa. Kemiskinan bahasa dan terbatasnya pengalaman pada anak tunarungu akan menghambat perkembangan kemampuan mereka untuk berpikir logis. Sedangkan kemampuan anak tunarungu pada tahap awal, yaitu tahap sensorimotor, tidak menunjukkan perbedaan yang berarti dengan anak dengar yang seusia (Paul & Jackson, 1994). Meskipun begitu Oleron (1953); Marschark (1988) dalam Bunawan (2000:17) menyatakan bahwa bahasalah merupakan faktor yang langsung dapat memberi pengaruh terhadap perkembangan kognitif karena bahasa akan mempermudah anak dalam memahami konsep-konsep. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak tunarungu yang berhasil mencapai tahap kognitif operasional konkrit memiliki kemampuan tata bahasa (Dolman, 1983) dan kemampuan baca tulis yang lebih baik (Parasnis & Long, 1979). Sedangkan pada tahap formal, penampilan anak tunarungu menunjukkan terlalu banyak variabilitas sehingga tidak diperoleh gambaran yangjelas tentang kemampuan mereka. Sampai pada tahapan akhir dari perkembangan kognitif, yaitu operasional formal, anak tunarungu akan jauh ketinggalan dibandingkan anak mendengar yang seusia, yaitu menunjukkan keterlambatan 2 sampai 4 tahun. Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa dalam mengerjakan tugas (berdasarkan tahapan perkembangan kognitif Piaget),anak tunarungu (tuli) dapat menunjukkan kesamaan prestasi dengan anak mendengarbila tugas-tugas itu menuntut perhatian visual dan persepsi seperti misalnya seriasi. Namun bila tugas-tugas itu menuntut perhatian visual dan persepsi (seperti pada tugas konservasi) maka ketergantungan pada persepsi visual akan mengakibatkan kurangnya konseptualisasi. Apalagi dalam tahap operasional konkrit dan formal menuntut daya abstraksi dan penalaran yang memerlukan kemampuan bahasa yang memadai, prestasi mereka akan makin memprihatinkan. Implikasinya adalah dengan mengadakan perubahan dalam petunjuk tugas, memberikan lebih banyak keterangan daripada yang dilakukan terhadap anak mendengar, penampilan anak tunarungu dapat diperbaiki dalam arti memperkecil perbedaannya dengan prestasi anak mendengar. Maka Furth menyimpulkan bahwa keterlambatan anak tunarungu dalam bidang kognitif lebih disebabkan kurangnya pengalaman dalam dunia nyata dan bahwa hal ini secara tidak langsung merupakan akibat kemiskinan bahasanya yang membatasi mereka dalam kesempatan mengembangkan interaksi dan dengan demikian membatasi pengalamannya pula. 3.Hambatan Emosi dan Penyesuaian Sosial Keterbatasan dalam berkomunikasi sering menimbulkankesulitan sosial dan perilaku. Meadow (1987) yang dikutip Hallahan & Kauffman, (1991:71) menyatakan bahwa: :inventarisasi kepribadian dengan konsisten menunjukkan bahwa anak-anak tunarungu mempunyai lebih banyak masalah penyesuaian daripada anak-anak normal. Jika anak-anak tunarungu yang tanpa masalah-masalahnyata atau serius diteliti, mereka menunjukkan kekhasan akan kekakuan, egosentrik, tanpa control dalam diri, impulsive dan keras kepala. Hambatan belajar yang dihadapi anak tunarungu sebagai dampak terhambatnya perkembangan emosi dan penyesuaian social tidak akan terlepas dari keberfungsian kedua aspek tersebut yang saling berhubungan. Fungsi emosi diartikan sebagai persepsi seseorang tentang dirinya, dan fungsi sosial adalahsebagai persepsi tentang hubungan dirinya dengan orang lain dalam situasi sosial (Boothroyd, 1982). Selanjutnya dikatakan bahwa pendengaran memegang peran yang signifikan dalam perkembangan awal emosi-sosial namun bukan esensial. Sedangkan pada tahap perkembangan yang lebih lanjut bahasalah yang memegang peran berarti dan esensial.Dalam berbagai teori tentang perkembangan kepribadian dan sosial ditekankan pada pengalaman seseorang semasa kecil akan memberipengaruh dalam membentuk perilaku dan penyesuaian diri dalam hidup dikemudian hari. Deadon (1976) menunjuk pada dua situasi yang akan dialami anak tuli pra bahasa pada umumnya semasa kecilnya yaitu pertama terhalangnya komunikasi antara anak dan orangtua mereka, dan kedua adalah reaksi orangtua setelah menerima kepastian tentang diagnosa ketulian anak. Sejalan dengan itu Van Uden (1971) menambahkan bahwa ketulian dapat menyebabkan suatu keadaan terasing atau terisolasi bagi penderitanya. Berdasarkan pengalaman ternyata bahwa keluarga yang mempunyai anak tunarungu mengalami banyak kesukaran untuk melibatkan anak dalam keadaan dan kejadian sehari-hari agar mereka mengetahui tentang apa yang terjadi di lingkungannya. Sering terjadi bahwa karena kemiskinannya dalam bidang komunikasi, maka anak tunarungu kurangdapat memaknai situasi dan kondisi lingkungan di luar dirinya secara utuh dan total yang akan dapat memperkaya khasanah pengalaman lahiriah dan batiniahnya. Dengan kata lain keadaan ini tentu mengakibatkan suatu kekurangan dalam keseluruhan pengalaman anak yang pada hakikatnya merupakan dasar dari perkembangan perasaan, sikap sosial dan kepribadian. Jadi dapat diasumsikan bahwa ketulian mengubah pengalaman seseorang dan menyebabkan suatu keterasingan, suatu distansi dan kontak yang berkurang dengan keadaan sekelilingnya sehari-hari. Beberapa sifat dan ciri sebagai konsekuensi dan dampak terhambatnya perkembangan emosi dan sosial anak tunarungu menurut Van Uden (1971) dan Meadow (1976, 1980) adalah: * Sifat egosentris yang lebih besar daripada anak mendengar. Karena dunia penghayatan mereka lebih sempit, maka anak tuli akan lebih terarah kepada diri sendiri, sehingga mereka sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan perasaan orang lain, dan kurang menyadari/peduli efek perilakunya terhadap orang lain. Dalam tindakannya dikuasai perasaan dan pikirannya secara berlebihan, sukar menyesuaikan diri. Bahasa merupakan suatu faktor yang penting dalam perkembangan kontak dan interaksi sosial. Bahasa merupakan alat utama untuk mengkristalisasikan dan menstruktur pengalaman. Jadi kemampuan bahasa yang terbatas akan membatasi pula kemampuan untuk mengintegrasikan pengalaman dan akan memperkuat sifat egosentris ini. * Memiliki sifat impulsive, yaitu tindakannya tidakdidasarkan pada perencanaan yang jelas dan matang, serta tanpa mengantisipasi akibatyang mungkin ditimbulkan oleh perbuatannya. Apa yang mereka inginkan biasanya perlu segera dipenuhi. Adalah sukar bagi mereka untuk merencanakan atau menunda suatu pemuasan kebutuhan dalam jangka panjang. Dalam membuat rencana jangka panjang diperlukan kemampuan untuk memikirkan atau membayangkan berbagai kemungkinan di masa datang berdasarkan masa kini. Justru dalam hal inilah mereka kekurangan karena kurang mempunyai konsep tentang relasi/hubungan. * Sifat kaku, menunjuk pada sikap kaku atau kurang luwes dalam memandang dunia dan tugas-tugas. Hal ini disebabkan oleh sempitnya bidang penghayatan dan berpikir sebagai akibat ketulian dan kemiskinan bahasa. Pikiran dan perasaan mereka terbatas pada hal-hal konkret saja. Menurut Meadow (1980) hal ini dapat menyebabkan suatu ketidakmampuan untuk mengubah suatu tuntutan sesuai perubahan situasi atau kejadian. Erat kaitannya dengan sifat ini adalah kesulitan dalam mendapatkanpengertian tentang hubungan sebab akibat baik dalam lingkungan fisik maupun social dan kesulitan dalam memahami alasan atau sebab dari suatu kejadian. * Sifat lekas marah atau tersinggung Karena kemiskinan bahasanya, anak tunarungu tidak dapat menjelaskan atau mengekspresikan keinginanya dengan baik dan sebaliknya kurang dapat memahami apa yang dikatakan orang lain. Keadaan ini dapat menyebabkan kekecewaan, ketegangan, dan frustrasi yang diekspresikan secara aktif dan agresif tetapi kadang dapat diungkapkan dengan sikap malu-malu, ragu-ragu dan menarik diri.Kedua sikap yang berlawanan ini banyak bergantung dari reaksi orangtua/pendidik terhadap kemampuan anak sehingga terbentuknya konsep diri yang negatif pada anak, pada akhirnya dapat menghambat proses kegiatan belajar di kelas. Meadow (1980) menjelaskan bahwa pembentukan konsep diri terjadi sejalan dengan perkembangan social seorang anak. Berdasarkan reaksi atau sikap orang lain dalam lingkungannya terhadap diri dan tindakannya akan terbentuk pandangan terhadap diri sendiri. Apabila kita menginginkan anak tunarungu dapat berkembang bicara dan bahasanya, maka kita harus senantiasa berkomunikasidengan mereka dalam berbagai kesempatan atau keadaan. Yang harus kita lakukan adalah melihat dan mengembangkan terlebih dahulu hal-hal penting yang menjadi dasar untuk berkomunikasi pada anak tunarungu, seperti: (prinsip-prinsip belajar) a.sikat keterarahwajahan bagi anaktunarungu sumber informasi datangnya sebagian besar secara visual atau penglihatan, dan sebagian kecil melalui pendengaranatau auditoris. Keterarahwajahan yang baik merupakan dasar utama untuk membaca ujaran atau untuk menangkap ungkapan orang lain, sehingga anak dapat memahami bicara orang disekitarnya. b.Sikap Keterarahsuaraan Keterarahsuaraan adalah sikap untuk selalu memperhatikan suara atau bunyi yang terjadi di sekelilingnya dan perlu dikembangkan pada ATR agar sisa pendengaran yang masih dimilikinya dapat dimanfaatkan guna memperlancar interaksinya dengan lingkungan di luar dirinya. c.Tanggap terhadap apa yang ingin dikatakan anak Pada saat bermain atau melakukan kegiatan tentu banyak yang ingin diungkapkan anak, namun karena tidak mempunyai bahasa maka anakakan menggunakan berbagai cara untuk mengungkapkan dirinya seperti: gerak-gerik tingkah laku, suara bermakna, senyuman, tangisan, mimic, isyarat tangan dan kata-kata yang jelas. Bila pada situasi tertentu ATR menggunakan salah satu bentuk ungkapan seperti di atas, maka sebaiknya kita segera tanggapapa yang diamatinya lalu kita mencoba menguhubungkan dengan apa yang ingin dia katakana sehinga kita dapat membahasakannya dengan tepat. d.Penggunaan dorongan Imitasi Dasar berbahasa bukanlah sekedar memberikan atau menanmkan perbendaharaan pada anak, tetapi terutama menciptakan situasi yangmembangkitkan minat anak untuk berkomunikasi. Semua hal yang ingin dikatakananak sesegera mungkin diberi bahasanya dalam suasana perrcakapan.

tuna wicara dan tunarungu

TUNA WICARA DAN TUNA RUNGUMAKALAHDisusun guna memenuhi tugas mata kuliahPSIKOLOGI PENDIDIKANDosen pengampu : Renie Tri Herdiani, M. Pd

Oleh :Kelompok III : 1. Deni Purwati 2. Eka Alendah 3. Friska Rahma A 4. Gema Gilang 5. Lita Desyana Fasin 6. Titin Mukminatin 7. Toto Riyanto 8. Toto SugiartoKelas : III D

BIMBINGAN DAN KONSELINGFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL2012KATA PENGANTAR

Seiring alunan kata Alhamdulillah, segala puji syukur semata-mata hanya untuk Allah SWT. Yang telah melimpahkan karunia, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat merampungkan makalah ini. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW. Pembawa risalah kebenaran bagi seluruh umat di alam ini.Penulis menyadari bahwa terselesaikannya makalah ini berkat dorongan dan arahan dan menyampaikan ucapan terimakasih kepada :1. Renie Tri Herdiani, M. Pd2. Teman-teman mahasiswa yang telah membantu memberikan sumbang saran penulisan makalah ini.Terlalu banyak yang penulis peroleh dari mereka. Untuk itu, semoga amal dan kebaikan Ibu dan rekan-rekan mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa kemampuan yang ada pada penulis sangat tebatas. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mohon kepada pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang membangun demi kebaikan penulisan makalah selanjutnya.Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.

ii

DAFTAR ISI

JUDUL iKATA PENGANTAR iiDAFTAR ISI iiiBABI PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah 1B. Rumusan Masalah 2C. Tujuan Penulisan 2

BABIIPEMBAHASAN A. Pengertian Tuna rungu dan tuna wicara 3B. klasifikasi tuna rungu 6C. Karakteristik tuna wicara dan tuna rungu 9D. Terapi Terpadu untuk anak tuna rungu 12E Perkembangan pendidikan tunarungu dan tuna wicara15 F. Peranan orang tua Dalam Pendidikan Anak Tunarungu 19 G. Penyebab Terjadinya Tunarungu 21 H. Cara Pencegahan Terjadinya Tunarungu22I. Analisis Kasus23 J. Layanan Yang Diperlukan30 K. Implementasi Model Pembelajaran Anak Tunarungu32 L. Kurikulum Pendidikan Khusus Anak Tunarungu36 M. Alat Pendidikan Khusus39 N. Bimbingan dan Konseling bagi Anak Tunarungu41

BABIIIPENUTUP 1Simpulan 44 DAFTAR PUSTAKA

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangManusia memiliki tiga sifat penting sifat atau tritunggal yaitu mampu mendengar, mampu berfikir sebagai manusia, dan mampu bercakap-cakap. Ketiga fungsi itu mempunyai hubungan yang sangat erat. Fungsi pendengaran tergolong yang paling tua dan mempengaruhi fungsi berfikir, sedangkan fungsi berfikir itu sendiri melatih dan mempergunakan fungsi berbicara sebagai alat untuk menyatakan kepada dunia luar apa yang tersembunyi dalam alam pikirannya.Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak. Kehilangan pendengaran yang ringan atau parsial saja dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk berbicara dan memahami bahasa. Bagi anak-anak, pendengaran dan kemampuan berbahasa adalah alat yang sangat penting untuk belajar, bermain dan membangun kemampuan sosial. Anak belajar untuk berkomunikasi dengan meniru suara yang mereka dengar. Jika mereka memiliki gangguan pendengaran yang tidak diketahui sebelumnya dan tidak ditangani, informasi untuk perkembangan bahasa dari lingkungan mereka akan terbuang sia-sia. Hal ini akan mengakibatkan lambatnya perkembangan kemampuan verbal serta menimbulkan masalah soaial dan akademik.

1

Tuna rungu wicara biasanya terjadi yang diawali dengan tuna rungu(gangguan pendengaran) pada awal anak tersebut lahir, baik dapatan ataupun kongenital. Selanjutnya tuna rungu ini, anak dengan tuna rungu ini disertai dengangangguan keterbelakangan mental, gangguan emosional, gangguan bahasa atau bicara(tuna wicara). Gangguan pendengaran dibedakan antara tuli sebagian (hearing impaired) dan tuli total (deaf). Tuli sebagian (hearing impaired) adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar, sedangkan tuli total (deaf) adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehinggatidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi (amplikasi). Tuna rungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran permanen maupun temporer (tidak permanen).B. Rumusan masalah1. Apa yang dimaksud dengan tuna rungu dan tuna wicara?2. Bagaimana sistem dan implementasi pendidikan tuna wicara dan tuna rungu?C. Tujuan penulisan1. Untuk mengetahui maksud dari tuna rungu dan tuna wicara,2. Untuk mengetahui sistem dan implememntasi pendidikan tuna wicara dan tuna rungu.

2

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pengertian Tunarungudan TunawicaraMenurut Pernamari Somad dan Tati Herawati (1996, hal. 27) menyatakan bahwa Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagaian atau seluruh alat pendenganran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupan secara kompleks.Sedangkan menurut Sardjono (1997, hal. 7) mengatakan bahwa: Anak tunarungu adalah anak yang kehilangan pendengaran sebelum belajar bicara atau kehilangan pendengaran demikian anak sudah mulai belajar bicara karena suatu gangguan pendengaran, suara dan bahasa seolah-olah hilang.Sedangkan sebagian tunawicara adalah mereka yang menderita tuna rungu sejak bayi/lahir, yang karenanya tidak dapat menangkap pembicaraan orang lain, sehingga tak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya meskipun tak mengalami ganguan pada alat suaranya.Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak penyandang tunarungu dan tunawicara adalah anak yang kehilangan kemampuan untuk mendengar baik sebagian maupun seluruhnya yang mengakibatkan tidak mampu untuk menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupannya sehari-hari dan juga tidak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya.

3

Tuna wicara merupakan gangguan verbal pada seseorang sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi melalui suara. Tuna wicara sering dikaitkan dengan tuna rungu. Van Uden (1971) menyatakan bahwa penyandang tuna rungu bukan saja tuna rungu tetapi juga tuna bahasa. Sedangkan Leigh (1994) mengemukakan bahwa terhadap anak tuna rungu, orang akan langsung berpikir tentang ketidakmampuan mereka dalam berkomunikasi secara lisan (berbicara), padahal masalah utamanya bukan pada ketidakmampuan dalam berbicara melainkan pada akibat dari keadaan ketunarunguan tersebut terhadap perkembangan bahasa. Pendapat Van Uden yang menyatakan bahwa penyandang tuna rungu juga pasti tuna bahasa, berlawanan dengan pendapat Morag Clark, seorang International Consultant in Natural Auditory Oral Education for children who are hearing impaired. Clark (2007) menyatakan bahwa apabila anak-anak dengan gangguan pendengaran diberi alat bantu dengar yang tepat sehingga dapat baik maka kualitas bicara mereka sangat mengagumkan.Andreas Dwijosumarto dalam seminar ketuna runguan di bandung (19 juni 1988) mengemukakan bahwa tuna rungu adalah suatu kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai perangsang, terutama indra pendengaran. Menurut batasan dari Sri Moerdiani (1987: 27) dalam buku psikologi anak luar biasa bahwa anak tuna rungu adalah mereka yang menaglami gangguan pendengaran sedemikian rupa sehingga tidak mempunyai fungsi praktis dan tujuan komunikasi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.

4

Adapun Moh Amin dalam buku Ortopedagogik umum mengemukakan bahwa anak tuna rungu adalah mereka yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh organ pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembanganya sehingga memerlukan bimbingan pendidikan khusus. (1991: 1).Ahli lainnya memberikan batasan mengenai tunarungu ditinjau dari segi medis dan pedagogis sebagai berikut : Tunarungu berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan seluruh alat pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan bahasa sehingga memerlukan bimbingan dan pelayanan khusus. ( Salim, 1984 : 8).Orang tuli adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan untuk mendengar sehingga tidak dapat mengembangkan, biasanya pada tingkat 70 dB ISO atau lebih besar sehinga menghalangi untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengaranya sendiri tanpa mengunakan alat bantu dengar. Seseorang dikatakan kurang mendengar adalah ketidak mampuan untuk mendengar sehingga tidak dapat mengembangkan, bisanya pada tingkat 35 sampai 69 Db ISO tetapi tidak menghalangi untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengaranya sendiri tanpa atau menggunakan alat bantu dengar.Atau dengan menggunakan bahasa lain, bahwa anak tuna rungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang diakibatkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya indra pendengaran sehingga mengalami hambatan dalam perkembanganya. Dengan demikian anak tuna rungu memerlukan pendidikan secara khusus untuk mencapai kehidupa lahir batin yang layak.

5

B. Klasifikasi TunarunguKetunarunguan dapat diklasifikasikan berdasarkan empat hal, yaitu tingkat kehilangan pendengaran, saat terjadinya ketunarunguan, letak gangguan pendengaran secaraanatomis, serta etiologis.1. Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran yang diperoleh melalui tes dengan menggunakan audiometer ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:a) Tunarungu ringan (mild hearing loss)b) Tunarungu sedang (moderate hearing loss)c) Tunarungu agak berat (moderately csevere hearing loss)d) Tunarungu berat (severe hearing loss)e) Tunarungu berat sekali (profound hearing loss)2. Berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut.a) Ketunarunguan prabahasa (prelingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang terjadi sebelum kemampuan bicara da bahsa berkembang.b) Ketunarunguan pascabahasa (post lingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang terjadi beberapa tahun setelah kemampuan bicara dan bahasa berkembang.

6

3. Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis, ketunarunguan dapat diklasifasikan sebagai berikut.a) Tunarungu tipe konduktif, yaitu kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga bagian luar dan tengah, yang berfungsi sebagai alat konduksi atau pengantar getaran suara menuju telinga bagian dalam.b) Tunarungu tipe sensorineural, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga dalam serta saraf pendengaran (nervus chochlearis).c) Tunarungu tipe campuran yang merupakan gabungan tipe konduktif dan sensorineural, artinya kerusakan terjadi pada telinga luar/tengah dengan telinga dalam/saraf pendengaran.4. Berdasarkan etiologi atau asal usul ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut.a) Tunarungu endogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh faktor genetik (keturunan)b) Tunarungu eksogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh factor nongenetik (bukan keturunan).Tuna rungu diklasifikasikan berdasarkan tingkat gangguan pendengaran, yaitu gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB), gangguan pendengaran ringan(41-55 dB), gangguan pendengaran sedang(56-70 dB), gangguan pendengaran berat(71-90 dB), gangguan pendengaran ekstrem/tuli(diatas 91 dB).

7

Klasifikasi ketunarunguan sangat bervariasi menurut BOOThroyd. Klasifiksi dan karakteristik ketunarunguan diantaranya didsarkan pada:Kelompok I : Kehilangan 15-30 dB: mild hearing losses atau ketunarunguan ringan; daya tangkap suara cakapan manusia normal.Kelompok II : kehilangan 31-60 dB: moderate hearing losses atau ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap cakapan manusia hanya sebagian.Kelompok III : kehilangan 61-90 dB: severve hearing losses atau ketunarunguan berat; daya tangkap terhadap cakapan suara manusia tidak ada.Kelompok IV : kehilangan 91-120 dB: profound hearing losses atau ketunarunguan sangat berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.Kelompok V : kehilangan lebih ari 120 dB: total hearing losses atau ketunarunguan total; daya tangkap terhadap suara manusia tidak ada sama sekali.Uden (1977) mebagi klasifikasi ketunarunguan menjadi tiga, yakni berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan, berdasarkan tempat keruasakan pada organ pendengaran, dan berdasarkan pada taraf penguasaan bahasa.

8

C. Karakteristik Tuna Wicara dan Tuna RunguMasalah yang utama pada diri seorang tunawicara adalah mengalami kehilangan/terganggunya fungsi pendengaran (tunarungu) dan atau fungsi bicara (tunawicara), yang disebabkan karena bawaan lahir, kecelakaan maupun penyakit. Umumnya anak dengan gangguan dengar/wicara yang disebabkan karena faktor bawaan (keturunan/genetik) akan berdampak pada kemampuan bicara Walaupun tidak selalu. Sebaliknya anak yang tidak/kurang dapat bicara umumnya masih dapat menggunakan fungsi pendengarannya walaupun tidak selalu. Anak dengan gangguan dengar/wicara dikelompokan sebagai berikut :a. Ringan (20 30 db)Umumnya mereka masih dapat berkomunikasi dengan baik, hanya kata-kata tertentu saja yang tidak dapat mereka dengar langsung, sehingga pemahaman mereka menjadi sedikit terhambat.b. Sedang (40 60 db)Mereka mulai mengalami kesulitan untuk dapat memahami pembicaraan orang lain, suara yang mampu terdengar adalah suara radio dengan volume maksimal.c. Berat/parah (di atas 60 db)Kelompok ini sudah mulai sulit untuk mengikuti pembicaraan orang lain, suara yang mampu mereka dengar adalah suara yang sama kerasnya dengan jalan pada jam-jam sibuk. Biasanya kalau masuk dalam kategori ini sudah menggunakan alat bantu dengar, mengandalkan pada kemampuan membaca gerak bibir, atau bahasa isyarat untuk berkomunikasi.

9

Hambatan dalam pendengaran pada individu tuna rungu berakibat terjadinya hambatan dalam berbicara. Sehingga, mereka biasa disebut tuna wicara. Cara berkomunikasi dengan individu tuna rungu menggunakan bahasa isyarat. Bahasa isyarat melalui abjad jari telah dipatenkan secara internasional. Untuk komunikasi dengan isyarat bahasa masih berbeda-beda disetiap negara. Saat ini, beberapa SLB bagian B tengah mengembangkan komunikasi total, yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat,bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.Karakteristik tunawicara:a. Berbicara keras dan tidak jelasb. Suka melihat gerak bibir atau gerak tubuh teman bicaranyac. Telinga mengeluarkan cairand. Menggunakan alat bantu dengare. Bibir sumbingf. Suka melakukan gerakan tubuhg. Cenderung pendiamh. Suara sengaui. CadelBerikut ini diuraikan karakteristik anak tunarungu dilihat dari segi intelegensi, bahasa dan bicara, emosi serta sosial :

10

1. Karakteristik Dalam segi IntelegensiPada umumnya anak tunarungu memiliki intelegensi normal atau rata-rata, akan tetapi karena perkembangan intelegensi sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa maka anak tunarungu akan menampakkan intelegensi yang rendah disebabkan oleh kesulitan memahami bahasa. Rendahnya tingkat prestasi anak tunarungu bukan berasal dari kemampuan intelektual yang randah, tetapi pada umumnya disebabkan karena intelegensinya tidak mendapat kesempatan untuk berkembang dengan maksimal. Tidak semua aspek intelegensi anak tunarungu terhambat, tetapi hanya yang bersifat verbal, misalnya dalam merumuskan pengertian, menarik kesimpulan dan meramalkan kejadian.2. Karakteristik Dalam Segi Bahasa dan BicaraPerkembangan bicara dan bahasa anak tunarungu sampai masa meraban tidak mengalami hambatan karena meraban merupakan kegiatan alami pernafasan dan pita suara. Setelah masa meraban perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu terhenti. Pada masa meniru anak tunarungu terbatas pada peniruan yang sifatnya visual yaitu gerak dan isyarat. Karena anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, kemampuan bahasanya tidak akan berkembang bila ia tidak di didik atau dilatih secara khusus. Karena itu anak tunarungu bicara dan bahasanya pada awalnya seringkali sukar ditangkap, akan tetapi bila bergaul lebih lama dengan mereka kita akan terbiasa dengan cara bicara mereka sehingga akan mempermudah kita dalam memahami maksud bicara anak tunarungu itu.

11

3. Karakteristik Dalam segi Emosi dan SosialKetunarunguan dapat mengakibatkan terasing dari pergaulan sehari-hari, yang berarti mereka terasing dari pergaulan atau aturan sosial yang berlaku dalam masyarakat dimana ia hidup / keadaan ini menghambat perkembangan kepribadian anak menuju dewasa. Akibat dari keterasingan tersebut dapat menimbulkan efek-efek negatif seperti ;1. Egosentrisme yang melebihi anak normal2. Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas3. Ketergantungan terhadap orang lain4. Perhatian mereka lebih sukar dialihkan5. Mereka umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak masalah6. Mereka lebih mudah marah dan cepat tersinggung.D. Terapi Terpadu untuk Anak TunaRunguKeywords: terapi mendengar / terapi dengar, auditory verbal therapy / terapi auditori verbal, auditory oral therapy, AVT / TAV, terapi wicara, implan koklea / cochlea implant, alat bantu dengar / ABD, komunikasi, tunarungu.

12

Prinsip Dasar Terapi Ellen (Terapi terpadu = terapi mendengar + terapi wicara) :1. Mendengar melalui telinga yang dibantu ABD, bukan karena melihat gerakan tangan atau gerakan mulut.2. Keterbatasan si anak dalam merespon pembicaraan kita adalah karena belum mengerti kata/kalimat yang didengar (keterbatasan kosa kata, karena baru mulai mendengar selama 2 tahun), sehingga perlu dibantu dengan gambar/gerakan tangan. Tetapi bantuan inipun sifatnya hanya sesaat dalam rangka memasok kata baru, setelah kata tersebut dimengerti, bantuan visual dihilangkan.3. Karena itu yang penting adalah memasok kosa kata ke telinga Ellen, tanpa menuntut dia segera/langsung dapat mengerti apalagi mengucapkan. John Tracy Clinic menuliskan: untuk dapat mengerti suatu kata si anak harus mendengar 100 kali, untuk dapat mengucapkan ia harus mendengar 1000 kali. Jadi sejak Ellen memakai ABD kami konsentrasi memasok dan memasok kata ke telinganya (saat bercakap-cakap normal, maupun saat spesifik mengajarkan kata-kata baru).4. Teknik berbicara adalah dengan volume suara normal di dekat telinganya. Hal ini bertujuan agar suluruh konsonan dapat ditangkap. Bicara pada jarak yang lebih jauh dengan suara keras (berteriak) menyebabkan yang ditangkap hanya vokal saja.

13

5. Kami telah menerapkan point 1-4 selama 1 tahun dan telah terbukti menunjukkan hasil yang baik. Pada akhir tahun pertama, dia baru memiliki bahasa reseptif (paham beberapa kata yang kami ucapkan tanpa dia melihat gerak bibir, tapi dia belum bisa mengucapkannya), lalu setelah itu mulai muncul kata-kata pertamanya (walau pengucapan tidak sempurna, tetapi konsisten), dan langsung disusul dengan kata-kata berikutnya. Metode ini biasa disebut teknik auditory verbal. 6. Kendala yang muncul adalah pengucapan yang masih sangat lemah, karena itulah atas saran John Tracy Clinic kemudian Ellen dibantu terapi wicara (di suatu RS). Terapis wicara membantu membentuk pengucapan Ellen dengan teknik terapi wicara terhadap kata-kata yang sudah dimengerti Ellen tetapi belum bagus pengucapannya. Walaupun hanya 4 bulan (terpaksa quit karena tidak tertampung jadwal baru mereka yang hanya pagisiang), pola ini telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Metode auditory verbal + terapi wicara ini biasa disebut auditory oral. Ini yang kami lanjut-terapkan saat ini (dengan bantuan terapis wicara di sekolah).Catatan:- Penelitian modern menyatakan hampir semua anak tuna rungu masih punya sisa pendengaran (tidak 100% tuli). Sisa pendengaran ini dapat dioptimalkan dengan bantuan alat bantu dengar (ABD, walaupun tidak secanggih implan koklea).

14

- Tetapi memakai ABD tidak sama dengan orang memakai kaca mata, yang langsung bisa melihat dengan lebih jelas. Karena respon atas stimuli visual adalah langsung, sedangkan respon atas stimuli auditori adalah melalui tahap pemahaman/interpretasi dulu. Untuk mencapai tahap pemahaman yang penting adalah harus sering mendengar dan mendengar, dengan pengucapan yang jelas, kalimat pendek, dan jika perlu disertai bantuan visual: gambar & gerakan tangan (kadang tanpa bantuan akan sulit anak memahami kata-kata baru, mirip kita nonton film berbahasa asing dimana kita mendengar pemain berbicara cas-cis-cus tanpa kita menangkap artinya). Tetapi bantuan itu perlahan dihilangkan, sehingga nantinya hanya akan berkomunikasi secara verbal. (by: mama Ellen, edited by papa Ellen).

E. Perkembangan pendidikan Tunarungu dan TunawicaraSalah satu literatur tertua mengenai tunarungu dan tunawicara tercatat pada abad kelima SM, dalam Plato Cratylus, di mana Socrates berkata: "Jika kami tidak memiliki suara atau lidah, dan ingin mengungkapkan hal-hal yang satu sama lain, tidak akan kami mencoba untuk membuat tanda-tanda dengan menggerakkan tangan, kepala, dan seluruh tubuh kita, seperti orang bodoh lakukan saat ini ? Disini tampak bahwa orang yang disebut Socrates sebagai orang bodoh adalah sekelompok orang yang tidak bersuara dan tidak berlidah. Terdapat juga literatur pada abad ke-2 Yudea, rekaman dalam traktat Mishnah Gittin menyatakan bahwa untuk tujuan transaksi komersial "Seorang tuli-bisu dapat mengadakan percakapan melalui suatu gerakan tertentu.

15

Di masa yang lebih modern, yaitu pada tahun 1620, Juan Pablo Bonet menerbitkan Reduccin de las letras y arte para ensear a hablar mudos los (Pengurangan huruf dan seni untuk mengajar orang bisu untuk berbicara') di Madrid. Sejumlah esai modern pertama Fonetik dan Logopedia, kemudian menetapkan metode pendidikan oral bagi penyandang tunarungu dengan cara penggunaan tanda-tanda manual, dalam bentuk alfabet manual untuk memperbaiki komunikasi dari penyandang tunarungu dan tunawicara. Terinpirasi dari bahasa tanda-tanda Bonet ini, Charles-Michel de l'pe kemudian menerbitkan alfabet manualnya di abad ke-18, yang sampai kini terus bertahan di Perancis dan Amerika Utara. Ini merupakan masa-masa awal berkembangnya pendidikan khusus penyandang tunarungu dan tunawicara.Pada 1755, Abb de l'pe mendirikan sekolah pertama untuk anak-anak penyandang tunarungu dan tunawicara di Paris. Salah satu lulusannya yang juga berperan dalam pengembangan pendidikan ini Laurent Clerc. Clerc melakukan migrasi ke Amerika Serikat bersama Thomas Hopkins Gallaudet untuk mendirikan Sekolah Amerika untuk Tuli di Hartford, Connecticut, pada tahun 1817. Perjuangan ini diteruskan oleh Edward Miner Gallaudet (putra T.H Gallaudet) yang mendirikan sekolah untuk penyandang tunarungu pada tahun 1857 di Washington, DC. Pada tahun 1864 sekolah ini menjadi National Deaf-Mute College. Universitas ini kemudian disebut Gallaudet University, dan masih merupakan universitas seni liberal hanya untuk orang-orang tunarungu dan tunawicara di dunia.

16

Di Indonesia sendiri, pendirian lembaga pendidikan yang menangani Anak Tunarungu (ATR) baru dirintis oleh C.M.Roelfsma Wesselink, di Bandung pada tahun 1933. 5 tahun kemudian, di Wonosobo didirikan lembaga pendidikan oleh Misi Katolik yang hanya menerima siswisiswi tuna rungu yang terkenal pula dengan metode oralnya. Lalu pada tahun 1953 didirikan sekolah lain di kota yang sama oleh Misi Bruder Charitas yang khusus mendidik siswa putra. Dimulai tahun 1970-an mulai berkembang berbagai versi perangkat isyarat dalam menerapkan komunikasi pada penyandang tunarungu di Indonesia. Baru tahun 1933 , Balitbang Dikbud, Dekdikbut mulai menyusun kamus baku bahasa isyarat. Dan pada tahun yang sama Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah, Depdikbud mengambil keputusan membakukan suatu Sistem Isyarat Nasional, yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Sistem Isyarat Bahasa Indonesia.Menurut sejarah pendidikan anak tunarungu dimulai setelah adanya perkembangan dan pengalaman terhadap kemampuan-kemampuan anak tunarungu. Kemampuan tersebut meliputi berbagai bidang, antara lain ; mampu dilatih mengeluarkan suara/bicara walaupun tidak dapat mendengar suara orang lain maupun suaranya sendiri, serta mampu berkomunikasi dengan masyarakat umumnya walaupun hanya menggunakan isyarat dan kadang-kadang disertai suara.

17

1. Perkembangan anak tunarungu di luar negeriBerdasarkan pengalaman-pengalaman dan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam memberikan layanan pendidikan dinegara-negara maju khususnya di amerika serikat dan eropa barat, ternyata penyandang tunarungu dapat hidup wajar seperti halnya anggota masyarakat lainnya, asal saja mereka dipersiapkan sebaik-baiknya yaitu diupayakan pengembangan kemampuan seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya. Hambatan utama anak tunarungu adalah kurang lancarnya berkomunikasi dengan orang lain yang diakibatkan oleh tidak berfungsinya pendengaran secara baik.Orang pertama yang menaruh perhatian terhadap pendidikan anak tunarungu adalah St. Yohannes of Baverly yang hidup pada akhir abad ke tujuh sampai abad kedelapan. Pada abad pertengahan itu menjadi lebih intensif karena pada zaman itu perhatian terhadap kemanusian lebih besar.2. Perkembangan pendidikan anak tunarungu di indonesiaPendidikan anak tunarungu diindonesia mulai dirintis pada tahun 1930 dibandung oleh Ny. Roelfsma Wesselink ( istri dokter THT ) dengan mendirikan sekolah anak tunarungu, yang kemudian dikelola oleh perkumpulan penyelenggaraan pengajaran bagi anak Tuli Bisu di indonesia yang berkedudukan di Bandung. Kepala sekolah pertama adalah D.W. Bluenink berkebangsaan Belanda. Sekolah anak tunarungu yang kedua didirikan di wonosoba oleh Broeder-Broeder Charitas pada tahun 1938 yang mempunyai hubungan dengan sekolah bagi anak tunarungu dinegeri belanda, yakni St. Micliects gestel.

18

Setelah indonesia merdeka, khususnya setelah tahun tujuh puluhan, perkembangan pendidikan anak tunarungu semakin berarti meskipun jumlah sekolah belum memadai, tetapi sudar tersebar di kota-kota besar di indonesia. Sejak Pelita III dan awal Pelita IV pemerintah mendirikan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) sebanyak 200 buah, yang prioritas didirikan dikota-kota yang belum memiliki SLB.

F. Peranan Orang Tua Dalam Pendidikan Anak TunarunguMasa-masa yang paling kritis dalam kehidupan orang tua adalah ketika mereka harus mengakui bahwa anaknya berkelainan. Keadaan tersebut akan menimbulkan bermacam-macam reaksi. Beberapa diantaranya akan berusaha menghindarkan diri dari kenyataan ini, seperti dengan menyembunyikan anak tersebut. Selain itu ada juga yang berhati mulia menghadapi kenyataan tersebut bahkan sekaligus memikirkan masa depan anaknya yang berkelainan. Penting untuk disadari bahwa penerimaan yang secepatnya dari orang tua terhadap anaknya serta membuat rencana untuk masa depan anaknya adalah merupakan suatu kebajikan untuk kebahagiaan anak itu sendiri maupun bagi orang tua/keluarganya sendiri.

19

Sikap positif yang dituntut dari orang tua adalah sikap menerima sebagaimana adanya yaitu sikap yang bijaksana yang mencerminkan ketulusan terhadap kehendak ilahi, sehingga dapat membahagiakan anak tunarungu. Sikap menerima berarti adanya pengakuan terhadap eksistensi anak tunarungu sebagai mahkluk tuhan dan anggota keluarga yang sederajat dan berhak memperoleh kasih sayang seperti halnya anak yang lain.Pendidikan kepada anak tunarungu hendaknya didasarkan pada aspek penerimaan yang tulus atas kondisi kelainannya. Pendidikan pertama-tama adalah merupakan tanggung jawab orang tuanya. Pendidikan dan latihan harus diberikan kepada anak tunarungu sedini mungkin untuk menghindari / mengurangi kemungkinan terjadi kelainan tambahan, seperti tunawicara atau bisu.Agar dapat mendidik dan melatih anak tunarungu sebaik-baiknya, orang tua dituntut memiliki berbagai pengetahuan dan keterampilan antara lain :- Pengetahuan tentang jenis dan tingkat ketunarunguan- Pengetahuan tentang karakteristik anak tunarungu- Pengetahuan tentang cara-cara mendidik anak tunarungu yang meliputi segi-segi teori maupun praktek.

20

- Pengetahuan tentang cara mamilih, menggunakan, serta merawat alat bantu dengar.- Pengetahuan dan keterampilan tentang cara berkomunikasi dengan anak tunarungu agar kemampuan berbicara dan berbahasanya makin berkembang.

G. Penyebab Terjadinya Tunarungu a. Penyebab Tunarungu Tipe Konduktif: 1) Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar yang dapat disebabkan antara lain oleh: tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar (atresia meatus akustikus externus), dan terjadinya peradangan pada lubang telinga luar (otitis externa).2) Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah, yang dapat disebabkan antara lain oleh hal-hal berikut: Ruda Paksa, yaitu adanya tekanan/benturan yang keras pada telinga seperti karena jatuh tabrakan, tertusuk, dan sebagainya. Terjadinya peradangan/inpeksi pada telinga tengah (otitis media).

21

Otosclerosis, yaitu terjadinya pertumbuhan tulang pada kaki tulang stapes. Tympanisclerosis, yaitu adanya lapisan kalsium/zat kapur pada gendang dengar (membran timpani) dan tulang pendengaran. Anomali congenital dari tulang pendengaran atau tidak terbentuknya tulang pendengaran yang dibawa sejak lahir. Disfungsi tuba eustaschius (saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan rongga mulut), akibat alergi atau tumor pada nasopharynx.3) Penyebab Terjadinya Tunarungu Tipe Sensorineural Disebabkan oleh faktor genetik (keturunan), Disebabkan oleh faktor non genetik antara lain: - Rubena (Campak Jerman)- Ketidaksesuaian antara darah ibu dan anak.- Meningitis (radang selaput otak )- Trauma akustik.

H. Cara Pencegahan Terjadinya Tunarungu 1) Pada saat sebelum nikah (pra nikah) antara lain: menghindari pernikahan sedarah atau pernikahan dengan saudara dekat; melakukan pemeriksaan darah; dan melakukan konseling genetika.

22

2) Upaya yang dapat dilakukan pada waktu hamil,antara lain: menjaga kesehatan dan memeriksakan kehamilan secara teratur; mengkonsumsi gizi yang baik/seimbang; tidak meminum obat sembarangan; dan melakukan imunisasi tetanus.3) Upaya yang dapat dilakukan pada saat melahirkan, antara lain: tidak menggunakan alat penyedot dan apabila Ibu tersebut terkena virus herpes simplek pada daerah vaginanya,maka kelahiran harus melalui operasi caesar.4) Upaya yang dapat dilakukan pada masa setelah lahir antara lain: melakukan imunisasi dasar serta imunisasi rubela yang sangat penting, terutama bagi wanita; mencegah sakit influenza yang terlalu lama (terutama pada anak); dan menjaga telinga dari kebisingan.

I. Analisis KasusKasus 1Cerita Shafa: Tuna Rungu Jangan Menjadi Hambatan Shafa, adalah seorang anak yang merupakan inspirator untuk anak-anak lain agar tidak menyerah dengan ketidak normalan pada pendengaran. Berikut merupakan penuturannya.

23

Namaku Shafa Husnul Khatimah, aku lahir di Bandung tanggal 20 Juni 1991. Aku adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Aku dilahirkan dengan keadaan normal, aku cucu pertama dari keluarga ibuku, aku sangat disayang dan diperhatikan oleh keluarga besar ibuku. Ibu dan keluargaku bercerita bahwa aku adalah anak yang sangat lucu dan menggemaskan. Ketika aku bayi sampai usiaku 20 bulan tidak ada yang dikhawatirkan terhadap diriku sebab aku tumbuh dengan sangat wajar, namun pamanku sedikit takut dengan pendengaranku, karena setiap mereka memanggil namaku, tak penah sekalipun aku menoleh, sehingga pamanku menyarankan kepada ibuku untuk memeriksakan pendengaranku, ketika itu ibuku marah besar karena menurut beliau tidak ada masalah dengan pendengaranku. Namun akhirnya ibuku ikut juga saran paman untuk memeriksakan pendengaranku.Aku diperiksa oleh dokter THT namun dokter tidak yakin apakah aku tuli atau tidak, untuk meyakinkan apakah aku punya masalah pada pendengaranku akhirnya aku periksa BERA (test pendengaran dengan peralatan computer). Setelah selesai pemeriksaan dan mendapatkan hasilnya betapa terkejutnya keluargaku karena dokter menyatakan bahwa aku termasuk anak tuna rungu berat, ini semua dilihat dari hasil tes BERA yang menunjukkan bahwa untuk telinga kanan tidak tembus ambang 110 Db (Decibel) - kekerasan suara yang terdengar diatas 110 Db - , dan telinga kiri mencapai 110 db.

24

Setelah mendapatkan hasil tes BERA tersebut keluarga besarku mencari solusi untuk pengobatanku baik melalui dokter sampai ke alternatif, karena mereka beranggapan bahwa kita harus berusaha dan berdoa semaksimal mungkin karena Allah akan memberikan hasil sesuai dengan usaha dan doa kita.Saat aku memasuki bangku sekolah, aku masuk TK umum di Cimahi ketika usiaku 4 tahun. Aku belum bisa bicara seperti teman-teman yang lain, namun aku tidak berkecil hati sebab aku terus belajar dan mengikuti terapi bicara, namun orang tuaku kasihan melihatku yang sering kali dibicarakan oleh teman-temanku. Akhirnya aku dipindahkan ke sekolah khusus anak tuna rungu di Jakarta. Padahal ketika itu banyak sekali hal-hal yang dikorbankan termasuk karir ayahku dimana ayahku harus cari kerja baru di Jakarta, padahal karir ayahku saat itu cukup bagus, namun demi aku mereka rela memulai dari awal lagi. Di samping itu juga aku sangat sedih harus berpisah dengan ibu Dewi Tirtatawati, beliau adalah salah satu orang yang sangat berharga bagiku, karena tanpa beliau aku belum tentu bisa berbicara seperti sekarang ini. Ibu Dewi adalah guru terapi bicaraku, dia sangat sabar dan sayang kepadaku, aku terapi setiap hari dari hari Senin sampai Jumat, di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung.Ketika kami pindah ke Jakarta aku dimasukkan ke sekolah SLB-B Santi Rama, namun aku hanya bisa sekolah di sana 2 minggu sebab ibuku melihat aku tidak cocok sekolah di sana. Akhirnya aku dipindahkan lagi ke TK umum Mutiara Indonesia cabang Kayu Putih,selama 2 tahun.

25

Alhamdulilah ketika aku bersekolah di sana aku punya banyak teman, karena mereka sangat peduli dan mau berteman denganku, walaupun aku belum lancar bicara tapi mereka mau mengerti dan memahamiku. Setelah itu aku pindah lagi ke Cimahi untuk masuk SD. Di Cimahi aku masuk sekolah SD umum yaitu SDN 2 Cimahi. Aku masuk SD berumur 7 tahun. Alhamdulillah aku bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan bicaraku pun semakin baik juga sebab aku tetap terapi bicara terus sampai usiaku 7 tahun.Ketika aku baru masuk SD sampai kelas 4 aku sering dihina teman-temanku, mereka bilang aku si kuping robot sebab di telingaku ada alat bantu dengar, tapi aku tak menghiraukan mereka yang penting aku tidak merugikan mereka dan tidak membalasnya. Alhamdulillah setelah kelas 5 teman-temanku tidak lagi menghinaku. Aku di sekolah tidak minder. Aku berpikir, aku seperti ini adalah kehendak Allah. Aku, orang tuaku dan keluarga besarku tidak ingin aku dikasihani, sehingga aku diperlakukan sama seperti yang lain. Aku di sekolah memang tidak dapat ranking 5 besar tapi nilaiku cukup bagus terbukti dengan nilai UPMPku sehingga aku bisa masuk SMPN 1 Cimahi.yang menurut orang-orang SMPN favorit yang sangat bagus dan berat untuk bisa masuk ke sana.Ketika aku duduk di kelas 1 SMP, aku memutuskan untuk menggunakan kerudung. Alhamdulillah aku punya banyak teman. Teman-temanku tidak menyangka kalau aku adalah anak tuna rungu, bahkan guru-guru juga. Ibuku selalu bercerita kepada guru-guru BP, padahal aku tidak ada masalah dengan pelajaran di sekolah, kecuali setiap ada pelajaran mendengar (listening), aku sangat susah untuk mengikuti. Alhamdulillah pada pelajaran lain aku dapat menerima dengan cukup baik.

26

Sekarang aku kelas 3 SMP, aku pernah ikut olimpiade matematika se-kota Cimahi ketika kelas 2 SMP, alhamdulillah aku dapat peringkat 3 ketika tes tertulis. Ketika SD aku juga sering juara lomba Sempoa Aritmatika dan Mewarnai. Aku juga belajar drum sampai sekarang sebab setelah aku belajar drum aku bisa belajar alat musik lain seperti gitar, keyboard, recorder. Sebelum aku belajar drum aku tidak bisa belajar alat musik apapun dan entah kenapa setelah aku belajar drum aku bisa belajar alat musik yang lain. Mungkin di drum aku belajar ketukan sehingga aku sedikit tahu tentang alat musik yang ditentukan dengan tempo (ketukan). Aku juga tidak malu kalau tampil main drum dan aku pernah tampil ketika kota Cimahi berulang tahun. Orang-orang yang tidak tahu tentang keadaanku mereka tidak menyangka bahwa aku anak tuna rungu berat sebab aku bisa bicara seperti anak normal. Namun, memang aku sering tidak bisa mendengar kalau orang bicara pelan walaupun aku sudah pakai Alat Bantu Dengar.Aku dan keluargaku ingin sekali berbagi kepada semua orang yang memiliki anak tuna rungu, sebab orang sering beranggapan kalau anak tuna rungu itu tidak bisa berbicara dengan lancar. Aku ingin tunjukkan bahwa yang tuna rungu bisa berbicara dengan lancar dan baik sebagaimana orang normal. Kami ingin menginformasikannya kepada semua orang.

27

Kasus IIEpi merupakan seorang anak yang tinggal di daerah desa Padang Alai, Kecamatan V Koto Timur, Kabupaten Padang Pariaman. Epi awalnya dibesarkan oleh orang tua kandungnya sendiri. Orang tua kandungnya merupakan tuna wicara yang berprofesi sebagai petani. Orang tua Epi membesarkannya dengan penuh kasih sayang, meskipun serba kekurangan. Namun sayang sekali, dikarenakan orang tuanya tuna wicara, maka Epi pun berangsur-angsur tidak dapat berbicara. Padahal menurut bidan yang mengurus persalinannya, pada saat ia dilahirkan hingga umur beberapa bulan, ia masih bisa menangis seperti anak normal pada umumnya. Epi tinggal di daerah terpencil sehingga sangat jarang berkomunikasi dengan orang lain. Uniknya, Epi dapat meniru suara gonggongan anjing. Ini dikarenakan orang tuanya memelihara seekor anjing. Suara anjing tersebut sering didengar oleh Epi dan ditirunya. Jadi meskipun Epi tidak bisa berbicara, ia masih bisa meniru suara-suara yang ia dengar disekelilingnya. Saat ini, Epi diasuh oleh saudara ibunya. Meskipun telah diajarkan mengucapkan kata-kata oleh orang tua angkatnya, ternyata Epi tetap tidak dapat berbicara. Ia hanya bisa meniru bunyi-bunyian yang pernah didengarnya dahulu sewaktu masih dibesarkan oleh otang tua kandungnya. Kenyataan inilah yang membuat penulis tertarik untuk menganalisis pemerolehan bahasa pertamanya selama dibesarkan oleh orang tua yang tua wicara. Pemerolehan bahasa pertama pada anak tergantung pada bunyi-bunyian atau kata-kata yang mereka dengar pada masa-masa awal mereka tumbuh. Sejauh mana mereka bisa meniru, membunyikan, dan mengucapkan suatu kata tergantung dari bahasa ibu yang mereka dapatkan.

28

Karenanya jika mereka tidak mendapatkan bunyi-bunyian untuk ditiru, maka alat ucap mereka menjadi tidak berfungsi. Ini disebabkan karena mereka tidak mengoptimalkan penggunaan alat ucap mereka.Hal ini yang terjadi pada Epi. Selama dibesarkan oleh orang tuanya yang tuna wicara, Epi tidak pernah mendengar bunyi-bunyian atau kata-kata yang dapat ia tiru untuk kemudian diucapkan. Padahal, pada awalnya Epi mamapu bersuara seperti anak-anak pada umumnya. Ia mampu menangis seperti pada umumnya. Namun, setelah berumur beberapa bulan hingga umur 4 tahun, ia tidak pernah mendengar kata-kata dari orang tuanya. Sehingga ia pun tidak bisa berbicara. Epi hanya bisa membunyikan bunyi-bunyian tertentu, dimana bunyi-bunyi tidak pernah ia dapatkan dari kedua orang tuanya. Bunyi-bunyian yang ia dengungkan pun tidak jelas maknanya dan tidak berupa kata-kata, hanya berupa lenguhan-lenguhan singkat.Epi mengalami masa-masa pertumbuhan yang tidak seperti biasa dialami oleh anak-anak pada umumnya. Ia tidak pernah mengalami masa-masa membabel, holofrasa, dan dua kata seperti yang biasa dialami anak-anak pada umumnya. Ia tidak pernah berusaha menggunakan alat ucapnya untuk mengucapkan suatu kata, ini dikarenakan tak ada kata-kata yang bisa ia tiru. Dengan demikian jelas sudah. Terdapat hubungan antara cara mendidik orang tua dengan pemerolehan bahasa pertama anak. Seorang anak apabila tidak mendapatkan kata-kata untuk ia tiru pada masa-masa ia seharusnya meniru sebuah kata, maka alat ucapnya tidak akan berfungsi lagi.

29

J. Layanan Yang Diperlukana. Sistem Layanan Pendidikan Tunarungub. Anak yang mendengar, semasa usia balita, akan secara spontan menemukan bermacam-macam lambang; baik lambang untuk benda, berbagai kegiatan, maupun segala perasaan orang, serta menemukan aturan tata bahasa yang dipakai oleh ibunya. Lambang bahasa serta aturan tata bahasa yang telah ditemukan tersebut kemudian diterapkan secara tepat dalam percakapan sehari-hari tanpa mengetahui istilah tata bahasa bakunya. A.van Uden; seorang tokoh pendidikan anak tunarungu dari Belanda; mengatakan bahwa anak tunarungu yang ditangani secara dini, dalam arti sejak bayi diajak dan dilatih untuk berkomunikasi seperti bayi yang mendengar, akan terhindar dari ketertinggalan perkembangan bahasa-nya yang amat jauh dari anak dengar seusianya. Maka A. van Uden kemudian mengembangkan suatu metode atau model pengajaran bahasa untuk anak tunarungu yang menggunakan dasar tahapan perkembangan bahasa pada anak dengar.

30

c. Permasalannya adalah bahwa akibat ketunarunguan anak tidak hanya tidak dapat mendengar/ terganggu pendengarannya, tetapi juga tidak berbahasa, artinya tidak dapat berkomunikasi secara wajar (secara oral/lisan). Menurut kenyataan, tidak semua anak tunarungu berhasil dididik untuk menungkapkan bahasanya dengan cara yang lazim dipakai orang dengar, yaitu secara oral. Dari sinilah muncul pemikiran untuk mencarikan berbagai cara berkomunikasi, di samping mencarikan metode untuk pengajaran bahasanya. Kebanyakan guru SLB-B tidak menyadari perbedaan antara kedua hal tersebut. Ada empat Aliran dalam Media Komunikasi dalam pembelajaran yakni (1) Aliran Oral : ada yang secara murni + membaca ujaran, ada juga secara oral + aural (memanfaatkan sisa pendengarannya). (2) Aliran Manual : Ada juga dengan isyarat/gesti saja. Ada pula yang dengan isyarat baku + abjad jari/SIBI (3) Aliran Campuran : secara oral + salah satu media lain atau semua media lain dalam Komunikasi Total, (4) Aliran Auditory Verbal/AVT : mengandalkan kemampuan dengar saja tanpa membaca ujaran. Sedangkan pendekatan pemerolehan / pengajaran bahasa bagi siswa tunarungu meliputi , pertama aliran Konstruktif/Struktural/gramatikal : yaitu pengajaran bahasa secara Formal, kedua aliran Natural yaitu pengajaran bahasa secara informal dengan pendekatan percakapan atau menggunakan bahasa ibu. Pada pertengahan abad 20 ini muncul sebuah metode pengajaran bahasa yang menggabungkan antara pendekatan Informal dengan Formal menjadi Semi Formal, yang terkenal dengan Metode Maternal Reflektif atau Metode Pengajaran Bahasa Ibu yang Reflektif. Dengan Metode Maternal Reflektif kita akan membawa anak tunarungu dari keadaan tak berbahasa hingga menguasai bahasa seperti yang dipakai oleh lingkungannya. 30

d. Metode Maternal Reflektif tersebut dalam pelaksanaannya ditunjang dengan pelaksanaan Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama, yang terdiri dari : Bina Wicara, Bina Persepsi Bunyi dan Irama Musik maupun Bahasa serta Bina Isyarat, secara terprogram , kontinyu dan berkesinambungan. Bagaimana Bina Wicara, BPBI, Bina Isayarat tersebut dilaksanakan di SLB B ?e. Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa Tunarungu yang Idealf. Mengubah peran guru dari pendidik yang spesialis ke generalis, pendekatan interdisipliner dengan meningkatkan kelenturan dalam menggunakan pendekatan/metode pembelajaran bagi tunarungu.g. Perlunya pengkaderan pengurus yayasan, kepala sekolah, baik sebagai manager maupun leader yang memahami atau menguasai bidang keahliannya dalam pendidikan tunarungu, sehingga terampil mengelola sistem pendidikan tunarungu.h. Dalam kegiatan belajar mengajar, menggunakan Kurikulum Lintas Bahasa, dengan pendekatan metode pemerolehan bahasa dan sistem komunikasi tunarungu yang tepat (metode pemerolehan bahasa yang ditawarkan Metode Maternal Reflektif).i. Terlaksananya layanan deteksi dan intervensi dini, dengan memberikan layanan Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama secara terprogram, terarah, kontinyu dan berkesinambungan.j. Pemanfaatan sisa pendengaran dengan mengoptimalkan alat bantu dengar secara benar, meliputi : pemilihan, pemanfaatan dalam rehabilitasi dan habilitasinya, serta sistem perawatanya.

31

k. Strategi optimalisasi semua komponen sekolah ; guru, orangtua/masyarakat, lingkungan dan sarana prasarana dalam pelayanan pendidikan siswa tunarungu secara berkualitas.

K. Implementasi Model Pembelajaran Anak Tunarungu di Kelas InklusiPembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu:1. Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu mampu mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu hanya sebagai hiasan di kelas inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru.2. Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi.3. Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang diberikan dapat dipahami dengan mudah.

32

4. Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu seperti prinsip keterarah wajahan, keterarah suaraan, prinsip intersubyektivitas dan prinsip kekonkritan.5. Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus.6. Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi bagi anak tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling utama dan terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan. Untuk mencapai kepada pembelajaran yang bermakna bagi tunarungu dibutuhkan pendekatan khusus yaitu metode maternal reflektif (MMR).Pembelajaran bagi tunarungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada umumnya. Hal ini dikarenakan tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tunarungu menyerap informasi. Melalui metode maternal reflektif ini tunarungu diolah bahasanya. Mulai dari mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga tunarungu mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan benar.Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan.

331. Kegiatan PercakapanKegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal reflektif, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Dalam metode ini dikenal dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation form heart to heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation (Uden, 1977).Percakapan dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk mengembangkan empati anak. Ungkapan yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara yang kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru (seizing method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru tetap menjaga lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap (anak dengan anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan, imbauan, atau komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi.

34

Membaca dan menulis penyandang tunarungu dikembangkan melalui percakapan. Pada awalnya perilaku berbahasa mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau gerakan-gerakan lainnya, isyarat, dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang kemudian dibahasakan oleh guru melalui seizing method dan play a double part. Anak menerima masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui pemanfaatan sisa pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap secara sempurna dari diucapkannya dalam kegiatan percakapan itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk tulisan yang kemudian dibacanya.Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami anak secara global intutif karena apa yang ditulisi dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca permulaan pada anak tunarungu menurut MMR merupakan membaca ideo visual. Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan konsonan) diberikan menyatu dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang pada akhirnya anak mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa anak berlangsung secara serempak.

35

Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi bagi guru reguler hendaknya mengikuti teknik atau kaidah-kaidah guru sekolah luar biasa dalam membelajarkan anak tunarungu, prinsip-prinsip MMR harus dipahami oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas regular anak tunarungu tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Kemampuan guru dalam melibatkan anak tunarungu dalam proses pembelajaran memang tidak semudah membelajarkan anak-anak yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam substansi materi yang akan diberikan.Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi haruslah benar-benar terprogram dan selalu berbasis pada pengembangan bahasa anak yang dilakukan secara berkesinambungan, karena tanpa bahasa yang dikuasai anak tunarungu, maka pembelajaran di kelas inklusi tidak akan bermanfaat.L. Kurikulum Pendidikan Khusus Anak TunarunguKetunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi, dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya. Hal ini dapat dibuktikan terutama di Indonesia, hingga kini layanan pendidikan bagi anak tunarungu sebagian besar bersifat segregatif, yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus yang terpisah dari satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari pendidikan segregatif ini adalah yang lazim dikenal Sekolah Khusus (SKh).

36Sistem segregatif ini baik, jika hanya untuk kepentingan pembelajaran, namun jika sampai kepada layanan pendidikan, segregatif tentu saja akan merugikan anak. Mereka akan kehilangan haknya untuk belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya yang mendengar. Sistem pendidikan segregatif (SKh) sangat tidak membantu perkembangan sosialitas peserta didik. Sehingga tetap sulit bagi anak khusus, khususnya anak tunarungu yang sudah tamat dari SKh untuk dapat diterima sebagai anggota masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari adanya penyederhanaan strategi pembelajaran yang tidak memperhitungkan bahwa pergaulan antar peserta didik dalam komunitasnya merupakan bentuk proses pembelajaran natural yang seharusnya tidak boleh diabaikan.Berdasarkan karakteristik anak tunarungu, khususnya miskinnya bahasa yang disebabkan karena ketunarunguannya yang berakibat ia tidak mengalami masa pemerolehan bahasa seperti halnya anak dengar lainnya, maka dalam pengembangan kurikulum untuk anak tunarungu harus dilandasi pada kompetensi berbahasa dan komunikasi yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam pengajaran bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan. Disinilah nampak metode ini sejalan dengan konsep Language Across the Curricullum atau kurikulum lintas bahasa, yang memiliki filosofi bahwa tujuan kurikulum akan dapat dicapai dahulu jika didahului dengan keterampilan dan penguasaan bahasa yang tinggi.

37

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari Language Across the Curricullum itu adalah sebuah metode pembelajaran yang senantiasa disajikan melalui konteks kebahasaan melalui percakapan, yang tahapannya dari mulai penguasaan bahasa, aturan bahasa, hingga ke pengetahuan umum.Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak dengan gangguan pendengaran yang berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi untuk menuju kecakapan hidup.Kurikulum yang berlaku di pendidikan khusus untuk anak tunarungu masih menggunakan Kurikulum 1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini kurikulum yang berbasis kompetensi sehingga mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing peserta didik sesuai dengan kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SMPKh menitikberatkan pada program keterampilan 42% dan SMAKh menitikberatkan pada program keterampilan 62%. Pelaksanaannya di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana sekolah tersebut berada dan hal ini pun masih harus disesuaikan dengan keberadaan situasi dan kondisi lingkungan daerah masing-masing. Sebagai contoh:1. Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya antara lain pengolahan hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat nelayan, misalnya merajut jaring, jala dan sebagainya;2. Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan sebagainya.

383. Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif, percetakan, sablon, mengukir atau membatik.

M. Alat Pendidikan KhususBerhubung dengan ketulian yang dideritanya, maka sangat diperlukan alat-alat bantu khusus meningkatkan potensinya, yang masih dapat diperbaiki dan dikembangkan terutama masalah komunikasi baik dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan.Kebutuhan minimal alat kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak tunarungu antara lain:1) AudiometerYaitu alat penelitian yang dapat mengukur segala aspek dari pendengaran seseorang. Dengan audiometer dapat dibuat sebuah audigram yang dapat memberitahukan angka dari sisa pendengaran anak.2) Alat bantu mendengar (hearing aid)Dengan mempergunakan alat bantu dengar (hearing aid) perorangan dan alat bantu dengan (group hearing aid) kelompok, anak-anak tunarungu diberikan latihan mendengar. Latihan-latihan tersebut dapat diberikan secara individual atau secara kelompok.

39

3) CerminUntuk memberikan cantoh-contoh ucapan dengan artikulasi yang baik diperlukan sebuah cermin. Dengan bantuan cermin kita dapat menyadarkan anak terhadap posisi bicara yang kurang tepat. Dengan bantuan cermin kita dapat mengucapkan beberapa contoh konsonan, vokal dan kata-kata atau kalimat dengan baik.4) Alat bantu wicara (speech trainer)Speech trainer ialah sebuah alat elektronik terdiri dari amplifaer, head phone dan mickrophone. Gunanya untuk memberikan latihan bicara individual. Bagi yang masih mempunyai sisa pendengaran cukup banyak akan sangat membantu pembentukan ucapannya. Bagi yang sisa pendengarannya sedikit akan membantu dalam pembentukan suara dan irama.Alat PeragaUntuk memperkaya perbendaharaan bahasa anak hendaknya jangan dilupakan alat-alat peraga tradisional seperti:1) Miniatur binatang-binatang2) Miniatur manusia3) Gambar-gambar yang relevan4) Buku perpustakaan yang bergambar5) Alat-alat permainan anak.

40

Sesuai dengan kemampuan anak tunarungu dalam kurikulum lebih diutamakan mata pelajaran keterampilan yang menuju kearah irama. Untuk itu diperlukan alat-alat keterampilan untuk pria dan atau wanita antara lain sebagai berikut :1) Alat pertukangan2) Alat pertanian3) Alat perbengkelan4) Alat tenun5) Alat masak memasak6) Alat jahit menjahit7) Alat salon kecantikan 8) Alat potong rambut (barber shop)9) KomputerN. Bimbingan dan Konseling bagi Anak TunarunguMasalah-masalah bimbingan anak tunarungu bukan karena anak memiliki kelainan ( tunarungu ) tetapi karena ia seorang anak yang sedang berkembang. Agar dapat memberikan layanan kepada anak tunarungu secara tepat dalam merencanakan dan menentukan masa depannya, dan agar mereka dapat memiliki kehidupan yang layak sehingga dapat mensupport diri sendiri maupun keluarganya, maka pendidikan bagi anak tunarungu perlu dilengkapi dengan program bimbingan yang jelas dan terarah sesuai dengan kebutuhan anak.

41Untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud dengan bimbingan anak tunarungu dan jenis bimbingan apa yang diperlukannya, perhatikan baik-baik uraian berikut ini :1. Pengertian Bimbingan Anak TunarunguBimbingan terhadap anak tunarungu merupakan suatu usaha mempersiapkan anak tunarungu agar dapat mencapai kondisi yang optimal dalam proses pendidikan serta mampu menghadapi tuntutan yang datang dari masyarakat. Tujuan utam bimbingan adalah untuk mengembangkan potensi setiap anak tunarungu sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Usaha ini berkaitan erat dengan pengembangan kemampuan fisik, psikologis, kestabilan emosi serta kemampuan pribadi.2. Bimbingan Komunikasi kepada Anak TunarunguBimbingan komunikasi kepada anak tunarungu bertujuan membuka dan memperlancar komunikasi mereka, hal ini merupakan langkah utama dalam melaksanakan pendidikan mereka, sehingga akan memperlancar pencapaian tujuan bimbingan yang akan dilakukan secara serempak dilingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Bimbingan yang perlu diberikan ialah :- Bimbingan dilingkungan keluarga- Bimbingan dilingkungan sekolah- Bimbingan dilingkungan masyarakat.

42

3. Bimbingan Pribadi kepada Anak TunarunguBimbingan pribadi kepada anak tunarungu bertujuan agar mereka dapat mengenal dirinya, menyadari kemampuan serta kekurangannya, dan akhirnya mereka diharapkan mempunyai sikap positif terhadap keadaan dirinya, mempunyai kemauan untuk belajar dan bekerja, tidak merasa rendah diri, serta memiliki kestabilan emosi.Bimbingan pribadi diberikan kepada seseorang yang mempunyai masalah pribadi dengan harapan agar ia mampu mengatasi masalahnya. Masalah pribadi dapat bersumber dari dirinya sendiri, lingkungan, keluarganya, dan juga dapat bersumber dari masyarakat sekitarnya.4. Bimbingan Pekerjaan kepada Anak TunarunguBimbingan pekerjaan kepada anak tunarungu bertujuan agar anak tunarungu pada akhirnya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan yang cocok dengan kepribadiannya, agar mereka merasa mantap dalam pekerjaan dan menikmati kebahagiaan dalam hidupnya.Langkah pertama dalam bimbingan pekerjaan kepada anak tunarungu adalah menganalisis kepribadian, bakat dan minat mereka. Kegiatan itu perlu untuk mengarahkan dan menentukan langkah selanjutnya, sehingga dapat memberikan masukan berharga kepada pembimbing dalam memilih dan melatih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan anak. Pemilihan pekerjaan bagi anak yang tidak sesuai akan merusak perkembangan jiwa anak.

43

BAB IIIPENUTUP

A. Simpulan 1. anak penyandang tunarungu dan tunawicara adalah anak yang kehilangan kemampuan untuk mendengar baik sebagaian maupun seluruhnya yang mengakibatkan tidak mampu untuk menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupannya sehari-hari dan juga tidak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya.2. Masalah yang utama pada diri seorang tunawicara adalah mengalami kehilangan/terganggunya fungsi pendengaran (tunarungu) dan atau fungsi bicara (tunawicara), yang disebabkan karena bawaan lahir, kecelakaan maupun penyakit.3. Masa-masa yang paling kritis dalam kehidupan orang tua adalah ketika mereka harus mengakui bahwa anaknya berkelainan.4. Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi, dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya.5. Masalah-masalah bimbingan anak tunarungu bukan karena anak memiliki kelainan ( tunarungu ) tetapi karena ia seorang anak yang sedang berkembang.

44

DAFTAR PUSTAKA

http : www. //Terapi Terpadu untuk Anak TunaRungu. Comhttp: www.// Ortopedagogik anak tuna rungu. com http://www. sejarah-berkembangnya-kependidikan.htmlhttp: //www. Pendidikan anak tuna rungu.comwww.google.comBunawan, Lani dan C. Susila Yuwati (2000), Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu, Yayasan Santi Rama, JakartaDepartemen Pendidikan Nasional (2000), Pengajaran Bina Persepsi Bunyi dan Irama untuk Anak Tunarungu, JakartaDirektorat Pendidikan Luar Biasa (2004), Pedoman Pendidikan Terpadu/Inklusi Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Jakarta Gatty (1994), Mengajarkan Wicara kepad anak-anak Tunarungu, Alih bahasa Hartotanojo, Yayasan Karya Bakti, WonosoboNugroho Bambang (2004), Pentingnya Intervensi Dini Secara Edukatif Bagi Anak Tunarungu, Makalah Pelatihan Teknis Tunarungu, Jakarta Satmoko Budi Santoso (2010), Sekolah Alternatif, Diva press, JogjakartaObservasi pada Anak Tuna Rungu dan Tuna Wicara Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah OrthopedagogikDosen Pengampu oleh Ninik Nurhidayah, A.md,OT.,S.pd

Disusun Oleh :

Ridwan Sanjaya P 27229011074Magdalena Yuniati P 27229011051

POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTAJURUSAN TERAPI WICARA TA 2011/2012

Kata Pengantar

Puji syukur atas segala berkat serta karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dilimpahkan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini. Tugas ini mengulas tentang mata kuliah Orthopedagogik yang di dalamnya terdapat hasil observasi dan pembahasan.

Tugas ini disusun untuk tugas dari mata kuliah Orthopedagogik. Kami menyadari tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, tugas ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Ibu Ninik Nurhidayah, A.Md, OT.,S.pd selaku dosen mata kuliah Orthopedagogik.2. Teman-teman satu jurusan khususnya tingkat satu dalam membantu pengumpulan bahan tugas.3. Kedua orangtua kami atas dukungan yang telah diberikan dan semangat dan motivasi dari mereka sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.4. Kepada semua pihak yang telah membantu kami yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.

Dalam penyusunan tugas ini terdapat banyak kekurangan. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak yang berhubungan dengan penulisan tugas ini. Sehingga dengan adanya saran dan kritik tersebut dapat dijadikan bahan perbaikan lebih lanjut.

Akhir kata, kami berharap semoga tugas ini dapat berguna bagi para pembaca, khususnya kami dan Politeknik Kesehatan Surakarta.

Surakarta, 02 November 2010

Penulis

Daftar Isi

Kata Pengantar...iiDaftar Isi........ivBab I Pendahuluan 1Latar Belakang ..............................................................................................1Pembatasan Masalah .2Bab II Laporan Klien.5Identitas Umum Klien ...5Riwayat Sebelum Kelahiran..6Riwayat Kelahiran 6Riwayat Setelah Kelahiran 7Tanda-tanda dan Gejala.7Riwayat Terapi atau Pendidikan ...8Bab III Kajian Teori .9Faktor-faktor Penyebab Tuna Rungu 9Klasifikasi Penyandang Tuna Rungu 10Mendeteksi Ketunarunguan ..12Faktor-faktor Penyebab Tuna Wicara ...13Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi Pada Penyandang Tuna Wicara Dan Tuna Rungu ...13Pendekatan Pengajaran Alternatif Bagi Penyandang Tuna Rungu Dan Tuna Wicara ...15

Bab III Penutup .20Kesimpulan ...20Daftar Pustaka ...22

Bab I Pendahuluan

Latar BelakangMasyarakat seakan acuh pada keadaan orang yang memiliki kekurangan didalam dirinya. Banyak orang yang merasa dikucilkan dan merasa dirinya tidak di anggap di dalam masyarakat. Masyarakat yang cenderung individualistis dan selalu mementingkan diri sendiri mengakibatkan terjadinya para penyandang catat mengalami perasaan yang di kucilkan.Menurut Departemen Sosial (Depsos) pada tahun 2002 . Anak yang mengalami cacat di Indonesia berjumlah 358.738 jiwa . yang didalamnya terdiri dari tuna daksa (35.8 %), tuna netra (17%), tuna rungu wicara (14.27%), tuna grahita (12.15%), dan sisanya kurang dari 7% adalah penyandang cacat lain.Sedangkan, Menurut data WHO , anak yang memiliki cacat atau kekurangan pada setiap Negara adalah sejumlah 10% dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat sesuai sensus tahun 1978 di Indonesia berjumlah 1.793.118 jiwa, atau mencapai (3.1%) dari jumlah penduduk. Lalu pada tahun 2004 dapat diketahui jumlah penyandang cacat sesuai hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Sosenas) di Indonesia adalah 6.047.008 jiwa, yang terdiri dari tuna netra 1.749.981 jiwa (29%), tuna daksa 1.652.741 jiwa (27%), eks penderita penyakit kronis 1.282.881 jiwa (21%), tuna grahita 777.761 jiwa (12.8%), dan tuna rungu wicara mencapai angka 602.784 (9.9%).Angka 602.784 jiwa tuna rungu wicara cukup mencengangkan bagi masyarakat awam apalagi kita yang berperan sebagai terapis wicara kelak. Perbandingan antara terapis wicara di Indonesia yang berjumlah kurang dari 600 orang pada tahun 2011 ini dan penyandang tuna rungu wicara yang mencapai 602.784 jiwa dan mungkin lebih. Kasus tuna rungu wicara merupakan masalah yang sering di jumpai di masyarakat. Mungkin warga yang mengalami tuna rungu dan tuna wicara ada di sekitar kita. Namun, kita sering tidak tanggap akan masyarakat yang mengalami kekurangan dalam segi pendengaran dan bicaranya sehingga kita tidak tahu akan keberadaan orang yang mengalami gangguan tersebut. Pengetahuan tentang gangguan pendengaran dan gangguan wicara perlu diperhatikan pada anak, karena itu semua saling berkaitan dalam proses berkomunikasi. Keadaan pada anak yang mengalami gangguan pada pendengarannya akan mempengaruhi pada proses bicara dimasa dewasa anak.

Pembatasan Masalah

Proses mendengar merupakan proses penerimaan impuls makna dari setiap kata-kata yang terdengar. Apabila anak mengalami gangguan pendengaran, maka kosa kata yang dimiliki sedikit dan anak tidak bisa berkomunikasi seperti anak-anak biasa seusianya. Karena sangat minim sekali impuls suara masuk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses mendengar mempengaruhi proses bahasa dan sangat berpengaruh pada komunikasi. Proses mendengar sangat mempengaruhi pembentukan bunyi bahasa, karena proses berbicara dimulai dari mendengarkan lalu dilanjutkan ke sistem pada otak sehingga kita dapat mengerti dan dapat menyampaikan makna yang diungkapkan. Proses berbicara melalui proses fonasi, respirasi, artikulasi, resonansi (Point Of Articulation, Manner Of Artikulation), dan pada keharmonisan motorik yaitu pada setiap kesiapan penggunaan bagian organis, motoris, fisiologis dalam persiapan produksi bunyi. Menurut Pernamari Somad dan Tati Herawati (1996, hal. 27) menyatakan bahwa Tuna rungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagaian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendegarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupan secara kompleks.Sedangkan menurut Sardjono (1997, hal. 7) mengatakan bahwa: Anak tuna rungu adalah anak yang kehilangan pendengaran sebelum belajar bicara atau kehilangan pendengaran demikian anak sudah mulai belajar bicara karena suatu gangguan pendengaran, suara dan bahasa seolah-olah hilang.Lebih lanjut, Moories (1991) menjabarkan bahwa, A deaf person is ones hearing disabled to an extend usually 70 dB ISO or greater that precludes the understanding of speech through the ear alone, with or without the use of hearing disabled to an extend (usually 35-69 dB ISO) that make difficult but he does the understanding a speech through the ear alone, without or with a hearing aid.Sedangkan sebagian tuna wicara adalah mereka yang menderita tuna rungu sejak bayi/lahir, yang karenanya tidak dapat menangkap pembicaraan orang lain, sehingga tak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya meskipun tak mengalami ganguan pada alat suaranya. Begitu juga seperti observasi yang telah kami lakukan pada klien kami yang mengalami gangguan pendengaran dan otomatis ia juga mengalami mengalami gangguan pada bicaranya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak penyandang tuna rungu dan tuna wicara adal