Upload
lm-arifin
View
151
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN TERDAHULU
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Persepsi
Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap
orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik melalui
penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk
memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu
merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu
pencatatan yang benar terhadap situasi. Seperti yang dikatakan oleh David Krech
(Thoha, 2011:142) bahwa:
“Peta kognitif individu itu bukanlah penyajian potografik dari suatu kenyataan fisik, melainkan agak bersifat konstruksi pribadi yang kurang sempurna mengenai objek tertentu, diseleksi sesuai dengan kepentingan utamanya dan dipahami menuntut kebiasaannya. Setiap pemahaman (perceiver) adalah pada tingkat tertentu bukanlah seniman yang representatif, karena lukisan gambar tentang kenyataan itu hanya menyatakan pandangan realitas individunya”.
Berdasarkan pendapat Krech tersebut dapat dikemukakan bahwa persepsi
adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan menghasilkan suatu gambar unik
tentang kenyataan yang barang kali sangat berbeda dari kenyataannya.
Menurut Rakhmat (2001:51), bahwa persepsi adalah pengalaman tentang
objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menimbulkan
informasi dan menafsirkan pesan. Sedangkan menurut Thoha (2002:123), bahwa
persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di
14
dalam memahami informasi tentang lingkungan, baik lewat penglihatan,
pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman.
Walgito (2003:46), mengemukakan bahwa:
“Persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterprestasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktifitas yang terintegrasi/integrated dalam individu”. Berdasarkan pendapat Walgito tersebut, dapat dijelaskan bahwa persepsi
merupakan tanggapan (penerimaan) individu yang terungkap dari dalam dirinya
sebagai suatu proses interprestasi dalam memahami informasi tentang suatu
objek. Rivai dan Mulyadi (2010:236), mengemukakan bahwa persepsi adalah
suatu proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan
kesan-kesan indera mereka agar memberikan makna bagi lingkungan mereka.
Menurut Hamme dan Organ (Indrawijaya, 2010:43), berpendapat bahwa:
“Manusia dalam mengorganisasikan, menafsirkan dan memberi arti kepada suatu rangsangan selalu menggunakan inderanya, yaitu melalui proses mendengar, melihat, merasa, meraba, dan mencium yang dapat terjadi terpisah-pisah atau serentak. Intensitas dan tingkat penggunaan indera akan mempengaruhi pula tingkat kepekaan seseorang dan ini kemudian turut mempengaruhi persepsi, proses persepsi dan pemecahan masalah dari seseorang, serta kepribadian dan aspirasi seseorang. Setiap kali seseorang dihadapkan pada suatu rangsangan yang sudah biasa ia hadapi, maka ia akan langsung mengumpulkan informasi (dari pengalamannya) dan membandingkannya dengan rangsangan yang ia hadapi sekarang. Bagaimana ia memberi arti terhadap rangsangan tersebut tergantung kepada kepribadian dan aspirasi yang bersangkutan”.
Berdasarkan pendapat Hammer-Organ tersebut, dapat digeneralisasi
bahwa persepsi sangat bersifat pribadi dan usaha sungguh-sungguh memahami
persepsi orang merupakan bagian penting dari perilaku organisasi.
15
Ratnaningsih (2008:54), mengutarakan ciri-ciri persepsi adalah sebagai
berikut:
a. Modalitas.b. Dimensi ruang.c. Dimensi waktu.d. Struktur konteks.e. Dunia penuh arti
Berdasarkan pendapat Ratnaningsih tersebut, dapat dijelaskan bahwa,
(1) Modalitas, dimana rangsangan yang diterima harus sesuai dengan modalitas
tiap-tiap indera, yaitu sifat sensorik dasar masing-masing, (2) Dimensi ruang,
dimana dunia persepsi mempunyai sifat ruang (dimensi ruang), (3) Dimensi
waktu, dimana dunia persepsi mempunyai dimensi waktu, seperti cepat lambat,
tua muda, dan lain-lain, (4) Struktur konteks, dimana keseluruhan yang menyatu
objek-objek atau gejala-gejala dalam dunia pengamatan mempunyai struktur yang
menyatu dengan konteksnya, dan (4) Dunia penuh arti, dimana dunia persepsi
adalah dunia penuh arti, dimana kita cenderung mengamati pada gejala-gejala
yang mempunyai makna bagi kita, yang ada hubungannya dengan tujuan yang
ada dalam diri kita.
Sebelum seseorang melakukan persepsi atau tanggapan terhadap suatu
permasalahan, maka harus mengetahui terlebih dahulu ciri-ciri apa saja yang
harus diperhatikan dalam melakukan persepsi sehingga tidak salah nantinya
dalam mempersepsikan sesuatu. Selanjutnya Dagun (1997:842), mengemukakan
bahwa:
“Fungsi persepsi adalah merefleksi hubungan-hubungan terpisah yang melekat pada objek–objek dan proses-proses dunia luar, bertindak sebagai basis untuk membangun konsep-konsep yang kompleks, berperan besar dalam menemukan sifat-sifat lain dari suatu objek yang tidak teramati
16
panca indera serta berguna untuk memperluas cakupan hasil pengamatan hingga ke objek-objek lain yang bersifat sementara”.
Berdasarkan pendapat Dagun tersebut, dapat dijelaskan bahwa fungsi
presepsi adalah sebagai bahan peninjauan kembali hubungan objek dan proses-
proses dunia luar sebagai dasar untuk membangun konsep yang bervariasi
terhadap sifat-sifat lain suatu objek serta untuk memperluas hasil pengamatan
terhadap objek-objek lain yang sifatnya sementara.
Slamet (2003:103), mengemukakan beberapa prinsip dasar persepsi terdiri
atas lima, yaitu:
a. Persepsi itu relatif bukan absolut.b. Persepsi itu selektif.c. Persepsi itu memiliki tatanan.d. Persepsi dipengaruhi oleh harapan dan kesiapan.e. Persepsi individu atau kelompok dapat jauh berbeda dengan persepsi
individu atau kelompok lain sekalipun situasinya sama.
Berdasarkan pendapat Slamet tersebut, dapat dijelaskan bahwa
(1) Persepsi itu relatif bukan absolut, yaitu bahwa individu bukanlah instrumen
ilmiah yang mampu menyerap segala sesuatu persis seperti keadaan sebenarnya,
(2) Persepsi itu selektif, yaitu bahwa individu hanya memperlihatkan beberapa
rangsangan dari banyak rangsangan yang ada di sekitarnya pada saat-saat
tertentu. Ini berarti bahwa rangsangan yang timbul berdasarkan dari pengalaman
atau sesuatu yang telah dipelajari, (3) Persepsi itu memiliki tatanan, yaitu bahwa
individu menerima rangsangan dari luar tidak sembarangan, karena akan selektif
menerimanya dalam bentuk hubungan-hubungan atau kelompok-kelompok. Jika
rangsangan yang datang tidak lengkap, akan melengkapi sendiri sehingga
hubungan itu menjadi jelas, (4) Persepsi dipengaruhi oleh harapan dan kesiapan,
17
yaitu bahwa harapan dan kesiapan menerima pesan akan menentukan pesan mana
yang akan dipilih untuk diterima, selanjutnya bagaimana pesan yang dipilih
tersebut akan ditata dan demikian pula bagaimana pesan tersebut akan
diinterprestasikan, dan (5) Persepsi individu atau kelompok dapat jauh berbeda
dengan persepsi individu atau kelompok lain sekalipun situasinya sama.
Perbedaan persepsi ini dapat ditelusuri pada adanya perbedaan-perbedaan
individual, kepribadian, sikap dan motivasi.
Umumnya semua kejadian di dunia saat ini penuh dengan rangsangan.
Suatu rangsangan (stimulus) adalah sebuah unit input yang merangsang satu atau
lebih dari (lima) panca indera yaitu penglihatan, penciuman, rasa, sentuhan, dan
pendengaran. Orang tidak dapat menerima seluruh rangsangan yang ada di
lingkungan mereka. Oleh karena itu, mereka menggunakan keterbukaan yang
selektif (selective exposure) untuk menentukan mana rangsangan yang harus
diperhatikan dan mana yang harus diabaikan.
Persepsi merupakan proses yang terdiri dari seleksi, organisasi dan
interpretasi terhadap stimulus. Proses persepsi terdiri dari:
a. Seleksi perseptual, terjadi ketika pelanggan menangkap dan memilih stimulus
berdasarkan pada psychological set yang dimiliki. Psychological set yaitu
berbagai informasi yang ada dalam memori pelanggan. Sebelum seleksi
persepsi terjadi, terlebih dahulu stimulus harus mendapat perhatian dari
pelanggan.
b. Organisasi persepsi (perceptual organization), berarti bahwa pelanggan
mengelompokkan informasi dari berbagai sumber ke dalam pengertian yang
18
menyeluruh untuk memahami lebih baik dan bertindak atas pemahaman itu.
Prinsip dasar dari organisasi persepsi adalah penyatuan yang berarti bahwa
berbagai stimulus akan dirasakan sebagai suatu yang dikelompokkan secara
menyeluruh. Pengorganisasian tersebut, memudahkan untuk memproses
informasi dan memberikan pengertian yang terintegrasi terhadap stimulus.
c. Interpretasi perseptual, yaitu proses terakhir pada persepsi yang memberikan
interpretasi atas stimulus yang diterima oleh pelanggan. Setiap stimulus yang
menarik perhatian pelanggan baik disadari atau tidak disadari, akan
diinterpretasikan oleh pelanggan. Dalam proses interpretasi pelanggan
membuka kembali berbagai informasi dalam memori yang telah tersimpan
dalam waktu yang lama (long term memory) yang berhubungan dengan
stimulus yang diterima. Informasi dalam long term memory akan membentuk
pelanggan untuk menginterpretasikan stimulus.
Menurut Mar’at (1991:22), bahwa:
“Proses persepsi merupakan suatu proses kognitif yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, dan pengetahuan individu. Pengalaman dan proses belajar akan memberikan bentuk dan struktur bagi objek yang ditangkap panca indera, sedangkan pengetahuan dan cakrawala akan memberikan arti terhadap objek yang ditangkap individu, dan akhirnya komponen individu akan berperan dalam menentukan tersedianya jawaban yang berupa sikap dan tingkah laku individu terhadap objek yang ada”.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa dalam proses
persepsi selalu dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala dan pengetahuan
individu yang akan berperan dalam menentukan tersedianya jawaban yang berupa
sikap dan tingkah laku individu terhadap objek yang ada.
19
2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Berdasarkan berbagai uraian tersebut mengenai konsep persepsi, diketahui
bahwa dalam menyusun berbagai hal di dalam pikiran kita menjadi suatu
gambaran yang membentuk keseluruhan yang berarti. Apapun persepsinya, hal itu
merupakan pengalaman yang utuh.
Menurut Setiadi (2005:160), faktor-faktor yang mempengaruhi atau yang
menentukan persepsi yaitu:
a. Karakteristik dari stimulus.
b. Hubungan stimulus dengan sekelilingnya.
c. Kondisi-kondisi di dalam diri kita sendiri.
Stimulus adalah setiap bentuk fisik, visual atau komunikasi verbal yang
dapat mempengaruhi tanggapan individu. Kita merasakan bentuk, warna, suara,
sentuhan, aroma, dan rasa dari stimulus. Perilaku kita kemudian dipengaruhi oleh
persepsi-persepsi fisik. Harus disadari bahwa umunya manusia terbuka terhadap
jumlah stimulus yang sangat banyak. Karena itu, seorang harus menyediakan
sesuatu yang khusus sebagai stimulus yang jika ia ingin menarik perhatian orang
lain. Persepsi setiap orang terhadap suatu obyek akan berbeda-beda. Oleh karena
itu persepsi memiliki sifat subjektif. Persepsi yang dibentuk oleh seseorang
dipengaruhi oleh pikiran dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, yang perlu
diperhatikan dari persepsi adalah bahwa persepsi secara subtansi bisa sangat
berbeda dengan realitas. Persepsi seorang pelanggan atas berbagai stimulus yang
diterimanya dipengaruhi oleh karakteristik yang dimilikinya.
20
Robbins (2010:54-55), mengemukakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi yaitu:
a. Pelaku persepsi, yaitu bila seorang individu memandang pada suatu objek dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dari perilaku persepsi itu. Di antara karakteristik pribadi yang lebih relevan mempengaruhi persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu, dan pengharapan (ekspektasi).
b. Target/obyek, yaitu karakteristik-karakteristik dari target yang akan diamati dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan, seperti orang yang keras suaranya akan lebih mungkin untuk lebih diperhatikan dari suatu kelompok mereka yang pendiam. Hubungan suatu target dengan latar belakangnya mempengaruhi persepsi, seperti kecenderungan kita untuk mengelompokan benda-benda yang mirip.
c. Situasi, yaitu unsur-unsur lingkungan sekitar kita yang mempengaruhi persepsi, seperti waktu, keadaan/tempat kerja, dan keadaan sosial.
Berdasarkan faktor-faktor persepsi yang dikemukakan Robbins tersebut,
dapat digeneralisasi bahwa persepsi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pelaku
persepsi, target/objek persepsi dan situasi dari lingkungan persepsi. Pelaku
persepsi/pelanggan dalam penelitian ini adalah guru yang mengurus sesuatu hal
pada Dinas Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten Wakatobi
sedangkan target/objeknya yaitu pegawai yang melakukan pelayanan pada Dinas
Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten Wakatobi, dan untuk
kondisi/situasi yang dimaksud adalah keadaan instansi tempat penelitian.
Menurut Rivai dan Mulyadi (2010:236), individu mempersepsikan suatu
benda yang sama secara berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu
a. Faktor yang ada pada pelaku persepsi (perceiver), meliputi sikap, keutuhan atau motif, kepentingan atau minat, pengalaman dan pengharapan individu.
b. Faktor yang ada pada objek atau target yang dipersepsikan, meliputi hal-hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang dan kedekatan.
21
c. Faktor konteks situasi dimana persepsi itu dilakukan, meliputi waktu, keadaan/tempat kerja dan keadaan sosial.
Berdasarkan pendapat Rivai dan Mulyadi tersebut, dapat dijelaskan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dalam penelitian ini yaitu (1) Faktor
yang ada pada pelaku persepsi, yaitu sikap, keutuhan atau motif, kepentingan atau
minat, pengalaman dan pengharapan guru sebagai pelanggan untuk mengurusi
sesuatu hal pada instansi objek penelitian, (2) Faktor yang ada pada objek atau
target yang dipersepsikan, yaitu hal-hal baru, gerakan, bunyi, ukuran dan
kedekatan pada pegawai yang melakukan pelayanan pada guru sebagai pengguna
layanan pada Dinas Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten
Wakatobi, dan (3) Faktor konteks situasi dimana persepsi itu dilakukan, meliputi
waktu dan keadaan pegawai yang melakukan pelayanan pada Dinas Pendidikan
Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten Wakatobi.
Selanjutnya Indrawijaya (2010:44), mengemukakan bahwa proses persepsi
perlu dibahas mulai dari tahap penerimaan rangsangan, yang ditentukan baik oleh
faktor luar maupun oleh faktor di dalam manusianya sendiri, yang dapat
dikategorikan atas lima hal, yaitu:
a. Faktor lingkungan, yang secara sempit hanya menyangkut, warna, bunyi, sinar, dan secara luas dapat menyangkut faktor ekonomi, sosial dan politik.
b. Faktor konsepsi, yaitu pendapat dan teori seseorang tentang manusia dengan segala tindakannya.
c. Faktor yang berkaitan dengan konsep seseorang tentang dirinya sendiri (the concept of self).
d. Faktor yang berhubungan dengan motif dan tujuan, yang pokoknya berkaitan dengan dorongan dan tujuan seseorang dan untuk menafsirkan suatu rangsangan.
e. Faktor pengalaman masa lampau.
22
Berdasarkan pendapat Indrawijaya tersebut, dapat dijelaskan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi persepsi, sebagai berikut (1) Faktor lingkungan, yaitu
menyangkut kondisi dari Dinas Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga
Kabupaten Wakatobi sebagai objek penelitian, meliputi warna, bunyi, sinar,
keadaan ekonomi, sosial dan politik, (2) Faktor konsepsi, yaitu pendapat dan teori
seseorang tentang manusia dengan segala tindakannya, meliputi konsepsi guru
sebagai pengguna layanan dalam mengurus sesuatu hal dan pegawai yang
melakukan pelayanan pada objek penelitian, (3) Faktor yang berkaitan dengan
konsep seseorang tentang dirinya sendiri (the concept of self), yaitu menyangkut
persepsi guru terhadap kualitas pelayanan yang dilakukan pegawai pada objek
penelitian, (4) Faktor yang berhubungan dengan motif dan tujuan, yaitu berkaitan
dengan dorongan dan tujuan guru sebagai pengguna layanan ataupun pegawai
yang melakukan pelayanan pada objek penelitian untuk menafsirkan suatu
rangsangan, dan (5) Faktor pengalaman masa lampau, yaitu menyangkut
pengalaman guru yang telah menerima layanan dari pegawai yang melakukan
pelayanan pada objek penelitian.
2.1.3 Teori Pelayanan Publik
Pelayanan pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai aktivitas seseorang,
sekelompok dan/atau organisasi baik langsung maupun tidak langsung untuk
memenuhi kebutuhan.
Moenir (Pasolong, 2007:128), mengatakan bahwa pelayanan adalah proses
pemenuhan kebutuhan melalui melalui aktivitas orang lain secara langsung.
Sedangkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Pasolong, 2007:128),
23
mengemukakan bahwa pelayanan adalah segala bentuk kegiatan pelayanan dalam
bentuk barang atau jasa dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut, dapat digeneralisasi bahwa pelayanan
adalah proses pemenuhan kebutuhan pelanggan baik berupa barang ataupun jasa.
Konsep pelayanan mengandung banyak arti, meliputi bermacam-macam
kegiatan dan digunakan untuk studi berbagai bidang. Menurut Ndraha
(1997:65-68), bahwa:
“Pelayanan pada dasarnya merupakan suatu proses pemenuhan kebutuhan melalui aktifitas orang lain secara langsung. Pelayanan juga diartikan sebagai proses produksi dan distribusi yang bersifat istimewa yang dibutuhkan oleh manusia dan diproses sesuai dengan aspirasinya. Adapun layanan adalah produk dan dapat juga diartikan sebagai cara atau alat yang digunakan oleh penyedia layanan/provider untuk memasarkan atau mendistribusikan produknya”.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa pelayanan adalah
suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dengan melakukan interaksi
langsung antara pelaku layanan dengan pelanggan dalam menyediakan jasa
dengan tujuan untuk memuaskan pelanggan. Sedangkan melayani adalah
membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan pelanggan.
Sedangkan pelayanan/service menurut Lovelock dan Christoper
(2002:134), bahwa:
“Service adalah produk yang tidak berwujud, berlangsung sebentar dan dirasakan atau dialami. Artinya service merupakan produk yang tidak ada wujud atau bentuknya sehingga tidak ada bentuk yang dapat dimiliki, dan berlangsung sesaat atau tidak tahan lama, tetapi dialami dan dapat dirasakan oleh penerima layanan”.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dijelaskan bahwa pelayanan/service
adalah suatu produk jasa yang diberikan (pemberi layanan) dan berlangsung
24
sesaat, dirasakan, dialami serta diterima oleh orang lain (penerima layanan). Hal
ini berarti bahwa service berasal dari orang-orang bukan dari organisasi, tanpa
memberi nilai pada diri sendiri, tidak akan mempunyai arti apa-apa. Demikian
halnya pada organisasi yang secara esensial merupakan kumpulan orang-orang.
Oleh karena itu, harga diri yang tinggi adalah unsur yang paling mendasar bagi
keberhasilan organisasi yang menyediakan jasa pelayanan yang berkualitas.
Pelayanan publik menurut Sinambela (2005:5) adalah:
“Sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik”.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa pelayanan publik
adalah pelayanan umum yang dilakukan pemerintah kepada sejumlah orang
(masyarakat) dengan harapan bahwa kegiatan tersebut dapat memberikan
kepuasan kepada masyarakat yang menerima pelayanan terhadap suatu produk
jasa.
Agung Kurniawan (Pasolong, 2007:128), mengatakan bahwa pelayanan
publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan
aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik bahwa
pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Berdasarkan
25
hal tersebut, dapat dijelaskan bahwa pelayanan publik adalah proses kegiatan
pelayanan barang dan jasa atau pelayanan administratif untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hal ini
menunjukkan bahwa, dalam pelayanan publik terjadi proses interaksi dalam
memenuhi kebutuhan pelayanan barang dan jasa kepada pelanggan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:
63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik bahwa, pengertian umum dari pelayanan publik dalam konteks pemerintah
daerah adalah sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau
masyarakat dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi
itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk
memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan.
Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 58
Tahun 2002 (Pasolong, 2007: 129), mengelompokkan tiga jenis pelayanan dari
instansi pemerintah serta Badan Usaha Milik Negara/Daerah dengan didasarkan
pada ciri-ciri dan sifat kegiatan serta produk pelayanan yang dihasilkan, yaitu:
a. Pelayanan administartif.
b. Pelayanan barang.
c. Pelayanan jasa.
Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa, jenis pelayanan
administratif adalah jenis pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa
pencatatan, penelitian, pengambilan keputusan, dokumentasi, dan kegiatan tata
usaha lainnya yang secara keseluruhan menghasilkan produk akhir berupa
26
dokumen, misalnya sertifikat, izin-izin, rekomendasi, keterangan dan lain-lain.
Misalnya jenis pelayanan sertifikat tanah, pelayanan izin membangun bangunan,
pelayanan administrasi kependudukan (kartu tanda penduduk, kartu keluarga, akta
kelahiran dan akta kematian).
Jenis pelayanan barang adalah pelayanan yang diberikan oleh unit
pelayanan berupa kegiatan penyediaan dan atau pengolahan bahan berwujud fisik
termasuk distribusi dan penyampaiannya kepada konsumen langsung (sebagai unit
atau individual) dalam suatu sistem. Secara keseluruhan kegiatan tersebut
menghasilkan produk akhir berwujud benda (berwujud fisik) atau yang dianggap
benda yang memberikan nilai tambah secara langsung bagi penggunanya.
Misalnya jenis pelayanan listrik, pelayanan air bersih, dan pelayanan telepon.
Jenis pelayanan jasa adalah jenis pelayanan yang diberikan oleh unit
pelayanan berupa sarana dan prasarana serta penunjangnya. Pengoperasiannya
berdasarkan suatu sistem pengoperasian tertentu dan pasti. Produk akhirnya
berupa jasa yang mendatangkan manfaat bagi penerimanya secara langsung dan
habis terpakai dalam jangka waktu tertentu. Misalnya pelayanan angkutan darat,
laut dan udara, pelayanan kesehatan, pelayanan perbankan, pelayanan pos dan
pelayanan pemadam kebakaran.
Ketiga jenis pelayanan publik tersebut, orientasinya adalah pelanggan atau
publik (masyarakat) yang dilayani, dalam artian bahwa kalau kinerja pelayanan
publik instansi pemerintah berdasarkan peraturan tersebut orientasinya juga
pelanggan, maka perhatian aparatur pelayanan publik harus berorientasi kepada
publik.
27
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara
Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik, bahwa asas-asas pelayanan publik sebagai berikut:
(1) Transparansi, yaitu bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua
pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah
dimengerti, (2) Akuntabilitas, yaitu dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, (3) Kondisional, yaitu sesuai dengan
kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang
pada prinsip efesiensi dan efektifitas, (4) Partisipatif, yaitu mendorong peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan
aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat, (5) Kesamaan hak, yaitu tidak
diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender,
dan status ekonomi, dan (6) Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pemberi dan
penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing
pihak.
Penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh penyelenggara
negara/pemerintah, penyelenggara perekonomian dan pembangunan, lembaga
independen yang dibentuk oleh pemerintah, badan usaha/badan hukum yang
diberi wewenang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik,
badan usaha/badan hukum yang bekerjasama dan/atau dikontrak untuk
melaksanakan sebagaian tugas dan fungsi pelayanan publik, serta masyarakat
umum atau swasta yang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan
publik yang tidak mampu ditangani/dikelola oleh pemerintah/pemerintah daerah.
28
Terdapat tiga unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu:
a. Organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan, yaitu pemerintah daerah yang
memiliki posisi kuat sebagai regulator dan sebagai pemegang monopoli
layanan, dan menjadikan pemerintah daerah bersikap statis dalam memberikan
layanan, karena layanannya memang dibutuhkan atau diperlukan oleh orang
atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan. Posisi ganda inilah yang
menjadi salah satu faktor penyebab buruknya pelayanan publik yang dilakukan
pemerintah daerah, karena akan sulit untuk memilah antara kepentingan
menjalankan fungsi regulator dan melaksanakan fungsi meningkatkan
pelayanan.
b. Penerima layanan (pelanggan), yaitu orang atau masyarakat atau organisasi
yang berkepentingan atau yang memerlukan layanan (penerima layanan), pada
dasarnya tidak memiliki daya tawar atau tidak dalam posisi yang setara untuk
menerima layanan, sehingga tidak memiliki akses untuk mendapatkan
pelayanan yang baik. Posisi inilah yang mendorong terjadinya komunikasi dua
arah untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme yang memperburuk citra
pelayanan dengan mewabahnya pungutan liar, dan ironisnya dianggap saling
menguntungkan.
c. Kepuasan yang diberikan dan/atau diterima oleh penerima layanan (pelanggan),
yaitu unsur kepuasan pelanggan menjadi perhatian penyelenggara pelayanan
(pemerintah), untuk menetapkan arah kebijakan pelayanan publik yang
berorientasi untuk memuaskan pelanggan, dan dilakukan melalui upaya
memperbaiki dan meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan daerah.
29
Paradigma kebijakan publik di era otonomi daerah yang berorientasi pada
kepuasan pelanggan, memberikan arah tejadinya perubahan atau pergeseran
paradigma penyelenggaraan pemerintahan, dari paradigma peraturan
pemerintah (rule government) bergeser menjadi paradigma pemerintahan yang
baik (good governance).
Berdasarkan unsur pelayanan publik tersebut, pemerintah daerah dalam
menjalankan monopoli pelayanan publik, sebagai pembuat peraturan (regulator),
harus mengubah pola pikir dan kerjanya dan disesuaikan dengan tujuan pemberian
otonomi daerah, yaitu memberikan dan meningkatkan pelayanan yang
memuaskan masyarakat. Untuk terwujudnya pemerintahan yang baik (good
governance) dalam menjalankan pelayanan publik, pemerintah daerah juga harus
memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk mendapatkan akses
pelayanan publik, berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, transparansi,
akuntabilitas dan keadilan.
Konsep pelayanan publik yang diperkenalkan oleh Dawid Osborne dan
Ted Gaebler (Pasolong, 2007:130), dalam pembaharuan pemerintah (reinventing
government) adalah pentingnya peningkatan pelayanan publik oleh birokrasi
pemerintahan dengan cara memberi wewenang kepada pihak swasta lebih banyak
berpartisipasi sebagai pengelola pelayanan publik. Peningkatan pelayanan kepada
masyarakat seperti yang terdapat pada agenda pembaharuan pemerintah adalah
pengembangan organisasi yang bermuara pada terwujudnya pemerintah yang
lebih kecil, lebih baik, lebih cepat, dan pemerintah yang lebih murah (a smaller,
better, faster, and cheaper government). Agenda pembaharuan pemerintahan
30
bertumpu pada prinsip pemerintah berorientasi pada pelanggan (costumer driven
government). Instrumen dari prinsip ini adalah pembalikan mental model pada
birokrat dari keadaan yang lebih suka dilayani menuju pada lebih suka melayani.
Paradigma lama menempatkan pemimpin birokrasi berada pada piramida tertinggi
dengan warga negara (costumer) berada pada posisi terbawah. Sebaliknya
paradigma baru menempatkan warga negara (costumer) berada pada posisi puncak
dengan pemimpin birokrasi berada pada posisi paling bawah.
Terdapat sepuluh prinsip pelayanan publik yang diatur dalam Keputusan
Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003
Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, sebagai berikut:
(1) Kesederhanaan, yaitu prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah
dipahami, dan mudah dilaksanakan, (2) Kejelasan, terdiri dari (a) Persyaratan
teknis dan administratif pelayanan publik, (b) Unit kerja/pejabat yang berwenang
dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian
keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik, (c) Rincian
biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran, (d) Kepastian waktu,
pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah
ditentukan, (3) Akurasi, yaitu produk pelayanan publik diterima dengan benar,
tepat dan sah, (4) Keamanan, yaitu proses dan produk pelayanan publik
memberikan rasa aman dan kepastian hukum, (5) Tanggung jawab, yaitu
pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggung
jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam
pelaksanaan pelayanan publik, (6) Kelengkapan sarana dan prasarana, yaitu
31
tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya
yang memadai, termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan
informatika (teletematika), (7) Kemudahan akses, yaitu tempat dan lokasi serta
sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat
memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika, (8) Kedisiplinan,
kesopanan dan keramahan, yaitu pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan
dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas, (9) Kenyamanan,
yaitu lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang
nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat, serta dilengkapi dengan
fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain.
Untuk merealisasikan kesepuluh prinsip pelayanan umum tersebut tidak
mudah, karena terkait dengan kompleksnya penyelenggaraan pelayanan publik,
banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja pelayanan yang optimal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pelayanan publik mencakup aparatur
pemerintah sebagai penyelenggara (kualitas sumber daya manusia), masyarakat
atau pelanggan sebagai pengguna atau penerima layanan publik, peraturan
perundang-undangan, mekanisme dan prosedur penyelenggaraan pelayanan
publik, sarana prasarana pendukung penyelenggaraan pelayanan publik,
kelembagaan dan sumber pendanaan untuk kegiatan operasioanl pelayanan publik,
dan yang paling menentukan adalah komitmen dari pimpinan daerah.
Upaya meningkatkan kinerja pelayanan publik akan mendapat hambatan,
apabila kita tidak memahami masalah-masalah yang ada pada masing-masing
32
faktor yang mempengaruhi tersebut, oleh karena itu diperlukan kemampuan untuk
memadukan dan mengintegrasikan masing-masing faktor tersebut.
Setiap Penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar
pelayanan, sebagai jaminan adanya kepastian bagi pemberi di dalam pelaksanaan
tugas dan fungsinya dan bagi penerima pelayanan dalam proses pengajuan
permohonannya. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik sebagai pedoman yang wajib ditaati dan
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan, dan menjadi pedoman bagi penerima
pelayanan dalam proses pengajuan permohonan, serta sebagai alat kontrol
masyarakat dan/atau penerima layanan atas kinerja penyelenggara pelayanan.
Oleh karena itu, perlu disusun dan ditetapkan standar pelayanan sesuai dengan
sifat, jenis dan karakteristik layanan yang diselenggarakan serta memperhatikan
lingkungan. Dalam proses perumusan dan penyusunannya melibatkan masyarakat
dan/atau pemangku kepentingan/stakeholder lainnya (termasuk aparat birokrasi)
untuk mendapatkan saran dan masukan dan membangun kepedulian dan
komitmen.
Standar Pelayanan Publik menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003, meliputi: (1) Prosedur
pelayanan, yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk
pengaduan, (2) Waktu penyelesaian, ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan
sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan, (3) Biaya pelayanan,
ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan, (4) Produk pelayanan, diterima
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, (5) Sarana dan prasarana, harus
33
memadai oleh penyelenggara pelayanan publik, dan (6) Kompetensi petugas
pemberi pelayanan, ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian,
keterampilan, sikap dan perilaku yang dibutuhkan.
Selanjutnya, untuk melengkapi standar pelayanan tersebut, ditambahkan
materi muatan yang dikutip dari rancangan perundang-undangan tentang
pelayanan publik yang cukup realistis untuk menjadi materi muatan Standar
Pelayanan Publik, sehingga susunannya menjadi sebagai berikut: (1) Dasar
hukum, (2) Persyaratan, (3) Prosedur pelayanan, (4) Waktu penyelesaian,
(5) Biaya pelayanan, (6) Produk pelayanan, (7) Sarana dan prasarana,
(8) Kompetensi petugas pelayanan, (9) Pengawasan intern, (10) Pengawasan
ekstern, (11) Penanganan pengaduan, saran dan masukan.
Tambahan materi muatan standar pelayanan publik tersebut, dimaksudkan
untuk melengkapi, dasar pertimbangannya cukup realiistis karena memasukan
materi muatan dasar hukum memberikan kepastian adanya jaminan
hukum/legalitas bagi standar pelayanan tersebut. Selain itu, persyaratan,
pengawasan, penanganan pengaduan dan jaminan pelayanan bagi pelanggan perlu
dijadikan materi muatan standar pelayanan publik. Penyusunan standar pelayanan
publik, harus mempertimbangkan aspek kemampuan, kelembagaan dan aparat
penyelenggara pelayanan, dan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat.
Dengan harapan, agar standar pelayanan publik yang ditetapkan dapat
dilaksanakan dengan baik, terutama oleh para pelaksana operasional pelayanan
yang berhadapan langsung dengan masyarakat, dimengerti dan diterima oleh
masyarakat sebagai pemangku kepentingan/stakeholder.
34
Menurut Gaspersz (2002:52), bahwa elemen paling penting bagi organisasi
adalah pelanggan, untuk itu identifikasi secara tepat apa yang menjadi kebutuhan
pelanggan. Hal ini sejalan dengan Tjosvold (Wasisistiono, 2003:42), mengatakan
bahwa bagi organisasi, melayani pelanggan merupakan saat yang menentukan
(moment of thuruts), peluang bagi organisasi menentukan kredibilitas dan
kapabilitasnya. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, dapat dikemukakan bahwa
pelanggan merupakan elemen utama dalam organisasi, oleh karena itu pelanggan
perlu dilayani dengan sebaik-baiknya agar dapat memberikan nama baik
organisasi pemberi layanan.
Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa harapan pelanggan dibentuk oleh
pengalaman masa lalunya, penyelenggara layanan yang dikelola dengan sangat
baik memiliki sejumlah persamaan, diantaranya (1) Konsep strategis, yaitu
perusahaan jasa ternama memiliki pengertian yang jelas mengenai pelanggan,
sasaran dan kebutuhan pelanggan yang akan mereka puaskan, oleh karena itu,
dikembangkan strategi khusus untuk memuaskan kebutuhan tersebut yang
menghasilkan kesetiaan pelanggan, (2) Sejarah komitmen kualitas manajemen
puncak, yaitu tidak hanya melihat pada prestasi keuangan bulanan, melainkan
juga pada kinerja jasa, (3) Penetapan standar tinggi, yaitu penyedia jasa terbaik
menetapkan standar kualitas jasa yang tinggi antara lain berupa kecepatan respon
terhadap keluhan pelanggan dan ketepatannya, (4) Sistem untuk memonitor
kinerja jasa, yaitu secara rutin memeriksa kinerja jasa perusahaan maupun
pesaingnya, (5) Sistem untuk memuaskan keluhan pelanggan, yaitu menanggapi
35
keluhan pelanggan dengan cepat dan ramah, dan (6) Memuaskan karyawan sama
seperti pelanggan (Kotler (1997:103)).
Selanjutnya Kotler (1997:36), mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai
perasaan senang atau kecewa yang berasal dari perbandingan antara kesannya
terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-harapannya. Definisi
tersebut mencerminkan bahwa kepuasan pelanggan merupakan fungsi dari kesan
kinerja (performance) dan harapan yang diinginkan pelanggan (important). Jika
kinerja memenuhi harapan, maka pelanggan akan puas. Jika kinerja melebihi
harapan, maka pelanggan akan sangat puas dan akan sangat senang.
Strategi mengutamakan pelanggan adalah prioritas utama yang harus
dilakukan. Bahkan Carizon (Wasisistiono, 2003:42), menamakan abad ini sebagai
abad pelanggan, abad dimana para pengguna jasa diposisikan pada tempat yang
paling terhormat (putting costumers first). Segala upaya peningkatan kualitas
pelayanan dilakukan dengan menggunakan pendekatan pelanggan.
Berdasarkan sudut pandang pelanggan, setiap dimensi tersebut penting
dalam penyampaian pelayanan berkualitas, untuk itu setiap instansi penyedia
pelayanan perlu menerapkan perspektif pelayanan pelanggan sebagaimana
dipaparkan oleh William (Pasolong, 2007:131), sebagai berikut:
a. Pelanggan adalah raja.b. Pelanggan adalah alasan keberadaan kita.c. Tanpa pelanggan, kita tak punya apa-apa.d. Pelanggan kitalah yang menentukan bisnis kita.e. Jika kita tidak memahami pelanggan, maka berarti kita tidak
memahami bisnis kita.
36
Berdasarkan peryataan tersebut, mencerminkan orientasi terhadap
pelanggan, sebuah pandangan bahwa pelanggan adalah penentu puncak sifat dan
keberhasilan organisasi seseorang, suatu pandangan yang memutar balikkan
pandangan tradisional tentang organisasi. Perspektif ini adalah perspektif
pelayanan pelanggan.
Identifikasi pelanggan menurut Gaspersz (2004:24), yaitu:
“Berkaitan dengan mereka yang secara langsung maupun tidak langsung menggunakan jenis-jenis pelayanan publik atau mereka yang secara langsung maupun tidak langsung terkena dampak dari kebijakan-kebijakan organisasi publik”.
Berdasarkan pendapat Vincent tersebut, dapat dikemukakan bahwa
pelanggan merupakan kelompok orang (masyarakat) baik secara langsung
maupun tidak langsung menerima pelayanan dalam mengurus sesuatu hal pada
suatu organisasi publik. Organisasi publik memiliki pelanggan yang dapat
dikategorikan sebagai pelanggan internal dan pelanggan eksternal. Pelanggan
internal (internal customer) mencakup unit-unit atau pegawai dalam suatu
organisasi publik yang bekerja tergantung pada unit atau pegawai yang lain dalam
organisasi yang sama. Sedangkan pelanggan eksternal (external customer)
mencakup pengguna produk (barang dan/atau jasa) dari organisasi publik.
2.1.4 Kualitas Pelayanan
Kualitas mengandung arti relatif karena bersifat abstrak, dan digunakan
untuk menilai atau menentukan tingkat penyesuaian suatu hal terhadap
persyaratan atau spesifikasinya. Bila persyaratan atau spesifikasi itu terpenuhi
berarti kualitas sesuatu hal yang dimaksud dapat dikatakan baik, sebaliknya jika
37
persyaratan tidak terpenuhi maka dapat dikatakan tidak baik. Dengan demikian,
untuk menentukan kualitas diperlukan indikator. Karena spesifikasi yang
merupakan indikator harus dirancang berarti kualitas secara tidak langsung
merupakan hasil rancangan yang tidak tertutup kemungkinan untuk diperbaiki
atau ditingkatkan.
Kualitas sebenarnya tidak dapat diukur karena merupakan hal yang maya
(imaginer), jadi bukan suatu besaran yang terukur. Oleh sebab itu, perlu dibuat
indikator yang merupakan besaran yang terukur demi untuk menentukan kualitas
baik produk maupun jasa. Berbagai upaya dilakukan untuk membuat indikator
yang terukur dan cocok bagi masalah penentuan kualitas sedemikian rupa
sehingga pembuatan produk atau pelayanan jasa dan pengontrolan kualitasnya
terjamin keterlaksanaannya.
Prawiramidjaya (2007:14), mengatakan bahwa kualitas dari suatu produk
atau jasa akan meliputi kumpulan dari sejumlah sifat-sifat yang saling
berhubungan dari produk atau jasa itu sendiri, seperti kekuatan, dimensi tata
warna, pengolahannya dan sebagainya. Sedangkan Atmojo (2007:4),
mengemukakan bahwa kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari
kekurangan atau kerusakan. Acuan dari kualitas seperti dijelaskan tersebut,
menunjukkan bahwa kualitas selalu berfokus pada kepentingan/kepuasan
pelanggan (customer focused quality).
Berdasarkan kedua pendapat tersebut, dapat dijelaskan bahwa kualitas dari
suatu produk dan jasa adalah adanya kekuatan, dimensi tata warna dan
pengolahannya yang berfokus pada kepentingan/kepuasan pelanggan. Kualitas
38
adalah jumlah dari atribut-atribut atau sifat-sifat sebagaimana didistribusikan
dalam produk atau jasa, sehingga dengan demikian termasuk dalam kualitas ini
adalah daya tahan, kenyamanan pemakaian, daya guna dan sebagainya. Hal ini
berarti bahwa, produk atau jasa memiliki kualitas jika mempunyai daya tahan
tinggi, kenyamanan dalam menggunakannya, serta bermanfaat bagi penggunanya.
Tjiptono (2007:2), mengemukakan bahwa:
“Kualitas mengandung banyak definisi dan makna, sehingga orang yang berbeda akan mengartikannya secara berlainan. Hal ini antara lain: (1) Kesesuaian dengan persyaratan/tuntutan, (2) Kecocokan untuk pemakaian (3) Perbaikan/penyempurnaan berkelanjutan, (4) Bebas dari kerusakan/cacat, (5) Pemenuhan kebutuhan pelanggan semenjak awal dan setiap saat, (6) Melakukan segala sesuatu secara benar semenjak awal, dan (7) Sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan”.
Berdasarkan pendapat Tjiptono tersebut, dapat dijelaskan bahwa kualitas
mengandung definisi dan makna relatif pada setiap orang, dimana pada kualitas
bertujuan pada pemenuhan kebutuhan pelanggan sehingga dapat merasa puas.
Pada prinsipnya definisi dan makna tersebut bisa diterima. Akan tetapi yang
menjadi pertanyaan adalah unsur-unsur apa saja yang terdapat dalam sistem
kualitas yang bisa menentukan, merencanakan, mengembangkan dan
menyempurnakan kualitas dalam rangka memuaskan atau bahkan membahagiakan
pelanggan? Agar dapat menjawab pertanyaan ini, perlu memahami beberapa
strategi dasar yang berkaitan dengan unsur manusia dalam setiap organisasi. Ini
perlu dilakukan karena kualitas berawal dari setiap individu apapun posisinya dan
bukan dari instansi fungsional sebagaimana yang sering diduga orang.
39
Strategi-strategi dasar tersebut, sebagai berikut:
a. Menetapkan tujuan yang jelas, yaitu bahwa setiap organisasi harus mempunyai
tujuan yang spesifik dan jelas agar bisa berhasil dalam menetapkan kualitas.
Bila visi dan tujuan organisasi ditetapkan dengan cermat dan didasarkan pada
tuntutan pelanggan, maka organisasi yang bersangkutan dapat mencapai tujuan
yang diharapkan.
b. Memprakarsai atau menentukan kembali budaya organisasi, dimana strategi ini
tidak diarahkan pada pemecahan masalah, tetapi lebih pada upaya memperbaiki
kondisi dasar di dalam organisasi, agar semua pegawai bisa bekerja secara
lebih baik dan lebih sukses.
c. Mengembangkan komunikasi yang efektif dan konsisten, yaitu dengan
mendengarkan merupakan aspek yang sangat penting dalam setiap organisasi.
Sekitar 70 % jam sibuk dalam suatu organisasi diisi dengan aktivitas
komunikasi verbal. Dari bagian tersebut, sebagian besar merupakan aktivitas
mendengarkan. Mendengarkan pegawai dan pelanggan merupakan cara yang
efektif untuk mendapatkan pemahaman yang jelas dan akurat mengenai
sasaran, tujuan, prioritas dan kepuasan mereka.
d. Melembagakan pendidikan dan pelatihan, dimana hal ini sangat penting bagi
setiap orang. Semakin baik seseorang dilatih maka akan semakin baik pula
kinerjanya. Semakin terlatih baik seorang pelanggan, maka semakin andal jasa
yang disampaikan. Dalam bidang jasa, sudah merupakan keharusan bahwa
keterampilan dan pendidikan berjalan seiring. Bila itu terjadi, maka organisasi
40
akan bisa mencapai keunggulan kualitas dan mempertahankan kesesuaian
kualitas tersebut di seluruh jajaran organisasi.
e. Mendorong perbaikan secara terus-menerus, yaitu dengan menempatkan
pelanggan sebagai pihak terpenting (customer based) dengan menekankan
aspek kesinambungan karena unsur-unsur yang terdapat dalam kualitas selalu
mengalami perubahan, apakah dipandang telah berkualitas, dalam waktu tidak
terlalu lama bisa saja tidak lagi memadai.
Pelayanan yang berkualitas menurut Osborne, Gebler dan Blom (Pasolong,
2007:133), antara lain memiliki ciri-ciri seperti tidak prosedural (birokratis),
terdistribusi dan terdesentralisasi, serta berorientasi kepada pelanggan.
Selanjutnya Sinambela (2006:6), mengatakan bahwa kualitas pelayanan prima
tercermin dari:
a. Transparansi, yaitu pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
b. Akuntabilitas, yaitu pelayanan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Kondisional, yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efesiensi dan efektivitas.
d. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
e. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial.
f. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dijelaskan bahwa kualitas pelayanan prima
tercermin dari enam aspek utama yaitu (1) Transparansi, yaitu pelayanan yang
41
diberikan harus transparan, memadai dan mudah dimengerti, (2) Akuntabilitas,
yaitu pelayanan yang diberikan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
aturan yang berlaku, (3) Kondisional, yaitu pelayanan yang diberikan sesuai
dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan efesien
dan efektif, (4) Partisipatif, yaitu pelayanan yang diberikan harus memperhatikan
aspirasi, kebutuhan dan harapan pelanggan, (5) Kesamaan hak, yaitu pelayanan
yang diberikan harus sama (tidak diskriminatif) kepada semua pelanggan, dan
(6) Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang diberikan harus
mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan
publik.
Kasmir (Pasolong, 2007:133), mengatakan bahwa pelayanan yang baik
adalah kemampuan seseorang dalam memberikan pelayanan yang dapat
memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan standar yang ditentukan.
Menurut Zethaml dan Haywood (Warella, 1997:17), mengatakan ada tiga
karakteristik utama tentang pelayanan, yaitu:
a. Intangibility, berarti bahwa pelayanan pada dasarnya bersifat kinerja/performance dan hasil pengalaman dan bukannya objek. Kebanyakan pelayanan tidak dapat dihitung, diukur, diraba atau dites sebelum disampaikan untuk menjamin kualitas. Berbeda dengan barang yang dihasilkan oleh suatu pabrik yang dapat dites kualitasnya sebelum disampaikan pada pelanggan.
b. Heterogeinity, berarti pemakai jasa/pelanggan memiliki kebutuhan yang sangat heterogen. Pelanggan dengan pelayanan yang sama mungkin mempunyai prioritas yang berbeda. Demikian pula kinerja/performance sering bervariasi dari suatu prosedur ke prosedur lainnya bahkan dari waktu ke waktu.
c. Inseparability, berarti bahwa produksi dan konsumsi suatu pelayanan tidak terpisahkan. Konsekuensinya di dalam industri pelayanan kualitas tidak direkayasa ke dalam produksi di sektor pabrik dan kemudian disampaikan kepada pelanggan. Kualitas terjadi selama interaksi antara klien dan penyedia jasa.
42
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa karakteristik/ciri-ciri
dari pelayanan terdiri dari tiga, yaitu (1) Intangibility, yaitu bahwa pelayanan
bersifat kinerja sebagai indikator penjamin kualitas, artinya semakin baik
pelayanan yang diberikan, maka akan memberikan kualitas pelayanan yang baik
pula sehingga memuaskan pelanggan, (2) Heterogeinity, berarti pelanggan
memiliki kebutuhan yang sangat beragam dalam melakukan pelayanan, yang
menagakibatkan kinerja/performance dari pemberi layanan sering bervariasi pula
dari suatu prosedur ke prosedur lainnya bahkan dari waktu ke waktu,
(3) Inseparability, berarti bahwa produksi dan konsumsi suatu pelayanan tidak
terpisahkan, artinya pelayanan yang dilakukan harus benar-benar menunjukkan
kualitas yang sebenarnya kepada pelanggan selama proses pelayanan berlangsung.
2.1.5 Pengukuran Kualitas Pelayanan
Mengetahui kualitas pelayanan yang diberikan oleh suatu organisasi
penting karena dapat memberikan manfaat bagi organisasi yang bersangkutan.
Kalau ini dilakukan, paling tidak organisasi atau instansi yang bersangkutan sudah
punya perhatian/concern pada pelanggannya. Pada akhirnya, bisa jadi berusaha
maksimal untuk memenuhi kepuasan pelanggan yang dilayani.
Pelayanan berkualitas atau pelayanan prima yang berorientasi pada
pelanggan sangat tergantung pada kepuasan pelanggan. Lukman (Pasolong,
2007:134), menyebut salah satu ukuran penyajian pelayanan yang berkualitas
(prima) sangat tergantung pada tingkat kepuasan pelanggan yang dilayani.
Pendapat tersebut artinya menuju kepada pelayanan eksternal, dari perspektif
43
pelanggan, lebih utama atau lebih didahulukan apabila ingin mencapai kinerja
pelayanan yang berkualitas.
Sementara itu Gerson (2002:55), menyatakan bahwa:
“Pengukuran kualitas internal memang penting, tetapi semua itu tidak ada artinya jika pelanggan tidak puas dengan yang diberikan. Untuk membuat pengukuran kualitas lebih berarti dan sesuai, tanyakan kepada pelanggan apa yang mereka inginkan, yang bias memuaskan mereka”.
Berdasarkan pendapat Gerson tersebut, dapat diartikan bahwa kedua sudut
pandang tentang pelayanan itu penting, karena bagaimanapun pelayanan internal
adalah langkah awal dilakukannya suatu pelayanan. Akan tetapi pelayanan
tersebut harus sesuai dengan keinginan pelanggan yang dilayani. Artinya
bagaimana upaya untuk memperbaiki kinerja internal harus mengarah/merujuk
pada apa yang diinginkan pelanggan (eksternal).
Menurut Zeithaml, Parasuraman dan Berry (Pasolong, 2007:135), untuk
mengetahui kualitas pelayanan yang dirasakan secara nyata oleh pelanggan, ada
indikator kepuasan pelanggan yang terletak pada lima dimensi kualitas pelayanan
menurut apa yang dikatakan pelanggan, yaitu:
a. Tangibles, yaitu kualitas pelayanan berupa sarana fisik perkantoran, komputerisasi administrasi, ruang tunggu, tempat informasi.
b. Reliability, yaitu kemampuan dan keandalan untuk menyediakan pelayanan yang terpercaya.
c. Responsiveness, yaitu kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan pelanggan.
d. Assurance, yaitu kemampuan dan keramahan serta sopan santum pegawai dalam meyakinkan kepercayaan pelanggan.
e. Empathy, yaitu sikap tegas tetapi penuh perhatian dari pegawai terhadap pelanggan
44
Berdasarkan pendapat Zeithaml, Parasuraman dan Berry tersebut, dapat
dijelaskan bahwa Tangibles (berwujud/tampilan fisik pemberian pelayanan), yaitu
penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel, dan media komunikasi. Faktor yang
mencakup antara lain fasilitas fisik, perlengkapan, penampilan pegawai dan sarana
komunikasi. Hal ini berarti bahwa, penampilan serta kemampuan sarana dan
prasarana fisik Dinas Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten
Wakatobi harus dapat diandalkan karena dianggap sebagai bukti nyata dari
pelayanan yang diberikan kepada para guru.
Reliability (keandalan dalam pemberian pelayanan), yaitu kemampuan
untuk melaksanakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya. Ini
berarti kinerja pegawai Dinas Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga
Kabupaten Wakatobi harus sesuai dengan harapan guru yang berkaitan dengan
ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua guru dan tanpa kesalahan.
Responsiveness (ketanggapan pemberian pelayanan), yaitu kemampuan
untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan dengan cepat, tepat dan
tanggap. Faktor ini terlihat dari kebijakan yang dimaksudkan untuk membantu
dan memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan tanggap kepada guru sebagai
pelanggan. Dimensi ini sangat berkaitan dengan kemampuan dan profesionalisme
pegawai Dinas Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten Wakatobi.
Assurance (jaminan atau kepastian), yaitu pengetahuan dan kesopanan
pegawai serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan
keyakinan. Pengetahuan dan keramahan pegawai dan kemampuan melaksanakan
tugas secara spontan yang dapat menjamin kinerja yang baik sehingga
45
menimbulkan kepercayaan dan keyakinan guru sebagai pelanggan. Pegawai Dinas
Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten Wakatobi harus mampu
memberikan jaminan atas pelayanan yang memuaskan, mencakup kemampuan,
kesopanan, dan sifat aparatur yang dapat dipercaya, bebas dari bahaya resiko atau
keragu-raguan.
Empathy (empati), yaitu syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi
bagi pelanggan. Dimensi ini menjelaskan bahwa, organisasi memberikan
perhatian yang bersifat individual atau pribadi kepada guru sebagai pelanggan dan
berupaya untuk memahami keinginan pelanggan. Ini berarti bahwa Dinas
Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten Wakatobi perlu
memberikan kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan
pemahaman atas kebutuhan guru.
Selanjutnya Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
58 Tahun 2002 memuat tujuh dimensi yang dapat dijadikan dasar untuk mengukur
kinerja pelayanan publik instansi pemerintahan serta Badan Usaha Milik
Negara/Daerah, yaitu:
a. Kesederhanaan prosedur pelayanan, yaitu mencakup apakah telah tersedia
prosedur tetap/Standar Operasional Pelayanan, apakah tersedia prosedur
pelayanan secara terbuka, bagaimana dalam pelaksanaanya, apakah telah
dilaksanakan secara konsisten dan bagaimana tingkat kemudahan dalam
mendukung kelancaran pelayanan.
b. Keterbukaan informasi pelayanan, yaitu mencakup apakah ada keterbukaan
informasi mengenai prosedur, persyaratan dan biaya pelayanan, apakah
46
dengan jelas dapat diketahui masyarakat, apakah terdapat media informasi
termasuk petugas yang menangani untuk menunjang kelancaran pelayanan.
c. Kepastian pelaksanaan pelayanan, yaitu mencakup apakah variabel waktu
pelaksanaan dan biayanya, apakah waktu yang digunakan dalam proses
pemberian pelayanan sesuai dengan jadwal yang ada, dan apakah biaya yang
dipungut atau dibayar oleh masyarakat sesuai dengan tarif/biaya yang
ditentukan.
d. Mutu produk pelayanan, yaitu kualitas pelayanan meliputi aspek cara kerja
pelayanan, apakah cepat/tepat, apakah hasil kerjanya baik/rapi/benar/layak.
e. Tingkat profesional petugas, yaitu mencakup bagaimana tingkat kemampuan
keterampilan kerja petugas mengenai sikap, perilaku dan kedisiplinan dalam
memberikan pelayanan, apakah ada kebijakan untuk memotivasi semangat
kerja para petugas.
f. Tertib pengelolaan administrasi dan manajemen, yaitu mencakup bagaimana
kegiatan pencatatan administrasi pelayanan, pengelolaan berkas, apakah
dilakukan dengan tertib, apakah terdapat motto kerja, dan apakah pembagian
tugas dilaksanakan dengan baik serta kebijakan setempat yang mendorong
motivasi dan semangat kerja para petugas.
g. Sarana dan prasarana pelayanan, yaitu mencakup keberadaan dan fungsinya,
bukan hanya penampilannya tetapi sejauhmana fungsi dan daya guna dari
sarana/fasilitas tersebut dalam menunjang kemudahan, kelancaran proses
pelayanan dan memberikan kenyamanan pada pengguna pelayanan.
47
Menurut Lembaga Administrasi Negara (2003), kriteria-kriteria pelayanan
sebagai berikut:
a. Kesederhanaan, yaitu bahwa tata cara pelayanan dapat diselenggarakan secara
mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan
oleh pelanggan.
b. Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja yang tetap dipertahankan dan
menjaga saling ketergantungan antara pelanggan dengan pihak penyedia
pelayanan, seperti menjaga keakuratan perhitungan keuangan, teliti dalam
pencatatan data dan tepat waktu.
c. Tanggung jawab dari para petugas pelayanan, meliputi pelayanan sesuai
dengan urutan waktunya, menghubungi pelanggan secepatnya apabila terjadi
sesuatu yang perlu segera diberitahukan.
d. Kecakapan para petugas pelayanan, yaitu bahwa para petugas pelayanan
menguasai keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan.
e. Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan
petugas, yaitu petugas pelayanan harus mudah dihubungi oleh pelanggan,
tidak hanya dengan pertemuan secara langsung, tetapi juga melalui telepon
atau internet. Oleh karena itu, lokasi dari fasilitas dan operasi pelayanan juga
harus diperhatikan.
f. Keramahan, meliputi kesabaran, perhatian dan persahabatan dalam kontak
antara petugas pelayanan dan pelanggan. Keramahan hanya diperlukan jika
pelanggan termasuk dalam konsumen konkrit. Sebaliknya, pihak penyedia
48
layanan tidak perlu menerapkan keramahan yang berlebihan jika layanan yang
diberikan tidak dikonsumsi para pelanggan melalui kontak langsung.
g. Keterbukaan, yaitu bahwa pelanggan bisa mengetahui seluruh informasi yang
mereka butuhkan secara mudah dan gamblang, meliputi informasi mengenai
tata cara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain.
h. Komunikasi antara petugas dan pelanggan, yaitu bahwa pelanggan tetap
memperoleh informasi yang berhak diperolehnya dari penyedia pelayanan
dalam bahasa yang mereka mengerti.
i. Kredibilitas, meliputi adanya saling percaya antara pelanggan dan penyedia
pelayanan, adanya usaha yang membuat penyedia pelayanan tetap layak
dipercayai, adanya kejujuran kepada pelanggan dan kemampuan penyedia
pelayanan untuk menjaga pelanggan tetap setia.
j. Kejelasan dan kepastian, yaitu mengenai tata cara, rincian biaya layanan dan
tata cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan tersebut. Hal ini
sangat penting, karena pelanggan tidak boleh ragu-ragu terhadap pelayanan
yang diberikan.
k. Keamanan, yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas pada
pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan. Jaminan keamanan
yang perlu kita berikan berupa keamanan fisik, finansial dan kepercayaan pada
diri sendiri.
l. Mengerti apa yang diharapkan pelanggan, yaitu dilakukan dengan berusaha
mengerti apa saja yang dibutuhkan pelanggan dengan mempelajari kebutuhan-
49
kebutuhan khusus yang diinginkannya dan memberikan perhatian secara
personal.
m. Kenyataan, meliputi bukti-bukti atau wujud nyata dari pelayanan, berupa
fasilitas fisik, adanya petugas yang melayani pelanggan, peralatan yang
digunakan dalam memberikan pelayanan, kartu pengenal dan fasilitas
penunjang lainnya.
n. Efisien, yaitu bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang
berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap
memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan.
o. Ekonomis, yaitu agar pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara
wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan
untuk membayar.
Tjiptono (2007:61), mengutarakan bahwa citra kualitas layanan yang baik
bukanlah berdasarkan sudut pandang/persepsi penyedia jasa, melainkan
berdasarkan sudut pandang/persepsi pelanggan. Hal ini disebabkan karena
pelangganlah yang mengkonsumsi serta menikmati jasa layanan, sehingga
merekalah yang seharusnya menentukan kualitas jasa. Persepsi pelanggan
terhadap kualitas jasa merupakan penilaian yang menyeluruh terhadap keunggulan
jasa layanan. Bagi pelanggan kualitas pelayanan adalah menyesuaikan diri dengan
spesifikasi yang dituntut pelanggan. Pelanggan memutuskan bagaimana kualitas
yang dimaksud dan apa yang dianggap penting. Pelanggan mempertimbangkan
suatu kualitas pelayanan. Untuk itu, kualitas dapat dideteksi pada persoalan
bentuk, sehingga dapat ditemukan: (1) Kualitas pelayan merupakan bentuk dari
50
sebuah janji, dan (2) Kualitas adalah tercapainya sebuah harapan dan kenyataan
sesuai dengan komitmen yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sistem pelayanan yang baik akan menghasilkan kualitas pelayanan yang
baik pula. Suatu sistem yang baik akan memberikan prosedur pelayanan yang
berstandar dan memberikan mekanisme kontrol di dalam dirinya (built in control).
Dengan demikian, segala bentuk penyimpangan yang terjadi akan mudah
diketahui. Sistem pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Ini berarti
organsiasi harus mampu merespon kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan
menyediakan sistem pelayanan dan strategi yang tepat.
Kualitas pelayanan yang diberikan oleh jajaran aparatur birokrasi
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tingkat kompetensi aparat, kualitas
peralatan yang digunakan untuk memproses jenis pelayanan, budaya birokrasi,
dan sebagainya. Kompetensi aparat birokrasi merupakan akumulasi dari sejumlah
sub variabel seperti tingkat pendidikan, jumlah tahun pengalaman kerja, variasi
pelatihan yang telah diterima. Sedangkan kualitas dan kuantitas peralatan yang
digunakan akan mempengaruhi prosedur dan kecepatan keluaran/output yang
akan dihasilkan. Apabila organisasi menggunakan teknologi modern, seperti
komputer, maka metode dan prosedur kerja akan berbeda dengan ketika organisasi
menggunakan cara kerja manual.
51
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang ada relevansinya dengan rancangan penelitian
ini adalah:
1. Tengku Mansur (2008), dengan judul: Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kualitas Pelayanan Publik pada Bagian Bina Sosial Setdako Lhokseumawe.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, diperoleh tingkat hubungan antara
faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan yaitu organisasi,
kemampuan dan keterampilan, penghargaan dan pengakuan, kepemimpinan
terhadap kualitas pelayanan. Dari semua faktor tersebut, faktor kemampuan
dan keterampilan memiliki tingkat signifikansi yang sangat nyata atau sangat
signifikan terhadap kualitas pelayanan masyarakat. Persamaan penelitian
tersebut dengan penelitian ini adalah bahwa keduanya meneliti tentang kualitas
pelayanan. Sedangkan perbedaannya, terletak pada indikator yang digunakan
dalam menganalisis kualitas pelayanan. Dimana penelitian Mansur,
menggunakan indikator organisasi, kemampuan dan keterampilan,
penghargaan dan pengakuan, kepemimpinan terhadap kualitas pelayanan,
sedangkan pada penelitian ini menggunakan indikator tangibles, reliability,
responsivess, assurance dan empathy.
2. Wa Ode Andriani (2010), dengan judul: Pengaruh Kualitas Pelayanan Publik
terhadap Tingkat Kepuasan Masyarakat di Kantor Badan Penyelenggara
Pelayanan Perizinan Kota Kendari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa,
kualitas pelayanan publik berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan
masyarakat yang mendapatkan pelayanan di Kantor Badan Penyelenggara
52
Pelayanan Perizinan Kota Kendari. Persamaan penelitian tersebut dengan
penelitian ini adalah bahwa, keduanya meneliti tentang kualitas pelayanan.
Sedangkan perbedaannya, terletak pada indikator yang digunakan dalam
menganalisis kualitas pelayanan publik. Dimana penelitian Andriani,
menggunakan indikator akuntabilitas, responsivitas, orientasi terhadap
pelayanan dan efisiensi, sedangkan pada penelitian ini menggunakan indikator
tangibles, reliability, responsivess, assurance dan empathy. Perbedaannya yang
lain adalah pada variabel lain yang diteliti dimana Andriani, meneliti kepuasan
masyarakat sedangkan penelitian ini meneliti persepsi guru.
3. Indriati Ningsih (2011), dengan judul: Pengaruh Kapasitas Pegawai terhadap
Kualitas Pelayanan Sertifikasi Tanah pada Kantor Pertanahan Kota Kendari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, ada pengaruh signifikan kapasitas
pegawai terhadap kualitas pelayanan sertifikasi tanah pada Kantor Pertanahan
Kota Kendari. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini, adalah
bahwa keduanya meneliti tentang kualitas pelayanan dengan indikator yaitu
tangibles, reliability, responsivess, assurance dan empathy. Sedangkan
perbedaannya, terletak pada variabel independen yang digunakan. Pada
Ningsih, menggunakan kapasitas pegawai sedangkan dalam penelitian ini,
menggunakan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi guru.
Berdasarkan ketiga penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam
penelitian ini, maka dapat dikemukakan persamaan dan perbedaannya. Persamaan
ketiga penelitian tersebut adalah bahwa ketiganya meneliti tentang kualitas
pelayanan sedangkan perbedaannya, pada penelitian yang dilakukan oleh Tengku
53
Mansur (2008) terletak pada indikator yang digunakan dalam menganalisis
kualitas pelayanan yang meliputi indikator organisasi, kemampuan dan
keterampilan, penghargaan dan pengakuan, serta kepemimpinan terhadap kualitas
pelayanan, pada penelitian yang dilakukan oleh Wa Ode Andriani (2010) terletak
pada indikator yang digunakan dalam menganalisis kualitas pelayanan publik
yang meliputi indikator akuntabilitas, responsivitas, orientasi terhadap pelayanan
dan efisiensi, serta pada penelitian yang dilakukan oleh Indriati Ningsih (2011)
juga terletak pada indikator yang digunakan dalam menganalisis kualitas
pelayanan yang meliputi tangibles, reliability, responsivess, assurance, dan
empathy.