Upload
phamdiep
View
292
Download
21
Embed Size (px)
Citation preview
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 1
EXECUTIVE SUMMARY
STUDI PENGEMBANGAN POLA PENYELENGGARAAN
KENAVIGASIAN DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kenavigasian adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan Sarana Bantu
Navigasi Pelayaran, hidrografi dan meteorologi, alur pelayaran dan perlintasan,
pengerukan dan reklamasi, pemanduan, penanganan kerangka kapal, salvage
dan pekerjaan bawah air untuk kepentingan keselamatan pelayaran kapal.
Pasal 172 UU Pelayaran Nomor 17/2008 menyatakan tanggung jawab
Pemerintah untuk menjaga keselamatan dan keamanan pelayaran dengan
menyelenggarakan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran (SBNP) sesuai dengan
perkembangan teknologi. Dan Pada keadaan tertentu, badan usaha dapat
melaksanakan pengadaan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran sebagai bagian dari
penyelenggaraan untuk kepentingan tertentu, tetapi tetap dalam pengawasan
Pemerintah.
Telekomunikasi pelayaran sebagai bagian dari sistem kenavigasian, juga
berlaku persyaratan yang sama dengan SBNP. Pasal 178 UU Pelayaran Nomor
17/2008 menyatakan tanggung jawab Pemerintah untuk menjaga keselamatan
dan keamanan pelayaran dengan menyelenggarakan Telekomunikasi-Pelayaran
sesuai dengan perkembangan teknologi. Dan Pada keadaan tertentu, badan
usaha dapat melaksanakan pengadaan Telekomunikasi-Pelayaran tetapi tetap
dalam pengawasan Pemerintah. Oleh karena itu, penyelenggaraan Sarana
Bantu Navigasi Pelayaran dan Telekomunikasi-Pelayaran wajib memenuhi
persyaratan dan standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
2 Ringkasan Studi (Executive Summary)
Beberapa permasalahan yang terkait dengan penyelenggaraan kenavigasian
diantaranya adalah Tingkat keandalan SBNP belum memenuhi rekomendasi
International Association of Lighthouse Authorities (IALA) dan tingkat
kecukupan SBNP (Sarana Bantu Navigasi Pelayaran) masih rendah, Beberapa
SBNP Non DJPL yang telah dibangun oleh Badan Hukum Indonesia (BHI)
kurang optimal melaksanakan pemeliharaan serta belum membuat laporan
kegiatan penyelenggaraan SBNP; termasuk diantaranya adalah permasalahan
dana pemerintah yang terbatas untuk penyelenggaraan kenavigasian.
2. Rumusan Permasalahan
Sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya
adalah Penyelenggaraan kenavigasian yang belum efektif dan efisien sehingga
perlu dianalisis pola penyelenggaraan kenavigasian agar lebih efektif dan
efisien pelaksanaannya oleh pemerintah dan badan usaha.
3. Maksud Dan Tujuan
Maksud studi adalah menganalisis pola penyelenggaraan berbagai
kenavigasian di Indonesia untuk masa yang akan datang.
Tujuan studi adalah tersusunnya konsep kebijakan dan strategi pola
penyelenggaraan dan pengusahaan kenavigasian di Indonesia.
4. Ruang Lingkup Studi
Ruang lingkup studi mencakup 10 (sepuluh) kriteria, yaitu:
a. Inventarisasi dan identifikasi peraturan-peraturan yang terkait dengan
kenavigasian;
b. Inventarisasi jenis navigasi pelayaran yang ada saat ini;
c. Inventarisasi kecukupan dan kehandalan sarana dan prasarana
kenavigasian di Indonesia;
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 3
d. Identifikasi pola penyelenggaraan kenavigasian di Indonesia;
e. Bench marking pola penyelenggaraan kenavigasian di Negara kepulauan;
f. Analisis jenis navigasi pelayaran yang wajib diselenggarakan Pemerintah
dan dapat diserahkan kepada pihak ketiga;
g. Analisis dan evaluasi pola pengembangan penyelenggaraan kenavigasian
di Indonesia;
h. Analisis strategi dan pola bentuk kerjasama penyelenggaraan kenavigasian
yang cocok di Indonesia;
i. Rekomendasi.
5. Hasil Yang Diharapkan
Studi ini diharapkan menghasilkan suatu rekomendasi terkait dengan kebijakan
dan strategi tentang pola penyelenggaraan dan pengusahaan kenavigasian di
Indonesia. Diharapkan dapat pula dimanfaatkan oleh Kementerian Perhubungan Cq
Direktorat Kenavigasian Ditjen Perhubungan Laut serta Badan Usaha, dalam
menyelenggarakan kenavigasian di Indonesia.
B. METODOLOGI
1. Pola Pikir Studi
Untuk menyelesaikan studi ini diperlukan suatu proses atau transformasi
berdasarkan permasalahan yang ada saat ini terkait dengan penyelenggaraan
kenavigasian untuk kepentingan keselamatan pelayaran kapal sehingga perlu
dianalisis pola penyelenggaraan kenavigasian di Indonesia.
Dalam penyelesaian suatu masalah tentunya diperlukan subyek, yakni siapa
yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, obyek
yakni berkaitan dengan apa yang diteliti dalam studi ini dan metoda sebagai alat
untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Permasalahan merupakan input
studi yang akan dilakukan dan setelah diproses tentunya akan menghasilkan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
4 Ringkasan Studi (Executive Summary)
output yang merupakan tujuan dari studi yang dilakukan. Gambaran alur pikir
selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Dalam penyelesaian permasalahan dibutuhkan instrumental input dan
environtmental input. Instrumental input dalam studi ini tentunya berupa produk
hukum atau peraturan di bidang transportasi laut yang berkaitan dengan ruang
lingkup studi. Subyek penelitian adalah instansi yang menangani tentang
kenavigasian yaitu Kementerian Perhubungan cq. Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
kenavigasian di Indonesia.
Dalam melakukan proses penyelesaian permasalahan tentunya dipengaruhi oleh
faktor eksternal, yakni faktor lingkungan, kondisi geografis dan perkembangan
teknologi sehingga faktor-faktor tersebut menjadi environtmental input dalam
studi ini.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
5 Ringkasan Studi (Executive Summary)
Gambar 1: Pola Pikir Studi
INSTRUMENTAL INPUT
OBYEK METODA
Kondisi Geografis,Perkembangan Teknologi Kenavigasian
INPUT
Pola Penyelenggaraan
kenavigasian yang belum
efektif dan efisien
� Kementerian Perhubungan
CQ Ditjen Perhubungan Laut
� penyelenggaraan kenavigasian di Indonesia.
� Metode deskriptif komparatif
� Analisis benchmarking
� Metode peramalan � Metode P enilaian
Investasi
UU no 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, PP no 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian, PM No 25 Tahun 2011 tentang Sarana Bantu Navigasi Pelayaran. PM No 26 Tahun 2011 tentang Telekomunikasi Pelayaran, Convention on the International Regulations for Preventing Collisions at Sea, 1972 (COLREGs), International Authority of Lighthouse Association (IALA)
OUTPUT
OUTCOME
konsep kebijakan dan strategi pola
penyelenggaraan dan pengusahaan kenavigasian
di Indonesia navigasi
Tersedianya rekomendasi terkait dengan kebijakan dan
strategi pola penyelenggaraan dan
pengusahaan kenavigasian di Indonesia navigasi
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
6 Ringkasan Studi (Executive Summary)
Alur pikir penyelesaian masalah digambarkan dalam diagram di bawah ini.
Gambar 2: Alur Pikir Studi
KENAVIGASIAN meliputi: SBNP,Telekomunikasi Pelayaran, Hidrografi dan Meteorologi, Alur dan
Perlintasan Pengerukan dan Reklamasi, Pemanduan, Penanganan Kerangka Kapal, Penanganan Kerangka Kapal, Salvage dan Pekerjaan Bawah Air
Benchmarking dengan negara
lain
Pola penyenggaraan kenavigasian saat ini(Metode Deskriptif)
analisis keuntungan dan kelemahan jika kegiatan kenavigasian dilakukan kerja sama dengan pihak
swasta ditinjau dari berbagai kriteria kelembagaan, ekonomi dan finansial, produk layanan, serta
prosedur dan mekanisme pelayanan
Kegiatan kenavigasian yang dapat dilakukan
kerja sama dengan pihak swasta
REKOMENDASI Pola penyelenggaran
Kenavigasian di Indonesia
Pengelolaan Penyelenggaraan
Pemerintah/Badan Usaha
Model-Model Kerja sama Pemerintah dan
Swasta
Proyeksi demand pengguna navigasi dengan menggunakan
analisis regresi
Data Kunjungan Kapal
Analisis Penilaian Investasi
Ya (Profitable)
Tidak (Non Profitable)
Dikelola Pemerintah/
Model Kerja sama Lain yang
Memungkinkan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 7
Alur pikir studi dimulai dengan mengidentifikasi kegiatan kenavigasian,
kemudian mnginventarisasi kondisi dan pola penyelenggaraan navigasi di
Indonesia saat ini. Setelah itu dihitung jumlah demand atas pengggunaan atau
pemanfaatan kegiatan kenavigasian serta melakukan proyeksi demand dengan
melihat data kunjungan kapal di pelabuhan. Jika demand sudah didapatkan
maka dapat dihitung kemungkinanan pendapatan dari jasa kenavigasian. Jika
memang dari hasil perhitungan diperkirakan kegiatan dari kenavigasian
menguntungkan dan dapat dikomersialkan maka kerja sama pemerintah dengan
swasta dapat dilaksanakan, kemudian dianalisis lebih lanjut model kerja sama
yang sesuai. Di analisis juga keuntungan dan kelemahan jika kegiatan
kenavigasian dilakukan kerja sama antar pemerintah dengan swasta dengan
melakukan juga benchmarking dan analisis deskriptif komparatif dengan
negara lain. Analisis keuntungan dan kelemahan ditinjau dari kriteria
kelembagaan, ekonomi dan finansial, produk layanan, serta prosedur dan
mekanisme pelayanan. Sehingga tersusunlah rekomendasi pola penyelenggaran
kenavigasian yang diharapkan dapat lebih efektif dan efsien.
2. Metoda Pendekatan
Dalam proses analisis dan pembahasan studi pengembangan pola penyelenggaraan
kenavigasian di Indonesia, agar lebih terarah pola pengembangan dan
penyelenggaraannya akan dilakukan dengan metode analisis data, yaitu :
a. Analisis Benchmarking
Definisi Patok Duga (Benchmarking) :
1) Gregory H. Watson ⇒ Bencmarking sebagai pencarian secara
berkesinambungan dan penerapan secara nyata praktik-praktik yang
lebih baik yang mengarah pada kinerja kompetitif unggul;
2) David Kearns (CEO dari Xerox) ⇒ Benchmarking adalah suatu
proses pengukuran terus-menerus atas produk, jasa dan tata cara kita
terhadap pesaing kita yang terkuat atau badan usaha lain yang dikenal
sebagai yang terbaik;
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
8 Ringkasan Studi (Executive Summary)
3) IBM ⇒ Benchmarking merupakan suatu proses terus-menerus
untuk menganalisis tata cara terbaik di dunia dengan maksud
menciptakan dan mencapai sasaran dan tujuan dengan prestasi dunia;
4) Teddy Pawitra ⇒ Bencmarking sebagai suatu proses belajar yang
berlangsung secara sisitematis dan terus-menerus dimana setiap
bagian dari suatu perusahaan dibandingkan dengan perusahaan yang
terbaik atau pesaing yang paling unggul;
5) Goetsch dan Davis ⇒ Benchmarking sebagai proses pembanding dan
pengukuran operasi atau proses internal organisasi terhadap mereka
yang trbaik dalam kelasnya, baik dari dalam maupun dari luar industri
Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa benchmarking
membutukan kesiapan “Fisik” dan “Mental”. Secara “Fisik” karena
dibutuhkan kesiapan sumber daya manusia dan teknologi yang matang
untuk melakukan benchmarking secara akurat.
Sedangkan secara “Mental” Adalah bahwa pihak manajemen
perusahaan harus bersiap diri bila setelah dibandingkan dengan
pesaing, ternyata mereka menemukan kesenjangan yang cukup tinggi.
Dari berbagai definisi diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan (Pawitra,
1994, p.12), yaitu :
1) Benchmarking merupakan kiat untuk mengetahui tentang bagaimana
dan mengapa suatu perusahaan yang memimpin dalam suatu industri
dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara lebih baik dibandingkan
dengan yang lainnya;
2) Fokus dari kegiatan benchmarking diarahkan pada praktik terbaik dari
perusahan lainnya. Ruang lingkupnya makin diperluas yakni dari
produk dan jasa menjalar kearah proses, fungsi, kinerja organisasi,
logistik, pemasaran, dll. Benchmarking juga berwujud perbandingan
yang terus-menerus, jangka panjang tentang praktik dan hasil dari
perusahaan yang terbaik dimanapun perusahaan itu berada;
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 9
3) Praktik banchmarking berlangsung secara sistematis dan terpadu
dengan praktik manajemen lainnya, misalnya TQM, corporate
reengineering, analisis pesaing, dll;
4) Kegiatan benchmarking perlu keterlibatan dari semua pihak yang
berkepentingan, pemilihan yang tepat tentang apa yang akan di-
benchmarking-kan, pemahaman dari organisasi itu sendiri, pemilihan
mitra yang cocok dan kemampuan untuk melaksanakan apa yang
ditemukan dalam praktik bisnis.
Secara umum manfaat yang diperoleh dari benchmarking dapat
dikelompokkan menjadi (Ross, 1994 pp.239-240) :
1) Perubahan Budaya memungkinkan perusahaan untuk menetapkan
target kinerja baru yang realisitis berperan meyakinkan setiap orang
dalam organisasi akan kredibilitas target;
2) Perbaikan Kinerja membantu perusahan mengetahui adanya gap-gap
tertentu dalam kinerja dan untuk memilih proses yang akan diperbaiki;
3) Peningkatan Kemampuan Sumber Daya Manusia Memberikan dasar
bagi pelatihan Karyawan menyadari adanya gap antara yang mereka
kerjakan dengan apa yang dikerjakan karyawan lain diperusahaan lain.
Keterlibatan karyawan dalam memecahkan permasalahan sehingga
karyawan mengalami peningkatan kemampuan dan keterampilan
EVOLUSI KONSEP BENCHMARKING. Menurut Watson (dalam
Widayanto, 1994), konsep benchmarking sebenarnya telah mengalami
setidaknya lima generasi, yaitu Reverse Engineering dalam tahap ini
dilakukan perbandingan karakteistik produk, fungsi produk dan kinerja
terhadap produk sejenis dari pesaing (Competitive Benchmarking).
Selain melakukan benchmarking terhadap karakteristik produk, juga
melakukan benchmarking terhadap proses yang memungkinkan
produk yang dihasilkan adalah produk unggul Process Benchmarking.
Memiliki lingkup yang lebih luas dengan anggapan dasar bahwa
beberap proses bisnis perusahaan terkemuka yang sukses memiliki
kemiripan dengan perusahaan yang akan melakukan benchmarking.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
10 Ringkasan Studi (Executive Summary)
Strategic Benchmarking merupakan suatu proses yang sistematis
untuk mengevaluasi alternatif, implementasi strategi bisnis dan
memperbaiki kinerja dengan memahami dan mengadaptasi strategi
yang telah berhasil dilakukan oleh mitra eksternal yang telah
berpartisipasi dalam aliansi bisnis membahas tentang hal-hal yang
berkitan dengan arah strategis jangka panjang. Global Benchmarking
Mencakup semua generasi yang sebelumnya dengan tambahan bahwa
cakupan geografisnya sudah mengglobal dengan membandingkan
terhadap mitra global maupun pesaing global.
b. Analisis Deskriptif Komparatif
Analisis deskriptif komparatif adalah analisis yang bersifat memadukan
atau membandingkan hasil penilaian terhadap kondisi eksisting dengan
kondisi ideal yang seharusnya diterapkan. Menurut Sujarwo (2001),
pendekatan deskriptif merupakan penelitian yang berpola menggambarkan
apa yang ada di lapangan dan mengupayakan penggambaran data, terlepas
apakah data itu kuantitatif atau kualitatif. Analisis deskriptif komparatif
digunakan untuk memadukan atau membandingkan hasil penilaian
terhadap kondisi eksisting pemberian izin yang ada saat ini dengan kondisi
ideal yang seharusnya diterapkan.
c. Model Peramalan
Dalam meramalkan, pada dasarnya terdapat dua metode yang sering
digunakan, yaitu metode kuantitatif dan metode kualitatif.
1) Metode Kuantitatif
Metode kuantitatif dapat digunakan bila terdapat informasi masa lalu
dalam bentuk kuantitas dan mengamsumsikan bahwa pola data masa lalu
yang digunakan untuk meramalkan akan terjadi juga di masa yang akan
datang. Terdapat dua metode yang termasuk kedalam kelompok ini.
a) Metode time series
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 11
Metode Time Series didasarkan pada nilai suatu variabel masa lalu
dimana tujuan dari metode ini adalah menemukan pola dari
rangkaian data masa lalu untuk kemudian diekstrapolasikan pada
masa mendatang. Dalam kelompok metode ini adalah Metode
Box Jenkins, Metode smoothing, dan metode proyeksi dengan
Regresi.
b) Metode kausal
Metode Kausal atau korelasi dimana suatu variabel, diramalkan
berdasarkan hubungannya dengan variabel lain yang diperkirakan
mempengaruhi. Dalam kelompok metode ini adalah Metode
regresi, Model Ekonometri dan Model Input – Otput.
2) Metode Kualitatif
Dalam metode kualitatif tidak diperlukan data, tetapi yang terpenting
untuk meramalkan adalah masukan berupa pola pikir, penilaian dan
pengetahuan yang terkumulasi. Metode kualitatif terbagi dua
kelompok, yaitu Metode Eksploratori dan Metode Normatif.
a) Metode Eksploratori
Dimulai dari masa lalu dan sekarang, ke masa datang dengan cara
heuristik dan mencoba mencari semua kemungkinan yang ada.
Dalam kelompok metode ini adalah metode delphi, penelitian
morfologi, dan lain – lain.
b) Metode Normatif
dimulai dari masa mendatang dengan menentukan tujuan dan
sasaran, kemudian bergerak mundur untuk melihat apakah tujuan
dan sasaran tadi dapat dicapai berdasarkan kendala yang ada.
Dalam kelompok metode ini adalah matriks keputusan dan analisis
sistem.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
12 Ringkasan Studi (Executive Summary)
d. Model Analisis Regresi Linier
Analisis regresi adalah suatu metode khusus untuk memperoleh suatu
hubungan matematis dengan mengasumsikan berlakunya suatu jenis
hubungan tertentu, yaitu linier di dalam parameter yang belum diketahui.
Parameter – parameter yang belum diketahui tersebut kemudian diduga di
bawah asumsi-asumsi lain dengan bantuan data yang tersedia sehingga
diperoleh persamaannya. Manfaat persamaan yang diperoleh itu dapat
diukur, dan pemeriksaan dapat dilakukan terhadap asumsi – asumsi yang
mendasari pendugaan tadi untuk dilihat apakah asumsi – asumsi itu
tampaknya dapat diterima atau tidak.
e. Metode Penilaian Investasi
Ada beberapa motode penilaian proyek investasi dalam kegiatan bisnis
sehari-hari. Metode tersebut antara lain Payback Period (PP), Net Present
Value (NPV), dan Internal Rate of Return (IRR).
1) Payback Period
Metode ini merupakan suatu teknik penilaian investasi yang secara
naif mampu memberikan informasi tentang kapan suatu modal yang
ditanam bisa kembali. Apabila proceeds setiap periode sama
jumlahnya, PP dari suatu investasi dapat dihitung dengan cara
membagi besarnya investasi dengan besarnya proceeds periode
tersebut. Andaikata proceeds setiap periode selalu berubah – ubah, PP
suatu investasi dihitung dengan menambah proceeds.
TahunoceedsJumlah
InvestasiJumlahPeriodPayback 1
Pr×=
2) Net Present Value
Melihat kelemahan PP, metode Net Present Value ini mencoba
mengatasi kelemahan PP tersebut dengan memperhitungkan nilai uang.
Dengan mengalihkan proceeds dengan discount factor pada tingkatan
tertentu maka akan diperoleh Present Value (PV) proceeds pada
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 13
periode yang bersangkutan, kemudian dikurangi jumlah dana yang
dikeluarkan (outlays) atau investasi yang dilakukan.
Dengan rate of return (ROR) yang diinginkan, usulan investasi
memberikan hasil PV proceeds yang lebih besar pada PP outlaysnya
sehingga NPV bertanda positif. Tanda positif memberikan implikasi
bahwa usulan investasi dapat diterima. Jika proceedsnya selalu sama
dalam periode investasi, maka angka DF (Discount Factor) bisa
dijumlahkan untuk memudahkan perhitungan PV proceeds.
Perhitungan NPV ini mirip dengan perhitungan profitability index
(PI). Hanya saja dalam perhitungan PI, PV proceeds dengan PV
outlays. Diterima tidaknya usulan investasi adalah bergantung pada
hasil PI. Jika PI > 1, usulan investasi diterima. Jika tidak, usulan
investasi tersebut ditolak.
outlaysPVoceedsPV
PIPr
=
Secara matematis, metode NPV ini bisa didefinisikan sebagai berikut :
onn Ik
Sk
Sk
Sk
SNPV −
+++
++
++
+=
)1()1()1(1 33
221
L
atau
o
n
kt
t Ik
SNPV −
+= ∑
=1 )1(
dengan :
St = Kas masuk netto pada akhir periode t;
Io = Investasi awal (outlays);
K = Tingkat diskonto, misalnya minimum rate of return yang
diinginkan saat investasi;
N = Lama proyek biasanya dalam periode tahun.
3) Internal rate of Return
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
14 Ringkasan Studi (Executive Summary)
Metode IRR ini disebut juga Yield Method. Sebagaimana NPV, metode ini
juga memperhatikan nilai uang. Secara ringkas rumusnya adalah :
)()(
12
1211 CC
PPCPIRR
−−
−=
dengan :
IRR = internal rate of return yang dicari;
P1 = tingkat bunga (ROR) ke 1; C1 = NPV ke 1;
P2 = tingkat bunga (ROR) ke 2; C2 = NPV ke 2.
Besarnya tingkat bunga bisa diambil secara sembarang. Hasil IRR ini
akan memberikan implikasi layak tidaknya investasi yang dilakukan.
Mekanisme yang dilakukan adalah juga melakukan perhitungan NPV
terlebih dahulu sebelum dimasukkan dalam rumus di atas.
Jika besarnya IRR sudah ditemukan, kemudian tingkat IRR
diterapkan untuk mencari NPV. Seandainya NPV bertanda positif, ini
berarti investasi layak dilakukan. Demikian sebaliknya. Biasanya IRR
dan NPV memberi hasil yang sama dalam penaksiran suatu proyek.
Cara lain yang juga mudah untuk menerapkan hasil IRR dalam dunia
bisnis adalah membandingkan dengan tingkat bunga simpanan.
Jika IRR lebih besar tingkat suku bunga simpanan, usulan investasi
adalah layak diteruskan.
Kelebihan metode IRR :
Beberapa kelebihan metode IRR, adalah :
a) Tidak mengabaikan aliran kas selama periode investasi;
b) Memperhitungkan nilau waktu uang (time value of money);
c) Hasilnya adalah persentase, sehingga pengelola investasi mampu
memperikrakan proyek sewaktu tingkat bunga tidak diketahui
secara pasti atau berubah-ubah.
Kelemahan metode IRR :
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 15
Beberapa kelemahan metode IRR, adalah :
a) Memerlukan perhitungan biaya modal sebagai batas minimal dari
nilai yang mungkin dicapai;
b) Tidak membedakan besarnya proyek dan umurnya proyek;
c) Metode ini berasumsi bahwa aliran kas masuk dapat diinvestasikan
kembali dengan tingkat bunga sama dengan IRR.
C. PENGUMPULAN DATA
1. Metode Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan serta data-data yang diperoleh
dari Direktorat Kenavigasian dan Distrik Kenavigasian Ditjen Perhubungan
Laut meliputi:
a. Dokumen kepustakaan dan bahan-bahan yang terkait dengan lingkup
penelitian, dan pengumpulan informasi tentang jumlah dan kecukupan serta
kehandalan menara suar, rambu suar, pelampung suar, tanda suar, anak
pelampung, kapal kenavigasian, stasiun radio pantai, dan jumlah sumber daya
manusia.
b. Data dan informasi mengenai jumlah dan kebutuhan SBNP, telkompel,
serta perencanaan dan pengembangan kenavigasian dimasa yang akan
datang.
c. Data mengenai jumlah kunjungan kapal.
d. Data biaya pengadaan, pengoperasian, dan pemeliharaan SBNP,
telkompel,pemanduan,alur pelayaran.
e. Data pelabuhan yang masuk pada tiap-tiap distrik navigasi.
f. Kemudian akan dilakukan survei kepustakaan yang mencakup kebijakan
pemerintah yang berkaitan penyelenggaraan kenavigasian saat ini.
g. Di samping itu berupaya untuk sedapat mungkin melakukan benchmarking
dengan pola penyelenggaraan kenavigasian di Jepang sebagai bahan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
16 Ringkasan Studi (Executive Summary)
pembanding. Selanjutnya, dilakukan langkah-langkah komprehensif
dengan melihat aspek-aspek terkait dengan obyek penelitian. Selanjutnya
dipadukan dengan peraturan perundang-undangan dalam rangka membuat
rekomendasi sebagai bahan pertimbangan pimpinan untuk menyusun pola
penyelenggaraan kenavigasian.
2. Metode Pengumpulan Data Primer
Data primer berupa kuesioner yang diisi oleh responden. Indikator dan
variabel-variabel yang digunakan meliputi kegiatan-kegiatan dalam
kenavigasian antara lain : biaya pengadaan, pengoperasian, dan pemeliharaan
peralatan-peralatan kenavigasian.
Tabel 1: Kebutuhan Data
No Kebutuhan Data Responden
Kuesioner 01
1 Data terkait jumlah SBNP, kapal kenavigasian, stasiun
radio pantai, dan jumlah sumber daya manusia.
Disnav
Dit. Navigasi
2 Pelabuhan yang masuk pada wilayah kerja tiap-
tiap Disnav
3
Data Kecukupan dan Kehandalan menara suar,
rambu suar, pelampung suar, tanda suar, anak pelampung,
kapal kenavigasian, stasiun radio pantai.
Disnav
Dit. Navigasi
4 Data dan informasi mengenai perencanaan dan
pengembangan kenavigasian dimasa yang akan datang.
Disnav
Dit. Navigasi
5
Berupa pertanyaan-pertanyaan mengenai biaya
perngadaaan, pengoperasian, dan pemeliharaan
peralatan kenavigasian serta pengenaan tarif atas
penggunaan peralatan kenavigasian.
Disnav
Dit. Navigasi
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 17
No Kebutuhan Data Responden
Kuesioner 02
1 Data jumlah kunjungan kapal di Pelabuhan yang
masuk pada wilayah kerja masing-masing Disnav
Otoritas
Pelabuhan/Adpel
2
Berupa pertanyaan-pertanyaan mengenai biaya
perngadaaan, pengoperasian, dan pemeliharaan
pemanduan, alur pelayaran serta pengenaan tarif atas
pemanfaatan jasa pemanduan dan pemanfaatan alur
pelayaran.
Otoritas
Pelabuhan/Adpel
D. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. Kecukupan dan Keandalan SBNP
Jumlah SBNP dari tahun 2005 sampai dengan 2009 dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 2 : Jumlah Sarana Bantu Kenavigasian Tahun 2005 s.d 2009
TAHUN JUMLAH SARANA BANTU KENAVIGASIAN
(Unit)
2005 2.867
2006 2.916
2007 3.110
2008 3.196
2009 3.211
Sumber : Direktorat Kenavigasian
Jumlah Sarana Bantu Navigasi Pelayaran yang beroperasi pada posisi
sampai dengan Desember 2011 terdiri dari milik Ditjen Hubla sebanyak
2.124 unit dan Non Ditjen Hubla sebanyak 1.192 unit, yang terdiri dari :
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
18 Ringkasan Studi (Executive Summary)
Tabel 3: Jumlah Sarana Bantu Kenavigasian Pada Posisi S/D Desember 2011
NO J E N I S DJPL NON
DJPL JUMLAH
1. Menara Suar 278 - 278
2. Rambu Suar 1.284 641 1.925
3. Pelampung Suar 363 463 826
4. Rambu Tanda Sang 149 69 218
5. Anak Pelampung 50 19 69
JUMLAH 2.124 1.192 3.316
Sumber : Direktorat Kenavigasian
Kondisi tingkat keandalan dan kecukupan SBNP adalah sebagai berikut:
a. Tingkat Kecukupan SBNP
Panjang garis pantai Indonesia : 41.628 mil laut (data DISHIDROS TNI
AL). sebelum dikurangi P. Sipadan dan P. Ligitan (belum ada keputusan
batas wilayah)
Luas Perairan Indonesia : ± 5.877.879 KM2. (Dishidros TNI AL. 1997)
Formula tingkat kecukupan SBNP Fix bersuar, dimana :
1) Suar utama : 20 NM
2) Suar menengah : 10 NM
3) Suar pendek : 6 NM
-----------------------------------------------------
Jumlah : 36 :3 = 12 mil
Sehingga setiap 100 mil garis pantai idealnya diperlukan 8 unit SBNP tetap
(fixed light), atau ± tiap 12 mil terpasang 1 unit SBNP.
Jadi SBNP yang dibutuhkan : 41.628 mil = 3.469 unit
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 19
12 mil
Dengan demikian jumlah SBNP tetap (fixed light) sampai dengan TA.
2011 (data terakhir) :
Menara Suar = 278
Rambu Suar = 1.925 (DJPL :1.284, Non DJPL :641)
––––––––––––––––––––––––––
T o t a l = 2.203 unit
Jadi tingkat kecukupan SBNP tetap bersuar :
= 2.203 x 100 % = 63.51 %
3.469
b. Tingkat Keandalan SBNP
Jumlah SBNP dihitung berdasarkan SBNP bersuar sebagai berikut :
Jumlah SBNP Tetap (Fixed light) milik DJPL dan non DJPL sebanyak :
278 + 1.284+ 641 + 363+ 463 = 3.029
Jumlah Hari Kelainan SBNP milik DJPL = 79.062 Hari .
Adapun prosentasi kelainan SBNP hingga saat ini adalah sebagai berikut :
365
JumlahHari
hari SBNPBersuar×∑=
79.062100%
365 3029
hari ××
=
79.062100% 7.15%
1.105.585
hari × =
Jadi tingkat keandalan : 100% - 7,15 % = 92,85%
Untuk mencapai kecukupan 100% diperlukan waktu yang lama, hal
tersebut dikarenakan pembangunan/pemasangan SBNP sangat lambat oleh
karena terbatasnya anggaran pembangunan dan banyaknya komponen
peralatan SBNP yang hilang, rusak dan bangunan yang roboh/rusak disebabkan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
20 Ringkasan Studi (Executive Summary)
termakan usia, perlu mendapatkan perhatian yang serius guna meningkatkan
keandalan.
Dalam upaya meningkatkan tingkat keandalan Sarana Bantu Navigasi-
Pelayaran, pada tahun 2011 telah merealisasikan program replacement dan
rehabilitasi Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) sebanyak 38 unit
dan untuk meningkatkan kecukupan telah dibangun Sarana Bantu Navigasi
Pelayaran baru sebanyak 21 unit, maka tingkat pertumbuhan pembangunan
SBNP tahun 2011 sebesar 0,95 %. Masih rendahnya tingkat kecukupan
dan keandalan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran saat ini, yaitu :
Tingkat Kecukupan : 63,51 %
Tingkat Keandalan : 92,85 %
Sedangkan standar yang direkomendasikan oleh IALA bahwa Tingkat
Keandalan SBNP sebagai berikut :
1) Menara Suar (Light House) : 99 %
2) Rambu Suar (Light Beacon) : 99 %
3) Pelampung Suar(Light Buoy) : 97 %
Standar rata-rata :
1) SBNP tetap (fixed light) bersuar : 99 %
2) SBNP Apung bersuar : 97 %
Prosentase tingkat keandalan SBNP pada Bulan Januari sampai dengan
Oktober 2010 dapat dilihat pada gambar berikut
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 21
Gambar 3 : Keandalan SBNP pada Bulan Januari sampai dengan Oktober 2010
Untuk selanjutnya posisi SBNP terpasang milik Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut (DJPL) pada posisi tahun 2010 yang terdiri atas Mensu,
Ramsu, dan Pelsu diseluruh wilayah kerja Distrik Navigasi seluruh
Indonesia dengan jumlah raya 1.925.
2. Kecukupan dan Keandalan Telekomunikasi Pelayaran
Sarana Telekomunikasi-Pelayaran terdiri dari :
a. Stasiun Radio Pantai (SROP)
SROP adalah stasiun darat dalam dinas bergerak pelayaran yang
dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu :
1) SROP Ditjen Hubla
Sesuai dengan Revisi Peraturan Menteri Perhubungan No. KM. 30
Tahun 2006, tanggal 12 Juni 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Distrik Navigasi, yang di dalamnya ditetapkan klasifikasi Stasiun
Radio Pantai (SROP) Ditjenhubla dan Stasiun Vessel Traffic Service
(VTS), terdapat beberapa hal yang diusulkan perubahan dan
penambahan sebagai berikut :
SROP menjadi 148 stasiun (dari 222 Stasiun sebelumnya) dengan
pertimbangan adanya pemisahan beberapa stasiun yang operasionalnya
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
22 Ringkasan Studi (Executive Summary)
terbatas dialihkan menjadi Port Communication, yang melayani Dinas
Bergerak Pelayaran, yang terbagi atas dua bagian menurut kelengkapan
peralatannya, yaitu Global Mariitime Distress and Safety System
(GMDSS) dan Non GMDSS.
Tahun 2011 ada penambahan SROP di beberapa wilayah, sehingga di
akhir Desember 2011 SROP menjadi 155 stasiun.
a) SROP GMDSS
Secara umum dapat diartikan bahwa SROP ini terdiri dari 3 jenis
menurut Area cakupannya dan untuk mencakup wilayah
pelayaran Indonesia, dibutuhkan sejumlah SROP yang dilengkapi
dengan perangkat yang layak / ideal (sesuai jenis Area : A1,
A2 dan A3) : Sesuai dengan Master Plan IMO Tahun 1992,
Indonesia harus terpasang 84 SROP yang dilengkapi GMDSS,
dengan kata lain Kebutuhan adalah 84 Stasiun dan pada Tahun
2011, SROP yang sudah dilengkapi dengan GMDSS adalah
sebanyak 68 Stasiun.
(1) SROP A1 adalah suatu area dengan cakupan ± 30 NM
dengan menggunakan perangkat radio VHF SROP yang
dapat menerima dan memancarkan ulang alert DSC dan
radio telepon yang dijaga selama 24 jam.
(2) SROP A2 adalah suatu area di luar area A1 dengan cakupan
± 200.300 NM dengan menggunakan perangkat radio MF
Stasiun Radio Pantai yang dapat menerima dan
memancarkan ulang alert DSC dan radio Teleponi yang
dijaga selama 24 jam.
(3) SROP A3 adalah suatu area yang tidak termasuk pada are A1,
A2 dengan cakupan ± 70º LU – 70º LS dengan menggunakan
perangkat radio HF Stasiun Radio Pantai yang dapat menerima
dan memancarkan ulang alert DSC dan radio Teleponi yang
dijaga selama 24 jam. (Resolusi A. 801 (19) ttg… GMDSS) dan
SOLAS, Chapter 11 Radiocomm, Reg.2)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 23
KEBUTUHAN SROP A1
Idealnya setiap Pelabuhan harus dilengkapi dengan SROP A1
yang dapat mencakup wilayah kerja pelabuhannya dengan VHF
DSC Ch. 70.
Jumlah Pelabuhan Indonesia adalah 297 lokasi (sesuai Jumlah Adpel/
Kanpel Indonesia KM. 62 dan 63/ 2002) maka Port Communication
(termasuk Mandatory IMO) idealnya adalah 300 unit.
KEBUTUHAN SROP A2
Berdasarkan IMO Master Plan 1992, perairan Indonesia harus
dilengkapi SROP A2 sebanyak 84 unit, sedangkan berdasarkan
Ploting oleh Tim JICA dalam Master Plan Study Maritime
Telecommunication Tahun 2011 diperoleh jumlah SROP A2
sebanyak 53 unit.
KEBUTUHAN SROP A3
Berdasarkan IMO Master Plan 1992 idealnya SROP A3 adalah
12 Unit, dan menurut Ploting oleh Tim JICA dalam Master Plan
Study Maritime Telecommunication Tahun 2011 diperoleh
jumlah SROP A3 sebanyak 12 Unit.
KECUKUPAN SROP GMDSS
Kecukupan Sarana Telekomunikasi Pelayaran adalah kebutuhan
perangkat radio Stasiun Radio Pantai untuk mencakup Area
Pelayaran (Area A1, A2, dan A3) yang dapat berfungsi dan
secara terus-menerus (H24) frekuensi marabahaya dan
keselamatan pelayaran yakni 2182, 2187,5; 4207,5;
6215;6312,8414,5; 12577,16804,5 khz.
Dengan arti lain bahwa kecukupan SROP adalah prosentase
perbandingan antara SROP A1 terpasang dengan kebutuhan
Ideal.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
24 Ringkasan Studi (Executive Summary)
Kecukupan SROP GMDSS A1 adalah sbb :
68 x 100% = 80,95%
84
Kecukupan SROP GMDSS A2 adalah sbb :
53 x 100 % = 63,10%
84
Kecukupan SROP GMDSS A3 adalah sbb :
12 x 100 % = 100%
12
KEANDALAN SROP GMDSS
Keandalan SROP adalah prosentase kemungkinan Stasiun Radio
Pantai menerima panggilan marabahaya dan keselamatan yang
dipancarkan oleh stasiun kapal pada frekuensi marabahaya
Internasional.
Pengertian keandalan sarana dapat diartikan sebagaimana di
bawah ini :
“Perbandingan antara jumlah jam jaga dengar nyata pada
frekuensi marabahaya internasional dengan jumlah jam jaga
dengar yang semestinya pada frekuensi marabahaya
Internasional dikali 100 % “.
∑ SROP A1 terpasang Kecukupan SROP (%) = x 100 % ∑ Kebutuhan Ideal
Keandalan Sarana TELKOMPEL =
∑ SROP terpasang x Jam jaga dengar nyata x 100% ∑ SROP Ideal x 24 jam
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 25
Keandalan SROP GMDSS A1 adalah :
= (68x24) jam + 16+8 x 100 % = 1.656 jam x 100 % = 82,14%
84 x 24 jam 2.016 jam
Keandalan SROP GMDSS A2 adalah :
= (53x24) jam + 16+8 x 100 % = 1.296 jam x 100 % = 64,29 %
84 x 24 jam 2.016 jam
Keandalan SROP GMDSS A3 adalah :
= (12x 24) jam +16+8 x 100 % = 312 jam x 100 % = 108,3 %
12 x 24 jam 288 jam
Keandalan ini terlihat masih kurang karena Jam Jaga Dengar
Nyata masih bervariasi, (belum semua 24 jam) yang
mengakibatkan tingkat keandalan SROP A1 dan A2 masih kecil.
Catatan : (jam jaga dengar SROP Sorong = 16 jam, Bintuni = 8 jam)
b) SROP NON-GMDSS
Stasiun Radio Pantai Non-GMDSS adalah Stasiun Radio Pantai
yang melayani Dinas Bergerak Pelayaran, namun belum
dilengkapi dengan peralatan GMDSS. Pelayanan Komunikasi
Teresterial yang dimaksud adalah komunikasi terbatas yang
menggunakan band frekuensi VHF, MF dan HF. Saat ini jumlah
SROP Non GMDSS sebanyak 85 Stasiun.
2) SROP Non Ditjen Hubla
SROP Non Ditjen Hubla diadakan dengan tujuan melayani
komunikasi radio untuk kepentingan tertentu dan diatur pendiriannya
berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan PM. 26 Tahun 2011
pasal 25.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
26 Ringkasan Studi (Executive Summary)
Operasional SROP Non Ditjen Hubla dibawah pembinaan dan
pengawasan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dalam hal ini
Direktorat Kenavigasian.
b. Stasiun Vessel Traffic Information System (VTIS)
Stasiun VTIS yang terealisir sebanyak 11 stasiun hingga tahun 2011 yakni :
Tabel 4 : Daftar VTIS Ditjen Hubla Desember 2011
No STASIUN
VTIS LOKASI
Wilayah
Disnav Ket
1 Jakarta SROP Klas I Jakarta Radio
(TX) Tg. Priok VTS Port
2 Belawan SROP Klas I Belawan
Radio (RX) Belawan VTS Port
3 Surabaya SROP Klas I Surabaya
Radio Surabaya VTS Port
4 Semarang, SROP Klas I Semarang
Radio Semarang VTS Port
5 Makassar, SROP Klas I Makassar
Radio Makassar VTS Port
6 Teluk Bayur SROP Klas I Teluk Bayur
Radio Teluk Bayur VTS Port
7 Balikpapan SROP Klas I Balikpapan
Radio Samarinda VTS Port
8 Teluk Bintuni LNG-Tangguh, Sorong Sorong VTS Port
9 Panjang SROP Kls III Panjang Radio Tg. Priok VTS Port
10 Lembar SROP Kls III Lembar
Radio Benoa VTS Port
11 Batam SROP Kls III Batam Radio Tg. Pinang
VTS
Malacca
Strait
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 27
Kebutuhan VTIS adalah 51 Stasiun.
Kecukupan VTIS adalah presentasi jumlah stasiun terpasang dibagi
Jumlah kebutuhan Stasiun (saat ini terpasang 11 stasiun) dengan formula
seperti di bawah ini.
Kecukupan (%) = 11 stasiun x 100 % = 21,57 %
51 stasiun
Keandalan VTIS
Keandalan VTIS adalah presentasi jumlah terpasang dikali Jam Jaga
dengan nyata dibagi jumlah stasiun terpasang kali 24 jam dengan formula
sbb :
Keandalan (%) = 11 x 24 jam x 100 % = 264 x 100% = 21,56%
51 x 24 jam 1.224
c. Ship Reporting System (SRS)
Pada tahun 2011 stasiun SRS sedang dalam tahap pengiriman peralatan
dan proyek ini direncanakan akan selesai pada TA. 2013.
3. Kecukupan dan Keandalan Kapal Negara Kenavigasian
Pada Posisi Desember 2011, Armada Kapal Negara Kenavigasian berjumlah
64 kapal pada 25 Unit Pelaksana Teknis, Direktorat Kenavigasian dengan
komposisi :
a. Buoy Tender Vessel (Kapal Induk Perambuan) : 8 kapal
b. Aids Tender Vessel (Kapal Bantu Perambuan) : 44 kapal
Kecukupan (%) = Jlh terpasang x 100 % Jlh kebutuhan
Keandalan (%) = Jlh terpasang x Jam jaga dengar nyata x 100% Jlh terpasang x 24 Jam jaga dengar
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
28 Ringkasan Studi (Executive Summary)
c. Inspection Boat (Kapal Pengamat Perambuan) : 12 kapal
Catatan :
a. Buoy Tender Vessel (Kapal Induk Perambuan) adalah kapal perambuan
yang mempunyai tugas pemasangan, pengangkutan, perawatan SBNP
terutama yang berukuran besar serta gilir tugas petugas menara suar.
b. Aids Tender Vessel (Kapal Bantu Perambuan) adalah kapal perambuan
yang mempunyai tugas pemasangan, pemeliharaan pengangkutan,
pengamanan SBNP serta gilir tugas petugas menara suar.
c. Inspection Boat (Kapal Pengamat Perambuan) adalah kapal perambuan
yang mempunyai tugas pemantauan SBNP, penjemputan dan perawatan
darurat SBNP.
d. Survey Vessel (Kapal Survey Kenavigasian) adalah kapal perambuan yang
mempunyai tugas survei hidrografi, observasi, dan oceanografi,
pengamatan laut dan pengecekan kalibrasi.
Sedangkan untuk jumlah kapal negara kenavigasian dan kondisi teknisnya pada
awal tahun 2012 adalah sebagai berikut.
Gambar 4 : Kondisi Teknis Kapal Negara Kenavigasian
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 29
Untuk kelas kapal kenavigasian adalah sebagai berikut, untuk kapal kelas I
sebanyak 28 unit, kapal kelas II sebanyak 3 unit, kapal kelas III sebanyak 30
unit, kapal kelas IV sebanyak 3 unit.
Gambar 5 : Jumlah Kapal Negara Kenavigasian Menurut Kelas Kapal
Sedangkan untuk jenis kapal kenavigasian diantaranya adalah kapal induk
perambuan, kapal pengamat perambuan serta kapal bantu perambuan.
Gambar 6 : Jumlah Kapal Negara Kenavigasian Menurut Jenis Kapal
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
30 Ringkasan Studi (Executive Summary)
Upaya untuk meningkatkan keandalan operasional Kapal Negara Kenavigasian
dilaksanakan sebagai berikut :
a. Memaksimalkan pelaksanaan perawatan tahunan, perawatan besar dan
rekondisi armada Kapal Negara Kenavigasian;
b. Bagi kapal yang belum berumur 40 tahun dan kondisi teknis Kapal Negara
Kenavigasiannya < 60 %, memperpanjang masa tugas operasional kapal
dengan cara rekondisi teknis, namun hal ini memerlukan biaya yang sangat
besar;
c. Scrapping bagi kapal-kapal yang berumur diatas 40 tahun dan kondisi
teknis di bawah 40 % atau kapal tidak laik operasi;
d. Relokasi pemangkalan kapal dalam rangka efisiensi dan efektivitas armada
kapal disesuaikan dengan beban kerja di wilayah kerja yang bersangkutan;
e. Peremajaan dengan pengadaan kapal baru sesuai kebutuhan operasional;
f. Perlu adanya peningkatan Kompetensi Pelaut Anak Buah Kapal Negara
Kenavigasian, secara berkesinambungan melalui Program Diklat Teknis Profesi
Kepelautan dan Pemutakhiran Ijazah Pelaut sesuai STCW 1995.
4. Sarana Penunjang Operasional
Sarana penunjang dan Laju Pertumbuhan Anggaran Pemeliharaan Fasilitas
Pangkalan Kenavigasian yang ada pada saat ini diharapkan dapat
meningkatkan kegiatan operasional kenavigasian, selain dari anggaran APBN
juga dianggarkan dari dana PNBP dan anggaran pembangunan untuk
pengadaan sarana penunjang.
Kesediaan Sarana Penunjang saat ini dilihat dari Kecukupan dan Kondisi teknis
Fasilitas Pangkalan Kenavigasian Posisi Desember 2011 adalah sebagai berikut :
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 31
Tabel 5 : Kecukupan dan Kondisi Teknis Sarana Penunjang
NO FASILITAS
KECUKUPAN
(%)
KONDISI TEKNIS
(%)
Tahun 2011 Tahun 2011
1. Gedung Kantor 76.38 83.80
2. Gedung Bengkel 57.49 84.57
3. Dermaga 68,19. 82.53
4. Gudang 39.07 74.29
5. Gudang Terbuka 18.08 57.50
6. Taman Pelampung 35.19 64.80
Upaya untuk meningkatkan keandalan operasional Kapal Negara Kenavigasian
dilaksanakan sebagai berikut :
a. Memaksimalkan pelaksanaan perawatan tahunan, perawatan besar dan
rekondisi armada Kapal Negara Kenavigasian;
b. Bagi kapal yang belum berumur 40 tahun dan kondisi teknis Kapal Negara
Kenavigasiannya < 60 %, memperpanjang masa tugas operasional kapal
dengan cara rekondisi teknis, namun hal ini memerlukan biaya yang sangat
besar;
c. Scrapping bagi kapal-kapal yang berumur diatas 40 tahun dan kondisi
teknis di bawah 40 % atau kapal tidak laik operasi;
d. Relokasi pemangkalan kapal dalam rangka efisiensi dan efektivitas armada
kapal disesuaikan dengan beban kerja di wilayah kerja yang bersangkutan;
e. Peremajaan dengan pengadaan kapal baru sesuai kebutuhan operasional;
f. Perlu adanya peningkatan Kompetensi Pelaut Anak Buah Kapal Negara
Kenavigasian, secara berkesinambungan melalui Program Diklat Teknis Profesi
Kepelautan dan Pemutakhiran Ijazah Pelaut sesuai STCW 1995.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
32 Ringkasan Studi (Executive Summary)
5. Sumber Daya Manusia.
Sumber daya Operasional Kenavigasian terdiri dari :
a. Tenaga Sarana Bantu Navigasi-pelayaran;
b. Tenaga Stasiun Radio Pantai;
c. Tenaga Bengkel;
d. Tenaga Pelaut;
e. Tenaga Pengamatan Laut.
Keberhasilan operasional Distrik Navigasi tidak terlepas dari sumber daya
manusia yang ada, untuk menunjang operasional tersebut telah dilaksanakan
pendidikan/kursus keterampilan untuk meningkatkan keahlian sumber daya
manusia tersebut, walaupun yang telah dilaksanakan saat ini masih belum
memadai, karena kurangnya anggaran yang tersedia sehingga yang
dilaksanakan saat ini sesuai skala prioritas.
6. Program Kenavigasian Saat Ini
Program kenavigasian menurut Raker Ditjen Hubla pada tahun 2012
diantaranya adalah:
a. Penataan Regulasi
1) Inventarisasi regulasi nasional dan internasional.
2) Evaluasi kebutuhan revisi terhadap regulasi yang ada serta kebutuhan
penetapan regulasi baru.
3) Tindaklanjut temuan dalam operasional kenavigasian :
a) Tidak dilaksanakannya pelaporan Noon Position;
b) Penyampaian berita MAYDAY tidak dilaksanakan melalui SROP;
c) Fungsi Cable Master tidak berjalan semestinya;
d) Tidak dilaksanakannya pemberitahuan ke SROP oleh kapal-kapal
yang keluar masuk pelabuhan;
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 33
e) Pemeriksaan perangkat radio diatas kapal kerap tidak dapat
dilaksanakan oleh aparat Ditjen Hubla.
4) Inventarisasi pemanfaatan sarana dan prasarana kenavigasian yang
melibatkan pihak ketiga, karena keterbatasan dana Pemerintah dan
kebijakan “PPP (Public Private Partnership)” yang telah dilakukan
Pemerintah saat ini untuk pembangunan infrastruktur sebagai payung
regulasi.
b. Penataan Kelembagaan / Organisasi
1) Revisi KM 30 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Distrik
Navigasi.
2) Revisi KM 67 dan 68 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja
BTKP dan BKKP.
3) Review struktur kelompok fungsional Distrik Navigasi agar tidak
terjadi tumpang tindih dengan SEKSI dan BIDANG,dengan tetap
mempertimbangkan prinsip garis komando antara KADISNAV dengan
kelompok fungsional.
� Tindaklanjut : pembentukan / penyempurnaan Juklak dan Juknis.
4) Pengembangan fungsi kehumasan pada kantor Distrik Navigasi.
� Tindaklanjut : mengkaji kemungkinan penempatan Humas pada
unit Tata Usaha.
5) Segera mewujudkan peran / fungsi pengamatan laut dalam penataan alur
pelayaran menindaklanjuti UU.17/2008 serta PP.5/2010 yang memberi
tanggungjawab besar dalam mewujudkan keselamatan pelayaran melalui
penataan alur pelayaran di laut.
� Tindaklanjut : mengkaji pembentukan Sub Direktorat Penataan
Alur Pelayaran, pembentukan kelompok
Pengamatan Laut hingga Disnav Kls.III, dan
melengkapi sarana prasarana.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
34 Ringkasan Studi (Executive Summary)
c. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
1) Peningkatan serta pembinaan SDM Kenavigasian telah terprogram
sesuai kebutuhan namun perlu ditingkatkan pelaksanaannya melalui
penyediaan anggaran yang cukup.
2) Perlu adanya penekanan terhadap fungsi mualim untuk dapat
melaksanakan tugas-tugas markonis yang saat ini keberadaannya
diatas kapal telah dihapuskan.
3) Perlu ditingkatkan frekuensi maupun volume penyelenggaraan diklat
SBNP tingkat terampil.
4) Perlu diantisipasi ketentuan dalam surat DJA yang mengatur besaran
uang makan hanya untuk lokasi terpencil, antara lain melalui klasul
dalam Peraturan Menteri maupun SK Dirjen Hubla yang akan
melengkapinya.
5) Membedakan tunjangan untuk ABK aktif dengan tunjangan penunpang
dinas agar tidak mengakibatkan keengganan teknisi untuk berlayar.
6) Perlu disampaikan peraturan-peraturan baru ke seluruh UPT pada
kesempatan pertama serta perlu adanya sosialisasi secara menyeluruh
oleh Bagian Keuangan terkait ketentuan penerapan uang makan yang
berlaku agar penerapannya di seluruh UPT dapat dilaksanakan secara
seragam.
7) SBU tahun 2011 tidak mengatur uang makan untuk seluruh jabatan
sebagaimana SBU 2010. Sesditjen Hubla Cq. Kabag Keuangan
diharapkan untuk dapat mengambil langkah pembinaan agar penerapan
uang makan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan dapat
dilaksanakan dengan semestinya.
8) Perlu dievaluasi penerapan PNBP yang akan diberlakukan serta draft
SK Dirjen Hubla terkait dengan mempertimbangkan permasalahan
yang akan muncul dalam penerapan sistem penyetoran PNBP serta
ketentuan penggunaan yang diatur dalam draft SK dimaksud.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 35
9) Berdasarkan evaluasi terhadap anggaran rutin RKAKL 2012,
terdapat ketimpangan besaran jasa uang rambu yang sangat
signifikan antara distrik navigasi dan disamping itu penggunaan
hasil penerimaan PNBP tidak optimal dalam menunjang
operasional Distrik Navigasi selaku UPT yang bertanggungjawab
atas pelayanan jasa perambuan yang menjadi dasar pemungutan
PNBP Uang Rambu.
d. Pengembangan Sarana Prasarana
1) Peningkatan disain / modifikasi kapal negara kenavigasian kelas III
antara lain guna meningkatkan fungsi crane dalam mendukung
operasional di lapangan.
2) Melengkapi armada kapal negara kenavigasian pada distrik navigasi
dengan kapal cepat untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi
operasional khususnya untuk penanganan hal-hal darurat, pengamanan
SBNP, pengejaran pelaku pencurian / perusakan SBNP, serta
operasional kenavigasian pada wilayah perairan pelabuhan.
3) Penempatan speed boat dan jetty pada instalasi menara suar sesuai
dengan PM 25 Tahun 2011 tentang SBNP.
4) Mewujudkan program pengembangan laboratorium & simulator
kenavigasian mengingat urgensinya terhadap pengembangan/
peningkatan/penyiapan SDM berkualitas dalam rangka
pelaksanaan tugas dan tanggungjawab kenavigasian yang
berkembang sebagaimana diatur dalam UU No 17 Tahun 2008 dan
PP No. 5 Tahun 2010.
5) Mengembangkan fungsi Menara Suar pada lokasi tertentu sehingga
juga berfungsi sebagai land mark, tempat pengamatan lalu lintas
kapal, penunjuk arah malam dan siang hari .
6) Peningkatan kondisi/kelayakan rumah jaga menara suar dan
melengkapi dengan peralatan pengolah air asin menjadi air tawar
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
36 Ringkasan Studi (Executive Summary)
guna meningkatkan kelayakan bagi hunian PMS/TMS sehingga
selanjutnya akan berdampak pada peningkatan keandalan SBNP.
7) Pembangunan fasilitas efisiensi pemanfaatan energi (hibrid) yang
selama ini hanya menggunakan genset dimungkinkan menggunakan
tenaga solar cell, arus, power wind. Melengkapi kebutuhan kendaraan
operasional roda empat pada distrik navigasi sebagai alat angkut
sarana dan prasarana Kenavigasian melalui darat.
8) Tindaklanjut permasalahan stasiun VTS Bintuni dengan mencari
alternatif yang terbaik, antara lain dengan mempertimbangkan
pelimpahan VTS Bintuni kepada PT. Tangguh sebagi bentuk
penyertaan modal pemerintah, memindahkan lokasi stasiun VTS
Bintuni ke lokasi milik Ditjen Hubla untuk selanjutnya dilakukan
penyempurnaan guna operasional secara penuh, menjajaki
kemungkinan penetapan status sewa dengan mengupayakan
pencantumannya dalam peraturan PNBP terkait. Untuk maksud
tersebut perlu dilakukan Brainstorming dengan DJKNL
Kementerian Keuangan.
9) Tindaklanjut penyelesaian permasalahan KN. Miaplacidus dengan
mempertimbangkan prinsip-prinsip terwujudnya kesepakatan
penyempurnaan KN. Miaplacidus, aspek hukum dan kontrak,
kondisi kemampuan pihak galangan, itikad baik yang telah
ditunjukan selama ini serta petunjuk/temuan auditor.
e. Peningkatan Kinerja Pelayanan Publik Menuju Pemerintahan Yang Baik
Seiring Dengan Reformasi Birokrasi
Penyusunan/penyempurnaan SOP, peningkatan SDM, penguasaan
regulasi, materi, kompetensi dalam rangka peningkatan pelayanan
perijinan di bidang Kenavigasian (ijin pendirian SBNP serta
pelaksanaan survei terkait, telekomunikasi pelayaran, pemberian nomor
DSI serta penyiaran dalam NTM, pemberian nomor identifikasi AIS
bagi kapal-kapal termasuk Kapal Negara Kenavigasian), termasuk
meningkatkan infrastruktur SBNP dan Telekomunikasi Pelayaran.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 37
f. Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional
Mendukung pemberdayaan industri pelayaran nasional dengan pengawasan
dan pengendalian melalui peralatan telekomunikasi pelayaran (mendukung
azas cabotage) serta melengkapi pelabuhan-pelabuhan singgah rute kapal
nasional dengan peralatan keselamatan SBNP dan Telekomunikasi Pelayaran.
g. Pengembangan Pelabuhan Nasional
Mendukung pengembangan pelabuhan nasional dengan pengembangan
sarana dan prasarana Kenavigasian disetiap tempat yang telah dibangun
dan akan dibangun. Menetapkan alur pelayaran dari dan menuju
pelabuhan , mendeklarasikan kedalaman alur pelayaran setiap 6 (enam)
bulan sekali termasuk membangun SBNP dan Telekomunikasi
Pelayaran untuk menunjang keselamatan pelayaran dari dan menuju
pelabuhan.
h. Peningkatan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran
Program Peningkatan Keselamatan Pelayaran dilaksanakan melalui
percepatan implementasi ketentuan UU. No.17/2008 dan PP.
No.5/2010, penerapan teknologi maju, peningkatan kegiatan survey
pengamatan laut dan pemetaan, peningkatan kecukupan & keandalan
SBNP, Telkompel, GMDSS, VTS, SRS, penetapan routing system,
peningkatan fasilitas penunjang operasional melalui program di bidang
Kapal Negara Kenavigasian dan Fasilitas Pangkalan Kenavigasian,
serta upaya peningkatan anggaran bagi program peningkatan
keselamatan pelayaran.
i. Perlindungan Lingkungan Maritim
Program Peningkatan Perlindungan Lingkungan Maritim dilaksanakan
melalui penyelesaian program Marine Electronic Highway (MEH),
Kerjasama Peningkatan Keselamatan Pelayaran & Perlindungan
Lingkungan Maritim di Selat Malaka dan Selat Singapura, Penataan Alur
dan Tata Ruang Perairan, Penetapan Routeing System untuk
meminimalisir potensi marabahaya pelayaran yang dapat mengakibatkan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
38 Ringkasan Studi (Executive Summary)
pencemaran lingkungan, meningkatkan fungsi pengamatan laut, dengan
memperhatikan perkembangan teknologi.
j. Penguatan Konektifitas Antar Pulau
Program Penguatan Konektifitas Antar Pulau dilaksanakan melalui upaya
pemetaan alur pelayaran antar simpul dan jaringan transportasi laut (antar
pulau) melalui implementasi jaringan SBNP dan Telekomunikasi
Pelayaran yang andal mencakup seluruh alur pelayaran untuk mendukung
program MP3EI.
7. Isu-Isu terkait dengan Penyelenggaraan Alur Pelayaran
Terkait dengan penyediaan alur pelayaran, dalam UU No 17 Tahun 2008
tentang pelayaran disebutkan bahwa tugas dan tanggung jawab Otoritas
Pelabuhan diantaranya adalah menyediakan dan memelihara penahan
gelombang, kolam pelabuhan, alur pelayaran dan jaringan jalan. Selain itu juga
mengusulkan tarif untuk ditetapkan Menteri atas penggunaan perairan dan/atau
daratan, dan fasilitas pelabuhan yang disediakan oleh pemerintah serta jasa
kepelabuhanan yang diselenggarakan oleh Otoritas Pelabuhan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam kondisi tertentu tugas
pemeliharaan dapat dilakukan oleh Badan Usaha. Selain itu Badan Usaha juga
dapat diikutsertakan dalam pembangunan, pengoperasian,dan pemeliharaan
alur pelayaran menuju terminal khusus yang dikelola oleh badan usaha.
Biaya pengenaan alur pelayaran mengalami peningkatan setiap tahunnya,
sementara anggaran pemerintah terbatas. Sementara di dalam UU nomor 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran dan dalam PP No 6 Tahun 2009 tentang Jenis
dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku
pada Kementerian Perhubungan, belum menetapkan pengenaan alur pelayaran
sebagai obyek PNBP.
8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Jasa Kenavigasian
Faktor-faktor yang mempengaruhi jasa kenavigasian adalah sebagai berikut:
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 39
a. Kepadatan lalu lintas angkutan laut di masa datang semakin meningkat;
b. Dibukanya alur-alur baru baik untuk alur kapal penumpang maupun
dibangunnya dermaga baru;
c. Perkembangan jumlah dan teknologi pelayaran yang semakin meningkat;
d. Kebijaksanaan Sea Lanes;
e. Pemberlakuan GMDSS tahun 1999;
f. Peningkatan aksesibilitas penyelenggaraan jasa transportasi laut;
g. Perkembangan lingkungan strategis;
h. Issue Globalisasi (AFTA, NAFTA, dsb.)
9. Rencana Strategik Kenavigasian
a. Rencana Strategis pembangunan sarana dan prasarana kenavigasian
serta penyelenggaraan jasa kenavigasian saat ini didasarkan pada
Rencana Strategis Transportasi Laut yang didasarkan pada Program
Pembangunan Nasional (PROPENAS) dalam UU No.25/2000;
b. Strategi Pokok
1) Mengoptimalkan tingkat kinerja fasilitas kenavigasian;
2) Meningkatkan pelaksanaan peraturan KESPEL;
3) Meningkatkan mutu pelayanan jasa dan produktivitas;
4) Meningkatkan kapasitas fasilitas kenavigasian;
5) Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM;
6) Meningkatan keterpaduan antar unit;
7) Meningkatkan sistem pembinaan dan pemantapan manajemen operasional;
8) Membakukan struktur organisasi SROP dan bengkel;
9) Mengupayakan sumber pendanaan untuk penyelenggaraan kenavigasian.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
40 Ringkasan Studi (Executive Summary)
c. Strategi Fungsional
1) Mengupayakan peningkatan kecukupan dan keandalan SBNP dan
telekomunikasi pelayaran.
2) Mengupayakan teknologi tepat guna sesuai perkembangan teknologi
saat ini.
3) Mengikutsertakan BHI untuk menyelenggarakan SBNP dan
telekomunikasi pelayaran.
4) Mengoptimalkan perawatan fasilitas kenavigasian.
5) Mengoptimalisasikan penggunaan kapal kenavigasian.
6) Meningkatkan jumlah dan kualitas fasilitas pemeliharaan.
7) Melaksanakan pembangunan dan rehabilitasi fasilitas kenavigasian.
8) Melaksanakan pendidikan dan latihan tenaga fungsional kenavigasian.
9) Melaksanakan peninjauan pemangkalan kembali kapal kenavigasian.
10) Kaderisasi pelaut guna mengantisipasi para nakhoda kapal
kenavigasian yang akan datang.
11) Melaksanakan pembinaan dan sosialisasi jasa kenavigasian.
12) Memberlakukan kembali pungutan uang rambu.
d. Strategi di Bidang Sarana Bantu Navigasi Pelayaran
1) Implementasi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kenavigasian
sebagai pedoman operasional;
2) Pungutan uang rambu dipungut berdasarkan PP 14 Tahun 2000
tentang kenavigasian khususnya perambuan;
3) Meningkatkan kecukupan dan keandalan sarana bantu navigasi
pelayaran melalui pembangunan dan pemeliharaan;
4) Mengupayakan penggunaan teknologi tepat guna dengan mengikuti
perkembangan teknologi;
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 41
5) Menyusun skala prioritas lokasi pembangunan sarana bantu navigasi
pelayaran;
6) Melaksanakan SID untuk pembangunan SBNP maupun kantor terpadu
(Kantor, Bengkel, dermaga, taman pelampung, SROP, dll).
e. Strategi Dalam Rangka Pengembangan Sarana Telekomunikasi Pelayaran
1) Pembakuan struktur organisasi stasiun radio pantai;
2) Pembakuan formasi pegawai stasiun radio pantai;
3) Menyempurnakan Keputusan Menteri Nomor KM.43/PT.307/PHB-87
tentang Penerimaan;
4) Penyelenggaraan telekomunikasi untuk Umum Dalam Dinas Bergerak
Pelayaran;
5) Menyusun skala prioritas peningkatan jam kerja stasiun radio pantai;
6) Menyusun skala prioritas penambahan peralatan stasiun radio pantai;
7) Mengupayakan wewenang untuk memberi tindakan hukum terhadap
pelanggaran komunikasi radio dinas bergerak pelayaran;
8) Mengupayakan optimalisasi pelaksanaan tagihan jasa telekomunikasi
pelayaran;
9) Meningkatkan kecukupan dan keandalan sarana telekomunikasi pelayaran;
10) Meningkatkan kecukupan gedung operasional dan sarana penunjang
SROP, terutama SROP GMDSS.
f. Strategi di Bidang Kapal Negara Kenavigasian
1) Melaksanakan peninjauan kembali dislokasi kapal kenavigasian pada
unit pelaksana teknis kenavigasian;
2) Melanjutkan proses penghapusan kapal;
3) Menyusun program penggunaan bahan bakar minyak, minyak
pelumas dan air tawar;
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
42 Ringkasan Studi (Executive Summary)
4) Melaksanakan penilaian teknis terhadap usul penghapusan dan
pengadaan kapal baru lengkap inventarisnya;
5) Melaksanakan pengadaan kapal kenavigasian baru;
6) Melaksanakan program rekondisi kapal;
7) Menyusun program kebutuhan biaya pemeliharaan tahunan/harian kapal.
g. Strategi di Bidang Fasilitas Penunjang (Pangkalan Kenavigasian)
1) Membakukan struktur organisasi fasilitas penunjang pemeliharaan;
2) Meningkatkan kapasitas fasilitas penunjang (bengkel, gedung dan
peralatan);
3) Mengupayakan optimalisasi penggunaan fasilitas penunjang;
4) Meningkatkan fasilitas dermaga kenavigasian, pembangunan gedung
kantor secara terpadu.
h. Strategi di Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia
1) Melaksanakan pendidikan dan latihan untuk meningkatkan
keterampilan sesuai bidangnya;
2) Melaksanakan pengadaan pegawai baru;
3) Meningkatkan kesejahteraan sumber daya manusia;
4) Mutasi pegawai;
5) Dengan adanya perkembangan teknologi, maka untuk menambah
wawasan para pelaut;
6) Direktorat Kenavigasian diikutsertakan berlayar di kapal-kapal swasta;
7) Kaderisasi pelaut guna mengantisipasi para nakhoda kapal
kenavigasian yang akan datang.
10. Pembangunan Sarana Prasarana Kenavigasian
Pembangunan Sarana Prasarana Kenavigasian mempunyai tolok ukur yang
dinamis yang senantiasa mengacu pada pertumbuhan serta perkembangan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 43
yang ada. Oleh karena itu kebutuhan, perencanaan dan program
pengembangan kenavigasian selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai
berikut :
a. Public Demand
Adanya kebutuhan yang diakibatkan oleh pertumbuhan/ perubahan lalu-
lintas pelayaran dan kepelabuhanan.
b. Geografis / Nautis
Kebutuhan fasilitas kenavigasian ditinjau berdasarkan aspek goegrafis,
nautis dan keselamatan pelayaran.
c. Lingkungan Strategis, Politis dan Hankam
Kebutuhan fasilitas kenavigasian untuk mengakomodasi isu-isu dan
perubahan lingkungan strategis yang ada.
d. Perkembangan Teknologi
Perlunya peningkatan fasilitas kenavigasian sesuai dengan perkembangan
teknologi aktual sehingga kompatibel dengan teknologi yang digunakan di
seluruh dunia.
e. Mandatory
Adanya kebutuhan pengembangan/peningkatan fasilitas kenavigasian
dalam rangka memenuhi konvensi, peraturan, ketentuan dan/atau
rekomendasi internasional melalui badan yang kompeten di bidang
pelayaran dan keselamatan pelayaran seperti IMO, IALA dan ITU.
11. Kebijakan Modernisasi Kenavigasian
Kebijakan modernisasi kenavigasian yang akan datang sejalan dengan rencana
dan program Ditjen Perhubungan Laut meliputi :
a. Pengembangan sarana dan prasarana SBNP dan Telekomunikasi Pelayaran
untuk menambah tingkat kecukupan dari ± 54 % menjadi ± 100 % dan
tingkat keandalan dari 82% menjadi 98 %;
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
44 Ringkasan Studi (Executive Summary)
b. Penerapan teknologi dalam sistem monitoring manual pada SBNP dan
Telekomunikasi Pelayaran menjadi berbasis elektronik/digitasi, melalui
RMCS, VTS, AIS, dan GMDSS;
c. Menambah dan meremajakan kapal negara kenavigasian;
d. Peningkatan sumber daya manusia kenavigasian;
e. Menyelenggarakan sistem rute/TSS pada alur laut kepulauan Indonesia
(ALKI) dan alur pelayaran yang padat;
f. Menyelenggarakan sistem monitoring bagi kapal-kapal yang melintas
ALKI dan alur pelayaran yang padat;
g. Menyiapkan zona perairan untuk menjamin keamanan dan keselamatan;
h. Menetapkan kewajiban untuk mengasuransikan kapal-kapal untuk
menghindari kerangka kapal yang tidak disingkirkan.
Untuk itu perlu dilakukan terobosan legalitas dengan di lakukan kerjasama
dengan badan usaha di bidang kenavigasian untuk dapat memberikan kontribusi
yang optimal perkembangan sistim kenavigasian di wilayah perairan Indonesia.
12. Isu-Isu Strategis Terkait Dengan Penyelenggaraan Kenavigasian
Sesuai ketentuan internasional yang telah diratifikasi, Indonesia berkewajiban
membangun, memelihara, dan menyebarkan informasi kenavigasian. Navigasi harus
selalu berada dalam kondisi keandalan tinggi, karena sedikit saja keandalan
berkurang dapat menyebabkan musibah pelayaran. Navigasi harus bersifat
transektoral dalam arti terpasang di seluruh wilayah perairan Indonesia sesuai
pertimbangan keselamatan pelayaran. Yang menjadi masalah pokok adalah
kecukupan dan keandalan SBNP dan telekomunikasi pelayaran masih belum
memadai. Perairan di wilayah Indonesia masih belum sepenuhnya aman bagi
pelayaran. Ini terjadi karena kurangnya perlengkapan navigasi.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 45
13. Benchmarking Kenavigasian Dengan Jepang
Kegiatan kenavigasian di Jepang dapat dijadikan benchmarking kegiatan
kenavigasian di Indonesia sebagai berikut.
a. Jepang memiliki perairan seluas 4.470.000 km2, terdiri dari 430.000 km2
perairan teritorial (0-12) miles dan 4.050.000 km2 Zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE), atau hanya sekitar 77,6% dari total luas perairan Indonesia.
b. Kenavigasian berada di bawah otoritas Japan Coast Guard.
Organisasi ini berada dibawah jurisdiksi Ministry of Land, Infrastructure,
Transportation, and Tourism (MLIT) dan didirikan pada tahun 1948.
c. Dalam menjalankan tugasnya dibidang kenavigasian Japan Coast Guard
mempunyai fungsi antara lain :
1) Mengaturan berlayar dan tanda-tanda isyarat (sinyal-sinyal) navigasi;
2) Survei hidrografi dan observasi oceanographical;
3) Penyiapan dan menyediakan publikasi hidrografi, publikasi dan peta
aeronautical;
4) Memberikan informasi tentang hal-hal penting berkaitan dengan
keselamatan pelayaran.
d. Peraturan dibidang kenavigasian di Jepang ((Law No. 99 of 1949 as
amended through Law No. 89 of 1993)
Tujuan dan Ketentuan Umum (Purpose of This Law and Definition of Term)
1) Article 1.
a) Tujuan UU ini adalah untuk menjamin keamanan lalu lintas
pelayaran dan untuk mengutamakan efisiensi operasi kapal
dengan menjaga/memelihara sarana bantu navigasi dalam
keadaan baik dan beroperasi secara rasional dan efisien.
b) Istilah "sarana bantu navigasi" yang digunakan dalam Undang-undang
ini adalah mercusuar, rambu navigasi (lighted beacon), beacon,
pelampung (buoy), fog signal station, radio direction finding station
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
46 Ringkasan Studi (Executive Summary)
atau fasilitas lain yang memberikan tanda arah bagi kapal-kapal yang
berlayar di pelabuhan, selat dan perairan pantai lain di Jepang dengan
bantuan cahaya, bentuk, warna, suara, gelombang elektrik, dll.
Pembangunan dan Pengelolaan Sarana Bantu Navigasi (Establishment
and Administration of aid to navigation)
2) Article 2.
Pembangunan dan pengelolaan sarana bantu navigasi harus dilakukan
oleh Japan Coast Guard: menetapkan bahwa, atas izin yang diperoleh
dari Komandan Japan Coast Guard sesuai dengan ketentuan
Ordonansi MLIT, setiap orang selain Japan Coast Guard dapat
membangun atau mengelola SBNP atas biaya sendiri untuk digunakan
dalam usahanya atau bisnis.
3) Article 3.
a) Pemilik atau pengelola sarana bantu navigasi medirikan/
membangun dengan ijin yang diperoleh sesuai ketentuan dari
Pasal sebelumnya, wajib melakukan upaya-upaya agar fungsi
bantuan tidak terhambat oleh bermasalah.
b) Ketika sarana bantu navigasi yang didirikan oleh orang lain selain
Japan Coast Guard tidak berfungsi karena disebabkan oleh
pemilik atau pengelola atau penyebab lainnya yang sering terlihat,
dan keselamatan lalu lintas pelayaran terhambat, maka Komandan
Japan Coast Guard dapat memerintahkan pemilik atau pengelola
untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk menghilangkan
hambatan tersebut.
4) Article 4.
a) Selain kasus yang disebutkan dalam ayat 2 pasal sebelumnya,
Komandan Penjaga Pantai Jepang mungkin, bila dipandang perlu
untuk keselamatan lalu lintas pengiriman, memesan pemilik atau
administrator bantuan untuk navigasi didirikan oleh orang lain
dari Jepang Coast Guard untuk memperbaiki atau menghapus
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 47
bantuan tersebut atau mengalihkan ke tempat lain atau untuk
mengambil langkah-langkah lain yang diperlukan.
b) Komandan Japan Coast Guard, bila dianggap sangat perlu untuk
keselamatan lalu lintas pelayaran, dapat secara langsung
mengelola atau mengambil alih pembangunan SBNP yang
dilakukan oleh orang lain selain Japan Coast Guard, sesuai
dengan ketentuan Ordonansi MLIT.
E. ANALISIS FINANSIAL KEGIATAN KENAVIGASIAN
Secara umum, apabila dilihat dari tingkat kenaikan anggaran pertahunnya dalam
pembangunan dan pengadaan peralatan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran, belum
signifikan dengan tingkat kebutuhan dan jangkauan luas wilayah perairan Indonesia.
Oleh karena itu, sumber pendanaan dibidang kenavigasian dalam mendukung
keselamatan pelayaran, selain mengandalkan dana dari APBN juga telah dilakukan
penggalian dari sumber-sumber lainnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Skema pembiayaan program-program strategis Direktorat
Kenavigasian, Ditjen Perhubungan Laut pada umumnya terdiri atas pembiayaan
berasal dari rupiah murni (APBN), pinjaman hibah luar negeri (PHLN) dan Public
Private Partnership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), untuk
mewujudkan tingkat kecukupan dan keandalan di bidang kenavigasian.
Proses dan mekanisme pembiayaan pembangunan dan pengadaan Sarana Bantu
Navigasi Pelayaran yang telah dilakukan, khususnya untuk pembiayaan yang
berasal dari Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) dan Kerjasama Pemerintah
Swasta (KPS), dengan ketentuan dan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN)
Menurut sumber buku Penatausahaan dan Pengelolaan Hibah Luar Negeri,
Direktorat Pendanaan Luar Negeri Multilateral, Bappenas Jakarta, 2003,
pengertian Pinjaman Luar negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam
bentuk devisa dan atau devisa yang dirupiahkan, maupun dalam bentuk barang
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
48 Ringkasan Studi (Executive Summary)
dan atau dalam bentuk jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri
yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan Hibah Luar Negeri adalah setiap
penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan atau devisa yang dirupiahkan
maupun dalam bentuk barang dan atau dalam bentuk jasa termasuk tenaga ahli
dan pelatihan yang diperoleh dari pemberi hibah luar negeri yang tidak perlu
dibayar kembali.
Adapun jenis dari Pinjaman hibah Luar Negeri (PHLN) dapat dilihat pada
grafik berikut :
Gambar 7: Jenis Pinjaman hibah Luar Negeri (PHLN)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 49
Gambar 8 : Mekanisme Pembiayaan Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN)
2. Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)
Sesuai dengan amanat undang-undang, bahwa dalam mewujudkan
pembangunan kenavigasian terdiri atas tiga pilar : (1) Pemerintah (regulator),
(2) Stakeholders (pengguna jasa, pihak ketiga), dan (3) Peran serta
masyarakat, untuk dapat bersinergi mewujudkan pembangunan kenavigasian di
wilayah perairan Indonesia dalam mewujudkan keselamatan pelayaran.
Oleh karena itu, Kerjasama Pemerintah Swasta merupakan suatu perjanjian
kontrak antara pemerintah, baik pusat ataupun daerah dengan mitra swasta.
Melalui perjanjian ini, keahlian dan aset dari kedua belah pihak (pemerintah
dan swasta) dikerjasamakan dalam menyediakan pelayanan kepada
masyarakat. Dalam melakukan kerjasama ini resiko dan manfaat potensial
dalam menyediakan pelayanan ataupun fasilitas dipilah/dibagi kepada
pemerintah dan swasta.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
50 Ringkasan Studi (Executive Summary)
3. Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)
Sesuai dengan amanat undang-undang, bahwa dalam mewujudkan
pembangunan kenavigasian terdiri atas tiga pilar : (1) Pemerintah (regulator),
(2) Stakeholders (pengguna jasa, pihak ketiga), dan (3) Peran serta
masyarakat, untuk dapat bersinergi mewujudkan pembangunan kenavigasian di
wilayah perairan Indonesia dalam mewujudkan keselamatan pelayaran.
Oleh karena itu, Kerjasama Pemerintah Swasta merupakan suatu perjanjian
kontrak antara pemerintah, baik pusat ataupun daerah dengan mitra swasta.
Melalui perjanjian ini, keahlian dan aset dari kedua belah pihak (pemerintah
dan swasta) dikerjasamakan dalam menyediakan pelayanan kepada
masyarakat. Dalam melakukan kerjasama ini resiko dan manfaat potensial
dalam menyediakan pelayanan ataupun fasilitas dipilah/dibagi kepada
pemerintah dan swasta.
Kerjasama Pemerintah dengan Swasta (KPS-PPP Public-Private Partnerships)
adalah Suatu Perjanjian Kerja Sama antara instansi pemerintah dengan badan
usaha/pihak swasta dengan KPS/PPP dengan perjanjian antara lain sebagai
berikut :
a. Pihak swasta melaksanakan sebagian fungsi pemerintah selama waktu
tertentu;
b. Pihak swasta menerima kompensasi atas pelaksanaan fungsi tersebut, baik
secara langsung maupun tidak langsung;
c. pihak swasta bertanggungjawab atas resiko yang timbul akibat
pelaksanaan fungsi tersebut, dan fasilitas pemerintah, lahan atau aset
lainnya dapat diserahkan atau digunakan oleh pihak swasta selama masa
kontrak;
Sedangkan tujuan KPS/ PPP meliputi :
a. Untuk memperoleh dana investasi tambahan.
b. Untuk mengadakan jasa pelayanan umum yang belum tersedia.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 51
c. Untuk memperoleh teknologi baru dan yang sudah terbukti
keunggulannya.
d. Untuk memperbaiki tingkat efisiensi.
e. Untuk meningkatkan kompetisi.
f. Untuk meningkatkan transparansi proses pengadaan.
g. Untuk menciptakan kesempatan kerja.
h. Transparansi dan kompetisi melalui KPS/PPP
i. Jaminan “harga pasar”, tol, retribusi, dsb yang terendah.
j. Memperbaiki kemungkinan diterimanya proyek tersebut oleh masyarakat
umum.
k. Meningkatkan kesediaan lembaga keuangan untuk menyediakan
pembiayaan, sedapat mungkin tanpa jaminan pemerintah.
l. Menurunkan biaya pendanaan.
m. Mengurangi resiko kegagalan proyek.
n. Meningkatkan kemudahan memperoleh perijinan untuk proyek.
o. Membantu untuk menarik pihak swasta yang lebih berkualitas dan
berpengalaman.
p. Meningkatkan investasi dalam proyek infrastruktur dan menciptakan
pertumbuhan ekonomi.
Dasar Dasar Hukum Pelaksanaan PPP adalah PERPRES (peraturan presiden)
No. 67 tahun 2005 dan diatur melalui peraturan pemerintah atau undang-
undang komersial biasa.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
52 Ringkasan Studi (Executive Summary)
Gambar 9: Mekanisme Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)/ Public Private
Partnership (PPP)
Gambar 10: Diagram Fungsi Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)/Public Private Partnership (PPP)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 53
Berdasarkan jenis dan pola pembiayaan sebagaimana dijelaskan di atas, maka
dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan kenavigasian diharapkan dapat
melaksanakan program dan target, serta sasaran strategis pembangunan
kenavigasian, khususnya wilayah-wilayah terpencil yang merupakan wilayah
perbatasan dengan negara-negara tetangga.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka bentuk pola kerjasama yang cocok di
Indonesia Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) dan Kerjasama Pemerintah
Swasta (KPS).
Pembangunan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran selain sebagai fasilitas
keselamatan pelayaran juga berfungsi sebagai perwujudan tanda batas
kedaulatan NKRI.
F. ANALISIS KONDISI KENAVIGASIAN
Berdasarkan pengamatan kondisi kenavigasian di beberapa daerah survey,
menunjukkan bahwa kegiatan kenavigasian berjalan sesuai dengan sistem dan
prosedur pelaksanaan kenavigasian. Namun demikian, kegiatan kenavigasian dalam
mewujudkan keselamatan pelayaran dengan komponen SBNP, Stasiun Radio
Pantai GMDSS, Stasiun VTMS (Vessel Traffic Management Services) dan VTIS
(Vessel Traffic Identification System), SDM ABK kapal negara/PMS/TMS/
Surveyor, masih perlu perbaikan, pembinaan dan pengembangan secara
menyeluruh dengan program dan rencana strategis yang tajam dan terukur.
Identifikasi kegiatan kenavigasian dengan segala permasalahan yang ada, dapat
dianalisa sebagai berikut :
Tabel 6 : Analisa Kegiatan Kenavigasian di Indonesia
NO KEGIATAN ANALISA
1. SBNP : � Pelaksanaan program SBNP di seluruh wilayah perairan
Indonesia dalam mewujudkan keselamatan pelayaran,
masih perlu dilakukan perbaikan-perbaikan secara bertahap.
� Peningkatan kualitas tingkat kecukupan dan keandalan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
54 Ringkasan Studi (Executive Summary)
NO KEGIATAN ANALISA
SBNP sesuai dengan standar IALA, dari tahun ketahun
sudah dimulai pembangunan modernisasi peralatan,
khususnya pada jalur ALKI dan jalur pelayaran
Internasional.
� Permasalahan pembiayaan yang selama ini dianggap
sebagai salah satu faktor penentu kebijakan pembangunan
sarana prasarana SBNP, secara bertahap harus dihilangkan
dari stigma berfikir dengan melakukan terobosan -
terobosan pembiayaan diluar APBN, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
� Pola pengembangan dan penyelenggaraan kenavigasian
harus dilakukan langkah-langkah perubahan melalui renstra
yang terukur dan jelas, sehingga tidak menimbulkan multi
tafsir.
� Pengadaan dan pembangunan pelampung suar, rambu suar,
harus diprogramkan dengan masa ekonomis minimal 5
tahun dengan bahan yang baik dan tingkat kerusakan yang
minimal, sehingga tidak perlu memerlukan pemeliharaan
setiap tahunnya.
2. Kapal Negara
Kenavigasian :
� Kondisi kapal
induk perambuan
� Kondisi kapal induk perambuan dan kapal-kapal jenis
lainnya, yang dioperasionalisasikan oleh UPT Disnav Kelas
I di daerah, banyak yang sudah berusia diatas 30 tahun
sehingga tingkat kelaikan masih perlu dipertanyakan.
� Dengan kondisi kapal yang demikian akan menimbulkan
biaya tinggi dalam hal perawatan/pemeliharaan setiap
tahunnya, sehingga perlu dilakukan penyekrapan kapal-
kapal yang sudah berusia tua.
� Banyaknya tingkat pencurian SBNP di wilayah perairan
Indonesia, merupakan wujud kurangnya intensitas
� Kapal Bantu
Perambuan
� Kapal Inspeksi
� Kapal Survey
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 55
NO KEGIATAN ANALISA
sosialisasi Pemerintah kepada masyarakat dan kerjasama
dengan pemerintah daerah akan pentingnya keselamatan
pelayaran.
� Kurangnya intensitas kapal patroli kenavigasian,
menunjukkan perencanaan manajemen belum tertata dan
terskedul dengan baik, dan hanya mengandalkan laporan
dari pihak pelabuhan, dalam mengawasi kondisi SBNP di
peraian.
� Pentingnya kapal survey di daerah untuk melakukan
penentuan titik posisi dan penandaan pembangunan SBNP,
Ramsu, Pelsu, serta penandaan hal-hal yang dianggap
membahayakan pelayaran, maka perlu dilakukan langkah-
langkah pengadaan kapal survey dengan segala
kelengkapan yang modern, sebagaimana yang dimiliki oleh
lembaga dan direktorat diluar perhubungan laut.
3. Telkompel � Dengan perkembangan teknologi komunikasi pelayaran,
sangat jauh sekali perbedaan kondisi peralatan telkompel
yang dimiliki direktorat kenavigasian saat ini, walaupun di
beberapa daerah tertentu sudah dilakukan modernisasi
peralatan dalam pemantauan lalulintas kapal.
� Kecepatan deteksi dan akurasi data, melalui peralatan
modernisasi telkompel, akan menimbulkan dampak positif
terhadap keselamatan pelayaran.
� Perhitungan ratio jangkauan wilayah dengan pembangunan
SROP diwilayah perairan Indonesia harus dipetakan
dengan jelas, sesuai dengan intensitas lalulintas kapal.
4. Sumber Daya
Manusia
Kenavigasian
� Pembinaan dan pengembangan kualitas SDM sangat
menentukan arah pengembangan dan penyelenggaraan
kenavigasian ke depan, sehingga dengan pola dan arah
persepsi SDM saat ini harus diarahkan dengan berbasis
kompetensi melalui diklat secara bertahap.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
56 Ringkasan Studi (Executive Summary)
NO KEGIATAN ANALISA
� Perekrutan dan penempatan SDM disesuaikan dengan
tingkat kebutuhan dan keahlian, melalui seleksi yang
akuntabel.
3. Fasilitas Penunjang
Lainnya
� Dalam hal penunjang fasilitas lainnya meliputi : (rumah
dinas jaga SROP, Mensu) dibeberapa daerah kondisinya
sangat memprihatinkan, sehingga perlu diupayakan
perbaikan-perbaikan fasilitas, agar TMS/PMS menjadi
lebih bertanggungjawab atas tugas-tugas negara yang
diberikan.
� Kurangnya tingkat kenyamanan fasilitas penunjang, akan
menimbulkan para TMS/TMS meningggalkan tugas dan
tanggungjawab terhadap keselamatan pelayaran.
� Minimnya tunjangan pengamanan dan penyelamatan
pelayaran bagi pegawai negeri sipil yang ditugaskan pada
instalasi keamanan dan keselamatan pelayaran yang
termaktub dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 28 tahun 1985, menunjukkan ketidakpekaan
pemerintah untuk peningkatan kelayakan hidup TMS/PMS.
G. PEMETAAN PENYELENGGARA KEGIATAN KENAVIGASIAN
Penyelenggaraan kegiatan kenavigasian merupakan proses, cara, dalam
menyelenggarakan dan pelaksanaan kenavigasian sesuai dengan ruang lingkup
tugas pokok dan fungsi kenavigasian.
Oleh karena itu, kenavigasian berdasarkan KM. No.60 tahun 2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan, Direktorat Kenavigasian
mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, standard, norma,
pedoman, kriteria dan prosedur, serta bimbingan teknis, evaluasi dan pelaporan di
bidang perambuan, telekomunikasi pelayaran, kapal Negara, pangkalan
kenavigasian serta sarana dan prasarana kenavigasian.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 57
Dengan luas wilayah perairan Indonesia yang terbagi dalam 3 (tiga) ALKI
merupakan tantangan bagi direktorat kenavigasian untuk dapat mendukung
terciptanya keselamatan pelayaran. Selain itu, dalam perkembangan wilayah dan
pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, akan menumbuhkan daerah-daerah
baru di wilayah-wilayah terpencil seiring dengan pertumbuhan ekonomi wilayah.
H. POLA PENYELENGGARAAN KENAVIGASIAN DI INDONESIA
Aspek legalitas penyelenggaraan kegiatan kenavigasian saat ini untuk menjawab
kegiatan mana yang bisa dilakukan kerjasama antara Pemerintah dan Swasta.
1. SBNP :
Dalam pasal 172 ayat 4 UU 17/2008 disebutkan bahwa “Dalam keadaan
tertentu, pengadaan SBNP sebagai bagian dari penyelenggaraan dapat
dilaksanakan oleh badan usaha”.
2. Telekomunikasi Pelayaran
UU 17/2008 Pasal 178 ayat 3, bahwa pengadaan telekomunikasi pelayaran
sebagai bagian dari penyelenggaraan dapat dilaksanakan oleh badan usaha.
Pasal 178 Ayat 4 UU 17/2008 : Telekomunikasi pelayaran yang diadakan oleh
badan usaha diawasi oleh Pemerintah.
3. Hidrografi dan Meteorologi
UU 17/2008 pasal 186:
Pemerintah wajib memberikan pelayanan meteorologi meliputi antara lain:
a. pemberian informasi mengenai keadaan cuaca dan laut serta prakiraannya;
b. kalibrasi dan sertifikasi perlengkapan pengamatan cuaca di kapal; dan
c. bimbingan teknis pengamatan cuaca di laut kepada Awak Kapal tertentu
untuk menunjang masukan data meteorologi.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
58 Ringkasan Studi (Executive Summary)
4. Alur dan Perlintasan
UU 17/2008 Pasal 188
a. Penyelenggaraan alur-pelayaran dilaksanakan oleh Pemerintah.
b. Badan usaha dapat diikutsertakan dalam sebagian penyelenggaraan alur-
pelayaran.
c. Untuk penyelenggaraan alur-pelayaran Pemerintah wajib:
1) menetapkan alur-pelayaran;
2) menetapkan sistem rute;
3) menetapkan tata cara berlalu lintas; dan
4) menetapkan daerah labuh kapal sesuai dengan kepentingannya.
PP 5/2010 Pasal 6:
a. Penyelenggaraan alur-pelayaran dilaksanakan oleh Pemerintah.
b. Penyelenggaraan alur-pelayaran meliputi perencanaan, pembangunan,
pengoperasian, pemeliharaan, dan pengawasan.
c. Badan usaha dapat diikutsertakan dalam pembangunan, pengoperasian,
dan Pemeliharaan alur-pelayaran yang menuju ke terminal khusus yang
dikelola oleh badan usaha.
Pasal 5 Peraturan Menteri Perhubungan PM 68 Tahun 2011 Tentang Alur
Pelayaran di Laut disebutkan bahwa penyelenggaraan alur pelayaran laut
dilaksanakan oleh Pemerintah, yang meliputi perencanaan, pembangunan,
pengoperasian, pemeliharaan dan pengawasan.
Pasal 17 ayat 2 kegiatan pengawasan dilakukan oleh Disnav setempat.
Pasal 18 : Badan Usaha dapat diikutsertakan dalam pembangunan, pengoperasian,
pemeliharaan alur pelayaran di laut yang menuju terminal khusus yang dikelola oleh
Badan Usaha.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 59
Permenhub Nomor 68 Tahun 2011 tentang Alur Pelayaran di Laut, khususnya
dalam BAB III Penyelenggaraan Alur Pelayaran di Laut, telah secara jelas
tertuang standar operasi dan prosedur yang meliputi : perencanaan,
pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan dan pengawasan.
5. Pengerukan dan Reklamasi
UU 17/2008 Pasal 197 ayat 2: Pekerjaan pengerukan alur-pelayaran dan kolam
pelabuhan serta reklamasi dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai
kemampuan dan kompetensi dan dibuktikan dengan sertifikat yang diterbitkan
oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Permenhub Nomor 52 Tahun 2011 tentang Pengerukan dan Reklamasi,
khususnya dalam BAB II Pengerukan, telah secara jelas tertuang standar
operasi dan prosedur yang meliputi : perencanaan, pembangunan,
pengoperasian, pemeliharaan dan pengawasan
6. Pemanduan
Pasal 198 :
(3) Penyelenggaraan pemanduan dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan atau Unit
Penyelenggara Pelabuhan dan dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha
Pelabuhan yang memenuhi persyaratan.
(4) Penyelenggaraan pemanduan dipungut biaya.
(5) Dalam hal Pemerintah belum menyediakan jasa pandu di perairan wajib
pandu dan perairan pandu luar biasa, pengelolaan dan pengoperasian
pemanduan dapat dilimpahkan kepada pengelola terminal khusus yang
memenuhi persyaratan dan memperoleh izin dari Pemerintah.
Permenhub Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pemanduan, khususnya dalam BAB
V Penyelenggaraan Pemanduan, telah secara jelas tertuang standar operasi dan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
60 Ringkasan Studi (Executive Summary)
prosedur yang meliputi : perencanaan, pengadaan, pengoperasian, pemeliharaan dan
pengawasan.
7. Penanganan Kerangka Kapal
UU 17/2008 Pasal 203 ayat 2 :
Pemerintah wajib mengangkat, menyingkirkan, atau menghancurkan seluruh
atau sebagian dari kerangka kapal dan/atau muatannya atas biaya pemilik
apabila dalam batas waktu yang ditetapkan Pemerintah, pemilik tidak
melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
8. Salvage dan Pekerjaan Bawah Air
UU 17 Tahun 2008 pasal 204 ayat 2 :
Setiap kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air harus memperoleh izin dan
memenuhi persyaratan teknis keselamatan dan keamanan pelayaran dari
Menteri.
Tabel berikut menunjukkan jenis kegiatan kenavigasian yang dapat dilakukan kerjasama
antara Pemerintah dan swasta berdasarkan regulasi dan kondisi riil saat ini.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 61
Tabel 7 Analisis Kegiatan Penyelenggaraan Kenavigasian
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
A SBNP
1 Pengadaan,
pengoperasian, dan
pemeliharaan SBNP
pada alur-pelayaran dan
perairan pelabuhan
umum, yang meliputi:
- Menara Suar
- Rambu Suar
- Pelampung Suar
- Tanda Siang
- Global Positioning
System (GPS)
- Differential Global
- UU 17/2008 pasal
172 ayat 4 s.d 6;
- PP 5/2010 pasal
30 ayat 2 dan 3;
- PM 25/2011
pasal 18 s.d 35;
- PM 25/2011
pasal 21 ayat 1
s.d 5;
- Sumber dana
APBN terbatas.
Direktur
Jenderal
sebagai wakil
Pemerintah/
Menteri
Ditjen Perhubungan
Laut cq. Disnav
APBN - Masalah Pengadaan adalah
kurangnya sosialisasi pemasangan
SBNP ke pihak ketiga dan
masyarakat, pengadaan tanah dan
kurangnya data pendukung
- Pengoperasian SBNP terkendala
oleh adanya tindak pencurian SBNP
dan tabrak lari, rendahnya informasi
dan sosialiasi yang diterima
masyarakat tentang pentingnya
sarana prasarana SBNP serta
kecepatan deteksi dan respon
terhadap kelaikan SBNP maupun
antisipasi terhadap kehilangan
peralatan SBNP masih sangat
2 Dapat di
KPS-kan,
karena
terkendala
oleh dana
dan harus
segera
mencapai
tingkat
kecukupan
sesuai
dengan
standar IALA.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
62 Ringkasan Studi (Executive Summary)
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
Position System
(DGPS)
- Radar Beacon
- Radio Beacon
- Radar Survaillance
- medium wave radio
beacon
- Sistem identifikasi
otomatis (Automatic
IdentificationSyste
m)
- SBNP Elektronik
rendah. Selain itu, tingkat kecukupan
SBNP (Sarana Bantu Navigasi
Pelayaran) masih rendah dan
distribusi SDM petugas SBNP
transportasi laut tidak merata,
khususnya di wilayah terpencil, pulau-
pulau kecil dan perbatasan negara
- Dalam hal pemeliharaan, masih
terkendala oleh terbatasnya
fasilitas perawatan.
- - Dalam hal pengusahaan SBNP
juga masih terkendala oleh
kurangnya ketersediaan dana.
2 Pengadaan, - UU 17/2008 pasal Badan Usah Pengadaan & APBN dan - Beberapa SBNP Non DJPL yang 3 Swasta, tetapi
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 63
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
pengoperasian, dan
pemeliharaan SBNP
untuk penandaan alur-
pelayaran menuju
terminal khusus, yang
meliputi:
- Menara Suar
- Rambu Suar
- Pelampung Suar
- Tanda Siang
- Global Positioning
System (GPS)
- Differential Global
Position System
(DGPS)
- Radar Beacon
172 ayat 4 s.d 6;
- PP 5/2010 pasal
30 ayat 2 s.d 4;
- PM 25/2011
pasal 18 s.d 35;
- PM 25/2011
pasal 21 ayat 2
s.d 3;
- Sumber dana
APBN terbatas.
Pengoperasian
dilakukan oleh
Badan usaha
setelah mendapat
izin dari Direktur
Jenderal
Perhubungan Laut
Pemeliharaan:
Tidak semua badan
usaha melakukan
Perawatan/Pemelih
araan SBNP pada
alur-pelayaran
menuju terminal
khusus
Swasta telah dibangun oleh Badan Hukum
Indonesia (BHI) kurang optimal
dalam melaksanakan pemeliharaan
serta belum membuat laporan
kegiatan penyelenggaraan SBNP.
- Pengusahaan SBNP merupakan
pengusahaan yang kurang
menguntungkan untuk dilaksanakan
oleh pihak swasta
- Belum diterbitkan Standar Prosedur
Perijinan pemasangan SBNP oleh
Pihak Ketiga.
saat ini masih
dapat diKPS-
kan karena
dinilai kurang
menguntungk
an pihak
swasta.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
64 Ringkasan Studi (Executive Summary)
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
- Radio Beacon
- Radar Survaillance
- medium wave radio
beacon
- Sistem identifikasi
otomatis (Automatic
IdentificationSyste
m)
- SBNP Elektronik
3 Biaya Pengadaan,
pengoperasian, dan
pemeliharaan kapal
negara kenavigasian
- PP 5/2010 pasal
30 ayat 1;
- PM 25/2011
pasal 48;
- Sumber dana
APBN terbatas.
Direktur
Jenderal
Ditjen Perhubungan
Laut cq. Disnav
APBN Pengusahaan Kapal Negara Kenavigasian
merupakan pengusahaan yang tidak dapat
dilaksanakan oleh pihak swasta sehingga
harus menjadi anggungjawab pemerintah
Fasilitas untuk pemeliharaan dan perawatan
Kapal Negara Kenavigasian kurang
Permasalahan yang paling penting
1 Tidak dapat
diKPS-kan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 65
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
dalam pengoperasian Kapal Negara
Kenavigasian adalah kurangnya jumlah
kapal negara Kenavigasian, karena
pengadaannya juga masih terkendala
oleh dana.
B Telekomunikasi
Pelayaran
1 Pengadaan,
pengoperasian, dan
pemeliharaan Stasiun
Radio Pantai yang
ditempatkan di alur-
pelayaran dan pada
perairan pelabuhan
umum
- UU 17/2008 pasal
178;
- PP 5/2010 pasal
58 dan pasal 60
ayat 1;
- PM 26/2011
pasal 22 s.d 32;
- PM 26/2011
pasal 25 ayat 1;
- Sumber dana
Pemerintah Ditjen Perhubungan
laut Cq Disnav
APBN Nilai kecukupan SROP masih rendah
Pengadaan SROP masih terkendala oleh
kurangnya dana yang tersedia, regulasi
yang kurang mendukung, serta kurangnya
kegiatan sosialisasi pengadaan
telekomunikasi pelayaran ke pihak ketiga
dan masyarakat, dan pengadaan tanah
untuk lokasi SROP.
Belum dipenuhinya jumlah Stasiun Radio
Pantai GMDSS (Global Maritime Distress
1 Tidak dapat di
KPS-kan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
66 Ringkasan Studi (Executive Summary)
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
APBN terbatas. and Safety System) sesuai standar IMO
dalam GMDSS Handbook
Tidak dilaksanakannya pemberitahuan ke
SROP oleh kapal-kapal yang keluar masuk
pelabuhan.
2 Pengadaan,
pengoperasian, dan
pemeliharaan Stasiun
Radio Pantai yang
ditempatkan untuk
kepentingan kegiatan
kapal pada terminal
khusus
- UU 17/2008 pasal
178;
- PP 5/2010 pasal
58 dan pasal 60
ayat 2;
- PM 26/2011
pasal 22 s.d 32;
- PM 26/2011
pasal 25 ayat 2 &
3;
- Sumber dana
APBN terbatas.
Badan Usaha
dengan izin
menteri/
Direktur
Jenderal
Ditjen Perhubungan
laut Cq Disnav
APBN Pengusahaan SROP merupakan
pengusahaan yang kurang
menguntungkan untuk dilaksanakan
oleh pihak swasta.
3 Swasta
murni, tetapi
saat ini masih
dibiayai
Pemerintah.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 67
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
3 Pengadaan,
pengoperasian, dan
pemeliharaan Vessel
Traffic Services (VTS)
di alur-pelayaran dan
pada perairan
pelabuhan umum
- UU 17/2008 pasal
178;
- PP 5/2010 pasal
58 dan pasal 60
ayat 1;
- PM 26/2011
pasal 22 s.d 32;
- PM 26/2011
pasal 25 ayat 1;
- Sumber dana
APBN terbatas.
Pemerintah Ditjen Perhubungan
laut Cq Disnav
APBN Fasilitas perawatan/pemeliharaan
Telkompel masih kurang.
Pengadaan VTS masih terkendala oleh
kurangnya dana yang tersedia.
1 Tidak Dapat
diKPS-kan
4 Pengadaan,
pengoperasian, dan
pemeliharaan Vessel
Traffic Services (VTS)
untuk kepentingan
kegiatan kapal pada
- UU 17/2008 pasal
178;
- PP 5/2010 pasal
58 dan pasal 60
ayat 2;
Badan Usaha
dengan izin
menteri/
Direktur
Jenderal
Ditjen Perhubungan
laut Cq Disnav
APBN Pengusahaan VTS merupakan
pengusahaan yang kurang
menguntungkan untuk dilaksanakan
oleh pihak swasta.
Kurangnya kegiatan sosialisasi
3 Swasta
murni, tetapi
saat ini masih
dibiayai
Pemerintah
Murni
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
68 Ringkasan Studi (Executive Summary)
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
terminal khusus - PM 26/2011
pasal 22 s.d 32;
pengadaan VTS ke pihak ketiga dan
masyarakat.
- PM 26/2011
pasal 25 ayat 2 &
3;
- Sumber dana
APBN terbatas
Belum adanya standardisasi sistem
pemeliharaan dan perawatan peralatan
Telkompel.
C Hidrografi dan
Meteorologi
APBN
1 Pemberian informasi
mengenai keadaan
cuaca dan laut serta
prakiraannya
- UU 17/2008 pasal
186;
- PP 5/2010 pasal
85 ayat 1 a;
- Sumber dana
APBN terbatas.
Pemerintah Ditjen Perhubungan
laut Cq Disnav
Untuk pengadaan masih terkedala oleh
masalah dana.
Masalah dalam hal pengoperasian
adalah teknologi yang digunakan
kurang, SDM yang menangani
peralatan hidrografi dan meteorologi
kurang serta kurangnya dana untuk
perawatan.
1 Tidak Dapat
di KPS-kan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 69
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
Belum adanya standardisasi sistem
pemeliharaan dan perawatan peralatan
hidrografi meteorologi
Fasilitas untuk perawatan/pemeliharaan
peralatan hidrografi meteorologi masih
kurang.
Masih mengandalkan bantuan BMKG
Dalam hal pengusahaan adalah
masalah Ketersediaan Dana
Pengusahaan penyediaan informasi
hidrografi dan meteorologi merupakan
pengusahaan yang tidak dapat
dilaksanakan oleh pihak swasta
sehingga harus menjadi tanggungjawab
pemerintah.
2 Kalibrasi dan sertifikasi
perlengkapan
- UU 17/2008 pasal
186;
Pemerintah Ditjen Perhubungan
laut Cq Disnav
1 Tidak Dapat
diKPS-kan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
70 Ringkasan Studi (Executive Summary)
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
pengamatan cuaca di
kapal - PP 5/2010 pasal
85 ayat 1 b;
- Sumber dana
APBN terbatas.
D Alur Perlintasan
1 Pembangunan,
pengoperasian dan
pemeliharaan alur-
pelayaran umum dan
perlintasan
- UU 17/2008 pasal
188;
- PP 5/2010 pasal
6 ayat 1;
- PP 5/2010 pasal
7 ayat 2;
- PP 5/2010 pasal
46 ayat 2
- PM 68/2011
pasal 4 s.d 18;
- Sumber dana
Pemerintah
(Pusat,
provinsi atau
pemkab/
pemkot)
Badan Usaha
Pelabuhan
APBN Masalah dalam hal pengadaan alur
pelayaran adalah kurangnya kegiatan
sosialisasi pengadaan alur pelayaran
ke pihak ketiga dan masyarakat
Dalam hal pemeliharaan adalah
kurangnya dana dan fasilitas untuk
pemeliharaan dan perawatan alur
pelayaran masih kurang.
1 Pemerintah
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 71
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
APBN terbatas.
2 Pembangunan,
pengoperasian dan
pemeliharaan alur-
pelayaran masuk
pelabuhan
- UU 17/2008 pasal
188;
- PP 5/2010 pasal
6 ayat 1;
- PP 5/2010 pasal
7 ayat 2;
- PP 5/2010 pasal
46 ayat 2;
- PM 68/2011
pasal 4 s.d 18;
Pemerintah
(Pusat,
provinsi atau
pemkab/
pemkot)
Badan Usaha
Pelabuhan
APBN Masalah dalam hal pengadaan alur
pelayaran adalah kurangnya kegiatan
sosialisasi pengadaan alur pelayaran
ke pihak ketiga dan masyarakat
Dalam hal pemeliharaan adalah
kurangnya dana dan fasilitas untuk
pemeliharaan dan perawatan alur
pelayaran masih kurang.
1 Pemerintah
Badan Usaha
hanya untuk
alur
pelayaran
menuju
terminal
khusus
- PM 68 Tahun
2011 pasal 18;
- Sumber dana
APBN terbatas.
3 Pembangunan, - UU 17/2008 pasal Pemerintah Badan Usaha APBN dan Belum adanya standardisasi sistem 1 Belum Dapat
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
72 Ringkasan Studi (Executive Summary)
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
pengoperasian dan
pemeliharaan alur-
pelayaran sungai
188;
- PP 5/2010 pasal
6 ayat 1;
- PP 5/2010 pasal
7 ayat 3;
- PM 68/2011
pasal 4 s.d 18;
- Sumber dana
APBN terbatas.
(Pusat, provinsi
atau
pemkab/pemk
ot)
Pelabuhan APBD pemeliharaan dan perawatan alur
pelayaran.
di-KPS-kan
4 Pembangunan,
pengoperasian dan
pemeliharaan alur-
pelayaran danau
- UU 17/2008 pasal
188;
- PP 5/2010 pasal
6 ayat 1;
- PP 5/2010 pasal
7 ayat 3;
- PM 68/2011
Pemerintah
(Pusat,
provinsi atau
pemkab/pemk
ot)
Badan Usaha
Pelabuhan
APBN dan
APBD
Belum adanya standardisasi sistem
pemeliharaan dan perawatan alur
pelayaran.
1 Belum Dapat
di-KPS-kan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 73
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
pasal 4 s.d 18;
- Sumber dana
APBN terbatas.
E Penanganan
Kerangka Kapal
1 Penanganan kerangka
kapal di DLKR
pelabuhan umum
- UU 17/2008
Pasal 203 dan
204;
- PP 5/2010 pasal
122;
- Sumber dana
APBN terbatas.
- Pemilik
kapal
- Menteri
(jika tidak
diketahui
siapa
pemiliknya)
Ditjen Perhubungan
laut Cq Syahbandar
APBN Kewenangan dan tupoksi yg masih
tumpang tindih dalam hal pengadaan
peralatan untuk mengangkat kerangka
kapal.
Pengusahaan penanganan kerangka
kapal dan salvage merupakan
pengusahaan yang kurang
menguntungkan sehingga tidak
menarik pihak swasta
Kendala dalam penanganan kerangka
kapal diantaranya adalah kurangnya
1 Tidak bisa
diKPS-kan,
karena
merupakan
tanggung
jawab pemilik
kapal
2 Penanganan kerangka
kapal di DLKR terminal
- UU 17/2008
Pasal 203 dan
- Pemilik
kapal
Ditjen Perhubungan
laut Cq Syahbandar
1 Tidak bisa
diKPS-kan,
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
74 Ringkasan Studi (Executive Summary)
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
khusus 204;
- PP 5/2010 pasal
122;
- Sumber dana
APBN terbatas.
- Menteri
(jika tidak
diketahui
siapa
pemiliknya)
peralatan dan teknologi yang
digunakan kurang
karena
merupakan
tanggung
jawab pemilik
kapal
F Salvage dan
Pekerjaan bawah air
untuk kepentingan
keselamatan
pelayaran kapal
1 Pelaksanaan salvage
dan pekerjaan bawah air
di DLKR pelabuhan
umum
- UU 17/2008
Pasal 204;
- PP 5/2010 pasal
128;
- Sumber dana
APBN terbatas.
Badan Usaha
Khusus untuk
salvage dan
PBA
Ditjen Perhubungan
laut Cq Syahbandar
APBN Dalam hal pengadaan dan
pemeliharaan peralatan pekerjaan
bawah air masih terkendala oleh dana,
kurangnya dukungan regulasi serta
hanya bersifat koordinatif dan
rekomendasi. Fasilitas unutk
pemeliharaan masih terbatas.
3 Murni Swasta
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 75
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
2 Pelaksanaan Pekerjaan
bawah air di DLKR
terminal khusus
- UU 17/2008
Pasal 204;
- PP 5/2010 pasal
128;
- Sumber dana
APBN terbatas.
Badan Usaha
Khusus untuk
salvage dan
PBA
Ditjen Perhubungan
laut Cq Syahbandar
APBN Pengusahaan Pekerjaan bawah air
untuk kepentingan keselamatan
pelayaran kapal merupakan
pengusahaan yang kurang
menguntungkan sehingga tidak
menarik pihak swasta
3 Murni Swasta
G Pengerukan Dan
Reklamasi
Pasal 197 UU
17/2008
1 Pekerjaan dan
pengerukan alur
pelayaran dan kolam
pelabuhan
- UU 17/2008
Pasal 197;
- PP 5/2010 pasal
99 ayat 1;
- PM 52 Tahun
2011, pasal 15
Badan usaha Badan Usaha
Pelabuhan
BUMN/
Swasta
Terbatasnya dana 3 Swasta
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
76 Ringkasan Studi (Executive Summary)
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
s.d 27;
- Sumber dana
APBN terbatas.
2 Pekerjaan Reklamasi - UU 17/2008
Pasal 197;
- PP 5/2010 pasal
103 ayat 2;
- PM 52 Tahun
2011, pasal 15
s.d 27;
- Sumber dana
APBN terbatas.
Badan Usaha Badan Usaha
Pelabuhan
BUMN/
Swasta
3 Swasta
H Pemanduan
1 Pengelolaan dan
pengoperasian
pemanduan di perairan
- UU 17/2008
Pasal 197;
- PP 5/2010 pasal
Otoritas
Pelabuhan
dan UPP
Badan Usaha
Pelabuhan
APBN dan
BUMN/
swasta
Dalam hal pengadaan, masalah yang
dihadapi adalah ketersediaan dana
Dalam hal pengoperasian: kurangnya
2 Dapat diKPS-
kan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 77
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
wajib pandu dan pandu
luar biasa yang berada
di alur pelayaran dan
wilayah perairan
pelabuhan
114 ayat 1 & 2;
- PM 53 Tahun
2011, pasal 20
s.d 26
- Sumber dana
APBN terbatas.
Badan Usaha
Pelabuhan
(jika belum
tersedia jasa
pandu oleh
OP dan UPP)
jumlah kapal pandu dan usia kapal
sudah tua
Dalam hal perawatan/pemeliharaan kapal
pandu : Masalah ketersediaan dana
2 Pengelolaan dan
pengoperasian
pemanduan di perairan
wajib pandu dan pandu
luar biasa yang berada
di dalam wilayah
terminal khusus
- UU 17/2008
Pasal 197;
- PP 5/2010 pasal
114 ayat 3, pasal
115;
- PM 53 Tahun
2011, pasal 20
s.d 26
- Sumber dana
APBN terbatas.
Pengelola
Terminal
Khusus
Badan usaha
pelabuhan
(jika pengelola
terminal
khusus tidak
memenuhi
persyaratan)
Badan Usaha
Pelabuhan
Swasta Dalam hal pengadaan, masalah yang
dihadapi adalah ketersediaan dana
3 Swasta Murni
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
78 Ringkasan Studi (Executive Summary)
No.
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Alasan mendasar
perlu/tidak KPS
Sistem
Pengelolaan
Sesuai
Peraturan
yang ada
Kondisi Eksisting
Penyelenggaraan
Kenavigasian
Pembiayaan
Saat Ini Permasalahan Scoring Kesimpulan
Keterangan : Scoring (1 : Pemerintah; 2 = KPS; 3 = Swasta)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 79
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan kenavigasian yang dapat
dikerjasamakan antara Pemerintah dan Swasta diantaranya pengadaan dan
pemeliharaan pelampung suar, Rambu suar di pelabuhan, menara suar, SROP dan
pemanduan. Sedangkan yang tidak dapat dikerjasamakan adalah alur pelayaran
serta hidrografi dan meteorologi.
Tabel dibawah berikut ini menunjukkan jenis kegiatan dalam penyelenggaraan
kenavigasian yang dirinci mulai dari : perencanaan, pengadaan/ pembangunan,
pengoperasian, pemeliharaan, dan pengawasan, yang secara rinci dapat dijelaskan
sebagai berikut. Untuk kegiatan pengadaan/pembangunan, pengoperasian dan
pemeliharaan dapat mengikutsertakan Badan Usaha.
Tabel 8 Jenis Kegiatan Dalam Penyelenggaraan Kenavigasian
KEGIATAN SBNP (PM 25/2011 TELKOMPEL
(PM 26/2011)
ALUR PELAYARAN
(PM 68/2011
Perencanaan (1) Kegiatan perencanaan
meliputi rencana:
• kebutuhan sarana dan
prasarana penunjang
Sarana Bantu Navigasi-
Pelayaran; kebutuhan
sarana dihitung
berdasarkan panjang
garis pantai; kebutuhan
prasarana penunjang
disesuaikan dengan
jumlah Sarana Bantu
Navigasi-Pelayaran yang
dibutuhkan.
• kegiatan pengoperasian
Sarana Bantu Navigasi-
Pelayaran yang disusun
berdasarkan jumlah
sarana dan prasarana
yang dibangun
Perencanaan kebutuhan
sarana dan prasarana
penunjang
Telekomunikasi-Pelayaran,
disusun dengan memper-
timbangkan:
• kebutuhan sarana di susun
berdasarkan Rencana
Induk Telekomunikasi-
Pelayaran;
• kebutuhan prasarana
penunjang disesuaikan
dengan jumlah peralatan
untuk Telekomunikasi-
Pelayaran yg dibutuhkan.
Kegiatan perencanaan
pengoperasian Telekomu-
nikasi-Pelayaran disusun
dengan mempertimbang-
Rencana pembangunan alur-
pelayaran di laut disusun
berdasarkan:
• Rencana Induk Pe1abuhan
Nasional;
• perkembangan dimensi
kapal dan jenis kapal;
• kepadatan lalu lintas;
• kondisi geografis;dan
• efisiensi jarak pelayaran.
Penataan alur-pelayaran di
laut dilakukan untuk:
• ketertiban lalu lintas
kapal;
• keselamatan dan
keamanan bernavigasi;
dan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
80 Ringkasan Studi (Executive Summary)
KEGIATAN SBNP (PM 25/2011 TELKOMPEL
(PM 26/2011)
ALUR PELAYARAN
(PM 68/2011
(1)
(2)
(3)
(4) Jangka waktu kegiatan
perencanaan meliputi :
• jangka panjang untuk
jangka waktu 15 (lima
belas) tahun sampai
dengan 20 (dua puluh)
tahun;
• jangka menengah untuk
jangka waktu 10
(sepuluh) tahun sampai
dengan 15 (lima belas)
tahun; dan
• jangka pendek untuk
jangka waktu 5 (lima)
tahun sampai dengan 10
(sepuluh) tahun.
(5) Perencanaan dituangkan
dalam Rencana Induk
Kenavigasian.
(6) Rencana Induk
Kenavigasian ditetapkan
dengan Keputusan
Menteri.
kan jumlah sarana dan
prasarana Telekomunikasi-
Pelayaran yang telah
dibangun.
Jangka waktu kegiatan
perencanaan meliputi:
• jangka panjang yaitu di
atas 15 (lima belas)
tahun sampai dengan 20
(dua puluh) tahun;
• jangka menengah yaitu
di atas 10 (sepuluh)
tahun sampai dengan 15
(lima belas) tahun; dan
• jangka pendek yaitu di
atas 5 (lima) tahun
sampai dengan 10
(sepuluh) tahun.
Perencanaan dituangkan
dalam Rencana Induk
Kenavigasian.
Rencana Induk
Kenavigasian ditetapkan
dengan Keputusan
Menteri.
• perlindungan lingkungan
maritim.
Pengadaan/
Pembangunan
• Pengadaan Sarana Bantu
Navigasi-Pelayaran pada
alur-pelayaran dan
perairan pelabuhan
• Kegiatan pengadaan
Telekomunikasi-
Pelayaran yang
ditempatkan di alur-
• Kegiatan pembangunan
alur-pelayaran di laut
meliputi:
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 81
KEGIATAN SBNP (PM 25/2011 TELKOMPEL
(PM 26/2011)
ALUR PELAYARAN
(PM 68/2011
umum dilakukan oleh
Direktur Jenderal.
• Pengadaan Sarana Bantu
Navigasi-Pelayaran
untuk kepentingan
tertentu dan pada lokasi
tertentu dapat dilakukan
oleh badan usaha setelah
mendapat izin dari
Direktur Jenderal.
• Kegiatan pengadaan
Sarana Bantu Navigasi-
Pelayaran untuk
kepentingan tertentu
berupa pengadaan
Sarana Bantu Navigasi-
Pelayaran untuk
penandaan alur-
pelayaran menuju
terminal khusus.
• Kegiatan pengadaan
Sarana Bantu Navigasi-
Pelayaran pada lokasi
tertentu berupa pengadaan
Sarana Bantu Navigasi-
Pelayaran untuk kegiatan
antara lain:
- batas wilayah perairan
terminal khusus;
- kegiatan pekerjaan
pengerukan;
- lokasi kerangka kapal;
atau
pelayaran dan pada
perairan pelabuhan
umum dilakukan oleh
Direktur Jenderal.
• Kegiatan pengadaan
Telekomunikasi-
Pelayaran untuk
kepentingan tertentu dan
pada lokasi tertentu
dapat dilakukan oleh
badan usaha setelah
mendapat izin dari
Direktur Jenderal.
• Kegiatan pengadaan
Telekomunikasi-
Pelayaran untuk
kepentingan tertentu dan
pada lokasi tertentu
berupa pengadaan
Telekomunikasi-
Pelayaran untuk
kepentingan kegiatan
kapal pada terminal
khusus.
• Pengadaan
Telekomunikasi-
Pelayaran yang
dilakukan oleh badan
usaha meliputi:
- Stasiun Radio Pantai;
dan
- survei hidrografi;
- penyusunan desain
teknis;
- penyusunan metode
kerja; dan
- penempatan Sarana
Bantu Navigasi-
Pelayaran.
• Kegiatan survei hidrografi
terdiri dari:
- peta bathimetric;
- pola arus;
- pasang surut; dan
- jenis dasar perairan.
• Kegiatan penyusunan
desain teknis meliputi:
- profil/potongan
memanjang dan
melintang;
- lebar alur, luas kolam,
dan kedalaman sesuai
dengan ukuran kapal
yang akan me1ewati
alur-pelayaran di laut;
- slopejkemiringan alur-
pelayaran di laut; dan
- lokasi dan titik
koordinat geografis area
yang akan dikeruk.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
82 Ringkasan Studi (Executive Summary)
KEGIATAN SBNP (PM 25/2011 TELKOMPEL
(PM 26/2011)
ALUR PELAYARAN
(PM 68/2011
- lokasi bangunan atau
instalasi di perairan.
• Pengadaan Sarana Bantu
Navigasi-Pelayaran
untuk kepentingan badan
usaha dilakukan oleh
badan usaha yang
bersangkutan.
Izin pengadaan Sarana
Bantu Navigasi-Pelayaran
oleh badan usaha diberikan
oleh Direktur Jenderal
setelah memenuhi
persyaratan sebagai
berikut:
• administrasi; dan
• teknis.
- Stasiun Vessel Traffic
Services (VTS).
Izin dari Direktur Jenderal
diberikan setelah
memenuhi persyaratan
administrasi dan teknis.
• Kegiatan penyusunan
metode kerja meliputi:
- tata cara pe1aksanaan
pembangunan;
- penggunaan peralatan;
dan
- jadwal pe1aksanaan
pembangunan.
Pengoperasian Kegiatan pengoperasian
meliputi pengaturan:
• jarak tampak;
• tipe dan karakteristik
lampu;
• warna lampu;
• tanda puncak; dan
• warna konstruksi.
Kegiatan pengoperasian
meliputi:
• penetapan dinas jaga;
• jadwal waktu siaran; dan
• menjaga keandalan.
Kegiatan pengoperasian
meliputi:
• penetapan sistem rute;
• tata cara berlalu lintas;
• penetapan Sarana Bantu
Navigasi-Pelayaran;
• pemuatan ke dalam peta
laut dan buku petunjuk
pelayaran; dan
• diumumkan oleh instansi
yang tugas dan
tanggungjawabnya di
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 83
KEGIATAN SBNP (PM 25/2011 TELKOMPEL
(PM 26/2011)
ALUR PELAYARAN
(PM 68/2011
bidang pemetaan laut.
Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan
dilakukan dengan :
• perawatan; dan
• perbaikan.
Kegiatan pemeliharaan
meliputi :
• pengecatan Sarana Bantu
Navigasi - Pelayaran;
• membersihkan Sarana
Bantu Navigasi
Pelayaran;
• menyesuaikan irama
lampu;
• pengecekan dan
penggantian catu daya;
dan
• pengecekan posisi Sarana
Bantu Navigasi
Pelayaran.
Perbaikan meliputi :
• penggantian bola lampu
dan flasher ;
• penggantian struktur
menara;
• pengantian fender
Pelampung suar;
• penggatian sistem
penjangkaran pelampung
suar; dan
Kegiatan pemeliharaan
meliputi:
• pembersihan debu;
• pengecekan catu daya;
• kalibrasi peralatan;
• pengecekan panel-panel;
• menjaga suhu udara
ruangan agar tetap stabil;
dan
• updating perangkat lunak.
Kegiatan perbaikan meliputi:
• penggantian spare unit
dan spare part; dan
• penggantian peralatan.
Kegiatan pemeliharaan
meliputi:
• berkala tiap tahun sekali;
dan
• sewaktu-waktu bila
diperlukan.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
84 Ringkasan Studi (Executive Summary)
KEGIATAN SBNP (PM 25/2011 TELKOMPEL
(PM 26/2011)
ALUR PELAYARAN
(PM 68/2011
• penggantian tanda puncak.
Pengawasan Kegiatan pengawasan
dilakukan oleh petugas
Sarana Bantu Navigasi-
Pelayaran berupa
monitoring yang dilakukan
secara periodik setiap
bulan dan melaporkan
hasilnya kepada Direktur
Jenderal
Kegiatan pengawasan
berupa monitoring yang
dilakukan secara terus
menerus.
Kegiatan pengawasan
dilakukan oleh pejabat
pemeriksa Telekomunikasi
-Pelayaran.
Pejabat pemeriksa
Telekomunikasi-Pelayaran
sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diangkat oleh
Direktur Jenderal.
Untuk dapat diangkat
sebagai pejabat pemeriksa
Telekomunikasi-Pelayaran
harus memenuhi
persyaratan:
• Pegawai Negeri Sipil
minimal golongan III/a;
• memiliki sertifikat
marine inspector radio;
Kegiatan pengawasan
dilakukan dengan:
• pengukuran kedalaman;
dan
• pemantauan timbulnya
hambatan pelayaran.
Kegiatan pengawasan
dilakukan oleh Distrik
Navigasi setempat.
Badan usaha dapat
diikutsertakan dalam
pembangunan,
pengoperasian, dan
pemeliharaan alur-pelayaran
di laut yang menuju ke
terminal khusus yang
dikelola oleh badan usaha.
Penyelenggaraan alur-
pelayaran di laut oleh badan
usaha dilakukan setelah
mendapat izin dari Menteri.
Sumbar : Olah Data
I. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Kebutuhan, perencanaan dan program pengembangan kenavigasian
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 85
dipengaruhi oleh beberapa aspek :
a. Kebutuhan masyarakat pengguna jasa kenavigasian;
b. Kondisi Geografis/Nautis;
c. Lingkungan strategis, politis dan hankam;
d. Perkembangan teknologi;
e. Pemenuhan terhadap persyaratan Mandatori.
2. Beberapa hal penting secara operasional terkait kebutuhan masyarakat
pengguna jasa kenavigasian yang berkembang pada saat ini antara lain :
a. Peningkatan kecepatan, ukuran dan draft kapal komersial, utamanya kapal
kontainer;
b. Penurunan tingkat pengoperasian dan kompetensi awak kapal;
c. Kecenderungan kapal menggunakan sarana navigasi elektronik;
d. Pengembangan dan penerapan e-Navigation;
e. Berkembangnya anekaragam pemanfaatan sumber daya laut baik disekitar
pantai dan laut lepas;
f. Meningkatnya pemasangan AIS di kapal termasuk di kapal-kapal non-
SOLAS;
g. Penggantian materi yang digunakan untuk pembangunan SBNP yang
semula baja menjadi polyethylene dan fibreglass yang lebih ramah
lingkungan dan biaya perawatannya lebih rendah;
h. Upaya mengurangi emisi CO2 dengan penggunaan batere penyimpan tenaga
listrik dari sinar matahari dan penggunaan sumber daya bersih lainnya;
i. Upaya penghematan energi dengan menggunakan bola lampu LED.
j. Upaya peningkatan efisiensi dalam pemeliharaan jaringan sarana
kenavigasian melalui kontrak layanan penyedia jasa dengan pihak ketiga.
3. Beberapa Isu Strategis terkait dengan Penyelenggaraan Kenavigasian di
Indonesia pada saat ini telah diungkapkan dalam Bab Analisis, diantaranya
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
86 Ringkasan Studi (Executive Summary)
terkait dengan :
a. Kecukupan dan kehandalan sarana kenavigasian yang belum sesuai dengan
rekomendasi IALA dan IMO;
b. Adanya kehilangan dan kerusakan SBNP karena pencurian, tabrak lari dan
sebab lain yang tidak terdeteksi;
c. Perawatan dan perbaikan yang belum distandarkan;
d. Kurangnya kecukupan jumlah dan kemampuan SDM;
e. Kurangnya dana.
4. Rendahnya tingkat kecukupan SBNP sebesar 63,51%, menunjukkan
pembangunan/pemasangan SBNP sangat lambat yang disebabkan adanya
keterbatasan anggaran pembangunan dan banyaknya komponen peralatan
SBNP yang hilang, rusak dan bangunan yang roboh/rusak termakan usia.
5. Kebutuhan SROP yang dilengkapi GMDSS adalah 84 Stasiun, sedangkan
SROP terpasang yang sudah dilengkapi dengan GMDSS pada tahun 2011
adalah sebanyak 68 stasiun, sehingga masih ada kekurangan 16 stasiun.
6. Stasiun VTMS (Vessel Traffic Management Services) dan VTIS (Vessel Traffic
Identification System) di Indonesia belum memadai, khususnya pada titik-titik
penting dan pintu masuk perairan Indonesia dalam rangka antisipasi dampak
globalisasi dan adanya Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Kebutuhan
stasiun VTIS sebanyak 51, tetapi sampai tahun 2011 baru ada 11 stasiun,
sehingga masih ada kekurangan 40 stasiun VTIS.
7. Kondisi kapal negara kenavigasian seperti kapal induk perambuan dan kapal-
kapal jenis lainnya, banyak yang sudah berusia diatas 30 tahun sehingga
tingkat kelaikan masih perlu dipertanyakan.
8. Berdasarkan pengamatan kondisi kenavigasian di beberapa daerah survei,
menunjukkan bahwa kegiatan kenavigasian sudah berjalan sesuai dengan
sistem dan prosedur pelaksanaan kenavigasian.
9. Pemerintah melalui Otoritas Pelabuhan bertanggung jawab dalam hal penyediaan
dan pemeliharaan alur pelayaran, penahan gelombang, dan kolam pelabuhan, tetapi
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 87
dalam kondisi tertentu tugas pemeliharaan dapat dilakukan oleh badan usaha.
Namun, beberapa SBNP yang telah dibangun oleh Badan Hukum Indonesia (BHI)
dinilai masih kurang optimal dalam pemeliharaan SBNP serta belum adanya
laporan kegiatan penyelenggaraan SBNP oleh BHI tersebut.
10. Skema pembiayaan program-program strategis Direktorat Kenavigasian, Ditjen
Perhubungan Laut pada umumnya terdiri atas pembiayaan berasal dari rupiah
murni (APBN), pinjaman hibah luar negeri (PHLN) dan Public Private
Partnership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), untuk
mewujudkan tingkat kecukupan dan keandalan di bidang kenavigasian. Bentuk
pola kerjasama yang cocok di Indonesia adalah pinjaman hibah luar negeri
(PHLN) dan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS).
11. Penyelenggaraan kenavigasian yang dapat dilakukan melalui KPS meliputi
penyediaan dan pemeliharaan pelampung suar, rambu suar, menara suar, SROP
dan pemanduan sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005
tentang Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Penyediaan alur pelayaran serta
peralatan hidrografi dan meteorologi tidak dapat dilaksanakan melalui KPS.
12. Dalam bidang perencanaan telah dituangkan secara jelas, melalui legalitas
masing-masing yaitu :
a. SBNP melalui PM 25 Tahun 2011 tentang Sarana Bantu Navigasi
Pelayaran;
b. Telkompel melalui PM 26 Tahun 2011 tentang Telekomunikasi Pelayaran;
c. Alur Pelayaran melalui PM 68 Tahun 2011 tentang Alur Pelayaran di Laut.
13. Dokumen perencanaan untuk SBNP dan Telkompel perlu dituangkan dalam
Rencana Induk Kenavigasian. Sementara untuk dokumen perencanaan pada
alur pelayaran tidak perlu dimasukan dalam Rencana Induk Kenavigasian.
14. Pengadaan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran untuk kepentingan tertentu dan
pada lokasi tertentu dapat dilakukan oleh badan usaha setelah mendapat izin
dari Direktur Jenderal.
15. Kegiatan pengadaan Telekomunikasi-Pelayaran untuk kepentingan tertentu dan
pada lokasi tertentu dapat dilakukan oleh badan usaha setelah mendapat izin
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
88 Ringkasan Studi (Executive Summary)
dari Direktur Jenderal.
16. Kegiatan pembangunan alur-pelayaran di laut yang menuju ke terminal khusus
yang dikelola oleh badan usaha yang meliputi: survei hidrografi; penyusunan
desain teknis; penyusunan metode kerja; dan penempatan Sarana Bantu
Navigasi-Pelayaran dapat mengikutsertakan badan usaha.
17. Kegiatan pengoperasian SBNP meliputi pengaturan: jarak tampak; tipe dan
karakteristik lampu; warna lampu; tanda puncak; dan warna konstruksi.
18. Kegiatan pengoperasian Telkompel meliputi: penetapan dinas jaga; jadwal
waktu siaran; dan menjaga keandalan.
19. Kegiatan pengoperasian alur pelayaran meliputi: penetapan sistem rute; tata
cara berlalu lintas; penetapan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; pemuatan ke
dalam peta laut dan buku petunjuk pelayaran; dan diumumkan oleh instansi
yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang pemetaan laut.
20. SBNP
Kegiatan pemeliharaan meliputi :
a. pengecatan Sarana Bantu Navigasi - Pelayaran;
b. membersihkan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran;
c. menyesuaikan irama lampu;
d. pengecekan dan penggantian catu daya; dan
e. pengecekan posisi Sarana Bantu Navigasi Pelayaran.
Perbaikan meliputi :
a. penggantian bola lampu dan flasher ;
b. penggantian struktur menara;
c. pengantian fender Pelampung suar;
d. penggatian sistem penjangkaran pelampung suar; dan
e. penggantian tanda puncak.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 89
21. Telkompel
Kegiatan pemeliharaan meliputi:
a. pembersihan debu;
b. pengecekan catu daya;
c. kalibrasi peralatan;
d. pengecekan panel-panel;
e. menjaga suhu udara ruangan agar tetap stabil; dan
f. updating perangkat lunak.
Kegiatan perbaikan meliputi:
a. penggantian spare unit dan spare part; dan
b. penggantian peralatan.
22. Alur Pelayaran
Kegiatan pemeliharaan meliputi:
a. berkala tiap tahun sekali; dan
b. sewaktu-waktu bila diperlukan.
23. Untuk kegiatan pengadaan/pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan
dapat mengikutsertakan Badan Usaha dengan cakupan untuk kepentingan
tertentu dan menuju lokasi tertentu serta yang menuju ke terminal khusus.
24. Benchmark ke Negara Jepang, kenavigasian berada di bawah Japan Coast
Guard, di bagian Departemen Lalu Lintas Pelayaran, yang terbagi menjadi 4
(empat) divisi, yaitu:
a. Administration & Planning Division, bertugas melakukan analisis
kecelakaan kapal dan membuat kebijakan di bidang lalu lintas pelayaran.
b. Navigational Safety Division, bertugas membuat perencanaan pencegahan
kecelakaan.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
90 Ringkasan Studi (Executive Summary)
c. Aids to Navigation Management Division, bertugas untuk perencanaan,
pembangunan, management (pengelolaan) dan pengoperasian dari
peralatan kenavigasian di Jepang.
d. Aids to Navigation Engineering Division, bertugas untuk membuat
perencanaan konstruksi dan pemeliharaan peralatan kenavigasian.
Dari struktur yang ada, pengadaan, pembangunan, pengelolaan dan
pemeliharaan serta pengawasan kegiatan kenavigasian dilakukan oleh Japan
Coast Guard.
J. SARAN
1. Rekomendasi Strategi Pembangunan Kenavigasian
Rencana Strategis Pembangunan sarana dan prasarana serta penyelenggaraan
jasa kenavigasian dapat dasarkan pada Rencana Strategis Transportasi Laut
yag dituangkan dalam program Pembagunan Nasional (PROPENAS)
sebagaimana diamanatkan oleh UU No.25/2000; yang meliputi :
a. Strategi Pokok
b. Strategi Fungsional
c. Strategi di Bidang SBNP
d. Strategi dalam Rangka Pengembangan Sarana Telekomunikasi Pelayaran
e. Strategi di Bidang Kapal Negara Kenavigasian
f. Strategi di Bidang Fasilitas Penunjang (Pangkalan Kenavigasian)
g. Strategi di Bidang Pengembangan SDM
2. Rekomendasi organisasi pengelolaan Kenavigasian
Mengingat luasnya ruang lingkup kenavigasian sebagaimana dimuat dalam
Ketentuan Umum UU no.17/2008 tentang Pelayaran, pada saat ini kegiatan
kenavigasian diselenggarakan oleh beberapa instansi yaitu yang bertanggung
jawab atas SBNP, Telekomunikasi Pelayaran, hidrografi dan meterologi, alur
dan perlintasan, pengerukan dan reklamasi, pemanduan, penanganan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Ringkasan Studi (Executive Summary) 91
kerangka kapal, salvage dan pekerjaan bawah air untuk kepentingan
keselamatan pelayaran kapal.
Segala sesuatu yang terkait dengan kebijakan umum, kepentingan masyarakat
luas dan perijinan serta standarisasi teknis harus tetap berada ditangan
Pemerintah.
Pengelolaan yang bersifat pengusahaan dapat dilakukan terhadap kegiatan
yang diperkirakan dapat mendanai sendiri oleh Badan Hukum Indonesia
milik negara ataupun kerjasama Badan Hukum Indonesia milik Negara
dengan Badan Hukum Indonesia milik swasta dengan pengawasan
Pemerintah terkait dengan pemenuhan persyaratan teknis, persyaratan
prosedural serta persyaratan ekonomis.
3. Penyelenggaraan Kenavigasian memiliki ruang lingkup yang luas, oleh
karenanya perlu keterpadua dan kordinasi antar instansi yang sangat tinggi;
4. Rasa tanggungjawab sektoral yang tinggi tidak boleh melupakan kepentingan
nasional dan masyarakat banyak dalam memanfaatkan jasa Kenavigasian;
5. Penyelenggaraan dan pengelolaan Kenavigasian harus selalu diaudit
kesesuaiannya (compliance) dengan ketentuan perundangan-undangan yang
berlaku serta menganut tatakelola yang baik (good governance), transparan,
dan akuntabel;
6. Agar bisa konsisten dengan asas kesesuaian (compliancy), beberapa hal yang
belum jelas pengaturannya perlu dikeluarkan aturan dan ketentuannya,
diantaranya adalah tentang kemungkinan suatu Badan Usaha melakukan
pengelolaan jasa kenavigasian, pengaturan alur pelayaran mana yang mungkin
dikenakan penggunanya serta ketentuan mengenai tarip yang diberlakukan.
7. Pembangunan dan pemasangan SBNP perlu mendapatkan perhatian yang
serius guna meningkatkan kecukupan dan keandalan sesuai dengan standar
IALA.
8. Selain mengandalkan dana dari APBN, sumber pendanaan dibidang
kenavigasian dalam mendukung keselamatan pelayaran perlu terus digali dari
sumber-sumber lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
92 Ringkasan Studi (Executive Summary)
berlaku,.
9. Peraturan yang ada saat ini belum jelas untuk mengatur pengenaan biaya pada
alur pelayaran, sehingga perlu dibuatkan legal standing dengan
penyempurnaan undang-undang sehingga ada dasar hukum yang jelas. Oleh
sebab itu perlu dibuatkan kriteria alur pelayaran yang dapat dipungut biaya
(channel fee).
10. Perlu dilakukan scrapping terhadap kapal-kapal kenavigasian yang sudah
berusia tua agar tidak menimbulkan biaya tinggi dalam hal perawatan/
pemeliharaan setiap tahunnya.
11. Pembangunan transportasi laut perlu memprioritaskan upaya peningkatan
keselamatan dan keamanan pelayaran transportasi laut dengan arah kebijakan
melengkapi fasilitas keselamatan pelayaran, yakni program rehabilitasi dan
pembangunan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran baik di darat maupun di laut.