28
Seminar Nasional PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS BERORIENTASI KESEJAHTERAAN PETANI Bogor, 14 Oktober 2009 EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL DALAM ERA PERSAINGAN PASAR GLOBAL oleh Sumaryanto PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2009

EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

  • Upload
    phambao

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

Seminar N asionalPENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS BERORIENTASI KESEJAHTERAAN PETANIBogor, 14 Oktober 2009

EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECILDALAM ERA PERSAINGAN PASAR GLOBALoleh

Sumaryanto

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIANBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIANDEPARTEMEN PERTANIAN2009

Page 2: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

Ralat:

Halaman 15 baris pertama paragraf terakhir:

Tertulis : Keseluruhan kondisi tersebut kondusif untuk suksesi usahatani.

Seharusnya : Keseluruhan kondisi tersebut tidak kondusif untuk suksesi usahatani.

Halaman 21 alinea teratas baris ke 4:

Tertulis : "houshold economy"

Seharusnya : "household economy"

Halaman 22 alinea ketiga baris ke 5:

Tertulis : biaya transaksi "transaction cost"

Seharusnya : biaya transaksi (transaction cost)

Halaman 24 (alinea terakhir pada Bab Kesimpulan) baris kelima:

Tertulis : teknologi panen – pasca panen

Seharusnya : teknologi pra panen – pasca panen

Halaman 26, Judul Tabel 3:

Tertulis : Sebaran rumah tangga petani menurut kelompok penguasaan lahan, 2009.

Seharusnya : Sebaran rumah tangga petani padi, jagung, kedele, dan tebu di Indonesia menurut kelompok penguasaan lahan, 2009.

Page 3: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECILDALAM ERA PERSAINGAN PASAR GLOBAL1

OlehSumaryanto2

Abstrak

Bagi pertanian skala kecil era pasar global merupakan suatu jaman yang penuhtantangan, berisi sejumlah peluang maupun beragam ancaman. Globalisasi dan liberalisasiperdagangan bukan hanya mempebesar ruang pasar ekspor, namun pada saat yang samaserbuan komoditas impor juga makin deras. Implikasi sangat luas dan kompleks karenaeksistensi pertanian skala kecil terkait pula dengan ketahanan pangan, pengentasankemiskinan, dan penyerapan tenaga kerja. Tulisan ini membahas karakteristik dan dinamikapetani kecil Indonesia yang di tengah era pasar global ini berhadapan dengan sejumlahpilihan yang dilematis. Sejauhmana pertanian skala kecil dapat mempertahankan ataumengembangkan eksistensinya akan sangat tergantung pada keberhasilan pemerintahmengelola simpul-simpul strategis petani kecil dengan memberdayakan keunggulanpotensialnya yang masih tersisa, memanfaatkan peluang yang muncul, dan dan mengatasiancaman yang timbul terakit dengan ekspansi bisnis perusahaan-perusahaan agribisnisraksasa lintas negara yang semakin menggurita di berbagai pelosok negara berkembang.

Kata kunci: pertanian, petani kecil, pasar global.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertanian adalah Ibu Peradaban. Eksistensinya mengawali lahirnya peradaban

manusia dan menjadi bagian sentral perkembangan peradaban. Menurut Gupta (2004),

pertama kali manusia mengenal pertanian (transisi dari berburu dan mengumpulkan bahan

makanan) terjadi sekitar 10 000 tahun SM dan berdasarkan data Arkeologi, pertama kali

ditemukan di Timur Tengah. Komunitas pertanian mulai terjadi sekitar 5300 tahun SM di

kalangan orang-orang Sumeria di kawasan Timur Tengah dan sementra ini dianggap sebagai

akhir dari jaman prasejarah Neolitik dan awal mula hadirnya jaman sejarah.

1 Makalah disampaikan pada Seminat Nasional "Peningkatan Daya Saing Agribisnis BerorientasiKesejahteraan Petani" yang diselenggarakan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian(PSEKP), Badan Litbang Pertanian, Depertemen Pertanian pada Tanggal 14 Oktober 2009 di Bogor.2

Peneliti pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Badan Penelitian danPengembangan Pertanian.

Page 4: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 2 -

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka teknik

budidaya, sistem pengelolaan, dan orientasi petani mengalami perubahan. Perkembangan

paling spektakuler terjadi pasca perang dunia kedua. Adalah Norman Ernest Bourlag3 dengan

penemuan galur gandum (1953) berdaya hasil tinggi mengawali terjadinya Revolusi Hijau,

yakni suatu sistem budidaya pertanian intensif dengan memanfaatkan varietas unggul

berdaya hasil tinggi dan rekayasa lingkungan tumbuh tanaman (pemupukan, pengairan,

pengendalian gulma) agar menghasilkan produksi maksimal. Dengan segala kelebihan dan

kekurangannya, sampai saat ini Revolusi Hijau masih menjadi arus utama sistem pertanian

global meskipun sejak dua dekade terakhir mulai berkembang dua kutub yang saling

berseberangan: (i) industri pertanian berbasis rekayasa genetik dan lingkungan tumbuh yang

sangat intensif, dan (ii) sistem budidaya pertanian berbasis prinsip pelestarian lingkungan.

Dalam konteks ekonomi, pada saat ini sistem pertanian berada dalam kontinuum

dari sistem pertanian subsisten skala mikro dengan luas lahan hanya beberapa meter persegi

dan atau penguasaan ternak beberapa ekor sampai dengan perusahaan agribisnis skala

raksasa dengan luas penguasaan lahan pertanian puluhan ribu hektar yang lokasi usaha

maupun pasar produknya tersebar di berbagai negara (multi national corporation – MNC).

Meskipun demikian pertanian skala kecil masih memegang peran sentral (von Braun, 2004).

Jauh dari gemerlap, sampai saat ini pertanian skala kecil masih tetap merupakan andalan

penyerapan tenaga kerja dan pemain utama pendukung ketahanan pangan negara-negara

berkembang yang merupakan bagian terbesar pendudukuk dunia.

Pada era pasar global sekat-sekat isolasi pasar tersingkirkan. Pasar lokal – nasional –

regional – internasional semakin terintegrasi sehingga arus transaksi semakin deras dan

secara agregat volume perdagangan meningkat. Hasil simulasi Rosegrant et al (2001) dengan

pendekatan partial equilibrium menunjukkan bahwa jika semya subsidi pertanian dan

rintangan perdagangan (trade barier) di seluruh dunia dihilangkan maka harga beras dunia

meningkat sekitar 14 persen, dan kemudian diikuti dengan tingkat kenaikan yang lebih kecil

pada komoditas jagung, gandum, dan serealia lainnta. Selanjutnya, hasil simulasi dengan

pendekatan general equilibrium (Diao et al, 2001) menunjukkan bahwa secara umum indeks

harga komoditas pertanian meningkat 11 persen lebih tinggi dari komoditas lainnya. Hasil

simulasi dari kedua pendekatan tersebut menunjukan bahwa secara agregat surplus

konsumen dan surplus produsen meningkat cukup significant.

3 Norman Ernest Bourlag (lahir di Cresco, Iowa 25 Maret 1914), seorang ahli mikro biologi yangbekerja di suatu perusahaan agribisnis (1942 – 1944) dianggap sebagai Bapak Revolusi Hijau.

Page 5: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 3 -

Sejak dua dasawarsa terakhir ini sistem pasokan pangan global berubah. Liberalisasi

perdagangan dan regim investasi mengakibatkan negara berkembang semakin terintegrasi

dalam pasar pangan internasional maupun investasi asing langsung (Foreign Direct

Investment – FDI) di bidang agribisnis pangan. Terkait dengan itu, berbagai aturan teknis

yang berkenaan dengan standard kualitas pangan juga diciptakan. Sebagian dari aturan itu

merupakan implikasi logis dari atribut permintaan dari masyarakat negara-negara maju,

namun sebagian lainnya dimanfaatkan pula sebagai "barier to entry" oleh sejumlah MNC

agribisnis; dan itu merupakan ancaman bagi eksistensi pertanian skala kecil yang merupakan

mayoritas usahatani negara-negara berkembang karena menurunkan daya saing ekspornya

(Swinnen and Maertens, 2007). Secara umum era pasar global sekarang ini menyebabkan

tekanan yang lebih besar bagi pertanian skala kecil karena negara-negara maju yang pangsa

pasarnya sangat besar enggan memotong subsidinya yang ternyata selama ini lebih tinggi

dari negara-negara berkembang (Howe et al, 2004; Edelman, 2005; Pérez, et al, 2008).

Tak banyak berbeda dengan negara berkembang lainnya, prospek pertanian

Indonesia akan sangat ditentukan oleh keberhasilan memberdayakan pertanian skala kecil

karena lebih dari 90 persen petani Indonesia adalah petani kecil. Peluang dan ancaman

terpenting berasal dari: (i) implikasi liberalisasi perdagangan internasional, dan (ii) implikasi

dari perubahan iklim. Di sisi lain, kekuatan ataupun kelemahan pertanian di Indonesia terkait

dengan skala pengusahaan, penguasaan teknologi pra panen – pasca panen, permodalan,

manajemen produksi dan pemasaran (input maupun output).

Keberhasilan dalam pemberdayaan pertanian skala kecil akan berdampak pada

pembangunan dalam konteks yang lebih luas dari eksistensi pertanian itu sendiri karena

berimplikasi langsung pada ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, penyerapan tenaga

kerja, dan sosial budaya suatu bangsa. Oleh sebab itu, upaya pemberdayaan pertanian skala

kecil tidak hanya berkenaan dengan peningkatan produktivitas, produksi, mutu, dan daya

saing produknya di pasar lokal – nasional – global; namun mencakup pula aspek-aspek

sosial-ekonomi dan kelembagaan yang kondusif untuk meningkatkan pendapatan, harkat,

dan martabat petani dalam eksistensinya sebagai bagian dari bangsa ini.

Tulisan ini ditujukan untuk membahas keragaan dan dinamika pertanian skala kecil

di Indonesia dalam kaitannya dengan implikasi dari globalisasi perdagangan komoditas

pertanian. Mengingat bahwa secara empiris pertanian skala kecil Indonesia didominasi

petani yang mengusahakan komoditas pangan maka pembahasannya juga akan ditekankan

pada pertanian tanaman pangan.

Page 6: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 4 -

KARAKTERISTIK DAN DINAMIKA PERTANIAN SKALA KECIL

Konsep dan Definisi

Membahas pertanian skala kecil pada dasarnya membahas petani kecil. Sulit untuk

membahas pertanian skala kecil tanpa mengetahui karakteristik petani kecil; di sisi lain sulit

pula menjelaskan makna tentang petani kecil tanpa menghubungkannya dengan skala

usahataninya. Oleh karena itu dalam tulisan ini kedua istilah tersebut digunakan secara

bergantian disesuaikan dengan konteksnya.

Sampai saat ini belum ada suatu rumusan yang secara ringkas dan tegas dapat

menjelaskan definisi petani kecil (pertanian skala kecil). Lazimnya definisi petani kecil yang

selama ini banyak diacu terkait dengan "smallness" dari "size" lahan usahatani dan atau

jumlah ternak yang dimiliki atau dikelolanya (von Braun, 2004). Salah satu keterbatasan

pendefinisian seperti itu adalah tiadanya suatu ukuran yang dapat berlaku umum (untuk

semua wilayah dan jenis komoditas). Untuk luas usahatani yang sama, petani tanaman

pangan pada sebagaimana umumnya tentulah tidak sebanding dengan petani yang

memproduksi komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi dengan akses pasar modern yang

sangat baik. Dengan luas garapan yang sama, petani yang lahan usahataninya sangat subur

dan berpengairan teknis yang canggih adalah berbeda dengan petani yang lahan

usahataninya tak terfasilitasi pengairan yang memadai dan kualitas kesuburunya rata-rata.

Alternatif lain yang ditempuh untuk mendefinisikan petani kecil dari sudut pandang

tenaga kerja dan pendapatan. Dari sudut pandang tenaga kerja, petani kecil adalah rumah

tangga yang mata pencaharian utamanya berusahatani dan dalam usahataninya itu

mayoritas tenaga kerjanya adalah tenaga kerja dalam keluarga (Narayanan and Gulati,

2002). Dari sudut pandang pendapatan, petani kecil lazimnya diasosiakan dengan tingkat

pendapatannya yang rendah. Secara teoritis terdapat konvergensi antara skala usaha –

tenaga kerja – penerapan teknologi - akses pasar – pendapatan, namun sampai saat ini data

yang diperlukan untuk itu belum tersedia sehingga dengan segala keterbatasannya, yang

lazim dipergunakan masih mengacu pada skala usaha.

Pengertian mengenai skala usaha mengacu pada konsep "retun to scale". Selama ini

konsep tersebut telah banyak diterapkan sebagai pendekatan teoritis mengenai skala

optimal usahatani (Chavas, 2001). Penerapannya dalam studi empiris menghasilkan

beragam kesimpulan.

Page 7: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 5 -

Untuk kasus di negara berkembang (kasus: India), Sen (1962) menemukan adanya

hubungan terbalik antara luas garapan dengan produktivitas pada usahatani di India.

Kemudian, pada dekade 70-an, studi Yotopoulos and Lau (1973) dan Berry and Cline (1979)

memperoleh kesimpulan bahwa pada usahatani di India ternyata skala kecil relatif lebih

efisien daripada skala besar; dan tidak disarankan untuk mengkondisikan konsolidasi

usahatani karena secara umum ternyata berada pada kondisi "constant return to scale".

Menurut Binswanger and Rozensweig (1986) hal itu disebabkan karena tenaga kerja

keluarga lebih murah dan efisien daripada tenaga kerja luar keluarga (buruh) karena: (i)

tenaga kerja keluarga memperoleh bagian dari keuntungan sehingga curahan perhatian dan

kualitas pekerjaannya lebih baik, (ii) dengan tenaga kerja keluarga tidak diperlukan adanya

biaya pencarian tenaga kerja, (iii) setiap individu tenaga kerja dalam keluarga menganggap

bahwa apa yang dikerjakan dalam usahataninya berimplikasi pada risiko yang akan dihadapi

dalam usahataninya. Senada dengan berbagai temuan tersebut, Hayami (1998) juga

menyatakan bahwa dalam banyak kasus ternyata usahatani skala rumah tangga adalah

optimal. Namun "outcomes" yang terjadi tidaklah paralel dengan berbagai keunggulan

tersebut. Meskipun usahatani rumah tangga mempunyai "labor cost advantage" tidak

demikian halnya dengan masalah pendanaan usahatani dan berbagai implikasinya terhadap

akses pasar dan lobi politik. Usahatani skala besar memiliki "credit cost advantage" yang

jauh lebih besar daripada usahatani rumah tangga. Demikian pula dengan pemanfaatan

peluang-peluang pengembangan dalam interaksinya dengan sektor non pertanian

(Binswanger and Rozensweig, 1986).

Untuk kasus di negara maju, ditemukan kesimpulan yang berbeda. Sebagai contoh,

studi Kumbhakar (1993) tentang profitabilitas usahatani sapi perah di Utah maupun analisis

mengenai hubungan antara skala usaha dan efisiensi usahatani di California pada dekade 70-

an (Hall and Leveen, 1978) memperoleh kesimpulan bahwa secara rata-rata profitabilitas

usahatani skala kecil relatif lebih rendah daripada usahatani skala menengah – besar.

Menurut Hall and Leveen (1978), sumber keunggulan skala menengah – besar terletak pada

penghematan biaya pengadaan input.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari berbagai hasil analisis tersebut adalah bahwa

berbekal keunggulannya masing-masing, pertanian skala kecil maupun skala besar akan

terus eksis. Baik yang besar maupun yang kecil akan mengalami pasang surut dan dinamika

lingkungan strategis global akan mempengaruhi eksistensinya masing-masing. Namun

demikian satu hal penting yang harus digaris bawahi adalah bahwa pasang surut pertanian

Page 8: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 6 -

skala kecil di negara-negara berkembang terkait langsung dengan masalah kemiskinan dan

ketahanan pangan rakyat kecil yang merupakan bagian terbesar dari penduduk.

Di Indonesia studi tentang hubungan antara skala usaha dengan efisiensi juga telah

banyak dilakukan (paruh kedua dekade 70-an – paruh awal dekade 90-an), baik melalui

pendekatan ekonometrik maupun akunting sederhana4. Namun terkait dengan kurangnya

tindak lanjut konkrit dari rekomendasi kebijakan yang disampaikan maupun "isu-isu

kebijakan" yang menjadi arus utama (main stream) dalam paradigma pembangunan maka

sejak awal dekade 90-an, studi seperti itu jarang dilakukan. Padahal terkait dengan

kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin

saat ini kondisinya berbeda. Secara umum, hasil-hasil penelitian tersebut memperoleh

kesimpulan bahwa usahatani tanaman pangan di Indonesia berada dalam kondisi "constant

return to scale"; dan mungkin terkait dengan itu pula maka sampai saat ini konsolidasi

usahatani secara mandiri oleh petani belum menjadi "trend".

Petani Kecil Indonesia: Karakteristik dan Dinamikanya

Gambaran Lingkup Makro

Pola penggunaan tanah untuk usaha pertanian di Indonesia dapat dipilah menjadi

dua: (a) usaha pertanian skala besar yang umumnya berupa perkebunan yang dikelola oleh

badan usaha milik negara maupun perusahaan swasta, (b) usaha pertanian rakyat. Meskipun

usaha pertanian rakyat umumnya menerapkan pola campuran, tetapi menurut komoditas

dominan yang diusahakannya secara garis besar dapat dipilah lebih lanjut menjadi dua

kategori: (i) usaha pertanian tanaman pangan/hortikultura dan (ii) perkebunan rakyat. Usaha

pertanian tanaman pangan yang paling berkembang adalah usahatani padi yang umumnya

dilakukan di lahan sawah. Secara empiris usahatani tanaman pangan cenderung

terkonsentrasi di wilayah berpenduduk padat, sedangkan perkebunan rakyat berkembang di

wilayah yang tingkat kepadatan penduduknya rendah5.

4Pembaca dapat melacaknya pada berbagai hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal

Agroekonomi periode 1985 – 1994, proseding hasil penelitian PAE 1985 – 1990, maupun berbagaidisertasi pada periode tersebut.5

Terkait dengan produk yang dihasilkan, orientasi pemasaran produk perkebunan adalah pasarekspor sedangkan produk pertanian tanaman pangan adalah pasar domestik. Indonesia adalaheskportir penting dalam pasar internasional untuk komoditas karet, kakao, CPO (crude palm oil), teh,kopi, dan lada. Namun untuk komoditas pangan (beras, jagung, kedele, gula, daging, telur, dan susu)produk yang dihasilkan petani Indonesia baru mencukupi kebutuhan domestik, bahkan untukkomoditas pangan strategis (beras) Indonesia masih harus impor.

Page 9: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 7 -

Menurut data SUSENAS, jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan di

Indonesia pada tahun 2003 adalah sekitar 24.05 juta, sedangkan pada tahun 1993 adalah

sekitar 20.5 juta (Tabel 1). Jadi selama sepuluh tahun bertambah 17.2 persen, atau rata-rata

per rata-rata per tahun bertambah 1.7 persen. Angka ini lebih tinggi dari persentase

pertambahan jumlah penduduk yang diperkirakan sekitar 1.3 – 1.5 persen per tahun. Ini

menunjukkan bahwa pertanian masih tetap menjadi penyerap tenaga kerja terbesar.

Sebagai ilustrasi, pada tahun 2004 dari total penduduk yang bekerja (93.7 juta orang) yang

bekerja di pertanian (termasuk kehutanan, perburuan, dan perikanan) adalah sekitar 40.6

juta orang. Pada tahun 2007 sektor ini menyerap sekitar 42.6 juta orang dari seluruh

penduduk yang bekerja (97.6 juta orang). Jadi, persentasenya relatif tetap namun jumlah

absolutnya meningkat terus dari tahun ke tahun.

Di sisi lain, pertambahan luas lahan pertanian tidak sebanding dengan pertambahan

jumlah rumah tangga pertanian sehingga rata-rata luas penguasaan lahan garapan usahatani

yang sejak semula relatif kecil menjadi semakin kecil. Gambaran terkini dapat disimak dari

hasil pendataan usahatani yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009

(PUT09). Meskipun pendataannya hanya mencakup usahatani empat komoditas (padi,

jagung, kedele, dan tebu) namun dapat dianggap representatif karena mencakup sekitar 70

persen dari populasi rumah tangga pertanian Indonesia.

Menurut data tersebut, pada tahun 2009 ini jumlah rumah tangga usahatani

penghasil komoditas pertanian utama adalah sekitar 17.8 juta (jika petani mengusahakan

lebih dari satu jenis komoditas maka tetap dihitung satu, mengacu pada komoditas

utamanya). Rincian jumlah unit usahatani menurut jenis komoditas yang diusahakan adalah

sebagai berikut. Untuk komoditas padi, jagung, kedele masing-masing adalah sekitar 14.99,

6.71, 1.16 juta unit usahatani; sedangkan tebu adalah sekitar 195 ribu unit usahatani.

Sebarannya menurut (kelompok) pulau adalah sebagai berikut (Tabel 2). Sebagian besar

(58.6 persen) berada di Pulau Jawa. Di Luar Pulau Jawa, yang terbanyak adalah di Sumatera

(18.6 persen), sedangkan yang terkecil adalah di Maluku dan Papua (1.3 persen).

. Pola pengusahaannya bersifat monokultur dan campuran. Dengan mix-index sebagai

proksi, dapat diketahui bahwa pola campuran lebih banyak dilakukan oleh petani di Pulau

Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sedangkan pola monokultur lebih populer di wilayah

Kalimantan. Sisanya berada dalam kisaran antar kedua tipe tersebut.

Sebaran petani menurut luas penguasaan menunjukkan bahwa bagian terbesar

adalah petani dengan luas penguasaan antara 0.1 – 0.49 hektar. Penelusuran lebih lanjut

Page 10: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 8 -

lanjut dengan pendekatan kumulatif menghasilkan kesimpulan sebagai berikut (Tabel 3). Jika

angka 2 hektar (1.99) digunakan sebagai batas untuk mendelienasi cakupan petani kecil

maka lebih dari 90 persen petani Indonesia termasuk dalam kategori tersebut, namun jika

angka yang digunakan adalah 1 hektar, maka jumlahnya sekitar 76 persen; bahkan jika angka

diturunkan lagi menjadi 0.5 hektar ternyata jumlahnya masih lebih dari separuh (53 persen).

Kondisi paling "gurem" adalah di Pulau Jawa, lokasi dimana 58 persen petani

Indonesia berada. Dengan batas atas 1 hektar saja sekitar 90 persen diantaranya sudah

termasuk dalam kategori petani kecil, dan selanjutnya jika batas atas yang digunakan adalah

0.5 hektar maka persentase petani yang tercakup dalam kelompok tersebut juga masih lebih

dari dua pertiga (69 persen).

Usahatani padi adalah bagian terbesar usahatani di Indonesia dan terkait dengan

program penelitian dan pengembangan serta penyuluhan pertanian yang terjadi selama ini

mungkun menggambarakan wilayah "frontier" aplikasi teknologi budidaya pertanian yang

sebagian besar petani Indonesia. Terkait dengan itu, dengan asumsi bahwa pemanfaatan

varietas dan penggunaan pupuk mencerminkan derajat intensifikasi dalam usahatani, hasil

analisis data PUT09 menyajikan gambaran sebagai berikut.

Dari seluruh petani padi di Indonesia, jumlah petani yang menggunakan benih padi

berdaya hasil tinggi adalah sekitar 76 persen dengan rincian varietas unggul non hibrida 73

persen dan hibrida sekitar 3 persen, sedangkan yang memanfaatkan varietas lokal adalah

sekitar 24 persen. Gambaran menurut wilayah agak paralel dengan sebaran jumlah total

petani antar wilayah tersebut. Sebagai contoh, dari seluruh petani yang menggunakan benih

hibrida tersebut sekitar 55 persennya adalah petani padi di Pulau Jawa. Peringkat berikutnya

adalah di Sumatera (33 persen) dan Sulawesi (6 persen). Untuk varietas unggul non hibrida,

sekitar 70 persen ada di Pulau Jawa, sedangkan untuk varietas lokal yang terbanyak adalah

di kalangan petani padi di Sumatera (33 persen). Khusus untuk varietas lokal ini fenomena

yang menarik adalah di Kalimantan karena sekitar 80 persen dari seluruh petani padi di

pulau besar ini memanfaatkan varietas lokal (Tabel 4).

Dalam pemupukan, jumlah petani padi pengguna versus non pengguna adalah

sekitar 92 persen versus 8 persen (Tabel 5). Dari seluruh petani petani pengguna pupuk,

sekitar 74 persen diantaranya hanya mengandalkan pupuk anorganik saja, sekitar 25 persen

lainnya menggunakan campuran pupuk anorganik dan organik, dan sekitar 1 persen

menggunakan pupuk organik saja. Fakta ini menunjukkan tingginya ketergantungan petani

terhadap ketersediaan pupuk anorganik (Urea, SP16, SP18, NPK, ZA) dan karena itu

Page 11: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 9 -

kebijakan subsidi harga pupuk merupakan salah satu agenda terpenting dalam kebijakan

pertanian Indonesia.

Dalam pembiayaan usahatani, gambaran makro yang diperoleh dari analisis PUT09

ini juga mengkonfirmasi berbagai hasil penelitian empiris lingkup mikro yang selama ini

memperoleh kesimpulan bahwa peranan perbankan dalam pembiayaan usahatani tanaman

pangan masih sangat kecil. Tabel 6 menunjukkan bahwa lebih dari 94 persen petani padi

mengandalkan biaya usahataninya dari modal sendiri. Bagi petani yang mengandalkan

modalnya dari pinjaman, ternyata sumber utama berasal dari perorangan (sesama petani,

famili, tetangga, tengkulak, pemilik lahan, dan sebagainya). Secara keseluruhan, peranan

lembaga perbankan dalam pembiayaan usahatani kurang dari satu persen.

Dengan struktur pertanian yang didominasi usahatani skala kecil (skala rumah

tangga) maka pasar tenaga kerja pertanian bersifat multidimensi. Faktor-faktor yang bekerja

dibalik permintaan dan penawaran tidak hanya mencakup variabel ekonomi semata namun

terkait pula dengan struktur sosial dan budaya, terkait pula dengan pasar lahan dan pasar

kredit, dan dinamikanya dipengaruhi oleh perubahan teknologi berproduksi. Situasi dan

kondisi tersebut mewarnai dinamika produktivitas tenaga kerja (kompensasi tenaga kerja) di

sektor pertanian.

Dengan asumsi bahwa nilai tambah per pekerja dapat digunakan sebagai proksi dari

produktivitas kerja tampak bahwa produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian adalah

sangat rendah jika dibandingkan dengan sektor-sektor perekonomian lainnya. Untuk melihat

lebih jauh ketimpangan kompensasi terhadap tenaga kerja antar sektor antar sektor,

misalkan rataan agregat 1980 dijadikan basis (indeks 1980 = 1) maka gambaran yang

diperoleh adalah sebagai berikut (Tabel 7). Pada tahun 1980, rata-rata gaji dan upah tenaga

kerja di sektor pertanian hanya sepertiga dari rataan agregat. Rataan tertinggi adalah di

sektor lembaga keuangan dan perbankan yang besarnya sekitar lebih dari 12 kali lipat rataan

agregat. Sepuluh tahun kemudian, rata-rata agregat gaji dan upah (berdasarkan harga

berlaku) meningkat menjadi 3.7 kali lipat, dan dua puluh tahun kemudian (tahun 2000)

menjadi sekitar 25 kali lipat. Dengan urutan yang sama di sektor pertanian meningkat dari

0.3 menjadi 1 (naik 3 kali lipat) pada tahun 1990 dan naik menjadi 6.5 kali lipat. Kesemuanya

itu merupakan bukti bahwa kompensasi tenaga kerja di sektor pertanian bukan hanya

terkecil, tetapi peningkatannyapun lebih rendah dari sektor lain maupun rataan agregat.

Produktivitas usahatani tanaman pangan, khususnya padi dan jagung di Indonesia

sebenarnya termasuk tinggi. Rata-rata produktivitas petani padi Indonesia memang masih

Page 12: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 10 -

lebih rendah daripada petani China ataupun Jepang, setara dengan petani India, namun

lebih tinggi daripada petani Thailand ataupun Vietnam. Bahwa sampai saat ini untuk

Indonesia seringkali masih harus mengimpor beras terutama karena sangat kecilnya garapan

usahatani. Sekedar ilustrasi, rata-rata luas lahan usahatani padi per kapita (total luas lahan

usahatani padi dibagi total jumlah penduduk) Indonesia hanya sekitar 646 M2/kapita.

Bandingkan dengan Vietnam (986 M2/kapita), China (1 120 M2/kapita), ataupun India (1 590

M2/kapita); apalagi Thailand (5 230 M2/kapita) (Pasaribu, 2009).

Terkait dengan banyaknya jumlah rumah tangga petani, skala usahanya yang kecil,

lokasinya yang tersebar di berbagai pelosok, infrastruktur pertanian dan pedesaan yang

belum cukup, dan kurang berkembangnya kelembagaan asosiasi petani maka sebagian besar

petani di Indonesia berada pada posisi tawar yang lemah. Petani dihadapkan pada pasar

masukan usahatani yang ologopolistik dan pasar keluaran usahatani yang oligopsonistik.

Secara sendiri-sendiri ataupun bersamaan, struktur pasar tersebut menciptakan perilaku

pasar yang kurang menguntungkan petani yang performanya tercermin dari tingkat harga

dimana petani harus membayar masukan yang lebih tinggi dan menerima harga penjualan

hasil panen yang lebih rendah dari level normatifnya.

Dalam rangka melindungi produsen (petani kecil) maupun konsumen (yang sebagian

besar juga miskin), pemerintah meluncurkan kebijakan harga terutama untuk komoditas

pangan strategis. Sebagai contoh, untuk mengkondisikan agar harga gabah pada saat panen

tidak merosot tajam maka Pemerintah menetapkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah

(HPP) gabah (dahulu Harga Dasar gabah) dan untuk menstabilkan harga beras agar pada saat

paceklik tidak melonjak tajam maka pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi Beras.

Bekerjasama dengan Departemen Pertanian serta Departemen terkait lainnya, lembaga yang

secara khusus ditugaskan untuk mengeksekusinya adalah Badan Urusan Logistik (BULOG).

Gambaran Lingkup Mikro

Dalam berusahatani, sebagian besar petani menggarap miliknya sendiri. Namun

demikian tidak sedikit pula yang lahan garapannya adalah milik orang lain dengan cara

menyewa, bagi hasil, menggadai, dan sebagainya. Mereka adalah petani yang tidak memiliki

lahan sendiri ataupun jika memiliki lahan sendiri tetapi luasnya relatif sangat kecil untuk

digarapnya. Ada pula kasus-kasus dimana petani menyewa atau menyakap (bagi hasil)

lahannya sendiri yang telah digadaikan kepada orang lain. Terkait dengan itu semua maka

konsep penguasaan lahan usahatani lazimnya mengacu pada pemilikan dan penggarapan.

Page 13: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 11 -

Hasil analisis data PATANAS 1995 dan 2007 menunjukkan bahwa seiring dengan

bertambahnya rumah tangga petani maka rata-rata luas penguasaan lahan usahatani

mengecil. Pada usahatani sawah di Jawa, rata-rata luas lahan menurun dari 0.49 ha pada

tahun 1995 menjadi 0.36 ha tahun 2007. Menurunnya rata-rata luas penguasaan lahan

secara konsisten juga terjadi pada agroekosistem lahan kering yang berbasis tanaman

pangan dan hortikultur maupun agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan. Secara

umum, rata-rata luas pemilikan lahan petani di Luar Pulau Jawa lebih besar daripada di Pulau

Jawa, namun juga cenderung semakin kecil (Tabel 8)6.

Gambaran tentang distribusi pemilikan lahan dapat disimak dari sebaran rumah

tangga menurut kelompok pemilikan. Tampak bahwa jumlah petani dengan penguasaan

lahan kurang 0.5 hektar ke bawah adalah sekitar 44 persen. Pada kelompok ini, jumlah

terbanyak adalah pada luasan seperempat hektar ke bawah (27 persen), sedangkan petani

tunakisma (tidak memiliki lahan sendiri sehingga menggarap milik orang lain adalah sekitar 9

persen). Di Pulau Jawa, jumlah petani yang luas pemilikannya 0.5 hektar ke bawah mencapai

57 persen, sedangkan di Luar Pulau Jawa adalah sekitar 37 persen. Demikianpun halnya

dengan petani penggarap murni, di Pulau Jawa mencapai 12 persen sedangkan di Luar Pulau

Jawa sekitar 7 persen (Tabel 9). Secara umum distribusi pemilikan lahan usahatani di

Indonesia berada pada tingkat ketimpangan sedang (indek gini berkisar 0.42 – 0.64) dan

dalam sepuluh tahun terakhir ini cenderung semakin timpang (Sudaryanto et al, 2009).

Secara garis besar penyebab utama makin mengecilnya skala usahatani terkait

dengan pertambahan jumlah rumah tangga pertanian yang jauh lebih tinggi dari

pertambahan luas areal pertanian baru, konversi lahan pertanian ke non pertanian, dan

pewarisan. Itu adalah gambaran rata-rata, sedangkan yang terjadi di lapangan beragam.

Sejumlah besar petani luas pemilikannya bertambah kecil karena dibagi-bagikan kepada

keturunannya (warisan) atau sebagian dijual, sebagian lainnya tak lagi memiliki lahan

pertanian dan beralih profesi (tidak lagi menjadi petani), dan sebagian lainnya (sebagian

kecil) lahan pertaniannya bertambah luas karena membeli dari petani lainnya baik di dalam

desa maupun di luar desa.

Peningkatan jumlah petani kecil menyebabka: (1) posisi tawar petani petani di pasar

input maupun pasar output pertanian menjadi semakin lemah, (2) kemampuan untuk

6 Sebagai bahan perbandingan, rata-rata skala usahatani (pada awal 1990) di beberapa negara di Asiaadalah sebagai berikut. Rata-rata skala usaha petani di Thailand adalah sekitar 3,36 ha, sedangkan diIndia, Jepang, Korea Selatan,dan China masing-masing adalah 1.55, 1.37, 1.23, 0,43 hektar (Fan andChan-Kang, 2003).

Page 14: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 12 -

melakukan investasi dalam usahatani menurun, (3) adopsi teknologi melambat, (4)

kontribusi usahatani dalam pendapatan rumah tangga semakin kecil, dan (5) meningkatnya

alokasi tenaga kerja rumah tangga petani ke sektor non pertanian dan migrasi tenaga kerja

kerja ke kota. Secara keseluruhan hal tersebut menyebabkan berimplikasi pada suksesi

usahatani maupun terjadinya involusi pertanian.

Melemahnya posisi tawar petani di pasar input maupun output pertanian tidaklah

mudah diatasi. Meskipun secara teoritis dapat diatasi melalui pengembangan asosiasi petani

namun secara empiris tidak mudah diwujudkan karena: (1) kepentingan petani sangat

heterogen, (2) secara agregat, net benefit dari pengembangan kelambagaan asosiasi petani

sangat kecil (bahkan di beberapa kasus negatif), sementara itu campur tangan pemerintah

untuk menekan social cost dari pengembangan kelembagaan seperti itu sangat tidak

memadai.

Rendahnya kemampuan petani untuk melakukan investasi dalam usahatani

tercermin dari beberapa fenomena berikut. Pada komunitas petani di wilayah agroekosistem

pesawahan, khususnya komunitas petani yang secara rutin menghadapi ancaman

kekeringan ternyata tingkat partisipasinya dalam pengadaan pompa irigasi hanya sekitar 8

persen. Pada komunitas petani di wilayah agroekosistem lahan kering tanaman perkebunan,

upaya untuk melakukan peremajaan tanaman perkebunan dan penanaman komoditas

perkebunan yang produktivitasnya lebih tinggi adalah relatif rendah.

Semakin melambatnya adopsi teknologi petani antara lain tercermin dari levelling

off pertumbuhan produksi padi di Indonesia (Simatupang, 2000). Sejak awal dasawarsa 90-

an berbagai terobosan di bidang teknologi usahatani padi sebenarnya cukup banyak

dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian terkait di Indonesia. Cukup banyak varietas-

varietas padi yang baru dengan produktivitas yang lebih tinggi telah berhasil diciptakan,

namun adopsinya di kalangan petani relatif rendah. Saat ini diperkirakan lebih dari 70 persen

pertanaman padi di Indonesia didominasi oleh varietas IR 64 dan Ciherang; dan hal itu telah

berlangsung kurang lebih dalam periode 10 tahun terakhir ini.

Semakin rendahnya kontribusi usahatani dalam struktur pendapatan rumah tangga

dapat dilihat dari fenomena berikut. Di perdesaan Pulau Jawa kontribusi pendapatan dari

pertanian terhadap total pendapatan rumah tangga turun dari 50 persen menjadi 25 persen

dalam periode 1995 – 2007 (Sudaryanto and Sumaryanto, 2008). Khusus untuk rumah

tangga petani, kontribusi pendapatan dari usahatani terhadap pendapatan rumah tangganya

adalah sebagai berikut. Di agroekosistem pesawahan di Pulau Jawa dan Luar Jawa masing-

Page 15: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 13 -

masing adalah 58 dan 46 persen. Dengan urutan yang sama, pada agroekosistem lahan

kering berbasis usahatani tanaman pangan dan hortikultura adalah 52 dan 48 persen.

Sedangkan di lahan kering barbasis tanaman perkebunan, di Luar P. Jawa adalah 67 persen

(PSEKP, 2008) Meningkatnya alokasi tenaga kerja rumah tangga petani ke pekerjaan non

berimplikasi menguatnya sifat "part time" dalam aktivitas usahatani. Ciri yang dapat diamati

misalnya melalui penelusuran partisipasi kerja pada kegiatan non pertanian yang terjadi

pada rumah tangga petani. Dalam konteks ini, hasil penelitian menunjukkan gambaran

sebagai berikut (PSEKP, 2008). Jika unit observasinya rumah tangga, ternyata partisipasinya

dalam kegiatan berburuh tani, usaha non pertanian, dan berburuh di sektor non pertanian

masing-masing adalah 61, 36, dan 22 persen. Sementara itu jika unit observasinya adalah

individu anggota rumah tangga, terdapat tiga kelompok kegiatan yang partisipasinya sangat

menonjol yaitu: (i) di usahatani sendiri saja (37 persen), (ii) di usahatani sendiri + berburuh

tani (20 persen), dan (iii) di usahatani + usaha rumah tangga sektor non pertanian (12

persen).

Meningkatnya jumlah petani kecil (dan mengecilnya rata-rata land size) juga

mendorong migrasi tenaga kerja rumah tangga petani ke luar desa, terutama yang

berpendidikan lebih tinggi. Hasil analisis dengan menggunakan data PATANAS 2007 (di-"up

date" pada tahun 2008) menunjukkan menunjukkan bahwa (using multinomial logit)

probabilitas individu anggota rumah tangga petani untuk memilih bekerja didalam desa, di

dalam dan di luar desa, dan di luar desa masing-masing adalah 78.5, 7.1, dan 14.4 persen.

Faktor-faktor yang berpengaruh nyata adalah luas lahan milik (negatif), tingkat pendidikan

(positif), dan fragmentasi lahan garapan (negatif).

Meningkatnya jumlah petani juga tidak kondusif untuk suksesi usahatani. Ternyata

probabilitas petani ingin, ragu-ragu, dan tidak ingin mewariskan usahataninya kepada

generasi penerusnya masing-masing adalah sekitar 24, 63, dan 13 persen. Faktor-faktor yang

mempengaruhi peluang tersebut lebih banyak berada dalam dimensi sosial – budaya yakni:

pendidikan kepala keluarga (negatif), kesukaan terhadap pekerjaan di pertanian (positif),

dan faktor sosial budaya yang berkenaan dengan wasiat/pewarisan (positif). Artinya, jika

pendekatan yang ditempuh adalah "business as usual" maka instrumen ekonomi tidak akan

afektif. Diperlukan lebih banyak pelibatan aspek-aspek sosial budaya dalam instrumen

kebijakan dalam rangka mengembangkan sistem pertanian yang lebih tangguh (diisi tenaga-

tenaga kerja pertanian produktif). Fenomena ini perlu diantisipasi mengingat tantangan di

masa mendatang (terutama implikasi dari perubahan iklim) semakin berat.

Page 16: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 14 -

Dalam kaitannya dengan suksesi usahatani tersebut, persepsi petani tentang

usahataninya menarik untuk disimak karena secara tidak langsung merefleksikan dimensi

kualitatif eksistensi pertanian skala kecil. Meskipun prersentase petani yang menyukai

pekerjaan usahatani jauh lebih banyak dari yang tidak menyukai (48 persen vs 3 persen),

namun proporsi petani yang menginginkan keturunannya melanjutkan usahataninya hanya

sekitar 23 persen. Sementara itu yang justru menginginkan agar keturunannya bekerja di

luar pertanian justru mencapai 24 persen. Jika cukup modal, petani yang ingin

mengembangkan usahataninya juga hanya sekitar 37 persen. Cukup banyak (45 persen)

petani yang menyatakan bahwa usahatani merupakan katup pengaman ekonomi keluarga

dan untuk subsistensi. Jumlah petani yang menyatakan bahwa latar belakang melakukan

usahatani adalah terkait dengan warisan/wasiat adalah sekitar 32 persen, dan yang

melakukannya karena tidak ada pilihan lain (terpaksa) adalah sekitar 37 persen. Secara

keseluruhan, sebagian besar petani meragukan prospek usahataninya dapat dijadikan

andalan untuk memperbaiki taraf hidup keluarganya di masa mendatang (Tabel 10).

Gejala involusi pertanian tampaknya masih belum hilang. Kondisi ini tercipta sebagai

akibat dari kombinasi enam faktor berikut: (i) pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi (ii)

ekspansi lahan pertanian yang berlangsung sangat lambat, (iii) pelaksanaan reforma agraria

yang tersendat, (iv) investasi sektor non pertanian di perdesaan yang rendah, dan (v)

transmigrasi ke pulau-pulau yang jarang penduduknya tersendat, dan (vi) ketidak

harmonisan antara pengembangan sistem pendidikan dengan pasar tenaga kerja. Kondisi

tersebut di atas dikhawatirkan mempersulit pengembangan kapasitas adaptasi dan mitigasi

terhadap perubahan iklim dan dalam jangka panjang berdampak negatif terhadap

ketahanan pangan dan penanggulangan kemiskinan.

ERA PASAR GLOBAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERTANIAN SKALA KECIL

Cara paling sederhana untuk memahami implikasi era pasar global terhadap

pertanian skala kecil dapat dilakukan dengan tiga langkah berikut. Pada hari pertama,

cermatilah beragam komoditas buah-buahan, daging, susu, dan berbagai bentuk pangan

olahan impor yang tersaji rapi di supermarket yang kini menjamur di Indonesia. Disitulah

salah satu jejak langkah MNC agribisnis skala raksasa dapat dilihat dan diamati dengan cara

paling sederhana. Dibalik pajangan beragam komoditas impor tersebut, bekerja suatu sistem

manajemen rantai pasok (supply chain management – SCM) yang disaiannya ditunjang

Page 17: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 15 -

teknologi informasi yang sangat maju, infrastruktur yang canggih, modal yang besar, dan

sistem manajemen perusahaan berbasis pengetahuan (knowledge management) yang selalu

diperbaharui.

Pada hari kedua, belanjalah bahan masakan di pasar tradisional (wet market).

Perhatikan tempat penjajaannya, kualitas barangnya, volume barang dagangannya,

harganya, dan perhatikan pula penjualnya karena dari sorot matanya akan dapat ditangkap

suka duka kehidupan yang diarunginya. Jangan pula lupa, bahwa sebagian dari mereka pada

waktu-waktu tertentu harus bermain "petak umpet" dengan petugas "tramtib" karena

dianggap menyebabkan kemacaten lalu lintas dan kota tidak bersih.

Pada hari ketiga, mengingat bahwa sumber pasokan barang dagangan dari para

pedagang di pasar tradisional tersebut adalah para pedagang pengumpul ataupun langsung

dari petani kecil maka bayangkanlah bagaimana nasib petani kecil. Secara keseluruhan dari

tiga langkah tersebut akan dapat dibayangkan apa sesungguhnya yang tengah dihadapi para

petani kecil dalam era persaingan pasar global saat ini7.

Liberalisasi Perdagangan dan Kehadiran Perusahaan Agribisnis Skala Raksasa8

Berpangkal pada asimetri penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, modal,

kemampuan lobi politik, dan mungkin juga jejak kolonialisme masa lalu; sistem perdagangan

komoditas pertanian di pasar internasional kurang adil terhadap negara berkembang. Upaya

untuk menciptakan sistem perdagangan bebas yang adil (fair trade) telah banyak dilakukan

melalui serangakain perundingan namun belum membawa hasil yang sesuai dengan

harapan. Putaran Doha (2001) berlangsung sangat alot dan belum berhasil mencapai

kesepakatan untuk menciptakan sistem perdagangan yang lebih adil9.

Sampai saat ini pangsa pasar internasional komoditas pangan didominasi negara

maju dan cenderung mengerucut ke sejumlah kecil yakni Amerika Serikat (jagung, minyak

kedele, gandum, daging unggas, beras, kedele, buah dan sayuran, daging sapi, susu bubuk

7Agar lebih lengkap, perhatikan pula konsumennya karena dengan itu dapat dilihat segmen pasar

masing-masing.8

Bagian tulisan ini banyak mengacu pada Sawit (2007), Sawit (2008), Hutabarat (2009), von Braun(2004), dan beberapa tulisan terkait lainnya. Atas masukannya dalam serangkaian diskusi informaldengan kedua penulis yang tersebut dahulu, penulis makalah ini mengucapkan terima kasih.9

Deklarasi Doha (WTO, 2001) menyebutkan: (i) substancial reduction in trade-distorting domesticsupport, (ii) the reduction of, with a view to phasing out, all forms of export subsidies, (iii) substantialimprovements in market acces, (iv) special and differential treatment for developing members in allelements of the negotiations. Kerangka kerja persetujuan disepakati anggota WTO pada Bulan Juli2004 dengan menyisakan agenda menyangkut aspek negosiasi pertanian (WTO, 2004).

Page 18: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 16 -

skim, dan keju), Uni Eropa (buah dan sayuran, jagung, gula, gandum, daging sapi, daging

unggas, susu bubuk skim, mentega, dan keju), Australia (jagung, gula, gandum, daging sapi,

susu bubuk skim, dan keju), Selandia Baru (daging sapi, susu bubuk skim, mentega, dan

keju), dan Kanada (mentega, daging sapi, buah dan sayuran, minyak kedele, gandum, dan

jagung) (Sawit, 2007; Sawit, 2008).

Selain keunggulannya dalam akses pasar, dominasi negara-negara tersebut

sebenarnya juga karena ditopang subsidi yang ternyata jauh lebih besar daripada subsidi

yang diterapkan oleh negara-negara berkembang. Pendapatan petani produsen beras,

petani produsen gula, dan petani produsen daging sapi yang berasal dari subsidi pemerintah

mencapai masing-masing 78, 51, dan 33 persen (Sawit, 2007).

Belum lagi sistem perdagangan internasional yang "fair" terbentuk, ekspansi

perusahaan agribisnis skala raksasa dari negara-negara maju semakin dalam menancapkan

dominasinya di berbagai negara berkembang. Melalui integrasi vertikal dari hulu – hilir,

dominasinya sangatlah kokoh sehingga ruang persaingan yang terbuka untuk negara-negara

berkembang menjadi sempit. Di hulu, perusahaan-perusahaan agribisnis raksasa tersebut

menguasai pasar peralatan pertanian, dan agrokimia, dan benih; di tengah mendominasi

industri pengolahan (agro-processing dan agro-manufacturing); dan di hilir membanjiri pasar

eceran (supermarket) dengan beragam produk pertanian segar maupun olahannya di

seluruh dunia baik di negara maju maupun negara-negara berkembang. Dua dekade yang

lalu, "Top Ten" MNC penghasil benih mengendalikan sekitar 30 % dari nilai perdagangan

benih internasional (US 24.4 milyar) dan "Top Ten" perusahaan agrokimia mengendalikan

sekitar 84 persen pangsa pasar agrokimia (US $ 30 milyar) di pasar global. Kini (setelah

proses akuisisi dan merger dari sejumlah perusahaan agribisnis raksasa) lima teratas

perusahaan raksasa yang bergerak di bidang bioteknologi pertanian mendominasi pasar:

Pharmacia (Monsanto), DuPont, Syngenta, Aventis, dan Dow (Mariano, 2002).

Tidaklah mudah memahami kompleksitas permasalahan yang ditimbulkan akibat

dari kondisi tersebut di atas. Konstelasi hubungan antar pemain di pasar global tidak lagi

dapat diterangkan dengan pendekatan teoritis berbasis konsep keunggulan komparatif; dan

penggunaan negara (state) sebagai unit analisis dalam beberapa hal menjadi kurang relevan.

Penerapan konsep keunggulan kompetitifpun tidak cukup karena strategi yang ditempuh

oleh perusahaan-perusahaan agribisnis skala raksasa dalam mengembangkan eksistensinya

di pasar global tidak hanya mengandalkan instrumen ekonomi tetapi juga menggunakan

jalur diplomasi yang berdimensi politik. Secara ringkas, Hutabarat (2009) menggambarkan

Page 19: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 17 -

situasi dan kondisi yang tercipta terkait dengan globalisasi dan liberalisasi perdagangan,

perlunya pendekatan baru dalam perumusan konsep untuk disain kebijakan, dan bagaimana

negara berkembang (Indonesia) harus menyikapinya.

Implikasi Terhadap Eksistensi Pertanian Skala Kecil

Interaksi agribisnis skala besar dari negara-negara maju dengan pertanian skala kecil

dari negara-negara berkembang bersifat asimetris. Terkendala oleh isolasi geografis,

terbatasnya penguasaan informasi, penguasaan modal yang terbatas, penguasaan teknologi

yang kurang berkembang, dan dukungan infrastruktur yang kurang memadai maka sebagian

besar pertanian skala kecil di negara-negara berkembang tetap berkutat pada persoalan

internalnya yakni rendahnya pendapatan usahatani. Di sisi lain, berbekal penguasaan

informasi dan teknologi maju, modal yang besar, sistem manajemen usaha yang canggih,

dan lobi politik yang kuat maka perusahaan-perusahaan agribisnis skala raksasa dari negara

maju mengembangkan eksistensinya secara ekspansif. Bagaikan dua makhluk dari alam yang

berbeda, sebagian besar petani kecil di negara-negara berkembang tidak menyadari bahwa

di hadapannya telah berdiri sosok pesaing yang siap mengancam eksistensinya.

Secara agregat liberalisasi perdagangan memang berdampak pisitif terhadap surplus

konsumen maupun surplus produsen. Namun efeknya terhadap distribusi pendapatan dan

pengentasan kemiskinan belum jelas karena penelitian bidang ini masih sangat langka.

Namun satu hal yang pasti adalah bahwa pada saat ini petani kecil berada pada situasi yang

kritis. Kondisi yang dihadapinya dilematis. Sementara sebagian besar petani masih tetap

berkutat dengan pendapatan usahataninya yang rendah, tenaga kerja muda semakin tidak

tertarik untuk menekuni pertanian. Stagnasi ekonomi dan terbatasnya kesempatan kerja di

pedesaan mendorong tenaga kerja pedesaan usia muda bermigrasi di kota meskipun tanpa

jaminan bahwa di lokasinya yang baru itu akan dapat hidup lebih baik (Huvio et al, 2004).

Keragaman adalah warna dasar eksistensi. Implikasi liberalisasi perdagangan

terhadap eksistensi petani kecil tidaklah homogen. Dari sudut pandang akses petani

terhadap pasar (Torero and Gulati, 2004), eksistensi petani kecil dapat dipilah menjadi tiga

tipe: (1) petani kecil subsisten dengan akses pasar lokal, (2) petani kecil dengan akses pasar

domestik, dan (3) petani kecil dengan akses pasar internasional. Fenomena tersebut perlu

dipertimbangkan secara seksama dalam perumusan kebijakan dan program pemberdayaan

petani kecil yang antara lain mencakup trade financing, perbaikan infrastruktur, inovasi

kelembagaan, serta penguatan koperasi dan contract farming (Huvio et al, 2004).

Page 20: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 18 -

Pengaruh liberalisasi perdagangan terhadap eksistensi pertanian skala kecil dalam

ekonomi domestik tergantung pada kondisi keterkaitan pasar domestik – pasar internasional

sebelum liberalisasi dan kapasitas aktor utama (pertanian skala kecil) untuk meresponnya.

Efeknya muncul dari: (i) perubahan tingkat harga input dan output, (ii) perubahan volatilitas

harga, (iii) efek tak langsung melalui proteksi relatif di pertanian versus sektor lain dalam

keseluruhan sektor perekonomian, dan (iii) nilai tukar dan pengaruh makro ekonomi lainnya

(von Braun, 2004).

Secara teoritis, pengaruh jangka pendek diakibatkan oleh terjadinya perubahan

harga relatif (produksi dan pola konsumsi tetap). Karena itu kajian tentang dampak

liberalisasi perdagangan terhadap petani kecil harus didekati melalui sisi produksi dan

konsumsi secara simultan. Dalam konteks ini, karakteristik "houshold economy" yang

melekat pada sebagian besar petani kecil beserta implikasinya dalam perilaku produksi dan

konsumsi harus dielaborasikan dengan baik dalam pemodelan.

Dalam jangka menengah dan jangka panjang, pola usahatani akan bergerser ke arah

komoditas yang menghasilkan keuntungan yang lebih besar, atau setidaknya yang tidak

menyebabkan pendapatan riilnya turun. Respon jangka panjang akan mencakup pula

investasi dan migrasi. Sejumlah pertanian skala kecil yang dapat memanfaatkan peluang

yang terbuka dari lineralisasi perdagangan akan melakukan investasi untuk mengembangkan

eksistensinya. Di sisi lain, sejumlah petani tidak mampu bertahan dan karena itu beralih

profesi ke sektor lainnya. Di tengah (mungkin bagian terbesar) akan berada pada situasi yang

dilematis: tetap berusahatani dengan pendapatan yang rendah dan prospeknya kurang jelas

atau beralih profesi ke bidang lain tetapi tak pula ada jaminan kehidupannya akan membaik.

Terkait dengan itu, strategi yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut (von Braun,

2004): (i) mengembangkan usahatani bernilai ekonomi tinggi (spesialisasi, diversifikasi, dan

komersialisasi), (ii) mencari tambahan pendapatan dari luar usahatani dan menjadi "part-

time farmer", dan (iii) beralih profesi ke sektor non pertanian (termasuk migrasi). Jalur (i)

dapat ditempuh oleh petani yang dapat mengakses pasar modern yang terintegrasi dengan

pasar internasional misalnya melalui pola kemitraan dengan perusahaan agribisnis, agro-

processing, agro-manufacturing, ataupun supermarket. Kelembagaannya dapat berupa

contract farming ataupun melalui suatu sistem koordinasi vertikal. Jalur (ii) adalah strategi

yang mungkin paling populer karena secara historis – empiris telah merupakan pola

dominan dalam strategi rumah tangga petani mempertahankan eksistensinya. Namun

berbeda dengan pola yang selama ini ditempuh, upaya-upaya untuk meningkatkan

Page 21: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 19 -

produktivitas kerja di usahataninya maupun pada kegiatan luar pertanian harus terus

dilakukan karena jika berada dalam status quo maka dalam jangka menengah peranan

usahataninya dalam ekonomi rumah tangga akan terus menyusut. Jalur (iii) merupakan

strategi yang paling layak ditempuh oleh rumah tangga petani yang skala usahanya sangat

kecil dan selama ini kontribusinya untuk menopang ekonomi rumah tangga sangat minor.

Peran Pemerintah

Sesungguhnya kewajiban pemerintah untuk memberdayakan pertanian skala kecil

tidak hanya didasari pertimbangan logis dari ketidak berdayaan petani kecil menghadapi era

pasar global. Adalah fakta bahwa pertanian Indonesia didominasi pertanian skala kecil,

sedangkan peran sektor pertanian sangat strategis karena berkaitan erat dengan aspek-

aspek sentral dalam pembangunan nasional yakni ketahanan pangan, pengentasan

kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja.

Pemberdayaan pertanian skala kecil sangat membutuhkan adanya pengembangan

infrastruktur pertanian dan pedesaan yang kondusif untuk memperlancar arus distribusi,

komunikasi, penyebaran informasi, dan akses pasar. Berbagai studi memperoleh kesimpulan

bahwa selama ini sumber utama kelemahan pertanian skala kecil berasal dari tingginya biaya

transaksi "transaction cost" dalam pemasaran input dan output pertanian. Penyebabnya

terkait dengan sangat terbatasnya infrastruktur pertanian dan pedesaan, kurang lancarnya

arus komunikasi dan penyebaran informasi, dan distribusi spatial unit-unit sentra produksi

pertanian yang terserak dan tak terkonsolidasi serta tidak "match" dengan sentra-sentra

pemasaran.

Selain infrastruktur, kebijakan dan program yang kondusif untuk meningkatkan

akses petani kecil terhadap lembaga perbankan sangat diperlukan. Selama ini rendahnya

kapasitas petani kecil untuk melakukan inovasi maupun mengadopsi teknologi yang lebih

maju disebabkan oleh keterbatasannya dalam permodalan. Stigmatisasi kalangan perbankan

komersial terhadap pertanian skala kecil sebagai unit usaha penuh risiko dan kurang layak

sebagai nasabah penerima kredit harus diubah dan pemerintah berkewajiban menetapkan

kebijakan dan program yang dapat mengubah kondisi tersebut.

Bersamaan dengan pemberdayaan kekuatan dan eliminasi sejumlah kelemahan

pertanian skala kecil tersebut, kebijakan dan program perlindungan terhadap petani kecil

mutlak diperlukan. Investasi asing langsung (FDI) memang diperlukan untuk mendorong

pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja; namun fasilitasi dan perijinan yang

Page 22: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 20 -

terkait dengan FDI tersebut harus disertai kajian yang sangat cermat, cerdas, forward

looking; terlebih-lebih jika menyangkut sektor pertanian dan eksploitasi sumberdaya

lingkungan. Dalam rangka memanfaatkan kesempatan yang terbuka maupun untuk

melindungi kepentingan domestik diperlukan peningkatan kemampuan diplomasi dalam

perundingan WTO; dan itu sangat membutuhkan bekal informasi yang komprehensif dan

mendalam mengenai sistem implikasi dari setiap perubahan aturan main dalam

perdagangan internasional terhadap pertanian domestik.

KESIMPULAN

Pertanian skala kecil merupakan bagian terbesar pertanian Indonesia dan karena itu

eksistensinya menentukan masa depan pertanian negeri ini. Eksistensinya berimplikasi pada

dimensi yang lebih luas karena sektor pertanian mempunyai peranan strategis dalam

ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, dan penyerapan tenaga kerja.

Era pasar global serta liberalisasi perdagangan telah terjadi dan akan semakin

berkembang dan implikasinya terhadap pertanian skala kecil sangat serius. Sejumlah

peluang muncul karena pasar ekspor semakin terbuka; namun pada sisi yang lain ancaman

terhadap eksistensi pertanian skala kecil juga semakin nyata seiring dengan membanjirnya

komoditas pertanian impor. Diperkirakan sejumlah petani akan mampu mengembangkan

eksistensinya dengan melalui pengembangan usahatani bernilai ekonomi tinggi namun

sebagian lainnya tak akan mampu bertahan dan karena itu harus beralih profesi ke sektor

non pertanian. Bagian terbesar, yakni berada diantara kedua kutub tersebut adalah

pertanian skala kecil yang setidaknya dalam jangka pendek – menengah masih akan berkutat

dengan situasi dan kondisi seperti saat ini.

Adalah kewajiban pemerintah untuk memberdayakan pertanian skala kecil. Untuk

itu diperlukan adanya akselerasi pengembangan infrastruktur perdesaan dan pertanian,

peningkatan akses petani terhadap lembaga perkreditan, peningkatan akses petani terhadap

pasar masukan maupun keluaran pertanian, peningkatan penguasaan teknologi panen –

pasca panen di tingkat petani, dan pengembangan agroindustri berbasis pertanian di

perdesaan. Pada saat yang sama, diperlukan pula adanya peningkatan kemampuan

diplomasi dalam berbagai putaran perundingan WTO dan kehati-hatian dalam fasilitasi

investasi asing langsung di sektor pertanian.

Page 23: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 21 -

DAFTAR PUSTAKA

Berry, A. and W. Cline. 1979. Agrarian Structure and Productivity in Developing Countries.Baltimore and London: John Hopkins University Press.

Binswanger, H. P. and M. R. Rosenzweig. 1986. Behavioral and Material Determinants ofProduction Relations in Agriculture. The Journal of Development Studies 22(3): 503 -539.

von Braun, J. 2004. Small-Scale Farmers in Liberalised Trade Environment. In Huvio, T., J.Kola, and T. Lundström (Eds.). Small-Scale Farmers in Liberalised Trade Environment.Proceeding of the Seminar on October 2004 in Haiko Finland. Publication No. 38Agricultural Policy, Department of Economics and Management, University ofHelsinki, Helsinki.

Chavas, J. P. 2001. Structural Change in Agricultural Produstion: Economics, Technology andPolicy. In Gardner, B. L. and G. C. Rausser (Eds), Handbook in Agricultural Economics.Amsterdam: Elsevier.

Diao, X., A. Somwaru, and T. Roe. 2001. A global abalysis of agricultural trade reform inWTO member countries. Economic Development Center Bulletin 01 - 1.Minneapolis: University of Minesota, Economic Development Center.

Edelman, M. 2005. Global Trade Rules and Smallholding Agriculture: Problems forSustainability. Paper prepared for the Queen Elizabeth House 50th AnniversayConference on "New Development Threats and Promises," Oxford University, 3-4July 2005. [email protected].

Fan. S.. C. Chan-Kang. 2003. Is Small Beautiful? Farm Size. Productivity and Poverty in AsianAgriculture. Paper to be presented at the 2003 International Association ofAgricultural Economists. Durban.

Gupta, A. K. 2004. Origin of agriculture and domestication of plants and animals linked toearly Holocene climate amelioration (Review Articles). CURRENT SCIENCE, VOL. 87,NO. 1, 10 JULY 2004.

Hall, B. F. and P. Le Veen. 1978. Farm Size and Economic Efficiency: The Case of California.American Journal of Agricultural Economics 60(4): 589 - 600.

Hayami, Y. 1998. The Peasant in Economic Modernization. In Eicher, C. K. and J.M. Staatz(Eds). International Agricultural Development. Baltimore and London: John HopkinsUniversity Press.

Howe, G., N. Favia, D. Lohlein, S. Haralambou, and E. Heinemann. 2004. Trade, TradeLiberalisation and Small-Scale Farmers in Developing Countries: Beyond the DohaRound. In Huvio, T., J. Kola, and T. Lundström (Eds.). Small-Scale Farmers inLiberalised Trade Environment. Proceeding of the Seminar on October 2004 in HaikoFinland. Publication No. 38 Agricultural Policy, Department of Economics andManagement, University of Helsinki, Helsinki.

Hutabarat, B. F. 2009. Kebangkitan Pertanian Nasional: Meretas Jebakan Globalisasi danLiberalisasi Perdagangan. Naskah Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang SosialEkonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, DepartemenPertanian.

Huvio, T., J. Kola, and T. Lundström. 2004. Small-Scale Farmers in Liberalised TradeEnvironment. Proceeding of the Seminar on October 2004 in Haiko Finland.Publication No. 38 Agricultural Policy, Department of Economics and Management,University of Helsinki, Helsinki.

Page 24: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 22 -

Kumbhakar, S. C. 1993. Short run Returns to Scale, Farm-Size and Economic Efficiency. TheReview of Economics and Statistics 75 (2): 336 - 341.

Narayanan, S. and A. Gulati. 2002. Globalization and the smallholders: a review of issues,approaches and implications. Markets and Structural Studies Division 50,International Food Policy Research Institute (IFPRI). Washinton, D.C: IFPRI.

Pasaribu, B. 2009. Peran Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan MenunjangTata Ruang dan Kedaulatan Pangan. Bahan Presentasi yang disampaikan padaLokakarya Pembaruan Agraria Pertanian Nasional pada 3 September 2009 di Jakarta.

Perez, M. Schesinger, and T.A. Wise. 2008. The Promise and the Perils of Agricultural TradeLiberalization: Lesson From Latin America. Washington Office of Latin America(WOLA), Washington, DC. www.wola.org.

PSEKP. 2008. Konsorsium Penelitian Karakteristik Sosial Ekonomi Petani pada Berbagai tipeAgroekosistem. Laporan Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan KebijakanPertanian (PSEKP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, DepartemenPertanian.

Rosegrant, M., M. Paisner, S. Meijer, and J. Witcover. 2001. Global Food Projections to2020. Emerging trends and alternatives. International Food Policy ResearchInstitute, Washington, D.C.

Sawit, M. H. 2007. Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi Dalam Putaran Doha WTO.Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sawit, M. H. 2008. Perubahan Perdagangan Pangan Global dan Putaran Doha WTO:Implikasi Buat Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 3, No. 6, September2008: 199 - 221.

Sen, A. 1962. An Aspect of Indian Agriculture. Economic Weekly February: 243 - 246.

Simatupang, P. 2000. Fenomena Perlambatan dan Instabilitas Pertumbuhan Produksi BerasNasional: Akar Penyebab dan Kebijakan Pemulihannya. Pusat Penelitian SosialEkonomi Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Sudaryanto, T., and Sumaryanto. 2008. Changing Household Income in Rural Indonesia: 1995- 2007. Paper presented at the 6th Asian Association of Agricultural EconomistInternational Conference: Asian Economy Renaissance: What is in It for Agriculture?.Manila, Philipinnes, 28 - 20 August, 2008.

Sudaryanto, T., S.H. Susilowati, and Sumaryanto. 2009. Increasing Trend of Small Farms inIndonesia: Causes and Consequences. Paper presented at the 111th EAAE - IAAESeminar " Small Farms: Persistence or Declined?". University of Kent, Canterbury,UK, 25 - 26 June, 2009.

Swinnen, Johan F.M. and M. Maertens. Globalization, agri-food standards and development.RIVISTA DI ECONOMIA AGRARIA / a. LXII, n. 3, settembre 2007 (pp. 413 - 421).

Torero, M. and A. Gulati. 2004. Conecting Small Holder to Markets: Role of Infrastrucureand Institutions. Policy Brief, International Food Policy Reserach Institute (IFPR).Washington, DC.

Yotopoulos, P. A. and L. J. Lau. 1973. A test for relatif economic efficisncy: Some FurtherResults. The American Economic Review 63(1): 214 - 223.

Page 25: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 23 -

LAMPIRAN

Tabel 1. Jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan, 1993 dan 2003.

Tahun 1993 Tahun 2003 Perubahan (%)

Pulau Jawa 11 564 13 262 14.7

Luar Pulau Jawa 8 954 10 789 20.5

Indonesia 20 518 24 051 17.2

Sumber: Sensus Pertanian 1993 dan 2003

Tabel 2. Jumlah rumah tangga petani padi, jagung, kedele, dan tebu di Indonesia, 2009.

Padi Jagung Kedelai Tebu Total*) Mix_index**)

Sumatera 20.1 9.3 3.9 7.3 18.6 111.8

Jawa 59.4 65.4 78.5 91.4 58.6 137.8

Bali & NT 6.4 11.5 11.4 0.1 7.7 135.6

Kalimantan 7.3 2.0 0.8 0.5 6.3 110.2

Sulawesi 6.3 9.3 3.2 0.6 7.6 118.8

Maluku & Papua 0.5 2.5 2.2 0.1 1.3 117.4

100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 129.4Indonesia

14 992 137 6 714 695 1 164 477 195 459 17 830 832

Sumber: Diolah dari data BPS "Pendataan Usahatani 2009 (PUT09)"

*) Total 100 karena sebagian petani mengusahakan lebih dari satu jenis komoditas

**)100

jum lah petani m enurut kom oditasM ix_index=

jum lah petani

Tabel 3. Sebaran rumah tangga petani menurut kelompok penguasaan lahan, 2009.

WilayahKelompokpenguasaanlahan Sumatera Jawa Bali & NT Kalimantan Sulawesi

Maluku &Papua

Indonesia

<0.1 3.16 9.33 4.30 1.54 3.16 20.96 6.99

0.1-0.49 30.56 59.28 38.16 19.21 21.72 31.18 46.59

0.50-0.99 25.55 21.26 27.04 19.57 23.36 13.68 22.46

1.00-1.99 25.53 7.90 21.15 26.33 30.90 21.51 15.27

2.00-2.99 9.39 1.40 5.89 15.60 12.26 8.26 5.04

>=3.00 5.81 0.82 3.46 17.75 8.59 4.41 3.65

Total 100 100 100 100 100 100 100

Kumulatif

< 0.1 3.16 9.33 4.30 1.54 3.16 20.96 6.99

< 0.5 33.73 68.61 42.46 20.75 24.88 52.14 53.58

< 1.0 59.27 89.87 69.50 40.32 48.25 65.82 76.04

< 2.0 84.80 97.77 90.65 66.65 79.14 87.34 91.31

< 3.0 94.19 99.18 96.54 82.25 91.41 95.59 96.35

All 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Sumber: diolah dari data BPS "PENDATAAN USAHATANI 2009 (PUT09)".

Page 26: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 24 -

Tabel 4. Distribusi rumah tangga petani padi menurut varietas ben ih yang ditanam, 2009-10-08

Hibrida Varietas Unggul Varietas Lokal

( % baris ) ( % kolom ) ( % baris ) ( % kolom ) ( % baris ) ( % kolom )Total

Sumatera 4.77 33.40 56.27 15.51 38.96 32.54 100

Jawa 2.65 54.84 86.66 70.49 10.69 26.33 100

Bali dan NT 1.58 3.53 69.54 6.14 28.89 7.73 100

Kalimantan 0.59 1.50 19.47 1.94 79.94 24.17 100

Sulawesi 2.79 6.09 65.70 5.65 31.52 8.21 100

Maluku dan Papua 4.04 0.64 42.01 0.26 53.95 1.02 100

Indonesia 2.87 100 73.02 100 24.10 100 100

Sumber: diolah dari data BPS "PENDATAAN USAHATANI 2009 (PUT09)".*) Jumlah N (rumah tangga petani padi) Indonesia 14 992 137

Tabel 5. Tingkat partisipasi petani dalam penggunaan pupuk( persen )

Menggunakan pupuk

Jenis pupuk yang digunakan

Tidakmeng-

gunakanPupuk

Anorganiksaja

Organiksaja

Anorganik+ Organik

Sub total

Total

( % )Sumatera 12.8 72.0 1.1 14.1 87.2 100

Jawa 0.1 67.0 0.1 32.8 99.9 100

Bali dan NT 20.0 71.6 1.1 7.2 80.0 100

Kalimantan 46.0 46.3 2.8 4.9 54.0 100

Sulawesi 11.1 83.8 0.5 4.6 88.9 100

Maluku dan Papua 46.0 44.8 5.0 4.1 54.0 100

Indonesia 8.2 67.7 0.6 23.5 91.8 100 *)

Sumber: diolah dari data BPS "PENDATAAN USAHATANI 2009 (PUT09)".*) Jumlah N (rumah tangga petani padi) Indonesia 14 992 137

Tabel 6. Sebaran petani padi menurut sumber utama pembiayaan usahatani( persen )

Modal utama berasal dari pinjaman dirincimenurut sumber utama pemberi pinjaman

TotalModalsendiri

Perorangan Koperasi Bank lainnya N ( % )

Sumatera 91.72 6.71 0.61 0.13 0.83 3 018 172 (100)

Jawa 95.45 3.23 0.37 0.51 0.43 8 904 913 (100)

Bali dan NT 93.24 5.04 0.74 0.19 0.79 966 398 (100)

Kalimantan 97.90 1.35 0.13 0.06 0.56 1 092 682 (100)

Sulawesi 89.63 9.14 0.27 0.13 0.83 941 837 (100)

Maluku danPapua

90.75 0.65 0.81 1.69 6.10 68 135 (100)

Indonesia 94.35 4.27 0.42 0.36 0.59 14 992 137 (100)

Sumber: diolah dari data BPS "PENDATAAN USAHATANI 2009 (PUT09)".

Page 27: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 25 -

Tabel 7. Perkembangan Tingkat Gaji dan Upah sektoral per pekerja, 1980 – 2000.

1980 1990 2000

(Rp.000/

orang)Indeks

(Rp.000/

orang)Indeks

(Rp.000/

orang)Indeks

Pertanian 56.5 0.32 174.7 1.00 1 143.5 6.51

Kehutanan 623.6 3.55 717.7 4.09 4 893.4 27.88

Perikanan 122.0 0.69 483.5 2.75 4 346.9 24.76

Pertambangan 763.4 4.35 2 592.8 14.77 30 983.6 176.51

Agroindustri1(27_34) 303.6 1.73 671.3 3.82 9 127.7 52.00

Industri lainnya 235.1 1.34 1 094.8 6.24 9 378.9 53.43

Listrik, gas, air minum 862.7 4.91 2 192.7 12.49 10 100.8 57.54

Bangunan 613.6 3.50 1 708.7 9.73 8 876.5 50.57

Perdagangan 101.2 0.58 347.0 1.98 3 075.1 17.52

Restoran dan hotel 776.8 4.43 2 227.7 12.69 6 203.2 35.34

Pengangkutan dan komunikasi 343.3 1.96 876.4 4.99 3 465.0 19.74

Lembaga keuangan 2 250.7 12.82 5 246.6 29.89 14 745.9 84.01

Pemerintahan dan pertahanan 969.8 5.52 3 275.9 18.66 10 733.5 61.15

Jasa-jasa 216.4 1.23 692.7 3.95 5 440.5 30.99

Kegiatan lain 94.3 0.54 867.4 4.94

Total 175.5 1.00 652.9 3.72 4 374.0 24.92Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

Tabel 8. Rata-rata Luas Penguasaan Lahan Usahatani Pada Berbagai TipeAgroekosistem di Indonesia, 1995 dan 2007

Average size (ha)Wilayah dan agroekosistem

1995 2007

Pulau Jawa, agroekosistem sawah 0.493 0.360

Pulau Jawa, agroekosistem lahan kering berbasis tanamanpangan/hortikultura

0.397 0.298

Luar Pulau Jawa, agroekosistem sawah 1.491 1.347

Luar Pulau Jawa, agroekosistem lahan kering berbasis tanamanpangan/hortikultura

0.987 0.985

Luar Pulau Jawa, agroekosistem lahan kering berbasis komoditasperkebunan

1.283 1.202

Sumber: diolah dari data Panel (PATANAS 1995 dan Survey Tahun 2008).

Page 28: EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL FINALpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MU_Sony.pdf · kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat

- 26 -

Tabel 9. Distribusi Rumahtangga Petani menurut Kelompok Pemilikan Lahan, 2007.

Jumlah rumah tangga petani ( persen)Kelompok pemilikan

Pulau Jawa Luar Pulau Jawa Total

Tunakisma 12.40 7.05 8.84

0-0.25 40.50 20.75 27.35

0.25-0.50 16.53 16.60 16.57

0.50-1.00 14.05 9.13 5.25

1.00-2.00 7.44 10.37 4.14

1.00-1.25 1.65 9.96 1.93

1.25-1.50 3.31 6.22 10.77

1.50-1.75 3.31 4.56 9.39

1.75-2.00 0.83 2.49 7.18

>2.00 - 12.86 12.86

Sumber: diolah dari data survey dalam kerjasama penelitian PSEKP – IFPRI – JBIC 2009.

Tabel 10. Jumlah petani (persen) menurut persepsinya terhadap usahatani yangdijalankannya, 2008.

Tidak Ragu-ragu YaPetani (Kepala Keluarga) menyukai pekerjaan di usahatani 3.3 48.8 47.9Berkeinginan usahataninya diterukan keturunannya 13.4 64.0 22.6Lebih suka keturunannya bekerja di non pertanian saja 7.0 69.0 24.0Jika cukup modal, akan mengembangkan usahataninya 8.9 54.0 37.1Merupakan katup pengaman ekonomi keluarga dan subsistensi 4.8 50.6 44.7Merupakan warisan/wasiat 22.8 45.4 31.8Tidak ada pilihan lain 7.5 55.3 37.2Sumber: Diolah dari hasil survey ( N = 360 ) dalam penelitian "Konsorsium Penelitian KarakteristikPetani Kecil Pada Berbagai Tipe Agroekosistem", PSEKP 2008.