Upload
sutrisno-sirezha
View
114
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Skizofrenia
a. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik kronis yang di
tandai oleh episode akut yang mencakup kondisi terputus dengan
realitas yang ditampilkan dalam ciri-ciri seperti waham, halusinasi,
pikiran tidak logis, pembicaraan yang tidak koheren, dan prilaku yang
aneh. Defisit residual dalam area kognitif, emosional, dan sosial dari
fungsi-fungsi yang ada sebelum episode akut (Nevid, 2003).
Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV bedasarkan
American Psychiatric Association (APA) (1994) cit. Boyd dan Nihart
(1998) menyatakan bahwa skizofrenia merupakan kumpulan dari
gejala positif dan negatif yang timbul secara signifikan selama periode
waktu 1 bulan/periode aktif tetapi tanda-tandanya berlangsung paling
sedikit selama 6 bulan. Kata skizofrenia berasal dari bahsa Yunani
yang berarti “split mind” atau pemikiran yang terpisah dan sering
dihubungkan dengan ketidakseimbangan dopamin dalam otak dan
defek lobus frontal serta keterkaitan penyebab genetik.
Skizofrenia merupakan gangguan yang benar-benar
membingungkan atau menyimpan banyak teka-teki. Pada suatu saat,
orang-orang dengan skizofrenia berpikir dan berkomunikasi dengan
sangat jelas, memiliki pandangan yang tepat atas realita, dan fungsi
secara baik dalam kehidupan balik, mereka kehilangan sentuhan
dengan realita, dan mereka tidak mampu memelihara diri mereka
sendiri, bahkan dalam banyak cara yang mendasar (Wiramihardja,
2007)
b. Penyebab Skizofrenia
Menurut model stress-diathesis, ada integrasi dari faktor
biologis, psikososial, dan lingkungan yang membuat seseorang
memiliki kerentanan spesifik terhadap stres. Kondisi stres dapat
memicu berkembangnya gejala skizofrenia dalam diri seseorang.
Sumber stres dapat berupa biologis seperti infeksi, lingkungan seperti
kondisi stres keluarga, ataupun gabungan keduanya (Sadock &
Sadock, 2003).
Skizofrenia merupakan suatu gangguan yang menyerang jiwa
manusia. Tapi walaupun demikian, faktor neurologist juga turut
berpengaruh terhadap timbulnya skizofrenia. Di bawah ini terdapat
beberapa sebab timbulnya skizofrenia, yaitu:
1) Sebab organis, yaitu adanya perubahan-perubahan pada struktur
system syaraf sentral.
2) Tipe pribadi yang schizothyme (pikiran yang kacau balau) atau
jasmaniah yang asthenis, dan mempunyai kecenderungan menjadi
skizofrenia.
3) Gangguan kelenjar-kelenjar; adanya disfungsi pada endokrin
seks, kelenjar adrenal dan kelenjar pituitary (kelenjar di bawah
otak). Atau akibat dari masa klimakterik atau menstruasi.
4) Adanya degenerasi pada energi mental. Hal ini didukung dengan
lebih dari separuh dari jumlah penderita skizofrenia mempunyai
keluarga yang psikotis atau sakit mental.
5) Sebab-sebab psikologis; kebiasaan-kebiasaan yang buruk dan
salah. Individu tidak mempunyai adjustment terhadap
lingkungannya. Ada konflik-konflik antara Superego dan id
(Ardani, 2007).
c. Tanda dan Gejala Skizofrenia
Tidak ada gejala yang spesifik pada pendeita skizofrenia karena
semua gejala penyakit ini juga dapat ditemukan pada gangguan otak
lainnya dan gejala dapat berubah sepanjang waktu. Skizofrenia
dikarakteristikkan dengan gejala positif yakni halusinasi pendengaran,
delusi, dan gangguan berpikir, serta gejala negatif seperti
demotivation, self neglect, dan redue emotion (Nadeem et al., 2004).
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang penderitanya tidak
mampu menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) dengan baik
dan pemahaman diri (self insight) buruk. Gejala-gejala skizofrenia
dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu gejala positif dan gejala negatif.
1) Gejala positif skizofrenia
a) Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional
(tidak masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara obyektif
bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun penderita tetap
menyakini kebenarannya.
b) Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada
rangsangan (stimulus). Misalnya penderita mendengar suara-
suara atau bisikan-bisikan ditelinganya padahal tidak ada
sumber dari suara atau bisikan itu.
c) Kekacauan alam pikiran, yaitu dapat dilihat dari isi
pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak
dapat diikuti alur pikiranya.
d) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif,
bicara dengan semangat dan gembira berlebihan.
e) Merasa dirinya “orang besar”, merasa serba mampu, serba
hebat dan sejenisnya.
f) Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada
ancaman terhadap dirinya.
g) Menyimpan rasa permusuhan
Gejala-gejala positif skizofrenia sebagaimana diuraikan
dimuka amat menggangu lingkungan (keluarga) dan merupakan
salah satu motivasi keluarga untuk membawa penderita berobat.
2) Gejala Negatif Skizofrenia
Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada penderita
skizofrenia adalah sebagai berikut:
a) Alam perasaan (affect) “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran
alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak
menunjukan ekspresi.
b) Menarik diri atau mengasingkan diri (with drawn) tidak mau
bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day
reaming).
c) Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara, pendiam.
d) Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
e) Sulit dalam berpikir abstrak
f) Pola pikir streotip.
g) Tidak ada atau kehilangan dorongan kehendak (avolition) dan
tidak ada inisiatif, tidak upaya dan usaha, tidak ada spontanitas
monoton, serta tidak ingin apa-apa dan serba malas (kehilangan
nafsu) (Hawari, 2009).
3) Gejala-gejalanya yang penting antara lain:
a) Dingin perasaan, tak ada perhatian pada apa yang terjadi
disekitarnya. Tidak terlihat padanya reaksi emosional terhadap
orang yang terdekat kepadanya, baik emosi marah, sedih dan
takut. Segala sesuatu dihadapinya dengan acuh tak acuh.
b) Banyak tenggelam dalam lamunan yang jauh dari kenyataan,
sangat sukar bagi orang untuk memahami pikiranya. Dan
penderita lebih suka menajuhi pergaulan dengan orang banyak,
dan suka menyendiri.
c) Mempunyai prasangka-prasangka yang tidak benar dan tidak
beralasan.
d) Sering terjadinya salah tanggapan atau terhentinya pikiran.
e) Halusinasi pendengaran, penciuman atau penglihatan, seakan-
akan penderita mendengar orang lain membicarakanya.
f) Penderita banyak putua asa dan merasa bahwa penderita adalah
korban kejahatan orang banya dan masyarakat.
g) Keinginan menjauhkan diri dari masyarakat, tidak mau bertemu
dengan orang dan sebaginya.
Respon emosional yang terjadi pada penderita skizofrenia
dapat berupa kesulitan dalam pemberian nama dan penguraian emosi
(alekstamia), kurang memiliki perasaan, emosi, minat, atau
kepedulian, dan ketidakmampuan atau menurunnya kemampuan untuk
mengalami kesenangan, kebahagiaan, keakraban, dan kedekatan.
Penderita skizofrenia tampak adanya gerakan dan perilaku abnormal.
Gerakan abnormal seperti katatonia, kelenturan seperti lilin (waxy
fleksibility), efek samping ekstrapiramidal dari pengobatan
antipsikotik, gerakan mata abnormal, meringis, kesulitan
melaksanakan tugas yang kompleks (apraksia), sengaja meniru
gerakan orang lain (ekopraksia), langkah yang tidak normal, dan
manerisme. Perilaku abnormal pada penderita skizofrenia ditunjukkan
dengan adanya deteriaorasi penampilan, agresi/agitasi, perilaku
stereotipik atau berulang, kurang energi dan dorongan, serta kurang
tekun dalam bekerja/sekolah (Stuart & Sundeen, 1998).
Menurut DSM IV cit. Sutatminingsih (2002), seseorang
dikatagorikan sebagai penderita skizofrenia apabila sekurang-
kurangnya selama 6 bulan telah menunukkan gejala-geala gangguan.
Periode 6 bulan tersebut dibagi menjadi 3 periode berdasarka gejala
yang tampak, yaitu: periode aktif selama sekurang-kurangnya 1 bulan,
periode prodormal/periode sisa sebelum periode aktif, dan periode
residual/periode sisa setelah periode aktif.
Periode prodormal ditandai dengan individu menunjukkan
gangguan-gangguan fungsi sosial dan interpersonal yang progresif.
Perubahan yang terjadi dapat berupa penarikan sosial,
ketidakmampuan bekerja secara produktif, eksentrik, pakaian yang
tidak rapi, emosi yang tidak sesuai perkembangan pikiran dan bicara
yang aneh, kepercayaan yang tidak biasa, pengalaman persepsi yang
aneh, dan hilangnya inisatif dan energi. Periode aktif dimana paling
sedikit selama satu bulan, individu mengalami simptom psikotik, yaitu
halusinasi, delusi, pembicaraan dan tingkah laku yang tidak teratur,
dan terdapat tanda-tanda penarikan diri. Sedangkan pada periode
residual terdapat simptom seperti periode sebelumnya tetapi tidak
parah dan tidak mengganggu.
d. Tipe Skizofrenia
Tipe-tipe skizofrenia menurut DSM IV (1994) cit. Kaplan et
al. (1997) antara lain:
1) Tipe Paranoid
Skizofrenia tipe paranoid memiliki kriteria preokupasi
dengan satu atau lebih waham/halusinasi dengar yang menonjol
dan tidak ada gejala berikut ini yang meonjol seperti bicara
terdisorganisasi, perilaku terdisorganisasi atau katatonik, atau afek
datar/tidak sesuai.
2) Tipe Terdisorganisasi
Skizofrenia tipe terdisorganisasi memiliki kriteria bicara
terdisorganisasi, perilaku terdisorganisasi, dan afek datar atau tidak
sesuai yang menonjol serta tidak memenuhi kriteria untuk tipe
katatonik.
3) Tipe Katatonik
Skizofrenia tipe katatonik memiliki gambaran klinis yang
didominasi oleh dua dari gambaran berikut ini:
a) Imobilitas motorik seperti yang ditunjukkan oleh katalepsi
(termasuk fleksibilitas lilin) atau stupor
b) Aktivitas motorik yang berlebihan (yang tampaknya tidak
bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
c) Negativisme yang ekstrim (suatu resistensi yang tampaknya
tanpa motivasi terhadap semua intruksi atau mempertahankan
postur yang kaku menentang semua usaha untuk digerakkan)
atau mutisme
d) Gerakan volunter yang aneh seperti mengambil postur yang
tidak lazim atau aneh secara disengaja (posturing), gerakan
stereotipik, manerisme yang menonjol
e) Ekolalia/ekopraksia merupakan dorongan kuat yang tidak
terkendalikan dari penderita gangguan jiwa untuk meniru
ucapan atau perbuatan yang dilakukan orang lain.
4) Tipe Tidak Tergolongkan
Skizofrenia tidak tergolongkan menunjukkan gejala yang
tidak memenuhi kriteria untuk tipe paranoid, terdisorganisasi atau
katatonik.
5) Tipe Residual
Skizofrenia tipe residual memiliki kriteria tidak adanya
waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi, dan perilaku katatonik
terdisorganisasi atau katatonik yang menonjol dan terdapat
gangguan seperti gejala negatif, ditemukan dalam bentuk yang
lebih lemah (misalnya keyakinan yang aneh dan pengalaman
persepsi yang tidak lazim).
e. Fase Skizofrenia
Gangguan skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan
meliputi beberapa fase dimulai dari prodromal (awal sakit), fase aktif,
dan keadaan residual (sisa).
1) Fase prodromal
Fase prodromal adalah periode terjadinya perubahan
perilaku sebelum gejala yang nyata muncul. Tanda dan gejala
fase prodromal bisa mencakup kecemasan, gelisah, merasa
diteror, atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien
didapatkan bahwa sebagian dari mereka mengeluhkan gejala
somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot,
kelemahan, dan problem pencernaan, perubahan minat,
kebiasaan, perilaku, dan pasien mengembangkan gagsan abstrak,
filsafat dan keagamaan. Gejala prodromal tersebut dapat
berlangsung beberapa bulan beberapa tahun sebelum diagnosis
pasti skzofrenia ditegakkan (Sudiyanto, 2004; Kirkpatrick &
Tek, 2005).
2) Fase aktif
Fase skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang
nyata secara klinik, yakni kekacauan alam pkir, perasaan, dan
perilaku. Penilaian terhadap realita mulai terganggu dan
pemahaman dirinya buruk atau bahkan tidak ada (Sudiyanto,
2004).
3) Fase residual
Fase residual atau stabil muncul setelah fase akut atau
setelah terapi dimulai. Ditandai dengan menghilangnya beberapa
gejala klinis skizofrenia sehingga tinggal satu atau dua gejala sisa
yang tidak terlalu nyata secara klinis, misalnya penarikan diri,
perilaku aneh (bicara atau tersenyum sendiri, mengumpulkan
sampah), dan defisit perawatan diri (Sudiyanto, 2004).
f. Penatalaksanaan Skizofrenia
Skizofrenia diyakini merupakan interaksi dari tiga faktor
(biogenik-psikogenik-sosiogenik) maka pengobatan gangguan
skizofrenia juga diarahkan pada ketiga faktor tersebut yaitu
somatoterapi, psikoterapi, dan sosioterapi. Dengan kata lain, tidak ada
pengobatan tunggal yang dapat memperbaiki keanekaragaman gejala
dan disabilitas berkaitan dengan skizofrenia, tetapi harus dilakukan
secara komprehensif (Kaplan, 2003; Maramis, 1998; Syamsulhadi,
2004).
1) Somatoterapi
Sasaran utama somatoterapi adalah tubuh manusia dengan
harapan pasien akan sembuh melalui reaksi holistik. Somatoterapi
yang umum dilakukan adalah psikofarmaka dan ECT
(Electroconvulsive Therapy). Psikofarmaka atau disebut obat
neuroleptika/antipsikotika dibedakan menjadi dua golongan tipikal
(konvensional) dan golongan atipikal (generasi kedua). Dasar
pemilihan suatu jenis psikofarmaka adalah atas pertimbangan
manfaat dan resiko secara individual yang mencakup
farmakokinetik dan farmakodinamik. Semua antipsikotik yang saat
ini tersedia (tipikal maupun atipikal) adalah bersifat antagonis
reseptor dopamni D2 dalam mesokortikal. Blokader reseptor D2 ini
cenderung menyebabkan symptom ekstrapiramidal walaupun
secara umum golongan atipikal mempunyai resiko efek samping
neurologik yang lebih rendah (dibandingkan antipsikotik tipikal).
Antipsikotik golongan atipikal dengan efek samping neuromotorik
relatif sedikit tersebut merupakan suatu kemauan terapi terhadap
skizofrenia. Meskipun demikian tetap harus dipertimbangkan
bahwa efek samping lain yang tidak diinginkan dari golongan
atipikal tersebut yaitu peningkatan berat badan, hiperprolaktinemia,
hiperglikemia, dan dislipidemia. Akibat kurang baik lainnya seperti
dislipidemia, ketoasidosis diabetika, diabetes melitus, dan
perubahan elektrokardiografi (EKG) serta resiko kanker payudara
akibat hiperprolaktinemia juga telah dicatat pada penggunaan
antipsikotik atipikal (Kaplan & Sadock, 2003).
Jenis intervensi somatogenik selain psikofarmaka adalah
ECT. Bagaimana sebenarnya cara kerja ECT sehingga dapat
menyembuhkan penderita gangguan jiwa sampai sekarang belum
diketahui pasti walaupun beberapa teori telah diajukan dimana ada
yang berorientasi secara organik tetapi ada juga yang tidak
berorientasi organik.
2) Psikoterapi
Terapi psikososial dimaksudkan agar pasien skizofrenia
mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya
dan mampu merawat diri, mandiri, serta tidak menjadi beban bagi
keluarga dan masyarakat (Syamsulhadi, 2004). Termasuk dalam
terapi psikososial adalah terapi perilaku, terapi berorientasi
keluarga, terapi kelompok, dan psikoterapi individual (Kaplan &
Saddock, 2003).
2. Keluarga
a. Definisi Keluarga
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan
fondasi primer bagi perkembangan anak juga memberikan pengaruh
yang menentukan bagi pembentukan watak dan kepribadian anak,
yaitu memberikan stempel yang tidak baik bisa dihapuskan bagi
kepribadian anak. Maka baik-buruknya keluarga ini memberikan
dampak yang positif atau negatif pada pertumbuhan anak menuju
kepada kedewasaan (Kartono,1989).
Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang paling
penting di dalam masyarakat. Keluarga merupakan sebuah group yang
terbentuk dari perhubungan laki-laki dan wanita, perhubungan sedikit
banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-
anak. Jadi keluarga dalam bentuk yang murni merupakan satu
kesatuan sosial yang terdiri dari suami istri dan anak-anak yang belum
dewasa (Ahmadi, 2007).
b. Fungsi Keluarga
Keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku
penerus keturunan saja. Dalam bidang pendidikan, keluarga
mempunyai sumber utama, karena segala pengetahuan dan kecerdasan
intelektual manusia diperoleh pertama-tama dari orang tua dan
anggota keluarga sendiri. Karena merupakan produsen dan sekaligus
konsumen, serta harus mempersiapakan dan menyediakan segala
kebutuhan sehari-hari seperti sandang dan pangan. Setiap anggota
keluarga di butuhkan dan saling membutuhkan satu dan yang lainya
supaya mereka dapat hidup lebih senang dan tenang (Syamsulhadi,
2004).
Menurut Ahmadi (2007) pekerjaan-pekerjaan yang harus
dilaksanakan oleh keluarga itu dapat digolongkan ke dalam beberapa
fungsi yaitu :
1) Fungsi biologis, dengan fungsi ini diharapkan agar keluarga dapat
menyelenggarakan persiapan-persiapan perkawinan bagi anak-
anaknya. Dengan persiapan yang cukup matang ini dapat
mewujudkan suatu bentuk kehidupan rumah tangga yang baik dan
harmonis. Kebaikan rumah tangga ini dapat membawa pengaruh
yang baik pula bagi kehidupan bermasyarakat.
2) Fungsi pemeliharaan, keluarga diwajibkan untuk berusaha agar
setiap anggotanya dapat terlindung dari gangguan-gangguan
sebagai berikut:
a) Gangguan udara dengan berusaha menyediakan rumah
b) Gangguan penyakit dengan berusaha menyediakan obat-obatan
c) Gangguan bahaya dengan berusaha menyediakan senjata,
pagar tembok dan lain-lain.
3) Fungsi ekonomi, keluarga berusaha menyelenggarakan kebutuan
manusia yang pokok yaitu:
a) Kebutuhan makan dan minum
b) Kebutuhan pakaian untuk menutup tubuhnya
c) Kebutuhan tempat tinggal, sehubungan dengan fungsi ini
keluarga juga berusaha melengkapi kebutuhan jasmani dimana
keluarga (orang tua) diwajibkan berusaha jasmaniah baik yang
bersifat umum maupun yang bersifat individual.
4) Fungsi keagamaan, keluarga diwajibkan untuk menjalani dan
mendalami ajaran-ajaran agama dalam pelakunya sebagai manusia
yang taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
5) Fungsi sosial, dengan fungsi ini di harapkan agar di dalam
keluarga selalu terjadi pewarisan kebudayaan atau nilai-nilai
kebudayaan (Ahmadi, 1991).
c. Tujuan Keluarga dalam Bidang Kesehatan
Keluarga harus memiliki tugas dalam pemeliharaan kesehatan
para anggota dan saling memelihara untuk mencapai tujuan kesehatan
keluarga. Tugas kesehatan yang harus dilakukan oleh keluarga
menurut Effendy (1998) yaitu:
1) Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya.
Keluarga mengenal perkembangan emosional dari anggota
keluarga dan tingkah laku ataupun aktivitas yang normal atau
tidak normal untuk dilakukan. Hal ini erat hubungannya dengan
pengetahuan keluarga akan gejala-gejala gangguan jiwa.
2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat.
Segera setelah keluarga mengetahui bahwa ada kondisi anggota
keluarga tidak sesuai dengan normal maka sebaiknya keluarga
memutuskan dengan cepat tindakan yang harus dilakukan untuk
keseimbangan anggota keluarganya dengan segera membawanya
ke petugas kesehatan.
3) Memberikan pertolongan kepada anggota keluarganya yang sakit
dan yang tidak dapat membantu diri sendiri karena cacat fisik
ataupun mental. Karena penderita gangguan jiwa tidak bisa
mandiri untuk memenuhi kebutuhan aktivitas hidupnya.
4) Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan
kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga.
Keluarga membuat iklim yang kondusif bagi penderita gangguan
jiwa di lingkungan rumah agar merasa nyaman dan merasa tidak
diikucilkan dari keluarga.
5) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan
lembaga-lembaga kesehatan yang menunjukkan pemanfaatan
dengan baik fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada. Untuk
kesembuhan penderita gangguan jiwa, keluarga harus memiliki
banyak informasi mengenai kesehatan jiwa anggota keluarganya
dari lembaga petugas kesehatan yang ada.
d. Respon keluarga terhadap anggota skizofrenia
Ketika gangguan jiwa dipandangan sebagai suatu beban sendiri
bagi keluarga, maka hal itu dapat dibedakan menjadi bersifat obyektif
dan subyektif. Dikatakan obyektif, maksudnya berupa tingkah laku
pasien, peran pasien, bantuan untuk memenuhi kebutuhan pasien,
masalah keuangan dan lain-lain. Sedangkan beban keluarga dikatakan
bersifat subyektif, maksudnya berupa perasaan pasien karena menjadi
beban bagi keluarga. Kategori respon keluarga terhadap anggota
keluarga dengan gangguan jiwa menurut Susana (2007):
1) Berduka (grief)
Berduka adalah respon wajar yang paling umum terjadi
sehubungan dengan adanya proses kehilangan seseorang yang
awalnya dikenal sebelum sakit, untuk kemudian hilangnya harapan
pada pasien, hanya masalahnya, seberapa dalam dan lamanya
respon berduka ini dialami oleh keluarga, seawal mungkin perawat
mampu mengidentifikasinya, sehingga keluarga maupun pasien
sendiri dapat pulih dengan segera.
2) Marah (anger)
Respon berikutnya ketika berduka dialami keluarga, maka
akan berhadapan dengan respon kedua yaitu marah. Respon
tersebut merupakan hal yang wajar namun jangan sampai perilaku
tersebut membawa keluarga kedalam penderitaan yang justru
semakin parah lagi.
3) Merasa tidak berdaya dan takut
Keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa merupakan suatu beban tersendiri. Keluarga
berupaya untuk mengobati atau menyembuhkan pasien
skizofrenia. Pada kenyataanya patologis gangguan jiwa itu sendiri
semakin lama diderita justru semakin sulit kesembuhannya, inilah
yang menyebabkan keluarga merasa tidak berdaya dan takut.
Perasaan keluarga demikian, di negara kita juga didukung
oleh rata-rata keadaan ekonomi yang pas-pasan bahkan
kekurangan, sehingga sangat wajar, apabila tidak sedikit mereka
yang terganggu jiwanya menjadi gelandangan atau keluyuran
dimana-mana atau tersangkut oleh razia dinas sosial (Susana,
2007).
e. Penerimaan Keluarga
Penerimaan keluarga terhadap skizofrenia ditandai dengan
adanya perhatian dan kasih sayang, memberikan waktu berperan serta
dalam kegiatan sehari-hari, tidak mengharapkan terlalu banyak pada
penderita. Penerimaan keluarga terhadap skizofrenia yang sebenarnya
sesuai dengan pemahaman yang dimiliki keluarga akan menerima
kondisi penderita baik secara mental maupun fisik serta memberikan
kasih-sayang, perhatian yang banyak dan mampu untuk memahami
perkembangan sejak dini. Menerima seseorang dengan ikhlas, tepat
serta apa adanya orang tersebut, adalah faktor kritis dalam membantu
mengembangkan perubahan konstruktif orang tersebut, dalam
memberi kemudahan pemecahan problemnya, dan mendorong usaha
menuju kesehatan jiwa yang lebih besar atau belajar produktif
(Gordon, 1996).
3. Faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan pasien skizofrenia oleh
keluarga
Rivai (1996) mengatakan bahwa rumah sakit jiwa seringkali
mengalami kesulitan memulangkan klien ke pihak keluarga, sebab setiap
kali hanya dalam waktu beberapa hari akan kambuh kembali, selain itu
keluarga pasien sering menolak menerima kembali dengan berbagai
macam alasan serta kurangnya pengertian terhadap penanganan dan
perawatan pasien mantan gangguan jiwa. Pasien dengan perawatan pasien
dengan gangguan jiwa di rumah sakit jiwa memang memerlukan waktu
yang lama, terutama pasien dengan gangguan jiwa kronis (menahun),
disebabkan kurangnya keterlibatan keluarga untuk ikut serta cara
perawatannya sehari-hari, sehingga keluarga tidak siap dan tidak dapat
beradaptasi dengan pasien lagi.
Proses perencanaan kepulangan klien gangguan jiwa dari Unit
Psikiatri di awali dengan pertemuan yang pada proses keperawatan
disebut dengan proses pangkajian. Proses pengkajian ini penting
dilakukan untuk memperoleh data dari pasien dan keluarga sehingga
dapat ditemukan masalah yang dihadapi pasien dan keluarga berhubungan
dengan keadaan kesehatan pasien dan perawatannya di rumah. Biasanya
yang dikaji adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kesiapan
mereka menerima kepulangan pasien gangguan jiwa dan faktor-faktor
tersebutlah yang paling banyak menjadi alasan keluarga menolak
kehadiran klien gangguan jiwa ditengah-tengah keluarga mereka (Depkes
RI 1994).
`Adapun beberapa faktor yang perlu dikaji adalah sebagai berikut:
1) Pengetahuan keluarga
Sebagai sebuah keluarga, seharusnya mengetahui tentang
peran dan tanggung jawab dalam proses keperawatan yang
direncanakan untuk perawatan klien dirumah. Faktor ini adalah salah
satu faktor yang sering kali diabaikan oleh pihak keluarga padahal
peran keluarga dalam proses penyembuhan merupakan peran yang
paling penting (Depkes RI, 1994).
Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan
awal usaha dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota
keluraganya. Keluarga selain dapat meningkatkan dan
mempertahankan kesehatan mental anggota keluarga, juga dapat
menjadi sumber problem bagi anggota keluarga yang mengalami
persoalan kejiwaan keluarganya (Notosoedirdjo & Latipun, 2005).
Keluarga harus menambah pengetahuan dan melengkapi
dirinya dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan sehingga
dapat memperlakukan mereka dalam keluarga secara baik dan
memadai, bersifat terapeutik dan membawa anggota keluarga tersebut
kepada kesembuhan yang seteru. Perlakuan-perlakuan keluarga
terhadap salah satu anggota keluarga yang mengidap perilaku
kekerasan, apabila tidak disertai pengetahuan dan sikap yang benar
dapat mengakibatkan kekambuhan kembali (Chandra, 2004).
Penelitian lain juga menunjukkan perlunya terapi pada
keluarga diberikan untuk kesiapan keluarga dalam menerima
kepulangan pasien jiwa dengan membekali mereka pengetahuan-
pengetahuan tentang perawatan pasien perilaku kekerasan untuk
mendukung kesembuhan penderita (Ayub & Wigan, 2004).
Sebuah keluarga dengan penderita gangguan jiwa perlu
menegetahui dan menyadari keadaan diri penderita, mengambil
keputusan untuk menetukan bagaimana sikap yang sebaiknya diambil
agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Banyak keluarga
yang berpendapat bahwa penderita boleh berhenti minum obat
(berobat) apabila gejala-gejala sudah menghilang/berkurang, juga
banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa
hanya perlu medikasi (obat-obatan) untuk dapat sembuh saat proses
pemulihannya dirumah. Hal ini jelas keliru, terapi bagi penderita
gangguan jiwa bukan hanya pemberian obat dan rehabilitasi medik,
namun diperlukan peran keluarga guna resosialiosasi dan pencegahan
kekambuhan (Vijay, 2005).
a) Peran serta keluarga dalam perawatan klien skizofrenia
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang
memberi perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit)
pasien skizofrenia. Umumnya, keluarga meminta bantuan tenaga
kesehatan jika mereka tidak sanggup lagi merawatnya. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab
kambuhnya gangguan jiwa adalah keluarga yang tidak tahu cara
menangani perilaku klien di rumah. Keluarga merupakan tempat
individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya.
Keluarga merupakan “institusi” pendidikan utama bagi individu
untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap, dan
perilaku. Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga,
dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu dalam
mengadopsi perilaku tersebut. Semua ini merupakan persiapan
individu untuk berperan di masyarakat (Keliat, 1996).
Menurut Hawari (2003) salah satu kendala dalam upaya
penyembuhan pasien gangguan jiwa adalah pengetahuan
masyarakat dan keluarga. Keluarga dan masyarakat menganggap
gangguan jiwa penyakit yang memalukan dan membawa aib bagi
keluarga. Penilaian masyarakat terhadap gangguan jiwa sebagai
akibat dari dilanggarnya larangan, guna –guna, santet, kutukan dan
sejenisnya berdasarkan kepercayaan supranatural. Dampak dari
kepercayaan masyarakat dan keluarga, upaya pengobatan pasien
gangguan jiwa dibawa berobat ke dukun atau paranormal. Kondisi
ini diperberat dengan sikap keluarga yang cenderung
memperlakukan pasien dengan disembunyikan, diisolasi,
dikucilkan bahkan sampai ada yang dipasung.
b) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoadmojo (2003) pengetahuan dipengaruhi oleh faktor :
(1) Pendidikan
Pendidikan adalah proses belajar yang berarti terjadi
proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah
yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri
individu, keluarga atau masyarakat. Beberapa hasil penelitian
mengenai pengaruh pendidikan terhadap perkembangan
pribadi, bahwa pada umumnya pendidkan itu mempertinggi
taraf intelegensi keluarga dalam merawat pasien skizofrenia
agar pasien skizofrenia mampu kembali ke keluarga dan
beradaptasi dengan lingkungan.
(2) Persepsi
Persepsi, mengenal dan memilih objek sehubungan
dengan tindakan yang akan diambil. Persepsi keluarga tentang
skizofrenia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kesembuhan pasien skizofrenia tersebut. Keluarga
menganggap skizofrenia merupakan penyakit yang memalukan
dan membawa aib bagi keluarga maka hal ini juga akan
mempengaruhi kesembuhan pasien skizofrenia.
(3) Motivasi
Motivasi merupakan dorongan, keinginan dan tenaga
penggerak yang berasal dari dalam diri seseorang untuk
melakukan sesuatu dengan mengesampingkan hal-hal yang
dianggap kurang bermanfaat. Dalam mencapai tujuan dan
munculnya motivasi dan memerlukan rangsangan dari dalam
individu maupun dari luar. Motivasi murni adalah motivasi
yang betul-betul disadari akan pentingnya suatu perilaku akan
dirasakan suatu kebutuhan.
Motivasi keluarga dalam mencari informasi tentang
skizofrenia mempengaruhi cara keluarga melakukan perawatan
pada pasien skizofrenia. Tingginya motivasi keluarga untuk
mendapatkan informasi menunjang tingginya pengetahuan dan
informasi yang diperoleh keluarga mengenai skizofrenia
(4) Pengalaman
Pengalaman adalah sesuatu yang dirasakan (diketahui,
dikerjakan) juga merupakan kesadaran akan suatu hal yang
tertangkap oleh indera manusia. Faktor eksternal yang
mempengaruhi pengetahuan antara lain meliputi : lingkungan,
sosial, ekonomi, kebudayaan dan informasi. Lingkungan
sebagai faktor yang berpengaruh bagi pengembangan sifat dan
perilaku individu. Sosial ekonomi, penghasilan sering dilihat
untuk memiliki hubungan antar tingkat penghasilan dengan
pemanfaatan.
Kecenderungan perawatan berulang pada pasien
skizofrenia merupakan pengalaman keluarga dalam merawat
pasien skizofrenia. Pengalaman tersebut merupakan
pembelajaran kepada keluarga tentang bagaimana cara yang
tepat merawat pasien skizofrenia
2) Struktur keluarga
Struktur keluarga meliputi pola dan proses komunukasi yang
memungkinkan anggota keluarga untuk mengekspresikan marahnya,
sedih, gembira, komunikasi yang terbuka, komunikasi yang dapat
menyelesaikan konflik keluarga, suasana emosi yang hangat, saling
percaya, menghargai, memperhatikan dan menerima. Pelaksanaan
peran yang dilakukan keluarga, nilai-nilai yang dimilki dan dianut
keluarga yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, norma sosial
yang dianut oleh masyarakat turut mempengaruhi kesiapan keluarga
(Depkes RI, 1994).
Menerima kenyataan adalah kunci pertama proses
penyembuahan atau pengendalian perilaku kekerasan. Keluarga harus
bersikap menerima, tetap berkomunikasi dan tidak mengasingkan
penderita. Tindakan kasar, berantakan atau mengucilkan justru akan
membuat penderita skizofrenia semakin depresi bahkan cenderung
bersikap kasar. Akan tetapi, terlalu memanjakan juga tidak baik
(Chandra, 2004).
Tetapi yang kita temukan pada kenyataannya justru keluarga
menjadi emosional, kritis, bahkan bermusuhan, jauh dari sikap hangat
yang dibutuhkan ketika berhadapan dengan penderita memicu
kekambuhan (Sumarjo, 2004). Penelitian tentang faktor psikologis
sebagai sebab skizofrenia berfokus pada hubungan orang tua dan
anak, pola komunikasi dalam keluarga. Penelitian keluarga penderita
skizofrenia mengidentifikasikan dua tipe keluarga yang tampaknya
dapat menyebabkan gangguan tersebut. Pada keluarga pertama orang
tua sangat menarik batas dan tidak mau bekerja sama untuk mencapai
tujuan bersama, masing-masing tidak menghargai dan mencoba
mendominasi yang lain serta berlomba memperoleh kesetiaan
anaknya. Kedua tidak terdapat perselisihan yang terbuka, orang tua
yang dominan menunjukkan psikopatologi yang serius sehingga orang
tua yang satunya secara pasif menerimanya sebagai hal normal. Kedua
keluarga di atas mengambarkan keluarga yang aneh, tidak dewasa,
dan yang memanfaatkan anaknya untuk memenuhi kebutuhan mereka
dan dengan mudah menyebabkan anak-anak merasa bingung, terasing
dan tidak yakin akan perasaan yang sebenarnya. Dalam arti tertentu
anak-anak tumbuh dan belajar menerima distorsi-distorsi realita orang
tuanya sebagai hal yang normal (Otong, 1994).
Tabel 2.1 Beberapa sikap orang tua yang kurang bijaksana dan
pengaruhnya terhadap anak
Sikap orang tua Pengaruh terhadap perkembangan
kepribadian anak dan sifat atau sikap
yang mungkin timbul
Melindungi anak secara
berlebihan karena
memanjakannya
Hanya memikirkan dirinya sendiri,
hanya tidak menuntut saja, lekas
berkecil hati, tidak tahan kekecewaan.
Ingin menarik perhatian kepada dirinya
sendiri. Kurang rasa bertanggung
jawab. Cenderung menolak peraturan
dan minta dikecualikan.
Melindungi anak secara
berlebihan karena sikap
“berkuasa” dan “harus
tunduk saja”
Kurang berani dalam pekerjaan,
condong lekas menyerah. Bersikap
pasif dan bergantung kepada orang lain.
Ingin menjadi “anak emas” dan
menerima saja segala perintah
Penolakan Merasa gelisah dan diasingkan.
Bersikap melawan orang tua dan
mencari bantuan kepada orang lain.
Tidak mampu memberi dan menerima
kasih sayang.
Menentukan norma-
norma etika dan moral
yang terlalu tinggi
Menilai dirinya dan hal lain juga
dengan norma yang terlalu keras dan
tinggi. Sering kaku dan keras dalam
pergaulan. Cenderung menjadi
sempurna (“perfectionnism”) dengan
cara yang berlebihan. Lekas merasa
bersalah, berdosa, dan tidak berarti.
Disiplin yang terlalu
keras
Menilai dan menuntut dari pada dirinya
juga secara terlalu keras. Agar dapat
meneruskan dan menyelesaikan sesuatu
usaha dengan baik, diperlukan sikap
menghargai yang tinggi dari luar.
Disiplin yang tidak
teratur atau bertentangan
Sikap anak terhadap nilai dan
normapun tidak teratur. Kurang tetap
dalam menghadapi berbagai persoalan
karena adanya berbagai nilai yang
bertentangan.
Sumber: (Yosep, 2008)
3) Dukungan Keluarga
Keluarga sebagai sebuah kelompok yang dapat menimbulkan,
mencegah atau memperbaiki masalah kesehatan yang dalam hal ini
adalah gangguan jiwa yang ada dalam kelompoknya sendiri, oleh
karena itu keluarga merupakan sistem yang terutama sebagai
pendukung bagi klien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Maka
dukungan keluarga dan lingkungan menjadi faktor yang penting
(Depkes RI, 1994).
Keluarga pasien diharapkan memberikan perhatian khusus
kepada penderita. Biasanya keluarga yang memiliki anggota keluarga
yang menderita gangguan mental menyembungikannya sehingga tidak
terlihat oleh tamu-tamu yang datang ke rumah mereka. Hal ini tidak
dapat dibenarkan karena penderita akan merasa dikucilkan. Yang
harus dilakukan adalah menyapa penderita setiap hari dan
memberikan perhatian agar mereka tidak disingkirkan (Chandra,
2004).
Kesedian keluarga untuk tetap merawat dan tetap
mengakuinya sebagai bagian dari orang yang disayangi sangatlah
diperlukan agar mereka tetap merasa dihargai sebagai manusia
layaknya. Dukungan keluarga dan teman merupakan salah satu obat
penyembuhan yang sangat berarti bagi penderita. Dengan dibentuknya
kelompok keluarga gangguan jiwa dimasyarakat akan memungkin
pasien dan keluarga gangguan jiwa di masyarakat akan
memungkinkan klien dan keluarga mengadakan diskusi dan tukar
pengalaman dalam mengatasi gejala yang timbul pada pasien
gangguan jiwa. Sayangnya masyarakat sendiri justru mengasingkan
keberadaan penderita gangguan jiwa sehingga hal ini turut
mempengaruhi sikap keluarga terhadap pasin bahkan gangguan jiwa
dianggap sebagai penyakit yang membawa aib bagi keluarga sehingga
diputuskan untuk dibuang oleh keluarganya sendiri, akhirnya faktor
lingkungan dalam keluarga justru tidak mendukung kesembuhan
pasien (Sumarjo, 2004).
Penyakit jiwa sampai saat ini memang masih dianggap sebagai
penyakit yang memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan
keluarganya sendiri. Masyarakat kita menyebut penyakit jiwa pada
tingkat yang paling parah seperti “gila”, sehingga penderita harus
disembunyikan atau dikucilkan, bahkan lebih parah lagi ditelantarkan
oleh keluarganya. Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat secara etis
untuk melakukan diskriminasi dan perlakuan buruk terhadap penderita
kelainan jiwa. Karena pengucilan dan diskriminasi justru
memperburuk kondisi penderita itu sendiri. Tempat terbaik bagi
penderita gangguan jiwa bukan di panti rehabilitasi atau di rumah
sakit jiwa, apalagi dijalanan. Tempat terbaik bagi mereka adalah
berada di tengah-tengah keluarganya, diantaranya orang-orang yang
dicintainya. Yang mereka butuhkan adalah perhatian, pengertian,
dukungan, cinta dan kasih sayang. Perhatian dan kasih sayang tulus
dari keluarga dan orang-orang terdekatnya akan sangat membantu
proses penyembuhan kondisi jiwanya (Tarjum, 2004).
Sudah seharusnya keluarga dapat mengurangi persepsi dan
diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa dalam keluarga dan
memberikan dukungan sosial kepadanya, rasa empati, penerimaan,
mendorong untuk mulai berinteraksi sosial, dan dorongan untuk tidak
berputus asa dan terus berusaha. Terapi sosial ini akan sangat
membantu penderita gangguan jiwa dalam menghadapi peristiwa-
peristiwa yang menjadi stressor bagi penderita (Nash, 2005).
Penyakit gangguan jiwa ini sesungguhnya dapat teratasi
dengan syarat ditangani secara tepat dan cepat. Dukungan moril dari
keluarga dan orang-orang terdekat jelas sangat penting bagi penderita.
Ironisnya penerimaan merupakan hal tersulit yang dapat diperoleh
seorang penderita. Masih banyak orang tua yang malu mengakui
anaknya adalah pengidap gangguan jiwa. Penyangkalan ini justru
semakin menjauhkan penderita dari kemungkinan untuk sembuh
(Sumarjo, 2004).
Jenis dukungan keluarga:
a. Dukungan emosional : pasien skizofrenia membutuhkan empati
dari orang lain. Bilamana orang dapat menghargai, mempercayai
dan mengerti dirinya lebih baik, pasien skizofrenia akan menjadi
lebih terbuka terhadap aspek-aspek baru dalam pengalaman
hidupnya.
b. Dukungan penghargaan : pasien skizofrenia membutuhkan
penghargaan yang positif. Penilaian atas usaha-usaha yang
dilakukan dan peran sosial yang terdiri atas umpan balik
merupakan alat yang digunakan untuk memberikan masukan-
masukan agar seseorang mengurangi perasaan-perasaan negatif
yang dirasakan, dan mengembangakan harga diri pasien
skizofrenia yang positif.
c. Dukungan informatif : pemberian informatif dimaksudkan agar
informasi dapat digunakan untuk mengatasi masalah pribadi
maupun masalah lain. Informasi ini mencangkup pemberian
nasehat, pengarahan, saran-saran dan keterangan-keterangan
yang dibutuhkan oleh pasien skizofrenia.
d. Dukungan instrumental: dukungan yang berupa batuan langsung
seperti ketika orang lain memberikan bantuan tenaga atau
pikiran atau membantu mengeluarkan dari stres pada pasien
skizofrenia (Kartono, 1989).
4) Status Ekonomi Keluarga
Faktor ini juga adalah faktor yang penting di kaji dari keluarga
karena pada umumnya kemampuan finansial keluarga pasien dengan
gangguan jiwa tidak memungkinkan untuk membiayai penyembuhan
penyakit yang cenderung berjalan kronis sehingga kejadian seperti ini
memicu tindakan dan sikap keluarga terhadap penolakan pasien
gangguan jiwa (Chandra, 2004).
Vijay (2005) juga mengatakan bahwa perawatan yang
dibuthkan penderita gangguan jiwa menimbulkan dampak yang besar
bagi keluarga, yaitu dampak ekonomi yang ditimbulkan berupa
hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun
keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya perawatan yang
harus ditanggung.
B. Kerangka Teori
Sumber (Depkes RI, 1994; Nevid, 2003; Rivai,1996; Soewadi, 2000)
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Skizofrenia
Penerimaan keluarga
Perawatan di Unit Psikiatri
Penolakan keluarga
Peran serta keluarga
Faktor-faktor yang
memengaruhi:
- Pengetahuan
- Struktur keluarga
- Dukungan keluarga
- Status ekonomi
kelurga
Bentuk penolakan:
- Berduka
- Marah
- Merasa tidak berdaya
C. Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
D. Hipotesis
Menurut Arikunto (2002), hipotesis diartikan sebagai suatu teori
sementara yang kebenarannya perlu diuji. Hipotesis dalam penelitian ini
adalah:
H01 : Tidak ada pengaruh pengetahuan terhadap penerimaan keluarga untuk
merawat pasien skizofrenia selepas perawatan di RSUD Banyumas.
H02 : Tidak ada pengaruh struktur keluarga terhadap penerimaan keluarga
untuk merawat pasien skizofrenia selepas perawatan di RSUD
Banyumas
H03 : Tidak ada pengaruh dukungan keluarga terhadap penerimaan keluarga
untuk merawat pasien skizofrenia selepas perawatan di RSUD
Banyumas
Variable Dependent
Penerimaan keluarga untuk
merawat pasien skizofrenia
Variable Independent
Faktor-faktor yang
mempengaruhi
Variable Confounding
- Kondisi lingkungan
- Tipe kepribadian
H04 : Tidak ada pengaruh status ekonomi keluarga terhadap penerimaan
keluarga untuk merawat pasien skizofrenia selepas perawatan di
RSUD Banyumas