Upload
radius-prawira
View
15
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN RINOSINUSITIS BAKTERIAL AKUT ANAK
Oleh :
TUTUT SRIWILUDJENG T.
RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto
PENDAHULUANRinosinusitis adalah suatu kondisi yang merupakan manifestasi dari respon
keradangan membran mukosa sinus paranasalis, yang biasanya dihubungkan dengan infeksi
yang dapat menyebabkan penebalan mukosa dan akumulasi sekret mukus dalam rongga sinus
paranasalis. Sehingga besar infeksi sinus paranasalis bersifat rinogen dan rinitis sering
diiringi oleh perubahan pada sinus, istilah rinosinusitis saat ini merupakan istilah yang lebih
sidukai untuk sinusitis, khususnya pada anak-anak dimana penyakit ini terlihat sebagai satu
kesatuan penyakit yang sama ( Bachert dan Verhaeghe, 2002; Mulyarjo, 2002 ).
Rinosinusitis merupakan penyakit keradangan dengan prevalensi yang tinggi dan
mungkin akan terus meningkat. Kerena kualitas hidup penderita dengan kondisi ini dapat
sangat terganggu, sangatlah penting bagi dokter untuk dapat mengatasinya dengan memiliki
pengetahuan yang benar mengenai definisi, gejala serta metode diagnosis rinosinusitis.
Rinosinusitis tersebar luas dan diperkirakan mengenai 10 % hinga 30 % individu di
Eropa. Di Amerika Serikat hampir 15 % penduduk pernah menderita paling sedikit sekali
episode rinosinusitis dalam hidupnya ( bachert dan Verhaeghe, 2002; mulyarjo, 2002 ). Di
Indonesisa angka kesakitan rinosinusitis belum diketahui dengan pasti.
Rinosinusitis pada umumnya dimulai dari infeksi virus, yakni rinitis akut, yang sering
menyerang anak-anak. Menurut O’Brien (1998), 0,5 - 5,0 % infeksi saluran nafas atas dapat
mengalami komplikasi menjadi rinosinusitis bakterial akut (RSBA).
Prinsip pengobatan RSBA adalah menghilangkan infeksi bakteri, mengurangi
keradangan dan gejala buntu hidung serta mengembalikan klirens mukosilier ( mulyarjo,
2002 ). Rinosinusitis adalah penyakit “ medis“ yang berarti terapi medikamentosa merupakan
modalitas penatalaksanaan yang utama terutama pda anak-anak. Tidakan bedah ditujukan
pada kasus-kasus yang tidak responsif terhadap terapi medikamentosa yang maksimal atau
bila terjadi komplikasi orbital atau intracranial.
Pada referat ini akan dijelaskan tentang diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis
pada anak.
1. Anatomi
Sinus paranalis adalah serangkaian rongga yang mengelilingi rongga hidung. Ada
empat pasang sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis, sinus sfenoidalis, sinus etmoidalis dan
sinus maksilaris. Sinus maksilaris dan sinus etmoidalis mulai berkembang pada masa
kehamilan bulan ke- 3 sampai ke- 4 dan sudah terbentuk saat lahir. Sinus maksilaris tumbuh
sangat cepat sampai usia 3 tahun kemudian pada usia 7 tahun sampai 18 tahun pertumbuhan
terulang lagi seiring dengan pertumbuhan gigi. Pada waktu lahir sel-sel udara sinus
etmoidalis tumbuh dari 3 – 4 sel dan berkembang menjadi 10 – 15 sel persisi pada usia 12
tahun, dan menjadi 30 – 40 sel saat dewasa. Sinus sfenoidalis tumbuh pada usia 3 tahun dan
terbentuk sempurna pada usia 12 tahun. Sinus frontalis mulai ada pada usia 8 tahun dan
terbentuk sempurna pada usia 18 tahun. Sampai dengan 5% orang dewasa mungkin di
dapatkan satu atau kedua sinus frontalisnya tidak penuh berkembang. Oleh karena itu
ketiadaan sinus frontalis yang teraerasi dengan baik pada pemeriksaan radiologis pada anak
muda tidak perlu dianggap sebagai suatu kondisi patologis ( Rachelefsky, 1984; Rohr dan
Spector, 1984; Josephson dan Roy, 1999 ).
Walaupun anatomi sinus pada anak mirip dengan sinus pada orang dewasa, sinus pada
anak jauh lebih kecil sehingga seringkali membuat evaluasi klinis lebih sulit. Pada
pemeriksaan rongga hidung tampak adanya tiga tonjolan dari dinding lateral rongga hidung
yang disebut konkanasalis. Drainase dari sinus maksilaris, sinus frontalis dan sinus etmoidalis
(sinus – sinus bagian anterior) adalah melalui konka nasalis medius, sementara drainase dari
sinus sfenoidalis dan sinus etmoidalis posterior (sinus – sinus bagian posterior) adalah
melalui konka nasalis superior ( Josephson dan Roy, 1999).
Area yang dinamakan komplek osteomeatal dianggap sebagi tempat penyumbatan
utama yang menyebabkan stasis sekresi dan penyakit sinus yang berulang. Secara anatomis
area ini dibatasi oleh tepi anterior konka nasalis medius di bagian medial dan dinding leteral
rongga hidung di bagian lateral.
\
2. Rinosinusitis
2.1 Definisi
Rinosinusitis didefinisikan secara klinis sebagai suatu kondisi yang merupakan
manifestasi dari respon keradangan membran mukosa sinus paranasalis yang biasanya
dihubungkan dengan infeksi yang dapat menyebabkan penebalan mukosa dan akumulasi
sekret mukus dalam rongga sinus paranasalis (Bachert dan Verhaeghe, 2002).
Sebagian besar infeksi sinus paranasalis bersifat rinogen dan rinitis sering diiringi
oleh perubahan pada sinus. Istilah rinosinusitis sebagai gabungan antara rinitis dan sinusitis
tampaknya sesuai digunakan pada anak, karena keduanya adalah penyakit yang
berkesinambungan, dimana sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis dan jarang berdiri
sendiri. Disamping itu secara klinis gejala rinitis dan sinusitis mirip satu dengan lainnya
sehingga terlihat sebagai satu kesatuan penyakit yang sama (Mulyarjo, 2002; Bachert dan
Verhaeghe, 2002 ).
2.2 Insiden
Rinosinusitis merupakan penyakit yang umum dijumpai dalam praktek sehari-hari.
rinosinusitis tersebar luas dan diperkirakan mengenai 10 % hingga 30 % individu di Eropa.
Di Amerika Serikat hampir 15 % penduduk pernah menderita paling sedikit sekali episode
rinosinusitis dalam hidupnya (Mulyarjo, 2002; Bachert dan Verhaeghe, 2002).
Insiden sebenarnya dari rinosinusitis anak mungkin sekali tinggi dan sebagian besar
tidak diketahui. Bila suatu rinosinusitis merupakan keradangan dari lapisan mukosa hidung
dan sinus paranasalis, maka dapatlah dikatakan bahwa rinosinusitis dapat terjadi pada setiap
infeksi saluran nafas atas (Saragih, 1985 dikutip Jonathan B, 1991). Tetapi pada anak-anak
dimana rongga sinus paranasalis relatif kecil dengan ukuran ostium sinus paranasalis yang
relatif besar, maka tidak terdapat retensi sekret, sehingga meskipun terjadi rinitis karena virus
yang dapat meluas ke lapisan mukosasinus paranasalis mukus yang terdapat dalam rongga
sinus akan dengan cepat dikeluarkan oleh gerakan silia. Oleh karena itu pada anak-anak usia
2 – 3 tahun jarang timbul masalah klinis. Infeksi dari sinus paranasalis lebih mungkin terjadi
pada anak yang lebih besar, namun demikian ini tidak berarti bahwa insiden infeksi sinus
paranasalis pada anak-anak lebih jarang daripada orang dewasa karena anak-anak lebih sering
terkena infeksi saluran nafas atas daripada orang dewasa (Climent, 1981 dikutip Jonathan B,
1991; Rockville, 2000).
Menururt Ballenger (1985) rinosinusitis pada anak sering kali terjadi pada usia 4 – 10
tahun. Sedang Becker, dkk (1989) menyatakan bahwa rinosinusitis meningkat pada anak
diatas usia 4 tahun dan terbanyak antara usia 7 – 12 tahun.
Menurut Hayes (2001) infeksi saluran nafas atas pada anak-anak yang disebabkan
oleh virus tidak selalu berkembang menjadi RSBA, tetapi RSBA menempati urutan penyakit
ke- empat yang didiagnosis pada anak usia 15 tahun atau pada usia yang lebih muda.
2.3 Patogenesis
Ostium sinus paranasalis memegang peran penting dalam pathogenesis rinosinusitis.
Ostium normal berdiameter kurang lebih 2,5 mm. Rinitis akut yang terjadi karena infeksi
virus menimbulkan terjadinya udem mukosa dan ini dapat menyebabkan pembuntuan ostium
pada 80 % penderita (Roos K, 1999 dikutip Mulyarjo, 2000). Pembuntuan ini akan
menimbulkan penurunan oksigen di dalam rongga sinus dan terjadi hipoksia. Hipoksia
menyebabkan gangguan fungsi silia sehingga menghambat drainase rongga sinus. Bila rinitis
akut menyembuh, pembuntuan ostium akan menghilang dan darainase normal kembali.
Apabila ada faktor predisposisi misalnya kelainan anatomi, pembuntuan ostium akan
menetap dan gangguan drainase belangsung lebih lama (Rohr dan Spector, 1984; Mulyarjo,
2002).
Lendir yang diproduksi oleh mukosa sinus pada keadaan normal mengandung
antimikroba dan sangat sedikit nutrient sehingga akan menyulitkan tumbuhnya kuman.
Lendir ini akan selalu dikeluarkan dari rongga sinus oleh gerakan silia melalui ostium sinus.
Bila ostium buntu akan terjadi hambatan aliran lendir sehingga menumpuk di dalam rongga
sinus. Hipoksia juga menyebabkan disfungsi kelenjar mukus sehingga terjadi perubahan
kualitas dan kuantitas mukus di dalam rongga sinus. Sekret menjadi lebih kental serta terjadi
perubahan pH sehingga menjadi medium yang subur bagi pertumbuhan kuman (Roos K,
1999 dikutip Mulyarjo, 2002).
Penumpukan sekret yang kental juga menyebabkan kerusakan pada mukosa serta
ulserasi dan kerusakan silia. Kerena silia bertugas mendorong lapisan lendir keluar rongga
sinus, maka kerusakan sebagian silia akan mengganggu tugas tersebut dengan akibat
meningkatnya penumpukan sekret. Pada kondisi ini terjadilah rinosinusitis bakterial akut
(RSBA) yang fulminan. Kuman berkembang biak dan banyak enzim proteolitik dilepaskan
oleh lekosit sehingga kerusakan mukosa menjadi lebih parah. Terjadi metabolik asidosis
karena tertimbunya asam laktat, dan pertahanan antimokrobial menurun. Kolonisasi kuman
meningkat dan seterusnya kerusakan menjadi lebih parah. Perubahan-perubahan ini terjadi
secara grandual (Mulyarjo, 2002).
Bila pembuntuan ostium berlangsung terus menerus serta penumpukan sekret didalam
rongga sinus tidak teratasi, maka proses masuk ke fase sub akut dan kronik. Ini terjadi bila
penanganan RSBA tidak adekuat atau ada faktor lain yang menyebabkan drainase dan
ventilasi sinus terutama di komplek osteomeatal (Mulyarjo, 2002).
Sinus maksilaris adalah tempat yang paling sering terkena rinosinusitis yang terutama
diakibatkan oleh struktur anatomi. Ostium sinus maksilaris merupakan kanal yang berkelok
dengan panjang beberapa millimeter. Kanal ini menghubungkan antrum maksial dengan
meatus medius untuk membentuk komplek osteomeatal. Selain itu dasar sinus maksilaris
lebih rendah dari dasar rongga hidung, sehingga ostium sinus maksilaris berada pada bagian
superior dari antrum maksila. Sekret dapat terdrainase secara spontan dari sinus maksilaris ke
rongga hidung bila kepala pada posisi tegak, silia harus bekerja mengalirkan sekret keluar
dengan arah superior melawan gaya gravitasi. Tidaklah mengherankan bila sebagian besar
kasus rinosinusitis mengenai sinus maksilaris, dan setelah itu sinus etmoidalis, frontalis dan
sfenoidalis (Slavin, 2002).
Faktor yang dapat merupakan predisposisi terjadinya rinosinusitis adalah :
(Rachelefsky, 1984; Rockville, 1999; Slavin, 2002).
2.3 Udem mukosa hidung : infeksi saluran nafas atas rinitis alergi, rinitis non alergi, merokok,
berenang.
2.3 Obstruksi mekanik : hipertofi adenoid, deviasi septum nasi, konka bulosa, polip nasi, trauma,
benda asing, neoplasma.
Faktor tersering adalah infeksi saluran nafas atas oleh virus rinitis alergi. Udem
mukosa hidung merupakan karakteristik infeksi akut atau rinitis alergi yang mengakibatkan
obstruksi ostium, penurunan kerja silia dalam sinus paranasalis dan meningkatnya produksi
mukus serta kekentalannya. Ritis non alergi dapat mengalami efek yang serupa dengan rinitis
alergi.
Faktor fisiologis dapat menjadi faktor predisposisi terkena rinosinusitis. Misalnya,
rokok yang memiliki efek yang sangat besar karena dapat meningkatkan produksi mukusdan
memperlambat gerak silia.
Hal ini berdasarkan fakta yang menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di alam
rumah dimana salah satu atau kedua orang tuanya merokok, mengalami peningkatan insiden
kelainan pernafasan dan rinosinusitis. Perenang juga memiliki insiden rinosinusitis yang
tinggi yang mungkin disebabkan oleh masuknya air yang terkontaminasi bahan kimia atau
bakteri kedalam sinus (Slavin, 2002).
Obstruksi mekanis juga dapat menjadi predisposisi bagi individu untuk terkena
rinosinusitis. Beberapa keadaan seperti hipertrofi adenoid, deviasi septum nasi, konka bulosa,
polip nasi, trauma, benda asing dan neoplasma harus dikesampingkan dengan pemeriksaan
endoskopi pada pasien rinosinusitis berulang (Slavin, 2002).
2.4 Klasifikasi Dan Gejala Klinik
2.4.1 Klasifikasi
Klasifikasi rinosinusitis lebih didasarkan atas lama berlangsungnya penyakit dari pada
gejala klinis. Menurut The American Academy Of Pediatric (AAP), 2001, klasifikasi
rinosinusitis adalah sebagai berikut :
Rinosinusitis Bakterial Akut (RSBA) : infeksi berlangsung kurang dari 30 hari, dengan
gejala ringan atau beratdan merupakan lanjutan infeksi virus (renitis akut).
RSBA berulang (recurrent rinosinusitis) : beberapa episode infeksi bakteri yang masing-
masing kurang dari 30 hari dan dipisahkan oleh interval asimtomatik sekurang-kurangnya 10
hari.
Rinosinusitis kronis (RSK) : keradangan yang berlangsung lebih dari 90 hari dan terdapat
gejala sisa berupa batuk, rinore dan buntu hidung.
2.4.2 Gejala Klinis
RSBA
Gejala RSBA sering didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (ISPA)oleh karena
firus dengan rinore yang jernih. Gejala ISPA pada umumnya membaik sendiri dalam 5 – 7
hari. Jika gejala tidak membaik setelah 7 hari diagnosis RSBA hendaknya dipertimbangkan
(Josephson dan Roy, 1999 ; Mulyarjo, 2002).
Gejala klinis RSBA dapat digolongkan menjadi gejala mayor dan gejala minor. Gejala
mayor : buntu hidung, ingus purulen, sakit pada daerah muka (pipi, dahi, hidung), gangguan
penciuman. Gejala minor yakni : batuk, febris, tenggorok berlendir, nyeri kepala, nyeri
geraham, mulut berbau (Josephson dan Roy, 1999; Bachert dan Verhaeghe, 2002; Mulyarjo,
2003).
RSK
RSK didefinisikan sebagai infeksi yang menetap dalam sinus paranasalis selama 90
hari atau lebih. Kerapkali hal ini menjadi tantangan bagi para dokter untuk membuat
diagnosis rinosinusitis oleh karena gejala bervariasidan sering kali tidak spesifik (Josephson
dan Roy, 1999).
Tanda-tanda dan gelaja RSK pada anak-anak umumnya meliputi batuk malam hari,
rinore, buntu hidung, postnasal drip, sakit kepala. Menurut Josephson dan Roy, (1999),
sejumlah gejala tidak lainya mungkin dapt menyesatkan dokter dalam memastikan diagnosis
rinosinusitis (table 1).
Rinosinusitis akut Rinosinusitis kronik
Ingus purulen Rinore
Nyeri wajah Batuk berulang
Febris Sakit kepala
Batuk Postnasal drip
Udem poriorbita Batuk hidung
Nyeri tenggorok
Febris ringan
Asma
Nyeri pada wajah/ mata/ gigi
Table 1. Gejala-gejala rinosinusitis (Josephson dan Roy, 1999).
2.5 Diagnosis
Diagnosis rinosinusitis akut atau rinosinusitis kronik ditegakkan secara klinis dengan
anamnesa yang cermat dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Banyak penyakit umum yang
mempunyai gejala mirip dengan rinosinusitis. ISPA oleh karena virus dan adenoiditis
merupakan dua penyakit paling umum yang mungkin sulit dibedakan dari rinosinusitis pada
penderita anak. Sulit untuk membedakan ISPA dengan rinosinusitis pada tahap awal
penyakit. Kerapkali ISPA merupakan predisposisiuntuk timbulnya rinosinusitis (Josephson
dan Roy, 1999).
Menurut Cohen R, 1999 dikutip Mulyarjo (2002), rinosinusitis pada anak sering
controversial. Sering terjadi over diagnosis sehingga meningkatkan pemakaian antibiotika
yang tidak perlu. Kadan sulit membedakan infeksi virus dengan rinosinusitis bakterial. ISPA
merupakan penyakit terbanyak yang diterima anak, namun hanya kurang dari 5% saja yang
merupakan rinosinusitis bakterial.
Bedasarkan pedoamn terbaru dari AAP (2001), diagnosis rinosinusitis hanya
berdasarkan criteria klinis baik untuk yang ringan maupun yang berat pemeriksaan radiologis
hanya untuk konfirmasi diagnosis.
Gambaran klinis
RSBA pada anak dicurigai bila : O’Brien, 1998; Hayes, 2001)
Pilek > 10 hari
Ingus kental kuning / kehijauan
Batuk berlanjut terutama malam hari
Gejal lain : demam, sakit kepala (pada yang berat) dan mulut berbau
Menurut Mulyarjo (2002), diagnosis RSBA ditegakkan berdasarkan :
Pilek menetap atau memburuk > 7 hari terutama setelah pengobatan dengan obat bebas
Kombinasi gejala mayor dan minor. Menurut Bachert dan Verhaeghe (2002) didapatkan 2
atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor
Rinoskopi anterior : adanya mukosa udem, hiperemi dan adanya sekret yang mukopurulen
Gejala yang mungkin mengenai sinus tertentu (sinus maksila : nyeri pada pipi atau graham,
sinus etmoid : nyeri diantara kedua mata, sinus frontalis : nyeri di dahi, sinus sfenoidalis :
nyeri hebat yang di pusat kepala atau oksipital)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik RSBA pada anak ditemukan : (Suyitno, 1996)
Mukosa hidung udem dan hiperemis
Lendir mukosa purulen di meatus medius, rongga hidung atau nasofaring
Nafas berbau tetapi tidak didapatkan tanda-tanda faringitis, kelainan gigi dan benda asing di
rongga hidung
Pemeriksaan fisik ini kurang menggambarkan spesifitas RSBA pada anak, terutama
anak-anak dibawah usia 10 tahun
Transiluminasi
Pemeriksaan ini membantu mengangkat diagnosis rinosinusitis maksila pada anak
dengan adanya perbedaan bayangan antara sinus maksila kanan dan kiri dimana pada sinus
yang sakit memberi bayangan lebih suram. Pemeriksaan ini hanya membantu diagnosis
terutama pada anak-anak berusia lebih dari 10 tahun (Suyitno, 1996).
Radiografi
Dengan posisi Waters kita dapat mengevaluasi sinus maksila. Gambaran rontgen yang
sering ditemukan pada rinosinusitis maksila pada anak adalah :
Penebalan mukosa lebih dari 4mm
Gambaran suram atau gelap pada sinus maksila
Air fluid level
Walaupun demikian kadang-kadang gambaran penebalan mukosa, gambaran suram
pada sinus tidak selalu menggambarkan rinosinusitis terutama pada anak-anak usia kurang
dari 1 tahun. Karena bentuk sinus maksilia yang masih kecil dan jaringan lunak pipi memberi
bayangan suram / gelap (Suyitno,1996).
CT-Scan
Dengan CT-scan didapatkan informasi yang lebih terperinci tentang sinus paranasalis
dan kelainan di komplek osteomeatal. Jadi CT-scan dapat mendiagnosis lebih tepat, hanya
memerlukan biaya lebih tinggi dan tidak smua rumah sakit memiliki alat CT-scan (Josephson
dan Roy, 1999).
MRI
MRI merupakan pemeriksaan yang unggul untuk menggambartakan kelainan jaringan
lunak dalam sinus paranasalis. Akan tetapi karena pemeriksaan yang terbatas pada kelainan
struktur tulang. MRI bukan bukan merupakan alat pemerikasaan pilihan untuk mengevaluasi
rinosinusitis akut maupun rinosinusitis kronik (Josephson dan Roy, 1999).
2.6 Mikrobiologi
Gambaran mikrobiologi yang sebenarnya pada rinosinusitis didapatkan dari studi
dimana diambil dari sinus dengan cara punksi antrum atau dengan pengambilan sampel
secara langsung dari sinus yang terkena selama pembedahan (Slavin, 2002)
Pada studi terhadap 76 orang dewasa yang mengalami kegagalan dengan terapi medis
terhadap rinosinusitis dan dijadwalkan untuk pembedahan, didapatkan kuman aerob pada
76,3% kasus dan kuman anaerob pada 7,6% kasus. Hasil yang serupa juga didapatkan pada
anak-anak. Wald dkk, 1989 dikutip Slavin (2002), melakukan studi terhadap 40 anak-anak
dengan rinosinusitis kronik non alergi. Hasilnya didapatkan aspirat sinus positif pada 58%
sampel, dengan bakteri yang dominan Streptococcus Pneumonia, Haemophilus Influenzae,
dan Moraxella Catarrhalis. Tidak terdapat kuman anaerob yang diisolasi pada anak-anak
yang tidak memiliki alergi ini. Hasil yang serupa didapatkan pada studi mengenai
rinosinusitis kronik pada anak-anak dengan alergi pernafasan.
Menurut AAP (2001), Lippincott (2002), Slavin (2002), dan Lampl (2003), kuman
yang sering menjadi penyebab rinoinuitis bakterial akut adalah Streptococcus Pneumonia
(30-40%), Haemophilus Influenzae (20-30%), Moraxella Catarrhalis (12-20%) dan
Streptococcus Pyogenes β Hemolyticus (3%). Kuman-kuman tersebut adalah kuman yang
umum ditemukan pada biakan kuman, disamping kuman-kuman yang jarang dijumpai seperti
Staphylococcus aureus dan kuman-kuman anaerob. Kuman anaerob mulai berperan bila
oksigenasi rongga sinus makin berkurang. Makin lam proses berlangsung makin meningkat
populasi kuman anaerob. Pada rinosinusitis kronik peran kuman anaerob lebih dominan
(Lampl, 2003).
2.7 Terapi
Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis meliputi pengobatan dan pencegahan infeksi,
perbaikan patensi otium sinus, perbaikan mukosilia dan menkan keradangan mukosa saluran
nafas. Penatalaksanaan medis rinosinusitis merupakan pendekatan bertahap. Sekali diagnosis
rinosinuitis ditegakkan, terapi dengan antibiotika secara umum merupakan terapi lini pertama
(Moesges, 2002). Pembuntuan ostium inus perlu dihilangkan dengan dekongestan agar
drainase sinus kembali normal.
Menurut Moesges (2002), pengobatan dengan antibiotika sering kali berdasarkan
pengalaman karena sulitnya memperoleh spesimen yang terpercaya untuk kultur. Yang
terpenting, pemilihan antibiotika harus didasarkan atas prediksi keefektifannya, potensi
terjadinya efek samping, serta harganya. Untuk RSBA dianjurkan pemberian terapi
antibiotika selam 14 hari.
Akhir-akhir ini sejumlah studi yang dipublikasikan menyatakan bahwa perlunya
terapi antibiotika masih belum pasti. Efek kerusakan yang lebih besar dapat terjadi oleh
munculnya efek samping dari obat yang berimbang dengan efek yang bermanfaat dari terapi
antibiotika oral. Oleh sebab itu beberapa peneliti memperkirakan berakhirnya terapi
antibiotika (Moesges, 2002).
Menurut Rockville (1999) RSBA berpotensi untuk menjadi penyakit yang serius
sehigga diperlukan antibiotika untuk mencegah komplikasi. Tetapi penggunaan antibiotika
yang berlebihan akan dapat meningkatkan timbulnya efek samping, resistensi kuman
terhadap antibiotika dan biaya pengobatan (Watson et al, 1999; Rockville, 1999; Garbutt et
al, 2001; Lampl, 2003).
Bedasarkan kuman yang sering menjadi penyebab RSBA, maka antibiotika lini
pertama adalah amoksisilin (Josephson dan Roy, 1999; Klien, 2001; Lampl, 2003). Menurut
AAP (2001), pemilihan amoksisilin ini karena merupakan antibiotika yang relative aman dan
harganya terjangkau. Pilihan ini dilakukan terutama untuk serangan RSBA yang pertaman
dimana belum pernah diterapi dengan antibiotika.
Untuk RSBA berulang atau adanya riwayat pemberian antibiotika sebelunya mungkin
amoksisilin kurang efektif, untuk itu antibiotika lini kedua dapat menjadi alternatif. Bila
ditengarai adanya kuman penghasil enzim β-laktamase maka kombinasi amoksisilin dan asam
klavulanat dapat digunakan. Untuk penderita hipersensitif terhadap penisilin dapat digunakan
katrimoksazol, makrolid atau doksisiklin, namun obat yang terakhir ini tidak dianjurkan pada
anak-anak. Antibiotika ahrus diberikan 10-14 hari (Mulyarjo, 2002).
Menurut AAP (2001), sekitar 80% anak-anak dengan RSBA membaik dengan terapi
amoksisilin. Lippicott (2002) melaporkan hal yang sama pada 90% kasus, dan Hayes (2001)
melapoekan 91,2% kasus.
Dekongestan sistemik fenilpropanolamin atau pseudoefedrin mungkin memperbaiki
ventilasi sinus dan memulihkan fungsi mukosilia. Sedangkan dekongestan tropikal mungkin
bermanfaat pada tahap awal proses penyakit rinosinuitis, tetapi pemakaian dekongestan
tropikal ini hendaknya dibatasi 3 smapai 5 hari (Josephson dan Roy, 1999; Lampl, 2003).
Terapi bedah pada penderita rinosinusitis anak ditujukan pada rinosinusitis rekuren
dan rinosinusitis kronik yang tidak responsive terhadap terapi medis yang maksimal dan bila
terjadi komplikasi RSBA seperti komplikasi orbita atau intracranial (Josephson dan Roy,
1999; Mc Clay, 20
2.8 Komplikasi Rinosinusitis Bakterial Akut
Sinus paranasalis dibatasi oleh otak dan cavum orbita di lateral, superior dan
posterior, sehingga penyebaran infeksi dapat menyebakan komplikasi intrakranial atau orbital
yang mengancam jiwa. Komplikasi orbital biasanya disebabkan penyebaran langsung infeksi
melalui lamina papiracea dari sinus etmoidalis.
Komplikasi Orbital
Selusitis preseptal
Selusitis orbital
Abses Subperiosteal
Abses Orbital
Trombosis Sinus Kavernosus
Kebutaan
Komplikasi Intrakranial
Meningitis
Abses Epidural
Abses subdural
Abses otak
Osteomielitis dinding anterior sinus frontalis
Komplikasi Sistemik
Toxic shock syndrome
Sepsis
Table 2. komplikasi rinosinusitis (Josephson dan Roy, 1999).
RINGKASAN
Rinosinusitis merupakan penyakit umum yang dijumpai dalam praktek sehari-hari.
faktor anatomi menyebakan anak-anak rentan terhadap obstruksi ostium sinus, menyebabkan
ketidaklancaran sekresi hidung dan meningkatkan pertumbuhan bakteri.
Diagnosis rinosinusitis akut dan kronis terutama ditegakkan berdasarkan pada riwayat
klinis dan pemeriksaan klinis. Terapi medikamentosa memegang peranan penting dalam
penanganan RSBA, dengan tujuan untuk membunuh kuman penyebab, membuka ostium
sinus dan mengembalikan fungsi silia. Terapi bedah ditujukan untuk kasus-kasus yang tidak
responsive terhadap terapi medikamentosa atau bila terjadi komplikasi intracranial atau
orbital.
KEPUSTAKAAN
American Academy of pediatrics, 2001. Clinical PracticeGuidelme: Management of Sinusitis.
Pediatrics: 108 (3): 798 – 808.
Bachert C, Verhaeghe of pediatrics, 2002. Differential Diagnosis of Rhinosinusitis. Enhancing the
Treatment of Rhinosinusitis Family Practice Recertification. 24 (1) 8 – 13.
BallengerJJ, 1995. paranasal Sinus Infectio. In Ballenger JJ. Deseases of the Nose, Throat, Ear,
Head and Neck. 13 Ed. Philadelphia Lea & Febiger. 205 – 217.
Becker W. Nouman HH. Pfaltz CR, 1989. Ear, Nose and Throat Siseases 3 Ed. New York.
Theme Medical Publisher. 224 – 253.
Garbut JM et al, 2001. A Randomized, Plaeebo-Controlled Trial of Antimierobial Treatment for
Children with Clinical Diagnosed Acute Sinusitis. Pediatrics; 107(4): 619 – 625.
Hayes RO, 2001. Pediatrics Sinusitis: When it’s Not Just a Cold. Clinician Reviews; 1(10):52-59
Jonathan B, 1991. Uji Banding pengobatan Sinusitis Maksilaris pada Anak dengan Diatermi dan
Irigasi. Karya Akhir Laboratorium SMF Ilmu Penyakit THT FK UNAIR RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.
Josephson G, Roy S. 1999. Pediatrics Rhinosinusitis: Diagnosis and Management. International
Pediatrics; 14(1): 15 – 21.
Klein Gl, 2001. Acute Rhinosinusitis Treatment Guidelines Infect Med; 15(10F): 26 – 33.
Lampl KL. 2003. The Role of OTC Decongestants in the Treatment of Rhinosinusitis.
http://www.medscape.com/viewprogram2685. Download tanggal 09/26/2003.
Lippincott I., 2003 Pediatrics Sinusitis. Medical Treatment
http://www.emedicine.com/ent/topic/612.htm 144 k10.11.03 Download tanggal 10/11/03.
McClay JE, 2001. Pediatrics Sinusitis, Surgical Treatment
http://www.emedicine.com/ent/topic/612.htm 144 k10.11.03 Download tanggal 10/11/03.
Mosges R, 2002. Medical and Surgical management of Rhinosinusitis. How Much Treatment Is
Required?.Enhancing the Treatment of Rhinosinsitis. Family practice Recertification;24(1):
14 – 18.
Mulyarjo, 2002. Rinosinusitis dan Penatalaksanannya. Symposium penatalaksanaan rinosinusitis
dan Otitis Media. Surabaya. 1 – 8.
Mulyarjo , 2003. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis pada Anak. Abstrak Simposium
Rhinology Update. Bali. 56.
O’Brein KL, et al 1998. Acute Sinusitis-Principle of Judicious Use of Antimicrobal Agents.
Pediatrics; 101(1): 174 – 177.
Rachelfsky GS, 1984. Sinusitis in Children. Diagnosis and Treatment. Clin Rev Allergy ; 2 : 397-
408.
Rockville, 1999. Diagnosis and Treatment of Acute Bacterial Rhinosinusitis summary, Evidence
Report/Technology Assesement (9).
http://www.ahrg.gov/clinic/epcsums/sinussum.htm.download tanggal 22/02/04.
Rohr A.S dan Spector SL. 1984. Paranasal Sinus Anatomy and Pathophysiology. Clin Rev allergy
1984; 2: 387 – 395.
Slavin RG, 2002. Rhinosinusitis Epidemilogy and Pathology. Enhancing the Treatment of
Rhimosinusitis Family Practice Recertification; 24 (1): 1 – 7.
Suyitno S, 1996. Sinusitis Maksila pada Anak di RSUD Dr. Kariadi Semarang Kumpulan Naskah
Ilmiah Pertemuan tahunan Perhati. Batu-Malang, 788 – 797.
Watson RL et al. 1999. Antimicrobal Use fpr Pediatrics Upper Respiratory Infections: Reported
Practice, Actual Practice. And Parent Beliefs Pediatrics; 104(6): 1251 – 1257.