18
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS PADA NEONATUS Sjarif Hidajat Effendi Andri Firdaus Desember 2010 BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HASAN SADIKIN BANDUNG

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

PADA NEONATUS

Sjarif Hidajat Effendi

Andri Firdaus

Desember 2010

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HASAN SADIKIN

BANDUNG

Page 2: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

DAFTAR ISI

Halaman

PENDAHULUAN ……………………………………………………………… 1

DEFINISI ……………………………………………………………………….. 2

ETIOLOGI ……………………………………………………………………… 2

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS ………………………………….. 3

PENATALAKSANAAN ……………………………………………………….. 5

RINGKASAN …………………………………………………………………... 13

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...……… 15

Page 3: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

1

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

PADA NEONATUS

PENDAHULUAN

Gagal nafas pada neonatus merupakan masalah klinis yang sangat serius, yang berhubungan

dengan tingginya morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan. Faktor resiko utama gagal

nafas pada neonatus adalah prematuritas, bayi berat badan lahir rendah, dan penelitian

menunjukkan kejadiannya lebih banyak terjadi pada golongan sosioekonomi rendah.1,2

Pada suatu penelitian epidemiologi gagal nafas di Amerika Serikat, insidensi gagal

napas di Amerika adalah 18 per 1000 kelahiran hidup. Meskipun insidensinya lebih tinggi

pada bayi dengan berat badan lahir rendah, sepertiga kasus terjadi pada bayi dengan berat

badan normal. Insidensi tertinggi terdapat pada ras kulit hitam dan sangat berhubungan

dengan kemiskinan.1 Di Indonesia, sepertiga dari kematian bayi terjadi pada bulan pertama

setelah kelahiran, dan 80% diantaranya terjadi pada minggu pertama dengan penyebab utama

kematian diantaranya adalah infeksi pernafasan akut dan komplikasi perinatal. Pada suatu

studi kematian neonatal di daerah Cirebon tahun 2006 disebutkan pola penyakit kematian

neonatal 50% disebabkan oleh gangguan pernapasan meliputi asfiksia bayi baru lahir (38%),

respiratory distress 4%, dan aspirasi 8%.3,4 Meskipun angka-angka tersebut masih tinggi,

Indonesia sebenarnya telah mencapai tujuan keempat dari MDG, yaitu mengurangi tingkat

kematian anak. Dengan pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat, serta sistem rujukan

yang baik, kematian neonatus khususnya akibat gangguan pernafasan diharapkan dapat terus

berkurang.3

Penatalaksanaan utama gagal nafas pada neonatus adalah terapi suportif dengan

ventilasi mekanis, dan oksigenasi konsentrasi tinggi. Terapi lainnya meliputi high-frequency

ventilator, terapi surfaktan, inhalasi nitrat oksida, dan extracorporealmembrane oxygenation

(ECMO).1

Penanganan neonatus yang mengalami gagal nafas memerlukan suatu unit perawatan

intensif, dan penatalaksanaan yang optimal tergantung pada sistem perawatan neonatus yang

ada, yaitu ketersediaan tenaga ahli, fasilitas yang memiliki kemampuan dalam menilai dan

memberikan tatalaksana kehamilan resiko tinggi, serta memiliki kemampuan menerima

rujukan dari fasilitas kesehatan dibawahnya.1,2,5

Dengan lamanya waktu perawatan dan tingginya biaya yang harus dikeluarkan,

diagnosis dan tatalaksana yang tepat kegagalan nafas pada neonatus merupakan hal yang

penting untuk menekan mortalitas dan biaya perawatan yang akan dikeluarkan. Dalam sari

Page 4: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

2

pustaka ini akan dibahas mengenai definisi, etiologi, diagnosis dan penatalaksanaan gagal

nafas pada neonatus.

DEFINISI

Gagal nafas (respiratory failure) dan distress nafas (respiratory distress) merupakan

diagnosis yang ditegakkan secara klinis dimana sistem pernafasan tidak mampu untuk

melakukan pertukaran gas secara normal tanpa bantuan. Terminologi respiratory distress

digunakan untuk menunjukkan bahwa pasien masih dapat menggunakan mekanisme

kompensasi untuk mengembalikan pertukaran gas yang adekuat, sedangkan respiratory

failure merupakan keadaan klinis yang lanjut akibat kegagalan mekanisme kompensasi dalam

mempertahankan pertukaran gas atau tercukupinya aliran oksigen.6-10

Gagal nafas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam memenuhi kebutuhan

pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara udara dan darah, sehingga terjadi

gangguan dalam asupan oksigen dan ekskresi karbondioksida, keadaan ini ditandai dengan

abnormalitas nilai PO2 dan PCO2. Gagal nafas dapat disebabkan oleh penyakit paru yang

melibatkan jalan nafas, alveolus, sirkulasi paru atau kombinasi ketiganya. Gagal nafas juga

dapat disebabkan oleh gangguan fungsi otot pernafasan, gangguan neuromuskular dan

gangguan sistem saraf pusat.8,9,11,12

Gagal nafas tipe hiperkapnik terjadi akibat CO2 tidak dapat dikeluarkan dengan

respirasi spontan sehingga berakibat pada peningkatan PCO2 arterial (PaCO2) dan turunnya

pH. Hiperkapnik dapat terjadi akibat obstruksi saluran napas atas atau bawah, kelemahan otot

pernapasan atau biasanya akibat produksi CO2 yang berlebihan. Gagal nafas tipe hipoksemia

terjadi akibat kurangnya oksigenasi, biasanya akibat pirau dari kanan ke kiri atau gangguan

keseimbangan ventilasi dan perfusi (ventilation-perfusion mismatch).12,13

ETIOLOGI

Bayi khususnya neonatus rentan terhadap kejadian gagal nafas akibat: (1) ukuran jalan nafas

yang kecil dan resistensi yang besar terhadap aliran udara, (2) compliance paru yang lebih

besar, (3) otot pernafasan dan diafragma cenderung yang lebih mudah lelah , serta (4)

predisposisi terjadinya apnea yang lebih besar.6

Gagal nafas pada neonatus dapat disebabkan oleh hipoplasia paru (disertai hernia

diafragma kongenital), infeksi, aspirasi mekoneum, dan persistent pulmonary

hypertension.14,15 Secara umum, etiologi gagal nafas pada neonatus ditunjukkan pada tabel 1.

Page 5: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

3

Tabel 1. Etiologi gagal nafas pada neonatus

Paru-paru Aspirasi, pneumonia, transient tachypnea of the newborn, persistent

pulmonary hypertension, pneumotoraks, perdarahan paru, edema paru,

displasia bronkopulmonal, hernia diafragma, tumor, efusi pleura,

emfisema lobaris kongenital

Jalan nafas Laringomalasia, trakeomalasia, atresia/stenosis choana, Pierre Robin

Syndrome, tumor dan kista

Otot-otot respirasi Paralisis nervus frenikus, trauma medulla spinalis, miasthenia gravis

Sistem saraf pusat (SSP) Apnea of prematurity, obat: sedatif, analgesik, magnesium; kejang,

asfiksia, hipoksik ensefalopati, perdarahan SSP

Lain-lain Penyakit jantung bawaan tipe sianotik, gagal jantung kongestif,

anemia/polisitemia, tetanus neonatorum, immaturitas, syok, sepsis

Sumber: Carlo13

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS

Diagnosis gagal nafas dapat ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan dikonfirmasi

dengan hasil pemeriksaan analisis gas darah. Gambaran klinis yang dapat terjadi pada

neonatus yang harus meningkatkan kewaspadaan klinisi akan terjadinya gagal nafas antara

lain:13

- Peningkatan respirasi

- Peningkatan usaha nafas

- Periodic breathing

- Apnea

- Sianosis yang tidak berkurang dengan pemberian oksigen

- Turunnya tekanan darah disertai takikardi, pucat, kegagalan sirkulasi yang diikuti

bradikardi

- Penggunaan otot-otot pernafasan tambahan.

Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor Silverman-

Anderson dan skor Downes. Skor Silverman-Anderson lebih sesuai digunakan untuk bayi

prematur yang menderita hyaline membrane disease (HMD), sedangkan skor Downes

merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif dan dapat digunakan pada semua usia

kehamilan. Penilaian dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap setengah jam untuk

menilai progresivitasnya.16

Page 6: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

4

Tabel 2. Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes

PemeriksaanSkor

0 1 2Frekuensi napas < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menitRetraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi beratSianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang

dengan 02

Sianosis menetapwalaupun diberi O2

Air entry Udara masuk Penurunan ringanudara masuk

Tidak ada udaramasuk

Merintih Tidak merintih Dapat didengardengan stetoskop

Dapat didengar tanpaalat bantu

Skor > 6 : Ancaman gagal nafasSumber: Mathai16

Analisis gas darah merupakan indikator definitif dari pertukaran gas untuk menilai

gagal nafas akut. Meskipun manifestasi klinis yang ada memerlukan tindakan intubasi segera

dan penggunaan ventilasi mekanis, pengambilan sampel darah arterial diperlukan untuk

menganalisis tekanan gas darah (PaO2, PaCO2, dan pH) sambil melakukan monitoring

dengan pulse oxymetri. Hipoksemia berat ditandai dengan PaO2 < 50-60 mmHg dengan FiO2

60% atau PaO2 < 60 mmHg dengan FiO2 > 40% pada bayi < 1250 g, Hiperkapnik berat

dengan PaCO2 > 55-60 mmHg dengan pH <7,2-7,25.10-12,16

Tabel 3. Nilai Analisis gas Darah

Nilai

0 1 2 3

PaO2 (mmHg) > 60 50-60 < 50 < 50

pH > 7,3 7,2-7,29 7,1-7,19 < 7,1

PaCO2 (mmHg) < 50 50-60 61-70 > 70

Skor > 3: memerlukan ventilatorSumber: Mathai16

Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan sebagai pemeriksaan awal pada pasien

yang mengalami distress pernafasan antara lain: rontgen toraks (dapat dilakukan setelah

pemasangan ETT), pemeriksaan darah untuk skrining sepsis, termasuk pemeriksaan darah

rutin, hitung jenis, apus darah tepi, C-reactive protein, kultur darah, glukosa darah, dan

elektrolit.16-18

Page 7: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

5

Tabel 4. Pemeriksaan Penunjang pada Neonatus yang mengalami Distress Pernafasan

Pemeriksaan Kegunaan

Kultur darah Menunjukkan keadaan bakteriemia

Analisis gas darah Menilai derajat hipoksemia dan keseimbangan asam basa

Glukosa darah Menilai keadaan hipoglikemia, karena hipoglikemia dapat

menyebabkan atau memperberat takipnea

Rontgen toraks Mengetahui etiologi distress nafas

Darah rutin dan hitung jenis Leukositosis menunjukkan adanya infeksi

Neutropenia menunjukkan infeksi bakteri

Trombositopenia menunjukkan adanya sepsis

Pulse oximetry Menilai hipoksia dan kebutuhan tambahan oksigen

Sumber: Hermansen18

Selain menilai beratnya distress nafas yang terjadi, diperlukan juga penilaian untuk

memperkirakan penyebab dasar gangguan nafas untuk penatalaksanaan selanjutnya. Pada

bayi yang baru lahir dan mengalami distress nafas, penilaian keadaan antepartum dan

peripartum penting untuk dilakukan. Beberapa pertanyaan yang dapat membantu

memperkirakan penyebab distress nafas antara lain: apakah terdapat faktor resiko antepartum

atau tanda-tanda distress pada janin sebelum kelahiran, adanya riwayat ketuban pecah dini,

adanya mekoneum dalam cairan ketuban, dan lain-lain.16

Pada pemeriksaan fisik, beberapa hasil pemeriksaan yang ditemukan juga dapat

membantu memperkirakan etiologi distress nafas. Bayi prematur dengan berat badan lahir

< 1500 gram dan mengalami retraksi kemungkinan menderita HMD, bayi aterm yang lahir

dengan mekoneum dalam caian ketuban dan diameter antero-posterior rongga dada yang

membesar beresiko mengalami MAS, bayi yang letargis dan keadaan sirkulasinya buruk

kemungkinan menderita sepsis dengan atau tanpa pneumonia, bayi yang hampir aterm tanpa

faktor resiko tetapi mengalami distress nafas ringan kemungkinan mengalami transient

tachypnea of the newborn (TTN), dan hasil pemeriksaan fisik lainnya yang dapat membantu

memperikirakan etiologi distress nafas.16

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan neonatus dengan gagal nafas sebaiknya ditujukan pada penyakit yang

mendasarinya. Saat ini terapi gagal nafas pada neonatus ditujukan untuk mencegah

Page 8: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

6

komplikasi dan memburuknya keadaan yang terjadi akibat penyakit paru-paru pada neonatus,

seperti hipoksemia dan asidemia, sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung. Bayi

baru lahir yang mengalami gangguan nafas berat harus dirawat di ruang rawat intensif untuk

neonatus (NICU), bila tidak tersedia bayi harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki

fasilitas NICU.5 Sebelum dirujuk atau dipindahkan ke NICU, penatalaksanaan yang tepat

sejak awal sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan perawatan.

Penatalaksanaan Non Respiratorik

Monitoring temperatur merupakan hal yang penting dalam perawatan neonatus yang

mengalami distress pernafasan. Keadaan hipo maupun hipertermi harus dihindari.16,18-20

Temperatur bayi harus dijaga dalam rentang 36,5−37,5oC.10

Enteral feeding harus dihindari pada neonatus yang mengalami distress nafas yang

berat, dan cairan intravena dapat segera diberikan, untuk mencegah keadaan hipoglikemia.19

Keseimbangan cairan, elektrolit dan glukosa harus diperhatikan. Pemberian cairan biasanya

dimulai dengan jumlah yang minimum, mulai dari 60 ml/kgBB/hari dengan Dekstrose 10%

atau ¾ dari kebutuhan cairan harian. Kalsium glukonas dengan dosis 6-8 ml/kgBB/hari dapat

ditambahkan pada infus cairan yang diberikan.16 Pemberian nutrisi parenteral dapat dimulai

sejak hari pertama. Pemberian protein dapat dimulai dari 3,5 g/kgBB/hari dan lipid mulai dari

3 g/kgBB/hari.10

Prinsip lain perawatan neonatus yang mengalami distress nafas adalah minimal

handling. Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan monitor sekaligus untuk menilai keadaan

kardiorespiratorik, temperatur, dan saturasi oksigen pada bayi.19

Gejala dan hasil pemeriksaan radiologis pada bayi yang mengalami distress nafas

sering tidak spesifik sehingga penyebab lain terjadinya distress nafas seperti sepsis perlu

dipertimbangkan, dan pemberian antibiotik spektrum luas sedini mungkin harus dimulai

sampai hasil kultur terbukti negatif. Pemilihan antibiotik inisial yang dianjurkan adalah

ampicillin dan gentamicin.7,18,19

Penatalaksanaan Respiratorik

Penanganan awal adalah dengan membersihkan jalan nafas, jalan nafas dibersihkan

dari lendir atau sekret yang dapat menghalangi jalan nafas selama diperlukan, serta

memastikan pernafasan dan sirkulasi yang adekuat. Monitoring saturasi oksigen dapat

dilakukan dengan menggunakan pulse oxymetri secara kontinyu untuk memutuskan kapan

memulai intubasi dan ventilasi.16,20 Semua bayi yang mengalami distress nafas dengan atau

Page 9: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

7

tanpa sianosis harus mendapatkan tambahan oksigen. Oksigen yang diberikan sebaiknya

oksigen lembab dan telah dihangatkan.16

Tabel 5. Panduan untuk monitoring saturasi oksigen dengan pulse oxymetri> 95% Bayi aterm

88-94% Bayi pre term (28-34 minggu)

85-92% < 28 minggu

Sumber: Mathai16

Tujuan utama dalam penatalaksanaan gagal nafas adalah menjamin kecukupan

pertukaran gas dan sirkulasi darah dengan komplikasi yang seminimal mungkin. Hal ini dapat

dicapai dengan menangani dan mengatasi etiologi gagal nafas. Indikasi untuk memulai

ventilasi mekanis pada pasien yang mengalami gagal nafas biasanya didasari atas menetap

atau memburuknya keadan klinis akibat proses pertukaran gas di paru-paru yang

terganggu.11,19

Page 10: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

8

Sumber: Mathai16, Hermansen18

8

Sumber: Mathai16, Hermansen18

8

Sumber: Mathai16, Hermansen18

Page 11: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

9

Penatalaksanaan di ruang NICU

Penatalaksanaan gagal nafas pada neonatus di ruang perawatan intensif neonatus

(NICU) saat ini telah mengalami perkembangan. Penggunaan surfaktan, high frequency

ventilator, inhaled nitric oxide (iNO), telah banyak dilakukan dan berakibat pada

berkurangnya penggunaan extracorporeal membrane oxygenation yang memiliki banyak efek

samping.5,17

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi gagal nafas pada neonatus (misalnya

dengan pemberian nitrat oksida, extracorporeal membrane oxygenation), 25-30% penderita

yang berhasil bertahan hidup mengalami gangguan kognitif, 6-13% mengalami cerebral

palsy, 6-30% mengalami gangguan pendengaran, dan pada usia sekolah banyak yang

mengalami gangguan perhatian, pendengaran, disfungsi neuromotorik dan perilaku.14

Ventilasi Mekanis

Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan berbagai efek

pada sistem kardiopulmonal. Tujuan ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi klinis

pasien dan optimalisasi pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional concentration of inspired

oxygen) yang minimal, serta tekanan ventilator/volume tidal yang minimal.10,21 Derajat

distress pernafasan, derajat abnormalitas gas darah, riwayat penyakit paru-paru, dan derajat

instabilitas kardiopulmonal serta keadaan fisiologis penderita harus ikut dipertimbangkan

dalam memutuskan untuk memulai penggunaan ventilator mekanik. Berbagai mode ventilasi

mekanik dapat ditentukan oleh parameter yang diatur oleh klinisi untuk menentukan

karakteristik pernafasan mekanis yang diinginkan.22,23

Indikasi absolut penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) prolonged apnea, (2)

PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang bukan disebabkan oleh penyakit

jantung bawaan tipe sianotik, (3) PaCO2 lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten, dan

(4) bayi yang menggunakan anestesi umum. Sedangkan indikasi relatif untuk penggunaan

ventilasi mekanis antara lain: (1) frequent intermittent apnea, (2) bayi yang menunjukkan

tanda-tanda kesulitan nafas, (3) dan pada pemberian surfaktan.21,23

Surfaktan

Surfaktan dibentuk oleh pneumosit alveolar tipe II dan disekresikan kedalam rongga udara

pada usia kehamilan sekitar 22 minggu. Komponen utama surfaktan adalah fosfolipid,

sebagian besar terdiri dari dipalmitylphosphatidylcholine (DPPC). Surfaktan disekresi oleh

eksositosis dari lamellar bodies pneumosit alveolar tipe II dan mielin tubuler. Pembentukan

Page 12: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

10

mielin tubuler tergantung pada ion kalsium dan protein surfaktan SP-A dan SP-B. Surfaktan

lapisan tunggal berasal dari mielin tubuler dan sebagian besar terdiri dari DPPC. Fungsinya

adalah untuk mengurangi tegangan permukaan dan menstabilkan saluran nafas kecil selama

ekspirasi yang memungkinkan stabilisasi dan pemeliharaan volume paru. Surfaktan juga

berperan dalam mekanisme pertahanan paru dengan meningkatkan mucociliary

clearance.24-26

Fungsi surfaktan yang paling penting adalah menurunkan tegangan permukaan

alveolar sehinggga terjadi stabilisasi volume paru pada tekanan transpulmonal yang rendah.

Surfaktan akan mencegah kolapsnya jalan nafas saat ekspirasi dan memungkinkan tekanan

yang lebih rendah untuk mengembangkan paru-paru, sehingga peregangan yang berlebihan

dari paru-paru dapat dicegah dan resiko terjadinya ruptur alveolus berkurang akibat surfaktan

mengurangi tekanan negatif yang diperlukan untuk membuka jalan nafas dan kerja

pernafasan.10,25,26

Terapi surfaktan diberikan pada kedaan defisiensi surfaktan pada bayi prematur

seperti pada hyaline membrane disease (HMD), neonatal lung injury yang tidak berhubungan

dengan prematuritas, seperti hernia diafragma kongenital, dan meconeum aspiration

syndrome (MAS). Saat ini preparat surfaktan yang tersedia antara lain adalah surfaktan

sintetis dan surfaktan natural yang berasal dari ekstrak paru-paru sapi atau dari bilas paru-

paru domba atau babi.24, 26 Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan surfaktan

dapat menurunkan penggunaan extracorporeal membrane oxygenation pada neonatus yang

mengalami kegagalan nafas.27

Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir apabila bayi

mengalami respiratory distress syndrome yang berat. Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2

jam (umumnya 4-6 jam) setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan

tambahan oksigen 30% atau lebih.24

Tabel 6. Dosis surfaktan yang direkomendasikan untuk terapi.

Nama Produk Dosis Awal Dosis TambahanGalfactant 3 ml/KgBB Dapat diulang sampai 3 kali pemberian

dengan interval tiap 12 jamBeractant 4 ml/KgBB Dapat diulang setelah 6 jam, sampai total

4 dosis dalam 48 jamColfosceril 5 ml/KgBB diberikan dalam 4 menit Dapat diulang setelah 12 dan 24 jamPorcine 2,5 ml/KgBB Dosis 1,25 ml/KgBB dapat diberikan tiap

12 jamSumber: Kosim24

Page 13: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

11

Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan menggunakan

nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang ETT memungkinkan distribusi surfaktan yang

lebih cepat sampai ke bagian perifer paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping

yang dapat ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan

menggunakan nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit), dilanjutkan dengan

postural drainage, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian surfaktan dengan

cara ini kurang efektif karena volume surfaktan yang sampai kedalam paru-paru lebih

sedikit.10,24,25

Komplikasi yang mungkin terjadi pada pemberian surfaktan antara lain, bradikardi,

hipoksemia, hipo atau hiperkarbia, dan apnea. Bradikardi, hipoksemia dan sumbatan pada

endotracheal tube (ETT) dapat terjadi pada saat pemberian surfaktan dilakukan. Perubahan

perfusi serebral dapat terjadi pada bayi yang sangat prematur akibat redistribusi yang

mendadak dari aliran darah paru kedalam sirkulasi otak. Seluruh efek samping tersebut dapat

diatasi dengan menghentikan pemberian surfaktan dan meningkatkan aliran oksigen dan

ventilasi.24,25

High Frequency Ventilation

High frequency ventilation (HFV) adalah bentuk ventilasi mekanik yang menggunakan

volume tidal yang kecil, dan laju ventilator yang cepat. Keuntungan HFV adalah dapat

memberikan gas yang adekuat dengan tekanan pada jalan nafas yang lebih rendah sehingga

mengurangi kejadian barotrauma.17,28

High frequency ventilation menggunakan konsep untuk mengurangi trauma volume

dan atelektaruma, yang akan mengurangi PaCO2 dengan resiko barotrauma yang kecil pada

paru-paru. HFV telah digunakan pada bayi dengan respiratory distress syndrome (RDS) yang

memerlukan bantuan nafas lebih lanjut. HFV juga sangat efektif pada bayi dengan aspirasi

mekonium. HVF juga mengurangi kejadian barotrauma pada bayi dengan berat badan rendah.

Pada saat ini penggunaan HFV lebih direkomendasikan karena komplikasi yang lebih

sedikit. Terdapat beberapa macam mode high frequency ventilator yang digunakan, yaitu:

high-frequency positive-pressure ventilators, high-frequency jet ventilators, dan high

frequency oscillators.17,28

Penggunaan klinis HFV lebih menguntungkan dibandingkan ventilator biasa. Pada

beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien RDS yang menggunakan ventilator HFV

memperlihatkan penurunan kejadian lung injuries. Penggunaan HFV ini dapat menyediakan

ventilasi yang adekuat dengan airway pressure (tekanan jalan nafas) yang rendah, sehingga

Page 14: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

12

penggunaannya dapat dipertimbangkan pada pneumotoraks, hipoplasia paru, sindroma

aspirasi mekonium, pneumonia dengan atelektasis.17,28

Inhaled Nitric Oxide

Inhaled nitric oxide (iNO) dapat memperbaiki vasodilatasi paru dan oksigenisasi pada bayi

cukup bulan dengan gagal nafas yang berat. Beberapa penelitian multisenter menyebutkan

bahwa iNO akan mengurangi kebutuhan akan extracorporeal membrane oxygenation

(ECMO).29,30

Penggunaan iNO pada terapi gagal nafas pada bayi berdasar kepada kemampuannya

sebagai vasodilator di paru-paru tanpa menurunkan tonus vaskuler paru. Penggunaan iNO

dipertimbangkan karena memiliki kemampuan selektif menurunkan pulmonary vascular

resistance (PVR).29,30

Nitrat oksida disintesis pada saluran napas atas dan bawah. Nitrat oksida merupakan

salah satu substansi fisiologis yang dilepaskan endotel untuk memelihara tekanan darah

dalam batas normal. Nitrat oksida akan berdifusi dari lapisan endotel ke dalam otot polos

pembuluh darah dimana akan mengaktifkan guanil siklase, dan mengkatalisir formasi dari

cGMP, cGMP kemudian akan mengfosforilasi beberapa protein melalui protein kinase

dependent cGMP, yang secara tidak langsung akan menyebabkan defosforilasi miosin dan

menyebabkan relaksasi otot polos.29,30

Sirkulasi paru janin cenderung mempunyai resistensi yang tinggi. Nitrat oksida

endogen secara fisiologis penting untuk mengatur tonus vaskuler paru janin. Nitrat oksida

menyebabkan angiogenesis, pembentukan alveolar dan pertumbuhan paru normal.30,31

Terapi iNo pada bayi baru lahir telah diteliti pada bayi preterm dan aterm. Nitrat

oksida eksogen yang dihantarkan melalui ventilator akan menyebabkan vasodilatasi paru.15,29

Terapi iNO memperbaiki oksigenisasi tanpa efek samping jangka pendek seperti perdarahan

paru, perdarahan intrakranial, pnumotoraks pada bayi prematur dengan gagal napas.15,29,30

Extracorporeal Membrane Oxygenation

Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan alat yang menghubungkan

langsung darah vena pada alat paru-paru buatan (membrane oxygenator), dimana oksigen

ditambahkan dan CO2 dikeluarkan, kemudian darah dipompa balik pada atrium kanan pasien

(Venovenosis ECMO) atau aorta (venoarterial). Prosedur ini membuat paru-paru dapat

beristirahat dan menghindari tekanan tinggi ventilator. Selama ECMO berlangsung paru-paru

Page 15: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

13

bayi dapat terus bekerja namun dalam volume yang lebih kecil untuk mencegah terjadinya

atelektasis.32,33

ECMO paling sering digunakan pada keadaan-keadaan seperti: sindroma aspirasi

mekonium, dengan rata-rata 94% dapat bertahan hidup setelah terapi, persistent pulmonary

hypertension, sepsis, respiratory dystress syndrome, hernia diafragmatika.32-34

Prosedur ECMO sangat invasif dan resiko tinggi. Penggunaan ECMO pada bayi

preterm dengan usia gestasi 34 minggu ternyata memperlihatkan angka kematian yang tinggi

disebabkan perdarahan intrakranial. Sehingga kriteria inklusi untuk ECMO adalah usia

gestasional ≥ 34 minggu atau berat lahir ≥ 2000 gram, tidak ada gangguan perdarahan, telah

diberikan ventilasi mekanik selama 10-14 hari, penyakit paru bersifat reversibel.33-35

Pasien neonatus biasanya memerlukan terapi ECMO selama 7-8 hari. Selama periode

ini bayi dengan gagal napas dapat secara perlahan diberikan seting ventilator yang minimal

dan apabila perbaikan dapat di ekstubasi dalam 24-48 jam. Setelah dilakukan ekstubasi bayi

memerlukan oksigen selama 5-7 hari dan perlu pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit,

dan elektrolit dalam 6-18 jam setelah ECMO. Komplikasi dari ECMO antara lain perdarahan

intrakranial, infark sistem saraf pusat, kejang, perdarahan paru, hipertensi, dan tamponde

jantung. Penderita yang telah menjalani ECMO dapat bertahan hidup walaupun

morbiditasnya tinggi.33,35

RINGKASAN

Gagal nafas pada neonatus merupakan masalah klinis yang sangat serius, yang berhubungan

dengan tingginya morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan. Faktor resiko utama gagal

nafas pada neonatus adalah prematuritas, bayi berat badan lahir rendah, dan golongan

sosioekonomi rendah. Diagnosis gagal nafas merupakan diagnosis klinis. Gambaran klinis

yang meningkatkan kewaspadaan klinisi akan terjadinya gagal nafas antara lain: peningkatan

atau penurunan laju respirasi, peningkatan atau penurunan usaha nafas, periodic breathing,

apnea, sianosis yang tidak berkurang dengan pemberian oksigen, turunnya tekanan darah

disertai takikardi, pucat, kegagalan sirkulasi yang diikuti bradikardi, dan penggunaan otot-

otot pernafasan tambahan.

Analisis gas darah merupakan indikator definitif dari pertukaran gas untuk menilai

gagal nafas akut. Hipoksemia berat ditandai dengan PaO2 < 50-60 mmHg dengan FiO2 60%

atau PaO2 < 60 mmHg dengan FiO2 > 40% pada bayi < 1250 g, Hiperkapnik berat dengan

PaCO2 > 55-60 mmHg dengan pH <7,2-7,25.

Page 16: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

14

Penatalaksanaan gagal nafas pada neonatus saat ini meliputi penggunaan ventilator

mekanik, penggunaan surfaktan, high frequency ventilator, inhaled nitric oxide (iNO), dan

extracorporeal membrane oxygenation yang memiliki banyak efek samping.

Penggunaan ventilator mekanik biasa mempunyai resiko terjadinya baro trauma dan

volume trauma. Inhaled nitric oxide bekerja sebagai vasodilator dari paru-paru, sehingga

dapat digunakan sebagai alternatif terapi terutama pada komplikasi penyakit paru bayi

(PPHN. Surfaktan dapat digunakan pada RDS dan sindroma aspirasi mekonium dan

memperlihatkan perbaikan yang nyata. High frequency ventilation adalah bentuk ventilasi

mekanik yang baik dengan risiko barotraumas dan volumetrauma yang lebih kecil. ECMO

merupakan alternatif penatalaksanaan gagal napas yang lain apabila terapi diatas sudah tidak

dapat digunakan.

Page 17: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Angus D, Linde-Zwirble W, Clermont G, Griffin M, Clark R. Epidemiology ofneonatal respiratory failure in the united states. Am J Respir Crit Care Med2001;164:1154-60.

2. Qian L, Liu C, Zhuang W, Guo Y, Yu J, Chen H, dkk. Neonatal respiratory failure: a12-month clinical epidemiologic study from 2004 to 2005 in China. Pediatrics.2008;121:1115-24.

3. UNDP-Bappenas. Usaha Pencapaian MDGs di Indonesia (Diunduh 23 November2010); Tersedia dari: http://www.targetmdgs.org.

4. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. Akselerasi pelayanan kesehatan: Peranpenelitian kesehatan. 2006; (Diunduh 23 November 2010); Tersedia dari:http://www.depkes.go.id.

5. Hagedorn M, Gardner S, Abman S. Common systemic diseases of the neonate:Respiratory diseases. Dalam: Merenstein G, Gardner S, penyunting. Handbook ofneonatal intensive care. Edisi 5. St. Louis: Mosby; 2002. h. 485-575.

6. Wratney A, Chifetz I, Fortenberry J, Paden M. Disorders of the lung parenchyma.Dalam: Slonim A, Pollack M, penyunting. Pediatric critical care medicine.Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. h. 683-93.

7. Jing L, Yun S, Jian-ying D, Tian Z, Jing-ya L, Li-li L, dkk. Clinical characteristics,diagnosis and management of respiratory distress syndrome in full-term neonates. ChinMed J. 2010;123(19):2640-44.

8. Levy M. Pathophysiology of oxygen delivery in respiratory failure. Chest.2005;128:547-53.

9. Kumar A, Bhatnagar V. Respiratory Distress in Neonates. Indian J Pediatr 2005.2005;72(5):425-38.

10. Sweet D, Carnielli V, Greisen G, Hallman M, Ozek E, Plavka R, dkk. Europeanconsensus guidelines on the management of neonatal respiratory distress syndrome inpreterm infants: 2010 Update. Neonatology. 2010;97:402-17.

11. Frankel L. Respiratory distress and failure. Dalam: Kliegman R, Behrman R, Jenson H,Stanton B, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 18. Philadelphia: SundersElsevier; 2007. h. 421-4.

12. Ranjit S. Acute respiratory failure and oxygen therapy. Indian J Pediatr 2001.2001;68(3):249-55.

13. Carlo W. Assisted ventilation. Dalam: Klaus M, Fanaroff A, penyunting. Care of thehigh-risk neonate. Edisi 5. Philadelphia: Saunders; 2001. h. 277-300.

14. Allen M. Follow-up of high-risk infants. Dalam: Gomella T, Cunningham M, Eyal F,Tuttle D, penyunting. Neonatology: Management, procedures, on-call problems,diseases and drugs. Edisi 6. USA; 2009. h. 179.

15. AAP Committe on fetus and newborn. Use of Inhaled Nitric Oxide. Pediatrics.2000;106(2).

16. Mathai S, Raju C, Kanitkar C. Management of respiratory distress in the newborn.MJAFI. 2007;63(269-72).

17. Field D. Alternative strategies for the management of respiratory failure in the newborn– clinical realities. Semin Neonatol 2002. 2002;7:429-36.

18. Hermansen C, Lorah K. Respiratory distress in the newborn. Am Fam Physician.2007;76:987-94.

19. Metropolitan health and aged division victorian government. Neonatal Handbook.(Diunduh 18 November 2010); Tersedia dari: www.neonatalservices.health.vic.gov.au.

Page 18: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN NAFAS

16

20. Doniger S, Sharieff G. Pediatric resuscitation revised: A summary of the updatedBLS/NALS/PALS recommendations. Israeli Journal of Emergency Medicine2007;7(2):18-25.

21. Eichenwald E. Mechanical ventilation. Dalam: Cloherty J, Eichenwald E, Stark A,penyunting. Manual of neonatal care. Edisi 6. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins; 2008. h. 331-42.

22. Hamm C. Respiratory management. Dalam: Gomella T, Cunningham M, Eyal F, TuttleD, penyunting. Neonatology: Management, procedures, on-call problems, disease, anddrugs. Edisi 6. USA: McGraw-Hill; 2009. h. 48-67.

23. Van Kaam A, Rimensberger P, Borensztajn D, De Jaegere A. Ventilation practices inthe neonatal intensive care unit: A cross-sectional study. J Pediatr 2010;157:767-71.

24. Kosim M. Use of surfactant in neonatal intensive care units. Pediatrica indonesiana.2005;45:233-40.

25. Bissinger R, Carlson C. Surfactant. Newborn and Infant Nursing Reviews.2006;6(2):87-93.

26. Masmonteil T. Expanded use of surfactant therapy in newborns. Clin Perinatol.2007;34:179-89.

27. Lotze A, Mitchell B, Bulas D, Zola E, Shalwitz R, Gunkel J. Multicenter study ofsurfactant (beractant) use in the treatment of term infants with severe respiratoryfailure. Pediatr. 1998;132:40-7.

28. Lampland A, Mammel M. The Role of high-frequency ventilation in neonates:Evidence-based recommendations. Clin Perinatol 34. 2007;34:129-44.

29. Konduri G, Vohr B, Robertson C, Sokol G, Solimano A, Singer J, et al. Early inhalednitric oxide therapy for term and near-term newborn infants with hypoxic respiratoryfailure: neurodevelopmental follow-up. J Pediatr. 2007;150:235-40.

30. Rosenberg A. Inhaled nitric oxide in the premature infant with severe hypoxemicrespiratory failure: A time for caution. J Pediatr. 1998;133:720-2.

31. NICHD Neonatal research network. Inhaled nitric oxide in full-term and nearly full-term infants with hypoxic respiratory failure. N Engl J Med. 1997;336:597-604.

32. Hustead V. Extra corporeal membrane oxygenation of the newborn. Dalam: Gomella T,Cunningham M, Eyal F, Tuttle D, penyunting. Neonatology: Management, procedures,on-call problems, diseases and drugs. Edisi 6. USA: McGraw-Hill. h. 139-49.

33. Brown K, Sriram S, Ridout D, Cassidy J, Pandya H, Liddell M, et al. Extracorporealmembrane oxygenation and term neonatal respiratory failure deaths in the UnitedKingdom compared with the United States: 1999 to 2005. Pediatr Crit Care Med2010;11(1).

34. Chevalier J, Renolleau S. Extracorporeal lung support for neonatal acute respiratoryfailure. Semin Neonatal 1997;2:139-46.

35. Khambekar K, Nichani S, Luyt D. Developmental outcome in newborn infants treatedfor acute respiratory failure with extracorporeal membrane oxygenation: presentexperience. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2006;91:21-5.