Upload
phamdiep
View
225
Download
0
Embed Size (px)
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 7
D. Metode Penelitian ....................................................................... 8
E. Review Studi ............................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 13
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Hukum Kewarisan Dalam Perspektif Fikih ................................ 14
B. Hukum Kewarisan Dalam Perspektif Undang-undang ............... 38
C. Konsep Keadilan Dalam Kewarisan ........................................... 49
BAB III ANALISIS GUGATAN KEWARISAN ANAK LAKI-LAKI
DAN PEREMPUAN
A. Landasan Yuridis, Hukum Formil dan Hukum Materil .............. 57
B. Analisis dan Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta............................. 64
v
C. Telaah Kritis Terhadap Pembagian Harta Waris Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta ........................................................................................ 79
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 94
B. Saran .......................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 98
LAMPIRAN
1. Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1397/
Pdt.G/2008/PA.JT
2. Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor
50/Pdt.G/2009/PTA.JK
3. Surat izin untuk melaksanakan wawancara di Pengadilan Agama
Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
4. Hasil wawancara dengan hakim pada Pengadilan tingkat pertama
5. Hasil wawancara dengan hakim pada Pengadilan tingkat banding
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem waris merupakan salah satu sebab atau alasan adanya perpindahan
kepemilikan, yaitu berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak yang
mewariskan, setelah muwarits wafat, kepada para penerima warisan dengan jalan
pergantian yang didasarkan pada hukum syara’. Terjadinya proses pewarisan ini tentu
setelah memenuhi hak-hak yang terkait dengan harta peninggalan si mayit.1
Pada masa jahiliyah (sebelum Islam), bangsa Arab telah mengenal sistem
waris. Meskipun demikian, mereka tidak memberikan harta waris tersebut kepada
wanita maupun anak-anak yang dianggap tidak cakap dalam berperang dan tidak
dapat meraih pampasan perang. Tetapi, mereka hanya akan memberikan harta waris
kepada laki-laki dewasa, kerabat orang yang meninggal, dan orang lain yang bukan
kerabat orang yang meninggal, karena suatu perjanjian atau adopsi.2
Inilah yang berbeda dengan hukum waris dalam Islam. Allah SWT telah
menetapkan bahwa orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan lebih berhak
1 Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: CV Kuwais
Media Kreasindo, 2004) Cet.1, h. 1
2 Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), Cet.1, h. 20
1
untuk saling mewarisi, baik laki-laki maupun perempuan, yang dewasa maupun anak-
anak, seperti yang dijelaskan dalam al-Quran Surat al-Ahzab (33:6).
Suatu fakta yang tidak dapat di pungkiri bahwa kelahiran hukum waris
disamping bukan sekedar untuk merespon problem hukum dizaman jahiliyah yang
telah disebutkan diatas, tetapi hukum waris juga dipresentasikan dalam teks-teks yang
rinci, sistematis, konkrit dan realistis sehingga menutup kemungkinan akan adanya
multi interpretasi. Hal ini diakui oleh para ahli hukum sebagai suatu keistimewaan
tersendiri, karena dari sekian banyak ayat-ayat tentang hukum (ayat ahkam) dalam al-
Quran yang menurut Abdul Wahhab Khallaf berjumlah 228, tidak ada satu aspek
hukumpun yang secara teknis diyakini sebagai model hukum yang canggih dan
lengkap selain daripada hukum waris tersebut.3 Hukum waris ini berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam menegakan hukum Islam yang sesuai
dengan ketentuan yang seharusnya tanpa adanya diskriminasi terhadap satu golongan,
yang dipertegas dengan firman Allah SWT dalam al-Quran Surat An-nisa (4:7)
mengenai proyeksi dari hukum kewarisan Islam. Kandungan ayat tersebut
mengindikasikan bahwa yang menjadi ahli waris adalah seluruh anggota keluarga
baik laki-laki maupun perempuan dan menjelaskan tentang pembagian hak dari
masing-masing ahli waris atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang
meninggal dunia.
3 Elfid Nurfitri Mubarok, Penyelesaian Gugatan Kewarisan Anak Perempuan Dengan
Saudara Kandung, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 3
2
Kita ketahui bahwa Indonesia bukanlah negara Islam, tetapi mayoritas
penduduknya adalah muslim. Sehingga dalam kehidupan masyarakatnya hukum
Islam mempunyai peranan yang sangat penting dalam pola regulasi masyarakat. Oleh
karena itu, agar hukum Islam bisa berintegrasi ke dalam sistem hukum negara, maka
legalisasi hukum Islam menjadi manifestasi modernisasi Islam yang terpenting.
Dengan demikian diharapkan persoalan intern hukum Islam dapat terpecahkan.
Salah satu karya besar umat Islam Indonesia dalam rangka memberi arti yang
lebih positif bagi kehidupan beragamanya dan sebagai bukti atas kebangkitan umat
Islam Indonesia, memperoleh momentum puncaknya yaitu dengan lahirnya
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tahun 1991. Legalisasi hukum Islam tersebut
merupakan penjabaran dan aplikasi syariah yang menampilkan corak khas ke-
Indonesia-an, meskipun hanya berbentuk Instruksi Presiden (Inpres) yang hanya
bersifat fakultatif yang kekuatan hukumnya tidak begitu mengikat dan memaksa,
namun diharapkan akan menjadi satu jenjang dalam berijtihad menemukan hukum
dan sebagai batu loncatan untuk meraih keberhasilan yang lebih baik dimasa yang
akan datang.4
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hukum materil yang harus
dijalankan di Pengadilan Agama, tetapi KHI bukanlah bersifat mutlak seperti wahyu
Tuhan, sehingga para hakim mempunyai peluang untuk memberikan beberapa
pertimbangan dan berijtihad untuk menemukan hukum melalui perkara-perkara yang
4 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: CV Akademika Pressindo,
1992), Cet. 1, h.6 3
ditanganinya. Maka dari itu, dalam praktek penyelesaian perkara di Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama adakalanya terdapat perbedaan dalam hal
penggunaan KHI itu sendiri. Salah satunya adalah dalam hal kewarisan. Perbedaan
bentuk putusan inilah yang dapat menimbulkan penerapan hukum yang berbeda pula.
Dalam hal kewarisan sering menimbulkan sengketa, baik dalam jumlah
pembagiannya, atau karena keterlambatan pembagian harta warisan tersebut,
sehingga mengakibatkan harta peninggalan dikuasai oleh salah satu dari ahli
warisnya, yang kemudian menimbulkan kecurigan akan penguasaan seluruh harta
peninggalan. Oleh sebab itu mengenai harta peniggalan ini harus disegerakan dalam
pembagiannya.
Mengenai perkara yang menjadi fokus kajian dalam skripsi ini adalah tentang
besarnya bagian harta waris yang diperoleh anak laki-laki dan perempuan yang
terdapat dalam al-Qur’an surat An-nisa (4) ayat 11 yang kemudian ditransformasi
kedalam KHI pasal 176, dewasa ini banyak menimbulkan multi interpretasi
dikalangan ahli hukum termasuk hakim dalam menafsirkan ayat tersebut secara
kontekstual. Sehingga, dalam memutus perkara pembagian hak waris anak laki-laki
dan perempuan tidak lagi merujuk kepada ketentuan yang telah disyariatkan dalam
al-Quran dan KHI pasal 176. Dengan terjadinya hal seperti itulah kemudian timbul
kekhawatiran akan hilangnya ilmu faridh sejalan dengan perkembangan zaman.
Artinya, eksistensi dari ilmu faraidh tersebut tidak lagi dipakai dan lebih kasarnya
lagi akan ditinggalkan oleh penganutnya yakni umat Islam itu sendiri.
4
Padahal dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Daruqutni dikatakan
bahwa perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh sejalan dengan perintah
mempelajari dan mengajarkan al-Quran. Hal ini menunjukan bahwa ilmu faraidh
merupakan cabang ilmu yang cukup penting dalam mengatur kehidupan umat dan
mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
Berdasarkan dari uraian yang telah dijelaskan diatas, maka penulis tertarik
untuk mengkaji apakah pembagian waris khususnya dalam pembagian hak waris anak
yang terdapat dalam KHI pasal 176 digunakan secara mutlak? karena sebagaimana
yang kita ketahui bahwa dengan lahirnya KHI ini diharapkan dapat menjaga dan
mengamalkan hukum Islam sebagaimana mestinya menurut ketentuan syara.
Kemudian bagaimana pertimbangan hakim yang menangani perkara tersebut
dikaitkan dengan konsep keadilan dalam pembagian waris? Dan apa faktor yang
dapat menggeser aturan hukum yang sudah ada kemudian berpindah ke aturan hukum
yang lain? Berangkat dari keingintahuan penulis inilah maka penulis ingin meneliti
dan menguraikan kedalam bentuk penulisan skripsi, dengan judul: “DISPARITAS
PUTUSAN PERKARA WARIS” (Studi Perbandinagan Putusan Pengadilan
Agama Nomor 1397/Pdt.G/2008/PA.JT dan Pengadilan Tinggi Agama Nomor
50/Pdt.G/2009/PTA.JK)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
5
Sesuai dengan judul yang penulis angkat yaitu Disparitas Putusan Perkara
Waris, maka pembatasan masalah dalam penulisan skripsi ini hanya terfokus pada
analisis perbandingan putusan hakim Pengadilan Agama tingkat pertama, dalam hal
ini Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan tingkat banding yaitu
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi pembahasan
yang melebar dan tidak ada ujung pangkalnya, sehingga apa yang menjadi tujuan dari
penulisan skripsi ini bisa tercapai dan terarah dengan baik.
2. Perumusan Masalah
Menurut teori baik dalam al-Quran maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI)
pasal 176 disebutkan bahwa besar bagian harta waris bagi anak laki-laki dan
perempuan adalah 2:1 (baca: dua banding satu). Akan tetapi dalam praktek
penyelesaian perkara tersebut terdapat putusan yang berbeda, sehingga menimbulkan
penerapan hukum yang berbeda pula, yaitu 1:1 (baca: satu banding satu). Maka
berdasarkan rumusan masalah diatas, penulis merincinya dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
a. Apakah pembagian harta waris 2:1 (baca: dua banding satu) yang terdapat
dalam KHI pasal 176 digunakan secara mutlak sebagai dasar hukum di
Pengadilan Agama?
b. Bagaimana pertimbangan hakim yang menangani perkara kewarisan anak
laki-laki dan perempuan dikaitkan dengan konsep keadilan?
6
c. Apa faktor yang dapat menggeser aturan hukum yg sudah ada kemudian
berpindah ke aturan hukum yang lain?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan:
1. Untuk mengetahui apakah isi dari pasal 176 KHI dipergunakan secara mutlak
sebagai dasar hukum.
2. Untuk mengetahui konsep keadilan dalam pembagian harta warisan, menurut
teori keadilan dalam islam, teori kesetaraan gender, dan pandangan hakim
tentang konsep keadilan tersebut.
3. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum yang menjadi pertimbangan hakim
dalam putusan perkara kewarisan yang dimaksud.
4. Diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak terkait, yang dalam hal ini
para pihak yang concern menkaji hukum kewarisan Islam.
5. Untuk menambah pengetahuan penulis dalam hal kewarisan dan memberikan
informasi kepada masyarakat bahwa terkadang ada putusan Pengadilan yang
berbeda dari ketentuan asalnya, namun bukan berarti menyalahi aturan yang
telah ditetapkan Allah SWT.
6. Sebagai bahan pertimbangan untuk dijadikan acuan terhadap pembuatan
penelitian serupa di masa yang akan datang.
D. Metode Penelitian
7
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis
normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah
atau norma-norma dalam hukum positif.5
2. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kasus (case
approach).6 Pendekatan kasus ini bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-
norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. Terutama mengenai
kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi
terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian.
3. Sumber data
Data yang digunakan terdiri dari data primer, sekunder, dan tersier.7 Data
primer terdiri dari beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang
5 Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian yang
objeknya adalah permasalahan hukum (sedangkan hokum adalah kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat), maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Lihat Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Bayumedia, 2008), h. 295
6 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Bayumedia, 2008), h. 295 dan 302
7 Johnmy Ibrahim membagi sumber data pada penelitian yuridis normative menjadi 3 (tiga) macam, yakni sumber primer, sekunder, dan tersier. Di mana sumber primer merupakan bahan hukum yang diurut berdasar hierarki perundang-undangan, sumber sekunder adalah bahan dan data yang didapatkan dari buku-buku, jurnal-jurnal, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil symposium mutakhir yang berkaitan dengna topik penelitian. Adapun sumber tersier merupakan bahan hukum yang member i petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan juga sekunder. Lihat Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Bayumedia, 2008), h. 295-296, lihat juga Peter Mahmud Marzuki, Penelitian HUkum, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 144-146
8
No. 1 Tahun 1974, Undang-undang No. 7 Tahun 1989, Undang-undang No. 3 Tahun
2006 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam).
Data sekunder yang digunakan sebagai sumber data pada skripsi ini antara
lain:
a. Salinan putusan mengenai perkara waris dari Pengadilan Agama Jakarta
Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
b. Hasil wawancara
c. Buku, literatur, jurnal dan hasil tulisan lainnya yang mengkaji seputar
kewarisan.
Data tersier yang digunakan berupa kamus hukum.
4. Alat Pengumpul Data
Untuk memperoleh semua data yang dibutuhkan, digunakan alat pengumpul
data sebagai berikut;
a. Menganalisis terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur, dan
putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta tentang pembagian waris antara
anak laki-laki dan perempuan.
b. Inventarisasi dokumen, baik bahan primer berupa peraturan perundang-
undangan terkait, maupun bahan skunder berupa buku, literatur, jurnal, dan
tulisan lainnya yang mengkaji seputar kewarisan, serta bahan tersier berupa
kamus hukum.
9
c. Wawancara, berupa indeept interview (wawancara yang mendalam) terhadap
hakim yang terkait dengan perihal tema penelitian ini.
5. Analisa data
Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan,
aturan perundang-undangan, dan artikel, diurai dan dihubungkan sedemikian rupa,
sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab masalah
yang telah dirumuskan. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis
komparatif.
Penelitian komparatif ini akan dapat menemukan persamaan-persamaan dan
perbedaan-perbedaan terhadap suatu ide, kritik terhadap orang, dan dapat juga
membandingkan kesamaan pandangan, perubahan-perubahan pandangan orang
terhadap kasus, peristiwa atau terhadap ide-ide.8
Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, kedua putusan pengadilan tersebut
akan dianalisis dengan cara menguraikan dan mendeskripsikannya kemudian
menghubungkan putusan itu dengan hasil wawancara dengan pihak yang menangani
perkara, dalam hal ini yaitu hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta. Sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang obyektif logis,
konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan data penulis dalam
penelitian ini.
8 Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (jakarta: PT Rineka
Cipta, 2002), h.236 10
E. Studi Review
1. Eli Nurmalia, “Respon Perempuan Terhadap Sistem Pembagian Waris
2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam (Studi di RT.04/05 Kelurahan
Bojongkulur Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor)”.
Dalam skripsi ini menguraikan dengan jelas sistem pembagian waris dalam al-
Quran dan letak keadilannya dengan sistem pembagian 2:1 yang menitik beratkan
terhadap respon masyarakat khususnya perempuan terhadap ketentuan syariat yang
menetapkan pembagian waris antara anak laki-laki dan perempuan itu 2:1.
2. M. Sahlan, “Pemikiran Muhammad Syahrur Tentang Sistem Pembagian
Harta Waris”.
Skripsi ini membahas tentang metode-metode yang digunakan oleh
Muhammad Syahrur dalam menafsirkan ayat-ayat tentang waris, dan konsep keadilan
dalam system pembagian waris itu.
Perbedaan antara skripsi yang sudah ada di fakultas syariah dan hukum
dengan skripsi yang ditulis oleh penulis adalah:
a. Dalam skripsi terdahulu tentang “Respon Perempuan Terhadap System
Pembagian Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam (Studi di RT.04/05
Kelurahan Bojongkulur Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor)”,
membahas tentang respon masyarakat atas ketentuan syariat dalam pembagian
waris 2:1 karena hasil dari laporan para hakim banyak masyarakat yang lebih
memilih pembagian waris dengan system sama rata. Sedangkan dalam skripsi
11
yang ditulis oleh penulis, membahas tentang sejauh mana sistem pembagian
waris 2:1 digunakan secara mutlak di Pengadilan Agama maupun di
Pengadilan Tinggi Agama, bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama mengenai perkara kewarisan anak laki-
laki dan perempuan dikaitkan dengan konsep keadilan, kemudian apa faktor
yang dapat menggeser aturan hukum yang sudah ada berpindah ke aturan
hukum yang lain?
b. Perbedaan skripsi yang kedua dengan skripsi yang ditulis oleh penulis sangat
menonjol sekali karena skripsi terdahulu ini membahas tentang pemikiran
salah seorang tokoh mengenai system pembagian waris, sedangkan skripsi
penulis membahas tentang analisis putusan hakim mengenai perkara hak
waris anak antara laki-laki dan perempuan. Meskipun demikian skripsi yang
kedua ini memberikan kontribusi kepada penulis untuk mengungkapkan
pendapat tokoh mengenai sistem pembagian waris dalam persfektif fikih.
F. Sistematika Penulisan
BAB I: Pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat dari penelitian, metode penelitian, studi
review, dan sistematika penulisan.
BAB II: Tinjauan Teoretis. Pada bab ini penulis mencoba memberikan
gambaran mengenai kewarisan dalam persfektif fikih (pengertian hukum waris,
sumber hukum waris, syarat-syarat, rukun dan sebab-sebab kewarisan serta asas-asas
12
13
kewarisan), dan kewarisan dalam persfektif hukum positif (Faraidh dalam Hukum
positif, Faraidh dalam KHI) serta mengenai konsep keadilan. Konsep keadilan ini
dilihat dari teori keadilan menurut Islam, dan keadilan dalam kesetaraan gender.
BAB III: Analisis gugatan perkara kewarisan anak laki-laki dan perempuan,
yang mencakup landasan yuridis; hukum formil dan hukum materil, analisis dan
pertimbangan hakim dalam menangani gugatan perkara kewarisan di Pengadilan
Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, serta telaah kritis
terhadap perkara tersebut yang mencakup persamaan dan perbedaan serta
perbandingan antara teori dan prakteknya di Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama.
BAB IV: Penutup, yaitu mencakup kesimpulan dan saran.
14
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Kewarisan Menurut Persfektif Fikih
1. Pengertian Kewarisan
Kewarisan Islam dikenal pula dengan sebutan Ilmu Faraidh, yaitu hukum
kewarisan yang diikuti oleh umat Islam dalam usaha mereka menyelesaikan
pembagian harta peninggalan keluarga yang meninggal dunia. 9 Kata al-Faraidh
adalah bentuk jamak dari al-Faridlah yang bermakna al-Mafrudlah atau sesuatu yang
diwajibkan. Artinya, pembagian yang telah ditentukan kadarnya.10 Dalam salah satu
buku disebutkan bahwa kata Faridlah itu diambil dari kata Fardlu. Fardlu dalam
istilah ulama fikih mawaris ialah bagian yang telah ditetapkan oleh syara.11
2. Sumber Hukum Waris
Sumber hukum waris adalah al-Quran, as-Sunnah Nabi SAW, dan ijma para
ulama. Ijtihad atau qiyas di dalam ilmu faraidh tidak mempunyai ruang gerak, kecuali
jika ia sudah menjadi ijma para ulama.12
a. al-Quran
9 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h. 35
10 Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris. Penerjemah H. Addys, dkk (Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004), Cet. 1, h. 11
11 Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. 1, h. 18 12 Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris. Penerjemah H. Addys,
dkk (Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004), Cet. 1, h.14
15
Allah SWT menetapkan hak kewarisan dalam al-Quran dengan angka yang
pasti yaitu 1/2; 1/4; 1/8; 1/3; 2/3 dan 1/6 serta menyebutkan pula orang yang
memperoleh harta warisan menurut angka-angka tersebut. Dalam al-Quran setidaknya
ada 3 ayat yang memuat tentang hukum waris. Ketiga ayat tersebut terdapat dalam
surat an-Nisa.
Ayat pertama, berbicara tentang kewarisan anak laki-laki dan perempuan serta
ayah dan ibu (al-furu’ dan al-ushul), seperti yangg termaktub dalam firman Allah
SWT.
⌧ ☯
⌧ ⌧
☺ ☺ ⌧ ⌧
⌧
⌧ ☺ ☺ Artinya: “Allah SWT mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta
warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta, dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal memiliki beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah, Sesunguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. an-Nisa 4:11)
16
Kandungan ayat diatas dapat diuraikan sebagai beriku:
1. Jika Pewaris meninggalkan seorang atau beberapa orang anak laki-laki
mereka mewarisi seluruh harta peninggalan si mayit.
2. Apabila Pewaris meninggalkan satu orang anak perempuan (tidak mewarisi
bersama dengan saudara laki-laki), bagian harta warisnya yaitu separuh.
3. Bila anak perempuan tersebut dua orang atau lebih (tidak mewarisi bersama-
sama dengan anak laki-laki), bagian harta waris mereka adalah dua per tiga.
4. Jika si mayit meninggalkan anak laki-laki dan perempuan, yaitu dengan
ketentuan anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak perempuan.
5. Hak kewarisan ibu-bapak masing-masing 1/6 jika Pewaris mempunyai anak.
Jika tidak mempunyai anak, ibu bapak yang mewarisi, dengan bagian ibu
mendapat 1/3.
6. Hak waris ibu bersama-sama dengan beberapa saudara Pewaris adalah 1/6,
Untuk persoalan bagian ayah pada poin 5 dan 6 bagian ayah tidak diatur
dengan tegas, maka dalam hal ini oleh para mufassir ditafsirkan bahwa bagian ayah
adalah ashobah.13 Ayat kedua, menjelaskan mengenai kewarisan untuk suami-istri,
anak-anak ibu (saudara-saudara seibu bagi si mayit) laki-laki maupun perempuan.
Terdapat dalam firman Allah SWT surat an-Nisa (4:12)
⌧
☺
13 Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), Cet.1, h. 115
17
☺
☺ ☺
⌧
☺
⌧
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).14 (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”. (QS. An-Nisa 4:12)
Kandungan ayat diatas dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Hak kewarisan suami-istri
Suami mendapat 1/2 bagian bila istrinya tidak meniggalkan anak; dan
mendapat 1/4 bila istri meninggalkan anak. Istri mendapat 1/4 bila suami tidak
meninggalkan anak; dan mendapat 1/8 bila suami meninggalkan anak.
14 Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. Mewasiatkan lebih
dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
18
2. Hak saudara-saudara bila pewaris adalah kalalah.15
Bila saudara (laki-laki atau perempuan) hanya seorang menerima sebanyak
1/6. Bila saudara lebih dari seorang, maka mereka bersama mendapat 1/3.
Ayat ketiga, menjelaskan kewarisan saudara laki-laki atau perempuan,
sebagaimana firman Allah SWT.
⌧
⌧ ☺ ⌧ ⌧
☯ ⌧ ☯
⌧
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. An-Nisa 4:176)
Ayat diatas, Allah SWT menyebutkan bagian warisan untuk saudara laki-laki
dan saudara perempuan yang tidak seibu, dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Jika yang mewarisi laki-laki semua, mereka mewarisi secara bersama-sama
tanpa ketentuan bagian yang tetap.
15 Kalalah di definisikan sebagai seseorang yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan
anak dan ayah. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h. 41
19
2. Jika yang mewarisi saudara perempuan seorang, maka dsia mendapat 1/2.
Sedangkan bila ahli waris dua orang saudara perempuan atau lebih mendapat
2/3.
3. Apabila bergabung saudara laki-laki dan saudara perempuan, mereka
mewarisi dengan ketetapan laki-laki mendapat dua kali lipat bagian
perempuan.
b. Sunnah Nabi SAW
Ada beberapa hadits yang menerangkan tentang pembagian harta waris, antara
lain: Ibnu Abas r.a meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
حدثنا وهيب حدثنا ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس رضي اهللا حدثنا موسى بن إسماعيل
ألحقوا الفرائض بأهلها فما بقي فهو ألولى رجل ( عن النبي صلى اهللا عليه و سلم قال : عنهما
16)ذآر
Artinya: “Berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya yang lebih utama adalah orang laki-laki”. (HR. Bukhari dan Muslim). Adapun yang lebih utama adalah yang lebih dekat.
Bila kita gabungkan antara hadits diatas dengan ayat-ayat al-Quran yang telah
diuraikan sebelumnya, jelaslah bagi kita bahwa dalil-dalil tersebut telah mencakup
seluruh hukum waris. Hadits tersebut juga memberikan penjelasan bagi ahli waris,
jika harta waris masih tersisa setelah dibagikan menurut ketentuan bagian tetap, maka
sisanya dibagikan kepada ashabah nasabiyyah (kerabat yang terikat dalam hubungan
- اليمامة ، آثير ابن دار(، المختصر الصحيح الجامع ;البخاري صحيح ،الجعفي البخاري عبداهللا أبو إسماعيل بن محمد 16
2483. ص‚ 6: األجزاء عدد ‚ )1987 – 1407 :بيروت
20
nasab yang lebih dekat). Setelah itu baru beralih kepada ashabah sababiyyah (kerabat
yang disebabkan jasa-jasanya dalam membebaskan budak).17
Ashabah sababiyyah juga disebsutkan dalam hadits rasulullah SAW:
أرادت عائشة أن : اهللا عنهما قال حدثنا حفص بن عمر حدثنا همام عن نافع عن ابن عمر رضي
تشتري بريرة فقالت للنبي صلى اهللا عليه و سلم إنهم يشترطون الوالء فقال النبي صلى اهللا عليه
18)اشتريها فإنما الوالء لمن أعتق ( و سلم
Artinya: “Hak wala’ itu hanya bagi orang yang telah membebaskan budak.” (HR Mutafaq‘alaih)
Dengan kata lain, semua dalil-dalil diatas telah menjelaskan pembagian harta
waris secara fardh (bagian tetap) dan ta’shib (bagian lunak).
c. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa setelah wafatnya
Rasulullah SAW, terhadap hukum syara yang bersifat praktis (‘amaly).
Ijma’ merupakan suatu dalil yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif
setingkat dibawah dalil-dalil Nash (al-Quran dan Hadits). Ia merupakan dalil pertama
setelah al-Quran dan Hadits, yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum
syara.19
17 Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris. Penerjemah H.
Addys, dkk (Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004), Cet. 1, h.19
اليمامة ، آثير ابن دار(، المختصر الصحيح الجامع ;البخاري صحيح ،الجعفي البخاري عبداهللا أبو إسماعيل بن محمد 18 2476. ص‚ 6: األجزاء عدد ‚ )1987 – 1407 :بيروت -
19 Muhammad Abu Zahrah, Usul Fikih. Penerjemah Saefullah Ma’sum, dkk, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2008) Cet.11, h. 307-308
21
Dalam hal kewarisan para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in telah berijma atau
bersepakat tentang legalitas ilmu faraidh dan tidak ada seorang pun yang menyalahi
ijma’ tersebut. diantara masalah-masalah yang berhubungan dengan faraid telah
diputuskan melalui kesepakatan atau ijma’ mereka:20
a. Masalah-masalah saudara mewarisi bersama kakek, yang dalam al-Quran
maupun hadits tidak dijelaskan.
b. Status cucu yang ayahnya terlebih dahulu meninggal dunia dari pada kakek
yang bakal diwarisi yang mewarisi bersama-sama saudara-saudara ayah
(paman si cucu).
3. Rukun, Syarat, dan Sebab-sebab Mewariskan
a. Rukun waris
Menurut bahasa rukun adalah sesuatu yang dianggap kuat dan dijadikan
sandaran. Menurut istilah, rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas
keberadaan sesuatu yang lain. Dengan demikian, rukun waris adalah sesuatu yang
harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris.
Rukun-rukun untuk mewarisi ada 3:
1. Al-muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati hakiki atau mati
hukmi.21
20 Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris al-Faraidl, (Surabaya: Pustaka
Hikmah Perdana, 2005), Cet.1, h. 6
21 Mati hakiki (sebenarnya) ialah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah berujud padanya. kematian ini dapat disaksikan oleh panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian. Mati hukmi (yuridis) ialah suatu kematian yang disebabkan oleh adanya vonis hakim.
22
2. Al-warits, yaitu orang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai
hak mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang.
3. Al-mauruts, yaitu harta benda yang menjadi warisan. Sebagian ulama faraidh
menyebutnya dengan mirats atau irits. Adapun yang termasuk dalam kategori
warisan adalah harta atau hak-hak yang mungkin dapat diwariskan, seperti
hak perdata, hak menahan barang yang belum dilunasi pembayarannya, dan
hak menahan barang gadaian.
Jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada, misalnya orang yang meningal
dunia mempunyai harta tetapi tidak mempunyai ahli waris atau mempunyai ahli waris
tetapi tidak mempunyai harta warisan, maka waris-mewarisi tidak bisa dilakukan,
karena tidak terpenuhinya rukun-rukun waris.
b. Syarat waris
Lafal syuruth (syarat-syarat) adalah bentuk jamak dari syarath. Menurut
bahasa, syarat berarti tanda. Sedangkan syarat menurut istilah adalah sesuatu yang
karena ketiadaannya, tidak ada hukum.
Syarat –syarat waris sebagai berikut:
1. Matinya orang yang mewariskan, baik mati hakiki (sejati), mati hukmi
(menurut keputusan hakim), maupun mati taqdiri (menurut perkiraan yang
kuat).
Lihat Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), Cet.1, h. 54
23
2. Ahli waris yang hidup, baik secara hakiki atau hukmi, setelah kematian
muwarits. Adapun cara mengetahui hidup tidaknya ahli waris setelah
kematian muwarits, harus dilakukan pengujian, pendeteksian, dan kesaksian
dua orang yang adil. Contoh dari hidupnya ahli waris secara hukmi adalah
anak yang berada dalam kandungan. Ia dapat mewarisi harta si mayit jika
keberadaannya benar-benar terbukti disaat kematian muwarits, meskipun si
janin belum ditiupkan ruh kedalam dirinya, dengan satu syarat bahwasanya ia
benar-benar hidup ketika lahirnya nanti.
3. Tidak ada penghalang-penghalang mewarisi.22
c. Sebab-sebab Waris
Sebab-sebab yang mengakibatkan seseorang menerima harta warisan yang
berlaku dalam syariat Islam ada 3, yaitu:
1. Kekerabatan
Kekerabatan adalah hubungan darah yang mengikat para warits dengan
muwarits. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Quran surat al-Ahzab ayat 6.23
⌫ ☺ ☺
Artinya: “…dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmim
22 Otje Salman, Hukum Waris Islam, (Bandung: Rafika aditama, 2002), Cet. 1, h. 4
23 Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), Cet.1, h. 21
24
dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baikkepada saudara-saudaramu (seagama)”. (QS. Al-Ahzab 33:16)
Pada tahap pertama seorang anak menemukan hubungan kerabat dengan ibu
yang melahirkannya. Hubungan keibuan ini berlaku secara alamiah dan tidak ada
seorangpun yang dapat membantah hal ini karena si anak jelas terlahir dari rahim
ibunya. Pada tahap selanjutnya seseorang mencari hubungan kerabat dengan laki-laki
yang menyebabkan ibunya itu hamil dan melahirkan. Hubungan kerabat berlaku pula
dengan laki-laki itu. Selanjutnya laki-laki itu disebut ayahnya. Maka hubungan
keayahan berlaku secara hukum.
Sejatinya seseorang baru dapat dikatakan penyebab kehamilan dan
melahirkannya seorang ibu adalah bila sperma si laki-laki bertemu dengan ovum si
ibu atau dalam kitab fikih disebut ‘uluq. Hasil pertemuan dua bibit itu menyebabkan
pembuahan dan menghasilakan janin dalam rahim si ibu. Ini merupakan penyebab
hakiki dari hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan ayahnya. Dalam
hubungan kekearabatan diatas, yanag dapat dijadiakn sebagai mazhinnah-nya adalah
akad nikah yang sah. 24 Dengan demikian hubungan kekerabatan berlaku antara
seorang anak dengan laki-laki sebagai ayahnya, bila anak tersebut lahir dari hasil
perkawinan yang sah.
24 Mazhinnah merupakan istilah yang digunakan di kalangan ulama ushul fikih untuk
menyatakan sesuatu hal yang nyata yang dijadikan pengganti sebab hakiki yang tidak nyata. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h.176
25
Jumhur ulama berpendapat bahwa akad perkawinan yang sah belum
menjamin hubungan kekerabatan yang sah. Oleh karena itu, untuk sahnya hubungan
kekerabatan disamping akad nikah yang sah harus disyaratkan pula bahwa diantara
suami istri diduga kuat telah terjadi hubungan kelamin yang secara memungkinkan,
seperti telah tidur sekamar. Ulama hanafiyah mempunyai pendapat yang berbeda.
Munurut mereka, dengan adanya akad nikah yang sah sudah cukup untuk menetapkan
hubungan kekerabatan antara anak dan ayah.25
Bila diperhatikan pendapat dua kelompok ulama tersebut diatas, nyatalah
bahwa jumhur ulama berpikir lebih praktis dan mendasarkan pendapatnya kepada
kenyataan alamiah, sementara kelompok hanafiyah lebih bersifat teoritis dan hanya
berpegang pada yuridis formal semata. Namun meskipun demikian, kedua kelompok
itu sepakat tentang sebab hakiki adanya hubungan kerabat disebabkan hubungan
kelamin yang menghasilkan pembuahan. Selanjutnya, karena yang demikian itu tidak
bersifat nyata, maka harus diganti dengan mazhinnah-nya dan mereka sepakat bahwa
mazhinnah yang dapat dijadikan alasan hukum adalah akad nikah yang sah.26
Selain kelahiran yang disebabkan dari hubungan kelamin antara laki-laki dan
perempuan yang terikat dalam akad nikah yang sah, sebagaimana yang telah
disebutkan diatas, ada pula kelahiran yang disebabkan dari hubungan kelamin yang
tidak terikat dalam akad nikah yang sah. Perbuatan hubungan kelamin dalam bentuk
biasa disebut hubungan kelamin shubhat.
25 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004) Cet.1, h. 176 26 Ibid, h. 177
26
Syubhat ada dua macam. Pertama, yaitu syubhat perbuatan. Seperti hubungan
kelamin yang terjadi antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing meyakini
pasangan yang digaulinya itu adalah pasangan yang sah dan ternyata dikemudian hari
sebaliknya. Kedua, syubhat hukum. Seperti seseorang melakukan hubungan kelamin
dalam akad nikah yang sah, kemudian kenyataan pernikahan tersebut tidak sah,
umpamanya karena keduanya adalah dua orang yang bersaudara. Kelahiran yang
disebabkan hubungan kelamin karena syubhat, baik syubhat perbuatan maupun
syubhat hukum, menyebabkan hubungan kekerabatan dengan laki-laki yang
membuahinya secara syubhat tersebut dan selanjutnya berlaku pula hubungan
kewarisan antara keduanya.27
Disamping adanya hubungan kekerabatan yang disebabkan oleh kelahiran
yang nyata, hukum Islam membenarkan adanya hubungan kekerabatan atas dasar
pembuktian melalui pengakuan.28 Pengakuan ini dilakukan oleh seorang laki-laki
yang menyatakan bahwa seorang anak adalah anaknya secara sah. Hal ini dapat
terjadi bila seorang laki-laki secara yakin mengetahui bahwa dia mempunyai anak di
suatu tempat berdasarkan tanda-tanda yang dikenalnya dan umur keduanya pun
pantas untuk hubungan ayah dan anak, sedangkan dia tidak mengetahui yang mana
anaknya itu. Dilain pihak di tempat itu ada seorang anak yang juga tidak mengetahui
yang mana ayahnya dan anak itu pun tidak membantah pengakuan itu.
27 Ibid, h. 181
28 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet.1, h.182
27
Untuk sahnya pembuktian kekerabatan secara pengakuan ini para ulama
mengemukakan beberapa syarat sebagai berikut:
a. Si anak tidak diketahui ayahnya.
b. Dari segi umur itu pantas menjadi anaknya.
c. Pengakuan itu tidak disangkal oleh anaknya.
Bila telah terpenuhi ketentuan tersebut, maka si anak yang diakui menjadi
anak yang sah dari yang member pengakuan. Terkait dengan pengakuan tersebut
adalah segala akibat hukum, termasuk hak kewarisan atas anak tersebut.
Orang-orang yang mendapat harta warisan dengan jalan kekerabatan ada 3,
yaitu:29
a. Ashhabul furudl, yaitu ahli waris yang mendapat bagian tertentu dari harta
peninggalan. Mereka semua ada 12 orang, terdiri dari empat orang lelaki dan
delapan orang wanita yaitu:30
1) Dari pihak laki-laki: Suami, ayah, kakek sejati (kakek yang bukan
diperantarai oleh ibu seperti ayah dari ayah), saudara laki-laki seibu
2) Dari pihak perempuan: Isteri, ibu, nenek sejati (nenek yang diperantarai
oleh kekek yang tidak sejati seperti ibu atau ibu dari ayah), anak
perempuan sekandung, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara
29 Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet.1, h.43
30 Muhammad Hasbi Ash Shidiqy, Fiqh Mawris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. 3, h. 60
28
perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan
seibu.
b. Ashabah ushubah nasabiyyah, yaitu ahli waris yang tidak mempunyai bagian
tertentu, tetapi mengambil sisa harta peninggalan sesudah diberikan bagian-
bagian ashhabulfurudl.
c. Dzawil arham, yaitu ahli waris yang tidak masuk kedalam ashhabul furudl dan
ashabah.
2. Perkawinan
Disamping hak kewarisan berlaku atas dasar kekerabatan, hak kewarisan juga
berlaku atas dasar hubungan perkawinan, dengan arti bahwa suami adalah ahli waris
bagi istrinya yang meninggal dan istri pun merupakan ahli waris bagi suaminya yang
meninggal.
Bagian pertama dari ayat 12 Surat an-Nisa (4) menyatakan hak kewarisan bagi
suami–istri. Dalam ayat tersebut terdpat kata azwaj. Penggunaan kata azwaj yang
secara leksikal berarti pasangan (suami-istri), menunjukan dengan gamblang
hubungan kewarisan antara suami dan istri. 31 Hubungan kewarisan seperti ini
disebabkan adanya hubungan hukum antara suami dan istri.
Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada
dua ketentuan;
31 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h.
29
Pertama, antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah. Mengenai
akad nikah yang sah ditetapkan dalam Undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974
pasal 2 ayat 1: “Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya”.32
Kedua, bahwa suami dan istri masih terkait dalam tali perkawinan saat salah
satu pihak meninggal dunia. Ketentuan ini berlaku pula bila salah satu meninggal
dunia sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj’i dan si istri
masih berada dalam masa iddah karena istri yang sedang menjalani masa iddah talak
raj’i masih berstatus sebagai istri dengan segala akibat hukumnya, kecuali hubungan
kelamin.
3. Karena hubungan wala’
Yakni yang disebabkan adanya pembebasan budak. Adapun yang dimaksud
dengan wala’u al-‘ataqah adalah ‘ushubah. 33 Penyebabnya adalah kenikmatan
pemilik budak yang dihadiahkan kepada budaknya dengan membebaskan budak
melalui pencabutan hak mewalikan dan hak mengurusi harta bendanya, baik secara
sempurna maupun tidak. Tujuannya adalah tatawwu’ yaitu melaksanakan anjuran
32 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk
wetboek; Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007), h. 538
33 Adapun yang dimaksud dengan ‘ushubah adalah hubungn antara pemilik budak dan budak, seperti hubungn anatara orang tua dengan anaknya.
30
syariat atau kewajiban, sekalipun dengan imbalan. Dalam hal ini, bentuk pembebasan
mengakibatkan pada penetapan hak wala’.34
Sebagaimana sabda rasulullah SAW dalam perkara Barirah r.a, yaitu:
أرادت عائشة أن : قالع عن ابن عمر رضي اهللا عنهما حدثنا حفص بن عمر حدثنا همام عن ناف
تشتري بريرة فقالت للنبي صلى اهللا عليه و سلم إنهم يشترطون الوالء فقال النبي صلى اهللا عليه
35)اشتريها فإنما الوالء لمن أعتق ( و سلم
Dari Abdullah bin Musalamah dari al-Lais dari Ibnu Syihab dari Urwah bahwasanya aisyah r.a… kemudian kepada perempuan itu Rasulullah SAW bersabda: “Merdekakanlah maka sesungguhnya hak wala’ itu untuk orang yang memerdekakan…”
4. Karena Agama
Agama merupakan sebab seseorang saling mewarisi satu sama lain. Apabila
Pewaris meninggalkan anak atau siapapun yang menurut pertalian darah atau
perkawinan dia merupakan ahli waris tetapi dia tidak beragama Islam, maka dia tidak
berhak menerima warisan, begitu pula sebaliknya. Dalam sebuah hadits dijelaskan:
36م قال ال يرث المسلم الكافر وال الكافر المسلم.عن أسامة بن زيد اّن الّنبى ص
Artinya: “Usamah bin Zaid ra. bahwa Nabi SAW bersabda: “Orang Islam tidak menerima pusaka dari orang kafir, dan orang kafir tidak akan menerima pusaka dari orang Islam.” (HR. Bukhari)
d. Asas-asas Kewarisan
34 Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris. Penerjemah H.
Addys, dkk (Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004), Cet. 1, h.40
اليمامة ، آثير ابن دار(، المختصر الصحيح الجامع ;البخاري صحيح ،الجعفي البخاري عبداهللا أبو إسماعيل بن محمد 35 2476. ص‚ 6: األجزاء عدد ‚ )1987 – 1407 :بيروت -
36 Maftuh Hanan, Mutiara Hadits; Shahih Bukhary. (Gresik: CV Bintang Pelajar, 1986), h.
292
31
Sebagai hukum agama yang bersumber dari wahyu Allah SWT, hukum
kewarisan Islam mengandung berbagai asas. Asas-asas ini dalam beberapa hal
berlaku pula dalam hukum kewarisan Islam yang bersumber dari akal manusia.
Dalam pembahasan ini akan dikemukakan lima asas yang berkaitan dengan
sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima,
kadar jumlah harta yang diterima dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Asas Ijbari
Kata ijbari secara leksikal mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu
melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Pengertian wali mujbir dalam
terminologi fikih munakahat mengandung arti bahwa wali dapat mengawinkan anak
gadisnya di luar kehendak anaknya dan tanpa memerlukan persetujuan dari anak yang
hendak dikawinkannya itu. Begitu pula kata jabari. Dalam terminologi ilmu kalam
mengandung arti paksaan, dengan arti semua perebuatan yang dilakukan oleh seorang
hamba, bukanlah atas kehendak dari hamba tersebut, melainkan atas kehendak dan
kekuasaan Allah SWT, sebagaimana yang berlaku menurut aliran kalam jabariyah.37
Dengan demikian peralihan harta secara ijbari adalah peralihan harta
seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan
sendirinya. Asas ini memberikan pengertian bahwa apabila pewaris meninggal dunia,
maka segala haknya akan berpindah secara langsung kepada ahli warisnya.
37 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet .1, h.17
32
Perpindahan tersebut tidak semata-mata atas keinginan dan kehendak ahli waris,
melainkan pembagiannya telah ditentukan mengenai besar kecilnya, sehingga tidak
ada otoritas bagi manusia untuk memberikan bagiannya dengan lebih atau
menguranginya apalagi meniadakannya.38
Adanya unsur ijbari dalam sistem kewarisan Islam tidak memberatkan orang
yang akan menerima waris. Kewajiban ahli waris adalah menolong membayarkan
utang Pewaris dengan harta warisannya, bila Pewaris tidak meninggalkan harta, maka
ahli waris wajib melunasi utang Pewaris dengan hartanya sendiri. Hal demikian wajib
dilaksanakan oleh setiap muslim, karena Allah SWT tidak akan menerima amal
ibadah orang yang masih mempunyai utang semasa hidupnya. Sebagaimana dalam
kitab bukhari dijelaskan:
ألآوع رضى اهللا عنه أن النبى حدثنا ابو عاصم عن بزيد ابن أبى عبيد عن سلمة بن ا
صلى اهللا عليه وسلم أتى بجنازة ليصلى عليها فقال هل عليه من دين قالوا ال فصلى عليه ثم أتى
بجنازة أخرى فقال هل عليه من دين قالوا نعم قال صلوا على صاحبكم قال أبو قتادة على دينه
39يارسول اهللا فصلى علي
Artinya: Dari Abu Asim dari Yazid Ibnu Abi Abid dari Salamah bin al-Uku’i ra. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah mendatangi jenazah untuk menshalatkannya. Beliau bertanya: “Apakah mayit ini mempunyai utang?” Kemudian para sahabat menjawab, “Tidak”. Kemudian rasul menshalatkannya. Setelah itu dihadapkan kepada beliau mayat yang lain, beliau bertanya: “Apakah dia mempunyai utang?” Sahabat menjawab: “Ya”, Rasulullah berkata: “Shalatkanlah mayat lain yang menjadi saudaramu”. Kemudian berkata Abu Qatadah: “Saya yang
38 Baidlowi, Ketentuan Hak Waris Saudara Dalam Konteks Hukum Islam, (Mimbar Hukum,
1999) Cet.10, h. 12
٣٩: ص‚ ٢: األجزاء عدد ‚ )سياآشرآة النور (، البخاري،البخاري عبداهللا أبو إسماعيل بن محمد 39
33
akan menanggung semua utang mayat ini ya Rasulullah”. Kemudian Rasul bersedia menshalatkannya mayat yang masih mempunyai tanggungan itu.
Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari:
1. Segi Peralihan Harta
Unsur ijbari dari segi peralihan mengandung arti bahwa harta orang yang mati
itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan oleh siapa-siapa kecuali oleh Allah
SWT. Oleh karena itu, kewarisan dalam Islam diartikan dengan peralihan harta,
bukan pengalihan harta, karena pada peralihan harta berarti beralih dengan
sendirinya, sedangkan pada pengalihan tampak usaha seseorang untuk mengalihkan.
Asas ijbari dalam peralihan harta dapat dilihat dalam firman Allah SWT Surat an-
Nisa (4):7. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa dalam jumlah harta yang
ditinggalkan si pewaris, disadari atau tidak, telah terdapat hak ahli waris dengan tidak
perlu pewaris menjanjikan akan memberikan sebelum ia meninggal, begitu pula ahli
waris tidak perlu meminta haknya.
2. Segi Jumlah Pembagian
Bentuk ijbari dari segi jumlah berarti bahwa bagian ahli waris dalam harta
warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah SWT, sehingga pewaris maupun ahli waris
tidak mempunyai hak untuk menambah atau mengurangi apa yang telah ditentukan
itu, maka maksudnya ialah sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan
sedemikian rupa secara mengikat dan memaksa.
3. Segi Kepada Siapa Harta Itu Beralih
34
Bentuk ijbari dari segi penerima peralihan harta berarti bahwa mereka yang
berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti sehingga tidak ada
suatu kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukan orang
lain dan mengeluarkan orang yang berhak.
b. Asas Bilateral
Asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam berarti bahwa seseorang
menerima warisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu baik dari kerabat garis
keturunan laki-laki maupun dari pihak garis keturunan perempuan.40 Asas ini secara
nyata dapat dilihat dalam firman Allah surat an-Nisa ayat 7, 11, 12 dan176.
Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa baik seorang laki-laki maupun seorang
perempuan berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya.
Ayat ini merupakan dasar dari kewarisan bilateral. Kemudian dalam ayat-ayat yang
lainnya dikemukakan bahwa kewarisan itu beralih kebawah (anak-anak), keatas
(ayah-ibu) dan kesamping (saudara-saudara) dari kedua belah pihak garis keluarga
(garis laki-laki dan garis perempuan).
c. Asas Individual
Hukum kewarisan Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, yang
berarti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan.
Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan
40 Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam: di Pengadilan Agama dan
Kewarisan Menurut Undang-undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya), Cet. 1, h. 120
35
ahli waris yang lain.41 Hal ini dapat kita pelajari dalam al-Quran Surat an-Nisa ayat
11:42
1. Bahwa anak laki-laki mendapat dua kali dari bagian anak perempuan.
2. Bila anak perempuan itu dua orang atau lebih bagiannya dua per tiga dari
harta peninggalan.
3. Dan jika perempuan itu hanya seorang saja maka bagiannya separuh dari harta
peninggalan.
Pembagian secara individual ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap
insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan
kewajiban, yang dalam istilah ushul fikih disebut ahliyat al wujub. 43 Dalam
pengertian ini setiap ahli waris berhak menuntut secara sendiri-sendiri harta warisan
itu dan berhak pula berbuat demikian.44
Pembagian secara individual merupakan ketentuan yang mengikat dan wajib
dijalankan oleh setiap muslim dengan sanksi yang berat di akhirat atas
pelanggarannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat an-Nisa ayat
13 dan 14.
41 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h. 21
42 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1981), Cet. 1 hal. 23
43 Ahliyyah wujub adalah kelayakan seorang manusia untuk ditetapkan padanya hak dan kewajiban. Lihat Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,2005), Cet. 1, h.3
44 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet.1, h. 21
36
⌧
⌧
Artinya: 13. “Hukum-hukum tersebut itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. 14. Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”. (Q.S an-Nisa (4):13 dan 14)
Jika telah terlaksana pembagian secara terpisah untuk setiap ahli waris, maka
unutk seterusnya ahli waris memiliki hak penuh untuk berbuat dan bertindak atas
harta yang didapatnya itu. Walaupun dibalik kebebasan menggunakan harta tersebut
berlaku ketentuan lain yaitu kecakapan untuk bertindak, yang dalam ushul fikih
disebut ahliyat al-‘ada’.45
d. Asas Keadilan Berimbang
Kata adil merupakan kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari kata al-
adlu. Dalam al-Quran kata al-adlu atau turunannya disebutkan lebih dari 28 kali.
Sebagian diantaranya diturunkan Allah SWT dalam bentuk kalimat perintah dan
sebagian lainnya dalam bentuk kalimat berita. Kata al-adlu dikemukakan dalm
konteks yang berbeda dan arah yang berbeda pula, sehingga memberikan definisi
yang berbeda sesuai dengan konteks dan tujuan penggunaannya. Dalam hubungannya
45 Ahliyyah al-ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hokum seseorang yang telah dianggap
sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang positif maupun negative. Lihat Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,2005), Cet. 1, h. 2
37
dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan
kewarisan, kata tersebut dapat diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan
kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.
Atas dasar pengertian diatas, maka asas keadilan dalam pembagian harta warisan
menurut Islam secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan gender tidak
menentukan hak kewarisan. Artinya pria dan wanita mendapatkan hak yang sama
kuat untuk mendapatkan warisan.46
Bila ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh, memang terdapat
ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil karena keadilan
dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat
menerima hak waris tetapi juga dikaitkan pada kegunaan dan kebutuhan.47
Secara umum, dapat dikatakan bahwa pria membutuhkan lebih banyak materi
dibandingkan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria memikul tanggung jawab ganda
yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya termasuk para wanita.
Sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa (4):34.
☺
☺ ⌧
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
46 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet.1, h. 24
47 Ibid, h.25
38
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (Q.S an-Nisa 4:34)
Bila dihubungkan jumlah bagian yang diteriama dengan kewajiban dan
tanggung jawab seperti disebutkan diatas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat
yang akan dirasakan pria sama dengan apa yang dirasakan oleh pihak wanita.
Meskipun pada mulanya pria menerima dua kali lipat dari perempuan, namun
sebagian dari yang diterimanya akan diberikan kepada wanita dalam konsep Islam.
e. Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain
dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta
meninggal dunia. Dengan demikian hukum kewarisan hanya mengenal satu bentuk
kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata (kewarisan ab intestato).48
B. Hukum Waris Dalam Persfektif Undang-undang
1. Faraidh Sebelum Lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Ketaatan umat Islam berpedoman kepada ajaran agama yang merupakan tolak
ukur dari kadar keimanan, begitupun dalam menjalankan ajaran agama mengenai
kewarisan. Bila kita berbuat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah SWT, maka
kita akan mendapat pahala dan pujian dari Allah SWT (an-Nisa 4:13). Sebaliknya,
48 Ab intestateo adalah adanya suatu tata cara pewarisan yang diatur berdasarkan Undang-
undang. Apabila pewaris tidak menyatakan dengan tegas kehendaknya (dalam hal pewarisan) pada suatu testamen, maka ahli waris diatur berdasarkan Undang-undang. Lihat M.Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), Cet. 1, h.10
39
bila kita menyimpang dari petunjuk Allah tersebut, maka kita akan mendapat celaan
dan ancaman dari Allah SWT (an-Nisa 4:14).
Meskipun kewarisan merupakan ajaran agama, namun tidak semua umat
Islam mengetahuinya secara baik, sebagaimana mereka mengetahui ajaran agama
yang berkenaan dengan ibadat shalat, puasa, dan yang lainnya. Alasannya, Pertama,
karena kematian yang menimbulkan adanya kewarisan dalam suatu keluarga
merupakan suatu yang jarang terjadi. Kedua, tidak semua orang yang mati itu
meninggalkan harta yang patut menjadi urusan. Ketiga, ajaran tentang kewarisan itu
membicarakan angka-angka yang bersifat matematis yang tidak semua orang tertarik
kepadanya. Apapun alasan yang dikemukakan diatas, tetap saja urusan kewarisan
harus diselesaikan dengan merujuk kepada ajaran agama.
Bila kematian yang menimbulkan kewarisan terjadi dalam suatu keluarga dan
diantara anggota keluarganya ada yang mengetahui pembagian harta waris menurut
ajaran Islam, maka keluarga tersebut dapat mengurus sendiri pembagian harta
peningggalan itu. Seandainya tidak ada yang memahami cara menyelesaikan
pembagian harta wairsan itu, mereka dapat meminta petunjuk kepada orang lain yang
memahami hal tersebut. Cara seperti ini disebut istifta.
Akan tetapi, karena obyek kewarisan ini adalah harta benda yang sering
menimbulkan ketidakpuasan dari sebagian anggota keluarga dengan jumlah bagian
yang diterima sesuai dengan ajaran agama dan juga disebabkan oleh keserakahan
serta rasa egois, maka hal ini tidak cukup hanya dengan meminta petunjuk tetapi juga
meminta untuk diselesaikan. Cara seperti ini disebut tahkim.
40
Jika urusannya meningkat pada suatu persengketaan yang tidak dapat
diselesaikan secara kekeluargaan, maka hal ini memerlukan penyelesaian pihak yang
mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk memaksakan keputusannya. Inilah yang
dinamakan lembaga qadha atau peradilan. Dengan demikian lembaga peradilan
adalah lembaga terakhir dalam penyelesaian perkara waris.
Peradilan yang menjalankan ajaran agama yang telah ditetapkan oleh
pemerintah hindia belanda pada tahun 1882 melalui Stbl. No.152 Tahun 1882,
tentang pendirian Peristeraad (yang menjadi cikal bakal Peradilan Agama) untuk
pulau Jawa dan Madura. Dalam stbl. Ini ditetapkan bahwa salah satu wewenang
absolutnya adalah kewarisan.49
Dimasukannya kewarisan dalam wewenanang Peristeraad pada waktu itu
agaknya mengikuti pendapat pakar hukum belanda W. Van Den Berg dengan
teorinya yang popular yaitu receptie in complexu yang berarti menerima ajaran agama
secara menyeluru. Maksudnya bila seseorang telah memeluk agama Islam, maka dia
akan menjalankan semua ajarannya termasuk kewarisan. Kemudian muncul teori
lainnya yang mematahkan teori dari W. Van Den Berg itu yaitu teorie receptie yang
dikemukakan oleh Snock Hurgronje dan C. Van Vollenhoven. Teori tersebut berarti
bahwa umat Islam menjalankan hukum agama sejauh telah terserap ke dalam
adatnya.50 Teori receptie ini telah mempengaruhi pemerintah hindia belanda untuk
49 A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, h. 98
50 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Prenadia Group,2006), Cet. 1, edisi 1, h. 49
41
mengubah kebijaksanaannya tentang Raad Agama, dengan mengeluarkan aturan baru
dalam Stbl. No.116-610 Tahun 1937. Dalam Stbl. ini ditetapkan urusan kewarisan
tidak lagi menjadi wewenang Peristeraad.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No.45 Tahun 1957 Tentang pembentukan Mahkamah Syariah (Peradilan
Agama) dan Mahkamah Syariah Provinsi untuk seluruh Indonesia, di luar Jawa,
Madura dan Kalimantan selatan-timur. Dalam peraturan pemerintah itu ditetapkan
bahwa salah satu wewenang Peradilan Agama adalah kewarisan.51
Keragaman nama dan wewenang Peradilan Agama telah berakhir semenjak
tahun 1989 dengan keluarnya Undang-undang No.7 tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama. Dalam pasal 49 ayat 1 dari Undang-undang ini menetapkan:52 “Peradilan
agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-
perkara di tingkat pertama anatara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
Perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam,
wakaf dan shadaqah.”
Hukum kewarisan yang dinyatakan sebagai hukum positif bagi umat Islam
Indonesia pada saat ini belum berbentuk hukum perundang-undangan, tetapi baru
dalam bentuk kitab fikih BAB faraidh. Hal ini berarti bahwa para hakim di
51 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h. 324
52 Roihan dan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 7, h. 252. Lihat juga Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama; Undang-undang No.7-Th 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), h. 30
42
Pengadilan Agama dalam memberikan pertimbangan pada saat menetapkan
keputusan merujuk pada kitab fikih tersebut.
Meskipun fikih itu bersumber dari al-Quran dan Hadits, namun fikih itu
beragam sesuai dengan perkembangan aliran pikiran tertentu yang kemudian disebut
madzhab.
Fikih yang berkembang di Indonesia pada umumnya adalah mengikuti
madzhab imam syafi’i, tanpa menutup adanya madzhab lain, meskipun kecil.
Madzhab imam syafi’i kemudian dikembangkan oleh pengikutnya dalam suatu
wacana yang hasilnya juga beragam pendapat. Beragam pendapat dalam sebuah
wacana tidak menjadi masalah. Namun bila putusan pengadilan yang merujuk pada
fikih yang berbeda menghasilakan penetapan yang berbeda mengenai suatu kasus
yang sama, barulah itu menimbulkan masalah.
Hal itulah yang mendorong pemuka negara kita mengumpulakan kitab fikih
yang menjadi rujukan Peradilan Agama yang beragam itu dan merumuskannya dalam
satu bentuk kesatuan. Setelah melalui proses panjang, Mahkamah Agung sebagai
pemegang kekuasaan peradilan di Indonesia bersama menteri agama, dengan
melibatkan ulama, pakar fikih, ahli hukum dan pemuka masyarakat lainnya berhasil
mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.53
2. Faraidh Setelah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI)
53 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h. 327
43
Hukum kewarisan dalam KHI merupakan hasil kaji ulang dan ijtihad baru
melalui pendekatan dengan hukum adat dan hukum barat serta norma-norma hukum
lainnya, sesuai dengan petunjuk syariat Islam, sehingga dapat membawa
pembaharuan hukum kewarisan di Indonesia yang:54
a. Selaras dengan tata kehidupan umat Islam di Indonesia,
b. Mampu memenuhi tuntutan zaman yang modern sesuai dengan teori ilmu
hukum, administrasi dan manajemen,
c. Dapat menjalankan fungsinya sebagai pengatur untuk menciptakan ketertiban
dan ketentraman masyarakat, sebagai pengayom untuk melindungi kebenaran
dan keadilan, serta sebagai pemberi arah bagi kehidupan yang maju dan
mandiri dibawah naungan dan ridla Allah SWT.
Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat 23 pasal yang mengatur tentang
kewarisan, mulai dari pasal 171 sampai dengan pasal 193. Yang dimaksud dengan
hukum kewarisan menurut KHI pasal 171 (a) adalah “Hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harata peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-
siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”.55
Pasal 171 tentang ketentuan umum, yaitu menjelaskan tentang hukum
kewarisan sebagaimana juga terdapat dalam kitab-kitab fikih dengan rumusan yang
54 Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen,
2009), Cet. 1, h. 30 55 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: CV Akademika Pressindo,
1992) , Cet. 1, h. 155
44
berbeda. Membicarakan tentang pewaris dan syaratnya, ahli waris dan syaratnya. Hal
ini serupa dengan yang dibicarakan dalam fikih sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya. Begitu juga anak pasal selanjutnya telah sejalan dengan fikih.
Pasal 172 menjelaskan tentang identitas keislaman seseorang dalam hal yang
bersifat administratif. Walaupun tidak ada dalam fikih tapi tidak menyalahi substansi
fikih itu.
Pasal 173 menjelaskan tentang halangan kewarisan yang format dan
substansinya sedikit berbeda dengan fikih, dengan rumusan:
Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:56
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat pada pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.
Dalam anak pasal (a) dinyatakan pembunuh sebagai penghalang kewarisan
telah sejalan dengan fikih. Namun, dijadikannya percobaan pembunuhan,
penganiayaan, apalagi memfitnah sebagai halangan kewarisan, jelas tidak sejalan
dengan fikih madzhab manapun. Dalam fikih hanya pembunuhan yang disengaja
yang dapat menjadi penghalang, sedangkan yang tidak disengaja masih merupakan
perdebatan yang berujung pada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Fikih
56 Ibid, h. 156
45
beranggapan bahwa kewarisan itu adalah hak seseorang yang ditetapkan dalam al-
Quran dan tidak dapat dicabut kecuali ada dalil yang kuat seperti hadits Nabi SAW.
Dicabutnya hak seseorang hanya karena percobaan pembunuhan, penganiayaan atau
memfitnah meskipun hal tersebut merupakan kejahatan namun tidak dapat
menghilangkan hak yang pasti, apalagi jika sebelum meninggal Pewaris telah
memaafkannya. Oleh karena itu, pasal ini masih perlu dipertanyakan.
Pasal 174 menjelaskan tentang ahli waris, baik dalam hubungan darah atau
perkawinan telah sejalan dengan fikih.
Pasal 175 menjelaskan tentang kewajiban ahli waris terhadap harta sebelum
dibagikannya harta tersebut kepada ahli waris telah sejalan dengan fikih.
Pasal i76 menjelaskan tentang bagian anak dalam kewarisan, baik dalam
keadaan sendiri atau bersama telah sejalan dengan ayat al-Quran dan rumusannya
dalam fikih.
Pasal 177 menjelaskan tentang bagian ayah. Dirumuskan sebagai berikut:
“Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak; bila ada
anak, ayah mendapat seperenam bagian”.57
Walaupun pasal ini telah mengalami perubahan, tetapi tidak mengubah secara
substansial. Dijelaskan bahwa ayah menerima seperenam dalam keadaan pewaris
meninggalkan anak, hal ini jelas sesuai dengan al-Quran, dan rumusannya dalam
fikih. Tetapi menetapkan ayah menerima bagian sepertiga dalam keadaan tidak ada
57 Ibid, h. 157
46
anak, tidak terdapat dalam al-Quran dan tidak tersebut dalam kitab fikih manapun,
termasuk syi’ah.
Ayah mungkin mendapat sepertiga tetapi tidak sebagai furudh, itupun dalam
kasus tertentu seperti bersama ibu dan suami, dengan catatan ibu menerima sepertiga
harta sebagaimana yang lazim berlaku dalam mzhab jumhur ahlu sunah, namun
bukan sepertiga untuk ayah sebagaimana yang disebutkan dalam kompilasi. Hal
tersebut merupakan ijtihad baru yang bertujuan untuk melindungi jangan sampai
bagian ayah lebih kecil dari bagian ibu, tapi sekurang-kurangnya sama besar. Apabila
al-Quran dan fikih yang dijadikan ukuran, maka pasal ini jelas salah secara
substansial. Karena bunyi pasal ini terdapat kekeliruan yang sangat signifikan, maka
berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
MA/Kumdil/148/VI/K/1994 tanggal 28 Juni 1994, (SURAT EDARAN No. 2 Tahun
1994 Tentang Pengertian Pasal 177 KHI), pasal ini berbunyi: “Ayah mendapat
sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami
dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam”.58 Berdasarkan bunyi pasal 177
yang telah direvisi ini, maka bagian ayah ada 3 (tiga) macam, yaitu:
a. Menerima ashobah, yakni bila pewaris tidak meninggalkan anak.
b. Menerima sepertiga bagian, yakni apabila pewaris tidak meninggalkan anak
tetapi meninggalkan suami dan ibu.
c. Menerima seperenam bagian, yakni apabila pewaris meninggalkan anak.
58 Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen,
2009), Cet. 1, h. 114
47
Pasal 178 menjelaskan tentang bagian ibu dalam tiga kemungkinannya dan
pasal 179-180 membahas tentang bagian duda dan janda dalam dua kemungkinannya
telah sesuai dengan al-Quran dan rumusannya dalam fikih.
Pasal 181 membahas tentang bagian saudara seibu. Pasal 182 tentang bagian
saudara kandung dan seayah dalam segala kemungkinannya, semuanya telah sejalan
dengan al-Quran dan fikih.
Pasal 183 tentang usaha perdamaian yang yang menghasilkan pembagian
yang berbeda dari petunjuk atas dasar kerelaan bersama. Secara formal, hal tersebut
tidak dijelaskan dalam fikih, akan tetapi pembagian seperti itu dapat diterima dengan
menggunakan pendekatan pemahaman takharuj yang dibenarkan dalam mazhab
hanafi.
Pasal 184 tentang pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa untuk
mengurus hak warisnya. Meskipun tidak dinyatakan dalam kitab-kitab fikih, namun
karen telah sejalan dengan kehendak al-Quran surat an-Nisa ayat 5, maka pasal ini
dapat diterima.
Pasal 185 mengenai ahli waris pengganti, dirumuskan sebagai berikut:59
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka
kedudukannya dapat diganti oleh anaknya, kecuali mereka yang disebut dalam
pasal 173.
59 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: CV Akademika Pressindo,
1992), Cet. 1, h.158
48
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh lebih dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti.
Anak pasal (1) secara tersurat mengakui adanya ahli waris pengganti, yang
merupakan hal baru untuk hukum kewarisan Islam. Perkara ini dikatakan baru karena
di timur tengah pun belum ada Negara yang mngatur hal ini, sehingga mereka mereka
perlu menampungnya dalam lembaga wasiat wajibah. Anak pasal ini amat bijaksana
dengan menggunakan kata “dapat” yang tidak mengandung maksud imperative. Hal
ini berarti bahwa dalam keadaan tertentu yang kemaslahatan menghendaki
keberadaan ahli waris pengganti dapat diakui, namun dalam keadaan tertentu bila
keadaan menghendaki, tidak diberlakukannya ahli waris pengganti.
Anak pasal (2) menghilangkan kejanggalan penerimaan adanya ahli waris
pengganti dengan tetap menganut asas perimbangan laki-laki dan perempuan. tanpa
anak pasal ini sulit untuk dilaksanakannya penggantian ahli waris karena ahli waris
pengganti itu menurut asalnya hanya sesuai dengan system barat yang menempatkan
kedudukan anak laki-laki sama dengan anak perempuan.
Pasal-pasal selanjutnya yaitu pasal 186-193 telah sesuai dengan yang
dirumuskan dalam fikih. Meskipun ada beberapa pasal yang tidak diatur dalam fikih
karena menyangkut masalah administratif, namun hal tersebut sesuai dengan prinsip
kemaslahatan, maka pasal-pasal itu dapat diterima.
Secara umum pasal demi pasal yang berkenaan dengan kewarisan dalam KHI
tersebut sudah sejalan dengan apa-apa yang dijelaskan dalam kitab fikih, namun tidak
49
dapat dipungkiri ada beberapa hal krusial dan beberapa perbedaan disana-sini yang
menempatkan hukum kewarisan Islam dalam bentuk yang baru.
C. Konsep Keadilan Dalam Pembagian Harta Waris
1. Konsep Keadilan Menurut Hukum Islam
Mengenai jumlah bagian yang didapat oleh laki-laki dan perempuan terdapat
dua bentuk. Pertama, laki-laki mendapat jumlah yang sama banyak dengan
perempuan; seperti ibu dan ayah sama-sama mendapat seperenam dalam keadaan
pewaris meninggalkan anak kandung. Begitu pula saudara laki-laki dan saudara
perempuan sama-sama mendapat seperenam dalam keadaan pewaris adalah seseorang
yang tidak memiliki ahli waris langsung. Kedua, laki-laki memperoleh bagian lebih
banyak atau dua kali lipat dari bagian yang didapat oleh perempuan; seperti anak laki-
laki mendapat dua kali bagian anak perempuan, saudara laki-laki mendapat dua kali
bagian saudara perempuan dan dalam kasus yang terpisah duda mendapat dua kali
bagian yang diperoleh janda.
Bila ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh antara laki-laki dan
perempuan yaitu 2:1 (baca: dua banding satu), memang terdapat ketidaksamaan.
Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti tidak adil karena keadilan dalam pandangan
Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi
juga dikaitkan pada kegunaan dan kebutuhan. Oleh karena itu, bentuk keadilan dalam
kewarisan bukan terletak pada jenis kelamin, melainkan terletak pada substansinya.
Substansi yang dimaksud dapat terlihat dalam Surat an-Nisa (4:11, 12, dan 176).
50
Pada Surat an-Nisa (4) ayat 11 dinyatakan bahwa anak laki-laki mendapat
bagian lebih besar dari perempuan. Demikian pula ayah mendapat bagian lebih
banyak dari ibu apabila tidak ada anak. Dalam Surat an-Nisa (4) ayat 12, suami dan
istri mendapat bagian yang berbeda. Demikian pula dalam Surat an-Nisa (4) ayat 176
saudara laki-laki mendapat bagian lebih banyak dari saudara permpuan. Terjadinya
perolehan bagian yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, mufassirin
memberikan komentar. Menurut al-Maragi, terjadinya perbedaan bagian yang
diperoleh oleh ahli waris laki-laki dan perempuan mempunyai hikmah tersendiri yaitu
laki-laki mencari nafkah untuk diri dan keluarganya, sementara perempuan hanya
membutuhkan nafkah untuk dirinya, dan bahkan apabila perempuan telah menikah,
maka nafkahnya ditanggung oleh laki-laki yang menjadi suaminya. Dari kenyataan
ini menunjukan bahwa tidak ada perbedaan material dalam kedudukan ekonomi
antara laki-laki dan perempuan bila dilihat dari fungsinya.60
Syariat Islam telah membedakan pembagian harta waris antara laki-laki dan
perempuan dalam perkara kewarisan 2:1 (baca dua banding satu) karena ada beberapa
hikmah yang tersembumyi:
a. Bahwa perempuan itu biaya hidup dan keperluannya telah terpenuhi, sebab
nafkahnya menjadi kewajiban anaknya atau bapaknya, saudara laki-laki atau
kerabat lainnya.
60 Eli Nurmalia, Respon Perempuan Terhadap System Pembagian Waris 2:1 Dalam Hukum
Kewarisan Islam, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 27
51
b. Permpuan tidak dibebani untuk memberikan nafkah pada keluarga, kerabat
serta orang lain yang menjadi kewajibannya untuk memberikan nafkah
kepadanya.
c. Nafkah laki-laki lebih banyak (dari perempuan) dan kewajiban yang berkaitan
dengan harta lebih besar, maka keperluannya terhadap harta tertentu lebih
besar dari pada keperluan perempuan.
d. Laki-laki (berkewajiban) memberikan maskawin kepada istrinya dan dia juga
dibebani untuk memberikan biaya, tempat tinggal dan ongkos makan serta
pakian kepada istri dan anak-anaknya. Selain itu masalah lain yang juga
dibebankan kepada laki-laki oleh syariat Islam yang mulia, berdasarkan
perintah Allah, Tuhan Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
☺
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS. Ath-Thalak 65:7)
Dari pandangan yang singkat ini, jelaslah bahwa Allah begitu bijaksana dalam
membedakan bagian laki-laki dan perempuan dalam kewarisan. Apabila nafkah atas
seseorang itu lebih banyak dan kewajiban yang dibebankan kepadanya lebih besar,
maka menurut keadilan dalam pandangan Islam, dibenarkan jika bagiannya lebih
52
banyak. 61 Kendati perempuan mendapatkan bagian setengah dari laki-laki
(lidzdzakari mitslu hadzdzil untsayayn), namun ketentuan itu bisa menjadi lebih
banyak dari laki-laki, sebab laki-laki punya tanggung jawab menafkahi anggota
keluarganya, sedangkan harta bagian perempuan adalah untuk dirinya sendiri. Karena
itulah, Rasul SAW menekankan umat Islam untuk senantiasa melakukan dan
melaksanakan hukum waris sesuai dengan ketentuan yang ada dalam al-Quran.
Semua yang sudah diatur dalam al-Quran bertujuan memberikan keadilan pada setiap
orang. 62 Hal serupa juga diungkapkan oleh Syaikh Muhammad Ghazali. Beliau
menambahkan bahwa perempuan tidak wajib untuk bekerja atau mencari uang karena
jika dia mempunyai suami atau saudara laki-laki, seharusnya mereka yang
mendukungnya dalam segi keuangan.63
2. Konsep Keadilan dalam Pandangan Feminis Gender
Secara hakiki, dalam diskursus hukum, sifat dari keadilan itu dapat dilihat
dalam dua arti pokok, yaitu: Pertama, dalam arti formal yang menuntut bahwa hukum
itu berlaku secara umum. Kedua, dalam arti materil yang menuntut agar setiap hukum
61 Muhammad Ali asy-Syabuniy, Hukum Waris Islam, judul asli al-Mawarits Fi Syar’iyati
Islamiyah ‘Ala Dhauil Kitab Wa Sunnah, (Surabaya: al-ikhlas, 1995), Cet. 1, h. 26-27
62 Syarudin al-fikri, “Menengok Riwayat Hukum Waris Dalam Islam”, Arikel Diakses pada 08 Agustuss 2010dari http://www.repubilika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/islam-digest/10/04/19/112001-menengok-riwayat-hukum-waris-dalam-islam.
63 Syaikh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik Dalam al-Quran, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), h.49
53
itu harus sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat.64 John Rawls dan Hans Kelsen
menguraikan bahwa pada dasarnya keadilan terdiri dari beberapa unsur, yaitu:65
a. Bahwa keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk
memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak).
b. Bahwa perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada
setiap indifidu (unsur manfaat).
Keadilan hubungannya dengan gender adalah keadilan yang tidak
membedakan manusia berdasarkan jenis kelamin, asal-usul, keturunan dan ras.
Namun dalam realita sosiologis di masyarakat, perempuan seringkali menerima
perlakuan yang tidak adil dan tidak setara dengan laki-laki. Kondisi ini terjadi karena
masyarakat kita telah lama terkungkung oleh budaya yang didomonasi oleh kaum
laki-laki. Lalu munculah apa yang dikenal dengan istilah ketidakadilan gender. 66
Gender merupakan istilah kultural yang dipakai untuk membedakan peran, prilaku,
mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dimasyarakat. Perbedaan gender tersebut sebenarnya tidak jadi masalah,
sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender.
Dewasa ini, kaum feminis mengnggap bahwa kaum muslimat berada dalam
suatu sistem diskriminatif, yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan dasar Islam.
64 E. Fernando M. Manulang, menggapai hokum berkeadilan; Tinjauan Hukum Kodrat dan Anatomi Nilai, (Jakarta: Kompas, 2007), h. 96
65 Ibid, h. 98 66 Elfid Nurfitri Mubarok, Penyelesaian Gugatan Kewarisan Anak Perempuan Dengan
Saudara Kandung, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 42
54
Kaum muslimat dianggap sebagai korban dari ketidakadilan dalam berbagai aspek
kehidupan, yang dilegitimasi oleh suatu tafsiran sepihak dan dekontruksi melalui
budaya dan syariat.67 Sehingga mereka mempertanyakan tafsiran ayat-ayat al-Quran
yang dianggap mengandung bias gender, diantaranya: QS. Al-Baqarah 2:282 Tentang
kesaksian perempuan dalam hutang piutang, QS. An-Nisa 4:11 Tentang hak waris
laki-laki dan perempuan, QS. An-Nisa 4:3 Tentang kebolehan laki-laki berpoligami,
QS. An-Nur 24:30-31 dan QS. Al- Ahzab 33:53-59 Tentang aurat perempuan dan
hijab.
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Ayu Arman, beliau mengatakan
pembedaan bagian harta waris laki-laki dan perempuan disebabkan karena pada saat
itu beban kehidupan keluarga sepenuhnya ditanggung laki-laki. Perempuan tidak
punya kewajiban untuk memberikan maskawin dan nafkah kepada keluarga mereka.
Meskipun begitu, saat itu Islam telah memberikan jalan keluar jika orangtua mereka
ingin memberikan bagian yang sama kepada anak-anak mereka, baik laki-laki
maupun perempuan, maka dengan jalan hibah, yaitu pembagian warisan ketika
orangtua masih hidup. Setidaknya alasan tersebut menuntun kita bahwa perbedaan
perolehan pembagian warisan itu bukan disebakan oleh faktor biologis (kodrati),
tetapi semata-mata disebabkan oleh sosial budaya, dengan kata lain, persoalan
gender. Karena hal itu disebabkan oleh sosial budaya, maka hukum waris ini pun bisa
berubah ketika basis sosial dan ekonomi keluarga berubah. Apalagi sekarang ini, tak
67 Eli Nurmalia, Respon Perempuan Terhadap System Pembagian Waris 2:1 Dalam Hukum
Kewarisan Islam, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)
55
sedikit lagi perempuan yang menjadi tulang punggung yang menafkahi keluarganya.
Untuk itu, tidak ada halangan untuk melakukan modifikasi terhadap ketentuan waris
2:1 (baca: dua banding satu) karena muatan keadilannya berkurang.68
Untuk mengcover asumsi-asumsi yang menyatakan bahwa hukum seperti ini
hanya dapat memarginalkan, mendehumanisasi, mendiskriminasi dan mensubordinasi
perempuan, maka kaum feminis mengusulkan agar porsi pembagian harta waris
antara laki-laki dan perempuan adalah sama 1:1 (baca: satu banding satu) atau 2:2
(baca: dua banding dua). Agar tujuan ini dapat terwujud, menurut mereka tidak hanya
cukup dengan melakukan tafsir ulang, tetapi harus melalui proses dekontruksi
(pembongkaran) terhadap idiologi yang melilitnya berabad-abad. Menurutnya, kini
tibalah saatnya untuk mengkontekstualisasikan ayat-ayat hukum yang praktis
temporal, teknis oprasional (juziyyah) agar sesuai dengan nilai-nilai universal dan
terbebas dari muatan lokal arabisme.
68 Ayu Arman, “Menyoal Keadilan Hak Waris Perempuan”, artikel diakses pada 08 Agustus
2010 dari shttp:/mycompilation.blogspot.com/2010/07/menyoal-keadilan-hak-waris-perempuan.html
BAB III
ANALISIS GUGATAN KEWARISAN ANAK LAKI-LAKI DAN
PEREMPUAN
A. Landasan Yuridis, Hukum Formil dan Hukum Materil
1. Tinjauan Dari Hukum Formil
Agar kita dapat melaksanakan aturan mengenai kewarisan dengan baik di
Pengadilan, maka kita membutuhkan kaidah hukum yang menentukan dan mengatur
cara-cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata
sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materil. Kaidah hukum tersebut sering
dikenal sebagai hukum formil.69
Menurut Sudikno Martokusumo, aturan hukum perdata ini bukanlah sekedar
pelengkap saja, melainkan mempunyai kedudukan yang penting dalam melaksanakan
atau menegakkan hukum perdata materil.70 Kedua hukum ini sangat berkaitan, karena
jika tidak ada hukum formil maka hukum materil tidak dapat ditegakan melalui
peradilan. Begitu pun sebaliknya, karena hukum acara formil merupakan upaya untuk
menjamin akan terlaksananya hukum perdata materil.
Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa, dan mengadili
serta menyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan, hukum dan keadilan)
69 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata ; Dalam Teori
Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2005), Cet. 9, h. 1
70 Sudikno Martokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Press, 1985), h. 5
56
maka Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama menggunakan hukum acara
perdata yang berlaku di lingkunagan Peradilan Negeri, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam Undang-undang.71 Oleh karena itu, hukum acara Peradilan
Agama sekarang bersumber (garis besarnya) kepada dua aturan: (1) yang terdapat
dalam Undang-undang No.7 Tahun 1989, dan (2) yang berlaku dilingkungan
Peradilan Umum.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti hukum acara perdata
Peradilan Umum, antara lain:72
a. H.I.R (Het Herziene Indonesisch Reglement) atau disebut juga RIB (Reglemen
Indonesia yang dibaharui)
b. R.Bg (Rechts Reglement Buitengewesten) atau disebut juga Reglemen untuk
daerah seberang, maksudnya untuk luar Jawa-Maduru.
c. R.V (Reglement of de Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan Belanda
dahulu berlaku untuk Raad van Justitie.
d. BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Eropa.
e. Undang-undang No. 2 Tahun 1986, Tentang Peradilan Umum.
Perturan perundang-undangan tentang Hukum Acara Perdata yang sama-sama
berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, adalah:
71 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2000), Cet. 3, h. 366 72 Roihan dan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000) Cet. 7, h.21 57
a. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman
b. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Tentang Mahkamah Agung.
c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan PP Nomor 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan
Jika demikian halnya, maka Peradilan Agama dalam hukum acaranya minimal
harus memperhatikan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama yang telah mengalami perubahan menjadi Undang-undang No.3 Tahun 2006
Tentang Peradilan Agama, ditambah dengan 8 macam peraturan perundang-undangan
tang tadi telah disebutkan. Selain itu Peradilan Agama juga harus memperhatikan
proses hukum menurut Islam. Inilah, yang menjadi sumber dari Hukum Acara
Peradilan Agama.73
Bidang kewarisan yang merupakan salah satu wewenang Pengadilan Agama
tercantum dalam pasal 49 huruf b Undang-undang No.3 tahun 2006 Tentang
perubahan Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama disebutkan,
bahwa: “ Yang dimaksud dengan bidang kewarisan adalah penentuan siapa-siapa
yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut
73 Ibid, h. 21
58
serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris”.74
Atas dasar ketentuan diatas, maka bidang hukum waris yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama adalah meliputi:
1. Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris.
2. Penentuan mengenai harta peninggalan.
3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Dalam hukum acara perdata di Peradilan Agama terdapat dua jenis perkara,
yaitu:
a. Perkara Voluntair
Perkara voluntair (permohonan) adalah perkara yang di dalamnya tidak
terdapat sengketa, misalnya apabila segenap ahli waris almarhum secara bersama-
sama menghadap ke Pengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian
masing-masing dari warisan almarhum berdasarkan ketentuan pasal 236 a HIR.75
Disini, hakim hanya sekedar memberi jasa-jasanya sebagai seorang tenega Tata
Usaha Negara. Hakim tersebut mengeluarkan suatu penetapan yang lazimnya disebut
putusan declaratoir, yaitu suatu putusan yang bersifat menetapkan, menerangkan
saja.
74 Chatib Rasyid dan Syaifudin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek Pada
Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2009)
75 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata ; Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2005), Cet. 9, h. 10
59
b. Perkara Contensius
Perkara contensius (gugatan) adalah perkara yang di dalamnya terdapat suatu
sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan. Dalam
suatu gugatan ada seseorang atau lebih yang merasa bahwa haknya telah dilanggar,
akan tetapi orang yang dirasa melanggar haknya atau hak mereka itu tidak mau secara
suka rela melakukan sesuatu sesuatu yang diminta itu.76 Untuk penentuan siapa yang
yang benar dan berhak, diperlukan adanya suatu putusan hakim. Disini hakim benar-
benar berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus siapa diantara pihak-
pihak tersebut yang benar dan siapa yang tidak benar. Produk Pengadilan yang
dikeluarkan dalam perkara gugatan ini adalah vonis yang bersifat condemnatoir
(menghukum) atau bersifat constitutoir (menciptakan).77
Selain dua jenis perkara yang dapat diadukan ke Pengadilan, sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, dalam hukum acara perdata dikenal pula dua macam
upaya hukum. Sedangkan upaya hukum itu sendiri adalah upaya yang diberikan oleh
undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu
melawan putusan hakim.78 Kedua upaya hukum tersebut, yaitu:
a. Upaya Hukum Biasa
76 Ibid, h. 10
77 Roihan dan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) cet ke-7, h. 193
78 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata ; Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2005), Cet ke-9, h. 142
60
Upaya hukum biasa adalah perlawanan terhadap putusan verstek (tergugat
tidak hadir), banding (permohonan yang diajukan oleh orang yang dikalahkan di
Pengadilan tingkat pertama kepada Pengadilan Tinggi karena dikhawatirkan bahwa
hakim melakukan kesalahan dalam menjatuhkan suatu putusan), dan kasasi (tindakan
Mahkamah Agung sebagai pengawas tertitinggi untuk menegakkan dan membetulkan
hukum, jika hukum ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkatan tertinggi).
Pada asasnya, upaya hukum ini menangguhkan eksekusi. Pengecualiannya
adalah apabila putusan tersebut dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan
terlebih dahulu (uitvoerbaar bij vooraad), maka meskipun diajukan upaya biasa,
namun eksekusi dapat berjalan terus.
b. Upaya Hukum Luar Biasa.
Berbeda dengan upaya hukum biasa, upaya hukum luar biasa pada asasnya
tidak menangguhkan eksekusi. Yang termasuk upaya hukum luar biasa adalah
perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial dan peninjauan kembali. Jadi
meskipun diajukan perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial atau diajukan
permohonan peninjauan kembali, maka eksekusi berjalan terus.
2. Tinjauan Dari Hukum Materil
Mengenai sumber hukum materil di Peradilan Agama, sebenarnya peradilan
agama sendiri belum mempunya hukum materil yang berbentuk Undang-Undang,
namun untuk menyamakan pedoman fikih agar tidak terjadi kesimpangsiuran
keputusan dalam lembaga-lembaga Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI)
sudah dirasa cukup meredam perbadaan pendapat tentang masalah-masalah hukum 61
tersebut, tetapi bukan berarti tidak diperlikan lagi hukum materil yang kekuatannya
lebih mengikat seperti Undang-undang.
Adapun hukum materil yang sekarang berlaku di lembaga-lembaga Peradilan
Agama adalah sebagai berikut:
a. Instruksi presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
Dalam KHI tersebut terdapat tiga buku yang menjelaskan mengenai: hukum
perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan. Khusus mengenai hukum
kewarisan, berjumlah 23 pasal, yaitu dari pasal 171 sampai dengan pasal 193.
b. Yurisprudensi
Dalam kamus Fockema Andrea sebagaimana yang dikutip oleh Lilik Mulyadi,
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah pengumpulan
sistematis dari keputusan Mahkamah agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang
diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan mengenai perkara yang sama.79
Dalam hal ini hakim tidak terikat pada putusan yurisprudensi. Hakim bebas memilih
antara meninggalkan yurisprudensi itu atau memakainya dalam suatu perkara yang
sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya.
c. Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Surat Edaran tersebut sepanjang menyangkut hukum formil dan hukum
materil yang dapat dijadikan sumber hukum di Peradilan Agama dan dapat digunakan
sebagai bahan acuan oleh hakim dalam menangani perkara. Sama halnya dengan
79 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, h. 7 62
yurisprudensi, Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung juga tidak mengikat
kepada hakim sebagaimana undang-undang. Menurut Sudikno Martokusumo, bahwa
Surat Edaran tersebut bukanlah hukum, tetapi merupakan sumber hukum, bukan
berarti tempat ditemukannya hukum melainkan tempat hakim dapat menggali
hukum.80
d. Doktrin atau Pendapat Ahli
Doktrin merupakan sumber hukum yang sangat penting bagi ilmu hukum dan
perkembangannya, karena kemajuan pemikiran tentang hukum sangat bergantung
antara lain kepada pendapat yang dikemukakan oleh para ahli hukum untuk
menyikapi fenomena yang terjadi setiap waktu. Doktrin dapat dikemukakan dalam
berbagai forum, seperti penelitian, seminar, atau dengan penerbitan buku-buku yang
membahas suatu topik atau fenomena hukum tertentu.
B. Analisis Dan Pertimbangan Hakim
1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 139/Pdt.G/2008/PA.JT
Perkara Nomor 139/Pdt.G/2008/PA.JT telah diputus pada tanggal 07 April
2009 di Pengadilan Agama Jakarta Timur.
Dalam persidangan disebutkan Penggugat adalah:
1. Hj. Sofiah binti H. Sarmada, umur 58 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah
tangga, bertempat tinggal di Jl. Raya Bekasi KM.18 No.60 RT.009 RW.011,
80 Sudikno Martokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Press,
1985), h. 34 63
kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, sebagai Penggugat
I.
2. H. M. Sofyan bin H. Sarmada, umur 51 tahun, agama Islam, pekerjaan
wiraswasta, bertempat tinggal di Kampung Tarate No.60 RT.009 RW.011,
kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, sebagai Penggugat
II
3. Sarmanih binti H. Sarmada, umur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah
tangga, bertempat tinggal di Kampung Tarate No.60 RT.009 RW.011, kelurahan
Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, sebagai Penggugat III
4. Hj. Suryati binti H. Sarmada, umur 46 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah
tangga, bertempat tinggal di Dukuh Zamrud blok Tg. No.8 RT.008 RW.011,
kelurahan Ciminung, kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi, sebagai Penggugat IV
5. Hj. Suryanah binti H. Sarmada, umur 46 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu
rumah tangga, bertempat tinggal di Kampung Terate RT.009 RW.011, kelurahan
Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, sebagai Penggugat V
6. H. Ahmad Fauzi bin H. Sarmada, umur 37 tahun, agama Islam, pekerjaan
wiraswasta, bertempat tinggal di Kampung Terate No.60 RT.009 RW.011,
kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, sebagai Penggugat
VI
Sedangkan Tergugat adalah Hj. Sofinah binti H. Sarmada, umur 55 tahun,
agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Jl. Raya Bekasi
64
KM.18 No.60 RT.009 RW.011, kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota
Jakarta Timur sebagai Tergugat.
Penggugat dan Tergugat adalah ahli waris dari almarhum H. Sarmada yang
meninggal dunia pada tanggal 11 Juli 2003 dan Hj. Hafsah yang meninggal dunia
pada tanggal 6 September 1995.
Penggugat berdasarkan Surat gugatannya mengemukakan hal-hal sebagai
berikut:
1. Bahwa para Penggugat dan Tergugat adalah ahli waris dari pasangan suami istrri
almarhum H. Sarmada yang telah meninggal dunia pada tanggal 11 juli 2003
(bukti P1) dan Hj. Hapsah yang meninggal pada 6 September 1995 (bukti P2)
untuk selanjutnya disebut Pewaris.
2. Bahwa dari hasil pernikahan yang berlangsung pada tahun 1942 pasangan suami
istri almarhum H. Sarmada dan Hj. Hapsah telah dikaruniai 13 orang anak yang
terdiri dari:
1) Muhammad Oding lahir di Cikarang Bekasi pada tahun 1948 yang telah
meninggal pada tahun 1953 (bukti P3)
2) Tarsinah lahir di Cikarang Bekasi pada tahun 1950 ysng telah meninggal
dunia pada tahun 1953 (bukti P4)
3) Hj. Sofiah lahir di Jakarata pada tahun 1952 (Pengugat I)
4) Hj. Sofinah lahir di Jakarta pada tahun 1954 (Tergugat)
5) M. Sofyan lahir di Jakarta pada tahun 1957 (Pengugat 2)
65
6) Papay saparudin lahir di Jakarta pada tahun 1959 yang telah meninggal dunia
pada tahun 1964 (bukti P5)
7) Sarmanih lahir di Jakarta pada tahun 1961 (Pengugat 3)
8) Hj. Suryati lahir di Jakarta pada tahun 1962 (Pengugat 4)
9) Hj. Suryanah lahir di Jakarta pada tahun 1963 (Pengugat 5)
10) Cecep Suryadi lahir di Jakarta pada tahun 1964 yang telah meninggal dunia
pada tahun 1974 (bukti P4)
11) Siti Hawa lahir di Jakarta pada tahun 1965 yang telah meninggal dunia sejak
lahir pada tahun 1965(bukti P6)
12) Suryatman lahir di Jakarta pada tahun 1968 mengalami gangguan syaraf sejak
umur 5 (Lima) tahun (bukti P7)
13) Ahmada Fauzi lahir di Jakarta pada tahun 1971 (Pengugat 6)
3. Bahwa diantara 13 orang anak tersebut diatas terdapat salah satu ahli waris yang
bernama Suryatman bin H. Sarmada yang berada dalam pengampuan dan dari
awal telah berada dan diasuh dibawah pengampunya yaitu Penggugat 4 (bukti P8)
4. Bahwa dari hasil pernikahan pewaris tersebut diatas telah meninggalkan harta
peninggalan berupa
1) Tanah hak milik dengan luas 6.930 m2 yang terletak dan dikenal di Jl. Raya
Bekasi KM. 18, RT/RW 009/011 No. 60 Jatinegara, Cakung Jakarta Timur
13930 (bukti P9), dengan batas-batas berikut: Sebelah utara Kali atau Sungai,
sebelah selatan PT.Jaya Sungai, sebelah timur dahulu dikenal sebagai Pabrik
Minyak Sayur Bimoli, sebelah barat Jalan Raya Bekasi 66
2) Sebuah bangunan Setasiun Pengisi Bahan Bakar Untuk Umum (SPBU)
dengan luas 2.695 m2 yang berdiri diatas tanah hak milik Pewaris yang
terletak dan dikenal di Jalan Raya Bekasi KM. 18 Rt/Rw 009/011 No.60
Jatinegara, Cakung – Jakarta Timur 13930 (Bukti P-10), dengan batas-batas
sebagai berikut: Sebelah utara Kali atau Sungai, sebelah selatan PT Jaya
Motor, sebelah timur tanah milik alm. H.Sarmada, sebelah barat Jalan Raya
Bekasi
3) Tanah hak milik dengan luas 1.142 m2 yang terletak dan dikenal di RT/RW
002/001 Duren Sawit, Jakarta Timur (Bukti P-11), dengan batas-batas sebagai
berikut: Sebelah utara Kuburan, sebelah selatan Jl.Maki, sebelah timur
Kuburan, sebelah barat milik Suyadi
4) Bahwa seluruh harta peninggalan di atas belum dibagikan kepada seluruh ahli
waris berdasarkan Hukum Waris Islam dan terhadap harta peninggalan berupa
sebuah bangunan Setasiun Pengisi Bahan Bakar Minyak (SPBU) yang berdiri
diatas tanah hak milik Pewaris yang terletak di Jl. Raya Bekasi KM.18 (vide
Bukti P-10) masih dikuasai oleh Tergugat sejak Pewaris meninggal dunia
tahun 2003 sampai sekarang;
5) Bahwa dengan dikuasainya secara sepihak harta peninggalan a quo oleh
Tergugat mengakibatkan pembagian hasil dan penjualan usaha SPBU kepada
para Penggugat dilakukan dengan sewenang-wenang jauh dari rasa keadilan
selaku ahli waris yang juga berhak memperoleh bagian hasil dan obyek yang
sama; 67
6) Bahwa terhadap harta peninggalan berupa tanah hak milik Pewaris dengan
luas 1.142 m2 yang terletak di Rt/Rw : 002/001 Duren Sawit, Jakarta Timur
(vide Bukti P-11) telah dijual oleh Tergugat sebesar Rp.800.000.000,-
(Delapan ratus juta rupiah) dan baru Rp.400.000.000,- (Empat ratus juta
rupiah) yang telah dibagikan kepada seluruh ahli waris sesuai hak-haknya
menurut Hukum Waris Islam;
Dalam persidangan, para Penggugat mengajukan provisi yang isinya bahwa
Penggugat memohon sita jaminan atas harta yang menjadi objek sengketa (yang telah
disebut diatas) dan atas harta kepemilikan Tergugat yang merupakan harta bersama
milik Tergugat dengan suaminya yaitu berupa: Barang-barang bergerak berupa 1
(satu) unit mobil merk Mitsubishi Grandis, Toyota Vios, Toyota Avanza dan Nissan
Estrada ataupun barang bergerak lainnya yang berharga, barang-barang tidak
bergerak yang merupakan harta bersama milik Tergugat dan suaminya berupa sebuah
bangunan rumah yang terletak dan di kenal di Jl.Raya Bekasi KM 18, RT/RW:
009/011, No.60 Jati Negara-Cakung, Jakarta Timur 13930.
Selanjutnya dalam isi jawaban yang diajukan oleh Tergugat, dia menolak
dengan tegas seluruh dalil-dalil yang diajukan Penggugat dalam gugatannya, kecuali
yang dapat diakui dengan tegas oleh Tergugat. Point-point gugatan Penggugat yang
ditolak Tergugat adalah:
1. Menolak dengan tegas bhwa SPBU dikuasai oleh Tergugat karena pengelolaan
SPBU dilakukan secara bersama-sama dan hasilnya pun dinikmati bersama-sama
(dibagikan kepada ahli waris). 68
2. Tergugat menolak dengan tegas atas dalil Penggugat yang menyatakan bahwa
Tergugat telah menjual salah satu harta peninggalan berupa tanah dengan luas
1.142 m2 seharga Rp.800.000.000,- (Delapan ratus juta rupiah) dan separuh dari
hasil penjualan tanah tersebut belum dibagikan kepada ahli waris.
3. Tergugat sangat membantah isi gugatan yang terdapat dalam provisi yaitu
mengenai sita jaminan atas harta bersama milik Tergugat dengan suaminya.
4. Tergugat menyatakan bahwa dirinya tidak pernah keberatan jika SPBU dijual
secara bersama-sama.
Dalam hal ini, majelis hakim menimbang untuk mengabulkan sebagian isi
dari gugatan Penggugat, antara lain:
1. Menangguhkan gugatan dalam provisi (tidak diterima) karena dalam peletakan
sita perlu bukti permulaan adanya kekhawatiran akan pengalihan hak seperti yang
dimaksud dalam pasal 227 HIR. Selain itu atas harta pihak ketiga, sesuai hukum
yang berlaku tidak dapat dilakukan sita. Hal ini sesuai dengan pasal 197 ayat 8
HIR.
2. Menetapkan ahli waris berdasarkan pengakuan Tergugat dan dari keterangan
saksi-saksi yang saling bersesuaian sebanyak 8 orang.
3. Menyatakan tidak diterima terhadap permohonan Penggugat untuk menetapkan
pengampu atas Suryatman bin H. Sarmada yang selama ini dibawah pengampuan
H. Suryati binti H. Sarmada karena menurut Pasal 86 ayat 1 Undang-undang No.7
Tahun 1989 yang telah diubah menjadi Undang-undang No.3 Tahun 2006,
69
pengampuan atau perwalian tidak bisa dikomulasi. Hal ini sesuai dengan pasal
229 HIR.
4. Menetapkan harta yang menjadi objek sengketa yang telah disepakati
sebelumnya.
5. Menghukum Tergugat untuk membayar sisa dari hasil penjualan tanah yang
belum dibagikan kepada ahli waris sebesar Rp.400.000.000,- (Empat ratus juta
rupiah). Hal ini berdasarkan atas pengakuan Tergugat yang merupakan bukti
sempurna dan mengikat.
6. Membagikan dan menetapkan besar bagian mesing-masing ahli waris dari harta
peninggalan yang merupakan objek sengketa menurut Hukum Faraidh Islam.
Berdasarkan firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 11 dan pasal 176 KHI,
maka besar bagian yang diperoleh oleh anak laki-laki adalah 2:1 dengan anak
perempuan. Sehingga majelis hakim menetapkan bagian dengan asal masalah 11
bagian.
1) : 1/11 bagian
2) Hj. Sofin
Hj. Sofiah binti H. Sarmada
ah binti H. Sarmada : 1/11 bagian
3) M. Sofyan bin H. Sarmada : 2/11 bagian
4) Sarmanih binti H. Sarmada : 1/11 bagian
5) Hj. Suryati binti H. Sarmada : 1/11 bagian
6) Hj. Suryanah binti H. Sarmada : 1/11 bagian
7) Suryatman bin H. Sarmada : 2/11 bagian
8) Ahmada Fauzi bin H. Sarmada : 2/11 bagian 70
2. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 50/Pdt.G/2009/PTA.JK
Agustu
Dalam persidangan majelis tingkat banding dengan perkara Nomor
50/Pdt.
at antara lain:
rumah
umur 51 tahun, agama Islam, pekerjaan
tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah
sekarang Terbanding III.
Perkara dengan Nomor 50/Pdt.G/2009/PTA.JK telah diputus pada tanggal 05
s 2009 di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dan telah berkekuatan hukum
tetap.
G/2009/PTA.JK disebutakan Hj. Sofinah binti H. Sarmada, umur 55 tahun,
agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Jl. Raya Bekasi
KM.18 No.60 RT.009 RW.011, kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota
Jakarta Timur dahulu sebagai Tergugat sekarang Pembanding.
Sedangkan Terbandingnya adalah yang dahulu sebagai penggug
1. Hj. Sofiah binti H. Sarmada, umur 58 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu
tangga, bertempat tinggal di Jl. Raya Bekasi KM.18 No.60 RT.009 RW.011,
kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, dahulu sebagai
Penggugat I sekarang Terbanding I.
2. H. M. Sofyan bin H. Sarmada,
wiraswasta, bertempat tinggal di Kampung Tarate No.60 RT.009 RW.011,
kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, dahulu sebagai
Penggugat II sekarang Terbanding II.
3. Sarmanih binti H. Sarmada, umur 47
tangga, bertempat tinggal di Kampung Tarate No.60 RT.009 RW.011, kelurahan
Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, dahulu sebagai Penggugat III
71
4. Hj. Suryati binti H. Sarmada, umur 46 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah
tangga, bertempat tinggal di Dukuh Zamrud blok Tg. No.8 RT.008 RW.011,
pung Terate RT.009 RW.011, kelurahan
inggal di Kampung Terate No.60 RT.009 RW.011,
ok Tg. No.8 RT.008 RW.011, kelurahan
ng meninggal
dunia p
kelurahan Ciminung, kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi, dahulu sebagai
Penggugat IV sekarang Terbanding IV.
5. Hj. Suryanah binti H. Sarmada, umur 46 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu
rumah tangga, bertempat tinggal di Kam
Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, dahulu sebagai Penggugat V
sekarang Terbanding V.
6. H. Ahmad Fauzi bin H. Sarmada, umur 37 tahun, agama Islam, pekerjaan
wiraswasta, bertempat t
kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, dahulu sebagai
Penggugat VI sekarang Terbanding VI.
7. Suryatman bin H. Sarmada, umur 41 tahun, agama Islam, pekerjaan tidak bekerja,
bertempat tinggal di Dukuh Zamrud bl
Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, dahulu sebagai Penggugat
VII yang dalam hal ini diwakili dan di bawah pengampuan saudara perempuan
kandungnya Hj. Suryati binti H. Sarmada sekarang Terbanding VII
Pembanding dan Terbanding adalah ahli waris dari almarhum H. Sarmada
yang meninggal dunia pada tanggal 11 Juli 2003 dan Hj. Hafsah ya
ada tanggal 6 September 1995.
72
Dalam keterangan yang diperoleh dari putusan Pengadilan, Pewaris
meninggalkan harta warisan yang menjadi objek sengketa yang telah disebutkan pada
putusan sebelumnya.
Pada putusan terdahulu yaitu putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur telah
ditetapkan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, maka pada hari selasa tanggal 7
April 2009 Pembanding (Tergugat) telah mengajukan permohonan banding. Akan
tetapi dalam surat keterangan yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Jakarta
Timur bertanggal 26 Mei 2009 menerangkan bahwa Pembanding tidak megajukan
memori bandingnya, maka Pengadilan Tinggi Agama tidak mengetahui apa yang
menjadi keberatan dari Pembanding. Meskipun demikian, permohonan banding
tersebut harus tetap dperiksa ulang dan dinyatakan diterima pada tinggkat banding
karena permohonan bandingnya telah diajukan dalam tenggang waktu yang tepat dan
sesuai dengan cara-cara yang ditentukan dalam Undang-undang.
Dengan mengacu pada putusan terdahulu hakim Pengadilan Tinggi Agama
menimbang bahwa mengenai petitum Penggugat yang memohon agar Pengadilan
meletakan sita jaminan atas barang-barang yang menjadi obyek sengketa dan
beberapa barang milik Tergugat, telah diperiksa dan dipertimbangkan serta diputus
dengan benar oleh hakim pertama dengan tidak menerima gugatan provisi Penggugat
karena obyeknya adalah sama dengan pokok perkara atau obyeknya adalah milik
pribadi Penggugat, maka putusan hakim pertama dapat diambil alih menjadi
pertimbangan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama.
73
Kemudian mengenai penetapan seluruh anak-anak pewaris menjadi ahli waris
ternyata telah diperiksa dan diputus dengan benar oleh hakim pertama. Hal tersebut
bersdasarkan ketentuan pasal 174 KHI, maka putusan hakim pertama dapat diambil
alih menjadi pertimbangan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama.
Berdasarkan bukti P-8 maka hakim banding mengabulkan permohonan
Penggugat dalam petitumnya mengenai Suryatman bin H. Sarmada berada dalam
pengampuan dan dibawah pengampuan Hj. Suryati binti H. Sarmada dan memohon
agar bagian harta peninggalan yang menjadi hak Suryatman berada dan dikuasai serta
diamanatkan kepada pengampunya untuk kepentingan Suryatman. Oleh karena itu
dalam hal ini hakim banding tidak sependapat dengan hakim pertama yang tidak
mengabulkan permohonan tersebut, maka putusan hakim pertama harus dibatalkan
Selanjutnya mengenai obyek sengketa yang telah disepakati sebelumnya oleh
para pihak telah diperiksa dan dipertimbangkan serta diputus dengan benar oleh
hakim pertama, maka putusan hakim pertama dapat diambil alih menjadi
pertimbangan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama.
Hal yang paling menarik dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama mengenai
perkara ini adalah hakim tidak memutus pembagian harta waris dengan menggunakan
bagian 2:1 (baca: dua banding satu) melainkan dibagi sama rata antara ahli waris laki-
laki dan perempuan. Padahal ketika menerima putusan hakim pertama pihak ahli
waris tidak ada yang merasa keberatan dengan putusan tersebut bahkan dalam
permohonan bandingnya pun tidak diketahui apa yang menjadi keberatan
Pembanding. Besar bagian ahli waris sebagai berikut: 74
1. Hj. Sofiah binti H. Sarmada : 1/8 bagian
2. Hj. Sofinah binti H. Sarmada : 1/8 bagian
3. M. Sofyan bin H. Sarmada : 1/8 bagian
4. Sarmanih binti H. Sarmada : 1/8 bagian
5. Hj. Suryati binti H. Sarmada : 1/8 bagian
6. Hj. Suryanah binti H. Sarmada : 1/8 bagian
7. Suryatman bin H. Sarmada : 1/8 bagian
8. Ahmada Fauzi bin H. Sarmada : 1/8 bagian
Mengenai besarnya bagian masing-masing ahli waris, hakim tingkat banding
memberikan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa pewarisan merupakan proses perpindahan harta waris Pewaris kepada ahli
waris setelah meninggalnya Pewaris berdasarkan hukum waris.
2. Bahwa pewarisan pada hakikatnya merupakan pelanjutan pelaksanaan hak dan
tanggung jawab antara Pewaris dengan ahli waris ketika sama-sama masih hidup
yang terus berlanjut setelah Pewaris meninggal dunia, yang dilanjutakan dalam
bentuk pembagian harta warisan.
3. Bahwa oleh sebab derajat dan kewajiban ahli waris anak perempuan terhadap
Pewaris adalah sama derajat dengan kewajiban ahli waris anak laki-laki, maka
bagian warisan anak perempuan pun sudah seharusnya sama dengan bagian anak
laki-laki.
4. Bahwa ketentuan dalam surat an-Nisa ayat 11 yang telah ditransformasi kedalam
pasal 176 KHI, maka pengamalannya tidak bersifat mutlak 2:1 melainkan 75
5. Bahwa illat hukum ahli waris anak laki-laki diberikan 2:1 atas bagian anak
perempuan adalah karena dahulu ahli waris anak laki-laki diebani tanggung jawab
memberikan nafkah dan biaya penghidupan atas ahli waris anak perempuan.
6. Bahwa dalam hukum keluarga di Indonesia tidak ada ketentuan hukum yang
mewajibkan ahli waris laki-laki menanggung biaya penghidupan bagi ahli waris
anak perempuan sehingga tidak ada alasan lagi untuk memberikan bagian yang
lebih besar kepada ahli waris anak laki-laki dari pada ahli waris anak perempuan.
7. Bahwa ketentuan kebutuhan penghidupan anak perempuan pada hakikatnya
adalah sama besar dengan kebutuhan penghidupan ahli waris anak laki-laki.
8. Bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk bertindak adil terhadap
anak-anak tanpa membedakan jenis kelaminnya, demikian tentunya dalam
memberikan hak warisan, nabi muhammad SAW bersabda: Bertindak adil
terhadap anak-anakmu sekalian.
9. Bahwa dalam kenyataannya pada saat ini struktur keluarga muslim di Indonesia
pada umumnya bersifat bilateral (parental) sebagaimana dirumuskan dalam pasal
45 dan 46 Undang-undang perkawinan sehingga tidak lagi membeda-bedakan
antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam hak dan kewajiban dalam
keluarga, demikian pula tentunya dalam hak dan kewajiban anak terhadap orang
76
tuanya ketika orang tuanya masih hidup dalam kewarisan ketika orang tuanya
meninggal dunia.
10. Bahwa ketentuan dalam al-Quran surat an-Nisa ayat 11 yang telah ditransformasi
kedalam pasal 176 KHI yang memberikan bagian seorang anak laki-laki seperti
bagian dua orang anak perempuan (2:1) tidaklah bersifat absolut manakala
keadilan menghendaki lain.
11. Bahwa penentuan porsi anak laki-laki 2:1 dengan anak perempuan pada
hakikatnya merupakan batas minimal yang harus diberikan dan diterima oleh
anak perempuan berdasarkan prinsip keadilan.
12. Bahwa menegakkan keadilan yang diperintahkan dalam al-Quran merupakan
hukum dasar (hukum ushuliyah) yang bersifat absolut sedang porsi pembagian
warisan anak laki-laki 2:1 dengan anak perempuan merupakan hukum terapan
(hukum furuiyah) sebagai cabangnya yang bersifat reatif karena bergantung pada
illatnya yaitu keadilan. Oleh sebab itu manakala hukum furuiyah tidak sesuai
dengan ushuliyah maka penerapan hukum furuiyah dapat saja berubah demi
terwujudnya keadilan yang merupakan hukum ushuliyah.
13. Bahwa oleh sebab yang absolut dalam al-Quran adalah menegakkan keadilan,
maka penerapan bagian anak laki-laki 2:1 dengan anak perempuan dilakukan
manakala keadilan menghendaki demikian dan dapat saja dilakukan pembagian
yang sama antara anak laki-laki dengan anak perempuan (1:1) manakala keadilan
menghendaki demikian.
77
14. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dan demi menegakkan
keadilan yang diperintahkan dalam al-Quran maka harta waris almarhum pewaris
dapat dibagi sama besar baik kepada ahli waris anak laki-laki maupun anak
perempuan.
Jika dilihat dari pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas maka dalam hal
ini hakim pada Pengadilan tingkat banding tidak sependapat dengan hakim pertama,
maka putusan hakim pertama harus dibatalkan.
Khusus mengenai besarnya bagian masing-masing ahli waris yang disamakan
besarnya antara anak laki-laki dengan anak perempuan, maka salah satu hakim
anggota majelis yang bernama Dra. Hj. Durrah Baraja, S.H., M. Hum. Menyatakan
tidak sependapat dengan pendapat dua anggota mejelis lainnya. Hal-hal yang menjadi
keberatan beliau terlampir. Dengan demikian, dalam musyawarah majelis untuk
perkara kewarisan ini telah terjadi ketidaksepakatan pendapat antara tiga orang
hakim. Ketidaksepakatan tersebut menimbulkan dua pendapat yang berbeda yaitu
yang menghendaki besar bagian anak laki-laki sama besar dengan bagian anak
prempuan dan pendapat yang tetap mempertahankan pembagian waris dengan porsi
2:1. Oleh karena putusan akhir merupakan hasil dari pendapat yang terbanyak dari
tiga anggota majelis tersebut, maka pendapat yang pertamalah yang diambil yakni
besar bagian anak laki-laki sama besar dengan bagian anak prempuan. Putusan seperti
ini sering disebut dengan istilah desinting opinion.
78
Kemudian, berdasarkan ketentuan pasala 181 ayat 1 HIR, oleh sebab dalam
perkara pembagian waris tidak ada pihak yang kalah maupun yang menang karena
masing-masing ahli waris mendapat bagiannya sendiri-sendiri dalam menurut hukum
Islam, maka biaya perkara pada tingkat pertama dibebankan kepada Penggugat dan
Tergugat, sedang biaya perkara pada tingkat banding dibebankan kepada Pembanding
dan Terbanding secara tanggung renteng.
C. Telaah Kritis Terhadap Perkara Pembagian Harta Waris Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
1. Persamaan dan Perbedaan Putusan Pengadilan Agama (PA) Jakarta
Timur dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Jakarta
a. Persamaan dan Tentang Hukumnya
No. PA Jakarta Timur PTA Jakarta Tentang Hukumnya 1 Mengabulkan gugatan
Penggugat sebagian Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian.
Karena gugatan Penggugat dalam provisi tidak diterima.
2 Menyatakan gugatan provisi para Penggugat tidak diterima.
Menyatakan gugatan provisi para Penggugat tidak diterima.
Sita jaminan atas harta pihak ketiga tidak dapat dilakukan sita (Pasal 197 ayat 8 HIR dan dwangsomnya tidak dimuat dalam posita sehingga menjadi cacat formal.
3 Menyatakan alm. H. Sarmada dan Hj. Hafsah sebagai Pewaris.
Menyatakan almarhum H. Sarmada dan Hj. Hafsah sebagai Pewaris.
Berdasarkan bukti (P.1, P.6) dan pengakuan Tergugat serta keterangan saksi.
4 Menetapkan ahli waris H. Sarmada dan Hj. Hafsah yaitu kedelapan anaknya.
Menetapkan ahli waris H. Sarmada dan Hj. Hafsah yaitu kedelapan anaknya.
Berdasarkan pengakuan Tergugat serta keterangan saksi-saksi yang saling bersesuaian.
5 Menetapkan harta peninggalan H. Sarmada dan Hj.Hafsah yang menjadi obyek sengketa.
Menetapkan harta peninggalan H. Sarmada dan Hj.Hafsah yang smenjadi obyek sengketa.
Berdasarkan bukti (T.1) yang telah dicocokkan dengan aslinya dan bermaterai cukup, telah memenuhi syarat formal
79
dan material serta berdasarkan pengakuan Tergugat dan keterangan saksi-saksi yang saling bersesuaian.
6 Menghukum Tergugat atau siapa saja yang menguasai obyek sengketa yang tersebut diatas untuk menyerahkan bagian para ahli waris lainnya. Apabila tidak dapat dibagi secara natural, maka dilelang atau dijual dan hasilnya dibagi untuk semua ahli waris.
Menghukum Tergugat atau siapa saja yang menguasai obyek sengketa yang tersebut diatas untuk menyerahkan bagian para ahli waris lainnya. Apabila tidak dapat dibagi secara natural, maka dilelang atau dijual dan hasilnya dibagi untuk semua ahli waris.
Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dan pertimbangan-pertimbangan lainnya yang dilakukan hakim.
b. Perbedaan dan Tentang Hukumnya
No. PA Jakarta Timur
Tentang Hukumnya PTA Jakarta Tentang Hukumnya
1 Menetapkan bagian ahli waris dengan asal masalah 11 yaitu untuk ahli waris laki-laki 2/11 dan untuk ahli waris perempuan 1/11.
Berdasarkan Firman Allah SWT Surat an-Nisa ayat 11.
Menetapkan bagian ahli waris dengan asal masalah 8 yaitu untuk ahli waris laki-laki 1/8 dan untuk ahli waris perempuan 1/8.
-Ketentuan surat an-Nisa ayat 11 tidak bersifat mutlak 2:1 melainkan berdasarkan asas keadilan sebagai illat hukum karena ketentuan ayat dimaksud dengan kata mitslu berarti relatif. -Bahwa illat hukum ahli waris anak laki-laki atas bagian anak perempuan merupakan budaya bangsa Arab. Keluarga muslim Indonesia umumnya bersifat bilateral hal ini dirumuskan dalam Pasal 45 dan 46 UU Perkawinan, maka tidak ada lagi membeda-
80
bedakan antara anak laki-laki dan perempuan.81
2 Menolak permohonan Penggugat untuk menetapkan ahli waris yang bernama Suryatman bin H. Sarmada berada dalam pengampuan Hj. Suryati binti H. Sarmada.
Pengampuan atau perwalian merupakan perkara tersendiri dan tidak bisa dikomulasi, karena diluar yang diatur dalam Pasal 86 ayat (1) UU No.7 Th 1989 yang telah diubah dengan UU No.3 Th 2006, maka sesuai Pasal 229 HIR penetapan pengampu harus diajukan perkara sendiri.
Mengabulkan Permohonan Terbanding yang dulunya Penggugat untuk menetapkan ahli waris yang bernama Suryatman bin H. Sarmada berada dalam pengampuan Hj. Suryati binti H. Sarmada dan bagian harta peninggalan yang menjadi hak Suryatman berada dan dikuasai serta diamanatkan kepada pengampunya.
Berdasarkan Bukti (P.8) Bahwa Suryatman Menderita Sakit Sehingga Tidak Cakap Melakukan Perbuatan Hukum, Dan Selama Ini Secara De Facto Telah Berada Dibawah Pengampuan Hj. Suryati Serta Tidak Ada Keberatan Dari Ahli Waris Yang Lain, Maka Demi kemaslahatan Suryatman permohonan dikabulkan.
3 Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.1.656.000,- (Satu juta enam ratus lima puluh enam ribu rupiah)
Berdasarkan Pasal 160 HIR biaya yang timbul dibebankan kepada Tergugat.
Menghukum seluruh ahli waris untuk membayar biaya perkara pada tingkat pertama dibebankan kepada Penggugat dan Tergugat sebesar Rp. 1.656.000,- (Satu juta enam ratus lima puluh enam ribu rupiah) sedang biaya perkara pada tingkat banding dibebankan kepada Pembanding dan Terbanding secara tanggung renteng sebesar Rp. 100.000,- (Seratus ribu rupiah).
Berdasarkan ketentuan Pasal 181 ayat (1) HIR, oleh sebab dalam perkara pembagian waris tidak ada pihak yang kalah dan yang menang karena masing-masing ahli waris mendapat bagiannya sendiri-sendiri, maka biaya perkara dari tingkat pertama sampai banding dibebankan kepada kedua belah pihak secara tanggung renteng.
81 Lihat pada halaman sebelumnya mengenai Analisis dan Pertimbangan Hakim Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta. h. 83-84 81
Setelah melihat table di atas dan membaca dua macam putusan Pengadilan
yang telah diuraikan sebelumnya, serta mengetahui letak persamaan dan perbedaan
dari kedua putusan itu, ada beberapa hal yang menggugah hati penulis untuk
menganalisa dan memberikan telaah kritis terhasdap putusan tersebut.
Dalam menganalisa putusan perkara diatas, ada 3 (tiga) hal yang menjadi
catatan besar. Pertama, mengenai ketidakjelasan apa yang menjadi keberatan
Pembanding yang dulu sebagai Tergugat terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta
Timur, karena pembanding tidak mencantumkan memori banding. Kedua, mengenai
pertimbangan hakim tingkat pertama yang menolak permohonan Penggugat untuk
menetapkam Pengampu bagi Suryatman. Ketiga, mengenai pertimbangan hakim
dalam memutuskan besar bagian masing-masing ahli waris dengan porsi sama besar.
Pertama, penulis berpendapat bahwa titik masalah dari gugatan yang diajukan
oleh Penggugat harus dipahami secara keseluruhan. Sebenarnya awal masalah
sengketa harta waris ini adalah sebagai berikut:
1. Terjadinya keterlambatan dalam pembagian harta warisan.
2. Munculnya kecurigaan telah terjadi penguasaan secara sepihak atas harta
warisan yang dilakukan oleh Tergugat.
Dari kedua faktor diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mencegah hal itu
terjadi Penggugat mengajukan gugatan kepada Pengadilan supaya harta peninggalan
tersebut bisa cepat dibagikan. Hal ini sesuai dengan pasal 188 KHI yang menyatakan
bahwa: “Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat
82
mengajukan permintaan kepada ahli waris lainnya untuk melakukan pembagian harta
warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka
yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk
dilakukan pembagian harta warisan”.
Keterlambatan pembagian harta warisan ini yang kemudian memicu banyak
masalah seperti yang dicantumkan dalam posita Penggugat. Selain terjadi
kesimpangsiuran kepemilikan atas harta, sisa penjualan rumah yang belum dibagikan,
juga mungkin timbul masalah mengenai hasil dari harta produktif yang akan dibagi
selama jarak waktu sebelum harta peninggalan dibagi. Misalnya hasil dari SPBU
milik Pewaris yang sekarang dikelola oleh Tergugat. Untuk menghindari banyak
permasalahan itulah, maka dalam hukum Islam mengajarkan agar warisan harus
segera diselesaikan bilamana Pewaris jelas sudah wafat. Bahkan dalam referensi-
referensi fikih klasik dikemukakan bahwa harta warisan sudah mulai berpindah hak
penguasaannya, meskipun belum sepenuhnya, semenjak Pewaris dalam keadaan sakit
keras yang membawa kematian. Sebagaimana Nabi SAW bersabda:
حدثنا موسى بن إسماعيل حدثنا وهيب حدثنا ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس رضي اهللا عنهم
82.…عن النبي صلى اهللا عليه و سلم قال ألحقوا الفرائض بأهلها:
Artinya: “Berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak….” (HR. Bukhari dan Muslim)
- اليمامة ، آثير ابن دار(، المختصر الصحيح الجامع; البخاري صحيح ،الجعفي البخاري عبداهللا أبو إسماعيل بن محمد 82
2483. ص‚ 6: األجزاء عدد ‚ )1987 – 1407 :بيروت
83
Kata al-Haqqu yang berarti berikanlah adalah fi’il amar yaitu kata perintah.
Kata tersebut mengandung makna perintah untuk menyegerakan pembagian harta
peninggalan. Penyegeraan pembagian ini bertujuan untuk menghindari munculnya
permasalahan dikemudian hari. Jadi inti dari isi gugatan yang diajukan Penggugat
adalah penyegeraan pembagian harta warisan bukan mempersoalkan diputus dengan
porsi 2:1 (baca: dua banding satu) atau 1:1 (satu banding satu). Dengan demikian
penuils sependapat dengan keberatan yang dikemukakan oleh Dra. Hj. Durrah Baraja,
S.H., M. Hum. Salah satu anggota majelis di Pengadilan tingkat banding.
Kedua, mengenai permohonan pengampuan yang tidak diterima oleh hakim
tingkat pertama. Untuk hal ini penulis berpendapat lain. Dasar hukum yang
digunakan sebagai dalil oleh hakim dalam menolak permohonan pengampuan yaitu
pasal 86 ayat 1 Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang
telah diubah menjadi Undang-undang No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Penulis berasumsi bahwa penggunaan pasal tersebut keliru karena dalam pasal itu
disebutkan :
(1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama
suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun
sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum.
Jadi menurut penulis, untuk masalah pengampuan ini terdapat dua pilihan.
Peratama, dapat dikomulasi dengan gugatan yang lain. Kedua, dapat diajukan
perkara sendiri.
84
Terlebih lagi kasus ini adalah mengenai perkara waris yang pembagiannya
harus disegerakan. Suryatman bin H. Sarmada adalah salah satu pewaris dari
almarhum H. Sarmada dan Hj. Hapsah. Dengan demikian, sudah pasti Suryatman
mendapat bagian dari harta peninggalan almarhum. Berdasarkan bukti P-8
disebutkan, Suryatman bin H. Sarmada tidak cakap melakukan perbuatan hukum
akibat gangguan syaraf yang dideritanya sejak kecil, sehingga kepadanya harus
ditetapkan perwalian yang nantinya memegang amanat atas bagian harta peninggalan
yang menjadi hak Suryatman bin H. Sarmada tanpa mengabaikan kebutuhan yang
wajar dari pemilik harta yang tidak cakap dalam mengelola harta itu. Dalam hal
perwalian ini Allah SWT berfirman dalam Surat an-Nisa (4) ayat 5:
⌧
☺
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya,83 harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”.
Oleh karena Suryatman bin H.Sarmada dipandang tidak mampu mengelola
hartanya, dan selama ini berada dibawah pengampuan Hj. Suryati binti H. Sarmada,
maka seharusnya hakim menerima permohonan tersebut dan menetapkan Hj. Suryati
binti H. Sarmada sebagai pengampu atas Suryatman bin H. Sarmada sebagaimana
83 Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum balig atau orang dewasa
yang tidak dapat mengatur harta bendanya. 85
yang tertera pada pasal 184 KHI tentang pengangkatan wali. Hal ini telah disepakati
pula oleh Penggugat dan Tergugat.
Ketiga, mengenai pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan dasar hukum
oleh hakim tingkat banding dalam menentukan bagian ahli waris laki-laki sama besar
dengan bagian perempuan, penulis tidak sependapat, maka hal ini perlu dikritisi.
Bila ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh, memang terdapat
ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil karena keadilan
dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat
menerima hak waris tetapi juga dikaitkan pada kegunaan dan kebutuhan. Dalam tafsir
al-Misbah dikatakan bahwa Lidzdzakari mitslu hazhzhil al-untsayain (bagian seorang
anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan) mengandung
penekanan pada bagian anak perempuan. Karena, dengan dijadikannya bagian anak
perempuan sebagai ukuran untuk anak laki-laki, itu berarti sejak semula seakan-akan
sebelum ditetapkannya hak anak laki-laki, hak perempuan telah terlebih dahulu ada.
Redaksi ini adalah untuk menjelaskan hak perempuan dalam memperoleh hak
waris.84
Dari penjelasan diatas boleh jadi bahwa al-Quran sebenarnya lebih berpihak
kepada perempuan yang lemah dari pada laki-laki. Bagaimana tidak, laki-laki
membutuhkan istri tetapi dia harus membelanjainya. Wanita juga membutuhkan
suami, tapi tidak wajib membelanjainya, bahkan perempuanlah yang harus dipenuhi
84 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Cet. 2, h. 434-435
86
kebutuhannya. Berangkat dari hal ini lah, maka sangat sulit mempersamakan antara
laki-laki dan perempuan.
Jika merujuk kepada teks keagamaan, baik al-Quran maupun Sunnah,
ditemukan tuntunan dan ketentuan hukum yang disesuaikan dengan kodrat, fungsi
dan tugas yang dibebankan kepada mereka.85 Pria dibebankan agama membayar
mahar, membelanjai istri dan anak-anaknya sedang perempuan tidak demikian. Jika
demikian maka bagian laki-laki yang dua kali lebih banyak dari perempuan
sebenarnya ditetapkan Allah SWT untuk dirinya dan istrinya. Seandainya dia tidak
wajib menafkahinya, maka setengah dari yang seharusnya dia terima itu dapat
mencukupinya. Disisi lain, bagian perempuan yang satu itu, sebenarnya cukup untuk
dirinya, sebagaimana kecukupan satu bagian untuk pria bila dia tidak menikah.
Apabila perempuan itu menikah, maka keperluan hidupnya ditanggung oleh suami,
sedang bagiannya yang satu dapat dia simpan tanpa dibelanjakan. Jadi, siapakah yang
habis dan siapa yang utuh bagiannya? Jelas laki-laki karena bagiannya harus dibagi
dua, sedang yang dimilki perempuan tidak digunakan sama sekali. Jika demikian
maka keberpihakan Allah SWT terhadap perempuan lebih berat dari pada
keberpihakan-Nya terhadap laki-laki.
Mengenai pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa dalam hukum
keluarga tidak ada ketentuan hukum yang mewajibkan ahli waris anak laki-laki
menanggung biaya ahli waris perempuan memang betul, akan tetapi menurut
85 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Cet. 2, h. 443
87
pendapat penulis hal tersebut bersifat kasuistik. Bila si ahli waris perempuan sudah
menikah dan masih mempunyai suami, berarti pernyataan tersebut benar, karena yang
menanggung biaya ahli waris perempuan yaitu suaminya. Tapi bila ahli waris
perempuannya janda, tidak memiliki pekerjaan, dan anaknya banyak, maka
seharusnya saudara laki-laki sekandungnya yang menanggung biaya hidup janda
tersebut beserta anak-anaknya, apabila dia mampu. Kemudian bila ahli waris
perempuannya masih belum menikah, tapi juga bukan janda, misalnya dia masih
memerlukan biaya untuk sekolah dan sebagainya, maka seharusnya saudara laki-laki
sekandungnya yang menanggung biaya hidupnya sampai dia menikah, karena saudara
laki-laki sekandungnya merupakan wali bagi si ahli waris perempuan, tetapai
memang dalam hukum keluarga Indonesia, jika saudara kandung laki-laki tidak
berbuat demikian, saudara perempuannya tidak dapat menuntutnya dimuka
Pengadilan. Meskipun demikian, pertimbangan hakim dalam hal ini menurut penulis
kurang tepat untuk digunakan sebagai dasar hukum dalam memberikan porsi 1:1
(baca: satu banding satu) terhadap bagian anak laki-laki dan anak perempuan.
Kemudian dalam pertimbangannya hakim Pengadilan tingkat banding juga
menggunakan pasal 45 dan 46 Undang-undang No.1 tahun 1974 sebagai dasar hukum
dalam menentukan besar bagian yang diperoleh ahli waris yakni sama besar, menurut
pendapat penulis itu kurang tepat karena kewajiban seorang anak terhadap orang tua
semasa hidup adalah berbakti kepadanya dengan cara berbuat baik, wajib
menghormatinya. Sebagaimana Allah SWT brfirman dalam al-Quran Surat Lukman
(31) ayat 14. 88
⌧
☺
Artinya:“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (QS. Lukman 31:14)
Sedangkan kewajiban seorang anak terhadap orang tuanya ketika dia
meninggal dalam KHI pasal 175 disebutkan:
1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai,
b. Menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan, perawatan, termasuk
kewajiban pewaris maupun menagih piutang,
c. Menyelesaikan wasiat pewaris, membagi harta warisan diantara ahli waris
yang berhak,
2) Tanggung jawab ahli waris terhadap utang atau kewajiban ahli waris hanya
terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.
Penulis berasumsi bahwa kewajiban anak terhadap orang tua ketika orang
tuanya meninggal dunia dalam hal kewarisan hanya sebatas menyelesaikan urusan
yang belum sempat almarhum selesaikan semasa hidupnya atau memang perkara
tersebut hanya bisa diselesaikan setelah Pewaris wafat, bukan menekankan kepada
jumlah bagian harta waris yang diperoleh ahli waris. Dalam melaksanakan kewajiban
terhadap orang tua porsi beban yang dipikul anak laki-laki sama dengan anak
89
perempuan, tetapi hal tersebut tidak lantas menjadi patokan dalam penerimaan hak
mereka sebagai ahli waris karena dengan sendirinya setiap ahli waris sudah
mempunyai bagiannya masing-masing. Hal ini sama seperti yang dikemukakan oleh
Bapak H. Abdillah, S.H. M.H. menurut beliau, pasal 45 dan 46 tersebut boleh
digunakan sebagai dasar hukum, tetapi kurang tepat karena pasal tersebut
menjelaskan mengenai kewajiban orang tua terhadap anak dan kewajiban anak
terhadap orang tuanya yang memang tidak ada pembedaan antara anak laki-laki dan
perempuan. Keduanya harus melaksanakan kewajibannya terhadap orang tua tanpa
ada pengecualian.86
Meskipun demikian, penulis juga tidak melupakan bahwa dalam hukum
kewarisan Islam dikenal istilah at-takharuj min at-tarikah yang merupakan
kesepakatan dalam usaha mewujudkan perdamaian, hal tersebut termaktub dalam
pasal 183 KHI, bahwa: “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian
dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”.
Apabila ada dari salah satu ahli waris merasa keberatan atas jumlah yang sudah
ditentukan Allah SWT, atau ada ahli waris yang dengan suka rela ingin memberikan
separoh dari bagian yang dia dapat kepada ahli waris lainnya, hal tersebut bisa
merubah ketentuan, asal ada kesepakatan dan dengan pembuktian yang jelas di muka
Pengadilan. Dalam memberikan pertimbangan hukum, seorang hakim harus melihat
hukum yang hidup (living law) dalam persidangan, sehingga untuk memutuskan adil
atau tidak harus dibuktikan dengan pembuktian yang jelas. Dengan demikian hakim
86 Abdillah, Hakim Pengadilan Jakarta Timur, Wawancara Pribadi, Jakarta, 02 Agustus 2010. 90
dapat mengetahui berapa bagian yang seharusnya didapat oleh si A, B dan C, maka
itulah yang dinamakan adil. Jadi, menurut penulis, apabila tidak ada diantara ahli
waris yang menyatakan keberatan yang disertai bukti yang jelas, maka hukum asal
2:1 (baca: dua banding satu) harus dilaksanakan, agar kita tidak mendapat siksa dari
Allah SWT karena telah merubah apa-apa yang sudah menjadi ketetapan-Nya, seperti
yang tercantum dalam al-Quran Surat an-Nisa ayat 14 yang telah dijelaskan
sebelumnya.
2. Analisa Perbandingan Antara Putusan Pengadilan Tingkat Pertama
Dengan Putusan Pengadilan Tingkat Banding Dikaitkan Dengan Teori
Dan Praktek
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam memutus perkara
pembagian hak waris anak terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai besar
bagiannya. Pertama, pendapat yang membagi besar bagian dengan porsi 2:1 (baca:
dua banding satu) sesuai dengan ketetapan Allah SWT dalam al-Quran Surat an-Nisa
ayat (11) dan Pasal 176 KHI. Kedua, yang membagi bagian dengan besar 1:1 (baca:
satu banding satu) berdasarkan kepada penafsiran secara kontekstual terhadap Surat
an-Nisa ayat 11 dan asas keadilan yang tidak membedakan hak dan kewajiban anak
laki-laki dengan anak perempuan. Masing-masing pendapat tersebut jelas mempunyai
alasan-alasan tersendiri. Menurut hakim yang memutus perkara ini pada Pengadilan
tingkat banding, besar bagian masing-masing ahli waris 1:1 tidak hanya berdasar
pada logika dan filsafat saja melainkan berdasarkan pada penafsiran secara
kontekstual terhadap al-Quran Surat an-Nisa (4) ayat 11 dan hal itu sesuai dengan 91
hukum kewarisan yang bersifat bilateral. Oleh karena pewarisan adalah pelanjutan
tanggung jawab dari Pewaris terhadap ahli warisnya, yang tidak membedakan faktor
kelamin, maka dalam penerimaan haknya pun tidak dibedakan antara laki-laki dan
perempuan. Hak dan kewajiban merupakan hukum taklifi yang dapat berubah sesuai
dengan illatnya (kemaslahatan).87
Apabila ditarik benang merah antara kajian hukum secara teoritis (law in
book) dengan kajian hukum dalam tataran praktis (law in action) mengenai
permasalahan kewarisan dan pembagiannya, banyak hal yang harus dicatat untuk
dapat menjawab rumusan masalah sejauh mana pembagian harta waris 2:1 (baca: dua
banding satu) yang terdapat dalam KHI dipergunakan secara mutlak di lingkungan
Pengadilan Agama.
Dalam Bab terdahulu telah dijelaskan bahwa yang dimaksud hukum
kewarisan dalam KHI pasal 171 huruf a yaitu: “Hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-
siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagiannya”. Kemudia pasal
176 KHI menyebutkan bahwa “Anak perempuan bila hanya seorang mendapat
separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga
bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki maka
bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan”.
87 Mukti Arto, Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, Wawancara Pribadi, Jakarta, 05
Agustus 2010. 92
Dalam prakteknya di Pengadilan, ketentuan KHI dipergunakan sebagai
rujukan bagi hakim dalam mengambil putusan. Dari beberapa putusan yang dijadikan
sampel, dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaannya di Pengadilan Agama
khususnya di Pengadilan Agama Jakarta Timur, putusan dalam perkara pembagian
harta warisan bagi anak laki-laki dan perempuan tidak keluar dari aturan KHI.
Namun, bukan berarti putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta menyalahi
ketentuan yang seharusnya melainkan hal tersebut didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan yang telah dilakukan oleh hakim pada tingkat banding.
Diantara fasktor yang dapat menggeser aturan hukum yang sudah ada menjadi
hukum baru untuk perkara kewarisan ini adalah adanya kesepakatan dan hibah yang
dapat diperhitungkan sebagai warisan (pasal 211 KHI). Kemudian Bapak Drs. A. H.
Mukti Arto, SH.M.Hum (ketua majelis pada pengadilan tingkat banding)
menambahkan selain kedua faktor diatas, aspek-aspek lain yang dapat mengubah
hukum adalah illat (alasan) hukum, faktor keadaan, waktu dan tempat. Sebagaimana
dalam kaidah fikih dikatan: Al-hukmu yadurru ma’a illati wujudan wa ‘adaman dan
Taghayirul ahkami bi taghayuri az-zamani wa makan. Hal ini didukung dari hasil
wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Hakim Pengadilan
Tinggi Agama Jakrta yang menangani perkara tersebut. Apabila ketetapan 2:1 (baca:
dua banding satu) dikaitkan dengan dengan konsep keadilan, pembagian tersebut
sudah cukup adil menurut hukum, akan tetapi mengingat semakin kompleksnya
kasus-kasus pembagian harta waris yang diajukan ke Pengadilan, maka kemungkinan
untuk keluar dari ketentuan dalam KHI pasti selalu ada. Dengan demikian diharapkan 93
94
jalur perdamaian dapat menjadi solusi terbaik dalam pembagian harta warisan
meskipun dalam pembagiannya keluar dari KHI.
Ketentuan pembagian harta warisan dalam KHI bukan merupakan sesuatu
yang tetap, tetapi dijadikan sebagai gambaran umum bagi Hakim dalam mengambil
putusan. Sehingga, dalam implementasinya di Pengadilan pembagian harta warisan
lebih bersifat fleksibel dan kasuistik, jadi hal itu tidak bersifat mutlak, melainkan
tergantung pada pertimbangan Hakim dalam melihat kasus yang terjadi. Hanya saja
diharapkan Pengadilan dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan
harapan para pihak.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukum kewarisan yang terdapat dalam pasal 171 huruf a KHI adalah “Hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
besar bagiannya”.
2. Besar bagian masing-masing ahli waris laki-laki dan perempuan dengan porsi
2:1 (baca: dua banding satu) yang terdapat pada pasal 176 KHI tidak
digunakan secara mutlak. Karena, dalam prakteknya di Pengadilan, ketentuan
KHI hanya dipergunakan sebagai rujukan bagi hakim dalam mengambil
putusan sesuai dengan jalannya persidangan. Sehingga, pembagian harta
warisan lebih bersifat fleksibel dan kasuistik.
3. Bila dikaitkan dengan konsep keadilan, pembagian harta waris anak laki-laki
dua kali lebih besar dari anak perempuan adalah adil menurut hukum
sepanjang tidak ada ahli waris yang keberatan dengan ketentuan tersebut.
4. Konsep keadilan menurut pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah
yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan pada kegunaan
dan kebutuhan. Karena menurut ketentuan hukum hal tersebut disesuaikan
dengan kodrat, fungsi, dan tugas yang dibebankan kepadanya, tetapi antara
keduanya harus saling meridhoi.
95
5. Faktor yang dapat menggeser aturan hukum yang sudah ada menjadi suatu
aturan hokum baru mengenai kewarisan adalah adanya kesepakatan, hibah
yang dapat diperhitungkan sebagai warisan, alasan hukum, waktu dan tempat.
6. Oleh karena bagian dengan porsi 2:1 (baca: dua banding satu) merupakan
aturan (rule) yang harus dipatuhi dan sebagai hukum asal dari pembagian
harta waris laki-laki dengan perempuan, maka hal tersebut harus lebih dulu
dilaksanakan. Kemudian, bila dalam prakteknya ada kesepakatan antar ahli
waris, atau ada yang merasa keberatan dengan ketentuan tersebut, maka
sebelum diputus dengan ketentuan yang keluar dari aturan yang semestinya,
maka harus dibuktikan dengan pembuktian yang jelas.
Kesimpulan diatas merupakan jawaban dari rumusan permasalahan yang
menjadi latar belakang penulisan skripsi ini. Meskipun dalam prosesnya banyak
kendala yang dihadapi, tetapi secara umum penulis merasa cukup puas dengan hasil
yang diperoleh, karena permasalahan yang selama ini menjadi pertanyaan bagi
penulis telah terjawab dengan penelitian ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan dalam berbentuk skripsi ini dapat
bermanfaat, khususnya bagi penulis, umumnya bagi siapa saja yang ingin
mempelajari ilmu, terutama ilmu hukum untuk merubah meneruskan reformasi
hukum Islam di negeri ini.
96
97
B. Saran
1. Diharapkan KHI dapat menjadi sumber hukum yang bersifat imperative bagi
Peradilan Agama, sehingga dapat meredam perbedaan pendapat terhadap
suatu putusan sesuai dengan tujuan awal dari pembentukan KHI itu sendiri.
2. Hendaknya hakim Pengadilan Agama memiliki interpretasi yang sejalan
dalam mengimplementasikan suatu aturan hukum terutama dalam mengenai
ketentuan besar bagian masing-masing ahli waris, sehingga tidak
menimbulkan disparitasnya putusan Pengadilan yang berakibat pada
ketidakpastiannya hukum.
3. Ketentuan mengenai kewarisan dalam KHI ini hendaknya disosialisasikan
oleh para praktisi hukum kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat
mengetahui akibat hukum dari timbulnya kewarisan.
4. Sebaiknya untuk menyelesaikan perkara kewarisan hendaknya masyarakat
menggunakan jalan kekeluargaan terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk
membawanya ke Pengadilan, agar silaturahmi antar keluarga tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1992.
Abta, Asyhari dan Abd. Syakur, Djunaidi. Ilmu Waris al-Faraidl, Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005.
Abu Zahrah, Muhammad. Usul Fikih. Penerjemah Saefullah Ma’sum, dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
٢: األجزاء عدد ‚ سياآشرآة النور ، البخاري.عبداهللا أبو إسماعيل بن محمد البخاري
Al-Fikri, Syarudin. “Menengok Riwayat Hukum Waris Dalam Islam”, Arikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-Islam/Islam-digest/10/04/19/112001-menengok-riwayat-hukum-waris-dalam-Islam.
ابن دار، المختصر الصحيح الجامع; البخاري صحيح .البخاري عبداهللا أبو إسماعيل بن محمد الجعفي 6: األجزاء عدد‚ 1987 – 1407 :بيروت - اليمامة ، آثير
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Pesnelitian, Jakarta: PT. Rinika Cipta, 1996.
Arman, Ayu. “Menyoal Keadilan Hak Waris Perempuan”, artikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari http:/mycompilation.blogspot.com/2010/07/menyoal-keadilan-hak-waris-perempuan.html.
Arto, Mukti. Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, Solo: Balqis
Queen, 2009.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Fiqhul Mawaris, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Asy-Syabuniy, Muhammad Ali. Hukum Waris Islam; al-Mawarits Fi Syar’iyati Islamiyah ‘Ala Dhauil Kitab Wa Sunnah, Surabaya: al-Ikhlas, 1995.
Baidlowi. Ketentuan Hak Waris Saudara Dalam Konteks Hukum Islam, Jakarta: Mimbar Hukum, 1999.
Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Djalil, A. Basiq. Peradilan Islam, 2007.
Djalil, A. Basiq. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Prenadia Group, 2006.
98
Ghazali, Syaikh Muhammad. Tafsir Tematik Dalam al-Quran, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
Hanan, Maftuh. Mutiara Hadits; Shahih Bukhary. Gresik: CV Bintang Pelajar, 1986
Harahap, Yahya. Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama;
Undang-undang No.7-Th 1989, Jakarta: Pustaka Kartini, 1997.
Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadits, Jakarta: PT Tinta Mas, 1982.
Hejazziey, Djawahir. Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: fakultas Syariah dan Hukum, 2007.
Ibrahim, Johny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Bayumedia, 2008.
Jumantoro, Totok dan Munir Amin, Samsul. Kamus Ilmu Ushul Fikih,, Jakarta: Sinar Grafika Offset,2005.
Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004.
M. Manulang, E. Fernando. Menggapai Hukum Berkeadilan; Tinjauan Hukum Kodrat dan Anatomi Nilai, Jakarta: Kompas, 2007.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata,.
Martokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Press, 1985.
Marwan, M dan P, Jimmy. Kamus Hukum; Dictionary of Law Complete Edition, Surabaya: Reality Publisher, 2009.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2007.
Mubarok, Elfindi Nurfitri. Penyelesaian Gugatan Kewarisan Anak Perempuan Dengan Saudara Kandung, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Nasuhi, Hamid. Dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; Skripsi, Tesis, dan Disertasi, Jakarta: CeQda, 2007.
Nurmalia, Eli. Respon Perempuan Terhadap System Pembagian Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
99
100
Oeripkartawinata, Iskandar dan Sutantio, Retno Wulan. Hukum Acara Perdata ; Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2005.
Quraish Shihab, M. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Ramulyo, Idris. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam: di Pengadilan Agama dan Kewarisan Menurut Undang-undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya.
Rasyid, A. dan Raihan. Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Rasyid, Chatib dan Syaifudin. Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek Pada Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2009.
Salman, Otje. Hukum Waris Islam, Bandung: Rafika aditama, 2002.
Syarifudin, Amir. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana Press, 2004. Thalib, Sayuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
1993.
Tjitrosudibio, R. dan Subekti, R Kitab Undang-undang Hukum Perdata: Burgerlijk Wetboek Dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria Dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Pradnya Paramita, 2007.
Wawancara Pribadi dengan Abdillah. Jakarta, 02 Agustus 2010.
Wawancara Pribadi dengan Mukti Arto. Jakarta, 05 Agustus 2010.