CSS Sindrom Koroner Akut.pdf

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ebook

Citation preview

  • 1

    Sindrom Koroner Akut

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Pendahuluan

    Penyakit jantung koroner ialah suatu penyakit yang sangat umum terjadi dan merupakan penyebab

    kematian nomor satu di negara-negara maju. Di Indonesia dengan makin berkembangnya tingkat

    kesejahteraan masyarakat sejalan dengan lajunya pembangunan, sudah dapat diramalkan penyakit ini juga

    akan menjadi penyebab kematian nomor satu.6

    Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada

    tahun 1992 menunjukkan bahwa penyebab kematian utama di Indonesia terutama di kota besar adalah

    penyakit kardiovaskuler. Sedangkan SKRT yang dilakukan pada tahun 1972, penyakit kardiovaskuler baru

    menduduki urutan ke 11.6

    Operasi jantung koroner yang dilakukan di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta mencapai lebih dari

    200 kasus pada tahun 1992 dibandingkan hanya 20-30 kasus pada tahun 1984. Ini belum termasuk kasus-

    kasus yang berobat di luar negeri dan angioplasti.6

    Di Rumah Sakit Jantung Rajawali Bandung, kasus penyakit jantung koroner yang berupa infark

    miokard pada tahun 1992 meningkat menjadi rata-rata 1,5-2 kasus per hari, dibandingkan 0,5-1 kasus per

    hari pada tahun 1990.6

    1.2. Epidemiologi

    Data penelitian Framingham di Amerika Serikat yang didapat pada tahun 1950 dan 1960

    menunjukkan bahwa dari empat pria dengan angina, satu orang akan mengalami infark miokard dalam

    waktu 5 tahun. Sedangkan untuk wanita resikonya hanya setengah dari itu.5

    Penelitian menunjukkan pula bahwa penderita yang simtomatis prognosisnya lebih daripada yang

    penderita yang asimtomatis. Data saat ini menunjukkan bahwa bila penderita asimtomatis atau dengan

    simtom ringan, kematian tahunan pada penderita dengan pada satu dan dua pembuluh darah koroner adalah

    1,5 % dan kira-kira 6 % untuk lesi pada tiga pembuluh darah koroner. Kalau pada golongan terakhir ini

    kemampuan latihan (exercise capacity) penderita baik, kematian tahunan adalah 4 % dan bila ini tidak baik

    kematian tahunannya kira-kira 9 %, karena itu penderita harus dipertimbangkan untuk revaskularisasi.5

    Data dari Coronary Artery Surgery Study (CASS) telah menunjukkan hubungan antara jumlah

    pembuluh darah koroner yang terlibat, banyak stenosis di pembuluh darah koroner bagian proksimal serta

    kemunduran kemampuan fungsi ventrikel kiri sebagai tanda prognosis tidak baik.5

    Survey Kesehatan Rumah Tangga Nasional Departemen Kesehatan 1996 melaporkan angka

    kematian di daerah perkotaan dan di pedesaan untuk penyakit jantung koroner masing-masing 53,5 dan

  • 2

    24,6 per 100.000 penduduk. Ini relatif masih rendah dibandingkan negara maju. Sebagai gambaran, negara

    tetangga kita Singapura mempunyai angka kematian untuk penyakit jantungkoroner sebanyak 215 per

    100.00 penduduk pada tahun 1994.5

    BAB II

    PEMBAHASAN

    2.1. Definisi

    Sindrom koroner akut adalah gabungan gejala klinik yang menandakan iskemia miokard akut,

    yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST segment elevation myocardial

    infarction = STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (non ST segment elevation myocardial

    infarction = NSTEMI), dan angina pectoris tidak stabil (unstable angina pectoris = UAP). Ketiga kondisi

    tersebut berkaitan erat, hanya berbeda dalam derajat beratnya iskemia dan luasnya jaringan miokardiaum

    yang mengalami nekrosis.4

    UAP dan NSTEMI merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan

    gambaran klinis. Perbedaan antara angina pectoris tidak stabil (UAP) dengan infark miokard akut tanpa

    elevasi segmen ST (NSTEMI) adalah apakah iskemi yang ditimbulkan cukup berat sehingga dapat

    menimbulkan kerusakan miokardium, sehingga adanya marker kerusakan miokardium dapat diperiksa.4

    2.2. Faktor Resiko

    Dewasa ini ditemukan banyak faktor yang saling berkaitan dalam mempercepat proses aterogenik.

    Telah ditemukan beberapa faktor yang dikenal sebagai faktor risiko yang meningkatkan kerentanan

    terhadap terjadinya aterosklerosis koroner pada individu tertentu. Ada empat faktor risiko biologis yang tak

    dapat diubah, yaitu : usia, jenis kelamin, ras dan riwayat keluarga. Faktor-faktor risiko tambahan lainnya

    masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor risiko

    tersebut adalah merokok, peningkatan kadar lipid serum, hipertensi, gangguan toleransi glukosa, dan

    obesitas.3

    2.2.1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi

    1. Usia

    Kerentanan yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Tetapi hubungan antara usia dan

    timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lama paparan yang lebih panjang terhadap

    faktor-faktor aterogenik.3

    2. Jenis kelamin

    Kejadian penyakit koroner relatif lebih rendah pada wanita sampai menopause, setelah menopause

    kerentanannya menjadi sama dengan pria. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai

    penjelasan adanya imunitas wanita sebelum menopause.3

  • 3

    3. Ras

    Orang Amerika-Afrika lebih rentan tehadap aterosklerosis daripada orang kulit putih.3

    4. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner

    Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (yaitu saudara atau orang tua

    yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya

    aterosklerosis prematur. Besarnya pengaruh genetik dan lingkungan belum diketahui. Komponen

    genetik dapat dikaitkan pada beberapa bentuk aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat

    perkembangannya, seperti pada gangguan lipid familial. Tetapi riwayat keluarga dapat pula

    mencerminkan komponen lingkungan yang kuat, seperti gaya hidup yang menimbulkan stres atau

    obesitas.3

    2.2.2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi

    1. Merokok

    Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung terhadap dinding arteri.

    Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebabkan

    mobilisasi katekolamin yang dapat menambahkan reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan

    pada dinding arteri, sedangkan glikoprotein tembakau dapat mengakibatkan reaksi hipersensitif

    dinding arteri.7

    2. Hiperlipidemia

    Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam lemak bebas) berasal dari makanan

    (eksogen) dan sintesis lemak endogen. Kolesterol dan trigliserida adalah dua jenis lipd yang relatif

    mempunyai makna klinis yang penting sehubungan dengan aterogenesis. Lipid terikat pada

    protein, karena lipid tidak larut dalam plasma. Ikatan ini menghasilkan empat kelas utama

    lipoprotein, yaitu; kilomikron, VLDL, LDL dan HDL. LDL paling tinggi kadar kolesterolnya,

    sedangkan kilomikron dan VLDL kaya akan trigliserida. Kadar protein tertinggi terdapat pada

    HDL.7

    Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit jantung koroner,

    sementara kadar HDL yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung penyakit jantung koroner,

    sebaliknya kadar HDL yang rendah ternyata bersifat aterogenik. Rasio kadar LDL dan HDL dalam

    darah mempunyai makna klinis untuk terjadinya aterosklerosis.7

    3. Hipertensi

    Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah dari

    ventrikel kiri, akibatnya beban kerja jantung bertambah. Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi

    ventrikel untuk menguatkan kontraksi. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan

    curah jantung dengan hipertropi kompensasi akhirnya terlampaui , tejadi dilatasi dan payah

    jantung. Jantung jadi semakin terancam dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan oksigen

  • 4

    miokardium meningkat sedangkan suplai oksigen tidak mencukupi, akhirnya mengakibatkan

    iskemia. Kalau berlangsung lama bisa menjadi infark. 7

    Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah akibat tekanan

    tinggi yang lama (endothelial injury).7

    4. Diabetes Mellitus

    Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL dari sirkulasi akan di bawa ke hepar.

    Pada penderita diabetes mellitus, degradasi LDL di hepar menurun, dan gikolasi kolagen

    meningkat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya LDL yang berikatan dengan dinding vaskuler.7

    5. Obesitas

    Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri, karena pada umumnya selalu

    diikuti oleh faktor resiko lainnya.7

    2.3. Faktor Predisposisi

    1. Hipertensi

    Selain dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah akibat tekanan tinggi yang lama.

    Hipertensi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya rupturnya plak pada pembuluh darah.1

    2. Anemia

    Adanya anemia mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan, termasuk ke jaringan

    jantung. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, jantung dipacu untuk meningkatkan cardiac ouput.

    Hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen di jantung meningkat. Ketidakseimbangan kebutuhan

    dan suplai oksigen mengakibatkan gangguan pada jantung.1

    3. Kerja fisik / olahraga

    Pada aktivitas fisik yang meningkat, kebutuhan oksigen terhadap jaringan dan miokardium

    meningkat. Adanya aterosklerosis mengakibatkan suplai oksigen tidak mencukupi, akhirnya

    mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa terjadi infark.1

    2.4. Patogenesis

    Mekanisme umum terjadinya SKA adalah ruptur atau erosi lapisan fibrotik dari plak arteri

    koronaria. Hal ini mengawali terjadinya agregasi dan adhesi platelet, trombosis terlokalisir, vasokonstriksi,

    dan embolisasi trombus distal. Keberadaan kandungan lipid yang banyak dan tipisnya lapisan fibrotik,

    menyebabkan tingginya resiko ruptur plak arteri koronaria. Pembentukan trombus dan terjadinya

    vasokonstriksi yang disebabkan pelepasan serotonin dan tromboxan A2 oleh platelet mengakibatkan

    iskemik miokardium yang disebabkan oleh penurunan aliran darah koroner.4 Aterosklerosis adalah

    bentuk arteriosklerosis dimana terjadi penebalan dan pengerasan dari dinding pembuluh darah yang

    disebabkan oleh akumulasi makrofag yang berisi lemak sehingga menyebabkan terbentuknya lesi yang

    disebut plak. Aterosklerosis bukan merupakan kelainan tunggal namun merupakan proses patologi yang

    dapat mempengaruhi system vaskuler seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan sindroma iskemik yang

  • 5

    bervariasi dalam manifestasi klinis dari tingkat keparahan. Hal tersebut merupakan penyebab utama

    penyakit arteri koroner.1

    Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis. Inflamasi dengan stress

    oksidatif dan aktivasi makrofag adalah mekanisme primer. Diabetes mellitus, merokok, dan hipertensi

    dihubungkan dengan peningkatan oksidasi LDL yang dipengaruhi oleh peningkatan kadar angiotensin II

    melalui stimulasi reseptor AT-I. Penyebab lain dapat berupa peningkatan C-reactive protein, peningkatan

    fibrinogen serum, resistensi insulin, stress oksidatif, infeksi dan penyakit periodontal. 1

    LDL teroksidasi bersifat toksik terhadap sel endotel dan menyebabkan proliferasi sel otot polos,

    aktivasi respon imun dan inflamasi. LDL teroksidasi masuk ke dalam tunika intima dinding arteri kemudian

    difagosit oleh makrofag. Makrofag yang mengandung oksi-LDL disebut foam cell berakumulasi dalam

    jumlah yang signifikan maka akan membentuk jejas fatty streak. Pembentukan lesi tersebut dapat

    ditemukan pada dinding pembuluh darah sebagian orang termasuk anak-anak. Ketika terbentuk, fatty streak

    memproduksi radikal oksigen toksik yang lebih banyak dan mengakibatkan perubahan inflamasi dan

    imunologis sehingga terjadi kerusakan yang lebih ptogresif. Kemudian terjadi proliferasi sel otot polos,

    pembentukan kolagen dan pembentukan plak fibrosa di atas sel otot polos tersebut. Proses tersebut

    diperantarai berbagai macam sitokin inflamasi termasuk growth factor (TGF beta). Plak fibrosa akan

    menonjol ke lumen pembuluh darah dan menyumbataliran darah ysng lebih distal, terutama pada saat

    olahraga, sehingga timbul gejala klinis (angina atau claudication intermitten).1

    Banyak plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak menimbulkan gejala klinis sampai

    plak tersebut mengalami ruptur. Ruptur plak terjadi akibat aktivasi reaksi inflamasi dari proteinase seperti

    metalloproteinase matriks dan cathepsin sehingga menyebabkan perdarahan pada lesi. Plak atherosklerosis

    dapat diklasifikasikan berdasarkan strukturnya yang memperlihatkan stabilitas dan kerentanan terhadap

    ruptur. Plak yang menjadi ruptur merupakan plak kompleks. Plak yang unstable dan cenderung menjadi

    rupture adalah plak yang intinya banyak mengandung deposit LDL teroksidasi dan yang diliputi oleh

    fibrous caps yang tipis. Plak yang robek (ulserasi atau rupture) terjadi karena shear forces, inflamasi

    dengan pelepasan mediator inflamasi yang multiple, sekresi macrophage-derived degradative enzyme dan

    apotosis sel pada tepi lesi. Ketika rupture, terjadi adhesi platelet terhadap jaringan yang terpajan, inisiasi

    kaskade pembekuan darah, dan pembentukan thrombus yang sangat cepat. Thrombus tersebut dapat

    langsung menyumbat pembuluh darah sehingga terjadi iskemia dan infark.1

  • 6

    Gambar 1: Pathogenesis unstable plaque dan pembentukan thrombus

    2.5. Patofisiologi

    Proses progresifitas dari plak atherosklerotik dapat terjadi perlahan-lahan. Namun, apabila terjadi

    obstruksi koroner tiba-tiba karena pembentukan thrombus akibat plak aterosklerotik yang rupture atau

    mengalami ulserasi, maka terjadi sindrom koroner akut.1

    - Unstable angina : adalah akibat dari iskemi miokard reversibel dan dapat mencetuskan terjadinya infark.1

    - Infark miokard : terjadi apabila iskemia yang berkepanjangan menyebabkan kerusakan ireversibel dari

    otot jantung. 1

    Atherosclerotic plaque with a lipid-rich core and thin

    fibrous cap

    Shear forces, inflammation, apoptosis, macrophage-

    derived degradative enzymes

    Increased inflammation with release of multiple cytokines,

    platelet activation and adherence, production of

    thrombin and vasoconstrictors

    Rupture of plaque

    Thrombus formation over lesion plus vasoconstriction of vessel

    Acute decrease in coronary blood flow

    Unstable angina or myocardial infarction

  • 7

    Gambar 2 : Patofisiologi Sindrom Koroner Akut

    2.5.1. Unstable angina

    Muncul akibat berkurangnya suplai oksigen dan/atau peningkatan kebutuhan oksigen

    jantung (cth karena takikardi atau hipertensi). Berkurangnya suplai oksigen terjadi karena adanya

    pengurangan diameter lumen pembuluh darah yang dipengaruhi oleh vasokonstriktor dan/atau

    thrombus. Pada banyak pasien unstable angina, mekanisme berkurangnya suplai oksigen lebih

    banyak terjadi dibandingkan peningkatan oksigen demand. Tetapi pada beberapa kasus, keduanya

    dapat terjadi secara bersamaan. 2

    Ruptur Plak

    Ruptur dari plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting dari angina pektoris tak

    stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya

    mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami rutur

    sebelumnya mempunyai penyempitan 50 % atau kurang, dan pada 97 % pasien dengan angina tak

    Atherosclerotic plaque partially obstructs coronary blood flow

    Stable plaque

    Stable angina

    Unstable plaque with ulceration or rupture and thrombosis

    Acute coronary syndromes

    Trancient ischemia

    Sustained ischemia

    Unstable angina Myocardial infarction

    Myocardial inflammation and necrosis

    Stunned myocytes

    Hibernating myocytes

    Myocardial remodeling

  • 8

    stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70 %. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang

    mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic cap). Plak yang tidak stabil

    terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofage. Biasanya

    ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari

    timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah Karen

    adanya enzim protease yang dihasilkan makrofage dan secara enzimatik melemahkan dinding plak

    (fibrous cap).2

    Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan

    aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh darah 100 % akan terjadi

    infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya

    menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.2

    Trombosis dan Agregasi Trombosit

    Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya

    angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena integrasi yang

    terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting

    dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam

    cell) yang ada dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan

    berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan

    pembentukan trombin dan fibrin.2

    Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet

    melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan

    pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya

    hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermitten, pada angina

    tak stabil.2

    Vasospasme

    Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil.

    Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan

    dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasm. Spasm yang terlokalisir

    seperti pada angina Prinzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasm

    seringkali terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai peran pembentukan trombus.2

    Erosi pada Plak tanpa Ruptur

    Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi

    dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi

  • 9

    karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan

    keluhan iskemi.2

    2.5.2. Infark miokard

    Ketika aliran darah koroner terganggu pada waktu tertentu, dapat terjadi nekrosis sel

    miosit. Hal tersebut disebut infark miokard. Gangguan, progresivitas plak, dan pembentukan klot

    lebih lanjut yang terjadi pada MI sama halnya seperti yang terjadi pada sindrom koroner akut yang

    lainnya. Namun, pada MI trombusnya lebih labil dan dapat menyumbat pembuluh darah dalam

    waktu yang lebih lama, sehingga iskemia miokardial dapat berkembang menjadi nekrosis dan

    kematian miosit. Jika thrombus lisis sebelum terjadinya nekrosis jaringan distal yang komplet,

    infark yang terjadi hanya melibatkan miokardium yang berada langsung di bawah endokardium

    (subendocardial MI).2

    Jika thrombus menyumbat pembuluh darah secara permanent, maka infarknya dapat

    memanjang hingga epikardium sehingga menyebabkan disfungsi jantung yang parah (transmural

    MI). Secara klinis, MI transmural harus diidentifikasi, karena dapat menyebabkan komplikasi

    yang serius dan harus mendapat terapi yang segera.2

    Jejas Selular

    Sel jantung dapat bertahan terhadap iskemi hanya dalam waktu 20 menit sebelum

    mengalami kematian. Perubahan EKG hanya terlihat pada 30-60 detik setelah hipoksia. Bahkan

    jika telah terjadi perubahan metabolisme yang non fungsional, sel miosit tetap viable jika darah

    kembali dalam 20 menit. Penelitian menunjukkan bawa sel miosit dapat beradaptasi terhadap

    perubahan suplai oksigen. Proses tersebut dinamakan ischemic preconditioning. Setelah 8-10 detik

    penurunan aliran darah, miokardium yang terlibat menjadi sianotik dan lebih dingin. Glikolisis

    anaerob yang terjadi hanya dapat mensuplai 65-70% dari kebutuhan energi, karena diproduksi

    ATP yang lebih sedikit daripada metabolisme aerob. Ion hydrogen dan asam laktat kemudian

    berakumulasi sehingga terjadi asidosis, dimana sel miokardium sangat sensitif pada pH yang

    rendah dan memiliki sistem buffer yang lemah. Asidosis menyebabkan miokardium menjadi

    rentan terhadap kerusakan lisosom yang mengakibatkan terganggunya fungsi kontraktilitas dan

    fungsi konduksi jantung sehingga terjadi gagal jantung. Kekurangan oksigen juga disertai

    gangguan elektrolit Na, K, dan Mg. secara normal miokardium berespon terhadap kadar

    katekolamin (epinefrin dan norepinefrin/NE) yang bervariasi. Pada sumbatan arteri yang

    signifikan, sel miokardium melepaskan katekolamin sehingga terjadi ketidakseimbangan fungsi

    simpatis dan parasimpatis, disritmia dan gagal jantung. Katekolamin merupakan mediator

    pelepasan dari glikogen, glukosa dan cadangan lemak dari sel tubuh. Oleh karena itu terjadi

    peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol plasma dalam satu jam setelah timbulnya

    miokard akut. Kadar FFA (Free Fatty Acid) yang berlebih memiliki efek penyabunan terhadap

  • 10

    membran sel. NE meningkatkan kadar glukosa darah melalui perangsangan terhadap sel hepar dan

    sel otot. NE juga menghambat aktivitas sel beta pankreas sehingga produksi insulin berkurang dan

    terjadi keadaan hiperglikemia. Hiperglikemia terjadi setelah 72 jam onset serangan.2

    Angiotensin II yang dilepaskan selama iskemia miokard berkontribusi dalam patogenesis MI,

    dengan cara yaitu:

    1. Efek sistemik dari vasokonstriksi perifer dan retensi cairan sehingga meningkatkan beban

    jantung, akibatnya memperparah penurunan kemampuan kontraktilitas jantung.2

    2. Angiotensin II mempunyai efek lokal yaitu sebagai growth factor sel otot polos pembuluh

    darah, miosit dan fibroblast jantung, sehingga merangsang peningkatan kadar

    katekolamin dan memperparah vasospasme koroner.2

    Kematian selular

    Iskemia miokard yang berlangsung lebih dari 20 menit merupakan jejas hipoksia

    irreversible yang dapat menyebabkan kematian sel dan nekrosis jaringan. Nekrosis jaringan

    miokardium dapat menyebabkan pelepasan beberapa enzim intraseluler tertentu melalui

    membrane sel yang rusak ke dalam ruang intersisisal. Enzim yang terlepas kemudian diangkut

    melalui pembuluh darah limfe ke pembuluh darah. Sehingga dapat terdeteksi oleh tes serologis.2

    Perubahan fungsional dan structural

    Infark miokardial menyebabkan perubahan fungsional dan struktural jantung. Perubahan

    tersebut dapat dilihat pada table di bawah ini.2

    Waktu

    setelah MI

    Perubahan Jaringan Tahapan Proses Pemulihan

    6-12 jam Tidak ada perubahan makroskopis;

    sianosis subseluler dengan penurunan

    temperatur

    Belum dimulai

    18-24 jam Pucat sampai abu-kecoklatan; slight

    pallor

    Respon inflamasi; pelepasan

    enzim intraseluler

    2-4 hari Tampak nekrosis; kuning-coklat di

    tengah dan hiperemis di sekitar tepi

    Enzim proteolitik dipindahkan

    oleh debris; katekolamin,

    lipolisis, dan glikogenolisis

    meningkatkan glukosa plasma

    dan FFA untuk membantu

    miokard keluar dari anaerobic

    state

    4-10 hari Area soft, dengan degenerasi lemak di

    tengah, daerah perdarahan pada area

    Debris telah dibersihkan;

    collagen matrix laid down

  • 11

    infark

    10-14 hari Weak, fibrotic scar tissue dengan awal

    revaskularisasi

    Penyembuhan berlanjut namun

    area sangat lunak, mudah

    dipengaruhi stress

    6 minggu Jaringan parut biasanya telah komplit Jaringan parut kuat yang tidak

    elastis menggantikan

    miokardium yg nekrosis

    Perubahan makroskopis pada daerah infark tidak akan terlihat dalam beberapa jam.

    Walaupun dalam 30-60 detik terjadi perubahan EKG. Miokardium yang infark dikelilingi oleh

    zona jejas hiposia yang dapat berkembang menjadi nekrosis, kemudian terjadi remodeling atau

    menjadi normal kembali. Jaringan jantung yang dikelilingi daerah infark juga mengalami

    perubahan yang dapat dikategorikan ke dalam2:

    1. Myocardial stunning, yaitu kehilangan sementara fungsi kontraktilitas yang berlangsung

    selama beberapa jam beberapa hari setelah perfusi kembali normal.2

    2. Hibernating myocardium, yaitu jaringan yang mengalami iskemi persisten dan telah

    mengalami adaptasi metabolik.2

    3. Myocardial remodeling, adalah suatu proses yang diperantarai Angiotensin II, aldosteron,

    katekolamin, adenosine dan sitokin inflamasi yang menyebabkan hipertrofi miositdan

    penurunan fungsi kontraktilitas pada daerah jantung yang jauh dari lokasi infark.2

    Semua perubahan di atas dapat dibatasi melalui restorasi yang cepat dari aliran

    koronerdan penggunaan ACE-inhibitor dan beta blocker setelah MI. Tingkat keparahan gangguan

    fungsi tersebut dipengaruhi oleh ukuran dan lokasi infark. Perubahan fungsional termasuk: (1).

    Penurunan kontraktilitas jantung dengan gerak dinding jantung abnormal, (2). Perubahan

    compliance dari ventrikel kiri, (3). Penurunan stroke volume, (4). Penurunan fraksi ejeksi, (5).

    Peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri, (6). Malfungsi dari SA node, (7). Disritmia

    yang mengancam jiwa dan gagal jantung sering menyertai MI.2

    Fase Perbaikan

    Infark miokard menyebabkan respon inflamasi yang parah yang diakhiri dengan

    perbaikan luka. Perbaikan terdiri dari degradasi sel yang rusak, proliferasi fibroblast dan sintesis

    jaringan parut. Banyak tipe sel, hormone, dan substrat nutrisi harus tersedia agar proses

    penyembuhan dapat berlangsung optimal. Dalam 24 jam terjadi infiltrasi lekosit dalam jaringan

    nekrotik dan degradasi jaringan nekrotik oleh enzim proteolisis dari neutrofil scavenger. Fase

    pseudodiabetik sering timbul oleh karena lepasnya katekolamin dari sel yang rusak yang dapat

    menstimulasi lepasnya glukosa dan asam lemak bebas. Pada minggu kedua, terjadi sekresi insulin

    yang meningkatkan pergerakan glukosa dan menurunkan kadar gula darah. Pada 10-14 hari

  • 12

    setelah infark terbentuk matriks kolagen yang lemah dan rentan terhadap jejas yang berulang. Pada

    masa itu, biasanya individu merasa sehat dan meningkatkan aktivitasnya kembali sehingga proses

    penyembuhan terganggu. Setelah 6 minggu, area nekrosis secara utuh diganti oleh jaringan parut

    yang kuat namun tidak dapat berkontraksi seperti jaringan miokardium yang sehat.2

    BAB III

    DIAGNOSIS

    Diagnosis angina pectoris tidak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi sedangkan tidak ada

    kenaikan troponin maupun CK-MB dengan ataupun tanpa perubahan EKG untuk iskemi, seperti adanya

    depresi segmen ST ataupun elevasi yang sebentar atau adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan

    enzim biasanya dalam waktu 12 jam, maka pada tahap awal serangan angina pectoris tidak stabil seringkali

    tak bisa dibedakan dari NSTEMI.2

    3.1. Diagnosis dan Gambaran Klinis Angina Pektoris Tidak Stabil

    Anamnesis merupakan hal yang sangat penting. Penderita yang datang dengan keluhan utama

    nyeri dada atau nyeri ulu hati yang hebat, bukan disebabkan oleh trauma, yang mengarah pada iskemia

    miokardium, pada laki-laki terutama berusia > 35 tahun atau wanita terutama berusia > 40tahun,

    memerlukan perhatian khusus dan evaluasi lebih lanjut tentang sifat, onset, lamanya, perubahan dengan

    posisi, penekanan, pengaruh makanan, reaksi terhadap obat-obatan, dan adanya faktor resiko. Wanita

    sering mengeluh nyeri dada atipik dan gejala tidak khas, penderita diabetes mungkin tidak menunjukkan

    gejala khas karena gangguan saraf otonom.

    Nyeri pada SKA bersifat seperti dihimpit benda berat, tercekik, ditekan, diremas, ditikam, ditinju,

    dan rasa terbakar. Nyeri biasanya berlokasi di blakang sternum, dibagian tengah atau dada kiri dan dapat

    menyebar keseluruh dada, tidak dapat ditunjuk dengan satu jari. Nyeri dapat menjalar ke tengkuk, rahang,

    bahu, punggung, lengan kiri atau kedua lengan. Lama nyeri > 20menit, tidak hilang setelah 5 menit istirahat

    atau pemberian nitrat.2

    Keluhan pasien umumnya berupa

    - Resting angina : terjadi saat istirahat berlangsung > 20 menit

    - New onset angina : baru pertama kali timbul, saat aktivitas fisik sehari-hari, aktifitas ringan/ istirahat

    - Increasing angina : sebelumnya usah terjadi, menjadi lebih lama, sering, nyeri atau dicetuskan aktivitas

    lebih ringan.

    Keluhan SKA dapat berupa rasa tidak enak atau nyeri di daerah epigastrium yang tidak dapat

    dijelaskan sebabnya dan dapat disertai gejala otonom sesak napas, mual sampai muntah, kadang-kadang

    disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.

  • 13

    3.1.1. Pemeriksaan Penunjang

    3.1.1.1.Elektrokardiografi (ECG)

    Pemeriksaan ECG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien angina

    tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukan kemungkinan adanya iskemi atau NSTEMI.

    Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0.5mm dan

    gelombang T negatif kurang dari 2mm, tidak spesifik untuk iskemi, dan dapat disebabkan karena hal lain.

    Pada angina tak stabil 4% mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6% ECG juga normal.2

    3.1.1.2.Exercise test

    Pemeriksaan EKG tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil secara lansung. Tetapi

    bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya mitral insuffisiensi dan abnormalitas gerakan

    dinding reginal jantung, menandakan prognosis kurang baik. Stress ekokardiografi juga dapat membantu

    menegakkan adanya iskemi miokardium.2

    3.1.1.3. Pemeriksaan laboratorium

    Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima sebagai petanda paling

    penting dalam diagnosis SKA. Menurut European Society of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap adanya

    mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif sampai 2 minggu. Risiko

    kematian bertambah dengan tingkat kenaikan troponin. 2

    CKMB kurang spesifik karena juga ditemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk diagnosis infark

    akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48jam.2

    3.2. Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST

    3.2.1. Evaluasi klinis

    Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala epigastrium dengan ciri khas seperti

    diperas, diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala

    yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan mereka

    memiliki gejala dengan onset baru angina berat / terakselerasi memiliki prognosis lebih baik berbanding

    dengan memiliki nyeri pada waktu istirahat. Gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau

    nyeri lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar terutama

    pasien lebih dari 65 tahun.2

    Pemeriksaan Penunjang

    3.2.2.1.Elektrokardiogram

    Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting yang

    menentukan risiko pada pasien. Pada Thrombolysis in Myocardial Ischemia Trial (TIMI) III Registry,

    adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0.05mV merupakan predictor outcome yang buruk. Outocme

  • 14

    yang buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST dan baik depresi segmen

    ST maupun perubahan troponin T keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien

    dengan NSTEMI.2

    3.2.2.2.Biomarker Kerusakan Miokard

    Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai, karena lebih

    spesifik berbanding enzim jantung seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal

    troponin pada darah perifer setelah 3-4jam dan dapat menetap sampai 3-4minggu.2

    3.2.3. Stratifikasi Risiko

    Penilaian klinis dan EKG merupakan pusat utama dalam pengenalan dan penilaian risiko

    NSTEMI. Jika ditemukan risiko tinggi, maka keadaan ini memerlukan terapi awal yang segera. Beberapa

    pendekatan untuk stratifikasi telah tersedia.2

    3.2.3.1.Skor TIMI

    Skor risiko merupakan suatu metoda sederhana dan sesuai untuk stratifikasi risiko, dan angka

    faktor risiko bebas pada presentasi kemudian ditetapkan. Skor risiko ini berasal dari analisis pasien-pasien

    pada penelitian TIMI 11B dan telah divalidasi pada empat penelitian dan satu registry. Dengan

    meningkatnya skor risiko, telah terobservasi manfaat yang lebih besar secara progresif pada terapi dengan

    low molecular weight heparin (LMWH) versus unfractionated heparin (UFH), dengan platelet GP Iib/IIIa

    receptor blocker tirofiban versus palcebo, dan strategi nivasif versus konservatif.2

    Pada pasien untuk semua level skor risiko TIMI, penggunaan klopidogrel menunjukkan penurunan

    keluaran yang buruk relatif sama. Skor risiko juga efektif dalam memprediksi keluaran yang buruk pada

    pasien yang pulang.2

    Skor risiko TIMI untuk UA/NSTEMI

    Usia 65 tahun

    3 faktor risiko PJK (diabetes mellitus, perokok aktif, riwayat keluarga

    CAD, hipertensi, hiperkolesterolemi)

    Stenosis sebelumnya 50%

    Deviasi ST

    2 kejadian angina 24 jam

    Aspirin dalam 7 hari terakhir

    Peningkatan petanda jantung

    Tabel 1: Skor risiko TIMI untuk UA/NSTEMI

  • 15

    3.2.3.2. Penanda biologis (Biomarker) multipel untuk penilaian risiko

    Newby et.al mendemonstrasikan bahwa strategi bedside menggunakan mioglobin, creatinine

    kinase-MB dan troponin I memberikan stratifikasi risiko yang lebih akurat dibandingkan jika menggunakan

    petanda tunggal berbasis laboratorium. Sabatine et.al mempertimbangkan 3 faktor patofisiologi vyang

    terjadi pada UA/NSTEMI yaitu2:

    Ketidakstabilan plak dan nekrosis otot yang terjadi akibat mikroembolisasi

    Inflamasi vaskular

    Kerusakan ventrikel kiri

    Masing-masing dapat dinilai secara independen berdasarkan penilaian terhadap petanda-petanda

    seperti cardiac-specific troponin, C-reactive protein dan brain-natriuretic peptide, berturut-turut. Pada

    penelitian TACTICS-TIMI 18, di mana risiko relatif, mortalitas 30 hari pasien-pasien dengan marker 0,1,2,

    dan 3 semakin meningkat berkali lipat 1,2.1,5.7 dan 13 berturut-turut. Pendekatan ini dengan berbagai

    petanda laboratorium ini sebaiknya tidak digunakan sendiri-sendiri tapi harusnya dapat memperjelas

    penemuan klinis.2

    3.3. Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST

    Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesa nyeri dada yang khas dan

    gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau 1mm pada dua sadapan ektremitas. Pmeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat,

    memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil

    pemeriksaan enzim, dalam mengingat tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is

    muscle.2

    3.3.1. Anamnesis

    Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau diluar

    jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari

    koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-

    faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit

    jantung koroner pada keluarga.2

    Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas

    fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau

    malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.2

    Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Harus mampu mengenal nyeri

    dada angina dan mamapu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda

    awal dalam pengelolaan pasien IMA.2

    Sifat nyeri dada angina sebagai berikut2 :

    Lokasi: substernal , retrosternal, dan prekordial.

  • 16

    Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, sperti ditusuk, rasa

    diperas, dan dipelintir.

    Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung

    interskapular, perut dan dapat juga ke lengan kanan.

    Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.

    Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.

    Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas.

    Gambar 3 : Pola nyeri dada pada iskemia miokard

    Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut,

    kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI

    tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus dan usia lanjut.2

  • 17

    Gambar 4: Diagnosis banding nyeri dada

    3.3.2. Pemeriksaan Fisik

    Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat

    disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30menit dan banyak keringat dicurigai kuat

    adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf

    simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark posterior menunjukkan

    hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).2

    Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi

    jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late

    sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub.

    Peningkatan suhu sampai 380C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI .

    2

    3.3.3. Elektrokardiogram

    Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan

    yang dicurigai STEMI dan harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di UGD. Pemriksaan

    EKG menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat

    mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal

    tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG

    serial dengan interval 5-10menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinu harus dilakukan unutk

    mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi

    kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.2

    Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi

    gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa infark miokard gelombang Q, sebagian kecil menetap

    menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara

    atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST dan biasanya megalami UA

    atau NSTEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q

    disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan

    gelombang Q atau menghilangnya gelombang R dan infark miokard nontransmural jika EKG hanya

    menunjukkan perubahan sementara segmen ST atau gelombang T. Namun tidak selalu ada korelasi

    gambaran patologis EKG dengan lokasi infark (mural atau transmural) sehingga terminologi IMA

    gelombang Q atau non Q menggantikan infark mural atau nontransmural.2

  • 18

    Gambar 5 : EKG menunjukkan STEMI dengan evolusi patologik Q wave di lead I dan VL

    3.3.4. Laboratorium

    3.3.4.1.Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers)

    Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CKMB) dan Cardiac Specific Troponin

    (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien

    STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan

    CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan

    tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.2

    Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis

    jantung (infark miokard)2

    CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam

    dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut meningkat pada operasi jantung, miokarditis dan

    kardioversi elektrik.

    cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard

    dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari,

    sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.

    Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu2:

    Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.

    Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai punak

    dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.

    Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai

    puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

  • 19

    Biomarker Berat molekul

    (Da)

    Rentang waktu

    untuk meningkat

    Rerata waktu

    evaluasi puncak

    (nonreperfusi)

    Waktu kembali ke

    rentang normal

    Sering di praktek klinik

    CKMB

    cTnI

    cTnT

    86000

    23500

    33000

    3-12jam

    3-12jam

    3-12jam

    24jam

    24jam

    12jam-2hari

    48-72jam

    5-10hari

    5-14hari

    Myoglobin

    CKMB Tissue

    Isoform

    CKMM Tissue

    Isoform

    17800

    86000

    86000

    1-4jam

    2-6jam

    1-6jam

    6-7jam

    18jam

    12jam

    24hari

    tidak diketahui

    3jam

    Tabel 2. Biomarker Molekuler Untuk Evaluasi Pasien Infark Miokard dengan

    Elevasi ST

    Gambar 6 : Perubahan konsentrasi enzim plasma setelah infark miokard

  • 20

    Komplikasi STEMI

    1. Disfungsi ventrikular

    Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran dan ketebalan

    pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling ventricular dan

    umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca

    infark. Segera setelah infark, ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut hasil ini berasal dari ekspansi

    infark. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen non infark, mengakibatan penipisan yang

    disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi

    dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark dengan dilatasi pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang

    mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dengan prognosis

    yang buruk.2

    2. Gangguan hemodinamik

    Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit karena STEMI. Perluasan

    nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada

    awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan

    bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada roentgen sering dijumpai kongesti paru.2

    3. Syok kardiogenik

    Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan saat masuk, sedangkan 90% ditemukan selama

    perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunayi penyakit arteri

    koroner multivessel.2

    4. Infark ventrikel kanan

    Sekitar sepertiga pasien dengan infark posteroposterior menunjukkan sekurang-kurangnya

    nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan infark terbatas primer pada ventrikel kanan.

    Infark ventrikel kanan secara klinis menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena

    jugularis, tanda Kussmauls, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST pada sadapan

    EKG sisi kanan, terutama sadapan V4R sering dijumpai pada 24 jam pertama pasien infark ventrikel kanan.

    Terapi terdiri dari ekspansi volume untuk mempertahankan preload ventrikel kanan yang adekuat dan

    upaya untuk meningkatkan tampilan dengan reduksi takanan arteri pulmonalis.2

    5. Aritmia pasien pasca STEMI

    Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala. Mekanisme

    aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemia dan

    penghambatan konduksi di zona iskemia miokard.2

  • 21

    6. Ekstrasistol ventrikel

    Depolarisasi prematur ventrikel sporadik yang tidak sering terjadi pada hampir semua pasien

    STEMI dan tidak memerlukan terapi. Penyekat beta efektif dalam mencegah aktifitas ektopik ventrikel

    pada pasien STEMI dan pencegahan fibrilasi ventrikel, dan harus diberikan rutin kecuali terdapat

    kontraindikasi. Hipokalemia dan hipomagnesemia merupakan faktor risiko fibrilasi ventrikel pada pasien

    STEMI, konsentrasi kalium serum diupayan mencapai 4,5 mmol/liter dan magnesium 2 mmol/liter.2

    7. Takikardi dan fibrilasi ventrikel.

    Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardidan fibrilasi ventrikular dapat terjadi tanpa tanda bahaya

    aritmia sebelumnya.2

    8. Komplikasi mekanik

    - Ruptur muskularpapilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventikel.2

    - Penatalaksaan : operasi.2

    Prognosis

    Terdapat beberapa sistem yang ada dalam menentukan pronosis pasien pasca IMA2:

    Klas Definisi Mortalitas (%)

    I Tidak ada tanda gagal jantung kongestif 6

    II + S3 dan / atau ronkhi basah 17

    III Edema paru 30-40

    IV Syok kardiogenik 60-80

    Tabel 4: Klasifikasi Killip pada IMA

    BAB IV

    PENATALAKSANAAN

    4.1. Angina Pektoris Tidak Stabil (unstable angina)

    4.1.1. Tindakan umum

    Pasien perlu perawatan rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, dan diistirahatkan (bed

    rest), diberi obat penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin perlu ada pada pasien yang masih

    merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin.2

    4.1.2. Terapi Medikamentosa

    4.1.2.1.Nitrat

    Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan efek

    mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen. Nitrat

    juga menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah

  • 22

    kolateral. Yang ada di Indonesia terutama Isosorbit dinitrat, yang dapat diberikan secara intravena dengan

    dosis 1-4mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali infus dapat diganti isosorbid dinitrat per oral.2

    4.1.2.2.Penyekat Beta

    Beta-blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan denyut jantung

    dan daya kontraksi miokardium. Meta-analisis dari 4700 pasien dengan UA menunjukkan penyekat beta

    dapat menurunkan resiko infark sebesar 13% (p

  • 23

    tahan aspirin. AHA menganjurkan pemberian klopidogrel bersama aspirin paling sedikit 1 bulan sampai 9

    bulan. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg per hari.2

    4.1.2.4.4. Glikoprotein IIb/IIIa

    Ikatan fibrinogen dengan reseptor GR Iib/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada proses

    agregasi platelet. Karena GPIIb/IIIa inhibitor menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan

    fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi.3 macam obat golongan ini yaitu: absiksimab,

    suatu antibodi monoklonal; eptifibatid, suatu siklik heptapeptid; dan tirofiban, suatu nonpeptid mimetik.

    Tirofiban dan eptifibatid harus diberikan bersama aspirin dan heparin pada pasien dengan iskemi terus-

    menerus atau pasien risiko tinggi dan pasien yang direncanakan untuk tindakan PCI. Abciximab disetujui

    untuk pasien dengan UA dan NSTEMI yang direncanakan untuk tindakan invasif di mana PCI

    direncanakan dalam 12 jam.2

    4.1.2.5.Obat antitrombin

    4.1.2.5.1. Unfractionated Heparin

    Heparin adalah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai polisakarida yang

    berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagualn yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan

    heparin, akan bekerja menghambat trombin dan faktor Xa. Kelemahan heparin adalah efek terhadap

    trombus yang kaya trombosit dan heparin dapat dirusak oleh platelet faktor 4.2

    4.1.2.5.2. Low Molekuler Weight Heparin (LMWH)

    LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin. Kebanyakan

    mengandung sakarida kurang dari 18 jam dan hanya bekerja pada faktor Xa. LMWH di Indonesia adalah

    dalteparin, nadroparin dan enoksaparin.2

    Stratifikasi Risiko

    Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain adalah2:

    - pasien yang tidak pernah memiliki angina sebelumnya, dan sudah tidak ada serangan

    - sebelumnya tidak memakai obat anti angina

    - ECG normal atau tak ada perubahan dari sebelumnya.

    - Enzim jantung tidak meningkat termaasuk troponin dan biasanya usia lebih muda.

    Pasien yang termasuk dalam risiko sedang adalah2:

    - Bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu istirahat

    - Laki-laki, usia >70 tahun, menderita diabetes melitus

    - Tidak ada perubahan ST segmen

    - Enzim jantung tidak meningkat.

    Pasien yang termasuk dalam risiko tinggi adalah2:

  • 24

    - Angina berlansung lama atau angina pasca infark; sebelumnya mendapat terapi yang

    intensif

    - Ditemukan hipotensi, diaforesis, edema paru atau rales pada pemeriksaan fisik

    - Terdapat perubahan segmen ST yang baru

    - Didapatkan kenaikan troponin, keadaan hemodinamika tidak stabil.

    Bila manifestasi iskemia kembali secara spontan atau pada waktu pemeriksaan, maka pasien

    sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk risiko rendah maka terapi

    medikamentosa sudah mencukupi. Hanya pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan tindakan invasif

    segera, dengan kemungkinan tindakan revaskularisasi.2

    4.2. Infark miokard akut tanpa elevasi ST

    Pasien NSTEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk deviasi semen T

    dan irama jantung. Empat komponen utama terapi yang harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI

    yaitu2:

    Terapi antiiskemia

    Terapi antiplatelet/antikoagulan

    Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi)

    Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS

    4.2.1. Terapi antiiskemia

    Terapi awal mencakup nitrat dan penyekat beta dapat diberikan untuk menghilangkan nitrogliserin

    sublingual dan dapat dilanjutkan dengan intravena dan penyekat beta oral antagonis kalsium

    nondihidropiridin diberikan pada pasien dengan iskemia refrakter atau yang tidak toleran dengan obat

    penyekat beta.2

    4.2.1.1.Nitrat

    Nitrat pertama kali diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien mengalami nyeri dada

    iskemia. Jika nyeri menetap setelah diberikan nitat sublingual 3 kali dengan interval 5 menit,

    direkomendasi pemberian nitrogliserin intravena (mulai 5-10ug/menit). 2

    4.2.1.2.Penyekat Beta

    Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60kali/menit. Antagonis kalsium

    yang mengurangi frekuensi jantung seperti diltiazem dan verapamil pada pasien dengan nyeri dada

    persisten.2

  • 25

    4.2.1.3.Terapi antitrombotik

    Oklusi trombus subtotal pada koroner mempunyai peran utama dalam patogenesis NSTEMI dan

    keduanya mulai dari agregasi platelet dan pembentukan thrombin-activated fibrin bertanggungjawab atas

    klot.2

    4.2.2. Terapi antiplatelet

    4.2.2.1.Aspirin

    Peran penting aspirin adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah dibuktikan dari penelitian

    klinis multipel dan beberapa meta-analisis, sehingga aspirin menjadi tulang punggung dalam

    penatalaksanaaan UN/NSTEMI. Sindrom resistensi aspirin muncul baru-baru ini. Sindrom ini dideskripsi

    dengan bervariasi sebagai kegagalan relatif untuk menghambat (inhibisi) agregasi platelet dan/atau

    kegagalan untuk memperpanjang waktu pendarahan, atau perkembangan kejadian klinis sepanjang terapi

    aspirin. Pasien-pasien dengan resisitensi aspirin mempunyai risiko tinggi terjadi rekuren. Walaupun

    penelitian prospektif secara acak belum pernah dilaporkan pada pasien-pasien ini, adalah logis untuk

    memberikan terapi klopidogrel, wlaaupun aspirin sebaiknya juga tidak dihentikan.2

    4.2.2.2.Klopidogrel

    Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphosphate P2Y12 pada permukaan platelet dan

    dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaanya pada UA/NSTEMI terutama berdasarkan

    penelitian Clopidogrel in Unstable Angina To Prevent Recurrent Ischemic Events (CURE) dan Clopidogrel

    for The reduction of Events During Observation (CREDO). Efek bermanfaat ditemukan unutk semua

    subkelompok, termasuk kelompok tanpa deviasi segmen ST dan kelompok yang memiliki skor risiko TIMI

    rendah. Namun, klopidogrel dikaitkan dengan peningkatan pendarahan mayor dan minor, sejalan dengan

    kecenderungan peningkatan pendarahan yang mengancam jiwa (life-threatening bleeding).2

    Berdasarkan hasil-hasil penelitian, maka klopidogrel direkomendasi sebagai obat lini pertama

    (first-line drug) pada UA/NSTEMI, kecuali mereka dengan risiko tinggi pendarahan dan pasien yang

    memerlukan CABG segera. Klopidogrel sebaiknya diberikan pada pasien UA/NSTEMI dengan kondisi2:

    Direncanakan untuk mendapat pendekatan non-invasif dini

    Diketahui memiliki kontraindikasi untuk operasi

    Kateterisasi ditunda/ditangguhkan selama > 24-36jam.

    4.2.3. Terapi antikoagulan

    4.2.3.1.UFH (Unfractionated heparin)

    Manfaat UFH jika ditambah aspirin telah dibuktikan dalam tujuh tahun penelitian acak dan

    kombinasi UFH dan aspirin telah digunakan dalam tatalaksana UA/NSTEMI untuk lebih dari 15 tahun.

    Namun demikian terdapat kerugian pada penggunaan UFH. Produksi antbodi antiheparin mungkin

    berhubungan dengan heparin-induced thrombositopenia. Ikatan ini menimbulkan efek antikoagulan yang

  • 26

    tidak menentu, memerlukan monitor lebih sering terhadap activated partial thromboplastin time (aPTT),

    pengaturan dosis dan membutuhkan infus intravena kontinu. 2

    4.2.3.2.LMWH (Low Molecular Weight Heparin)

    Kerugian pada penggunaan UFH sebagian besar dapat diatasi dengan penggunaan LMWH.

    Pentingnya pemantauan efek antikoagulan tidak diperlukan dan kejadian trombositopenia yang diinduksi

    heparin berkurang. LMWH adalh inhibitor utama pada sirkulasi trombin dan juga faktor Xa sehingga obat

    ini mempengaruhi tidak hanya kinerja trombin dalam sirkulasi (efek anti factor IIa), tapi juga mengurangi

    pembentukan trombin (efek anti factor Xa).2

    4.2.4. Strategi invasif dini versus konservatif dini

    Trial klinis multipel membuktikan keuntungan dari strategi invasib yang dini pada pasien dengan

    risiko tinggi seperti pasien dengan faktor risiko multipel, deviasi segmen ST, dan/atau biomarker yang

    positif (Tabel kls I.). Pada strategi ini, arteriografi koroner dilakukan dalam 48jam setelah admisi, setelah

    diberikan terapi anti iskemik dan anti trombotik. Ini disusuli dengan revaskularisasi koroner (PCI atau

    CABG), tergantung anatomi koroner pasien.2

    Strategi ini adalah kos efektif buat pasien dengan risiko tinggi. Pada pasien dengan risiko rendah,

    hasil dari strategi invasif hampir sama dengan strategi konservatif dini, dimana pasien mendapat terapi anti

    iskemik dan anti trombotik diikuti dengan watchful waiting. Arteriografi hanya dilakukan jika terdapat

    nyeri dada pada waktu istirahat, perubahan pada ST segmen atau adanya bukti iskemia pada stress test.2

    Rekomendasi Kelas I Untuk Penggunaan Strategi Invasif Dini

    angina rekuren saat intirahat / aktivitas tingkat rendah walaupun mendapat terapi

    Peninggian troponin I atau T

    Depresi segmen ST baru

    Angina/iskemia rekuren baru dngan gejala gagal jantung kongestif, ronki. regurgitasi mitral

    Tes stress positif

    Fraksi ejeksi kurang dari 40%

    Penurunan tekanan darah

    Takikardia ventrikel sustained

    PCI < 6 bulan, CABG sebelumnya

    Tabel 3. Rekomendasi Klas I Untuk Penggunaan Strategi Invasif Dini

  • 27

    4.2.5. Perawatan Untuk Pasien Risiko Rendah

    Tes stres noninvasif sebaiknya dilakukan pada pasien risiko rendah, dan pasien yang hasil tesnya

    menunjukkan gambaran risiko tingi sebaiknya segera menjalani arteriografi koroner dan berdasarkan

    temuan anatomi revaskularisasi dapat dilakukan. Arteriografi koroner dapat dipilih pada pasien-pasien

    dengan tes positif tapi tanpa temuan risiko tinggi.2

    4.2.6. Tatalaksana Predischarge dan Pencegahan Sekunder

    Tatalaksana terhadap faktor risiko antara lain mencapai berat badan yang optimal, nasihat diet,

    penghentian merokok, olahraga, pengontrolan hipertensi dan tatalaksana intensif diabetes melitus dan

    deteksi adanya diabetes yang tidak dikenali sebelumnya.2

    4.3. Infark Miokard Dengan Elevasi ST

    Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan

    implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet,

    pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Pedoman (guideline) yang digunakan dalam

    tatalaksana IMA dengan elevasi ST adalah dari ACC/AHA 2004. Walaupun demikian perlu disesuaikan

    dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya

    di bidang kardiologi intervensi).2

    4.3.1. Tatalaksana Pra Rumah Sakit

    Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu: aritmia

    dan pump failure. Sebagian besar kematian di luar rumah sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi

    ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari

    separuhnya terjadi pada jam pertama. Elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai

    STEMI antara lain2:

    Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis

    Segera memanggil tim medis emergensi ytang dapat melakukan tindakan resusitasi.

    Transportasi pasien ke RS yang mempunyai fasilitas ICU serta staf medis dokter dan perawat yang

    terlatih.

    Melakukan terapi reperfusi.

    4.3.2. Tatalaksana di Ruang Emergensi

    Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup2:

    Mengurangi / menghilangkan nyeri dada

    Identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,

    Triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit

    Menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI

  • 28

    4.3.3. Tatalaksana Umum

    4.3.3.1.Oksigen

    Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri 100 mmHg, interval PR

  • 29

    Reperfusi dini akan akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi

    dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump

    failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.2

    a. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)

    Biasanya angioplasty dan atau stenting (CABG) tanpa didahului fibrinolisis disebut

    PCI primer. Akan efektif pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama

    IMA. PCI primer lebih efektif bila dibandingkan fibrinolisis dalam membuka arteri

    koroner yang teroklusi dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan

    panjang yang lebih baik.2

    b. Fibrinolisis

    Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit sejak

    masuk. Tujuan utama adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Antara obat

    fibrinolitik yang digunakan yaitu2:

    - Streptokinase (SK)

    Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan

    SK tidak boleh dinerikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi.

    Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah

    dan insidens pendarahan intracranial yang rendah.

    - tissue plasmibnogen Activator (tPA, alteplase)

    Keuntungannya menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada

    pasien yang mendapat tPA dibandingkan SK. Namun tPA harganya lebih mahal

    daripada SK dan resiko pendarahan intracranial lebih tinggi.

    - Reteplase ( Retavasemencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan resistensi

    tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1)

    4.3.4. Terapi Farmakologis

    4.3.4.1.Antitrombotik

    Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti klinis

    dan laboratories bahwa trombosis mempunyai peran penting dalam patogenesis. Tujuan utama pengobatan

    adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan

    sekunder adalah menurunkan tedensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar

    pada STEMI.2

    Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractinated heparin.

    Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin

    relatif (tPA, rPA atau TNK) membantu trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi arteri

    yang terkait infark.2

  • 30

    4.3.4.2.Penyekat beta

    Manfaat penyekat beta pada STEMI dapat dibagi menjadi : yang terjadi segera jika obat diberikan

    secara akut dan yang diberkan jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah

    infark. Pemberian secara iv membaiki kebutuhan suplai serta kebutuhan oksigen moikard, mengurangi

    nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang khusus.2

    4.3.4.3.ACE inhibitor

    Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas bertambah

    dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada

    pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis

    gagal jantung, pada pasien dengan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau

    terdapat abnormalitas gerakan dinding global atau pasien hipertensif.2

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Brashers L. Valentina. Chapter 30 : Alterations of Cardiovaskular Function in Pathofisiology the Biologic basis for disease in Adults and Children 5

    th edition. McCance L. Kathryn, Huether E.

    Sue,. 2006. Philadelphia: Elsevier Mosby

    2. Hanafi B. Trisnohadi, Idrus Alwi, S. Harun. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

    3. Antman Elliot M., Braunwald Eugene. Chapter 227: Unstable Angina and non-ST-Elevation Myocardial Infarction in Harrisons Principles of Internal Medicine 16th edition. Braunwald, Fauci,Hauser, Jameson, Longo, Kasper. 2005. USA: McGraw Hill

    4. Rilantono, Lily Ismudiati, dkk. Buku Ajar Kardiologi. 2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

    5. Shen, Demin. Penyakit Jantung Koroner. 1997. Bandung : Rumah Sakit Rajawali

    6. Price, Silvia A. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi 4. 1995. Jakarta: EGC