7
Hubungan pelepasan neurotransmiter terhadap cedera seluler telah diteliti baik pada cedera kepala maupun cedera spinal. Kebanyakan penyelidikan awal terpusat pada turunan asam amino eksitasi yaitu glutamat dan aspartat. Terdapat pelepasan dramatis glutamat dan aspartat hingga 6 kali kadar normal, dimana konsentrasi ini cukup untuk membunuh neuron. Hal ini dapat terjadi hingga 1 jam setelah cedera. Perbedaan peningkatan spesies asam amino mendukung bahwa aktivitas neuron lebih berperan daripada lisis sel. Berbagai model telah menunjukkan disfungsi ekstremitas dapat terjadi ketika cord terpapar asam amino eksitasi. Beberapa tipe reseptor kemungkinan berperan pada cedera sekunder pada spinal cord, termasuk reseptor kainate dan quisqualate, yang mengontrol saluran untuk sodium (natrium) influx dan potassium (kalium) efflux, serta reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang memiliki saluran untuk natrium dan kalium dan saluran untuk calcium influx. Akumulasi kalsium intraseluler dengan kalium efflux telah diamati pada pada SCI eksperimental. Awal dari pembengkakan neuron berhubungan dengan natrium influx, dimana dimana disintegrasi neuron disebabkan oleh calcium influx. Baik antagonis kompetitif seperti 3-(2-carboxypiperazin-4-yl)-propyl-1-phosphoric acid dan aminophosphoheptanoates, serta antagonis nonkompetitif seperti phencyclidine, ketamin, magnesium, dextrorphan, dan MK-801 telah menunjukkan dapat menurunkan cedera neurologis sekunder. Substansi lain yang berperan adalah peptida opioid. Dynorphin, beta-endorphin, leu-enkephalin, dan met-enkephalin bersifat aktif pada reseptor kappa, mu, dan delta. Opiat berhubungan dengan

Catatan Trauma Medula Spinalis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

neurologi

Citation preview

Page 1: Catatan Trauma Medula Spinalis

Hubungan pelepasan neurotransmiter terhadap cedera seluler telah diteliti baik pada cedera

kepala maupun cedera spinal. Kebanyakan penyelidikan awal terpusat pada turunan asam amino

eksitasi yaitu glutamat dan aspartat. Terdapat pelepasan dramatis glutamat dan aspartat hingga 6

kali kadar normal, dimana konsentrasi ini cukup untuk membunuh neuron. Hal ini dapat terjadi

hingga 1 jam setelah cedera. Perbedaan peningkatan spesies asam amino mendukung bahwa

aktivitas neuron lebih berperan daripada lisis sel. Berbagai model telah menunjukkan disfungsi

ekstremitas dapat terjadi ketika cord terpapar asam amino eksitasi.

Beberapa tipe reseptor kemungkinan berperan pada cedera sekunder pada spinal cord,

termasuk reseptor kainate dan quisqualate, yang mengontrol saluran untuk sodium (natrium)

influx dan potassium (kalium) efflux, serta reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang

memiliki saluran untuk natrium dan kalium dan saluran untuk calcium influx. Akumulasi

kalsium intraseluler dengan kalium efflux telah diamati pada pada SCI eksperimental. Awal dari

pembengkakan neuron berhubungan dengan natrium influx, dimana dimana disintegrasi neuron

disebabkan oleh calcium influx. Baik antagonis kompetitif seperti 3-(2-carboxypiperazin-4-yl)-

propyl-1-phosphoric acid dan aminophosphoheptanoates, serta antagonis nonkompetitif seperti

phencyclidine, ketamin, magnesium, dextrorphan, dan MK-801 telah menunjukkan dapat

menurunkan cedera neurologis sekunder.

Substansi lain yang berperan adalah peptida opioid. Dynorphin, beta-endorphin, leu-

enkephalin, dan met-enkephalin bersifat aktif pada reseptor kappa, mu, dan delta. Opiat

berhubungan dengan hipotensi yang terjadi setelah SCI. Perawatan dengan obat yang dapat

bekerja sebagai antagonis opiat menghasilkan fungsi yang lebih baik.

Mekanisme selanjutnya pada cedera sekunder melibatkan aktivasi membrane

phospholipase, yang berakibat pada hidrolisis fosfolipid, bebasnya asam arakidonat dan asam

lemak lain dari membran sel. Aktivitas enzimatik oleh siklooksigenase terhadap asam ini

memproduksi peroksida lipid, sedangkan aktivitas enzimatik oleh lipooksigenase memproduksi

leukotrien dan prostanoid. Lebih spesifik, level tromboksan A2 meningkat sesaat setelah terjadi

SCI eksperimental, dimana rasio tromboksan terhadap prostasiklin meningkat abnormal hingga

18 jam. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan cedera sekunder oleh karena terbatasnya

perfusi jaringan. Faktanya, pada model eksperimental aliran darah pada spinal cord terukur pada

40-54% terhadap level kontrol. Penggunaan steroid dan analognya dapat meningkatkan

Page 2: Catatan Trauma Medula Spinalis

pemulihan, kemungkinan berhubungan dengan inhibisi oleh substansi tersebut terhadap

peroksidasi lipid atau supresinya terhadap pelepasan asam amino eksitasi.

2.3.1 Klasifikasi

Klasifikasi paling dasar dari SCI adalah cedera komplit (complete injury) dan cedera parsial

(partial injury). Cedera komplit didefinisikan sebagai kehilangan total fungsi sensoris dan fungsi

motoris pada area yang terinervasi lebih dari 2 level di bawah lokasi tulang belakang yang cedera

dan bertahan selama lebih dari 48 jam. Perbaikan setelah cedera komplit biasanya minimal, dan

fungsi neurologis jarang meningkat beberapa derajat. Cedera parsial dapat dibagi dalam beberapa

tipe, antara lain :

a. Anterior cord syndrome

b. Central cord syndrome

c. Brown-Sequard syndrome

d. Posterior cord syndrome

2.3.2 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pertama SCI termasuk imobilisasi eksternal untuk stabilisasi sementara, traksi

untuk mendapatkan atau mempertahankan alignment yang baik, dan farmakoterapi untuk

meminimalisasi cedera sekunder. Setelah transportasi dan evaluasi awal telah lengkap, extended-

external fixation atau intervensi bedah dapat dikerjakan. Terakhir, disfungsi yang berhubungan

dapat direhabilitasi.

Imobilisasi dan Traksi

Halo vest (Gambar 2) sering digunakan sebagai alat definitif untuk cedera spina servikal.

Philadelphia collar bersifat semirigid, sintetik foam brace dimana pada dasarnya membatasi

fleksi dan ekstensi tetapi membebaskan rotasi. Miami-J collar bersifat mirip tetapi lebih kaku

dan lebih nyaman untuk sandaran.

Brace yang secara adekuat melakukan imobilisasi fraktur spina servikal adalah thermoplastic

Minerva body jaket (TMBJ) dan halo vest. TMBJ lebih baik dalam membatasi fleksi dan ekstensi

dan lebih nyaman dibandingkan halo vest sedangkan halo vest lebih bagus dalam membatasi

rotasi dibandingkan TMBJ.

Farmakoterapi

Page 3: Catatan Trauma Medula Spinalis

a. Farmakoterapi standar pada SCI berupa metilprednisolon 30 mg/kgBB secara bolus

intravena, dilakukan pada saat kurang dari 8 jam setelah cedera. Jika terapi tersebut dapat

dilakukan pada saat kurang dari 3 jam setelah cedera, terapi tersebut dilanjutkan dengan

metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam

kemudian. Jika terapi bolus metilprednisolon dapat dikerjakan pada waktu antara 3

hingga 8 jam setelah cedera maka terapi tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon

intravena kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 48 jam kemudian. Terapi ini

efektif dimana terjadi peningkatan fungsi sensorik dan motorik secara signifikan dalam

waktu 6 minggu pada cedera parsial dan 6 bulan pada cedera total. Efek dari

metilprednisolon ini kemungkinan berhubungan dengan efek inhibisi terhadap

peroksidasi lipid dibandingkan efek glukokortikoid.

b. Antasid atau H2 antagonis ditujukan untuk mencegah iritasi atau ulkus lambung.

2.3.3 Komplikasi

Pasien dengan SCI sering mengalami cedera multipel. Perlu untuk mempertahankan volume

intravaskular dengan aliran darah yang optimal yang ditunjukkan oleh nilai hematokrit antara 30-

34%. Hiperpireksia perlu dikontrol secara agresif untuk mencegah cedera spinal lebih lanjut.

Terjadinya demam berdasarkan studi berhubungan dengan saluran kencing atau infeksi jaringan

ikat.

a. Sistem Saraf

Dapat terjadi siringomyelia oleh karena pembesaran progresif ruangan intramedular yang

disebabkan oleh hematomyelia traumatik atau infark. Diagnosis ditegakkan dengan MRI.

Dapat pula terjadi penghambatan medula spinalis (spinal cord tethering) oleh

karena fibrosis dan traksi pada segmen medula fungsional. Spastisitas oleh karena

kehilangan impuls inhibisi dari otak dapat menghambat higiene dan posisi tubuh.

Pengobatan berupa klonidin transdermal, baclofen oral atau insersi permanen pompa

baclofen intratekal.

b. Sistem Respirasi

Sekitar 21% dari penyebab kematian pada SCI adalah komplikasi respirasi terutama pada

cedera di daerah servikal. Jika terjadi disfungsi otot bantu napas pasien sebaiknya dalam

posisi telentang. Higiene paru dipertahankan dengan drainase postural dengan

Page 4: Catatan Trauma Medula Spinalis

pemindahan manual setiap 2 jam atau fisioterapi dada. Fisioterapi diafragma dapat

dikerjakan setiap hari.

c. Sistem Urinarius

Dapat terjadi disfungsi kandung kemih dimana terjadi kelemahan kandung kemih dengan

overflow incontinentia oleh karena distensi, diikuti dengan spastisitas kandung kemih

setelah beberapa minggu atau beberapa bulan ditandai dengan peningkatan frekuensi

kencing. Pengobatan berupa kateterisasi cepat dilanjutkan dengan kateterisasi intermiten.

Infeksi traktus urinarius adalah komplikasi umum disfungsi kandung kemih. Penggunaan

antibiotik profilaksis masih bersifat kontroversi.

d. Tromboembolisme

Baik deep vein thrombosis (DVT) maupun emboli paru bersifat umum pada fase akut

cedera spinal, yang terjadi oleh karena stasis vena, cedera vaskuler pada trauma multipel,

atau hiperkoagulabilitas. Profilaksis yang direkomendasikan berupa penggunaan stoking

selama 2 minggu setelah cedera dan pemberian antikoagulan pada saat kurang dari 72

jam setelah cedera. Dalam hal ini dapat diberikan heparin minidose (5000 unit subkutan,

3 kali sehari). Antikoagulan berikutnya dapat diberikan untuk mempertahankan PTT

melebihi 1,5 kali kontrol. Antikoagulan distop 24 jam sebelum operasi dan dilanjutkan 6

jam setelah operasi. Dianjurkan pengobatan profilaksis dilanjutkan hingga 2 bulan.

e. Gastrointestinal

Disfungsi gastrointestinal dapat menimbulkan ileus masif. Pemasangan pipa nasogastrik

diperlukan jika komplikasi ini dapat tidak bergejala misalnya jika pasien menderita

kuadriplegia. Pelunak feses maupun enema dapat mempermudah pengosongan usus.

f. Jaringan Ikat dan Tulang

Komplikasi yang sering terjadi berupa ulkus dekubitus dimana dapat dicegah dengan

pemindahan pasien yang sering. Pengobatan ulkus dekubitus berupa dressing,

debridement, hingga flap rotasi.