Upload
ryan-farried-ramadhan
View
46
Download
12
Embed Size (px)
DESCRIPTION
neurologi
Citation preview
Hubungan pelepasan neurotransmiter terhadap cedera seluler telah diteliti baik pada cedera
kepala maupun cedera spinal. Kebanyakan penyelidikan awal terpusat pada turunan asam amino
eksitasi yaitu glutamat dan aspartat. Terdapat pelepasan dramatis glutamat dan aspartat hingga 6
kali kadar normal, dimana konsentrasi ini cukup untuk membunuh neuron. Hal ini dapat terjadi
hingga 1 jam setelah cedera. Perbedaan peningkatan spesies asam amino mendukung bahwa
aktivitas neuron lebih berperan daripada lisis sel. Berbagai model telah menunjukkan disfungsi
ekstremitas dapat terjadi ketika cord terpapar asam amino eksitasi.
Beberapa tipe reseptor kemungkinan berperan pada cedera sekunder pada spinal cord,
termasuk reseptor kainate dan quisqualate, yang mengontrol saluran untuk sodium (natrium)
influx dan potassium (kalium) efflux, serta reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang
memiliki saluran untuk natrium dan kalium dan saluran untuk calcium influx. Akumulasi
kalsium intraseluler dengan kalium efflux telah diamati pada pada SCI eksperimental. Awal dari
pembengkakan neuron berhubungan dengan natrium influx, dimana dimana disintegrasi neuron
disebabkan oleh calcium influx. Baik antagonis kompetitif seperti 3-(2-carboxypiperazin-4-yl)-
propyl-1-phosphoric acid dan aminophosphoheptanoates, serta antagonis nonkompetitif seperti
phencyclidine, ketamin, magnesium, dextrorphan, dan MK-801 telah menunjukkan dapat
menurunkan cedera neurologis sekunder.
Substansi lain yang berperan adalah peptida opioid. Dynorphin, beta-endorphin, leu-
enkephalin, dan met-enkephalin bersifat aktif pada reseptor kappa, mu, dan delta. Opiat
berhubungan dengan hipotensi yang terjadi setelah SCI. Perawatan dengan obat yang dapat
bekerja sebagai antagonis opiat menghasilkan fungsi yang lebih baik.
Mekanisme selanjutnya pada cedera sekunder melibatkan aktivasi membrane
phospholipase, yang berakibat pada hidrolisis fosfolipid, bebasnya asam arakidonat dan asam
lemak lain dari membran sel. Aktivitas enzimatik oleh siklooksigenase terhadap asam ini
memproduksi peroksida lipid, sedangkan aktivitas enzimatik oleh lipooksigenase memproduksi
leukotrien dan prostanoid. Lebih spesifik, level tromboksan A2 meningkat sesaat setelah terjadi
SCI eksperimental, dimana rasio tromboksan terhadap prostasiklin meningkat abnormal hingga
18 jam. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan cedera sekunder oleh karena terbatasnya
perfusi jaringan. Faktanya, pada model eksperimental aliran darah pada spinal cord terukur pada
40-54% terhadap level kontrol. Penggunaan steroid dan analognya dapat meningkatkan
pemulihan, kemungkinan berhubungan dengan inhibisi oleh substansi tersebut terhadap
peroksidasi lipid atau supresinya terhadap pelepasan asam amino eksitasi.
2.3.1 Klasifikasi
Klasifikasi paling dasar dari SCI adalah cedera komplit (complete injury) dan cedera parsial
(partial injury). Cedera komplit didefinisikan sebagai kehilangan total fungsi sensoris dan fungsi
motoris pada area yang terinervasi lebih dari 2 level di bawah lokasi tulang belakang yang cedera
dan bertahan selama lebih dari 48 jam. Perbaikan setelah cedera komplit biasanya minimal, dan
fungsi neurologis jarang meningkat beberapa derajat. Cedera parsial dapat dibagi dalam beberapa
tipe, antara lain :
a. Anterior cord syndrome
b. Central cord syndrome
c. Brown-Sequard syndrome
d. Posterior cord syndrome
2.3.2 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pertama SCI termasuk imobilisasi eksternal untuk stabilisasi sementara, traksi
untuk mendapatkan atau mempertahankan alignment yang baik, dan farmakoterapi untuk
meminimalisasi cedera sekunder. Setelah transportasi dan evaluasi awal telah lengkap, extended-
external fixation atau intervensi bedah dapat dikerjakan. Terakhir, disfungsi yang berhubungan
dapat direhabilitasi.
Imobilisasi dan Traksi
Halo vest (Gambar 2) sering digunakan sebagai alat definitif untuk cedera spina servikal.
Philadelphia collar bersifat semirigid, sintetik foam brace dimana pada dasarnya membatasi
fleksi dan ekstensi tetapi membebaskan rotasi. Miami-J collar bersifat mirip tetapi lebih kaku
dan lebih nyaman untuk sandaran.
Brace yang secara adekuat melakukan imobilisasi fraktur spina servikal adalah thermoplastic
Minerva body jaket (TMBJ) dan halo vest. TMBJ lebih baik dalam membatasi fleksi dan ekstensi
dan lebih nyaman dibandingkan halo vest sedangkan halo vest lebih bagus dalam membatasi
rotasi dibandingkan TMBJ.
Farmakoterapi
a. Farmakoterapi standar pada SCI berupa metilprednisolon 30 mg/kgBB secara bolus
intravena, dilakukan pada saat kurang dari 8 jam setelah cedera. Jika terapi tersebut dapat
dilakukan pada saat kurang dari 3 jam setelah cedera, terapi tersebut dilanjutkan dengan
metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam
kemudian. Jika terapi bolus metilprednisolon dapat dikerjakan pada waktu antara 3
hingga 8 jam setelah cedera maka terapi tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon
intravena kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 48 jam kemudian. Terapi ini
efektif dimana terjadi peningkatan fungsi sensorik dan motorik secara signifikan dalam
waktu 6 minggu pada cedera parsial dan 6 bulan pada cedera total. Efek dari
metilprednisolon ini kemungkinan berhubungan dengan efek inhibisi terhadap
peroksidasi lipid dibandingkan efek glukokortikoid.
b. Antasid atau H2 antagonis ditujukan untuk mencegah iritasi atau ulkus lambung.
2.3.3 Komplikasi
Pasien dengan SCI sering mengalami cedera multipel. Perlu untuk mempertahankan volume
intravaskular dengan aliran darah yang optimal yang ditunjukkan oleh nilai hematokrit antara 30-
34%. Hiperpireksia perlu dikontrol secara agresif untuk mencegah cedera spinal lebih lanjut.
Terjadinya demam berdasarkan studi berhubungan dengan saluran kencing atau infeksi jaringan
ikat.
a. Sistem Saraf
Dapat terjadi siringomyelia oleh karena pembesaran progresif ruangan intramedular yang
disebabkan oleh hematomyelia traumatik atau infark. Diagnosis ditegakkan dengan MRI.
Dapat pula terjadi penghambatan medula spinalis (spinal cord tethering) oleh
karena fibrosis dan traksi pada segmen medula fungsional. Spastisitas oleh karena
kehilangan impuls inhibisi dari otak dapat menghambat higiene dan posisi tubuh.
Pengobatan berupa klonidin transdermal, baclofen oral atau insersi permanen pompa
baclofen intratekal.
b. Sistem Respirasi
Sekitar 21% dari penyebab kematian pada SCI adalah komplikasi respirasi terutama pada
cedera di daerah servikal. Jika terjadi disfungsi otot bantu napas pasien sebaiknya dalam
posisi telentang. Higiene paru dipertahankan dengan drainase postural dengan
pemindahan manual setiap 2 jam atau fisioterapi dada. Fisioterapi diafragma dapat
dikerjakan setiap hari.
c. Sistem Urinarius
Dapat terjadi disfungsi kandung kemih dimana terjadi kelemahan kandung kemih dengan
overflow incontinentia oleh karena distensi, diikuti dengan spastisitas kandung kemih
setelah beberapa minggu atau beberapa bulan ditandai dengan peningkatan frekuensi
kencing. Pengobatan berupa kateterisasi cepat dilanjutkan dengan kateterisasi intermiten.
Infeksi traktus urinarius adalah komplikasi umum disfungsi kandung kemih. Penggunaan
antibiotik profilaksis masih bersifat kontroversi.
d. Tromboembolisme
Baik deep vein thrombosis (DVT) maupun emboli paru bersifat umum pada fase akut
cedera spinal, yang terjadi oleh karena stasis vena, cedera vaskuler pada trauma multipel,
atau hiperkoagulabilitas. Profilaksis yang direkomendasikan berupa penggunaan stoking
selama 2 minggu setelah cedera dan pemberian antikoagulan pada saat kurang dari 72
jam setelah cedera. Dalam hal ini dapat diberikan heparin minidose (5000 unit subkutan,
3 kali sehari). Antikoagulan berikutnya dapat diberikan untuk mempertahankan PTT
melebihi 1,5 kali kontrol. Antikoagulan distop 24 jam sebelum operasi dan dilanjutkan 6
jam setelah operasi. Dianjurkan pengobatan profilaksis dilanjutkan hingga 2 bulan.
e. Gastrointestinal
Disfungsi gastrointestinal dapat menimbulkan ileus masif. Pemasangan pipa nasogastrik
diperlukan jika komplikasi ini dapat tidak bergejala misalnya jika pasien menderita
kuadriplegia. Pelunak feses maupun enema dapat mempermudah pengosongan usus.
f. Jaringan Ikat dan Tulang
Komplikasi yang sering terjadi berupa ulkus dekubitus dimana dapat dicegah dengan
pemindahan pasien yang sering. Pengobatan ulkus dekubitus berupa dressing,
debridement, hingga flap rotasi.