Upload
abdul-razak-haidzir
View
438
Download
32
Embed Size (px)
DESCRIPTION
cor pulmonale chronic
Citation preview
MAKALAH
COR PULMONALE CHRONIC
Oleh :
Jeffri Syahputra 090100322
Gusda Aqrram 090100087
Chairunisa Oktavira 090100226
Abdul Razak Haidzir 090100436
Indah Fadilla Rianda 090100309
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Pirngadi Medan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini, yang merupakan tugas dalam Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)
Pendidikan Dokter, Departemen ilmu penyakit dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Makalah ini berjudul COR PULMONALE
CHRONIC. Terima kasih kepada COW RSUD. Dr. Pirngadi atas bimbingannya
dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
kami mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………… i
DAFTAR ISI ……………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………. 3
2.1. Definisi ……………………………………………… 3
2.2. Etiologi dan epidemiologi ….........…………………. 3
2.3. Patogenesis .........…………………………………… 4
2.4. Diagnosis ...........……………………………………. 11
2.5. Penatalaksanaan ....………………………………….. 15
2.6. Komplikasi .............………………………………… 17
2.7. Prognosa. ......................…………………………….. 13
BAB III LAPORAN KASUS ……….……………………………… 24
BAB IV KESIMPULAN ………………………………………… 41
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Kor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi
ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang
menyerang struktur, fungsi paru, atau pembuluh darah pulmonal yang dapat
berlanjut menjadi gagal jantung kanan.1,2 Menurut World Health Organization
(WHO), definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan hipertrofi
ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur paru.
Tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan
penyakit jantung kongenital (bawaan).3 Istilah hipertrofi yang bermakna
sebaiknya diganti menjadi perubahan struktur dan fungsi ventrikel kanan.
Dikarenakan paru berkorelasi dalam sirkuit kardiovaskuler antara ventrikel
kanan dengan bagian kiri jantung, perubahan pada struktur atau fungsi paru akan
mempengaruhi secara selektif jantung kanan. Patofisiologi akhir yang umum yang
menyebabkan kor pulmonal adalah peningkatan dari resistensi aliran darah
melalui sirkulasi paru dan mengarah pada hipertensi arteri pulmonal.4
Kor pulmonal dapat terjadi secara akut maupun kronik. Penyebab kor
pulmonal akut tersering adalah emboli paru masif sedangkan kor pulmonal kronik
sering disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada kor
pulmonal kronik umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan sedangkan pada kor-
pulmonal akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.1
Insidens yang tepat dari kor pulmonal tidak diketahui karena seringkali
terjadi tanpa dapat dikenali secara klinis. Diperkirakan insidens kor pulmonal
adalah 6% sampai 7% dari seluruh penyakit jantung.4 Di Inggris terdapat
sedikitnya 0,3% populasi dengan resiko terjadinya kor pulmonal pada populasi
usia lebih dari 45 tahun dan sekitar 60.000 populasi telah mengalami hipertensi
pulmonal yang membutuhkan terapi oksigen jangka panjang.5
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit
yang secara primer menyerang pembuluh darah paru dan penyakit yang
mengganggu aliran darah paru.6 Berdasarkan penelitian lain di Ethiopia,
menemukan penyebab terbanyak kor pulmonal berturut-turut adalah asma
bronkial, tuberkulosis paru, bronkitis kronik, emfisema, penyakit interstisial paru,
bronkiektasis, obesitas, dan kifoskoliosis. Menurut penelitian sekitar 80-90%
pasien kor pulmonal mempunyai PPOK dan 25 % pasien dengan PPOK akan
berkembang menjadi kor pulmonal.5
Kor pulmonal terjadi ketika hipertensi pulmonal menimbulkan tekanan
berlebihan pada ventrikel kanan. Tekanan yang berlebihan ini meningkatkan kerja
ventrikel kanan yang menyebabkan hipertrofi otot jantung yang normalnya
berdinding tipis, yang akhirnya dapat menyebabkan disfungsi ventrikel dan
berlanjut kepada gagal jantung.3
BAB II
KOR PULMONAL
2.1. Definisi
Kor pulmonal sering disebut sebagai penyakit jantung paru,
didefinisikan sebagai dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan akibat adanya
penyakit parenkim paru atau pembuluh darah paru.1,2
Menurut WHO, definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan
ditemukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan
fungsional dan struktur paru, tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung
primer pada jantung kiri dan penyakit jantung kongenital (bawaan).3
Menurut Braunwahl, kor pulmonal adalah keadaan patologis akibat
hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi
pulmonal. Penyebabnya antara lain penyakit parenkim paru, kelainan
vaskuler paru, dan gangguan fungsi paru karena kelainan thoraks, tidak
termasuk kelainan vaskuler paru yang disebabkan kelainan ventrikel kiri,
penyakit jantung bawaan, penyakit jantung iskemik, dan infark miokard akut.7
2.2. Etiologi dan Epidemiologi
Kor pulmonal terjadi akibat adanya perubahan akut atau kronis pada
pembuluh darah paru dan atau parenkim paru yang dapat menyebabkan
terjadinya hipertensi pulmonal.8
Prevalensi pasti kor pulmonal sulit dipastikan karena dua alasan.
Pertama, tidak semua kasus penyakit paru kronis menjadi kor pulmonal, dan
kedua, kemampuan kita untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan kor
pulmonal dengan pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium tidaklah sensitif.
Namun, kemajuan terbaru dalam 2-D echo/Doppler memberikan kemudahan
untuk mendeteksi dan mendiagnosis suatu kor pulmonal.2 Diperkirakan
prevalensi kor pulmonal adalah 6% sampai 7% dari seluruh penyakit jantung
berdasarkan hasil penyelidikan yang memakai kriteria ketebalan dinding
ventrikel post mortem.6
Penyakit yang mendasari terjadinya kor pulmonal dapat digolongkan
menjadi 4 kelompok :
1. Penyakit pembuluh darah paru.
2. Penekanan pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma,
granuloma atau fibrosis.
3. Penyakit neuro muskular dan dinding dada.
4. Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk Penyakit
Paru Obstruktif Kronis (PPOK), penyakit paru interstisial dan gangguan
pernafasaan saat tidur.
Penyakit yang menjadi penyebab utama dari kor pulmonal kronis adalah
PPOK, diperkirakan 80-90% kasus.1
2.3. Patogenesis
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah
penyakit yang secara primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti
emboli paru-paru berulang, dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru-
paru akibat penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif.6
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya
terjadi peningkatan resistensi vaskuler paru dan hipertensi pulmonal.
Hipertensi pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel
kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik
kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan
resistensi vaskuler paru pada arteri dan arteriola kecil.6
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi
vaskuler paru adalah: (1) vasokontriksi dari pembuluh darah pulmonal akibat
adanya hipoksia dan (2) obstruksi dan/atau obliterasi jaringan vaskular paru-
paru. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang kuat untuk
menimbulkan vasokontriksi pulmonal daripada hipoksemia. Selain itu,
hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos
arteriola paru-paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia
akut. Asidosis, hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam
menimbulkan vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat
akibat polisitemia dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh
hipoksia kronik dan hiperkapnia, juga ikut meningkatkan tekanan arteri paru.6
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan
tekanan arteri paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh
kerusakan bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan
obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah
secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu,
pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena
efek mekanik dari volume paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan
obliterasi anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting
vasokontriksi hipoksik dalam patogenesis kor pulmonal. Kira-kira duapertiga
sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau
rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna.
Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan
penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat
kelainan perfusi-ventilasi.6 Setiap penyakit paru memengaruhi pertukaran gas,
mekanisme ventilasi, atau jaringan vaskular paru dapat mengakibatkan kor
pulmonal.4,6,9
Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi
pulmonal dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan
pada parenkim paru, kinerja paru, maupun sistem peredaran darah paru secara
akut maupun kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.9
Hipertensi pulmonal dapat diartikan sebagai penyakit arteri kecil pada
paru yang ditandai dengan proliferasi vaskuler dan remodeling. Hal ini pada
akhirnya dapat menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah paru
yang mengakibatkan terjadinya gagal ventrikel kanan dan kematian.
Hipertensi pulmonal dibagi menjadi primer dan sekunder. Hipertensi
pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak disebabkan oleh
adanya penyakit jantung, parenkim paru, maupun penyakit sistemik yang
melatarbelakanginya. Hipertensi pulmonal lain selain kriteria tersebut disebut
hipertensi pulmonal sekunder.10 Hipertensi pulmonal akibat komplikasi kronis
paru (sekunder) didefinisikan sebagai peningkatan rata-rata tekanan arteri
pulmonal (TAP) istirahat, yakni >20 mmHg. Pada hipertensi pulmonal primer
angka ini lebih tinggi yakni >25 mmHg. Pada pasien muda (<50 tahun) TAP
normalnya berada pada kisaran 10-15 mmHg. Dengan bertambahnya usia
TAP akan meningkat kurang lebih 1 mmHg setiap 10 tahun. Selain
dipengaruhi usia TAP juga dipengaruhi oleh aktivitas. Semakin berat aktivitas
maka TAP akan semakin meningkat. Pada aktivitas ringan TAP dapat
meningkat >30 mmHg. Melihat hal tersebut maka pemeriksaan TAP harus
dilakukan saat pasien dalam keadaan istirahat dan rileks.2
Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme terjadinya
hipertensi pulmonal yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular.
Ketiganya adalah mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh
darah pulmonal, dan trombosis in situ. Ketiga mekanisme ini terjadi akibat
adanya dua faktor yakni gangguan produksi zat-zat vasoaktif seperti, nitric
oxide dan prostacyclin, serta akibat ekspresi berlebihan secara kronis dari
mediator vasokonstriktor seperti, endothelin- 1. Dengan diketahuinya
mekanisme tersebut maka pengobatan terhadap hipertensi pulmonal menjadi
lebih terang yakni dengan pemberian preparat nitric oxide, derivat
prostacyclin, antagonis reseptor endothelin-1, dan inhibitor
phosphodiesterase-5.4,10
Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja ventrikel
kanan dan dapat mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan jantung.
Timbulnya keadaan ini diperberat dengan adanya polisitemia akibat hipoksia
jaringan, hipervolemia akibat adanya retensi air dan natrium, serta
meningkatnya cardiac output. Ketika jantung kanan tidak lagi dapat
melakukan adaptasi dan kompensasi maka akhirnya timbul kegagalan jantung
kanan yang ditandai dengan adanya edema perifer. Jangka waktu terjadinya
hipertropi atau dilatasi ventrikel kanan maupun gagal jantung kanan pada
masing-masing orang berbeda-beda.4,6
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, kor pulmonal dibagi menjadi 5
fase (tabel 1).11
Tabel 1. Fase perjalanan penyakit kor pulmonal
Fase Deskripsi
Fase 1 Pada fase ini belum nampak gejala
klinis yang jelas, selain
ditemukannya gejala awal penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK),
Fase 2
Fase 3
bronkitis kronis, tuberkulosis paru,
bronkiektasis dan sejenisnya.
Anamnesa pada pasien 50 tahun
biasanya didapatkan kebiasaan
banyak merokok.
Pada fase ini mulai ditemukan
tanda-tanda berkurangnya ventilasi
paru. Gejalanya antara lain, batuk
lama yang berdahak (terutama
bronkiektasis), sesak napas, mengi,
sesak napas ketika berjalan
menanjak atau setelah banyak
bicara. Sedangkan sianosis masih
belum nampak. Pemeriksaan fisik
ditemukan kelainan berupa,
hipersonor, suara napas berkurang,
ekspirasi memanjang, ronki basah
dan kering, mengi. Letak
diafragma rendah dan denyut
jantung lebih redup. Pemeriksaan
radiologi menunjukkan
berkurangnya corakan
bronkovaskular, letak diafragma
rendah dan mendatar, posisi
jantung vertikal.
Pada fase ini nampak gejala
hipoksemia yang lebih jelas.
Didapatkan pula berkurangnya
nafsu makan, berat badan
Penyakit paru kronis
Kerusakan paru & semakin terdesaknya pembuluh darah
oleh paru yang mengembang
Hipoksia alveolar
Asidosis dan hiperkapnia
Berkurangnya vascular bed paru
Vasokonstriksi
Polisitemia dan hiperviskositas
darah
Fase 4
Fase 5
berkurang, cepat lelah.
Pemeriksaan fisik nampak sianotik,
disertai sesak dan tanda-tanda
emfisema yang lebih nyata.
Ditandai dengan hiperkapnia,
gelisah, mudah tersinggung kadang
somnolen. Pada keadaan yang berat
dapat terjadi koma dan kehilangan
kesadaran.
Pada fase ini nampak kelainan
jantung, dan tekanan arteri
pulmonal meningkat. Tanda-tanda
peningkatan kerja ventrikel, namun
fungsi ventrikel kanan masih dapat
kompensasi. Selanjutnya terjadi
hipertrofi ventrikel kanan
kemudian terjadi gagal jantung
kanan. Pemeriksaan fisik nampak
sianotik, bendungan vena jugularis,
hepatomegali, edema tungkai dan
kadang asites.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai patogenesis kor pulmonal,
disediakan ringkasan pada gambar 1.
Gambar 1. Patogenesis Kor Pulmonal
2.4. Diagnosis
Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya
hipertensi pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk
menegakkan diagnosis kor pulmonal secara pasti maka dilakukan prosedur
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang secara tepat. Pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat menemukan data-data yang
mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural maupun
fungsional. Adanya hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti
dengan hanya pemeriksaan fisik dan anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan
penunjang.
2.4.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Perlu dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang
mendasari dan jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak
nafas waktu beraktifitas, nafas yang berbunyi, mudah lelah. Pada fase awal
berupa pembesaran ventrikel kanan, tidak menimbulkan keluhan jadi lebih
banyak keluhan akibat penyakit parunya. Keluhan akibat pembesaran
ventrikel kanan baru timbul bila sudah ada gagal jantung kanan misalnya
edema dan nyeri parut kanan atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal
jantung, hipersekresi branchus, edema alveolar, serta bronkospasme yang
menurunkan ventilasi paru lalu timbul gagal jantung kanan.
Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena
adanya peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam
elastisitas paru-paru (fibrosis penyakit paru) atau adanya over inflasi pada
penyakit PPOK). Nyeri dada atau angina juga dapat terjadi. Hal ini terjadi
disebabkan oleh iskemia pada ventrikel kanan atau teregangnya arteri
pulmonalis. Hemoptisis, karena rupturnya arteri pulmonalis yang sudah
mengalami arteroslerotik atau terdilatasi akibat hipertensi pulmonal juga
dapat terjadi. Bisa juga ditemukan variasi gejala-gejala neurologis, akibat
menurunnya curah jantung dan hipoksemia.12
Selanjutnya pada pemeriksaan fisik, kita bisa mendapatkan keadaan
sianosis, suara P2 yang mengeras, ventrikel kanan dapat teraba di parasternal
kanan. Terdapatnya murmur pada daerah pulmonal dan triskuspid dan
terabanya ventrikel kanan merupakan tanda yang lebih lanjut. Bila sudah
terjadi fase dekompensasi, maka gallop (S3) mulai terdengar dan selain itu
juga dapat ditemukan murmur akibat insufisiensi trikuspid. Dilatasi vena
jugularis, hepatomegali, splenomegali, asites dan efusi pleura merupakan
tanda-tanda terjadinya overload pada ventrikel kanan.2
2.4.2. Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
Etiologi kor pulmonal kronis amat banyak dan semua etiologi itu
akan menyebabkan berbagai gambaran parenkim dan pleura yang
mungkin dapat menunjukkan penyakit primernya. Gambaran radiologi
hipertensi pulmonal adalah dilatasi arteri pulmonalis utama dan cabang-
cabangnya, meruncing ke perifer, dan lapang paru perifer tampak relatif
oligemia. Pada hipertensi pulmonal, diameter arteri pulmonalis kanan
>16mm dan diameter arteri pulmonalis kiri >18mm pada 93%
penderita. Hipertrofi ventrikel kanan terlihat pada rontgen thoraks PA
sebagai pembesaran batas kanan jantung, pergeseran kearah lateral
batas jantung kiri dan pembesaran bayangan jantung ke anterior, ke
daerah retrosternal pada foto dada lateral.3
Gambar 2. Foto thoraks anteroposterior dan lateral kor pulmonal
Elektrokardiogram
Gambaran abnormal kor pulmonal pada pemeriksaan EKG dapat
berupa:
a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
b. Terdapat pola S1 S2 S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet
atau inkomplet.
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada
sadapan prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK
karena adanya hiperinflasi.
i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan
gambaran gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat
membingungkan dengan infark miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi
prematur atrium terisolasi hingga supraventrikuler takikardi,
termasuk takikardi atrial paroksismal, takikardi atrial multifokal,
fibrilasi atrium, dan atrial flutter. Disritmia ini dapat dicetuskan
karena keadaan penyakit yang mendasari (kecemasan, hipoksemia,
gangguan keseimbangan asam- basa, gangguan elektrolit, serta
penggunaan bronkodilator berlebihan).13
Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan
penegakan diagnosis kor pulmonal adalah dengan ekokardiografi. Dari
Gambar 3. Elektrokardiografi Kor Pulmonal
hasil ekokardiografi dapat ditemukan dimensi ruang ventrikel kanan
yang membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri normal. Pada
gambaran ekokardiografi katup pulmonal, gelombang “a” hilang,
menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan
pemeriksaan ekokardiografi susah terlihat katup pulmonal karena
“accoustic window” sempit akibat penyakit paru.14
Gambar 4. Ekokardiografi Kor Pulmonal (Dilatasi atrium dan ventrikel kanan)
2.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk
menurunkan hipertensi pulmonal, mengobati gagal jantung kanan,
meningkatkan kelangsungan hidup, dan mengobati penyakit dasar dan
komplikasinya.1
Tirah Baring dan Pembatasan Garam
Tirah baring sangat penting untuk mencegah memburuknya
hipoksemia, yang nantinya akan lebih menaikkan lagi tekanan arteri
pulmonalis. Garam perlu dibatasi tetapi tidak secara berlebihan karena
klorida serum yang rendah akan menghalangi usaha untuk menurunkan
hiperkapnia.12
Terapi Oksigen
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan
kelangsungan hidup belum diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis: (1)
terapi oksigen mengurangi vasokontriksi dan menurunkan resistensi
vaskuler paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel
kanan, (2) terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan
meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak, dan organ vital
lainnya.
Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National
Institute of Health, USA); 15 jam (British Medical Research Counsil) ,
dan 24 jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup dibanding kan
dengan pasien tanpa terapi oksigen.
Indikasi terapi oksigen adalah PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤
88%, PaO2 55-59 mmHg, dan disertai salah satu dari tanda seperti,
edema yang disebabkan gagal jantung kanan, P pulmonal pada EKG,
dan eritrositosis hematokrit > 56%.1
Diuretika
Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung
kanan. Namun harus dingat, pemberian diuretika yang berlebihan
dapat menimbulkan alkalosis metabolik yang bisa memicu
peningkatan hiperkapnia. Disamping itu, dengan terapi diuretika dapat
terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel
kanan dan curah jantung menurun.1,3,8
Vasodilator
Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis
kalsium, agonis alfa adrenergik, ACE-I, dan postaglandin belum
direkomendasikan pemakaiannya secara rutin. Vasodilator dapat
menurunkan tekanan pulmonal pada kor pulmonal kronik, meskipun
efisiensinya lebih baik pada hipertensi pulmonal yang primer.1
Digitalis
Digitalis hnya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai
gagal jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi
ventrikel kanan pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel
normal, hanya pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri
yang menurun, digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan.
Pada pemberian digitalis perlu diwaspadai resiko aritmia.1,3
Antikoagulan
Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli
akibat disfungsi dan pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor
imobilisasi pada pasien.1
2.6. Komplikasi
Komplikasi dari cor pulmonale adalah bisa terjadi syncope, hypoxia, pedal
edema, passive hepatic congestion dan kematian.
2.7. Prognosis
Prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh PPOK lebih baik dari
prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru lain seperti
"restrictive pulmonary disease", dan kelainan pembuluh darah paru. Forrer
mengatakan penderita kor pulmonal masih dapat hidup antara 5 sampai 17
tahun setelah serangan pertama kegagalan jantung kanan, asalkan mendapat
pengobatan yang baik. Padmavati dkk di India mendapatkan angka antara 14
tahun. Sadouls di Perancis mendapatkan angka 10 sampai 12 tahun.3
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1. Rekam Medis Pasien
ANAMNESE PRIBADI
Nama : Yunizar
Umur : 48 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Kuala Tiga Binanga, Medan.
ANAMNESE PENYAKIT
Keluhan Utama : Kuning pada mata
Telaah : Hal ini dialami OS sejak ± 2 minggu ini, mulanya kuning
pada bagian mata lalu diikuti kuning pada seluruh tubuh. Gatal-gatal pada tubuh
(-), Mual (+), muntah (+), frekuensi muntah 3-4 kali /hari, isi apa yang dimakan
dan minum, nyeri ulu hati (+), nyeri pada perut kanan atas juga (+), nyeri
dirasakan kapan-kapan saja, timbul secara tiba-tiba, tidak bergantung pada rasa
lapar, nyeri bila ditekan (-). Batuk (+) dialami OS ±4 hari ini, dahak berwarna
putih.. Demam (-), menggigil (-), badan terasa lemas (+), nyeri kepala (-), mata
kemerahan (-), bintik-bintik pada kulit (-), nyeri otot (-). Penurunan BB (+),
Penurunan nafsu makan (+). Riwayat BAK teh pekat (+), BAK tersendat-sendat
(-), nyeri saat BAK (-), BAK berwarna seperti cucian daging (-), BAK berpasir
(-), BAK berbatu (-). Riwayat BAB warna pucat seperti dempul (-), BAB normal.
OS baru pertama kali mengalami mata kuning. Riwayat kontak dengan penderita
sakit kuning sebelumnya (+) yaitu suami OS sendiri. Riwayat mendapat transfusi
darah (-). OS sempat meminum obat untuk mengurangi frekuensi muntahnya yang
dia beli di warung. Riwayat minum jamu-jamuan (+).
RPT : -
RPO : tidak jelas
ANAMNESE ORGAN
Jantung Sesak nafas : -
Angina pektoris : -
Edema : -
Palpitasi : -
Lain-lain : -
Sal. Pernafasan Batuk-batuk : +
Dahak : +, putih
Asma, bronkitis : -
Lain-lain : -
Sal. Pencernaan Nafsu makan : +, menurun
Keluhan menelan : -
Keluhan perut : -
Penurunan BB : +
Keluhan defekasi : -
Lain-lain : -
Sal. Urogenital Sakit BAK : -
Mengandung batu : -
BAK tersendat : -
Keadaan urin : +, spt
teh pekat
Lain-lain : -
Sendi dan tulang Sakit pinggang : -
Kel. Persendiaan : -
Keterbatasan gerak : -
Lain-lain : -
Endokrin Haus/polidipsi : -
Poliuri : -
Polifagi : -
Gugup : -
Perubahan suara : -
Lain-lain : -
Syaraf Pusat Sakit kepala : - Hoyong : -
Lain-lain : -
Darah dan P. Pucat : - Perdarahan : -
darah Petechie : - Purpura : -
Lain-lain : -
Sirkulasi Claudicatio intermitten : -
ANAMNESE FAMILI : Suami os pernah menderita keluhan yang serupa 6
bulan lalu dan telah sembuh dirawat di RSPM.
PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK
STATUS PRESENS :
Keadaan Umum Keadaan Penyakit
Sensorium : CM
Tekanan darah: 120/80 mmHg
Nadi : 78 x/i reg t/v : cukup
Pernafasan : 20 x/i
Temperatur : 36.8oC
Pancaran Wajah : lemah
Sikap paksa : -
Refleks fisiologis : +
Refleks patologis : -
Keadaan Gizi :
TB : 155cm ; BB : 45 kg
IMT : 18.75
Kesan : Normoweight
Anemia (-). Ikterus (+). Dispnoe (-).
Sianosis (-). Udem (-). Purpura (-).
Turgor kulit : baik
KEPALA
Mata : konjungtiva palpebra pucat (-), ikterus (+/+), pupil : isokor, ukuran
Ø 3mm.
Refleks cahaya direk (+) / indirek (+), kesan : normal
Lain-lain : -
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
Mulut : Lidah : dalam batas normal
Gigi/geligi : dalam batas normal
Tonsil/faring : dalam batas normal
LEHER
Struma: tidak membesar, tingkat : -
Pembesaran kelenjar limfe (-)
Posisi trakea : Medial. TVJ : R-2 cmH2O
Kaku kuduk : (-), lain-lain : -
TORAKS DEPAN
Inspeksi : venektasi (-), vena kolateral (-), ikterik (-)
Bentuk : simetris fusiformis
Pergerakan : simetris kanan dan kiri
Palpasi
Nyeri tekan : tidak dijumpai
Fremitus suara : SF kiri = kanan, kesan : Normal
Iktus : -
Perkusi
Paru
Batas Paru – Hati R/A : R : ICS V ; A : ICS VI
Peranjakan : 1 cm
Jantung
Batas atas jantung : ICR II linea parastrernal sinistra
Batas kiri jantung : ICR IV linea midclavicula sinistra
Batas kanan jantung : ICR II-IV lateral linea parasternalis dextra
Auskultasi
Paru
Suara pernafasan : Vesikuler pada kedua lapangan paru
Suara tambahan : (-)
Jantung
M1 > M2, P2 > P1, A2 > A1, T2 > T1, desah sistolik (-), tingkat : (-) desah
diastolik (-), lain-lain : -
HR : 78 x/i, reguler, intensitas : cukup.
TORAKS BELAKANG
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : SF kiri dan kanan, kesan : Normal
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru belakang
Auskultasi : Suara pernafasan : Vesikuler pada kedua lapangan paru.
Suara tambahan : (-)
ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk : Simetris, ascites (-)
Gerakan lambung/usus : Tidak tampak
Vena kolateral : (-)
Caput medusae : (-)
Palpasi
Dinding abdomen : Soepel, L/R: tidak teraba, Hepar teraba membesar.
Hati
Pembesaran : 3 cm BAC dan 2cm BPX
Permukaan : Licin
Pinggir : Tajam
Nyeri tekan : (-)
Limpa
Pembesaran : (-)
Ginjal
Ballotement : (-) Lain-lain : (-)
Tumor : (-)
Perkusi
Pekak Hati : (+)
Pekak beralih : (-)
Auskultasi
Peristaltik usus : Peristaltik (+), kesan : normal
Lain-lain : (-)
Pinggang
Nyeri ketok sudut kostovertebra : (-)
INGUINAL : Normal
GENITALIA LUAR : Perempuan, normal.
PEMERIKSAAN COLOK DUBUR (RT) : tidak dilakukan pemeriksaan
ANGGOTA GERAK ATAS ANGGOTA GERAK BAWAH
Deformitas sendi : -
Lokasi : -
Jari tabuh : -
Tremor ujung jari : -
Telapak tgn sembab : -
Sianosis : -
Eritema palmaris : -
Lain-lain : -
Udem
A. femoralis
A. tibialis posterior
A. dorsalis pedis
Refleks APR
Refleks KPR
Refleks fisiologis
Refleks patologis
Lain-lain
Kiri
-
+ =
+ =
+ =
+
+
+
-
-
Kanan
-
+
+
+
+
+
+
-
-
PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN
Darah Kemih Tinja
Hb : 11,90 g%
Lekosit : 8,7 x
103 /mm3
LED : -
Eritrosit : 4,77 x 106/ mm3
Warna : kuning jernih
Reduksi : -
Protein : -
Bilirubin : -
Urobilinogen : +
Warna :-
Konsistensi : -
Eritrosit : -
Lekosit : -
Amuba/kista : -
Ht : 35,30%
Hitung Jenis:
Neu/Lim/M/E/B
49.8/3.6/8/0/0
Trombosit : 137.000/
mm3
Sedimen
Eritrosit : 0- 1 /lpb
Lekosit : 0 – 1 /lpb
Silinder : -
Epitel : 0- 1 /lpb
Telur cacing
Askaris : -
Ankilostoma : -
Trichuris : -
Kremi : -
RESUME
ANAMNESE
KU : ikterik, jaundice seluruh tubuh
Telaah : Hal ini dialami os sejak ± 2 minggu ini, mulanya ikterik pada
kedua mata lalu diikuti jaundice seluruh tubuh. Nausea (+), Vomitting
(+), frekuensi 3-4 kali /hari, isi apa yang dimakan dan minum, nyeri ulu
hati (+). Batuk (+) dialami OS ±4 hari ini, dahak berwarna putih..
Demam (-). Penurunan BB (+), anorexia (+). Riwayat BAK teh pekat
(+), Riwayat BAB warna pucat seperti dempul (-), BAB normal.
STATUS
PRESENS
Keadaan Umum : Baik / Sedang / Buruk
Keadaan Penyakit : Ringan / Sedang / Berat
Keadaan Gizi : Kurang / Normal / Berlebih
PEMERIKSAAN
FISIK
Kepala : mata : ikterik (+/+)
Abdomen :
I : dalam batas normal
P : soepel, hepar teraba 3cm BAC 2cm BPX, permukaan licin,
pinggir tajam.
P : Timpani
A : Peristaltik (+) normal
Toraks :
I : Simetris fusiformis
P : SF kiri dan kanan, kesan normal
P : Sonor pada lapangan tengah paru kanan
A : Suara pernafasan : Vesikuler pada kedua lapangan paru
Suara tambahan : (-)
Ekstremitas : Inf: dalam batas normal
Sup: dalam batas normal
Laboratorium
Rutin
Darah : trombositopenia
Kemih : Kesan normal
Tinja : tidak dilakukan pemeriksaan
Diagnosa Banding
1. Hepatitis Viral Akut2. CBD stone3. Hepatomegali ec : - liver metastase
- hepatoma
Diagnosa
sementaraHep. Viral akut + hepatomegali ec liver metastase
Penatalaksanaan
Aktivitas : Tirah Baring
Diet : Diet Hati II
Tindakan supportif : - IVFD D5% 10 gtt/i
Medikamentosa : - inj Ranitidine 50mg/12jam
- inj. Metoclopramid 1amp /12jam
- OBH syrup 3x CI
Rencana Penjajakan diagnostik/tindakan lanjut :
1. LFT
2. Viral maker (IgM Anti-HBc, HCV RNA. IgM,Anti-HAV)
3. AFP
4. Protrombin time
5. USG abdomen
Follow Up Pasien
Follow Up Pasien Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Tanggal S O A P08/01/2014 Mata Kuning (+) Sensorium : CM
TD : 120/80 mmHgHR: 76 x/iRR: 20 x/iT : 36ºC
Kepala Mata : anemis (-), ikterik (+)Leher: TVJ R-2 cmH2O
Thoraks : Sp: VesikulerSt : (-)
Abdomen: Soepel, Hepar teraba 3 cm BAC 2 cm BPX
Ekstremitas: Akral hangat, Edema (-/-)
Hepatitis Viral Akut Ca caput pankreas dengan
Hepatomegali ec liver metastase
Ca ampula vateri dengan hepatomegali ec hepatoma
CBD stone dengan hepatomegali ec hepatoma
Tirah baring Diet Hati III IVFD D5% 20 gtt/i Inj. Ranitidine 50 mg / 12 jam IV Inj. Metoclopramide 1 amp /12
jam
R/- Urinalisa- Feses rutin- Viral marker- USG abdomen- Foto thoraks
HASIL PEMERIKSAAN LAB TANGGAL 8 JANUARI 2014
JENIS PEMERIKSAAN SATUAN HASIL RUJUKAN
HEMATOLOGI
DARAH LENGKAP (CBC) :
Hemoglobin (HGB) g% 11.9 11.7-15.5
Eritrosit (RBC) 10/mm 4.77 4.20-4.87
Leukosit (WBC) 10/mm 8.70 4.5-11.0
Hematokrit % 35.2 38-44
Trombosit (PLT) 10/mm 137 150-450
MCV fl 73.8 85-95
MCH pg 24.9 28-32
MCHC g% 33.8 33-35
RDW % 20.7 11.6-14.8
LED mm/jam 20 <20
Hitung Jenis :
Neutrofil % 50 - 70% 5.0 - 7.0 10^3/uL
Limfosit % 20 - 40% 1.0 - 4.0 10^3/uL
Monosit % 2.0 - 8.0% 0.10 - 0.80 10^3u/L
Eosinofil % 0.0 - 5.0% 0.00 - 0.50 10^3/uL
Basofil % 0.0 – 1.0% 0.0 – 0.10 10^3/uL
JENIS PEMERIKSAAN SATUAN HASIL RUJUKAN
FUNGSI GINJAL
Ureum 10 < 50
Kreatinin 0,55 0,70-1,20
KGD ad Random 47 100-200
KIMIA KLINIK
HATI
Bilirubin Total mg/dl 15.74 0.00 – 1.20
Bilirubin Direk mg/dl 9.7 0.05 – 0.3
Fosfatase Alkali (ALP) U/L 163 30 – 142
AST/SGOT U/L 643 0 – 40
ALT/SGPT U/L 745 0 – 40
Tanggal S O A P09/01/2014 Mata kuning (+) Sensorium : CM
TD : 100/70 mmHgHR: 72 x/iRR: 20 x/iT : 36.5ºC
Kepala Mata : anemis (-), ikterik (+)Leher: TVJ R-2 cmH2O
Thoraks : Sp: VeesikulerSt : -
Abdomen: soepel, Hepar teraba 3 cm BAC 2 cm BPX
CBD stone dengan hepatomegali ec liver metastase
CBD stone dengan hepatomegali ec hepatoma
Hepatitis viral akut dengan hepatomegali ec liver metastase
Hepatitis viral akut dengan hepatomegali ec hepatoma
Tirah baring Diet Hati III IVFD D5% 20 gtt/i Inj. Ranitidine 50 mg / 12 jam IV Inj. Metoclopramide 1 amp /12
jam
R/- Elektrolit ( HBSAG / anti
HCV)- USG abdomen- Foto Thoraks
Ekstremitas: Edema (-/-)
HASIL LABORATURIUM PATOLOGI KLINIK 9 JANUARI 2014
JENIS PEMERIKSAAN SATUAN HASIL RUJUKAN
IMUNOLOGI
HbsAg Kuantitatif Reactive Cut off 2 S / N
KIMIA KLINIK
ELEKTROLITNatrium (Na) mEq/L 148 135-155Kalium (K) mEq/L 3,2 3,6-5,5Klorida (Cl) mEq/L 108 96-106
Tanggal S O A P10/01/2014 Mata Kuning (+) Sensorium : CM
TD : 110/70 mmHgHR: 78 x/iRR: 20 x/iT : 35.6ºC
Kepala Mata : anemis (-), ikterik (+)Leher: TVJ R-2 cmH2O
Thoraks : Sp: VeesikulerSt : -
Abdomen:
CBD stone + Hepatitis B Tirah baring Diet Hati III IVFD D5% 20 gtt/i Inj. Ranitidin 50 mg / 12 jam IV Inj. Metoclopramide 1 amp /12
jam
R/ - Elektrolit ( HBSAG / anti
HCV)- USG abdomen- Foto Thoraks- Gastroskopi
soepel, Hepar teraba 3 cm BAC 2 cm BPX
Ekstremitas: Edema (-/-)
Tanggal S O A P11/01/2014 Mata Kuning (+) Sensorium : CM
TD : 110/70 mmHgHR: 75 x/iRR: 22 x/iT : 36ºC
Kepala Mata : anemis (-), ikterik (+)Leher: TVJ R-2 cmH2O
Thoraks : Sp: VesikulerSt : -
Abdomen: soepel, Hepar teraba 3 cm BAC 2 cm BPX
Ekstremitas: Akral hangat, Edema (-/-)
Hepatitis B akut Tirah baring Diet Hati III Ranitidin 2x150mg
R/- LFT- Anti HCV
PEMERIKSAAN USG :
Kesimpulan :
- Tidak tampak obstruksi bilier
- Suspek parenkimal liver disease
Tanggal S O A P12/01/2014 Mata Kuning (+) Sensorium : CM
TD : 100/70 mmHgHR: 72 x/iRR: 20 x/iT : 36.3ºC
Kepala Mata : anemis (-), ikterik (+)Leher: TVJ R-2 cmH2O
Thoraks : Sp: VesikulerSt : -
Abdomen: soepel, Hepar teraba 3 cm BAC 2 cm BPX
Ekstremitas: Akral hangat, Edema minimal (-/-)
Hepatitis B akut Tirah baring Diet Hati III Ranitidin 2x150mg
R/- LFT- Anti HCV
HASIL LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK 12 JANUARI 2014
JENIS PEMERIKSAAN SATUAN HASIL RUJUKAN
IMUNOLOGI
ANTI HCV Non Reactive
KIMIA KLINIK
HATI
Bilirubin Total mg/dl 12.87 0.00 – 1.20
Bilirubin Direk mg/dl 10.19 0.05 – 0.3
Fosfatase Alkali (ALP) U/L 113 30 – 142
AST/SGOT U/L 144 0 – 40
ALT/SGPT U/L 203 0 – 40
BAB IV
KESIMPULAN
1. Hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang
hati dan merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati di seluruh
dunia.
2. Tingginya angka prevalens hepatitis B di Indonesia terkait dengan
terjadinya infeksi HBV pada masa dini kehidupan. Sebagian besar
pengidap VHB ini diduga mendapatka infeksi HBV melalui transmisi
vertical, sedangkan sebagian lainnya mendapatkan melalui transmisi
horizontal karena kontak erat pada usia dini.
3. Transmisi VHB terutama melalui darah atau cairan tubuh (jalur parenteral)
yang terdiri dari transmisi vertical (perinatal) dan horizontal.
4. Hepatitis B biasanya asimtomatik atau dengan gejala yang ringan saja,
hepatomegali merupakan satu-satunya kelainan yang ditemukan. Gejala
lain berupa anorexia, mual dan muntah, cepat lelah, nyeri abdomen,
ikterus, warna urin seperti teh.
5. Skrining untuk hepatitis B rutin memerlukan assay sekurang-kurangnya 2
pertanda serologis. HBsAg adalah pertanda serologis pertama infeksi yang
muncul dan terdapat pada hampir semua orang yang terinfeksi;
kenaikannya sangat bertepatan dengan mulainya gejala.
6. Tatalaksana hepatits B akut tidak membutuhkan terapi antiviral dan
prinsipnya adalah suportif. Pasien dianjurkan beristirahat cukup pada
periode simptomatis. Hepatitis B immunoglobulin (HBIg) dan
kortikosteroid tidak efektif. Lamivudin 100 mg/hari dilaporkan dapat
digunakan pada hepatitis fulminan akibat eksaserbasi akut HVB.
PERTANYAAN
1. Pada keadaan apa HBcAg anti HBC diperiksa? Dan apakah fungsinya?
2. Berapa lama dikatakan hepatitis akut?
3. Bagaimana kriteria diagnostik hepatitis viral akut?
4. Pada tatalaksana teori mengapa tidak diterapkan pada pasien?
5. Kapan hepatitis di treat dan kapan dikatakan self limited disease?
DAFTAR PUSTAKA
1. Dienstag, Jules L. Viral Hepatitis. Kasper, Braunwald, Fauci, et all. In
Harrison’s : Principles of Internal Medicine : 1822-37. McGraw-Hill,
Medical Publishing Division, 2005.
2. Isselbacher, Kurt. Hepatology. Thomas D Boyer MD, Teresa L Wright
MD, Michael P Manns MD A Textbook of Liver Disease. Fifth
Edition. Saunders Elsevier. Canada. 2006
3. Hanifah Oswari,Tinjauan Multi Aspek Hepatitis B pada Anak –
Tinjauan Komprehensif Hepatitis Virus pada Anak. Balai penerbit
FKUI, Jakarta, 2000
4. Lina Herlina Soemara, Vaksinasi Hepatitis B – Tinjauan
Komprehensif Hepatitis Virus pada Anak. Balai penerbit FKUI,
Jakarta, 2000
5. Julfina Bisanto. Hepatitis virus – Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit
Anak dengan Gejala Kuning. Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM. Jakarta. 2007
6. Steffen R (Oktober 2005). "Changing travel-related global
epidemiology of hepatitis A". Am. J. Med. 118 Suppl 10A: 46S–49S.
doi:10.1016/j.amjmed.2005.07.016. PMID 16271541.
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0002-9343(05)00609-1.
Diakses tanggal 11 Januari 2010
7. http://www.emedicinehealth.com/hepatitis_a/page2_em.htm . Diakses
tanggal 11 Januari 2010
8. Caruntu FA, Benea L (September 2006). "Acute hepatitis C virus
infection: Diagnosis, pathogenesis, treatment". Journal of
Gastrointestinal and Liver Diseases : JGLD 15 (3): 249–56. PMID
17013450. http://www.jgld.ro/32006/32006_7.html. Diakses tanggal
17 Januari 2010.