Upload
robbyajiarya
View
218
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Laporan Kasus Cranio
Citation preview
BAB I
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
• Nama : An. R
• Usia : 8 tahun
• Alamat : Sukagalih Cikalong kulon
• Diagnosa Pra Bedah : Fraktur Depress Os temporal sinistra
• Jenis Pembedahan : Craniotomi
• Ruangan : IGD
• Ahli Anestesi : dr. Santi, Sp.An
• Ahli Bedah : dr. Asep Tajul M Sp.B
ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Tertabrak motor.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ke IGD RSUD cianjur karena tertabrak motor di jalanan, keluarga pasien
mengatakan pasien tertabrak tepat di kepala, tidak ada muntah, namun ada hilang kesadaran
selama beberapa saat
Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat asma (-)
• Penyakit TB (-)
Riwayat Operasi :
Belum pernah melakukan operasi sebelumnya
Riwayat Kebiasaan
Pola makan tidak teratur
Riwayat Pengobatan
Tidak sedang menjalani pengobatan apapun.
PEMERIKSAAN FISIK
• Keadaan umum : Baik
• Kesadaran : Composmentis
• Nadi : 102 x/menit, reguler
• Pernapasan : 18 x/menit
• Suhu : 37,4 oC
• BB : 20 kg
• Status fisik : ASA II
• GCS (IGD) : E : 2 / V : 3 / M : 3
STATUS GENERALIS
• Kepala : Normocephal
• Mata
• Pupil isokor, Ø 3mm/3mm, refleks cahaya +/+
• Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
• Hidung
• septum nasi deviasi (-)
• hiperemis (-), sekret (-)
• Mulut
• Malampati I, buka mulut 4 jari pasien, gigi goyang (-), gigi palsu (-), mukosa
bibir basah
• Leher
• trakea terletak di tengah
• kelenjar getah bening tidak teraba pembesaran
Thoraks
Pulmo
I: Bentuk dan pergerakkan simetris, retraksi sela iga (-/-)
P: Tidak ada gerak dinding dada yang tertinggal, vokal fremitus kanan dan kiri sama,
sela iga tidak melebar.
P: Sonor pada kedua lapang paru, batas paru-hepar setinggi ICS V
A: Pernafasan vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
• Cor
I: Ictus cordis tidak tampak
P: Ictus cordis teraba pada ICS Vmidclavicula sinistra
P: Batas jantung atas : ICS 2 sinistra
Batas jantung kiri : 3-4 jari dari linea midclavicula sinistra
A: Bunyi jantung 1 dan 2 murni reguler, aritmia , murmur (-), gallop (-)
• Abdomen
I : Cembung, scar (-)
P:Nyeri tekan epigastrium (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
P: Timpani pada seluruh kuadran abdomen, asites (-)
A: Bising usus (+) normal
• Punggung
• skoliosis (-), kifosis(-), lordosis (-), lesi kulit (-)
• nyeri ketok CVA tidak dilakukan.
• Ekstremitas atas-bawah
• Akral hangat, CRT <2 detik, edema -/-, motorik 5/5
5/5
PEMERIKSAAN LABORATORIUM 22/6/2015
• Darah rutin
– Hemoglobin : 11,3 g/dL
– Hematokrit : 32.1 %
– Eritrosit : 4.09 10^6/µL
– Leukosit : 18900 µL
– Trombosit : 383.000 µL
• Kimia darah
– Ureum : 29.8 mg/dl
– Creatinin : 0.4 mg/dl
– SGOT : 43 µL
– SGPT : 20 µL
– GDP : 91 mg/dl
Hepatitis marker
HBsAg : non reactive
MONITORING
Jam Tek. Darah Nadi RR SpO2
10.00 WIB 104/65mmHg 125x/mnt 20x/mnt 98%
11.25 WIB 100/60mmHg 90x/mnt 20x/mnt 98%
INTRA OPERATIF
• Keadaan Pra Bedah
– KU : Baik
– Kesadaran : CM
– Tanda Vital
• Nadi : 90 x/menit
• RR : 22 x/menit
• Suhu : afebris
– Status Fisik : ASA II
• Penatalaksanaan Anestesi
Posisi : Supine
Teknis anestesi : ETT No. 6
Anestesi dengan :
- Induksi : IV
- Maintenance : O2 3L, N2O 3L vol % = 1 : 1 dan sevoflurane 1,5%
Respirasi : Assisted dan Spontan
Rencana Medikasi dan pelaksanaan pada kasus
- Fentanyl : (Dosis 0,7 – 2 µg/kgBB)
Dosis pemberian : 14- 40 µg
Dosis yang diberikan : 50 µg
- Recuronium Bromide : (Dosis 0,1 – 0,2 mg/kgBB)
Dosis pemberian : 2 – 4 mg
Dosis yang diberikan : 20 mg
- Propofol : (Dosis 2- 2,5 mg/kgBB)
Dosis pemberian : 40 – 50 mg
Dosis yang diberikan : 100 mg
- Atrofin sulfat : (Dosis 0,01-0,02 mg/kgBB)
Dosis pemberian : 0,2 – 0,4 mg
Dosis yang diberikan : 0,25 mg
- Neostigmin 2 mg (4cc) : (Dosis 0,04 – 0,08 mg/kgBB)
Dosis pemberian : 0,8 – 0,16 mg
Dosis yang diberikan : 1 mg
• Kebutuhan maintenance/ rumatan : (BB= 20 kg)
• 10 kg pertama : 10 x 4 cc/kg/jam = 40 cc
• 10 kg kedua : 10 x 2 cc/kg/jam = 20 cc
• Pasien puasa 8 jam preoperative : 8 x 60 cc/jam = 480 cc
Koreksi cairan selama operasi (Trauma )
• 20 kg x 6 ml/jam = 120 cc / jam
• Keadaan Pasca Bedah
– KU : Baik
– Kesadaran : Delirium
– Tanda Vital
• Nadi : 104 x/menit
• RR : 18 x/menit
• Suhu : afebris
• Instruksi Pasca Bedah
– Masuk ICU
– -IVFD RL 20 tpm
– Pantau TTV , input dan output cairan
TINJAUAN PUSTAKA
Trauma pada kepalaPasien yang datang dengan trauma kepala, khususnya yang dalam keadaan koma,
memerlukan penatalaksanaan segera dengan prioritas yang sesuai.
Pada cedera kepala sering terjadi gangguan terhentinya pernafasan yang
sementara. Apnea yang berlangsung lama sering merupakan penyebab kematian langsung
di tempat kecelakaan.
Aspek yang sangat penting pada penatalaksanaan segera penderita cedera kepala
berat ini adalah Intubasi endotrakeal. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100%
sampai diperoleh hasil pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian
yang tepat terhadap FiO2.
Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera
kepala berat. Walaupun hal ini dapat digunakan sementara untuk mengkoreksi asidosis
dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah berdilatasi,
tindakan hiperventilasi ini tidak selalu menguntungkan. Hiperventilasi dapat dilakukan
secara hati-hati pada penderita cedera kepala berat yang menunjukkan perburukan GCS
atau timbulnya dilatasi pupil. pCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmHg (3,3-4,7
kPa).
Hipotensi dan hipoksia adalah penyebab utama terjadinya perburukan pada
penderita cedera kepala berat. Karenanya bila terjadi hipotensi maka harus segra
dilakukan tindakan untuk menormalkan tekanan darahnya. Hipotensi biasanya tidak
disebabkan oleh cedera otak itu sendiri keduali pada stadium terminal medulla oblongata
sudah mengalami gangguan.
Yang lebih sering terjadi adalah bahwa hipotensi merupakan adanya kehilangan
darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Penyebab lainnya adalah Trauma
Medula Spinalis (Tetraplegia atau Paraplegia), kontusio jantung atau tamponade jantung
dan tension pneumothorax.
Pada pasien dengan trauma kepala, seringkali anamnesis tidak didapat dari pasien melainkan
dari keluarga atau orang lain yang melihat kejadian trauma tersebut. Hal-hal yang perlu
ditanyakan antara lain adalah :
Berapa lama terjadinya penurunan kesadaran
Periode amnesia pasca trauma
Penyebab trauma
Keluhan nyeri kepala dan muntah
Pada pemeriksaan fisik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ialah :
Kesadaran dan tanda vital
Refleks pupil dan pergerakan bola mata
Kelemahan pada ekstremitas
Tanda fraktur basis cranii
Laserasi dan hematoma
Pemeriksaan yang perlu dilakukan diantaranya adalah :
Pemeriksaan lab rutin
Pemeriksaan radiologis, berupa foto rontgen kepala dan bagian tubuh lain yang
diperlukan. Jika tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan dengan CT scan atau MRI.
Epidural hematoma
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering
terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang tengkorak yang kaku dan
keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang di sebut
dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk
periosteum tabula interna.. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala
kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan
pengikisan atau robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika
pembuluh darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura
dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural hematom.
Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency dan biasanya
berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga
menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh
vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery
yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila
terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.
Anatomi
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya,
tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita seperti adanya, akan mudah
sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di
perbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian
masalah merupakan akibat langsung dari cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan di
temukan secepatnya dari tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang
menimbulkan gangguan mental dan fisik dan bahkan kematian.
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa, padat
dapat di gerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Di
antar kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang
mngandung pembuluh-pembuluih besar. Bila robek pembuluh ini sukar mengadakan
vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang berarti pada penderita dengan
laserasi pada kulit kepala. Tepat di bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang
mengandung vena emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh ini dapat emmbawa infeksi
dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa
pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala yang seksama bila galea terkoyak.
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan
perluasan intracranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tabula yang di
pisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar di sebit tabula eksterna, dan dinding bagian
dalam di sebut tabula interna. Struktur demikian memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi
yang lebih besar, dengan bobot yang lebih ringan . tabula interna mengandung alur-alur yang
berisiskan arteria meningea anterior, media, dan p0osterior. Apabila fraktur tulang tengkorak
menyebabkan tekopyaknya salah satu dari artery-artery ini, perdarahan arterial yang di
akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat manimbulkan akibat yang fatal
kecuali bila di temukan dan diobati dengan segera.
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges adalah
dura mater, arachnoid, dan pia mater .
1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua lapisan:
- Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh periosteum yang membungkus
dalam calvaria
- Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat yang berlanjut
terus di foramen mágnum dengan dura mater spinalis yang membungkus medulla
spinalis
2. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai sarang laba-laba
3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak pembuluh darah.
PATOFISIOLOGI
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura meter.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea
media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan.
Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital. Arteri meningea media yang
masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang
di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural,
desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus
temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus
mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya
tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.
Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis
di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf
cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan
ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah
ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat
cepat, dan tanda babinski positif. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi
otak akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar.
Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi
dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar
hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita
pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam , penderita akan
merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun.
Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di
sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada
Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat
atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien
langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
Sumber perdarahan :
• Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
• Sinus duramatis
• Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena
diploica
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah saraf karena
progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura sehingga langsung
mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans dan infra tentorial.Karena itu
setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama,
apalagi progresif memberat, harus segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.
GAMBARAN KLINIS
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien
dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga.
Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini
harus di observasi dengan teliti.
Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera
kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala. Gejala yang
sering tampak :
• Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
• Bingung
• Penglihatan kabur
• Susah bicara
• Nyeri kepala yang hebat
• Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
• Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
• Mual
• Pusing
• Berkeringat
• Pucat
• Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau
serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan
reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi
herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir,
kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran
sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda
kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya
disfungsi rostrocaudal batang otak. Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak
seperti memar otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya
menjadi kabur.
Pemilihan obat anestesi pada kraniotomi
Pertimbangan utama dalam memilih obat anestesi, atau kombinasi obat-obatan anestesi,
adalah pengaruhnya terhadap TIK. Karena semua obat yang menyebabkan vasodilatasi serebral
mungkin berakibat peninggian TIK,pemakaiannya sedapat mungkin harus dicegah. Satu yang
terburuk dalam hal ini adalah ketamin, yang merupakan vasodilator kuat dan karenanya secara umum
dicegah penggunaannya pada pasien cedera kepala. Semua obat anestesi inhalasi dapat meninggikan
aliran darah serebral secara ringan hingga berat. Obat inhalasi volatil seperti halotan. enfluran dan
isofluran, semua meninggikan aliran darah serebral, namun mereka mungkin aman pada konsentrasi
rendah. Isofluran paling sedikit kemungkinannya menyebabkan vasodilatasi serebral. Nitrous oksida
berefek vasodilatasi ringan yang mungkin secara klinik tidak bermakna, dan karenanya
dipertimbangkan sebagai obat yang baik untuk digunakan pada pasien cedera kepala.
Kombinasi yang umum digunakan adalah nitrous oksida (50-70 % dengan oksigen), relaksan
otot intravena, dan tiopental. Penggunaan hiperventilasi dan mannitol sebelum dan selama induksi
dapat mengaburkan efek vasodilatasi dan membatasi hipertensi intrakranial pada batas tertentu saat
kranium mulai dibuka. Bila selama operasi pembengkakan otak maligna terjadi, yang refraktori
terhadap hiperventilasi dan mannitol, tiopental (Pentothal) pada dosis besar (5-10 mg/kg) harus
digunakan. Obat ini dapat menyebabkan hipotensi, terutama pada pasien hipovolemik, karenanya
harus digunakan hati-hati. Sebagai pilihan terakhir, penggunaan hipotensi terkontrol, dengan
trimetafan (Arfonad) atau nitroprussida (Nipride) dapat dipertimbangkan. Pada setiap keadaan,
penting untuk memastikan penyebab pembengkakan otak, seperti kongesti vena akibat kompresi
leher dan adanya hematoma tersembunyi baik ipsi atau kontralateral dari sisi kraniotomi.
Tatalaksana intubasi pada pasien
Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk mengamankan ABCDE (primary
survey) pada pasien. Banyak pasien dengan peningkatan ICP memerlukan intubasi. Pasien dengan
skor GCS kurang dari 8 harus diintubasi untuk melindungi airway. Yang menjadi perhatian utama
pada pemasangan intubasi ini adalah intubasi ini mampu memberikan ventilasi tekanan positif yang
kemudian dapat meningkatkan tekanan vena sentral yang kemudian akan menghasilkan inhibisi aliran
balik vena sehingga akan meningkatkan ICP.
Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung kemih dan usus. Pengobatan
yang tepat untuk infeksi berupa pemberian antibiotik harus dilaksanakan dengan segera. Pemberian
analgesia yang memadai harus diberikan walaupun pasien dalam kondisi di bawah sadar.
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala dapat menurunkan ICP pada
komdisi normal dan pada pasien dengan cedera kepala melalui mekanisme penurunan tekanan
hidrostatis CSF yang akan menghasilkan aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan umumnya
digunakan untuk elevasi pada kepala adalah 30o. Pasien harus diposisikan dengan kepala menghadap
lurus ke depan karena apabila kepala pasien menghadap ke salah satu sisinya dan disertai dengan
fleksi pada leher akan menyebabkan penekanan pada vena jugularis interna dan memperlambat aliran
balik vena.
Target yang di inginkan pada anestesi kraniotomi
Tujuan
a. Menurunkan tekanan intracranial
b. Memperbaiki aliran darah otak
c. Mencegah dan menghilangkan herniasi
Tatalaksana
a. Mengurangi volume komponen-komponen otak
1. Volume darah
o Hiperventilasi
o Pemberian obat-obatan anestesi menyebabkan vasokonstriksi .
o Analgesik,sedative
o Mencegah hipertemi ( menurunkan metabolisme otak )
2. Jaringan otak
o Manitol
o Deksametason
3. Cairan serebrospinal
o Furosemide
o Asetazolamid
b. Mempertahankan fungsi metabolik otak
o Tekanan O2 90-120 mmHg
o Atasi kejang
o Jaga keseimbangan elektrolit dan metabolic
o Kadar Hemoglobin dipertahankan 10 mg/dl.
o Mempertahankan MAP dalam batas normal
c. Menghindari keadaan yang dapat meningkatkan tekanan intracranial
1. Pengelolaan pemberian cairan
o Keseimbangan cairan
Diuresis > 1ml/kgbb/jam
2. Posisi kepala
Daftar Pustaka
Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
Anonym,Epiduralhematoma,www.braininjury.com/epidural-subdural-hematoma.html.
Pramudianti, Arlina, dkk. 2011. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 10. Jakarta : BIP
Said,A Latief. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FK UI.
Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert A.L. Thieme Medical Publisher, New York,1996, 22
Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second edition, Williams & Wilkins, Arizona, 1993, 117 – 178
Ekayuda I., Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2006, 359-366