106
BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA 3-1 BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA 3.1 ANALISIS NERACA AIR Analisis neraca air merupakan bagian dari kegiatan pengembangan sumber daya air. Menurut Sri Harto (1999) pengembangan sumber daya air dapat diartikan secara umum sebagai upaya pemberian perlakuan terhadap fenomena alam agar dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan umat manusia. Sedangkan neraca air merupakan suatu gambaran umum mengenai kondisi ketersediaan air dan pemanfaatannya di suatu daerah. Konsep fokus kajian pengembangan sumber daya air dapat meliputi kegiatan: a. Perhitungan potensi sumber daya air. b. Analisis kebutuhan air baik tahun eksisting maupun masa yang akan datang dan sekaligus pembuatan analisis neraca sumber daya airnya. c. Pemberian alternatif sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan. Analisis neraca air atau keseimbangan air adalah suatu analisa yang menggambarkan pemanfaatan sumber daya air suatu daerah tinjauan yang didasarkan pada perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan air. Faktor- faktor yang digunakan dalam perhitungan dan analisis neraca air ini adalah ketersediaan air dari daerah aliran sungai yang dikaji (yang merupakan ketersediaan air permukaan) dan kebutuhan air dari tiap daerah layanan yang dikaji (yang meliputi kebutuhan air untuk domestik, perkotaan, industri, perikanan, peternakan dan irigasi). Persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung neraca air dapat dinyatakan sebagai berikut: Neraca = Qketersediaan - Qkebutuhan dengan:

BUKU 2 BAB 3

Embed Size (px)

Citation preview

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-1

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN

DI PULAU JAWA

3.1 ANALISIS NERACA AIR

Analisis neraca air merupakan bagian dari kegiatan pengembangan sumber daya air. Menurut Sri Harto (1999) pengembangan sumber daya air dapat diartikan secara umum sebagai upaya pemberian perlakuan terhadap fenomena alam agar dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan umat manusia. Sedangkan neraca air merupakan suatu gambaran umum mengenai kondisi ketersediaan air dan pemanfaatannya di suatu daerah.

Konsep fokus kajian pengembangan sumber daya air dapat meliputi kegiatan:

a. Perhitungan potensi sumber daya air.

b. Analisis kebutuhan air baik tahun eksisting maupun masa yang akan datang dan sekaligus pembuatan analisis neraca sumber daya airnya.

c. Pemberian alternatif sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan.

Analisis neraca air atau keseimbangan air adalah suatu analisa yang menggambarkan pemanfaatan sumber daya air suatu daerah tinjauan yang didasarkan pada perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan air. Faktor-faktor yang digunakan dalam perhitungan dan analisis neraca air ini adalah ketersediaan air dari daerah aliran sungai yang dikaji (yang merupakan ketersediaan air permukaan) dan kebutuhan air dari tiap daerah layanan yang dikaji (yang meliputi kebutuhan air untuk domestik, perkotaan, industri, perikanan, peternakan dan irigasi).

Persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung neraca air dapat dinyatakan sebagai berikut:

Neraca = Qketersediaan - Qkebutuhan

dengan:

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-2

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Neraca = neraca air, surplus jika hasil persamaan adalah positif dan defisit apabila hasil persamaan adalah negatif.

Qketersediaan = debit ketersediaan air.

Qkebutuhan = debit kebutuhan air.

Dari persamaan tersebut maka dapat didefinisikan arti dari kekeringan. Kekeringan yang dimaksud disini adalah saat dimana total kebutuhan air untuk berbagai sektor lebih besar daripada jumlah air yang tersedia untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Atau juga dapat pula dikatakan bahwa kekeringan terjadi saat neraca air mengalami defisit atau memiliki nilai negatif.

Kepincangan antara jumlah ketersediaan dengan kebutuhan air dapat menimbulkan permasalahan yang kompleks. Hal ini akan semakin diperumit dengan mengingat hubungan tersebut akan selalu berubah setiap saat dengan kondisi perubahan dari kedua aspek tersebut. Oleh karena itu, kedepan dirasa sangat perlu untuk mencari solusi penyelesaian masalah tersebut dengan mengupayakan pengaturan terhadap pola pemanfaatan sumber daya air maupun kebutuhannya selain tetap memperhatikan aspek efisiensi dan konservasi.

Berikut ini akan disajikan analisis neraca air untuk seluruh Pulau Jawa-Madura. Pendekatan wilayah yang dipakai adalah wilayah administrasi dengan batas-batasnya. Kebutuhan akan dihitung untuk tiap-tiap kabupaten dan kota sedangkan titik-titik pengambilan akan diambil sesuai dengan batas wilayah dan kontur ketinggian serta struktur-struktur pengambilan air eksisting yang sudah ada yang dirasa dapat mensuplai air untuk memenuhi kebutuhan air di kabupaten yang bersangkutan.

3.1.1 Banten

Propinsi Banten terdiri dari 4 kabupaten dan 2 kota yaitu: Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Dalam sub bab ini hanya akan dibahas analisa neraca air untuk 2 kabupaten saja, yaitu: Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Sedangakan 4 kabupaten/kota yang lain akan dibahas pada sub bab

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-3

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

berikutnya. Hal ini karena analisis neraca air pada sub bab berikutnya, yaitu untuk daerah Jabotabek dan sekitarnya, diambil dari Jabotabek Water Resources Management Study (JWRMS) yang dipandang sudah sangat komprehensif dalam melakukan analisa kebutuhan dan ketersediaan airnya.

A. Kebutuhan Air

Pemanfaatan air di Propinsi Banten bervariasi dengan kecenderungan terus meningkat dari waktu ke waktu, yang meliputi kebutuhan untuk rumah tangga, perkotaan, industri, peternakan, perikanan dan irigasi. Secara umum, kebutuhan air untuk irigasi jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan kebutuhan air untuk sektor lainnya. Kondisi ini akan semakin sulit apabila tidak didukung dengan adanya usaha untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi sumber daya air, diantaranya dengan konservasi daerah tangkapan hujan dan efisiensi dalam penggunaan air.

Dalam pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, prioritas utama adalah untuk pemenuhan kebutuhan air minum/rumah tangga, yang kedua adalah untuk pemenuhan kebutuhan jasa perkotaan dan industri, yang ketiga adalah untuk untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi dan sisanya dimanfaatkan untuk kegiatan lain termasuk untuk pengelolaan kualitas air sungai dan pembangkit listrik tenaga air. Seiring dengan perkembangan kebutuhan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri maka kebutuhan untuk irigasi seringkali menjadi tidak tercukupi terutama untuk musim tanam kedua atau ketiga dimana hujan yang turun sudah tidak terlalu banyak. Konflik sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antar departemen atau instansi pengelola sumber daya air sehingga perlu adanya suatu pengelolaan sumber daya air yang terpadu.

1. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri.

Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri di Propinsi Banten cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan air untuk rumah tangga dihitung sebagai kebutuhan air 24 jam untuk 1 (satu) orang yang meliputi air untuk minum, masak, mandi cuci dan sanitasi. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan hidup masyarakat dan iklim

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-4

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

di daerah tersebut. Kebutuhan air untuk rumah tangga dapat dihitung dengan mengkalikan standar kebutuhan air per orang per hari dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut.

Kebutuhan air untuk keperluan perkotaan (municipal) adalah kebutuhan air untuk fasilitas kota, seperti fasilitas komersial, fasilitas pariwisata, fasilitas ibadah, fasilitas kesehatan dan fasilitas pendukung kota lainnya misalnya pembersihan jalan, pemadam kebakaran, sanitasi kota dan penyiraman tanaman perkotaan. Besarnya kebutuhan air non domestik dapat ditentukan oleh banyaknya fasilitas perkotaan. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat dinamika kota dan jenjang suatu kota. Kebutuhan air untuk perkotaan diambil sebagai proporsi dari kebutuhan air untuk rumah tangga dengan persentasi antara 25-40% tergantung dari kemajuan daerah itu sendiri.

Berikut ini disajikan jumlah penduduk untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Banten berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk rumah tangga dan perkotaan sampai tahun 2025 pada Tabel 3.1, Tabel 3.2, dan Tabel 3.3.

Tabel 3. 1 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Banten

Jumlah Penduduk (jiwa) No Kabupaten

2003 2005 2010 2015 2020 2025

1 Pandeglang 1.082.012 1.120.841 1.224.118 1.336.912 1.460.099 1.594.636

2 Lebak 1.122.228 1.188.226 1.370.705 1.581.209 1.824.039 2.104.162

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 2 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Banten Kebutuhan Air Domestik (m3/det)

No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025

1 Pandeglang 1,190 1,232 1,346 1,470 1,605 1,753

2 Lebak 1,234 1,306 1,507 1,739 2,006 2,314

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 3 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Banten

Kebutuhan Air Non Domestik (m3/det) No Kabupaten

2003 2005 2010 2015 2020 2025

1 Pandeglang 0,357 0,370 0,404 0,441 0,482 0,526

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-5

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

2 Lebak 0,370 0,392 0,452 0,522 0,602 0,694

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Kebutuhan air industri adalah kebutuhan air untuk proses industri, termasuk sebagai bahan baku, kebutuhan air pekerja industri dan pendukung kegiatan industri. Jadi besar kebutuhan air industri ditentukan oleh kebutuhan air untuk diproses, bahan baku industri dan kebutuhan air untuk pekerjaan industri. Sedangkan kebutuhan air untuk pendukung kegiatan industri seperti hidran dapat disesuaikan untuk jenis industrinya. Kebutuhan air untuk keperluan industri sangat dipengaruhi oleh jenis dan skala (ukuran) industri yang ada. Misalnya industri tekstil dan logam berat tentu akan memerlukan air yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan industri perakitan. Semakin modern peralatan dan teknologi yang digunakan oleh suatu industri akan semakin efisien air yang digunakan. Untuk menghitung kebutuhan air industri di Propinsi Banten ini akan digunakan pendekatan sederhana yang dikembangkan oleh Jabotabek Water Resources Management Study (1994) yaitu penggunaan air industri berdasarkan jumlah karyawan yang bekerja di sektor industri yaitu sebesar 500 liter/karyawan/hari.

Berikut ini disajikan Tabel 3.4 yang berisi kebutuhan air industri untuk tiap kabupaten di Propinsi Banten berikut proyeksinya sampai tahun 2025..

Tabel 3. 4 Kebutuhan Air untuk Industri di Propinsi Banten

Kebutuhan Air Industri (m3/det) No Kabupaten

2003 2005 2010 2015 2020 2025

1 Pandeglang 0,119 0,127 0,149 0,176 0,207 0,243

2 Lebak 0,094 0,110 0,163 0,240 0,353 0,521

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

2. Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dan perikanan.

Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dihitung dengan mengkalikan jumlah ternak yang ada di kabupaten tersebut dengan kebutuhan air untuk tiap jenis ternak. Ternak berkaki 4 besar seperti sapi, kerbau dan kuda rata-

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-6

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

rata memerlukan air sebesar 40 liter/ekor/hari. Ternak berkaki 4 kecil seperti kambing atau domba rata-rata memerlukan air sebanyak 5 liter/ekor/hari. Sedangkan unggas seperti ayam memerlukan air rata-rata 0,6 liter/ekor/hari.

Kebutuhan air untuk perikanan adalah kebutuhan air untuk mengisi kolam pada saat awal tanam dan kebutuhan untuk penggantian air. Dipakai standar sebesar 7 mm/hari sebagai kebutuhan air untuk perikanan.

Berikut ini disajikan Tabel 3.5 dan Tabel 3.6 yang berisi kebutuhan air untuk peternakan dan perikanan untuk tiap kabupaten di Propinsi Banten berikut proyeksinya sampai tahun 2025.

Tabel 3. 5 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Banten

Kebutuhan Air Peternakan (m3/det) No Kabupaten

2003 2005 2010 2015 2020 2025

1 Pandeglang 0,057 0,057 0,058 0,060 0,062 0,066

2 Lebak 0,063 0,065 0,072 0,081 0,093 0,107

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 6 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Banten

Kebutuhan Air Perikanan (m3/det) No Kabupaten

2003 2005 2010 2015 2020 2025

1 Pandeglang 0,998 1,059 1,229 1,427 1,655 1,921

2 Lebak 0,390 0,405 0,448 0,494 0,546 0,603

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

3. Kebutuhan air untuk keperluan irigasi.

Kebutuhan air untuk irigasi sangat mendominasi kebutuhan air di Propinsi Banten apabila dibandingkan dengan kebutuhan untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri serta kebutuhan untuk keperluan peternakan dan perikanan. Pola ini masih terus berlangsung sampai di masa yang akan datang selama masih ada pembukaan lahan pertanian beririgrasi yang baru.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-7

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Kebutuhan air untuk irigasi tergantung pada beberapa faktor antara lain seperti luas tanam, jenis tanaman, keadaan iklim (curah hujan dan evapotranspirasi), jenis tanah (untuk memperkirakan laju perkolasi dan kelembaban), cara bercocok tanam dan praktek irigasi untuk tanaman padi (kebutuhan air untuk pengolahan lahan dan penggantian lapisan air), sistem golongan dan efisiensi irigasi.

Secara umum pola tanam yang ada di wilayah studi adalah padi-padi-palawija, namun untuk beberapa daerah tertentu pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-padi apabila memang ketersediaan air mencukupi untuk pola tersebut. Ada juga daerah lain yang hanya bisa menanam padi satu kali dalam satu tahun karena air yang tersedia hanya cukup untuk sekali tanam padi.

Untuk mengurangi puncak kebutuhan air untuk irigasi khususnya pada masa awal musim tanam, maka dilakukan penjadwalan masa awal tanam secara bergiliran yang didasarkan pada besarnya luasan areal maupun lokasi areal. Pembagian penjadwalan waktu tanam tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa golongan, masing-masing golongan dibagi berdasarkan ketersediaan air dan luas areal tanam untuk kebutuhan air masa awal pengolahan lahan.

Data luas lahan areal irigasi didapatkan dari buku Propinsi Dalam Angka yang dikeluarkan oleh BPS. Dari data luasan lahan areal irigasi tersebut lalu dilakukan proyeksi untuk dapat menentukan luasan lahan areal irigasi di masa yang akan datang sehingga perkiraan kebutuhan air di waktu yang akan datang dapat diperhitungkan pula.

Berikut ini disajikan Tabel 3.7 dan Tabel 3.8 yang berisi luas lahan areal irigasi untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Banten berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk irigasi sampai tahun 2025.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-8

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 7 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Banten

Luas Lahan Areal Irigasi (Ha) No Kabupaten

2003 2005 2010 2015 2020 2025

1 Pandeglang 61.014 61.077 61.233 61.389 61.546 61.703

2 Lebak 45.822 45.841 45.889 45.936 45.984 46.032

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 8 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Banten Kebutuhan Air Irigasi (m3/det)

No Kab/

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

1 Pandeglang

2003 7,740 15,242 15,559 5,512 10,232 11,827 12,387 6,527 0,639 12,604 16,550 8,929

2005 7,748 15,257 15,575 5,518 10,242 11,840 12,399 6,533 0,640 12,617 16,567 8,938

2010 7,768 15,296 15,614 5,532 10,268 11,870 12,431 6,550 0,641 12,649 16,610 8,960

2015 7,787 15,335 15,654 5,546 10,295 11,900 12,463 6,567 0,643 12,682 16,652 8,983

2020 7,807 15,375 15,694 5,560 10,321 11,930 12,495 6,583 0,644 12,714 16,695 9,006

2025 7,827 15,414 15,734 5,575 10,347 11,961 12,527 6,600 0,646 12,747 16,737 9,029

2 Lebak

2003 7,128 11,556 12,267 3,893 7,468 9,173 10,408 5,657 0,507 11,776 13,494 7,137

2005 7,131 11,560 12,272 3,894 7,471 9,176 10,413 5,660 0,507 11,781 13,500 7,140

2010 7,139 11,572 12,285 3,898 7,479 9,186 10,423 5,666 0,508 11,793 13,514 7,147

2015 7,146 11,585 12,298 3,902 7,487 9,196 10,434 5,672 0,508 11,806 13,528 7,155

2020 7,154 11,597 12,311 3,907 7,494 9,205 10,445 5,678 0,509 11,818 13,542 7,162

2025 7,161 11,609 12,323 3,911 7,502 9,215 10,456 5,683 0,509 11,830 13,556 7,170

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

B. Ketersediaan Air

Wilayah administrasi Propinsi Banten yang dibahas dalam sub bab ini meliputi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Pandeglang dan Lebak yang termasuk dalam wilayah 2 WS yaitu WS Ciujung-Ciliman dan WS Cisadea-Cikuningan. Sungai-sungai utama yang diambil airnya untuk dimanfatkan guna mencukupi kebutuhan air di WS Ciujung-Ciliman adalah Sungai Ciujung, Cibungur, Ciliman dan Ciseukeut.

Sedangkan sungai-sungai utama di WS Cisadea-Cikuningan yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan air di WS Cisadea-Cikuningan adalah Sungai Cibaliung, Cimadur dan Cibareno.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-9

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Besarnya debit sungai sangat dipengaruhi oleh besarnya curah hujan, sehingga ketersediaan air akan sangat bervariasi tergantung musim. Biasanya di musim penghujan air yang tersedia berupa debit aliran di sungai akan sangat banyak dan melimpah dan sebaliknya saat musim kemarau air yang tersedia sebagai debit aliran di sungai akan sedikit sekali. Besarnya debit andalan yang dipakai sebagai ketersediaan air dari berbagai titik pengambilan untuk masing-masing kabupaten dapat dilihat pada Tabel 3.9 berikut ini.

Tabel 3. 9 Ketersediaan Air di Propinsi Banten

Ketersediaan Air (m3/det) No

Titik Pengambilan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

1 Pandeglang Cibaliung 15,080 13,130 11,308 15,895 7,955 4,031 2,088 0,612 0,415 0,398 2,430 7,505 Ciliman 25,644 22,329 19,230 27,032 13,528 6,855 3,551 1,041 0,705 0,676 4,133 12,763 Cibungur 17,650 21,312 12,625 15,223 10,709 9,049 4,939 4,152 2,236 4,812 15,457 31,979 Ciseukeut 11,732 10,215 8,798 12,367 6,189 3,136 1,624 0,476 0,323 0,309 1,891 5,839 Cimoyan 7,899 6,878 5,924 8,327 4,167 2,112 1,094 0,321 0,217 0,208 1,273 3,932 Cisata 5,592 4,869 4,193 5,894 2,950 1,495 0,774 0,227 0,154 0,147 0,901 2,783 Rangkasbitung 12,110 11,769 9,941 15,107 11,789 6,477 2,868 2,903 1,870 3,353 12,438 10,192 Cikoncang 10,573 9,206 7,928 11,145 5,577 2,826 1,464 0,429 0,291 0,279 1,704 5,262 Total 106,28 99,71 79,95 110,99 62,86 35,98 18,40 10,16 6,21 10,18 40,23 80,25

2 Lebak Cibinuangeun 7,423 6,463 5,567 7,825 3,916 1,984 1,028 0,301 0,204 0,196 1,196 3,695

Cimadur 10,806 9,835 9,628 7,491 7,712 4,388 5,013 5,726 7,324 6,163 13,618 12,666 Bojongmanik 21,638 18,840 16,226 22,809 11,414 5,784 2,996 0,878 0,595 0,570 3,487 10,770 Cilaki 5,666 5,507 4,651 7,068 5,516 3,030 1,342 1,358 0,875 1,569 5,820 4,768 Cibareno 8,986 8,179 8,007 6,230 6,414 3,649 4,168 4,762 6,090 5,125 11,325 10,533 Total 54,52 48,82 44,08 51,42 34,97 18,84 14,55 13,03 15,09 13,62 35,45 42,43

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

C. Neraca Air

Dalam studi neraca air atau keseimbangan air perlu diketahui jumlah kebutuhan air dari wilayah yang ditinjau dan jumlah ketersediaan air dari titik-titik pengambilan di sungai-sungai yang melayaninya. Air yang tersedia tergantung dari input yang berupa hujan yang jatuh di daerah tangkapan hujan dan respon masing-masing sungai. Respon masing-masing sungai dipengaruhi oleh jenis penggunaan lahan, kondisi geologi dan kondisi tanah. Sedangnya besarnya kebutuhan tergantung pada jumlah penduduk dan kondisi serta aktifitas masyarakat di masing-masing daerah.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-10

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Beberapa kriteria yang dipakai dalam analisis neraca air ini adalah sebagai berikut:

1. Hitungan keseimbangan air dilakukan untuk setiap wilayah kabupaten atau kota berikut dengan ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungai-sungai yang melayaninya.

2. Ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungai-sungai tersebut dianggap tetap.

3. Kebutuhan dan proyeksi kebutuhan air dihitung berdasarkan data-data jumlah penduduk dan luas lahan yang didapat.

4. Kebutuhan air untuk irigasi dihitung dengan memasukkan faktor intensitas tanam dan pergiliran awal musim tanam untuk mereduksi puncak-puncak kebutuhan air irigasi yang sangat besar.

Selengkapnya hasil analisa neraca air untuk Propinsi Banten sampai dengan tahun 2025 disajikan dalam Tabel 3.10 dan jumlah bulan defisit disajikan pada Tabel 3.11.

Tabel 3. 10 Neraca Air di Propinsi Banten Neraca Air(m3/det)

No Kabupaten/

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

1 Pandeglang 2003 95,82 81,74 61,67 102,76 49,91 21,43 3,30 0,91 2,85 -5,14 20,96 68,61 2005 95,69 81,60 61,53 102,63 49,78 21,29 3,16 0,78 2,72 -5,28 20,81 68,47 2010 95,33 81,22 61,15 102,27 49,41 20,92 2,78 0,42 2,38 -5,65 20,43 68,11 2015 94,92 80,80 60,72 101,87 49,00 20,51 2,37 0,02 1,99 -6,07 20,00 67,70 2020 94,46 80,32 60,24 101,42 48,53 20,04 1,90 -0,44 1,55 -6,54 19,52 67,24 2025 93,94 79,78 59,70 100,91 48,01 19,51 1,37 -0,95 1,05 -7,07 18,98 66,72

2 Lebak

2003 45,24 35,12 29,66 45,38 25,35 7,51 1,99 5,22 12,43 -0,30 19,80 33,14

2005 45,11 34,98 29,53 45,25 25,22 7,38 1,85 5,09 12,30 -0,44 19,67 33,01

2010 44,74 34,61 29,15 44,88 24,85 7,01 1,48 4,72 11,94 -0,81 19,29 32,64

2015 44,30 34,16 28,70 44,44 24,41 6,56 1,04 4,28 11,50 -1,26 18,84 32,20

2020 43,77 33,63 28,17 43,92 23,88 6,03 0,50 3,75 10,98 -1,79 18,30 31,67

2025 43,12 32,98 27,52 43,27 23,23 5,38 -0,15 3,10 10,34 -2,44 17,65 31,02

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-11

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 11 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Banten

No Kabupaten/Kota 2003 2005 2010 2015 2020 2025

1 Pandeglang 1 1 1 1 2 2

2 Lebak 1 1 1 1 1 2

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

3.1.2 Jabotabek dan Sekitarnya

Dalam sub bab ini akan disajikan tentang analisis neraca air untuk daerah Jabotabek dan sekitarnya. DKI Jakarta sebagai ibukota Indonesia memiliki peran yang sangat penting sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian di Indonesia. Besarnya peran dan perkembangan DKI Jakarta ini menuntut daya dukung sumberdaya terutama sumber daya air untuk menunjang segala kegiatan di DKI Jakarta dan sekitarnya.

Untuk itu Pemerintah Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pengembangan Sumber daya air Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 1991 melaksanakan studi yang diberi nama Jabotabek Water Resources Management Study (JWRMS) yang merupakan sebuah studi mengenai pengelolaan sumber daya air yang terpadu untuk daerah Jabotabek di Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat (serta Banten). Studi ini berfokus pada aspek kualitas dan kuantitas dari sumber daya air permukaan dan air tanah dan hasilnya adalah sebuah master plan dari penyediaan air untuk Jabotabek.

Wilayah dari studi ini meliputi semua kota di Propinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Kota Bogor dan Kota Bekasi di Propinsi Jawa Barat serta Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang di Propinsi Banten (dahulu Jawa Barat). Jabotabek mengandalkan sumber daya air tanah yang berada di wilayahnya sendiri serta sumber daya air permukaan yang terletak baik di dalam maupun di luar wilayahnya. Oleh karena itu, wilayah studi diperluas hingga meliputi Kabupaten Serang di Propinsi Banten dan Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta di Propinsi Jawa Barat.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Jabotabek mengandalkan sumber daya air yang berada baik di dalam maupun di luar wilayahnya. Di sebelah timur

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-12

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Jabotabek terdapat suatu sistem waduk (Jatiluhur, Cirata dan Saguling) yang berada di Sungai Citarum dan berfungsi sebagai penyedia air baku utama untuk DKI Jakarta dan penyedia air irigasi untuk areal pertanian di dalam dan di luar wilayah Jabotabek. Di sebelah selatan dan barat Jabotabek terdapat Sungai Cisadane, Cidurian dan Ciujung sebagai sumber daya air permukaan utama. Konflik antar kepentingan antara pengguna air untuk keperluan irigasi, perkotaan dan industri semakin sering terjadi dengan intensitas yang terus meningkat. Kelangkaan air yang terus meningkat diperparah oleh pencemaran air sebagai akibat dari semakin meningkatnya aktifitas penduduk dan industri. Aktifitas ini sangat mempengaruhi kualitas air dalam arti yang negatif.

Sumber daya air tanah kebanyakan dipakai di wilayah utara dari Jabotabek, terutama di DKI Jakarta. Meskipun pengambilan sumber daya air tanah adalah kecil apabila dibandingkan dengan air permukaan, saat ini ada pertimbangan aspek ekonomi dan sosial yang sangat penting karena 70% dari penduduk DKI Jakarta dan sebagian besar industri di Jabotabek mengandalkan sumber daya air tanah ini. Walaupun demikian, pengambilan air tanah yang berlebihan di DKI Jakarta, Tangerang dan Bekasi berakibat pada penurunan permukaan tanah, hal ini akan menjadi masalah yang sangat serius apabila tidak segera diambil tindakan yang tepat.

Konsultan memandang tidak ada lagi studi yang lebih mendetail dan komprehensif mengenai penyediaan air untuk Jabotabek dan sekitarnya dibanding dengan JWRMS. Maka, berbeda dari daerah-daerah lainnya, konsultan akan mengadopsi metoda perhitungan yang dipakai dalam JWRMS dan memuthakirkan datanya dengan kondisi terkini yaitu tahun 2003. Dari tiga skenario yang dipakai dalam JWRMS, konsultan memilih menggunakan skenario ketiga (C) seperti yang disarankan oleh JWRMS yaitu proyeksi yang mengacu pada asumsi bahwa akan terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, keterlibatan pemerintah yang kuat dalam pengelolaan sumber daya air, pembatasan penggunaan air tanah dan lebih mengandalkan pada air permukaan.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-13

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

A. Kebutuhan Air

Pembangunan di wilayah Jabotabek telah menyebabkan peningkatan luas areal perumahan dan industri. Terlepas dari masalah untuk dapat memenuhi kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri, urbanisasi telah menyebabkan menurunnya kualitas air permukaan di wilayah Jabotabek dan dapat mempengaruhi kehidupan dari jutaan orang yang hidup di wilayah tersebut, terutama DKI Jakarta. Karena kelangkaan sumber daya air di wilayah ini, alokasi air untuk berbagai sektor yang terus berkembang menjadi sangat rumit. Hal ini memerlukan suatu sistem pengelolaan sumber daya air yang terintegrasi antar sektor kebutuhan dan juga antar sumber ketersediaan.

Sektor kebutuhan air yang diperhitungakan antara lain meliputi sektor pertanian, rumah tangga, perkantoran, hotel, jasa, industri, penggelontoran dan perawatan sungai, perikanan serta pembangkit listrik tenaga air dengan prioritas utama untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, perkotaan dan industri lalu untuk kebutuhan irigasi.

1. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri.

Kebutuhan air rumah tangga didasarkan pada jumlah orang yang hidup di wilayah studi. Dalam rangka untuk memperkirakan jumlah penduduk yang akan memanfaatkan jaringan penyediaan air, dilakukan penelitian terhadap kesediaan penduduk untuk memanfaatkan jaringan penyediaan air, kesediaan untuk membayar biasa sambungan dan kesediaan untuk membayar biaya air bulanan. Kebutuhan air dari jaringan penyediaan air sangat dipengaruhi oleh kondisi air tanah di wilayah tersebut. Faktor ini memberikan pengaruh yang sangat penting kepada ketergantungan pada ketersediaan air baku melalui sistem pemipaan. Diasumsikan bahwa wilayah yang akan terhubung dengan sistem pemipaan air umum adalah dalam kasus sebagai berikut:

• Air tanah yang tersedia sangat terbatas atau dalam kualitas yang buruk dan kepadatan penduduk diatas 30 orang per hektar.

• Air tanah yang tersedia sangat terbatas atau dalam kualitas yang meragukan dan kepadatan penduduk diatas 50 orang per hektar.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-14

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

• Air tanah tersedia dalam kualitas yang baik dan kepadatan penduduk di atas 100 orang per hektar.

Informasi yang tersedia tentang kebutuhan air untuk perkotaan sangat sedikit sekali. Estimasi kebutuhan air perkotaan didasarkan pada estimasi kebutuhan air rumah tangga. Diasumsikan bahwa ada korelasi positif antara jumlah penduduk yang tinggal di suatu wilayah tertentu dengan tingkat aktifitas perkotaan. Juga diasumsikan bahwa besarnya kebutuhan air perkotaan menunjukkan suatu perkembangan tertentu dari luas wilayah permukiman dimana aktifitas perkotaan ini terjadi. Lebih jauh lagi juga diasumsikan bahwa kebutuhan air total untuk perkotaan ini didistribusikan antara air permukaan dan air tanah sama seperti kebutuhan air rumah tangga.

Melakukan estimasi untuk kebutuhan air industri adalah bukan suatu hal yang mudah. Dalam banyak kasus, data yang diperoleh sangat kurang untuk dapat menghitung kebutuhan air industri di masa dahulu kala maupun masa sekarang. Hal ini membuat perkiraan kebutuhan industri di masa yang akan datang menjadi sangat sulit. Kebutuhan air industri jauh lebih rumit dibandingkan dengan kebutuhan air rumah tangga karena sangat beragamnya proses produksi itu sendiri. Hal ini menyebabkan sulitnya untuk mengumpulkan data dan melakukan analisis yang konsisten serta untuk memperkirakan kebutuhan di masa yang akan datang secara rinci.

Dengan menggunakan data lebih dari 6.000 industri dari kecil sampai besar, sebuah usaha dilakukan untuk menemukan hubungan yang dapat digunakan dalam menghitung kebutuhan air industri. Walaupun demikian keberagaman dari parameter-parameter produksi sangat besar sehingga tidak dapat ditemukan suatu hubungan dari parameter-parameter tersebut yang dapat digunakan dalam perhitungan kebutuhan air industri. Akhirnya diputuskan untuk menggunakan sebuah angka rata-rata per karyawan untuk membuat relasi antara kebutuhan total air industri dengan jumlah karyawan yang bekerja di sektor industri. Digunakan angka sebesar 500 liter/karyawan/hari untuk menghitung kebutuhan total air industri

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-15

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3.12 berikut akan menyajikan proyeksi jumlah penduduk sesuai dengan skenario yang terpilih, sedangkan Tabel 3.13, Tabel 3.14 dan Tabel 3.15 menyajikan kebutuhan air total untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri baik itu yang bersumber dari air permukaan, air tanah maupun total keduanya.

Tabel 3. 12 Proyeksi Jumlah Penduduk di Jabotabek dan Sekitarnya

Proyeksi Jumlah Penduduk JWRMS (x 1.000) Riil No Wilayah

1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2003

1 DKI Jakarta 8.210 8.758 9.342 9.965 10.630 11.339 12.095 12.902 7.457

2 Bogor 3.949 4.507 5.144 5.871 6.700 7.647 8.728 9.961 5.894

3 Tangerang 2.724 3.243 3.860 4.595 5.470 6.511 7.751 9.227 4.649

4 Bekasi 2.073 2.455 2.908 3.443 4.078 4.830 5.720 6.774 3.704

5 Serang 1.471 1.777 2.146 2.592 3.131 3.782 4.568 5.518 2.103

6 Karawang Purwakarta

2.055 2.455 2.933 3.504 4.186 5.001 5.974 7.137 2.628

Total 20.482 23.194 26.332 29.970 34.195 39.110 44.836 51.519 26.435

Sumber: JWRMS dan hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 13 Kebutuhan Air Permukaan untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri di

Jabotabek dan Sekitarnya

Kebutuhan Air Permukaan RKI (m3/det) Riil No Wilayah

1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2003

1 DKI Jakarta

9,0 13,8 18,9 27,9 36,1 37,5 38,5 42,1 24,3

2 Bogor 1,4 2,4 3,7 5,8 9,5 13,2 16,6 19,5 5,9

3 Tangerang 2,3 3,4 4,8 7,3 11,1 15,1 19,1 22,3 7,5

4 Bekasi 1,6 2,2 3,1 4,2 7,4 10,2 13,6 16,2 5,5

5 Serang 2,2 3,3 4,4 6,9 9,1 12,2 14,3 17,3 4,3

6 Karawang Purwakarta

1,0 1,5 2,9 4,9 7,7 11,4 14,6 18,1 2,0

Total 17,5 26,6 37,8 57,0 80,9 99,6 116,7 135,5 49,6

Sumber: JWRMS dan hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-16

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 14 Kebutuhan Air Tanah untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri di Jabotabek dan Sekitarnya

Kebutuhan Air Tanah RKI (m3/det) Riil No Wilayah

1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2003

1 DKI Jakarta

15,1 15,2 14,8 13,4 11,1 10,8 10,4 10,1 5,8

2 Bogor 6 7,3 8,7 9,8 10,3 10,7 11,2 11,6 9,8

3 Tangerang 4,4 5,6 6,7 7,6 7,9 8,1 8,2 8,4 7,6

4 Bekasi 3,4 4,5 5,5 6,5 6,8 7,1 7,2 7,3 6,6

5 Serang 2,6 3,2 4 4,6 5 5,1 5,2 5,3 3,9

6 Karawang Purwakarta

3,5 4 4,7 5,4 5,7 5,7 5,6 5,6 4,3

Total 15,1 15,2 14,8 13,4 11,1 10,8 10,4 10,1 5,8

Sumber: JWRMS dan hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 15 Kebutuhan Air Total untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri di Jabotabek dan Sekitarnya

Kebutuhan Air RKI (m3/det) Riil No Wilayah

1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2003

1 DKI Jakarta

24,1 28,9 33,7 41,3 47,2 48,2 49,0 52,2 30,2

2 Bogor 7,4 9,8 12,4 15,7 19,9 23,9 27,8 31,1 15,7

3 Tangerang 6,7 9,0 11,5 14,8 19,1 23,2 27,3 30,6 15,2

4 Bekasi 5,0 6,7 8,6 10,7 14,1 17,2 20,8 23,5 12,1

5 Serang 4,9 6,5 8,4 11,5 14,2 17,3 19,5 22,5 8,2

6 Karawang Purwakarta

4,5 5,6 7,6 10,3 13,4 17,1 20,2 23,7 6,3

Total 52,6 66,5 82,2 104,3 127,9 146,9 164,6 183,6 87,6

Sumber: JWRMS dan hasil analisis Tim Dinamaritama.

B. Kebutuhan Air untuk keperluan irigasi.

Kebutuhan air untuk irigasi adalah pengguna air tebesar untuk saat ini dan hal yang sama tetap akan terjadi di masa yang akan datang. Perubahan yang berarti diharapkan akan terjadi pada luasan areal sawah beririgrasi di wilayah studi

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-17

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

karena laju urbanisasi yang tinggi dan perubahan pada cara bercocok tanam. Pola tanam di masa yang akan datang akan dipengaruhi oleh keinginan untuk meningkatkan pendapatan petani sesuai dengan meningkatnya pendapatan nasional di masa yang akan datang. Jumlah produksi juga akan menyesuaikan diri dengan perubahan pola permintaan terhadap hasil produksi pertanian sebagai hasil dari meningkatnya jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan. Pertumbuhan jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan akan sayur-mayur dan buah-buahan. Hal ini akan menyebabkan munculnya kesempatan untuk mengintensifkan dan membuka lapangan kerja baru yang berbasis pada pertanian.

Penekanan dalam proyeksi ini adalah untuk menyediakan air yang cukup untuk keperluan pertanian sehingga perkembangan pertanian di masa yang akan datang dapat didukung. Dalam hal ini yang terpenting adalah proporsi antara antara penanaman padi (yang banyak memerlukan air) dan penanaman tanaman pertanian bukan padi (yang memerlukan air relatif lebih sedikit).

Perubahan yang diharapkan terjadi dalam cara bercocok tanam akan memberikan pengaruh kepada kebutuhan air sebagai berikut:

• Reduksi luas lahan beririgrasi, menyebabkan reduksi kebutuhan air secara keseluruhan.

• Perubahan ke pola penanaman tanaman pertanian bukan padi, menyebabkan reduksi kebutuhan air total juga menyebabkan reduksi kebutuhan air puncak.

• Meningkatnya intensitas penanaman, menyebabkan naiknya kebutuhan air terutama pada saat musim kemarau.

Langkah pertama dalam menghitung kebutuhan air untuk irigasi adalah memperkirakan luas lahan irigasi yang tersisa di masa yang akan datang sesuai dengan rencana penataan ruang di wilayah studi. Selanjutnya pola tanam yang lebih intensif yang mengarah pada penanaman tanaman pertanian bukan padi juga diperhitungkan dalam studi ini.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-18

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3.16 berikut ini akan menyajikan proyeksi luas lahan pertanian sesuai dengan skenario yang terpilih, sedangkan Tabel 3.17 menyajikan kebutuhan air untuk keperluan irigasi beserta proyeksinya untuk tahun 2025.

Tabel 3. 16 Proyeksi Luas Lahan Irigasi di Jabotabek dan Sekitarnya

Luas Lahan Irigasi (Ha) No Daerah Irigasi

1990 2025

1 Ciujung 22.988 18.862

2 Cidurian 10.805 8.873

3 Cisadane 31.156 27.489

4 Empang 5.791 3.266

5 Katulampa 3.853 2.387

6 Kanal Tarum Barat 65.845 52.032

7 Kanal Tarum Utara 85.723 72.417

Total 226.161 185.326

Sumber: JWRMS.

Tabel 3. 17 Kebutuhan Air Irigasi di Jabotabek dan Sekitarnya

Keb. Air Irigasi (m3/det) No Daerah Irigasi

1990 2025

1 Ciujung 14,0 11,1

2 Cidurian 4,2 3,7

3 Cisadane 18,9 17,2

4 Empang 1,4 0,8

5 Katulampa 1,5 1,0

6 Kanal Tarum Barat 33,6 28,6

7 Kanal Tarum Utara 57,5 48,4

Total 131,1 110,8

Sumber: JWRMS.

C. Ketersediaan Air

Wilayah Jabotabek ini termasuk dalam 3 wilayah sungai yaitu WS Ciujung-Ciliman, WS Ciliwung-Cisadane dan WS Citarum. Sungai-sungai utama yang

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-19

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

dapat menyediakan air untuk wilayah ini adalah Sungai Ciujung, Cidurian, Cisadane, Ciliwung, Bekasi dan Citarum. Debit aliran dari sungai-sungai tersebut saat ini sudah sedikit banyak dimanfaatkan untuk berbagai macam kebutuhan, terutama untuk kebutuhan air irigasi. Dalam JWRMS telah dilakukan analisis terhadap data hidrologi dan pemodelan komputer untuk mengevaluasi ketersediaan air pada sungai-sungai tersebut.

Tabel 3.18 berikut ini menyajikan hasil dari analisis tersebut. Kenaikan potensi sebagai akibat dari pembangunan infrastruktur tambahan dan peningkatan pengelolaan operasional juga sudah dimasukkan ke dalam analisis ini supaya didapatkan pandangan yang menyeluruh mengenai potensi dari ketersediaan air. Tabel ini menyajikan potensi ketersediaan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri setelah kebutuhan air untuk irigasi di masa yang akan datang telah terpenuhi. Tabel ini pada dasarnya menyajikan kontribusi dari tiap-tiap struktur di tiap-tiap sungai. Interaksi antar struktur dalam satu sungai juga dipertimbangkan, misalnya di Sungai Ciujung interaksi antara Waduk Karian dan Pasirkopo menghasilkan ketersediaan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri sebesar 31 m3/det, debit ini didasarkan pada kerja sama antara dua waduk tersebut.

Hasil dari analisis ini juga juga telah digunakan untuk menyeleksi berbagai macam pilihan dan menyusun berbagai macam konfigurasi kebutuhan dan ketersediaan. Konfigurasi kebutuhan dan ketersediaan tersebut lebih jauh lagi telah dilakukan simulasi untuk menentukan pengaruhnya terhadap wilayah yang bersangkutan dan untuk menganalisis interaksi antar daerah aliran sungai. Struktur yang dianggap sulit atau tidak mungkin dibangun tidak dimasukkan dalam analisis ini. Untuk mengindikasikan kemungkinan pertukaran ketersediaan air antar pengguna air, pada beberapa sungai potensi ketersediaan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri telah dihitung baik dengan kebutuhan air untuk irigasi maupun tidak.

Potensi ketersediaan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri saat ini mencapai 71,5 m3/det. Volume ini sebagian besar berasal dari Sungai Citarum. Potensi ini bisa ditingkatkan menjadi 155 m3/det yang sebesar 95 m3/det berasal dari Sungai Citarum. Potensi yang besar dari Sungai Citarum ini sebagian besar

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-20

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

diakibatkan oleh peningkatan pengelolaan operasional Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur.

Intervensi struktural untuk meningkatkan ketersediaan air di wilayah studi hanya dipertimbangkan untuk meningkatkan ketersediaan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri, baik untuk meningkatkan kuantitas dari ketersediaan air maupun untuk meningkatkan kualitas air di titik-titik pengambilan. Untuk kebutuhan irigasi, reduksi kebutuhan air di masa yang akan datang dipandang akan mengakibatkan kebutuhan air irigasi akan tercukupi oleh struktur yang sudah ada. Tidak ada intervensi struktural baru untuk mendukung kebutuhan air irigasi. Tabel 3.18 juga menampilkan lokasi dari rencana pembangunan struktur baru untuk meningkatkan ketersediaan air di wilayah studi.

Usaha peningkatan potensi ketersediaan air dapat dibedakan menjadi:

• Intervensi struktural, termasuk pembangunan waduk/reservoir baru beserta dengan sistem saluran pembawanya.

• Intervensi non struktural, peningkatan ketersediaan air melalui peningkatan operasional dari fasilitas yang sudah ada sehubungan dengan peningkatan efisiensi dari penggunaan air.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-21

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 18 Ketersediaan Air untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri Jabotabek dan Sekitarnya

Tanpa Struktur Dengan Struktur Potensi Max Sungai Dengan Irigasi Tanpa Irigasi Dengan Irigasi Tanpa Irigasi Dengan Irigasi Ciujung (Pamarayan) + Karian + Pasirkopo + Bojongmanik

9 13 24 31 33

31

33 Cidurian (Rancasumur) + Tanjung Cilawang

3 3 10 4

12 2

14 Cisadane **) Saat ini: * Hulu ( Bogor) * Hilir (Serpong) Masa datang: * Hulu + Kanal Salak + Genteng * Hilir

1,5 5

2 8 4

14 Ciliwung **) * Hulu (Bogor) * Hilir (Depok)

1 2

3 Sungai Bekasi Narogong

6

6

Sistem Citarum - Saat ini: + Pengelolaan operasional + Waduk Cipunegara

50 90 95

95 Pilihan yang kurang menarik: Pasiranji Nameng

11

5

(11) (5)

Pilihan yang sulit dilaksanakan: Parungbadak Sodong Pangkalan Depok

Total Eksisting Potensi

21,5

50

71,5

155 (16) *) kebutuhan air irigasi di masa yang akan datang. **) ketersediaan air sangat tergantung aliran balik. Sumber: JWRMS.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-22

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

D. Neraca Air

Dalam analisis neraca air untuk daerah Jabotabek dan sekitarnya akan dihitung berdasarkan pemanfaatan sumber daya air yang berlaku pada saat ini (tahun 2003) dan proyeksinya nanti pada tahun 2025. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam analisis neraca air ini adalah kapasitas dari struktur yang sudah ada terutama sistem saluran pembawa seperti Kanal Tarum Barat, sehingga meskipun air yang tersedia di Bendung Curug melimpah tetapi air yang bisa dimanfaatkan oleh DKI Jakarta hanya sebesar kapasitas dari Kanal Tarum Barat itu sendiri.

Asumsi-asumsi lain yang dipakai untuk memperhitungkan besarnya kebutuhan air sesuai dengan asumsi yang dipakai oleh JWRMS pada skenario terpilih dengan pemutakhiran pada jumlah populasi yang ada pada saat ini. Neraca air ini hanya akan memperhitungkan kebutuhan dan ketersediaan dari air permukaan, sedangkan untuk air tanah tidak dibahas.

Berbeda dengan neraca air wilayah lain yang ditampilkan dalam skala waktu bulanan, JWRMS hanya menampilkan satu angka rata-rata untuk tiap tahun, maka dalam studi Prakarsa Strategis Sumber daya air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan yang mengadopsi metoda perhitungan JWRMS ini analisis neraca airnya juga akan menampilkan satu angka untuk tiap tahunnya. Angka ini menurut JWRMS adalah angka debit di musim kemarau.

Untuk ketersediaan air dianggap bahwa upaya peningkatan potensi ketersediaan air baik itu melalui intervensi struktural maupun non struktural yang direncanakan belum dilaksanakan. Asumsi ini diambil dengan melihat kondisi lapangan saat ini bahwa memang tidak ada pembangunan struktur-struktur baru seperti yang direncanakan di sungai-sungai yang disebutkan diatas.

Selengkapnya hasil analisa neraca air untuk Jabotabek dan daerah sekitarnya sampai dengan tahun 2025 disajikan dalam Tabel 3.19 berikut ini.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-23

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 19 Neraca Air di Jabotabek dan Sekitarnya

Surplus/Defisit (m3/det) No Daerah Irigasi

2003 2025

1 DKI Jakarta -0.2 -18.0

2 Bogor -2.5 -15.0

3 Tangerang -0.3 -14.3

4 Bekasi 10.7 0.0

5 Serang 3.0 -8.3

6 Karawang Purwakarta

0.3 0.0

Sumber: JWRMS dan hasil analisis Tim Dinamaritama.

3.1.3 Jawa Barat

Propinsi Jawa Barat terdiri dari 16 kabupaten dan 8 kota yaitu: Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang dan Bekasi serta Kota Bogor, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Depok, Cimahi, Tasikmalaya dan Bekasi. Dalam sub bab ini hanya akan dibahas analisa neraca air untuk 12 kabupaten dan 5 kota saja.

Sedangkan 4 kabupaten dan 3 kota yang lain telah dibahas pada sub bab sebelumnya. Kabupaten dan kota tersebut adalah Kabupaten Bogor, Bekasi, Karawang dan Purwakarta serta Kota Bogor, Depok dan Bekasi. Hal ini karena analisis neraca air pada sub bab sebelumnya, yaitu untuk daerah Jabotabek dan sekitarnya, diambil dari Jabotabek Water Resources Management Study (JWRMS) yang dipandang sudah sangat komprehensif dalam melakukan analisa kebutuhan dan ketersediaan airnya.

Sumber daya air di Propinsi Jawa Barat ini selain untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, perkotaan, industri, peternakan dan perikanan juga dipakai sebagai pembangkit listrik tenaga air. Disamping itu sumber daya air di Propinsi Jawa Barat ini juga dipakai untuk memenuhi kebutuhan di luar wilayahnya yaitu untuk mencukupi kebutuhan di Jabotabek dengan transfer antar daerah aliran

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-24

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

sungai melalui Kanal Tarum Barat dari Bendung Curug di Sungai Citarum sampai ke Sungai Ciliwung di Jakarta.

A. Kebutuhan Air

Dengan semakin meningkatnya populasi yang disertai dengan perkembangan sektor-sektor lainnya di Propinsi Jawa Barat, berdampak pula pada peningkatan akan kebutuhan sumber daya air. Di sisi lainnya, jumlah air yang ada tidak mungkin bertambah dan ketersediaanya cenderung tidak merata dari waktu ke waktu dan juga cenderung terus berkurang.

Pemanfaatan air di Propinsi Jawa Barat meliputi kebutuhan untuk rumah tangga, perkotaan, industri, peternakan perikanan dan irigasi. Secara umum kebutuhan air untuk irigasi jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan kebutuhan air untuk sektor lainnya. Kondisi ini akan semakin sulit apabila tidak didukung dengan adanya usaha untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi sumber daya air diantaranya konservasi daerah tangkapan hujan dan efisiensi dalam penggunaan air.

Dalam pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, prioritas utama adalah pemenuhan kebutuhan air minum/rumah tangga, yang kedua adalah pemenuhan kebutuhan jasa perkotaan dan industri, dan yang ketiga adalah untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi dan sisanya dimanfaatkan untuk kegiatan lain termasuk untuk pengelolaan kualitas air sungai dan pembangkit listrik tenaga air. Seiring dengan perkembangan kebutuhan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri maka kebutuhan untuk irigasi seringkali menjadi tidak cukup terutama untuk musim tanam kedua atau ketiga dimana hujan yang turun sudah tidak terlalu banyak. Konflik sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antar departemen atau instansi pengelola sumber daya air sehingga perlu adanya suatu pengelolaan sumber daya air yang terpadu.

1. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri.

Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri di Propinsi Jawa Barat cenderung meningkat dari tahun ke tahun sesuai dengan perkembangan jumlah penduduknya yang juga terus meningkat. Kebutuhan air untuk rumah tangga dihitung sebagai kebutuhan air 24 jam

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-25

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

untuk 1 (satu) orang yang meliputi air untuk minum, masak, mandi cuci dan sanitasi. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan hidup masyarakat dan iklim di daerah tersebut. Kebutuhan air untuk rumah tangga dapat dihitung dengan mengkalikan standar kebutuhan air per orang per hari dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut.

Kebutuhan air untuk keperluan perkotaan (municipal) adalah kebutuhan air untuk fasilitas kota, seperti fasilitas komersial, fasilitas pariwisata, fasilitas ibadah, fasilitas kesehatan dan fasilitas pendukung kota lainnya misalnya pembersihan jalan, pemadam kebakaran, sanitasi kota dan penyiraman tanaman perkotaan. Besarnya kebutuhan air perkotaan dapat ditentukan oleh banyaknya fasilitas perkotaan. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat dinamika kota dan jenjang suatu kota. Kebutuhan air untuk perkotaan diambil sebagai proporsi dari kebutuhan air untuk rumah tangga dengan persentasi antara 25-40% tergantung dari kemajuan daerah itu sendiri.

Berikut ini disajikan jumlah penduduk untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Jawa Barat berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk rumah tangga dan perkotaan sampai tahun 2025 pada Tabel 3.20, Tabel 3.21, dan Tabel 3.22.

Tabel 3. 20 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Barat

Jumlah Penduduk (jiwa) No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Sukabumi 2.168.569 2.237.175 2.418.338 2.614.172 2.825.863 3.054.697 2 Cianjur 2.041.131 2.107.018 2.281.192 2.469.763 2.673.922 2.894.957 3 Bandung & Kota Cimahi 4.892.968 4.896.813 4.906.440 4.916.086 4.925.750 4.935.434 4 Garut 2.187.882 2.279.915 2.527.293 2.801.512 3.105.484 3.442.439 5 Tasik & Kota Tasik 2.676.459 2.844.562 3.312.474 3.857.355 4.491.865 5.230.748 6 Ciamis 1.664.869 1.696.558 1.778.444 1.864.282 1.954.263 2.048.587 7 Kuningan 1.034.394 1.059.657 1.125.547 1.195.533 1.269.872 1.348.833 8 Cirebon 2.038.263 2.114.148 2.316.452 2.538.115 2.780.988 3.047.103 9 Majalengka 1.153.442 1.173.280 1.224.381 1.277.708 1.333.357 1.391.430 10 Sumedang 1.014.319 1.045.684 1.128.407 1.217.673 1.314.002 1.417.950 11 Indramayu 1.653.146 1.695.899 1.807.680 1.926.830 2.053.833 2.189.207 12 Subang 1.371.005 1.398.267 1.468.817 1.542.927 1.620.777 1.702.554 13 Kota Sukabumi 267.807 304.677 420.614 580.668 801.627 1.106.665 14 Kota Bandung 2.228.268 2.300.977 2.493.298 2.701.694 2.927.508 3.172.197 15 Kota Cirebon 272.673 282.918 310.246 340.214 373.077 409.114

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-26

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 21 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Barat Kebutuhan Air Domestik (m3/det) N

o Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Sukabumi 2,384 2,460 2,659 2,874 3,107 3,359 2 Cianjur 2,244 2,317 2,508 2,716 2,940 3,183

3 Bandung & Kota Cimahi 7,645 7,651 7,666 7,681 7,696 7,712

4 Garut 2,406 2,507 2,779 3,080 3,415 3,785 5 Tasik & Kota Tasik 3,872 4,115 4,792 5,581 6,499 7,568 6 Ciamis 1,831 1,865 1,955 2,050 2,149 2,252 7 Kuningan 1,497 1,533 1,628 1,730 1,837 1,951 8 Cirebon 2,241 2,325 2,547 2,791 3,058 3,350 9 Majalengka 1,268 1,290 1,346 1,405 1,466 1,530 10 Sumedang 1,115 1,150 1,241 1,339 1,445 1,559 11 Indramayu 2,392 2,454 2,615 2,788 2,971 3,167 12 Subang 1,984 2,023 2,125 2,232 2,345 2,463 13 Kota Sukabumi 0,387 0,441 0,609 0,840 1,160 1,601 14 Kota Bandung 4,642 4,794 5,194 5,629 6,099 6,609 15 Kota Cirebon 0,394 0,409 0,449 0,492 0,540 0,592

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 22 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Barat Kebutuhan Air Non Domestik (m3/det) N

o Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Sukabumi 0,715 0,738 0,798 0,862 0,932 1,008 2 Cianjur 0,673 0,695 0,752 0,815 0,882 0,955 3 Bandung & Kota

Cimahi 2,294 2,295 2,300 2,304 2,309 2,313

4 Garut 0,722 0,752 0,834 0,924 1,024 1,136 5 Tasik & Kota Tasik 1,162 1,235 1,438 1,674 1,950 2,270 6 Ciamis 0,549 0,560 0,587 0,615 0,645 0,676 7 Kuningan 0,449 0,460 0,489 0,519 0,551 0,585 8 Cirebon 0,672 0,697 0,764 0,837 0,917 1,005 9 Majalengka 0,380 0,387 0,404 0,421 0,440 0,459 10 Sumedang 0,335 0,345 0,372 0,402 0,433 0,468 11 Indramayu 0,718 0,736 0,785 0,836 0,891 0,950 12 Subang 0,595 0,607 0,638 0,670 0,703 0,739 13 Kota Sukabumi 0,116 0,132 0,183 0,252 0,348 0,480 14 Kota Bandung 1,393 1,438 1,558 1,689 1,830 1,983 15 Kota Cirebon 0,118 0,123 0,135 0,148 0,162 0,178

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Kebutuhan air industri adalah kebutuhan air untuk proses industri, termasuk sebagai bahan baku, kebutuhan air pekerja industri dan pendukung kegiatan

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-27

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

industri. Jadi besar kebutuhan air industri ditentukan oleh kebutuhan air untuk diproses, bahan baku industri dan kebutuhan air untuk pekerjaan industri. Sedangkan kebutuhan air untuk pendukung kegiatan industri seperti hidran dapat disesuaikan untuk jenis industrinya. Kebutuhan air untuk keperluan industri sangat dipengaruhi oleh jenis dan skala (ukuran) industri yang ada. Misalnya industri tekstil dan logam berat tentu akan memerlukan air yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan industri perakitan. Semakin modern peralatan dan teknologi yang digunakan suatu industri maka akan semakin efisien air yang digunakan. Untuk menghitung kebutuhan air industri di Propinsi Jawa Barat ini digunakan pendekatan sederhana yang dikembangkan oleh Jabotabek Water Resources Management Study (1994) yaitu penggunaan air untuk industri berdasarkan jumlah karyawan yang bekerja di sektor industri yaitu sebesar 500 liter/karyawan/hari.

Berikut ini disampaikan Tabel 3.23 yang berisi kebutuhan air untuk industri untuk tiap kabupaten di Propinsi Jawa Barat berikut proyeksinya sampai tahun 2025.

Tabel 3. 23 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Barat

Kebutuhan Air Industri (m3/det) No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Sukabumi 0,589 0,698 1,066 1,630 2,491 3,807 2 Cianjur 0,234 0,247 0,282 0,323 0,370 0,423 3 Bandung & Kota

Cimahi 2,505 2,696 3,240 3,893 4,677 5,620

4 Garut 0,404 0,436 0,526 0,636 0,768 0,928 5 Tasik & Kota Tasik 0,878 0,955 1,175 1,447 1,782 2,194 6 Ciamis 0,422 0,498 0,751 1,134 1,711 2,582 7 Kuningan 0,150 0,162 0,199 0,243 0,297 0,363 8 Cirebon 0,591 0,656 0,854 1,111 1,446 1,882 9 Majalengka 0,494 0,506 0,539 0,573 0,610 0,649 10 Sumedang 0,335 0,360 0,430 0,515 0,616 0,737 11 Indramayu 0,298 0,349 0,516 0,764 1,131 1,674 12 Subang 0,184 0,196 0,232 0,273 0,322 0,379 13 Kota Sukabumi 0,060 0,063 0,073 0,084 0,097 0,111 14 Kota Bandung 1,301 1,327 1,397 1,470 1,547 1,628 15 Kota Cirebon 0,057 0,057 0,058 0,059 0,059 0,060

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-28

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

2. Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dan perikanan.

Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dihitung dengan mengkalikan jumlah ternak yang ada di kabupaten tersebut dengan kebutuhan air untuk tiap jenis ternak. Ternak berkaki empat besar seperti sapi, kerbau dan kuda rata-rata memerlukan air sebesar 40 liter/ekor/hari. Ternak berkaki empat kecil seperti kambing atau domba rata-rata memerlukan air sebanyak 5 liter/ekor/hari. Sedangkan unggas seperti ayam memerlukan air rata-rata 0,6 liter/ekor/hari. Berikut ini disajikan Tabel 3.24 yang berisi kebutuhan air untuk peternakan untuk tiap kabupaten di Propinsi Jawa Barat berikut proyeksinya sampai tahun 2025.

Tabel 3. 24 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Barat

Kebutuhan Air Peternakan (m3/det) No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Sukabumi 0,081 0,086 0,101 0,119 0,141 0,168 2 Cianjur 0,074 0,077 0,087 0,097 0,110 0,124

3 Bandung & Kota Cimahi 0,124 0,124 0,125 0,127 0,130 0,134

4 Garut 0,057 0,059 0,065 0,072 0,080 0,089 5 Tasik & Kota Tasik 0,079 0,083 0,094 0,107 0,122 0,140 6 Ciamis 0,132 0,132 0,133 0,134 0,137 0,139 7 Kuningan 0,034 0,035 0,041 0,049 0,059 0,074 8 Cirebon 0,022 0,021 0,019 0,018 0,017 0,016 9 Majalengka 0,048 0,046 0,042 0,039 0,035 0,032 10 Sumedang 0,039 0,040 0,043 0,047 0,053 0,061 11 Indramayu 0,041 0,043 0,049 0,058 0,071 0,088 12 Subang 0,056 0,059 0,067 0,076 0,086 0,097 13 Kota Sukabumi 0,009 0,009 0,010 0,012 0,013 0,015 14 Kota Bandung 0,005 0,006 0,007 0,009 0,011 0,014 15 Kota Cirebon 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Kebutuhan air untuk perikanan adalah kebutuhan air untuk mengisi kolam pada saat awal tanam dan kebutuhan untuk penggantian air. Dipakai standar sebesar 7 mm/hari sebagai kebutuhan air untuk perikanan. Berikut ini

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-29

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

disajikan Tabel 3.25 yang berisi kebutuhan air perikanan untuk tiap kabupaten di Propinsi Jawa Barat berikut proyeksinya sampai tahun 2025.

Tabel 3. 25 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Barat Kebutuhan Air Perikanan (m3/det) No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025

1 Sukabumi 1,483 1,277 0,879 0,604 0,416 0,286 2 Cianjur 0,922 0,787 0,529 0,356 0,239 0,161 3 Bandung & Kota Cimahi 1,128 0,956 0,632 0,418 0,276 0,182 4 Garut 4,854 4,906 5,040 5,177 5,317 5,462 5 Tasik & Kota Tasik 3,456 2,849 1,757 1,084 0,668 0,412 6 Ciamis 1,912 1,552 0,921 0,547 0,325 0,193 7 Kuningan 0,405 0,337 0,212 0,133 0,084 0,053 8 Cirebon 4,979 5,161 5,644 6,173 6,750 7,382 9 Majalengka 0,355 0,299 0,195 0,127 0,082 0,054

10 Sumedang 0,251 0,220 0,159 0,114 0,082 0,059 11 Indramayu 11,434 11,023 10,059 9,179 8,377 7,644 12 Subang 12,270 11,484 9,733 8,249 6,991 5,925 13 Kota Sukabumi 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 14 Kota Bandung 0,134 0,134 0,134 0,134 0,134 0,134 15 Kota Cirebon 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

3. Kebutuhan air untuk keperluan irigasi.

Kebutuhan air untuk irigasi sangat mendominasi kebutuhan air di Propinsi Jawa Barat apabila dibandingkan dengan kebutuhan untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri serta kebutuhan untuk keperluan peternakan dan perikanan. Pola ini masih akan terus berlangsung sampai di masa yang akan datang selama masih ada pembukaan lahan pertanian beririgrasi yang baru.

Kebutuhan air untuk irigasi tergantung pada beberapa faktor antara lain seperti luas tanam, jenis tanaman, keadaan iklim (curah hujan dan evapotranspirasi), jenis tanah (untuk memperkirakan laju perkolasi dan kelembaban), cara bercocok tanam dan dan praktek irigasi untuk tanaman padi (kebutuhan air untuk pengolahan lahan dan penggantian lapisan air), sistem golongan dan efisiensi irigasi.

Secara umum pola tanam yang ada di wilayah studi adalah padi-padi-palawija, namun untuk beberapa daerah tertentu pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-padi apabila memang ketersediaan air mencukupi untuk

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-30

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

mendukung pola tersebut. Ada juga daerah lain yang hanya bisa menanam padi satu kali dalam satu tahun karena air yang tersedia hanya cukup untuk sekali tanam padi.

Untuk mengurangi puncak kebutuhan air untuk irigasi khususnya pada awal musim tanam, maka dilakukan penjadwalan awal musim tanam secara bergiliran yang didasarkan pada besarnya luasan areal maupun lokasi areal irigasi. Pembagian penjadwalan waktu tanam tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa golongan, masing-masing golongan dibagi berdasarkan ketersediaan air dan luas areal tanam untuk kebutuhan air masa awal pengolahan lahan.

Data luas lahan areal irigasi didapatkan dari buku Propinsi Dalam Angka yang dikeluarkan oleh BPS. Dari data luasan lahan areal irigasi tersebut lalu dilakukan proyeksi untuk dapat menentukan luasan lahan areal irigasi di masa yang akan datang sehingga perkiraan kebutuhan air di waktu yang akan datang dapat diperhitungkan pula.

Berikut ini disampaikan Tabel 3.26, Tabel 3.27 dan Tabel 3.28 yang berisi luas lahan areal irigasi untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Jawa Barat berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk irigasi untuk saat ini dan untuk tahun 2025.

Tabel 3. 26 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Barat Luas Lahan Areal Irigasi (Ha) No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025

1 Sukabumi 18,687 18,441 17,841 17,260 16,698 16,155 2 Cianjur 32,874 32,699 32,266 31,839 31,417 31,001 3 Bandung & Kota Cimahi 30,247 29,874 28,960 28,074 27,216 26,383 4 Garut 29,682 29,891 30,419 30,956 31,503 32,060 5 Tasik & Kota Tasik 16,685 16,425 15,794 15,187 14,603 14,042 6 Ciamis 25,964 26,073 26,348 26,626 26,907 27,191 7 Kuningan 17,520 17,730 18,265 18,817 19,385 19,971 8 Cirebon 48,420 48,760 49,622 50,499 51,391 52,299 9 Majalengka 30,458 29,869 28,444 27,088 25,797 24,567

10 Sumedang 20,302 20,445 20,806 21,174 21,548 21,928 11 Indramayu 87,750 86,596 83,777 81,050 78,412 75,860 12 Subang 70,639 70,986 71,863 72,750 73,647 74,556 13 Kota Sukabumi 1,760 1,737 1,680 1,626 1,573 1,522 14 Kota Bandung 369 369 369 369 369 369 15 Kota Cirebon 132 133 135 138 140 143

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-31

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 27 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003

Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des 1 Sukabumi 3,652 10,424 8,904 3,895 9,052 10,577 11,276 7,849 2,248 8,020 4,786 0,414 2 Cianjur 6,339 18,526 15,788 6,960 16,091 18,723 19,843 13,786 3,960 13,946 8,487 0,786

3 Bandung & Kota Cimahi 7,806 15,212 19,129 12,609 16,956 20,154 22,453 17,962 9,492 27,500 22,860 10,451

4 Garut 1,336 11,826 12,303 11,598 18,722 21,879 22,786 17,821 10,906 27,180 23,552 5,200

5 Tasik & Kota Tasik 0,336 7,561 7,520 7,050 11,339 12,864 12,841 9,914 6,153 14,486 13,571 3,201

6 Ciamis 6,653 15,468 13,726 10,141 14,521 16,936 16,632 13,216 5,788 17,021 16,305 5,500 7 Kuningan 8,333 15,196 13,255 7,925 9,945 10,028 8,942 6,972 0,673 4,760 6,981 5,037 8 Cirebon 24,203 39,415 34,924 20,403 25,178 26,114 24,619 19,562 1,795 15,399 18,354 13,132 9 Majalengka 14,679 25,995 22,763 13,532 16,911 17,171 15,529 12,169 1,159 8,643 11,982 8,627

10 Sumedang 10,274 16,249 14,460 8,394 10,310 10,778 10,312 8,234 0,746 6,697 7,595 5,422 11 Indramayu 43,837 71,486 63,328 37,009 45,680 47,360 44,618 35,445 3,254 27,858 33,284 23,816 12 Subang 36,088 63,066 54,995 31,783 47,221 54,473 52,716 37,114 15,684 49,157 49,126 29,232

13 Kota Sukabumi 0,292 1,096 0,914 0,433 0,955 1,067 1,066 0,726 0,215 0,656 0,492 0,074

14 Kota Bandung 0,075 0,229 0,262 0,179 0,246 0,273 0,275 0,214 0,117 0,298 0,295 0,141

15 Kota Cirebon 0,061 0,118 0,102 0,062 0,078 0,077 0,067 0,052 0,005 0,033 0,054 0,039

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 28 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Barat Tahun 2025 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

1 Sukabumi 3,157 9,012 7,697 3,367 7,825 9,144 9,748 6,785 1,944 6,933 4,137 0,358 2 Cianjur 5,978 17,471 14,888 6,564 15,174 17,656 18,712 13,001 3,734 13,151 8,004 0,741

3 Bandung & Kota Cimahi 6,809 13,269 16,686 10,998 14,790 17,580 19,584 15,667 8,280 23,987 19,939 9,116

4 Garut 1,443 12,773 13,289 12,527 20,222 23,631 24,611 19,248 11,780 29,357 25,439 5,616

5 Tasik & Kota Tasik 0,283 6,363 6,329 5,933 9,543 10,826 10,807 8,343 5,179 12,191 11,421 2,694

6 Ciamis 6,967 16,199 14,375 10,621 15,207 17,737 17,418 13,840 6,061 17,825 17,075 5,760 7 Kuningan 9,498 17,322 15,109 9,034 11,336 11,430 10,192 7,947 0,767 5,426 7,957 5,741 8 Cirebon 26,142 42,572 37,721 22,038 27,195 28,206 26,591 21,129 1,939 16,632 19,825 14,184 9 Majalengka 11,839 20,967 18,360 10,915 13,640 13,849 12,526 9,815 0,935 6,971 9,665 6,958

10 Sumedang 11,097 17,551 15,618 9,066 11,136 11,641 11,139 8,893 0,805 7,234 8,204 5,856 11 Indramayu 37,897 61,799 54,747 31,994 39,491 40,943 38,572 30,642 2,813 24,083 28,774 20,589 12 Subang 38,090 66,563 58,045 33,545 49,840 57,494 55,639 39,172 16,554 51,883 51,851 30,853

13 Kota Sukabumi 0,252 0,948 0,790 0,375 0,825 0,922 0,922 0,628 0,186 0,567 0,426 0,064

14 Kota Bandung 0,075 0,229 0,262 0,179 0,246 0,273 0,275 0,214 0,117 0,298 0,295 0,141

15 Kota Cirebon 0,066 0,127 0,110 0,066 0,084 0,084 0,073 0,056 0,006 0,036 0,058 0,042

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

B. Ketersediaan Air

Wilayah administrasi Propinsi Jawa Barat yang dibahas dalam sub bab ini meliputi 12 kabupaten dan 5 kota termasuk ke dalam wilayah 5 WS yaitu WS Citarum, WS Cimanuk-Cisanggarung, WS Cisadea-Cikuningan, WS Ciwulan dan

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-32

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

WS Citanduy. Sungai-sungai utama di WS yang diambil airnya untuk dimanfatkan guna mencukupi kebutuhan air adalah adalah Sungai Citarum dengan sistem waduknya yang terdiri dari Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur, Ciwaringin, Cilamaya, Ciasem dan Cipunagara.

Sedangkan sungai-sungai utama di WS Cimanuk-Cisanggarung yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan air adalah Sungai Cipancuh dengan Waduk Cipancuh, Sungai Cipanas, Cimanuk dan Cisanggarung. Sedangkan di WS Cisadea-Cikuningan sungai-sungai utama yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan adalah Sungai Cimandiri, Cileuteuh, Cimandiri, Cikaso, Cibuni dan Cisadea.

Sungai-sungai utama di WS Ciwulan yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan air adalah Sungai Cilaki, Cikandang, Cipatujah, Ciwulan dan Cimedang. Sedangkan di WS Citanduy sungai utama yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan adalah Sungai Citanduy dengan anak-anak sungainya.

Besarnya debit sungai sangat dipengaruhi oleh besarnya curah hujan, sehingga ketersediaan air akan sangat bervariasi tergantung musim. Biasanya di musim penghujan air yang tersedia yang berupa debit aliran di sungai akan sangat banyak dan melimpah dan sebaliknya saat musim kemarau air yang tersedia sebagai debit aliran di sungai akan sedikit sekali. Besarnya debit andalan yang dipakai sebagai ketersediaan air dari berbagai titik pengambilan untuk masing-masing kabupaten dapat dilihat pada Tabel 3.29 pada halaman berikut ini.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-33

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 29 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Barat Ketersediaan Air (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

1 Sukabumi 88,91 93,39 89,73 87,27 69,54 32,38 21,68 22,36 20,58 37,78 78,79 94,58 2 Cianjur 114,55 114,82 131,04 146,07 90,65 64,08 43,07 32,55 36,82 46,44 112,23 119,86

3 Bandung & Kota Cimahi 54,35 62,13 61,20 54,81 39,98 27,38 26,24 21,13 20,56 32,33 42,26 51,24

4 Garut 124,21 149,52 141,78 97,43 76,27 48,89 23,71 14,59 18,32 42,09 75,90 107,36

5 Tasik & Kota Tasik 93,31 87,52 92,83 120,52 73,61 63,41 39,47 26,53 18,50 62,98 113,75 79,82

6 Ciamis 129,43 142,97 157,31 118,61 108,57 68,01 23,27 41,04 55,94 66,85 97,38 143,62 7 Kuningan 51,20 60,80 68,68 31,87 14,05 6,14 1,76 1,11 0,98 1,18 5,37 22,53 8 Cirebon 84,72 118,44 108,92 63,86 34,22 15,22 6,37 2,74 1,20 0,57 2,61 52,15 9 Majalengka 96,79 118,40 103,30 52,62 17,58 6,42 3,60 1,81 0,79 1,20 10,67 31,62

10 Sumedang 32,19 32,28 27,01 29,26 21,46 10,63 8,24 5,96 5,79 5,21 17,45 27,13 11 Indramayu 164,84 211,83 182,02 105,32 47,72 23,01 10,50 4,94 2,22 2,86 13,13 78,48 12 Subang 136,79 149,58 148,70 143,17 124,44 110,72 78,96 82,20 74,41 70,17 83,94 106,48

13 Kota Sukabumi 12,25 14,67 12,40 14,96 9,84 3,29 3,13 1,19 1,45 3,20 10,11 7,67

14 Kota Bandung 8,82 9,08 8,38 10,19 8,60 7,15 6,51 6,00 5,97 5,83 6,69 9,15

15 Kota Cirebon 4,54 6,16 5,28 3,36 1,85 0,89 0,36 0,15 0,06 0,02 0,01 2,83

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

C. Neraca Air

Dalam studi neraca air atau keseimbangan air perlu diketahui jumlah kebutuhan air dari wilayah yang ditinjau dan jumlah ketersediaan air dari titik-titik pengambilan di sungai-sungai yang melayaninya. Air yang tersedia tergantung dari input yang berupa hujan yang jatuh di daerah tangkapan hujan dan respon masing-masing daerah aliran sungai. Respon masing-masing daerah aliran sungai dipengaruhi oleh jenis penggunaan lahan, kondisi geologi dan kondisi tanah. Sedangnya besarnya kebutuhan tergantung pada jumlah penduduk dan kondisi serta aktifitas masyarakat di masing-masing daerah. Beberapa kriteria yang dipakai dalam analisis neraca air ini adalah sebagai berikut:

1. Hitungan keseimbangan air dilakukan untuk setiap wilayah kabupaten atau kota berikut dengan ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungai-sungai yang melayaninya.

2. Ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungai-sungai tersebut dianggap tetap.

3. Kebutuhan dan proyeksi kebutuhan air dihitung berdasarkan data-data jumlah penduduk dan luas lahan yang didapat.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-34

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

4. Kebutuhan air untuk irigasi dihitung dengan memasukkan faktor intensitas tanam dan pergiliran awal musim tanam untuk mereduksi puncak-puncak kebutuhan air irigasi yang sangat besar.

Selengkapnya hasil analisa neraca air untuk Propinsi Jawa Barat tahun 2003 disajikan dalam Tabel 3.30, neraca air untuk tahun 2025 disajikan dalam Tabel 3.31 dan jumlah bulan defisit disajikan dalam Tabel 3.32 pada halaman berikut ini.

Tabel 3. 30 Neraca Air di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003 Neraca Air (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

1 Sukabumi 80,01 77,71 75,58 78,13 55,24 16,55 5,16 9,26 13,09 24,51 68,76 88,91 2 Cianjur 104,07 92,15 111,11 134,97 70,41 41,21 19,09 14,62 28,72 28,35 99,60 114,93

3 Bandung & Kota Cimahi 32,85 33,23 28,38 28,51 9,34 -6,47 -9,90 -10,52 -2,62 -8,86 5,71 27,10

4 Garut 114,43 129,26 121,04 77,40 49,11 18,57 -7,51 -11,67 -1,03 6,48 43,92 93,72

5 Tasik & Kota Tasik 83,53 70,51 75,87 104,02 52,82 41,10 17,19 7,17 2,90 39,05 90,74 67,18

6 Ciamis 117,93 122,66 138,75 103,63 89,21 46,23 1,79 22,98 45,31 44,98 76,23 133,28 7 Kuningan 40,34 43,07 52,90 21,42 1,57 -6,42 -9,71 -8,39 -2,22 -6,11 -4,14 14,96 8 Cirebon 52,02 70,53 65,49 34,96 0,54 -19,40 -26,75 -25,32 -9,10 -23,33 -24,25 30,51 9 Majalengka 79,58 89,86 78,00 36,55 -1,88 -13,30 -14,47 -12,90 -2,91 -9,98 -3,86 20,45

10 Sumedang 19,85 13,96 10,48 18,79 9,08 -2,22 -4,14 -4,35 2,97 -3,55 7,78 19,64 11 Indramayu 106,13 125,47 103,81 53,43 -12,84 -39,23 -48,99 -45,39 -15,92 -39,87 -35,03 39,79 12 Subang 85,61 71,43 78,62 96,31 62,14 41,16 11,16 30,00 43,64 5,92 19,73 62,16

13 Kota Sukabumi 11,39 13,00 10,92 13,96 8,31 1,65 1,49 -0,10 0,67 1,97 9,05 7,03

14 Kota Bandung 1,27 1,38 0,64 2,54 0,88 -0,59 -1,24 -1,68 -1,62 -1,94 -1,08 1,54

15 Kota Cirebon 3,91 5,48 4,61 2,73 1,20 0,25 -0,27 -0,47 -0,51 -0,58 -0,61 2,22

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 31 Neraca Air di Propinsi Jawa Barat Tahun 2025

Neraca Air (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des 1 Sukabumi 77,13 75,75 73,41 75,28 53,09 14,61 3,31 6,95 10,02 22,22 66,03 85,59 2 Cianjur 103,73 92,51 111,31 134,67 70,63 41,58 19,52 14,70 28,24 28,45 99,39 114,28

3 Bandung & Kota Cimahi 31,58 32,91 28,55 27,86 9,23 -6,16 -9,30 -10,49 -3,67 -7,62 6,37 26,17

4 Garut 111,37 125,36 117,10 73,51 44,65 13,86 -12,29 -16,05 -4,86 1,34 39,07 90,35

5 Tasik & Kota Tasik 80,45 68,57 73,92 102,00 51,48 40,00 16,08 5,61 0,74 38,21 89,75 64,55

6 Ciamis 116,62 120,93 137,10 102,16 87,53 44,43 0,01 21,36 44,05 43,18 74,46 132,02 7 Kuningan 38,68 40,45 50,55 19,82 -0,31 -8,31 -11,46 -9,86 -2,80 -7,26 -5,61 13,76 8 Cirebon 44,95 62,24 57,56 28,19 -6,61 -26,62 -33,85 -32,02 -14,37 -29,70 -30,85 24,33 9 Majalengka 82,24 94,71 82,23 38,99 1,22 -10,15 -11,64 -10,73 -2,86 -8,49 -1,72 21,94

10 Sumedang 18,22 11,85 8,51 17,31 7,45 -3,89 -5,78 -5,81 2,10 -4,90 6,37 18,40 11 Indramayu 113,43 136,51 113,75 59,81 -5,29 -31,45 -41,59 -39,23 -14,11 -34,74 -29,16 44,38 12 Subang 89,10 73,42 81,06 100,03 65,00 43,63 13,72 33,43 48,25 8,68 22,49 66,03

13 Kota Sukabumi 9,80 11,51 9,40 12,38 6,81 0,16 0,00 -1,64 -0,93 0,43 7,48 5,41

14 Kota Bandung -1,62 -1,51 -2,25 -0,35 -2,01 -3,48 -4,13 -4,58 -4,51 -4,83 -3,97 -1,35

15 Kota Cirebon 3,65 5,21 4,34 2,46 0,94 -0,02 -0,54 -0,73 -0,77 -0,84 -0,88 1,96

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-35

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 32 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota 2003 2005 2010 2015 2020 2025

1 Sukabumi 0 0 0 0 0 0 2 Cianjur 0 0 0 0 0 0 3 Bandung & Kota Cimahi 5 5 5 5 5 5 4 Garut 3 3 3 3 3 3 5 Tasik & Kota Tasik 0 0 0 0 0 0 6 Ciamis 0 0 0 0 0 0 7 Kuningan 6 6 6 6 6 7 8 Cirebon 6 6 7 7 7 7 9 Majalengka 7 7 7 7 6 6 10 Sumedang 4 4 4 4 4 4 11 Indramayu 7 7 7 7 7 7 12 Subang 0 0 0 0 0 0 13 Kota Sukabumi 1 1 1 1 2 2 14 Kota Bandung 6 6 7 10 11 12 15 Kota Cirebon 5 5 5 5 5 6

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

3.1.4 Jawa Tengah

Propinsi Jawa Tengah terdiri dari 29 kabupaten dan 6 kota. 29 Kabupaten tersebut terdiri dari: Kabupaten Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Magelang, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Demak, Semarang Temanggung, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang dan Tegal. Sedangkan keenam kotanya terdiri dari: Kota Magelang, Surakarta, Salatiga, Semarang, Pekalongan dan Tegal.

A. Kebutuhan Air

Semakin meningkatnya populasi yang disertai dengan perkembangan sektor-sektor lainnya di Propinsi Jawa Tengah akan membawa dampak pada peningkatan kebutuhan sumber daya air. Di sisi lain, jumlah air yang ada tidak mungkin bertambah dan ketersediaanya cenderung tidak merata dari waktu ke waktu dan juga cenderung terus berkurang.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-36

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Pemanfaatan air di Propinsi Jawa Tengah meliputi pemenuhan untuk kebutuhan rumah tangga, perkotaan, industri, peternakan, perikanan dan irigasi. Secara umum kebutuhan air untuk irigasi jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan kebutuhan air untuk sektor lainnya. Kondisi ini akan semakin sulit apabila tidak didukung dengan adanya usaha untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi sumber daya air, diantaranya konservasi daerah tangkapan hujan dan efisiensi dalam penggunaan air.

Daam pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, prioritas utama adalah untuk pemenuhan kebutuhan air minum/rumah tangga, yang kedua adalah untuk pemenuhan kebutuhan jasa perkotaan dan industri, yang ketiga adalah untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi dan sisanya dimanfaatkan untuk kegiatan lain termasuk untuk pengelolaan kualitas air sungai dan pembangkit listrik tenaga air. Seiring dengan perkembangan kebutuhan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri maka kebutuhan untuk irigasi seringkali menjadi tidak tercukupi terutama untuk musim tanam kedua atau ketiga dimana hujan yang turun sudah tidak terlalu banyak. Konflik sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antar departemen atau instansi pengelola sumber daya air sehingga perlu adanya suatu pengelolaan sumber daya air yang terpadu.

1. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri.

Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri di Propinsi Jawa Tengah cenderung meningkat dari tahun ke tahun sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk yang juga terus meningkat di propinsi ini. Kebutuhan air untuk rumah tangga dihitung sebagai kebutuhan air 24 jam untuk 1 (satu) orang yang meliputi air untuk minum, masak, mandi cuci dan sanitasi. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan hidup masyarakat dan iklim di daerah tersebut. Kebutuhan air untuk rumah tangga dapat dihitung dengan mengalikan standar kebutuhan air per orang per hari dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut.

Kebutuhan air untuk keperluan perkotaan (municipal) adalah kebutuhan air untuk fasilitas kota, seperti fasilitas komersial, fasilitas pariwisata, fasilitas ibadah, fasilitas kesehatan dan fasilitas pendukung kota lainnya misalnya pembersihan jalan, pemadam kebakaran, sanitasi kota dan penyiraman

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-37

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

tanaman perkotaan. Besarnya kebutuhan air perkotaan dapat ditentukan oleh banyaknya fasilitas perkotaan. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat dinamika kota dan jenjang suatu kota. Kebutuhan air untuk perkotaan diambil sebagai proporsi dari kebutuhan air untuk rumah tangga dengan persentasi antara 25-40% tergantung dari kemajuan daerah itu sendiri. Berikut ini disajikan jumlah penduduk untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Jawa Tengah berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk rumah tangga dan perkotaan sampai tahun 2025 pada Tabel 3.33, Tabel 3.34, dan Tabel 3.35.

Tabel 3. 33 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Tengah Jumlah Penduduk (jiwa) No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025

1 Cilacap 1.630.832 1.655.140 1.717.508 1.782.225 1.849.382 1.919.068 2 Banyumas 1.472.122 1.558.659 1.797.916 2.073.898 2.392.245 2.759.459 3 Purbalingga 795.874 811.884 853.331 896.895 942.682 990.807 4 Banjarnegara 848.317 865.524 910.085 956.941 1.006.208 1.058.012 5 Kebumen 1.176.102 1.263.871 1.513.029 1.811.306 2.168.385 2.595.858 6 Purworejo 705.272 697.942 679.949 662.420 645.342 628.705 7 Wonosobo 750.939 796.351 922.261 1.068.080 1.236.953 1.432.527 8 Magelang 1.127.714 1.180.561 1.323.769 1.484.349 1.664.408 1.866.309 9 Boyolali 906.530 928.490 985.747 1.046.534 1.111.069 1.179.584

10 Klaten 1.167.613 1.159.240 1.138.568 1.118.265 1.098.325 1.078.739 11 Sukoharjo 799.493 773.176 711.113 654.031 601.531 553.246 12 Wonogiri 974.353 952.887 901.269 852.447 806.269 762.593 13 Karanganyar 786.557 742.414 642.595 556.196 481.413 416.686 14 Sragen 855.948 935.449 1.168.023 1.458.421 1.821.018 2.273.766 15 Grobogan 1.289.937 1.302.690 1.335.128 1.368.374 1.402.447 1.437.369 16 Blora 821.588 830.359 852.700 875.641 899.200 923.392 17 Rembang 566.288 576.842 604.095 632.635 662.524 693.826 18 Pati 1.171.785 1.188.324 1.230.699 1.274.586 1.320.038 1.367.110 19 Kudus 718.253 699.001 653.097 610.208 570.135 532.695 20 Jepara 999.635 1.039.863 1.147.659 1.266.630 1.397.934 1.542.849 21 Demak 1.009.863 1.052.983 1.169.011 1.297.824 1.440.831 1.599.596 22 Semarang 842.242 854.642 886.447 919.436 953.653 989.143 23 Temanggung 710.991 732.030 787.392 846.941 910.993 979.889 24 Kendal 859.471 908.908 1.045.303 1.202.166 1.382.569 1.590.043 25 Batang 674.307 686.778 718.975 752.681 787.967 824.908 26 Pekalongan 819.397 842.666 903.771 969.307 1.039.595 1.114.980 27 Pemalang 1.343.951 1.372.604 1.446.937 1.525.296 1.607.899 1.694.975 28 Tegal 1.410.057 1.446.643 1.542.316 1.644.316 1.753.062 1.868.999 29 Brebes 1.728.808 1.732.779 1.742.748 1.752.774 1.762.857 1.772.998 30 Kota Magelang 116.498 116.445 116.311 116.178 116.045 115.912 31 Kota Surakarta 488.168 478.008 453.523 430.292 408.251 387.339 32 Kota Salatiga 163.079 169.722 187.539 207.225 228.978 253.015 33 Kota Semarang 1.455.994 1.526.368 1.717.546 1.932.669 2.174.736 2.447.122 34 Kota Pekalongan 265.829 274.711 298.234 323.772 351.497 381.597 35 Kota Tegal 238.059 241.745 251.212 261.049 271.271 281.894

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-38

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 34 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Tengah Kebutuhan Air Domestik (m3/det) N

o Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Cilacap 1,888 1,916 1,988 2,063 2,140 2,221 2 Banyumas 2,130 2,255 2,601 3,000 3,461 3,992 3 Purbalingga 1,151 1,175 1,235 1,298 1,364 1,433 4 Banjarnegara 0,933 0,952 1,001 1,052 1,106 1,163 5 Kebumen 1,702 1,829 2,189 2,621 3,137 3,756 6 Purworejo 0,816 0,808 0,787 0,767 0,747 0,728 7 Wonosobo 0,869 0,922 1,067 1,236 1,432 1,658 8 Magelang 1,762 1,845 2,068 2,319 2,601 2,916 9 Boyolali 1,049 1,075 1,141 1,211 1,286 1,365 10 Klaten 1,689 1,677 1,647 1,618 1,589 1,561 11 Sukoharjo 1,157 1,119 1,029 0,946 0,870 0,800 12 Wonogiri 0,677 0,662 0,626 0,592 0,560 0,530 13 Karanganyar 0,910 0,859 0,744 0,644 0,557 0,482 14 Sragen 0,991 1,083 1,352 1,688 2,108 2,632 15 Grobogan 1,418 1,432 1,468 1,505 1,542 1,580 16 Blora 0,903 0,913 0,938 0,963 0,989 1,015 17 Rembang 0,623 0,634 0,664 0,696 0,728 0,763 18 Pati 1,695 1,719 1,781 1,844 1,910 1,978 19 Kudus 1,039 1,011 0,945 0,883 0,825 0,771 20 Jepara 1,446 1,504 1,660 1,833 2,022 2,232 21 Demak 1,461 1,523 1,691 1,878 2,085 2,314 22 Semarang 1,316 1,335 1,385 1,437 1,490 1,546 23 Temanggung 0,782 0,805 0,866 0,931 1,002 1,077 24 Kendal 1,243 1,315 1,512 1,739 2,000 2,300 25 Batang 0,780 0,795 0,832 0,871 0,912 0,955 26 Pekalongan 1,185 1,219 1,308 1,402 1,504 1,613 27 Pemalang 1,478 1,509 1,591 1,677 1,768 1,864 28 Tegal 2,203 2,260 2,410 2,569 2,739 2,920 29 Brebes 2,501 2,507 2,521 2,536 2,550 2,565 30 Kota Magelang 0,169 0,168 0,168 0,168 0,168 0,168 31 Kota Surakarta 0,763 0,747 0,709 0,672 0,638 0,605 32 Kota Salatiga 0,236 0,246 0,271 0,300 0,331 0,366 33 Kota Semarang 3,033 3,180 3,578 4,026 4,531 5,098

34 Kota Pekalongan 0,385 0,397 0,431 0,468 0,509 0,552

35 Kota Tegal 0,344 0,350 0,363 0,378 0,392 0,408 Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-39

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 35 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Tengah Kebutuhan Air Non Domestik (m3/det) N

o Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Cilacap 0,566 0,575 0,596 0,619 0,642 0,666 2 Banyumas 0,639 0,677 0,780 0,900 1,038 1,198 3 Purbalingga 0,345 0,352 0,370 0,389 0,409 0,430 4 Banjarnegara 0,280 0,286 0,300 0,316 0,332 0,349 5 Kebumen 0,510 0,549 0,657 0,786 0,941 1,127 6 Purworejo 0,245 0,242 0,236 0,230 0,224 0,218 7 Wonosobo 0,261 0,277 0,320 0,371 0,429 0,497 8 Magelang 0,529 0,553 0,621 0,696 0,780 0,875 9 Boyolali 0,315 0,322 0,342 0,363 0,386 0,410 10 Klaten 0,507 0,503 0,494 0,485 0,477 0,468 11 Sukoharjo 0,347 0,336 0,309 0,284 0,261 0,240 12 Wonogiri 0,203 0,199 0,188 0,178 0,168 0,159 13 Karanganyar 0,273 0,258 0,223 0,193 0,167 0,145 14 Sragen 0,297 0,325 0,406 0,506 0,632 0,790 15 Grobogan 0,426 0,430 0,440 0,451 0,463 0,474 16 Blora 0,271 0,274 0,281 0,289 0,297 0,305 17 Rembang 0,187 0,190 0,199 0,209 0,219 0,229 18 Pati 0,509 0,516 0,534 0,553 0,573 0,593 19 Kudus 0,312 0,303 0,283 0,265 0,247 0,231 20 Jepara 0,434 0,451 0,498 0,550 0,607 0,670 21 Demak 0,438 0,457 0,507 0,563 0,625 0,694 22 Semarang 0,395 0,401 0,416 0,431 0,447 0,464 23 Temanggung 0,235 0,241 0,260 0,279 0,301 0,323 24 Kendal 0,373 0,394 0,454 0,522 0,600 0,690 25 Batang 0,234 0,238 0,250 0,261 0,274 0,286 26 Pekalongan 0,356 0,366 0,392 0,421 0,451 0,484 27 Pemalang 0,443 0,453 0,477 0,503 0,530 0,559 28 Tegal 0,661 0,678 0,723 0,771 0,822 0,876 29 Brebes 0,750 0,752 0,756 0,761 0,765 0,770 30 Kota Magelang 0,051 0,051 0,050 0,050 0,050 0,050 31 Kota Surakarta 0,229 0,224 0,213 0,202 0,191 0,182 32 Kota Salatiga 0,071 0,074 0,081 0,090 0,099 0,110 33 Kota Semarang 0,910 0,954 1,073 1,208 1,359 1,529

34 Kota Pekalongan 0,115 0,119 0,129 0,141 0,153 0,166

35 Kota Tegal 0,103 0,105 0,109 0,113 0,118 0,122 Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Kebutuhan air industri adalah kebutuhan air untuk proses industri, termasuk sebagai bahan baku, kebutuhan air pekerja industri dan pendukung kegiatan industri. Jadi besar kebutuhan air industri ditentukan oleh kebutuhan air untuk

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-40

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

diproses, bahan baku industri dan kebutuhan air untuk pekerjaan industri. Sedangkan kebutuhan air untuk pendukung kegiatan industri seperti hidran dapat disesuaikan untuk jenis industrinya. Kebutuhan air untuk keperluan industri sangat dipengaruhi oleh jenis dan skala (ukuran) industri yang ada. Misalnya industri tekstil dan logam berat tentu akan memerlukan air yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan industri perakitan. Semakin modern peralatan dan teknologi yang digunakan oleh industri tersebut maka akan semakin efisien air yang digunakan.

Berikut ini disajikan Tabel 3.36 yang berisi kebutuhan air untuk industri untuk tiap kabupaten di Propinsi Jawa Tengah berikut proyeksinya sampai tahun 2025.

Tabel 3. 36 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Tengah Kebutuhan Air Industri (m3/det) N

o Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Cilacap 0,301 0,360 0,565 0,886 1,389 2,178 2 Banyumas 0,086 0,071 0,045 0,028 0,018 0,011 3 Purbalingga 0,118 0,129 0,161 0,201 0,251 0,313 4 Banjarnegara 0,127 0,132 0,143 0,156 0,170 0,185 5 Kebumen 0,214 0,234 0,292 0,365 0,456 0,569 6 Purworejo 0,014 0,013 0,011 0,009 0,007 0,006 7 Wonosobo 0,037 0,033 0,025 0,019 0,015 0,011 8 Magelang 0,137 0,150 0,188 0,234 0,292 0,365 9 Boyolali 0,085 0,077 0,060 0,047 0,037 0,029 10 Klaten 0,123 0,138 0,185 0,249 0,335 0,450 11 Sukoharjo 0,156 0,180 0,254 0,359 0,507 0,717 12 Wonogiri 0,158 0,165 0,185 0,207 0,231 0,259 13 Karanganyar 0,168 0,147 0,105 0,075 0,054 0,039 14 Sragen 0,091 0,100 0,124 0,155 0,194 0,242 15 Grobogan 0,034 0,033 0,029 0,026 0,023 0,020 16 Blora 0,019 0,022 0,030 0,041 0,056 0,077 17 Rembang 0,064 0,063 0,061 0,059 0,057 0,055 18 Pati 0,525 0,574 0,717 0,895 1,118 1,395 19 Kudus 0,115 0,121 0,137 0,155 0,176 0,200 20 Jepara 0,243 0,266 0,332 0,415 0,518 0,647 21 Demak 0,207 0,226 0,282 0,353 0,440 0,550 22 Semarang 0,149 0,163 0,204 0,254 0,316 0,394 23 Temanggung 0,039 0,039 0,040 0,042 0,043 0,045 24 Kendal 0,145 0,139 0,125 0,113 0,102 0,091 25 Batang 0,079 0,086 0,107 0,134 0,168 0,209 26 Pekalongan 0,079 0,080 0,081 0,083 0,085 0,087 27 Pemalang 0,096 0,104 0,130 0,163 0,203 0,254 28 Tegal 0,101 0,111 0,140 0,177 0,224 0,283

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-41

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Kebutuhan Air Industri (m3/det) No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 29 Brebes 0,028 0,029 0,034 0,039 0,044 0,051 30 Kota Magelang 0,014 0,015 0,019 0,024 0,030 0,037 31 Kota Surakarta 0,068 0,068 0,069 0,070 0,071 0,072 32 Kota Salatiga 0,036 0,035 0,033 0,031 0,030 0,028 33 Kota Semarang 0,329 0,394 0,618 0,971 1,523 2,391

34 Kota Pekalongan 0,017 0,020 0,031 0,047 0,072 0,110

35 Kota Tegal 0,038 0,042 0,054 0,070 0,090 0,117 Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

2. Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dan perikanan.

Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dihitung dengan mengkalikan jumlah ternak yang ada di kabupaten tersebut dengan kebutuhan air untuk tiap jenis ternak. Ternak berkaki empat besar seperti sapi, kerbau dan kuda rata-rata memerlukan air sebesar 40 liter/ekor/hari. Ternak berkaki empat kecil seperti kambing atau domba rata-rata memerlukan air sebanyak 5 liter/ekor/hari. Sedangkan unggas seperti ayam memerlukan air rata-rata 0,6 liter/ekor/hari.

Kebutuhan air untuk perikanan adalah kebutuhan air untuk mengisi kolam pada saat awal tanam dan kebutuhan untuk penggantian air. Dipakai standar sebesar 7 mm/hari sebagai kebutuhan air untuk perikanan.

Berikut ini disajikan Tabel 3.37 dan Tabel 3.38 yang berisi kebutuhan air untuk peternakan dan perikanan untuk tiap kabupaten di Propinsi Jawa Tengah berikut proyeksinya sampai tahun 2025.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-42

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 37 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Tengah Kebutuhan Air Peternakan (m3/det) N

o Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Cilacap 0,061 0,065 0,078 0,094 0,115 0,141 2 Banyumas 0,058 0,063 0,077 0,096 0,122 0,157 3 Purbalingga 0,040 0,044 0,056 0,073 0,096 0,129 4 Banjarnegara 0,045 0,048 0,058 0,069 0,084 0,103 5 Kebumen 0,043 0,045 0,051 0,060 0,071 0,085 6 Purworejo 0,035 0,037 0,045 0,054 0,065 0,080 7 Wonosobo 0,058 0,063 0,079 0,100 0,129 0,168 8 Magelang 0,067 0,072 0,084 0,099 0,119 0,145 9 Boyolali 0,119 0,126 0,145 0,168 0,196 0,231

10 Klaten 0,086 0,090 0,102 0,118 0,140 0,169 11 Sukoharjo 0,042 0,044 0,051 0,061 0,074 0,091 12 Wonogiri 0,114 0,119 0,131 0,146 0,163 0,184 13 Karanganyar 0,075 0,079 0,092 0,109 0,131 0,161 14 Sragen 0,071 0,075 0,084 0,097 0,114 0,136 15 Grobogan 0,092 0,096 0,111 0,132 0,163 0,207 16 Blora 0,114 0,119 0,131 0,145 0,161 0,178 17 Rembang 0,061 0,062 0,064 0,067 0,071 0,075 18 Pati 0,056 0,057 0,060 0,066 0,074 0,086 19 Kudus 0,026 0,028 0,038 0,053 0,076 0,112 20 Jepara 0,029 0,031 0,036 0,043 0,054 0,071 21 Demak 0,023 0,023 0,024 0,025 0,026 0,028 22 Semarang 0,116 0,126 0,155 0,192 0,240 0,301 23 Temanggung 0,063 0,068 0,083 0,100 0,123 0,151 24 Kendal 0,084 0,084 0,084 0,085 0,085 0,086 25 Batang 0,022 0,021 0,020 0,020 0,020 0,020 26 Pekalongan 0,036 0,039 0,047 0,057 0,070 0,085 27 Pemalang 0,045 0,047 0,053 0,061 0,071 0,082 28 Tegal 0,037 0,040 0,054 0,077 0,112 0,167 29 Brebes 0,066 0,068 0,074 0,081 0,090 0,099

30 Kota Magelang 0,002 0,003 0,004 0,006 0,010 0,015

31 Kota Surakarta 0,008 0,008 0,010 0,013 0,016 0,020

32 Kota Salatiga 0,011 0,011 0,013 0,016 0,019 0,024

33 Kota Semarang 0,024 0,025 0,026 0,028 0,031 0,033

34 Kota Pekalongan 0,003 0,004 0,006 0,010 0,016 0,027

35 Kota Tegal 0,002 0,003 0,004 0,006 0,008 0,013 Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-43

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 38 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Tengah Kebutuhan Air Perikanan (m3/det) N

o Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Cilacap 0,520 0,541 0,598 0,661 0,731 0,808 2 Banyumas 0,373 0,383 0,409 0,437 0,467 0,499 3 Purbalingga 0,156 0,165 0,189 0,217 0,248 0,284 4 Banjarnegara 0,473 0,567 0,889 1,395 2,188 3,434 5 Kebumen 0,034 0,031 0,025 0,020 0,016 0,013 6 Purworejo 0,125 0,127 0,132 0,136 0,141 0,146 7 Wonosobo 0,176 0,170 0,157 0,145 0,133 0,123 8 Magelang 0,147 0,145 0,139 0,135 0,130 0,125 9 Boyolali 0,031 0,029 0,023 0,019 0,015 0,012

10 Klaten 0,048 0,053 0,068 0,088 0,114 0,148 11 Sukoharjo 0,017 0,019 0,026 0,035 0,047 0,064 12 Wonogiri 0,007 0,007 0,007 0,007 0,007 0,007 13 Karanganyar 0,007 0,006 0,004 0,002 0,001 0,001 14 Sragen 0,023 0,022 0,018 0,015 0,013 0,011 15 Grobogan 0,016 0,013 0,007 0,004 0,003 0,002 16 Blora 0,004 0,004 0,003 0,002 0,002 0,002 17 Rembang 1,578 1,698 2,040 2,450 2,943 3,534

18 Pati 9,477 9,882 10,972

12,183

13,527

15,019

19 Kudus 0,006 0,006 0,005 0,004 0,003 0,002 20 Jepara 0,557 0,509 0,406 0,323 0,258 0,205 21 Demak 3,617 3,817 4,365 4,991 5,708 6,527 22 Semarang 0,017 0,018 0,021 0,025 0,029 0,034 23 Temanggung 0,061 0,064 0,070 0,076 0,083 0,091 24 Kendal 2,288 2,307 2,355 2,403 2,453 2,504 25 Batang 0,094 0,097 0,104 0,111 0,119 0,128 26 Pekalongan 0,280 0,258 0,210 0,171 0,140 0,114 27 Pemalang 1,243 1,220 1,164 1,110 1,059 1,011 28 Tegal 0,196 0,189 0,172 0,157 0,143 0,131 29 Brebes 5,144 5,016 4,711 4,425 4,155 3,902

30 Kota Magelang 0,003 0,004 0,004 0,004 0,004 0,004

31 Kota Surakarta 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

32 Kota Salatiga 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001

33 Kota Semarang 0,476 0,407 0,275 0,186 0,125 0,085

34 Kota Pekalongan 0,104 0,111 0,129 0,151 0,176 0,206

35 Kota Tegal 0,070 0,077 0,096 0,120 0,149 0,186 Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-44

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

3. Kebutuhan air untuk keperluan irigasi.

Kebutuhan air irigasi sangat mendominasi kebutuhan air di Propinsi Jawa Tengah apabila dibandingkan dengan kebutuhan untuk rumah tangga, perkotaan dan industri serta kebutuhan untuk peternakan dan perikanan.

Kebutuhan air untuk irigasi tergantung pada beberapa faktor antara lain seperti luas tanam, jenis tanaman, keadaan iklim (curah hujan dan evapotranspirasi), jenis tanah (untuk memperkirakan laju perkolasi dan kelembaban), cara bercocok tanam dan dan praktek irigasi untuk tanaman padi (kebutuhan air untuk pengolahan lahan dan penggantian lapisan air), sistem golongan dan efisiensi irigasi.

Untuk mengurangi puncak kebutuhan air untuk irigasi khususnya pada awal musim tanam, maka dilakukan penjadwalan awal tanam secara bergiliran yang didasarkan pada besarnya luasan areal maupun lokasi areal. Pembagian penjadwalan waktu tanam tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa golongan, masing-masing golongan dibagi berdasarkan ketersediaan air dan luas areal tanam untuk kebutuhan air masa awal pengolahan lahan.

Data luas lahan areal irigasi didapatkan dari buku Propinsi Dalam Angka yang dikeluarkan oleh BPS. Dari data luasan lahan areal irigasi tersebut lalu dilakukan proyeksi untuk dapat menentukan luasan lahan areal irigasi di masa yang akan datang sehingga perkiraan kebutuhan air di waktu yang akan datang dapat diperhitungkan pula.

Berikut ini disampaikan Tabel 3.39, Tabel 3.40 dan Tabel 3.41 yang berisi luas lahan areal irigasi untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Jawa Tengah berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk irigasi untuk saat ini dan untuk tahun 2025.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-45

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 39 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Tengah Luas Lahan Areal Irigasi (Ha) No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025

1 Cilacap 44.523 44.533 44.559 44.584 44.610 44.636 2 Banyumas 26.226 26.232 26.247 26.262 26.277 26.292 3 Purbalingga 17.360 17.364 17.374 17.384 17.394 17.404 4 Banjarnegara 11.399 11.402 11.408 11.415 11.421 11.428 5 Kebumen 31.283 31.290 31.308 31.326 31.344 31.362 6 Purworejo 26.910 26.916 26.932 26.947 26.963 26.978 7 Wonosobo 14.658 14.661 14.670 14.678 14.687 14.695 8 Magelang 28.988 28.995 29.011 29.028 29.045 29.061 9 Boyolali 12.296 12.299 12.306 12.313 12.320 12.327

10 Klaten 32.383 32.390 32.409 32.428 32.446 32.465 11 Sukoharjo 18.925 18.929 18.940 18.951 18.962 18.973 12 Wonogiri 22.869 22.874 22.887 22.901 22.914 22.927 13 Karanganyar 21.404 21.409 21.421 21.434 21.446 21.458 14 Sragen 24.996 25.002 25.016 25.030 25.045 25.059 15 Grobogan 27.288 27.294 27.310 27.326 27.341 27.357 16 Blora 14.391 14.394 14.403 14.411 14.419 14.427 17 Rembang 11.408 11.411 11.417 11.424 11.430 11.437 18 Pati 36.042 36.050 36.071 36.092 36.112 36.133 19 Kudus 14.649 14.652 14.661 14.669 14.678 14.686 20 Jepara 21.178 21.183 21.195 21.207 21.219 21.232 21 Demak 28.352 28.359 28.375 28.391 28.407 28.424 22 Semarang 18.510 18.514 18.525 18.536 18.546 18.557 23 Temanggung 19.119 19.123 19.134 19.145 19.156 19.167 24 Kendal 25.736 25.742 25.757 25.771 25.786 25.801 25 Batang 20.832 20.837 20.849 20.861 20.873 20.885 26 Pekalongan 20.746 20.751 20.763 20.775 20.787 20.798 27 Pemalang 32.620 32.627 32.646 32.665 32.684 32.702 28 Tegal 33.923 33.931 33.950 33.970 33.989 34.009 29 Brebes 49.623 49.634 49.663 49.691 49.720 49.748 30 Kota Magelang 221 221 221 221 221 222 31 Kota Surakarta 80 80 80 80 80 80 32 Kota Salatiga 628 628 629 629 629 630 33 Kota Semarang 1.846 1.846 1.847 1.849 1.850 1.851 34 Kota Pekalongan 1.472 1.472 1.473 1.474 1.475 1.476 35 Kota Tegal 999 999 1.000 1.000 1.001 1.002

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-46

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 40 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

1 Cilacap 10,433 28,671 24,957 18,636 26,816 30,371 28,598 22,419 9,978 27,324 28,739 10,086 2 Banyumas 3,448 13,757 9,835 4,107 10,986 16,602 15,853 11,582 2,669 10,311 6,652 0,000 3 Purbalingga 2,243 9,193 6,567 2,769 7,349 11,043 10,497 7,657 1,769 6,750 4,434 0,000 4 Banjarnegara 1,946 4,996 3,625 1,214 3,897 6,607 6,855 5,146 1,136 5,336 2,534 0,000 5 Kebumen 10,902 18,563 18,052 13,319 18,824 19,665 21,704 17,338 9,751 20,148 14,139 6,509 6 Purworejo 6,677 7,209 5,527 0,205 5,110 12,760 16,018 12,668 2,568 16,576 4,317 0,000 7 Wonosobo 2,295 6,880 4,962 1,826 5,418 8,778 8,831 6,565 1,472 6,465 3,424 0,000 8 Magelang 8,995 16,192 15,658 12,324 18,244 21,033 22,267 17,090 8,833 25,158 21,178 7,461 9 Boyolali 4,428 7,052 7,120 5,341 7,935 9,347 9,923 7,734 4,556 11,380 9,451 4,314

10 Klaten 11,962 17,915 18,316 13,683 20,310 24,210 26,111 20,444 11,982 30,541 24,651 11,160 11 Sukoharjo 6,341 11,899 11,649 8,826 13,145 15,033 15,311 11,785 7,038 16,608 14,926 6,958 12 Wonogiri 10,381 8,397 10,122 7,193 10,546 14,463 18,287 14,920 8,356 25,263 15,864 6,584 13 Karanganyar 7,232 13,325 13,087 9,905 14,748 16,920 17,312 13,344 7,957 18,899 16,833 7,829 14 Sragen 8,033 16,469 15,883 12,094 18,032 20,321 20,250 15,481 9,314 21,282 19,987 9,419 15 Grobogan 11,964 24,016 23,943 18,488 22,982 23,365 22,634 16,633 8,906 22,571 24,886 11,663 16 Blora 7,596 9,834 10,755 8,107 9,594 10,570 11,835 9,093 4,627 14,362 12,096 5,287 17 Rembang 7,139 5,337 6,901 4,999 5,412 6,857 9,293 7,487 3,607 13,519 8,696 3,442 18 Pati 5,744 22,785 29,619 23,078 27,565 27,280 29,330 21,453 12,682 34,773 35,202 17,796 19 Kudus 2,561 8,763 11,709 9,091 10,759 10,780 11,903 8,776 5,142 14,565 14,127 7,081 20 Jepara 12,802 10,899 13,466 9,856 10,931 13,343 17,288 13,787 6,720 24,236 16,503 6,692 21 Demak 13,501 22,598 23,320 17,842 21,777 22,819 23,432 17,549 9,195 25,495 25,001 11,400 22 Semarang 5,525 11,600 13,102 8,826 11,559 13,372 14,026 11,241 6,059 17,289 16,419 7,682 23 Temanggung 9,285 3,303 5,452 3,847 5,452 9,306 14,421 12,108 5,643 22,997 11,289 2,672 24 Kendal 8,164 15,065 17,514 11,655 15,123 17,935 19,463 15,750 8,398 24,961 22,443 10,357 25 Batang 0,000 3,369 10,415 9,074 10,739 12,879 15,202 11,557 6,215 20,803 17,544 5,318 26 Pekalongan 0,000 7,152 12,881 11,240 14,082 15,176 15,276 11,079 6,283 17,421 18,850 6,454 27 Pemalang 0,000 11,217 20,235 17,657 22,117 23,845 24,018 17,423 9,879 27,417 29,629 10,139 28 Tegal 0,000 5,135 16,727 14,572 17,174 20,755 24,743 18,860 10,111 34,181 28,441 8,553 29 Brebes 31,162 26,405 26,545 12,790 13,322 18,103 24,727 21,635 1,493 27,927 13,730 9,193 30 Kota Magelang 0,059 0,145 0,134 0,106 0,158 0,174 0,171 0,128 0,068 0,173 0,169 0,063 31 Kota Surakarta 0,026 0,053 0,051 0,039 0,058 0,065 0,065 0,050 0,030 0,068 0,064 0,030 32 Kota Salatiga 0,168 0,436 0,473 0,324 0,430 0,480 0,477 0,377 0,207 0,550 0,572 0,274 33 Kota Semarang 0,452 1,374 1,450 1,006 1,347 1,468 1,407 1,096 0,610 1,535 1,716 0,832 34 Kota Pekalongan 0,000 0,513 0,918 0,801 1,004 1,080 1,084 0,785 0,446 1,231 1,339 0,460 35 Kota Tegal 0,117 0,643 0,560 0,418 0,602 0,681 0,642 0,503 0,224 0,613 0,645 0,226

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 41 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2025 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

1 Cilacap 10,459 28,743 25,020 18,683 26,883 30,448 28,670 22,475 10,003 27,393 28,811 10,112 2 Banyumas 3,457 13,792 9,860 4,117 11,014 16,644 15,893 11,612 2,676 10,337 6,668 0,000 3 Purbalingga 2,249 9,216 6,584 2,776 7,367 11,071 10,524 7,676 1,773 6,767 4,445 0,000 4 Banjarnegara 1,951 5,008 3,634 1,217 3,907 6,624 6,872 5,159 1,139 5,349 2,540 0,000 5 Kebumen 10,929 18,610 18,097 13,353 18,872 19,715 21,759 17,382 9,776 20,199 14,175 6,526 6 Purworejo 6,694 7,227 5,540 0,206 5,123 12,792 16,059 12,700 2,574 16,618 4,328 0,000 7 Wonosobo 2,301 6,897 4,975 1,830 5,432 8,801 8,854 6,582 1,475 6,482 3,433 0,000 8 Magelang 9,018 16,233 15,698 12,355 18,291 21,086 22,323 17,133 8,855 25,222 21,231 7,479 9 Boyolali 4,440 7,070 7,138 5,354 7,955 9,371 9,949 7,754 4,567 11,409 9,475 4,325

10 Klaten 11,992 17,961 18,362 13,718 20,361 24,271 26,177 20,495 12,012 30,619 24,714 11,189 11 Sukoharjo 6,357 11,929 11,678 8,849 13,178 15,071 15,350 11,815 7,056 16,650 14,963 6,976 12 Wonogiri 10,407 8,418 10,148 7,211 10,573 14,500 18,333 14,958 8,378 25,327 15,904 6,601 13 Karanganyar 7,250 13,359 13,120 9,930 14,785 16,963 17,356 13,378 7,977 18,946 16,875 7,849 14 Sragen 8,054 16,510 15,923 12,125 18,078 20,373 20,301 15,520 9,338 21,336 20,037 9,443 15 Grobogan 11,995 24,076 24,003 18,535 23,040 23,424 22,691 16,675 8,928 22,628 24,949 11,692 16 Blora 7,616 9,859 10,782 8,127 9,618 10,596 11,865 9,116 4,638 14,398 12,126 5,301 17 Rembang 7,157 5,351 6,918 5,012 5,425 6,874 9,317 7,506 3,616 13,553 8,718 3,451 18 Pati 5,758 22,843 29,694 23,136 27,635 27,349 29,404 21,507 12,714 34,861 35,291 17,840 19 Kudus 2,567 8,785 11,739 9,114 10,787 10,807 11,933 8,798 5,155 14,602 14,163 7,099

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-47

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des 20 Jepara 12,835 10,927 13,500 9,881 10,958 13,377 17,332 13,821 6,737 24,297 16,545 6,709 21 Demak 13,535 22,655 23,379 17,888 21,832 22,877 23,491 17,593 9,218 25,559 25,064 11,429 22 Semarang 5,539 11,629 13,135 8,848 11,588 13,406 14,061 11,270 6,074 17,333 16,461 7,702 23 Temanggung 9,308 3,312 5,466 3,857 5,466 9,330 14,457 12,139 5,657 23,055 11,318 2,679 24 Kendal 8,185 15,103 17,559 11,684 15,161 17,980 19,512 15,790 8,419 25,024 22,499 10,384 25 Batang 0,000 3,378 10,441 9,097 10,766 12,912 15,241 11,586 6,230 20,856 17,588 5,332 26 Pekalongan 0,000 7,170 12,914 11,268 14,117 15,214 15,315 11,107 6,299 17,465 18,898 6,470 27 Pemalang 0,000 11,246 20,286 17,701 22,173 23,905 24,079 17,467 9,904 27,486 29,704 10,165 28 Tegal 0,000 5,148 16,770 14,608 17,217 20,808 24,805 18,907 10,137 34,267 28,513 8,575 29 Brebes 31,241 26,471 26,612 12,823 13,356 18,149 24,790 21,689 1,497 27,997 13,765 9,217 30 Kota Magelang 0,059 0,145 0,134 0,107 0,159 0,174 0,171 0,128 0,068 0,174 0,170 0,064 31 Kota Surakarta 0,026 0,053 0,051 0,039 0,058 0,065 0,065 0,050 0,030 0,068 0,064 0,030 32 Kota Salatiga 0,169 0,437 0,474 0,325 0,431 0,481 0,479 0,378 0,207 0,551 0,574 0,274 33 Kota Semarang 0,453 1,378 1,454 1,009 1,350 1,472 1,410 1,099 0,611 1,539 1,721 0,835 34 Kota Pekalongan 0,000 0,514 0,920 0,803 1,007 1,083 1,087 0,787 0,447 1,235 1,343 0,461 35 Kota Tegal 0,000 0,232 0,547 0,477 0,579 0,662 0,733 0,548 0,301 0,940 0,869 0,277

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

B. Ketersediaan Air

Wilayah administrasi Propinsi Jawa Tengah yang meliputi 29 kabupaten dan 6 kota termasuk dalam wilayah 7 buah WS yaitu sebagian WS Cimanuk-Cisanggarung, sebagian WS Citanduy, WS Pemali-Comal, WS Serayu, WS Jratun-Seluna, sebagian WS Progo-Opak-Oyo, dan WS Bengawan Solo bagian hulu. Sungai utama yang diambil airnya untuk dimanfatkan guna mencukupi kebutuhan air di WS Citanduy adalah adalah Sungai Citanduy dan anak-anak sungainya sedangkan di WS Cimanuk-Cisanggarung yang diambil airnya adalah Sungai Cisanggarung.

Sungai-sungai utama di WS Pemali Comal yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan air adalah Sungai Kabuyutan, Pemali, Rambut, Comal, Sengkarang dan Tinap. Sedangkan di WS Serayu sungai-sungai utama yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan adalah Sungai Serayu dengan Waduk Mrica serta anak-anak sungainya, Kali Tipar, Telomoyo dengan Waduk Sempor, Lukulo, Wawar, Ijo dan Bogowonto.

Sungai-sungai utama di WS Jratun-Seluna yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan air adalah Sungai Kuto, Blukar, Bodri, Kreo, Garang, Jragung, Tuntang dengan Rawa Pening, Serang dengan Waduk Kedung Ombo, Lusi dan Juwana. Sedangkan di WS Bengawan Solo sungai utama yang diambil airnya

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-48

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

guna mencukupi kebutuhan adalah Sungai Bengawan Solo dengan Waduk Gajahmungkur serta anak-anak sungainya.

Besarnya debit sungai sangat dipengaruhi oleh besarnya curah hujan, sehingga ketersediaan air akan sangat bervariasi tergantung musim. Biasanya di musim penghujan air yang tersedia berupa debit aliran di sungai akan sangat banyak dan melimpah dan sebaliknya saat musim kemarau air yang tersedia sebagai debit aliran di sungai akan sedikit sekali. Besarnya debit andalan yang dipakai sebagai ketersediaan air dari berbagai titik pengambilan untuk masing-masing kabupaten dapat dilihat pada Tabel 3.42 berikut ini.

Tabel 3. 42 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Tengah

Ketersediaan Air (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des 1 Cilacap 192,48 203,38 197,14 163,51 109,57 69,04 41,32 35,25 35,32 39,88 139,38 196,42 2 Banyumas 102,18 95,61 103,02 74,08 35,03 17,42 4,66 2,89 3,88 8,71 60,02 43,81 3 Purbalingga 80,46 93,33 94,40 71,52 60,23 33,97 20,43 20,15 17,31 32,04 83,79 77,69 4 Banjarnegara 40,44 45,53 44,11 34,42 28,10 15,27 12,86 13,10 10,96 14,81 22,92 32,73 5 Kebumen 78,56 96,03 91,68 71,85 28,93 14,51 9,07 7,24 5,59 13,12 28,88 59,55 6 Purworejo 44,54 57,61 56,31 43,25 13,72 5,95 4,06 2,96 1,96 5,19 10,63 34,94 7 Wonosobo 37,82 39,89 36,86 27,80 26,01 16,69 13,84 12,96 11,70 14,40 21,30 27,44 8 Magelang 41,97 54,17 52,20 30,56 16,40 9,22 4,75 2,99 1,97 2,08 17,00 19,96 9 Boyolali 50,95 64,15 72,57 56,54 32,95 11,64 8,35 5,68 6,58 7,41 15,22 34,62

10 Klaten 32,87 49,45 39,73 24,81 8,06 5,80 2,51 0,88 0,25 0,42 5,94 12,00 11 Sukoharjo 58,10 76,37 73,04 43,70 17,24 14,27 7,70 3,08 1,96 1,64 13,42 25,81 12 Wonogiri 104,11 110,84 146,44 78,78 38,56 32,54 21,50 8,23 6,79 5,69 28,68 57,33 13 Karanganyar 44,57 55,04 55,99 33,12 13,87 11,79 6,89 2,83 1,91 1,80 11,14 20,56 14 Sragen 61,37 85,97 60,44 39,28 11,83 7,53 4,11 2,37 1,80 2,11 13,61 23,77 15 Grobogan 65,31 85,82 76,22 75,21 52,99 45,16 40,11 36,39 33,14 42,30 47,91 47,91 16 Blora 57,33 75,47 41,69 27,90 8,55 4,19 3,55 2,83 2,71 2,75 13,51 24,99 17 Rembang 33,59 42,24 54,71 45,30 31,73 17,24 13,81 11,97 12,56 13,76 18,09 28,57 18 Pati 88,58 112,47 143,69 118,81 84,16 48,75 39,02 34,34 35,55 38,89 50,40 76,06 19 Kudus 36,06 42,57 60,29 50,40 32,87 10,03 8,07 5,71 7,16 8,06 12,48 28,79 20 Jepara 57,63 72,10 94,09 77,98 54,29 28,43 22,77 19,57 20,69 22,70 30,10 48,76 21 Demak 104,56 125,44 173,68 144,86 96,18 35,20 28,27 21,70 25,32 28,21 41,20 84,83 22 Semarang 58,65 69,23 98,04 81,96 53,46 16,31 13,13 9,28 11,65 13,11 20,30 46,81 23 Temanggung 22,55 24,35 27,27 21,84 14,41 10,96 8,70 6,06 4,06 5,08 11,04 18,82 24 Kendal 93,16 133,99 107,62 81,33 35,56 31,05 20,84 11,48 11,23 14,37 35,56 70,99 25 Batang 61,73 88,79 71,31 53,89 23,56 20,57 13,81 7,61 7,44 9,52 23,56 47,04 26 Pekalongan 51,24 73,70 59,19 44,73 19,56 17,08 11,46 6,31 6,17 7,90 19,56 39,05 27 Pemalang 50,15 67,02 70,62 64,49 54,70 43,13 35,65 30,53 29,18 30,58 30,44 38,87 28 Tegal 52,71 66,60 66,83 55,37 46,12 34,16 26,68 24,02 21,81 22,03 27,54 39,52 29 Brebes 99,70 111,68 114,47 79,65 51,41 28,57 11,33 12,38 6,67 17,73 46,21 88,57 30 Kota Magelang 1,71 2,21 2,13 1,24 0,67 0,37 0,19 0,12 0,08 0,08 0,69 0,81 31 Kota Surakarta 6,12 9,21 7,40 4,62 1,50 1,08 0,46 0,16 0,04 0,08 1,10 2,23 32 Kota Salatiga 6,06 7,16 10,14 8,47 5,53 1,68 1,35 0,96 1,20 1,35 2,10 4,84 33 Kota Semarang 20,21 23,85 31,26 25,36 16,95 5,64 4,64 3,47 4,09 4,50 6,52 15,13 34 Kota Pekalongan 5,06 7,28 5,84 4,41 1,93 1,68 1,13 0,62 0,61 0,78 1,93 3,85 35 Kota Tegal 8,30 9,63 9,94 6,70 4,40 2,46 0,92 1,04 0,48 1,24 3,96 8,09

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-49

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

C. Neraca Air

Dalam studi neraca air atau keseimbangan air perlu diketahui jumlah ketersediaan dan kebutuhan air dari wilayah yang dilayani dan titik-titik pengambilan di sungai-sungai yang melayaninya. Air yang tersedia tergantung dari input yang berupa hujan yang jatuh di daerah tangkapan hujan dan respon masing-masing daerah aliran sungai. Respon masing-masing daerah aliran sungai dipengaruhi oleh jenis penggunaan lahan, kondisi geologi dan kondisi tanah. Sedangnya besarnya kebutuhan tergantung pada jumlah penduduk dan kondisi serta aktifitas masyarakat di masing-masing daerah.

Beberapa kriteria yang dipakai dalam analisis neraca air ini adalah sebagai berikut:

1. Hitungan keseimbangan air dilakukan untuk setiap wilayah kabupaten atau kota berikut dengan ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungai-sungai yang melayaninya.

2. Ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungai-sungai tersebut dianggap tetap.

3. Kebutuhan dan proyeksi kebutuhan air dihitung berdasarkan data-data jumlah penduduk dan luas lahan yang didapat.

4. Kebutuhan air untuk irigasi dihitung dengan memasukkan faktor intensitas tanam dan pergiliran awal musim tanam untuk mereduksi puncak-puncak kebutuhan air irigasi yang sangat besar.

Selengkapnya hasil analisa neraca air untuk Propinsi Jawa Tengah tahun 2003 disajikan dalam Tabel 3.43, neraca air untuk tahun 2025 disajikan dalam Tabel 3.44 dan jumlah bulan defisit disajikan dalam Tabel 3.45 berikut ini.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-50

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 43 Neraca Air di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003 Neraca Air (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

1 Cilacap 178,72 171,38 168,86 141,54 79,42 35,34 9,39 9,50 22,01 9,23 107,31 183,00 2 Banyumas 95,45 78,57 89,90 66,69 20,76 -2,46 -14,47 -11,97 -2,07 -4,88 50,08 40,52 3 Purbalingga 76,41 82,33 86,03 66,94 51,07 21,12 8,13 10,69 13,73 23,48 77,54 75,89 4 Banjarnegara 36,64 38,68 38,63 31,35 22,35 6,81 4,16 6,10 7,97 7,62 18,53 30,87 5 Kebumen 65,16 74,97 71,13 56,03 7,60 -7,66 -15,13 -12,59 -6,66 -9,53 12,24 50,54 6 Purworejo 36,63 49,17 49,55 41,81 7,38 -8,05 -13,19 -10,94 -1,84 -12,62 5,08 33,71 7 Wonosobo 34,13 31,62 30,51 24,58 19,19 6,51 3,61 5,00 8,84 6,53 16,48 26,04 8 Magelang 30,33 35,34 33,90 15,60 -4,48 -14,45 -20,16 -16,74 -9,50 -25,72 -6,82 9,86 9 Boyolali 44,92 55,50 63,85 49,61 23,42 0,70 -3,17 -3,65 0,43 -5,56 4,17 28,71

10 Klaten 18,46 29,09 18,97 8,68 -14,70 -20,86 -26,05 -22,01 -14,18 -32,57 -21,16 -1,61 11 Sukoharjo 50,05 62,75 59,68 33,16 2,38 -2,48 -9,32 -10,42 -6,79 -16,68 -3,22 17,13 12 Wonogiri 92,57 101,29 135,16 70,43 26,86 16,93 2,06 -7,84 -2,72 -20,73 11,66 49,59 13 Karanganyar 35,91 40,29 41,48 21,78 -2,31 -6,56 -11,85 -11,94 -7,47 -18,52 -7,12 11,30 14 Sragen 51,87 68,03 43,09 25,72 -7,67 -14,26 -17,61 -14,58 -8,98 -20,64 -7,85 12,89 15 Grobogan 51,36 59,82 50,30 54,74 28,03 19,81 15,49 17,77 22,25 17,75 21,05 34,27 16 Blora 48,42 64,33 29,63 18,48 -2,35 -7,68 -9,59 -7,57 -3,22 -12,92 0,11 18,39 17 Rembang 23,94 34,40 45,30 37,80 23,82 7,88 2,01 1,98 6,44 -2,26 6,89 22,62 18 Pati 70,58 77,43 101,81 83,47 44,33 9,21 -2,57 0,63 10,62 -8,14 2,94 46,01 19 Kudus 32,01 32,31 47,08 39,81 20,62 -2,24 -5,32 -4,56 0,53 -8,00 -3,14 20,21 20 Jepara 42,12 58,50 77,91 65,42 40,65 12,38 2,78 3,08 11,26 -4,24 10,89 39,36 21 Demak 85,32 97,10 144,62 121,28 68,66 6,64 -0,90 -1,59 10,39 -3,03 10,45 67,68 22 Semarang 51,13 55,64 82,95 71,14 39,91 0,95 -2,89 -3,95 3,60 -6,17 1,89 37,14 23 Temanggung 12,09 19,88 20,64 16,82 7,78 0,48 -6,90 -7,23 -2,76 -19,09 -1,43 14,97 24 Kendal 80,86 114,80 85,98 65,55 16,31 8,99 -2,75 -8,40 -1,30 -14,72 8,99 56,51 25 Batang 60,52 84,21 59,69 43,61 11,62 6,49 -2,60 -5,16 0,02 -12,48 4,81 40,52 26 Pekalongan 49,31 64,62 44,38 31,56 3,54 -0,03 -5,75 -6,70 -2,04 -11,45 -1,22 30,66 27 Pemalang 46,85 52,50 47,09 43,53 29,29 15,99 8,33 9,81 16,00 -0,13 -2,49 25,43 28 Tegal 49,52 58,27 46,91 37,61 25,76 10,21 -1,25 1,97 8,50 -15,34 -4,09 27,77 29 Brebes 60,05 76,79 79,44 58,38 29,60 1,99 -21,88 -17,74 -3,31 -18,69 23,99 70,89 30 Kota Magelang 1,41 1,83 1,76 0,90 0,27 -0,04 -0,22 -0,24 -0,23 -0,33 0,29 0,51 31 Kota Surakarta 5,03 8,10 6,29 3,52 0,38 -0,05 -0,66 -0,95 -1,05 -1,06 -0,02 1,14 32 Kota Salatiga 5,54 6,37 9,31 7,80 4,75 0,85 0,53 0,23 0,64 0,45 1,17 4,22 33 Kota Semarang 14,99 17,70 25,04 19,59 10,84 -0,60 -1,53 -2,40 -1,29 -1,80 0,04 9,53 34 Kota Pekalongan 4,44 6,14 4,31 2,99 0,30 -0,02 -0,58 -0,79 -0,46 -1,07 -0,03 2,77 35 Kota Tegal 7,63 8,43 8,82 5,73 3,25 1,23 -0,28 -0,02 -0,30 0,07 2,76 7,31

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 44 Neraca Air di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2025 Neraca Air (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

1 Cilacap 176,01 168,63 166,11 138,81 76,68 32,58 6,64 6,77 19,31 6,48 104,56 180,30 2 Banyumas 92,87 75,97 87,31 64,11 18,17 -5,08 -17,08 -14,57 -4,64 -7,48 47,50 37,95 3 Purbalingga 75,63 81,52 85,23 66,16 50,28 20,31 7,32 9,89 12,95 22,69 76,75 75,11 4 Banjarnegara 33,26 35,29 35,24 27,98 18,97 3,42 0,76 2,72 4,60 4,23 15,15 27,50 5 Kebumen 62,08 71,87 68,04 52,95 4,51 -10,75 -18,24 -15,68 -9,73 -12,62 9,16 47,48 6 Purworejo 36,67 49,20 49,60 41,87 7,42 -8,02 -13,18 -10,91 -1,79 -12,60 5,12 33,76 7 Wonosobo 33,07 30,54 29,44 23,52 18,12 5,43 2,54 3,93 7,78 5,46 15,41 24,99 8 Magelang 28,53 33,52 32,08 13,78 -6,31 -16,29 -22,00 -18,56 -11,31 -27,57 -8,65 8,06 9 Boyolali 44,47 55,04 63,39 49,14 22,95 0,23 -3,64 -4,11 -0,03 -6,04 3,70 28,25

10 Klaten 18,09 28,70 18,58 8,30 -15,09 -21,26 -26,46 -22,40 -14,55 -32,99 -21,56 -1,98 11 Sukoharjo 49,84 62,53 59,46 32,94 2,15 -2,71 -9,56 -10,64 -7,00 -16,91 -3,45 16,92 12 Wonogiri 92,57 101,29 135,16 70,44 26,86 16,91 2,04 -7,86 -2,72 -20,78 11,64 49,59 13 Karanganyar 36,50 40,86 42,05 22,36 -1,74 -6,00 -11,29 -11,37 -6,89 -17,97 -6,56 11,89 14 Sragen 49,51 65,65 40,72 23,35 -10,05 -16,65 -20,00 -16,95 -11,34 -23,03 -10,23 10,53 15 Grobogan 51,03 59,46 49,94 54,40 27,67 19,46 15,14 17,43 21,93 17,40 20,69 33,94 16 Blora 48,14 64,04 29,33 18,20 -2,64 -7,97 -9,89 -7,86 -3,50 -13,22 -0,19 18,12 17 Rembang 21,78 32,24 43,14 35,64 21,66 5,72 -0,16 -0,18 4,29 -4,44 4,73 20,46 18 Pati 63,75 70,56 94,92 76,60 37,45 2,33 -9,45 -6,24 3,77 -15,04 -3,96 39,16 19 Kudus 32,18 32,47 47,24 39,97 20,78 -2,09 -5,17 -4,40 0,70 -7,86 -2,99 20,38

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-51

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Neraca Air (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des 20 Jepara 40,98 57,35 76,77 64,28 39,51 11,23 1,62 1,93 10,13 -5,42 9,74 38,23 21 Demak 80,92 92,67 140,20 116,86 64,24 2,21 -5,33 -6,00 6,00 -7,46 6,02 63,29 22 Semarang 50,37 54,87 82,17 70,37 39,14 0,17 -3,67 -4,72 2,84 -6,96 1,10 36,38 23 Temanggung 11,56 19,36 20,12 16,30 7,26 -0,05 -7,44 -7,76 -3,28 -19,66 -1,96 14,46 24 Kendal 79,30 113,22 84,39 63,98 14,73 7,40 -4,34 -9,98 -2,86 -16,32 7,39 54,94 25 Batang 60,13 83,81 59,27 43,20 11,20 6,07 -3,03 -5,57 -0,39 -12,93 4,38 40,11 26 Pekalongan 48,86 64,15 43,90 31,09 3,06 -0,52 -6,23 -7,17 -2,50 -11,94 -1,72 30,20 27 Pemalang 46,39 52,01 46,57 43,03 28,77 15,46 7,80 9,30 15,51 -0,67 -3,03 24,94 28 Tegal 48,34 57,08 45,69 36,39 24,53 8,98 -2,50 0,74 7,30 -16,61 -5,35 26,57 29 Brebes 61,08 77,83 80,48 59,45 30,67 3,04 -20,84 -16,69 -2,21 -17,65 25,06 71,97 30 Kota Magelang 1,38 1,79 1,72 0,87 0,24 -0,07 -0,25 -0,28 -0,26 -0,36 0,25 0,48 31 Kota Surakarta 5,22 8,28 6,47 3,71 0,57 0,14 -0,48 -0,76 -0,86 -0,87 0,16 1,33 32 Kota Salatiga 5,37 6,20 9,14 7,62 4,57 0,68 0,35 0,05 0,47 0,28 1,00 4,04 33 Kota Semarang 10,62 13,34 20,67 15,22 6,47 -4,97 -5,90 -6,76 -5,66 -6,17 -4,33 5,16 34 Kota Pekalongan 4,00 5,71 3,87 2,56 -0,14 -0,46 -1,02 -1,22 -0,90 -1,51 -0,47 2,34 35 Kota Tegal 7,46 8,55 8,55 5,38 2,98 0,96 -0,66 -0,35 -0,66 -0,54 2,25 6,97

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 45 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Tengah No Kabupaten/Kota 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Cilacap 0 0 0 0 0 0 2 Banyumas 5 5 5 5 5 5 3 Purbalingga 0 0 0 0 0 0 4 Banjarnegara 0 0 0 0 0 0 5 Kebumen 5 5 5 5 5 5 6 Purworejo 5 5 5 5 5 5 7 Wonosobo 0 0 0 0 0 0 8 Magelang 7 7 7 7 7 7 9 Boyolali 3 3 3 3 3 4

10 Klaten 8 8 8 8 8 8 11 Sukoharjo 6 6 6 6 6 6 12 Wonogiri 3 3 3 3 3 3 13 Karanganyar 7 7 7 7 7 7 14 Sragen 7 7 7 7 7 7 15 Grobogan 0 0 0 0 0 0 16 Blora 6 6 6 7 7 7 17 Rembang 0 0 0 0 0 1 18 Pati 2 2 3 4 4 4 19 Kudus 5 5 5 5 5 5 20 Jepara 1 1 1 1 1 1 21 Demak 3 3 3 3 3 3 22 Semarang 3 3 3 3 3 3 23 Temanggung 5 5 5 5 5 6 24 Kendal 4 4 4 4 4 4 25 Batang 4 4 4 4 4 4 26 Pekalongan 6 6 6 6 6 6 27 Pemalang 2 2 2 2 2 2 28 Tegal 3 3 3 3 3 3 29 Brebes 4 4 4 4 4 4 30 Kota Magelang 5 5 5 5 5 5 31 Kota Surakarta 5 5 4 4 4 4 32 Kota Salatiga 0 0 0 0 0 0 33 Kota Semarang 6 6 6 6 6 6 34 Kota Pekalongan 6 6 6 6 6 7 35 Kota Tegal 4 4 4 4 4 4

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-52

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

3.1.5 Daerah Istimewa Yogyakarta

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kota, yaitu: Kabupaten Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, Sleman dan Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah yang relatif kecil apabila dibandingkan dengan kota-kota lainnya tetapi memiliki kepadatan yang cukup tinggi.

A. Kebutuhan Air

Semakin meningkatnya populasi yang disertai dengan perkembangan sektor-sektor lainnya berdampak juga pada peningkatan akan kebutuhan sumber daya air. Di sisi lain, jumlah air yang ada tidak mungkin bertambah dan ketersediaanya cenderung tidak merata dari waktu ke waktu dan juga cenderung terus berkurang.

Pemanfaatan air di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi pemenuhan untuk kebutuhan rumah tangga, perkotaan, industri, peternakan, perikanan dan irigasi. Secara umum kebutuhan air untuk irigasi jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan kebutuhan air untuk sektor lainnya. Kondisi ini akan semakin sulit apabila tidak didukung dengan adanya usaha untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi sumber daya air diantaranya konservasi daerah tangkapan hujan dan efisiensi dalam penggunaan air. Di beberapa wilayah di Propinsi DIY laju pertumbuhan penduduk dari tahun 1990 sampai dengan 2003 menunjukkan nilai yang negatif, hal ini mengakibatkan jumlah penduduk untuk terus berkurang apabila dilakukan proyeksi dengan memakai angka pertumbuhan yang negatif tersebut.

Dalam pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, prioritas utama adalah untuk pemenuhan kebutuhan air minum/rumah tangga, yang kedua adalah untuk pemenuhan kebutuhan jasa perkotaan dan industri, yang ketiga adalah untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi dan sisanya dimanfaatkan untuk kegiatan lain. Seiring dengan perkembangan kebutuhan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri maka kebutuhan untuk irigasi seringkali menjadi tidak tercukupi terutama untuk musim tanam kedua atau ketiga dimana hujan yang turun sudah tidak terlalu banyak. Konflik sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-53

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

antar departemen atau instansi pengelola sumber daya air sehingga perlu adanya suatu pengelolaan sumber daya air yang terpadu.

1. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri.

Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta cenderung meningkat dari tahun ke tahun sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk yang juga terus meningkat di propinsi ini kecuali untuk daerah yang menunjukkan laju pertumbuhan penduduk yang negatif. Kebutuhan air untuk rumah tangga dihitung sebagai kebutuhan air 24 jam untuk 1 (satu) orang yang meliputi air untuk minum, masak, mandi cuci dan sanitasi. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan hidup masyarakat dan iklim di daerah tersebut. Kebutuhan air untuk rumah tangga dapat dihitung dengan mengalikan standar kebutuhan air per orang per hari dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut.

Kebutuhan air untuk keperluan perkotaan (municipal) adalah kebutuhan air untuk fasilitas kota, seperti fasilitas komersial, fasilitas pariwisata, fasilitas ibadah, fasilitas kesehatan dan fasilitas pendukung kota lainnya misalnya pembersihan jalan, pemadam kebakaran, sanitasi kota dan penyiraman tanaman perkotaan. Besarnya kebutuhan air perkotaan dapat ditentukan oleh banyaknya fasilitas perkotaan. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat dinamika kota dan jenjang suatu kota. Kebutuhan air untuk perkotaan diambil sebagai proporsi dari kebutuhan air untuk rumah tangga dengan persentasi antara 25-40% tergantung dari kemajuan daerah itu sendiri.

Berikut ini disajikan jumlah penduduk untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk rumah tangga dan perkotaan sampai tahun 2025 pada Tabel 3.46, Tabel 3.47, dan Tabel 3.48.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-54

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 46 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi DIY Jumlah Penduduk (jiwa) N

o Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Kulon Progo 375.153 368.766 353.270 338.426 324.205 310.582

2 Bantul 815.667 834.469 883.392 935.183 990.010 1.048.051

3 Gunung Kidul 685.605 682.405 674.472 666.630 658.880 651.220

4 Sleman 940.019 973.189 1.061.325

1.157.444

1.262.267

1.376.584

5 Kota Yogyakarta 390.941 384.102 367.522 351.658 336.478 321.954

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 47 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi DIY

Kebutuhan Air Domestik (m3/det) No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Kulon Progo 0,521 0,512 0,491 0,470 0,450 0,431 2 Bantul 1,227 1,256 1,329 1,407 1,490 1,577 3 Gunung Kidul 0,476 0,474 0,468 0,463 0,458 0,452 4 Sleman 1,414 1,464 1,597 1,742 1,899 2,071

5 Kota Yogyakarta 0,814 0,800 0,766 0,733 0,701 0,671

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 48 Kebutuhan Air untuk Perkotaan di Propinsi DIY Kebutuhan Air Non Domestik (m3/det) N

o Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Kulon Progo 0,156 0,154 0,147 0,141 0,135 0,129 2 Bantul 0,368 0,377 0,399 0,422 0,447 0,473 3 Gunung Kidul 0,143 0,142 0,141 0,139 0,137 0,136 4 Sleman 0,424 0,439 0,479 0,522 0,570 0,621

5 Kota Yogyakarta 0,244 0,240 0,230 0,220 0,210 0,201

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Kebutuhan air industri adalah kebutuhan air untuk proses industri, termasuk sebagai bahan baku, kebutuhan air untuk pekerja industri dan pendukung kegiatan industri. Jadi besar kebutuhan air industri ditentukan oleh kebutuhan air untuk diproses, bahan baku industri dan kebutuhan air untuk pekerjaan industri. Sedangkan kebutuhan air untuk pendukung kegiatan industri seperti hidran dapat disesuaikan dengan jenis industrinya. Kebutuhan air untuk keperluan industri sangat dipengaruhi oleh jenis dan skala (ukuran) industri yang ada. Misalnya industri tekstil dan logam berat tentu akan memerlukan

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-55

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

air yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan industri perakitan. Semakin modern peralatan dan teknologi yang digunakan suatu industri maka akan semakin efisien air yang digunakan.

Berikut ini disajikan Tabel 3.49 yang berisi kebutuhan air untuk industri untuk tiap kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berikut proyeksinya sampai tahun 2025.

Tabel 3. 49 Kebutuhan Air Industri di Propinsi DIY

Kebutuhan Air Industri (m3/det) No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Kulon Progo 0,008 0,009 0,012 0,016 0,021 0,028 2 Bantul 0,055 0,066 0,105 0,168 0,267 0,426 3 Gunung Kidul 0,032 0,032 0,033 0,034 0,035 0,036 4 Sleman 0,095 0,105 0,137 0,177 0,230 0,299

5 Kota Yogyakarta 0,031 0,031 0,031 0,031 0,031 0,031

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

2. Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dan perikanan.

Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dihitung dengan mengkalikan jumlah ternak yang ada di kabupaten tersebut dengan kebutuhan air untuk tiap jenis ternak. Ternak berkaki empat besar seperti sapi, kerbau dan kuda rata-rata memerlukan air sebesar 40 liter/ekor/hari. Ternak berkaki empat kecil seperti kambing atau domba rata-rata memerlukan air sebanyak 5 liter/ekor/hari. Sedangkan unggas seperti ayam memerlukan air rata-rata 0,6 liter/ekor/hari.

Kebutuhan air untuk perikanan adalah kebutuhan air untuk mengisi kolam pada saat awal tanam dan kebutuhan untuk penggantian air. Dipakai standar sebesar 7 mm/hari sebagai kebutuhan air untuk perikanan.

Berikut ini disampaikan Tabel 3.50 dan Tabel 3.51 yang berisi kebutuhan air untuk peternakan dan perikanan untuk tiap kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berikut proyeksinya sampai tahun 2025.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-56

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 50 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi DIY Kebutuhan Air Peternakan (m3/det) N

o Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Kulon Progo 0,037 0,038 0,038 0,038 0,038 0,039 2 Bantul 0,036 0,037 0,039 0,041 0,043 0,046 3 Gunung Kidul 0,071 0,071 0,073 0,074 0,076 0,078 4 Sleman 0,048 0,050 0,057 0,064 0,073 0,082

5 Kota Yogyakarta 0,001 0,001 0,001 0,000 0,000 0,000

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 51 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi DIY Kebutuhan Air Perikanan (m3/det) N

o Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Kulon Progo 0,015 0,015 0,015 0,015 0,015 0,015 2 Bantul 0,070 0,069 0,068 0,067 0,065 0,064 3 Gunung Kidul 0,145 0,144 0,144 0,143 0,143 0,142 4 Sleman 0,298 0,297 0,293 0,290 0,286 0,283

5 Kota Yogyakarta 0,006 0,006 0,006 0,006 0,006 0,006

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

3. Kebutuhan air untuk keperluan irigasi.

Kebutuhan air irigasi sangat mendominasi kebutuhan air di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta apabila dibandingkan dengan kebutuhan untuk rumah tangga, perkotaan dan industri serta kebutuhan untuk peternakan dan perikanan.

Kebutuhan air untuk irigasi tergantung pada beberapa faktor antara lain seperti luas tanam, jenis tanaman, keadaan iklim (curah hujan dan evapotranspirasi), jenis tanah (untuk memperkirakan laju perkolasi dan kelembaban), cara bercocok tanam dan dan praktek irigasi untuk tanaman padi (kebutuhan air untuk pengolahan lahan dan penggantian lapisan air), sistem golongan dan efisiensi irigasi.

Secara umum pola tanam yang ada di wilayah studi adalah padi-padi-palawija, namun untuk beberapa daerah tertentu pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-padi apabila memang ketersediaan air mencukupi untuk mendukung pola tersebut. Ada juga daerah lain yang hanya bisa menanam

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-57

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

padi satu kali dalam satu tahun karena air yang tersedia hanya cukup untuk sekali tanam padi.

Untuk mengurangi puncak kebutuhan air untuk irigasi khususnya pada awal musim tanam, maka dilakukan penjadwalan awal tanam secara bergiliran yang didasarkan pada besarnya luasan areal maupun lokasi areal. Pembagian penjadwalan waktu tanam tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa golongan, masing-masing golongan dibagi berdasarkan ketersediaan air dan luas areal tanam untuk kebutuhan air masa awal pengolahan lahan.

Data luas lahan areal irigasi didapatkan dari buku Propinsi Dalam Angka yang dikeluarkan oleh BPS. Dari data luasan lahan areal irigasi tersebut lalu dilakukan proyeksi untuk dapat menentukan luasan lahan areal irigasi di masa yang akan datang sehingga perkiraan kebutuhan air di waktu yang akan datang dapat diperhitungkan pula.

Berikut ini disajikan Tabel 3.52, Tabel 3.53 dan Tabel 3.54 yang berisi luas lahan areal irigasi untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk irigasi untuk saat ini dan untuk tahun 2025.

Tabel 3. 52 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi DIY

Luas Lahan Areal Irigasi (Ha) No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Kulon Progo 10.886 10.880 10.866 10.852 10.838 10.824 2 Bantul 16.198 16.190 16.169 16.148 16.127 16.106 3 Gunung Kidul 7.629 7.625 7.615 7.605 7.595 7.585 4 Sleman 23.361 23.349 23.319 23.289 23.259 23.229 5 Kota Yogyakarta 136 136 136 136 135 135

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 53 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi DIY Tahun 2003 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

1 Kulon Progo 3,294 6,265 6,002 4,735 7,016 8,012 8,369 6,397 3,322 9,288 8,020 2,858 2 Bantul 5,700 8,803 10,877 10,193 12,532 13,095 13,164 10,444 5,563 15,785 14,182 6,074 3 Gunung Kidul 2,662 4,197 5,156 4,830 5,948 6,199 6,202 4,913 2,621 7,390 6,698 2,876 4 Sleman 7,423 14,450 16,847 15,720 19,640 19,972 19,049 14,864 8,066 21,241 21,090 9,295 5 Kota Yogyakarta 0,042 0,086 0,100 0,093 0,116 0,118 0,111 0,086 0,047 0,122 0,124 0,055

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-58

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 54 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi DIY Tahun 2025 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

1 Kulon Progo 3,276 6,229 5,968 4,708 6,976 7,967 8,321 6,361 3,303 9,235 7,974 2,842 2 Bantul 5,668 8,753 10,815 10,135 12,461 13,021 13,090 10,385 5,531 15,695 14,101 6,039 3 Gunung Kidul 2,646 4,172 5,127 4,803 5,914 6,163 6,166 4,885 2,606 7,348 6,659 2,860 4 Sleman 7,381 14,369 16,752 15,631 19,529 19,859 18,941 14,780 8,021 21,121 20,971 9,242 5 Kota Yogyakarta 0,042 0,086 0,099 0,092 0,116 0,117 0,110 0,086 0,047 0,121 0,123 0,054

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

B. Ketersediaan Air

Wilayah administrasi Propinsi Jawa Tengah yang meliputi 4 kabupaten dan 1 kota seluruhnya termasuk ke dalam wilayah WS Progo-Opak-Oyo. Sungai-sungai utama di WS Progo-Opak-Oyo yang diambil airnya untuk dimanfatkan guna mencukupi kebutuhan air adalah adalah Sungai Progo dan anak-anak sungainya, Opak, Oyo dan Serang dengan Waduk Sermo.

Besarnya debit sungai sangat dipengaruhi oleh besarnya curah hujan, sehingga ketersediaan air akan sangat bervariasi tergantung musim. Biasanya di musim penghujan air yang tersedia berupa debit aliran di sungai akan sangat banyak dan melimpah dan sebaliknya pada saat musim kemarau air yang tersedia sebagai debit aliran di sungai akan sedikit sekali. Besarnya debit andalan yang dipakai sebagai ketersediaan air dari berbagai titik pengambilan untuk masing-masing kabupaten dapat dilihat pada Tabel 3.55 berikut ini.

Tabel 3. 55 Ketersediaan Air di Propinsi DIY

Ketersediaan Air (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des 1 Kulon Progo 33,328 41,897 40,701 24,320 13,110 7,532 3,950 2,529 1,711 2,469 13,855 16,692 2 Bantul 24,436 31,544 30,395 17,796 9,553 5,371 2,766 1,744 1,149 1,212 9,900 11,624 3 Gunung Kidul 15,710 23,925 18,627 15,168 9,297 6,422 5,410 4,651 3,396 2,768 4,628 6,980 4 Sleman 32,921 42,497 40,949 23,976 12,870 7,236 3,726 2,349 1,548 1,633 13,338 15,660 5 Kota Yogyakarta 4,751 4,728 4,212 2,980 1,805 1,126 0,752 0,496 0,292 0,445 0,699 1,435

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

C. Neraca Air

Dalam studi neraca air atau keseimbangan air perlu diketahui jumlah kebutuhan air dari wilayah yang ditinjau dan jumlah ketersediaan air dari titik-titik

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-59

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

pengambilan di sungai-sungai yang melayaninya. Air yang tersedia tergantung dari input yang berupa hujan yang jatuh di daerah tangkapan hujan dan respon masing-masing daerah aliran sungai. Respon masing-masing daerah aliran sungai dipengaruhi oleh jenis penggunaan lahan, kondisi geologi dan kondisi tanah. Sedangkan besarnya kebutuhan tergantung pada jumlah penduduk dan kondisi serta aktifitas masyarakat di masing-masing daerah.

Beberapa kriteria yang dipakai dalam analisis neraca air ini adalah sebagai berikut:

1. Hitungan keseimbangan air dilakukan untuk setiap wilayah kabupaten atau kota berikut dengan ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungai-sungai yang melayaninya.

2. Ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungai-sungai tersebut dianggap tetap.

3. Kebutuhan dan proyeksi kebutuhan air dihitung berdasarkan data-data jumlah penduduk dan luas lahan yang didapat.

4. Kebutuhan air untuk irigasi dihitung dengan memasukkan faktor intensitas tanam dan pergiliran awal musim tanam untuk mereduksi puncak-puncak kebutuhan air irigasi yang sangat besar.

Selengkapnya hasil analisa neraca air untuk Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2003 disajikan dalam Tabel 3.56, neraca air untuk tahun 2025 disajikan dalam Tabel 3.57 dan jumlah bulan defisit disajikan dalam Tabel 3.58 berikut ini.

Tabel 3. 56 Neraca Air di Propinsi DIY Tahun 2003

Neraca Air (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des 1 Kulon Progo 29,30 34,89 33,96 18,85 5,36 -1,22 -5,16 -4,61 -2,35 -7,56 5,10 13,10 2 Bantul 16,98 20,99 17,76 5,85 -4,74 -9,48 -12,15 -10,46 -6,17 -16,33 -6,04 3,79 3 Gunung Kidul 12,18 18,86 12,60 9,47 2,48 -0,64 -1,66 -1,13 -0,09 -5,49 -2,94 3,24 4 Sleman 23,22 25,77 21,82 5,98 -9,05 -15,02 -17,60 -14,79 -8,80 -21,89 -10,03 4,09 5 Kota Yogyakarta 3,61 3,54 3,01 1,79 0,59 -0,09 -0,46 -0,69 -0,85 -0,77 -0,52 0,28

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-60

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 57 Neraca Air di Propinsi DIY Tahun 2025 Neraca Air (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

1 Kulon Progo 29,41 35,03 34,09 18,97 5,49 -1,08 -5,01 -4,47 -2,23 -7,41 5,24 13,21 2 Bantul 16,18 20,21 16,99 5,07 -5,49 -10,24 -12,91 -11,23 -6,97 -17,07 -6,79 3,00 3 Gunung Kidul 12,22 18,91 12,66 9,52 2,54 -0,59 -1,60 -1,08 -0,06 -5,42 -2,88 3,28 4 Sleman 22,18 24,77 20,84 4,99 -10,02 -15,98 -18,57 -15,79 -9,83 -22,84 -10,99 3,06 5 Kota Yogyakarta 3,80 3,73 3,20 1,98 0,78 0,10 -0,27 -0,50 -0,66 -0,59 -0,33 0,47

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 58 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi DIY No Kabupaten/Kota 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Kulon Progo 5 5 5 5 5 5 2 Bantul 7 7 7 7 7 7 3 Gunung Kidul 6 6 6 6 6 6 4 Sleman 7 7 7 7 7 7 5 Kota Yogyakarta 6 6 6 5 5 5

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

3.1.6 Jawa Timur

Propinsi Jawa Timur terdiri dari 29 kabupaten dan 9 kota. 29 Kabupaten tersebut terdiri dari: Kabupaten Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Sedangkan kesembilan kotanya terdiri dari: Kota Kediri, Blitar, Malang, Probolinggo, Pasuruan, Mojokerto, Madiun, Surabaya dan Batu.

A. Kebutuhan Air

Semakin meningkatnya populasi yang disertai dengan perkembangan sektor-sektor lainnya di Propinsi Jawa Timur berdampak juga pada peningkatan akan kebutuhan sumber daya air. Di sisi lain, jumlah air yang ada tidak mungkin bertambah dan ketersediaanya cenderung tidak merata dari waktu ke waktu dan juga cenderung terus berkurang.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-61

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Pemanfaatan air di Propinsi Jawa Timur meliputi kebutuhan untuk rumah tangga, perkotaan, industri, peternakan, perikanan dan irigasi. Secara umum kebutuhan air untuk irigasi jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan kebutuhan air untuk sektor lainnya. Kondisi ini akan semakin sulit apabila tidak didukung dengan adanya usaha untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi sumber daya air diantaranya konservasi daerah tangkapan hujan dan efisiensi dalam penggunaan air.

Dalam pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, prioritas utama adalah untuk pemenuhan kebutuhan air minum/rumah tangga, yang kedua adalah untuk pemenuhan kebutuhan jasa perkotaan dan industri, yang ketiga adalah untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi dan sisanya dimanfaatkan untuk kegiatan lain. Seiring dengan perkembangan kebutuhan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri maka kebutuhan untuk irigasi seringkali menjadi tidak tercukupi terutama untuk musim tanam kedua atau ketiga dimana hujan yang turun sudah tidak terlalu banyak. Konflik sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antar departemen atau instansi pengelola sumber daya air sehingga perlu adanya suatu pengelolaan sumber daya air yang terpadu.

1. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri.

Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri di Propinsi Jawa Timur cenderung meningkat dari tahun ke tahun sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk yang juga terus meningkat di propinsi ini. Kebutuhan air untuk rumah tangga dihitung sebagai kebutuhan air 24 jam untuk 1 (satu) orang yang meliputi air untuk minum, masak, mandi cuci dan sanitasi. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan hidup masyarakat dan iklim di daerah tersebut. Kebutuhan air untuk rumah tangga dapat dihitung dengan mengalikan standar kebutuhan air per orang per hari dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut.

Kebutuhan air untuk keperluan perkotaan (municipal) adalah kebutuhan air untuk fasilitas kota, seperti fasilitas komersial, fasilitas pariwisata, fasilitas ibadah, fasilitas kesehatan dan fasilitas pendukung kota lainnya misalnya pembersihan jalan, pemadam kebakaran, sanitasi kota dan penyiraman tanaman perkotaan. Besarnya kebutuhan air perkotaan dapat ditentukan oleh

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-62

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

banyaknya fasilitas perkotaan. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat dinamika kota dan jenjang suatu kota. Kebutuhan air untuk perkotaan diambil sebagai proporsi dari kebutuhan air untuk rumah tangga dengan persentasi antara 25-40% tergantung dari kemajuan daerah itu sendiri.

Berikut ini disajikan jumlah penduduk untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Jawa Timur berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk rumah tangga dan perkotaan sampai tahun 2025 pada Tabel 3.59, Tabel 3.60, dan Tabel 3.61.

Tabel 3. 59 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Timur

Jumlah Penduduk (jiwa) No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Pacitan 538.390 542.296 552.186 562.256 572.510 582.951 2 Ponorogo 869.360 872.874 881.721 890.657 899.685 908.803 3 Trenggalek 671.080 678.887 698.804 719.305 740.408 762.130 4 Tulungagung 960.070 970.450 996.893 1.024.057 1.051.961 1.080.625 5 Blitar & K. Blitar 1.234.070 1.245.552 1.274.728 1.304.586 1.335.145 1.366.419 6 Kediri & K. Kediri 1.726.870 1.762.438 1.854.651 1.951.769 2.054.057 2.161.793 7 Malang, K. Malang & K. Batu 3.283.700 3.369.019 3.592.150 3.830.068 4.083.756 4.354.258 8 Lumajang 999.530 1.017.551 1.064.038 1.112.648 1.163.480 1.216.633 9 Jember 2.231.790 2.285.259 2.424.603 2.572.444 2.729.299 2.895.719 10 Banyuwangi 1.539.950 1.567.809 1.639.680 1.714.846 1.793.458 1.875.673 11 Bondowoso 708.650 721.322 754.002 788.162 823.871 861.197 12 Situbondo 621.070 634.302 668.629 704.813 742.956 783.163 13 Probolinggo & K. Probolinggo 1.236.510 1.272.028 1.365.405 1.465.719 1.573.495 1.689.293 14 Pasuruan & K. Pasuruan 1.596.450 1.662.305 1.839.097 2.034.727 2.251.206 2.490.759 15 Sidoarjo 1.682.280 1.823.189 2.229.285 2.725.834 3.332.984 4.075.370 16 Mojokerto & K. Mojokerto 1.080.500 1.114.896 1.205.814 1.304.238 1.410.793 1.526.156 17 Jombang 1.172.440 1.197.399 1.262.146 1.330.393 1.402.331 1.478.159 18 Nganjuk 1.028.260 1.042.625 1.079.423 1.117.519 1.156.960 1.197.793 19 Madiun & K. Madiun 826.400 826.872 828.211 829.773 831.553 833.548 20 Magetan 620.750 615.193 601.516 588.143 575.067 562.282 21 Ngawi 839.950 844.133 854.682 865.363 876.177 887.127 22 Bojonegoro 1.212.700 1.232.433 1.283.180 1.336.017 1.391.030 1.448.308 23 Tuban 1.077.090 1.097.523 1.150.318 1.205.652 1.263.649 1.324.435 24 Lamongan 1.235.890 1.252.598 1.295.362 1.339.585 1.385.319 1.432.614 25 Gresik 1.059.820 1.101.530 1.213.128 1.336.033 1.471.390 1.620.460 26 Bangkalan 886.080 916.336 996.575 1.083.839 1.178.745 1.281.961 27 Sampang 833.640 872.711 978.588 1.097.311 1.230.437 1.379.713 28 Pamekasan 740.150 764.571 829.206 899.305 975.330 1.057.782 29 Sumenep 1.032.260 1.053.292 1.107.764 1.165.054 1.225.307 1.288.676 30 Kota Surabaya 2.660.380 2.742.379 2.958.606 3.191.882 3.443.550 3.715.061

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-63

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 60 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Timur Kebutuhan Air Domestik (m3/det) N

o Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Pacitan 0,374 0,377 0,383 0,390 0,398 0,405 2 Ponorogo 0,805 0,808 0,816 0,825 0,833 0,841 3 Trenggalek 0,738 0,746 0,768 0,791 0,814 0,838 4 Tulungagung 1,056 1,067 1,096 1,126 1,157 1,188 5 Blitar & K. Blitar 1,357 1,370 1,402 1,434 1,468 1,502 6 Kediri & K. Kediri 1,999 2,040 2,147 2,259 2,377 2,502

7 Malang, K. Malang & K. Batu 4,751 4,874 5,197 5,541 5,908 6,300

8 Lumajang 1,099 1,119 1,170 1,223 1,279 1,338 9 Jember 2,583 2,645 2,806 2,977 3,159 3,352

10 Banyuwangi 1,693 1,724 1,803 1,886 1,972 2,062 11 Bondowoso 0,779 0,793 0,829 0,867 0,906 0,947 12 Situbondo 0,683 0,697 0,735 0,775 0,817 0,861

13 Probolinggo & K. Probolinggo 1,431 1,472 1,580 1,696 1,821 1,955

14 Pasuruan & K. Pasuruan 2,310 2,405 2,661 2,944 3,257 3,604 15 Sidoarjo 2,629 2,849 3,483 4,259 5,208 6,368 16 Mojokerto & K. Mojokerto 1,563 1,613 1,745 1,887 2,041 2,208 17 Jombang 1,696 1,732 1,826 1,925 2,029 2,139 18 Nganjuk 1,190 1,207 1,249 1,293 1,339 1,386 19 Madiun & K. Madiun 0,909 0,909 0,911 0,912 0,914 0,917 20 Magetan 0,683 0,676 0,661 0,647 0,632 0,618 21 Ngawi 1,215 1,221 1,237 1,252 1,268 1,283 22 Bojonegoro 1,333 1,355 1,411 1,469 1,529 1,592 23 Tuban 1,184 1,207 1,265 1,326 1,389 1,456 24 Lamongan 1,430 1,450 1,499 1,550 1,603 1,658 25 Gresik 1,533 1,594 1,755 1,933 2,129 2,344 26 Bangkalan 0,820 0,848 0,923 1,004 1,091 1,187 27 Sampang 0,772 0,808 0,906 1,016 1,139 1,278 28 Pamekasan 0,685 0,708 0,768 0,833 0,903 0,979 29 Sumenep 0,956 0,975 1,026 1,079 1,135 1,193 30 Kota Surabaya 5,542 5,713 6,164 6,650 7,174 7,740

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-64

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 61 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Timur Kebutuhan Air Non Domestik (m3/det) N

o Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Pacitan 0,112 0,113 0,115 0,117 0,119 0,121 2 Ponorogo 0,241 0,242 0,245 0,247 0,250 0,252 3 Trenggalek 0,221 0,224 0,231 0,237 0,244 0,251 4 Tulungagung 0,317 0,320 0,329 0,338 0,347 0,356 5 Blitar & K. Blitar 0,407 0,411 0,420 0,430 0,440 0,451 6 Kediri & K. Kediri 0,600 0,612 0,644 0,678 0,713 0,751

7 Malang, K. Malang & K. Batu 1,425 1,462 1,559 1,662 1,772 1,890

8 Lumajang 0,330 0,336 0,351 0,367 0,384 0,401 9 Jember 0,775 0,793 0,842 0,893 0,948 1,005 10 Banyuwangi 0,508 0,517 0,541 0,566 0,592 0,619 11 Bondowoso 0,234 0,238 0,249 0,260 0,272 0,284 12 Situbondo 0,205 0,209 0,221 0,232 0,245 0,258

13 Probolinggo & K. Probolinggo 0,429 0,442 0,474 0,509 0,546 0,587

14 Pasuruan & K. Pasuruan 0,693 0,721 0,798 0,883 0,977 1,081 15 Sidoarjo 0,789 0,855 1,045 1,278 1,562 1,910 16 Mojokerto & K. Mojokerto 0,469 0,484 0,523 0,566 0,612 0,662 17 Jombang 0,509 0,520 0,548 0,577 0,609 0,642 18 Nganjuk 0,357 0,362 0,375 0,388 0,402 0,416 19 Madiun & K. Madiun 0,273 0,273 0,273 0,274 0,274 0,275 20 Magetan 0,205 0,203 0,198 0,194 0,190 0,185 21 Ngawi 0,365 0,366 0,371 0,376 0,380 0,385 22 Bojonegoro 0,400 0,407 0,423 0,441 0,459 0,478 23 Tuban 0,355 0,362 0,379 0,398 0,417 0,437 24 Lamongan 0,429 0,435 0,450 0,465 0,481 0,497 25 Gresik 0,460 0,478 0,527 0,580 0,639 0,703 26 Bangkalan 0,246 0,255 0,277 0,301 0,327 0,356 27 Sampang 0,232 0,242 0,272 0,305 0,342 0,383 28 Pamekasan 0,206 0,212 0,230 0,250 0,271 0,294 29 Sumenep 0,287 0,293 0,308 0,324 0,340 0,358 30 Kota Surabaya 1,663 1,714 1,849 1,995 2,152 2,322

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Kebutuhan air industri adalah kebutuhan air untuk proses industri, termasuk sebagai bahan baku, kebutuhan air pekerja industri dan pendukung kegiatan industri. Jadi besar kebutuhan air industri ditentukan oleh kebutuhan air untuk diproses, bahan baku industri dan kebutuhan air untuk pekerjaan industri. Sedangkan kebutuhan air untuk pendukung kegiatan industri seperti hidran dapat disesuaikan dengan jenis industrinya. Kebutuhan air untuk keperluan industri sangat dipengaruhi oleh jenis dan skala (ukuran) industri yang ada. Misalnya industri tekstil dan logam berat tentu akan memerlukan air yang

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-65

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

lebih banyak apabila dibandingkan dengan industri perakitan. Semakin modern peralatan dan teknologi yang digunakan suatu industri tersebut akan semakin efisien air yang digunakan.

Berikut ini disajikan Tabel 3.62 yang berisi kebutuhan air untuk industri untuk tiap kabupaten di Propinsi Jawa Timur berikut proyeksinya sampai tahun 2025.

Tabel 3. 62 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Timur

Kebutuhan Air Industri (m3/det) No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Pacitan 0,022 0,025 0,033 0,044 0,059 0,078 2 Ponorogo 0,033 0,040 0,063 0,099 0,157 0,249 3 Trenggalek 0,030 0,032 0,037 0,042 0,049 0,056 4 Tulungagung 0,088 0,092 0,102 0,113 0,126 0,140 5 Blitar & K. Blitar 0,339 0,376 0,490 0,639 0,836 1,096 6 Kediri & K. Kediri 0,150 0,157 0,175 0,195 0,219 0,246

7 Malang, K. Malang & K. Batu 0,617 0,645 0,720 0,803 0,896 1,000

8 Lumajang 0,114 0,118 0,129 0,140 0,153 0,166 9 Jember 0,192 0,210 0,264 0,330 0,413 0,518 10 Banyuwangi 0,306 0,316 0,343 0,373 0,404 0,439 11 Bondowoso 0,081 0,086 0,102 0,119 0,140 0,164 12 Situbondo 0,079 0,083 0,096 0,110 0,127 0,146

13 Probolinggo & K. Probolinggo 0,323 0,330 0,347 0,365 0,384 0,404

14 Pasuruan & K. Pasuruan 0,701 0,742 0,854 0,984 1,134 1,307 15 Sidoarjo 0,917 1,064 1,541 2,231 3,232 4,681 16 Mojokerto & K. Mojokerto 0,318 0,388 0,639 1,054 1,737 2,862 17 Jombang 0,069 0,082 0,128 0,200 0,311 0,484 18 Nganjuk 0,040 0,044 0,055 0,068 0,084 0,104 19 Madiun & K. Madiun 0,064 0,067 0,077 0,090 0,106 0,126 20 Magetan 0,016 0,016 0,019 0,021 0,023 0,026 21 Ngawi 0,080 0,082 0,085 0,088 0,092 0,096 22 Bojonegoro 0,083 0,088 0,102 0,118 0,137 0,159 23 Tuban 0,265 0,281 0,326 0,378 0,438 0,507 24 Lamongan 0,075 0,089 0,133 0,199 0,298 0,447 25 Gresik 1,012 1,019 1,035 1,052 1,068 1,086 26 Bangkalan 0,051 0,052 0,055 0,058 0,062 0,065 27 Sampang 0,036 0,036 0,037 0,038 0,039 0,040 28 Pamekasan 0,025 0,025 0,025 0,025 0,025 0,025 29 Sumenep 0,065 0,066 0,069 0,071 0,073 0,076 30 Kota Surabaya 0,871 0,928 1,088 1,275 1,494 1,751

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-66

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

2. Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dan perikanan.

Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dihitung dengan mengkalikan jumlah ternak yang ada di kabupaten tersebut dengan kebutuhan air untuk tiap jenis ternak. Ternak berkaki empat besar seperti sapi, kerbau dan kuda rata-rata memerlukan air sebesar 40 liter/ekor/hari. Ternak berkaki empat kecil seperti kambing atau domba rata-rata memerlukan air sebanyak 5 liter/ekor/hari. Sedangkan unggas seperti ayam memerlukan air rata-rata 0,6 liter/ekor/hari.

Kebutuhan air untuk perikanan adalah kebutuhan air untuk mengisi kolam pada saat awal tanam dan kebutuhan untuk penggantian air. Dipakai standar sebesar 7 mm/hari sebagai kebutuhan air untuk perikanan.

Berikut ini disajikan Tabel 3.63 dan Tabel 3.64 yang berisi kebutuhan air untuk peternakan dan perikanan untuk tiap kabupaten di Propinsi Jawa Timur berikut proyeksinya sampai tahun 2025.

Tabel 3. 63 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Timur

Kebutuhan Air Peternakan (m3/det) No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Pacitan 0,033 0,034 0,035 0,037 0,038 0,040 2 Ponorogo 0,085 0,084 0,085 0,087 0,090 0,093 3 Trenggalek 0,032 0,032 0,034 0,037 0,042 0,047 4 Tulungagung 0,065 0,069 0,081 0,100 0,128 0,171 5 Blitar & K. Blitar 0,168 0,171 0,180 0,189 0,200 0,211 6 Kediri & K. Kediri 0,082 0,084 0,091 0,101 0,114 0,130

7 Malang, K. Malang & K. Batu 0,139 0,140 0,143 0,147 0,151 0,156

8 Lumajang 0,083 0,083 0,086 0,091 0,098 0,107 9 Jember 0,117 0,118 0,121 0,123 0,127 0,130 10 Banyuwangi 0,070 0,068 0,064 0,060 0,056 0,053 11 Bondowoso 0,067 0,067 0,070 0,074 0,079 0,087 12 Situbondo 0,067 0,067 0,067 0,068 0,068 0,069

13 Probolinggo & K. Probolinggo 0,049 0,045 0,038 0,033 0,029 0,026

14 Pasuruan & K. Pasuruan 0,076 0,076 0,076 0,075 0,075 0,075 15 Sidoarjo 0,013 0,013 0,013 0,013 0,014 0,014 16 Mojokerto & K. Mojokerto 0,043 0,043 0,044 0,044 0,046 0,048 17 Jombang 0,133 0,130 0,124 0,119 0,115 0,111 18 Nganjuk 0,078 0,081 0,092 0,106 0,125 0,150 19 Madiun & K. Madiun 0,026 0,024 0,021 0,018 0,015 0,013 20 Magetan 0,039 0,038 0,035 0,033 0,030 0,028 21 Ngawi 0,055 0,057 0,067 0,083 0,110 0,151 22 Bojonegoro 0,072 0,072 0,073 0,075 0,080 0,088

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-67

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Kebutuhan Air Peternakan (m3/det) No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 23 Tuban 0,092 0,091 0,089 0,088 0,086 0,084 24 Lamongan 0,034 0,032 0,028 0,025 0,023 0,022 25 Gresik 0,040 0,041 0,044 0,048 0,055 0,066 26 Bangkalan 0,075 0,074 0,071 0,070 0,071 0,074 27 Sampang 0,090 0,091 0,093 0,096 0,099 0,103 28 Pamekasan 0,055 0,055 0,055 0,056 0,057 0,059 29 Sumenep 0,124 0,123 0,121 0,119 0,118 0,117 30 Kota Surabaya 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 64 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Timur Kebutuhan Air Perikanan (m3/det) No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025

1 Pacitan 0,011 0,011 0,011 0,011 0,012 0,012 2 Ponorogo 0,024 0,008 0,001 0,000 0,000 0,000 3 Trenggalek 0,078 0,075 0,068 0,062 0,057 0,051 4 Tulungagung 0,105 0,122 0,174 0,250 0,359 0,514 5 Blitar & K. Blitar 0,107 0,132 0,220 0,370 0,620 1,040 6 Kediri & K. Kediri 0,080 0,092 0,132 0,188 0,269 0,385 7 Malang, K. Malang & K. Batu 3,417 3,292 3,003 2,744 2,515 2,318 8 Lumajang 0,164 0,207 0,372 0,670 1,206 2,170 9 Jember 0,220 0,247 0,330 0,442 0,592 0,792

10 Banyuwangi 1,598 1,622 1,684 1,748 1,815 1,885 11 Bondowoso 0,020 0,022 0,028 0,035 0,044 0,056 12 Situbondo 1,001 0,943 0,813 0,701 0,604 0,521 13 Probolinggo & K. Probolinggo 1,044 0,986 0,855 0,743 0,645 0,560 14 Pasuruan & K. Pasuruan 3,310 3,309 3,388 3,496 3,611 3,730 15 Sidoarjo 12,611 12,768 13,166 13,578 14,002 14,439 16 Mojokerto & K. Mojokerto 0,390 0,375 0,340 0,308 0,280 0,254 17 Jombang 0,047 0,047 0,047 0,047 0,047 0,047 18 Nganjuk 0,058 0,063 0,078 0,098 0,122 0,152 19 Madiun & K. Madiun 0,039 0,038 0,034 0,032 0,029 0,027 20 Magetan 0,014 0,014 0,014 0,014 0,014 0,014 21 Ngawi 0,015 0,013 0,009 0,006 0,004 0,003 22 Bojonegoro 0,207 0,237 0,329 0,458 0,637 0,885 23 Tuban 0,527 0,503 0,446 0,395 0,350 0,311 24 Lamongan 1,387 1,511 1,873 2,320 2,875 3,562 25 Gresik 14,815 15,037 15,607 16,199 16,813 17,451 26 Bangkalan 1,232 1,151 0,970 0,818 0,689 0,581 27 Sampang 3,336 3,667 4,644 5,882 7,449 9,434 28 Pamekasan 0,571 0,550 0,501 0,456 0,415 0,378 29 Sumenep 1,078 1,038 0,945 0,860 0,783 0,713 30 Kota Surabaya 1,538 1,300 0,853 0,560 0,368 0,241

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-68

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

3. Kebutuhan air untuk keperluan irigasi.

Kebutuhan air irigasi sangat mendominasi kebutuhan air di Propinsi Jawa Timur apabila dibandingkan dengan kebutuhan untuk rumah tangga, perkotaan dan industri serta kebutuhan untuk peternakan dan perikanan.

Kebutuhan air untuk irigasi tergantung pada beberapa faktor antara lain seperti luas tanam, jenis tanaman, keadaan iklim, (curah hujan dan evapotranspirasi), jenis tanah (untuk memperkirakan laju perkolasi dan kelembaban), cara bercocok tanam dan dan praktek irigasi untuk tanaman padi (kebutuhan air untuk pengolahan lahan dan penggantian lapisan air), sistem golongan dan efisiensi irigasi.

Secara umum pola tanam yang ada di wilayah studi adalah padi-padi-palawija, namun untuk beberapa daerah tertentu pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-padi apabila memang ketersediaan air mencukupi untuk mendukung pola tersebut. Ada juga daerah lain yang hanya bisa menanam padi satu kali dalam satu tahun karena air yang tersedia hanya cukup untuk sekali tanam padi.

Untuk mengurangi puncak kebutuhan air untuk irigasi khususnya pada awal musim tanam, maka dilakukan penjadwalan awal tanam secara bergiliran yang didasarkan pada besarnya luasan areal maupun lokasi areal. Pembagian penjadwalan waktu tanam tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa golongan, masing-masing golongan dibagi berdasarkan ketersediaan air dan luas areal tanam untuk kebutuhan air masa awal pengolahan lahan.

Data luas lahan areal irigasi didapatkan dari buku Propinsi Dalam Angka yang dikeluarkan oleh BPS. Dari data luasan lahan areal irigasi tersebut lalu dilakukan proyeksi untuk dapat menentukan luasan lahan areal irigasi di masa yang akan datang sehingga perkiraan kebutuhan air di waktu yang akan datang dapat diperhitungkan pula.

Berikut ini disajikan Tabel 3.65, Tabel 3.66 dan Tabel 3.67 yang berisi luas lahan areal irigasi untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Jawa Timur berikut

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-69

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

proyeksinya serta kebutuhan air untuk irigasi untuk saat ini dan untuk tahun 2025.

Tabel 3. 65 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Timur

Luas Lahan Areal Irigasi (Ha) No Kabupaten 2003 2005 2010 2015 2020 2025 1 Pacitan 6.123 6.045 5.856 5.672 5.494 5.322 2 Ponorogo 33.117 32.955 32.552 32.155 31.762 31.374 3 Trenggalek 10.269 10.384 10.677 10.978 11.288 11.606 4 Tulungagung 21.061 20.995 20.830 20.666 20.503 20.342 5 Blitar & K. Blitar 31.537 31.186 30.325 29.489 28.675 27.884 6 Kediri & K. Kediri 47.288 47.297 47.328 47.371 47.426 47.496 7 Malang, K. Malang & K. Batu 48.117 48.213 48.454 48.699 48.947 49.199 8 Lumajang 35.432 36.946 41.019 45.541 50.562 56.136 9 Jember 84.868 83.793 81.166 78.621 76.156 73.768

10 Banyuwangi 65.736 65.663 65.480 65.298 65.116 64.935 11 Bondowoso 30.950 31.777 33.944 36.259 38.731 41.372 12 Situbondo 31.450 32.038 33.557 35.148 36.814 38.559 13 Probolinggo & K. Probolinggo 37.573 37.648 37.838 38.035 38.238 38.447 14 Pasuruan & K. Pasuruan 37.753 37.518 36.937 36.366 35.803 35.250 15 Sidoarjo 24.683 24.370 23.606 22.866 22.149 21.455 16 Mojokerto & K. Mojokerto 32.617 32.952 33.808 34.694 35.612 36.563 17 Jombang 44.078 43.520 42.155 40.834 39.553 38.313 18 Nganjuk 38.014 38.056 38.161 38.267 38.373 38.479 19 Madiun & K. Madiun 30.812 30.712 30.463 30.217 29.972 29.730 20 Magetan 27.570 27.783 28.322 28.871 29.431 30.002 21 Ngawi 46.572 48.107 52.169 56.574 61.351 66.532 22 Bojonegoro 28.871 28.866 28.855 28.843 28.831 28.820 23 Tuban 27.261 26.885 25.966 25.079 24.223 23.395 24 Lamongan 50.731 50.089 48.518 46.997 45.523 44.096 25 Gresik 7.618 7.717 7.970 8.232 8.502 8.781 26 Bangkalan 8.294 8.359 8.522 8.689 8.860 9.033 27 Sampang 4.708 4.689 4.641 4.594 4.547 4.501 28 Pamekasan 7.037 7.016 6.963 6.910 6.858 6.807 29 Sumenep 9.119 9.022 8.783 8.550 8.324 8.104 30 Kota Surabaya 367 362 351 340 329 319

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-70

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 66 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Timur Tahun 2003 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

1 Pacitan 3,347 3,730 4,364 3,685 3,298 4,066 4,807 3,741 1,481 4,789 3,802 1,716 2 Ponorogo 12,607 17,498 18,186 13,515 20,035 24,249 26,673 21,001 12,233 31,949 24,911 11,162 3 Trenggalek 4,170 4,104 4,798 3,246 4,543 6,252 7,575 6,230 2,952 9,865 6,086 1,417 4 Tulungagung 7,931 9,782 10,742 7,451 10,535 13,667 15,584 12,623 6,088 19,046 12,979 3,322 5 Blitar & K. Blitar 13,779 10,460 13,318 8,726 12,039 17,874 23,185 19,376 9,012 32,155 17,914 3,697 6 Kediri & K. Kediri 21,527 13,778 18,709 11,978 16,351 25,620 34,696 29,270 13,466 49,869 26,168 4,963

7 Malang, K. Malang & K. Batu 18,889 20,655 23,423 16,040 22,558 30,177 35,543 29,031 13,867 44,983 29,037 7,073

8 Lumajang 12,639 19,702 25,030 21,917 25,931 28,357 29,234 23,452 14,396 38,376 34,645 16,155 9 Jember 35,781 39,654 44,947 33,574 42,262 51,712 60,484 50,141 22,603 77,140 49,277 13,284

10 Banyuwangi 36,394 37,032 42,986 39,690 37,781 37,601 42,243 37,045 19,469 68,964 60,719 28,009 11 Bondowoso 11,708 15,739 20,892 18,291 21,339 23,860 25,483 20,653 12,539 34,798 29,729 13,663 12 Situbondo 11,084 17,783 22,413 19,625 23,280 25,353 25,959 20,783 12,786 33,807 30,859 14,429

13 Probolinggo & K. Probolinggo 18,259 10,313 19,479 17,039 17,963 23,456 30,616 26,082 15,001 49,972 32,858 13,873

14 Pasuruan & K. Pasuruan 16,147 15,093 22,771 19,929 22,366 26,563 30,937 25,658 15,193 46,011 34,772 15,415

15 Sidoarjo 7,028 15,492 16,805 14,692 19,571 20,955 20,421 16,108 9,909 23,630 24,794 11,127

16 Mojokerto & K. Mojokerto 14,652 8,665 14,404 12,561 15,328 20,383 26,560 22,625 12,802 41,475 28,476 11,104

17 Jombang 20,755 9,610 18,076 15,756 18,839 26,245 35,817 30,813 17,248 57,872 37,719 14,365 18 Nganjuk 14,517 15,731 20,509 17,909 22,888 27,241 31,158 25,730 15,060 43,448 35,232 14,658

19 Madiun & K. Madiun 15,609 24,827 23,137 20,286 25,217 25,568 25,870 20,049 11,690 29,398 29,558 14,699

20 Magetan 18,180 12,944 14,575 12,771 14,292 17,139 22,814 18,991 10,230 34,354 23,081 10,326 21 Ngawi 23,902 36,847 34,524 30,269 37,511 38,226 39,078 30,380 17,653 45,024 44,431 22,010 22 Bojonegoro 15,571 21,183 20,305 17,801 21,773 22,670 24,165 19,022 10,902 29,352 26,941 13,139 23 Tuban 16,527 15,989 16,520 14,479 16,978 18,922 22,673 18,416 10,195 31,199 23,981 11,183 24 Lamongan 32,292 26,373 28,508 24,982 28,578 33,119 42,072 34,655 18,888 60,995 43,400 19,779 25 Gresik 5,158 3,281 3,832 3,357 3,685 4,553 6,293 5,281 2,819 9,749 6,270 2,763 26 Bangkalan 5,093 6,294 6,504 4,410 5,221 5,809 6,881 5,651 3,544 9,943 8,361 4,235 27 Sampang 3,377 2,503 2,985 1,882 2,009 2,636 3,868 3,329 1,985 6,572 4,358 2,078 28 Pamekasan 6,050 1,536 3,004 1,533 1,036 2,575 5,702 5,226 2,913 11,738 5,713 2,433 29 Sumenep 7,352 3,062 4,602 2,609 2,299 4,000 7,427 6,651 3,801 14,280 7,792 3,480 30 Kota Surabaya 0,126 0,182 0,218 0,191 0,248 0,282 0,302 0,245 0,146 0,393 0,351 0,151

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 67 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Timur Tahun 2025 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

1 Pacitan 2,910 3,242 3,794 3,203 2,867 3,534 4,178 3,252 1,287 4,162 3,305 1,491 2 Ponorogo 11,944 16,577 17,229 12,804 18,981 22,973 25,270 19,896 11,590 30,268 23,600 10,575 3 Trenggalek 4,713 4,638 5,422 3,669 5,134 7,066 8,561 7,041 3,336 11,149 6,879 1,601 4 Tulungagung 7,660 9,448 10,376 7,197 10,175 13,201 15,052 12,192 5,880 18,395 12,536 3,208 5 Blitar & K. Blitar 12,181 9,254 11,778 7,719 10,649 15,806 20,500 17,132 7,969 28,426 15,841 3,271 6 Kediri & K. Kediri 21,627 13,828 18,784 12,025 16,413 25,726 34,849 29,400 13,525 50,098 26,279 4,981

7 Malang, K. Malang & K. Batu 19,338 21,067 23,915 16,370 23,018 30,822 36,340 29,689 14,177 46,040 29,670 7,216

8 Lumajang 20,024 31,214 39,656 34,724 41,083 44,927 46,317 37,156 22,808 60,800 54,889 25,595 9 Jember 31,101 34,467 39,069 29,183 36,735 44,949 52,574 43,583 19,647 67,051 42,832 11,547

10 Banyuwangi 35,951 36,580 42,462 39,207 37,320 37,142 41,728 36,594 19,232 68,124 59,979 27,667 11 Bondowoso 15,651 21,039 27,928 24,451 28,525 31,895 34,065 27,607 16,761 46,516 39,740 18,264 12 Situbondo 13,590 21,802 27,479 24,062 28,543 31,084 31,828 25,481 15,676 41,449 37,835 17,691

13 Probolinggo & K. Probolinggo 18,618 10,676 20,028 17,519 18,510 24,091 31,334 26,672 15,354 51,009 33,675 14,240

14 Pasuruan & K. Pasuruan 15,087 14,070 21,246 18,594 20,863 24,788 28,885 23,959 14,185 42,980 32,459 14,386

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-71

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des 15 Sidoarjo 6,108 13,466 14,608 12,770 17,011 18,214 17,750 14,001 8,613 20,539 21,551 9,672

16 Mojokerto & K. Mojokerto 16,362 9,850 16,236 14,160 17,303 22,933 29,778 25,347 14,354 46,374 31,970 12,489

17 Jombang 18,040 8,353 15,712 13,695 16,375 22,812 31,133 26,783 14,993 50,303 32,785 12,486 18 Nganjuk 14,695 15,923 20,760 18,128 23,169 27,575 31,539 26,045 15,244 43,980 35,664 14,838

19 Madiun & K. Madiun 15,063 23,952 22,323 19,572 24,329 24,668 24,962 19,345 11,280 28,369 28,520 14,182

20 Magetan 19,784 14,085 15,861 13,897 15,553 18,651 24,827 20,666 11,133 37,384 25,117 11,237 21 Ngawi 34,145 52,640 49,320 43,242 53,587 54,609 55,826 43,401 25,218 64,320 63,473 31,444 22 Bojonegoro 15,544 21,146 20,269 17,770 21,734 22,630 24,122 18,988 10,883 29,300 26,893 13,116 23 Tuban 14,183 13,722 14,178 12,426 14,571 16,238 19,458 15,805 8,749 26,775 20,581 9,597 24 Lamongan 28,068 22,924 24,780 21,715 24,841 28,787 36,570 30,122 16,418 53,018 37,723 17,192 25 Gresik 5,945 3,782 4,417 3,870 4,248 5,248 7,254 6,087 3,250 11,238 7,228 3,185 26 Bangkalan 5,547 6,854 7,084 4,803 5,687 6,327 7,495 6,155 3,860 10,829 9,106 4,612 27 Sampang 3,228 2,393 2,854 1,799 1,921 2,520 3,697 3,183 1,898 6,283 4,166 1,986 28 Pamekasan 5,852 1,486 2,906 1,483 1,002 2,490 5,515 5,055 2,817 11,354 5,526 2,354 29 Sumenep 6,533 2,721 4,089 2,319 2,043 3,554 6,600 5,910 3,378 12,690 6,924 3,092 30 Kota Surabaya 0,110 0,159 0,190 0,166 0,216 0,245 0,262 0,213 0,127 0,341 0,305 0,131

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

B. Ketersediaan Air

Wilayah administrasi Propinsi Jawa Timur yang meliputi 29 kabupaten dan 9 kota termasuk ke dalam wilayah 4 WS yaitu WS Bengawan Solo bagian hilir, WS Brantas, WS Pekalen-Sampean dan WS Madura. Sungai utama yang diambil airnya untuk dimanfatkan guna mencukupi kebutuhan air di WS Bengawan Solo adalah adalah Sungai Bengawan Solo beserta dengan anak-anak sungainya.

Sungai-sungai utama di WS Brantas yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan air adalah Sungai Brantas dengan Waduk Karangkates, Kesamben dan Wlingi berikut dengan anak-anak sungainya.

Sungai-sungai utama di WS Pekalen-Sampean yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan air adalah Sungai Rejoso, Welang, Kedungbajul, Pekalen, Rondoningu, Deluwang, Sampean, Setail, Baru, Sanen, Bedadung dan Bondoyudo.

Sungai-sungai utama di WS Madura yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan air adalah Sungai Pejagan, Pandean, Klampis, Sampang, Patemon, Tarokam dan Saroka.

Besarnya debit sungai sangat dipengaruhi oleh besarnya curah hujan, sehingga ketersediaan air akan sangat bervariasi tergantung musim. Biasanya di musim penghujan air yang tersedia berupa debit aliran di sungai akan sangat banyak

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-72

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

dan melimpah dan sebaliknya saat musim kemarau air yang tersedia sebagai debit aliran di sungai akan sedikit sekali. Besarnya debit andalan yang dipakai sebagai ketersediaan air dari berbagai titik pengambilan untuk masing-masing kabupaten dapat dilihat pada Tabel 3.68 berikut ini.

Tabel 3. 68 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Timur

Ketersediaan Air (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des 1 Pacitan 58,23 62,07 47,57 43,30 10,31 3,84 2,18 1,75 0,82 0,95 9,66 21,22 2 Ponorogo 53,19 50,09 63,16 50,34 18,49 8,25 3,13 2,88 1,21 4,20 31,82 17,48 3 Trenggalek 29,47 37,53 40,60 39,62 20,43 12,06 6,72 6,72 4,76 5,43 19,41 32,18 4 Tulungagung 93,10 108,84 120,00 132,00 76,50 53,10 48,76 47,70 41,06 40,04 49,00 51,62 5 Blitar & K. Blitar 90,20 150,00 139,00 136,00 74,60 65,70 63,00 57,30 45,10 49,70 50,00 59,10 6 Kediri & K. Kediri 200,00 270,00 261,50 272,00 121,40 94,35 88,50 69,45 56,10 58,75 76,45 103,15

7 Malang, K. Malang & K. Batu 114,92 181,76 155,15 158,87 95,87 82,51 74,86 68,23 66,19 53,04 62,34 86,68

8 Lumajang 92,23 95,41 75,20 51,07 55,69 56,27 52,72 49,40 50,41 54,68 95,42 92,61 9 Jember 165,07 158,94 172,10 124,03 76,71 53,90 42,59 44,39 36,89 44,63 59,42 81,73

10 Banyuwangi 140,68 140,00 108,14 94,25 63,80 45,62 46,39 36,68 31,89 39,18 39,19 52,87 11 Bondowoso 113,32 109,19 107,03 99,43 66,50 47,18 37,22 37,82 32,99 39,90 50,29 66,11 12 Situbondo 76,09 73,25 71,71 66,64 44,71 31,47 24,87 25,44 22,06 26,78 33,69 43,97

13 Probolinggo & K. Probolinggo 103,97 102,59 97,61 91,72 73,71 60,22 53,40 52,76 47,72 54,25 60,75 74,28

14 Pasuruan & K. Pasuruan 121,03 123,22 113,00 107,75 108,27 104,28 100,00 95,18 89,88 96,57 99,08 116,15

15 Sidoarjo 84,35 92,05 78,44 110,31 54,65 37,79 22,84 22,19 19,40 25,06 39,07 64,77

16 Mojokerto & K. Mojokerto 136,86 178,70 171,15 165,70 94,71 101,44 59,40 47,04 52,99 62,14 52,90 79,87

17 Jombang 256,33 350,70 327,30 344,04 114,03 61,60 49,24 58,93 38,33 48,92 67,36 130,08 18 Nganjuk 140,58 229,17 242,19 225,65 112,28 89,86 55,98 55,78 46,76 56,61 72,46 80,38

19 Madiun & K. Madiun 38,33 35,10 45,31 36,26 13,04 5,55 1,97 1,87 0,79 2,44 21,10 11,02

20 Magetan 42,32 38,75 50,03 40,04 14,40 6,13 2,17 2,07 0,88 2,69 23,29 12,17 21 Ngawi 90,42 119,28 71,21 48,75 13,11 6,71 4,96 4,32 4,40 4,47 23,26 37,30 22 Bojonegoro 80,90 90,65 72,62 50,95 19,14 14,33 9,04 6,70 5,90 5,99 36,21 49,49 23 Tuban 82,61 100,09 67,37 45,95 20,71 12,98 7,762 7,05 6,40 6,74 20,601 42,36 24 Lamongan 80,03 89,78 69,40 47,51 17,91 12,88 11,01 8,55 6,75 8,11 30,15 40,92 25 Gresik 66,75 68,56 53,53 83,11 41,31 29,70 19,02 18,32 16,71 21,68 27,75 44,04 26 Bangkalan 39,75 23,93 8,56 26,56 3,83 3,01 0,54 0,33 0,33 0,28 5,74 14,79 27 Sampang 64,43 38,85 17,08 44,47 6,83 5,14 0,86 0,52 0,53 0,62 10,22 23,98 28 Pamekasan 29,36 17,67 6,32 19,61 2,83 2,22 0,40 0,24 0,24 0,21 4,24 10,92 29 Sumenep 37,76 22,73 8,13 25,22 3,64 2,86 0,51 0,31 0,32 0,27 5,46 14,05 30 Kota Surabaya 30,45 31,53 24,14 39,48 19,30 14,00 8,64 8,33 7,64 10,10 12,28 20,35

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

C. Neraca Air

Dalam studi neraca air atau keseimbangan air perlu diketahui jumlah kebutuhan air dari wilayah yang ditinjau dan jumlah ketersediaan dari titik-titik pengambilan di sungai-sungai yang melayaninya. Air yang tersedia tergantung dari input yang berupa hujan yang jatuh di daerah tangkapan hujan dan respon masing-masing

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-73

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

daerah aliran sungai. Respon masing-masing daerah aliran sungai dipengaruhi oleh jenis penggunaan lahan, kondisi geologi dan kondisi tanah. Sedangnya besarnya kebutuhan tergantung pada jumlah penduduk dan kondisi serta aktifitas masyarakat di masing-masing daerah.

Beberapa kriteria yang dipakai dalam analisis neraca air ini adalah sebagai berikut:

1. Hitungan keseimbangan air dilakukan untuk setiap wilayah kabupaten atau kota berikut dengan ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungai-sungai yang melayaninya.

2. Ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungai-sungai tersebut dianggap tetap.

3. Kebutuhan dan proyeksi kebutuhan air dihitung berdasarkan data-data jumlah penduduk dan luas lahan yang didapat.

4. Kebutuhan air untuk irigasi dihitung dengan memasukkan faktor intensitas tanam dan pergiliran awal musim tanam untuk mereduksi puncak-puncak kebutuhan air irigasi yang sangat besar.

Selengkapnya hasil analisa neraca air untuk Propinsi Jawa Timur tahun 2003 disajikan dalam Tabel 3.69, neraca air untuk tahun 2025 disajikan dalam Tabel 3.70 dan jumlah bulan defisit disajikan dalam Tabel 3.71 berikut ini.

Tabel 3. 69 Neraca Air di Propinsi Jawa Timur Tahun 2003

Neraca Air (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des 1 Pacitan 54,33 57,80 42,66 39,06 6,47 -0,77 -3,18 -2,54 -1,21 -4,39 5,31 18,96 2 Ponorogo 39,40 31,40 43,79 35,65 -2,73 -17,18 -24,72 -19,30 -12,21 -28,93 5,73 5,13 3 Trenggalek 24,20 32,33 34,71 35,28 14,79 4,71 -1,95 -0,61 0,71 -5,53 12,23 29,67 4 Tulungagung 83,54 97,43 107,63 122,92 64,33 37,80 31,55 33,45 33,34 19,36 34,39 46,67 5 Blitar & K. Blitar 73,99 137,11 123,25 124,84 60,13 45,39 37,38 35,49 33,65 15,11 29,65 52,97 6 Kediri & K. Kediri 175,47 253,22 239,79 257,02 102,04 65,72 50,80 37,17 39,63 5,88 47,28 95,18

7 Malang, K. Malang & K. Batu 85,05 150,12 120,75 131,85 62,34 41,35 28,34 28,22 41,35 -2,92 22,32 68,63

8 Lumajang 77,81 73,92 48,39 27,36 27,98 26,13 21,70 24,16 34,23 14,52 58,99 74,67 9 Jember 125,41 115,40 123,27 86,58 30,56 -1,70 -21,78 -9,63 10,40 -36,40 6,26 64,56

10 Banyuwangi 100,11 98,80 60,98 50,39 21,85 3,85 -0,03 -4,53 8,25 -33,95 -25,70 20,69 11 Bondowoso 100,43 92,27 84,96 79,97 43,98 22,14 10,56 15,99 19,28 3,93 19,38 51,27 12 Situbondo 62,98 53,44 47,27 44,99 19,40 4,08 -3,12 2,62 7,25 -9,05 0,80 27,51

13 Probolinggo & K. Probolinggo 82,36 88,93 74,78 71,34 52,40 33,41 19,44 23,33 29,38 0,93 24,54 57,06

14 Pasuruan & K. Pasuruan 97,79 101,04 83,15 80,74 78,82 70,64 61,98 62,44 67,60 43,47 57,22 93,65

15 Sidoarjo 60,37 59,61 44,68 78,67 18,13 -0,12 -14,53 -10,87 -7,46 -15,53 -2,68 36,69

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-74

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Neraca Air (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

16 Mojokerto & K. Mojokerto 119,43 167,25 153,96 150,36 76,60 78,28 30,06 21,64 37,40 17,89 21,65 65,99

17 Jombang 233,13 338,64 306,77 325,84 92,74 32,91 10,97 25,66 18,64 -11,41 27,19 113,26 18 Nganjuk 124,35 211,72 219,96 206,02 87,67 60,90 23,11 28,33 29,98 11,45 35,51 64,00

19 Madiun & K. Madiun 21,33 8,89 20,79 14,59 -13,56 -21,40 -25,29 -19,56 -12,28 -28,34 -9,84 -5,06

20 Magetan 23,19 24,86 34,51 26,32 -0,84 -11,96 -21,60 -17,87 -10,31 -32,62 -0,74 0,89 21 Ngawi 64,80 80,71 34,96 16,76 -26,12 -33,24 -35,84 -27,78 -14,98 -42,28 -22,89 13,57 22 Bojonegoro 63,24 67,37 50,22 31,06 -4,73 -10,43 -17,22 -14,42 -7,09 -25,46 7,18 34,26 23 Tuban 63,66 81,68 48,43 29,05 1,31 -8,36 -17,33 -13,79 -6,21 -26,87 -5,80 28,76 24 Lamongan 44,39 60,06 37,54 19,17 -14,02 -23,59 -34,42 -29,46 -15,49 -56,23 -16,60 17,79 25 Gresik 43,73 47,43 31,84 61,89 19,77 7,29 -5,13 -4,81 -3,97 -5,93 3,62 23,42 26 Bangkalan 32,24 15,21 -0,36 19,73 -3,81 -5,22 -8,76 -7,74 -5,63 -12,08 -5,04 8,13 27 Sampang 56,59 31,89 9,64 38,12 0,36 -1,96 -7,47 -7,27 -5,92 -10,42 1,41 17,45 28 Pamekasan 21,77 14,60 1,78 16,54 0,25 -1,89 -6,84 -6,52 -4,21 -13,07 -3,01 6,95 29 Sumenep 27,90 17,16 1,03 20,11 -1,16 -3,64 -9,42 -8,84 -5,99 -16,52 -4,84 8,06 30 Kota Surabaya 20,71 21,74 14,31 29,68 9,44 4,11 -1,27 -1,52 -2,12 0,09 2,32 10,59

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 70 Neraca Air di Propinsi Jawa Timur Tahun 2025 Neraca Air (m3/det) No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

1 Pacitan 54,67 58,18 43,12 39,44 6,79 -0,34 -2,65 -2,16 -1,12 -3,86 5,70 19,08 2 Ponorogo 39,82 32,08 44,49 36,11 -1,92 -16,15 -23,57 -18,45 -11,81 -27,50 6,79 5,47 3 Trenggalek 23,52 31,65 33,94 34,71 14,06 3,75 -3,08 -1,56 0,18 -6,96 11,29 29,34 4 Tulungagung 83,07 97,02 107,26 122,43 63,96 37,53 31,34 33,14 32,81 19,28 34,10 46,04 5 Blitar & K. Blitar 73,66 136,38 122,86 123,92 59,59 45,53 38,14 35,81 32,77 16,91 29,80 51,47 6 Kediri & K. Kediri 174,25 252,05 238,59 255,85 100,86 64,50 49,53 35,93 38,45 4,53 46,05 94,05

7 Malang, K. Malang & K. Batu 83,07 148,18 118,72 129,99 60,34 39,17 26,01 26,03 39,50 -5,51 20,15 66,96

8 Lumajang 68,03 60,02 31,37 12,16 10,43 7,17 2,22 8,06 23,43 -10,29 36,35 62,84 9 Jember 128,18 118,68 127,24 89,06 34,18 3,16 -15,78 -4,98 11,45 -28,22 10,80 64,39

10 Banyuwangi 99,67 98,37 60,62 49,99 21,43 3,42 -0,40 -4,96 7,61 -34,00 -25,85 20,15 11 Bondowoso 96,13 86,61 77,57 73,45 36,44 13,75 1,62 8,68 14,70 -8,15 9,02 46,31 12 Situbondo 60,65 49,60 42,38 40,73 14,31 -1,47 -8,81 -1,90 4,54 -16,52 -6,00 24,42

13 Probolinggo & K. Probolinggo 81,71 88,28 73,94 70,56 51,56 32,49 18,43 22,45 28,73 -0,40 23,44 56,40

14 Pasuruan & K. Pasuruan 96,15 99,35 81,96 79,37 77,62 69,70 61,32 61,43 65,90 43,80 56,83 91,97

15 Sidoarjo 50,84 51,18 36,43 70,13 10,23 -7,84 -22,31 -19,22 -16,62 -22,89 -9,89 27,69

16 Mojokerto & K. Mojokerto 114,46 162,82 148,88 145,51 71,37 72,48 23,59 15,66 32,60 9,74 14,90 61,35

17 Jombang 234,88 338,93 308,17 326,93 94,24 35,37 14,69 28,73 19,92 -4,80 31,15 114,17 18 Nganjuk 123,69 211,04 219,22 205,32 86,91 60,08 22,24 27,53 29,31 10,43 34,59 63,34

19 Madiun & K. Madiun 21,84 9,73 21,57 15,27 -12,70 -20,54 -24,42 -18,89 -11,91 -27,35 -8,84 -4,58

20 Magetan 21,67 23,80 33,31 25,27 -2,02 -13,39 -23,52 -19,46 -11,12 -35,56 -2,69 0,06 21 Ngawi 54,36 64,73 19,98 3,60 -42,39 -49,81 -52,78 -40,99 -22,74 -61,77 -42,13 3,95 22 Bojonegoro 62,16 66,30 49,15 29,98 -5,80 -11,50 -18,28 -15,49 -8,18 -26,51 6,12 33,18 23 Tuban 65,63 83,58 50,40 30,74 3,35 -6,05 -14,49 -11,55 -5,14 -22,82 -2,77 29,97 24 Lamongan 45,78 60,68 38,43 19,61 -13,11 -22,09 -31,74 -27,76 -15,85 -51,09 -13,76 17,55 25 Gresik 39,16 43,14 27,47 57,59 15,42 2,81 -9,88 -9,41 -8,19 -11,21 -1,12 19,21 26 Bangkalan 31,95 14,82 -0,78 19,50 -4,11 -5,57 -9,21 -8,09 -5,79 -12,81 -5,62 7,92 27 Sampang 49,97 25,23 3,00 31,44 -6,33 -8,61 -14,07 -13,89 -12,60 -16,90 -5,17 10,77 28 Pamekasan 21,77 14,45 1,69 16,40 0,10 -2,00 -6,85 -6,55 -4,30 -12,88 -3,02 6,84 29 Sumenep 28,77 17,55 1,59 20,45 -0,86 -3,15 -8,54 -8,05 -5,52 -14,88 -3,92 8,50 30 Kota Surabaya 18,29 19,32 11,90 27,26 7,04 1,70 -3,67 -3,93 -4,54 -2,30 -0,08 8,17

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-75

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 71 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Timur

No Kabupaten/Kota 2003 2005 2010 2015 2020 2025

1 Pacitan 5 5 5 5 5 5 2 Ponorogo 6 6 6 6 6 6 3 Trenggalek 3 3 3 3 3 3 4 Tulungagung 0 0 0 0 0 0 5 Blitar & K. Blitar 0 0 0 0 0 0 6 Kediri & K. Kediri 0 0 0 0 0 0 7 Malang, K. Malang & K. Batu 1 1 1 1 1 1 8 Lumajang 0 0 0 0 1 1 9 Jember 4 4 3 3 3 3 10 Banyuwangi 4 4 4 4 4 4 11 Bondowoso 0 0 0 1 1 1 12 Situbondo 2 2 3 3 5 5

13 Probolinggo & K. Probolinggo 0 0 0 0 1 1

14 Pasuruan & K. Pasuruan 0 0 0 0 0 0 15 Sidoarjo 6 6 6 6 6 6 16 Mojokerto & K. Mojokerto 0 0 0 0 0 0 17 Jombang 1 1 1 1 1 1 18 Nganjuk 0 0 0 0 0 0 19 Madiun & K. Madiun 8 8 8 8 8 8 20 Magetan 7 7 7 7 7 7 21 Ngawi 7 7 7 7 7 7 22 Bojonegoro 6 6 6 6 6 6 23 Tuban 6 6 6 6 6 6 24 Lamongan 7 7 7 7 7 7 25 Gresik 4 4 4 4 4 4 26 Bangkalan 8 8 8 8 8 8 27 Sampang 5 6 7 7 7 7 28 Pamekasan 6 6 6 6 6 6 29 Sumenep 7 7 7 7 7 7 30 Kota Surabaya 3 3 4 4 4 5

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

3.2 ANALISIS POTENSI AIR TANAH

Pemanfaatan sumber daya air tanah mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan masyarakat, terutama sebagai sumber pasokan alternatif untuk kebutuhan akan air bersih dan air minum sehari-hari penduduk (rumah tangga), kegiatan industri, dan usaha komersial lainnya. Pemanfaatan air tanah ini biasanya akan mempunyai kecenderungan semakin meningkat seiring dengan pesatnya laju perkembangan penduduk dan kemajuan pembangunan.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-76

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Air tanah terdapat di dalam suatu lapisan batuan pengandung air (akuifer) yang dipengaruhi oleh sifat fisik batuan, yaitu kesarangan (porosity) dan kelulusan (permeability) batuan. Batuan yang mempunyai kesarangan efektif dan kelulusan tinggi akan mempunyai potensi air yang lebih besar. Karena tingkat kesarangan dan kelulusan batuan itu ditentukan terutama oleh tingkat konsolidasinya, dalam kaitannya dengan hidrogeologi, batuan-batuan dikelompokkan menjadi bahan lepas atau setengah padu dan batuan padu. Bahan lepas berukuran butir pasir atau lebih kasar dan batuan padu memiliki celahan atau rekahan dapat bertindak sebagai akuifer, sedangkan bahan lepas berbutir lempung dan batuan padu yang tak bercelah tidak dapat bertindak sebagai akuifer (non akuifer).

Hidrogeologi merupakan ilmu tentang keterdapatan, sebaran, dan pergerakan air tanah dengan tekanan pada hubungannya terhadap kondisi geologi suatu daerah. Sebaran dan pergerakan air tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama jenis dan sifat fisik batuan, curah hujan, morfologi dan tutupan lahan (land coverage).

Pemanfaatan air tanah dalam di daerah Jakarta, menurut catatan yang ada, telah dimulai sejak abad ke 19, yaitu sejak dilakukannya pemboran pertama pada tahun 1848 pada masa pemerintahan Hindia Belanda, di Fort Prins Hendrik (sekitar Mesjid Istiqlal) Jakarta. Setelah pemboran pertama tersebut sukses, maka pemanfaatan air tanah untuk penyediaan air bersih mengalami peningkatan yang berarti. Dalam perkembangannya, pengambilan air tanah dalam jumlah yang cukup berarti dan dianggap sebagai awal pemanfaatan air tanah dimulai pada tahun 1879. Pada saat itu tercatat jumlah pengambilan air tanah dari 13 sumur bor yang ada di Kota Jakarta kurang lebih 3,4 juta m3/tahun.

Sedangkan di daerah Bandung dan sekitarnya air tanah dalam mulai dimanfaatkan sejak tahun 1893, setelah pengeboran di Hoofdienschool (sekarang kira-kira di Tegalega). Sejak saat itu pemanfaatan air tanah dalam untuk penyediaan air bersih mengalami peningkatan sampai dengan saat ini.

Pemanfaatan air tanah dalam menunjang kegiatan pembangunan pada masa sekarang ini dirasakan semakin meningkat sehingga menuntut adanya upaya pengelolaan sumberdaya tersebut secara utuh yang berlandaskan fungsi sosial dan ekonomi, kemanfaatan, keterpaduan dan keserasian, keseimbangan,

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-77

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

kelestarian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas publik. Tujuannya agar ketersediaan dan pemanfaatan air tanah dapat menjamin kelangsungan pembangunan secara berkelanjutan untuk generasi sekarang dan mendatang.

Di beberapa daerah, pemanfaatan sumber daya air tanah tersebut bahkan digolongkan strategis karena telah menjadi komoditi ekonomi yang memiliki peran penting dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, daerah memiliki kewenangan dalam pengelolaan air tanah yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan.

Hal tersebut mengandung arti pelaksanaan kewenangan pengelolaan air tanah tetap harus berlandaskan azas pengelolaan yang muaranya adalah ketersediaan sumber daya air tanah secara berkelanjutan (sustainable groundwater resource) yang dapat menjamin pemanfaatannya yang berkelanjutan (sustainable groundwater development). Kendala yang dihadapi oleh sebagian besar pemerintah daerah otonom saat ini adalah terbatasnya data dan informasi potensi air tanah yang diperlukan sebagai acuan dasar dalam pengelolaan air tanah secara utuh.

3.2.1 Pembagian Cekungan Air Tanah

Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas hidrogeologi, tempat berlangsungnya semua kejadian hidrogeologi seperti pengimbuhan, pengaliran dan pelepasan air tanah.

Pembagian cekungan air tanah untuk Pulau Jawa dan Madura didasarkan pada Peta Cekungan Air Tanah yang diperoleh dari Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Peta ini merupakan lampiran dari Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 716 K/40/MEM/2003.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-78

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Pada Tabel 3.72 berikut ini disajikan nama-nama cekungan air tanah beserta dengan jumlah alirannya baik itu jumlah aliran tertekan maupun jumlah aliran bebas.

Tabel 3. 72 Cekungan Air Tanah (CAT) di Pulau Jawa dengan Jumlah Alirannya

Jumlah Aliran (juta m3/th) No Nama CAT Luas (km2) Bebas Tertekan Total 1 CAT Labuhan 725,91 836 27 863 2 CAT Rawadanau 396,32 180 13 193 3 CAT Serang-Tangerang 2.809,45 1.075 18 1.093 4 CAT Malingping 719,05 384 2 386 5 CAT Jakarta 1.432,85 803 40 843 6 CAT Bogor 1.305,07 1.019 37 1.056 7 CAT Sukabumi 864,24 759 34 793 8 CAT Cianjur 451,98 451 16 467 9 CAT Jampangkulon 382,21 276 0 276 10 CAT Bekasi-Karawang 3.567,56 1.483 6 1.489 11 CAT Subang 1.492,52 428 3 431 12 CAT Ciater 525,74 413 30 443 13 CAT Lembang 207,47 164 16 180 14 CAT Batujajar 70,13 103 1 104 15 CAT Bandung-Soreang 1.702,12 795 117 912 16 CAT Cibuni 618,77 595 28 623 17 CAT Banjarsari 603,78 550 30 580 18 CAT Tasikmalaya 1.218,23 978 69 1.047 19 CAT Garut 893,43 691 87 778 20 CAT Malangbong 510,89 415 30 445 21 CAT Sumedang 484,39 519 28 547 22 CAT Sukamantri 150,85 98 13 111 23 CAT Ciamis 571,63 448 14 462 24 CAT Kawali 299,32 224 7 231 25 CAT Kuningan 506,12 445 21 466 26 CAT Majalengka 699,00 554 5 559 27 CAT Indramayu 1.255,90 362 46 408 28 CAT Sumber-Cirebon 1.390,21 638 4 642 29 CAT Majenang 108,33 18 0 18 30 CAT Sidareja 480,95 46 0 46 31 CAT Tegal-Brebes 1.614,26 248 11 259 32 CAT Lebaksiu 663,75 366 3 369 33 CAT Purwokerto-Purbalingga 1.294,87 503 10 513 34 CAT Cilacap 225,03 43 0 43 35 CAT Nusakambangan 47,10 23 0 23 36 CAT Kroya 439,11 65 0 65 37 CAT Banyumudal 70,17 49 0 49 38 CAT Pekalongan-Pemalang 1.688,10 644 17 661 39 CAT Kebumen-Purworejo 1.108,41 130 0 130 40 CAT Karangkobar 300,14 153 4 157 41 CAT Subah 851,56 427 8 435 42 CAT Wonosobo 657,76 210 8 218 43 CAT Magelang-Temanggung 1.674,85 872 14 886

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-79

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Jumlah Aliran (juta m3/th) No Nama CAT Luas (km2) Bebas Tertekan Total 44 CAT Yogyakarta-Sleman 842,12 504 9 513 45 CAT Wates 172,08 38 0 38 46 CAT Kendal 399,15 79 2 81 47 CAT Sidomulyo 198,19 42 0 42 48 CAT Rawapening 287,63 133 13 146 49 CAT Ungaran 401,85 145 8 153 50 CAT Salatiga 335,52 10 2 12 51 CAT Semarang-Demak 1.925,05 783 19 802 52 CAT Karanganyar-Boyolali 3.930,86 1.338 21 1.359 53 CAT Eromoko 237,37 10 0 10 54 CAT Wonosari 1.538,98 463 0 463 55 CAT Kudus 1.230,83 436 11 447 56 CAT Jepara 555,87 176 4 180 57 CAT Pati-Rembang 1.060,89 273 4 277 58 CAT Lasem 422,75 107 9 116 59 CAT Watuputih 32,51 3 0 3 60 CAT Randublatung 279,91 23 9 32 61 CAT Ngawi-Ponorogo 4.066,97 1.547 66 1.613 62 CAT Surabaya-Lamongan 2.387,25 843 37 880 63 CAT Tuban 576,39 160 0 160 64 CAT Panceng 180,50 27 41 68

65 CAT Brantas 10.123,68 3.674 175 3.849

66 CAT Bulukawang 607,02 163 0 163 67 CAT Sumberbening 741,10 238 0 238 68 CAT Pasuruan 1.649,73 628 43 671 69 CAT Probolinggo 1.807,14 711 124 835 70 CAT Lumajang-Jember 4.004,52 2.625 131 2.756 71 CAT Besuki 516,90 446 33 479 72 CAT Bondowoso-Situbondo 2.505,55 1.426 172 1.598 73 CAT Wonorejo 564,10 406 27 433 74 CAT Banyuwangi 1.890,23 1.163 70 1.233 75 CAT Blambangan 420,52 124 0 124 76 CAT Bangkalan 398,95 77 0 77 77 CAT Ketapang 616,75 137 0 137 78 CAT Sampang-Pamekasan 1.196,17 238 57 295 79 CAT Sumenep 487,23 130 0 130 80 CAT Toranggo 107,31 21 0 21

Sumber: Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 716 K/40/MEM/2003.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-80

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

3.2.2 Jenis Aquifer Air Tanah

Dalam pembahasan hidrogeologi dan potensi air tanah sering dijumpai istilah-istilah berikut:

a. Aquifer. Satuan geologi yang mempunyai permeabilitas tinggi, mempunyai kapasitas debit yang ekonomis untuk sumur produksi.

b. Aquitard. Satuan geologi yang memiliki permeabilitas rendah, mempunyai kapasitas debit yang tidak ekonomis untuk sumur produksi.

c. Aquiclude. Satuan geologi yang bersifat kedap air, tidak dapat mengalirkan air sama sekali.

d. Major Aquifer. Akuifer dengan permeabilitas dan cadangan yang cukup besar, dimana hasil dari sumur produksinya cukup untuk melayani kebutuhan rumah tangga, industri dan irigasi.

e. Minor Aquifer. Akuifer dengan permeabilitas dan cadangan yang terbatas, dimana hasil dari sumur produksinya cukup untuk melayani kebutuhan rumah tangga, sedangkan untuk industri dan irigasi layanannya terbatas.

f. Poor Aquifer. Merupakan akuifer lokal dengan permeabilitas dan cadangan yang hanya cukup untuk melayani kebutuhan rumah tangga saja.

Peta cekungan air tanah tersebut diatas mengungkapkan bahwa air tanah di Pulau Jawa dan Madura dijumpai dalam 2 (dua) sistem akuifer, yakni sistem akuifer tak tertekan (unconfined aquifer system) yang sering disebut sistem akuifer dangkal (shallow aquifer system) dan sistem akuifer tertekan (confined aquifer system) yang sering disebut akuifer tertekan (deep aquifer system).

Akufer tak tertekan yang dimaksud adalah akuifer yang dibatasi di bagian atasnya oleh muka air bertekanan sama dengan tekanan udara luar dan di bagian bawahnya oleh lapisan batuan yang secara nisbi bersifat kedap air. Jenis litologi akuifer tak tertekan diperoleh secara langsung dari singkapan batuan dan pengamatan terhadap dinding sumur gali yang dipakai untuk penyelidikan

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-81

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

geologi. Sebaran akuifer tertekan secara vertikal diketahui berdasarkan hasil analisis data geolistrik dan data-data pengeboran yang tersedia. Data tersebut meliputi jenis litologi, kedudukan akuifer dan sifat air tanah yang dikandungnya.

3.2.3 Potensi Air Tanah

Untuk dapat mengetahui potensi air tanah yang dimiliki oleh tiap wilayah kabupaten atau kota maka digunakan suatu metoda perhitungan dengan memanfaatkan data yang ada dengan langkap-langkah sebagai berikut:

1. Meng-overlay peta cekungan air tanah yang sudah diperoleh dari Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dengan peta batas wilayah administrasi yang diperoleh dari BPS.

2. Membagi luasan daerah cekungan air tanah tersebut ke dalam wilayah administrasi kabupaten atau kota sesuai dengan batas wilayah administrasi dari kabupaten atau kota yang meliputinya.

3. Membagi jumlah aliran yang dimiliki oleh setiap cekungan air tanah ke dalam wilayah-wilayah administrasi kabupaten atau kota yang meliputinya sebanding dengan perbandingan luas daerah cekungan air tanah yang telah dibagi sebelumnya.

4. Menjumlahkan aliran-aliran dari cekungan-cekungan air tanah yang berada dalam tiap kabupaten dan kota, hasilnya adalah potensi air tanah yang dimiliki oleh tiap kabupaten atau kota.

Hasil dari perhitungan potensi air tanah untuk tiap kabupaten dan kota tersebut di tiap propinsi disajikan dalam Tabel 3.73 sampai dengan Tabel 3.78 pada halaman berikut ini.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-82

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 73 Potensi Air Tanah di Propinsi Banten Potensi Air Tanah No Kabupaten (juta m3/tahun) (m3/detik)

1 Pandeglang 1.112,34 35,27 2 Lebak 345,40 10,95 3 Tangerang 451,23 14,31 4 Serang 631,35 20,02 5 Kota Tangerang 101,09 3,21 6 Kota Cilegon 54,65 1,73

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 74 Potensi Air Tanah di Propinsi DKI Jakarta Potensi Air Tanah No Kabupaten (juta m3/tahun) (m3/detik)

1 Jakarta Selatan 89,95 2,85 2 Jakarta Timur 111,36 3,53 3 Jakarta Pusat 30,75 0,97 4 Jakarta Barat 72,77 2,31 5 Jakarta Utara 79,28 2,51

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 75 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Barat Potensi Air Tanah No Kabupaten (juta m3/tahun) (m3/detik)

1 Bogor 1.122,29 35,59 2 Sukabumi 1.034,35 32,80 3 Cianjur 849,96 26,95 4 Bandung 1.514,95 48,04 5 Garut 1.528,81 48,48 6 Tasikmalaya 771,38 24,46 7 Ciamis 907,64 28,78 8 Kuningan 391,62 12,42 9 Cirebon 342,94 10,87 10 Majalengka 781,67 24,79 11 Sumedang 883,07 28,00 12 Indramayu 731,53 23,20 13 Subang 707,25 22,43 14 Purwakarta 253,83 8,05 15 Karawang 638,68 20,25 16 Bekasi 482,66 15,31 17 Kota Bogor 87,72 2,78 18 Kota Sukabumi 32,82 1,04 19 Kota Bandung 80,76 2,56 20 Kota Cirebon 10,48 0,33 21 Kota Bekasi 119,63 3,79 22 Kota Depok 124,70 3,95

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-83

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 76 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Tengah Potensi Air Tanah No Kabupaten (juta m3/tahun) (m3/detik)

1 Cilacap 131,75 4,18 2 Banyumas 242,94 7,70 3 Purbalingga 160,41 5,09 4 Banjarnegara 302,72 9,60 5 Kebumen 124,18 3,94 6 Purworejo 58,21 1,85 7 Wonosobo 220,69 7,00 8 Magelang 560,79 17,78 9 Boyolali 245,06 7,77 10 Klaten 227,35 7,21 11 Sukoharjo 163,76 5,19 12 Wonogiri 348,72 11,06 13 Karanganyar 282,55 8,96 14 Sragen 224,62 7,12 15 Grobogan 342,69 10,87 16 Blora 38,67 1,23 17 Rembang 105,64 3,35 18 Pati 329,50 10,45 19 Kudus 144,86 4,59 20 Jepara 326,67 10,36 21 Demak 380,72 12,07 22 Semarang 242,80 7,70 23 Temanggung 407,06 12,91 24 Kendal 288,19 9,14 25 Batang 337,67 10,71 26 Pekalongan 352,16 11,17 27 Pemalang 301,48 9,56 28 Tegal 197,20 6,25 29 Brebes 250,40 7,94 30 Kota Magelang 5,14 0,16 31 Kota Surakarta 29,44 0,93 32 Kota Salatiga 12,64 0,40 33 Kota Semarang 146,23 4,64 34 Kota Pekalongan 32,95 1,04 35 Kota Tegal 6,68 0,21

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 77 Potensi Air Tanah di Propinsi DIY Potensi Air Tanah No Kabupaten (juta m3/tahun) (m3/detik)

1 Kulonprogo 59,75 1,89 2 Bantul 167,08 5,30 3 Gunungkidul 297,79 9,44 4 Sleman 311,88 9,89 5 Kota Yogyakarta 19,41 0,62

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-84

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 78 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Timur Potensi Air Tanah No Kabupaten (juta m3/tahun) (m3/detik)

1 Pacitan 65,71 2,08 2 Ponorogo 421,73 13,37 3 Trenggalek 10,70 0,34 4 Tulungagung 315,34 10,00 5 Blitar 460,27 14,60 6 Kediri 595,20 18,87 7 Malang 1.178,00 37,35 8 Lumajang 1.088,80 34,53 9 Jember 1.695,89 53,78 10 Banyuwangi 1.642,60 52,09 11 Bondowoso 1.034,75 32,81 12 Situbondo 1.170,37 37,11 13 Probolinggo 833,08 26,42 14 Pasuruan 615,85 19,53 15 Sidoarjo 264,09 8,37 16 Mojokerto 360,32 11,43 17 Jombang 380,47 12,06 18 Nganjuk 454,63 14,42 19 Madiun 441,68 14,01 20 Magetan 288,28 9,14 21 Ngawi 441,29 13,99 22 Bojonegoro 254,97 8,09 23 Tuban 320,71 10,17 24 Lamongan 319,06 10,12 25 Gresik 233,58 7,41 26 Bangkalan 191,21 6,06 27 Sampang 154,55 4,90 28 Pamekasan 115,55 3,66 29 Sumenep 193,59 6,14 30 Kota Kediri 26,44 0,84 31 Kota Blitar 14,20 0,45 32 Kota Malang 28,52 0,90 33 Kota Probolinggo 23,87 0,76 34 Kota Pasuruan 16,43 0,52 35 Kota Mojokerto 6,80 0,22 36 Kota Madiun 12,23 0,39 37 Kota Surabaya 114,39 3,63

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

3.2.4 Prospek Pengembangan Air Tanah

Peningkatan kebutuhan akan air bersih untuk rumah tangga dan industri yang cenderung meningkat pada akhirnya akan meningkatkan pengambilan air tanah sebagai salah satu pilihan untuk mencukupinya. Pengambilan air tanah dapat menimbulkan dampak negatif bagi sumber daya air tanah dan lingkungan

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-85

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

sekitarnya apabila tidak dilakukan dengan tepat, apalagi kalau daerah yang akan dikembangkan tersebut terletak di daerah pantai karena rentan terhadap terjadinya kontaminasi air laut.

Salah satu indikasi perubahan kondisi air tanah di suatu daerah adalah adanya penurunan muka air tanah dan juga penurunan kualitas yang disebabkan oleh pengambilan air tanah secara berlebihan atau sebab-sebab lain, misalnya karena adanya alih fungsi lahan.

Agar pengambilan air tanah dapat dilakukan secara optimal, dalam arti kelestarian ketersedian dan kualitas air tanah tetap terjaga, pengembangan pemanfaatannya perlu mempertimbangkan skala prioritas peruntukannya.

Penduduk di Pulau Jawa yang terletak di daerah perkotaan, sebagian besar sudah dilayani jaringan pemipaan air baku oleh PDAM dan sebagian lainnya masih memanfaatkan air tanah untuk memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangganya dengan cara membuat sumur gali atau sumur pantek. Untuk penduduk yang menempati daerah pebukitan, air tanah sulit didapat dengan cara membuat sumur gali karena kedudukan muka air tanah relatif dalam.

Untuk keperluan industri yang tidak terlalu menuntut syarat kualitas air tanah, daerah dataran pantai merupakan pilihan utama, yakni yang termasuk dalam wilayah potensi air tanah tinggi.

Di daerah yang pengambilan air tanahnya belum intensif, pengembangan pemanfaatan air tanah masih memungkinkan dilakukan. Meskipun demikian, pengambilan air tanah mungkin akan dapat menimbulkan resiko kemerosotan kualitas air tanah dengan adanya penyusupan air laut atau pencemaran oleh bahan pencemar lainnya. Oleh karena itu, upaya pengawasan dan pemantauan kuantitas dan kualitas air tanah secara periodik oleh pemerintah daerah setempat perlu dilakukan secara dini.

Beberapa cara untuk mengoptimalkan pemanfaatkan air tanah yang masih tersedia di daerah yang pengambilan air tanahnya belum intensif adalah sebagai berikut:

a. Pembuatan sumur gali atau sumur pantek untuk mendapatkan air tanah dari sistem akuifer tak tertekan.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-86

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

b. Pembuatan sumur bor untuk mendapatkan air tanah dari sistem akuifer tertekan atau sistem akuifer dalam.

c. Penurapan mata air berdebit besar (Q > 50 l/detik) terutama yang banyak dijumpai di daerah hulu sungai di pegunungan, sistem pengaliran air dari lokasi sumber mata air ke lokasi yang membutuhkan dapat dilakukan secara gravitasi.

Pemanfaatan air tanah dengan berbagai cara di atas perlu dilakukan dalam kerangka pengelolaan air tanah secara utuh melalui kegiatan inventarisasi potensi, perencanaan pendayagunaan, konservasi, peruntukan pemanfaatan, perizinan, pembinaan dan pengendalian, serta pengawasan air tanah..

3.2.5 Permasalahan Penggunaan Air Tanah

Pengambilan air tanah yang intensif mengakibatkan berbagai dampak yang bersifat langsung maupun tidak langsung.

Dampak langsung pengambilan air tanah tersebut telah menyebabkan penurunan muka air tanah sehingga membentuk kerucut depresi muka air tanah di sekitar daerah yang pengambilan air tanahnya intensif. Selanjutnya pada kondisi yang lebih lanjut penurunan muka air tanah menyebabkan dampak berupa penurunan muka tanah/amblesan yang mengakibatkan terjadinya penggenangan atau banjir pada daerah yang ambles tersebut. Selain itu penurunan muka air tanah juga memicu terjadinya kontaminasi air asin atau intrusi air laut.

A. Penurunan Muka Air Tanah

Kemerosotan kuantitas air tanah ditunjukkan oleh penurunan kedudukan muka air tanah. Perubahan jumlah air tanah yang terdapat dalam cekungan maka akan diikuti oleh perubahan kedudukan muka air tanah, oleh karena itu untuk mengetahui perubahan kuantitas maka kita dapat dilakukan melalui observasi penurunan muka air tanah.

Kedudukan muka air tanah dapat diperoleh dari pengukuran muka air tanah pada sumur gali dan sumur bor terpilih. Sedangkan untuk mengetahui

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-87

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

perubahan kedudukan muka air tanah secara menerus, dilakukan melalui analisis data rekaman muka air tanah otomatis (Automatic Water Level Recorder-AWLR) pada sumur pantau.

Dalam suatu cekungan air tanah, muka air tanah selalu dalam keadaan dinamis. Apabila besar imbuhan air tanah sama dengan jumlah lepasan atau jumlah pengambilan air tanah, maka terjadi suatu keseimbangan. Dalam kondisi ini muka air tanah relatif tetap atau tidak berubah oleh waktu, dengan fluktuasi musiman pada kedudukan sekitar rata-ratanya. Kemudian akibat dari jumlah pengambilan air tanah yang melampaui kemampuan imbuhannya, maka akan terjadi penurunan muka air tanah yang dapat membentuk kerucut muka air tanah (cone of depression) pada daerah dimana pengambilan air tanah intensif.

Perubahan kedudukan muka air tanah tak tertekan/dangkal sangat dipengaruhi oleh musim dan besarnya curah hujan, karena daerah imbuhnnya di tempat itu juga. Hal ini ditunjukkan oleh naiknya muka air tanah dangkal sebagai akibat proses pengisian kembali pada musim hujan dan penurunan muka air tanah secara gradual berlangsung pada musim kemarau. Sehingga indikasi adanya perubahan pola muka air tanah dangkal sebagai akibat pengambilan tidak dapat terlihat jelas. Sedangkan perubahan pola muka air tanah tertekan umumnya disebabkan oleh adanya pengambilan air tanah yang terus meningkat, terutama di daerah padat industri.

Berikut ini disajikan penurunan muka air tanah di beberapa wilayah yang sudah sangat kritis.

1. Wilayah Bandung

Di daerah Cimahi dan Margaasih penurunan muka air tanah berkisar antara 1,61 – 6,26 m/tahun, di Dayeuhkolot berkisar antara 0,55 – 2,77 m/tahun, daerah Rancaekek–Cimanggung penurunan berkisar antara 0,84 – 3,95 m/tahun, kemudian daerah Majalaya penurunan muka air tanah berkisar antara 0,55 – 2,62 m/tahun, dan di Kota Bandung penurunan berkisar antara 0,01 – 4,28 m/tahun.

Sedangkan kedudukan muka air tanah akuifer dalam berikut perubahan yang terjadi dapat diuraikan sebagai berikut:

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-88

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

• Daerah Cimahi Tengah, berdasarkan hasil analisis data hidrograf dari sumur pantau di PT Trisulatex, muka air tanah rata-rata tahun 2003 adalah 61,66 m bmt (di bawah muka tanah). Sedang tahun 1999 muka air tanah rata-rata sebesar 51,34 m bmt. Hal ini menunjukkan kecenderungan penurunan muka air tanah rata-rata 2,58 m/tahun.

• Kedudukan muka air tanah di Cimahi Selatan tahun 2003 pada kedalaman 45,40 – 99,54 m bmt. Kedalaman muka air tanah pada tahun 2000 berkisar antara 42,16 m – 78,96 m bmt. Pada tahun 1995 muka air tanah di daerah ini pada kedalaman 39,55 – 53,31 m bmt. Kecenderungan penurunan muka air tanah rata-rata 0,44 – 5,64 m/tahun.

• Daerah Dayeuhkolot, kedalaman muka air tanah tahun 2003 sebesar 64,05 m bmt. Pada tahun 2000 muka air tanah berkisar antara 28,02 – 91,05 m bmt. Pada tahun 1995 muka air tanah di daerah ini berada pada 20,17 – 84,50 m bmt. Muka air tanah pada sumur bor produksi di daerah ini mengalami penurunan rata-rata 0,09 – 2,77 m/tahun.

• Kedalaman muka air tanah tahun 2003 di Cikeruh dan Rancaekek adalah 24,98 – 60,39 m bmt, pada tahun 2000 pada kedalaman 16,86 – 42,16 m bmt. Muka air tanah di daerah ini mengalami penurunan rata-rata 1,87 – 3,51 m bmt.

2. Wilayah Jakarta

Kedudukan muka air tanah pada dekade 60an, tercatat umumnya masih berada di atas muka laut, namun setelah dekade 70an muka air tanah pisometrik dari akuifer tengah turun relatif tajam. Sehingga kondisi seperti itu (muka pisometrik di atas muka laut), saat ini di wilayah CAT Jakarta dapat dikatakan tidak akan dijumpai lagi. Muka air tanah tertekan di wilayah CAT Jakarta pada saat ini menunjukkan telah berada di bawah muka laut, bahkan di beberapa tempat sudah mencapai lebih dari 40 m di bawah muka laut (bml).

Kedudukan muka air tanah tertekan yang telah berada di bawah muka laut sebarannya meliputi hampir seluruh wilayah CAT Jakarta, di mana garis kontur muka air tanah tertekan nol meter yang ditarik dengan acuan muka

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-89

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

laut dari barat ke timur kurang lebih melewati Kota Tangerang, Bintaro, Kebayoran, Cawang, Pondokgede dan berlanjut ke timur hingga ke Kota Bekasi.

Daerah dengan kedudukan muka air tanah terdalam ditunjukkan oleh adanya kerucut penurunan muka air tanah, dengan bentuk menyerupai elips. Kondisi tersebut dijumpai di daerah Jatiuwung, Bumi Serpong Damai, Lippo Karawaci, Batuceper, Daan Mogot-Kalideres, Kapuk-Jelambar, Ancol, Cakung-Pulogadung, Cawang-Sunter, Narogong dan Tambun-Cibitung.

Terjadinya kerucut penurunan muka air tanah tertekan tersebut, akibat adanya peningkatan pengambilan air tanah yang intensif, yang menyebabkan penurunan muka air tanah hingga pada kedudukan lebih dari 40 m bml, di mana kedudukan muka air tanah terdalam telah mencapai lebih dari 50 m di bawah muka tanah setempat, dijumpai pada sumur pantau Tegalalur (No. 8915), PT. Sinar Sosro (No. 8911), Mess Tongkol (No. 1892), PT. Sari Sedap (No. 6076), Kapuk (No. 1880), PT. Cusson (No. 5565), PT. Pasir Sariraya (No. 5317), PT. Migro (No. 5545), PT. Cengkareng Permai (No. 5501), PT. Aqua (No. 7178), PT. Nagamas (No. 5562), Hotel Bumi Wiyata (No. 6098) dan PT GT. Petrochem (No. 5268).

Kerucut penurunan muka air tanah tertekan akuifer tengah di daerah Jl. Daan Mogot mencapai kedalaman 50 m bml, di daerah Jelambar dan Kapuk mencapai kedalaman 40 m bml, di daerah Cakung mencapai kedalaman 40 m bml, di daerah Rawamangun dan Tanjungpriok mencapai kedalaman 30 m bml.

Kerucut penurunan muka air tanah tertekan akuifer bawah di daerah Jl. Daan Mogot dan Kapuk mencapai kedalaman 40 m bml, di daerah Cakung mencapai kedalaman 20 m bml.

Kedudukan muka air tanah tertekan pada tahun 2003 ini bila dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2001 terjadi peningkatan penurunan antara 1,37 - 12,30 m.

3. Wilayah Semarang

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-90

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Pola kedudukan muka air tanah tertekan selain dipengaruhi oleh topografi juga sangat dipengaruhi oleh intensitas pengambilan air tanah. Di daerah dataran Semarang kedudukan muka air tanah tertekan pada dekade 70an umumnya masih berada di atas muka tanah setempat (positif) atau artesis.

Pada saat ini kedudukan muka air tanah di dataran Semarang telah mencapai 27,7 m di bawah muka tanah setempat atau sekitar 26,7 m di bawah muka laut. Areal kedudukan muka air tanah tertekan telah berada di bawah muka laut dengan cakupan hampir sebagian besar daerah dataran pantai meliputi daerah Brangsong, Kaliwungu, Mangkang, Guntur dan Demak.

Daerah dengan kedudukan muka air tanah tertekan terdalam ditandai oleh adanya kerucut penurunan muka air tanah dengan bentuk menyerupai elips yang terpotong oleh garis pantai. Kondisi ini terdapat di daerah Semarang Utara, yaitu daerah Pelabuhan Tanjungmas, Pengapon, Kaligawe, Terboyo, Genuk, Bangetayu, Tambakbulusan dan Nolokerto.

Kerucut penurunan muka air tanah tertekan tersebut terjadi akibat pengambilan air tanah yang intensif sehingga mengakibatkan penurunan muka air tanah mencapai 26,7 m di bawah muka laut, dengan kedudukan terdalam di daerah Nolokerto mencapai sekitar 31 m dibawah muka laut.

Kedudukan muka air tanah tahun 2003 dibandingkan dengan keadaanya pada tahun 2000 pada umumnya bertambah dalam sekitar 0.33 hingga 17,5 m. Penurunan terbesar terjadi di sekitar daerah Peterongan mencapai 17,5 m, sedangkan di daerah pantai yakni sekitar pelabuhan dan Tambakbulusan terjadi penurunan masing-masing 6,7 dan 7,75 m. Tempat lainnya yang juga mengalami penurunan berarti antara lain daerah Candisari (4,3 m), Bringin di sebelah barat dan Sumurboto dan Sumberrejo di bagian selatan, dan Purwasari di bagian utara (3,9 m).

B. Penurunan Kualitas Air Tanah

Kualitas air tanah dipengaruhi oleh 3 (tiga) komponen yaitu: material (tanah dan batuan) yang mengandung atau yang dilewati air tanah, macam aliran dan

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-91

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

proses perubahan akibat dari pencemaran yang sesuai dengan hukum fisika, kimia dan biologi. Oleh karena itu kualitas air tanah dapat berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain.

Untuk mengetahui gambaran mengenai kualitas air tanah, dilakukan pengukuran suhu dan daya hantar listrik (DHL), serta analisis beberapa unsur kimia (nitrat dan amonium) secara langsung di lapangan. Selain itu dilakukan analisis sifat fisika, kimia dan biologi dari contoh air tanah terpilih di laboratorium.

Metode analisis yang digunakan pada analisis fisika, kimia dan logam berat yaitu metode analisis yang berpedoman pada buku pedoman Standard Methods (APHA-AWWA-WEF, 1985) dan Standar Nasional Indonesia (BAPEDAL, 1994), yaitu: volumetri tritasi, spektrofotometri, spektrofotometri serapan atom, flame fotometri, elektrometri dan ravimetri.

Metode analisis untuk penetapan bakteri coli yaitu dengan menggunakan Indeks JPT/MPN dalam 100 ml contoh dengan sistem 3 tabung, yang meliputi tes perkiraan, tes penetapan dan tes penentuan jenis coli.

Parameter-parameter hasil analisis laboratorium kemudian dibandingkan dengan baku mutu yang sesuai dengan peruntukannya. Untuk baku mutu sumber air minum mengacu kepada PERMENKES RI No: 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum.

Berikut ini disajikan penurunan kualitas air tanah di beberapa wilayah yang sudah sangat kritis.

1. Wilayah Bandung

Dalam pemantauan kualitas air tanah dangkal telah dilakukan pengambilan contoh air sebanyak 53 contoh yang berasal dari sumur gali dan sumur pantek di daerah pemukiman dan daerah industri, kemudian dari mata air.

Air tanah dangkal di daerah pegunungan dan jauh dari pemukiman umumnya memenuhi syarat untuk sumber air minum, ditunjukkan dari hasil analisis laboratorium contoh air dari mata air Palasari dan mata air Sasaklemah yang terletak di lereng Gunung Manglayang (utara Ujungberung). Hasil analisis laboratorium contoh air dari mata air Palasari dan mata air Sasaklemah menunjukkan tingkat kekeruhan: 3 FTU, warna kurang dari 1 PtCo, Daya

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-92

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Hantar Listrik: 83 – 243 mikromhos/cm, pH: 6,91 – 6,60, kesadahan 56,01 – 128,02 mg/l CaCO3, Ca2+: 6,55 – 16,85 mg/l, Mg2+: 20,61 – 35,89 mg/l, Fe3+: 0,11 – 0,13 mg/l, K+: 2,5 – 6 mg/l, Na+: 4 – 8 mg/l, Li+: 0,2 – 0,4 mg/l, HCO3-: 60,04 – 174,50 mg/l, CO22-: 44,35 – 26,61 mg/l, Cl-: 8,32 – 12,07 mg/l, SO42-: 1,3, NO3-: 3,1 – 3,2 mg/l, SiO2: 12,80 – 19,20 mg/l, TDS: 56 – 190 mg/l, Cu kurang dari 0,01 mg/l, Pb: 0,23 – 0,25 mg/l, Zn: 0,01 – 0,02 mg/l dan Cd: 0,08 – 0,09 mg/l.

Air tanah dangkal di daerah pemukiman dan industri umumnya tidak memenuhi syarat sebagai sumber air minum. Beberapa parameter yang tidak sesuai persyaratan untuk sumber air minum antara lain: kekeruhan melebihi 5 FTU, warna lebih dari 15 PtCo, pH kurang dari 6,5, Fe3+ lebih dari 0,3 mg/l, Mn2+ lebih dari 0,1 mg/l, NH4+ lebih dari 1,5 mg/l, Cl- lebih dari 250 mg/l, dan NO3- lebih dari 50 mg/l, serta mengandung bakteri coli tinja.

Rendahnya kualitas air tanah dangkal di daerah pemukiman dan industri ini kemungkinan disebabkan oleh litologi akuifer yang merupakan endapan danau dan pencemaran dari buangan limbah domestik.

Kekeruhan dan warna dapat terjadi karena adanya zat-zat koloid berupa zat-zat yang terapung serta terurai secara halus sekali, kehadiran zat organik, lumpur atau karena tingginya kandungan logam besi dan mangan.

Kehadiran amoniak dalam air bisa berasal karena adanya rembesan dari lingkungan yang kotor, dari saluran air pembuangan domestik. Amoniak terbentuk karena adanya pembusukan zat organik secara bakterial atau karena adanya pencemaran pertanian.

Kandungan besi dan mangannya tinggi (>0,3 mg/l untuk besi dan >0,1mg/l untuk mangan) disebabkan batuan akuifer yang banyak mengandung logam besi dan mangan. Pada umumnya senyawa besi dan mangan sangat umum terdapat dalam tanah dan mudah larut dalam air terutama bila air bersifat asam.

Hasil pemeriksaan dari 23 contoh air dari sumur gali dan sumur pantek menunjukkan bahwa kandungan bakteri coli tinja hanya berkembang pada sumur gali, sedang pada sumur pantek umumnya tidak mengandung bakteri coli tinja. Pencemaan coli tinja kemungkinan disebabkan oleh “septic tank”

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-93

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

dibuat terlalu berdekatan dengan sumur atau sumur berdekatan dengan sungai yang telah tercemar oleh tinja manusia.

2. Wilayah Semarang

Penurunan kuantitas biasanya akan diikuti oleh penurunan kualitas seperti yang terjadi di daerah Semarang. Hal ini terlihat dari peningkatan nilai Daya Hantar Listrik (DHL) dan jumlah unsur klorida (Cl-)

Pada pengukuran tahun 2003 perubahan DHL berkisar antara 6 hingga 151 mikromhos/cm2 dan di beberapa tempat terjadi perubahan yang sangat besar antara 450 hingga 2.260 mikromhos/cm2, yang diperkirakan terjadi akibat kerusakan konstruksi sumur bor bukan diakibatkan oleh penurunan kualitas air tanah.

Hal yang menarik adalah bahwa di bagian utara sekitar Tegalrejo, Randu, Wonodadi dan Karangtengah, penurunannya hampir merata maksimum 40 mikromhos/cm2. Demikian pula ke arah tenggara yaitu searah dengan jalan raya jurusan Solo, terjadi peningkatan yang lebih besar dari harga rata-rata antara 75 hingga 151 mikromhos/cm2.

Berdasarkan data pada tahun 80an dimana kedudukan muka air tanah tertekan sekitar 2 - 7,5 m maka kedudukan saat ini yang telah mencapai kedalaman 18 - 27 m berarti laju penurunan muka air tanah tertekan di dataran Semarang selama 25 tahun terakhir rata-rata mencapai 0,7 – 0,8 m/tahun.

C. Penyebaran Air Tanah Payau/Asin

Kualitas air tanah yang terdapat di berbagai kelompok akuifer di Pulau Jawa dan Madura pada umumnya kondisi alamiahnya sangat bagus, artinya cukup memenuhi persyaratan sebagai sumber air bersih, kecuali pada endapan di daerah dataran pantai. Namun akibat pengambilan air tanah yang cenderung terus meningkat telah mengubah kondisi hidrolika air tanah, yang berdampak terjadinya penurunan kualitas air tanah, yaitu meningkatnya kegaraman air tanah.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-94

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Berikut ini disajikan penyebaran air tanah payau/asin di beberapa wilayah yang sudah sangat kritis.

1. Wilayah Jakarta

Kriteria air tanah payau/asin didasarkan pada harga daya hantar listrik (DHL) ≥ 1500 µ mhos/cm, kadar khlorida (Cl-) ≥ 500 mg/l, dan atau zat padat terlarut (TDS) ≥ 1000 mg/l. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan dan analisis laboratorium terhadap contoh air tanah yang diambil, serta telaah beberapa data terdahulu, diketahui bahwa penyebaran air tanah payau/asin pada air tanah tak tertekan meliputi daerah Daan Mogot, Cengkareng dan Kapuk-Jelambar (Jakarta Barat), Penjaringan, Pademangan, Kamal, dan Cilincing (Jakarta Utara), Rawarengas (Jakarta Timur), serta Kebon Jamali, Rawa Jeruk dan Rawa Bokor (Kota Tangerang) yang kesemuanya merupakan daerah dataran pantai. Sedangkan penyebaran air tanah payau/asin pada air tanah tertekan dijumpai di daerah Penjaringan, Ancol, Cilincing, Marunda, Pasar Ikan, dan Tanjungpriok (Jakarta Utara), Daan Mogot, Cengkareng, Kapuk Kamal, Pluit, dan Jelambar (Jakarta Barat), Pulogadung, Cakung, dan Sunter (Jakarta Timur), Gambir (Jakarta Pusat), Pondok Ungu (Kota Bekasi), serta Batuceper (Kota Tangerang). Daerah ini merupakan akuifer air tanah tertekan yang berdekatan dengan garis pantai.

Kualitas air tanah di daerah pemantauan pada tahun 2003 ini apabila dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2001 terjadi penurunan kualitas. Hal ini ditunjukkan oleh adanya peningkatan nilai DHL dan jumlah kandungan ion khlorida. Peningkatan nilai DHL berkisar antara 70 – 319 µ mhos/cm, sedangkan peningkatan kandungan ion khlorida berkisar antara 2,1 – 7,0 mg/liter.

2. Wilayah Semarang

Kualitas air tanah dangkal di dataran rendah Semarang–Demak umumnya bersifat payau akibat pengaruh batuan endapan laut sebagai penyusun utama alluvium pantai. Kriteria air tanah payau/asin didasarkan atas nilai daya hantar listrik lebih dari 1500 mikromhos/cm atau kadar ion Cl- lebih dari 600 mg/l.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-95

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Berdasarkan pengukuran lapangan diketahui penyebaran air tanah payau/asin terdapat di daerah rawa, tambak, bekas pantai lama, dan sebagian daerah aliran sungai lama. Daerah tersebut meliputi pantai utara Semarang sekitar Kaligawe, pantai utara dan bagian barat Demak sekitar Wonosalam, Gajah, dan Rejosari.

D. Penurunan Muka Tanah

Penurunan muka tanah (land subsidence) adalah fenomena alam yang banyak terjadi di kota-kota besar yang berdiri di atas lapisan batuan sedimen. Faktor penyebab terjadinya penurunan tanah yaitu: pengambilan air tanah yang berlebihan, penurunan karena beban bangunan, penurunan karena adanya konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah, serta penurunan karena gaya-gaya tektonik. Dari beberapa faktor penyebab penurunan tanah ini, penurunan tanah akibat pengambilan air tanah yang berlebihan dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya penurunan tanah.

Berikut ini disajikan penurunan muka tanah di beberapa wilayah yang sudah sangat kritis..

1. Wilayah Bandung

Di daerah padat industri gejala penurunan tanah diindikasikan dari kerusakan pada lantai sumur pantau atau pondasi sumur bor yang menggantung, sehingga fondasi sumur bor kelihatan lebih menonjol dibanding muka tanah sekitarnya. Hal ini dapat dijumpai antara lain di sumur bor PT. Tridharmatex, PT Dewantex, Leuwigajah, Kec. Cimahi Selatan dan PT. Pan Asia, PT. Safilindo, Kec. Dayeuhkolot di wilayah Kab. Bandung, serta lantai sumur bor PT Vonex Indonesia dan PT Sunsonindo Textile, Kec. Rancaekek, serta PT Bintang Agung, Kec. Ujungberung.

Beberapa lokasi di CAT Bandung - Soreang memang mengalami penurunan tanah, dalam periode 2000 – 2002 besarnya penurunan tanah berkisar antara 7 cm sampai sekitar 52 cm, dengan kecepatan penurunan berkisar anatara 2 – 18 mm/bulan.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-96

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Dalam periode tersebut, lokasi-lokasi Cimahi (Leuwigajah), Dayeuhkolot, Rancaekek merupakan lokasi yang mengalami penurunan tanah yang relatif lebih besar, yaitu masing-masing sebesar 52 cm, 46 cm dan 42 cm. Besarnya penurunan tanah di beberapa lokasi di CAT Bandung–Soreang tidak selalu berkorelasi positif dengan volume pengambilan air tanah, tetapi dapat juga dipengaruhi oleh besarnya produktivitas akuifer dan keragaman tanah penyusunnya.

2. Wilayah Jakarta

Di daerah dataran pantai Jakarta, gejala penurunan muka tanah atau yang lebih dikenal dengan amblesan tanah telah nyata terjadi. Gejala ini telah diketahui sejak beberapa tahun terakhir ini.

Meskipun faktor penyebab utama belum dapat diketahui secara pasti, namun faktor penurunan muka air tanah akibat pengambilannya ikut berperan dalam amblesan tanah tersebut. Pengambilan air tanah yang telah melebihi batas aliran alamiahnya, akan mengakibatkan terjadinya kekosongan rongga-rongga (pori-pori) akuifer yang semula terisi oleh air tanah dan terperasnya air tanah dalam lapisan penutup akuifer tertekan, sehingga mengakibatkan hilangnya (penurunan) tekanan hidrostatis serta pengkerutan lapisan penutup, maka terjadilah pemampatan dan pemadatan tanah, yang refleksinya adalah penurunan permukaan tanah. Daerah yang terkenan amblesan tanah ini meliputi daerah yang luas dan tidak dapat dilihat seketika, namun harus dalam kurun waktu yang lama.

Indikasi adanya amblesan tanah di daerah Jakarta ini ditunjukkan antara lain oleh:

• Retaknya bangunan gedung Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral serta gedung Sarinah di Jl. M.H. Thamrin.

• Terjadinya genangan air laut pasang di daerah Kapuk Cengkareng, yang semakin meluas dan semakin tinggi air genangannya.

• Miringnya Menara Museum Bahari di daerah Pasar Ikan.

• Kenampakan terangkatnya konstruksi pondasi sumur bor di Kantor DTLGKP Jl. Tongkol, Jakarta Utara.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-97

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Akibat adanya amblesan tanah tersebut, maka sangatlah mungkin bila beberapa tempat di daerah Jakarta ini, yang semula ketinggiannya masih berada di atas muka laut, kini ketinggiannya menjadi sama dengan muka laut, atau bahkan telah berada di bawah muka laut, sehingga apabila air laut pasang menjadi tergenang. Oleh karena itu, fenomena tergenangnya beberapa wilayah bagian Kota Jakarta ini dapatlah disimpulkan, yaitu akibat adanya amblesan tanah, seperti terlihat di daerah Kapuk, Kamal dan Cengkareng.

Berdasarkan hasil pengkajian dan perhitungan matematis yang dilakukan oleh DTLGKP, prediksi laju amblesan tanah di daerah Jakarta ini berkisar antara 1,3 - 12,0 cm/tahun yang meliputi daerah Kapuk-Kamal-Cengkareng, sepanjang Jl. Daan Mogot, daerah Pasar Ikan - Jl. Tongkol, daerah Senen-Sunter, sepanjang Jl. Thamrin, dan daerah Cakung-Pulogadung. Adapun daerah yang mempunyai intensitas amblesan tanah tertinggi, terjadi di daerah Kapuk-Kamal-Cengkareng, dan daerah sepanjang Jl. Daan Mogot dengan intensitas amblesan tanah mencapai 12,0 cm/tahun.

3. Wilayah Semarang

Berdasarkan hasil penelitian oleh DTLGKP, daerah yang mengalami penurunan dengan laju lebih dari 8 cm/tahun terbentang di sepanjang pantai mulai dari Pelabuhan Tanjungmas ke arah timur hingga wilayah pantai Demak Utara. Daerah paling barat yang mengalami amblesan terletak disekitar PRPP dengan laju penurunan 2 - 4 cm/tahun. Daerah paling selatan yang mengalami amblesan mencapai jalan raya Semarang-Purwodadi dengan laju penurunan muka tanah 2 cm/tahun.

Amblesan tanah tersebut membentuk pola kerucut dengan laju amblesan terbesar 4 - 6 cm/tahun di daerah sekitar sebelah timur jalan tol lingkar timur.

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan gejala amblesan tanah ditunjukkan antara lain dengan kenampakan sebagai berikut:

• Lantai bangunan Sekolah Pelayaran di Jl. Singosari retak dan terkesan menggantung akibat permukaan tanah ambles.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-98

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

• Kompleks perkantoran Pelabuhan Tanjungmas tergenang air laut pasang.

• Stasiun kereta api Tawang dengan elevasi + 2 m di atas muka laut kini tergenang oleh air laut pasang.

• Konstruksi pondasi sumur pantau di STM Perkapalan Jl. Kokrosono, sumur bor PDAM di Kampung Peres Jl. Hasanudin, sumur bor PDAM di Jl. Erowati dan pipa sumur pantau di Pelabuhan Tanjungmas yang terkesan terangkat sekitar 20 cm.

Gejala tersebut menunjukkan adanya amblesan tanah dan bila daerah tersebut dihubungkan dengan pola muka air tanah ternyata daerah dengan gejala amblesan tanah tersebut berada pada daerah depresi muka air tanah terutama daerah dengan kedudukan muka air tanahnya sudah berada di bawah muka laut. Sehingga diperkirakan amblesan tanah tersebut terjadi akibat pengambilan air tanah yang intensif.

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-99

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

3.1 ANALISIS NERACA AIR 1 3.1.1 Banten 2 3.1.2 Jabotabek dan Sekitarnya 11 3.1.3 Jawa Barat 23 3.1.4 Jawa Tengah 35 3.1.5 Daerah Istimewa Yogyakarta 52 3.1.6 Jawa Timur 60

3.2 ANALISIS POTENSI AIR TANAH 75 3.2.1 Pembagian Cekungan Air Tanah 77 3.2.2 Jenis Aquifer Air Tanah 80 3.2.3 Potensi Air Tanah 81 3.2.4 Prospek Pengembangan Air Tanah 84 3.2.5 Permasalahan Penggunaan Air Tanah 86

Tabel 3. 1 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Banten............................ 4

Tabel 3. 2 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Banten ..................... 4

Tabel 3. 3 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Banten .............................. 4

Tabel 3. 4 Kebutuhan Air untuk Industri di Propinsi Banten ........................ 5

Tabel 3. 5 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Banten ............................ 6

Tabel 3. 6 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Banten .............................. 6

Tabel 3. 7 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Banten ................ 8

Tabel 3. 8 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Banten ...................................... 8

Tabel 3. 9 Ketersediaan Air di Propinsi Banten ............................................. 9

Tabel 3. 10 Neraca Air di Propinsi Banten .................................................... 10

Tabel 3. 11 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Banten .................................. 11

Tabel 3. 12 Proyeksi Jumlah Penduduk di Jabotabek dan Sekitarnya .... 15

Tabel 3. 13 Kebutuhan Air Permukaan untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri di Jabotabek dan Sekitarnya ...................................................... 15

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-100

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 14 Kebutuhan Air Tanah untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri di Jabotabek dan Sekitarnya .............................................................. 16

Tabel 3. 15 Kebutuhan Air Total untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri di Jabotabek dan Sekitarnya .............................................................. 16

Tabel 3. 16 Proyeksi Luas Lahan Irigasi di Jabotabek dan Sekitarnya.... 18

Tabel 3. 17 Kebutuhan Air Irigasi di Jabotabek dan Sekitarnya................ 18

Tabel 3. 18 Ketersediaan Air untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri Jabotabek dan Sekitarnya .................................................................. 21

Tabel 3. 19 Neraca Air di Jabotabek dan Sekitarnya ................................... 23

Tabel 3. 20 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Barat ............... 25

Tabel 3. 21 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Barat .......... 26

Tabel 3. 22 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Barat................... 26

Tabel 3. 23 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Barat ........................ 27

Tabel 3. 24 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Barat ................ 28

Tabel 3. 25 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Barat ................... 29

Tabel 3. 26 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Barat.... 30

Tabel 3. 27 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003.... 31

Tabel 3. 28 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Barat Tahun 2025.... 31

Tabel 3. 29 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Barat .................................. 33

Tabel 3. 30 Neraca Air di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003 ...................... 34

Tabel 3. 31 Neraca Air di Propinsi Jawa Barat Tahun 2025 ...................... 34

Tabel 3. 32 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Barat ........................... 35

Tabel 3. 33 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Tengah ........... 37

Tabel 3. 34 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Tengah ..... 38

Tabel 3. 35 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Tengah............... 39

Tabel 3. 36 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Tengah .................... 40

Tabel 3. 37 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Tengah ............ 42

Tabel 3. 38 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Tengah ............... 43

Tabel 3. 39 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Tengah 45

Tabel 3. 40 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003 46

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-101

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 41 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2025 46

Tabel 3. 42 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Tengah .............................. 48

Tabel 3. 43 Neraca Air di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003 .................. 50

Tabel 3. 44 Neraca Air di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2025 .................. 50

Tabel 3. 45 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Tengah ....................... 51

Tabel 3. 46 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi DIY ............................ 54

Tabel 3. 47 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi DIY....................... 54

Tabel 3. 48 Kebutuhan Air untuk Perkotaan di Propinsi DIY ..................... 54

Tabel 3. 49 Kebutuhan Air Industri di Propinsi DIY ..................................... 55

Tabel 3. 50 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi DIY .............................. 56

Tabel 3. 51 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi DIY ................................ 56

Tabel 3. 52 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi DIY ................. 57

Tabel 3. 53 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi DIY Tahun 2003 ................. 57

Tabel 3. 54 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi DIY Tahun 2025 .................. 58

Tabel 3. 55 Ketersediaan Air di Propinsi DIY ............................................... 58

Tabel 3. 56 Neraca Air di Propinsi DIY Tahun 2003 ................................... 59

Tabel 3. 57 Neraca Air di Propinsi DIY Tahun 2025 ................................... 60

Tabel 3. 58 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi DIY ........................................ 60

Tabel 3. 59 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Timur .............. 62

Tabel 3. 60 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Timur......... 63

Tabel 3. 61 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Timur .................. 64

Tabel 3. 62 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Timur ....................... 65

Tabel 3. 63 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Timur ................ 66

Tabel 3. 64 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Timur .................. 67

Tabel 3. 65 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Timur ... 69

Tabel 3. 66 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Timur Tahun 2003 ... 70

Tabel 3. 67 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Timur Tahun 2025 ... 70

Tabel 3. 68 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Timur ................................. 72

Tabel 3. 69 Neraca Air di Propinsi Jawa Timur Tahun 2003 ...................... 73

Tabel 3. 70 Neraca Air di Propinsi Jawa Timur Tahun 2025 ..................... 74

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-102

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 71 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Timur ........................... 75

Tabel 3. 72 Cekungan Air Tanah (CAT) di Pulau Jawa dengan Jumlah Alirannya .............................................................................................................. 78

Tabel 3. 73 Potensi Air Tanah di Propinsi Banten ........................................ 82

Tabel 3. 74 Potensi Air Tanah di Propinsi DKI Jakarta ................................ 82

Tabel 3. 75 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Barat................................ 82

Tabel 3. 76 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Tengah............................ 83

Tabel 3. 77 Potensi Air Tanah di Propinsi DIY ............................................. 83

Tabel 3. 78 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Timur ............................... 84

3.1 ANALISIS NERACA AIR 1

3.1.1 Banten 2

3.1.2 Jabotabek dan Sekitarnya 11

3.1.3 Jawa Barat 23

3.1.4 Jawa Tengah 35

3.1.5 Daerah Istimewa Yogyakarta 52

3.1.6 Jawa Timur 60

3.2 ANALISIS POTENSI AIR TANAH 75

3.2.1 Pembagian Cekungan Air Tanah 77

3.2.2 Jenis Aquifer Air Tanah 80

3.2.3 Potensi Air Tanah 81

3.2.4 Prospek Pengembangan Air Tanah 84

3.2.5 Permasalahan Penggunaan Air Tanah 86

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-103

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 1 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Banten 4

Tabel 3. 2 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Banten 4

Tabel 3. 3 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Banten 4

Tabel 3. 4 Kebutuhan Air untuk Industri di Propinsi Banten 5

Tabel 3. 5 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Banten 6

Tabel 3. 6 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Banten 6

Tabel 3. 7 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Banten 8

Tabel 3. 8 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Banten 8

Tabel 3. 9 Ketersediaan Air di Propinsi Banten 9

Tabel 3. 10 Neraca Air di Propinsi Banten 10

Tabel 3. 11 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Banten 11

Tabel 3. 12 Proyeksi Jumlah Penduduk di Jabotabek dan Sekitarnya 15

Tabel 3. 13 Kebutuhan Air Permukaan untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri di Jabotabek dan Sekitarnya 15

Tabel 3. 14 Kebutuhan Air Tanah untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri di Jabotabek dan Sekitarnya 16

Tabel 3. 15 Kebutuhan Air Total untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri di Jabotabek dan Sekitarnya 16

Tabel 3. 16 Proyeksi Luas Lahan Irigasi di Jabotabek dan Sekitarnya 18

Tabel 3. 17 Kebutuhan Air Irigasi di Jabotabek dan Sekitarnya 18

Tabel 3. 18 Ketersediaan Air untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri Jabotabek dan Sekitarnya 21

Tabel 3. 19 Neraca Air di Jabotabek dan Sekitarnya 23

Tabel 3. 20 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Barat 25

Tabel 3. 21 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Barat 26

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-104

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 22 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Barat 26

Tabel 3. 23 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Barat 27

Tabel 3. 24 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Barat 28

Tabel 3. 25 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Barat 29

Tabel 3. 26 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Barat 30

Tabel 3. 27 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003 31

Tabel 3. 28 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Barat Tahun 2025 31

Tabel 3. 29 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Barat 33

Tabel 3. 30 Neraca Air di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003 34

Tabel 3. 31 Neraca Air di Propinsi Jawa Barat Tahun 2025 34

Tabel 3. 32 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Barat 35

Tabel 3. 33 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Tengah 37

Tabel 3. 34 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Tengah 38

Tabel 3. 35 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Tengah 39

Tabel 3. 36 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Tengah 40

Tabel 3. 37 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Tengah 42

Tabel 3. 38 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Tengah 43

Tabel 3. 39 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Tengah 45

Tabel 3. 40 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003 46

Tabel 3. 41 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2025 46

Tabel 3. 42 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Tengah 48

Tabel 3. 43 Neraca Air di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003 50

Tabel 3. 44 Neraca Air di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2025 50

Tabel 3. 45 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Tengah 51

Tabel 3. 46 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi DIY 54

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-105

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 47 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi DIY 54

Tabel 3. 48 Kebutuhan Air untuk Perkotaan di Propinsi DIY 54

Tabel 3. 49 Kebutuhan Air Industri di Propinsi DIY 55

Tabel 3. 50 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi DIY 56

Tabel 3. 51 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi DIY 56

Tabel 3. 52 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi DIY 57

Tabel 3. 53 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi DIY Tahun 2003 57

Tabel 3. 54 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi DIY Tahun 2025 58

Tabel 3. 55 Ketersediaan Air di Propinsi DIY 58

Tabel 3. 56 Neraca Air di Propinsi DIY Tahun 2003 59

Tabel 3. 57 Neraca Air di Propinsi DIY Tahun 2025 60

Tabel 3. 58 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi DIY 60

Tabel 3. 59 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Timur 62

Tabel 3. 60 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Timur 63

Tabel 3. 61 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Timur 64

Tabel 3. 62 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Timur 65

Tabel 3. 63 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Timur 66

Tabel 3. 64 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Timur 67

Tabel 3. 65 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Timur 69

Tabel 3. 66 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Timur Tahun 2003 70

Tabel 3. 67 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Timur Tahun 2025 70

Tabel 3. 68 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Timur 72

Tabel 3. 69 Neraca Air di Propinsi Jawa Timur Tahun 2003 73

Tabel 3. 70 Neraca Air di Propinsi Jawa Timur Tahun 2025 74

Tabel 3. 71 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Timur 75

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3-106

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Tabel 3. 72 Cekungan Air Tanah (CAT) di Pulau Jawa dengan Jumlah Alirannya 78

Tabel 3. 73 Potensi Air Tanah di Propinsi Banten 82

Tabel 3. 74 Potensi Air Tanah di Propinsi DKI Jakarta 82

Tabel 3. 75 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Barat 82

Tabel 3. 76 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Tengah 83

Tabel 3. 77 Potensi Air Tanah di Propinsi DIY 83

Tabel 3. 78 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Timur 84