70
31 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek Penelitian 4.1.1 SDN 6 Bukit Tunggal SDN 6 Bukit Tunggal merupakan sekolah negeri yang pada awalnya berdiri pada tahun 1995. Pada tahun 1995-2002, sekolah ini diberi nama SDN Palangka 31. Kemudian pada tahun 2002-2006 nama sekolah ini berubah nama menjadi SDN Bukit Tunggal 6 dan pada tahun 2006 hingga sekarang sekolah ini berubah menjadi SDN 6 Bukit Tunggal. Sekolah ini memiliki 18 rombongan belajar (rombel) dan 14 ruang kelas. Saat ini sekolah sudah mulai menggunakan kurikulum 2013. Adapun ketenagaan di sekolah ini terdiri dari satu 1 orang kepala sekolah, 19 orang guru kelas, 9 orang guru bidang studi, 2 orang staf tata usaha, 1 orang penjaga sekolah, 1 orang petugas kebersihan, dan 1 orang satpam. Kualifikasi pendidikan dari para pegawai meliputi 18 orang berpendidikan S1, 7 orang berpendidikan D2, 5 orang berpendidikan SPG, dan 4 orang lulusan SMA. Jumlah peserta didik di sekolah ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Saat ini jumlah peserta didik di SDN 6 Bukit Tunggal Palangka Raya adalah 518 orang. Sekolah ini menempati area seluas 11.730 m 2 dan memiliki nomor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

31

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Subyek Penelitian

4.1.1 SDN 6 Bukit Tunggal

SDN 6 Bukit Tunggal merupakan sekolah negeri

yang pada awalnya berdiri pada tahun 1995. Pada

tahun 1995-2002, sekolah ini diberi nama SDN

Palangka 31. Kemudian pada tahun 2002-2006 nama

sekolah ini berubah nama menjadi SDN Bukit Tunggal

6 dan pada tahun 2006 hingga sekarang sekolah ini

berubah menjadi SDN 6 Bukit Tunggal.

Sekolah ini memiliki 18 rombongan belajar

(rombel) dan 14 ruang kelas. Saat ini sekolah sudah

mulai menggunakan kurikulum 2013. Adapun

ketenagaan di sekolah ini terdiri dari satu 1 orang

kepala sekolah, 19 orang guru kelas, 9 orang guru

bidang studi, 2 orang staf tata usaha, 1 orang penjaga

sekolah, 1 orang petugas kebersihan, dan 1 orang

satpam. Kualifikasi pendidikan dari para pegawai

meliputi 18 orang berpendidikan S1, 7 orang

berpendidikan D2, 5 orang berpendidikan SPG, dan 4

orang lulusan SMA.

Jumlah peserta didik di sekolah ini mengalami

peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke

tahun. Saat ini jumlah peserta didik di SDN 6 Bukit

Tunggal Palangka Raya adalah 518 orang. Sekolah ini

menempati area seluas 11.730 m2 dan memiliki nomor

Page 2: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

32

statistik 10.1.14.60.02.031 dan telah terakreditasi A.

Sekolah ini terletak di Jl. Sapan III, Kelurahan Bukit

Tunggal, Kecamatan Jekan Raya, Palangka Raya,

Kalimantan Tengah.

Visinya adalah unggul dalam prestasi dan peduli

terhadap lingkungan, siap menghadapi era globalisasi,

berbudi pekerti luhur, berakhlak mulia, serta

berwawasan lingkungan. Misinya adalah

menumbuhkan semangat belajar secara intensif dan

menyeluruh, meningkatkan kompetensi guru dan

pegawai di bidang pendidikan dan teknologi serta

lingkungan hidup, dan terciptanya lingkungan sekolah

yang bersih, sehat, indah, nyaman, aman,

kekeluargaan, dan menyenangkan. Tujuan sekolah ini

adalah menjadikan peserta didik berprestasi, beriman,

jujur, terampil, berpengetahuan yang luas sesuai

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

4.1.2 SMPN 3 Palangka Raya

SMPN 3 Palangka Raya merupakan sekolah negeri

yang terletak di Jl. Kutilang Bukit Tunggal, Kecamatan

Jekan Raya, Palangka Raya, Kalimantan Tengah.

Sekolah ini menempati area seluas 27.014 m2 dan

memiliki nomor statistik 20.1.14.60.03.003 dan pada

tahun 2009 mendapatkan akreditasi A. Pada tahun

ajaran 2013/2014, sekolah ini memiliki 26 rombel dan

26 ruang kelas. Saat ini sekolah sudah mulai

menggunakan kurikulum 2013.

Page 3: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

33

Adapun pendidik dan tenaga kependidikan di

sekolah ini terdiri dari 1 orang kepala sekolah, 4 orang

wakil kepala sekolah, dan 75 orang gabungan dari guru

tetap maupun tidak tetap/guru bantu dan staf TU.

Kualifikasi pendidikan dari para pendidik dan tenaga

kependidikan di sekolah ini terdiri dari 67 guru

tetap/PNS dan 2 guru tidak tetap/guru bantu yang

telah menyelesaikan tingkat pendidikan D4/S1/S2/S3.

Sementara, guru tetap/PNS yang telah menyelesaikan

maksimal pada tingkat D4/S1 ada 6 orang.

Visinya adalah berprestasi, bertaqwa dan

berbudaya berbasis ICT menuju Sekolah Berstandar

Internasional. Misinya adalah Mewujudkan

pelaksanaan pendidikan, pengajaran, pelatihan, dengan

KTSP yang didukung oleh fasilitas berbasis ICT, tenaga

pendidik dan kependidikan yang kompeten dalam

lingkungan sekolah yang aman, nyaman berakhlak

mulia, menuju perubahan-perubahan lebih bermutu

menuju sekolah yang kompetitif.

4.1.3 SMAN 4 Palangka Raya

Visinya adalah cerdas spiritual, cerdas sosial,

cerdas terampil, cerdas intelektual, dan berbasis

saintifik, budaya dan lingkungan. Misinya adalah

melaksanakan, mengamalkan ajaran agama yang

dianutnya dan bersikap toleran; mewujudkan rasa

kebersamaan tanpa diskriminatif; mengembangkan

kreativitas warga sekolah dalam berbagai bidang;

menciptakan insan berprestasi dan budaya lokal dan

Page 4: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

34

cinta lingkungan; dan menanamkan nilai-nilai kearifan

budaya lokal dan cinta lingkungan.

4.3 Hasil Penelitian

Mengacu pada rumusan penelitian tentang

bagaimana evaluasi context, input, process dan product

dari penyelenggaraan program pendidikan inklusif di

Kota Palangka Raya, hasil pengumpulan data akan

digolongkan sesuai dengan komponen evaluasi

tersebut. Dengan demikian, penggolongan tersebut

memudahkan dalam melakukan pembahasan dan

penarikan kesimpulan.

4.3.1 Hasil Evaluasi Penyelenggaraan Program

Pendidikan Inklusif di SDN 6 Bukit Tunggal

4.2.3.1 Evaluasi Context Penyelenggaraan

Program Pendidikan Inklusif di SDN 6

Bukit Tunggal

SDN 6 Bukit Tunggal sudah mulai menerima

peserta didik dengan kebutuhan khusus atau kelainan

sebelum pemberlakuan Perwali dan pencanangan Kota

Pendidikan Inklusif. Dengan melihat beberapa peserta

didik yang memiliki kelainan dalam taraf ringan dan

berdomisili di dekat sekolah tersebut, sekolah

berinisiatif untuk melayani dan menerima ABK. Jadi,

sekolah ini sudah menjalani program pendidikan

inklusif sejak beberapa tahun sebelumnya sampai pada

akhirnya Disdikpora mencanangkan kota Palangka

Raya sebagai Kota Pendidikan Inklusif dimana secara

serentak semua sekolah diwajibkan menjalankan

Page 5: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

35

program pendidikan inklusif. Hal ini disampaikan oleh

Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai

berikut:

Sebelum adanya Perwali dan surat pemberitahuan dari

Dinas kota, sekolah ini sudah menerima ABK karena

banyak peserta didik yang memiliki kebutuhan

khusus/kelainan. Selain itu juga, ada begitu banyak

ABK yang tinggal di sekitar lingkungan sekolah ini sehingga permohonan dan permintaan dari para orang

tua agar anaknya bisa diterima di sekolah ini pun

menjadi salah satu alasan.

Program pendidikan inklusif ini memiliki sasaran

yaitu peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus

atau kelainan ringan atau tidak berat. Pada tahun

ajaran 2014/2015 jumlah ABK di sekolah ini ada 43

anak yang terdata dan memiliki jenis kelainan slow

learner. Mengingat keterbatasan sekolah dalam banyak

hal maka jenis kelainan pada ABK yang bisa diterima di

sekolah adalah hanya sebatas kelainan kelas ringan.

Apabila ada ABK yang memiliki kelainan atau

kecacatan cukup berat maka pihak sekolah akan

mengajukan kepada orang tua ABK tersebut untuk

menyekolahkan anak ini di sekolah lain atau SLB yang

lebih mampu dan bersedia melayani anak tersebut. Hal

ini diperkuat dengan pernyataan Kepala SDN 6 Bukit

Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:

Sumber peserta didik dari program ini sudah tentu

adalah siswa yang memiliki kebutuhan khusus ringan

atau tidak berat. Hal ini disebabkan karena

kemampuan sekolah juga yang masih terbatas. Jadi apabila ada anak yang parah dan sekolah tidak mampu

melayaninya maka kami akan konsultasikan kembali

kepada orang tua dan mengusulkan untuk

menyekolahkan anak tersebut ke SLB saja.

Page 6: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

36

Berdasarkan pernyataan kepala sekolah dalam

wawancara di atas perihal keterbatasan dalam

melayani ABK, maka manfaat yang diterima sekolah

dari penyelenggaraan program ini juga tidak nampak

signifikan. Sekolah mendapatkan kepercayaan dari

masyarakat luas atas keterbukaan dalam melayani

peserta didik dengan jenis/karakteristik kebutuhan

khusus/kelainan ringan walau pelayanan yang

diberikan belum maksimal. Walau demikian, seiring

berjalannya waktu sekolah tetap berupaya melayani

ABK demi menjaga kepercayaan orang tua dan siswa

sebagai pelanggan.

4.2.3.2 Evaluasi Input Penyelenggaraan Program

Pendidikan Inklusif di SDN 6 Bukit

Tunggal

Sejak awal sekolah ini mulai menerima ABK,

sekolah hanya mengandalkan sarana prasarana

seadanya dalam kegiatan pelayanan ABK di sekolah.

Dalam hal ini, sarpras yang digunakan untuk melayani

ABK adalah sarpras yang pada umumnya juga

diberikan atau disediakan untuk siswa reguler. Nara

sumber yakni walikelas menyampaikan bahwa “sarpras

masih umum sama seperti yang digunakan atau

disediakan sekolah untuk siswa reguler. Sekolah belum

mendapatkan bantuan sarpras khusus demi menunjang

kebutuhan khusus ABK”.

Dari pernyataan dalam wawancara di atas,

keterbatasan sekolah nampak dari ketersediaan

sarpras yang masih minim dan belum memadai.

Page 7: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

37

Setelah pencanangan Kota Pendidikan Inklusif,

bantuan sarpras dari Dinas terkait juga belum ada.

Oleh karena itu, sekolah belum optimal dan maksimal

dalam memberikan pelayanan bagi ABK. Hal tersebut

disampaikan oleh Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam

wawancara sebagai berikut:

Hingga saat ini, sekolah belum mendapatkan bantuan

sarana maupun prasarana khusus bagi pelayanan

ABK. Sarana prasarana yang ada di sekolah ini masih

umum sehingga kami hanya memanfaatkan seadanya dan secara merata saja.

Pelaksanaan program pendidikan inklusif di

sekolah ini melibatkan semua pihak sekolah. Pihak

sekolah yang terlibat di dalamnya meliputi baik kepsek,

komite, pengawas sekolah, wakasek, walikelas, dan

guru mapel. Sementara, keterlibatan langsung dari

tenaga ahli, psikolog, dan GPK dari SLB, PK-PLK

maupun Dinas terkait belum ada sama sekali dari awal

sekolah ini menerima ABK hingga saat ini setelah

pencanangan Kota Pendidikan Inklusif. Hal tersebut

disampaikan oleh kepala sekolah dan wali kelas SDN 6

Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:

Sampai saat ini belum ada keterlibatan dari psikolog,

GPK, atau tenaga profesional dalam rangka pelaksanaan program tersebut di sekolah ini; Sejauh

ini, pakar, tenaga profesional atau GPK dari SLB

langsung yang disediakan/diberikan dari Dinas

setempat untuk datang kemari, tidak ada dan belum

pernah terlibat dan membantu kami di sini.

Dalam penyelenggaraan program pendidikan

inklusif di SDN 6 Bukit Tunggal, sumber dana khusus

untuk melayani dan membantu ABK belum ada

diberikan dari Dinas terkait. Sejauh ini, sekolah

Page 8: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

38

mengambil dan menggunakan dana BOS untuk

memenuhi kebutuhan dan pelayanan ABK. “Kami

menggunakan dan memanfaatkan dana BOS untuk

membantu ABK dalam rangka pembiayaan program

tersebut di sekolah ini. Hal ini mengingat bahwa belum

ada bantuan dana khusus bagi ABK”, ucap Kepala SDN

6 Bukit Tunggal dalam wawancara.

Selain sumber dana yang berasal dari BOS karena

mengingat belum ada bantuan dana khusus bagi ABK,

bantuan SDM dalam bentuk guru pembimbing khusus

(GPK) tidak ada. Selama ini, sekolah hanya

menggunakan dan memanfaatkan semua guru yang

ada untuk terlibat dalam mengajar dan melayani ABK

baik di kelas maupun di luar kelas. Dengan demikian,

guru mengajar dan melayani ABK sesuai dengan

kondisi kemampuan guru yang sebenarnya masih

terbatas. Hal tersebut disampaikan oleh kepala sekolah

dan wali kelas SDN 6 Bukit Tunggal sebgai berikut:

Sekolah ini belum memiliki atau tidak pernah mendapatkan bantuan berupa GPK. Jadi selama ini,

ABK hanya ditangani langsung oleh wali kelas dan guru

mapel saja dengan keterbatasan para guru juga;

Sekolah ini belum pernah memiliki atau mendapatkan

bantuan GPK langsung. Sekolah hanya mengatasi dan menangani ABK dengan seadanya saja, sesuai dengan

porsi dan kemampuan dari tiap guru di sini.

Mengingat tidak ada bantuan khusus dalam

bentuk GPK, maka ABK ditangani dan dibimbing

langsung oleh guru kelas dan wali kelas di dalam

maupun di luar kelas. Guru-guru di SDN 6 Bukit

Tunggal belum pernah terlibat dalam pelatihan khusus

untuk meningkatkan kompetensi guru terkait

Page 9: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

39

penanganan ABK maupun pelaksanaan program

pendidikan inklusif. Pernyataan ini dirangkum dari

hasil wawancara bersama kepala sekolah, wali kelas,

dan guru kelas SDN 6 Bukit Tunggal dimana pada

intinya ketidakmaksimalan dan ketidakoptimalan

pelayanan yang diberikan sekolah ini bagi ABK

disebabkan oleh keterbatasan guru dalam hal

kemampuan atau kompetensi sebagai akibat dari tidak

ada pelibatan atau pembekalan dalam pelatihan

khusus dari Dinas terkait untuk guru-guru.

4.2.3.3 Evaluasi Process Penyelenggaraan

Program Pendidikan Inklusif di SDN 6

Bukit Tunggal

Setelah pencanangan Kota Pendidikan Inklusif,

Disdikpora kemudian mengeluarkan dan menyebarkan

surat permohonan dan pemberitahuan perihal

monitoring dan evaluasi (monev) sekolah penyelenggara

program pendidikan inklusif. Surat ini ditujukan

kepada seluruh kepala sekolah dari tingkat satuan

pendidikan TK/RA, SD/MI, SMPMTs, dan SMA/MA

baik berstatus negeri maupun swasta di Palangka

Raya. Dengan demikian, SDN 6 Bukit Tunggal juga

mendapat surat pemberitahuan tersebut. Hal ini

disampaikan oleh Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam

wawancara sebagai berikut:

Monev terakhir hanya disampaikan melalui surat permohonan dan pemberitahuan dari Kasi. SLB

Disdikpora pada bulan Nopember 2014 agar setiap

sekolah segera mengidentifikasi tiap peserta didik yang

memiliki kelainan, melakukan pendataan sesuai format

dan segera melaporkan ke Dinas tersebut untuk segera ditindaklanjuti.

Page 10: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

40

Selain kegiatan monev yang dilakukan Dinas

terkait, kompetensi guru kelas dalam hal menyusun

perencanaan pengajaran seperti RPP dan materi ajar

khusus bagi ABK di kelas tetap sama dan umum.

Dengan kata lain, tidak ada perbedaan atau

kekhususan dalam modifikasi kurikulum, penyusunan

RPP dan bahan ajar bagi ABK. Hal ini disebabkan

karena keseluruhan isi pembelajaran baik materi,

kurikulum dan sebagainya yang diberikan bagi ABK

tetap sama halnya dengan yang diberikan kepada siswa

reguler. Hal ini disampaikan oleh salah seorang guru

kelas di SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara

sebagai berikut:

Dalam membuat RPP, saya tidak menyusun atau

memasukkan topik/materi khusus bagi ABK. Kami di

sini masih menggunakan KTSP dan pemberlakuan

kurikulum ini tetap sama baik untuk siswa reguler

pada umumnya maupun ABK secara khusus. Jadi tidak ada modifikasi kurikulum bagi ABK.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka dalam

proses belajar mengajar di kelas, guru juga cenderung

memperlakukan ABK sama halnya dengan siswa

reguler pada umumnya. Jadi, tidak ada pembedaan

perlakuan antara ABK dan siswa reguler yang

dilakukan atau diberikan guru di dalam kelas. Namun,

ada kalanya perlakuan khusus diberikan secara

individual dalam hal pembimbingan. Nara sumber yaitu

guru kelas di SDN 6 Bukit Tunggal menyatakan bahwa

“saya memberikan bimbingan dan perhatian khusus

kepada ABK, misalnya saya mendekati mereka dan

kemudian membimbing secara khusus dibanding teman-

temannya yang lain.”

Page 11: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

41

Sama halnya dengan pernyataan nara sumber di

atas dalam wawancara, pengajaran dan pembimbingan

yang diberikan wali kelas terhadap ABK di dalam

maupun luar kelas juga sama dan serupa dengan cara

yang diberikan oleh guru kelas pada umumnya. Dalam

hal materi ajar dan RPP yang diberikan pada ABK

masih sama seperti yang diberikan pada siswa reguler.

Namun, guru terkadang memberikan perlakuan atau

bimbingan khusus secara intensif dan individual

kepada ABK. Hal ini disampaikan oleh salah seorang

wali kelas di SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara

sebagai berikut:

Dari segi pendampingan, saya tidak menyusun

perencanaan khusus seperti lembar kerja begitu. Pendampingan dilakukan secara umum dan reguler

saja; Ketika mengajar di kelas, saya akan mengajar

secara umum dulu. Kadang saya mendekati ABK

tersebut dan berusaha menjelaskan berkali-kali dengan

cara yang lebih mudah. Kemudian saat pemberian soal latihan, saya memberikan soal latihan yang lebih

mudah dibanding dari siswa reguler lainnya.

SDN 6 Bukit Tunggal memiliki kegiatan

ekstrakurikuler yang diperuntukkan bagi semua siswa.

Berdasarkan hasil wawancara bersama kepala sekolah,

wali kelas, dan guru kelas di SDN Bukit Tunggal 6,

kegiatan ekstrakurikuler ditujukan untuk semua siswa

termasuk ABK. Hingga saat ini, banyak ABK yang ikut

serta dalam kegiatan tersebut yang berlangsung di luar

jam sekolah. ABK memilih kegiatan ekstrakurikuler

sesuai kemampuannya masing-masing. Hal ini

disampaikan oleh salah seorang guru kelas di SDN 6

Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:

Page 12: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

42

Kegiatan ekstrakurikuler diberikan dan boleh diikuti oleh semua siswa tergantung minat dan ketertarikan

mereka masing-masing. Ada beberapa ABK yang

mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan

kemampuan dan hobi mereka.

Mengingat sarana prasarana khusus yang ada di

SDN 6 Bukit Tunggal untuk melayani ABK tidak ada

sehingga sekolah menggunakan sarpras umum maka

manfaat sarpras umum tersebut bagi ABK dan guru

cukup signifikan. Sarpras umum yang digunakan juga

masih terbatas karena sarpras tersebut diperuntukkan

bagi semua siswa, baik ABK maupun siswa reguler.

Sekolah belum pernah mendapatkan bantuan sarpras

khusus bagi ABK dari Dinas terkait. Hal ini

disampaikan oleh salah seorang wali kelas dalam

wawancara sebagai berikut:

Berhubung sekolah tidak memiliki atau mendapat

bantuan sarpras khusus bagi ABK sehingga sekolah

menggunakan sarpras umum yang juga pada

umumnya dipakai oleh siswa umum maka sarpras

tersebut cukup bermanfaat. Walaupun manfaat ini tidak begitu signifikan terhadap sejauh mana

manfaatnya bagi ABK dan saya sebagai pengajar.

Berdasarkan fakta keterbatasan sarpras yang

dijelaskan nara sumber dalam wawancara di atas, guru

berinisiatif untuk membuat alat peraga sebagai

pelengkap dalam mengajar ABK dan siswa reguler di

kelas. Alat peraga ini juga melengkapi kekurangan dari

sarpras, sebagai media belajar yang disediakan sekolah

seperti buku penunjang, buku paket, dan sebagian alat

peraga. Dari alat peraga yang tersedia ini pun guru

ternyata masih belum bisa mendapatkan manfaat yang

signifikan. Hal ini disampaikan oleh salah seorang guru

kelas di SDN 6 Bukit Tunggal sebagai berikut:

Page 13: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

43

Namun guru juga terkadang membuat alat peraga khusus untuk menunjang pelajaran termasuk buat

ABK. Jadi guru belum sepenuhnya mendapatkan

manfaat dari penggunaan sarpras yang sudah ada ini

untuk mengajar ABK terkait dengan beberapa sarpras

yang belum terpenuhi atau belum lengkap.

SDN 6 Bukit Tunggal sebagai salah satu sekolah di

kota Palangka Raya yang melaksanakan program

pendidikan inklusif masih menemukan dan menjumpai

beberapa kendala yang menyebabkan sekolah ini belum

maksimal dan optimal dalam menjalankan program.

Kendala yang dijumpai di antaranya adalah tidak

adanya ketersediaan SDM yaitu GPK dalam menangani

ABK, tidak adanya pelatihan khusus untuk

meningkatkan kompetensi guru, dan tidak ada bantuan

sarpras khusus bagi ABK. Hal ini disampaikan oleh

Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai

berikut:

Sekolah belum mempunyai atau mendapatkan bantuan GPK yang khusus menangani anak. Kemampuan guru

di sini terbatas karena tidak memiliki latar belakang

pendidikan khusus. Kedua, sarpras khusus bagi ABK

juga belum ada sehingga kami hanya menggunakan

dan memanfaatkan penggunaan sarpras yang seadanya

dan yang umum dipakai oleh siswa reguler pada umumnya.

Hal serupa juga disampaikan oleh salah seorang

wali kelas di SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara

sebagai berikut:

GPK atau tenaga khusus yang belum ada untuk

membantu penanganan ABK. Kedua, sarpras masih

minim karena belum ada bantuan dari Dinas terkait pelayanan bagi ABK. Ketiga, kemampuan dan

pengetahuan guru masih terbatas.

Page 14: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

44

Hal senada juga ditambahkan oleh salah seorang

guru kelas di SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara

sebagai berikut:

Kendalanya adalah alat peraga yang masih kurang

untuk media belajar ABK di kelas, jadi perlu ditambah

dan dimaksimalkan. Kemudian, GPK belum ada

sehingga guru-guru yang ada di sini hanya membantu

seadanya saja. Hal ini terkait dengan pelatihan yang belum pernah diperoleh oleh guru-guru di sini juga.

Dari kendala-kendala di atas, pihak sekolah yang

diwakili oleh kepala sekolah, wali kelas dan guru kelas

dalam wawancara berharap agar kendala tersebut

segera teratasi dan Dinas terkait bisa melakukan

perbaikan dan pembenahan terhadap kendala yang

dihadapi SDN 6 Bukit Tunggal. Hal ini disampaikan

oleh Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara

sebagai berikut:

Harapan saya adalah ada bantuan dan solusi dari

kendala yang saya jelaskan di atas tadi. Maka nantinya,

sekolah bisa memaksimalkan pelayanannya kepada

ABK dan pelaksanaan program tersebut bisa berjalan dengan baik dan sebagaimana mestinya.

SDN 6 Bukit Tunggal berupaya menjalankan

tanggung jawab sebagai penyelenggara program

pendidikan inklusif yang seharusnya diimbangi dengan

dukungan oleh Dinas terkait. Dengan demikian,

sekolah ini nantinya bisa melaksanakan program

pendidikan inklusif dengan baik dan maksimal atas

dukungan materiil maupun non materiil dari Dinas

terkait.

Page 15: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

45

4.2.3.4 Evaluasi Product Penyelenggaraan

Program Pendidikan Inklusif di SDN 6

Bukit Tunggal

Produk dari program pendidikan inklusif ini

adalah dampak penerapan program tersebut terhadap

prestasi atau perkembangan ABK dari segi akademik

dan non akademik. Mengingat bahwa jenis kebutuhan

khusus atau kelainan ABK di SDN 6 Bukit Tunggal

adalah mayoritas lamban belajar atau slow learner,

maka perkembangan atau prestasi akademik ABK

tersebut hanya mencapai rerata atau standar KKM.

Semua ABK bisa naik kelas karena pada evaluasi

penilaian, standar KKM diturunkan menyesuaikan

kemampuan ABK tersebut. Sementara itu, sekolah

wajib menaikkan level ABK atau ABK berhak naik

kelas, tidak boleh tinggal kelas. Hal ini disampaikan

oleh Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara

sebagai berikut:

Karena sejauh ini jenis kebutuhan ABK di sekolah

hanya slow learner dan KKMnya kami turunkan karena

menyesuaikan kemampuan siswa, maka perkembangan

anak cukup baik. Dalam artian, ABK mampu mencapai

nilai standarnya.

Sementara, perkembangan non akademik ABK

juga dapat dikatakan cukup baik atau rerata. “Untuk

prestasi bidang non akademik dari ABK juga tidak

nampak begitu signifikan atau bisa dikatakan masih

rata-rata saja”, ucap wali kelas dalam wawancara.

Hal senada juga disampaikan oleh salah seorang

guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:

Page 16: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

46

Perkembangan secara akademik dari ABK tidak terlihat begitu signifikan dan menonjol. Sejauh ini, ABK hanya

mencapai rata-rata dengan nilai yang standar karena

soal-soal yang dibuat saat kegiatan evaluasi di kelas

dipermudah sesuai kemampuan ABK. Dari segi non

akademik, prestasi siswa juga sebatas rata-rata dan tidak begitu menonjol.

Selain dampak pelaksanaan program terhadap

perkembangan prestasi ABK, dampak lain yang muncul

adalah terlayaninya SDN 6 Bukit Tunggal memiliki

peserta didik yang memiliki kebutuhan

khusus/kelainan sejumlah 43 anak dengan 1 jenis

kelainan yaitu lamban belajar (slow learner). Kepala

sekolah menyebutkan bahwa “sebanyak 43 ABK di

sekolah ini memiliki jenis kelainan lamban belajar (slow

learner)”. Sementara walikelas menambahkan bahwa

“semua ABK di sini memiliki kelainan dalam hal lamban

belajar.”

Hasil temuan data lapangan terhadap evaluasi

penyelenggaraan program pendidikan inklusif di SDN 6

Bukit Tunggal dapat dilihat melalui tabel sebagai

berikut:

Tabel 4.1 Ringkasan Hasil Temuan Lapangan

di SDN 6 Bukit Tunggal

Komponen

Evaluasi Substansi Data Lapangan

Context

1. Kebutuhan

yang belum

terpenuhi

1. Sudah menerima ABK

sebelum adanya Perwali dan

pencanangan Kota Pendidikan Inklusif.

2. Populasi yang

dilayani

1. Semua anak yang memiliki

kebutuhan khusus atau

kelainan ringan atau tidak

berat.

3.Peluang/manfaat 1. Kepercayaan dari

Page 17: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

47

masyarakat luas bahwa

sekolah bisa melayani ABK walaupun pelayanan belum

maksimal.

Input

1. Kemampuan

sekolah

1. Sarpras belum memadai

dan masih terbatas.

2. Perencanaan

1. Semua pihak di dalam

sekolah ikut terlibat kecuali

tenaga ahli/profesional/psikolog/G

PK.

3. Sumber dana

1. Belum ada dana khusus

bagi ABK, menggunakan

dana BOS.

4. Staf/SDM

1. Belum ada GPK.

2. Kemampuan guru masih

terbatas. 3. Belum ada pelatihan

khusus bagi guru.

Process

1. Monitoring/

evaluasi

1. Monev berisi surat

permohonan dan

pemberitahuan dari Kasi.

SLB Disdikpora pada bulan Nopember 2014.

2. Kompetensi

SDM

1. Materi/bahan ajar dan

kurikulum yang digunakan

tetap sama/umum.

Bimbingan yang diberikan

perlu penyesuaian dengan

kebutuhan ABK.

3. Pelaksanaan

kegiatan pembelajaran/

pendampingan

1. Pengajaran dan

pendampingan

sama/umum, namun

terkadang secara individual

dengan menyesuaikan

terhadap kebutuhan/kemampuan

ABK.

2. ABK boleh mengikuti

kegiatan ekstrakurikuler

sesuai kemampuan.

4. Efektivitas

sarpras

1. Manfaat sarpras bagi ABK dan guru tidak signifikan

karena sarpras yang dimiliki

dan digunakan merupakan

sarpras milik sekolah

sendiri dan belum ada

Page 18: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

48

bantuan khusus/fasilitas

dari Dinas terkait.

5. Masalah/

kendala yang

dihadapi

1. GPK belum ada, sarpras belum memadai, &

pelatihan khusus bagi guru

tidak ada.

2. Kendala-kendala tadi bisa

diatasi.

Product

1. Prestasi/ perkembangan

ABK

1. Perkembangan dari segi akademik dan non

akademik cukup baik atau

rata-rata.

2. Jumlah ABK

yang terlayani

2. 43 ABK dengan jenis

kelainan lamban belajar (slow learner).

4.3.1 Hasil Evaluasi Penyelenggaraan Program

Pendidikan Inklusif di SMP Negeri 3

4.2.3.1 Evaluasi Context Penyelenggaraan

Program Pendidikan Inklusif di SMPN 3

SMPN 3 merupakan salah satu sekolah di

Palangka Raya yang juga melaksanakan program

pendidikan inklusif. Sebelum pencanangan kota

Palangka Raya sebagai Kota Pendidikan Inklusif pada

tahun 2014 lalu, sekolah ini sudah mulai menerima

ABK sejak tahun 2008. Hal ini terbukti dari SK

Disdikpora tahun 2008 yang ditujukan kepada sekolah

ini sebagai sekolah piloting (percontohan) pendidikan

inklusif. Selain pemberlakuan SK tersebut, SMPN 3

mendapat banyak permintaan dan kepercayaan dari

orang tua yang memiliki ABK agar dilayani dan diterima

di sekolah ini. Dengan demikian, sekolah sambil

berjalan dan berproses dalam melayani ABK walaupun

hasil pelayanan yang diberikan belum maksimal. Hal

Page 19: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

49

yang melatarbelakangi sekolah untuk menjalankan

program pendidikan inklusif tersebut dijelaskan pula

oleh Kepala SMN 3 dalam wawancara sebagai berikut:

Jadi saya pikir sekolah ini dengan pemimpin terdahulu

pun memang sudah terbuka menerima dan melayani

siswa demikian. Hal ini juga didukung dari adanya SK

dari Disdikpora pada tahun 2008 dimana sekolah ini

wajib menerima ABK. Ada beberapa anak yang harus dilayani di sekolah ini mengingat begitu banyak

permintaan dan kepercayaan para orang tua yang

memiliki ABK untuk dilayani dan diterima di sekolah

ini. Kebanyakan siswa demikian juga berdomisili di

Kecamatan Jekan Raya, rumah yang berdekatan

dengan sekolah ini.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, sasaran dari

program tersebut sudah tentu peserta didik yang

memiliki jenis kebutuhan khusus/kelainan yang

variatif atau ABK. Namun, karakteristik dari jenis

kebutuhan khusus, kelainan atau kecacatan yang

ditolerir oleh sekolah adalah jenis yang ringan dan

anak masih bisa mengikuti pelajaran. Dalam hal ini,

sekolah masih belum bisa melayani ABK dengan jenis

kebutuhan, kelainan atau kecacatan yang cukup

bahkan berat. Hal ini dikarenakan kemampuan sekolah

dari segi SDM atau tenaga pengajar khusus, sarpras,

dana dan sebagainya belum memadai. Kepala SMPN 3

menjelaskan bahwa “apabila jenis ketunaan anak

masuk dalam kategori parah atau berat, maka kami

akan menyampaikan dan mengusulkan kepada orang

tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah atau

pendidikan khusus”.

Sejak 2008 hingga saat ini, SMPN 3 masih terbuka

dalam menerima ABK yang memiliki jenis kebutuhan

Page 20: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

50

khusus, kelainan atau kecacatan yang ringan. Hal ini

juga terbukti dari adanya pendaftaran dan penerimaan

ABK di setiap tahun ajaran baru. Dengan demikian,

sekolah mendapat kepercayaan dari masyarakat karena

ABK bisa diterima dengan baik. Selain itu, hubungan

sekolah dengan orang tua ABK juga terjalin baik dan

saling terbuka dalam perkembangan anak. Hal ini

disampaikan oleh Kepala SMPN 3 dalam wawancara

sebagai berikut:

Dengan keterbukaan sekolah dalam menerima dan

berusaha melayani ABK maka sekolah juga

mendapatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat. Masyarakat mendapatkan haknya dalam hal

pemerataan akses pendidikan bagi anak-anaknya. Oleh

karena itu, sekolah juga berharap adanya kerja sama

dari orang tua.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka

manfaat yang diterima sekolah dalam menjalankan

program pendidikan inklusif ialah kepercayaan

masyarakat dan hubungan kerja sama yang terjalin

anatara pihak sekolah dengan orang tua ABK.

4.2.3.2 Evaluasi Input Penyelenggaraan Program

Pendidikan Inklusif di SMPN 3

Sejak tahun 2008, SMPN 3 sudah menjalankan

program pendidikan inklusif dan menerima peserta

didik dengan kebutuhan khusus, kelainan atau

kecacatan tertentu yang masih tergolong ringan.

Sekolah melayani ABK dengan ketersediaan sarana

prasarana yang masih terbatas karena sarpras khusus

bagi ABK belum ada. Sebelumnya, Pemko pernah

memberikan bantuan fasilitas berupa kursi roda

sebanyak 4 buah namun alat bantu ini belum

Page 21: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

51

digunakan dan diarahkan sebagaimana mestinya oleh

sekolah. Hal ini dikarenakan belum ada pantauan

ulang yang dilakukan langsung dari Pemko. Secara

personal, sekolah pernah mengajukan pembukaan atau

pengadaaan ruang khusus bagi ABK namun hingga

saat ini belum ada realisasi atau respon balik dari

Dinas terkait. Hal ini disampaikan oleh Kepala SMPN 3

dalam wawancara sebagai berikut:

Untuk saat ini, kami belum mempunyai sarpras

khusus bagi ABK terkait jenis kebutuhan ABK di sini

juga memang tidak begitu parah dan masih bisa

ditangani. Namun, kami pernah mengusulkan kepada

Dinas terkait untuk membuka kelas/ruang khusus bagi ABK tapi hingga saat ini belum direalisasi.

Sementara, guru BK menjelaskan bahwa “Pemko

pernah memberikan kursi roda sebanyak 4 buah

sebagai alat bantu bagi ABK namun belum kami

gunakan. Untuk prasarana lainnya belum ada seperti

ruang khusus dll”.

SMPN 3 menjalankan program pendidikan inklusif

dengan melibatkan semua pihak sekolah di dalamnya

yang meliputi kepala sekolah, komite sekolah,

pengawas sekolah, wakasek (bidang SIM, kesiswaan,

kurikulum, sarana prasarana, dan humas), seluruh

guru kelas, guru BK/pendamping dan walikelas, dan

staf TU. “Program tersebut melibatkan semua warga

sekolah, mulai dari kepala sekolah, komite sekolah,

pengawas sekolah, wakasek, guru kelas, guru

BK/pendamping dan walikelas, dan staf”, ungkap guru

dalam wawancara.

Page 22: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

52

Keterlibatan dari pihak luar sekolah dalam

pelaksanaan program pendidikan inklusif di SMPN 3

belum ada. Sekolah belum pernah mendapat

kunjungan atau keikutsertaan dari profesional.

Menurut wawancara dengan Kepala SMPN 3, GPK

langsung dari SLBN 1 pernah terlibat dalam menangani

seorang ABK yang didatangkan atas keinginan dan

inisiatif orang tua anak itu sendiri. Guru BK

menyampaikan hal serupa bahwa “sekolah belum

pernah mendapatkan bantuan tenaga profesional. Kami

hanya mengandalkan kemampuan dari guru BK saja”.

Adapun dalam hal sumber dana, pada tahun 2012

SMPN 3 pernah mendapat bantuan dana dari

Pemerintah Pusat yang digunakan untuk mendukung

ABK dalam meningkatkan keterampilan serta bantuan

dana berupa beasiswa bagi ABK yang berprestasi.

Selain itu, pada tahun 2014 bidang Dikdas Disdikpora

memberikan bantuan beasiswa ABK-PKLK kepada 7

ABK. Selain itu, dana BOS digunakan untuk membantu

sisa ABK lainnya yang belum mendapatkan bantuan

dana khusus dan beasiswa dari Dinas terkait. Hal ini

disampaikan oleh Kepala SMPN 3 dalam wawancara

sebagai berikut:

Untuk saat ini, sekolah belum mendapatkan bantuan

dana khusus bagi ABK lainnya sementara jumlah ABK

kian bertambah. Jadi selama ini, dana kami ambil dari

BOS yang diberikan kepada seluruh siswa termasuk

ABK. Hal ini dikarenakan, penggunaan dana BOS tidak

memandang latar belakang siswa baik siswa reguler maupun ABK.

Dalam pelaksanaan program pendidikan inklusif,

SMPN 3 mengandalkan penanganan dan

Page 23: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

53

pembimbingan dari guru BK yang dianggap sekolah

sebagai GPK, dimana jumlah guru BK yang tersedia ada

5 orang. Dalam hal ini, sekolah belum mempunyai GPK

dan belum pernah mendapatkan bantuan khusus

berupa GPK dari Dinas terkait. Kepala SMPN 3

menjelaskan bahwa “sekolah belum memiliki GPK dan

belum mendapat bantuan GPK dari Dinas Pendidikan

Provinsi maupun Kota. Sejauh ini, secara khusus ABK

langsung ditangani dan didampingi oleh guru

BK/pendamping”.

Berdasarkan wawancara bersama salah seorang

guru BK, penanganan dan pendampingan ABK secara

langsung dan individual merupakan tanggung jawab

guru BK. Sementara, guru kelas berupaya melayani

ABK di kelas walaupun dengan kemampuan yang serba

terbatas. Hal ini disebabkan karena guru bukan berasal

atau berlatar belakang pada pendidikan khusus

maupun karena belum mendapatkan pelatihan khusus.

“Kami hanya melayani semampunya saja karena tidak

memiliki kemampuan atau latar belakang khusus dalam

mendampingi ABK”, ungkap guru tersebut.

Dalam rangka pelaksanaan program pendidikan

inklusif, SMPN 3 pernah mendapat undangan dari

Disdikpora guna mengikuti kegiatan sosialisasi,

workshop bahkan pelatihan khusus bagi peningkatan

kompetensi guru. Pihak sekolah yang pernah terlibat

dalam kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagian guru

kelas dan guru BK. Hal ini disampaikan oleh Kepala

SMPN 3 dalam wawancara sebagai berikut:

Page 24: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

54

Jadi saya sendiri pernah ikut serta dan memilih

beberapa guru kelas, wali kelas, dan guru BP untuk

ikut serta dalam kegiatan tersebut. Namun pelatihan

secara khusus bagi semua guru belum ada atau belum merata. Terakhir kemarin, salah satu guru BP

mendapatkan surat tugas dari Disdikpora untuk

mengikuti kegiatan Bimtek penyusunan kurikulum

PK/PLK.

Hal serupa disampaikan oleh salah seorang guru

BK dalam wawancara sebagai berikut:

Saya sudah mengikuti pelatihan dan workshop

sebanyak 3 kali perihal pendidikan inklusif yang

diselenggarakan oleh Disdikpora. Saya pernah mendapat tugas dari Kepala Disdikpora untuk

mengikuti kegiatan bimbingan teknis (Bimtek)

penyusunan kurikulum PK-PLK Prov. Kalteng tahun

2015 pada tanggal 23-28 Maret 2015 lalu.

Sementara itu, pemberian atau pengadaan

pelatihan khusus bagi guru kelas yang belum merata

disampaikan oleh salah seorang guru kelas dalam

wawancara sebagai berikut:

Memang ada beberapa guru yang pernah atau sudah

mengikuti kegiatan sosialisasi, workhsop dan pelatihan.

Namun, saya pribadi belum pernah. Sehingga, saya pun belum begitu memahami bagaimana penanganan

yang benar dan tepat bagi ABK dalam proses belajar

mengajar.

Dengan demikian, beberapa pihak sekolah di

SMPN 3 seperti kepala sekolah, beberapa guru kelas

dan guru BK pernah mengikuti kegiatan workshop,

sosialisasi maupun pelatihan khusus yang

diselenggarakan oleh Disdikpora maupun PK-PLK

dalam rangka penyelenggaraan program pendidikan

inklusif di kota Palangka Raya.

Page 25: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

55

4.2.3.3 Evaluasi Process Penyelenggaraan

Program Pendidikan Inklusif di SMPN 3

Berdasarkan kebijakan Disdikpora yang ditujukan

kepada semua sekolah di kota Palangka Raya untuk

melaksanakan program pendidikan inklusif dan secara

serentak dideklarasikan pada 18 Oktober 2014 lalu,

Disdikpora kemudian mengeluarkan dan menyebarkan

surat permohonan dan pemberitahuan perihal monev

sekolah ABK. Semua sekolah dari seluruh tingkat

satuan pendidikan baik berstatus negeri maupun

swasta menerima surat tersebut. Dengan demikian,

SMPN 3 juga mendapat surat tersebut untuk kemudian

ditanggapi. Hal ini disampaikan oleh Kepala SMPN 3

dalam wawancara sebagai berikut:

Setelah pencanangan Kota Pendidikan Inkluisf pada

bulan Oktober 2014 lalu, sekolah mendapat surat

permohonan dan pemberitahuan dari Disdikpora, perihal monev sekolah ABK. Melalui surat ini, sekolah

diminta untuk mengidentifikasi tiap peserta didik yang

memiliki kelainan, melakukan pendataan sesuai format

dan segera melaporkan ke Dinas tersebut untuk segera

ditindaklanjuti.

Dalam hal pembelajaran, guru kelas tetap

menggunakan kurikulum umum, materi ajar, dan

sistem penilaian yang sama baik bagi siswa reguler

maupun ABK. Dengan demikian, guru tidak menyusun

perencanaan khusus dalam pembelajaran yang

diberikan pada ABK. Sama halnya dengan penggunaan

kurikulum, materi ajar, dan sistem penilaian maka

dalam proses pembelajaran guru kelas juga

memperlakukan ABK sama seperti memperlakukan

siswa reguler pada umumnya. Namun, guru akan tetap

Page 26: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

56

menyesuaikan pendampingan dalam mengajar sesuai

kemampuan ABK (layanan secara individual). Hal ini

disampaikan oleh salah seorang guru kelas dalam

wawancara sebagai berikut:

Kami tidak ada menyusun perencanaan pembelajaran

khusus bagi ABK. Sejauh ini ABK masih mengikuti

sistem pembelajaran yang sama dengan teman-temannya. Namun dalam penanganannya di kelas,

kami memberikan pelayanan atau bimbingan yang

lebih kepada ABK tersebut. Jadi dalam proses

mengajar, kami hanya menyesuaikan saja dengan

kemampuan ABK.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan proses

pembimbingan atau pendampingan yang diberikan oleh

guru BK kepada ABK. Hal ini disampaikan oleh salah

seorang guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

Tidak ada perencanaan atau penyusunan

materi/lembar kerja khusus bagi ABK secara tertulis.

Semua dilakukan sesuai jadwal kerja atau piket kami selaku guru BP dalam melayani jika ada siswa yang

bermasalah atau perlu pendampingan khusus di ruang

BK secara berkesinambungan. Namun jika ada hal

yang krusial dan mendadak dari guru kelas yang

membutuhkanpenanganan atau pendampingan khusus dari kami maka kami akan mendatangi kelas dan

langsung menangani ABK tersebut.

SMPN 3 memiliki banyak kegiatan ekstrakurikuler

dari berbagai bidang seperti ekskul di bidang olahraga,

kesenian, kemanusiaan/sosial, SAINS, kesehatan,

keterampilan memasak, dan lain-lain. Adapun kegiatan

ini dibuka dan diberikan kepada semua siswa baik

siswa reguler maupun ABK. Jadi, ABK boleh mengikuti

kegiatan tersebut sesuai dengan kemampuan, bakat,

minat dan ketertarikannya. Kepala SMPN 3

mengatakan “tentunya, kegiatan ini terbuka untuk

semua siswa termasuk ABK”.

Page 27: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

57

Hal senada disampaikan pula oleh salah seorang

guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

Semua siswa di sini memiliki kebebasan untuk memilih

dan mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler, termasuk diikuti oleh ABK. Jadi kegiatan ini terbuka

untuk semua siswa sesuai dengan kemampuan, hobi

dan bakat dari anak itu sendiri.

Selain itu, hal serupa juga disampaikan oleh salah

seorang guru kelas dalam wawancara bahwa “kegiatan

ekstrakurikuler di sekolah ini terbuka untuk semua

siswa. Jadi, ABK sangat boleh mengikuti kegiatan ini

sesuai dengan kemampuan, hobi, minat dan

ketertarikannya”.

Berhubung jenis kebutuhan khusus atau kelainan

ABK di SMPN 3 sejauh ini ringan dan masih bisa tolerir

yaitu tuna daksa dan slow learner, maka sarpras

umum yang dimiliki sekolah masih bisa membantu

ABK tersebut. Alat bantu kursi roda yang diberikan

oleh Disdikpora hingga saat ini belum digunakan dan

diarahkan kepada ABK yang membutuhkan. Selain itu,

prasarana lain seperti jalan khusus untuk jalur kursi

roda dan ruang khusus belum ada. Oleh karena itu,

sarana prasarana baik yang sudah diberikan Dinas

terkait maupun yang belum ada dapat dikatakan belum

bermanfaat atau berdampak bagi ABK dan guru yang

menangani ABK. Hal tersebut disampaikan oleh salah

seorang guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

Meskipun, sekolah sudah mendapat bantuan kursi

roda dari Pemko, namun karena belum adanya

pemeriksaan dari Dinas terkait maka kami belum berani menggunakan kursi ini untuk anak tersebut.

Sejauh ini sarana berupa kursi roda sudah ada namun

belum digunakan dan prasarana masih belum ada

Page 28: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

58

juga. Sehingga manfaat pengadaannya pun belum terlihat. Manfaat dari pengadaan sarpras belum terlihat

begitu sigifikan. Selain itu, prasarana juga belum ada

sehingga belum ada manfaat yang terlihat dari segi

prasarana.

Hal serupa juga disampaikan oleh salah seorang

guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:

Sarpras yang memang ada sejak awal dan disediakan

dari sekolah memang digunakan dan dimanfaatkan

oleh ABK juga walaupun sebenarnya sarpras yang ada diperuntukkan bagi semua siswa. Jadi, manfaatnya

yang nampak bagi ABK tidak begitu signifikan dan

biasa-biasa saja. Sama halnya dengan jawaban di atas

dimana manfaat adanya sapras yang ada dalam

melayani ABK, bagi saya tidak begitu signifikan.

Dari proses berjalannya program pendidikan

inklusif di SMPN 3, ada beberapa kendala yang

menyebabkan pelaksanaan program tersebut belum

maksimal. Kendala yang dimaksud meliputi tidak

adanya GPK/tenaga profesional khusus, sarpras belum

memadai, dan kurangnya pemerataan dalam

memberikan kesempatan untuk guru lainnya dalam

mengikuti pelatihan khusus. Hal tersebut disampaikan

oleh Kepala SMPN 3 dalam wawancara sebagai berikut:

Paling tidak masing-masing sekolah harus mempunyai

1 GPK berdasarkan perintah dan tugas dari Dinas terkait. Kemudian, sarpras belum mendukung dalam

hal ruang khusus untuk mendampingi ABK dalam

latihan keterampilan, pelajaran tambahan dan lain-

lain. Terakhir, banyak guru kelas yang kurang

pengalaman dalam menangani ABK yang bisa

disebabkan juga karena kurangnya kegiatan sosialisasi, workshop atau pelatihan tentang penanganan ABK

dalam lingkup pendidikan inklusif.

Hal senada juga disampaikan oleh salah seorang

guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:

Page 29: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

59

Kendalanya antara lain adalah kurangnya pemerataan terhadap pemberian/pengadaan pelatihan, workshop

maupun sosialisasi bagi sebagian guru. Kedua, tenaga

GPK yang tidak ada sehingga ABK belum terlayani oleh

sekolah dengan baik dan sebagaimana mestinya. Selain

itu, sarpras belum memadai dalam memfasilitasi ABK.

Di samping itu, kendala lain yang ditemukan

adalah tidak ada monitoring dari Dinas terkait

pelaksanaan program pendidikan inklusif di sekolah.

Hal ini disampaikan oleh salah seorang guru BK dalam

wawancara sebagai berikut:

Selain itu, belum adanya pengawasan atau kegiatan

monitoring khusus dari Pemko terhadap proses

pelaksanaan program di sekolah. Hal ini berakibat pada

salah satunya yaitu penggunaan kursi roda yang belum

bisa diarahkan atau dilaksanakan.

Dari kendala-kendala di atas, semua pihak yang

terlibat dalam pelaksanaan program pendidikan

inklusif di SMPN 3 berharap agar ada solusi dan

perbaikan dari Dinas terkait serta dukungan dari pihak

sekolah dan masyarakat. Dengan demikian, sekolah

bisa menjalankan tugas dan tanggung jawabnya

dengan baik dalam mensukseskan program tersebut.

“Harapan saya semoga kendala-kendala di atas tadi

bisa teratasi segera mungkin demi menunjang

pelaksanaan program tersebut”, imbuh seorang guru

BK dalam wawancara. Harapan lainnya adalah kegiatan

sosialisasi yang lebih gencar yang dilakukan oleh Dinas

terkait untuk kemudian disampaikan kepada

masyarakat luas. Hal ini disampaikan oleh salah

seorang guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:

Harapan saya adalah kendala di atas bisa teratasi. Kemudian, Pemko/Dinas setempat lebih gencar lagi

dalam mensosialisasikan program tersebut ke sekolah-

Page 30: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

60

sekolah, masyarakat luas dan terhhusus kepada orang tua .

Berdasarkan hasil wawancara bersama Kepala

SMPN 3, harapan yang sama pula disampaikan agar

kendala-kendala bisa teratasi. Selain itu, sekolah

berharap agar rencana penyusunan standar KKM

dalam hal evaluasi belajar ABK pada TA 2015/2016

bisa berjalan baik dan mendapat dukungan dari

banyak pihak baik SDM yang ada di sekolah maupun

informasi atau panduan dari Dinas terkait.

4.2.3.4 Evaluasi Product Penyelenggaraan

Program Pendidikan Inklusif di SMPN 3

Dampak penerapan pendidikan inklusif terhadap

perkembangan atau prestasi ABK dari segi akademik

dan non akademik merupakan produk atau hasil yang

dicapai dari suatu pelaksanaan program. Berhubung

SMPN 3 memiliki ABK dengan jenis kebutuhan khusus

atau kelainan yang ringan dan bisa ditolerir, maka

perkembangan akademik ABK termasuk cukup baik

atau rata. Selain itu, beberapa ABK juga memiliki

prestasi cukup baik dalam bidang non akademik. Hal

ini disampaikan oleh Kepala SMPN 3 dalam wawancara

sebagai berikut:

Sejauh ini, perkembangan akademik ABK bisa

dikatakan rata-rata atau cukup baik, mengingat bahwa jenis ketunaannya ringan yaitu hanya fisik dan

intelektual yang masih bisa mengikuti/mengejar

pelajaran. Dari bidang non akademik, ABK cukup

berprestasi dan membanggakan.

Hal serupa juga disampaikan oleh salah seorang

guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

Page 31: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

61

Pencapaian prestasi untuk ABK slow learner dikatakan masih standar atau hanya rata-rata KKM. Sementara

anak tuna daksa juga mencapai standar KKM sesuai

kurikulum umum/reguler. Dari bidang non akademik,

memang ada beberapa ABK yang berprestasi misal

dalam bidang keterampilan memasak.

Hal senada disampaikan oleh salah seorang guru

kelas dalam wawancara sebagai berikut:

Mengacu pada jenis kebutuhan khusus/kelainan ABK

di sekolah saat ini yang hanya tuna daksa (namun memiliki IQ yang bagus) dan slow learner, maka

prestasi akademik bagus bagi siswa yang tuna daksa

tadi dan rerata KKM bagi siswa yang slow learner.

Sementara dari segi non akademik, ada beberapa ABK

yang berprestasi baik.

Mengingat bahwa SMPN 3 sudah menerima ABK

sejak tahun 2008 maka sekolah ini sudah meluluskan

beberapa ABK dengan prestasi akademik dan non

akademik yang cukup baik. Di samping itu, banyak

lulusan ABK dari SMPN 3 ini yang melanjutkan ke

jenjang studi yang lebih tinggi.

Selain perkembangan atau prestasi ABK, dampak

juga terlihat pada banyaknya ABK yang terlayani.

Berhubung sasaran dari program tersebut adalah

peserta didik dengan jenis kebutuhan khusus, kelainan

atau kecacatan yang masih bisa ditolerir, maka ABK

yang saat ini masih dilayani dan terdata di sekolah ada

sekitar 12 anak dengan jenis kelainan tuna daksa dan

slow learner. “Jenis kebutuhan khusus/kelainan dari

ABK di sini ada 2 yaitu tuna daksa dan slow learner.

Hingga saat ini jumlah ABK yang terdata di sekolah ini

ada sekitar 12 siswa”, ungkap Kepala SMPN 3.

Sementara berdasarkan pernyataan guru BK, jenis

kebutuhan khusus/kelainan dari ABK sekolah tersebut

Page 32: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

62

hanyaada 2 yaitu tuna daksa (tidak bisa berjalan) dan

slow learner.

Hasil temuan data lapangan terhadap evaluasi

penyelenggaraan program pendidikan inklusif di SMPN

3 dapat dilihat melalui tabel sebagai berikut:

Tabel 4.2

Ringkasan Hasil Temuan Lapangan di SMPN 3

Komponen

Evaluasi Substansi Data Lapangan

Context

1. Kebutuhan yang

belum terpenuhi

1. Sudah menerima ABK

berdasarkan SK dari

Disdikpora (2008), kemudian secara

serentak seluruh sekolah

se-kota Palangka Raya

pada tahun 2014.

2. Populasi yang dilayani

1. Siswa dengan jenis

kebutuhan khusus/kelainan variatif

yang ringan atau tidak

berat/parah sekali.

3. Peluang/manfaat

1. Pemerataan akses

pendidikan bagi

masyarakat dan sekolah

mendapat kepercayaan dan dukungan balik.

Input

1. Kemampuan

sekolah

1. Sarpras belum memadai

(kelas/ruang khusus)

namun ada bantuan

kursi roda.

2. Perencanaan

1. Semua pihak di dalam

sekolah ikut terlibat, kecuali dari pakar/tenaga

ahli/psikolog/GPK.

3. Sumber dana

1. Bantuan beasiswa ABK-

PKLK kepada 7 siswa

tahun 2014 dan saat ini

masih menggunakan dana BOS karena belum

ada bantuan dana

khusus bagi ABK lainnya,

Page 33: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

63

yang tidak mendapat

bantuan beasiswa di atas.

4. Staf/SDM

1. Tidak ada GPK dan ditangani langsung oleh

guru BK.

2. Sebagian guru mampu

dan sebagian masih

terbatas/kesulitan. 3. Sebagian guru sudah

mendapat pelatihan

khusus.

Process

a. Monitoring/ Evaluasi

1. Monev berisi surat

permohonan dan

pemberitahuan dari Kasi. SLB Disdikpora pada

bulan Nopember 2014.

b. Kompetensi SDM

1. Materi/bahan ajar dan

kurikulum yang

digunakan di kelas masih

sama/umum. Bimbingan khusus dilakukan secara

individual dan

berkesinambungan

sesuai dengan kebutuhan

ABK.

c. Pelaksanaan

kegiatan

pembelajaran/

pendampingan

1. Proses pembelajaran dan

pembimbingan di dalam/luar kelas masih

sama/umum namun ada

pelayanan/penanganan

secara individual.

2. Kegiatan ekstrakurikuler terbuka bagi ABK.

d. Efektivitas sarpras

1. Manfaat sarpras bagi ABK

dan guru belum

signifikan karena belum

memadai dan

penggunaan alat bantu

kursi roda yang belum diarahkan.

5. Masalah/

kendala yang

dihadapi

1. GPK tidak ada, sarpras

belum memadai, dan

kurang merata dalam

pemberian/pengadaan

pelatihan khusus bagi guru, dan tidak ada

Page 34: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

64

monitoring dari Dinas

terkait. 2. Kendala-kendala bisa

teratasi, Dinas terkait

lebih gencar dalam

kegiatan sosialisasi

kepada masyarakat, dan rencana penyusunan

standar KKM untuk TA

2015/2016 bisa berjalan

baik dan terealisasi.

Product

1. Prestasi/

perkembangan

ABK

1. Prestasi akademik dan

non akademik rata-

rata/cukup baik.

2. Jumlah ABK yang

terlayani

2. Ada sekitar 12 siswa dengan jenis ketunaan

tuna daksa dan slow

learner.

4.3.1 Hasil Evaluasi Penyelenggaraan Program

Pendidikan Inklusif di SMA Negeri 4

4.2.3.1 Evaluasi Context Penyelenggaraan

Program Pendidikan Inklusif di SMAN 4

SMAN 4 merupakan salah satu sekolah yang

melaksanakan program pendidikan inklusif di kota

Palangka Raya. Sekolah ini sudah peduli kepada

peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus,

kelainan atau kecacatan sebelum pencanangan kota

Palangka Raya sebagai Kota Pendidikan Inklusif.

Sekolah ini merupakan satu-satunya sekolah yang

ditunjuk sebagai pilot project dari Pemerintah Pusat

bersama Pemprov sebagai perwakilan tingkat SMA

untuk menjalankan program pendidikan inklusif pada

tahun 2009. Sejak inilah banyak permintaan orang tua

ABK untuk menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Hal

Page 35: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

65

tersebut disampaikan oleh Kepala SMAN 4 dalam

wawancara sebagai berikut:

Jadi sekolah ini sudah lama memiliki kepedulian untuk

menerima semua siswa tanpa diskriminasi, apakah siswa tersebut normal atau berkebutuhan khusus. Hal

ini juga berkaitan dengan banyaknya permintaan dan

kepercayaan orang tua ABK yang ingin menyekolahkan

anaknya di sekolah ini. Hingga pada Oktober 2014

kemarin, Disdikpora mengeluarkan kebijakan untuk

menjadikan kota Palangka Raya sebagai Kota Pendidikan Inklusif, maka sekolah kami pun sudah

siap untuk menjalankan tugas itu meskipun masih

banyak hambatan.

Berdasarkan wawancara di atas, maka sasaran

dari program tersebut adalah peserta didik dengan jenis

kebutuhan khusus, kelainan, atau kecacatan ringan.

Identifikasi jenis kebutuhan khusus, kelainan, atau

kecacatan ini dilakukan sekolah dengan bantuan

psikolog dalam proses penerimaan peserta didik baru.

SMAN 4 masih belum mampu menerima ABK dengan

jenis kelainan atau kecacatan yang berat. Keterbatasan

sekolah dalam hal SDM atau tidak adanya GPK dan

sarpras menjadi kendalanya. Hal ini disampaikan oleh

Kepala SMAN 4 dalam wawancara sebagai berikut:

Jadi kami menerima ABK yang masih bisa kooperatif

dan mandiri. Jika, ABK tergolong memiliki

kelainan/ketunaan yang berat, belum bisa kooperatif

dan mandiri maka kami mengusulkan kepada orang

tua untuk menyekolahkan anak tersebut di sekolah atau pendidikan khusus.

Dengan keterbukaan dan kepedulian SMAN 4

dalam menerima ABK dengan jenis kebutuhan khusus,

kelainan, atau kecacatan ringan sejak 2009 hingga saat

ini, sekolah mendapat kepercayaan dari orang tua dan

masyarakat bahwa sekolah ini menerima ABK. Hal ini

Page 36: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

66

terbukti dari jumlah ABK yang makin bertambah. Oleh

karena itu, penanganan khusus yang lebih intensif

harus dipersiapkan sekolah berdasarkan bantuan dari

Dinas terkait dan dukungan dari masyarakat luas.

4.2.3.2 Evaluasi Input Program Pendidikan

Inklusif di SMAN 4

Dalam melaksanakan program pendidikan inklusif

sebagai pilot project sejak tahun 2009, SMAN 4

mendapat bantuan dari Pemerintah Pusat berupa alat

bantu seperti kacamata, tongkat pandu/alat bantu

jalan, dan laptop. Ketersediaan alat bantu ini

bermanfaat dan berguna bagi ABK dan sudah sesuai

dengan jenis kebutuhan khusus, kelainan atau

ketunaan ABK. Di lain hal, sekolah juga mendapatkan

bantuan prasarana namun dalam keadaan belum

lengkap. Hal ini disampaikan oleh Kepala SMAN 4

dalam wawancara sebagai berikut:

Lepas dari sarpras yang memang sudah ada dan

disediakan oleh sekolah sendiri, sekolah ini juga pernah mendapatkan bantuan dari pusat perihal pelaksanaan

program pendidikan inklusif sejak tahun 2009 berupa

alat bantu seperti kacamata, tongkat pandu/alat bantu

jalan, dan laptop. Hanya dari segi prasarana masih

belum lengkap. Jadi sejauh ini, sekolah masih cukup

bisa memenuhi kebutuhan ABK sesuai dengan kebutuhan/ketunaan mereka.

Hal serupa dijelaskan oleh salah seorang

guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

Pada tahun 2012, sekolah ini mendapat bantuan dari

PK-PLK berupa alat bantu seperti kursi roda, kacamata,

laptop, tongkat jalan/penyangga. Semua alat bantu

yang diberikan ini sudah sesuai dengan jenis ketunaan

yang dimiliki ABK. Prasarana LAB khusus dan jalur

khusus bagi ABK yang memakai kursi roda juga sudah

Page 37: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

67

ada. Jadi sejauh ini, sekolah masih cukup bisa memenuhi kebutuhan ABK sesuai dengan

kebutuhan/ketunaan mereka.

Berdasarkan hasil wawancara bersama Kepala

SMAN 4 dan guru BK di atas, ketersediaan sarpras

dinyatakan sudah sesuai dengan jenis kebutuhan ABK.

Kedua nara sumber tersebut menambahkan pula

bahwa SMAN 4 memiliki 15 ABK dengan jenis ketunaan

tuna daksa, tuna rungu ringan, hiperaktif, autis, low

vision dan slow learner. “Jenis ketunaan ABK di sini

ada 6 seperti tuna daksa, tuna rungu ringan,

hiperaktif, autis, low vision dan slow learner”, imbuh

Kepala SMAN 4 dalam wawancara.

Dalam hal perencanaan pelaksanaan program

pendidikan inklusif di SMAN 4, pihak yang telibat di

dalamnya adalah semua pihak sekolah. Kerja sama dan

dukungan dari semua pihak di sekolah meliputi

keterlibatan dari kepala sekolah, komite, pengawas,

wakasek, wali kelas, guru mapel dan guru

BK/pendamping bahkan pihak luar sekolah seperti PK-

PLK dan psikolog. Keterlibatan dari pihak luar sekolah

juga diperoleh dari adanya dukungan dan kerja sama

dari orang tua ABK. Guru BK menjelaskan bahwa

“yang terlibat dalam pelaksanaan program ini di sekolah

adalah kepala sekolah, guru BK, wali kelas, guru mapel,

serta orang tua dari ABK itu sendiri”.

Selain itu, dalam proses penerimaan peserta didik

baru, sekolah ini mendapat bantuan dari psikolog

dalam mengidentifikasi jenis ketunaan peserta didik

baru. Selain itu, PK-PLK juga pernah ikut terlibat.

Page 38: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

68

Kepala SMAN 4 menyampaikan bahwa “sekolah ini

pernah mendapat pendampingan PK-PLK oleh perguruan

tinggi dalam bentuk pelaksanaan workshop/lokakarya

yang dilaksanakan di sekolah ini pada tanggal 22

Nopember 2013 lalu”. Hal serupa juga disampaikan oleh

salah seorang guru BK dalam wawancara sebagai

berikut:

Sekolah secara rutin mendapatkan bantuan dengan

andil para psikolog dalam mengidentifikasi jenis

ketunaan peserta didik baru pada saat PPDB. Selain itu, pihak pusat sering memonitor, memberikan

bantuan fasilitas/alat bantu, mengadakan

workshop/lokakarya, dan pelatihan pembuatan

kurikulum modifikasi bagi ABK yang berlangsung di

sekolah ini.

Dalam pelaksanaan program pendidikan inklusif

ini, SMAN 4 menggunakan dana yang berasal dari

bantuan APBD. Hal ini disampaikan oleh Kepala SMAN

4 dalam wawancara sebagai berikut:

Untuk saat ini, dana yang digunakan dalam melayani

ABK dan menjalankan program pendidikan inklusif di

sekolah ini, berasal dari dukungan APBD yang seyogyanya secara umum juga digunakan dalam

melayani siswa reguler. Secara khusus bagi pelayanan

ABK, sekolah belum mendapatkan bantuan/dana

khusus.

Sejak pelaksanaan program pendidikan inklusif

pada tahun 2009 hingga saat ini, SMAN 4 belum

memiliki GPK sama sekali. Penanganan dan

pendampingan ABK di sekolah ini langsung ditangani

oleh guru BK. Kepala SMAN 4 mengungkapkan bahwa

“sekolah ini belum memiliki GPK; ABK di sini hanya

dibimbing langsung dari guru BK sebagai pendamping,

di samping dukungan dan penanganan dari guru kelas

Page 39: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

69

dan wali kelas”. Hal serupa juga disampaikan oleh

salah seorang guru BK dalam wawancara sebagai

berikut:

Sekolah ini belum memiliki GPK. Jadi selama ini ABK

ditangani oleh guru BK, wali kelas, dan guru mapel

dengan modal wawasan dan pengalaman yang pernah

didapat baik dari kegiatan workshop/lokakarya,

pelatihan maupun sosialisasi di dalam maupun di

luar sekolah.

Mengingat sekolah ini tidak memiliki GPK dan

hanya mengandalkan guru BK dalam menangani dan

mendampingi ABK, maka peran guru mapel dalam

mengajar ABK secara langsung sangat penting.

Sebagian guru mapel ada yang sudah mengikuti

kegiatan workshop, sosialisasi atau pelatihan. Dalam

proses di kelas, guru-guru tersebut cukup bisa

menangani ABK dibanding dengan guru-guru yang

belum pernah mengikuti kegiatan tersebut. Hal ini

disampaikan oleh salah seorang guru mapel dalam

wawancara sebagai berikut:

Bagi sebagian guru yang sudah mendapatlan

pengalaman untuk terlibat dalam pelatihan, workshop

dan sosialisasi bisa dikatakan cukup mampu dalam menangani ABK. Namun ada sebagian guru merasa

berat dan kesulitan dalam menangani ABK

dikarenakan guru-guru ini tidak atau belum pernah

mendapat pelatihan.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, pelatihan

khusus untuk meningkatkan kompetensi guru maupun

kepala sekolah dalam rangka pelaksanaan program

pendidikan inklusif di SMAN 4 pernah diberikan

langsung oleh Dinas terkait. “Sebagian guru pernah

mendapatkan pelatihan termasuk saya juga pernah

ambil bagian”, ungkap Kepala SMAN 4 dalam

Page 40: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

70

wawancara. Hal serupa disampaikan oleh salah seorang

guru BK bahwa sebagian guru mapel, wali kelas, dan

guru BK sudah pernah terlibat dalam kegiatan

workshop/lokakarya, pelatihan maupun sosialisasi di

dalam dan luar sekolah. Hal senada juga disampaikan

oleh salah seorang guru mapel dalam wawancara

sebagai berikut:

Saya pernah mendapatkan pelatihan tahun ajaran

2007/2008 dan ikut membimbing ABK di lomba olimpiade. Namun masih ada sebagian guru yang

belum mengikuti atau mendapatkan kesempatan dalam

pelatihan.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, pelatihan

khusus yang diberikan Dinas terkait ternyata belum

merata. Hal ini berdampak kepada kemampuan guru

yang masih terbatas dan kesulitan dalam menangani

ABK sehingga guru berpengalaman dan berwawasan.

Sementara, sebagian guru sudah cukup mampu dalam

menangani ABK di dalam maupun di luar kelas.

4.2.3.3 Evaluasi Process Penyelenggaraan

Program Pendidikan Inklusif di SMAN 4

Setelah pencanangan Kota Pendidikan Inklusif,

Disdikpora kemudian mengeluarkan dan menyebarkan

surat permohonan dan pemberitahuan perihal monev

sekolah ABK pada bulan Nopember 2014. Surat ini

ditujukan kepada seluruh kepala sekolah dari tingkat

satuan pendidikan TK/RA, SD/MI, SMPMTs, dan

SMA/MA baik berstatus negeri maupun swasta di

Palangka Raya. Dengan demikian, SMAN 4 juga

mendapat surat pemberitahuan tersebut. Hal ini

Page 41: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

71

disampaikan oleh Kepala SMAN 4 dalam wawancara

sebagai berikut:

Sekolah ini mendapat surat dari Disdikpora yang berisi

permohonan dan pemberitahuan agar setiap sekolah segera mengidentifikasi tiap peserta didik yang memiliki

kelainan, melakukan pendataan sesuai format dan

segera melaporkan ke Disdikpora untuk segera

ditindaklanjuti. Surat ini diberikan kepada sekolah

pada bulan Nopember 2014.

Dalam hal penyusunan perencanaan pengajaran

seperti RPP dan materi ajar yang dikhususkan bagi

ABK di kelas, guru mapel tetap menggunakan

kurikulum, materi ajar dan sistem penilaian yang sama

dan umum. Dalam hal ini, guru tidak menggunakan

atau membuat materi khusus bagi ABK. Hal ini

disampaikan oleh salah seorang guru mapel dalam

wawancara sebagai berikut:

Kurikulum yang digunakan sama karena K 2013

khusus untuk ABK belum ada. Dari segi/kriteria

penilaian penentuan standar penilaian per mata

pelajaran juga merata secara umum. Jadi memang

sejauh ini anak-anak masih bisa mengikuti sejauh ada bimbingan dan perlakuan individual. ABK

menyesuaikan dengan kurikulum berdasarkan bantuan

dan peran dari guru.

Hal demikian juga dilakukan oleh guru BK dalam

melakukan pendampingan terhadap ABK, yang

disampaikan dalam wawancara sebagai berikut:

Dari segi penyusunan perencanaan pendampingan, guru tidak membuat sesuatu yang khusus berkenaan

dengan kekhususan pada ABK karena jenis ketunaan

anak juga masih bisa dikendalikan dan ditolerir.

Pendampingan yang kami berikan pada dasarnya sama

seperti anak normal.

Sementara untuk proses pengajaran, guru

memberikan materi yang sama baik kepada siswa

Page 42: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

72

reguler maupun ABK. Perlakuan khusus hanya

dilakukan dan disesuaikan dengan kebutuhan dan

kemampuan ABK. “Proses pendampingan diberikan

secara individual baik di ruang BK atau kelas. Guru

menyesuaikan pembimbingan yang diberikan dengan

jenis ketunaan anak”, ungkap guru BK perihal

pendampingan individual yang diberikan kepada ABK.

Hal serupa juga disampaikan oleh salah seorang guru

mapel dalam wawancara sebagai berikut:

Pemberian pengajaran dalam proses belajar mengajar

baik bagi ABK maupun non ABK tetap sama karena

berada dalam 1 kelas. Namun yang membedakan hanyalah pelayanan khusus (individual) kepada ABK,

penilaian tetap sama tapi tetap disesuaikan dengan

kemampuan ABK. Jadi guru berperan dalam

mensiasati/mengintensifkan pelayanan sesuai keadaan

ABK pada saat itu. Misalnya, saya menjelaskan materi

pelajaran tidak cukup 1 kali saja tapi 2-3 kali lebih diintensifkan.

SMAN 4 memiliki kegiatan ekstrakurikuler yang

dibuka untuk mendukung dan menampung semua

siswa dengan berbagai kegiatan sesuai bakat, minat,

dan kemampuan siswa. Kegiatan ini merupakan wadah

yang akan menunjang perkembangan siswa baik

akademik maupun non akademik. Kegiatan ini juga

sangat terbuka bagi ABK. Kepala SMAN 4

menyampaikan bahwa “semua siswa di sini tanpa

terkecuali boleh mengikuti kegiatan ekstrakurikuler

sekolah yang disesuaikan dengan bakat, kemampuan

dan ketertarikan siswa. Di sini banyak ABK juga yang

mengikuti kegiatan tersebut”. Sementara, guru kelas

menambahkan dalam wawancara bahwa kegiatan

ekstrakurikuler ini diperuntukkan bagi semua siswa

Page 43: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

73

sehingga ABK juga boleh mengikutinya sesuai

kemampuan dan minat mereka. Hal serupa juga

disampaikan oleh salah seorang guru BK dalam

wawancara sebagai berikut:

Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah ini banyak sekali

dan bersifat terbuka bagi seluruh siswa termasuk ABK.

ABK boleh mengikuti kegiatan ini sesuai dengan kemampuan, bakat, minat, hobi dan ketertarikannya.

Hal ini juga perlu didampingi oleh pendamping kegiatan

terkait.

Selama menjalankan program pendidikan inklusif

sejak 2009 hingga saat ini, SMAN 4 sudah

mendapatkan banyak dukungan baik dari pusat

maupun kota dalam bentuk bantuan penyediaan

sarpras. Sarpras yang diberikan sudah sesuai dengan

keadaan dan jenis kebutuhan khusus, kelainan atau

kecacatan ABK. Dengan demikian, sarpras tersebut

sudah bermanfaat bagi ABK dan guru. Hal ini

disampaikan oleh salah seorang guru BK dalam

wawancara sebagai berikut:

Sejauh ini sarpras baik yang disediakan oleh sekolah

ataupun dari Dinas sudah cukup memadai dan

bermanfaat bagi siswa. Sejauh ini kami merasa tidak ada masalah untuk masalah sarpras karena fasilitas

yang diberikan sudah cukup sesuai bagi ABK sesuai

dengan jenis ketunaannya. Selain itu, kami juga

mendapatkan bantuan dari Dinas kota berupa buku-

buku bacaan tentang ABK yang saat bermanfaat

nantinya bagi kami semua guru.

Hal serupa disampaikan oleh salah seorang guru

mapel dalam wawancara sebagai berikut:

Sejauh ini sekolah sudah mempunyai sarpras yang

cukup memadai dalam memfasilitasi ABK dikarenakan

pengadaannya sudah sesuai dengan jenis ketunaan anak masing-masing. Jadi, ABK sudah terbantu dan

terfasilitasi dengan adanya sarpras tersebut. Sama

Page 44: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

74

halnya dengan ABK, guru pun bisa merasakan/mendapatkan manfaat dari pengadaan

sarpras yang memadai.

Dari proses berjalannya program pendidikan

inklusif di SMAN 4, ada beberapa kendala yang

menyebabkan pelaksanaan program tersebut belum

maksimal. Kendala yang dimaksud meliputi tidak

adanya GPK/tenaga profesional khusus dan prasarana

yang belum lengkap. Kepala SMAN 4 menyebutkan

bahwa “kendala yang dihadapi sekolah dalam rangka

pelaksanaan program pendidikan inklusif di antaranya adalah

belum adanya GPK. Kemudian ketersediaan prasarana juga belum

maksimal”. Selain kendala dari tidak adanya GPK dan

prasarana yang belum lengkap, kendala lain yang

muncul adalah sistem penilaian bagi ABK saat UN yang

masih disamaratakan dengan penilaian untuk anak

reguler. Hal tersebut disampaikan oleh salah seorang

guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

Yang menjadi kendala adalah pada saat UN dimana

ABK juga mendapatkan soal yang sama layaknya yang

diterima oleh anak reguler. Pada saat penilaian

terhadap lembar jawaban, siswa ABK yang misalnya banyak menjawab dengan salah maka nantinya malah

tidak lulus UN. Padahal dari pusat selalu meminta data

ABK yang akan mengikuti UN tapi tetap saja kebijakan

dalam hal perhitungan hasil jawaban tetap

disamaratakan dengan anak reguler. Hal ini

sesungguhnya berbahaya bagi ABK.

Kendala lain yang muncul adalah tidak adanya

standar baku terhadap penilaian atas hasil kerja ABK

di kelas. Selain itu, masih ada sebagian guru yang

belum pernah mengikuti pelatihan khusus. Hal ini

disampaikan oleh salah seorang guru kelas dalam

wawancara sebagai berikut:

Page 45: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

75

Kendalanya adalah tidak ada standarisasi baku dari kementrian tentang penilaian khusus bagi ABK. Jadi,

kami hanya menilai sesuai dengan

kemampuan/ketunaan siswa saja entah apa itu benar,

baku atau sesuai pada porsi sebenarnya atau tidak.

Selain itu, masih ada beberapa guru yang belum mengikuti pelatihan.

Dari kendala-kendala yang ditemukan SMAN 4

dalam proses pelaksanaan program pendidikan

inklusif, harapan pihak sekolah adalah ada perbaikan

dan tindak lanjut dari Dinas terkait. Berhubung jumlah

ABK semakin meningkat, maka Dinas terkait

seharusnya lebih intensif dalam mendukung

penyelenggaraan program ini. Hal tersebut disampaikan

oleh Kepala SMAN 4 dalam wawancara sebagai berikut:

Contohnya, Dinas memaksimalkan SDM khusus seperti

GPK untuk tiap sekolah, pemberian atau pengadaan

pelatihan untuk guru-guru, dan pengadaan bantuan

sarpras sesuai kebutuhan ABK. Dengan kata lain, sinkronisasi semua aspek harus matang dan terlaksana

sehingga sekolah bisa terbantu dalam menjalankan

tugasnya dan ABK bisa terlayani dengan maksimal dan

sebagaimana mestinya.

Hal serupa disampaikan oleh salah seorang guru

BK dalam wawancara sebagai berikut:

Kami berharap agar ada pemerataan pelatihan khusus

bagi guru-guru yang belum mendapatkannya agar nantinya bisa paham dalam menangani ABK. Kami juga

berharap adanya sinkronisasi antara tuntutan

pendidikan, keadaan anak, orang tua dan SDM yang

terlibat dalam proses belajar mengajar. Paling tidak ada

bantuan dana atau penghargaan kepada guru yang

bekerjasama, membantu semaksimal mungkin menangani ABK.

Hal senada juga disampaikan oleh salah seorang

guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:

Harapan saya agar ada sinkronisasi dari kebijakan

dengan pengadaan sarpras yang harus dipersiapkan

Page 46: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

76

terlebih dahulu. Karena kami dulu langsung terima ABK saja, sarpras menyusul sambil proses berjalannya

program padahal kami juga kelabakan. Saya berharap

agar SDM (GPK) diberikan dan pelatihan kepada semua

guru bisa merata.

Berdasarkan wawancara di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa kendala-kendala yang dihadapi

SMAN 4 dalam proses penyelenggaraan program

pendidikan inklusif adalah ketersediaan GPK yang

belum ada, prasarana yang belum lengkap, sistem

penilaian UN yang masih disamaratakan antara ABK

dan siswa reguler, tidak adanya standar baku evaluasi

bagi ABK, dan tidak meratanya pelatihan khusus bagi

guru-guru. Oleh karena itu, Dinas terkait harus

melakukan sinkronisasi terhadap upaya

penyelenggaraan program yang sudah disusun dengan

realita keadaan sekolah yang melaksanakan program.

4.2.3.4 Evaluasi Product Penyelenggaraan

Program Pendidikan Inklusif di SMAN 4

Perkembangan atau prestasi dari bidang akademik

maupun non akademik ABK merupakan dampak

penerapan program pendidikan inklusif. Dampak ini

menunjukkan keberhasilan atau ketercapaian dari

program yang dijalankan. Sejak SMAN 4 sudah

menerima ABK pada tahun 2009, maka sudah banyak

lulusan ABK dengan perkembangan dan prestasi yang

bervariasi. Secara akademik, perkembangan ABK

mencapai rata-rata atau cukup baik. Hal ini

berhubungan dengan jenis ketunaan ABK yang

diterima di sekolah ini tidak parah dan masih bisa

mengikuti pelajaran. Guru BK dan guru kelas

Page 47: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

77

menyampaikan bahwa ABK memiliki perkembangan

akademik yang cukup baik dan perkembangan non

akademik yang baik. Hal serupa juga disampaikan oleh

Kepala SMAN 4 dalam wawancara sebagai berikut:

Secara akademik, prestasi ABK cukup baik bahkan

memang ada yang baik. Baru-baru saja ada salah satu

ABK kami yang mengikuti lomba Olimpiade Sains Nasional di Yogyakarta sebagai perwakilan provinsi

Kalteng. Ini merupakan kebanggaan bagi kami di

sekolah.

Program tersebut tidak hanya berdampak pada

perkembangan dan prestasi ABK di bidang akademik

saja, melainkan berdampak pada perkembangan dan

prestasi ABK di bidang non akademik. “Perkembangan

ABK di sini cukup bagus baik dari segi akademik seperti

salah satu ABK yang pernah mewakili Kalteng dalam

lomba OSN (olimpiade) dan prestasi non akademik

(olahraga dan seni)”, ungkap guru mapel dalam

wawancara. Hal yang sama juga disampaikan oleh

Kepala SMAN 4 dalam wawancara sebagai berikut:

Sejauh ini, perkembangan ABK bisa dikatakan baik.

Banyak ABK yang mengalami perubahan dan

perkembangan seperti lebih percaya diri, mandiri dan

bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Secara akademik, prestasi ABK cukup baik bahkan

memang ada yang baik. Dari segi non akademik, ABK

cukup berprestasi dan membanggakan. Baru-baru

saja ada salah satu ABK kami yang mengikuti lomba

OSN di Yogyakarta sebagai perwakilan provinsi Kalteng. Ini merupakan kebanggaan bagi kami di

sekolah.

Hal serupa disampaikan oleh salah seorang guru

BK dalam wawancara sebagai berikut:

Prestasi akademik ABK (slow learner) termasuk cukup

baik karena mampu mencapai rata-rata. Bahkan ada

ABK yang pernah mewakili provinsi Kalteng dalam

Page 48: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

78

lomba OSN di Yogyakarta. Sementara, ABK juga banyak yang menyumbangkan prestasi di bidang non

akademik, misalnya bidang olahraga.

Mengingat bahwa SMAN 4 sudah menerima ABK

sejak tahun 2009 maka sekolah ini sudah meluluskan

beberapa ABK dengan prestasi akademik dan non

akademik yang cukup baik. Di samping itu, banyak

lulusan ABK dari SMAN 4 yang melanjutkan studi ke

jenjang yang lebih tinggi. Di samping itu, produk dari

pelaksanaan program ini adalah 15 ABK yang terlayani

di sekolah. Berdasarkan hasil wawancara bersama

Kepala SMAN 4 dan guru BK di atas, ketersediaan

sarpras dinyatakan sudah sesuai dengan jenis

kebutuhan ABK. Kedua nara sumber tersebut

menambahkan pula bahwa SMAN 4 memiliki 15 ABK

dengan jenis ketunaan tuna daksa, tuna rungu ringan,

hiperaktif, autis, low vision dan slow learner. “Jenis

ketunaan ABK di sini ada 6 seperti tuna daksa, tuna

rungu ringan, hiperaktif, autis, low vision dan slow

learner”, imbuh Kepala SMAN 4 dalam wawancara.

Hasil temuan data lapangan terhadap evaluasi

penyelenggaraan program pendidikan inklusif di SMAN

4 dapat dilihat melalui tabel sebagai berikut:

Tabel 4.3 Ringkasan Hasil Temuan Lapangan di SMAN 4

Komponen

Evaluasi Substansi Data Lapangan

Context

1. Kebutuhan

yang belum terpenuhi

1. Pilot project oleh Pemerintah

Pusat bersama Pemprov

(penyelenggara pendidikan

inklusif perwakilan tingkat SMA tahun 2009, kemudian

secara serentak ketika

Page 49: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

79

pemberlakuan Perwali tahun

2014.

2. Populasi yang

dilayani

1. ABK dengan kebutuhan khusus/kelainan kelas ringan

dan masih bisa ditolerir.

3.Peluang/ma

nfaat

1. Kepercayaan tinggi dari

masyarakat luas bahwa

sekolah melayani ABK dan

kerja sama yang terjalin antara sekolah dan orang tua

ABK.

Input

1. Kemampua

n sekolah

1. Sarana sudah cukup

memadai (bantuan dari pusat

sejak tahun 2009), prasarana

masih kurang.

2. Perencanan

1. Semua pihak di dalam

sekolah wajib terlibat, termasuk ada bantuan dan

kerja sama dengan PK-PLK

dan psikolog pada saat PPDB

(pengidentifikasian jenis

kelainan ABK).

3. Sumber

dana

1. Mendapat dukungan dari APBD bagi semua siswa,

namun belum ada

bantuan/dana khusus bagi

ABK.

4. Staf/SDM

1. Tidak ada GPK dan ditangani

langsung oleh guru BK.

2. Sebagian guru sudah mampu menangani dan melayani

ABK.

3. Sebagian guru sudah pernah

mendapatkan pelatihan

khusus.

Process

1. Monitorin/

evaluasi

1. Monev berisi surat permohonan dan

pemberitahuan dari Kasi. SLB

Disdikpora pada bulan

Nopember 2014.

2. Kompetensi

SDM

1. Materi/bahan ajar, kurikulum

dan evaluasi diberikan secara sama/umum.

3. Pelaksanaa

n kegiatan

pembelajar

an/

1. Pemberian

materi/pembelajaran di kelas

masih sama/umum, namun

ada penanganan/bimbingan

Page 50: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

80

Pendampin

gan

secara individual yang

diberikan sesuai kebutuhan ABK.

2. ABK boleh mengikuti kegiatan

ekstrakurikuler.

4. Efektivitas

sarpras

1. Manfaat sarpras bagi ABK dan

guru sudah signifikan sesuai

dengan kebutuhan ABK.

5. Masalah/

kendala

yang dihadapi

1. GPK belum ada, prasarana masih terbatas, sistem

penilaian UN yang masih

disamaratakan, tidak ada

standar baku evaluasi, dan

tidak meratanya pelatihan

khusus bagi guru-guru. 2. Kendala-kendala bisa teratasi

dan sinkronisasi kebijakan

program dengan keadaan

sekolah.

Product

1. Prestasi/

perkembangan ABK

1. Prestasi akademik maupun

non akademik sudah cukup baik.

2. Jumlah

ABK yang

terlayani

2. Ada 15 ABK dengan jenis

kebutuhan khusus/kelainan

tuna daksa, tuna rungu ringan, hiperaktif, autis, low vision dan slow learner.

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian

Bagian ini merupakan pembahasan tentang hasil

penelitian yang dipaparkan pada bagian sebelumnya.

Pembahasan terhadap hasil penelitian ini merupakan

upaya untuk menjelaskan hasil analisis dan menjawab

rumusan masalah yang diajukan yaitu bagaimanakah

evaluasi terhadap context, input, process dan product

dari penyelenggaraan program pendidikan inklusif di

kota Palangka Raya.

Page 51: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

81

4.3.1 Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif

di Kota Palangka Raya Berdasarkan Evaluasi

Context

Evaluasi context terhadap penyelenggaraan

program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya

meliputi unsur penilaian terhadap kebutuhan yang

belum terpenuhi, populasi yang dilayani, dan peluang

atau manfaat dari penyelenggaraan program.

Berdasarkan hasil penelitian di ketiga sekolah

yang diteliti, penerimaan ABK sudah berlangsung sejak

beberapa tahun sebelumnya yakni sebelum

diberlakukannya kebijakan dari Disdikpora kota

Palangka Raya yang mewajibkan semua sekolah

melaksanakan program pendidikan inklusif. Alasan

dari penerimaan ABK adalah karena ketiga sekolah

tersebut melihat ada kebutuhan yang belum terpenuhi

dimana para orang tua yang memiliki ABK

menginginkan agar anaknya diterima di sekolah

tersebut. Hasil temuan ini sesuai dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Isabella dkk. (2014)

dimana implementasi pendidikan inklusi di SDN Negeri

131/IV Kota Jambi sangat dibutuhkan masyarakat

sekitar karena adanya keinginan dan kebutuhan untuk

menyekolahkan anaknya yang memiliki kebutuhan

khusus di sekolah reguler. Oleh karena itu, ketiga

sekolah yang diteliti dalam penelitian ini menerima dan

melayani ABK meski kondisi pelayanan sekolah masih

terbatas.

Page 52: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

82

Terkait hasil temuan di atas, ada 2 sekolah yang

kemudian dilirik oleh pemerintah kota dan/atau

pemerintah pusat atas dedikasi sekolah tersebut dalam

melayani ABK. Kedua sekolah tersebut diangkat dan

dicanangkan sebagai sekolah pilot project pelaksana

program pendidikan inklusif. Hasil temuan ini sudah

sesuai dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal

4 ayat 1 dimana “pemerintah kabupaten/kota

menunjuk minimal satu sekolah dasar, dan satu

sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan

satu satuan pendidikan menengah untuk

menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib

menerima peserta didik” dengan kebutuhan khusus.

Selain pertimbangan atas kebutuhan yang belum

terpenuhi, hasil temuan menunjukkan bahwa populasi

yang dilayani adalah peserta didik dengan kebutuhan

khusus dan berpotensi pada kecerdasan dan/atau

bakat istimewa, yang direkrut dengan prioritas pada

jarak terdekat domisili anak ke sekolah. Hasil temuan

ini sesuai dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009

pasal 3 ayat 1 dimana peserta didik dengan kelainan

fisik, emosional, mental, sosial atau memiliki potensi

kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti

pendidikan inklusif pada satuan pendidikan tertentu

sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Terkait

temuan ini, jenis atau karakteristik dari

kebutuhan/kelainan khusus yang dimiliki anak yang

diterima di ketiga sekolah tempat penelitian ini adalah

jenis atau karakteristik yang ringan atau tidak parah.

Dalam hal ini, secara intelektual ABK masih bisa

Page 53: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

83

mengikuti pelajaran atau arahan guru, secara perilaku

ABK masih bisa kooperatif dan mandiri, secara

psikologi ABK masih bisa percaya diri, dan/atau secara

fisik ABK masih bisa terkontrol. Dengan demikian,

ketiga sekolah tersebut menerima ABK dengan

menyesuaikan pada jenis kebutuhan/kelainan yaitu

kelas ringan atau cukup, dimana ABK berdomisili dekat

lingkungan sekolah. Hasil temuan ini dibenarkan

karena menurut Permendiknas No. 70 Tahun 2009

pasal 5 ayat 1 sekolah menerima peserta didik dengan

kelainan dan/atau potensi kecerdasan dan/atau bakat

istimewa atas pertimbangan terhadap sumber daya

yang dimiliki sekolah tersebut.

Dengan penerimaan peserta didik berkebutuhan

khusus, ketiga sekolah mendapat manfaat atas

kepercayaan dan apresiasi yang diberikan oleh

masyarakat khususnya orang tua ABK terhadap

pelaksanaan program pendidikan inklusif. Temuan ini

dibenarkan dengan pernyataan Mudjito dkk.. (2012)

dimana anak-anak dengan kondisi dan kendala

tertentu dan/atau tidak mendapatkan pelayanan

pendidikan, sebaiknya memperoleh akses yang mudah

dalam memperoleh pendidikan. Dengan demikian,

peluang dari penerimaan ABK di ketiga sekolah tempat

penelitian tersebut akan meningkat dan bertambah.

Sehingga pada akhirnya, tujuan dalam pemerataan

akses pendidikan yang ramah, adil tanpa diskriminatif

bisa diwujudkan secara optimal dan berkelanjutan.

Berdasarkan hasil temuan dari semua aspek pada

komponen context terhadap penyelenggaraan program

Page 54: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

84

PI di ketiga sekolah, secara tidak langsung agenda

Pokja PI untuk masa 2014-2018 sudah berjalan dan

sedang berlangsung. Hal ini terlihat pada agenda atau

kalender tahunan Pokja PI untuk tahun 2014-2018

poin (d) tentang “pemerataan akses pendidikan atau

pelayanan imklusif di setiap kecamatan dengan

membuat sekolah piloting dari jenjang TK, SD, SMP,

SMA/SMK”. Pemerataan akses yang dimaksud dalam

penelitian adalah pemenuhan kebutuhan orang tua dan

ABK; semua ABK dengan jenis kebutuhan khusus kelas

ringan hingga sedang terlayani; serta masyarakat atau

sosial memberikan kepercayaan penuh kepada sekolah

dalam melayani ABK.

4.3.2 Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif

di Kota Palangka Raya Berdasarkan Evaluasi

Input

Evaluasi input terhadap penyelenggaraan program

pendidikan inklusif di kota Palangka Raya meliputi

unsur penilaian terhadap potensi sekolah, perencanaan

program, anggaran, dan sumber daya manusia.

Dalam pelaksanaan program, sarana prasarana

sebagai pendukung program di ketiga sekolah yang

diteliti memiliki ketersediaan yang bervariasi. Hasil

penelitian di SDN 6 Bukit Tunggal dan SMPN 3

menunjukkan bahwa kedua sekolah ini masih

mengandalkan sarana prasarana yang sudah ada atau

yang dimiliki sebelumnya. Sarpras ini umumnya

digunakan secara merata baik siswa reguler maupun

ABK. Hal ini dianggap benar menurut Direktorat

Page 55: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

85

Pembinaan SLB (2007) dimana sarana dan prasarana

umum yang dibutuhkan sekolah penyelenggara

program pendidikan inklusif cenderung sama dengan

sekolah reguler pada umumnya. Terkhusus pada alat

bantu yang digunakan dan disesuaikan dengan

kebutuhan ABK, SDN 6 Bukit Tunggal memiliki

ketersediaan alat peraga yang masih terbatas. Selain

itu, kedua sekolah belum didukung dengan prasarana

yang memadai seperti ruang atau kelas khusus guna

melayani ABK secara individual serta jalur khusus bagi

ABK yang menggunakan kursi roda. Hal ini tidak

sesuai dengan Perwali Palangka Raya No. 26 Tahun

2014 pasal 53 ayat 1 dimana “penyelenggara satuan

pendidikan menyediakan sarana dan prasarana

pendidikan yang memadai dan menjamin kelancaran

program pendidikan”. Sehubungan dengan acuan yang

sama, secara khusus pada ayat 2 menambahkan

bahwa “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan

masyarakat memfasilitasi sarana dan prasarana

pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi

setempat”.

Sementara itu, SMAN 4 yang memanfaatkan

sarpras yang sudah ada di sekolah, juga mendapatkan

bantuan sarana yang memadai berupa alat bantu

seperti kursi roda, kaca mata, laptop, dan tongkat

penyangga/jalan. Bantuan tersebut diberikan oleh

pemerintah pusat dan PK-PLK pada tahun 2012

dimana pemberian ini disesuaikan dengan keberadaan

dan jenis kebutuhan/kelainan ABK. Hasil temuan ini

sudah sesuai dengan Perwali Palangka Raya No. 26

Page 56: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

86

Tahun 2014 pasal 53 ayat 1 dan 2 serta Permendiknas

No. 70 Tahun 2009 pasal 11 ayat 1, 2, dan 4c.

Terkait temuan dalam ketersediaan sarpras di

ketiga sekolah, secara tidak langsung agenda Pokja PI

poin (e) periode tahun 2014-2018 belum berjalan secara

menyeluruh atau merata. Agenda ini berisi pengadaan

sarana dan prasarana sekolah piloting maupun yang

telah menyelenggarakan pendidikan inklusif. Belum

berjalannya agenda ini secara menyeluruh atau merata

dikarenakan Pokja PI masih sedang mengupayakan

pengadaan sarpras.

Terkait dengan jenis kebutuhan yang dimiliki

siswa, ketiga sekolah memiliki ABK dengan jenis

kebutuhan khusus bervariasi dan masuk dalam

kategori ringan hingga cukup. Berdasarkan hasil

penelitian, ketiga sekolah tersebut memiliki ABK

dengan kebutuhan khusus lamban belajar atau slow

learner dengan jumlah siswa cukup banyak dibanding

dengan jenis kebutuhan khusus lainnya. Sebagian

sekolah juga memiliki siswa dengan kebutuhan khusus

tuna daksa, tuna rungu ringan, hiperaktif, autis, dan

low vision. Temuan ini sama dengan hasil temuan Nono

(2013) dimana jenis kebutuhan khusus ABK di sekolah

dasar di Kabupaten Pontianak cukup beragam dan

didominasi 78,75% siswa dengan kelainan lamban

belajar (slow learner). Sementara itu, temuan peneliti

menunjukkan bahwa sekolah memiliki total ABK yang

bervariasi dimana SDN 6 Bukit Tunggal memiliki 43

siswa, SMPN 3 memiliki 12 siswa, dan SMAN 4 memiliki

15 siswa. Dengan demikian, hasil temuan juga sesuai

Page 57: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

87

dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal 3 ayat

2 dimana jenis kelainan ABK sangat bervariasi. Dalam

hal ini, sekolah memiliki variasi jumlah ABK yang

disertai dengan jenis kebutuhan khusus yang berbeda-

beda pula.

Di sisi lain, pelaksanaan program pendidikan

inklusif melibatkan pihak di dalam maupun di luar

sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga

sekolah yang diteliti melibatkan kerja sama dengan

pihak dalam sekolah yang meliputi kepala sekolah,

komite, pengawas sekolah, wakasek, guru kelas/mapel,

wali kelas dan/atau guru BK. Hasil temuan ini

dibenarkan Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan

Dasar (2012) bahwa salah satu prinsip

penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah prinsip

keterlibatan, dimana penyelenggaraan pendidikan

inklusif harus melibatkan seluruh komponen

pendidikan terkait. Sementara, keterlibatan dari pihak

luar sekolah berupa bantuan dan kerja sama dengan

pihak terkait hanya diperoleh oleh satu sekolah saja

yaitu SMAN 4. Sekolah ini bekerja sama dengan PK-PLK

dan psikolog, terkhusus dalam proses PPDB. Temuan

ini sudah sesuai dengan Direktorat Pembinaan PKLK

Pendidikan Dasar Tahun 2012 dan Permendiknas No.

70 Tahun 2009 pasal 11 ayat 1-5. Sedangkan, SDN 6

Bukit Tunggal dan SMPN 3 belum pernah bekerja sama

atau melibatkan pihak luar seperti psikolog, tenaga

ahli, atau pihak tertentu.

Sumber dana dalam pelaksanaan program

pendidikan inklusif diperoleh atau dimanfaatkan ketiga

Page 58: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

88

sekolah yang diteliti baik dari dana BOS, dukungan

APBD, ataupun bantuan beasiswa. Berdasarkan hasil

penelitian, SDN 6 Bukit Tunggal dan SMPN 3

mensiasati pemenuhan kebutuhan ABK melalui dana

BOS, meskipun SMPN 3 pernah mendapat bantuan

beasiswa ABK-PKLK. Sementara SMAN 4 mendapat

dukungan dana dari APBD akan tetapi sekolah ini

belum pernah mendapat bantuan dana khusus. Hasil

temuan ini dinilai sudah sesuai dengan kriteria

penyelenggaraan pendidikan inklusif yang tertuang

dalam Perwali No. 26 Tahun 2014 pasal 55 ayat 1 yang

menjelaskan bahwa “sumber pendanaan

penyelenggaraan program ini diperoleh dari APBN

Pemerintah, APBD Pemerintah Provinsi, APBD

Pemerintah Kota, masyarakat, dan/atau sumber lain

yang sah dan tidak mengikat”. Dengan demikian,

sekolah boleh menggunakan dana BOS di samping

penyaluran dana dari APBD dan beasiswa khusus

untuk ABK.

Sementara dalam hal sumber daya manusia (SDM)

yaitu guru pendamping khusus (GPK), ketiga sekolah

yang diteliti belum memiliki GPK yang berlatar

belakang pendidikan khusus atau pendidikan luar

biasa. Temuan ini tidak sesuai dengan Permendiknas

No. 70 tahun 2009 pasal 10 ayat 1 dimana “pemerintah

kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit satu

orang GPK pada satuan pendidikan yang ditunjuk

untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif”. Terkait

temuan ini, penanganan ABK di ketiga sekolah ini

langsung ditangani oleh guru kelas/mapel, wali kelas

Page 59: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

89

dan guru BK. Hasil temuan ini belum sesuai karena

idealnya selain guru kelas dan guru mata pelajaran,

sekolah harus memiliki guru pendidikan khusus yang

memiliki kompetensi sesuai keahlian dalam

pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (Direktorat

Pembinaan SLB 2007). Namun dalam hal

pendampingan dan penanganan secara khusus dan

intensif di SMPN 3 dan SMAN 4, ABK ditangani

langsung oleh guru BK yang notabenenya pernah

mengikuti diklat cara menangani ABK, sementara ABK

di SDN 6 Bukit Tunggal hanya ditangani oleh wali kelas

dan guru kelas. Guru-guru dalam situasi tersebut

dianggap sebagai “GPK” versi sekolah masing-masing.

Hasil temuan ini dibenarkan Permendiknas No. 70

Tahun 2009 pasal 10 ayat 2 dimana “satuan

pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang

tidak ditunjuk oleh pemerintah kabupaten/kota wajib

menyediakan paling sedikit satu orang guru pendidikan

inklusif”. Dengan demikian, sekolah bisa menetapkan

guru kelas, mapel dan/atau BK yang telah mengikuti

diklat menangani ABK sebagai guru pendamping

khusus.

Sebagian guru kelas/mapel, wali kelas dan guru

BK di ketiga sekolah yang diteliti ini pernah

mendapatkan workshop, diklat, sosialisasi dan/atau

pelatihan khusus untuk meningkatkan kompetensi.

Temuan ini sesuai dengan Permendiknas Nomor 70

Tahun 2009 pasal 10 ayat 3, 5, dan 6 yang

menjelaskan bahwa “pemerintah kabupaten/kota wajib

meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan

Page 60: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

90

khusus bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan

pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan

inklusif”, “pemerintah dan pemerintah provinsi

membantu meningkatkan kompetensi di bidang

pendidikan khusus bagi tenaga pendidik dan tenaga

kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara

pendidikan inklusif”, yang dapat dilakukan melalui

“P4TK, LPMP, perguruan tinggi, lembaga pendidikan

dan pelatihan lainnya di lingkungan pemerintah

daerah, Departemen Pendidikan Nasional dan/atau

Departemen Agama, KKG/KKKS, KKPS, MGMP, MKS,

MPS, dan sejenisnya. Oleh karena itu, sebagian guru

yang belum pernah terlibat atau ikut serta menjadi

kesulitan dalam menangani ABK. Maka dari itu,

pemerataan terhadap keikutsertaan atau keterlibatan

guru dalam workshop, diklat, sosialisasi dan/atau

pelatihan khusus berpengaruh terhadap kompetensi

guru dalam menangani ABK. Hal ini sudah menjadi

agenda dalam kalender tahunan Pokja PI tahun 2014-

2018, khususnya pada poin (c dan g). Agenda ini

mencakup peningkatan kapasitas SDM penyelenggara

PI melalui kegiatan, sosialisasi tentang PI, seminar,

workshop maupun media elektronik; serta pelatihan

kompetensi/wawasan kepala sekolah dan guru sekolah

dan guru sekolah penyelenggara PI.

4.3.3 Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif

di Kota Palangka Raya Berdasarkan Evaluasi

Process

Evaluasi process terhadap penyelenggaraan

program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya

Page 61: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

91

berupaya untuk melakukan penilaian implementasi

program yang meliputi unsur monitoring dan evaluasi

(monev) program, kompetensi SDM, pelaksanaan

program, efektivitas sarpras dan kendala yang

dihadapi.

Sejak pencanangan Kota Pendidikan Inklusif pada

18 Nopember 2014 lalu, Disdikpora baru pertama kali

memonitor pelaksanaan program pendidikan inklusif

melalui surat permohonan yang diberikan kepada

semua sekolah perihal monitoring dan evaluasi sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif. Surat ini ditujukan

agar masing-masing sekolah segera mengidentifikasi

tiap peserta didik yang memiliki kebutuhan

khusus/kelainan, melakukan pendataan sesuai format

yang diminta dan segera melaporkan ke Disdikpora

untuk segera ditindaklanjuti. Hasil temuan

menunjukkan bahwa ketiga sekolah yang diteliti

mendapat surat pemberitahuan ini dan langsung

menindaklanjuti. Temuan ini sesuai dan dibenarkan

dalam Perwali Palangka Raya No. 26 Tahun 2014 pasal

56 ayat 1 dan 2 dimana pengawasan sekolah yang

meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan,

dan tindak lanjut hasil pengawasan, dilakukan oleh

pendidik, kepala sekolah, kelompok kerja atau satuan

tugas pada sekolah sesuai dengan kewenangan masing-

masing dan pengawas TK/SD/SMP/SMA serta dapat

berkoordinasi dengan pengawas sekolah PLB. Dalam

hal ini, Disdikpora sudah melakukan pengawasan satu

kali kepada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif

Page 62: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

92

yang kemudian mendapat hasil atau respon dari

sekolah untuk kemudian ditindaklanjuti.

Dalam proses pembelajaran di dalam kelas, hasil

temuan menunjukkan bahwa guru di ketiga sekolah

yang diteliti memiliki kompetensi yang cukup memadai.

Hal ini terbukti dari penyusunan RPP, pemberian

materi dan bahan ajar kepada ABK dengan

menggunakan kurikulum dan materi/bahan ajar yang

sama atau reguler. Guru tidak memberikan atau

membedakan kurikulum dan materi/bahan ajar secara

terstruktur. Selain itu, guru menggunakan RPP reguler

yang diberikan secara merata kepada semua siswa.

Hasil temuan ini tidak disalahkan karena menurut

Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan Dasar (2012)

kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan

pendidikan inklusif pada dasarnya adalah kurikulum

standar nasional yang berlaku di sekolah umum. Akan

tetapi karena ragam hambatan ABK sangat bervariasi,

baik yang bersifat ringan hingga sedang, maka dalam

implementasinya harus ada modifikasi kurikulum

tingkat satuan pendidikan yang sesuai dengan standar

nasional dan kebutuhan ABK. Hal ini diperkuat dalam

Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal 7 yang

menyebutkan bahwa kurikulum yang digunakan

adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan yang

mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan ABK

sesuai bakat, minat dan potensinya. Terkait pada

acuan tersebut, hasil temuan menunjukkan bahwa

sebagian sekolah melakukan penyesuaian (modifikasi)

hanya dengan pemberian atau pelayanan tambahan

Page 63: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

93

jam belajar pada siang atau sore hari untuk kegiatan

pengayaan, remedial, atau pembimbingan khusus di

luar jam sekolah pada umumnya.

Dalam proses pembelajaran, temuan

menunjukkan bahwa guru-guru di ketiga sekolah yang

diteliti melayani dan memperlakukan ABK sama

dengan siswa normal lainnya. Oleh karena itu, ABK

juga menyesuaikan diri pada proses pembelajaran yang

berlangsung di dalam kelas. Hasil temuan lain

menunjukkan bahwa penggunaan kurikulum dan

pemberian soal latihan tetap sama tapi penyesuaian

dilakukan secara individu dalam hal evaluasi dan

pelayanan lainnya. Bagi ABK yang slow learner, standar

nilai dibedakan dan disesuaikan yaitu diturunkan dari

standar KKM siswa normal pada umumnya. Kemudian,

ABK akan mendapatkan pelayanan lebih apabila

dianggap perlu untuk pengayaan, remedi dan

sebagainya baik di saat jam istirahat maupun di luar

jam sekolah. Hasil temuan ini sesuai menurut

Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan Dasar (2012)

tentang salah satu prinsip pembelajaran sekolah

inklusif yaitu prinsip individual, dimana “guru perlu

mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap

anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan

maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi

pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam

belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan

pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian

dan perlakuan yang sesuai”.

Page 64: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

94

Berdasarkan hasil penelitian, selain proses belajar

di kelas, ketiga sekolah yang diteliti juga menyiapkan

dan membuka kegiatan ekstrakurikuler yang juga

diberikan kepada ABK. Hasil temuan menunjukkan

bahwa ABK diberi kebebasan untuk memilih kegiatan

ekskul yang tersedia sesuai bakat, minat, kemampuan

dan ketertarikan ABK itu sendiri. Hal ini tentunya

ditujukan tidak untuk merugikan atau menyusahkan

ABK, melainkan untuk mendukung kemampuan ABK

di bidang non akademik. Temuan ini sesuai dan

dibenarkan berdasarkan Perwali Palangka Raya No. 26

Tahun 2014 pasal 47 ayat 2 dimana peserta didik

memiliki hak untuk “memperoleh layanan pendidikan

sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, kecerdasan,

dan kebutuhan khususnya. Dalam hal ini, kegiatan

ekstrakurikuler merupakan salah satu bentuk layanan

pendidikan yang diberikan dan disediakan sekolah bagi

semua siswa.

Sehubungan dengan ketersediaan sarana

prasarana yang bervariasi di setiap sekolah, maka

manfaat sarpras juga bervariasi. Berdasarkan hasil

penelitian dimana SDN 6 Bukit Tunggal dan SMPN 3

menggunakan sarpras pribadi milik sekolah yang pada

mulanya memang sudah ada atau dimiliki, maka

sarpras tersebut memberikan manfaat yang cukup baik

bagi ABK walaupun masih terbatas dan belum optimal.

Temuan ini belum sesuai sepenuhnya dengan Perwali

Palangka Raya No. 26 Tahun 2014 pasal 53 ayat 1 dan

2 dimana “penyelenggara satuan pendidikan

menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang

Page 65: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

95

memadai dan menjamin kelancaran program

pendidikan” dan “pemerintah, pemerintah daerah dan

masyarakat memfasilittasi sarana dan prasarana

pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi

setempat”. Dalam hal ini, sekolah sudah menyediakan

sarpras yang secara umum juga diberikan bagi siswa

reguler. Namun, sarpras secara khusus belum bisa

diberikan sekolah tanpa bantuan dari Dinas terkait

maupun masyarakat. Sementara itu hasil temuan di

SMAN 4 yang memiliki ketersediaan sarpras khusus

yang memadai, yang merupakan bantuan dari pihak

terkait, maka penggunaan sarpras tersebut sudah

bermanfaat dan efektif bagi ABK. Temuan ini

dibenarkan dalam Perwali Palangka Raya No. 26 Tahun

2014 pasal 47 ayat 3 bahwa pemenuhan hak ABK atas

perolehan bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau

bantuan lain harus sesuai dengan persyaratan dan

ketentuan yang berlaku.

Dari pelaksanaan program pendidikan inklusif

baik sebelum maupun sesudah pencanangan Kota

Pendidikan Inklusif, ketiga sekolah yang diteliti

menemukan beberapa kendala. Kendala yang

ditemukan di SDN 6 Bukit Tunggal adalah tidak

tersedianya GPK, sarpras belum memadai, dan

pelatihan khusus bagi guru tidak ada. Temuan ini tidak

sesuai dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal

6 ayat 1, 2, dan 3 dimana pemerintah kabupaten/kota

menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai

dengan kebutuhan ABK dan menjamin tersedianya

sumberdaya pendidikan inklusif, serta pemerintah dan

Page 66: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

96

pemerintah provinsi membantu tersedianya sumber

daya pendidikan inklusif.

Kendala yang ditemukan di SMPN 3 serupa dengan

yang ditemui di SDN 6 Bukit Tunggal, hanya berbeda

dalam hal pelatihan khusus bagi guru yang belum

merata. Temuan ini belum sesuai dengan

Permendiknas No. 70 tahun 2009 pasal 10 ayat 3, 5,

dan 6. Selain itu, SMPN 3 mengalami kendala dalam

menggunakan atau mengarahkan penggunaan kursi

roda yang sudah diberikan Dinas terkait namun belum

ada monitoring langsung sehingga alat bantu belum

bisa digunakan sebagaimana mestinya. Temuan ini

tidak sesuai dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009

pasal 12 dimana “pemerintah, pemerintah provinsi dan

pemerintah kabupaten/kota melakukan pembinaan

dan pengawasan pendidikan inklusif sesuai dengan

kewenangannya”. Dalam hal ini, monitoring merupakan

salah satu kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh

pendidik, kepala sekolah, kelompok kerja atau satuan

tugas pada satuan pendidikan sesuai dengan

kewenangan masing-masing dan pengawas

TK/SD/SMP/SMA serta dapat berkoordinasi dengan

pengawas sekolah PLB (Perwali Palangka Raya No. 26

tahun 2014 pasal 56 ayat 1 dan 2).

Sementara itu, kendala yang ditemukan di SMAN 4

serupa dengan yang ditemukan di SDN 6 Bukit Tunggal

dan SMPN 3 dimana GPK tidak tersedia dan prasarana

masih terbatas. Kendala lainnya adalah sistem

penilaian UN bagi ABK masih disamaratakan dengan

siswa reguler dan tidak ada standar baku evaluasi bagi

Page 67: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

97

ABK. Hasil temuan menunjukkan bahwa sekolah masih

menggunakan standar kelulusan bagi ABK yang sama

dengan anak normal demi mengantisipasi dan

menghindari adanya ketidaklulusan ABK. Dengan

demikian, ABK diharapkan tetap bisa lulus dan

bersaing dengan anak normal dalam UN meski pada

umumnya standar kelulusan diberlakukan sama bagi

seluruh siswa. Temuan ini tidak sesuai dengan

Permendiknas No. 70 tahun 2009 pasal 9 ayat 2 dan 4

yang menjelaskan bahwa ABK yang mengikuti

pembelajaran berdasarkan kurikulum sesuai dengan

atau di atas standar nasional pendidikan wajib

mengikuti ujian nasional. Dan apabila ABK tersebut

menyelesaikan pendidikan dan lulus ujian sesuai

dengan standar nasional pendidikan, ABK

mendapatkan ijazah yang blankonya dikeluarkan oleh

pemerintah. Sementara dalam ayat 3 dan 5

menjelaskan bahwa ABK yang mengikuti pembelajaran

berdasarkan kurikulum di bawah standar nasional

pendidikan wajib mengikuti ujian yang diselenggarakan

sekolah. Dan apabila ABK menyelesaikan pendidikan

berdasarkan kurikulum yang dikembangkan oleh

sekolah di bawah standar nasional pendidikan, ABK

mendapatkan surat tanda tamat belajar yang

blankonya dikeluarkan oleh sekolah yang

bersangkutan. Sementara, hasil temuan terhadap tidak

adanya standar baku dalam hasil belajar ABK

menyebabkan penilaian dilakukan guru secara

subyektif. Temuan ini tidak sesuai dengan

Permendiknas No. 70 tahun 2009 pasal 9 ayat 1,

Page 68: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

98

dimana “penilaian hasil belajar bagi peserta didik

pendidikan inklusif mengacu pada kurikulum tingkat

satuan pendidikan yang bersangkutan”. Dengan

demikian, kesimpulan dari kendala yang dihadapi

ketiga sekolah yang diteliti meliputi ketersediaan GPK

yang tidak ada, keterbatasan sarpras, pelatihan

khusus bagi guru yang tidak ada bahkan masih belum

merata, belum ada monitoring lebih lanjut dari Dinas

terkait, sistem penilaian UN yang masih

disamaratakan, dan tidak ada standar baku evaluasi

hasil belajar ABK.

Dari adanya kendala-kendala demikian, maka

harapan ketiga sekolah adalah kendala bisa teratasi

dimana Dinas terkait lebih gencar dalam kegiatan

sosialisasi kepada masyarakat dan sebaiknya Dinas

melakukan sinkronisasi kebijakan program dengan

keadaan sekolah. SMPN 3 berharap pula agar rencana

sekolah dalam penyusunan standar KKM untuk TA

2015/2016 bisa berjalan baik dan terealisasi.

4.3.4 Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif

di Kota Palangka Raya Berdasarkan Evaluasi

Product

Evaluasi product terhadap penyelenggaraan

program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya

berupaya untuk melakukan penilaian terhadap dampak

perkembangan peserta didik dari penyelenggaraan

program. Sehubungan dengan penerimaan ABK yang

sudah berjalan cukup lama di ketiga sekolah yang

diteliti hingga pelaksanaan secara menyeluruh di

Page 69: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

99

tingkat kota dalam momen pencanangan Kota

Pendidikan Inklusif pada Oktober 2014 lalu, maka

dampak penerapan program tersebut dapat dilihat

terkhusus dari perkembangan maupun prestasi ABK.

Perkembangan ABK baik dari segi akademik maupun

non akademik disesuaikan dengan jenis kebutuhan

khusus/kelainan ABK.

SDN 6 Bukit Tunggal dengan mayoritas ABK

dengan jenis kebutuhan khusus/kelainan ABK slow

learner memiliki perkembangan akademik rerata atau

standar. Dalam hal ini ABK mampu mencapai nilai

standar sesuai KKMnya sehingga bisa naik kelas

bahkan lulus. Sementara, perkembangan non

akademik ABK cukup baik atau rata-rata. SMPN 3 yang

memiliki ABK dengan jenis kebutuhan

khusus/kelainan slow learner dan tuna daksa memiliki

perkembangan akademik dan non akademik yang

cukup baik atau rata-rata. ABK di SMAN 4 dengan jenis

kebutuhan yang bervariasi memiliki perkembangan

prestasi yang baik dan perkembangan non akademik

yang baik bahkan membanggakan sekolah. Dengan

demikian, maka dapat disimpulkan bahwa

perkembangan atau prestasi ABK di ketiga sekolah

secara garis besar cukup baik dan rata-rata.

Hasil temuan sudah sesuai dengan pendapat

Mudjito dkk. (2012) yang menjelaskan bahwa

setidaknya ada 4 ranah pendidikan yang harus

diberikan dalam proses belajar mengajar yang

mencakup ranah kognitif (pembentukan kemampuan

ilmu atau daya nalar), psikomotorik (pembentukan

Page 70: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek

100

bakat keterampilan), soft skills (pembentukan

intrapersonality, interpersonality, karakter pribadi

untuk dirinya, sosial dan dengan sang Pencipta), dan

karakter (pembentukan hard skills dan soft skills).

Melalui pencapaian ranah-ranah tersebut, anak-anak

akan menjadi semakin bermakna setelah memperoleh

pendidikan. Hasil temuan menunjukkan bahwa secara

garis besar ABK berkembang dan mencapai prestasi

cukup baik dalam hal akademik (kognitif) dan

keterampilan (psikomotorik). Sebagian anak bisa naik

kelas dan lulus hingga melanjutkan sekolah ke

perguruan tinggi.

Dampak lainnya terletak pada banyaknya jumlah

ABK yang terlayani di sekolah. Hal ini dapat dilihat dari

perincian bahwa SDN 6 Bukit Tunggal memiliki 43

siswa, SMPN 3 memiliki 12 siswa, dan SMAN 4 memiliki

15 siswa. Dengan demikian, hasil temuan juga sesuai

dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal 3 ayat

2 dimana jenis kelainan ABK sangat bervariasi. Dalam

hal ini, sekolah memiliki variasi jumlah ABK yang

disertai dengan jenis kebutuhan khusus yang berbeda-

beda pula.