Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Subyek Penelitian
4.1.1 SDN 6 Bukit Tunggal
SDN 6 Bukit Tunggal merupakan sekolah negeri
yang pada awalnya berdiri pada tahun 1995. Pada
tahun 1995-2002, sekolah ini diberi nama SDN
Palangka 31. Kemudian pada tahun 2002-2006 nama
sekolah ini berubah nama menjadi SDN Bukit Tunggal
6 dan pada tahun 2006 hingga sekarang sekolah ini
berubah menjadi SDN 6 Bukit Tunggal.
Sekolah ini memiliki 18 rombongan belajar
(rombel) dan 14 ruang kelas. Saat ini sekolah sudah
mulai menggunakan kurikulum 2013. Adapun
ketenagaan di sekolah ini terdiri dari satu 1 orang
kepala sekolah, 19 orang guru kelas, 9 orang guru
bidang studi, 2 orang staf tata usaha, 1 orang penjaga
sekolah, 1 orang petugas kebersihan, dan 1 orang
satpam. Kualifikasi pendidikan dari para pegawai
meliputi 18 orang berpendidikan S1, 7 orang
berpendidikan D2, 5 orang berpendidikan SPG, dan 4
orang lulusan SMA.
Jumlah peserta didik di sekolah ini mengalami
peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke
tahun. Saat ini jumlah peserta didik di SDN 6 Bukit
Tunggal Palangka Raya adalah 518 orang. Sekolah ini
menempati area seluas 11.730 m2 dan memiliki nomor
32
statistik 10.1.14.60.02.031 dan telah terakreditasi A.
Sekolah ini terletak di Jl. Sapan III, Kelurahan Bukit
Tunggal, Kecamatan Jekan Raya, Palangka Raya,
Kalimantan Tengah.
Visinya adalah unggul dalam prestasi dan peduli
terhadap lingkungan, siap menghadapi era globalisasi,
berbudi pekerti luhur, berakhlak mulia, serta
berwawasan lingkungan. Misinya adalah
menumbuhkan semangat belajar secara intensif dan
menyeluruh, meningkatkan kompetensi guru dan
pegawai di bidang pendidikan dan teknologi serta
lingkungan hidup, dan terciptanya lingkungan sekolah
yang bersih, sehat, indah, nyaman, aman,
kekeluargaan, dan menyenangkan. Tujuan sekolah ini
adalah menjadikan peserta didik berprestasi, beriman,
jujur, terampil, berpengetahuan yang luas sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
4.1.2 SMPN 3 Palangka Raya
SMPN 3 Palangka Raya merupakan sekolah negeri
yang terletak di Jl. Kutilang Bukit Tunggal, Kecamatan
Jekan Raya, Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Sekolah ini menempati area seluas 27.014 m2 dan
memiliki nomor statistik 20.1.14.60.03.003 dan pada
tahun 2009 mendapatkan akreditasi A. Pada tahun
ajaran 2013/2014, sekolah ini memiliki 26 rombel dan
26 ruang kelas. Saat ini sekolah sudah mulai
menggunakan kurikulum 2013.
33
Adapun pendidik dan tenaga kependidikan di
sekolah ini terdiri dari 1 orang kepala sekolah, 4 orang
wakil kepala sekolah, dan 75 orang gabungan dari guru
tetap maupun tidak tetap/guru bantu dan staf TU.
Kualifikasi pendidikan dari para pendidik dan tenaga
kependidikan di sekolah ini terdiri dari 67 guru
tetap/PNS dan 2 guru tidak tetap/guru bantu yang
telah menyelesaikan tingkat pendidikan D4/S1/S2/S3.
Sementara, guru tetap/PNS yang telah menyelesaikan
maksimal pada tingkat D4/S1 ada 6 orang.
Visinya adalah berprestasi, bertaqwa dan
berbudaya berbasis ICT menuju Sekolah Berstandar
Internasional. Misinya adalah Mewujudkan
pelaksanaan pendidikan, pengajaran, pelatihan, dengan
KTSP yang didukung oleh fasilitas berbasis ICT, tenaga
pendidik dan kependidikan yang kompeten dalam
lingkungan sekolah yang aman, nyaman berakhlak
mulia, menuju perubahan-perubahan lebih bermutu
menuju sekolah yang kompetitif.
4.1.3 SMAN 4 Palangka Raya
Visinya adalah cerdas spiritual, cerdas sosial,
cerdas terampil, cerdas intelektual, dan berbasis
saintifik, budaya dan lingkungan. Misinya adalah
melaksanakan, mengamalkan ajaran agama yang
dianutnya dan bersikap toleran; mewujudkan rasa
kebersamaan tanpa diskriminatif; mengembangkan
kreativitas warga sekolah dalam berbagai bidang;
menciptakan insan berprestasi dan budaya lokal dan
34
cinta lingkungan; dan menanamkan nilai-nilai kearifan
budaya lokal dan cinta lingkungan.
4.3 Hasil Penelitian
Mengacu pada rumusan penelitian tentang
bagaimana evaluasi context, input, process dan product
dari penyelenggaraan program pendidikan inklusif di
Kota Palangka Raya, hasil pengumpulan data akan
digolongkan sesuai dengan komponen evaluasi
tersebut. Dengan demikian, penggolongan tersebut
memudahkan dalam melakukan pembahasan dan
penarikan kesimpulan.
4.3.1 Hasil Evaluasi Penyelenggaraan Program
Pendidikan Inklusif di SDN 6 Bukit Tunggal
4.2.3.1 Evaluasi Context Penyelenggaraan
Program Pendidikan Inklusif di SDN 6
Bukit Tunggal
SDN 6 Bukit Tunggal sudah mulai menerima
peserta didik dengan kebutuhan khusus atau kelainan
sebelum pemberlakuan Perwali dan pencanangan Kota
Pendidikan Inklusif. Dengan melihat beberapa peserta
didik yang memiliki kelainan dalam taraf ringan dan
berdomisili di dekat sekolah tersebut, sekolah
berinisiatif untuk melayani dan menerima ABK. Jadi,
sekolah ini sudah menjalani program pendidikan
inklusif sejak beberapa tahun sebelumnya sampai pada
akhirnya Disdikpora mencanangkan kota Palangka
Raya sebagai Kota Pendidikan Inklusif dimana secara
serentak semua sekolah diwajibkan menjalankan
35
program pendidikan inklusif. Hal ini disampaikan oleh
Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai
berikut:
Sebelum adanya Perwali dan surat pemberitahuan dari
Dinas kota, sekolah ini sudah menerima ABK karena
banyak peserta didik yang memiliki kebutuhan
khusus/kelainan. Selain itu juga, ada begitu banyak
ABK yang tinggal di sekitar lingkungan sekolah ini sehingga permohonan dan permintaan dari para orang
tua agar anaknya bisa diterima di sekolah ini pun
menjadi salah satu alasan.
Program pendidikan inklusif ini memiliki sasaran
yaitu peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus
atau kelainan ringan atau tidak berat. Pada tahun
ajaran 2014/2015 jumlah ABK di sekolah ini ada 43
anak yang terdata dan memiliki jenis kelainan slow
learner. Mengingat keterbatasan sekolah dalam banyak
hal maka jenis kelainan pada ABK yang bisa diterima di
sekolah adalah hanya sebatas kelainan kelas ringan.
Apabila ada ABK yang memiliki kelainan atau
kecacatan cukup berat maka pihak sekolah akan
mengajukan kepada orang tua ABK tersebut untuk
menyekolahkan anak ini di sekolah lain atau SLB yang
lebih mampu dan bersedia melayani anak tersebut. Hal
ini diperkuat dengan pernyataan Kepala SDN 6 Bukit
Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:
Sumber peserta didik dari program ini sudah tentu
adalah siswa yang memiliki kebutuhan khusus ringan
atau tidak berat. Hal ini disebabkan karena
kemampuan sekolah juga yang masih terbatas. Jadi apabila ada anak yang parah dan sekolah tidak mampu
melayaninya maka kami akan konsultasikan kembali
kepada orang tua dan mengusulkan untuk
menyekolahkan anak tersebut ke SLB saja.
36
Berdasarkan pernyataan kepala sekolah dalam
wawancara di atas perihal keterbatasan dalam
melayani ABK, maka manfaat yang diterima sekolah
dari penyelenggaraan program ini juga tidak nampak
signifikan. Sekolah mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat luas atas keterbukaan dalam melayani
peserta didik dengan jenis/karakteristik kebutuhan
khusus/kelainan ringan walau pelayanan yang
diberikan belum maksimal. Walau demikian, seiring
berjalannya waktu sekolah tetap berupaya melayani
ABK demi menjaga kepercayaan orang tua dan siswa
sebagai pelanggan.
4.2.3.2 Evaluasi Input Penyelenggaraan Program
Pendidikan Inklusif di SDN 6 Bukit
Tunggal
Sejak awal sekolah ini mulai menerima ABK,
sekolah hanya mengandalkan sarana prasarana
seadanya dalam kegiatan pelayanan ABK di sekolah.
Dalam hal ini, sarpras yang digunakan untuk melayani
ABK adalah sarpras yang pada umumnya juga
diberikan atau disediakan untuk siswa reguler. Nara
sumber yakni walikelas menyampaikan bahwa “sarpras
masih umum sama seperti yang digunakan atau
disediakan sekolah untuk siswa reguler. Sekolah belum
mendapatkan bantuan sarpras khusus demi menunjang
kebutuhan khusus ABK”.
Dari pernyataan dalam wawancara di atas,
keterbatasan sekolah nampak dari ketersediaan
sarpras yang masih minim dan belum memadai.
37
Setelah pencanangan Kota Pendidikan Inklusif,
bantuan sarpras dari Dinas terkait juga belum ada.
Oleh karena itu, sekolah belum optimal dan maksimal
dalam memberikan pelayanan bagi ABK. Hal tersebut
disampaikan oleh Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam
wawancara sebagai berikut:
Hingga saat ini, sekolah belum mendapatkan bantuan
sarana maupun prasarana khusus bagi pelayanan
ABK. Sarana prasarana yang ada di sekolah ini masih
umum sehingga kami hanya memanfaatkan seadanya dan secara merata saja.
Pelaksanaan program pendidikan inklusif di
sekolah ini melibatkan semua pihak sekolah. Pihak
sekolah yang terlibat di dalamnya meliputi baik kepsek,
komite, pengawas sekolah, wakasek, walikelas, dan
guru mapel. Sementara, keterlibatan langsung dari
tenaga ahli, psikolog, dan GPK dari SLB, PK-PLK
maupun Dinas terkait belum ada sama sekali dari awal
sekolah ini menerima ABK hingga saat ini setelah
pencanangan Kota Pendidikan Inklusif. Hal tersebut
disampaikan oleh kepala sekolah dan wali kelas SDN 6
Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:
Sampai saat ini belum ada keterlibatan dari psikolog,
GPK, atau tenaga profesional dalam rangka pelaksanaan program tersebut di sekolah ini; Sejauh
ini, pakar, tenaga profesional atau GPK dari SLB
langsung yang disediakan/diberikan dari Dinas
setempat untuk datang kemari, tidak ada dan belum
pernah terlibat dan membantu kami di sini.
Dalam penyelenggaraan program pendidikan
inklusif di SDN 6 Bukit Tunggal, sumber dana khusus
untuk melayani dan membantu ABK belum ada
diberikan dari Dinas terkait. Sejauh ini, sekolah
38
mengambil dan menggunakan dana BOS untuk
memenuhi kebutuhan dan pelayanan ABK. “Kami
menggunakan dan memanfaatkan dana BOS untuk
membantu ABK dalam rangka pembiayaan program
tersebut di sekolah ini. Hal ini mengingat bahwa belum
ada bantuan dana khusus bagi ABK”, ucap Kepala SDN
6 Bukit Tunggal dalam wawancara.
Selain sumber dana yang berasal dari BOS karena
mengingat belum ada bantuan dana khusus bagi ABK,
bantuan SDM dalam bentuk guru pembimbing khusus
(GPK) tidak ada. Selama ini, sekolah hanya
menggunakan dan memanfaatkan semua guru yang
ada untuk terlibat dalam mengajar dan melayani ABK
baik di kelas maupun di luar kelas. Dengan demikian,
guru mengajar dan melayani ABK sesuai dengan
kondisi kemampuan guru yang sebenarnya masih
terbatas. Hal tersebut disampaikan oleh kepala sekolah
dan wali kelas SDN 6 Bukit Tunggal sebgai berikut:
Sekolah ini belum memiliki atau tidak pernah mendapatkan bantuan berupa GPK. Jadi selama ini,
ABK hanya ditangani langsung oleh wali kelas dan guru
mapel saja dengan keterbatasan para guru juga;
Sekolah ini belum pernah memiliki atau mendapatkan
bantuan GPK langsung. Sekolah hanya mengatasi dan menangani ABK dengan seadanya saja, sesuai dengan
porsi dan kemampuan dari tiap guru di sini.
Mengingat tidak ada bantuan khusus dalam
bentuk GPK, maka ABK ditangani dan dibimbing
langsung oleh guru kelas dan wali kelas di dalam
maupun di luar kelas. Guru-guru di SDN 6 Bukit
Tunggal belum pernah terlibat dalam pelatihan khusus
untuk meningkatkan kompetensi guru terkait
39
penanganan ABK maupun pelaksanaan program
pendidikan inklusif. Pernyataan ini dirangkum dari
hasil wawancara bersama kepala sekolah, wali kelas,
dan guru kelas SDN 6 Bukit Tunggal dimana pada
intinya ketidakmaksimalan dan ketidakoptimalan
pelayanan yang diberikan sekolah ini bagi ABK
disebabkan oleh keterbatasan guru dalam hal
kemampuan atau kompetensi sebagai akibat dari tidak
ada pelibatan atau pembekalan dalam pelatihan
khusus dari Dinas terkait untuk guru-guru.
4.2.3.3 Evaluasi Process Penyelenggaraan
Program Pendidikan Inklusif di SDN 6
Bukit Tunggal
Setelah pencanangan Kota Pendidikan Inklusif,
Disdikpora kemudian mengeluarkan dan menyebarkan
surat permohonan dan pemberitahuan perihal
monitoring dan evaluasi (monev) sekolah penyelenggara
program pendidikan inklusif. Surat ini ditujukan
kepada seluruh kepala sekolah dari tingkat satuan
pendidikan TK/RA, SD/MI, SMPMTs, dan SMA/MA
baik berstatus negeri maupun swasta di Palangka
Raya. Dengan demikian, SDN 6 Bukit Tunggal juga
mendapat surat pemberitahuan tersebut. Hal ini
disampaikan oleh Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam
wawancara sebagai berikut:
Monev terakhir hanya disampaikan melalui surat permohonan dan pemberitahuan dari Kasi. SLB
Disdikpora pada bulan Nopember 2014 agar setiap
sekolah segera mengidentifikasi tiap peserta didik yang
memiliki kelainan, melakukan pendataan sesuai format
dan segera melaporkan ke Dinas tersebut untuk segera ditindaklanjuti.
40
Selain kegiatan monev yang dilakukan Dinas
terkait, kompetensi guru kelas dalam hal menyusun
perencanaan pengajaran seperti RPP dan materi ajar
khusus bagi ABK di kelas tetap sama dan umum.
Dengan kata lain, tidak ada perbedaan atau
kekhususan dalam modifikasi kurikulum, penyusunan
RPP dan bahan ajar bagi ABK. Hal ini disebabkan
karena keseluruhan isi pembelajaran baik materi,
kurikulum dan sebagainya yang diberikan bagi ABK
tetap sama halnya dengan yang diberikan kepada siswa
reguler. Hal ini disampaikan oleh salah seorang guru
kelas di SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara
sebagai berikut:
Dalam membuat RPP, saya tidak menyusun atau
memasukkan topik/materi khusus bagi ABK. Kami di
sini masih menggunakan KTSP dan pemberlakuan
kurikulum ini tetap sama baik untuk siswa reguler
pada umumnya maupun ABK secara khusus. Jadi tidak ada modifikasi kurikulum bagi ABK.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka dalam
proses belajar mengajar di kelas, guru juga cenderung
memperlakukan ABK sama halnya dengan siswa
reguler pada umumnya. Jadi, tidak ada pembedaan
perlakuan antara ABK dan siswa reguler yang
dilakukan atau diberikan guru di dalam kelas. Namun,
ada kalanya perlakuan khusus diberikan secara
individual dalam hal pembimbingan. Nara sumber yaitu
guru kelas di SDN 6 Bukit Tunggal menyatakan bahwa
“saya memberikan bimbingan dan perhatian khusus
kepada ABK, misalnya saya mendekati mereka dan
kemudian membimbing secara khusus dibanding teman-
temannya yang lain.”
41
Sama halnya dengan pernyataan nara sumber di
atas dalam wawancara, pengajaran dan pembimbingan
yang diberikan wali kelas terhadap ABK di dalam
maupun luar kelas juga sama dan serupa dengan cara
yang diberikan oleh guru kelas pada umumnya. Dalam
hal materi ajar dan RPP yang diberikan pada ABK
masih sama seperti yang diberikan pada siswa reguler.
Namun, guru terkadang memberikan perlakuan atau
bimbingan khusus secara intensif dan individual
kepada ABK. Hal ini disampaikan oleh salah seorang
wali kelas di SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara
sebagai berikut:
Dari segi pendampingan, saya tidak menyusun
perencanaan khusus seperti lembar kerja begitu. Pendampingan dilakukan secara umum dan reguler
saja; Ketika mengajar di kelas, saya akan mengajar
secara umum dulu. Kadang saya mendekati ABK
tersebut dan berusaha menjelaskan berkali-kali dengan
cara yang lebih mudah. Kemudian saat pemberian soal latihan, saya memberikan soal latihan yang lebih
mudah dibanding dari siswa reguler lainnya.
SDN 6 Bukit Tunggal memiliki kegiatan
ekstrakurikuler yang diperuntukkan bagi semua siswa.
Berdasarkan hasil wawancara bersama kepala sekolah,
wali kelas, dan guru kelas di SDN Bukit Tunggal 6,
kegiatan ekstrakurikuler ditujukan untuk semua siswa
termasuk ABK. Hingga saat ini, banyak ABK yang ikut
serta dalam kegiatan tersebut yang berlangsung di luar
jam sekolah. ABK memilih kegiatan ekstrakurikuler
sesuai kemampuannya masing-masing. Hal ini
disampaikan oleh salah seorang guru kelas di SDN 6
Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:
42
Kegiatan ekstrakurikuler diberikan dan boleh diikuti oleh semua siswa tergantung minat dan ketertarikan
mereka masing-masing. Ada beberapa ABK yang
mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan
kemampuan dan hobi mereka.
Mengingat sarana prasarana khusus yang ada di
SDN 6 Bukit Tunggal untuk melayani ABK tidak ada
sehingga sekolah menggunakan sarpras umum maka
manfaat sarpras umum tersebut bagi ABK dan guru
cukup signifikan. Sarpras umum yang digunakan juga
masih terbatas karena sarpras tersebut diperuntukkan
bagi semua siswa, baik ABK maupun siswa reguler.
Sekolah belum pernah mendapatkan bantuan sarpras
khusus bagi ABK dari Dinas terkait. Hal ini
disampaikan oleh salah seorang wali kelas dalam
wawancara sebagai berikut:
Berhubung sekolah tidak memiliki atau mendapat
bantuan sarpras khusus bagi ABK sehingga sekolah
menggunakan sarpras umum yang juga pada
umumnya dipakai oleh siswa umum maka sarpras
tersebut cukup bermanfaat. Walaupun manfaat ini tidak begitu signifikan terhadap sejauh mana
manfaatnya bagi ABK dan saya sebagai pengajar.
Berdasarkan fakta keterbatasan sarpras yang
dijelaskan nara sumber dalam wawancara di atas, guru
berinisiatif untuk membuat alat peraga sebagai
pelengkap dalam mengajar ABK dan siswa reguler di
kelas. Alat peraga ini juga melengkapi kekurangan dari
sarpras, sebagai media belajar yang disediakan sekolah
seperti buku penunjang, buku paket, dan sebagian alat
peraga. Dari alat peraga yang tersedia ini pun guru
ternyata masih belum bisa mendapatkan manfaat yang
signifikan. Hal ini disampaikan oleh salah seorang guru
kelas di SDN 6 Bukit Tunggal sebagai berikut:
43
Namun guru juga terkadang membuat alat peraga khusus untuk menunjang pelajaran termasuk buat
ABK. Jadi guru belum sepenuhnya mendapatkan
manfaat dari penggunaan sarpras yang sudah ada ini
untuk mengajar ABK terkait dengan beberapa sarpras
yang belum terpenuhi atau belum lengkap.
SDN 6 Bukit Tunggal sebagai salah satu sekolah di
kota Palangka Raya yang melaksanakan program
pendidikan inklusif masih menemukan dan menjumpai
beberapa kendala yang menyebabkan sekolah ini belum
maksimal dan optimal dalam menjalankan program.
Kendala yang dijumpai di antaranya adalah tidak
adanya ketersediaan SDM yaitu GPK dalam menangani
ABK, tidak adanya pelatihan khusus untuk
meningkatkan kompetensi guru, dan tidak ada bantuan
sarpras khusus bagi ABK. Hal ini disampaikan oleh
Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai
berikut:
Sekolah belum mempunyai atau mendapatkan bantuan GPK yang khusus menangani anak. Kemampuan guru
di sini terbatas karena tidak memiliki latar belakang
pendidikan khusus. Kedua, sarpras khusus bagi ABK
juga belum ada sehingga kami hanya menggunakan
dan memanfaatkan penggunaan sarpras yang seadanya
dan yang umum dipakai oleh siswa reguler pada umumnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh salah seorang
wali kelas di SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara
sebagai berikut:
GPK atau tenaga khusus yang belum ada untuk
membantu penanganan ABK. Kedua, sarpras masih
minim karena belum ada bantuan dari Dinas terkait pelayanan bagi ABK. Ketiga, kemampuan dan
pengetahuan guru masih terbatas.
44
Hal senada juga ditambahkan oleh salah seorang
guru kelas di SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara
sebagai berikut:
Kendalanya adalah alat peraga yang masih kurang
untuk media belajar ABK di kelas, jadi perlu ditambah
dan dimaksimalkan. Kemudian, GPK belum ada
sehingga guru-guru yang ada di sini hanya membantu
seadanya saja. Hal ini terkait dengan pelatihan yang belum pernah diperoleh oleh guru-guru di sini juga.
Dari kendala-kendala di atas, pihak sekolah yang
diwakili oleh kepala sekolah, wali kelas dan guru kelas
dalam wawancara berharap agar kendala tersebut
segera teratasi dan Dinas terkait bisa melakukan
perbaikan dan pembenahan terhadap kendala yang
dihadapi SDN 6 Bukit Tunggal. Hal ini disampaikan
oleh Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara
sebagai berikut:
Harapan saya adalah ada bantuan dan solusi dari
kendala yang saya jelaskan di atas tadi. Maka nantinya,
sekolah bisa memaksimalkan pelayanannya kepada
ABK dan pelaksanaan program tersebut bisa berjalan dengan baik dan sebagaimana mestinya.
SDN 6 Bukit Tunggal berupaya menjalankan
tanggung jawab sebagai penyelenggara program
pendidikan inklusif yang seharusnya diimbangi dengan
dukungan oleh Dinas terkait. Dengan demikian,
sekolah ini nantinya bisa melaksanakan program
pendidikan inklusif dengan baik dan maksimal atas
dukungan materiil maupun non materiil dari Dinas
terkait.
45
4.2.3.4 Evaluasi Product Penyelenggaraan
Program Pendidikan Inklusif di SDN 6
Bukit Tunggal
Produk dari program pendidikan inklusif ini
adalah dampak penerapan program tersebut terhadap
prestasi atau perkembangan ABK dari segi akademik
dan non akademik. Mengingat bahwa jenis kebutuhan
khusus atau kelainan ABK di SDN 6 Bukit Tunggal
adalah mayoritas lamban belajar atau slow learner,
maka perkembangan atau prestasi akademik ABK
tersebut hanya mencapai rerata atau standar KKM.
Semua ABK bisa naik kelas karena pada evaluasi
penilaian, standar KKM diturunkan menyesuaikan
kemampuan ABK tersebut. Sementara itu, sekolah
wajib menaikkan level ABK atau ABK berhak naik
kelas, tidak boleh tinggal kelas. Hal ini disampaikan
oleh Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara
sebagai berikut:
Karena sejauh ini jenis kebutuhan ABK di sekolah
hanya slow learner dan KKMnya kami turunkan karena
menyesuaikan kemampuan siswa, maka perkembangan
anak cukup baik. Dalam artian, ABK mampu mencapai
nilai standarnya.
Sementara, perkembangan non akademik ABK
juga dapat dikatakan cukup baik atau rerata. “Untuk
prestasi bidang non akademik dari ABK juga tidak
nampak begitu signifikan atau bisa dikatakan masih
rata-rata saja”, ucap wali kelas dalam wawancara.
Hal senada juga disampaikan oleh salah seorang
guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:
46
Perkembangan secara akademik dari ABK tidak terlihat begitu signifikan dan menonjol. Sejauh ini, ABK hanya
mencapai rata-rata dengan nilai yang standar karena
soal-soal yang dibuat saat kegiatan evaluasi di kelas
dipermudah sesuai kemampuan ABK. Dari segi non
akademik, prestasi siswa juga sebatas rata-rata dan tidak begitu menonjol.
Selain dampak pelaksanaan program terhadap
perkembangan prestasi ABK, dampak lain yang muncul
adalah terlayaninya SDN 6 Bukit Tunggal memiliki
peserta didik yang memiliki kebutuhan
khusus/kelainan sejumlah 43 anak dengan 1 jenis
kelainan yaitu lamban belajar (slow learner). Kepala
sekolah menyebutkan bahwa “sebanyak 43 ABK di
sekolah ini memiliki jenis kelainan lamban belajar (slow
learner)”. Sementara walikelas menambahkan bahwa
“semua ABK di sini memiliki kelainan dalam hal lamban
belajar.”
Hasil temuan data lapangan terhadap evaluasi
penyelenggaraan program pendidikan inklusif di SDN 6
Bukit Tunggal dapat dilihat melalui tabel sebagai
berikut:
Tabel 4.1 Ringkasan Hasil Temuan Lapangan
di SDN 6 Bukit Tunggal
Komponen
Evaluasi Substansi Data Lapangan
Context
1. Kebutuhan
yang belum
terpenuhi
1. Sudah menerima ABK
sebelum adanya Perwali dan
pencanangan Kota Pendidikan Inklusif.
2. Populasi yang
dilayani
1. Semua anak yang memiliki
kebutuhan khusus atau
kelainan ringan atau tidak
berat.
3.Peluang/manfaat 1. Kepercayaan dari
47
masyarakat luas bahwa
sekolah bisa melayani ABK walaupun pelayanan belum
maksimal.
Input
1. Kemampuan
sekolah
1. Sarpras belum memadai
dan masih terbatas.
2. Perencanaan
1. Semua pihak di dalam
sekolah ikut terlibat kecuali
tenaga ahli/profesional/psikolog/G
PK.
3. Sumber dana
1. Belum ada dana khusus
bagi ABK, menggunakan
dana BOS.
4. Staf/SDM
1. Belum ada GPK.
2. Kemampuan guru masih
terbatas. 3. Belum ada pelatihan
khusus bagi guru.
Process
1. Monitoring/
evaluasi
1. Monev berisi surat
permohonan dan
pemberitahuan dari Kasi.
SLB Disdikpora pada bulan Nopember 2014.
2. Kompetensi
SDM
1. Materi/bahan ajar dan
kurikulum yang digunakan
tetap sama/umum.
Bimbingan yang diberikan
perlu penyesuaian dengan
kebutuhan ABK.
3. Pelaksanaan
kegiatan pembelajaran/
pendampingan
1. Pengajaran dan
pendampingan
sama/umum, namun
terkadang secara individual
dengan menyesuaikan
terhadap kebutuhan/kemampuan
ABK.
2. ABK boleh mengikuti
kegiatan ekstrakurikuler
sesuai kemampuan.
4. Efektivitas
sarpras
1. Manfaat sarpras bagi ABK dan guru tidak signifikan
karena sarpras yang dimiliki
dan digunakan merupakan
sarpras milik sekolah
sendiri dan belum ada
48
bantuan khusus/fasilitas
dari Dinas terkait.
5. Masalah/
kendala yang
dihadapi
1. GPK belum ada, sarpras belum memadai, &
pelatihan khusus bagi guru
tidak ada.
2. Kendala-kendala tadi bisa
diatasi.
Product
1. Prestasi/ perkembangan
ABK
1. Perkembangan dari segi akademik dan non
akademik cukup baik atau
rata-rata.
2. Jumlah ABK
yang terlayani
2. 43 ABK dengan jenis
kelainan lamban belajar (slow learner).
4.3.1 Hasil Evaluasi Penyelenggaraan Program
Pendidikan Inklusif di SMP Negeri 3
4.2.3.1 Evaluasi Context Penyelenggaraan
Program Pendidikan Inklusif di SMPN 3
SMPN 3 merupakan salah satu sekolah di
Palangka Raya yang juga melaksanakan program
pendidikan inklusif. Sebelum pencanangan kota
Palangka Raya sebagai Kota Pendidikan Inklusif pada
tahun 2014 lalu, sekolah ini sudah mulai menerima
ABK sejak tahun 2008. Hal ini terbukti dari SK
Disdikpora tahun 2008 yang ditujukan kepada sekolah
ini sebagai sekolah piloting (percontohan) pendidikan
inklusif. Selain pemberlakuan SK tersebut, SMPN 3
mendapat banyak permintaan dan kepercayaan dari
orang tua yang memiliki ABK agar dilayani dan diterima
di sekolah ini. Dengan demikian, sekolah sambil
berjalan dan berproses dalam melayani ABK walaupun
hasil pelayanan yang diberikan belum maksimal. Hal
49
yang melatarbelakangi sekolah untuk menjalankan
program pendidikan inklusif tersebut dijelaskan pula
oleh Kepala SMN 3 dalam wawancara sebagai berikut:
Jadi saya pikir sekolah ini dengan pemimpin terdahulu
pun memang sudah terbuka menerima dan melayani
siswa demikian. Hal ini juga didukung dari adanya SK
dari Disdikpora pada tahun 2008 dimana sekolah ini
wajib menerima ABK. Ada beberapa anak yang harus dilayani di sekolah ini mengingat begitu banyak
permintaan dan kepercayaan para orang tua yang
memiliki ABK untuk dilayani dan diterima di sekolah
ini. Kebanyakan siswa demikian juga berdomisili di
Kecamatan Jekan Raya, rumah yang berdekatan
dengan sekolah ini.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, sasaran dari
program tersebut sudah tentu peserta didik yang
memiliki jenis kebutuhan khusus/kelainan yang
variatif atau ABK. Namun, karakteristik dari jenis
kebutuhan khusus, kelainan atau kecacatan yang
ditolerir oleh sekolah adalah jenis yang ringan dan
anak masih bisa mengikuti pelajaran. Dalam hal ini,
sekolah masih belum bisa melayani ABK dengan jenis
kebutuhan, kelainan atau kecacatan yang cukup
bahkan berat. Hal ini dikarenakan kemampuan sekolah
dari segi SDM atau tenaga pengajar khusus, sarpras,
dana dan sebagainya belum memadai. Kepala SMPN 3
menjelaskan bahwa “apabila jenis ketunaan anak
masuk dalam kategori parah atau berat, maka kami
akan menyampaikan dan mengusulkan kepada orang
tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah atau
pendidikan khusus”.
Sejak 2008 hingga saat ini, SMPN 3 masih terbuka
dalam menerima ABK yang memiliki jenis kebutuhan
50
khusus, kelainan atau kecacatan yang ringan. Hal ini
juga terbukti dari adanya pendaftaran dan penerimaan
ABK di setiap tahun ajaran baru. Dengan demikian,
sekolah mendapat kepercayaan dari masyarakat karena
ABK bisa diterima dengan baik. Selain itu, hubungan
sekolah dengan orang tua ABK juga terjalin baik dan
saling terbuka dalam perkembangan anak. Hal ini
disampaikan oleh Kepala SMPN 3 dalam wawancara
sebagai berikut:
Dengan keterbukaan sekolah dalam menerima dan
berusaha melayani ABK maka sekolah juga
mendapatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat. Masyarakat mendapatkan haknya dalam hal
pemerataan akses pendidikan bagi anak-anaknya. Oleh
karena itu, sekolah juga berharap adanya kerja sama
dari orang tua.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka
manfaat yang diterima sekolah dalam menjalankan
program pendidikan inklusif ialah kepercayaan
masyarakat dan hubungan kerja sama yang terjalin
anatara pihak sekolah dengan orang tua ABK.
4.2.3.2 Evaluasi Input Penyelenggaraan Program
Pendidikan Inklusif di SMPN 3
Sejak tahun 2008, SMPN 3 sudah menjalankan
program pendidikan inklusif dan menerima peserta
didik dengan kebutuhan khusus, kelainan atau
kecacatan tertentu yang masih tergolong ringan.
Sekolah melayani ABK dengan ketersediaan sarana
prasarana yang masih terbatas karena sarpras khusus
bagi ABK belum ada. Sebelumnya, Pemko pernah
memberikan bantuan fasilitas berupa kursi roda
sebanyak 4 buah namun alat bantu ini belum
51
digunakan dan diarahkan sebagaimana mestinya oleh
sekolah. Hal ini dikarenakan belum ada pantauan
ulang yang dilakukan langsung dari Pemko. Secara
personal, sekolah pernah mengajukan pembukaan atau
pengadaaan ruang khusus bagi ABK namun hingga
saat ini belum ada realisasi atau respon balik dari
Dinas terkait. Hal ini disampaikan oleh Kepala SMPN 3
dalam wawancara sebagai berikut:
Untuk saat ini, kami belum mempunyai sarpras
khusus bagi ABK terkait jenis kebutuhan ABK di sini
juga memang tidak begitu parah dan masih bisa
ditangani. Namun, kami pernah mengusulkan kepada
Dinas terkait untuk membuka kelas/ruang khusus bagi ABK tapi hingga saat ini belum direalisasi.
Sementara, guru BK menjelaskan bahwa “Pemko
pernah memberikan kursi roda sebanyak 4 buah
sebagai alat bantu bagi ABK namun belum kami
gunakan. Untuk prasarana lainnya belum ada seperti
ruang khusus dll”.
SMPN 3 menjalankan program pendidikan inklusif
dengan melibatkan semua pihak sekolah di dalamnya
yang meliputi kepala sekolah, komite sekolah,
pengawas sekolah, wakasek (bidang SIM, kesiswaan,
kurikulum, sarana prasarana, dan humas), seluruh
guru kelas, guru BK/pendamping dan walikelas, dan
staf TU. “Program tersebut melibatkan semua warga
sekolah, mulai dari kepala sekolah, komite sekolah,
pengawas sekolah, wakasek, guru kelas, guru
BK/pendamping dan walikelas, dan staf”, ungkap guru
dalam wawancara.
52
Keterlibatan dari pihak luar sekolah dalam
pelaksanaan program pendidikan inklusif di SMPN 3
belum ada. Sekolah belum pernah mendapat
kunjungan atau keikutsertaan dari profesional.
Menurut wawancara dengan Kepala SMPN 3, GPK
langsung dari SLBN 1 pernah terlibat dalam menangani
seorang ABK yang didatangkan atas keinginan dan
inisiatif orang tua anak itu sendiri. Guru BK
menyampaikan hal serupa bahwa “sekolah belum
pernah mendapatkan bantuan tenaga profesional. Kami
hanya mengandalkan kemampuan dari guru BK saja”.
Adapun dalam hal sumber dana, pada tahun 2012
SMPN 3 pernah mendapat bantuan dana dari
Pemerintah Pusat yang digunakan untuk mendukung
ABK dalam meningkatkan keterampilan serta bantuan
dana berupa beasiswa bagi ABK yang berprestasi.
Selain itu, pada tahun 2014 bidang Dikdas Disdikpora
memberikan bantuan beasiswa ABK-PKLK kepada 7
ABK. Selain itu, dana BOS digunakan untuk membantu
sisa ABK lainnya yang belum mendapatkan bantuan
dana khusus dan beasiswa dari Dinas terkait. Hal ini
disampaikan oleh Kepala SMPN 3 dalam wawancara
sebagai berikut:
Untuk saat ini, sekolah belum mendapatkan bantuan
dana khusus bagi ABK lainnya sementara jumlah ABK
kian bertambah. Jadi selama ini, dana kami ambil dari
BOS yang diberikan kepada seluruh siswa termasuk
ABK. Hal ini dikarenakan, penggunaan dana BOS tidak
memandang latar belakang siswa baik siswa reguler maupun ABK.
Dalam pelaksanaan program pendidikan inklusif,
SMPN 3 mengandalkan penanganan dan
53
pembimbingan dari guru BK yang dianggap sekolah
sebagai GPK, dimana jumlah guru BK yang tersedia ada
5 orang. Dalam hal ini, sekolah belum mempunyai GPK
dan belum pernah mendapatkan bantuan khusus
berupa GPK dari Dinas terkait. Kepala SMPN 3
menjelaskan bahwa “sekolah belum memiliki GPK dan
belum mendapat bantuan GPK dari Dinas Pendidikan
Provinsi maupun Kota. Sejauh ini, secara khusus ABK
langsung ditangani dan didampingi oleh guru
BK/pendamping”.
Berdasarkan wawancara bersama salah seorang
guru BK, penanganan dan pendampingan ABK secara
langsung dan individual merupakan tanggung jawab
guru BK. Sementara, guru kelas berupaya melayani
ABK di kelas walaupun dengan kemampuan yang serba
terbatas. Hal ini disebabkan karena guru bukan berasal
atau berlatar belakang pada pendidikan khusus
maupun karena belum mendapatkan pelatihan khusus.
“Kami hanya melayani semampunya saja karena tidak
memiliki kemampuan atau latar belakang khusus dalam
mendampingi ABK”, ungkap guru tersebut.
Dalam rangka pelaksanaan program pendidikan
inklusif, SMPN 3 pernah mendapat undangan dari
Disdikpora guna mengikuti kegiatan sosialisasi,
workshop bahkan pelatihan khusus bagi peningkatan
kompetensi guru. Pihak sekolah yang pernah terlibat
dalam kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagian guru
kelas dan guru BK. Hal ini disampaikan oleh Kepala
SMPN 3 dalam wawancara sebagai berikut:
54
Jadi saya sendiri pernah ikut serta dan memilih
beberapa guru kelas, wali kelas, dan guru BP untuk
ikut serta dalam kegiatan tersebut. Namun pelatihan
secara khusus bagi semua guru belum ada atau belum merata. Terakhir kemarin, salah satu guru BP
mendapatkan surat tugas dari Disdikpora untuk
mengikuti kegiatan Bimtek penyusunan kurikulum
PK/PLK.
Hal serupa disampaikan oleh salah seorang guru
BK dalam wawancara sebagai berikut:
Saya sudah mengikuti pelatihan dan workshop
sebanyak 3 kali perihal pendidikan inklusif yang
diselenggarakan oleh Disdikpora. Saya pernah mendapat tugas dari Kepala Disdikpora untuk
mengikuti kegiatan bimbingan teknis (Bimtek)
penyusunan kurikulum PK-PLK Prov. Kalteng tahun
2015 pada tanggal 23-28 Maret 2015 lalu.
Sementara itu, pemberian atau pengadaan
pelatihan khusus bagi guru kelas yang belum merata
disampaikan oleh salah seorang guru kelas dalam
wawancara sebagai berikut:
Memang ada beberapa guru yang pernah atau sudah
mengikuti kegiatan sosialisasi, workhsop dan pelatihan.
Namun, saya pribadi belum pernah. Sehingga, saya pun belum begitu memahami bagaimana penanganan
yang benar dan tepat bagi ABK dalam proses belajar
mengajar.
Dengan demikian, beberapa pihak sekolah di
SMPN 3 seperti kepala sekolah, beberapa guru kelas
dan guru BK pernah mengikuti kegiatan workshop,
sosialisasi maupun pelatihan khusus yang
diselenggarakan oleh Disdikpora maupun PK-PLK
dalam rangka penyelenggaraan program pendidikan
inklusif di kota Palangka Raya.
55
4.2.3.3 Evaluasi Process Penyelenggaraan
Program Pendidikan Inklusif di SMPN 3
Berdasarkan kebijakan Disdikpora yang ditujukan
kepada semua sekolah di kota Palangka Raya untuk
melaksanakan program pendidikan inklusif dan secara
serentak dideklarasikan pada 18 Oktober 2014 lalu,
Disdikpora kemudian mengeluarkan dan menyebarkan
surat permohonan dan pemberitahuan perihal monev
sekolah ABK. Semua sekolah dari seluruh tingkat
satuan pendidikan baik berstatus negeri maupun
swasta menerima surat tersebut. Dengan demikian,
SMPN 3 juga mendapat surat tersebut untuk kemudian
ditanggapi. Hal ini disampaikan oleh Kepala SMPN 3
dalam wawancara sebagai berikut:
Setelah pencanangan Kota Pendidikan Inkluisf pada
bulan Oktober 2014 lalu, sekolah mendapat surat
permohonan dan pemberitahuan dari Disdikpora, perihal monev sekolah ABK. Melalui surat ini, sekolah
diminta untuk mengidentifikasi tiap peserta didik yang
memiliki kelainan, melakukan pendataan sesuai format
dan segera melaporkan ke Dinas tersebut untuk segera
ditindaklanjuti.
Dalam hal pembelajaran, guru kelas tetap
menggunakan kurikulum umum, materi ajar, dan
sistem penilaian yang sama baik bagi siswa reguler
maupun ABK. Dengan demikian, guru tidak menyusun
perencanaan khusus dalam pembelajaran yang
diberikan pada ABK. Sama halnya dengan penggunaan
kurikulum, materi ajar, dan sistem penilaian maka
dalam proses pembelajaran guru kelas juga
memperlakukan ABK sama seperti memperlakukan
siswa reguler pada umumnya. Namun, guru akan tetap
56
menyesuaikan pendampingan dalam mengajar sesuai
kemampuan ABK (layanan secara individual). Hal ini
disampaikan oleh salah seorang guru kelas dalam
wawancara sebagai berikut:
Kami tidak ada menyusun perencanaan pembelajaran
khusus bagi ABK. Sejauh ini ABK masih mengikuti
sistem pembelajaran yang sama dengan teman-temannya. Namun dalam penanganannya di kelas,
kami memberikan pelayanan atau bimbingan yang
lebih kepada ABK tersebut. Jadi dalam proses
mengajar, kami hanya menyesuaikan saja dengan
kemampuan ABK.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan proses
pembimbingan atau pendampingan yang diberikan oleh
guru BK kepada ABK. Hal ini disampaikan oleh salah
seorang guru BK dalam wawancara sebagai berikut:
Tidak ada perencanaan atau penyusunan
materi/lembar kerja khusus bagi ABK secara tertulis.
Semua dilakukan sesuai jadwal kerja atau piket kami selaku guru BP dalam melayani jika ada siswa yang
bermasalah atau perlu pendampingan khusus di ruang
BK secara berkesinambungan. Namun jika ada hal
yang krusial dan mendadak dari guru kelas yang
membutuhkanpenanganan atau pendampingan khusus dari kami maka kami akan mendatangi kelas dan
langsung menangani ABK tersebut.
SMPN 3 memiliki banyak kegiatan ekstrakurikuler
dari berbagai bidang seperti ekskul di bidang olahraga,
kesenian, kemanusiaan/sosial, SAINS, kesehatan,
keterampilan memasak, dan lain-lain. Adapun kegiatan
ini dibuka dan diberikan kepada semua siswa baik
siswa reguler maupun ABK. Jadi, ABK boleh mengikuti
kegiatan tersebut sesuai dengan kemampuan, bakat,
minat dan ketertarikannya. Kepala SMPN 3
mengatakan “tentunya, kegiatan ini terbuka untuk
semua siswa termasuk ABK”.
57
Hal senada disampaikan pula oleh salah seorang
guru BK dalam wawancara sebagai berikut:
Semua siswa di sini memiliki kebebasan untuk memilih
dan mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler, termasuk diikuti oleh ABK. Jadi kegiatan ini terbuka
untuk semua siswa sesuai dengan kemampuan, hobi
dan bakat dari anak itu sendiri.
Selain itu, hal serupa juga disampaikan oleh salah
seorang guru kelas dalam wawancara bahwa “kegiatan
ekstrakurikuler di sekolah ini terbuka untuk semua
siswa. Jadi, ABK sangat boleh mengikuti kegiatan ini
sesuai dengan kemampuan, hobi, minat dan
ketertarikannya”.
Berhubung jenis kebutuhan khusus atau kelainan
ABK di SMPN 3 sejauh ini ringan dan masih bisa tolerir
yaitu tuna daksa dan slow learner, maka sarpras
umum yang dimiliki sekolah masih bisa membantu
ABK tersebut. Alat bantu kursi roda yang diberikan
oleh Disdikpora hingga saat ini belum digunakan dan
diarahkan kepada ABK yang membutuhkan. Selain itu,
prasarana lain seperti jalan khusus untuk jalur kursi
roda dan ruang khusus belum ada. Oleh karena itu,
sarana prasarana baik yang sudah diberikan Dinas
terkait maupun yang belum ada dapat dikatakan belum
bermanfaat atau berdampak bagi ABK dan guru yang
menangani ABK. Hal tersebut disampaikan oleh salah
seorang guru BK dalam wawancara sebagai berikut:
Meskipun, sekolah sudah mendapat bantuan kursi
roda dari Pemko, namun karena belum adanya
pemeriksaan dari Dinas terkait maka kami belum berani menggunakan kursi ini untuk anak tersebut.
Sejauh ini sarana berupa kursi roda sudah ada namun
belum digunakan dan prasarana masih belum ada
58
juga. Sehingga manfaat pengadaannya pun belum terlihat. Manfaat dari pengadaan sarpras belum terlihat
begitu sigifikan. Selain itu, prasarana juga belum ada
sehingga belum ada manfaat yang terlihat dari segi
prasarana.
Hal serupa juga disampaikan oleh salah seorang
guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:
Sarpras yang memang ada sejak awal dan disediakan
dari sekolah memang digunakan dan dimanfaatkan
oleh ABK juga walaupun sebenarnya sarpras yang ada diperuntukkan bagi semua siswa. Jadi, manfaatnya
yang nampak bagi ABK tidak begitu signifikan dan
biasa-biasa saja. Sama halnya dengan jawaban di atas
dimana manfaat adanya sapras yang ada dalam
melayani ABK, bagi saya tidak begitu signifikan.
Dari proses berjalannya program pendidikan
inklusif di SMPN 3, ada beberapa kendala yang
menyebabkan pelaksanaan program tersebut belum
maksimal. Kendala yang dimaksud meliputi tidak
adanya GPK/tenaga profesional khusus, sarpras belum
memadai, dan kurangnya pemerataan dalam
memberikan kesempatan untuk guru lainnya dalam
mengikuti pelatihan khusus. Hal tersebut disampaikan
oleh Kepala SMPN 3 dalam wawancara sebagai berikut:
Paling tidak masing-masing sekolah harus mempunyai
1 GPK berdasarkan perintah dan tugas dari Dinas terkait. Kemudian, sarpras belum mendukung dalam
hal ruang khusus untuk mendampingi ABK dalam
latihan keterampilan, pelajaran tambahan dan lain-
lain. Terakhir, banyak guru kelas yang kurang
pengalaman dalam menangani ABK yang bisa
disebabkan juga karena kurangnya kegiatan sosialisasi, workshop atau pelatihan tentang penanganan ABK
dalam lingkup pendidikan inklusif.
Hal senada juga disampaikan oleh salah seorang
guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:
59
Kendalanya antara lain adalah kurangnya pemerataan terhadap pemberian/pengadaan pelatihan, workshop
maupun sosialisasi bagi sebagian guru. Kedua, tenaga
GPK yang tidak ada sehingga ABK belum terlayani oleh
sekolah dengan baik dan sebagaimana mestinya. Selain
itu, sarpras belum memadai dalam memfasilitasi ABK.
Di samping itu, kendala lain yang ditemukan
adalah tidak ada monitoring dari Dinas terkait
pelaksanaan program pendidikan inklusif di sekolah.
Hal ini disampaikan oleh salah seorang guru BK dalam
wawancara sebagai berikut:
Selain itu, belum adanya pengawasan atau kegiatan
monitoring khusus dari Pemko terhadap proses
pelaksanaan program di sekolah. Hal ini berakibat pada
salah satunya yaitu penggunaan kursi roda yang belum
bisa diarahkan atau dilaksanakan.
Dari kendala-kendala di atas, semua pihak yang
terlibat dalam pelaksanaan program pendidikan
inklusif di SMPN 3 berharap agar ada solusi dan
perbaikan dari Dinas terkait serta dukungan dari pihak
sekolah dan masyarakat. Dengan demikian, sekolah
bisa menjalankan tugas dan tanggung jawabnya
dengan baik dalam mensukseskan program tersebut.
“Harapan saya semoga kendala-kendala di atas tadi
bisa teratasi segera mungkin demi menunjang
pelaksanaan program tersebut”, imbuh seorang guru
BK dalam wawancara. Harapan lainnya adalah kegiatan
sosialisasi yang lebih gencar yang dilakukan oleh Dinas
terkait untuk kemudian disampaikan kepada
masyarakat luas. Hal ini disampaikan oleh salah
seorang guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:
Harapan saya adalah kendala di atas bisa teratasi. Kemudian, Pemko/Dinas setempat lebih gencar lagi
dalam mensosialisasikan program tersebut ke sekolah-
60
sekolah, masyarakat luas dan terhhusus kepada orang tua .
Berdasarkan hasil wawancara bersama Kepala
SMPN 3, harapan yang sama pula disampaikan agar
kendala-kendala bisa teratasi. Selain itu, sekolah
berharap agar rencana penyusunan standar KKM
dalam hal evaluasi belajar ABK pada TA 2015/2016
bisa berjalan baik dan mendapat dukungan dari
banyak pihak baik SDM yang ada di sekolah maupun
informasi atau panduan dari Dinas terkait.
4.2.3.4 Evaluasi Product Penyelenggaraan
Program Pendidikan Inklusif di SMPN 3
Dampak penerapan pendidikan inklusif terhadap
perkembangan atau prestasi ABK dari segi akademik
dan non akademik merupakan produk atau hasil yang
dicapai dari suatu pelaksanaan program. Berhubung
SMPN 3 memiliki ABK dengan jenis kebutuhan khusus
atau kelainan yang ringan dan bisa ditolerir, maka
perkembangan akademik ABK termasuk cukup baik
atau rata. Selain itu, beberapa ABK juga memiliki
prestasi cukup baik dalam bidang non akademik. Hal
ini disampaikan oleh Kepala SMPN 3 dalam wawancara
sebagai berikut:
Sejauh ini, perkembangan akademik ABK bisa
dikatakan rata-rata atau cukup baik, mengingat bahwa jenis ketunaannya ringan yaitu hanya fisik dan
intelektual yang masih bisa mengikuti/mengejar
pelajaran. Dari bidang non akademik, ABK cukup
berprestasi dan membanggakan.
Hal serupa juga disampaikan oleh salah seorang
guru BK dalam wawancara sebagai berikut:
61
Pencapaian prestasi untuk ABK slow learner dikatakan masih standar atau hanya rata-rata KKM. Sementara
anak tuna daksa juga mencapai standar KKM sesuai
kurikulum umum/reguler. Dari bidang non akademik,
memang ada beberapa ABK yang berprestasi misal
dalam bidang keterampilan memasak.
Hal senada disampaikan oleh salah seorang guru
kelas dalam wawancara sebagai berikut:
Mengacu pada jenis kebutuhan khusus/kelainan ABK
di sekolah saat ini yang hanya tuna daksa (namun memiliki IQ yang bagus) dan slow learner, maka
prestasi akademik bagus bagi siswa yang tuna daksa
tadi dan rerata KKM bagi siswa yang slow learner.
Sementara dari segi non akademik, ada beberapa ABK
yang berprestasi baik.
Mengingat bahwa SMPN 3 sudah menerima ABK
sejak tahun 2008 maka sekolah ini sudah meluluskan
beberapa ABK dengan prestasi akademik dan non
akademik yang cukup baik. Di samping itu, banyak
lulusan ABK dari SMPN 3 ini yang melanjutkan ke
jenjang studi yang lebih tinggi.
Selain perkembangan atau prestasi ABK, dampak
juga terlihat pada banyaknya ABK yang terlayani.
Berhubung sasaran dari program tersebut adalah
peserta didik dengan jenis kebutuhan khusus, kelainan
atau kecacatan yang masih bisa ditolerir, maka ABK
yang saat ini masih dilayani dan terdata di sekolah ada
sekitar 12 anak dengan jenis kelainan tuna daksa dan
slow learner. “Jenis kebutuhan khusus/kelainan dari
ABK di sini ada 2 yaitu tuna daksa dan slow learner.
Hingga saat ini jumlah ABK yang terdata di sekolah ini
ada sekitar 12 siswa”, ungkap Kepala SMPN 3.
Sementara berdasarkan pernyataan guru BK, jenis
kebutuhan khusus/kelainan dari ABK sekolah tersebut
62
hanyaada 2 yaitu tuna daksa (tidak bisa berjalan) dan
slow learner.
Hasil temuan data lapangan terhadap evaluasi
penyelenggaraan program pendidikan inklusif di SMPN
3 dapat dilihat melalui tabel sebagai berikut:
Tabel 4.2
Ringkasan Hasil Temuan Lapangan di SMPN 3
Komponen
Evaluasi Substansi Data Lapangan
Context
1. Kebutuhan yang
belum terpenuhi
1. Sudah menerima ABK
berdasarkan SK dari
Disdikpora (2008), kemudian secara
serentak seluruh sekolah
se-kota Palangka Raya
pada tahun 2014.
2. Populasi yang dilayani
1. Siswa dengan jenis
kebutuhan khusus/kelainan variatif
yang ringan atau tidak
berat/parah sekali.
3. Peluang/manfaat
1. Pemerataan akses
pendidikan bagi
masyarakat dan sekolah
mendapat kepercayaan dan dukungan balik.
Input
1. Kemampuan
sekolah
1. Sarpras belum memadai
(kelas/ruang khusus)
namun ada bantuan
kursi roda.
2. Perencanaan
1. Semua pihak di dalam
sekolah ikut terlibat, kecuali dari pakar/tenaga
ahli/psikolog/GPK.
3. Sumber dana
1. Bantuan beasiswa ABK-
PKLK kepada 7 siswa
tahun 2014 dan saat ini
masih menggunakan dana BOS karena belum
ada bantuan dana
khusus bagi ABK lainnya,
63
yang tidak mendapat
bantuan beasiswa di atas.
4. Staf/SDM
1. Tidak ada GPK dan ditangani langsung oleh
guru BK.
2. Sebagian guru mampu
dan sebagian masih
terbatas/kesulitan. 3. Sebagian guru sudah
mendapat pelatihan
khusus.
Process
a. Monitoring/ Evaluasi
1. Monev berisi surat
permohonan dan
pemberitahuan dari Kasi. SLB Disdikpora pada
bulan Nopember 2014.
b. Kompetensi SDM
1. Materi/bahan ajar dan
kurikulum yang
digunakan di kelas masih
sama/umum. Bimbingan khusus dilakukan secara
individual dan
berkesinambungan
sesuai dengan kebutuhan
ABK.
c. Pelaksanaan
kegiatan
pembelajaran/
pendampingan
1. Proses pembelajaran dan
pembimbingan di dalam/luar kelas masih
sama/umum namun ada
pelayanan/penanganan
secara individual.
2. Kegiatan ekstrakurikuler terbuka bagi ABK.
d. Efektivitas sarpras
1. Manfaat sarpras bagi ABK
dan guru belum
signifikan karena belum
memadai dan
penggunaan alat bantu
kursi roda yang belum diarahkan.
5. Masalah/
kendala yang
dihadapi
1. GPK tidak ada, sarpras
belum memadai, dan
kurang merata dalam
pemberian/pengadaan
pelatihan khusus bagi guru, dan tidak ada
64
monitoring dari Dinas
terkait. 2. Kendala-kendala bisa
teratasi, Dinas terkait
lebih gencar dalam
kegiatan sosialisasi
kepada masyarakat, dan rencana penyusunan
standar KKM untuk TA
2015/2016 bisa berjalan
baik dan terealisasi.
Product
1. Prestasi/
perkembangan
ABK
1. Prestasi akademik dan
non akademik rata-
rata/cukup baik.
2. Jumlah ABK yang
terlayani
2. Ada sekitar 12 siswa dengan jenis ketunaan
tuna daksa dan slow
learner.
4.3.1 Hasil Evaluasi Penyelenggaraan Program
Pendidikan Inklusif di SMA Negeri 4
4.2.3.1 Evaluasi Context Penyelenggaraan
Program Pendidikan Inklusif di SMAN 4
SMAN 4 merupakan salah satu sekolah yang
melaksanakan program pendidikan inklusif di kota
Palangka Raya. Sekolah ini sudah peduli kepada
peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus,
kelainan atau kecacatan sebelum pencanangan kota
Palangka Raya sebagai Kota Pendidikan Inklusif.
Sekolah ini merupakan satu-satunya sekolah yang
ditunjuk sebagai pilot project dari Pemerintah Pusat
bersama Pemprov sebagai perwakilan tingkat SMA
untuk menjalankan program pendidikan inklusif pada
tahun 2009. Sejak inilah banyak permintaan orang tua
ABK untuk menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Hal
65
tersebut disampaikan oleh Kepala SMAN 4 dalam
wawancara sebagai berikut:
Jadi sekolah ini sudah lama memiliki kepedulian untuk
menerima semua siswa tanpa diskriminasi, apakah siswa tersebut normal atau berkebutuhan khusus. Hal
ini juga berkaitan dengan banyaknya permintaan dan
kepercayaan orang tua ABK yang ingin menyekolahkan
anaknya di sekolah ini. Hingga pada Oktober 2014
kemarin, Disdikpora mengeluarkan kebijakan untuk
menjadikan kota Palangka Raya sebagai Kota Pendidikan Inklusif, maka sekolah kami pun sudah
siap untuk menjalankan tugas itu meskipun masih
banyak hambatan.
Berdasarkan wawancara di atas, maka sasaran
dari program tersebut adalah peserta didik dengan jenis
kebutuhan khusus, kelainan, atau kecacatan ringan.
Identifikasi jenis kebutuhan khusus, kelainan, atau
kecacatan ini dilakukan sekolah dengan bantuan
psikolog dalam proses penerimaan peserta didik baru.
SMAN 4 masih belum mampu menerima ABK dengan
jenis kelainan atau kecacatan yang berat. Keterbatasan
sekolah dalam hal SDM atau tidak adanya GPK dan
sarpras menjadi kendalanya. Hal ini disampaikan oleh
Kepala SMAN 4 dalam wawancara sebagai berikut:
Jadi kami menerima ABK yang masih bisa kooperatif
dan mandiri. Jika, ABK tergolong memiliki
kelainan/ketunaan yang berat, belum bisa kooperatif
dan mandiri maka kami mengusulkan kepada orang
tua untuk menyekolahkan anak tersebut di sekolah atau pendidikan khusus.
Dengan keterbukaan dan kepedulian SMAN 4
dalam menerima ABK dengan jenis kebutuhan khusus,
kelainan, atau kecacatan ringan sejak 2009 hingga saat
ini, sekolah mendapat kepercayaan dari orang tua dan
masyarakat bahwa sekolah ini menerima ABK. Hal ini
66
terbukti dari jumlah ABK yang makin bertambah. Oleh
karena itu, penanganan khusus yang lebih intensif
harus dipersiapkan sekolah berdasarkan bantuan dari
Dinas terkait dan dukungan dari masyarakat luas.
4.2.3.2 Evaluasi Input Program Pendidikan
Inklusif di SMAN 4
Dalam melaksanakan program pendidikan inklusif
sebagai pilot project sejak tahun 2009, SMAN 4
mendapat bantuan dari Pemerintah Pusat berupa alat
bantu seperti kacamata, tongkat pandu/alat bantu
jalan, dan laptop. Ketersediaan alat bantu ini
bermanfaat dan berguna bagi ABK dan sudah sesuai
dengan jenis kebutuhan khusus, kelainan atau
ketunaan ABK. Di lain hal, sekolah juga mendapatkan
bantuan prasarana namun dalam keadaan belum
lengkap. Hal ini disampaikan oleh Kepala SMAN 4
dalam wawancara sebagai berikut:
Lepas dari sarpras yang memang sudah ada dan
disediakan oleh sekolah sendiri, sekolah ini juga pernah mendapatkan bantuan dari pusat perihal pelaksanaan
program pendidikan inklusif sejak tahun 2009 berupa
alat bantu seperti kacamata, tongkat pandu/alat bantu
jalan, dan laptop. Hanya dari segi prasarana masih
belum lengkap. Jadi sejauh ini, sekolah masih cukup
bisa memenuhi kebutuhan ABK sesuai dengan kebutuhan/ketunaan mereka.
Hal serupa dijelaskan oleh salah seorang
guru BK dalam wawancara sebagai berikut:
Pada tahun 2012, sekolah ini mendapat bantuan dari
PK-PLK berupa alat bantu seperti kursi roda, kacamata,
laptop, tongkat jalan/penyangga. Semua alat bantu
yang diberikan ini sudah sesuai dengan jenis ketunaan
yang dimiliki ABK. Prasarana LAB khusus dan jalur
khusus bagi ABK yang memakai kursi roda juga sudah
67
ada. Jadi sejauh ini, sekolah masih cukup bisa memenuhi kebutuhan ABK sesuai dengan
kebutuhan/ketunaan mereka.
Berdasarkan hasil wawancara bersama Kepala
SMAN 4 dan guru BK di atas, ketersediaan sarpras
dinyatakan sudah sesuai dengan jenis kebutuhan ABK.
Kedua nara sumber tersebut menambahkan pula
bahwa SMAN 4 memiliki 15 ABK dengan jenis ketunaan
tuna daksa, tuna rungu ringan, hiperaktif, autis, low
vision dan slow learner. “Jenis ketunaan ABK di sini
ada 6 seperti tuna daksa, tuna rungu ringan,
hiperaktif, autis, low vision dan slow learner”, imbuh
Kepala SMAN 4 dalam wawancara.
Dalam hal perencanaan pelaksanaan program
pendidikan inklusif di SMAN 4, pihak yang telibat di
dalamnya adalah semua pihak sekolah. Kerja sama dan
dukungan dari semua pihak di sekolah meliputi
keterlibatan dari kepala sekolah, komite, pengawas,
wakasek, wali kelas, guru mapel dan guru
BK/pendamping bahkan pihak luar sekolah seperti PK-
PLK dan psikolog. Keterlibatan dari pihak luar sekolah
juga diperoleh dari adanya dukungan dan kerja sama
dari orang tua ABK. Guru BK menjelaskan bahwa
“yang terlibat dalam pelaksanaan program ini di sekolah
adalah kepala sekolah, guru BK, wali kelas, guru mapel,
serta orang tua dari ABK itu sendiri”.
Selain itu, dalam proses penerimaan peserta didik
baru, sekolah ini mendapat bantuan dari psikolog
dalam mengidentifikasi jenis ketunaan peserta didik
baru. Selain itu, PK-PLK juga pernah ikut terlibat.
68
Kepala SMAN 4 menyampaikan bahwa “sekolah ini
pernah mendapat pendampingan PK-PLK oleh perguruan
tinggi dalam bentuk pelaksanaan workshop/lokakarya
yang dilaksanakan di sekolah ini pada tanggal 22
Nopember 2013 lalu”. Hal serupa juga disampaikan oleh
salah seorang guru BK dalam wawancara sebagai
berikut:
Sekolah secara rutin mendapatkan bantuan dengan
andil para psikolog dalam mengidentifikasi jenis
ketunaan peserta didik baru pada saat PPDB. Selain itu, pihak pusat sering memonitor, memberikan
bantuan fasilitas/alat bantu, mengadakan
workshop/lokakarya, dan pelatihan pembuatan
kurikulum modifikasi bagi ABK yang berlangsung di
sekolah ini.
Dalam pelaksanaan program pendidikan inklusif
ini, SMAN 4 menggunakan dana yang berasal dari
bantuan APBD. Hal ini disampaikan oleh Kepala SMAN
4 dalam wawancara sebagai berikut:
Untuk saat ini, dana yang digunakan dalam melayani
ABK dan menjalankan program pendidikan inklusif di
sekolah ini, berasal dari dukungan APBD yang seyogyanya secara umum juga digunakan dalam
melayani siswa reguler. Secara khusus bagi pelayanan
ABK, sekolah belum mendapatkan bantuan/dana
khusus.
Sejak pelaksanaan program pendidikan inklusif
pada tahun 2009 hingga saat ini, SMAN 4 belum
memiliki GPK sama sekali. Penanganan dan
pendampingan ABK di sekolah ini langsung ditangani
oleh guru BK. Kepala SMAN 4 mengungkapkan bahwa
“sekolah ini belum memiliki GPK; ABK di sini hanya
dibimbing langsung dari guru BK sebagai pendamping,
di samping dukungan dan penanganan dari guru kelas
69
dan wali kelas”. Hal serupa juga disampaikan oleh
salah seorang guru BK dalam wawancara sebagai
berikut:
Sekolah ini belum memiliki GPK. Jadi selama ini ABK
ditangani oleh guru BK, wali kelas, dan guru mapel
dengan modal wawasan dan pengalaman yang pernah
didapat baik dari kegiatan workshop/lokakarya,
pelatihan maupun sosialisasi di dalam maupun di
luar sekolah.
Mengingat sekolah ini tidak memiliki GPK dan
hanya mengandalkan guru BK dalam menangani dan
mendampingi ABK, maka peran guru mapel dalam
mengajar ABK secara langsung sangat penting.
Sebagian guru mapel ada yang sudah mengikuti
kegiatan workshop, sosialisasi atau pelatihan. Dalam
proses di kelas, guru-guru tersebut cukup bisa
menangani ABK dibanding dengan guru-guru yang
belum pernah mengikuti kegiatan tersebut. Hal ini
disampaikan oleh salah seorang guru mapel dalam
wawancara sebagai berikut:
Bagi sebagian guru yang sudah mendapatlan
pengalaman untuk terlibat dalam pelatihan, workshop
dan sosialisasi bisa dikatakan cukup mampu dalam menangani ABK. Namun ada sebagian guru merasa
berat dan kesulitan dalam menangani ABK
dikarenakan guru-guru ini tidak atau belum pernah
mendapat pelatihan.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, pelatihan
khusus untuk meningkatkan kompetensi guru maupun
kepala sekolah dalam rangka pelaksanaan program
pendidikan inklusif di SMAN 4 pernah diberikan
langsung oleh Dinas terkait. “Sebagian guru pernah
mendapatkan pelatihan termasuk saya juga pernah
ambil bagian”, ungkap Kepala SMAN 4 dalam
70
wawancara. Hal serupa disampaikan oleh salah seorang
guru BK bahwa sebagian guru mapel, wali kelas, dan
guru BK sudah pernah terlibat dalam kegiatan
workshop/lokakarya, pelatihan maupun sosialisasi di
dalam dan luar sekolah. Hal senada juga disampaikan
oleh salah seorang guru mapel dalam wawancara
sebagai berikut:
Saya pernah mendapatkan pelatihan tahun ajaran
2007/2008 dan ikut membimbing ABK di lomba olimpiade. Namun masih ada sebagian guru yang
belum mengikuti atau mendapatkan kesempatan dalam
pelatihan.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, pelatihan
khusus yang diberikan Dinas terkait ternyata belum
merata. Hal ini berdampak kepada kemampuan guru
yang masih terbatas dan kesulitan dalam menangani
ABK sehingga guru berpengalaman dan berwawasan.
Sementara, sebagian guru sudah cukup mampu dalam
menangani ABK di dalam maupun di luar kelas.
4.2.3.3 Evaluasi Process Penyelenggaraan
Program Pendidikan Inklusif di SMAN 4
Setelah pencanangan Kota Pendidikan Inklusif,
Disdikpora kemudian mengeluarkan dan menyebarkan
surat permohonan dan pemberitahuan perihal monev
sekolah ABK pada bulan Nopember 2014. Surat ini
ditujukan kepada seluruh kepala sekolah dari tingkat
satuan pendidikan TK/RA, SD/MI, SMPMTs, dan
SMA/MA baik berstatus negeri maupun swasta di
Palangka Raya. Dengan demikian, SMAN 4 juga
mendapat surat pemberitahuan tersebut. Hal ini
71
disampaikan oleh Kepala SMAN 4 dalam wawancara
sebagai berikut:
Sekolah ini mendapat surat dari Disdikpora yang berisi
permohonan dan pemberitahuan agar setiap sekolah segera mengidentifikasi tiap peserta didik yang memiliki
kelainan, melakukan pendataan sesuai format dan
segera melaporkan ke Disdikpora untuk segera
ditindaklanjuti. Surat ini diberikan kepada sekolah
pada bulan Nopember 2014.
Dalam hal penyusunan perencanaan pengajaran
seperti RPP dan materi ajar yang dikhususkan bagi
ABK di kelas, guru mapel tetap menggunakan
kurikulum, materi ajar dan sistem penilaian yang sama
dan umum. Dalam hal ini, guru tidak menggunakan
atau membuat materi khusus bagi ABK. Hal ini
disampaikan oleh salah seorang guru mapel dalam
wawancara sebagai berikut:
Kurikulum yang digunakan sama karena K 2013
khusus untuk ABK belum ada. Dari segi/kriteria
penilaian penentuan standar penilaian per mata
pelajaran juga merata secara umum. Jadi memang
sejauh ini anak-anak masih bisa mengikuti sejauh ada bimbingan dan perlakuan individual. ABK
menyesuaikan dengan kurikulum berdasarkan bantuan
dan peran dari guru.
Hal demikian juga dilakukan oleh guru BK dalam
melakukan pendampingan terhadap ABK, yang
disampaikan dalam wawancara sebagai berikut:
Dari segi penyusunan perencanaan pendampingan, guru tidak membuat sesuatu yang khusus berkenaan
dengan kekhususan pada ABK karena jenis ketunaan
anak juga masih bisa dikendalikan dan ditolerir.
Pendampingan yang kami berikan pada dasarnya sama
seperti anak normal.
Sementara untuk proses pengajaran, guru
memberikan materi yang sama baik kepada siswa
72
reguler maupun ABK. Perlakuan khusus hanya
dilakukan dan disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan ABK. “Proses pendampingan diberikan
secara individual baik di ruang BK atau kelas. Guru
menyesuaikan pembimbingan yang diberikan dengan
jenis ketunaan anak”, ungkap guru BK perihal
pendampingan individual yang diberikan kepada ABK.
Hal serupa juga disampaikan oleh salah seorang guru
mapel dalam wawancara sebagai berikut:
Pemberian pengajaran dalam proses belajar mengajar
baik bagi ABK maupun non ABK tetap sama karena
berada dalam 1 kelas. Namun yang membedakan hanyalah pelayanan khusus (individual) kepada ABK,
penilaian tetap sama tapi tetap disesuaikan dengan
kemampuan ABK. Jadi guru berperan dalam
mensiasati/mengintensifkan pelayanan sesuai keadaan
ABK pada saat itu. Misalnya, saya menjelaskan materi
pelajaran tidak cukup 1 kali saja tapi 2-3 kali lebih diintensifkan.
SMAN 4 memiliki kegiatan ekstrakurikuler yang
dibuka untuk mendukung dan menampung semua
siswa dengan berbagai kegiatan sesuai bakat, minat,
dan kemampuan siswa. Kegiatan ini merupakan wadah
yang akan menunjang perkembangan siswa baik
akademik maupun non akademik. Kegiatan ini juga
sangat terbuka bagi ABK. Kepala SMAN 4
menyampaikan bahwa “semua siswa di sini tanpa
terkecuali boleh mengikuti kegiatan ekstrakurikuler
sekolah yang disesuaikan dengan bakat, kemampuan
dan ketertarikan siswa. Di sini banyak ABK juga yang
mengikuti kegiatan tersebut”. Sementara, guru kelas
menambahkan dalam wawancara bahwa kegiatan
ekstrakurikuler ini diperuntukkan bagi semua siswa
73
sehingga ABK juga boleh mengikutinya sesuai
kemampuan dan minat mereka. Hal serupa juga
disampaikan oleh salah seorang guru BK dalam
wawancara sebagai berikut:
Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah ini banyak sekali
dan bersifat terbuka bagi seluruh siswa termasuk ABK.
ABK boleh mengikuti kegiatan ini sesuai dengan kemampuan, bakat, minat, hobi dan ketertarikannya.
Hal ini juga perlu didampingi oleh pendamping kegiatan
terkait.
Selama menjalankan program pendidikan inklusif
sejak 2009 hingga saat ini, SMAN 4 sudah
mendapatkan banyak dukungan baik dari pusat
maupun kota dalam bentuk bantuan penyediaan
sarpras. Sarpras yang diberikan sudah sesuai dengan
keadaan dan jenis kebutuhan khusus, kelainan atau
kecacatan ABK. Dengan demikian, sarpras tersebut
sudah bermanfaat bagi ABK dan guru. Hal ini
disampaikan oleh salah seorang guru BK dalam
wawancara sebagai berikut:
Sejauh ini sarpras baik yang disediakan oleh sekolah
ataupun dari Dinas sudah cukup memadai dan
bermanfaat bagi siswa. Sejauh ini kami merasa tidak ada masalah untuk masalah sarpras karena fasilitas
yang diberikan sudah cukup sesuai bagi ABK sesuai
dengan jenis ketunaannya. Selain itu, kami juga
mendapatkan bantuan dari Dinas kota berupa buku-
buku bacaan tentang ABK yang saat bermanfaat
nantinya bagi kami semua guru.
Hal serupa disampaikan oleh salah seorang guru
mapel dalam wawancara sebagai berikut:
Sejauh ini sekolah sudah mempunyai sarpras yang
cukup memadai dalam memfasilitasi ABK dikarenakan
pengadaannya sudah sesuai dengan jenis ketunaan anak masing-masing. Jadi, ABK sudah terbantu dan
terfasilitasi dengan adanya sarpras tersebut. Sama
74
halnya dengan ABK, guru pun bisa merasakan/mendapatkan manfaat dari pengadaan
sarpras yang memadai.
Dari proses berjalannya program pendidikan
inklusif di SMAN 4, ada beberapa kendala yang
menyebabkan pelaksanaan program tersebut belum
maksimal. Kendala yang dimaksud meliputi tidak
adanya GPK/tenaga profesional khusus dan prasarana
yang belum lengkap. Kepala SMAN 4 menyebutkan
bahwa “kendala yang dihadapi sekolah dalam rangka
pelaksanaan program pendidikan inklusif di antaranya adalah
belum adanya GPK. Kemudian ketersediaan prasarana juga belum
maksimal”. Selain kendala dari tidak adanya GPK dan
prasarana yang belum lengkap, kendala lain yang
muncul adalah sistem penilaian bagi ABK saat UN yang
masih disamaratakan dengan penilaian untuk anak
reguler. Hal tersebut disampaikan oleh salah seorang
guru BK dalam wawancara sebagai berikut:
Yang menjadi kendala adalah pada saat UN dimana
ABK juga mendapatkan soal yang sama layaknya yang
diterima oleh anak reguler. Pada saat penilaian
terhadap lembar jawaban, siswa ABK yang misalnya banyak menjawab dengan salah maka nantinya malah
tidak lulus UN. Padahal dari pusat selalu meminta data
ABK yang akan mengikuti UN tapi tetap saja kebijakan
dalam hal perhitungan hasil jawaban tetap
disamaratakan dengan anak reguler. Hal ini
sesungguhnya berbahaya bagi ABK.
Kendala lain yang muncul adalah tidak adanya
standar baku terhadap penilaian atas hasil kerja ABK
di kelas. Selain itu, masih ada sebagian guru yang
belum pernah mengikuti pelatihan khusus. Hal ini
disampaikan oleh salah seorang guru kelas dalam
wawancara sebagai berikut:
75
Kendalanya adalah tidak ada standarisasi baku dari kementrian tentang penilaian khusus bagi ABK. Jadi,
kami hanya menilai sesuai dengan
kemampuan/ketunaan siswa saja entah apa itu benar,
baku atau sesuai pada porsi sebenarnya atau tidak.
Selain itu, masih ada beberapa guru yang belum mengikuti pelatihan.
Dari kendala-kendala yang ditemukan SMAN 4
dalam proses pelaksanaan program pendidikan
inklusif, harapan pihak sekolah adalah ada perbaikan
dan tindak lanjut dari Dinas terkait. Berhubung jumlah
ABK semakin meningkat, maka Dinas terkait
seharusnya lebih intensif dalam mendukung
penyelenggaraan program ini. Hal tersebut disampaikan
oleh Kepala SMAN 4 dalam wawancara sebagai berikut:
Contohnya, Dinas memaksimalkan SDM khusus seperti
GPK untuk tiap sekolah, pemberian atau pengadaan
pelatihan untuk guru-guru, dan pengadaan bantuan
sarpras sesuai kebutuhan ABK. Dengan kata lain, sinkronisasi semua aspek harus matang dan terlaksana
sehingga sekolah bisa terbantu dalam menjalankan
tugasnya dan ABK bisa terlayani dengan maksimal dan
sebagaimana mestinya.
Hal serupa disampaikan oleh salah seorang guru
BK dalam wawancara sebagai berikut:
Kami berharap agar ada pemerataan pelatihan khusus
bagi guru-guru yang belum mendapatkannya agar nantinya bisa paham dalam menangani ABK. Kami juga
berharap adanya sinkronisasi antara tuntutan
pendidikan, keadaan anak, orang tua dan SDM yang
terlibat dalam proses belajar mengajar. Paling tidak ada
bantuan dana atau penghargaan kepada guru yang
bekerjasama, membantu semaksimal mungkin menangani ABK.
Hal senada juga disampaikan oleh salah seorang
guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:
Harapan saya agar ada sinkronisasi dari kebijakan
dengan pengadaan sarpras yang harus dipersiapkan
76
terlebih dahulu. Karena kami dulu langsung terima ABK saja, sarpras menyusul sambil proses berjalannya
program padahal kami juga kelabakan. Saya berharap
agar SDM (GPK) diberikan dan pelatihan kepada semua
guru bisa merata.
Berdasarkan wawancara di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa kendala-kendala yang dihadapi
SMAN 4 dalam proses penyelenggaraan program
pendidikan inklusif adalah ketersediaan GPK yang
belum ada, prasarana yang belum lengkap, sistem
penilaian UN yang masih disamaratakan antara ABK
dan siswa reguler, tidak adanya standar baku evaluasi
bagi ABK, dan tidak meratanya pelatihan khusus bagi
guru-guru. Oleh karena itu, Dinas terkait harus
melakukan sinkronisasi terhadap upaya
penyelenggaraan program yang sudah disusun dengan
realita keadaan sekolah yang melaksanakan program.
4.2.3.4 Evaluasi Product Penyelenggaraan
Program Pendidikan Inklusif di SMAN 4
Perkembangan atau prestasi dari bidang akademik
maupun non akademik ABK merupakan dampak
penerapan program pendidikan inklusif. Dampak ini
menunjukkan keberhasilan atau ketercapaian dari
program yang dijalankan. Sejak SMAN 4 sudah
menerima ABK pada tahun 2009, maka sudah banyak
lulusan ABK dengan perkembangan dan prestasi yang
bervariasi. Secara akademik, perkembangan ABK
mencapai rata-rata atau cukup baik. Hal ini
berhubungan dengan jenis ketunaan ABK yang
diterima di sekolah ini tidak parah dan masih bisa
mengikuti pelajaran. Guru BK dan guru kelas
77
menyampaikan bahwa ABK memiliki perkembangan
akademik yang cukup baik dan perkembangan non
akademik yang baik. Hal serupa juga disampaikan oleh
Kepala SMAN 4 dalam wawancara sebagai berikut:
Secara akademik, prestasi ABK cukup baik bahkan
memang ada yang baik. Baru-baru saja ada salah satu
ABK kami yang mengikuti lomba Olimpiade Sains Nasional di Yogyakarta sebagai perwakilan provinsi
Kalteng. Ini merupakan kebanggaan bagi kami di
sekolah.
Program tersebut tidak hanya berdampak pada
perkembangan dan prestasi ABK di bidang akademik
saja, melainkan berdampak pada perkembangan dan
prestasi ABK di bidang non akademik. “Perkembangan
ABK di sini cukup bagus baik dari segi akademik seperti
salah satu ABK yang pernah mewakili Kalteng dalam
lomba OSN (olimpiade) dan prestasi non akademik
(olahraga dan seni)”, ungkap guru mapel dalam
wawancara. Hal yang sama juga disampaikan oleh
Kepala SMAN 4 dalam wawancara sebagai berikut:
Sejauh ini, perkembangan ABK bisa dikatakan baik.
Banyak ABK yang mengalami perubahan dan
perkembangan seperti lebih percaya diri, mandiri dan
bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Secara akademik, prestasi ABK cukup baik bahkan
memang ada yang baik. Dari segi non akademik, ABK
cukup berprestasi dan membanggakan. Baru-baru
saja ada salah satu ABK kami yang mengikuti lomba
OSN di Yogyakarta sebagai perwakilan provinsi Kalteng. Ini merupakan kebanggaan bagi kami di
sekolah.
Hal serupa disampaikan oleh salah seorang guru
BK dalam wawancara sebagai berikut:
Prestasi akademik ABK (slow learner) termasuk cukup
baik karena mampu mencapai rata-rata. Bahkan ada
ABK yang pernah mewakili provinsi Kalteng dalam
78
lomba OSN di Yogyakarta. Sementara, ABK juga banyak yang menyumbangkan prestasi di bidang non
akademik, misalnya bidang olahraga.
Mengingat bahwa SMAN 4 sudah menerima ABK
sejak tahun 2009 maka sekolah ini sudah meluluskan
beberapa ABK dengan prestasi akademik dan non
akademik yang cukup baik. Di samping itu, banyak
lulusan ABK dari SMAN 4 yang melanjutkan studi ke
jenjang yang lebih tinggi. Di samping itu, produk dari
pelaksanaan program ini adalah 15 ABK yang terlayani
di sekolah. Berdasarkan hasil wawancara bersama
Kepala SMAN 4 dan guru BK di atas, ketersediaan
sarpras dinyatakan sudah sesuai dengan jenis
kebutuhan ABK. Kedua nara sumber tersebut
menambahkan pula bahwa SMAN 4 memiliki 15 ABK
dengan jenis ketunaan tuna daksa, tuna rungu ringan,
hiperaktif, autis, low vision dan slow learner. “Jenis
ketunaan ABK di sini ada 6 seperti tuna daksa, tuna
rungu ringan, hiperaktif, autis, low vision dan slow
learner”, imbuh Kepala SMAN 4 dalam wawancara.
Hasil temuan data lapangan terhadap evaluasi
penyelenggaraan program pendidikan inklusif di SMAN
4 dapat dilihat melalui tabel sebagai berikut:
Tabel 4.3 Ringkasan Hasil Temuan Lapangan di SMAN 4
Komponen
Evaluasi Substansi Data Lapangan
Context
1. Kebutuhan
yang belum terpenuhi
1. Pilot project oleh Pemerintah
Pusat bersama Pemprov
(penyelenggara pendidikan
inklusif perwakilan tingkat SMA tahun 2009, kemudian
secara serentak ketika
79
pemberlakuan Perwali tahun
2014.
2. Populasi yang
dilayani
1. ABK dengan kebutuhan khusus/kelainan kelas ringan
dan masih bisa ditolerir.
3.Peluang/ma
nfaat
1. Kepercayaan tinggi dari
masyarakat luas bahwa
sekolah melayani ABK dan
kerja sama yang terjalin antara sekolah dan orang tua
ABK.
Input
1. Kemampua
n sekolah
1. Sarana sudah cukup
memadai (bantuan dari pusat
sejak tahun 2009), prasarana
masih kurang.
2. Perencanan
1. Semua pihak di dalam
sekolah wajib terlibat, termasuk ada bantuan dan
kerja sama dengan PK-PLK
dan psikolog pada saat PPDB
(pengidentifikasian jenis
kelainan ABK).
3. Sumber
dana
1. Mendapat dukungan dari APBD bagi semua siswa,
namun belum ada
bantuan/dana khusus bagi
ABK.
4. Staf/SDM
1. Tidak ada GPK dan ditangani
langsung oleh guru BK.
2. Sebagian guru sudah mampu menangani dan melayani
ABK.
3. Sebagian guru sudah pernah
mendapatkan pelatihan
khusus.
Process
1. Monitorin/
evaluasi
1. Monev berisi surat permohonan dan
pemberitahuan dari Kasi. SLB
Disdikpora pada bulan
Nopember 2014.
2. Kompetensi
SDM
1. Materi/bahan ajar, kurikulum
dan evaluasi diberikan secara sama/umum.
3. Pelaksanaa
n kegiatan
pembelajar
an/
1. Pemberian
materi/pembelajaran di kelas
masih sama/umum, namun
ada penanganan/bimbingan
80
Pendampin
gan
secara individual yang
diberikan sesuai kebutuhan ABK.
2. ABK boleh mengikuti kegiatan
ekstrakurikuler.
4. Efektivitas
sarpras
1. Manfaat sarpras bagi ABK dan
guru sudah signifikan sesuai
dengan kebutuhan ABK.
5. Masalah/
kendala
yang dihadapi
1. GPK belum ada, prasarana masih terbatas, sistem
penilaian UN yang masih
disamaratakan, tidak ada
standar baku evaluasi, dan
tidak meratanya pelatihan
khusus bagi guru-guru. 2. Kendala-kendala bisa teratasi
dan sinkronisasi kebijakan
program dengan keadaan
sekolah.
Product
1. Prestasi/
perkembangan ABK
1. Prestasi akademik maupun
non akademik sudah cukup baik.
2. Jumlah
ABK yang
terlayani
2. Ada 15 ABK dengan jenis
kebutuhan khusus/kelainan
tuna daksa, tuna rungu ringan, hiperaktif, autis, low vision dan slow learner.
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian
Bagian ini merupakan pembahasan tentang hasil
penelitian yang dipaparkan pada bagian sebelumnya.
Pembahasan terhadap hasil penelitian ini merupakan
upaya untuk menjelaskan hasil analisis dan menjawab
rumusan masalah yang diajukan yaitu bagaimanakah
evaluasi terhadap context, input, process dan product
dari penyelenggaraan program pendidikan inklusif di
kota Palangka Raya.
81
4.3.1 Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif
di Kota Palangka Raya Berdasarkan Evaluasi
Context
Evaluasi context terhadap penyelenggaraan
program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya
meliputi unsur penilaian terhadap kebutuhan yang
belum terpenuhi, populasi yang dilayani, dan peluang
atau manfaat dari penyelenggaraan program.
Berdasarkan hasil penelitian di ketiga sekolah
yang diteliti, penerimaan ABK sudah berlangsung sejak
beberapa tahun sebelumnya yakni sebelum
diberlakukannya kebijakan dari Disdikpora kota
Palangka Raya yang mewajibkan semua sekolah
melaksanakan program pendidikan inklusif. Alasan
dari penerimaan ABK adalah karena ketiga sekolah
tersebut melihat ada kebutuhan yang belum terpenuhi
dimana para orang tua yang memiliki ABK
menginginkan agar anaknya diterima di sekolah
tersebut. Hasil temuan ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Isabella dkk. (2014)
dimana implementasi pendidikan inklusi di SDN Negeri
131/IV Kota Jambi sangat dibutuhkan masyarakat
sekitar karena adanya keinginan dan kebutuhan untuk
menyekolahkan anaknya yang memiliki kebutuhan
khusus di sekolah reguler. Oleh karena itu, ketiga
sekolah yang diteliti dalam penelitian ini menerima dan
melayani ABK meski kondisi pelayanan sekolah masih
terbatas.
82
Terkait hasil temuan di atas, ada 2 sekolah yang
kemudian dilirik oleh pemerintah kota dan/atau
pemerintah pusat atas dedikasi sekolah tersebut dalam
melayani ABK. Kedua sekolah tersebut diangkat dan
dicanangkan sebagai sekolah pilot project pelaksana
program pendidikan inklusif. Hasil temuan ini sudah
sesuai dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal
4 ayat 1 dimana “pemerintah kabupaten/kota
menunjuk minimal satu sekolah dasar, dan satu
sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan
satu satuan pendidikan menengah untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib
menerima peserta didik” dengan kebutuhan khusus.
Selain pertimbangan atas kebutuhan yang belum
terpenuhi, hasil temuan menunjukkan bahwa populasi
yang dilayani adalah peserta didik dengan kebutuhan
khusus dan berpotensi pada kecerdasan dan/atau
bakat istimewa, yang direkrut dengan prioritas pada
jarak terdekat domisili anak ke sekolah. Hasil temuan
ini sesuai dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009
pasal 3 ayat 1 dimana peserta didik dengan kelainan
fisik, emosional, mental, sosial atau memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti
pendidikan inklusif pada satuan pendidikan tertentu
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Terkait
temuan ini, jenis atau karakteristik dari
kebutuhan/kelainan khusus yang dimiliki anak yang
diterima di ketiga sekolah tempat penelitian ini adalah
jenis atau karakteristik yang ringan atau tidak parah.
Dalam hal ini, secara intelektual ABK masih bisa
83
mengikuti pelajaran atau arahan guru, secara perilaku
ABK masih bisa kooperatif dan mandiri, secara
psikologi ABK masih bisa percaya diri, dan/atau secara
fisik ABK masih bisa terkontrol. Dengan demikian,
ketiga sekolah tersebut menerima ABK dengan
menyesuaikan pada jenis kebutuhan/kelainan yaitu
kelas ringan atau cukup, dimana ABK berdomisili dekat
lingkungan sekolah. Hasil temuan ini dibenarkan
karena menurut Permendiknas No. 70 Tahun 2009
pasal 5 ayat 1 sekolah menerima peserta didik dengan
kelainan dan/atau potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa atas pertimbangan terhadap sumber daya
yang dimiliki sekolah tersebut.
Dengan penerimaan peserta didik berkebutuhan
khusus, ketiga sekolah mendapat manfaat atas
kepercayaan dan apresiasi yang diberikan oleh
masyarakat khususnya orang tua ABK terhadap
pelaksanaan program pendidikan inklusif. Temuan ini
dibenarkan dengan pernyataan Mudjito dkk.. (2012)
dimana anak-anak dengan kondisi dan kendala
tertentu dan/atau tidak mendapatkan pelayanan
pendidikan, sebaiknya memperoleh akses yang mudah
dalam memperoleh pendidikan. Dengan demikian,
peluang dari penerimaan ABK di ketiga sekolah tempat
penelitian tersebut akan meningkat dan bertambah.
Sehingga pada akhirnya, tujuan dalam pemerataan
akses pendidikan yang ramah, adil tanpa diskriminatif
bisa diwujudkan secara optimal dan berkelanjutan.
Berdasarkan hasil temuan dari semua aspek pada
komponen context terhadap penyelenggaraan program
84
PI di ketiga sekolah, secara tidak langsung agenda
Pokja PI untuk masa 2014-2018 sudah berjalan dan
sedang berlangsung. Hal ini terlihat pada agenda atau
kalender tahunan Pokja PI untuk tahun 2014-2018
poin (d) tentang “pemerataan akses pendidikan atau
pelayanan imklusif di setiap kecamatan dengan
membuat sekolah piloting dari jenjang TK, SD, SMP,
SMA/SMK”. Pemerataan akses yang dimaksud dalam
penelitian adalah pemenuhan kebutuhan orang tua dan
ABK; semua ABK dengan jenis kebutuhan khusus kelas
ringan hingga sedang terlayani; serta masyarakat atau
sosial memberikan kepercayaan penuh kepada sekolah
dalam melayani ABK.
4.3.2 Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif
di Kota Palangka Raya Berdasarkan Evaluasi
Input
Evaluasi input terhadap penyelenggaraan program
pendidikan inklusif di kota Palangka Raya meliputi
unsur penilaian terhadap potensi sekolah, perencanaan
program, anggaran, dan sumber daya manusia.
Dalam pelaksanaan program, sarana prasarana
sebagai pendukung program di ketiga sekolah yang
diteliti memiliki ketersediaan yang bervariasi. Hasil
penelitian di SDN 6 Bukit Tunggal dan SMPN 3
menunjukkan bahwa kedua sekolah ini masih
mengandalkan sarana prasarana yang sudah ada atau
yang dimiliki sebelumnya. Sarpras ini umumnya
digunakan secara merata baik siswa reguler maupun
ABK. Hal ini dianggap benar menurut Direktorat
85
Pembinaan SLB (2007) dimana sarana dan prasarana
umum yang dibutuhkan sekolah penyelenggara
program pendidikan inklusif cenderung sama dengan
sekolah reguler pada umumnya. Terkhusus pada alat
bantu yang digunakan dan disesuaikan dengan
kebutuhan ABK, SDN 6 Bukit Tunggal memiliki
ketersediaan alat peraga yang masih terbatas. Selain
itu, kedua sekolah belum didukung dengan prasarana
yang memadai seperti ruang atau kelas khusus guna
melayani ABK secara individual serta jalur khusus bagi
ABK yang menggunakan kursi roda. Hal ini tidak
sesuai dengan Perwali Palangka Raya No. 26 Tahun
2014 pasal 53 ayat 1 dimana “penyelenggara satuan
pendidikan menyediakan sarana dan prasarana
pendidikan yang memadai dan menjamin kelancaran
program pendidikan”. Sehubungan dengan acuan yang
sama, secara khusus pada ayat 2 menambahkan
bahwa “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat memfasilitasi sarana dan prasarana
pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi
setempat”.
Sementara itu, SMAN 4 yang memanfaatkan
sarpras yang sudah ada di sekolah, juga mendapatkan
bantuan sarana yang memadai berupa alat bantu
seperti kursi roda, kaca mata, laptop, dan tongkat
penyangga/jalan. Bantuan tersebut diberikan oleh
pemerintah pusat dan PK-PLK pada tahun 2012
dimana pemberian ini disesuaikan dengan keberadaan
dan jenis kebutuhan/kelainan ABK. Hasil temuan ini
sudah sesuai dengan Perwali Palangka Raya No. 26
86
Tahun 2014 pasal 53 ayat 1 dan 2 serta Permendiknas
No. 70 Tahun 2009 pasal 11 ayat 1, 2, dan 4c.
Terkait temuan dalam ketersediaan sarpras di
ketiga sekolah, secara tidak langsung agenda Pokja PI
poin (e) periode tahun 2014-2018 belum berjalan secara
menyeluruh atau merata. Agenda ini berisi pengadaan
sarana dan prasarana sekolah piloting maupun yang
telah menyelenggarakan pendidikan inklusif. Belum
berjalannya agenda ini secara menyeluruh atau merata
dikarenakan Pokja PI masih sedang mengupayakan
pengadaan sarpras.
Terkait dengan jenis kebutuhan yang dimiliki
siswa, ketiga sekolah memiliki ABK dengan jenis
kebutuhan khusus bervariasi dan masuk dalam
kategori ringan hingga cukup. Berdasarkan hasil
penelitian, ketiga sekolah tersebut memiliki ABK
dengan kebutuhan khusus lamban belajar atau slow
learner dengan jumlah siswa cukup banyak dibanding
dengan jenis kebutuhan khusus lainnya. Sebagian
sekolah juga memiliki siswa dengan kebutuhan khusus
tuna daksa, tuna rungu ringan, hiperaktif, autis, dan
low vision. Temuan ini sama dengan hasil temuan Nono
(2013) dimana jenis kebutuhan khusus ABK di sekolah
dasar di Kabupaten Pontianak cukup beragam dan
didominasi 78,75% siswa dengan kelainan lamban
belajar (slow learner). Sementara itu, temuan peneliti
menunjukkan bahwa sekolah memiliki total ABK yang
bervariasi dimana SDN 6 Bukit Tunggal memiliki 43
siswa, SMPN 3 memiliki 12 siswa, dan SMAN 4 memiliki
15 siswa. Dengan demikian, hasil temuan juga sesuai
87
dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal 3 ayat
2 dimana jenis kelainan ABK sangat bervariasi. Dalam
hal ini, sekolah memiliki variasi jumlah ABK yang
disertai dengan jenis kebutuhan khusus yang berbeda-
beda pula.
Di sisi lain, pelaksanaan program pendidikan
inklusif melibatkan pihak di dalam maupun di luar
sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga
sekolah yang diteliti melibatkan kerja sama dengan
pihak dalam sekolah yang meliputi kepala sekolah,
komite, pengawas sekolah, wakasek, guru kelas/mapel,
wali kelas dan/atau guru BK. Hasil temuan ini
dibenarkan Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan
Dasar (2012) bahwa salah satu prinsip
penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah prinsip
keterlibatan, dimana penyelenggaraan pendidikan
inklusif harus melibatkan seluruh komponen
pendidikan terkait. Sementara, keterlibatan dari pihak
luar sekolah berupa bantuan dan kerja sama dengan
pihak terkait hanya diperoleh oleh satu sekolah saja
yaitu SMAN 4. Sekolah ini bekerja sama dengan PK-PLK
dan psikolog, terkhusus dalam proses PPDB. Temuan
ini sudah sesuai dengan Direktorat Pembinaan PKLK
Pendidikan Dasar Tahun 2012 dan Permendiknas No.
70 Tahun 2009 pasal 11 ayat 1-5. Sedangkan, SDN 6
Bukit Tunggal dan SMPN 3 belum pernah bekerja sama
atau melibatkan pihak luar seperti psikolog, tenaga
ahli, atau pihak tertentu.
Sumber dana dalam pelaksanaan program
pendidikan inklusif diperoleh atau dimanfaatkan ketiga
88
sekolah yang diteliti baik dari dana BOS, dukungan
APBD, ataupun bantuan beasiswa. Berdasarkan hasil
penelitian, SDN 6 Bukit Tunggal dan SMPN 3
mensiasati pemenuhan kebutuhan ABK melalui dana
BOS, meskipun SMPN 3 pernah mendapat bantuan
beasiswa ABK-PKLK. Sementara SMAN 4 mendapat
dukungan dana dari APBD akan tetapi sekolah ini
belum pernah mendapat bantuan dana khusus. Hasil
temuan ini dinilai sudah sesuai dengan kriteria
penyelenggaraan pendidikan inklusif yang tertuang
dalam Perwali No. 26 Tahun 2014 pasal 55 ayat 1 yang
menjelaskan bahwa “sumber pendanaan
penyelenggaraan program ini diperoleh dari APBN
Pemerintah, APBD Pemerintah Provinsi, APBD
Pemerintah Kota, masyarakat, dan/atau sumber lain
yang sah dan tidak mengikat”. Dengan demikian,
sekolah boleh menggunakan dana BOS di samping
penyaluran dana dari APBD dan beasiswa khusus
untuk ABK.
Sementara dalam hal sumber daya manusia (SDM)
yaitu guru pendamping khusus (GPK), ketiga sekolah
yang diteliti belum memiliki GPK yang berlatar
belakang pendidikan khusus atau pendidikan luar
biasa. Temuan ini tidak sesuai dengan Permendiknas
No. 70 tahun 2009 pasal 10 ayat 1 dimana “pemerintah
kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit satu
orang GPK pada satuan pendidikan yang ditunjuk
untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif”. Terkait
temuan ini, penanganan ABK di ketiga sekolah ini
langsung ditangani oleh guru kelas/mapel, wali kelas
89
dan guru BK. Hasil temuan ini belum sesuai karena
idealnya selain guru kelas dan guru mata pelajaran,
sekolah harus memiliki guru pendidikan khusus yang
memiliki kompetensi sesuai keahlian dalam
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (Direktorat
Pembinaan SLB 2007). Namun dalam hal
pendampingan dan penanganan secara khusus dan
intensif di SMPN 3 dan SMAN 4, ABK ditangani
langsung oleh guru BK yang notabenenya pernah
mengikuti diklat cara menangani ABK, sementara ABK
di SDN 6 Bukit Tunggal hanya ditangani oleh wali kelas
dan guru kelas. Guru-guru dalam situasi tersebut
dianggap sebagai “GPK” versi sekolah masing-masing.
Hasil temuan ini dibenarkan Permendiknas No. 70
Tahun 2009 pasal 10 ayat 2 dimana “satuan
pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang
tidak ditunjuk oleh pemerintah kabupaten/kota wajib
menyediakan paling sedikit satu orang guru pendidikan
inklusif”. Dengan demikian, sekolah bisa menetapkan
guru kelas, mapel dan/atau BK yang telah mengikuti
diklat menangani ABK sebagai guru pendamping
khusus.
Sebagian guru kelas/mapel, wali kelas dan guru
BK di ketiga sekolah yang diteliti ini pernah
mendapatkan workshop, diklat, sosialisasi dan/atau
pelatihan khusus untuk meningkatkan kompetensi.
Temuan ini sesuai dengan Permendiknas Nomor 70
Tahun 2009 pasal 10 ayat 3, 5, dan 6 yang
menjelaskan bahwa “pemerintah kabupaten/kota wajib
meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan
90
khusus bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan
inklusif”, “pemerintah dan pemerintah provinsi
membantu meningkatkan kompetensi di bidang
pendidikan khusus bagi tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara
pendidikan inklusif”, yang dapat dilakukan melalui
“P4TK, LPMP, perguruan tinggi, lembaga pendidikan
dan pelatihan lainnya di lingkungan pemerintah
daerah, Departemen Pendidikan Nasional dan/atau
Departemen Agama, KKG/KKKS, KKPS, MGMP, MKS,
MPS, dan sejenisnya. Oleh karena itu, sebagian guru
yang belum pernah terlibat atau ikut serta menjadi
kesulitan dalam menangani ABK. Maka dari itu,
pemerataan terhadap keikutsertaan atau keterlibatan
guru dalam workshop, diklat, sosialisasi dan/atau
pelatihan khusus berpengaruh terhadap kompetensi
guru dalam menangani ABK. Hal ini sudah menjadi
agenda dalam kalender tahunan Pokja PI tahun 2014-
2018, khususnya pada poin (c dan g). Agenda ini
mencakup peningkatan kapasitas SDM penyelenggara
PI melalui kegiatan, sosialisasi tentang PI, seminar,
workshop maupun media elektronik; serta pelatihan
kompetensi/wawasan kepala sekolah dan guru sekolah
dan guru sekolah penyelenggara PI.
4.3.3 Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif
di Kota Palangka Raya Berdasarkan Evaluasi
Process
Evaluasi process terhadap penyelenggaraan
program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya
91
berupaya untuk melakukan penilaian implementasi
program yang meliputi unsur monitoring dan evaluasi
(monev) program, kompetensi SDM, pelaksanaan
program, efektivitas sarpras dan kendala yang
dihadapi.
Sejak pencanangan Kota Pendidikan Inklusif pada
18 Nopember 2014 lalu, Disdikpora baru pertama kali
memonitor pelaksanaan program pendidikan inklusif
melalui surat permohonan yang diberikan kepada
semua sekolah perihal monitoring dan evaluasi sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif. Surat ini ditujukan
agar masing-masing sekolah segera mengidentifikasi
tiap peserta didik yang memiliki kebutuhan
khusus/kelainan, melakukan pendataan sesuai format
yang diminta dan segera melaporkan ke Disdikpora
untuk segera ditindaklanjuti. Hasil temuan
menunjukkan bahwa ketiga sekolah yang diteliti
mendapat surat pemberitahuan ini dan langsung
menindaklanjuti. Temuan ini sesuai dan dibenarkan
dalam Perwali Palangka Raya No. 26 Tahun 2014 pasal
56 ayat 1 dan 2 dimana pengawasan sekolah yang
meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan,
dan tindak lanjut hasil pengawasan, dilakukan oleh
pendidik, kepala sekolah, kelompok kerja atau satuan
tugas pada sekolah sesuai dengan kewenangan masing-
masing dan pengawas TK/SD/SMP/SMA serta dapat
berkoordinasi dengan pengawas sekolah PLB. Dalam
hal ini, Disdikpora sudah melakukan pengawasan satu
kali kepada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
92
yang kemudian mendapat hasil atau respon dari
sekolah untuk kemudian ditindaklanjuti.
Dalam proses pembelajaran di dalam kelas, hasil
temuan menunjukkan bahwa guru di ketiga sekolah
yang diteliti memiliki kompetensi yang cukup memadai.
Hal ini terbukti dari penyusunan RPP, pemberian
materi dan bahan ajar kepada ABK dengan
menggunakan kurikulum dan materi/bahan ajar yang
sama atau reguler. Guru tidak memberikan atau
membedakan kurikulum dan materi/bahan ajar secara
terstruktur. Selain itu, guru menggunakan RPP reguler
yang diberikan secara merata kepada semua siswa.
Hasil temuan ini tidak disalahkan karena menurut
Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan Dasar (2012)
kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif pada dasarnya adalah kurikulum
standar nasional yang berlaku di sekolah umum. Akan
tetapi karena ragam hambatan ABK sangat bervariasi,
baik yang bersifat ringan hingga sedang, maka dalam
implementasinya harus ada modifikasi kurikulum
tingkat satuan pendidikan yang sesuai dengan standar
nasional dan kebutuhan ABK. Hal ini diperkuat dalam
Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal 7 yang
menyebutkan bahwa kurikulum yang digunakan
adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan yang
mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan ABK
sesuai bakat, minat dan potensinya. Terkait pada
acuan tersebut, hasil temuan menunjukkan bahwa
sebagian sekolah melakukan penyesuaian (modifikasi)
hanya dengan pemberian atau pelayanan tambahan
93
jam belajar pada siang atau sore hari untuk kegiatan
pengayaan, remedial, atau pembimbingan khusus di
luar jam sekolah pada umumnya.
Dalam proses pembelajaran, temuan
menunjukkan bahwa guru-guru di ketiga sekolah yang
diteliti melayani dan memperlakukan ABK sama
dengan siswa normal lainnya. Oleh karena itu, ABK
juga menyesuaikan diri pada proses pembelajaran yang
berlangsung di dalam kelas. Hasil temuan lain
menunjukkan bahwa penggunaan kurikulum dan
pemberian soal latihan tetap sama tapi penyesuaian
dilakukan secara individu dalam hal evaluasi dan
pelayanan lainnya. Bagi ABK yang slow learner, standar
nilai dibedakan dan disesuaikan yaitu diturunkan dari
standar KKM siswa normal pada umumnya. Kemudian,
ABK akan mendapatkan pelayanan lebih apabila
dianggap perlu untuk pengayaan, remedi dan
sebagainya baik di saat jam istirahat maupun di luar
jam sekolah. Hasil temuan ini sesuai menurut
Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan Dasar (2012)
tentang salah satu prinsip pembelajaran sekolah
inklusif yaitu prinsip individual, dimana “guru perlu
mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap
anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan
maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi
pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam
belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan
pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian
dan perlakuan yang sesuai”.
94
Berdasarkan hasil penelitian, selain proses belajar
di kelas, ketiga sekolah yang diteliti juga menyiapkan
dan membuka kegiatan ekstrakurikuler yang juga
diberikan kepada ABK. Hasil temuan menunjukkan
bahwa ABK diberi kebebasan untuk memilih kegiatan
ekskul yang tersedia sesuai bakat, minat, kemampuan
dan ketertarikan ABK itu sendiri. Hal ini tentunya
ditujukan tidak untuk merugikan atau menyusahkan
ABK, melainkan untuk mendukung kemampuan ABK
di bidang non akademik. Temuan ini sesuai dan
dibenarkan berdasarkan Perwali Palangka Raya No. 26
Tahun 2014 pasal 47 ayat 2 dimana peserta didik
memiliki hak untuk “memperoleh layanan pendidikan
sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, kecerdasan,
dan kebutuhan khususnya. Dalam hal ini, kegiatan
ekstrakurikuler merupakan salah satu bentuk layanan
pendidikan yang diberikan dan disediakan sekolah bagi
semua siswa.
Sehubungan dengan ketersediaan sarana
prasarana yang bervariasi di setiap sekolah, maka
manfaat sarpras juga bervariasi. Berdasarkan hasil
penelitian dimana SDN 6 Bukit Tunggal dan SMPN 3
menggunakan sarpras pribadi milik sekolah yang pada
mulanya memang sudah ada atau dimiliki, maka
sarpras tersebut memberikan manfaat yang cukup baik
bagi ABK walaupun masih terbatas dan belum optimal.
Temuan ini belum sesuai sepenuhnya dengan Perwali
Palangka Raya No. 26 Tahun 2014 pasal 53 ayat 1 dan
2 dimana “penyelenggara satuan pendidikan
menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang
95
memadai dan menjamin kelancaran program
pendidikan” dan “pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat memfasilittasi sarana dan prasarana
pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi
setempat”. Dalam hal ini, sekolah sudah menyediakan
sarpras yang secara umum juga diberikan bagi siswa
reguler. Namun, sarpras secara khusus belum bisa
diberikan sekolah tanpa bantuan dari Dinas terkait
maupun masyarakat. Sementara itu hasil temuan di
SMAN 4 yang memiliki ketersediaan sarpras khusus
yang memadai, yang merupakan bantuan dari pihak
terkait, maka penggunaan sarpras tersebut sudah
bermanfaat dan efektif bagi ABK. Temuan ini
dibenarkan dalam Perwali Palangka Raya No. 26 Tahun
2014 pasal 47 ayat 3 bahwa pemenuhan hak ABK atas
perolehan bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau
bantuan lain harus sesuai dengan persyaratan dan
ketentuan yang berlaku.
Dari pelaksanaan program pendidikan inklusif
baik sebelum maupun sesudah pencanangan Kota
Pendidikan Inklusif, ketiga sekolah yang diteliti
menemukan beberapa kendala. Kendala yang
ditemukan di SDN 6 Bukit Tunggal adalah tidak
tersedianya GPK, sarpras belum memadai, dan
pelatihan khusus bagi guru tidak ada. Temuan ini tidak
sesuai dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal
6 ayat 1, 2, dan 3 dimana pemerintah kabupaten/kota
menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai
dengan kebutuhan ABK dan menjamin tersedianya
sumberdaya pendidikan inklusif, serta pemerintah dan
96
pemerintah provinsi membantu tersedianya sumber
daya pendidikan inklusif.
Kendala yang ditemukan di SMPN 3 serupa dengan
yang ditemui di SDN 6 Bukit Tunggal, hanya berbeda
dalam hal pelatihan khusus bagi guru yang belum
merata. Temuan ini belum sesuai dengan
Permendiknas No. 70 tahun 2009 pasal 10 ayat 3, 5,
dan 6. Selain itu, SMPN 3 mengalami kendala dalam
menggunakan atau mengarahkan penggunaan kursi
roda yang sudah diberikan Dinas terkait namun belum
ada monitoring langsung sehingga alat bantu belum
bisa digunakan sebagaimana mestinya. Temuan ini
tidak sesuai dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009
pasal 12 dimana “pemerintah, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota melakukan pembinaan
dan pengawasan pendidikan inklusif sesuai dengan
kewenangannya”. Dalam hal ini, monitoring merupakan
salah satu kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh
pendidik, kepala sekolah, kelompok kerja atau satuan
tugas pada satuan pendidikan sesuai dengan
kewenangan masing-masing dan pengawas
TK/SD/SMP/SMA serta dapat berkoordinasi dengan
pengawas sekolah PLB (Perwali Palangka Raya No. 26
tahun 2014 pasal 56 ayat 1 dan 2).
Sementara itu, kendala yang ditemukan di SMAN 4
serupa dengan yang ditemukan di SDN 6 Bukit Tunggal
dan SMPN 3 dimana GPK tidak tersedia dan prasarana
masih terbatas. Kendala lainnya adalah sistem
penilaian UN bagi ABK masih disamaratakan dengan
siswa reguler dan tidak ada standar baku evaluasi bagi
97
ABK. Hasil temuan menunjukkan bahwa sekolah masih
menggunakan standar kelulusan bagi ABK yang sama
dengan anak normal demi mengantisipasi dan
menghindari adanya ketidaklulusan ABK. Dengan
demikian, ABK diharapkan tetap bisa lulus dan
bersaing dengan anak normal dalam UN meski pada
umumnya standar kelulusan diberlakukan sama bagi
seluruh siswa. Temuan ini tidak sesuai dengan
Permendiknas No. 70 tahun 2009 pasal 9 ayat 2 dan 4
yang menjelaskan bahwa ABK yang mengikuti
pembelajaran berdasarkan kurikulum sesuai dengan
atau di atas standar nasional pendidikan wajib
mengikuti ujian nasional. Dan apabila ABK tersebut
menyelesaikan pendidikan dan lulus ujian sesuai
dengan standar nasional pendidikan, ABK
mendapatkan ijazah yang blankonya dikeluarkan oleh
pemerintah. Sementara dalam ayat 3 dan 5
menjelaskan bahwa ABK yang mengikuti pembelajaran
berdasarkan kurikulum di bawah standar nasional
pendidikan wajib mengikuti ujian yang diselenggarakan
sekolah. Dan apabila ABK menyelesaikan pendidikan
berdasarkan kurikulum yang dikembangkan oleh
sekolah di bawah standar nasional pendidikan, ABK
mendapatkan surat tanda tamat belajar yang
blankonya dikeluarkan oleh sekolah yang
bersangkutan. Sementara, hasil temuan terhadap tidak
adanya standar baku dalam hasil belajar ABK
menyebabkan penilaian dilakukan guru secara
subyektif. Temuan ini tidak sesuai dengan
Permendiknas No. 70 tahun 2009 pasal 9 ayat 1,
98
dimana “penilaian hasil belajar bagi peserta didik
pendidikan inklusif mengacu pada kurikulum tingkat
satuan pendidikan yang bersangkutan”. Dengan
demikian, kesimpulan dari kendala yang dihadapi
ketiga sekolah yang diteliti meliputi ketersediaan GPK
yang tidak ada, keterbatasan sarpras, pelatihan
khusus bagi guru yang tidak ada bahkan masih belum
merata, belum ada monitoring lebih lanjut dari Dinas
terkait, sistem penilaian UN yang masih
disamaratakan, dan tidak ada standar baku evaluasi
hasil belajar ABK.
Dari adanya kendala-kendala demikian, maka
harapan ketiga sekolah adalah kendala bisa teratasi
dimana Dinas terkait lebih gencar dalam kegiatan
sosialisasi kepada masyarakat dan sebaiknya Dinas
melakukan sinkronisasi kebijakan program dengan
keadaan sekolah. SMPN 3 berharap pula agar rencana
sekolah dalam penyusunan standar KKM untuk TA
2015/2016 bisa berjalan baik dan terealisasi.
4.3.4 Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif
di Kota Palangka Raya Berdasarkan Evaluasi
Product
Evaluasi product terhadap penyelenggaraan
program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya
berupaya untuk melakukan penilaian terhadap dampak
perkembangan peserta didik dari penyelenggaraan
program. Sehubungan dengan penerimaan ABK yang
sudah berjalan cukup lama di ketiga sekolah yang
diteliti hingga pelaksanaan secara menyeluruh di
99
tingkat kota dalam momen pencanangan Kota
Pendidikan Inklusif pada Oktober 2014 lalu, maka
dampak penerapan program tersebut dapat dilihat
terkhusus dari perkembangan maupun prestasi ABK.
Perkembangan ABK baik dari segi akademik maupun
non akademik disesuaikan dengan jenis kebutuhan
khusus/kelainan ABK.
SDN 6 Bukit Tunggal dengan mayoritas ABK
dengan jenis kebutuhan khusus/kelainan ABK slow
learner memiliki perkembangan akademik rerata atau
standar. Dalam hal ini ABK mampu mencapai nilai
standar sesuai KKMnya sehingga bisa naik kelas
bahkan lulus. Sementara, perkembangan non
akademik ABK cukup baik atau rata-rata. SMPN 3 yang
memiliki ABK dengan jenis kebutuhan
khusus/kelainan slow learner dan tuna daksa memiliki
perkembangan akademik dan non akademik yang
cukup baik atau rata-rata. ABK di SMAN 4 dengan jenis
kebutuhan yang bervariasi memiliki perkembangan
prestasi yang baik dan perkembangan non akademik
yang baik bahkan membanggakan sekolah. Dengan
demikian, maka dapat disimpulkan bahwa
perkembangan atau prestasi ABK di ketiga sekolah
secara garis besar cukup baik dan rata-rata.
Hasil temuan sudah sesuai dengan pendapat
Mudjito dkk. (2012) yang menjelaskan bahwa
setidaknya ada 4 ranah pendidikan yang harus
diberikan dalam proses belajar mengajar yang
mencakup ranah kognitif (pembentukan kemampuan
ilmu atau daya nalar), psikomotorik (pembentukan
100
bakat keterampilan), soft skills (pembentukan
intrapersonality, interpersonality, karakter pribadi
untuk dirinya, sosial dan dengan sang Pencipta), dan
karakter (pembentukan hard skills dan soft skills).
Melalui pencapaian ranah-ranah tersebut, anak-anak
akan menjadi semakin bermakna setelah memperoleh
pendidikan. Hasil temuan menunjukkan bahwa secara
garis besar ABK berkembang dan mencapai prestasi
cukup baik dalam hal akademik (kognitif) dan
keterampilan (psikomotorik). Sebagian anak bisa naik
kelas dan lulus hingga melanjutkan sekolah ke
perguruan tinggi.
Dampak lainnya terletak pada banyaknya jumlah
ABK yang terlayani di sekolah. Hal ini dapat dilihat dari
perincian bahwa SDN 6 Bukit Tunggal memiliki 43
siswa, SMPN 3 memiliki 12 siswa, dan SMAN 4 memiliki
15 siswa. Dengan demikian, hasil temuan juga sesuai
dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal 3 ayat
2 dimana jenis kelainan ABK sangat bervariasi. Dalam
hal ini, sekolah memiliki variasi jumlah ABK yang
disertai dengan jenis kebutuhan khusus yang berbeda-
beda pula.