Upload
phungphuc
View
237
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Kopi
Secara komersial, kita mengenal dua jenis kopi, yaitu kopi arabika dan
kopi robusta. Kopi arabika adalah kopi tradisional dan dianggap paling enak
rasanya serta menguasai 70 persen pasar kopi dunia. Dengan ciri-ciri memiliki
variasi rasa yang lebih beragam, dari rasa manis dan lembut atau halus hingga
rasa kuat dan tajam serta terkenal juga dengan rasanya yang pahit. Kopi arabika
juga memiliki aroma yang sedap yang sekilas mirip percampuran bunga dan buah.
Kopi yang berasal dari Etiopia ini sekarang sudah dibudidayakan di Indonesia.
Umumnya sensitif terhadap serangan penyakit karat daun (Hemelia Vastatrik).
Rata-rata produksinya 800 - 2.500 kg/ha/tahun, mempunyai kualitas yang relatif
lebih tinggi dari jenis kopi lainnya. Kopi jenis ini berbuah sekali dalam setahun
(Budiman, 2012).
Kopi robusta adalah jenis kopi yang resisten terhadap penyakit HV
(Hemelia Vastatrik) sehingga pengelolaannya lebih mudah dibanding kopi
arabika. Kopi robusta pertama kali ditemukan di Kongo dan saat ini menguasai
30 persen pasar dunia. Dengan ciri-ciri memiliki rasa seperti cokelat, lebih pahit,
dan sedikit asam., bau yang dihasilkan khas dan manis. Rata-rata produksinya
800 - 2.000 kg/ha/tahun. Kopi robusta lebih murah, rasanya kurang enak dan
lebih banyak caffein dari pada kopi arabika (Budiman, 2012).
Tanaman kopi yang dirawat dengan baik biasanya sudah mulai
berproduksi pada umur 2,5-3 tahun, tergantung pada iklim dan jenisnya.
Tanaman kopi robusta biasanya sudah dapat berproduksi pada umur 2,5 tahun,
sedangkan kopi arabika pada umur 2,5-3 tahun. Umur ekonomis kopi dapat
mencapai 10-15 tahun, kopi arabika dapat berproduksi hingga 10 tahun,
sedangkan kopi robusta dapat mencapai 15 tahun. Namun demikian tingkat
produksi kopi sangat di pengaruhi oleh tingkat pemeliharaannya, seperti
pemupukan, pemberantasan terhadap hama penyakit juga pada pemilihan bibit
(Najiyati dan Danarti, 2004).
2.2 Agribisnis Kopi
Secara singkat lingkup pembangunan agribisnis kopi dapat digambarkan
sebagai berikut.
Gambar 1. Lingkup Pembangunan Sistem Agribisnis Kopi Sumber: Pambudy, 2005
Subsistem Agribisnis Hulu Pembenihan/
Pembibitan Tanaman Agrokimia Agro
Otomotif
Subsistem Usahatani Usaha
Perkebunan
Subsistem Pengolahan Pasca Panen • Industri
Bahan Minuman
Subsistem Pemasaran • Distribusi • Informasi
Pasar • Kebijakan
Perdagangan • Struktur
Pasar
Subsistem Jasa dan Penunjang • Perkreditan dan Asuransi • Penelitian dan Pengembangan • Pendidikan dan Penyuluhan T t i d P d
a. Subsistem Agribisnis Hulu Kopi
1. Pembenihan/Pembibitan Tanaman Kopi
Ada dua jenis bibit kopi, yaitu bibit generatif dan bibit vegetatif. Bibit
generatif diperoleh dengan cara menyemaikan benih. Benih ini boleh digunakan
jika berasal dari benih hasil persilangan pertama yang berasal dari penangkaran
benih terpercaya. Bibit vegetatif diperoleh dengan cara memperbanyak bagian
tanaman selain benih, misalnya bibit cangkokan, sambungan, okulasi atau setek,
dan kultur jaringan (Suwarto dan Yuke, 2010).
Benih dan bibit dapat dipesan/dibeli langsung ke PT. Perkebunan terdekat
(misalnya PTP XXIII, PTP XXVI), balai penelitian perkebunan terdekat (BPPB
Jember), dinas perkebunan terdekat, atau perusahaan perkebunan terdekat yang
khusus membuat benih/bibit kopi. Biasanya tempat-tempat tersebut mempunyai
kebun khusus yang hanya memproduksi benih dan bibit kopi. Tanaman di kebun
dipisahkan dari jenis kopi lainnya sehingga benih yang dihasilkan tidak tercemar.
Benih yang dipanen juga diseleksi dari biji-biji rusak atau terserang hama
penyakit sehingga dihasilkan biji-biji unggul (Najiyati dan Danarti, 2008).
2. Agrokimia
Menurut Najiyati dan Danarti (2008) tanaman kopi membutuhkan pupuk
untuk tumbuh kembangnya. Jenis pupuk yang sering digunakan untuk tanaman
kopi adalah pupuk buatan (kimiawi) seperti urea, SP-36, dan KCL, serta pupuk
organik seperti pupuk kandang dan kompos. Pada tahun pertama, setiap tanaman
dipupuk dengan pupuk urea sebanyak 50 gr, SP-36 25 gr, dan KCL 20 gr. Pupuk
tersebut diberikan dua kali, yaitu setengah pada umur enam bulan dan setengah
lagi pada umur satu tahun. Dosis pemupukan tanaman kopi/pohon/tahun dapat
dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Data Dosis Pemupukan Tanaman Kopi/Pohon/Tahun
Tahun ke Urea (gr/pohon/thn)
SP-36 (gr/pohon/thn)
KCL (gr/pohon/thn)
1 2 x 25 2 x 25 2 x 20 2 2 x 50 2 x 50 2 x 40 3 2 x 75 2 x 70 2 x 40 4 2 x 100 2 x 90 2 x 40
5-10 2 x 150 2 x 130 2 x 60 >10 2 x 200 2 x 175 2 x 80
Sumber: Najiyati dan Danarti, 2008
Selain penggunaan pupuk, tingkat keberhasilan budidaya tanaman kopi
tergantung juga dalam hal penanganan hama penyakit. Penyakit yang sering
ditemukan dan serangannya mampu membuat kerugian ekonomi yang tinggi
adalah penyakit karat daun dan nematoda parasit. Pengendalian umum yang
sudah dilakukan oleh pekebun yaitu dengan pengendalian secara mekanis dan
kimiawi.
Dalam pengendalian secara kimiawi, fungisida yang digunakan yaitu
larutan dithane M-45 2 gr/liter air untuk mngendalikan penyakit karat daun
(Hemileia vastatrix); larutan bavistin 50 WP 0,2 % dan dithane M-45 80 WP
0,2% untuk mengendalikan cendawan jenis Cercospora coffeicola. Untuk
pestisida digunakan pestisida dengan perlakuan fumigant seperti Basamid G. dan
Vapam L. untuk mengendalikan hama yang menyerang akar yang pengaplikasian
dilakukan sebelum kegiatan penanaman; dan dengan perlakuan sistemik dan
kontak seperti Vydate 100 AS, Rugby 10 G untuk mengendalikan hama bentuk
nematoda yang menyerang akar (Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014).
3. Agro Otomotif
Dalam suatu perkebunan, kehadiran alat-alat atau mesin pertanian mutlak
diperlukan. Alat pertanian memiliki peranan yang cukup penting, antara lain
mempercepat waktu kerja sehingga hasil yang diperoleh bisa lebih optimal.
Peralatan pertanian yang digunakan ada berbagai macam, dari alat berat sampai
ringan, tergantung penggunaannya. Berikut ini beberapa peralatan pertanian yang
biasa digunakan dalam usaha budidaya tanaman kopi.
1. Traktor, garu, dan cangkul untuk mengolah tanah
2. Parang atau arit untuk membersihkan areal kebun kopi
3. Bengko untuk membuat lubang tanam
4. Pisau, gunting, dan gergaji untuk okulasi
5. Gunting dan parang yang tajam untuk memangkas
6. Spayer untuk menyemprot fungisida, insektisida, ataupun pupuk
(Tim Penulis Penebar Swadaya, 2008).
Sedangkan peralatan yang digunakan selama proses pengolahan kopi
antara lain:
1. Sifon (Conische Tank) adalah alat yang digunakan untuk memisahkan kopi
kategori baik dan inferior berdasarkan prinsip perbedaan berat jenis buah
kopi.
2. Pulper adalah alat yang digunakan untuk memisahkan kopi dari pulp-nya
(daging buah dan kulitnya). Terdapat dua macam Pulper, yaitu Disk Pulper
dan Cylinder Pulper. Cylinder Pulper merupakan alat yang paling banyak
digunakan karena selain dapat memisahkan kopi dari pulp, juga sebagai
wadah pencucian sekaligus.
3. Vis Dryer, Mason Dryer, dan American Drying System (ADS) digunakan
untuk mengeringkan biji kopi. Tipe pengeringan Vis Dryer dibuat seperti
layaknya rumah yang lantainya (tebal lantai 8 cm) berlubang-lubang dan
dibuat juga saluran pipa-pipa udara untuk mengalirkan uap panas. Tipe
pengeringan Mason Dryer dibuat dari silinder yang bisa berputar, putaran
diatur dengan kecepatan 1-4 putaran per menit, dan bagian dinding silinder
berlubang-lubang. Tipe pengeringan ADS berbentuk menara yang
pemanasannya menggunakan bahan bakar solar, gas hasil pembakaran dari
burner gass yang sudah tercampur dengan udara segar langsung disalurkan ke
tempat pengeringan.
4. Huller digunakan untuk melepaskan biji kopi dari kulit tanduk dan kulit ari.
(Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014).
b. Subsistem Usahatani Kopi
Menurut Tim Penulis Penebar Swadaya (2008) pelaksanaan teknik
budidaya yang tepat guna bertujuan untuk menghasikan produksi tanaman
perkebunan yang tinggi dan berkualitas. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu
diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi usaha budidaya ini. Faktor-faktor
tersebut, antara lain sebagai berikut.
1. Pemilihan Bibit (memilih dan membeli bibit, penyemaian benih, pembibitan,
dan perawatan bibit)
2. Persiapan Lahan
3. Penanaman (pembuatan lubang tanam, dan penanaman)
4. Pemeliharaan (pengairan, pemupukan, pemangkasan, dan pemberantasan
hama penyakit)
c. Subsistem Pengolahan Pasca Panen Kopi
Kualitas kopi yang baik hanya dapat diperoleh dari buah yang telah masak
dan melalui pengolahan yang tepat. Buah kopi yang baru dipanen harus segera
diolah. Pasalnya, buah kopi mudah rusak dan menyebabkan perubahan cita rasa
pada seduhan kopi. Pengolahan buah kopi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
pengolahan kering atau dahulu disebut OIB (Oost Indichi Bereiding) dan
pengolahan basah atau dahulu biasa disebut WIB (Wash Indichi Bereiding)
(Panggabean, 2011).
Dahulu pengolahan kopi hanya dilakukan dengan metode kering. Seiring
waktu, semakin meningkatnya jumlah produksi kopi, cuaca yang kurang baik, dan
kuantitas hasil panen yang tinggi, maka pengolahan kering dianggap tidak efisien
lagi untuk perkebunan besar. Karena itu, perkebunan besar mengolah hasil panen
kopi dengan metode basah. Perbedaan metode basah dan kering adalah proses
penghilangan lapisan lendir. Proses menghilangkan lapisan lendir cukup sulit.
Pasalnya, pulp memiliki lapisan yang mengandung senyawa gula yang merupakan
media tumbuh yang sangat baik untuk perkembangan mikro organisme, seperti
jamur dan memiliki sifat higroskopis sehingga mampu menghalangi proses
pengeringan biji dan kotoran. Untuk metode basah, setelah pengupasan kulit
buah (pulping), ada perlakuan fermentasi. Perbedaan urutan proses pengolahan
kering dan pengolahan basah buah kopi dapat dilihat pada Tabel 3 berikut
(Panggabean, 2011).
Tabel 3. Urutan Proses Pengolahan Kering dan Pengolahan Basah Buah Kopi
Urutan Proses
Pengolahan Pengolahan Kering Buah Kopi Pengolahan Basah Buah Kopi
1. Pemetikan buah Pemetikan buah 2. Penerimaan di pabrik atau
gudang Penerimaan di pabrik atau gudang
3. Sortasi buah Sortasi buah 4. Pengeringan buah Pengupasan kulit buah (pulping) 5. Pengupasan kulit buah (pulping) Fermentasi 6. Pengeringan biji Pencucian 7. Pengupasan kulit tanduk (hulling) Pengeringan 8. Pengeringan akhir Pendinginan (tempering) 9. Sortasi biji (grading) Pengupasan kulit tanduk (hulling) 10. Pengemasan Sortasi (grading) 11. Penyimpanan Pengemasan 12. Pendistribusian atau pemasaran Penyimpanan 13. Pendistribusian atau pemasaran
Sumber: Panggabean, 2011 (diolah)
Di Indonesia, harga kopi yang diproses dengan metode basah lebih mahal
dibandingkan dengan harga metode kering. Hal ini terjadi untuk pasar kopi jenis
robusta, khususnya di Pulau Jawa. Karena itu, petani kecil pun sudah mulai
menggunakan pengolahan basah, baik untuk kopi jenis robusta maupun arabika
(Panggabean, 2011).
d. Subsistem Pemasaran Kopi
Prospek pemasaran kopi Indonesia untuk masa-masa mendatang tidak
perlu dikhawatirkan, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri
maupun untuk ekspor. Konsumsi kopi di dalam negeri diperkirakan akan
meningkatkan dan semakin menuntut mutu yang lebih baik. Ekspor kopi
Indonesia terus diusahakan untuk dapat ditingkatkan, baik ke pasaran tradisional
maupun ke pasaran-pasaran lainnya. Mutu ekspor kopi diusahakan untuk
diperbaiki melalui penetapan syarat-syarat mutu ekspor. Usaha ini ditujukan
untuk memperoleh kepercayaan pasaran dan harga yang lebih baik. Melalui
usaha perbaikan mutu dapat diperhitungkan bahwa penerimaan pendapatan ekspor
pun akan dapat ditingkatkan. Berhasilnya upaya ini sekaligus akan meningkatkan
pendapatan petani (Spillane, 1990).
Sampai saat ini, alur niaga yang terbentuk pada komoditas kopi yang
sudah dipraktikkan oleh para petani kopi skala kecil memiliki ciri-ciri sebagai
berikut.
1. Strktur pasar komoditas kopi membentuk persaingan tidak sempurna.
2. Para pelaku pasar menggiring petani kopi agar bergantung pada mereka.
3. Terbentuk harga kopi yang semakin inelastis.
4. Dominasi peran eksportir dan pedagang besar dalam alur niaga kopi.
(Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014).
Menurut Nurhakim dan Sri Rahayu (2014) terdapat dua saluran niaga
untuk memasarkan hasil panen kopi, yaitu alur niaga langsung dan alur niaga
perantara.
Gambar 2. Bagan Tata Niaga Kopi Sumber: Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014 Alur niaga langsung hanya terdiri atas dua komponen, yaitu produsen dan
konsumen. Keduanya, berhubungan bisnis secara langsung. Besar harga yang
ditawarkan konsumen sama dengan besar harga yang diterima produsen. Kedua
pihak akan sama-sama memperoleh kepuasan tertinggi. Produsen memperoleh
harga wajar, konsumen memperoleh kopi sesuai yang diinginkan. Namun, alur
niaga langsung masih memiliki kelemahan antara lain sebagai berikut.
Petani Kopi
Tengkulak
Pedagang Pengumpul
Pedagang Kabupaten
Agen Tingkat Provinsi
Industri Kopi
Pemilik Penggilingan
Tujuan Domestik
Tujuan Ekspor
Eksportir
Perkebunan Negara/Swasta
1. Ruang lingkup pasar menjadi terbatas.
2. Petani biasanya sulit berinovasi untuk mengolah kopi ke produk yang
memiliki nilai tambah tinggi.
3. Petani kesulitan meluaskan jaringan niaga, karena itu berarti melepaskan diri
menjadi produsen.
4. Kopi yang dihasilkan harus spesifik dan langka di pasaran.
(Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014).
Alur niaga yang melibatkan perantara dalam pemasaran biji kopi bisa
melalui beberapa tangan sebelum sampai kepada konsumen akhir. Dalam hal ini,
yang dimaksud dengan perantara yaitu pedagang atau pengusaha yang memiliki
kuasa atas komoditas kopi untuk disalurkan ke pihak lain dengan tujuan
mendapatkan laba. Alur niaga yang melibatkan perantara ada dua, yaitu alur
niaga perantara I dan perantara II (Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014).
1. Alur Niaga Perantara I
Gambar 3. Bagan Alur Niaga Perantara I
Sumber: Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014
2. Alur Niaga Perantara II
Gambar 4. Bagan Alur Niaga Perantara II
Sumber: Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014
Petani Pedagang Pengumpul Desa Pedagang Pengumpul
Kecamatan Pedagang Pengumpul Kabupaten Eksportir
Petani KUD Eksportir
Bentuk tata niaga biji kopi yang biasa dipakai yaitu dari petani langsung
dijual kepada pedagang pengumpul desa. Dari pedagang pengumpul desa, dijual
kepada pedagang pengumpul di tingkat kecamatan. Dari pedagang pengumpul di
tingkat kecamatan, dijual kembali ke eksportir. Bentuk tata niaga tersebut
berantai panjang. Petani akan menerima margin yang sedikit dari harga yang
diperoleh di atas kapal (FOB). Walaupun harga yang diperoleh relatif rendah,
banyak petani yang memilih saluran ini karena ada faktor-faktor penyebabnya,
antara lain sebagai berikut.
1. Tingkat pendidikan petani yang masih rendah
2. Informasi pasar yang kurang memadai
3. Kurang perhatian dan peran pemerintah terhadap para petani kopi
4. Infrastruktur pendukung perekonomian yang rendah
5. Kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada petani
6. Harga kopi yang terombang-ambing oleh perekonomian dunia
(Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014).
Bentuk alur niaga yang kedua dianjurkan untuk para petani kopi di seluruh
wilayah Indonesia. Pembentukan koperasi dapat memperpendek rantai niaga,
menciptakan harga kopi yang mampu bersaing dengan harga yang ditawarkan
oleh para pekebun berskala besar, memungkinkan akses pasar yang lebih luas,
manajemen agribisnis (produksi dan pemasaran) tertata, sehingga pendapatan
petani juga meningkat. Koperasi juga dapat menekan fluktuasi harga biaya
operasional penanaman seperti pupuk, pestisida, dan harga bibit kopi varietas atau
klon unggul (Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014).
e. Subsistem Jasa dan Penunjang Kopi
Untuk mengatasi alur tata niaga yang cenderung dikuasai oleh pemodal
memerlukan usaha-usaha dari pemerintah dan petani kopi itu sendiri. Usaha-
usaha tersebut, antara lain sebagai berikut.
1. Peningkatan sarana transportasi dan infrastruktur pemasaran.
2. Adanya naungan dari lembaga keuangan untuk menyediakan permodalan
dengan prosedur permodalan yang sederhana, contohnya koperasi.
3. Para petani di dorong untuk membuat organisasi atau kelompok petani yang
mandiri.
4. Para petani di dorong untuk meningkatkan standarisasi mutu hasil panen kopi.
(Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014).
f. Contoh Pengembangan Agribisnis Kopi
Salah satu contoh Pengembangan Agribisnis Kopi adalah Agribisnis Kopi
Gayo (lebih di kenal dengan sebutan Kopi Organik Takengon oleh negara-negara
pengimpor) merupakan salah satu contoh model pengembangan agribisnis
tanaman perkebunan rakyat yang produknya telah mendapat pasaran luas pada 19
negara di dunia. Tujuan ekspor kopi gayo ini adalah Amerika Serikat 38,49%,
Jepang 22,34%, Jerman 6,8%, Belgia 3,43%, Taiwan 1,57%, Singapura 1,16%,
dan negara-negara lainnya dibawah 1% seperti Kanada, Belanda, Inggris,
Polandia, Afrika Selatan, Oklanda, Irlandia, Denmark, Spanyol, Swiss, Norwegia,
dan Hongkong (Su’ud dan Sri, 2007).
Kegiatan pengembangan Kopi Gayo telah berjalan demikian rupa melalui
pembinaan dan penyuluhan dan bahkan pendampingan kepada petani, pengolahan
hasil, pengembangan pemasaran. Dalam kegiatan ini, semua subsistem pada
sistem utama maupun sistem penunjang agribisnis telah berfungsi secara penuh.
Mewujudkan keserasian antara hubungan satu subsistem dengan subsistem
lainnya tentulah bukan persoalan yang mudah dan telah memakan waktu
bertahun-tahun dalam mengaplikasikannya. Namun ini dapat dijadikan contoh
bagi keberhasilan pengembangan komoditas perkebunan rakyat baik di NAD
maupun daerah lain (Su’ud dan Sri, 2007).
2.3 Kesepakatan Agribisnis
Menurut Nurdin (2012) kesepakatan adalah suatu bentuk dari proses hasil
diskusi, musyawarah antara dua belah pihak yang berbeda atau lebih yang mana
menyepakati sebuah keputusan setelah melalui proses negoisasi atau tawar
menawar. Dalam bisnis, kesepakatan tidak mengenal kesepakatan verbal dan
yang ada adalah kesepakatan tertulis yang sifatnya mengikat setelah adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Artinya dalam proses diskusi atau negoisasi
setelah disepakati bersama maka kesepakatan akan dituangkan dalam bentuk
kesepakatan tertulis. Ada beberapa hal yang menyebabkan suatu kesepakatan
menjadi suatu keterikatan, antara lain:
1. Adanya kepentingan kedua belah pihak yang menguntungkan
Kepentingan masing-masing pihak sangatlah menentukan dalam suatu
kesepakatan sebuah perjanjian dan hal ini di dasari oleh kedua belah pihak
dalam melihat apakah kesepakatan nantinya akan menguntungkan kepada
masing-masing pihak. Seseorang tidak akan pernah menyepakati suatu
kesepakatan apabila tidak adanya keuntungan baginya.
2. Mempertahankan kesepakatan dalam kondisi yang berubah sesuai dengan sifat
dari bisnis dan dunia usaha yang naik turun dan berputar seperti roda. Berikut
ini cara agar kesepakatan dapat bertahan.
a. Utamakan dan jalin rasa kepercayaan yang tinggi setelah terjadi
kesepakatan.
b. Dalam menghormati suatu kesepakatan memang tidak mudah. Apalagi
pada saat masa masa kritis di mana sebuah usaha baru di rintis atau pada
saat mengalami kolaps dan kemunduran. Namun seorang Pengusaha dan
Investor yang memahami arti sebuah kesepakatan dalam segala hal akan
memahami bagaimana cara pandang dalam menghadapi segala hal yang
akan membuat gelombang pasang surut sebuah kepercayaan dalam
kesepakatan.
c. Negative Thingking harus dihindarkan dan mempunyai niat buruk harus
dijauhkan dalam setiap kesepakatan.
d. Evaluasi bersama saat adanya gangguan dalam kesepakatan dan nilai
secara objektif secara bersama-sama dan bukan karena ”Siapa” tapi
”Bagimana”.
e. Jangan pernah dihitung arti sebuah kesepakatan berdasarkan nilai material
yang telah disepakati, namun pertimbangkan nilai material akan habis dan
nilai moral akan tetap ada apabila sebuah kesepakatan telah berakhir.
Karena apabila kedua belah pihak mampu melewati masa-masa kritis dari
sebuah perjanjian dalam kesepakatan bersama, kesepakatan tertulis tidak
akan pernah tergantikan dengan kesepakatan verbal.
Menurut Baron dan Donn (2005) ada enam prinsip/teknik dasar untuk
memperoleh kesepakatan, yaitu:
1. Pertemanan/rasa suka (ingratiation)
Umumnya, kita lebih bersedia untuk memenuhi permintaan dari teman atau
orang-orang yang kita sukai daripada permintaan dari orang asing atau orang-
orang yang tidak kita sukai. Teknik ingratiation yang paling efektif adalah
rayuan (flattery), memuji orang lain dengan cara-cara tertentu, yaitu:
a. Memperbaiki/memperindah penampilan;
b. Melakukan kebaikan-kebaikan kecil.
2. Komitmen/Konsisten
Orang akan lebih mudah untuk diajak bersepakat tentang sesuatu yang
berhubungan secara konsisten dengan komitmen yang ia miliki itu. Ada dua
teknik komitmen, yaitu:
a. Teknik foot-in-the door
Membuat orang menyetujui terhadap permintaan kecil, lalu setelah orang
itu setuju, disodorkan permintaan yang lebih besar (yang diinginkan).
b. Teknik low ball
Penawaran/persetujuan diubah (menjadi lebih tidak menarik) setelah orang
yang menjadi target terlanjur menerimanya. Misal: konsumen ditawari
sebuah mobil yang sangat menarik. Ketika sudah diterima oleh
konsumen, penawaran itu ditolak oleh manajer, dengan menaikkan
harga/membuat suatu perubahan yang tidak menguntungkan konsumen.
Konsumen sering kali menerima penawaran tersebut.
3. Kelangkaan
Orang akan lebih mudah menerima kesepakatan jika hal itu adalah hal yang
langka, dibandingkan dengan yang tidak langka. Ada dua teknik kelangkaan,
yaitu:
a. Teknik playing hard to get (jual mahal)
Memberikan kesan bahwa seseorang atau objek adalah langka dan sulit
diperoleh.
b. Teknik deadline Orang yang menjadi target diberi tahu bahwa mereka memiliki waktu yang
terbatas untuk mengambil keuntungan dari beberapa tawaran atau untuk
memperoleh suatu barang.
4. Timbal balik/resiprositas
Orang lebih mudah memenuhi permintaan dari orang yang sebelumnya telah
memberikan bantuan atau kemudahan bagi kita daripada terhadap orang yang
tidak pernah melakukannya. Dengan kata lain kita harus membayar apa yang
telah dilakukan oleh orang lain. Ada dua teknik resiprositas yaitu:
a. Teknik door-in-the-face
Pemohon memulai dengan permintaan yang besar dan kemudian ketika
permintaan ini ditolak, mundur ke permintaan yang lebih kecil (yang
sebenarnya dekat dengan yang diinginkan).
b. Teknik that’s-not-all
Menawarkan keuntungan tambahan kepada orang-orang yang menjadi
target, sebelum mereka memutuskan apakah mereka hendak menuruti atau
menolak permintaan spesifik yang diajukan efek ini berhasil untuk harga-
harga yang lebih rendah.
5. Validasi sosial
“Hal itulah yang dilakukan oleh orang-orang seperti kita”, bila orang itu
percaya, biasanya ia akan lebih mudah menerima kesepakatan kita. Orang
lebih mudah memenuhi permintaan untuk melakukan beberapa tindakan, jika
tindakan tersebut konsisten dengan apa yang kita percaya/dipikirkan oleh
orang yang mirip dengan kita.
6. Kekuasaan
Orang lebih bersedia memenuhi permintaan orang yang berkuasa. Ada dua
teknik kekuasaan yaitu:
a. Teknik Pique
Minat orang yang menjadi target distimulasi dengan permintaan yang
tidak umum, sehingga mereka tidak menolak permintaan secara otomatis,
karena kebiasaan mereka.
b. Menempatkan seseorang dalam suasana yang baik dulu (sama dengan
ingratiation).
Konflik tentang masalah efisiensi menyebabkan pembahasan terhadap
agribisnis tetap menarik perhatian. Masalahnya bukan saja terletak pada aspek
produksi, pengolahan hasil dan pemasaran saja, tetapi juga pengaruh yang lain.
Dengan adanya persaingan yang ketat tentang pemasaran hasil pertanian di
pasaran dunia (world market), menuntut peranan kualitas produk, dan kemampuan
menerobos pasar dunia menjadi semakin penting. Kemampuan mengantisipasi
pasar (market intelligent), juga menjadi amat penting dan untuk itu bentuk usaha
yang skala kecil perlu bergabung dalam skala usaha yang lebih besar agar mampu
bersaing dipasaran internasional. Untuk menjaga kelangsungan menerobos pasar
ini, maka kontinuitas bahan baku pertanian perlu dijamin; bukan saja pada jumlah
bahan baku yang diperlukan tetapi juga kualitas dan kontinuitasnya (Soekartawi,
2003).
Untuk keberhasilan pengembangan agribisnis sangat disarankan adanya
mitra. Pemerintah setempat atau lokal dapat ikut terlibat dalam pengembangan
ekonomi dengan berbagai cara, baik sebagai pemprakarsa aktivitas
pengembangan melalui kemitraan dengan pengembangan swasta atau sebagai
pemegang posisi kepemilikan yang seimbang atau juga seorang koordinator dan
stimulator dari aktivitas ekonomi dalam wilayahnya (Su’ud dan Sri, 2007).
Konsep formal kemitraan sebenarnya telah tercantum dalam Undang-
undang Nomor 9 Tahun 1995 yang berbunyi, “Kerja sama antara usaha kecil
dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan
pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan
memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan”. Konsep tersebut diperjelas pada Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun 1997 yang menerangkan bahwa bentuk kemitraan yang ideal adalah
yang saling memperkuat, saling menguntungkan, dan saling menghidupi. Tujuan
kemitraan adalah untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha,
meningkatkan kualitas sumber daya kelompok mitra, peningkatan skala usaha,
serta menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok usaha
mandiri (Sumardjo, dkk, 2004).
Sebagai implementasi dari hubungan kemitraan tersebut dilaksanakan
melalui pola-pola kemitraan (Pola Inti Plasma, Pola Subkontrak, Pola Dagang
Umum, Pola Keagenan, dan Pola Waralaba) yang sesuai sifat/kondisi dan tujuan
usaha yang dimitrakan dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif, baik di
dalam pembinaan maupun pelaksanaan operasionalnya. Pembinaan tersebut
sangat berpengaruh terhadap kebijaksanaan yang berlaku di suatu wilayah, oleh
karena itu dukungan kebijaksanaan mutlak diperlukan dalam pelaksanaan
kemitraan usaha dan ditunjang operasionalisasi yang baik seperti penjabaran
pelaksanaan kemitraan melalui kontrak kerjasama kemitraan dan secara konsisten
mengikuti segala kesepakatan yang telah ditetapkan bersama. Kontrak kerjasama
ini bukan hanya berupa Memorandum of Understanding (MOU) namun kontrak
kerjasama yang sudah memuat perjanjian waktu, harga, dan jumlah produksi,
yang dibarengi dengan sanksi yang ditetapkan apabila salah satu pihak melanggar
atau merugikan pihak lain (Hafsah, 2000).
Kemitraan adalah suatu strategi bisnis, maka keberhasilan kemitraan
sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam
menjalankan etika bisnis. Dalam konteks ini pelaku-pelaku yang terlibat
langsung dalam kemitraan tersebut harus memiliki dasar-dasar etika bisnis yang
dipahami bersama dan dianut bersama sebagai titik tolak dalam menjalankan
kemitraan. Hal ini erat kaitannya dengan peletakan dasar-dasar moral berbisnis
bagi pelaku-pelaku kemitraan. Penerapan dasar-dasar etika bisnis dalam
kemitraan yang diwujudkan dengan tindakan nyata identik dengan membangun
suatu fondasi untuk sebuah rumah atau bangunan. Konsistensi dalam penerapan
etika bisnis akan berbanding lurus dengan kemantapan atau kekokohan dalam
menopang pilar-pilar di atasnya (Hafsah, 2000).
John L. Mariotti dalam Hafsah (2000) mengemukakan 6 dasar etika
berbisnis dimana 4 yang pertama merupakan hubungan interaksi manusia dan
selebihnya merupakan perspektif bisnis. Keenam dasar etika bisnis tersebut
adalah:
a. Karakter, Integritas dan Kejujuran
b. Kepercayaan
c. Komunikasi yang Terbuka
d. Adil
e. Keinginan Pribadi dari Pihak yang Bermitra
f. Keseimbangan antara insentif dan Risiko
Menurut Sumardjo, dkk (2004) pengembangan kelembagaan kemitraan
dalam sistem agribisnis ternyata menimbulkan dampak positif bagi keberhasilan
pengembangan sistem agribisnis dimasa depan. Dampak positif yang ditimbulkan
adalah sebagai berikut.
1. Adanya keterpaduan dalam sistem pembinaan yang saling mengisi antara
materi pembinaan dengan kebutuhan riil petani. Sistem pembinaan terpadu
ini meliputi permodalan, sarana, teknologi, bentuk usaha bersama atau
koperasi, dan pemasaran.
2. Adanya kejelasan aturan atau kesepakatan sehingga menumbuhkan
kepercayaan dalam hubungan kemitraan bisnis yang ada. Kesepakatan
tentang aturan, perubahan harga, dan pengambilan hasil harus dibuat adil oleh
pihak-pihak yang bermitra. Jika salah satu pihak lemah maka harus ada pihak
ketiga yang netral untuk melakukan pengawasan. Dengan demikian, tujuan,
kepentingan, dan kesinambungan bisnis dari kedua pihak dapat terlaksana dan
saling menguntungkan.
3. Adanya keterkaitan antarpelaku dalam sistem agribisnis (hulu-hilir) yang
mempunyai komitmen terhadap kesinambungan bisnis. Komitmen ini
menyangkut kualitas dan kuantitas serta keinginan saling melestarikan
hubungan dengan menjalin kerja sama saling menguntungkan secara adil.
4. Terjadinya penyerapan tenaga kerja yang cukup banyak dan
berkesinambungan di sektor pertanian.
Berdasarkan surat perjanjian kesepakatan agribisnis kopi antara PT.
Volkopi Indonesia dan petani Kecamatan Lintongnihuta dan Kecamatan
Paranginan (2012) dapat diketahui bahwa kesepakatan tersebut mencakup 4
(empat) hal yaitu kesepakatan dalam subsistem agribisnis hulu kopi (penyediaan
input produksi), kesepakatan dalam subsistem usahatani kopi (proses produksi
atau budidaya), kesepakatan dalam subsistem pengolahan pasca panen kopi dan
kesepakatan dalam subsistem pemasaran kopi.
Kesepakatan ini tidak mengikat dan tidak ada unsur paksaan didalamnya,
apabila dikemudian hari pihak petani tidak ingin melanjutkan Program
Pengelolaan Perkebunan Kopi melalui Sekolah Lapang Kopi (SL-Kopi) dan
Program Sertifikasi RFA (Rain Forest Alliance) tersebut maka petani dapat
mengundurkan diri dengan mengajukan permohonan kepada PT. Volkopi
Indonesia.
2.4 Evaluasi
Evaluasi adalah suatu usaha untuk mengukur dan memberi nilai secara
obyektif pencapaian hasil-hasil yang telah direncanakan sebelumnya. Evaluasi
sebagai salah satu fungsi manajemen berurusan dan berusaha untuk
mempertanyakan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan dari suatu rencana
sekaligus untuk mengukur se-obyektif mungkin hasil-hasil pelaksanaan itu
dengan ukuran-ukuran yang dapat diterima pihak-pihak yang mendukung maupun
yang tidak mendukung suatu rencana (Aji dan M. Sirait, 1990).
Menurut Mardikanto (1993) evaluasi sebagai suatu kegiatan, sebenarnya
merupakan proses untuk mengetahui atau memahami dan memberikan penilaian
terhadap suatu keadaan tertentu, melalui kegiatan pengumpulan data atau fakta
dan membandingkannya dengan ukuran serta cara pengukuran tertentu yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu setiap pelaksanaan evaluasi harus selalu
memperhatikan 3 (tiga) landasan evaluasi yang mencakup:
a. Evaluasi dilandasi oleh keinginan untuk mengetahui sesuatu.
b. Menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, sehingga dalam mengambil
keputusan tentang penilaian harus selalu dilandasi oleh suatu kesimpulan-
kesimpulan yang diperoleh dari analisis data atau fakta yang berhasil
dikumpulkan.
c. Obyektif atau dapat diterima oleh semua pihak dengan penuh kepercayaan dan
keyakinannya dan bukan karena adanya suatu keinginan-keinginan tertentu
atau disebabkan oleh adanya tekanan-tekanan dari pihak-pihak tertentu.
Menurut Rozak (2013) dalam proses pengimplementasian suatu program,
tentu mempunyai perbedaan dalam evaluasi. Perbedaan tersebut terjadi karena
adanya perbedaan maksud dan tujuan dari suatu program. Oleh karena adanya
perbedaan tersebut, muncul beberapa teknik evaluasi dalam pengimplementasian
suatu program. Salah satu teknik dalam evaluasi ialah model evaluasi CIPP
(Context, Input, Process, Product)
Model evaluasi CIPP ini merupakan salah satu dari beberapa teknik
evaluasi suatu program yang ada. Model ini berlandaskan pada keempat dimensi
yaitu dimensi context, dimensi input, dimensi process, dan dimensi product.
Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja dari berbagai dimensi
program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi
mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi (Rozak, 2013).
Secara garis besar evaluasi model CIPP mencakup empat macam
keputusan:
1. Perencanaan keputusan yang mempengaruhi pemilihan tujuan umum dan
tujuan khusus.
2. Keputusan pembentukan atau structuring.
3. Keputusan implementasi.
4. Keputusan yang telah disusun ulang yang menentukan suatu program perlu
diteruskan, diteruskan dengan modifikasi, dan atau diberhentikan secara total
atas dasar kriteria yang ada (Rozak, 2013).
Model evaluasi CIPP dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Model Evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product) Aspek
Evaluasi Tipe keputusan Jenis pertanyaan
Context Evaluation
Keputusan yang terencana Apa yang harus dilakukan?
Input Evaluation
Keputusan terstruktur Bagaimana kita melakukannya?
Process Evaluation
Keputusan implementasi Apakah yang dilakukan sesuai rencana?
Product Evaluation
Keputusan yang telah disusun ulang
Apakah berhasil?
Sumber: Rozak, 2013
Berikut ini akan di bahas komponen atau dimensi model CIPP yang
meliputi, context, input, process, product.
a. Context Evaluation
Context Evaluation (evaluasi konteks) diartikan sebagai situasi yang
mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi yang dilakukan dalam suatu
program yang bersangkutan. Penilaian dari dimensi konteks evaluasi ini seperti
kebijakan atau unit kerja terkait, sasaran yang ingin dicapai unit kerja dalam
waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja terkait dan
sebagainya. Konteks evaluasi ini membantu merencanakan keputusan,
menentukan kebutuhan yang akan dicapai oleh program, dan merumuskan tujuan
program (Rozak, 2013).
b. Input Evaluation
Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi input, atau evaluasi
masukan. Menurut Eko Putro Widoyoko dalam Indra (2010), evaluasi masukan
membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif
apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana
prosedur kerja untuk mencapainya. Komponen evaluasi masukan meliputi:
1. Sumber daya manusia,
2. Sarana dan peralatan pendukung,
3. Dana atau anggaran, dan
4. Berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan.
c. Process Evaluation
Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh mana
rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu diperbaiki. Evaluasi
proses dalam model CIPP menunjuk pada “apa” (what) kegiatan yang dilakukan
dalam program, “siapa” (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab
program, “kapan” (when) kegiatan akan selesai. Dalam model CIPP, evaluasi
proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan didalam
program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Evaluasi proses digunakan
untuk menditeksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan
implementasi selama tahap implementasi, menyediakan informasi untuk
keputusan program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi
(Indra, 2010).
d. Product Evaluation
Evaluasi produk merupakan penilaian yang dilakukan guna untuk melihat
ketercapaian/keberhasilan suatu program dalam mencapai tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya. Pada tahap evaluasi inilah seorang evaluator dapat
menentukan atau memberikan rekomendasi kepada evaluan apakah suatu program
dapat dilanjutkan, dikembangkan/modifikasi, atau bahkan dihentikan (Indra,
2010).
2.5 Landasan Teori
Tingkat pengertian mengenai agribisnis sebaiknya lebih dahulu dimengerti
dan dipahami secara baik sebelum memang benar-benar ingin melakukan
kegiatan ini. Keseriusan dan perencanaan serta tujuan yang jelas harus tetap
dilakukan guna meminimalkan kegagalan yang mungkin saja terjadi. Untuk itu,
beberapa persiapan praktis sangat perlu dilakukan bukan saja dalam hal
penguasaan teknis, tetapi juga non-teknis, terutama hal-hal yang berhubungan
dengan kesiapan mental dan perilaku sebagai pelaku usaha perlu dipahami
(Krisnamurthi dan Fausia, 2003).
Paradigma agribisnis berdiri di atas lima premis dasar, yaitu bahwa usaha
pertanian haruslah profit oriented; pertanian hanyalah satu komponen rantai
dalam sistem komoditi sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem
komoditi secara keseluruhan; pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi
kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai sistem ilmiah
yang positif, bukan ideologis dan normatif; sistem agribisnis secara intrinsik
netral terhadap semua skala usaha dan pendekatan sistem agribisnis khususnya
ditujukan untuk negara sedang berkembang (Pambudy, 2005).
Strategi yang perlu ditempuh agar pengembangan agribisnis di Indonesia
dapat memberikan nilai tambah kepada petani, adalah perlu diupayakan
pembinaan kelembagaan usahatani secara kontiniu agar mampu berperan
menjembatani dan memperjuangkan kepentingan petani, khususnya dalam
menghadapi sektor swasta/BUMN sebagai mitra usaha. Strategi tersebut akan
mencapai tingkat yang optimal apabila keterlibatan sektor swasta/BUMN dapat
didorong secara dini di dalam pengembangan agribisnis diperdesaan (Amang,
1995).
Secara konseptual kemitraan mengandung makna adanya kerja sama
antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai
pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau
usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling
memperkuat dan saling menguntungkan. Hubungan kemitraan akan
berkesinambungan jika hasil kerja sama terjadi secara berulang-ulang dan saling
menguntungkan. Proses tersebut dilakukan sampai melahirkan suatu aturan atau
norma hubungan bisnis dalam pola perilaku kemitraan. Dalam kondisi inilah
hubungan kemitraan dapat dikatakan telah melembaga, bahkan akan berlangsung
lestari (Sumardjo, dkk, 2004).
Persyaratan utama yang harus diperhatikan agar hubungan kerja antara
swasta/BUMN dengan para petani berjalan serasi dan saling menguntungkan
adalah perlu dikembangkannya aturan main yang transparan yaitu adanya
kejelasan serta kepastian dalam pembagian keuntungan maupun dalam pembagian
resiko, dan kerjasama tersebut harus mampu mendorong petani untuk lebih
mandiri (Amang, 1995).
Selain itu kesetaraan juga menentukan efektifitas dalam hubungan
kerjasama kemitraan antara para petani dengan pelaku usaha agribisnis lainnya.
Secara umum kesetaraan dapat diartikan sebagai adanya hubungan yang seimbang
atau setara bagi kedua belah pihak yang menjalankan kemitraan usaha. Dengan
demikian kesetaraan dapat dilihat dari batas kewenangan (authority) dan
kekuasaan (power) yang dimiliki oleh petani dalam pengambilan keputusan dan
resiko berkaitan dengan program kemitraan yang mereka jalankan secara
bersama-sama dengan suatu perusahaan mitra. Disamping itu kesetaraan ini
mencerminkan juga besarnya partisapasi dari petani dalam berbagai hal terutama
dalam pengambilan keputusan dalam menjalankan kemitraan (Erfit, dkk, 2010).
Menurut Erfit, dkk (2010) kesetaraan pada kemitraan yang contract
farming relatif tidak adanya. Hal ini terlihat dari dominasi yang sangat tinggi
pada pihak perusahaan mitra dalam pengambilan berbagai keputusan yang
berkaitan dengan jalannnya kemitraan. Dalam penentuan harga, penentuan jenis
komoditi yang ditanam, penentuan kualitas produk, waktu tanam dan waktu panen
semuannya itu ditentukan oleh pihak perusahaan mitra. Sementara pengolahan
lahan dan pelaksanaan panen ditentukan oleh petani tetapi tetap disesuaikan
dengan jadwal yang ditetapkan oleh perusahan mitra. Terjadinya hal ini tidak
terlepas lemahnya posisi tawar petani terhadap berbagai hal dibandingkan
perusahaan mitra. Dengan demikian dalam dalam contract farming tidak
memberikan kesempatan kepada pihak petani mitranya untuk menentukan
berbagai hal dalam menjalankan kemitraan terutama dalam hal penentuan harga.
Dengan kata lain contract farming menempatkan petani dengan perusahaan mitra
dalam posisi tawar yang tidak seimbang dan rendahnya partisipasi petani terhadap
berbagai pengambilan keputusan yang ada.
Evaluasi terhadap rencana pengembangan usaha penting dilakukan agar
dapat dideteksi secara dini persoalan yang timbul dalam pengelolaan usaha. Hal
ini penting dilakukan agar rencana yang tidak bisa dilaksanakan dapat segera
diperbaiki dan sekaligus memperkirakan masalah apa yang mungkin akan muncul
untuk diambil tindakan pencegahan. Sebuah usaha yang dirintis dari bentuk
usaha yang kecil jika di masa datang dapat dikembangkan menjadi besar,
biasanya akan memiliki tingkat penyesuaian yang sangat tinggi terhadap berbagai
perubahan yang terjadi yang berpengaruh terhadap dunia usaha (Anoraga dan D.
Sudantoko, 2002).
2.6 Penelitian Terdahulu
Berdasarkan Tanjung (2014) dengan judul “Persepsi Petani terhadap
Kinerja Kemitraan Kelompok Tani dengan Perusahaan Eksportir (Kasus:
Kelompok Tani Lau Lengit, Desa Samura, Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten
Karo)” dari hasil penelitian dengan menggunakan metode CIPP (Context, Input,
Process, Product) yaitu evaluasi konteks (perencanaan), evaluasi input (sumber-
sumber yang tersedia, alternetif-alternatif yang diambil, serta prosedur kerja untuk
mencapai tujuan yang dimaksud), evaluasi proses (sampai sejauh mana program
telah dilaksanakan), evaluasi produk (keberhasilan pencapaian tujuan),
menunjukkan bahwa pelaksanaan kinerja kemitraan antara Kelompok Tani Lau
Lengit dengan PD Rama Putra di daerah penelitian sudah berjalan dengan baik.
Berdasarkan Sinulingga (2009) dengan judul “Evaluasi terhadap Kinerja
Kemitraan PT. Perkebunan Nusantara III dengan Usaha Kecil” dari hasil analisis
data dengan menggunakan metode CIPP (Context, Input, Process, Product) yang
telah berhasil diolah dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pola kemitraan
antara PT. Perkebunan Nusantara III dengan usaha kecil adalah dana kemitraan
yang bersumber dari penyisihan laba PTPN III disalurkan sebagai pinjaman
berupa modal kerja untuk membiayai hal-hal yang menyangkut peningkatan
produktivitas mitra binaan dan kemitraan terjalin secara non-formal artinya tidak
ada perjanjian yang mengikat secara tertulis, tetapi karena adanya kepercayaan
dari pihak yang bermitra; Kinerja kemitraan antara PT. Perkebunan Nusantara III
dengan usaha kecil termasuk memiliki kinerja yang tinggi; PT. Perkebunan
Nusantara III dengan usaha kecil memiliki peran masing-masing dalam kemitraan
ini; serta terdapat beberapa masalah dalam kemitraan antara PT. Perkebunan
Nusantara III dengan usaha kecil.
2.7 Kerangka Pemikiran
Tanaman kopi adalah tanaman minuman penyegar yang periode panennya
tidak sama, tergantung iklim dan letak geografisnya. Perbedaan pola produksi
dan fluktuasi harga dapat menimbulkan resiko usaha yang cukup besar bagi petani
kopi. Untuk memperkecil resiko tersebut diperlukan suatu konsep kesatuan usaha
yang dapat mencakup salah satu atau seluruh kegiatan usahatani (pengelolaan
input dan faktor-faktor produksi) dan kegiatan pemasaran output produksi.
Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu
atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang
ada hubungannya dengan pertanian dalam artian yang luas. Yang dimaksud
dengan ’adanya hubungan dengan pertanian dalan artian yang luas’ adalah
kegiatan usaha yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang
ditunjang oleh kegiatan pertanian.
Kegiatan agribisnis, yang demikian itu dapat memacu perkembangan
usahatani kopi petani, oleh karena antar kegiatan usaha pada hakekatnya
merupakan suatu mata rantai yang tidak boleh terputus. Terpeliharanya hubungan
mata rantai itu di dalam suatu usaha akan menjamin kelancaran masing-masing
kegiatan usaha tersebut. Mengingat jangkauannya yang luas, maka keberhasilan
dibidang agribisnis akan mampu memberikan keuntungan di seluruh elemen
kehidupan perekonomian yang dilaluinya.
Kesepakatan agribisnis kopi merupakan suatu sarana kebijaksanaan yang
dapat digunakan untuk menjembatani hubungan kerja antara swasta dan petani
sehingga dapat mendorong terciptanya iklim usaha yang sehat dan kontiniu.
Biasanya perusahaan swasta dan petani menyepakati beberapa hal yang dapat
dipermudah dengan menetapkan indikator-indikator kesepakatan yang harus
dilaksanakan dalam proses produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan aktivitas
lain yang berkaitan dengan kegiatan tersebut. Contohnya pihak swasta
berkewajiban memberikan bantuan kepada petani dalam penyediaan sarana
produksi, melakukan pembinaan dan bimbingan usahatani, dan menjamin pasar
dengan menampung seluruh hasil produksi dari kelompok tani sesuai harga
kesepakatan. Sedangkan petani berkewajiban mengelola usahataninya sesuai
dengan anjuran pihak swasta sehingga nantinya dihasilkan produk yang sesuai
dengan kualitas yang diharapkan. Di lain pihak, petani mempunyai kebebasan
untuk menerima atau menolak saran yang diberikan. Dengan adanya
kesepakatan agribisnis yang dilakukan oleh pihak swasta dan petani, selain dapat
memperkecil resiko usaha juga dapat meningkatkan kualitas kopi, pendapatan,
dan kesejahteraan petani karena adanya jaminan harga yang baik.
Faktor penting dalam pelaksanaan kesepakatan agribisnis kopi ini adalah
adanya peran aktif dari masing-masing pihak dan dalam hal ini pihak-pihak
tersebut yaitu PT. Volkopi Indonesia dan petani Kecamatan Lintongnihuta dan
Kecamatan Paranginan. Pelaksanaan hal-hal yang telah disepakati merupakan inti
dari kegiatan agribisnis kopi, kegiatan agribisnis yang dilaksanakan dalam
kesepakatan tersebut adalah kegiatan penyediaan input produksi, proses produksi
atau budidaya, kegiatan pengolahan pasca panen dan pemasaran kopi.
Melalui pelaksanaan kesepakatan, petani akan difasilitasi oleh PT.
Volkopi Indonesia berupa alat-alat dan bahan-bahan praktek selama
melaksanakan program Sekolah Lapang Kopi (SL-Kopi). Petani juga akan
diedukasi sehingga terjadi alih pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari
pembinaan SL-Kopi, yang pada gilirannya petani-petani tersebut akan
meneruskan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh kepada anggota
keluarga masing-masing yang membantu dalam kegiatan produksi dan kegiatan
pengolahan pasca panen. Sedangkan dalam kegiatan pemasaran PT. Volkopi
Indonesia bersedia membeli gabah kopi dengan harga yang baik disesuaikan
dengan kualitas kopi.
Pada akhirnya, pelaksanaan kesepakatan agribisnis kopi antara PT.
Volkopi Indonesia dan petani perlu dievaluasi agar dapat diketahui apakah telah
berjalan dengan sangat baik, baik, cukup baik, tidak baik, atau sangat tidak baik.
Berdasarkan uraian sebelumnya maka secara sistematis dapat
digambarkan skema kerangka pemikiran seperti di bawah ini.
Gambar 5. Skema Kerangka Pemikiran Evaluasi terhadap Pelaksanaan Kesepakatan Agribisnis Kopi antara PT. Volkopi Indonesia dengan Petani
Keterangan : : Menyatakan hubungan : Menyatakan dievaluasi dengan
Indikator Kesepakatan
Agribisnis Kopi
Tanaman Kopi
Pelaksanaan Kesepakatan Agribisnis
Kopi
Kesepakatan Agribisnis Kopi
PT. Volkopi Indonesia
Petani Kopi
Model
CIPP
Evaluasi
Sangat Tidak Baik
Sangat Baik
Baik Cukup Baik
Tidak Baik
2.8 Hipotesis
Sesuai dengan landasan teori yang sudah dibangun, maka diajukan
beberapa hipotesis yang akan diuji kebenarannya sebagai berikut.
1. Terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi terbentuknya kesepakatan
agribisnis kopi antara PT. Volkopi Indonesia dengan petani Kecamatan
Lintongnihuta dan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan.
2. Pelaksanaan kesepakatan agribisnis kopi antara PT. Volkopi Indonesia dengan
petani Kecamatan Lintongnihuta dan Kecamatan Paranginan Kabupaten
Humbang Hasundutan adalah baik.
3. Ada beberapa masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan kesepakatan
agribisnis kopi antara PT. Volkopi Indonesia dengan petani Kecamatan
Lintongnihuta dan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan.