21
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Untuk memperoleh data dan menjaga orisinalitas dalam penelitian, diperlukan kerangka teori sebagai dasar melakukan penelitian. Pada bab ini, penulis menjelaskan mengenai kajian teori untuk menjawab masalah penelitian. Bab ini terdiri dari teori yang menjelaskan tentang kekerasan dalam pacaran, forgiveness, dan pendekatan ekologi yang digunakan sebagai salah satu pendekatan yang mendukung proses pemulihan terhadap korban yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran. 2.1 Kekerasan Dalam Pacaran 2.1.1 Pengertian Kekerasan dalam Pacaran (KDP) Kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan dan pelecehan fisik maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan pacaran (Bird & Melvile, 1994, dalam Adelia 2008). The American Psychological Association (dalam Warkentin, 2008) menyebutkan bahwa dating violence adalah kekerasan psikologis dan fisik yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam hubungan pacaran, yang mana perilaku ini ditujukkan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka kekerasan dalam pacaran dapat dipahami sebagai salah satu jenis kekerasan yang dapat terjadi dalam bentuk fisik, psikis, ekonomi dan seksual terhadap pasangan dalam hubungan pacaran. Kondisi-kondisi yang terkait dengan bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran tersebut dapat menimbulkan adanya kekuasaan yang dimiliki oleh pelaku, sehingga melukai pasangannya sebagai korban dalam tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh pelaku.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Untuk memperoleh data dan menjaga orisinalitas dalam penelitian,

diperlukan kerangka teori sebagai dasar melakukan penelitian. Pada bab ini,

penulis menjelaskan mengenai kajian teori untuk menjawab masalah

penelitian. Bab ini terdiri dari teori yang menjelaskan tentang kekerasan

dalam pacaran, forgiveness, dan pendekatan ekologi yang digunakan sebagai

salah satu pendekatan yang mendukung proses pemulihan terhadap korban

yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran.

2.1 Kekerasan Dalam Pacaran

2.1.1 Pengertian Kekerasan dalam Pacaran (KDP)

Kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah segala bentuk tindakan yang

mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan dan pelecehan fisik

maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan pacaran (Bird & Melvile,

1994, dalam Adelia 2008). The American Psychological Association (dalam

Warkentin, 2008) menyebutkan bahwa dating violence adalah kekerasan

psikologis dan fisik yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam hubungan

pacaran, yang mana perilaku ini ditujukkan untuk memperoleh kontrol,

kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya. Berdasarkan pengertian tersebut,

maka kekerasan dalam pacaran dapat dipahami sebagai salah satu jenis

kekerasan yang dapat terjadi dalam bentuk fisik, psikis, ekonomi dan seksual

terhadap pasangan dalam hubungan pacaran. Kondisi-kondisi yang terkait

dengan bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran tersebut dapat menimbulkan

adanya kekuasaan yang dimiliki oleh pelaku, sehingga melukai pasangannya

sebagai korban dalam tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh pelaku.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

13

2.1.2 Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Pacaran

Martha (2003) menyebutkan bahwa bentuk kekerasan terdiri dari

kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi.

Murray (2007) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran

yang digolongkan dalam beberapa bentuk yaitu kekerasan verbal dan

emosional, kekerasan seksual, dan kekerasan fisik.

a. Kekerasan Verbal dan Emosional

Kekerasan verbal dan emosional adalah ancaman yang dilakukan pasangan

terhadap pacarnya dengan perkataan maupun mimik wajah. Kekerasan

verbal dan emosional yaitu:

1. Name calling, yaitu mengatakan pacarnya gendut, jelek, malas, bodoh,

tidak ada seorang pun yang menginginkan pacarnya, mau muntah

melihat pacarnya.

2. Intimidating looks. Pasangannya atau pacarnya akan menunjukkan

wajah yang kecewa tanpa mengatakan alasan mengapa ia marah atau

kecewa dengan pacarnya, jadi pihak laki-laki atau perempuannya

mengetahui apakah pacarnya marah atau tidak dari ekspresi wajahnya.

3. Use of pagers and cell phones. Seorang pacar ada yang memberikan

ponsel kepada pacarnya, supaya dapat mengingatkan atau supaya tetap

bisa menghubungi pacarnya. Alat komunikasi ini memampukan

pacarnya untuk memeriksa keadaan pacarnya sesering mereka mau.

Mereka harus mengetahui siapa yang menghubungi pacarnya dan

mengapa orang tersebut menghubungi pacarnya.

4. Making a boy/girl wait by the phone. Seorang pacar berjanji akan

menelepon pacarnya pada jam tertentu, tetapi sang pacar tidak

menelepon juga. Pacar yang dijanjikan akan ditelepon, terus-menerus

menunggu telepon dari pasangannya, membawa teleponnya kemana saja

di dalam rumah, misalnya pada saat makan bersama keluarga. Hal ini

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

14

terjadi berulangkali, sehingga membuat si pacar tidak menerima telepon

dari temannya, tidak berinteraksi dengan keluarganya karena menunggu

telepon dari pacarnya.

5. Monopolizing a girl’s/boy`s time. Korban cenderung kehabisan waktu

untuk melakukan aktivitas dengan teman atau untuk mengurus

keperluannya, karena mereka selalu menghabiskan waktu bersama

dengan pacarnya.

6. Making a girl`s/boy`s feel insecure. Seringkali orang yang melakukan

kekerasan dalam pacaran memanggil pacarnya dengan mengkritik, dan

mereka mengatakan bahwa semua hal itu dilakukan karena mereka

sayang pada pacarnya dan menginginkan yang terbaik untuk pacarnya.

Padahal mereka membuat pacar mereka merasa tidak nyaman. Ketika

pacar mereka terus-menerus dikritik, mereka akan merasa bahwa semua

yang ada pada diri mereka buruk, tidak ada peluang atau kesempatan

untuk meninggalkan pasangannya.

7. Blaming. Semua kesalahan yang terjadi adalah perbuatan pasangannya,

bahkan mereka sering mencurigai pacar mereka atas perbuatan yang

belum tentu disaksikannya, seperti menuduhnya melakukan

perselingkuhan.

8. Manipulation / making himself look pathetic. Hal ini sering dilakukan

oleh pria. Perempuan sering dibohongi oleh pria, pria biasanya

mengatakan sesuatu hal yang konyol tentang kehidupan, misalnya

pacarnyalah orang yang satu-satunya mengerti dirinya, atau mengatakan

kepada pacarnya bahwa dia akan bunuh diri jika tidak bersama pacarnya

lagi.

9. Making threats. Biasanya mereka mengatakan jika kamu melakukan ini,

maka saya akan melakukan sesuatu padamu. Ancaman mereka bukan

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

15

hanya berdampak pada pacar mereka, tetapi kepada orangtua dan teman

mereka.

10. Interrogating. Pasangan yang pencemburu, posesif, suka mengatur,

cenderung menginterogasi pacarnya, dimana pacarnya berada sekarang,

siapa yang bersama mereka, berapa orang laki-laki atau wanita yang

bersama mereka, atau mengapa mereka tidak membalas pesan mereka.

11. Humiliating her/him in public. Mengatakan sesuatu mengenai organ

tubuh pribadi pacarnya kepada pacarnya di depan teman-temannya. Atau

mempermalukan pacarnya di depan teman-temannya.

12. Breaking treasured items. Tidak mempedulikan perasaan atau barang-

barang milik pacar mereka, jika pasangan mereka menangis, mereka

menganggap hal itu sebuah kebodohan.

Dengan demikian, penulis dapat memahami bahwa bagian dari

bentuk kekerasan verbal dan emosional dapat disebut dengan bentuk

kekerasan secara psikis yang dapat dilakukan oleh perempuan atau laki-laki

terhadap pasangan masing-masing. Dalam suatu hubungan termasuk

hubungan berpacaran dapat pula menyebabkan salah satu pihak mengalami

perubahan dan menjadi korban emosional.

b. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak

seksual sedangkan pacar mereka tidak menghendakinya. Kekerasan seksual

yaitu:

1. Perkosaan. Melakukan hubungan seks tanpa ijin pasangannya atau

dengan kata lain disebut dengan pemerkosaan. Biasanya pasangan

mereka tidak mengetahui apa yang akan dilakukan pasangannya pada

saat itu.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

16

2. Sentuhan yang tidak diinginkan. Sentuhan yang dilakukan tanpa

persetujuan pasangannya, sentuhan ini kerap kali terjadi di bagian dada,

bokong dan yang lainnya.

3. Ciuman yang tidak diinginkan. Mencium pasangannya tanpa persetujuan

pasangannya, hal ini bisa terjadi di area publik atau di tempat yang

tersembunyi.

Dengan demikian, penulis menganalisa bahwa tindakan kekerasan

seksual adalah salah satu bentuk kekersan yang dapat terjadi melalui

pemerkosaan, sentuhan yang tidak diinginkan, dan ciuman yang tidak

diinginkan. Dalam hubungan pacaran pun bentuk kekerasan ini dapat terjadi

sehingga mengorbankan salah satu pihak baik laki-laki atau perempuan.

c. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah perilaku yang mengakibatkan pacar terluka secara

fisik, seperti memukul, menampar, menendang dan sebagainya. Kekerasan

fisik yaitu:

1. Memukul, mendorong, membenturkan. Inilah tipe kekerasan yang dapat

dilihat dan diidentifikasi. Contoh perilaku adalah memukul, menampar,

menggigit, mendorong ke dinding dan mencakar dengan menggunakan

tangan maupun dengan menggunakan alat. Hal ini dilakukan sebagai

hukuman kepada pasangannya.

2. Mengendalikan, menahan. Perilaku ini dilakukan pada saat menahan

pasangan mereka untuk tidak pergi meninggalkan mereka, misalnya

menggengam tangan atau lengannya terlalu kuat.

3. Permainan kasar, yaitu menjadikan pukulan sebagai permainan dalam

hubungan, padahal sebenarnya pihak tersebut menjadikan pukulan-

pukulan ini sebagai taktik untuk menahan pasangannya pergi darinya.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

17

Ini menandakan dominasi dari pihak yang melayangkan pukulan

tersebut.

Berdasarkan bentuk-bentuk kekerasan di atas, penulis menganalisa

bahwa tindak kekerasan tidak hanya terjadi secara emosional dan seksual,

tetapi ada juga kekerasan fisik yang dapat terjadi dengan cara memukul,

mendorong, membenturkan; mengendalikan, menahan; dan permainan kasar.

Namun, berdasarkan bentuk-bentuk kekerasan yang telah disebutkan di atas,

terdapat juga bentuk kekerasan yang terjadi secara ekonomi yaitu

menggunakan atau mengelola keuangan milik pasangan tanpa persetujuan

dan dapat memberi pengaruh yang negatif dalam hubungan berpacaran.

2.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Pacaran

World Report On Violence And Health (2002) menyebutkan enam

faktor penyebab kekerasan dalam pacaran, yaitu:

1. Faktor Individual. Faktor demografi yang dapat menyebabkan seseorang

melakukan kekerasan kepada pasangannya adalah usia yang muda dan

memiliki status ekonomi yang rendah serta memiliki prestasi akademis

yang rendah atau pendidikan yang rendah.

2. Sejarah Kekerasan dalam Keluarga. Studi yang dilakukan di Brazil,

Afrika dan Indonesia menunjukkan bahwa kekerasan dalam pacaran

cenderung dilakukan oleh laki-laki yang sering mengobservasi ibunya

yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

3. Penggunaan Alkohol. Alkohol dapat mengakibatkan menurunnya

kemampuan individu dalam menginterpretasikan sesuatu.

4. Gangguan Kepribadian. Penelitian di Canada menunjukkan bahwa laki-

laki yang menyerang pasangannya cenderung mengalami emotionally

dependent, insecure dan rendahnya self-esteem sehingga sulit

mengontrol dorongan-dorongan yang ada dalam diri mereka.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

18

5. Faktor dalam Hubungan. Kurangnya kepuasan dalam hubungan dan

semakin banyaknya konflik yang terjadi dalam hubungan tersebut akan

meningkatkan terjadinya kekerasan dalam pacaran.

6. Faktor Komunitas. Tinggal dalam kemiskinan dapat menyebabkan

hopelessness. Untuk beberapa pria, tinggal dalam kemiskinan bisa

mengakibatkan stress, frustrasi, dan perasaan tidak mampu untuk

memenuhi harapan sosial, atau hidup sesuai dengan harapan sosial.

Berdasarkan faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, maka faktor

individual, sejarah kekerasan dalam keluarga, penggunaan alkohol, gangguan

kepribadian, faktor dalam hubungan, dan faktor komunitas ialah faktor-

faktor yang dapat memengaruhi terjadinya kekerasan dalam pacaran.

Semakin meningkatnya faktor-faktor tersebut dalam diri salah satu pihak

maka kekerasan akan semakin berlanjut dalam hubungan pacaran.

2.1.4 Dampak Kekerasan dalam Pacaran

Kekerasan dalam pacaran dapat menimbulkan dampak pada masa

pacaran (Tisyah dan Rochana, 2013), antara lain:

a. Dampak kejiwaan.

Perempuan menjadi trauma atau membenci laki-laki, akibatnya

perempuan menjadi takut untuk menjalin hubungan dengan laki-laki.

Sehingga menimbulkan rasa kecemasan yang mendalam.

b. Dampak sosial.

Posisi perempuan menjadi lemah dalam hubungan dengan laki-laki.

Apalagi perempuan yang merasa telah menyerahkan keperawanannya

kepada pacarnya, biasanya merasa minder untuk menjalin hubungan lagi.

Tidak hanya rasa percaya diri terhadap lawan jenis tetapi juga terhadap

diri sendiri dan orang lain sehingga menyebabkan turunnya produktifitas

kerja atau prestasi.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

19

c. Dampak fisik.

Tubuh menjadi luka-luka, baik ringan maupun parah. Bila terjadi

kehamilan tidak dikehendaki dan pacar meninggalkan pasangannya. Ada

dua kemungkinan, yaitu melanjutkan kehamilan atau aborsi. Bila

melanjutkan kehamilan, harus siap menjadi orang tua tunggal. Bila aborsi,

harus siap menanggung resiko-resiko, seperti pendarahan, infeksi, dan

bahkan kematian. Bila terjadi hubungan seks dalam pacaran, perempuan

akan rentan terkena Penyakit Menular Seksual (PMS) yaitu herpes dan

HIV/AIDS.

Selain adanya faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam

pacaran, telah dijelaskan juga bahwa terjadinya kekerasan dalam pacaran

dapat berdampak pada kejiwaan, sosial dan fisik. Jadi melalui tindak

kekerasan yang terjadi dalam hubungan berpacaran dapat memberi dampak

negatif yang berpengaruh bagi pihak yang menjadi korban. Dengan

demikian, untuk mengembalikan korban kepada keadaan yang semula maka

dibutuhkan pemulihan.

2.2 Forgiveness

2.2.1 Pengertian Forgiveness

McCullough (salah satu tokoh yang pernah meneliti tentang

forgiveness) menyatakan bahwa forgiveness adalah satu set perubahan-

perubahan motivasi dimana suatu organisme menjadi semakin menurun

motivasi untuk membalas terhadap suatu hubungan mitra; semakin menurun

motivasi untuk menghindari perilaku; dan semakin termotivasi oleh niat baik

dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang

dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

McCullough dan Worthington menjelaskan bahwa forgiveness adalah

fenomena yang kompleks yang berhubungan dengan emosi, pikiran dan

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

20

tingkahlaku sehingga dampak dan penghakiman yang negatif terhadap orang

yang menyakiti dapat dikurangi (Soesilo, 2006). Dengan demikian, dapat

dipahami bahwa ketika orang yang disakiti (korban) memutuskan untuk

memaafkan, maka ia memutuskan untuk tidak membalas dendam atau tidak

menghindari pelaku serta bersedia melakukan kebaikan terhadap pelaku

bahkan orang lain di sekitarnya.

2.2.2 Aspek-aspek Forgiveness

McCullough (2000) menyebutkan ada tiga aspek forgiveness yaitu

Avoidance Motivation, Revenge Motivation, dan Benevolence Motivation.

a. Avoidance Motivation :

Semakin menurunnya motivasi untuk menghindari pelaku, membuang

keinginan untuk menjaga kerenggangan (jarak) dengan orang yang telah

menyakitinya.

Contoh: “Saya tidak menghindar setiap saya berpapasan

dengan orang yang pernah membuat diri saya tidak

nyaman.”

b. Revenge Motivation :

Semakin menurunnya motivasi untuk membalas dendam terhadap suatu

hubungan mitra, membuang keinginan untuk membalas dendam terhadap

orang yang telah menyakiti.

Contoh: “Saya tidak marah dan membalas perbuatan orang

yang menyakiti saya dan tidak menolak ketika dia

mengajak berdamai dengan saya.”

c. Benevolence Motivation :

Semakin individu termotivasi oleh niat baik dan keinginan untuk

berdamai dengan pelaku meskipun pelanggarannya termasuk tindakan

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

21

berbahaya, keinginan untuk berdamai atau melihat well-being orang yang

menyakitinya.

Contoh: “Saya terdorong untuk melakukan hubungan yang

lebih baik dengan orang yang telah menyakiti hati

saya.”

Tiga aspek di atas dapat menjelaskan bahwa individu yang

memaafkan adalah individu yang memiliki aspek benevolence motivation

yang tinggi dan disisi lain memiliki aspek avoidance dan revenge motivation

yang rendah. Ketiga aspek ini pun dapat digunakan untuk menentukan

pemulihan bagi seseorang yang telah mengalami dan menjadi korban

kekerasan.

2.2.3 Faktor-faktor yang memengaruhi Forgiveness

McCullough, dkk (1997) menjelaskan bahwa forgiveness dapat

dipengaruhi oleh:

1. Social Cognitive Determinant

Sikap empati terhadap pelaku muncul sebagai bagian terpenting dari

determinan sosial-kognitif terhadap forgiveness. Variabel atribusi juga

telah memfasilitasi munculnya forgiveness, seperti meminta

pertanggungjawaban, menyalah-nyalahkan, luka yang parah dan

menghindari pelaku, sehingga atribusi menjadi alasan utama terjadinya

empati dan forgiveness. Determinant kognitif lainnya adalah rumination,

image, dan afeksi yang terkait dengan konflik interpersonal yang dapat

menyebabkan individu melakukan balas dendam maupun menghindari

pelaku.

2. Offense Related Determinant

Determinan ini berkaitan dengan tingkat kelukaan dan sejauh mana

pelaku meminta maaf (apology) dan mencari pengampunan. Tingkat

kelukaan adalah individu mempersepsi bahwa konflik yang terjadi telah

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

22

memberikan penderitaan bagi dirinya, semakin parah luka yang dirasakan

maka akan lebih sulit baginya untuk dapat memaafkan.

3. Relational Determinant

Pada faktor ini, memaafkan dipahami sebagai serangkaian perubahan

motivasional setelah terjadi konflik, maka tingkat kedekatan, kepuasan,

komitmen dan intimacy seharusnya akan berhubungan positif dengan

forgiveness. Hal ini menjadi salah satu faktor dari forgiveness, karena:

a. Individu merasa harus melestarikan relasinya dengan pihak tempat ia

saling bergantung dalam banyak hal.

b. Individu memiliki orientasi jangka panjang yang memotivasinya

untuk melupakan rasa sakit hatinya dan meningkatkan penerimaan

pada hubungan tersebut.

c. Dalam hubungan yang berkualitas, keduanya akan saling

menggabungkan minat mereka.

d. Hubungan yang berkualitas akan memunculkan orientasi bersama

yang meningkatkan kesediaan untuk melakukan hak yang

menyenangkan pasangannya. Meskipun harus mengorbankan diri

sendiri.

e. Individu memiliki sejarah yang banyak bersama pasangannya,

sehingga ia memiliki akses berupa pikiran, perasaan dan motivasi

kepada pasangannya.

f. Hubungan yang berkualitas akan membuat korban merasa konflik

yang terjadi adalah untuk kebaikannya.

g. Dalam hubungan yang berkualitas, pelaku cenderung meminta maaf

dan mengungkapkan penyesalan serta memulihkan hubungan pasca

konflik.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

23

4. Personal Determinant

Determinan kepribadian dapat memengaruhi forgiveness dengan fasilitas

dan relational styles atau kecenderungan seseorang dalam pengalaman

berpikirnya atau sikapnya dalam menanggapi konflik atau pelaku. Dalam

big five factors model of personality diketahui bahwa kepribadian

agreeableness memengaruhi forgiveness secara signifikan.

Selain empat alasan di atas yang berpengaruh terhadap forgiveness,

dijelaskan bahwa agama dan relasi juga dapat memengaruhi proses

forgiveness. Hal tersebut dijelaskan melalui hasil penelitian Covert dan

Johnson (2009) bahwa alasan sebagai motivasi untuk pemberian maaf atau

forgiveness, yaitu:

1. Keagamaan. Adanya motivasi religius atau spiritual yang terjadi di balik

aksi pengampunan yaitu adanya hubungan vertikal antara manusia dengan

penciptanya. Selain itu, orang lain pun dapat termotivasi untuk memberi

pengampunan disebabkan kode moral yang mendasari perilaku dan

tindakan mereka.

2. Relasi. Relasi dapat menjadi salah satu alasan karena adanya hasrat untuk

rekonsiliasi, kedekatan hubungan sebelum pelanggaran, dan cinta. Hal ini

digambarkan sebagai hubungan horizontal antara manusia dengan sesama.

3. Hasrat untuk kesejahteraan. Adanya kesejahteraan emosional, alasan fisik

atau kesehatan, serta menghidar dari kendali pelaku. Hal ini

menggambarkan hubungan yang benar antara manusia dengan dirinya

sendiri. Hal ini menjadi motivasi untuk seseorang dapat mengalami

perubahan dan memulihkan diri supaya memiliki kedamaian batin

sehingga menghilangkan ketegangan atau gejolak batin.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis memahami bahwa

forgiveness lahir dari motivasi diri sendiri. Motivasi itulah dapat dipengaruhi

oleh nilai spiritual yang dimiliki oleh korban, bahkan adanya relasi untuk

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

24

memperbaiki hubungan dengan orang yang telah menyakiti. Hal ini pun

memiliki peranan penting dan menjadi alasan untuk korban melakukan

proses pemaafan.

Selain itu, dalam artikel Sekolah Medis Harvard (Birnbaum dkk,

2005) telah menjelaskan bahwa di dalam perspektif psikologi terdapat lima

alasan mengapa orang bersedia memberikan pengampunan, yakni:

1. Mengurangi tekanan.

Kita tidak dapat merubah masa lalu, tetapi perubahan cara berpikir kita

terhadap masa lalu yang telah menyakiti kita dapat mengurangi dampak-

dampaknya dalam diri kita dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat

menghasilkan penyakit yang berhubungan dengan tekanan.

2. Perubahan bagi jantung.

Kesediaan untuk mengampuni dapat mengurangi resiko penyakit jantung.

Dalam penelitian di Labor Universitas di Tennesse, mengampuni orangtua

atau teman untuk sebuah pengkhianatan sangat terkait dengan tekanan

darah yang lebih rendah, denyut jantung lebih lambat dan beban kerja

menjadi lebih berkurang pada otot jantung.

3. Relasi yang lebih kuat.

Dalam mengembangkan sebuah kapasitas untuk mengampuni dapat

membantu meredam kekecewaan kecil sehingga tidak berkembang

menjadi hal yang besar. Dalam jurnal psikologi keluarga dijelaskan

bahwa perempuan dapat menyelesaikan konflik-konflik pernikahan

mereka dengan lebih efektif ketika mereka dapat mengampuni dan

merasakan penuh kebajikan dalam responnya terhadap perilaku yang

menyakitiya.

4. Meringankan penderitaan dan penyakit kronis.

Menghadapi penderitaan dan sakit penyakit, terkadang direspon dengan

kemarahan, frustrasi, menyalahkan diri sendiri, dan rasa bersalah atas

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

25

penyakit yang dialami oleh orang yang dicintai. Dengan kemampuan

mengampuni diri kita sendiri, dapat meningkatkan kesembuhan

penderitaan atau sakit penyakit kita.

5. Kebahagian yang lebih besar.

Ketika kita dapat mengampuni orang lain, kita membuat diri kita

bertanggungjawab untuk kebahagiaan masa depan kita sendiri.

Owens (2011) berpendapat bahwa stereotipe gender dan nilai budaya

juga dapat memengaruhi forgiveness. Stereotip gender diberikan kepada

seseorang untuk mempertimbangkan setiap hal termasuk pengambilan

keputusan untuk memaafkan (forgiveness). Hal tersebut diputuskan dengan

sangat hati-hati dan bijaksana mulai dari aspek rohani, spiritual, sosial,

ekonomi, psikologis dan sebagainya. Jadi, dapat dikatakan bahwa stereotipe

gender dapat memengaruhi keputusan memaafkan dari korban kekerasan

dalam pacaran. Di satu sisi, forgiveness dapat dipahami sebagai sebuah

tindakan pengorbanan dari perempuan yang telah dikonstruksi oleh nilai

sosial dan budaya yang dimilikinya. Namun, di sisi lain, terlepas dari kontrol

sosial dan budaya yang telah memengaruhi, pilihan forgiveness merupakan

sebuah pilihan yang diputuskan oleh seseorang. Dengan demikian,

forgiveness dapat terjadi pada seseorang melalui pilihan sendiri bahkan

melalui dorongan dari sebuah sistem di lingkungannya.

Berdasarkan alasan-alasan yang telah disebutkan di atas, dipahami

bahwa ada banyak alasan sebagai bentuk motivasi yang dimiliki seseorang

untuk memaafkan orang yang pernah menyakitinya di masa lalu. Selain

sangat berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan batin, ternyata

pengampunan diberikan sebagai bentuk refleksi atas hubungan personal

kepada Tuhan dan keinginan untuk mempererat hubungan, sehingga

kehidupan di masa depan dapat lebih sejahtera dan bahagia. Hal ini pun

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

26

dapat dilakukan oleh korban untuk memulihkan dirinya dengan pelaku

kekerasan.

2.2.4 Tahapan dalam proses Forgiveness

Forgiveness tidak hanya terjadi melalui perkataan tetapi perlu disertai

tindakan sebagai bukti nyata. Dengan demikian, forgiveness dapat dilakukan

melalui beberapa tahapan. Tahapan dalam proses Forgiveness (Enright &

Fitzgibbons, 2000) antara lain:

a) Tahap Mengungkap

Pada tahap ini, individu mengungkapkan dan berusaha untuk menyadari

bahwa saat individu dalam kondisi marah bisa saja sangat menyakitkan,

namun dengan memaafkan bukan berarti berpura-pura bahwa sesuatu tidak

terjadi atau bersembunyi dari perasaan sakit. Individu menderita karena

merasa disakiti dan individu harus jujur kepada dirinya sendiri dan mengakui

bahwa individu sedang menderita atau merasa sakit.

Contoh : “Saya menyadari bahwa walaupun saya mengalami

ketidaknyamanan dalam bersosialisasi, saya akan dapat

mengendalikan perasaan saya dan dapat mengontrol

diri.”

Tahapan ini memiliki beberapa fase ini, yaitu:

Pemeriksaan terhadap pertahanan diri secara psikologis.

Berkonfrontasi dengan kemarahan (intinya adalah melepaskan amarah,

bukan menyembunyikan).

Mengakui adanya rasa malu.

Kesadaran untuk melakukan katarsis.

Adanya kesadaran bahwa korban telah berulangkali mengingat peristiwa

yang menyakitkan.

Pihak korban membandingkan dirinya dengan pelaku kejahatan.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

27

Menyadari adanya perubahan secara permanen pada dirinya akibat dari

perbuatan yang menyakitkan tersebut.

Pandangan korban tentang makna keadilan telah berubah.

b) Tahap memutuskan

Memaafkan membutuhkan pengambilan keputusan dan komitmen dari diri

individu itu sendiri, karena pengambilan keputusan ini merupakan bagian

yang penting dari proses ini, maka Enright membaginya menjadi tiga bagian,

yaitu: melupakan atau meninggalkan masa lalu, berusaha untuk melihat

kepada masa depan, dan memilih untuk melakukan pemaafan.

Contoh : “Saya akan bersikap tenang walaupun orang lain

menganggap diri saya sulit beradaptasi dengan

siapapun.”

Tahapan ini memiliki beberapa fase ini, yaitu:

Perubahan dalam hati, adanya wawasan baru karena strategi yang lama

ternyata tidak menunjukkan hasil.

Kesediaan untuk mempertimbangkan maaf sebagai hal yang akan dipilih.

Komitmen untuk memaafkan pelaku kejahatan.

c) Tahap bekerja/proses

Memutuskan untuk memaafkan tidaklah cukup. Individu harus mengambil

tindakan yang konkrit untuk membuat keputusan itu menjadi nyata.

Contoh : “saya akan memiliki cara pandang yang positif dalam

melihat perilaku orang lain.”

Tahapan ini memiliki beberapa fase ini, yaitu:

Reframing, mencoba memandang pelaku kejahatan dengan cara pandang

yang baru mengenai siapa dirinya dengan cara memandang melalui

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

28

konteks si pelaku dengan memposisikan dirinya sebagai si pelaku

kejahatan.

Empati terhadap pelaku.

Kesadaran akan munculnya belas kasihan kepada pelaku kejahatan.

Penerimaan dan penyerapan terhadap rasa sakit dan dipandang sebagai

makna sesungguhnya dari memaafkan terhadap luka yang dialami.

d) Tahap Hasil

Saat individu menolak untuk memaafkan maka kepahitan, kebencian, dan

kemarahan seperti empat tembok sel penjara dan memaafkan merupakan

kunci yang dapat membuka pintunya dan mengeluarkan individu dari sel

penjara tersebut.

Contoh : “Saya cenderung mencoba untuk menemukan hal-hal

yang baru dalam menghadapi persoalan hidup.”

Tahapan ini memiliki beberapa fase ini, yaitu:

Menemukan makna bagi diri dan orang lain dalam proses memaafkan.

Kesadaran bahwa korban juga membutuhkan maaf dari orang lain pada

masa yang lalu.

Menyadari bahwa dirinya tidak sendiri (perlu ada dukungan).

Menyadari adanya tujuan baru dalam hidup karena peristiwa yang telah

dialami.

Munculnya kesadaran bahwa perasaan negatifnya telah berganti dengan

perasaan yang lebih positif.

Empat tahapan di atas yaitu mengungkap, memutuskan,

bekerja/proses, dan tahap hasil telah dijelaskan sebagai proses atau tahapan

seseorang melakukan proses memaafkan. Gorgon dan Baucom (2003)

menjelaskan dengan sebutan yang berbeda. Menurutnya, tahapan untuk

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

29

memaafkan dapat terjadi melalui tiga hal yaitu: a) Dampak, yaitu pasangan

yang terluka mulai menyadari dampak dari pengkhianatan terhadap diri

mereka sendiri dan hubungan mereka. Tahap ini merupakan sebuah periode

dari gangguan kognitif, emosional dan tingkah laku yang signifikan. Pada

tahap ini, individu mengungkapkan perasaan yang mereka rasakan. b)

Pencarian makna, yaitu tahapan ini menolong individu dalam merekonstruksi

asumsi-asumsi mereka yang melanggar dan menciptakan keyakinan-

keyakinan dan harapan-harapan baru untuk masa depan hubungan mereka. c)

Penyembuhan atau bangkit, yaitu melalui tahapan ini, orang yang terluka

harus bergerak melewati peristiwa yang ada dan berhenti mengijinkan

peristiwa itu mengontrol kehidupannya.

2.3 Pendekatan Ekologi

Salah satu pendekatan atau model yang digunakan dalam penelitian

ini adalah pendekatan ekologi yang berkembang dari pandangan

Bronfenbrenner (1977). Pendekatan ekologi merupakan suatu perspektif

mengenai metodologi dalam mempelajari perkembangan kepribadian yang

mempertimbangkan aspek-aspek di luar individu, yaitu dari sisi lingkungan

di mana individu berada. Pendekatan ekologi melihat manusia sebagai

bagian suatu sistem. Suatu sistem adalah sebuah entitas yang dapat berperan

dengan menggunakan energi. Energi ini dapat bersumber dari dalam sistem

itu sendiri, namun juga dapat menggunakan energi dari luar sistem. Dengan

demikian suatu sistem akan terkait dengan sistem yang lain (Garbarino &

Abramowitz, 1992). Suatu sistem dibedakan dari segala sesuatu yang ada di

luar sistem, atau sistem yang lain melalui sebuah boundary atau garis

pembatas. Kualitas garis pembatas ini dapat sangat tertutup atau

impenetrable, atau terbuka, disebut pula permeable. Di dalam dan di luar

sistem yang dibatasi oleh garis pembatas ini ada berbagai kekuatan yang

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

30

selalu harus dijaga keseimbangannya sehingga sistem selalu ada dalam

kondisi equilibrium. Apabila ada gangguan keseimbangan maka sistem akan

melakukan reaksi atau ada suatu mekanisme sehingga keseimbangan akan

pulih kembali, meski belum tentu dalam kondisi seperti semula, sehingga

dikatakan terjadi proses adaptasi. Ketika suatu sistem terkait pada sistem

yang lain, di mana perubahan pada satu sisi akan menyebabkan perubahan di

tempat lain, maka terjadilah suatu sistem umpan balik (Goldenberg &

Goldenberg, 1985).

Pendekatan ekologi memandang manusia sebagai makhluk sosial,

berada dalam suatu sistem, yang mana sistem akan menjadi bagian dari

sistem-sistem yang lebih besar lagi. Bronfenbrenner (1977) merinci lagi

penggambarannya tentang ekologi dimana manusia berada. Sistem di mana

seorang individu berada disebut sebagai sistem mikro. Sistem mikro bagi

individu ada bermacam-macam sesuai dengan lingkup kehidupan yang

dijalaninya. Sistem ini dicirikan oleh situasi yang berhubungan langsung

dengan individu dalam kehidupan sehari-hari. Seorang anak berada dalam

sistem mikro keluarga, sekolah, kelompok sebaya, dan masyarakat di sekitar

tempat tinggalnya. Sistem-sistem mikro tersebut saling berhubungan dan

membentuk sistem yang lebih besar yaitu sistem meso, misalnya antara

keluarga dan sekolah, keluarga dan warga kampung, antara sekolah dan

masyarakat sekitarnya. Sistem ekso adalah sistem yang tidak langsung

berhubungan dengan individu namun segala perubahan yang terjadi dalam

sistem ekso akan memengaruhi individu tersebut. Termasuk dalam sistem

ekso bagi seorang anak adalah tempat kerja orangtua, pemerintahan lokal,

situasi pasar (Garbarino & Abramowitz, 1992).

Dengan demikian, proses pemulihan dari perspektif forgiveness

terhadap korban kekerasan dalam pacaran dapat terjadi dengan adanya

keterlibatan sistem lingkungan yang dimiliki sebagai dukungan sosial.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

31

Contoh : “Saya selalu diberi motivasi dari keluarga dan teman-

teman untuk tidak marah, melainkan tetap melakukan

kebaikan kepada setiap orang yang sudah menyakiti

saya.”

Contoh di atas menggambarkan peranan lingkungan tempat korban

berada adalah bagian dari sistem yang dimiliki. Hal ini menjadi penguatan

positif secara psikologis dalam pemulihan terhadap korban. Sebab, korban

berada dalam sistem lingkungannya sehingga sistem itulah yang dapat

berperan dalam proses pemulihan.

Gambar 1. Ekologi Bronfenbrenner, 1977.

2.4 Kerangka Berpikir

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,

32

Gambar 2. Kerangka Berpikir.