Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar
Kebutuhan dasar manusia menurut abraham maslow atau yang disebut
dengan hierarki kebutuhan dasar maslow yang meliputi lima kategori
kebutuhan dasar, yaitu:
a. Kebutuhan Fisiologis (Physiologic Needs)
Pada tingkat yang paling bawah, terdapat kebutuhan yang fisiologik
(kebutuhan akan udara, makanan, minuman, dan sebagainya) yang
ditandai oleh kekurangan (defisit) sesuatu dalam tubuh orang yan
bersangkutan. Kebutuhan ini dinamakan juga keutuhan dasar
(basic needs).Yang jika tidak dipenuhi dalam keadaan yang sangat ekstrim
(misalnya kelaparan) manusia yang bersangkutan kehilangan kendali atas
perilakuinya sendiri karena seluiruh kapasitas manusia tersebut dikerahkan
dan dipusatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar nya itu.
Sebaliknya, jika kebutuhan dasar ini relatif sudah tercukupi, muncullah
kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebuthan akan rasa aman (safety needs).
Keutuhan fisiologis memliki prioritas tertinggi dalam hierarki Maslow.
Umumnya, seseorang yang memiliki kebutuhan yang belum terpenuhi
akan lebih dulu memenuhikebutuhan fisiologisnya dibandingkan
kebutuhan yang lain. Sebagai contoh, seseorang yang kekurangan
makanan, keselamatan, dan cinta biasaya akan berusaha memenuhi
kebutuhanakan makanan sebelum memenuhiu kebuthan akan cinta.
Kebutuha fisologis merupakan hal yang mutlak dipenuhi mausia untuk
bertahan hidup. Manusia memiliki delapan macam kebutuhan, yaitu
sebagai berikut,
1) Kebutuhan oksigen dan pertukaran gas.
2) Kebuthan cairan dan elektrolit.
3) Kebutuhan makanan.
4) Kebuuhan eliminasi urine dan alvi.
6
5) Kebutuhan istirahat dan tidur.
6) Kebutuhan aktifitas.
7) Kebutuhan kesehatan temperatur tubuh.
8) Kebuuhan seksual.
Kebuthan seksual tidak diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup
seseorang, tetapi penting unuk mempertahankan kelagsungan umat
manusia.
b. Kebutuhan Keselamatan dan Rasa Aman (Safety and Security Needs)
Jenis kebutuha yang kedua ini berhubungan dengan jaminan
keamanan,stabilitas, perlindngan,struktur, keteraturan, situasi yan bisa
diperkirakan, bebas dari rasa takut dan cemas, dan sebagainya. Oleh
karena adanya kebutuhan inilah manusia membuat peraturan, undang
undang, mengembangkan kepercayaan, membuat sistem, asuransi,
pensiun, dan sebagainya. Sama halnya dengan basic needs, kalau safety
needs ini terlalu lama dan terlalu banyak tidak terpenuhi, maka pandangan
seseorang tentag dunianya dapat terpengaruh dan pada giliranya pun
perilakunya akanleih cenderung kearah yang makin negatif. Kebutuhan
keselamatan dan rasa aman yang dimaksud adalah aman dari berbagai
aspek, baik fisiologis maupun psikologis.Kebutuhan ini meliputi sebaga
berikut.
1) Kebutuhan perlindungan diri dari udara dingin, panas, kecelakaan, dan
infeksi.
2) Bebas dari rasa takut dan kecemasan.
3) Bebas dari perasaan terancam arena pengalaman yang baru atau asing.
c. Kebutuhan rasa cinta, Memiliki, dan Dimiliki (Love and Belonging Needs)
Kebutuhan rasa cinta adalah kebutuhan saling memiliki dan
dimiliki terdiri dari memberi dan menerima kasih sayang, perasaan
dimiliki dan hubungan yang berati dengan orang lain, kehangatan,
persahabatan, mendapa tempat dan diakui dalam keluarga, kelompok serta
lingkungan sosial.
7
d. Kebutuhan Harga Diri (Self Esteem Needs)
Kebutuhan harga diri ini meliputi perasaan tidak berganung dengan
orang lain, kompeten, penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain.
e. Kebutuhan Aktualisasi Diri (Needs for self actualization)
Kebutuhan aktualisasi merupakan kebutuhan paling tertinggi dalam
piramda abraham maslow yang meliputio dapat mengenal diri semdiri
dengan baika ( belajar memenuhi kebuthan diri sendiri, tidak emosional,
mempunyai dedikasi yang tnggi kreatif dan mempunyai kepercayaan diri
yang tinggi dan sebagainya (Mubarak, Wahit, Lilis, Joko, 2015)
Konsep hierarki maslow ini menjelaskan bahwa manusia
senantiasa berubah menurut kebutuhanya. Jika seseorang merasa
kepuasan, ia akan menikmati kesejahteraan dan bebas untuk berkembang
menuju potensi yang lebih besar. Sebaliknya, jika proses pemenuhan ini
terganggu maka akan timbul kondisi patologis. Oleh karena itu, dengan
konsep kebutuhan dasar maslow akan diperoleh persepsi yang sama bahwa
untuk beralih ke kebutuhan yang lebih tinggi, kebutuhan dasar yang ada
dibawahnya harus terpenuhi terlebih dahulu (Mubarak, Wahit, Lilis, Joko,
2015)
2. Konsep Dasar Nyeri
1) Nyeri
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak
menyenangkan bersifat sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda
pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatanya, dan hanya orang
tersebutlah yang dpat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang
dialaminya. Berikut adalah pendapat beberapa ahli mengenai pengertian
nyeri.
a) Mc. Coferry mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang
mempengaruhi seseorang yang keberadaanya diketahui hanya jika
orang tersebut pernah mengalaminya.
8
b) Wolf Weifsel Feurst mengatakan bahwa nyeri meupakan suatu
perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa
menimbulkan ketegangan.
c) Arthur C. Curton mengatakan bahwa nyeri merpakan suatu
mekanisme produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang
rusak, dan menyebabkan individu tersebut beraksi untuk
menghilangkan rangsangan nyeri.
d) Scrumum, mengartikan nyeri sebagai keadaan yang tidak
menyenangkan akibat terjadinya rangsangan fisik ataupun dari serabt
saraf dalam tubuh ke otak dan diikuti oleh reaki fisik, fisiologis,
dan emosional (Hidayat & Uliyah, 2014)
2) Penyebab nyeri
Ada banyak penyebab hal yang dapat menyebabkan timbulnya
nyeri. Seseorang yang tersiram air panas akan merasakan nyeri yang
terbakar. Asmadi (2008) mengelompokkan penyebab nyeri ke dalam dua
golongan, yaitu penyebab yang berhubungan dengan fisik dan
berhubungan dengan psikis. Secara fisik misalnya akibat trauma akibat
trauma baik trauma mekanik, termal, maupun kimia. Nyeri yang
disebabkan oleh faktor psikis merupakan nyeri yang dirasakan bukan
karena penyebab fisik, melainkan akibat trauma psikologis dan
pengaruhnya terhadap fisik.
3) Stimulus Nyeri
Seseorang dapat menoleransi, menahan nyeri (pain tolerance), atau
dapat mengenali jumlah stimulus nyeri sebbelum merasakan nyeri (pain
threshold). Terdapat beberapa jenis stimulus nyeri, di antaranya :
a) Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah akibat
terjadinya kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada
reseptor.
b) Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat
terjadinya penekanan pada reseptor nyeri.
c) Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri.
9
d) Iskemia pada jaringan, misalnya terjadi blokade pada aneria
koronaria yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya
asam laktat.
e) Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.
4) Teori Nyeri
Terdapat beberapa teori tentang rangsangan nyeri, di antaranya
(Barbara C. Long, 1989):
a. Teori Pemisahan (Specifity Theory). Menurut teori ini, rangsangan
sakit masuk ke medula spinalis (spinal cord) melalui kornu dorsalis
yang bersinaps di daerah posterior, kemudian naik ke tractus lissur
dan menyilang di garis median ke sisi lainya, dan berakhir di korteks
sensori tempat rangsangan nyeri tersebut diteruskan.
b. Teori pola (Pattern Theory). Rangsangan nyeri masuk melalui akar
ganglion dorsal ke medulla spinalis dan merangsang aktivitas sel T.
Hal ini mengakibatkan suatu respon yang merangsang ke bagian
yang lebih tinggi, yaitu korteks serebri, serata kontraksi
menimbulkan persepsi dan otot berkontraksi sehingga menimbulkan
nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh modalitas respons dari reaksi sel T.
c. Teori Pengendalian Gerbang (Gate Control Theory). Menurut teori
ini nyeri tergantung dari kerja saraf besar dan kecil yang keduanya
berada dalam akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat saraf
akan meningkatkan aktivitas subtansia gelatinosa yang
mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas sel T
terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut terhambat.
Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang korteks serebri.
Hasil persepsi ini akan akan dikembalikan ke dalam medula spinalis
melalui serat eferen dan reaksinya mempengaruhi aktivitas sel T.
Rangsangan pada serat kecil akan menghambat aktivitas subtansia
gelatinosa dan membuka pintu mekanisme, sehingga merangsang
aktiivitas sel T yang selanjutnya akan menghantarkan rangsangan
nyeri.
10
d. Teori Transmisi dan Inhibasi. Adanya stimulus pada nociceptor
memulai transmisi implus-implus saraf, sehingga transmisi implus
nyeri menjadi efektif oleh neorotansmiter yang spesifik. Kemudian,
inhibisi implus nyeri menjadi efektif oleh implus-implus pada
serabut-serabut besar yang memblok implus-implus pada serabut
lamban dan endogen sistem supresif.
5) Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyakni
nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul
secara mendadak dan cepat menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan
dan ditandai adanya peningkatan tegangan otot. Nyeri kronis
merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, biasanya
berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu lebih dari 6 bulan. Yang
termasuk nyeri kronis adalah nyeri terminal, sindrom nyeri kronis, dan
nyeri psikosomatis. Ditinjau dari sifat terjadinya, nyeri dapat dibagi ke
dalam beberapa kategori, di antaranya nyeri tertusuk dan nyyeri
terbakar.
a. Nyeri akut
Nyeri akut biasanya awitanya tiba tiba dan umumnya berkaitan
dengan cedera spesifik. Nyeri akut mengidentifikasikan bahwa
kerusakan atau cedera telah terjadi. Hal ini menarik perhatian pada
kenyataan bahwa nyeri ini benar terjadi dan mengajarkan kepada kita
untuk menghindari situasi serupa yang secara potensial
menimbulkan nyeri. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada
penyakit sistematik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan
terjadinya penyembuhan; nyeri ini umumnya terjadi kurang dari
enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan. Untuk tujuan
definisi, nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung
dari beberapa detik hingga enam bulan.
11
b. Nyeri Kronis
Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermiten yang
menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung
diluar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak
dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera sepesifik. Nyeri
kronis dapat tidak menpunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat
yang sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak
memberikan respons terhadap pengobatan yang di arahkan pada
penyebabnya. Meski nyeri akut dapat menjadi signal yang sangat
penting bahwa sesuatu tidak berjalan bagaimana mestinya, nyeri
kronis biasanya menjadi masalah dengan sendirinya.
Tabel 2.1 Perbandingan Nyeri Akut Dan Kronis
Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis
Tujuan/keuntun
gan
Memperingatkan adanya cedera atau
masalah
Tidak ada
Awitan Mendadak Terus menerus atau
intermiten
Intensitas Ringan sampai berat Ringan sampai berat
Respon otonom 1. Konsisten dengan respon simpatis 2. Frekunsi jantung meningkat 3. Volume sekuncup meningkat 4. Tekanan darah meningkat 5. Dilatasi pupil meningkat 6. Tegangan otot meningkat 7. Mobilitas gastrointestinal
menurun
8. Aliran saliva menurun (mulut kering)
Tidak dapat respons
otonom
Komponen
psikologis
Ansietas 1. Depresi 2. Mudah marah 3. Menarik diri
dari minat dunia
luar
4. Menarik diri dari
persahabatan
Respons jenis
lainya
1. Tidur terganggu 2. Libido menurun 3. Nafsu makan
menurun
12
Contoh Nyeri bedah, trauma Nyeri kanker,
artritis,
neuralgia
trigeminal
sumber : Concepts of Altered Health State, ed. Ke-4. Philadhelphia, JB
Lippincott, 1995.
6) Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif
dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama
dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran
nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri.
Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan
gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Skala Itensitas Nyeri Numerik 0-10
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Keterangan :
0 : Tidak ada nyeri
1-3 : Nyeri ringan
4-6 : Nyeri sedang
7-9 : Sangat nyeri tetapi masih dapat dikendalikan dengan aktivitas
yang bisa dilakukan
10 : Sangat nyeri dan tidak bisa dikendalikan
Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) tidak melebel
subdivisi. Vas merupakan suatu garis lurus, yang mewakili intensitas
Nyeri
sedang
Nyeri
paling
hebat
Tidak ada
nyeri
13
nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada
setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri. Visual Analog Scale dapat
merupakan pengukur keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien
dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkainan dari pada dipaksa
memilih satu kata atau angka.
7) Penatalaksanaan Nyeri
a. Farmakologis
Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis yaitu kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian analgesik dan anastesi. Analgesik
merupakan metode yang umum untuk mengatasi nyeri. Anastesi
lokal dan regional, anastesi lokal adalah suatu keadaan hilangnya
sensasi pada lokalisasi bagian tubuh. Analgesia epidural adalah
suatu anastesia lokal dan terapi yang efektif untuk menangani nyeri
pascaoprasi akut, nyeri persalinan dan melahirkan, dan nyeri
kronik, khusunya yang berhubungan dengan kanker (Potter &
Perry, 2006).
b. Nonfarmakologis
Metode pereda nyeri nonfarmakologi biasanya mempunyai
resiko yang sangat rendah. Metode ini diperlukan untuk
mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa
detik atau menit (Smeltzer & Bare, 2002). Penatalaksanaan nyeri
nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri terdiri dari beberapa
teknik diantaranya adalah :
a. Distraksi
Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain
dan dengan demikian menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri
bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Potter & Perry,
2006).
14
b. Relaksasi
Teknik relaksasi adalah tindakan relaksasi otot rangka yang
dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merelaksasiakn
ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri (Tamsuri, 2007).
c. Imajinsi terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah menggukan imajinasi seseorang
dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk
mencapai efek positif tertentu (Smeltzer & Bare, 2002).
d. Hipnosis
Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan
jumlah analgesik yang dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis
(Smeltzer & Bare, 2002).
B. Tinjauan Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2009).
a. Identitas pasien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, dan tinggi badan atau berat
badan.
b. Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab klien meliputi nama, umur, jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku, bangsa, hubungan
dengan klien.
c. Riwayat keperawatan/kesehatan
a) Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan tergantung seberapa jauh dampak dari trauma kepala
disertai penurunan tingkat kesadaran.
15
b) Riwayat penyakit sekarang.
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian, trauma langsung ke kepala.
Pengkajian yang didapat, meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS
< 15), konvulasi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris, atau
tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran
pernapasan, adanya likuor dari hidung dan telinga, serta kejang.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
dihubungkan dengan perubahan di dalam intrakranial. Keluhan
perubahan prilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan
penyakit dapat terjadi latargik, tidak responsif, dan koma.
c) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes militus,
penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obatan antikougulan,
aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol
berlebihan.
d) Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota keluarga generasi terdahulu yang
menderita hipertensi dan diabetes militus.
e) Pengkajian psikososiosepiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk
menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon
atau pengaruh dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam kelurga
ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada
klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
16
d. Pemerikasaan fisik
Setelah melakukan anamnesa yang mengarah pada keluhan-
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data
dari pengkajian anamnesa. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara
per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3
(Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari
klien.
a) Keadaan umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan
kesadaran (cedera kepala ringan, GCS :13-15; cedera kepala sedang
GCS : 9-12; cedera kepala berat, bila GCS kurang atau sama dengan
8) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
a. B1 (Breathing)
1) sesak nafas, pengguanaan otot bantu nafas, dan peningkatan
frekuensi pernafasan.
2) Pada palpasi, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi
yang lain akan didapatkan jika melibatka trauma pada rongga
torak.
3) Pada perkusi, adanya suara redup sampai pekek pada keadaan
melibatkan trauma pada torak/hematoraks.
4) Pada Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi
sputum,
5) auskultasi, bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi,
stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi
sekret, dan kemampuan batuk yang menurun yang sering
didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan
tingkat kesadaran koma.
6) Pada klien cedera kepala berat dan sudah terjadi disfungsi
pusat pernapasan, klien biasanya terpasang ETT dengan
ventilator dan biasanya klien dirawat diruang perawtan
intensif sampai kondisi klien menjadi stabil.
17
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan
(syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien cedera kepala
sedang dan berat. Hasil pemeriksaan kardivaskuler klien cedera
kepala pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah
normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardia, dan aritmia.
Frekuensi nadi cepat dan lemah berlangsung dengan homeostatis
tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer.
c. B3 (Brain)
a) Pengkajian tingkat kesadaran
Tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap
lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi
sistem persyarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat
peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera
biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa
sampai koma.
b) Pengkajian fungsi serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, lobus
frontal, dan hemisfer.
1) Status Mental. Observasi penampilan, tingkah laku klien,
nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
klien. Pada klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status
menjtal klien mengalami perubahan.
2) Fungsi Intelektual. Pada beberapa keadaan klien cedera
kepala didapatkan penurunan dalam memori, baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
3) Lobus Frontal. Kerusakan fungsi kognitif dan efek
psikologis didapatkan jika trauma kepala mengakibatkan
18
adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas, memori,
atau kerusakan fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi.
4) Hemisfer. Cedera kepala hemisfer kanan hemiparese
sebelah kiri tubuh, penilaiaan buruk, dan mempunyai
kerentanan terhadap sisi koleteral sehingga kemungkinan
terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut.
c) Pengkajian saraf kranial
Pengkajian ini meliputi pengkajian saraf kranial I-XII.
1) Saraf I. Pada beberapa keadaan cedera kepala di area yang
merusak anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan
mengalami kelainan pada fungsi penciuman/anosmia
unilateral atau bilateral.
2) Saraf II. Hematom palpebra pada klien cedera kepala akan
menurunkan lapang pandang dan mengganggu fungsi saraf
optikus. Perdarahan di ruang intrakranial, terutama
hemoragia subaraknoidal, dapat disertai dengan perdarahan
diretina.
3) Saraf III, IV, dan VI. Gangguan mengangkat kelopak mata
terutama pada klien dengan terauma yang merusak rongga
orbita. Pada kasus-kasus trauma kepala dapat dijumpai
anisokoria. Gejala ini harus di anggap sebagai tanda serius
jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran.
4) Saraf V. Pada beberapa keadaan cedera kepala
menyebabkan paralisis saraf trigenimus, didapatkan
penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah.
5) Saraf VII. Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
6) Saraf VIII. Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera
kepala ringan biasanya tidak didapatkan apabila trauma
yang terjadi tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis.
7) Saraf IX dan X. Kemampuan menalan kurang baik dan
kesulitan membuka mulut.
19
8) Saraf XI. Bila tidak melibatkan trauma pada leher mobilitas
klien cukup baik serta tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius.
9) Saraf XII. Indra pengecapan mengalami perubahan.
d) Pengkajian sistem motorik
Pada inspeksi umum, didapatkan hemiplegia (paralisis pada
salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda
yang lain :
1) Tonus Otot. Didapatkan penurunan sampai hilang.
2) Kekuatan Otot. Pada penilaian dengan menggunakan
tingkat kekuatan otot didapatkan tingkat 0.
3) Keseimbangan dan Koordinasi. Didapatkan mengalami
gangguan karena hamipareses dan hemiplegia.
e) Pengkajian refleks
Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons
normal. Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks
fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa
hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan
refleks patologis.
f) Pengkajian sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestasi. Pada persepsi terjadi
ketidakmampuan untuk menginterprestasikan sensasi. Disfungsi
persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara
mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial
(mendapatkan dua hubungan atau lebih objek dalam area
spasial) sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa
kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan
kehilangan propiosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi
20
dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam
menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.
d. B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik
urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi
pada ginjal. Setelah cedera kepala, klien mungkin mengalami
inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan
mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
menggunakan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik
dan postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal
hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi
intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
e. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual,dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya
terjadi kontipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menujukkan kerusakan neurologis
luas.
Pemeriksaan rongga mulut yang melakukan penilaian ada tidaknya
lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukan
adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau
tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan
palpasi abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi
pada paralitik ilesu dan peritonitis.
21
f. B6 (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada
seluruh ektermitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembabpan, dan
turgor kulit. Adanya perubahan warna kulit : warna kebiruan
menunjukan adanya sianosis (ujung kuku, ektermitas, telinga,
hidung, bibir, dan membran mukosa).
e. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera
kepala, meliputi hal-hal di bawah ini :
1) CT-scan (dengan tanpa kontras).
2) MRI.
3) Angiografi serebral.
4) EEG berkala.
5) Foto rontgen, mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur)
perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
6) PET, mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
7) Pemeriksaan CFS, lumbal pungsi : dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahan subaraknoid.
8) Kadar elektrolit, untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagi
peningkatan tekanan intrakranial.
9) Skrining toksikologi, untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
10) Analisis Gas Darah (AGD), adalah salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan
melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenisasi dan status
asam basa.
f. Pengkajian penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, dan circulation) dan
22
menilai status neurologi (disabilitas dan pajanan), penurunan risiko
iskemi serebri juga harus dilakukan. Keadaan ini dapat dibantu dengan
pemberian oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu, perlu pula dik ontrol kemungkinan tekanan intrakranial
yang meningkat disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang
memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha menurunkan tekanan
intrakranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan
hiperventilasi yang menurunkan asidosis intraserebral dan meningkatkan
metabolisme intraserebral.
g. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala penyakit.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis.
23
h. Intervensi
Intervensi keperawatan adalah tindakan yang dirancang untuk membantu klien dalam beralih dari tingkat kesehatan
saat ini ke tingkat yang diinginkan dalam hasil yang diharapkan.
Tabel 2.2 Intervensi
Dx.Kep Intervensi Utama Intervensi Pendukung
Gangguan rasa nyaman
berhubungan dengan gejala
penyakit.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan
gangguan rasa nyaman dengan
kriteria :
1) Mampu mengontrol kecemasan
2) Status lingkungan yang nyaman
3) Mengontrol nyeri 4) Kualitas tidur dan istirahat
adekuat
5) Status kenyamanan meningkat
1. Manajemen nyeri.
Obeservasi :
1) Identivikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2) Identifikasi skala nyeri 3) Identivikasi respon nyeri non verbal 4) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan
nyeri
5) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri 6) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup 7) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
diberikan
8) Monitor efek samping penggunaan analgetik
Traupetik :
1) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi, kompres hangat/dingin, terapi
bermain)
2) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3) Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi :
1) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu 2) nyeri
1) Dukungan hipnosis diri 2) Edukasi aktivitas/istirahat 3) Edukasi efek obat samping 4) Edukasi keluarga manajemen nyeri
24
3) Jelaskan strategi meredakan nyeri 4) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri 5) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
Kolaborasi :
1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu 2) Pengaturan posisi
Observasi :
1) Monitor status oksigenasi sebelum dan sesudah mengubah posisi
2) Monitor alat traksi agar selalu tepat
Traupetik :
1) Tempatkan pada matras/tempat tidur teraupetik yang tepat 2) Tempatkan pada posisi teraupetik 3) Atur posisi tidur yang disukai 4) Atur posisi untuk mengurangi sesak 5) Atur posisi yang meningkatkan drainage
Edukasi :
1) Informasikan saat akan dilakukan perubahan posisi 2) Ajarkan cara menggunakan postur yang baik dan
mekanika tubuh yang baik selama melakukan perubahan
posisi
3) Kolaborasi pemberian premedikasi sebelum mengubah posisi, jika perlu
Kolaborasi :
1) Kolaborasi pemberian premedikasi sebelum mengubah posisi, jika perlu
2. Nyeri akut berhubungan dengan
agen cedera fisik
Tujuan :
1. Pemberian analgesik
1) Identifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus, pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
1) Dukungan hipnosis diri 2) Dukungan pengungkapan krbutuhan 3) Edukasi efek samping obat
25
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan nyeri
akut dengan kriteria :
1) Perubahan selera makan 2) Perubahan tekanan darah 3) Prilaku distraksi 4) Sekala nyeri berkurang
2) Identifikasi riwayat alergi obat 3) Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis. Narkotika,
non-narkotik, atau NSAID) dengan tingkat keparahan
nyeri
4) Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesik
5) Monitor efektifitas analgesik
Teraupetik
1) Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk mencapai analgesia optimal, jika perlu
2) Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus opoid untuk mempertahankan kadar dalam serum
3) Tetapkan target efektifitas analgesik untuk mengoptimalkan respon pasien
4) Dokumtasikan respon terhadap efek analgesik dan efek yang tidak diinginkan
5) Dokumtasikan respon terhadap efek analgesik dan efek yang tidak diinginkan
Edukasi :
1) Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi :
1) Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai indikasi
4) Edukasi manajemen nyeri 5) Edukasi proses penyakit
3. Pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan gangguan
neurologis
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan pola
nafas klien efektif dengan
kriteria :
1. Manajemen jalan nafas
Observasi
1) Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas) 2) Monitor bunyi nafas tambahan (mis. Gurgling, mengi,
wheezing, ronkhi kering)
3) Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Teraupetik
1) Dukungan emosional 2) Dukungan kepatuhan program
pengobatan
3) Dukungan ventilasi 4) Eedukasi pengukuran respirasi 5) Manajemen energi 6) Manajemen jalan nafas buatan
26
1) Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam
batas normal
2) Pada pemeriksaan rontgen thorak tidak ditemukan
adanya akumulasi cairan
3) Bunyi napas terdengar jelas 4) Menunjukan jalan napas yang
paten
5) Tanda – tanda vital dalam rentang normal (RR, Nadi,
Tekanan darah dan Suhu)
1) Pertambahan kepatenan jalan nafas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
2) Posisikan semi-Fowler atau Fowler 3) Berikan minuman hangat 4) Lakukan fisioterapi dada, jika perlu 5) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik 6) Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
endotrakeal
7) Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill 8) Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
1) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
2) Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu
SDKI (2017) dan SIKI (2018)
i. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai tujuan yang spesifik (iyer et al., 1996).
Tahap implementasi dimulai setelah rencana intervensi disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien
mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-
faktor yang memengaruhi masalah kesehatan klien.
27
Tabel 2.3 Implementasi
Dx.Kep Implementasi Utama Implementasi Pendukung
1. Gangguan rasa nyaman
berhubungan dengan gejala
penyakit.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan
gangguan rasa nyaman
dengan kriteria :
1) Mampu mengontrol kecemasan
2) Status lingkungan yang nyaman
3) Mengontrol nyeri 4) Kualitas tidur dan
istirahat adekuat
5) Status kenyamanan meningkat
1. Manajemen nyeri.
Obeservasi :
1) Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2) Mengidentifikasi skala nyeri 3) Mengidentifikasi respon nyeri non verbal 4) Mengidentifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri 5) Mengidentifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri 6) Mengidentifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup 7) Memonitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
diberikan
8) Memonitor efek samping penggunaan analgetik
Traupetik :
4) Memberikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
5) Mengontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
6) Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi :
7) Menjelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri 8) Menjelaskan strategi meredakan nyeri
1) Mendukungan hipnosis diri 2) Mengedukasi aktivitas/istirahat 3) Mengedukasi efek obat samping 4) Mengedukasi keluarga
manajemen nyeri
28
9) Menganjurkan memonitor nyeri secara mandiri 10) Menganjurkan menggunakan analgetik secara tepat
Kolaborasi :
1) Mengkolaborasi pemberian analgetik, jika perlu 2) Pengaturan posisi
Observasi :
1) Memonitor status oksigenasi sebelum dan sesudah mengubah posisi 2) Memonitor alat traksi agar selalu tepat
Traupetik :
1) Menempatkan pada matras/tempat tidur teraupetik yang tepat 2) Menempatkan pada posisi teraupetik 3) Mengatur posisi tidur yang disukai 4) Mengatur posisi untuk mengurangi sesak 5) Mengatur posisi yang meningkatkan drainage
Edukasi :
1) Menginformasikan saat akan dilakukan perubahan posisi 2) Mengajarkan cara menggunakan postur yang baik dan mekanika
tubuh yang baik selama melakukan perubahan posisi
3) Mengkolaborasi pemberian premedikasi sebelum mengubah posisi, jika perlu
Kolaborasi :
1) Mengkolaborasi pemberian premedikasi sebelum mengubah posisi, jika perlu
29
2. Nyeri akut berhubungan
dengan agen cedera fisik
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan
nyeri akut dengan kriteria :
1) Perubahan selera makan 2) Perubahan tekanan darah 3) Prilaku distraksi 4) Sekala nyeri berkurang
1. Pemberian analgesik
1) Mengidentifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus, pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
2) Mengidentifikasi riwayat alergi obat 3) Mengidentifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis. Narkotika, non-
narkotik, atau NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri
4) Memonitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesik
5) Memonitor efektifitas analgesik
Teraupetik
1) Mendiskusikan jenis analgesik yang disukai untuk mencapai analgesia optimal, jika perlu
2) Mempertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus opoid untuk mempertahankan kadar dalam serum
3) Menetapkan target efektifitas analgesik untuk mengoptimalkan respon pasien
4) Mendokumtasikan respon terhadap efek analgesik dan efek yang tidak diinginkan
5) Mendokumtasikan respon terhadap efek analgesik dan efek yang tidak diinginkan
Edukasi :
1) Menjelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi :
1) Mengkolaborasikan pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai indikasi
1) Mendukung hipnosis diri 2) Mendukunga pengungkapan
kebutuhan
3) Mengedukasi efek samping obat 4) Mengedukasi manajemen nyeri 5) Mengedukasi proses penyakit
30
Pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan gangguan
neurologis
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan pola
nafas klien efektif dengan
kriteria :
1) Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan
dalam batas normal
2) Pada pemeriksaan rontgen thorak tidak
ditemukan adanya
akumulasi cairan
3) Bunyi napas terdengar jelas
4) Menunjukan jalan napas yang paten
5) Tanda – tanda vital dalam rentang normal
(RR, Nadi, Tekanan
darah dan Suhu)
1. Manajemen jalan nafas
Observasi
1) Memonitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas) 2) Memonitor bunyi nafas tambahan (mis. Gurgling, mengi,
wheezing, ronkhi kering)
3) Memonitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Teraupetik
1) Mempertambahan kepatenan jalan nafas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
2) Memposisikan semi-Fowler atau Fowler 3) Memberikan minuman hangat 4) Melakukan fisioterapi dada, jika perlu 5) Melakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik 6) Melakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal 7) Mengeluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill 8) Memberikan oksigen, jika perlu
Edukasi
1) Menganjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
2) Mengajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
1) Mengkolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu
1) Mendukung emosional 2) Mendukungan kepatuhan
program pengobatan
3) Mendukungan ventilasi 4) Mengedukasi pengukuran
respirasi
5) Memanajemen energi 6) Memanajemen jalan nafas buatan
SDKI (2016) dan SIKI (2018)
31
j. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan keberhasilan dari
diagnosis keperawatan, rencana intervensi, dan implementasinya. Tahap evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor
“kealpaan” yang terjadi selama tahap pengkajian, analisis, perencanaan, dan implementasi, intervensi (Ignatavicius dan Bayne,
1994).
Tabel 2.4 Evaluasi
No Diagnosa Evaluasi
1. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan
gejala penyakit.
S : Klien mengatakan merasa lebih nyaman
O :
1) Mampu mengontrol kecemasan 2) Status lingkungan yang nyaman 3) Mengontrol nyeri 4) Kualitas tidur dan istirahat adekuat 5) Status kenyamanan meningkat
A : Gangguan rasa nyaman teratasi
P : Hentikan intervensi
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik. S : Klien mengatakan nyeri berkurang
O :
1) Perubahan selera makan 2) Perubahan tekanan darah 3) Prilaku distraksi 4) Sekala nyeri berkurang
A : Nyeri akut teratasi
P : Hentikan intervensi
32
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
gangguan neurologis.
S : Klien mengatakan tidak mengalami kesulitan bernafas
O :
1) Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal 2) Pada pemeriksaan rontgen thorak tidak ditemukan adanya akumulasi cairan 3) Bunyi napas terdengar jelas 4) Menunjukan jalan napas yang paten 5) Tanda – tanda vital dalam rentang normal (RR, Nadi, Tekanan darah dan Suhu)
A : Pola nafas tidak efektif teratasi
P : Hentikan intervensi
SDKI (2016) dan SIKI (2018)
33
C. Tinjauan Konsep Penyakit
1. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang di sertai
atau tampa di sertai pendarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
2. Etiologi
Cedera kepala dapat disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh,
kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, luka pada persalinan.
3. Mekanisme cedera
Cedera kepala disebabkan karena adanya daya/kekuatan yang mendadak di
kepala. Ada tiga mekanisme yang berpengaruh dalam trauma kepala yaitu
akselerasi, deselerasi dan deformitas. Akselerasi yaitu jika benda bergerak
membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang diam kemudian
dipukul atau terbentur batu. Deselerasi yaitu jika kepala bergerak membentur
benda yang diam, isalnya pada saat kepala terbentur. Deformitas adalah
perubahn atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma,
misalnya adanya fraktur kepala, bagian tubuh yang terjadi akibat trauma,
misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau pemotongan pada
jaringan otak. Pada saat terjadinya deselerasi ada kemungkinan terjadi rotasi
kepala sehingga dapat menambah kerusakan. Mekanisme cedera kepala dapat
mengakibatkan kerusakan pada daerah dekat benturan (kup) dan kerusakan
pada daerah yang berlawanan dengan benturan (kontra kup).
4. Klasifikasi cedera kepala
1. Bedasarkan kerusakan otak
34
1) Komosio serebri (gegar otak) : Gangguan fungsi neurologik ringan tanpa
adanya kerusakan struktur otak, terjadi hilangnya kesadaran kurang dari
10 menit atau tanpa disertai amnesia.
2) Kontusio serebri (memar) : Gangguan fungsi neurologik disertai
kerusakan jaringan otak tetapi kontiunitas otak masih utuh, hilangnya
kesadaran lebih dari 10 menit.
3) Laserasio serebri : Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak
yang berat dengan fraktur tengkorak terbuka. Massa otak terkelupas ke
luar dari rongga intrakranial.
2. Berdasarkan berat ringannya cedera kepala
1) Cedera kepala ringan : jika GCS antara 15-13, dapat terjadi kehilangan
kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat fraktur tengkorak,
kontusio atau hematom.
2) cedera kepala berat : jika nilai GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara
30 menit sampai dengan 24 jam, dapat disertai fraktur tengkorak,
disorientasi ringan.
3) Cedera kepala berat : jika GCS antara 3-8, hilangnya kesadaran lebih
dari 24 jam, biasanya disertai kontusio, laserasi atau adanya hematom,
edema serebral.
5. Tanda dan Gejala
Secara umum tanda dan gejala pada cedera kepala meliputi ada atau tidaknya
fraktur tengkorak, tingkat kesadaran dan kerusakan jaringan otak.
a. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf otak,
merobek durameter yang mengakibatkan perbesaran cairan serebrospinalis.
Jika terjadi fraktur tengkorak kemungkinan yang terjadi adalah :
1) Keluarnya cairanan serebrospinalis atau cairan lain ddari hidung
(rhinorrhoe) dan telinga (otorrhoe)
35
2) Kerusakan saraf kranial.
3) Pendarahan di belakang membran timpani.
4) Ekimosis pada perirbital.
5) Perubahan tajam penglihatan karena kerusakan nervus optikus.
6) Kehilangan pendengaran karena kerusakan pada nervus auditorius.
7) Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan beberapa otot mata
karena kerusakan nervus okulomotorius.
8) Paresis wajah karena kerusakan nervus fasilitas.
9) Vertigo karena kerusakan otolith dalam telinga bagian dalam.
6. Patofisologi
Adanya cedera kepala dapat mengakibatkan gangguan atau kerusakan struktur
misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah,
perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adeonosin
tripospat dalam mitokondria, perubahan parmeabilitas vaskuler.
Patofiologi cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu cedera
kepala otak primer dan cedera kepala otak sekunder. Cedera kepala otak primer
merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat
kepala sekuder terjadi akibat cedera primer misalnya adanya hipoksia, iskemis,
perdarahan.
Perdarahan serebral menimbulkan hematom, misalnya pada epidural hematom
yaitu berkumpulnya daerah antara lapisan pariosteum tengkorak dengan
durameter, subdural hematom diakibatkan berkumpulnya daerah pada ruang
antara durameter dengan subarahnoid dan intracerebral hematom adalah
berkumpulnya daerah pada jaringan serebral.
Kematian pada cedera kepala banyak disebabkan karena hipotensi karena
gangguan pada outoregulasi. Ketika terjadi gangguan outoregulasi akan
menimbulkan hipoperfusi jaringan serebral dan berakhir pada iskemia jaringan
otak. Karena otak sangat sensitif terhadap oksigen dan glukosa.
36
7. Pathway
Trauma kepala
Tulang kepala Jaringan otak Kulit kepala
Kumusio Hematoma
Edema Kontusio
Fraktur linear Fraktur communited
Fraktur depresses Fraktur basis
Hematoma Pada kulit
Cedera otak
Gangguan Kesadaran
Gangguan TTV Kelainan neurologis
Cedera Otak Primer Ringan Sedang Berat
1. TIK meningkat
Respon fisiologi otak
Cedera otak sekunder
Hipoksia serebral Kerusakan sel otak
Kelainan Metabolisme
Gangguan Autoregulasi Stres lokalis Rangsangan simpatis
Aliran Darah ke Otak Katekolamin Sekresi Asam Lambung
Tahanan Vaskuler Sistemik
Gangguan Metabolisme
Mual, Muntah Tek. Pemb. Darah Pulmonal
Produksi Asam Laktat 5. Intake nutrisi tidak
adekuat Tek. Hidrostatik
Edema Otak Kebocoran cairan kapiler
4. Gangguan Perfusi Jaringan
Edema Paru 2. Gangguan Perfusi Jaringan Serebral
Curah jantung menurun
Disfusi O2 Terhambat
Hipoksemia Hiperkapnea 3. Gangguan Pola Napas
37
Gambar 2.1 Pathway Trauma Kepala
8. Pemerikasaan diagnostik
1) Foto tengkorak : Mengetahui adanya fraktur tengkorak (simpel, depresi,
komunit), fragmen tulang.
2) Foto servikal : Mengetahui adanya fraktur servikal.
3) CT Scan : Kemungkinan adanya subdural hematom, intraserebral
hematom, keadaan ventrikel.
4) MRI : sama dengan CT Scan.
5) Serum alkohol : Mendeteksi penggunaan alkohol sebelum cedera
kepala, dilakukan terutama pada cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas.
6) Serum obat : Mengetahui penyalahgunaan obat sebelum kejadian.
7) Pemeriksaan obat dalam urine : Mengetahui pemakaian obat sebelum
kejadian.
8) Serum human chorionic gonadotropin : Mendeteksi kehamilan.
9. Penatalaksanaan medik
a. Penatalaksanaan umum :
1) Monitor respirasi : Bebaskan jalan nafas, monitor keadaan ventilasi,
pemeriksaan AGD, berikan oksigen jika perlu.
2) Monitor tekanan intrakranial (TIK)
3) Atasi syok bila ada
4) Kontrol tanda vital
5) Keseimbangan cairan dan elektrolit
b. Oprasi
Dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intraserebral, debridemen
luka, kranioplatis, prosedur shunting pada hidrocepalus, kraniotomi.
c. Pengobatan :
38
Diuretik : untuk mengurangi edema serebral mislanya manitol 20%
furosimid (lasik).
1) Antikonvulsan : Untuk menghentikan kejang mislalnya dengan dilatin,
tegretol, valium.
2) Kortokosteroid : untuk menghambat pembentukan edema misalnya
dengan deksametason.
3) Antagonis histamin : mencegah terjadinya iritasi lambung karena
hipersekresi akibat efek trauma kepala misalnya dengan cametidin,
ranitidin.
4) Antibiotik jika terjadi luka yang besar.