29
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Pernikahan Pada Masa Awal Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Menurut UU Pernikahan No 1 tahun 1974 pasal 1 pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Melalui pernikahan kedua individu membentuk sebuah institusi sosial yang disebut dengan keluarga, juga mendatangkan peran dan status baru sebagai suami dan istri. Sebagai pasangan suami istri harus mengerti dengan hak-hak dan kewajiban masing-masing, selain itu sebagai sebuah instituai sosial, pasangan harus mengerti mengenai perannya terhadap keluarga yang akan berhubungan dengan keluarga pasangannya maupun masyarakat sekitar. Setiap individu yang menikah memiliki harapan untuk memperoleh kepuasan pernikahan. Fower & Olson (1993) menyebutkan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi terhadap area-area dalam pernikahan yang mencakup komunikasi, kegiatan mengisi waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, kesetaraan peran serta pengasuhan anak. Clayton (dalam Lailatulsifah, 2003) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan evaluasi secara keseluruhan tentang segala hal yang berhubungan dengan pernikahan. Kepuasan pernikahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Pernikahan Pada Masa ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2311/3/BAB II.pdf · konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman,

Embed Size (px)

Citation preview

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepuasan Pernikahan Pada Masa Awal Pernikahan

1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

Menurut UU Pernikahan No 1 tahun 1974 pasal 1 pernikahan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Melalui pernikahan kedua individu

membentuk sebuah institusi sosial yang disebut dengan keluarga, juga

mendatangkan peran dan status baru sebagai suami dan istri. Sebagai pasangan

suami istri harus mengerti dengan hak-hak dan kewajiban masing-masing, selain

itu sebagai sebuah instituai sosial, pasangan harus mengerti mengenai perannya

terhadap keluarga yang akan berhubungan dengan keluarga pasangannya maupun

masyarakat sekitar.

Setiap individu yang menikah memiliki harapan untuk memperoleh

kepuasan pernikahan. Fower & Olson (1993) menyebutkan kepuasan pernikahan

sebagai evaluasi terhadap area-area dalam pernikahan yang mencakup

komunikasi, kegiatan mengisi waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian

konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, kesetaraan

peran serta pengasuhan anak. Clayton (dalam Lailatulsifah, 2003) menyatakan

bahwa kepuasan pernikahan merupakan evaluasi secara keseluruhan tentang

segala hal yang berhubungan dengan pernikahan. Kepuasan pernikahan

12

merupakan persepsi terhadap kehidupan pernikahan seseorang yang diukur dari

besar kecilnya kesenangan yang didapatkan dalam kurun waktu tertentu.

Menurut Brockwood (2007) kepuasan pernikahan adalah penilaian umum

terhadap kondisi pernikahan yang tengah dialami oleh seseorang. Penilaian umum

tersebut dapat berupa cerminan dari seberapa bahagia individu dalam

pernikahannya atau berupa penggabungan dari kepuasan dalam beberapa aspek

spesifik dari hubungan pernikahan. Pinsof dan Lebow (dalam Aswati, 2017)

menyatakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan suatu pengalaman subjektif,

suatu perasaan yang berlaku dan suatu sikap, dimana semua itu di dasarkan pada

faktor dalam diri individu yang mempengaruhi kualitas yang dirasakan dari

interaksi dalam pernikahan.

Menurut Roach dkk (dalam Hidayah dan Hadjam, 2006) kepuasan

pernikahan adalah persepsi terhadap kehidupan pernikahan seseorang yang diukur

dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu .

Sedangkan Hawkins (dalam Bradford & Hawkins, 2006) mengatakan bahwa

kepuasan pernikahan merupakan pengalaman subjektif yang dirasakan pasangan

suami istri yang berkaitan dengan aspek-aspek yang ada di dalam suatu

pernikahan seperti rasa bahagia, puas, serta pengalaman-pengalaman yang

menyenangkan bersama pasangannya yang bersifat individual.

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan

pernikahan adalah penilaian subjektif suami atau istri terhadap pernikahannya

yaitu seberapa banyak kebahagiaan, kesenangan dan pengalaman menyenangkan

yang didapatkan dari pernikahannya.

13

2. Tahapan dalam Pernikahan

Tingkat kepuasan pernikahan berubah seiring berjalannya waktu. Duvall

& Miller (1985) menyebutkan bahwa tingkat kepuasan pernikahan tertinggi di

awal pernikahan, kemudian menurun setelah kelahiran anak pertama hingga anak

mencapai usia remaja. Hal ini terjadi karena anak memerlukan perhatian yang

besar dan biasanya pengasuhan anak lebih banyak dilakukan oleh wanita. Pada

usia prasekolah, orangtua biasanya sulit untuk meninggalkan anak di rumah.

Henslin (dalam Daeng, NRm 2010) menyatakan bahwa kebanyakan pria

dan wanita merasa bahwa seorang ibu harus berada di rumah selama anak dalam

tahap prasekolah. Ketika anak memasuki usia sekolah, pasangan harus

mempersiapkan kebutuhan finansial untuk sekolah anak dan memberi dukungan

pada anak dalam memasuki lingkungan yang baru dan beradaptasi dengan

lingkungan sekolah, guru, dan teman-teman. Saat anak memasuki masa remaja

merupakan tahap dimana anak mulai mencari jati diri dan keadaan seperti ini

memerlukan pengawasan dan bimbingan dari orangtua (Hurlock, 1999). Namun,

tingkat kepuasan pernikahan tersebut meningkat kembali saat anak mulai hidup

mandiri dan meninggalkan rumah (menikah atau bekerja).

Tahap-tahap dalam pernikahan perlu diketahui agar mengerti tentang

konsep perjalanan hidup pasangan serta masa-masa krisis yang dialaminya.

Walgito (2002) membagi periode pernikahan menjadi tiga yaitu :

a. Masa awal (early years)

Masa ini mencakup kurang lebih 10 tahun pertama pernikahan. Masa

ini merupakan masa perkenalan dan masa penyesuaian diri bagi kedua

14

belah pihak, pasangan suami istri berusaha untuk saling mengenal,

menyelesaikan sekolah atau memulai karier, merencanakan kehadiran

anak pertama serta mengatur peran masing-masing dalam menjalani

hubungan suami istri.

b. Masa pertengahan (midlle years)

Periode ini berlangsung antara tahun kesepuluh sampai dengan tahun

ketigapuluh dari masa pernikahan. Masa yang terjadi pada tahap ini

adalah “child full phase” yang kemudian diikuti oleh “us aging phase”.

Pada “child full phase” orangtua mengkonsentrasikan pada

pengembangan dan pemeliharaan keluarga, selain itu suami istri harus

mampu menyelesaikan konflik-konflik sosial yang timbul dalam

pernikahan, sehingga tidak terjadi ketegangan dalam keluarga. Pada

“us aging phase” pasangan suami istri menemukan dan membangun

kembali hubungan antara kedua belah pihak. Pasangan suami istri

kembali menyusun prioritas baru dan menikmati hubungan intim yang

telah diperbaharui, tanpa ada anak-anak dalam rumah. Bagi suami istri

yang tidak memiliki anak, maka fase ini dapat digunakan untuk

memusatkan perhatian pada karier ataupun aktivitas-aktivitas produktif

lainnya.

c. Masa matang (mature years)

Masa ini dimulai pada tahun ketiga puluh dalam pernikahan. Pasangan

suami istri berada dalam peran yang baru, misalnya bertindak sebagai

kakek atau nenek, menikmati hari tua bersama-sama atau hidup sendiri

15

lagi karena salah satu pasangan telah meninggal lebih dulu. Masa ini

merupakan masa pensiun atau pengunduran diri dari kegiatan-kegiatan

di dalam dunia kerja.

Hurlock (2004) membagi periode pernikahan menjadi tiga, yaitu :

a. Tahun-tahun awal sebagai periode dewasa dini

Pada periode ini terdapat kesulitan penyesuaian pernikahan yang

dialami oleh pasangan suami istri di awal-awal pernikahan.

Penyesuaian diri ini biasanya sering timbul ketegangan emosi yang

memicu adanya pertikaian atau konflik dalam rumah tangga, yang

muncul dari pihak suami maupun istri. Tahun awal pernikahan adalah

periode penyesuaian yang banyak memerlukan adanya sikap

kedewasaan dari kedua belah pihak, biasanya pasangan mempunyai

sikap ego yang tinggi, saling mempertahankan keinginannya, merasa

lebih pengalaman, merasa lebih pandai dan sebagainya.

b. Tahun-tahun pertengahan sebagai periode usia madya

Periode pernikahan ini anak-anak mulai meninggalkan rumah untuk

studi di perguruan tinggi, menikah atau mencari pekerjaan. Orangtua

harus menghadapi masalah penyesuaian kehidupan yang biasa disebut

periode sarang kosong atau empty nest. Pada saat periode ini terjadi,

berarti bahwa pada saat itu kedua orangtua tersebut harus melakukan

perubahan peran dan keluarga tersebut perlu mencari kegiatan di luar

rumah.

16

c. Tahun-tahun kematangan sebagai periode usia lanjut

Periode ini penyesuaian terhadap pembangunan hubungan yang baik

pada pasangan penting untuk dilakukan. Perubahannya peran dari

pekerja ke pensiunan kebanyakan pria menghabiskan sebagian besar

waktunya untuk tinggal di rumah daripada yang dilakukan sebelum

pensiun. Hubungan yang baik dengan pasangan akan mendatangkan

kebahagiaan, sebaliknya jika hubungan yang kaku dan dingin maka

percekcokan akan meningkat.

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa periode

pernikahan ada tiga bagian yaitu : a.Usia pernikahan 10 tahun pertama merupakan

tahun-tahun periode awal pernikahan. b.Usia pernikahan antara 10-30 tahun

merupakan periode menengah dalam suatu pernikahan. c.Usia pernikahan 30

tahun ke atas merupakan tahun-tahun kematangan pada fase ini suami istri

mempunyai peran baru yaitu sebagai kakek nenek, pensiun dan banyak

menghabiskan waktu di rumah.

3. Aspek-aspek Kepuasan Pernikahan

Kepuasan pernikahan dapat diukur dengan menggunakan aspek-aspek

dalam pernikahan seperti yang dikemukakan oleh Fowers dan Olson (dalam

Marini dan Julinda, 2010) sebagai berikut :

a. Communication (Komunikasi)

Komunikasi merupakan aspek yang penting dalam kepuasan pernikahan.

Komunikasi berfokus kepada tingkat kenyaman yang dirasakan oleh

masing-masing pasangan dalam berbagi emosi dan keyakinan, persepsi

17

masing- masing pasangan terhadap kemampuan mendengarkan dan

keterampilan berbicara, dan persepsi megenai kemampuan seseorang

untuk berkomunikasi dengan pasangan. Komunikasi pernikahan dibagi

menjadi lima dasar menurut Laswell (dalam Marini dan Julinda, 2010),

yaitu: keterbukaan di antara pasangan (opennes), kejujuran terhadap

pasangan (honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain

(ability to trust), sikap empati terhadap pasangan (empathy) dan

kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening skill). Aspek ini

berfokus pada bagaimana perasaan dan sikap individu terhadap

komunikasi mereka dalam pernikahan yang dijalani.

b. Leisure Activity (Aktivitas Waktu Luang)

Kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang yang

merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Area

ini juga melihat apakah suatu kegiatan dilakukan sebagai pilihan individu

atau pilihan bersama serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang

bersama pasangan. Knowles (2002) dalam penelitiannya menyatakan

bahwa terdapat hubungan positif antara waktu senggang bersama pasangan

dengan kepuasan pernikahan. Semakin banyak waktu senggang yang

dimiliki oleh pasangan semakin tinggi kepuasan pernikahan yang dimiliki

oleh pasangan suami istri.

c. Religious Orientasi (Orientasi Agama)

Keyakinan spiritual dapat memberikan landasan bagi nilai dan perilaku

individu dan pasangan. Keyakinan spiritual yang kuat dapat memperdalam

18

rasa cinta dan membantu pasangan untuk mencapai impian mereka. Hal ini

karena agama akan memberi pengaruh dengan memelihara nilai-nilai suatu

hubungan, norma dan dukungan sosial yang memberi pengaruh besar

dalam pernikahan, dan mengurangi perilaku berbahaya dalam pernikahan

(Christioano dalam Marini dan Julinda, 2010).

d. Conflict Resolution (Penyelesaian Konflik)

Konflik merupakan bagian alami dan tidak terelakkan dari hubungan

manusia. Hubungan pernikahan tidak selalu harmonis karena adanya

perbedaan yang dimiliki. Resolusi konflik berfokus pada perilaku,

perasaan, keyakinan, keterbukaan pasangan untuk mengenal dan

memecahkan masalah serta strategi yang digunakan untuk mendapatkan

solusi.

e. Financial Management (Manajemen Keuangan)

Sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran

dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Adanya perbedaan cara

pasangan untuk mengeluarkan dan menyimpan uang dalam pernikahan.

Harapan dan kebutuhan pasangan dalam pernikahan seringkali melebihi

kemampuan keuangan pasangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock

(1980) yang menyebutkan bahwa sebagian besar wanita berharap dengan

menikah membuat status ekonominya menjadi terangkat, namun dapat

terjadi ketidakpuasan pernikahan apabila harapan tidak sesuai dengan

realita.

19

f. Sexual Orientation (Intimasi Seksual)

Olson & Defrain (dalam Habibi, U.R, 2015) menyebutkan bahwa

hubungan seksual yang memuaskan pada pasangan akan menghasilkan

kebahagiaan pada pasangan, namun ketika tidak adanya ketertarikan

hubungan seksual akan menurunkan kebahagiaan pada pasangan. Relasi

seksual bertindak sebagai alat ukur emosional dalam hubungan. Hubungan

seksual yang baik, datang dari hubungan emosional yang baik dengan

pasangan. Pasangan dengan hubungan emosional yang baik memiliki

hubungan fisik yang baik.

g. Family and Friends (Keluarga dan Teman-teman)

Keluarga dan teman merupakan konteks yang paling penting bagi

pasangan dalam membangun relasi yang berkualitas. Keluarga sebagai

family of origin banyak mempengaruhi kepribadian, selain itu keterlibatan

orang tua dapat memperkuat atau memperlemah kualitas relasi pasangan.

Hubungan dengan teman dan keluarga besar yang tetap terjalin dengan

baik akan membantu meningkatkan kepuasan pernikahan karena dapat

memberikan dukungan dan membantu pasangan dalam menjalani

kesulitan sehingga pasangan merasa tidak sendirian.

h. Children and Parenting (Anak-anak dan Pengasuhan)

Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak

penting halnya dalam pernikahan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita

pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan bila itu dapat

terwujud.

20

i. Personality Issues (Masalah yang berkaitan dengan kepribadian)

Biasanya sebelum menikah individu berusaha menjadi pribadi yang

menarik untuk mencari perhatian pasangannya bahkan dengan berpura-

pura menjadi orang lain. Setelah menikah, kepribadian yang sebenarnya

akan muncul. Setelah menikah perbedaan ini dapat memunculkan masalah.

Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai harapan dapat

menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku pasangan sesuai

yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia.

j. Equalitarian Role (Kesetaraan Peran)

Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi. Pria dapat

bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar

rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar juga

memiliki jabatan yang lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan

untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan

kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan.

Menurut Saxton (dalam Afni dan Indrijati, 2011), aspek-aspek kepuasan

pernikahan yang harus terpenuhi dalam kehidupan pernikahan yaitu :

a. Kebutuhan materil

Pemenuhan kebutuhan materil ditandai dengan adanya kepuasan fisik atau

biologis atas pemenuhan kebutuhan berupa makanan, tempat tinggal,

keadaan rumah tangga yang teratur dan uang/ekonomi.

21

b. Kebutuhan Seksual

Pemenuhan kebutuhan seksual ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan

seksual dengan adanya respon seksual yang baik dan frekuensi hubungan

seksual yang tidak rendah.

c. Kebutuhan Psikologis

Pemenuhan kebutuhan psikologis ditandai dengan adanya kenyamanan,

persahabatan, keamanan emosional, saling memahami, menerima,

menghormati, dan sependapat.

Berdasarkan uraian di atas mengenai aspek-aspek kepuasan pernikahan

dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kepuasan pernikahan adalah komunikasi,

aktivitas waktu luang, orientasi agama, penyelesaian konflik, manajemen

keuangan, intimasi seksual, keluarga dan teman-teman, anak dan pengasuhan,

masalah yang berkaitan dengan kepribadian dan kesetaraan peran. Peneliti

menggunakan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Olson & Fower yang

mengacu pada ENRICH Marital Satisfaction Scale dikarenakan aspek-aspek yang

dikemukakannya lebih spesifik yang berkaitan dengan kepuasan pernikahan dan

beberapa penelitian lainnya juga mengacu dengan aspek-aspek yang

dikembangkan Olson & Fower.

4. Faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan

Spainer & Lewis (Spainer, 2016) menjelaskan bahwa kepuasan pernikahan

dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal yaitu :

22

a. Faktor internal

1) Pemahaman terhadap pola asuh orang tua yang positif. Situasi

keluarga, terutama pola asuh orang tua yang positf akan

mempermudah terwujudnya kepuasan dalam pernikahannya pada saat

anak tersebut menikah.

2) Penerimaan dari orang lain, artinya ada dukungan orang tua dan

masyarakat. Sebuah keluarga yang dibangun atas dasar restu orang

tua serta memperoleh dukungan positif dari masyarakat akan

cenderung lebih mudah memperoleh kepuasan dalam pernikahannya.

3) Kualitas kepribadian, apabila masing-masing mendapatkan pasangan

dengan kriteria kepribadian yang diharapkannya maka akan

mengarahkan pasangan pada kesamaan pandangan dalam menentukan

arah tujuan dari pernikahan.

4) Interaksi yang positif. Bentuk dari adanya interaksi yang positif yaitu

dengan adanya penerimaan, kasih sayang serta dukungan antara suami

dan istri.

5) Komunikasi yang efektif, artinya dalam hubungan suami istri

dibangun komunikasi dua arah, jadi suami maupun istri bisa menjadi

pemberi dan penerima informasi. Adanya komunikasi antara suami

dan istri juga akan menciptakan suasana saling pengertian, rasa aman

dan nyaman pada masing – masing pasangan.

23

6) Kesesuaian peran, artinya suami maupun istri mengerti tentang peran

yang diembannya masing – masing dalam hubungannya sebagai

pasangan suami istri.

7) Adanya kebijaksanaan, yakni kepandaian dalam menggunakan akal

budinya dalam menghadapi setiap permasalahan yang muncul dengan

selalu memakai pengalaman, pengetahuan serta selalu bersikap hati –

hati dan teliti.

8) Kerjasama yang baik, kerjasama yang baik umumnya dapat dilakukan

dengan saling tolong menolong antara suami dan istri. Jika kerjasama

antara suami dan istri berjalan dengan baik maka segala permasalahan

dalam kehidupan dapat di atasi dengan mudah

9) Kemampuan penyesuaian suami istri, antara lain dengan

menumbuhkan sikap saling terbuka dan bisa menerima setiap

kelebihan dan kekurangan dari pasangan.

10) Tekad yang sama dalam pernikahan, tekad yang sama akan

memfasilitasi kesepemahaman langkah, kekompakan, kerjasama yang

pada akhirnya melandasi kepuasan pernikahan.

b. Faktor eksternal

1) Homogami, yaitu adanya kesamaan dalam pendidikan, agama, ras ,

usia maupun kelas sosial. Semakin banyak kesamaan yang dimiliki

oleh pasangan suami istri maka akan meminimalisr terjadinya

konflik yang disebabkan oleh perbedaan sudut pandang.

24

2) Bekal – bekal sebelum menikah, seperti pendidikan yang cukup,

ataupun keahlian dalam berhubungan sosial menunjang kedewasaan

sikap, pasangan suami istri tersebut dalam menghadapi persoalan

yang terjadi.

3) Kemampuan sosial ekonomi yang memadai, situasi ekonomi yang

baik akan meningkatkan taraf pemenuhan kebutuhan , sekaligus

mengurangi resiko permasalahan akibat ketidakmampuan

mengakomodasi kebutuhan dasar.

Menurut Hendrick & Hendrick (dalam Merzavani, 2016), ada dua faktor

yang dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan, yaitu :

a. Premarital Factors

1) Latar Belakang Ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan

tidak sesuai dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam

hubungan perkawinan.

2) Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan

yang rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena

lebih banyak menghadapi stressor seperti pengangguran atau tingkat

penghasilan rendah.

3) Hubungan dengan orang tua yang akan mempengaruhi sikap anak

terhadap romantisme, perkawinan, dan perceraian.

b. Postmarital Factors

1) Kehadiran anak, anak sangat berpengaruh terhadap menurunnya

kepuasan perkawinan terutama pada wanita (Bee & Mitchell, 1984).

25

Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya anak bisa menambah

stress pasangan, dan mengurangi waktu bersama pasangan (Hendrick

& Hendrick, 1992). Kehadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan

perkawinan suami istri berkaitan dengan harapan akan keberadaanan

anak tersebut.

2) Usia perkawinan, seperti yang dikemukakakan oleh Duvall bahwa

tingkat kepuasan perkawinan tinggi diawal perkawinan, kemudian

menurun setelah kehadiran anak dan akan meningkat kembali setelah

anak dewasa dan meninggalkan rumah orangtua.

Dari uraian tentang faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan dalam

pernikahan di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan dipengaruhi

oleh faktor internal dan faktor eksternal. Peneliti selanjutnya memfokuskan

penelitian pada salah satu faktor internal yaitu kepribadian, karena kepribadian

berpengaruh terhadap cara pandang dan persepsi pasangan yang akan menentukan

arah dan tujuan pernikahan.

B. Big five Personality

1. Pengertian Dimensi Kepribadian Big five

Kepribadian merupakan bagian yang khas dari setiap individu yang

membedakannya dengan ndividu yang lain. Definisi kepribadian menurut Allport

(dalam Suryabrata, 2008) adalah organisasi dinamis dalam individu sebagai

system psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri

terhadap lingkungan. Kepribadian terletak dibelakang perbuatan-perbuatan khusus

dan di dalam individu.

26

Feist & Feist (2009) mengatakan bahwa kepribadian adalah suatu pola

yang relatif menetap didalam diri individu yang menghasilkan beberapa ukuran

konsisten tentang perilaku. Serupa dengan pernyataan tersebut Larsen & Buss

(dalam Mastuti, E, 2005) juga menambahkan bahwa kepribadian merupakan

sekumpulan trait psikologis dan mekanisme didalam diri individu yang

diorganisasikan dan relatif bertahan, sehingga mempengaruhi interaksi dan

adaptasi individu pada lingkungan. Sedangkan menurut Pervin dkk (2005)

kepribadian mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola pikiran,

perasaan dan perilaku yang konsisten.

Ada berbagai cara dan tes psikologi yang digunakan untuk memperoleh

gambaran mengenai kepribadian salah satunya adalah dengan menggunakan big

five factor. Kepribadian big five merupakan suatu pendekatan yang digunakan

dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun

dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan

analisis faktor yang digambarkan dalam lima bentuk dimensi dasar (McCrae &

Costa, dalam Pervin & Cervone, 2005).

Caprara & Cervone (2000) mengatakan bahwa kepribadian big five adalah

teori kepribadian yang menjelaskan hubungan antara kognisi, affect, dan tindakan

yang dapat dijadikan sebagai landasan bagi teori kepribadian. Baron & Byrne

(2005) menyatakan bahwa lima besar dimensi kepribadian adalah dimensi dasar

kepribadian manusia, dimensi-dimensi dimana individu berada (seperti; oppenes,

ekstravertion, agreeableness, dan neurotisme) yang sering kali tampak dalam

perilaku sehari-hari.

27

Feist & Feist (2009) menyatakan bahwa big five adalah salah satu bentuk

kepribadian yang dapat digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan perilaku

individu. Gufron (2010) berpendapat bahwa kepribadian big five adalah

kepribadian yang dikembangkan oleh McCrae & Costa yang memiliki lima

bentuk dimensi kepribadian yang mendasari perilaku individu.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kepribadian big five

merupakan suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat

kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah dimensi

kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima

dimensi kepribadian tersebut adalah neuoriticism, extraversion, agreeableness,

openness dan conscientiousness.

2. Dimensi – dimensi dalam Kepribadian Big five

McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) menyatakan bahwa

terdapat lima dimensi dari Big five Personality diantaranya Neuroticism,

Extraversion, Openness to Experience, Agreeableness, Conscientiousness.

Masing-masing dari lima dimensi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut;

a. Neuroticism (N)

McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa

neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan

emosi yang negatif seperti rasa khawatir. Seseorang yang memiliki tingkat

neuroticism yang rendah cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap

hidup mereka dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat

neuroticism yang tinggi. Neuroticism dicirikan sebagai individu yang

28

memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan memiliki tingkat self

esteem yang rendah. Individu yang memiliki skor yang tinggi di

neuroticism adalah individu yang memiliki kepribadian mudah khawatir,

rasa marah, dan depresi.Menurut Costa & Widiger (dalam Moberg, 1999),

indikator-indikator yang terdapat dalam neuroticism adalah:

1) Anxiety yaitu individu yang gelisah, penuh rasa takut, gugup dan

tegang.

2) Hostility yaitu individu yang memiliki rasa amarah dan frustasi.

3) Depression yaitu individu yang mengalami depresi.

4) Self-Consciousness yaitu individu yang menunjukkan rasa tidak

nyaman ketika berada diantara orang lain, terlalu sensitif, dan

merasa rendah diri.

5) Impulsiveness yaitu individu yang tidak mampu mengontrol

keinginannya yang berlebihan untuk melakukan sesuatu.

6) Vulnerability yaitu ndividu yang tidak mampu menghadapi stress,

bergantung pada orang lain, mudah menyerah dan panik bila

dihadapkan pada sesuatu yang datang secara mendadak.

b. Extravertion (E)

McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa

extravertion dalam berinteraksi lebih banyak memegang kontrol.

Extravertiondicirikan seperti memiliki emosi yang positif, enerjik, senang

bergaul, tertarik dengan banyak hal, juga ramah terhadap orang lain.

Seseorang yang memiliki tingkat extravertion yang rendah cenderung

29

pendiam dan menarik diri dari lingkungannya. Individu yang extravertion

termotivasi olehperubahan, tantangan, dan mudah bosan. Menurut Costa &

Widiger (dalam Moberg, 1999), indikator-indikator yang yang terdapat

dalam extravertion adalah:

1) Warmth yaitu individu memiliki kecenderungan mudah bergaul

dan membagi kasih sayang

2) Gregariousness yaitu individu yang memiliki kecenderungan untuk

banyak berteman dan berinteraksi dengan orang banyak

3) Assertiveness yaitu individu yang cenderung tegas dalam

mengambil keputusan.

4) Activity yaitu individu yang sering mengikuti berbagai kegiatan

yang memiliki semangat dan energy yang tinggi.

5) Excitement-seeking yaitu individu yang senang mencari sensasi

dan berani mengambil risiko.

6) Positive Emotion yaitu individu yang memiliki emosi-emosi yang

positif seperti senang, bahagia dan cinta.

c. Openness to experience (O)

McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa

openness to experience mengacu pada bagaimana seseorang bersedia

melakukan penyesuaian pada suatu ide atau situasi yang baru. Openness to

experience memiliki kapasitas untuk menyerap informasi, fokus pada

berbagai pemikiran dan perasaan. Seseorang dengan tingkat openness to

experience yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki

30

nilai imajinasi dan pemikiran yang luas. Sedangkan seseorang yang

memiliki tingkat openess to experience yang rendah menggambarkan

pribadi yang mempunyai pemikiran yang sempit dan tidak suka dengan

perubahan. Pencapaian kreatifitas terdapat pada orang yang memiliki

tingkat openness to experience yang tinggi dan tingkat agreeableness yang

rendah. Hal ini dikarenakan, seseorang yang kreatif memiliki rasa ingin

tahu yang tinggidan lebih mudah untuk mendapatkan solusi terhadap suatu

masalah. Menurut Costa & Widiger (dalam Moberg, 1999), indikator-

indikator yang terdapat dalam openness to experience adalah :

1) Fantasy yaitu individu yang memiliki imajinasi yang tinggi.

2) Aesthetic yaitu individu yang memiliki apresiasi terhadap seni dan

keindahan.

3) Feelings yaitu individu yang mampu menyelami emosi dan

perasaannya.

4) Action yaitu individu yang memiliki keinginan untuk mencoba hal-

hal baru.

5) Ideas yaitu individu yang berpikiran terbuka terhadap ide baru.

6) Values yaitu individu yang berkeinginan untuk menguji ulang

nilai-nilai sosial, politik dan agama

d. Agreeableness (A)

McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa

agreeableness mengindikasikan seseorang yang ramah, rendah hati, tidak

menuntut, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk

31

mengikuti orang lain. Agreeableness memiliki motivasi untuk membantu

orang lain dan terarah pada perilaku prososial. Namun, dalam hubungan

interpersonal orang yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi

ketika berhadapan dengan konflik, self esteem mereka cenderung

menurun.Sehingga,menghindari konflik merupakan usaha untuk

memutuskan konflik dengan orang lain. Sedangkan, orang-orang dengan

tingkat agreeableness yang rendah cenderung lebih agresif dan kurang

kooperatif. Menurut Costa &Widiger (dalam Moberg, 1999), skala-skala

yang terdapat dalam agreeableness adalah:

1) Trust yaitu individu yang memiliki kepercayaan terhadap orang

lain.

2) Straightforwardness yaitu individu yang berkata secara apa

adanya.

3) Altruism yaitu individu yang memiliki keinginan untuk menolong

orang lain.

4) Compliance yaitu karakteristik dari reaksi terhadap konflik

interpersonal.

5) Modesty yaitu ndividu yang rendah hati.

6) Tender-mindedness yaitu individu yang memiliki kepedulian dan

simpati terhadap orang lain.

e. Conscientiousness (C)

McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa

Conscientiousness mendeskripsikan individu yang memiliki kontrol

32

terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda

kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, dan

memprioritaskan tugas. Individu yang memiliki tingkat conscientiousness

yang rendah menunjukkan sikap yang malas, tidak terarah dan mudah

teralih perhatiannya. Menurut Costa & Widiger (dalam Moberg, 1999),

skala-skala yang terdapat dalam conscientiousness adalah:

1) Competence yaitu individu yang memiliki kemampuan dalam

mengerjakan sesuatu.

2) Order yaitu individu yang memiliki kemampuan dalam

mengorganisasi.

3) Dutifulness yaitu individu yang berpegang teguh pada prinsip

hidup.

4) Achievement-striving yaitu individu yang memiliki kesanggupan

untuk mencapai prestasi.

5) Self-discipline yaitu individu yang dapat mengatur diri sendiri.

6) Deliberation yaitu individu yang berpikir dahulu sebelum

bertindak

C. Hubungan antara Dimensi Kepribadian Big five dengan Kepuasan

Pernikahan Pasangan pada Masa Awal Pernikahan

Kepuasan pernikahan adalah penilaian subjektif suami atau istri terhadap

pernikahannya yaitu seberapa banyak kebahagiaan, kesenangan dan

pengalamanan menyenangkan yang didapatkan dari pernikahannya. Olson &

Fower (2006) menjabarkan aspek - aspek yang menentukan kepuasan pernikahan

33

yaitu kepuasan seseorang dengan kepribadian pasangan, komunikasi, resolusi

konflik, manajemen keuangan, aktivitas waktu luang, anak dan pengasuhan,

keluarga dan teman, agama dan kesetaraan peran. Sedangkan Spainer dan Lewis

(2006) mengemukakan faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan yaitu

faktor internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor internal yang mempengaruhi

kepuasan pernikahan adalah kualitas kepribadian.

Kualitas kepribadian mempengaruhi harapan, persepsi dan cara pandang

pasangan yang akan menentukan arah dan tujuan pernikahan (Sapiner & Lewis

dalam Spainer, 2006). Karakteristik keperibadian mempengaruhi cara pasangan

dalam berinteraksi, menerima satu sama lain, menilai, serta memberi penjelasan

tentang peristiwa-peritiwa yang terjadu dalam pernikahan ( Bradburry & Fincham,

dalam Barelds, 2005). Trait kepribadian seseorang akan mempengaruhi perilaku

seseorang dalam hubungan mereka dengan pasangannya di sepanjang hidup

mereka. Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa kepribadian seseorang akan

mempengaruhi hubungan seseorang dengan pasangannya dan bukan sebaliknya

(Brehm, 2002).

Huston dan Houts (Donellan, dkk, 2014) menyatakan bahwa kepribadian

berkontribusi terhadap “infrastruktur psikologis” dalam mempertahankan

hubungan dan juga sebagai prediktor kunci keberhasilan maupun disfungsi suatu

hubungan terutama dalam kaitannya dengan hubungan pernikahan. Kepribadian

dapat mempengaruhi hubungan seseorang dengan pasangannya, karena setiap

jenis kepribadian akan menunjukkan dan mempengaruhi mood serta emosi yang

ditunjukkan pada pasangannya. Individu dengan mood yang baik tentu bisa

34

berinteraksi dengan baik dengan pasangannya dan akan berpengaruh pada

kepuasan pernikahan mereka. Sebaliknya, individu dengan mood yang negatif

akan menimbulkan interaksi yang negatif dengan pasangannya yang juga sangat

berpengaruh pada kepuasan pernikahan (Brehm, 2002).

Trait kepribadian biasanya diukur dengan menggunakan lima dimensi atau

yang sering disebut dengan Big five Personality (Baumeister, 2007). Trait

kepribadian big five merupakan trait kepribadian, dimana setiap individu tidak

dapat dikategorikan hanya memiliki satu jenis trait kepribadian saja, namun setiap

individu memiliki kelima trait kepribadian tersebut, hanya saja ada satu trait

kepribadian yang lebih dominan. Trait kepribadian menurut McCrae (2008)

adalah neuriticism, extraversion, opennesss to experience, agreeableness dan

conscientiousness.

Neuroticism adalah trait yang paling konsisten dalam memprediksi

kepuasan pernikahan yang menggambarkan perasaan negatif atau kecemasan

secara general (Karney & Bradburry, 1995). Neurocitism merupakan

kecenderungan dari kumpulan pengalaman yang berisi emosi negatif seperti

cemas, marah, sedih, kecil hati dan kondisi yang memalukan (Costa & McCrae

dalam Maria, dkk 2014). Hal ini sejalan dengan pendapat Keltner (1996) bahwa

neuroticism adalah trait kepribadian yang didefinisikan sebagai emosi negatif

dalam kondisi yang positif. Seseorang yang memiliki karakteristik skor

neuroticism yang tinggi cenderung selalu merasa cemas dan khawatir terhadap

apapun termasuk terhadap hubungan pernikahan yang dijalani, perasaan-perasaan

negative tersebutlah yang menghalangi terciptanya kepuasan. Pasangan yang

35

memiliki skor tinggi pada neurocitism memiliki kecenderungan mudah cemas,

marah, depresi, dan emotionally reactive yang memungkinkan timbulnya konflik-

konflik dengan pasangan.

Kepuasan pernikahan tentu saja tidak akan tercapai kalu di dalam rumah

tangga tersebut selalu diwarnai dengan konflik. Menurut Smolak (Sudarto, 2011)

ketika ketegangan dalam pernikahan terus memuncak dan tidak mereda dalam

kurun waktu yang cukup lama, tidaklah mengherankan bila perceraian terkadang

dilihat sebagai satu-satunya alternative penyelesaian masalah yang baik. Sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Kelly dan Conley ( dalam Maria, dkk,

2014) dalam penelitian longitudinal pada pasangan yang menikah menunjukkan

trait neuroticism dapat memprediksi perceraian sebelum maupun sesudah

menikah dibandingkan dengan trait lainnya maupun vatiabel – variabel lainnya.

Trait extraversion menurut Costa dan McCrae (dalam Maria, dkk, 2014)

merupakan faktor yang mencakup kualitas suka bergaul, berhubungan dengan

orang lain, mau berusaha dan banyak bicara. Pasangan yang memiliki skor tinggi

pada extraversion akan mudah beradaptasi dengan lingkungannya yang baru,

mudah berteman dengan keluarga pasangannya yang bisa meningkatkan

kebahagiaan dalam pernikahannya. Bowen, dkk (dalam Minnote,dkk, 2008)

menyatakan bahwa hubungan dengan masyarakat dan tetangga dapat

meningkatkan kepuasan pernikahan karena dapat membantu pasangan dalam

beradaptasi dengan tuntutan dan menghadapi tekanan hidup seperti membantu

saat ada salah satu anggota keluarga yang sedang sakit atau meninggal. Akan

tetapi pasangan yang memiliki skor tinggi pada ektraversion akan lebih cepat

36

bosan jika tidak ada variasi maupun tantangan dalam pernikahannya karena orang

dengan skor extraversion tinggi mudah termotivasi oleh perubahan. Pasangan

yang memiliki skor rendah pada extraversion akan cenderung tenang dalam

kehidupan pernikahannya, karena pasangan dengan skor extraversion rendah lebih

memilih untuk menghindari konflik baik dengan pasangannya maupun lingkungan

sekitar.

Penelitian yang dilakukan oleh Bareld (2005) mengenai hubungan

kepribadian dengan kepuasan pernikahan mendapati bahwa ekstraversi memiliki

hubungan positif dengan terciptanya kepuasan pernikahan. Kepuasan pernikahan

tampak jelas pada pasangan yang hanya salah satu dari pasangan tersebut yang

memiliki ekstraversi tinggi sedangkan pasangannya memiliki ekstraversi rendah.

Senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kaufman & Larson ( 2011)

yang meneliti mengenai hubungan kepribadian lima faktor dengan ketertarikan

diantara individu dan kepuasan pernikahannya mendapatkan hasil bahwa jika

hanya salah satu individu yang memiliki kepribadian ekstraversi yang tinggi maka

kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh individu tersebut lebih tinggi dari

pasangannya.

Menurut Costa dan McCrae (dalam Maria, 2014) bahwa trait oppennes

meliputi daya imajinasi, mau menerima ide-ide baru, dan terbuka terhadap

berbagai hal hal baru. Seseorang dengan skor Openness to experience yang tinggi,

akan lebih terbuka terhadap nilai-nilai pasangannya, dapat mengerti dan menerima

perbedaan, dengan demikian kepuasan pernikahannya akan cenderung baik.

Selain itu pasangan dengan skor tinggi pada oppeness akan mudah berkomunikasi

37

dengan pasangannya maupun keluarga pasangannya. Komunikasi interaktif yang

positif pada pasangan akan meningkatkan kepuasan pada pernikahannya sesuai

dengan pernyataan Donan dan Jhonson (dalam Stanley, dkk, 2002) yang

menjelaskan bahwa pasangan yang dapat menyelesaikan permasalahan dengan

komunikasi yang baik akan menciptakan suatu keadaan yang lebih terbuka dan

dapat menerima kekurangan dari pasangannya yang akan meningkatkan kepuasan

dalam pernikahan.

McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa

agreeableness mengindikasikan seseorang yang ramah, rendah hati, tidak

menuntut, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti

orang lain. Seseorang dengan skor agreeableness yang tinggi, merupakan

kebalikan dari karakter antagonis, dan tidak selalu adaptif, namun agreeablenness

yang tinggi cenderung menjadikan seseorang bergantung kepada orang lain, dan

melupakan diri sendiri. Sedangkan menurut Donnellan, Conger, Bryant (2004),

seseorang yang aggreable akan lebih mudah untuk meregulasi emosinya selama

melakukan interaksi interpersonal. Dengan demikian seseorang dengan skor

Agreeablenness yang tinggi merupakan orang yang penuh penerimaan dan disukai

orang lain, sehingga kepuasan pernikahan akan menjadi baik karena pasangan

dengan skor tinggi pada agreeableness memiliki kemampuan yang baik dalam

menghadapi konflik dalam pernikahan sehingga frekuensi atau intensitas interaksi

negatif pun rendah (Donnellan, dkk, 2004).

McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa

Conscientiousness mendeskripsikan individu yang memiliki kontrol terhadap

38

lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti

peraturan dan norma, terencana, dan memprioritaskan tugas. Seseorang yang

tinggi pada skor conscientiousness akan jarang membuat perselisihan dengan

orang lain terutama pasangan karena mereka umumnya bertanggung jawab, dapat

diandalkan, dan pekerja keras (Donnellan, Conger, & Bryant, 2004). Dengan

demikian seseorang dengan skor conscientiousness yang tinggi merupakan orang

yang teratur, tekun, bertanggung jawab dan dapat diandalkan dalam hubungan

pernikahannya, sehingga kepuasan pernikahannya akan cenderung baik.

Dari berbagai hasil penelitian sebelumnya mengenai trait kepribadian

yang berkaitan dengan kepuasan dalam pernikahan menunjukkan bahwa trait

neuroticism dan extraversion memiliki hubungan yang negatif dengan kepuasan

pernikahan. Sedangkan trait oppeness, agreablenes, dan conscientiousnes

memiliki kecenderungan yang positif dengan kepuasan pernikahan. Walaupun

demikian, tidak semua penelitian memiliki hasil yang konsisten (Kosek, dalam

Robin, dkk, 2000).

Berdasarkan uraian di atas penulis menarik kesimpulan bahwa ada

kontribusi kepribadian terhadap pencapaian kepuasan pernikahan. Trait

kepribadian biasanya diukur dengan lima dimensi atau biasa disebut dengan the

Big five Personality.

D. Hipotesis

Dari uraian di atas dapat diajukan hipotesis sebagai berikut :

1. Ada hubungan yang signifikan antara dimensi neuroticism dengan

kepuasan pernikahan.

39

2. Ada hubungan yang signifikan antara dimensi extraversion dengan

kepuasan pernikahan.

3. Ada hubungan yang signifikan antara dimensi openness dengan kepuasan

pernikahan.

4. Ada hubungan yang signifikan dimensi agreeablenness dengan kepuasan

pernikahan.

5. Ada hubungan yang signifikan antara dimensi conscientiousnes dengan

kepuasan pernikahan.

6. Dimensi kepribadian big five yang terdiri atas neuoriticism, extraversion,

agreeableness, openness dan conscientiousness secara bersama-sama

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pernikahan.