42
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Melitus 1. Definisi Menurut American Diabetes Association (ADA), Diabetes Mellitus (DM) adalah sekumpulan penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa didalam darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat kegagalan pada sekresi insulin, penurunan kerja insulin, atau akibat dari keduanya (ADA, 2013). Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronis progresif yang ditandai dengan ketidak mampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, mengarah ke hiperglikemia (Black & Hawks, 2014). Menurut (Kemenkes, 2014) Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik menahun akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang mengatur keseimbangan kadar gula darah. Akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah (hiperglikemia). Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Diabetes Mellitus adalah penyakit metabolik yang terjadi secara kronis dan progresif, yang dimanifestasikan dengan adanya peningkatan kadar gula dalam darah (kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dl, gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dl). Akibat dari penurunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Melitus 1. Definisi

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

1. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA), Diabetes Mellitus (DM) adalah

sekumpulan penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa

didalam darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat kegagalan pada sekresi insulin,

penurunan kerja insulin, atau akibat dari keduanya (ADA, 2013). Diabetes melitus

(DM) adalah penyakit kronis progresif yang ditandai dengan ketidak mampuan

tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, mengarah

ke hiperglikemia (Black & Hawks, 2014).

Menurut (Kemenkes, 2014) Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit

gangguan metabolik menahun akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin

atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif.

Insulin adalah hormon yang mengatur keseimbangan kadar gula darah. Akibatnya

terjadi peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah (hiperglikemia).

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Diabetes Mellitus

adalah penyakit metabolik yang terjadi secara kronis dan progresif, yang

dimanifestasikan dengan adanya peningkatan kadar gula dalam darah (kadar gula

darah puasa ≥ 126 mg/dl, gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dl). Akibat dari penurunan

11

produksi insulin dan kerja insulin atau keduanya sehingga menimbulkan

gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.

2. Klasifikasi

American Diabetes Association (ADA) tahun 2011 mengeluarkan kriteria

klasifikasi DM yang terdiri dari 4 tipe penyakit diabetes, yaitu :

a. Tipe 1 : DM tergantung insulin (Insulin Dependen Diabetes Mellitus)

Pada diabetes Tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin

oleh sel beta pankreas yang rusak karena proses autoimun, sehingga pada Tipe

1ni pasien sangat tergantung dengan pemberian insulin.

Diabetes mellitus Tipe 1 ini disebabkan oleh :

1) Faktor genetik, dimana seseorang memiliki kecenderungan genetik ke arah

terjadinya diabetes Tipe 1. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada

individu yang memiliki tipe antigen human leucocyte antigen (HLA)

tertentu (Hinkle & Cheever, 2014).

2) Faktor Immunologi, yaitu terdapatnya suatu respon autoimun. Respon ini

merupakan respons yang abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan

tersebut yang dianggapnya sebagai jaringan asing, yaitu autoantibodi

terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen (Hinkle & Cheever,

2014).

12

3) Faktor Lingkungan, yaitu faktor-faktor eksternal seperti virus atau toksin

tertentu yang dapat memicu proses autoimun yang menimbulakn destruksi

sel beta (Hinkle & Cheever, 2014).

b. Tipe 2 : DM tidak tergantung insulin (Non Insuline Dependent Diabetes

Mellitus)

Pada diabetes Tipe 2 terdapat dua masalah yang berhubungan dengan insulin,

yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Pada kondisi resistensi

insulin terjadi gangguan ikatan antara insulin dan reseptornya pada dinding sel

sehingga insulin menjadi tidak afektif untuk menstimulasi pengambilan

glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan peningkatan

glukosa dalam darah, sel-sel beta pankreas akan meningkatkan produksi

insulin sehingga kadar glukosa darah akan dipertahankan dalam keadaan

normal. Namun jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan

kebutuhan terhadap insulin, maka kadar glukosa darah meningkat dan terjadi

diabetes Tipe 2.

c. DM gestasional (GDM)

Diabetes ini terjadi pada masa kehamilan, biasanya terjadi pada trimester

kedua atau ketiga, disebabkan oleh hormon yang disekresikan oleh plasenta

dan menghambat kerja insulin. Biasanya mengakibatkan komplikasi perinatal

seperti melahirkan bayi makrosomia (bayi yang berukuran besar diatas raata-

13

rata bayi normal, Berat badan > 4 kg). Namun setelah melahirkan gula dalam

darah akan kembali normal.

d. DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya.

Diabetes ini disebut juga dengan diabetes sekunder, kemungkinan disebabkan

oleh penyakit tertentu seperti pankreatitis, neoplasia pankreas, trauma

pankreas, efek obat-obatan seperti glukokortikoid, hormon tiroid,

dilantin,tiazid, dan reparat yang mengandung estrogen. Pada kondisi cacat

genetik juga dapat terjadi, seperti sindrom down, sindrom klinefelter dan

sindrom huntington’s chorea.

3. Faktor risiko DM tipe 2

Menurut Hinkle & Cheever (2014), Faktor resiko DM tipe 2 adalah :

a. Riwayat Keluarga Menderita DM

Anggota keluarga klien DM memiliki kemungkinan resiko lebih besar

menderita DM dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita

DM. Perbandingan keluarga yang mempunyai riwayat DM dengan keluarga

tanpa riwayat DM, ternyata angka kesakitan keluarga yang menderita DM

mencapai 5,33% sampai 8,33%, lebih besar bila dibandingkan dengan

keluarga tanpa riwayat DM hanya menunjukkan angka 1,96%. Ini bisa

disebabkan oleh gaya hidup dari keluarga seperti pola makan yang kurang

baik, baiknya apabila memiliki keluarga dengan DM seharusnya lebih bisa

14

untuk mengontrol gaya hidup seperti pola makan yang baik, dan olahraga yang

cukup. (Tahitian, 2008).

b. Obesitas

Obesitas adalah kegemukan atau berat badan berlebih yang melebihi minimal

20% dari berat badan ideal atau indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25 kg/m2.

Diperkirakan sekitar 80% sampai dengan 90% klien DM Tipe 2 mengalami

obesitas atau kegemukan. Kegemukan dan penumpukan lemak diperut akibat

konsumsi kalori berlebih membuat tubuh tidak peka terhadap insulin.

(Ignatavicius, 2006).

c. Usia

DM Tipe 2 biasanya sering terjadi pada klien setelah berusia lebih dari 30

tahun dan semakin sering terjadi pada usia lebih dari 40 tahun, selanjutnya

akan terus terjadi pada usia lanjut. Usia lanjut mengalami gangguan toleransi

glukosa mencapai 50-92%. Sekitar 6 % individu usia 45-64 tahu dan 11%

individu usia diatas 65 tahun menderita DM Tipe 2. Teori yang ada

mengatakan bahwa seseorang ≥ 45 tahun memiliki peningkatan risiko terhadap

terjadinya DM dan intoleransi glukosa yang di sebabkan oleh faktor

degeneratif yaitu menurunnya fungsi tubuh, khususnya kemampuan dari sel

beta dalam memproduksi insulin untuk metabolisme glukosa (Ignatavicius,

2006).

15

d. Hipertensi

Tekanan darah lebih atau sama dengan 140/90 mmHg berpengaruh terhadap

kejadian Diabetes Mellitus disebabkan oleh penebalan pembuluh darah arteri

yang menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit. Hal ini

akan menyebabkan proses pengangkutan glukosa ke dalam sel menjadi

terganggu dan menumpuk dalam peredaran darah.

e. Kadar kolesterol High Density Lipid (HDL) kurang dari atau sama dengan 35

mg/dl (0,90 mmol/L) dan Kadar trigliserida lebih dari atau sama dengan 250

mg/dl (2,8 mmol/L). Makin banyak jaringan lemak, jaringan tubuh dan otot

akan semakin resisten terhadap kerja insulin (insulin resistance). Lemak akan

memblokir kerja insulin sehnnga glukosa tidak dapat diaangkut ke dalam sel

dan menumpuk dalam peredaran darah.

4. Patofisiologi

Seperti suatu mesin, badan memerlukan bahan untuk mebentuk sel baru dan

mengganti sel yang rusak. Di samping itu badan juga memerlukan energi supaya

sel badan berfungsi dengan baik. Pada manusia bahan bahan tersebut berasal dari

makanan, yang terdiri dari karbohidrat, protein, dan lemak.

Pengolahan bahan makanan dimulai di mulut kemudian ke lambung dan

selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan itu makanan dipecah

karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino, dan lemak menjadi

asam lemak. Ketiga zat makanan itu akan diserap oleh usus kemudian masuk ke

16

dalam pembuluh darah dan diedarkan keseluruh tubuh untuk dipergunakan oleh

organ-organ di dalam tubuh sebagai bahan bakar. Supaya dapat berfungsi sebagai

bahan bakar, zat makanan itu harus masuk dulu ke dalam sel supaya dapat diolah.

Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang

rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut

metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan yang

sangat penting yaitu bertugas memasukan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya

dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah hormon yang dikeluarkan

oleh sel beta di pankreas (Suyono,2015)

Pankreas adalah sebuah kelenjar yang letaknya di belakang lambung. Di

dalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau pada peta, karena

itu disebut pulau-pulau Langerhans yang berisi sel beta yang mengeluarkan

hormon insulin, yang sangat berperan dalam mengatur kadar glkosa darah.

Pankreas mengandung lebih kurang 100.000 pulau Langerhans dan tiap pulau

berisi 100 sel beta. Di samping sel beta ada juga sel alfa yang memproduksi

glukagon yang bekerja sebaliknya dari insulin yaitu meningkatkan kadar glukosa

darah (Suyono, 2015)

Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai anak kunci

yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian di

dalam sel glukosa itu dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada

atau bila insulin itu kerjanya tidak baikseperti dalam keadaan retensi insulin, maka

17

glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga tubuh tidak mempunyai sumber

energi untuk melakukan metabolisme. Glukosa akan tetap berada dalam

pembuluh darah sehingga kadar gula darah akan meningkat (Ernawati, 2013).

Insulin dapat menimbulkan beberapa efek dalam tubuh seperti menstimulasi

penyimpanan glukosa dalam hati dan otot dalam bentuk glikogen. insulin juga

meningkatkan penyimpanan lemak dari makanan dalam jaringan adipose dan

mempercepat pengangkutan asam-asam amino yang berasal dari protein makanan

ke dalam sel. Pada waktu antara jam-jam makan dan pada saat tidur malam,

pankreas akan melepas secara terus menerus sejumlah kecil insulin bersama

glukagon. Insulin dan glukagon secara bersama-sama mempertahankan kadar

glukosa secara bersama-sama mempertahankan kadar glukosa yang konstan dalam

darah dengan menstimulasi pelepasan glukosa dari hati. Pada umumnya hati

menghasilkan glukosa melalui pemecahan glikogen (glikogenolisis). Setelah 8

hingga 12 jam tanpa makanan, hati membentuk glukosa dari pemecahan zat lain

selain karbohidrat yang mencakup asam amino (glukoneogenesis).

Pada DM Tipe 2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin,

yaitu : resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin

menunjukan adanya ketidakmampuan insulin untuk meningkatkan pengambilan

glukosa kedalam jaringan otot dan lemak yang mengakibatkan adanya

peningkatan kadar glukosa darah. Sekresi insulin terjadi akibat tidak adanya

respon dari sel-sel jaringan terhadap konsentrasi insulin yang normal. untuk

18

mempertahankan kadar glukosa darah yang normal, sel beta pankreas melakukan

kompensasi dengan cara meningkatkan rangsangan produksi insulin sebagai

respon adanya peningkatan kadar glukosa darah (Ignatavicius & Workman, 2013).

Peningkatan kebutuhan insulin dapat mempengaruhi fungsi kelenjar pankreas

dalam mensekresi insulin. Peningkatan insulin yang berlangsung dalam waktu

yang lama dapat menyebabkan penurunan fungsi dari sel beta kelenjar pankreas

untuk memproduksi insulin yang adekuat sehingga mengakibatkan terjadinya

retensi insulin dan memicu terjadinya DM. Insulin merangsang sintesis protein dan

menghambat pemecahan protein di hepar, otot dan jaringan lemak (Ignatavicius &

Workman, 2013)

5. Manisfestasi Klinis

a. Poliuria atau peningkatan pengeluaran urine.

Poliuria atau sering disebut sering buang air kecil, terjadi karena adanya

akumulasi glukosa didalam sirkulasi darah yang menyebabkan

hyperossmolaritas pada serum. Selanjutnya terjadi perpindahan cairan dari

intraseluler ke dalam sistem sirkulasi. Peningkatan peningkatan voleme dalam

pembuluh darah meningkatkan aliran darah ke ginjal dan hiperglikemia

menyebabkan diuresis osmotik yang pada akhirnya meningkatkan pengeluaran

urine. Ambang batas ginjal terhadap glukosa darah adalah 180 mg/dL. Ketika

kadar gula darah lebih dari nilai tersebut, maka glukosa akan dikeluarkan

bersama urine. kondisi ini disebut dengan glukosuria (LeMone, 2011).

19

b. Polidipsia atau peningkatan rasa haus.

Volume urine dan pengeluaran air yang meningkat menyebabkan dehidrasi

ekstrasel. Dehidrasi intrasel akan mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air

intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi

plasma yang tinggi. Hal ini akan merangsang pusat haus sehingga klien akan

merasakan haus terus-menerus dan untuk mengatasinya klien akan banyak

minum (Corwin, 2009).

c. Polifagia atau peningkatan rasa lapar

Rasa lapar pada klien DM di akibatkan oleh makanan yang di metabolisme

tidak dapat dimanfatkan oleh tubuh. Glukosa sebagai hasil metabolisme

karbohidrat tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel akan mengalami

kekurangan makanan akibatnya klien cepat merasa lapar. Untuk mengatasi

perasaan lapar maka klien harus banyak makan (Waspadji, 2009). Walaupun

banyak makan pasien DM akan selalu meraskan lapar karena yang

membutuhkan makanan adalah sel, sedangkan makanan yang dimakan tidak

masuk kedalam sel, akibatnya klien DM tipe 2 mengalami penurunan berat

badan yang relatif singkat disertai keluhan lemas. Hal ini disebabkan oleh

karena glukosa darah tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga sel mengalami

kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan energi. Mekanisme yang terjadi

untuk mempertahankan kelangsungan hidup maka sumber energi akan di

ambil dari cadangan lain yaitu lemak dan protein (glukoneogenesis) sehingga

klien mengalami kehilangan cadanagn lemak dan protein yang menyebabkan

20

terjadinya penurunan berat badan. Akibat produksi energi yang berkurang

dapat menyebabkan klien mengalami keluhan cepat lelah dan kurang

bertenagaa (Waspadji, 2009).

6. Kriteria Diagnostik

Menurut Nasional Institute of Diabetes and Degestive and Kidney Disease

[NIDDK] (2009) telah merumuskan kriteria untuk diagnosis diabetes mellitus,

yaitu :

a. Kadar gula darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl

Mengukur gula darah pasien dimana sebelum dilakukan pemeriksaan pasien

diharuskan berpuasa selama 8 jam. Tes ini dilakukan untuk menentukan

diabetes dan prediabetes. Tes ini akan lebih baik bila dilakukan pada pagi hari.

Orang dengan glukosa puasa kurang dari 100 mg/dL dikatakan bukan DM,

Orang dengan glukosa puasa 100 sampai 125 mg/dL memiliki kemungkinan

prediabetes disebut juga gangguan glukosa puasa atau Impaired Fasting

Glucose (IFG). Hasil IFG yang signifikan (glukosa plasma 100 sampai 125

mg/dL) berarti kemungkinan seseorang memiliki peningkatan resiko terhadap

Diabetes Mellitus. Bila kadar gula darah puasa 126 mg/dL atau lebih, maka

harus dikonfirmasi ulang dengan melakukan tes kembali pada hari lain, bila

hasil ini tetap sama maka pasien tersebut memiliki Diabetes Mellitus.

21

b. Kadar glukosa oral atau Oral Glucose Tolerance Test (OGTT)

Penelitian telah menunjukkan bahwa OGTT lebih sensitif dibandingkan

dengan pengujian Fasting Plasma Glucose (FPG) untuk mendiagnosa

prediabetes, tetapi kurang nyaman untung dijalankan. OGTT memerlukan

puasa minimal 8 jam sebelum tes. Tingkat glukosa plasma diukur sebelum dan

2 jam setelah sesorang minum cairan yang mengandung 75 gran glukosa

dilarutkan dalam air. Jika tingkat glukosa darah adalah antara 140 dan 199

mg/dL 2 jam setelah minum glukosa, pasien tersebut memilki prediabetes

disebut toleransi glukosa terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT).

Memiliki IGT dapat juga seperti memilIki IFG, berarti pasien tersebut

memiliki Diabetes Mellitus.

c. Kadar glukosa sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl

Tes glukosa plasma sewaktu dilakukan tanpa dikondisikan terlebih dahulu,

pemeriksaan dilakukan pada suatu waktu/hari tanpa melihat waktu terakhir

pasien makan. Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang mengalami gejala

yang mengarah pada Diabetes Mellitus seperti Poliuri, Polidipsi Polipagi,

kehilangan berat badan yang tidak dapat dijelaskan dan gejala lain termasuk

kelelahan, penglihatan kabur, rasa lapar yang meningkat dan luka yang tidak

kunjung sembuh, jika hasilnya kurang dari 100 mg/dL berarti bukan DM, jika

hasilnya 100- 199 mg/dL prediabetes, jika hasilnya 200 mg/dL atau lebih maka

pasien dapat dikatakan menderita diabetes, tetapi harus dilihat jika dalam 1x

pemeriksaan hasilnya ≥ 200 mg/dL tetapi tidak ada gejala 3P

22

(Poliuri,polidipsi,polipagi) belum dapat dikatakan DM, jika dalam 1x

pemeriksaan hasilnya ≥200 mg/dL dan ada gejala 3P bisa dikatakan orang

tersebut DM.

d. Kadar HbA1c ≥ 6,5%

HbA1c mencerminkan pengendalian metabolisme glukosa selama 3-4 bulan.

Pemeriksaan ini lebih menguntungkan secara klinis karena memberikan

informasi yang lebih jelas tentang keadaan pasien dan seberapa efektif terapi

diabetik yang diberikan. Normalnya HbA1c adalah kurang dari 5,7 %, Bila

HbA1c antara 5,7% - 6,5% dikatakan prediabetes, Bila HbA1c > 6,5 %

mengidentifikasikan DM yang tidak terkendali dalam 3 bulan terakhir.

7. Komplikasi

Black & Hawks (2014), membagi komplikasi DM menjadi 2 (dua) kelompok,

yaitu :

a. Komplikasi akut, terdiri atas :

1) Hiperglikemi dan ketoasidosis diabetikum

Kondisi ini disebabkan oleh tidak adanya insulin atau insulin yang tersedia

dalam darah tidak cukup untuk metabolisme kerbohidrat, keadaan ini

mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.

Ada tiga gejala klinis yang terlihat pada ketoasidosis, yaitu: dehidrasi,

kehilangan elektrolit dan asidosis.

23

2) Sindrom Hiperglekemik Hiperosmolar Nonketotik

Kondisi dimana pasien mengalami hiperosmolaritas dan hiperglikemia

disertai perubahan tingkat kesadara. Yang membedakan sindrom ini

dengan ketoasidosis ialah tidak terdapatnya gejala ketosis dan asidosis.

Gambaran klinis kondisi ini biasanya terdiri atas hipotensi, dehidrasi berat,

takikardi, dan tanda-tanda defisit neurologis yang bervariasi (perubahan

sensori, kejang dan hemiparesis).

3) Hipoglikemi

Terjadi jika kadar glukosa darah kurang dari 50-60 mg/dl, yang dapat

diakibatkan oleh pemberian insulin atau obat diabetes oral yang

berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktifitas

fisik yang berat.

b. Komplikasi kronis, terdiri atas:

1) Komplikasi Makrovaskuler

Menurut Smeltzer & Bare (2008), perubahan arterosklerotik dalam

pembuluh darah besar sering terjadi pada klien DM. Berbagai tipe penyakit

makrovaskuler dapat terjadi, tergantung pada lokasi terjadinya lesi

aterosklerotik.

a) Penyakit Arteri Koroner

Terjadinya aterosklerosis pembuluh darah yang menyebabkan

penyempitan pembuluh darah koroner, sehingga pembuluh darah

24

koroner tersebut mengalami spasme. Perubahan aterosklerotik dalam

pembuluh darah arteri koroner menyebabkan peningkatan insidens

infark miokard pada klien DM dua kali lebih sering pada laki-laki dan

tiga kali lebih sering pada wanita.

b) Penyakit Serebrovaskuler

Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah selebral atau

pembentukan embolus di tempat lain dalam sistem pembuluh darah

yang kemudian terdawa aliran darah sehingga terjepit dalam pembuluh

darah selebral dapat menimbulkan serangan iskemia sepintas dan

stroke. Klien DM berisiko dua kali lipat untuk terkena penyakit

serebrovaskuler. Beberapa penelitian menunjukan bahwa

kemungkinan terjadinya kematian akibat penyakit serebrovaskuler

lebih besar pada klien DM dibandingkan dengan klien bukan dengan

DM.

c) Penyakit vaskuler Perifer

Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar pada

ekstremitas bawah merupakan penyebab meningkatnya insidens dua

atau tiga kali lebih tinggi pada klien diabetes dibandingkan pada klien

nondiabetes. Tanda dan gejala penyakit vaskuler perifer mencakup

berkurangnya denyut nadi peerifer ( nyeri pada pantat atau betis ketika

berjalan). Bentuk penyakit oklusif arteri ynag parah pada ekstremitas

25

bawah merupakan penyebab utama meningkatnnya insidens ganggren

dan amputasi pada klien DM.

2) Komplikasi Mikrovaskular

Menurut Smeltzer & Bare (2008), komplikasi mikrovaskuler ditandai oleh

penebalan membran basalis pembuluh darah kapiler dan kerusakan saraf-

saraf perifer pada organ-organ yang mempunyai pembuluh darah kecil.

Ada beberapa organ dimana gangguan fungsi kapiler dapat berakibat serius

pada klien DM.

a) Retinopati diabetik

Retinopati diabetik adalah kerusakan pada saraf retina dimata,

disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil

pada retina mata. Tahap lanjut klien retinopati diabetik dapat

mengalami gangguan penglihatan hingga mengalami kebutaan.

b) Nefropati diabetik

Nefropati diabetik adalah kelainan atau kerusakan pada ginjal. Klien

DM beresiko 20% sampai 40% menderita penyakit renal dan ± 25%

dari klien DM dengan penyakit ginjal stadium terminal yang

memerlukan dialisis atau transpalatasi ginjal setiap tahunnya.

26

c) Neuropati diabetik

Neuropati diabetik adalah kerusakan pada saraf-saraf perifer

(sensorimotor) sehingga mengakibatkan baal / gaangguan sensori pada

organ tubuh. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan

tergantung pada lokasi sel saraf yang terkena. Prevelensi neuropati

diabetik meningkat bersamaan dengan bertambah usia klien dan

lamanya menderita DM.

8. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Lima pilar utama penatalaksanaan Diabetes Mellitus menurut PERKENI (2011)

diantaranya:

a. Edukasi

Edukasi adalah kegiatan untuk merubah perilaku pasien dengan cara

meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakitnya. Berhasilnya

pengobatan diabetes tergantung pada kerjasama antara tenaga kesehatan

dengan pasien diabetes dan keluarganya. Pasien diabetes yang memiliki

pengetahuan yang cukup tentang diabetes, kemudian selanjutnya mengubah

perilakunya, akan dapat mengendalikan kondisi penyakitnya sehingga ia dapat

hidup lebih berkualitas. (Basuki, 2015).

Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan tingkat lanjut.

Materi edukasi tingkat awal meliputi perjalanan penyakit DM, Perlunya

pengendalian DM, penyulit DM dan resikonya, terapi farmakologis dan

nonfarmakologis, interaksi makanan, aktivitas, dan obat-obatan, cara

27

pemantauan glukosa secara mandiri, pentingnya jasmani, perawatan kaki dan

cara mengatasi hipoglikemia. Sedangkan materi edukasi lanjut meliputi

mengenal dan mencegah penyulit akut DM, penatalaksanaan DM selama

menderita penyakit lain, makan diluar rumah, rencana untuk kegiatan khusus

dan hasil penelitian terkini dan teknologi mutakhir.

Penyedian bahan yang informatif dan menarik merupakan pendukung yang

sangat kuat dalam memberikan penyuluhan kesehatan, karena dengan cepat

dapat meningkatkan pengetahuan dan merangsang penyandand diabetes untuk

bertanya. Waktu penyuluhan juga menjadi lebih singkat. Penyuluhan bagi

masyarakat atau komunitas yang lebih luas dapat dilakukan melalui media

massa, sedangkan untuk komunitas lebih kecil misalnya di lingkup rumah

sakit, puskesmas dapat dibuat brosur atau liflet yang disediakan untuk keluarga

penyandang diabetes, masyarakat pengunjung fasilitas kesehatan dan

masyarakat pada umumnya (Basuki, 2015).

b. Perencanaan Makan

Perencanaan makan harus disesuaikan menurut masing-masing individu.

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang

dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi yang

baik sebagai berikut: Karbohidrat 60-70%, Protein 10-15%, Lemak 20-25%

(Waspadji, 2011).

Untuk menentukan kebutuhan pada pasien beberapa hal yang dapat dilakukan,

pertama yaitu penentuan status gizi berdasarkan rumus Broca (BB

28

idaman/BBI) dimana BBI dalam kg BB= (TBcm-100) – 10%. Kecuali untuk

laki-laki < 160 cm dan perempuan <150 cm tida dikurangi 10%, kedua

penentuan status gizi ditentukan dengan berat badan normal jika BB aktual

mendekati nilai 90-110 BBI, ketiga penentuan kebutuhan kalori perhari

kebutuhan basal adalah BB (kg) dikalikan dengan 30 kalori untuk laki-laki dan

25 kalori untuk wanita. Pada pasien diabetes perlu ditekankan pentingnya

keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis makanan dan jumlah

makanannya.

c. Latihan Jasmani

Pilar ini sangat dianjurkan, tetapi harus disesuaikan dengan kemampuan dan

kondisi penyakit lain pada pasien. Prinsip olahraga pada Diabetes Mellitus

sama saja dengan prinsip olahraga secara umum, yaitu memenuhi hal berikut

ini (F.I.T.T) :

1) Frekuensi :Frekuensi aktivitas fisik/olahraga yang dianjurkan pada pada

pasien DM adalah dilakukakan secara teratur 3-4 kali dalam 1 minggu.

2) Intensitas : Latihan olahraga yang dilakukan selang seling antara gerak

ringan dan sedang (60 % - 70% Maximum Heart Rate). Misalnya, jalan

cepat diselingi jalan lambat, jogging diselingi jalan. Dengan kegiatan yang

bergantian pasien dapat bernafas dengan lega tanpa menghentikan latihan

sama sekali.

29

3) Time (durasi) : Lama aktifitas fisik/olahraga yang baik 30 – 60 menit.

Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal

(220 – umur).

4) Tipe (jenis) :olahraga endurance (aerobic) unuk meningkatkan

kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang, dan

bersepeda. (Ilyas, 2009)

d. Terapi farmakologis

Penggunaan farmakologis dalam Diabetes Mellitus dapat berupa obat

hipoglikemik oral (OHO) jika untuk kondisi dimana obat oral tidak

memungkinkan lagi untuk digunakan makan penggunaan insulin dapat menadi

pilihan (Waspadji, 2011).

1) Obat Hipoglikemik Oral

a) Biguanid

Jenis obat ini seperti metformin. Metformin menurunkan glukosa

darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler.

Metformin tidak dapat menyebabkan hipoglikemia dan penambahan

berat badan. Kombinasi sulfoniluera dengan metformin merupakan

kombinasi yang rasional karena mempunyai cara kerja sinergis

sehingga dapat menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada

pengobatan tunggal masing-masing. Metformin diberikan 500 hingga

700mg/hari.

30

b) Glitazone (Tiazolidindion)

Golongan obat yang mempunyai efek farmakologis meningkatkan

sensetivitas insulin/dapat diberikan secara oral. Dapat diabsorbsi

dengan cepat dan mencapain konsentrasi tertinggi setelah 1-2 jam,

dosisnya 4 hungga 8 mg/hari.

c) Sulfonylurea

Merangsang fungsi sel beta pankreas dan meningkatkan produksi

insulin, dosisnya adalah glipizid 2,5 sampai 40mg/hari dan gliburid 2,5

hingga 25mg/hari (Price dan Wilson, 2008).

2) Terapi insulin

a) Insulin kerja singkat (Short Acting) insulin reguler merupakan satu-

satunya insulin jernih atau laritan insulin, sementara lainnya adalah

suspensi. Insulin reguler adalah satu-satunya produksi insulin yang

cocok untuk pemberian intravena. Insulin ini diberikan 30 menit

sebelum makan, waktu paruh 4 jam, kerja cepat diberikan 1-3 kali

sehari, dan efeknya dapat bertahan sampai 8 jam. contoh : reguler

insulin, actrapid.

b) Insulin kerja cepat (Rapid acting), cepat diabsorbsi, adalah insulin

analog seperti: Novorapid, Humalog dan Apidra

31

c) Insulin kerja sedang (Intermediate acting) Bentuknya terlihat keruh

karena berbentuk hablur-hablur kecil, dibuat dengan menambahkan

bahan yang dapat memperlama kerja obat dengan cara memperlambat

penyerapan insulin kedalam darah. Yang dipakai saat ini adalah Netral

Protamine Hegedorn (NPH), Monotard, Insulatard. Jenis ini awal

kerjanya adalah 1,5-2,5 jam. Puncaknya tercapai dalam 4-15 jam dan

efeknya dapat bertahan sampai dengan 24 jam.

d) Insulin kerja panjang (Long acting), merupakan campuran dari

insulindan protamine, diabsorbsi dengan lambat dari tempat

penyuntikan sehingga efeknya yang dirasakan cukup lama, yaitu

sekitar 24-36 jam. Preparat: Protamine Zinc Insulin (PZI), Ultratard.

e. Monitoring Gula Darah

Bagi pasien DM, memeriksakan gula darah secara rutin sudah menjadi

kewajiban agar tidak terjadi komplikasi lebih lanjut. Tujuan kontrol gula darah

ini adalah untuk mencapai kadar gula darah tetap stabil (Mangoenprasodjo,

2005). Kadar glukosa darah dapat diukur dari sampel berupa darah

biasa/plasma atau darah kapiler dengan menggunakan uji strip glukosa yang

menggunakan glukometer yang memungkinkan pasien melakukan

pemeriksaasn kadar glukosa darah sendiri di rumah, selain itu penting juga

untuk melakukan pemerikaan HBA1c setiap 3 bulan sekali (Soewondo, 2009).

32

B. Neuropati Diabetik

Akibat diabetes mellitus yang tidak terkendali bisa menyebabkan terjadinya

kelainan tungkai kaki bawah. Setiap tahun, lebih dari satu juta orang penderita

diabetes kehilangan salah satu kakinya sebagai komplikasi diabetes. Ini berarti

bahwa setiap 30 detik, satu tungkai bawah hilang karena diabetes. Dari semua

amputasi tungkai bawah, 40-70% berkaitan dengan diabetes (Monalisa, 2015).

Proses terjadinya kaki diabetes melibatkan tiga komplikasi utama yang melibatkan

neuropati sensorik dan otonom, penyakit vaskuler perifer dan penurunan daya

imunitas (Ernawati, 2013).

1. Definisi

Neuropati diabetik adalah istilah deskriptif yang menunjukan adanya

gangguan, baik klinis maupun subklinis, yanag terjadi pada Diabtes Mellitus

tanpa penyebab neuropati perifer yang lain. Gangguan neuropati ini termasuk

manisfestasi somatik dan atau otonom dari sistem perifer (Subekti, 2014)

Neuropati diabetes merupakan kerusakan pada saraf dalam tubuh yang terjadi

akibat kadar gula darah tinggi dari diabetes. Cedera saraf disebabkan oleh

aliran darah dan kadar gula darah ynag tinggi. Akan berkembang jika kadar

gula darah tidak terkontrol dengan baik (Topiwala, 2012).

33

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa neuropati

diabetes adalah suatu kondisi keruskan saraf perifer. Kondisi ini terjadi akibat

kadar gula darah yang tinggi pada Diabetes Mellitus.

2. Faktor risiko neuropati diabetik

a. Umur.

Proses penuaan merupakan proses fisiologis yang dihubungkan dengan

perubahan anatomi dan fisiologi semua sistem dalam tubuh. Umur yang

lanjut menyebabkan kelainan pada saraf tepi sehingga terjadi penurunan

aliran darah pada pembuluh darah yang menuju saraf tepi dan

berkurangnya secara progresif serabut saraf yang bermielin maupun tak

bermielin mengakibatkan terjadinya neuropati diabetik (Hinkle &

Cheever, 2014). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh (Faisal,

2015) yang dilakukan pada 83 pasien yang didiagnosa neuropati diabetik,

menunjukan angka kejadian neuropati terbanyak pada kelompok umur 45-

65 tahun yaitu sebanyak 60 kasus (72,3%).

b. Lamanya menderita diabetes.

Lamanya menderita diabetes menyebabkan risiko timbulnya komplikasi

seperti neuropati diabetik meningkat. Hal ini terjadi karena peningkatan

pembentukan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan endotel vaskular

dan menurunkan vasodilatasi pembuluh darah. Kondisi ini harus dicurigai

34

pada semua pasien DM Tipe 2 yang telah menderita DM lebih dari 10

tahun (Hinkle & Cheever, 2014).

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2015) yang

dilakukan pada 35 orang pasien diabetes tipe 2, didapatkan lama menderita

DM kurang dari 10 tahun dengan proporsi mengalami neuropati sensorik

sebesar 54,29 %.

Menurut Soewondo, et al (2010) menunjukkan bahwa lama menderita

diabetes melitus lebih dari lima tahun sampai kurang dari sepuluh tahun

mengalami neuropati sensorik sebanyak 67,17%.

c. Hipertensi.

Pada hipertensi esensial terjadi gangguan fungsi endotel disertai

peningkatan permeabilitas endotel. Disfungsi endotel ini akan menambah

tahanan perifer dan kompikasi vaskular serta penurunan kadar Nitric

Oxide. Selain itu hipertensi menyebabkan terjadinya stress oksidatif dalam

dinding arteri sehingga terjadi penurunan Nitric Oxide yang

mengakibatkan peningkatan adhesi leukosit dan peningkatan resistensi

perifer (Subekti, 2009). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh

(Priyantono,2005) pada 35 kasus polineuropati diabetik, 26 kasus (74,3%)

menderita hipertensi.

35

d. Dislipidemia.

Kelainan lipoprotein merupakan faktor utama dalam komplikasi diabetes

yang meliputi peningkatan Low Density Lipoprotein (LDL) dan penurunan

High Density Lipoprotein (HDL). Sebagian besar sel di dalam pembuluh

darah dapat mengoksidasi LDL, kolestrol LDL yang teroksidasi akan

merusak jalur metabolisme NO dan juga menghambat vasodilatasi serta

menstimulasi faktor pertumbuhan (growth factor) yang menyebakan

hiperproliferasi sel otot polos dan sel endotel pembuluh darah (Subekti,

2009).

e. Merokok

Merokok dihubungkan dengan terjadinya komplikasi DM termasuk

neuropati diabetik. Merokok dapat menyebabkan terjadinya mekanisme

interaksi trombosit dalam dinding pembuluh darah yang memicu

peningkatan kadar kolestrol LDL dan penurunan kolestrol HDL sehingga

terjadi stress oksidatif. Selain itu merokok dapat menyebabkan

vasokontriksi pembuluh darah melalui gangguan fungsi endotel dan

peningkatan karbonmonoksida yang mengakibatkan terjadinya spasme

arteri dan penurunan kapasitas oksigen darah (Hinkle & Cheever, 2014).

36

3. Klasifikasi Neuropati Perifer

a. Neuropati motorik

Gangguan muskuloskeletal yang ditimbulkan akibat neuropati motorik

berhubungan dengan faktor biomekanik kaki, keterbatasan gerak sendi dan

deformitas tulang (Frykberg, 2006). Gangguan yang berkaitan dengan

faktor biomekanik kaki menyebabkan perubahan pada gaya berjalan yang

lebih lanjut hal ini juga akan menimbulkan kerusakan struktural pada kaki

penderita DM. Keterbatasan gerak sendi yang menimbulkan kelemahan

otot bahkan atrofi, hal inilah yang memperberat perubahan gaya berjalan

penderita DM sehingga penserita DM dapat mengalami deformitas

(Andreassen, Jokobsen & Andersen, 2006). Deformitas yang terjadi secara

berulang dan terus menerus secara tidak langsung dapat merusak integritas

kulit dan mempercepat timbulnya ulkus kaki pada penderita DM

(Giacommozzi, 2008).

b. Neuropati Sensorik

Neoropati sensorik sering mengenai bagian distal serabut saraf, terutama

serabut saraf ekstremitas bawah dan dapat meluas ke arah proksimal.

Gejala yang muncul meliputi parestesia rasa tertusuk-tusuk, kesemutan,

atau peningakatan kepekaan dan rasa terbakar terutama malam hari. Jika

neuropati terus berlanjut maka akan menjadi matirasa/baal sehingga

berisiko untuk mengalami penurunan fungsi proprioseptif (kesadaran

terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat badan

37

yang berhubungan dengan tubuh) dapat menimbulkan gaya berjalan yang

terhuyung-huyung (Ernawati, 2013).

c. Neuropati autonom

Neuropati otonom sendiri baru menunjukan gejala pada ssat masuk

stadium lanjut, dimana terjadi gangguan pada berbagai organ. Dampak

umum yang ditimbulkan oleh adanya neuropati otonom adalah aliran darah

yang tidak lancar sehingga kulit (terutama kaki) tidak memperoleh nutrisi

dengan baik. Manisfestasi klinis yang muncul sebagai akibat dari neuropati

sensoris, motorik dan otonom tersebut adalah kulit yang kering dan pecah

pecah bahkan hingga menimbulkan callus. Kondisi kulit yang demikian

mempercepat timbulnya ulkus pada kaki (Frykberg, 2006).

4. Patofisiologi

Faktor metabolik

Pasien DM yang mengalami hiperglikemia dalam waktu yang lama akan

mengakibatkan aktivitas jalur poliol meningkat dimana glukosa akan diubah

menjadi sorbitol dengan bantuan enzim aldose reduktase. Sorbitol yang

dibentuk akan diubah menjadi fruktosa dengan bantuan enzim sorbitol

dehirogenase. Penumpukan sorbitol dan fruktosa dalam sel ssaraf akan

menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edema

saraf. Peningkatan sintesis sorbitol berakibat terhambatnya mioinositol masuk

kedalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan akumulasi sorbitol akan

38

menimbulkan stress osmotic yang akan merusak mitokondria dan akan

menstimulasi protein kinase C (PKC). Aktivitas PKC akan menekan fungsi

Na-K-ATP-asee, sehingga kadar Na intraseluler berlebihan, hal ini akan

berakibat pada terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf sehingga

transduksi sinyal pada saraf akan terganngu.

Hiperglikemia dalam jangka panjangpun akan mengakibatkan terbentuknya

advance glycosilation end products (AGEs). AGEs bersifat toksik dan

merusak tidak hanya saraf tapi juga semua protein tubuh. AGEs dan sorbitol

yang terbentuk mengakibatkan sintesis dan fungsi nitric oxide (NO) menurun,

sehingga vasodilatasi berkurang dan akhirnya aliran darah ke saraf juga

menurun (Ernawati, 2013).

Faktor vascular

Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal bebas oksidatif. Radikal

bebas ini mengakibatkan kerusakan endotel vaskuler dan menetralisir NO yang

berefek menghalangi vasodilatasi mikrovaskuler (Ernawati, 2013).

5. Diagnosis

Ada beberapa kriteria untuk menentukan adanya komplikasi neuropati

diabetik, salah satunya dengan konsensus San Antonio (Meijer, et al., 2003).

Pada konsensus tersebut telah direkomendasikan bahwa paling sedikit satu dari

lima pemeriksaan dibawah ini dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis

neuropati diabetik yaitu: Symptom Scoring, Pysical examination scoring,

39

Quantitative Sensory Testing (QST), Cardiovascular automatic Function

Testing (CaFT dan Electro Diagnosis Studies (EDS).

Dari pemeriksaan di atas, pemeriksaan Symptom scoring dan Physical

examination scoring yang telah terbukti memiliki sesitivitas dan spesifitas

tinggi untuk mendiagnosa neuropati diabetik atau polineuropati sensorik

perifer yaitu dengan menggunakan skor Diabetic Neuropathy Examination

(DNE) dan Diabetic Neuropathy Symptom (DNS).

a. Diabetic Neuropathy Examination (DNE)

Alat ini mempunyai sensitivitas yang tinggi yaitu 96% dan spesifisitas

51% (Jayaprakash et al, 2011).Skor DNE dipakai untuk mendiagnosis

polineuropati perifer pada penderita DM.

Pemeriksaan dan skor DNE dapat dilihat pada tabel berikut:

DNE Scoring.

1. Kekuatan otot.

a. Quadriceps femoris (ekstensi sendi lutut)

b. Tibialis anterior (dorsofleksi kaki)

2. Refleks : Pemeriksaan pada triceps surae (tendon achiles).

3. Sensasi jari telunjuk yaitu dengan pemeriksaan sensitivitas pada

tusukan jarum (pinprick sensation).

40

4. Sensasi ibu jari kaki yaitu dengan pemeriksaan sesitivitas pada

tusukan jarum, sensitivitas terhadap sentuhan, persepsi getar dan

sensitivitas pada posisi sendi.

Skor 0-2:

0 = normal

1 = defisit ringan atau sedang, kekuatan otot skala medical research

council 3-4, refleks kurang, sensasi kurang.

2 = defisit berat/sangat terganggu, kekuatan otot : skala medical research

council 0-2, refleks tidak ada, sensasi tidak ada.

Skor maksimum: 16 poin.

Skor > 3 dianggap signifikan untuk terjadinya neuropati.

Tabel 2.1 Scoring DNE (Jayapraksah, 2011)

b. Diabetic NeuropathySymptom (DNS)

DNS merupakan salah satu pemeriksaan untuk menilai polineuropati

perifer yang terdiri dari beberapa pertanyaan untuk menilai gejala pada

penderita DM yang meliputi gejala jalan yang tidak stabil, nyeri neuropati,

paratesia atau rasa tebal.

Pemeriksaan dan skor DNS dapat dilihat pada tabel berikut:

41

DNS Scoring

1. Apakah anda mengalami ketidakstabilan saat bejalan?

2. Apakah anda mengalami rasa nyeri dan rasa terbakar di kaki pada saat

istirahat dan malam hari, bukan pada waktu berolahraga?

3. Apakah anda merasakan kaki atau jari kaki anda seperti ditusuk-tusuk

pada waktu istirahat dan malam hari?

4. Apakah kaki atau jari anda mati rasa ?

Pertanyaan dijawab ya (positif = 1 poin) jika gejala terjadi selama 2

minggu terakhir, jika dijawab tidak (negatif = 0 poin).

Skor maksimum 4 poin.

0 poin = Polineuropati perifer tidak terjadi

1-4 poin = Polineuropati perifer terjadi

Tabel 2.2 Scoring DNS (Jayaprakash 2011)

Pemeriksaan Symptom scoring lainnya yang dapat dipergunakan antara lain

Michigan Neuropathy Screnning Instrument, Neuropathy Symptom Profile,

Neuropathy Symptom Score dan The UT Abbreviated Neuropathy Questioner

(Lavery, et al., 2004).

5. Penatalaksanaan

Subekti (2014) mengemukakan strategi pengelolaan pasien DM dengan

keluhan neuropati diabetik dibagi dalam tiga bagian yaitu strategi pertama

adalah mendiagnosa neuropati diabetik sedini mungkin, diikuti strategi kedua

dengan pengendalian glukosa darah dan perawatan kaki sebaik-baiknya dan

42

strategi ketiga ditujukan pada pengendalian keluhan neuropati/nyeri neuropati

dengan terapi medikamentosa.

a. Perawatan Kaki.

Perawatan kaki yang bersifat preventif dengan cara :

1) Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih

2) Membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan menggunakan air

suam-suam kuku dengan memakai sabun dan mengeringkan secara

sempurna terurtama diantara jari-jari kaki.

3) Memakai kream kaki yang baik pada kulit dan tumit yang retak-retak,

agar kulit tetap mulus dan jangan menggosok antara sela-sela jari kaki.

4) Tidak memakai cream akan membuat kulit menjadi keering dan retak.

5) Kuku sebaiknya jagan digunting tapi dikikir. Rasa nyeri pada kaki

dapat berkurang, sehingga bila kulit sekitar kuku terluka tidak akan

terasa. Jangan kikir kuku terlalu pendek, atau terlalu dalam pada tepi

kanan kirinya. Bila penglihatan kurang terang mintalah orang lain

untuk merawat kaki, jangan lupa informasikan bahwa pasien

penyandang DM, dan oleh karena itu rasa sakit dikaki berkurang.

6) Memeriksa kaki dan celah kaki setiap hari apakah terdapat kalus, bula,

luka atau lecet.

7) Menghindari penggunaan air panas atau bantal panas.

43

Penggunan alas kaki tepat, dengan cara:

1) Jangan berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir.

2) Memakai sepatu yang sesuai atau sepatu yang nyaman untuk kaki dan

dipakai.

3) Sebelum memakai sepatu, memeriksa sepatu terlebih dahulu, jika ada

batu atau lain-lain, karena dapat menyebabkana iritasi dan luka

terhadap kulit.

4) Sepatu harus terbuat dari kulit, kuat pas (cukup ruang untuk ibu jari

kaki dan tidak boleh dipakai tanpa kaos kaki).

5) Sepatu baru harus dipakai secara berangsur-angsur dan hati-hati.

6) Pakailah kaos kaki bila dingin dan ganti setiap hari.

7) Kaos kaki terbuat dari bahan wol atau katun, jangan memakai dari

bahan sintetis karena akan menyebabkan kaki berkeringat (Hinkle &

Cheever, 2014).

b. Terapi Medikamentosa

Sedangkan pengelolaan neuropati diabetik dengan nyeri, yang dianjurkan

adalah:

1) NSAID (ibuprofen 600mg 4x/hari, sulindac 200mg 2x/hari).

2) Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150mg malam hari, imipramin

100smg/hari, nortriptilin 50-150mg malam hari, paroxetine

40mg/hari).

44

3) Antikonvulsan (gabapentin 900mg 3x/hari, karbamazepin 200mg

4x/hari).

4) Antiaritmia (mexilletin 150-450mg/hari).

5) Topikal: capsaicin 0,075% 4x/hari, fluphenazine 1 mg 3x/hari,

stranscutaneous electrical nerve stimulation (Subekti, 2014).

C. Ankle Brachial Index

1. Definisi

Ankle Brachial Pressure Index (ABI) yaitu test non invasive yang bertujuan

untuk mengukur rasio tekanan arah sistolik kaki (ankle) dengan tekanan darah

sistolik lengan (brachial). Tekanan darah sistolik diukur dengan menggunakan

alat yang disebut simple hand held vascular doppler ultrasound probe dan

tensimeter (manometer mercuri atau aneroid). Direkomendasikan

menggunakan probe dengan frekuensi 8 MHz untuk ukuran llingkar kaki

normal dan 5 MHz untuk lingkar kaki obesitas atau edema (Ruff, 2003).

Ankle Brachial Index menurut Black & Hawks (2014) adalah parameter yang

umumnya digunakan untuk evaluasi menyeluruh status ekstremitas. Test

noninvasive yang cukup sederhana dengan mengatur rasio tekanan darah

sistolik kaki (ankle) dengan tekanan darah sistolik lengan (Brachial).

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Ankle Brachial

Index adalah pemeriksaan noninvasive yang cukup sederhana dengan

45

mengukur rasio tekanan darah sistolik kaki (ankle) dengan tekanan darah

sistolik lengan (Brachial). Diukur dengan menggunakan alat yang disebut

simple hand held vascular doppler ultrasound probe dan tensimeter

(manometer mercuri atau aneroid). menggunakan tensimeter dan doppler.

2. Tujuan

Untuk mengetahui derajat komplikasi vaskuler perifer ke arah tungkai pada

penderita diabetes perlu dinilai keadekuatan sirkulasinya. Sirkulasi perifer area

tungkai yang buruk merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya ulkus kaki

pada penderita diabetes, selain faktor neuropati dan infeksi. Pemeriksaan ABI

bertujuan untuk menilai fungsi sirkulasi pada arteri kaki (Ruff, 2003).

3. Prosedur

Williams & Wilkins (2012) menjelaskan prosedur pengukuran ankle brachial

pressure index adalah sebagai berikut:

a. Perkenalan dan persetujuan

1) Perkenalkan diri anda pada pasien dan pastikan identitasnya

2) Jelaskan tujuan dilakukannya prosedur.

b. Posisi pasien

1) Posisikan pasien pada posisi terlentang, kedua lengan dipaparkan, dan

posisi kaki sama tinggi dengan posisi jantung.

2) Pastikan bahwa pasien merasa nyaman, dan biarkan pasien beristirahat

selama 5-10 menit.

46

c. Prosedur Penatalaksanaan.

1) Cuci tangan

2) Pilih ukuran manset tekanan darah yang sesuai dan tempatkan satu inci

pada lengan pasien.

3) Palpasi arteri brachialis dan oleskan gel ultrasound pada tempat

tersebut.

4) Dengan menggunakan probe Doppler (arahkan pada sudut sekitar 45°)

pada denyutan arteri brachialis dan kembangkan manset hingga

denyutan tersebut menghilang.

5) Kempeskan manset perlahan (pada kecepatan 2-3 mmHg per detik)

sampai denyutan muncul kembali dan catat “tekanan brachial” ini.

6) Bersihkan gel ultrasound dari lengan pasien dan ulangi prosedur yang

sama pada lengan yang satu lagi.

7) Gunakan nilai yang lebih tinggi dari kedua hasil pemeriksaan tekanan

sistolik brachial dan jadikan sebagai penyebut untuk menghitung

ABPI.

8) Pilih ukuran manset yang sesuai dan tempatkan di sekitar betis di atas

maleolus, pastikan bahwa setiap ulkus yang ada di daerah ini sudah

ditutup sebelumnya.

9) Palpasi denyut arteri dorsalis pedis (di antara tulang metatarsal satu

dan dua) dan oleskan gel ultrasound di tempat ketika arteri terpalpasi,

gunakan probe doppler untuk temukan denyutan arteri yang optimal.

47

10) Catat tekanan arteri dorsalis pedis seperti ketika mencatat tekanan

brachialis.

11) Palpasi arteri posterior tibialis dan oleskan gel ultrasound di tempat

ditemukannya arteri.

12) Menggunakan probe doppler, temukan denyutan arteri yang optimal,

ukur dan catat tekanan posterior tibialis.

13) Bersihkan gel ultrasound dari tungkai pasien ulangi prosedur yang

sama pada tungkai bawah yang satu lagi untuk mendapatkan tekanan

arteri dorsalis pedis dan posterior tibialis.

14) Gunakan nilai tekanan sistolik lebih tinggi dari kedua arteri dan jadikan

sebagai pembilang untuk menghitung ABPI pada setiap pergelangan

kaki.

15) Bersihkan gel ultrasound yang tersisa pada kulit pasien.

16) Bersihkan gel dari probe.

17) Cuci tangan.

d. Akhir prosedur

Hitung ABPI dengan membagi hasil tekanan sistolik tertinggi ankle

dengan tekanan sistolik tertinggi brachialis (Gitarja, 2008).

Perhitungan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :

𝐴BI =Tekanan sistolik tertinggi 𝑎𝑛𝑘𝑙𝑒

Tekanan sistolik tertinggi 𝑏𝑟𝑎𝑐ℎ𝑖𝑎𝑙

48

4. Interpretasi Hasil

Nilai dari ABI yang didapatkan dari hasil pengukuran diinterpretasikan dan

dikelompokan sebagaiberikut (Beldon, 2010) :

1) Normal : 0,91 – 1,30

2) Obstruksi Ringan : 0,71 – 0,90

3) Obstruksi Sedang : 0,41 – 0,70

4) Obstruksi berat : 0,00 – 0,40

Gambar 2.1 Pengukuran ABI menurut Grenon et al (2014)

49

D. Penelitian Terkait

Penelitian Lestari (2015) yang dilakukan di RSUD Salatiga terhadao 35 responden

dengan Diabetes Mellitus tipe 2, menunjukkan lama menderita diabetes melitus kurang

dari sepuluh tahun sebanyak 19 responden (54,29%) dengan proporsi terbanyak

mengalami neuropati sensorik sedang sebanyak 18 responden (51,42%) sedangkan

neuropati sensorik berat sebanyak 1 responden ( 2,86%). Lama menderita diabetes

melitus lebih dari sepuluh tahun sebanyak 16 responden (45,71%) dengan proporsi

terbanyak mengalami neuropati sensorik berat sebanyak 13 responden (37,14%)

sedangkan neuropati sensorik sedang sebanyak 3 responden (8,56%). Maka dari hasil

penelitian di atas menujukkan bahwa lama menderita diabetes melitus kurang dari

sepuluh tahun dengan proporsi terbanyak mengalami neuropati sensorik sedang sebesar

51,42%.

Penelitian di atas hasilnya tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

Soewondo, P., Soegondo, S., Suastika, M., Pranoto, A., Soetmadji, W.D.,

Tjokropawiro, S., (2010) dalam The DiabCare Asia 2008 study-Outcome on control

and complications of type 2 diabetic patient in Indonesia menunjukkan bahwa lama

menderita diabetes melitus lebih dari lima tahun sampai kurang dari sepuluh tahun

mengalami neuropati sensorik sebanyak 67,17%.

Penelitian lain dilakukan oleh Abduh (2014) di RSUD KS. Langgur Kabupaten Maluku

Tenggara “ Hubungan skala ankle brachial index dengan DNE dan DNS dalam

memprediksi kejadian neuropati sensorik pasien DM Tipe 2.” Penelitian dilakukan

50

pada 30 pasien Diabetes Mellitus tipe 2. Pada nilai ABPI diperoleh lebih dari setengah

responden yaitu 16 orang (53,3%) memiliki nilai ABPI berisiko. Berdasarkan nilai

DNE menunjukan lebih dari setengah responden yaitu sebanyak 18 orang (60,0%)

mengalami neuropati dan pada nilai DNS diperoleh sebagian besar responden yaitu

sebanyak 26 orang (86,7%) mengalami neuropati. Maka dari hasil penelitian di atas

menunjukan terdapat hubungan yang bermakna antara skala ABI, DNE, DNS dengan

nilai kolerasi negatif antara kedua variable. ABI dan DNE (p = 0,000 , r = -0,634), ABI

dan DNS (p = 0,008 , r = -0,472). Semakin rendah skala ABI, semakin tinggi terjadinya

neuropati. Semakin rendah skala ABPI, semakin tinggi terjadinya sneuropati. Oleh

karena itu, diharapkan perlu adanya perhatian dari berbagai pihak yaitu dokter, perawat

dan pasien untuk melakukan pemeriksaan neuropati secara berkala untuk mencegah

terjadinya komplikasi yang lebih lanjut.

51

E. Kerangka Teori

Bagan 2.1

Kerangka Teori Penelitian “Hubungan Lamanya menyandang Diabetes Melittus

Tipe 2 dan nilai Ankle Brachial Index (ABI) dengan kejadian neuropati perifer”

Sumber : Hinkle & Cheever (2014), Black & Hawks (2014), (Subekti, 2009), (Abduh, 2014)

Komplikasi

A. Akut

1. Hiperglikemi dan

Ketoasidosis diabetikum

2. Sindrom Hiperglikemik

Hiperosmolar Non Ketotik

3. Hipoglikemi

B. Kronis

1. Makrovaskuler

a. Penyakit arteri koroner

b. Penyakit

serebrovaskuler

c. Penyakit Vaskuler

perifer

2. Mikrovaskuler

a. Retinopati diabetik

b. Nefropati diabetik

c. Neuropati perifer

Faktor Resiko

Neuropati sensorik

1. Umur

2. Lamanya

Menyandang DM

3. Hipertensi

4. Dislipidemia

5. Merokok

Sumber : Hinkle & Cheever

(2014), Subekti ((2009)

Faktor resiko DM tipe 2

1. Riwayat Keluarga

2. Usia

3. Obesitas

4. Hipertensi

5. Kolesterol tinggi

Nilai Ankle

Brachia Index

sumber : Abduh

(2014)

DM Tipe 2