35
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini diuraikan tinjauan pustaka, meliputi : 1) definisi diabetes mellitus, 2) pengelolaan diabetes mandiri, 3) hipoglikemia, 4) kerangka teori, 5) kerangka konsep. 2.1. Diabetes mellitus 2.1.1 Definisi Diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen ditandai dengan hiperglikemia atau kenaikan kadar glukosa dalam darah (Smeltzer & Bare, 2010). Diabetes mellitus adalah hiperglikemia kronis disebabkan factor lingkungan dan keturunan secara bersamaan, ciri khas hiperglikemia kronis yang tidak dapat disembuhkan tapi dapat dikontrol (WHO, 2014). 2.1.2 Etiologi Menurut national institute of diabetes and digestive and kidney diseases (NIDDK, 2017) penyebab dari diabetes mellitus adalah : a. DM tipe 1 Diabetes tipe 1 terjadi karena system kekebalan tubuh melawan infeksi, menyerang dan menghancurkan sel beta pangkreas yang memproduksi insulin. Ilmuan berpendapat bahwa diabetes tipe 1 penyebabnya oleh gen dan factor lingkungan, seperti virus yang dapat memicu penyakit. b. DM tipe 2 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes mellitus 2.1.1 Definisi

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan tinjauan pustaka, meliputi : 1) definisi diabetes

mellitus, 2) pengelolaan diabetes mandiri, 3) hipoglikemia, 4) kerangka teori, 5)

kerangka konsep.

2.1. Diabetes mellitus

2.1.1 Definisi

Diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen ditandai dengan

hiperglikemia atau kenaikan kadar glukosa dalam darah (Smeltzer & Bare,

2010). Diabetes mellitus adalah hiperglikemia kronis disebabkan factor

lingkungan dan keturunan secara bersamaan, ciri khas hiperglikemia kronis

yang tidak dapat disembuhkan tapi dapat dikontrol (WHO, 2014).

2.1.2 Etiologi

Menurut national institute of diabetes and digestive and kidney diseases

(NIDDK, 2017) penyebab dari diabetes mellitus adalah :

a. DM tipe 1

Diabetes tipe 1 terjadi karena system kekebalan tubuh melawan infeksi,

menyerang dan menghancurkan sel beta pangkreas yang memproduksi

insulin. Ilmuan berpendapat bahwa diabetes tipe 1 penyebabnya oleh gen

dan factor lingkungan, seperti virus yang dapat memicu penyakit.

b. DM tipe 2

8

9

Diabetes tipe 2 penyebab paling umum oleh beberapa factor, termasuk

factor gaya hidup dan gen.

1) Kelebihan berat badan dan ketidakaktifan fisik

Berat badan yang berlebihan menyebabkan resistensi insulin dan

biasa terjadi pada pasien DM tipe 2. Untuk melihat apakah berat

badan ideal dengan melihat grafik body mass index (BMI). Lemak

pada perut dan pada tubuh dapat menyebabkan resistensi insulin

dapat menyebabkan penyakit jantung dan pembuluh darah.

2) Resistensi insulin

Kondisi awal pada pennyakit DM tipe 2 yaitu resistensi insulin.

Resistensi insulin merupakan keadaan sel otot, hati dan lemak tidak

menggunakan insulin dengan baik. Akibatnya tubuh membutuhkan

lebih insulin untuk membantu glukosa masuk kedalam sel.

Pangkreas akan memproduksi insulin berlebih untuk memenuhi

target tubuh. Seiring waktu ternyata pangkreas tidak dapat membuat

insulin cukup dan pada akhirnya kadar glukosa darah meningkst.

3) Gen dan riwayat keluarga

Seperti yang terjadi oleh diabetes tipe 1, gen tertentu mudah terkena

diabetes tipe 2. Penyakit ini cenderung berjalan dalam keluarga dan

sering terjadi dalam kelompok ras seperti keturunan afrika,

penduduk asli Alaska, orang indian amerika, orang Amerika asia,

orang hispanik/latin, orang asli hawai dan kepulauan pasifik. Gen

juga dapat meningkat resiko diabetes tipe 2 dengan meningkatkan

10

kecenderungan seseorang menjadi kelebihan berat badan atau

obesitas.

2.1.3 Klasifikasi

Klasifikasi pada diabetes mellitus dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Tipe 1

Diabetes tipe 1 ciri ciri terjadi diusia <30 tahun terjadi pada 5%-10%

dari penderita diabetes, biasanya pasien akan bertubuh kurus pada

saat didiagnosis dengan penurunan berat badan yang baru saja

terjadi, etiologi dari factor genetic, imunollogi atau lingkungan

misalnya virus, sering mendapatkan antibody terhadap insulin

sekalipun belum pernah mendapatkan terapi insulin, memerlukan

insulin untuk kelangsungan hidup, dan mengalami komplikasi akut

seperti hiperglikemia ketoasidosis diabetic dan hpoglikemia.

b. Tipe 2

Diabetes tipe 2 terjadi pada 90%-95% dari seluruh penyandang

diabetes. Memliliki ciri ciri seperti bisa terjadi disegala umur dengan

rentangan umur diatas 30 tahun, pada saat didiagnosis dan seringnya

bertubuh gemuk (obesitas), penurunan berat badan dilakukan

penderita agar dapat mengendalikan kadar glukosa darah, bila

dilakukan diet dan latihan tidak berhasil maka obat hipoglikemia

oral dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan terjadi komplikasi

akut sindrom hiperosmoler nonmatik.

c. Diabetes yang berkaitan dengan keadaan atau sindrom lain

11

Disertai keadaan yang menyebabkan penyakit pangkreatitis,

kelaonan hormonal, obat obatan seperti glukokortiroid, bergantung

pada kemampuan pangkreas untuk menghasilkan insulin, dan pasien

dapat menggunakan terapi insulin ataupun obat oral.

d. Diabetes gestasional

Disebabkan oleh perubahan hormonal kehamilan seiring dengan

factor genetic dan gaya hidup terjadi pada trimester kedua ataupun

ketiga, disebabkan juga karena hormone yang disekresikan plasenta

dan menghambat kerja insulin. Diabetes gestasional menyebabkan

resiko terjadinya komplikasi perinatal di atas normal seperto

makroskomia (bayi berukuran besar). Diabetes gestasional dapat

diatasi dengan diet dan terapi insulin jika diperlukan untuk

mempertahankan kadar glukosa darah. Pemeriksaan tes toleransi

glukosa harus dilakukan pada semua wanita hamil dengan usia

kehamilan antara 24 hingga 28 minggu ((NIDDK), 2017).

2.1.4. Patofisiologi DM tipe 1

Insulin memegang peranan penting dalam cadangan energy sel.

pada keadaan normal insulin disekresikan sebagai respon terhadap

adanya makanan yang diatur oleh suatu mekanisme kompleks yang

melibatkan sistim neural, hormonal, dan substrat. Hal ini

memungkinkan pengaturan disposisi energy yang berasal dari

makanan menjadi energy yang langsung dipakai atau disimpan.

12

Pada DM tipe 1, makin menurunnya insulin pasca makan akan

mempercepat proses katabolisme. Insulinopenia menyebabkan

pengguna glukosa oleh otot dan lemak berkurang mengakibatkan

hiperglikemi posprandial. Bila insulin makin menurun, berusaha

memproduksi lebih banyak glukosa melalui glikogenolisis dan

gluconeogenesis. Akan tetapi karena glukosa dalam darah tidak dapat

masuk ke dalam sel maka hepar akan berusaha lebih keras lagi,

sebagai akibatnya timbullah hiperglikemia puasa. Menimbulkan

diuresis osmotic disertai glukosuria bila ambang ginjal sudah

terlampaui (180 mg/dL). Akibatnya tubuh kehilangan kalori, elektrolit

dan cairan, terjadi dehidrasi, yang selanjutnya menimbulkan stress

fisiologis dengan hipersekrsi hormone stress (epinefrin, kortisol,

glucagon dan hormone pertumbuhan). Meningkatnya kadar hormone

stress dan makin menurunnya kadar insulin menyebabkan

peningkatan glikogenolisis, gluconeogenesis, lipolysis dan

ketogenesis, ketoasidosis diabetic (KAD) (Aman, et.al, 2019).

2.1.5 Kriteria Diagnostic

Menurut IDF (2015) kriteria diagnostic DM tipe 1 adalah :

Glukosa plasma puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah

plasma <126 mg/dL (7mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk

DM tipe 1 sehingga perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa

darah. Diagnosis DM tipe 1 dapat ditegakkan apabila memenuhi salah

satu kriteria sebagai berikut:

13

1. Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidipsia, nokturia, enuresis,

penurunan berat badan, polifagia, dan kadar glukosa plasma

sewaktu 200 mg/ dL (11.1 mmol/L).

2. Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7 mmol/L).

3. Kadar glukasa plasma 200 mg/ dL (11.1 mmol/L) pada jam ke-2

TTGO (Tes Tolerasansi Glukosa Oral).

4. HbA1c >6.5% (dengan standar NGSP dan DCCT) Pada penderita

yang asimtomatis dengan peningkatan kadar glukosa plasma

sewaktu (>200 mg/dL) harus dikonfirmasi dengan kadar glukosa

plasma puasa atau dengan tes toleransi glukosa oral yang

terganggu. Diagnosis tidak ditegakkan berdasarkan satu kali

pemeriksaan.

Penilaian glukosa plasma puasa :

1. Normal : < 100 mg/dL (5.6 mmol/L)

2. Gangguan glukosa plasma puasa (Impaired fasting glucose =

IFG): 100–125 mg/dL (5.6–6.9 mmol/L)

3. Diabetes : 126 mg/dL (7.0 mmol/L)

Penilaian tes toleransi glukosa oral :

1. Normal : <140 mg/dL (7,8 mmol/L)

2. Gangguan glukosa toleransi (Impaired glucose tolerance

=IGT) : 140–200 mg/dL (7.8– <11.1 mmol/L)

3. Diabetes : 200 mg/dL (11.1 mmol/L)

2.1.6 Komplikasi Diabetes Melitus Tipe 1

14

Komplikasi DM Tipe-1 mencakup komplikasi akut dan

kronik. Pada anak, komplikasi kronik jarang menimbulkan

manifestasi klinis signifikan saat masih dalam pengawasan dokter

anak. Sebaliknya, anak berisiko mengalami komplikasi akut setiap

hari (Pulungan et.al, 2019).

2.1.6.1 Komplikasi Akut

Komplikasi akut terdiri atas hipoglikemia dan KAD (Keto

Acidosis Diabetic), Studi SEARCH menemukan bahwa sekitar

30% anak dengan DM tipe-1 terdiagnosis saat KAD.

Terapi hipoglikemia diinisiasi saat kadar glukosa darah

≤70 mg/dL. Anak usia muda memiliki risiko tinggi hipoglikemia

karena tidak mampu mengomunikasikan keluhan. Gejala

hipoglikemia diakibatkan oleh aktivasi adrenergik (berdebar,

gemetar, keringat dingin) dan neuroglikopenia (nyeri kepala,

mengantuk, sulit konsentrasi). Pada anak usia muda, gejala dapat

berupa perubahan perilaku seperti iritabilitas, agitasi, tantrum,

atau kurang aktif.

Kedua, Kriteria KAD mencakup hiperglikemia, asidosis,

dan ketonemia. Gejala KAD antara lain adalah dehidrasi,

takikardi, takipnea dan sesak, napas berbau aseton, mual,

muntah, nyeri perut, pandangan kabur, dan penurunan

kesadaran. Seringkali gejala-gejala ini disalah artikan oleh

orangtua maupun tenaga kesehatan sebagai usus buntu, infeksi,

15

atau penyakit lainnya. Kelalaian ini dapat menyebabkan

kematian.

2.1.6.2 Komplikasi Kronis

Selain pemantauan komplikasi akut, perlu juga dilakukan

skrining komplikasi kronik yang dapat dibedakan menjadi

komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Komplikasi

mikrovaskular mencakup nefropati, retinopati, dan neuropati.

Komplikasi yang mengenai pembuluh darah besar adalah

penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular, dan

penyakit pembuluh darah perifer (klaudikasio, infeksi/ gangrene,

amputasi (Aman, Pulungan, 2019). Rekomendasi skrining

tertera pada Tabel dibawah ini.

Table 2.1.

Rekomendasi skrining komplikasi vaskular pada anak dengan DM tipe-1

(ISPAD 2018).

Usia mulai

skringing

Metode skrining Factor risiko

Nefropati 11 tahun Durasi

diabetes 2-5

tahun

Rasio

albumin/kreatinin urin

Hiperglikemia, tekanan

darah tinggi,

dislipidemia, merokok

Retinopati 11 tahun Durasi

diabetes 2-5

tahun

Foto fundus atau

oftalmoskop dengan

midriatikum

Hiperglikemia, tekanan

darah tinggi,

dislipidemia, IMT

tinggi

Neuropati 11 tahun Durasi

diabetes 2-5

tahun

Anamnesis,

pemeriksaan fisis,

pemeriksaan

laboratorium

Hiperglikemia, tekanan

darah tinggi, usia,

durasi diabetes, genetik

Penyakit

makrovaskular

11 tahun Durasi

diabetes 2-5

tahun

Profil lipid setiap 2

tahun, tekanan darah

setiap tahun

Hiperglikemia, tekanan

darah tinggi,

dislipidemia, IMT

tinggi, merokok

16

Retinopati merupakan komplikasi yang sering didapatkan,

lebih sering dijumpai pada pasien DM tipe 1 yang telah

menderita lebih dari 8 tahun. Faktor risiko timbulnya retinopati

antara lain kadar gula yang tidak terkontrol dan lamanya

menderita diabetes. Nefropati diperkirakan dapat terjadi pada

25%-45% pasien DM tipe 1 dan sekitar 20%-30 akan mengalami

mikroalbuminuria subklinis.

Komplikasi makrovaskular lebih jarang didapatkan pada

anak dan remaja. Komplikasi tersebut dapat terjadi akibat

kontrol metabolik yang tidak baik (Himawan, 2009).

2.1.7 Faktor Risiko Diabetes mellitus tipe 1

Faktor Risiko terjadinya Diabetes Mellitus Tipe I terdiri dari

faktor tetap yaitu terdiri dari usia, jenis kelamin, riwayat diabetes

gestasional, faktor genetik, penyakit autoimun dan ras.

Sedangkan untuk faktor perilaku meliputi kebiasaan

mengonsumsi obat. Faktor sosial ekonomi terdiri dari status

pekerjaan dan status pendidikan. Faktor intermedietnya meliputi

IMT dan kondisi psikologis. Faktor lingkungan terdiri dari virus

dan cuaca dingin (Faida & Santik, 2020).

Anak dengan diabetes berisiko terganggu proses

pertumbuhannya. Gangguan pertumbuhan ini dapat terjadi akibat

proses penyakit maupun komplikasinya. Kontrol metabolik yang

17

buruk dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan (berat dan

tinggi badan tidak naik secara adekuat), hepatomegali, nyeri perut,

peningkatan transaminase hepar dan perkembangan pubertas yang

terlambat (sindrom Mauriac) (IDF, 2017).

Pola makan yang tidak sehat merupakan bagian dari gaya

hidup yang menjadi faktor predisposisi terjadinya diabetes melitus.

Pola makan yang kurang baik dapat menimbulkan kegemukan yang

dapat mengarah kepada obesitas sehingga mempredisposisi

seseorang terhadap diabetes karena diperlukan insulin dalam jumlah

lebih besar untuk pengaturan metabolisme pada orang kegemukan

dibandingkan dengan orang normal (Hariawan, 2019).

2.2. Pengelolaan Diabetes Mandiri

kontrol metabolik yang baik adalah mengusahakan kadar glukosa darah

berada dalam batas normal atau mendekati nilai normal, tanpa menyebabkan

hipoglikemia. Walaupun masih dianggap ada kelemahan, parameter HbA1c

merupakan parameter kontrol metabolik standar pada DM. Nilai HbA1c < 7%

berarti kontrol metabolik baik; HbA1c < 8% cukup dan HbA1c > 8%

dianggap buruk. Kriteria ini pada anak perlu disesuaikan dengan usia karena

semakin rendah HbA1c semakin tinggi risiko terjadinya hipoglikemia.

Sasaran dan tujuan pengobatan pada DM tipe-1 perlu dijelaskan oleh

tim pelaksana dan dimengerti oleh penderita maupun keluarga

Sasaran dan Tujuan Khusus Pengelolaan DM tipe-1 Pada Anak

18

1. Sasaran

a. Bebas dari gejala penyakit

b. Dapat menikmati kehidupan

c. Kontrol metabolik yang baik

2. Tujuan khusus

a. Tumbuh kembang optimal

b. Perkembangan emosional normal sosial

c. Terhindar dari komplikasi tanpa menimbulkan hipoglikemia.

d. Absensi sekolah rendah dan aktif berpartisipasi dalam kegiatan sekolah

e. Pasien tidak memanipulasi penyakit

f. Pada saatnya mampu mandiri mengelola penyakitnya.

Untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut, komponen pengelolaan DM

tipe-1 meliputi pemberian insulin, pengaturan makan, olahraga, dan edukasi,

yang didukung oleh pemantauan mandiri (home monitoring). Keseluruhan

komponen berjalan secara terintegrasi untuk mendapatkan kontrol metabolik

yang baik. Dari faktor penderita juga terdapat beberapa kendala pencapaian

kontrol metabolik yang baik. Faktor pendidikan, sosioekonomi dan

kepercayaan merupakan beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam

pengelolaan penderita terutama dari segi edukasi (Tridjaya et.al, 2011).

2.2.1 Pemberian Insulin

Tujuan terapi insulin adalah menjamin kadar insulin yang cukup

di dalam tubuh selama 24 jam untuk memenuhi kebutuhan metabolisme

sebagai insulin basal maupun insulin koreksi dengan kadar yang lebih

19

tinggi (bolus) akibat efek glikemik makanan. Regimen insulin sangat

bersifat individual, sehingga tidak ada regimen yang seragam untuk

semua penderita DMT1. Regimen apapun yang digunakan bertujuan

untuk mengikuti pola fisiologi sekresi insulin orang normal sehingga

mampu menormalkan metabolisme gula atau paling tidak mendekati

normal (IDAI, 2018).

1. Dosis insulin (empiris):

a. Dosis selama fase remisi parsial, total dosis harian insulin <0,5

IU/kg/hari.

b. Prepubertas (diluar fase remisi parsial) dalam kisaran dosis 0,7–

1 IU/kg/hari.

c. Selama pubertas kebutuhan biasanya meningkat menjadi 1.2–2

IU/kg/hari.

Tabel 2.2

Jenis sediaan insulin dan profil kerjanya.

Jenis insulin Awitan (jam) Puncak kerja

(jam)

Lama kerja

(jam)

Waktu pemberian

Kerja cepat

(Aspart, Glulisin, Lispro)

0.15 – 0.35 1 – 3 3 – 5 Bersamaan

dengan makan

Kerja pendek

(Reguler/soluble)

0.5 – 1 2 – 4 5 – 8 30 menit sebelum

makan

Kerja menengah

Semilente NPH

Tipe lente IZS

1-2

3-4

3-4

4 – 10

4 – 12

6 – 15

8 – 6

12 – 24

18 – 24

30 menit sebelum

makan

Kerja panjang

Tipe ultra lente

4 – 8 12 – 24 20 – 30 30 menit sebelum

makan

Basal analog

Glargine Detemir

2 – 4

1 – 2

Tidak ada

6 – 12

24*

20 – 24

Diberikan 1 – 2

kali per hari

Campuran

Cepat-menengah

Pendek-menengah

0.5

0.5

1 – 12

1 – 12

16 – 24

16 – 24

30 menit sebelum

makan

20

2.2.2 Pengaturan makan

Pengaturan makanan pada penderita DM tipe-1 bertujuan untuk

mencapai kontrol metabolik yang baik tanpa mengabaikan kalori yang

dibutuhkan untuk metabolisme basal, pertumbuhan, pubertas, maupun

aktivitas sehari hari. Dengan pengaturan makanan ini diharapkan anak

dapat tumbuh optimal dengan berat badan yang ideal, dan dapat

dicegah timbulnya hipoglikemia (Tridjaya et.al, 2011).

Pola makan sehat didefinisikan sebagai pola makan dengan

perencanaan 3J yaitu jumlah, jenis, dan jadwal makan yang teratur.

Pola makan yang tidak sehat menyebabkan tidak adanya

keseimbangan antara karbohidrat dan kandungan lain yang

dibutuhkan oleh tubuh. Akibatnya kandungan gula di dalam tubuh

menjadi tinggi melebihi kapasitas kerja pankreas dan mengakibatkan

terjadinya diabetes mellitus (Fathoni, 2019).

Salah satu kunci keberhasilan pengaturan makanan ialah asupan

makanan dan pola makan yang sama sebelum maupun sesudah

diagnosis, serta makanan yang tidak berbeda dengan teman sebaya

atau dengan makanan keluarga. Fleksibel dalam jumlah makanan dan

jenisnya sangat diperlukan. Pengaturan makan yang optimal biasanya

terdiri dari 3 kali makan utama dan 3 kali pemberian kudapan.

Keberhasilan kontrol metabolik tergantung kepada frekuensi makan

dan regimen insulin yang digunakan. (Rekomendasi diet pada regimen

insulin)

21

2.2.3. Olahraga

Olahraga sebaiknya menjadi bagian dari kehidupan setiap

orang, baik anak, remaja, maupun dewasa, baik penderita DM atau

bukan. Olahraga dapat membantu menurunkan berat badan,

mempertahankan berat badan ideal, dan meningkatkan rasa percaya

diri. Untuk penderita DM berolahraga dapat membantu untuk

menurunkan kadar gula darah, menimbulkan perasaan ‘sehat’ atau

‘well being’, dan meningkatkan sensitivitas terhadap insulin,

sehingga mengurangi kebutuhan insulin. Pada beberapa penelitian

terlihat bahwa olahraga dapat meningkatkan kapasitas kerja jantung

dan mengurangi terjadinya komplikasi DM jangka panjang.

Sekitar 40% kejadian hipoglikemia pada penderita DM

dicetuskan oleh olahraga. Oleh karena itu penderita DM tipe-1 yang

memutuskan untuk berolahraga teratur, terutama olahraga dengan

intensitas sedang-berat diharapkan berkonsultasi terlebih dahulu

dengan dokter yang merawatnya sebelum memulai program

olahraganya (IDF, 2015).

Berikut ini adalah rekomendasi ISPAD clinical practice

guideline mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan oleh anak dan

remaja DM tipe 1 saat melakukan olahraga:

1. Diskusikan jumlah pengurangan dosis insulin sebelum olahraga

dengan dokter.

22

2. Diskusikan jenis dan jumlah karbohidrat yang diperlukan untuk

olahraga spesifik.

3. Jika glukosa darah tinggi, glukosa darah > 250 mg/dL (14

mmol/L) dengan ketonuria /ketonemia (> 0,5 mmol/L)

4. Konsumsi 1,0-1,5 gram karbohidrat per kg massa tubuh per jam

untuk olahraga yang lebih lama atau lebih berat jika kadar insulin

yang bersirkulasi tinggi atau insulin sebelum latihan tidak

dikurangi.

5. Makanan yang mengandung tinggi karbohidrat harus dikonsumsi

segera setelah latihan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia

pasca latihan fisik.

6. Lakukan pencatatan secara mendetil tentang aktivitas fisik,

insulin, makan, dan hasil pemeriksaan glukosa darah supaya

dicapai kontrol diabetik yang baik selama aktivitas fi sik

spontan/latihan.

7. Hipoglikemia dapat terjadi sampai 24 jam setelah olahraga.

8. Ukur kadar glukosa darah sebelum tidur dan kurangi insulin basal

sebelum tidur (atau basal pompa insulin) sebesar 10-20% setelah

olahraga di siang atau sore hari jika latihannya lebih intensif dari

biasanya atau jika aktivitasnya tidak dilakukan secara reguler.

9. Risiko terjadinya hipoglikemia nokturnal pasca olahraga cukup

tinggi terutama jika kadar glukosa darah sebelum tidur < 125 mg/

23

dL (<7,0mmol/L). Dosis insulin basal sebelum tidur sebaiknya

dikurangi.

10. Pasien dengan retinopati proliferatif atau nefropati harus

menghindari olahraga yang bersifat anaerobik atau yang

membutuhkan ketahanan fi sik karena dapat menyebabkan

tekanan darah tinggi.

11. Kudapan dengan indeks glikemik tinggi harus selalu siap di

sekolah.

2.2.4. Edukasi

Edukasi memiliki peran penting dalam penangan DM tipe-1

karena didapatkan bukti kuat berpengaruh baik pada kontrol glikemik

dan keluaran psikososial. Edukasi dilakukan oleh tim multidisiplin

yang terdiri atas paling tidak dokter anak endokrinologi atau dokter

umum terlatih, perawat atau edukator DM, dan ahli nutrisi. Edukasi

tahap pertama dilakukan saat pasien pertama terdiagnosis atau selama

perawatan di rumah sakit yang meliputi pengetahuan dasar mengenai

DM tipe-1, pengaturan makan, insulin (jenis, dosis, cara penyuntikan,

penyimpanan, dan efek samping), serta pertolongan pertama

kedaruratan DM tipe-1 (hipoglikemia, pemberian insulin saat sakit),

sementara tahap kedua dilakukan saat berkonsultasi di poliklinik.

Dalam penelitian oleh Pulgaron dkk, kemampuan berhitung dan

kepercayaan diri orang tua dalam menangani diabetes berhubungan

signifikan dengan kadar HbA1c anak (Aman, et.al, 2019).

24

2.2.5. Pemantauan Mandiri

Tujuan pemantauan mandiri pada pasien dengan DM tipe-1

adalah mencapai target kontrol glikemik yang optimal, menghindari

komplikasi akut berupa hipoglikemia dan ketoasidosis dan

komplikasi kronis yaitu penyakit makrovaskuler, menimalisasi

akibat hipoglikemia dan hiperglikemia terhadap fungsi kognitif serta

mengumpulkan data tentang kontrol glikemik untuk dibandingkan

dengan sistem kesehatan setempat. Dari beberapa penelitian telah

dibuktikan hubungan yang bermakna antara pemantauan mandiri

dan kontrol glikemik. Pengukuran kadar glukosa darah harus

dilakukan beberapa kali per hari untuk menghindari terjadinya

hipoglikemia dan hiperglikemia, serta penyesuaian dosis insulin.

Diperlukan perhatian yang khusus terutama pada anak prasekolah

dan anak sekolah yang pada tahap awal sering tidak bisa mengenali

episode hipoglikemia yang mungkin dialaminya, sehingga pada

keadaan seperti ini perlu pemantauan kadar glukosa darah yang lebih

sering.

Pemantauan kontrol glikemik dilakukan dengan melakukan

pemantauan glukosa darah mandiri, HbA1c, keton, dan pemantauan

glukosa darah berkelanjutan (Tridjaya & Yati, 2017).

2.2.5.1 Pemantauan glukosa darah mandiri

1. Pemantauan glukosa darah mandiri memungkinkan pasien

untuk melakukan penyesuaian insulin terhadap makanan yang

25

dikonsumsi menjadi lebih baik dan memungkinkan pasien DM

untuk mengkoreksi kadar glukosa darah yang berada diluar

target sehingga dapat memperbaiki kadar HbA1c.

2. Pemantauan glukosa darah mandiri selama olahraga

memungkinkan penyesuaian dosis insulin sebelum dan selama

olahraga sehingga mengurangi risiko terjadinya hipoglikemia

selama dan setelah olahraga.

3. Frekuensi pemantauan glukosa darah mandiri berbeda-beda

untuk masing-masing individu tergantung dari ketersediaan alat

dan kemampuan anak untuk mengidentifikasikan hipoglikemia.

Untuk mengoptimalkan kontrol glikemik maka pemantauan

glukosa darah mandiri harus dilakukan 4-6 kali sehari.

a. Pagi hari setelah bangun tidur untuk melihat kadar glukosa

darah setelah puasa malam hari.

b. Setiap sebelum makan.

c. Pada malam hari untuk mendeteksi hipoglikemia atau

hiperglikemia.

d. 1,5-2 jam setelah makan.

4. Pemantauan glukosa darah mandiri dilakukan secara lebih

sering pada olahraga dengan intensitas tinggi yaitu sebelum,

selama dan setelah melakukan kegiatan tersebut.

2.2.5.2 Pemeriksaan Keton

26

Pemeriksaan keton darah lebih baik daripada keton

urin. Normal keton darah adalah 3,0 mmol/L biasanya

disertai asidosis, sehingga harus segera dibawa ke IGD.

Keton darah 250 mg/dL (14 mmol/L) biasa ditemukan

setelah puasa malam hari.

Pemeriksaan keton harus tersedia dan dilakukan pada

saat:

1. Sakit disertai demam dan/atau muntah

2. Jika GDS >250 mg/dL (14 mmol/L) pada anak sakit

atau jika meningkat secara persisten

3. Jika terdapat poliuria persisten disertai peningkatan

GDS, terutama jika disertai nyeri abdomen atau napas

cepat

4. Pemeriksaan keton darah sebaiknya tersedia bagi anak

yang lebih muda atau pasien yang menggunakan

pompa insulin.

2.2.5.3 Pemeriksaan HbA1c

Pemeriksaan HbA1c (Glycosylation haemoglobin)

Berdasarkan ISPAD, rekomendasi target HbA1c <7% (<53

mmol/mol). Target ini harus disesuaikan dengan tujuan untuk

mencapai nilai sedekat mungkin dengan nilai normal,

menghindari hipoglikemia berat, ringan hingga sedang, dan

stres berlebihan pada anak dan keluarganya. Fasilitas

27

pengukuran HbA1c harus tersedia di semua pusat kesehatan

yang menangani anak dan remaja dengan diabetes. HbA1c

harus dipantau sebanyak 4-6 kali per tahun pada anak yang

lebih muda dan 3-4 kali per tahun pada anak yang lebih besar

(Adelita, 2020).

2.2.5.4 Faktor yang mempengaruhi control metabolic

a. Pendidikan kesehatan

Pendidikan kesehatan atau edukasi sangat penting dalam

pengelolaan DM untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Pendidikan kesehatan atau edukasi pada pasien DM sebaiknya

dilakukan oleh semua pihak yang terkait dalam pengelolaan

DM, seperti dokter, perawat, ahli gizi. Pendidikan kesehatan

pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok

masyarakat resiko tinggi. Pendidikan kesehatan sekunder

diberikan kepada kelompok pasien DM. Sedangkan

pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier diberikan

kepada pasien yang sudah mengidap DM dengan penyulit

menahun (Ambarwati & Nasution, 2012).

Edukasi pendidikan merupakan unsur penting

pengelolaan DM tipe 1, yang harus dilakukan secara terus

menerus dan bertahap sesuai tingkat pengetahuan serta status

sosial penderita/keluarga. Edukasi merupakan salah satu kunci

kesuksesan tatalaksana diabetes mellitus. Edukasi terstruktur

28

terbukti bermanfaat pada kontrol glikemik maupun aspek

psikososial. Tujuan dari edukasi pada pasian DM tipe 1 adalah

(1)Menimbulkan pengertian dan pemahaman mengenai

penyakit dan komplikasinya. (2) Memotivasi penderita dan

keluarganya agar patuh berobat. (3) Memberikan ketrampilan

penanganan DM tipe-1. (4) Mengembangkan sikap positif

terhadap penyakit sehingga tercermin dalam pola hidup sehari-

hari. (5) Mencapai kontrol metabolik yang baik sehingga

terhindar dari komplikasi. (6) Mengembangkan kemampuan

untuk memberikan keputusan yang tepat dan logis dalam

pengelolaan sehari-hari. (7) Menyadarkan penderita bahwa

DM tipe-1 bukanlah penghalang untuk mencapai cita-cita

(IDF, 2015).

b. Aspek Psikososial

Insidens depresi, kecemasan, stres psikologis dan

gangguan makan lebih tinggi pada remaja dengan diabetes.

Anak dan remaja dengan kontrol metabolik yang buruk dalam

jangka lama, termasuk kejadian ketoasidosis diabetik

berulang, lebih mungkin memiliki dasar problem

psikososial/psikiatrik dibandingkan dengan anak yang

mempunyai kontrol metabolik yang baik. Anak/remaja dengan

diabetes memiliki kelemahan dalam memperoleh informasi

serta gangguan belajar, terutama pada anak dengan onset

29

diabetes yang terlalu dini, riwayat hipoglikemi berat atau

hiperglikemia kronik.

2.3. Hipoglikemia

2.3.1 Definisi

Hipoglikemia merupakan kadar glukosa darah <70 mg/dl (3.9

mmol/L), nilai tersebut ditetapkan oleh American Assosiation sebagai

glukosa darah kategori waspada. Tanda dan gejala hipoglikemia

dibedakan menjadi dua kategori yaitu bersifat otonom dan

neuroglikopenik. Tanda dan gejala otonom meliputi munculnya tanda

gejala seperti berkeringat, jantung berdebar, gemetar, pusing, dan lapar.

Sedangkan gejala neutoglikopenik yaitu kebingungan, ngantuk,

kesulitan berbicara, berperilaku aneh, dan tidak mempu melakukan

koordinasi (Morales, 2014).

2.3.2 Penyebab Hipoglikemia

Hipoglikemia pada umumnya terjadi karena ada

ketidakseimbangan antara dosis insulin, makanan yang dikonsumsi,

dan olahraga yang baru saja dilakukan, atau kadang-kadang karena

suatu kejadian spontan. Hipoglikemia merupakan salah satu faktor

kegagalan utama dalam mencapai kadar gula darah mendekati normal,

karena hipoglikemia dapat disertai gejala yang tidak menyenangkan,

memalukan, dan berbahaya, sehingga menimbulkan kecemasan dan

ketakutan pada pasien dan orangtuanya. Selain itu hipoglikemia yang

30

berat dapat menyebabkan kerusakan otak menetap dan bahkan

kematian

2.3.3 Tanda dan Gejala Hipoglikemia

hipoglikemia terjadi akibat aktivasi otonom (gejala adrenergik)

dan/atau disfungsi neurologis, karena turunnya kadar glukosa di otak

(gejala neuroglikopenia) seperti terlihat di Tabel . Bila gula darah turun

gejala yang mulai timbul adalah gemetar, lemah, lapar, dan berkeringat

sebagai akibat aktivasi sistem saraf otonom. Gejala ini timbul pada

kadar gula darah 58-65 mg/dL (3,2-3,6 mmol/L) pada anak tanpa

diabetes. Gejala lain yang mungkin timbul adalah perubahan perilaku

seperti tantrum, gelisah, keras kepala, diam, atau agitasi. Perubahan

perilaku ini lebih banyak dijumpai pada anak usia prasekolah, dan

mungkin disebabkan oleh kombinasi respons otonom dan

neuroglikopenia.

Tabel 2.3

Tanda dan gejala hipoglikemia

Gejala dan tanda Klinis

Otonom Gemetar, berkeringat, tremor, palpitasi, pucat

Neuroglikopenia Konsentrasi menurun, pandangan kabur atau dobel,

gangguan penglihatan warna, gangguan

pendengaran, pelo, bingung, sulit berpikir, lupa,

pusing, limbung bila berjalan, penurunan kesadaran,

kejang, kematian.

Perubahan perilaku Rewel, aneh/ berubah-ubah pikiran, agitasi, mimpi

buruk, menangis keras sulit ditenangkan.

Non spesifik Lapar, sakit kepala, mual, lelah.

31

Menurut berat ringannya hipoglikemia dibagi atas hipoglikemia

berat dan hipoglikemia ringan/sedang. Anak yang dianggap mengalami

hipoglikemia berat adalah bila hipoglikemia disertai gejala

neuroglikopenia berat, seperti koma atau kejang, dan membutuhkan

terapi parenteral (glukagon atau infus glukosa). Sedangkan

hipoglikemia ringan dan sedang dijadikan satu dalam pembagiannya

karena tidak berbeda dalam penanganannya dan hampir semua

memerlukan penanganan dari orangtua atau pengasuh.

Hipoglikemia simptomatik terjadi bila anak atau orangtua

menyadari, berespons, dan menangani hipoglikemia secara oral setelah

mendeteksi kadar glukosa darah < 70 mg/ dL (4 mmol/L). Sedangkan

hipoglikemia asimptomatik terjadi bila anak tidak menunjukkan gejala

dan tanda hipoglikemia, walau kadar glukosa darah terdeteksi < 70 mg/

dL (4 mmol/L). Hal ini penting untuk diketahui sehubungan dengan

mengenali kejadian hypoglikemia unawareness atau mengetahui kadar

glukosa darah yang berisiko untuk terjadinya hypoglikemia

unawareness.

2.3.4 Tatalaksana Hipoglikemia

Tujuan tatalaksana hipoglikemia adalah mengembalikan kadar

glukosa darah ke nilai normal (euglikemia) atau ke 100 mg/ dL (5,6

mmol/L).

32

Tabel 2.4

Tatalaksana hipoglikemia

Hipoglikemia Tatalaksana Pertimbangan yang lainnya

Ringan/

sedang

Untuk meningkatkan kadar glukosa

darah sebanyak 45-65 mg/dL (2,5-3,6

mmol/L) perlu diberikan glukosa 0,3

g/kg atau sekitar 9 g glukosa untuk

anak dengan berat 30 kg dan 15 g

untuk anak 50 kg. Bentuk gula yang

diberikan untuk tatalaksana awal

adalah gula yang mudah diserap,

yaitu gula sederhana, seperti tablet

glukosa, jus, sirup, permen. Setelah

tata laksana tunggu 10- 15 menit, cek

ulang glukosa. Bila respons tidak ada

atau tidak adekwat pemberian

glukosa oral dapat diulangi. Cek

ulang glukosa darah setelah 20-30

menit untuk memastikan target gula

darah sudah tercapai dan tidak

terlampaui.

C o k l a t , s u s u , d a n

makanan lain yang

mengandung lemak

sebaiknya tidak diberikan

sebagai terapi awal, karena

menyebabkan glukosa

diserap lebih lambat. Bila

gejala membaik, atau sudah

tercapai euglikemia makan

atau kudapan selanjutnya d a

p a t d i k o n s u m s i

(misalnya buah, roti, sereal,

dan susu) untuk mencegah

berulangnya hipoglikemia.

Berat Memerlukan terapi segera. Bila

disertai penurunan kesadaran +/-

kejang (atau muntah) terapi paling

aman sebetulnya adalah injeksi

glukagon (SK, IM, atau IV). Untuk

usia5 tahun 1,0 mg, atau 10-30

mcg/kg. Di rumah sakit: berikan

dekstrosa 10% intravena dengan dosis

2 mL/ kgBB diikuti infus dekstrosa

untuk menstabilkan kadar glukosa

darah antara 100-180 mg/dL (5,6-10

mmol/L). Selanjutnya untuk

mencegah berulangnya hipoglikemia

perlu dilakukan pemantauan klinis

ketat dan monitor kadar glukosa

darah. Bila hipoglikemia berulang

perlu diberikan tambahan karbohidrat

ekstra dan/ atau infus dekstrosa 10%

2-5 mg/kg/menit (1,2-3 ml/ kg/jam)

Bila tidak ada glukagon,

oleskan selai atau madu atau

gula bubuk ke bagian dalam

mulut/ pipi sambil segera

sambil membawa pasien ke

rumah sakit.

Hy p o g l y c

e m i a

unawareness

Target glukosa darah perlu

ditinggikan bila ditemukan

hipoglikemia berulang dan/ atau

hypoglycemia unawareness.

Pasien dan orangtua p e r l u

d i b e r i t a h u untuk

menghubungi tim diabetes

nya bila mengalami

hypoglycemia unawareness

33

Hipoglikemia Tatalaksana Pertimbangan yang lainnya

Menghindari hipoglikemia selama 2-

3 minggu

(seperti hipoglikemia terjadi

t a n p a g e j a l a a t a u

langsung mengalami gejala

neuroglikopenia tanpa gejala

otonom).

2.3.5. Pencegahan

Keluarga sebaiknya mendapat penjelasan / edukasi tentang

faktor risiko hipoglikemia, gejala hipoglikemia, dan pencegahan

hipoglikemia, termasuk kapan hipoglikemia sering terjadi, sehingga

dapat dilakukan pemantauan glukosa darah lebih sering.

Hipoglikemia akan lebih sering terjadi bila regimen terapi

ditingkatkan (dosis insulin lebih tinggi, makan lebih sedikit, dan

lebih banyak olahraga); pada anak-anak lebih kecil; HbA1c lebih

rendah; kadar glukosa darah sering rendah; ambang gejala otonom

menurun; saat tidur.

a. Pemilihan regimen insulin yang sesuai dengan pola makan dan

kegiatan sehari-hari (termasuk olahraga) dapat menurunkan

risiko hipoglikemia. Penggunaaan pompa insulin dan insulin

analog dapat menurunkan kejadian hipoglikemia ringan/ sedang.

b. Asupan makanan (jumlah dan waktunya) perlu disesuaikan

dengan kerja insulin yang digunakan. Saat puncak kadar glukosa

darah disesuaikan dengan puncak kerja insulin. Pada anak yang

lebih kecil mungkin perlu dipertimbangkan penambahan kudapan

di siang atau malam hari. Selain itu dosis insulin dapat

34

disesuaikan dengan jumlah karbohidrat dalam makanan untuk

menghindari hipoglikemia sesudah makan dan saat tidur.

c. Evaluasi ulang waktu, lama, dan intensitas olahraga. Penyesuaian

jumlah asupan makanan dan dosis insulin dapat dilakukan untuk

menghindari penurunan kadar glukosa darah karena olahraga.

Kemungkinan hipoglikemia dapat terjadi saat olahraga, segera

setelah olahraga atau 2-12 jam sesudah olahraga.

d. Pemantauan kadar glukosa darah lebih sering terutama saat tidur,

yaitu sekitar jam 01.00-05.00 dini hari merupakan salah satu cara

yang dapat diterapkan untuk mendeteksi hipoglikemia

ringan/sedang dan menghindari hipoglikemia berat.

Hipoglikemia nokturnal sering asimptomatik dan berlangsung

lama. Keadaan ini perlu diwaspadai bila kadar glukosa darah pagi

sebelum sarapan rendah atau terdapat gejala sulit berpikir,

bingung, sakit kepala, gangguan mood saat bangun di pagi hari.

Untuk mencegah hipoglikemia pada malam hari maka kadar

glukosa sebelum tidur diusahakan sekitar 120-180 mg/dL (7-10

mmol/L). Makanan yang sebaiknya dikonsumsi pada malam hari

adalah karbohidrat yang lambat dicerna seperti susu, roti, pisang,

apel dan protein.

e. Evaluasi terhadap setiap episode hipoglikemia untuk mengetahui

sebabnya. Evaluasi dilakukan terutama dalam hal: profi l insulin

yang digunakan, asupan makanan sebelumnya, dosis insulin

35

sebelum makan, aktivitas fi sis atau olahraga sebelumnya, dan

penyesuaian makan/ dosis insulin untuk olahraga tersebut.

2.3.6. Faktor yang berhubungan dengan kemampuan deteksi dini

Hipoglikemi

Perawatan mandiri pasien DM yang baik dan benar itu

termasuk pengendalian factor resikonya, menurunkan angka

kesaitan yang berulang, dan kematian yang disebabkan oleh

penyakit tersebut. Oleh karena itu pencegahan dini atau deteksi dini

komplikasi hipoglikemia pada pasien DM lebih efektif jika pasien

dapat meningkatkan kemampuan untuk mendeteksi diri terjadinya

hipoglikemia (Shrivastava, 2013).

Kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang yang

melakukan pengelolaan diabetes yaitu mempertahankan kadar

glukosa darah normal dan mempertahankan status kesehatan.

Prilaku atau kemampuan ini seperti upaya atau tindakan seorang

yang menderita penyakit dimulai dengan self treatment (mengobati

sendiri) atau mencari bantuan kepada orang lain. Tindakan ini dapat

dilakukan pasien DM dalam mencegah hipoglikemia berat dengan

melakukan monitor glukosa darah mandiri. Sebaiknya pasien

tersebut memiliki alat pemantau kadar gula sebagai pemeriksaan

darah yyang lebih cepat dan mempermudah pengontrolan gula

darah, kerika pasien memiliki hasil dari pengecekan gula darah saat

36

itu juga pasien memiliki gambaran dan respon tubuh terhadap

rencana perawatan dirinya sendiri (Bare, 2010).

Faktor yang mempengaruhi kemampuan deteksi dini hipoglikemia

a. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan factor yang mempengaruhi

prilaku seseorang terhadap suatu objek, sehingga kemampuan

deteksi hipoglikemia juga asuk dalam kategori pengetahuan

karena merupakan proses terbentuknya prilaku (Notoadmojo,

2010).

b. Usia

Lansia lebih berisiko mengalami penurunan fungsi

mekanisme counterregulatory dan penurunan kognitif.

penurunan fungsi mekanisme counterregulatory menyebabkan

frekuensi hipoglikemia meningkat, dan penurunan kognitif pada

lansia mengakibatkan kegagalan mengenal gejala hipoglikemia,

sehingga kemampuan penatalaksanaan hipoglikemi juga

mengalami penurunan (Ernawati, 2010).

c. Jenis kelamin

Jenis kelamin perempuan lebih banyak mengalami

kejadian hipoglikemia karena perempuan menopause akan

terjadi penurunan jumlah estrogen dan progesterone, seperti

yang diketahui bahwa hormone tersebut dibentuk dari steroid

yang diambil dari jaringan adipose. Penurunan jumlah hormone

37

estrogen dan progesterone akan meningkatkan timbunan lemak

dan perubahan profil lipid darah sehingga dapay menurunkan

sensitifitas terhadap kerja pada otot dan hati (Shufyani,

Wahyuni, & Armal, 2017).

d. Tingkat Pendidikan

Klien yang berpendidikan tinggi memiliki peluang 5x

untuk mampu melakukan penatalaksanaan hipoglikemia

dibandingkan dengan klien yang berpendidikan rendah. Tingkat

pendidikan umumnya akan berpengaruh terhadap kemampuan

seseorang dalam memahami suatu informasi. Tingkat

pendidikan termasuk factor predisposisi yang menjelaskan

bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang lebih dapat

menerima pembelajaran yang berhubungan dengan praktik

pengukuran makanan/ diet dengan benar dan tepat (Ernawati,

2010).

e. Lama menderitta DM

Terdapat hubungan antara durasi DM dengan kemampuan

penatalaksanaan hipoglikemia dan berpola positif, artinya

semakin lama durasi penderita DM maka semakin meningkat

kemampuan melakukan penatalaksanaan hipoglikemia

(Ernawati, 2010).

f. Faktor Sosial

38

Dukungan keluarga memberikan peranan penting dalam

pencegahan hipoglikemia. Keluarga mempunyai peran sebagai

pendamping ketika klien melakukan terapi injeksi insulin.

Kurangnya bantuan dari anggota keluarga saat pasien injeksi

insulin adalah predictor untuk hipoglikemia ringan (Shrivastava,

2013).

g. Faktor gaya hidup

Kosumsi alcohol dikaitkan dengan risiko hipoglikemia

ringan lebih tinggi dan merupakan satu satunya factor gaya

hidup yang terkait dengan kejadian hipoglikemia. Alcohol dapat

menurunkan kadar glukosa dan dapat menutupi gejala

hipoglikemia (Setiadi, 2013).

h. Farmako Terapi

Hipoglikemia terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi

ISS, dengan pemberian insulin bolus, pada penelitian (Shufyani,

et.al, 2017) jenis insulin yang digunakan dalam penelitian ada 2

jenis insulin yaitu rapid acting tunggal dan raoid acting

kombinasi long acting. Jenis insulin rapid acting tunggal yang

sering digunakan adalah novorapid. Novorapid menurunkan

kadar gula darah setelah injeksi, novorapid lebih cepat diasorbsi.

i. Ketersediaan alat Glukometer

Tindakan ini dapat dilakukan pasien DM dalam mencegah

hipoglikemia berat dengan melakukan monitor glukosa darah

39

mandiri. Sebaiknya pasien tersebut memiliki alat pemantau

kadar gula sebagai pemeriksaan darah yyang lebih cepat dan

mempermudah pengontrolan gula darah, kerika pasien memiliki

hasil dari pengecekan gula darah saat itu juga pasien memiliki

gambaran dan respon tubuh terhadap rencana perawatan dirinya

sendiri (Smeltzer & Bare, 2010 dan Fatehi, 2010).

40

2.4. Kerangka Teori

DM Tipe 1

Pengelolaan Diabetes

Mandiri

1. Pemberian Insulin

2. Pengaturan Makan

3. Olahraga

4. Edukasi

5. Pemantauan Mandiri

Komplikasi Akut :

1. Hipoglikemia

2. KAD

Penyebab Hipoglikemia

1. Ketidakseimbangan

dosis insulin

2. Makanan yang

dikosumsi

3. Olahraga

Pemantauan Mandiri :

1. Pemantauan glukosa

darah mandiri

2. Pemeriksaan Keton

3. Pemeriksaan HbA1C

Faktor yang mempengaruhi

metabolic :

1. Pendidikan kesehatan

2. Aspek psikososial

Tanda dan Gejala :

1. Otonom

2. Neuroglikopenia

3. Perubahan prilaku

4. Non spesifik

Factor yang

mempengaruhi

kemampuan deteksi

dini hipoglikemia :

1. Pengetahuan

2. Usia

3. Jenis kelamin

4. Tingkat pendidikan

5. Lama menderita

6. Factor social

7. Factor gaya hidup

8. Farmako terapi

9. Ketersediaan alat

glukometer

Pencegahan :

1. Regimen insulin

2. Asupan makanan

3. Evaluasi ulang

4. Pemantauan kadar

glukosa

5. Evaluasi berulang

Gambar 2.1

Kerangka Teori

41

2.5. Kerangka Konsep

Keterangan : : tidak diteliti

: diteliti

: tidak diteliti

: diteliti

DM TIPE 1

Komplikasi Akut

Hipoglikemia

Kemampuan Deteksi

Dini Hipoglikemia

Pengolaan Diabetes

Mandiri :

1. Pendidikan

2. Kontrol diet

3. Aktivitas

fisik

4. Managemen

glukosa

5. Terapi

pengobatan

6. Pemanfaata

n layanan

kesehatan

Mampu

mendeteksi

hipoglikemia

Tidak mampu

mendeteksi

hipoglikemia

Faktor – faktor yang mempengaruhi

kemampuan deteksi dini hipoglikemia :

1. Pengetahuan

2. Usia

3. Jenis kelamin

4. Tingkat pendidikan

5. Lama menderita

6. Factor social

7. Factor gaya hidup

8. Farmako terapi

9. Ketersediaan alat glukometer

Gambar 2.2

Kerangka Konsep

42

2.6. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah dugaan sementara terhadap terjadinya hubungan variabel

yang akan diteliti (Notoadmojo, 2010).

Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :

Ha : yaitu ada hubungan antara pengelolaan diabetes mandiri dengan

kemampuan deteksi dini hipoglikemia pada DM tipe 1. Tingkat kesalahan

yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,05 Ha diterima jika p value <a.