Upload
dotu
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Darwis (2012) meneliti tentang manajemen laba terhadap nilai
perusahaan dengan corporate governance sebagai pemoderasi pada
peruahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2008-2010.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa manajemen
laba tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan dan kepemilikan
manajerial tidak mampu memoderasi hubungan antara manajemen laba
terhadap nilai perusahaan sedangkan kepemilikan institusional ternyata
mampu memoderasi hubungan manajemen laba terhadap nilai
perusahaan.
Herawaty (2008) meneliti tentang peran praktek corporate
governance sebagai moderating variable dari pengaruh earning
management terhadap nilai perusahaan pada perusahaan-perusahaan
yang terdaftar di BEI. Berdasarkan hasil penelitian tersebut ditemukan
bahwa corporate governance berpengaruh secara signifikan terhadap
nilai perusahaan dengan variabel komisaris independen dan
kepemilikan institusional. Kepemilikan manajerial akan menurunkan
nilai perusahaan sedangkan kualitas audit akan meningkatkan nilai
perusahaan. Komisaris independen, kualitas audit dan kepemilikan
11
institusional merupakan variabel pemoderasi antara earning
manajemen dan nilai perusahaan sedangkan kepemilikan manajerial
bukan merupakan variabel pemoderasi. Earning management dapat
diminimumkan dengan mekanisme monitoring oleh komisaris
independen, kualitas audit dan institusinal ownership.
Ridwan dan Gunardi (2013) meneliti tentang peran mekanisme
good corporate governance sebagai pemoderasi praktik earning
management terhadap nilai perusahaan. Penelitian ini dilakukan pada
perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) 2010. Hasil
penelitian ditemukan bahwa Earning Management berpengaruh
signifikan terhadap nilai perusahaan. Kepemilikan institusional,
kepemilikan manajerial dan klasifikasi KAP merupakan variabel
pemoderasi pengaruh Earning Management terhadap nilai perusahaan
sedangkan dewan komisaris independen dan komite audit bukan
merupakan variabel pemoderasi.
Kristanti (2016) meneliti tentang pengaruh good corporate
governance sebagai variabel pemoderasi hubungan manajemen laba
terhadap nilai perusahaan. Populasi penelitian tersebut adalah
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun 2010-2014.
Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, dan
diperoleh sebanyak 305 sampel perusahaan selama 5 tahun. Penelitian
tersebut menggunakan teknik analisis regresi linier berganda dengan
metode interaksi. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa
manajemen laba tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan,
12
selanjutnya GCG berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan dan
GCG sebagai variabel pemoderasi tidak mampu memperlemah
pengaruh manajemen laba terhadap nilai perusahaan.
B. Teori dan Kajian Pustaka
1. Teori Keagenan (Agency Teory)
Jansen dan Meckling (1976) mengatakan bahwa Paper mengenai
teori keagenan atau agency relationship yang muncul ketika suatu atau
lebih individu (majikan) menguji individu lain (agen atau karyawan)
untuk bertindak atas namanya, mendelegasikan kekuasaan untuk
membuat keputusan kepada agen atau karyawannya. Konteks
manajemen keuangan hubungan ini muncul anatara pemegang saham
dengan para manajer dan pemegang saham dengan kreditor (Jensen dan
Meckling, 1976).
Hubungan antara manajemen dengan pemilik perusahaan
merupakan paradigma hubungan prinsipal dan agen dimana pemilik
perusahaan sebagai prinsipal yang memberi kepercayaan secara formal
dalam bentuk kontrak hubungan kerja kepada manajemen sebagai agen
yang memberikan jasa manajerialnya (Kodrat dan Herdinata, 2009).
Sehingga bisa disimpulkan berbagai konflik kepentingan dalam
perusahaan baik antar manajer dengan pemegang saham, manajer
dengan kreditur atau antara pemegang saham, kreditur dan manajer
disebabkan adanya hubungan keagenan.
13
Terori keagenan menjelaskan tentang pihak yang disebut agent
(manajemen) dan pihak principal (Pemegang atau pemilik perusahaan),
sebagai agent yang diberi tanggung jawab oleh principal dalam
mengelola perusahaan sacara moral bertanggung jawab untuk
mengoptimalkan keuntungan para pemilik atau pemegang saham
(Sudarsono, 1994).
Manajer perusahaan bisa saja bertindak tidak untuk
memaksimumkan kemakmuran pemengang saham, tetapi
memaksimumkan kemakmuran pemegang mereka sendiri. Untuk
meyakinkan bahwa pihak manajer bekerja secara sungguh-sungguh
untuk kepentigan pemegang saham, maka pemegang saham harus
mengeluarkan biaya yang dikenal dengan agency cost yaitu berupa
pengeluaran untuk memonitoring kegiatan manajer, pengeluaran untuk
membuat struktur perusahaan atau organisasi untuk meminimalkan
tindakan-tindakan manajer yang tidak diinginkan serta opportunity cost
yang timbul akibat kondisi dimana manjer tidak dapat segera
mengambil sebuah keputusan tanpa persetujuan pemegang saham
(Kodrat dan Herdinata, 2009).
Kristanti (2016) mengatakan bahwa manajer sebagai pengelola
perusahaan tentu lebih banyak meguasai informasi tentang perusahaan
serta prospek perusahaan dimasa depan dibandingkan dengan pemilik
perusahaan sendiri, Kondisi seperti ini dikenal dengan asimetri
informasi.
14
Asimetri informasi antara manajemen dan pemilik perusahaan
atau pemegang saham memberikan kesempatan kepada pihak manajer
untuk bertindak oportunis dalam hal pelaporan keuangan yaitu manajer
dapat melakukan manajemen laba. Untuk itu, prinsipal perlu
menciptakan sistem yang dapat mengontrol atau memonitoring agen
agar bertindak sesuai dengan kehendaknya (Kristanti, 2016).
Konflik antara pihak-pihak berkepentingan dalam suatu
organisasi atau perusahaan yang akan berdampak merugikan pada
kondisi bisnis. Oleh karena itu, untuk menghindarkan konflik yang
berdampak merugikan tersebut diperlukan pengawasan dan
pengendalian dalam perusahaan. Hal tersebut diharapkan dapat
memberikan suatu keyakinan bagi para investor bahwa mereka akan
mendapatkan informasi yang relevan dan lengkap sama dengan yang
dimiliki manajemen.
Sari (2014) menjelaskan bahwa dengan adanya pengawasan dan
pengendalian dari dalam serta luar perusahaan akan dapat
menyelaraskan kepentingan pihak agen dan prinsipal sehingga
manajemen akan bekerja lebih efektif untuk menghasilkan profit bagi
perusahaan, selain itu juga dapat meningkatkan kualitas laporan
keuangan dimata pihak berkepentingan dengan asumsi semakin tinggi
nilai perusahaan maka semakin menambah kepercayaan investor.
15
Kristanti (2016) juga menjelaskan bahwa cara yang dapat
digunakan unttuk meminumkan tindakan manajmen laba serta dapat
meningkatkan nilai perusahaan dimata investor adalah dengan
diterapkannya tata kelola perusahaan yang baik dan diajukan demi
peningkataan kinerja perusahaan melalui supervisi dan monitoring
kinerja manajemen serta menjamin akuntabilitas manajemen terhadap
stakeholder dengan berdasarkan pada peraturan.
2. Good Corporate Goverance
Good Corporate Governance (GCG) pertama kali diperkenalkan
oleh Cadbury Comittee di tahun 1992 yang menggunakan istilah
tersebut dalam laporan keuangan yang kemudian dikenal dengan
Cadbury Report. Cadbury (1992) menyatakan bahwa Good Corporate
Governance adalah suatu sistem yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan. Corporate Governance (CG) menurut The
Indonesian Institute of Corporate Governance (IICG, 2015) adalah:
“...serangkaian mekanisme yang mengarahkan serta
mengendalikan suatu perusahaan agar operasional perusahaan berjalan
sesuai dengan harapan para pemangku kepentingan”.
Sedangkan Good Corporate Governance (GCG) dalam
prespektif keberlanjutan dalam program Corporate Governance
Perception Index (CGPI, 2015) diartikan sebagai:
“...sistem serta mekanisme yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan dalam mewujutkan keberlanjutan
16
perusahaan yang berorientasi pada aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan”.
a. Manfaat Penerapan Good Corporate Governance
Manfaat dari penerapan Good Corporate Governance menurut
(FCGI, 2001) adalah sebagai berikut:
1) Meningkatkan kinerja perusahaan dengan terciptanya proses
pengambilan keputusan yang baik, meningkatkan efisiensi
operasional perusahaan, dan meningkatkan pelayanan
terhadap stakeholders.
2) Mempermudah perusahaan dalam memperoleh dana dan
pembiayaan yang lebih murah sehingga dapat meningkatkan
corporate value.
3) Mengembalikan kepercayaan investor dalam menanamkan
modalnya di indonesia.
4) Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan
karena akan meningkatkan shareholders value dan deviden.
b. Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance
Berdasarkan Pedoman Umum GCG Indonesia yang
dikembangkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance
(KNKG, 2006) terdapat 5 asas/prinsip yang menjadi pedoman
dalam penerapan GCG yaitu antara lain:
1) Transparansi
Untuk menjaga objektifitas dalam menjalankan bisnis,
perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan
17
relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh
pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif
untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan
oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal penting
untuk mengambil keputusan oleh pemegang saham, kreditur
dan pemangku kepentigan lainnya (KNKG, 2006).
2) Akuntabilitas
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya
secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus
dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan
perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan
pemengang saham dan pemangku kepentingan lain.
Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk
mencapai kinerja yang berkesinambungan (KNKG, 2006).
3) Resposibilitas
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan
serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan
lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha
dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good
corporate citizan (KNKG, 2006).
4) Independensi
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus
dikelola secara independen sehingga masing-masing organ
18
perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat
diintervensi oleh pihak lain (KNKG, 2006).
5) Kewajaran
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus
senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan
pemangku kepentingan lainnya berdasarkan kewajaran dan
kesetaraan (KNKG, 2006).
c. Struktur Good Corporate Governance
Alasana pihak manajemen dalam meningkatkan nilai
perusahaan, manajemen melakukan tindakan opertunis yaitu
dengan manajemen laba. Oleh karena itu, dengan adanya
pengawasan serta pengendalian dalam perusahaan akan
membatasi manajemen laba. Hal tersebut dapat diukur dengan
komisaris independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan
institusional serta kualitas audit yang merupakan sturktur GCG.
1) Dewan komisaris Independen
Dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan
bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan
pengawasan dan memberikan nasehat kepada Direksi serta
memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG. Namun
demikian, Dewan Komisaris tidak boleh turut serta dalam
mengambil keputusan operasiona (KNKG, 2006).
Dewan Komisaris dapat terdiri dari komisaris yang tidak
berasal dari pihak terafiliasi yang dikenal sebagai Komisaris
19
Independen dan komisaris yang terafiliasi. Yang dimaksud
dengan terafiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan
bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali,
anggota direksi dan dewan komisaris lain, serta dengan
perusahaan itu sendiri, atau mantan anggota Direksi dan
Dewan Komisaris yang terafiliasi serta karyawan perusahaan
(KNKG, 2006).
Penerapan Good Corporate governance dapat diyakini akan
membatasi pengelolaan laba yang oportunis oleh pihak
manajemen. Untuk itu dengan adanya Good Corporate
governance yang baik maka akan memperkecil terjadinya
managemen laba dalam perusahaan sehingga peningkatan
komisaris independen dalam perusahaan dapat meminimalkan
tindakan manajemen laba yang dilakukan manajer
2) Kepemilikan Manajerial
Jensen dan Meckling (1976) menemukan bahwa kepemilikan
manajerial berhasil menjadi mekanisme dalam mengurangi
masalah keagenan dari manajerial dengan menyelaraskan
kepentingan-kepentingan manajer dengan pemegang saham,
penelitian dari keduanya juga menemukan bahwa kepentingan
manajer dengan pemegang saham eksternal dapat disatukan
jika kepemilikan saham oleh manajer diperbesar sehingga
manajer tidak akan memanipulasi laba untuk kepentingannya.
20
3) Kepemilikan Institusional
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan
institusional memiliki peranan yang penting dalam
meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara
pemegang saham dan manajer.
Herawaty (2008) menyatakan bahwa investor institusional
yang sering disebut sebagai investor yang canggih sehingga
seharusnya lebih dapat menggunakan informasi periode
sekarang dalam memprediksi laba masa depan dibanding
investor non institusional.
4) Komite Audit
Berdasarkan pedoman umum Komite Nasional Kebijakan
Governance KNKG (2006) tugas dan tanggung jawab dari
komite audit yaitu memastikan bahwa laporan keuangan
disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum, selanjutnya memastikan struktur pengendalian
internal perusahaan dilaksanakan dengan baik serta
memastikan pelaksanaan audit internal maupun eksternal
dilaksankan sesuai standar audit yang berlaku dan memastikan
tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen.
Komite audit memproses calon auditor eksternal termasuk
imbalan jasanya untuk disampaikan kepada dewan komisaris
serta jumlah anggota komite audit harus disesuaikan dengan
kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan
21
efektifitas dalam pengambilan keputusan selanjutnya komite
audit diketuai oleh komisaris independen dan anggotanya
dapat dari komisaris dan atau pelaku profesi dari luar
perusahaan (KNKG, 2006).
3. Manajemen Laba
Sudarsono (1994) menyatakan bahwa suatu perusahaan atau
organisasi memerlukan kerja sama orang-orang tertentu yang
dikoordinasi untuk mencapai tujuan organisasi, untuk mencapai tujuan
dengan baik maka kerja sama ini dikelola oleh seseorang, kerja sama
yang dikelola ini disebut manajemen, dan orang yang mengelola
disebut manajer. Jadi, manajer merupakan orang yang mengelola kerja
sama dalam organisasi guna mecapi tujuan.
Manajemen laba merupakan suatu kegitan yang dilakukan oleh
pihak manajemen dalam meningkatkan atau menurunkan laba
perusahaan dalam laporan keuangan. Manajemen laba memiliki tujuan
yaitu untuk peningkatan kesejahteraan pihak tertentu walaupun dalam
periode-periode berikutnya terdapat perbedaan laba kumulatif
perusahaan dengan laba yang dapat diidentifikasi sebagai suatu
keuntungan (Herawaty, 2008).
a. Pemicu manajemen Laba
Herawaty (2008) menjelasakan bahwa terdapat faktor-faktor
pemicu manajemen laba, kaitannya dengan pihak-pihak yang
berkepentingan yaitu:
1) kontrak antara manajer dengan pemilik.
22
2) Sebagai sumber informasi bagi investor di pasar modal.
3) kontrak hutang.
4) penetapan pajak oleh pemeritah, penetuan proteksi terhadap
produk, penentuan denda dalam suatu kasus dan lain
sebagainya.
5) Oleh karyawan untuk memita kenaikan upah dan lain
sebagainnya.
b. Motivasi manajemen laba
Sulistyanto (2008) menyatakan Ada tiga hipotesis dalam teori
akuntansi positif yang dipergunakan untuk mengunji perilaku etis
seseorang dalam mencatat transaksi dalam menyusun laporan
keuangan yaitu:
1) Bonus plan hypothesis
Rencana bonus atau kompensasi manajerial akan cenderung
memilih dan menggunakan metode-metode akuntansi yang
akan membuat laba yang dilaporkan menjadi lebih tinggi.
Artinya bonus yang dijanjikan oleh pemilik perusahaan
kepada manajer perusahaan tidak hanya memotivasi pihak
manajer untuk bekerja lebih baik tetapi juga dapat memotivasi
pihak manejer untuk melakukan kecurangan terutama pada
informasi laporana keuangan (Sulistyanto, 2008). Hal tersebut
dilakukan oleh pihak manajer semata-mata untuk mencapai
tingkat kinerja yang memberikan bonus dengan cara
mempermainkan besar kecilnya angka-angka akuntansi.
23
Akibatnya pemilik mengalami kerugian ganda, yaitu
memperoleh informasi palsu dan mengeluarkan sejumlah
bonus untuk sesuatu yang tidak semestinya (Sulistyanto,
2008).
2) Debt (equity) hypothesis
Perusahaan yang mempunyai rasio antara utang dan ekuitas
lebih besar cenderung memilih serta menggunakan metode-
metode akuntansi dengan melaporkan laba yang lebih tinggi
dan cenderung melanggar perjanjian utang apabila ada
manfaat dan keuntungan tertentu yang diperolehnya
(Sulistyanto, 2008). Arti dari keuntungan tersebut berupa
permainan laba agar kewajiban utang piutang dapat ditunda
untuk periode berikutnya.
3) Political cost hypothesis
Perusahaan cenderung memilih dan menggunakan metode-
metodek akuntansi yang dapat memperkecil ataupun
memperbesar laba yang dilaporkannya (Sulistyanto, 2008).
Konsep ini membahas bahwa manajer perusahaan cennderung
melanggar regulasi pemerintah seperti halnya perpajakan,
apabila ada manfaat dan keuntungan tertentu yang
diperolehnya. Manajer akan mempermainkan laba sehingga
kewajiban pembayaran pajak tidak terlalu tinggi sehingga
alokasi laba sesuai dengan kemauan perusahaan (Sulistyanto,
2008).
24
c. Proksi manajemen laba
Proksi manajemen laba yang lazim digunakan dalam
penelitian yaitu Unexpected accrual sebagai proksi manajemen
laba Penggunanan unexpected accrual atau yang sering disebut
discretionary accrual dipelopori oleh (Healy, 1985).
Discretionary accrual merupakan kebijakan akuntansi akrual
sebagai suatu cara untuk mengurangi pelaporan laba yang sulit
dideteksi malalui manipulasi kebijakan akuntansi yang berkaitan
dengan akrual, misalnya dngan cara menaikan biaya amortisasi
dan depresiasi, mencatat kewajiban yang besar atas jaminan
produk garansi, kontijensi dan potongan harga dan mencatat
persediaan yang sudah usang (Herawaty, 2008).
d. Mendeteksi Manajemen Laba
Analisis manajemen laba umumnya berfokus pada
penggunaan kebijakan akuntansi akrual. Model yang digunakaan
untuk mengidentifikasi manajemen laba pada laporan keuangan
adalah Model Jones yang dimodifikasi. Model modifikasi jones
dirancang untuk mengeliminasi dugaan kecendrungan. Model
jones dengan pengukuran akrual diskresioner atas kesalahan
ketika diskresi digunakan melalui pengakuan pendapatan, model
modifikasi ini akrual nondiskresioner diestimasi selama tahun
peristiwa (Dechow et al., 1995).
25
Sulistyanto (2008) Penentuan akrual diskresioner sebagai
indikator manajemen laba dapat dijabarkan dalam tahap-tahap
sebagai berikut.
1. Menentukan nilai total akrual (TA) dengan formulasi:
TAit = NIit − CFOit
2. Menentukan nilai parameter α1, α2, dan α3 dengan formulasi:
TAit = α1 + α2∆Revit + α3PPEit + εit
Lalu, untuk menskala data, semua variabel tersebut dibagi
dengan aset tahun sebelumnya (Ait) sehingga formulainya
berubah menjadi:
NDAit/Ait−1 = α1(1/Ait−1) + α2(∆Revit/Ait−1)
+ α3(PPEit/Ait−1) + ε1
3. Menghitung nilai akrual nondiskresioner (NDA) dengan
formulasi:
NDAit = α1(1/Ait−1) + α2(∆Revit/Ait−1 − ∆Recit/Ait−1 ) +
α3(PPEit/Ait−1)
4. Menentukan nilai akrual diskresioner yang merupakan
indikator manajemen laba akrual dengan cara mengurangi
total akrual dengan akrual nondiskresioner, dengan formulasi:
DAit = TAit/Ait−1 − NDA
Keterangan:
TAit = Total akrual perusahaan i dalam tahun t.
NIit = Laba bersih perusahaan i pada tahun t.
CFOit = Arus kas operasi perusahaan i pada periote t.
26
NDAit = Akrual nondiskresioner perusahaan i pada tahunt.
DAit = Akrual diskresioner perusahaan i pada tahun t.
Ait−1 = Total aset pada perusahaan i pada tahun t-1.
∆Revit = Perubahan Penjualan bersih perusahaan i pada
tahun t.
∆Recit = Perubahan piutang perusahaan i pada tahun t.
PPEit = Property, plant, and equipment perusahaan i
pada tahun t.
α1, α2, α3 = Parameter yang diperoleh dari perusahaan regresi.
ε1 = Error term perusahaan i pada tahun t.
Berdasarkan penelitian Dechow et al. (1995) model Jones
dimodifikasi merupakan model yang paling kuat untuk
mendeteksi manajemen laba terdapat discrecioner accrual yang
signifikan. Murhadi (2009) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa metode yang paling sering digunakan untuk menilai
tingkat manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan adalah
metode discreytionary accrual. Jumlah discreytionary accrual
positif maka perusahaan melakukan peningkatan manajemen
laba. Selanjutnya, jika jumlah discreytionary accrual negatif
maka hal tersebut berati perusahaan melakukan penurunan
manajemen laba.
Menurut Herawaty (2008) praktek manajemen laba dinilai
merugikan karena dapat menurunkan nilai laporan keuangan dan
memberikan informasi yang tidak relevan bagi investor sehingga teori
27
keagenan memberikan pandangan bahwa masalah manajemen laba
dapat diminimumkan dengan pengawasan sendiri melalui good
corporate governance.
4. Nilai Perusahaan
Nilai perusahaan diartikan sebagai nilai pasar, nilai perusahaan
dapat memberikan kemakmuran bagi pemegang saham secara
maksimum apabila semakin tinggi nilai harga saham maka makin tinggi
pula kemakmuran pemegang saham, untuk mencapai nilai perusahaan
umumnya para pemodal mengembankan tanggungjawab kepada pihak
yang profesional dibidangnya yaitu manajer atau komisaris (Suhartanti,
2016).
Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan bahwa terjadinya
konflik keagenan disebabkan karena adanya pemisahan kepemilikan
serta pengendalian, karena konflik keagenan dapat menurunkan nilai
perusahaan. Maka apabila nilai perusahaan menurun maka kekayaan
yang dimiliki oleh pemegang saham perusahaan juga akan menurun
atau merugi serta akan berdampak pada pengawasan terhadap pihak
manajemen oleh pihak pemilik perusahaan.
Nilai perusahaan yang tinggi akan membuat pasar percaya tidak
hanya pada kinerja perusahaan saat ini namun juga pada prospek
perusahaan dimasa yang akan datang, nilai perusahaan merupakan
persepsi investor terhadap tingkat keberhasilan perusahaan (Randy,
2013). Enterprise value (EV) atau nilai perusahaan adalah konsep
krusial bagi para investor, dikarenakan merupakan mistar bagi pasar
28
dalam menentukan baik buruknya perusahaan secara menyeluruh
(Nurlela, 2008).
Mengukur nilai perusahaan ada beberapa rasio yang dapat
digunakan, salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah rasio
Tobin’s Q, rasio tersebut merupakan rasio yang dikembangkan oleh
Profesor James Tobin. Dinilai dapat memberikan informasi yang paling
baik, karena rasio ini dapat menjelaskan perbedaan crossectional dalam
pengambilan keputusan investasi. Rasio tersebut adalah konsep yang
dapat menunjukan estimasi pasar keuangan saat ini tentang nilai hasil
pengambilan setiap dana yang diinvestasikan kepada perusahaan yang
dituju. (Kristanti, 2016).
Menurut Sudiyatno dan Puspitasari (2010) terdapat interprestasi
dari skor Tobin’s Q, yaitu sebagai berikut :
1) Tobin’s Q < 1 menggambarkan bahwa saham dalam kondisi
undervalued. Artinya manajemen tidak mampu mengelola aktiva
perusahaan dengan baik yang megakibatkan potensi pertumbuhan
investasi menjadi rendah (Sudiyatno dan Puspitasari, 2010).
2) Tobin’s Q = 1 menggambarkan bahwa saham dalam kondisi
average. Artinya manajemen stagnan dalam mengelola aktiva
yang mengakibatkan potensi pertumbuhan investasi menjadi
tidak seimbang (Sudiyatno dan Puspitasari, 2010).
3) Tobin’s Q > 1 menggambarkan bahwa saham dalam kondisi
overvalued. Artinya manajemen telah berhasil dalam mengelola
29
aktiva perusahaan dengan baik sehingga potensi pertumbuhan
investasi menjadi tinggi (Sudiyatno dan Puspitasari, 2010).
C. Rerangka Pemikiran
Berdasarkan telaah pustaka di atas, berikut ini adalah rerangka
pemikiran yang digambarkan dalam bentuk diagram skematik:
Gambar 2. 1 Rerangka Pemikiran
D. Perumusuan Hipotesis
1. Manajemen Laba terhadap Nilai Perusahaan
Manejemen laba merupakan suatu kegiatan dilakukan oleh pihak
manajemen dalam meningkatkan atau menurunkan laba perusahaan
dalam laporan keuangan. Manajemen laba memiliki tujuan yaitu untuk
peningkatan kesejahteraan pihak tertentu walaupun dalam periode-
2. Dewan Komisaris
Independen
3. Kepemilikan Manajerial
4. Kepemilikan
Institusional
5. Komite Audit
Manajemen Laba Nilai Perusahaan
Variable Pemoderasi
Independent
Variable
Dependent
Variable
30
periode berikutnya perbedaan laba kumulatif perusahaan dengan laba
yang dapat diidentifikasi sebagai suatu keuntungan (Herawaty, 2008).
Asimetri antara manajemen dan pemilik perusahaan dapat
memberikan kesempatan bagi manajer untuk melakukan praktik
menajemen laba guna meningkatkan nilai perusahaan pada saat
tertentu.
Asimetri informasi antara agen dan pemilik perusahaan
mengakibatkan agen dapat bertindak yang hanya menguntungkan
dirinya sendiri dengan mengabaikan kepentingan pemilik. Manipulasi
yang dilakukan manajemen perusahaan membuat investor kehilangan
kepercayaan atas investasinya, sehingga menyebabkan investor
melakukan penarikan dana yang telah diinvestasikan sebelumnya. Oleh
karena itu, diperlukan perlindungan terhadap kepentingan investor dari
perilaku penyimpangan yang dilakukan pihak manajemen (Ridwan dan
Gunardi, 2017).
Laba yang dilaporkan lebih besar dari aliran kas operasi yang
dapat meningkatkan nilai perusahaan saat ini. Herawaty (2008) menguji
sifat kandungan informasi komponen akrual dan komponen aliran kas
apakah terefleksi dalam harga saham. Terbukti bahwa kinerja laba yang
berasal dari komponen akrual sebagai aktivitas manajemen laba
memiliki persistensi yang lebih rendah dibandingkan aliran kas. Laba
yang dilaporkan lebih besar dibandingkan aliran kas operasi yang dapat
meningkatkan nilai perusahaan.
31
Kristanti (2016) menyatakan bahwa manajemen laba memiliki
pengaruh negatif yang signifikan terhadap nilai perusahaan, artinya
perusahaan yang melakukan manajemen laba yang tinggi akan dapat
membuat nilai perusahaan menjadi lebih rendah.
Manajemen laba dimotivasi dengan adanya tekanan maupun
dorongan manajer untuk menghasilkan laba jangka pendek yang tinggi.
Oleh karena itu, jika manajemen melakukan manajemen laba pada
tahun sekarang maka otomatis laba yang dilaporkan meningkat yang
pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja perusahaan, maka jika
kinerja perusahaan meningkat maka otomatis harga pasar saham
menigkat sehingga nilai perusahaan dimata investor akan meningkat.
Namun, pada tahun berikutnya laba perusahaan akan berkurang
sehingga nilai perusahaan akan mengalami penurunan. Berdasarkan
uraian tersebut maka penulis merumuskan hipotesis pertama sebagai
berikut:
H1: Manajemen laba berpengaruh negatif terhadap nilai
perusahaan.
2. Pengaruh Dewan Komisaris Independen terhadap hubungan
antara manajemen laba terhadap nilai perusahaan
Berdasarkan pedoman umum Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG, 2006) Dewan Komisaris diartikan sebagai organ
perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif untuk
melakukan pengawasan dan pemberian nasehat kepada Direksi serta
memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG. Namun demikian,
Dewan komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan
32
operasional dikarenakan kedudukan masing-masing anggota Dewan
Komsaris termasuk Komisaris Utama adalah setara (KNKG, 2006).
Herawaty (2008) menguji hubungan antara manajemen laba
dengan nilai perusahaan yang dimoderasi oleh corporate governance.
Hasil penelitiannya membuktikan bahwa komisaris independen, kulitas
audit dan kepemilikan institusional merupakan variabel pemoderasi
manajemen laba dengan nilai perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut
maka penulis merumuskan hipotesis ke dua yaitu :
H2: Dewan Komisaris Independen memoderasi hubungan antara
manajemen laba terhadap nilai perusahaan.
3. Pengaruh kepemilikan manajerial terhadap hubungan antara
manajemen laba terhadap nilai perusahaan
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa proporsi
kepemilikan manajerial saham yang dikontrol oleh manajer dapat
mempengaruhi kebijakan-kebijakan perusahaan serta dapat
menyejajarkan kepentingan antara prinsipal dan agen sehingga
motivasi manajer dalam melakukan manajemen laba akan berkurang.
Berdasarkan penelitian dari Darwis (2012) yang menyatakan
bahwa variabel moderating kepemilikan manajerial tidak berpengaruh
terhadap hubungan antara manajemen dan nilai perusahaan. Hal
tersebut juga mendukung penelitian dari Herawaty (2008) yang
menyatakan bahwa kepemilikan manajerial bukan merupakan variabel
pemoderating. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar
kontribusi perusahaan-perusahaan terhadap kepemilikan manajerial
33
masih sangat kecil artinya pemegang saham dari pihak manajemen
belum cukup tinggi untuk mendominasi keputusan dalam perusahaan.
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis merumuskan hipotesis
ketiga sebagai berikut::
H3 : Kepemilikan manajerial tidak mampu memoderasi
hubungan antara manajemen laba terhadap nilai
perusahaan.
4. Pengaruh kepemilikan Institusional terhadap hubungan antara
manajemen laba terhadap nilai perusahaan
Apabila Pengelolaan laba efisien maka kepemilikan institusional
yang tinggi akan meningkatkan pengelolaan laba tetapi apabila
pengelolaan laba yang dilakukan perusahaan oportunis maka
kepemilikan institusional yang tinggi akan mengurangi manajemen
laba (Darwis, 2012).
Herawaty (2008) menguji hubungan antara manajemen laba
dengan nilai perusahaan yang dimoderasi oleh corporate governance.
Hasil penelitiannya membuktikan bahwa komisaris independen, kulitas
audit dan kepemilikan institusional merupakan variabel pemoderasi
manajemen laba dengan nilai perusahaan. Hal ini mendukung
penelitian Darwis (2012) yang menyatakan bahwa kepemilikan
institusional ternyata mampu memoderasi hubugan manajemen laba
terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis
merumuskan hipotesis ke empat yaitu :
H4: Kepemilikan institusional memoderasi hubungan antara
manajemen laba dengan nilai perusahaan.
34
5. Pengaruh komite audit terhadap hubungan antara manajemen
laba terhadap nilai perusahaan
Berdasarkan pedoman umum Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG, 2006) tugas dan tanggung jawab dari komite audit
yaitu memastikan bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, selanjutnya
memastikan struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan
dengan baik .
Salah satu fungsi komite audit ialah membantu dewan komisaris
dalam melakukan pengawasan dan mengvaluasi kinerja dari
perusahaan tersebut (KNKG, 2006). Bisa dikatakan bahwa tanggung
jawab serta peran dari komite audit sangat vital dalam pelaksanaan
GCG. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis merumuskan hipotesis
ke lima yaitu:
H5: Komite Audit memoderasi hubungan antara manajemen
laba terhadap nilai perusahaan.