16
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Ikan 2.1.1. Klasifikasi Ikan Patin Ikan patin termasuk ikan dasar, hal ini bisa dilihat dari bentuk mulutnya yang agak ke bawah, ikan patin bersifat nokturnal (melakukan aktivitas di malam hari) sebagaimana umumnya ikan catfish lainnya. Habitatnya di sungai-sungai besar dan muara-muara sungai yang tersebar di Indonesia, India dan Myanmar. Berikut adalah klasifikasi ikan Patin menurut Marsuci dan Nikma (2012) : Kingdom : Animalia Phyllum : Chordata Sub Phyllum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub Ordo : Siluroidea Famili : Pangasidae Genus : Pangasius Spesies : Pangasius sp. 2.1.2. Morfologi Ikan Patin

BAB II MEI.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II MEI.docx

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Ikan

2.1.1. Klasifikasi Ikan Patin

Ikan patin termasuk ikan dasar, hal ini bisa dilihat dari bentuk mulutnya yang agak ke

bawah, ikan patin bersifat nokturnal (melakukan aktivitas di malam hari) sebagaimana

umumnya ikan catfish lainnya. Habitatnya di sungai-sungai besar dan muara-muara sungai

yang tersebar di Indonesia, India dan Myanmar.

Berikut adalah klasifikasi ikan Patin menurut Marsuci dan Nikma (2012) :

Kingdom : Animalia

Phyllum : Chordata

Sub Phyllum : Vertebrata

Kelas : Pisces Sub

Kelas : Teleostei

Ordo : Ostariophysi

Sub Ordo : Siluroidea

Famili : Pangasidae

Genus : Pangasius

Spesies : Pangasius sp.

2.1.2. Morfologi Ikan Patin

2.2. Kulit Ikan

Menurut Purnomo (2001), dalam dunia perkulitan, kulit dibedakan menjadi

dua golongan besar, yakni sebagai berikut:

1. Kulit yang berasal dari binatang besar yang lazim disebut hide, misalnya: kulit sapi, kulit

kerbau, kulit banteng, kulit badak, dan kulit harimau; dan

Page 2: BAB II MEI.docx

2. Kulit yang berasal dari binatang kecil yang lazim disebut skin, misalnya: kulit domba, kulit

kambing, kulit rusa, kulit babi, kulit ikan, dan kulit reptil

(biawak, ular, buaya dan komodo).

Kulit sebagian besar tersusun atas jaringan protein yang mudah rusak apabila berada

dalam kondisi segar. Protein penyusun kulit sebagian besar tersusun oleh jaringan ikat

terutama kolagen, elastin dan retikulum. Kolagen merupakan jaringan ikat terbanyak,

kemudian retikulum dan yang paling sedikit elastin. Jaringan ikat terutama kolagen jika

bereaksi dengan bahan penyamak akan merubah sifat fisik kulit lebih tahan terhadap

pengaruh lingkungan maupun mikroorganisme (Mustakim et al., 2006).

Struktur kulit ikan seperti hewan vertebrata, terdiri dari dua lapisan utama. Lapisan

luar adalah epidermis dan lapisan dalam adalah dermis atau corium. Lapisan ini sangat

berbeda tidak hanya dalam posisinya, tetapi dalam struktur, karakter dan fungsinya. Struktur

kulit ikan relatif sederhana karena ikan hidup di air dan jaringan epidermis juga relatif tipis.

Epidermis terdiri dari beberapa lapisan sel epitel dan jumlah lapisan bervariasi tergantung

pada spesies, bagian tubuh dan umur ikan. Sel epitel bergabung bersama-sama secara melekat

atau matriks (Pahlawan dan Kasmudjiastuti, 2012).

Menurut Herhady dan Sukarsono (2006), kulit tersusun atas beberapa komponen

kimia. Komponen yang paling berguna dalam proses penyamakan yaitu kolagen. Berikut

penjelasan komposisi kulit tersaji pada Tabel :

Tabel . Komposisi Penyusun KulitBahan Penyusun Jumlah (%)

Air 64Protein 33Struktural protein:

a. Elastin b. Kolagenc. Keratin

0,3292

Non struktural protein:a. Albumin, globinb. Mucins, mucoid

10,7

Lemak 2

Page 3: BAB II MEI.docx

Garam mineral 0,5Subeden lein (pigmen, dll) 0,5

Sumber: Herhady dan Sukarsono (2006)

Gambar 3. Penampang Kulit IkanSumber: Restu (2012)

2.3. Penyamakan Kulit

Penyamakan prinsipnya adalah proses memodifikasi struktur kolagen, komponen

utama kulit, dengan mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tanin atau bahan

penyamak) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit tersebut, sehingga

kulit menjadi tahan terhadap gangguan mikroorganisme. Pada proses penyamakan kulit,

jaringan kolagen distabilkan oleh bahan penyamak (tanning agent) dari sifat asli kulit seperti

sifat kulit yang sangat rentan terhadap pembusukan. Jaringan kolagen ini distabilkan melalui

pembentukan crosslink dengan tanning agent (Suparno et al., 2008).

Menurut Mustakim et al (2007), penyamakan kulit pada umumnya dapat dilakukan

dengan beberapa cara, ditinjau dari bahan penyamak yang digunakan yaitu sebagai berikut :

1). Penyamakan nabati dengan bahan penyamak yang berasal dari tumbuh - tumbuhan yang

mengandung penyamak nabati (tannin) misalnya kulit akasia, segawe, tengguli, mahoni,

gambir, teh, buah pinang, dan mangga.

2). Penyamakan mineral dengan bahan penyamak mineral misalnya khrom dan formalin.

3). Penyamakan minyak dengan bahan penyamak yang berasal dari minyak hewan seperti

minyak ikan hiu.

Page 4: BAB II MEI.docx

Zat penyamakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah zat penyamakan khrom.

Zat penyamakan khrom sangat cocok digunakan untuk beberapa jenis kulit yang memiliki

tingkat ketebalan yang rendah. Menurut Prihandoko (2009), zat penyamak khrom dalam

bentuk chromium sulfat basa (Cr(SO4OH) berkaitan dengan kolagen kulit dan membentuk

ikatan silang. Reaksi antara zat penyamak dengan gugus karboksi dan protein. Sulfat yang

terikat oleh khrom digantikan oleh ion OH- yang ditambahkan untuk meningkatkan daya

fiksasi. Selama pengeringan terjadi penyempurnaan ikatan sehingga ikatan

menjadi stabil dengan pengeluaran ion H+.

Menurut Purnomo (2002), kulit yang disamak khrom memiliki beberapa

kelebihan, antara lain:

1. Tahan terhadap panas yang tinggi;

2. Daya tarik/kuat tariknya lebih tinggi;

3. Memungkinkan hasil yang lebih baik apabila dilakukan pengecatan; dan

4. Kulit tersamak akan lebih lemas.

Menurut Pawiroharsono (2008), proses penyamakan kulit adalah proses pengolahan

kulit binatang melalui beberapa tahapan proses sehingga kulit binatang yang masih utuh

dirubah menjadi kulit yang siap digunakan untuk pembuatan produk-produk hilir seperti

sepatu, dompet, ikat pinggang, jok kursi dan sebagainya.

Menurut Mustika (2001), terdiri dari 3 tahapan proses penyamakan yaitu pra-

penyamakan, penyamakan dan pasca penyamakan. Pra-penyamakan terdiri dari perendaman

(soaking), pengapuran (liming), pembuangan sisik, buang daging, pembuangan kapur

(deliming), pengikisan protein (batting), pembuangan lemak (degresing) dan pengasaman

(pickling). Penyamakan terdiri dari penyamakan (tanning), netralisasi dan penyamakan ulang

(re-tanning). Pasca penyamakan terdiri dari pewarnaan (dyeing), peminyakan (fat liquoring)

dan finishing. Penjelasan dari proses tersebut adalah sebagai berikut:

Page 5: BAB II MEI.docx

1. Perendaman (soaking)

Bertujuan untuk mengembalikan kadar air kulit sampai mendekati kadar air kulit

segar, membuang kotoran /darah dan bahan kimia lain yang digunakaan dalam proses

pengawetan, membuang protein-protein yang dapat larut untuk dibuang, membuka tenunan

kulit, sehingga kulit siap untuk mendapat perlakuan selanjutnya (Mustika, 2001).

2. Pengapuran (liming)

Bertujuan menghilangkan lapisan lemak kulit, menghilangkan lapisan kulit epidermis,

menghilangkan sebagian zat kulit yang tidak diperlukan sehingga kulit menjadi lemas.

Tujuan lainnya dilakukan pengapuran yaitu untuk membuka serabut-serabut kolagen

sehingga reaksi zat penyamakan dengan kolagen akan lebih aktif dan menjadikan kulit samak

akan mudah untuk disamak. Bahan kimia utama yang digunakan dalam proses pengapuran

adalah Ca(OH)2, garam natrium sulfide (Mustika, 2001).

3. Buang sisik

Bertujuan untuk menghilangkan sisik dari permukaan kulit sehingga kulit (kolagen

kulit) dapat bereaksi sempurna dengan bahan penyamak (Mustika, 2001).

4. Buang daging

Bertujuan yaitu menghilangkan sisa-sisa daging yang masih melekat pada kulit dan

menghilangkan lapisan subkutis (lapisan antara daging dan kulit) agar tidak menghalangi

masuknya zat penyamak selama proses penyamakan (Mustika, 2001).

5. Buang kapur (deliming)

Bertujuan untuk menghilangkan kapur dan menurunkan pH. Penurunan pH untuk

membersihkan permukaan kulit dari kapur yang digunakan dalam pengapuran, melarutkan

lemak dan mempersiapkan kulit untuk proses batting. Proses buang kapur tidak dilakukan

dengan baik (sempurna) maka kadar abu yang diperoleh akan sangat tinggi. Semakin rendah

Page 6: BAB II MEI.docx

kadar abu maka semakin lemas kulit samaknya, karena kulit yang mengandung kapur dalam

jumlah yang tinggi

6. Pengikisan protein (batting)

Bertujuan untuk menghilangkan sebagian dari protein kulit yang tidak terpakai seperti

globular protein yang terdapat diantara serat kulit dan elatin. Pengikisan protein

menggunakan enzim proteolitik yang mampu mengurai protein. Dengan demikian banyak

ruang kosong di antara serat-serat kulit, sehingga kulit samakan menjadi lebih lunak dan

lemas (Mustika, 2001).

7. Pembuangan lemak (degresing)

Penghilangan lemak natural yang terdapat dalam kulit ikan. Bahan kimia yang

digunakan dalam proses ini yaitu bahan-bahan yang bersifat melarutkan lemak dan tidak

bereakasi dengan kulit. Bahan tersebut biasanya berupa sabun (Mustika, 2001).

8. Pengasaman (pickling)

Salah satu usaha untuk menghentikan kegiatan dari enzim. Tujuan lainnya adalah

menyiapkan kulit dalam kondisi asam (pH 2,5-3), dalam proses pengasaman dapat

menghilangkan noda-noda hitam akibat proses sebelumnya dan untuk menghilangkan unsur

besi yang melekat pada kulit. Jenis asam kuat yang sering digunakan yakni asam sulfat, asam

klorida. Jenis asam lemah yang digunakan adalah asam formiat, asam oksalat, asam asetat

(Mustika, 2001).

9. Penyamakan (tanning)

Bertujuan untuk mengubah kulit mentah yang mudah rusak oleh aktivitas

mikroorganisme, khemis atau phisis, menjadi kulit tersamak yang lebih tahan terhadap

pengaruh tersebut. Mekanisme penyamakan kulit pada prinsipnya adalah memasukkan

tertentu yang disebut bahan penyamak ke dalam anyaman atau jaringan serat kulit sehingga

terjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dengan serat kulit (Mustika, 2001).

Page 7: BAB II MEI.docx

10. Pewarna (dyeing)

Proses pewarnaan berfungsi untuk memberikan warna dasar pada kulit.

Bahan pewarna dapat berupa zat warna alam dan zat warna sintetis. Zat warna

alam diperoleh dari ekstraksi kulit kayu, kayu, daun dan buah. Zat warna sintetis

yang digunakan untuk kulit umumnya dari jenis cat asam (Mustika, 2001).

11. Peminyakan (fat liqouring)

Bertujuan untuk menghindari kulit yang kering dan kaku setelah dikeringkan,

memperbesar daya tahan sobek dan tarikan, membuat kulit lebih fleksibel dan mudah

dilekuk-lekukkan (Mustika, 2001).

12. Penyelesaian (finishing)

Proses yang berfungsi untuk melindungi permukaan kulit dari pengaruh luar (mekanis

dan bahan kimia) dan untuk memperindah penampilan kulit. Pada umumnya bahan-bahan

untuk finishing kulit meliputi : pigmen, binder, pelumas(wax), pelarut (air), emulsi lak dan

lak air. Tetapi untuk finishing kulit ikan biasanya menggunakan tipe finish anilin artinya

penggunaan larutan finishing tanpa menggunakan zat warna pigmen, jadi warna cukup dari

zat warna pada

proses pewarnaan dasar (Mustika, 2001).

Penyamakan mempunyai standar mutu dari hasil uji yang dilakukan. Standar mutu

penyamakan kulit ikan mengacu pada SNI 06-4586-1998 mengenai kulit jadi dari kulit ular

air tawar samak khrom.

2.4. Zat Warna Sintetis

Proses pewarnaan bertujuan untuk memberikan warna dasar pada kulit tersamak

seperti yang diinginkan sehingga penampilan kulit akan lebih indah. Tahap pewarnaan tentu

berperan untuk memberi warna pada kulit dengan zat warna.

Page 8: BAB II MEI.docx

Menurut Emilia dan Muhammad (2012), jenis zat warna ada dua, yaitu zat warna

alam dan zat warna sintetis. Zat warna alam adalah zat warna yang berasal dari alam, baik

yang berasal dari tanaman, hewan, maupun bahan metal.. Zat warna dari tumbuhan yang

biasanya digunakan antara lain: indigofera (warna biru), Sp Bixa orrellana (warna orange

purple), Morinda citrifolia (warna kuning). Zat warna yang berasal dari hewan adalah Kerang

(Tyran purple), Insekta (Ceochikal), dan Insekta warna merah (Loe). Zat warna sintesis

adalah zat warna buatan dengan bahan dasar buatan, misalnya: Hirokarbon Aromatik dan

Naftalena yang berasal dari batubara. Hampir semua zat warna yang digunakan dalam

industri batik merupakan zat warna sintetik, karena zat warna jenis ini mudah diperoleh

dengan komposisi yang tetap, mempunyai aneka warna yang banyak, mudah cara

pemakaiannya dan harganya relatif tidak tinggi. Zat pewarna kimia tersebut dapat

diklasifikasikan menjadi tujuh bahan warna yaitu: Napthol, Indigosol, Rapide, Ergan Soga,

Kopel Soga, Chroom Soga, dan Procion.

Zat warna sintetis (synthetic dyes) atau zat wana kimia mudah diperoleh, dan stabil.

Zat Warna sintetis dalam tekstil merupakan turunan hidrokarbon aromatik seperti benzena,

toluena, naftalena dan antrasena diperoleh dari arang batubara (coal, tar, dyestuff) yang

merupakan cairan kental berwarna hitam dengan berat jenis 1,03 - 1,30 dan terdiri dari

despersi karbon dalam minyak. Minyak tersebut tersusun dari beberapa jenis senyawa dari

bentuk yang paling sederhana misalnya benzena (C6H6) sampai bentuk yang rumit mialnya

krisena (C18H12) dan pisena (C22Hn). Macam- macam zat warna sintetis yaitu zat warna

direk, zat warna asam, zat warna basa, zat warna napthol, zat warna pigmen, zat warna

belerang, zat warna dispersi, zat warna bejana, zat warna indigosol, dan zat warna reaktif

(Koswara, 2009).

Tidak semua zat warna sintetis bisa dipakai untuk pewarnaan bahan kerajinan, karena

ada zat warna yang prosesnya memerlukan perlakuan khusus, sehingga hanya bisa dipakai

Page 9: BAB II MEI.docx

pada skala industri. Tetapi zat warna sintetis yang banyak dipakai untuk pewarnaan bahan

kerajinan antara lain bahan sintetis rapid (Rosyida dan Zulfiya, 2013).

2.5. Zat Warna Alami Angkak

Angkak adalah bahan pewarna alami yang dihasilkan oleh kapang Monascus

purpureus, memiliki warna yang konsisten dan stabil, dapat bercampur dengan pigmen alami

lainnya dan dengan bahan makanan, tidak mengandung racun dan tidak karsinogen sehingga

dapat digunakan sebagai pewarna alami (Fitriyani et al,2013)

Angkak adalah produk fermentasi menggunakan kapang Monascus sp. yang berasal

dari negara China. Pembuatan pertama dilakukan oleh Dinasti Ming yang berkuasa pada abad

ke-14 sampai abad ke-17. Dalam teks tradisional The Ancient Chinese Pharmacopoeia

disebutkan bahwa angkak digunakan sebagai obat untuk melancarkan pencernaan dan

sirkulasi darah. Beberapa spesies kapang telah digunakan untuk memproduksi angkak,

diantaranya adalah Monascus purpureus, M. pilosus, dan M. anka. Negara-negara Taiwan,

Jepang, Korea, dan Hongkong memproduksi angkak untuk keperluan sebagai pewarna alami

makanan (Wanti,2008)

Page 10: BAB II MEI.docx

Menurut NCBI (2012), kedudukan taksonomi dari Monascus purpureus adalah

sebagai berikut:

Kerajaan : Fungi

Filum : Ascomycota

Kelas : Eurotiomycetes

Bangsa : Eurotiales

Keluarga : Elaphomycetaceae

Marga : Monascus

Spesies : Monascus purpureus Went.

Monascus purpureus akan menghasilkan metabolit sekunder berupa pigmen yang

dikelompokkan ke dalam tiga kelompok berdasarkan warnanya, yaitu pigmen kuning, pigmen

oranye, dan pigmen merah. Pigmen kuning terdiri dari monascin (C21H26O5) dan ankaflavin

(C26H30O5); pigmen oranye terdiri dari monascorubrin (C23H26O5) dan rubropunctatin

(C21H22O5); serta pigmen merah terdiri dari monascorubramine (C23H27NO4) dan

rubropuntamine (C21H23NO4) (Pattanagul dkk., 2008). Di antara ketiga kelompok pigmen

yang 13 dihasilkan oleh Monascus purpureus itu, pigmen merah adalah yang paling penting

karena nilai komersialnya tinggi (Widjayanti, 2000).

Page 11: BAB II MEI.docx