Upload
vukhuong
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
23
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kepuasan kerja dapat menyokong dan memotivasi seseorang
dalam melakukan aktivitas kerjanya pada suatu organisasi dan dunia
industri dimana dia mengabdi. Evaluasi perkerjaan yang sesuai dengan
harapan pekerja akan sangat berpengaruh pada kepuasan mereka namun
jika yang terjadi adalah sebaliknya maka tentu itu akan mengecewakan.
Dalam bab ini akan dibahas tentang landasan teori yang terdiri dari
definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan hasil
penelitian dari masing-masig variabel.
2.1 Kepuasan Kerja
2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Ada berbagai definisi yang diungkapkan oleh para ahli tentang
kepuasan kerja. Menurut Robins, (1998) kepuasan kerja adalah suatu sikap
umum seorang individu terhadap pekerjaannya, oleh karena itu pekerjaan
menuntut interaksi antara rekan sekerja dengan atasan, mengikuti aturan
kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup pada kondisi kerja
yang sering kurang dari ideal, dan yang serupa yang dapat merujuk pada
kepuasan atau ketidak puasan kerja. Selanjutnya Robbins dan Jugje,
(2009) mendefinisikan kepuasan kerja (job satisfaction) sebagai suatu
perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari
sebuah evaluasi karateristiknya.
Kepuasan kerja mendapat tempat yang sangat penting dalam
perilaku organisasi, Luthans (2006). Istilah kepuasan kerja merujuk pada
sikap (reaksi emosional) individu terhadap pekerjaannya. Sejalan dengan
24
pendapat tersebut, Luthans (2006) mengutip pendapat Locke, memberikan
definisi komperhensif tentang kepuasan kerja yang meliputi reaksi positif
dari kognitif, afektif, dan evaluatif yang berasal dari penilaian pekerjaan
atau pengalaman kerja seseorang.
Sementara itu, Eslami dan Gharakhani (2012) mengemukakan
bahwa kepuasan kerja adalah rekasi positif yang terlihat dari perilaku
karyawan dalam pekerjaannya. Menurut Rose (dalam Eslami dan
Gharakhani 2012), seorang karyawan secara intrinsik puas jika ia
menerima imbalan yang jelas berdasarkan aktivitas pekerjaan yang dia
lakukan, sedangkan seorang karyawan secara ekstrinsik puas terhadap
pekerjaannya, jika dia menerima uang kompensasi atau imbalan materi
lainnya untuk mengubah tingkah laku dirinya.
Defenisi lain tentang kepuasan kerja dikemukakan oleh Handoko
(2000) sebagai keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan dengan mana para pegawai memandang pekerjaan mereka.
Kepuasan kerja mencerminkan sikap seseorang terhadap pekerjaannya. Ini
nampak dalam sikap positif pegawai terhadap pekerjaan dan segala
sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Departemen personalia atau
pihak manajemen harus senantiasa memonitor kepuasan kerja, karena hal
ini dapat memengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja, semangat
kerja, keluhan-keluhan dan masalah personalia vital lainnya.
Selanjutnya menurut Mangkunegara (2000), kepuasan kerja
maupun ketidakpuasan kerja merupakan bentuk ungkapan yang
dituangkan lewat pekerjaan yang menyokong atau tidak menyokong diri.
Sehingga perasaan puas atau tidaknya seseorang akan berhubungan
dengan pekerjaan maupun dengan kondisi dirinya. Perasaan yang
berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek seperti upah, atau
25
gaji yang diterima, kesempatan pengembangan karier, hubungan dengan
pegawai lainya, penempatan kerja, jenis pekerjaan, struktur organisasi
perusahaan dan mutu pengawasan. Sedangkan perasaan yang berhubungan
dengan dirinya, antara lain umur, kondisi kesehatan, kemampuan dan
pendidikan.
Berdasarkan beberapa defenisi tentang kepuasan kerja tersebut di
atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah sikap umum dari
perasaan positif atau emosi yang menyenangkan karena keberhasilan dari
suatu pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu organisasi.
Perasaan positif tersebut berasal dari hasil evaluasi berdasarkan
karakterisitiknya mengenai seberapa baik pekerjaannya yang dapat
berdampak pada reaksi emosional yang menyenangkan. Sehingga puas
tidaknya seseorang pada pekerjaannya akan tergantung pada sesuai atau
tidaknya hasil evaluasi dengan harapan mereka.
2.1.2 Teori Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja maupun ketidak puasan kerja dapat dipahami dari
beberapa teori. Robbins & Judge (2009), memandang kepuasan kerja
berdasarkan kumpulan perasaan terhadap pekerjaan yang dimiliki oleh
seorang karyawan. Lebih lanjut teori ini berpandangan bahwa kepuasan
kerja adalah suatu perilaku karyawan yang puas dengan apa yang
diberikan oleh suatu organisasi tempatnya bekerja dan ditunjukan dengan
sikap positif karyawan terhadap organisasi itu. Berdasarkan hal tersebut
maka ada 5 faktor kepuasan kerja yaitu :
1. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri. Kepuasan ini tercapai
bilamana pekerjaan seorang karyawan sesuai dengan minat dan
kemampuan karyawan itu sendiri.
26
2. Kepuasan terhadap imbalan dari pekerjaan itu. Di mana karyawan
merasa gaji atau upah yang diterimanya sesuai dengan beban kerjanya
dan seimbang dengan karyawan lain yang bekerja pada organisasi itu.
3. Kepuasan terhadap atasan. Karyawan merasa memiliki atasan yang
mampu memberikan bantuan teknis dan motivasi.
4. Kepuasan terhadap rekan kerja. Karyawan merasa puas terhadap rekan
- rekan kerjanya yang mampu memberikan bantuan teknis dan
dorongan sosial.
5. Kesempatan promosi. Kesempatan untuk meningkatkan posisi jabatan
pada struktur organisasi.
Selanjutnya Menurut Wexley dan Yulk (dalam As’ad 1998) ada
tiga macam teori tentang kepuasan kerja yang lazim digunakan, yaitu :
teori ketidak sesuaian (discrepancy theory), teori keadilan (equity theory),
teori dua factor (twofactortheory)
a. Discrepancy theory (teori ketidak sesuaian)
As’ad, (1998) mengemukakan bawa teori ketidak sesuaian pertama
kali dipelopori oleh Porter pada tahun 1961. Porter mengukur kepuasan
kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya
dengan kenyataan yang dirasakan. Kemudian Locke pada tahun 1969
berpandangan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung pada
perbedaan yang seharusnya didapati dengan harapan akan nilai-nilai yang
dibutuhkan. Teori ketidaksesuaian, Locke (dalam Wijono 2010)
mengungkapkan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan dari aspek pekerjaan
menggunakan dasar pertimbangan dua nilai, yaitu (1) ketidaksesuaian
yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan individu dengan apa yang
dia terimanya; dan (2) apa pentingnya pekerjaan yang diinginkan oleh
27
individu tersebut. Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi individu adalah
jumlah setiap aspek pekerjaan dikalikan dengan derajat pentingnya aspek
pekerjaan individu.
b. Teori keadilan (equity theory)
Teori ini dikembangkan oleh Adams (dalam Cahyono 1996), prinsip
dari teori ini menyatakan bahwa seseorang akan merasa puas atau
sebaliknya tidak puas terhadap pekerjaannya tergantung pada apakah
orang tersebut merasa adanya keadilan (equity) atau ketidak adilan
(inequity) atas suatu situasi. Hal ini diperoleh dengan cara
membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun
ditempat lain. Bila individu merasa adanya keadilan dalam pekerjaannya
yaitu persepsi keadilan tercapai bila perbandingan antara input-outcome
seorang individu sepadan dengan individu lainnya. Input adalah suatu nilai
yang menyokong suatu pekerjaan atau jabatan seperti pendidikan,
pengalaman, keterampilan, masa kerja, persediaan atau perlengkapan
kerja. Outcome adalah suatu nilai yang didapat dari suatu pekerjaan atau
jabatannya, seperti upah, keuntungan, status penghargaan dan kesempatan
untuk berprestasi dan ekspresi diri.
c. Teori Dua factor (twofactortheory)
Prinsip teori ini ialah kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu
merupakan dua hal yang berbeda (Cahyono,1996). Artinya, kepuasan
kerja dan ketidakpuasan kerja itu tidak merupakan suatu variabel yang
kontinyu. Berdasarkan atas hasil penelitian Herzberg (dalam Luthans
2006) menyatakan bahwa orang dalam melaksanakan pekerjaannya
dipengaruhi dua faktor, yaitu : Faktor motivator dan Faktor hygiene.
28
Faktor motivator ini berhubungan dengan aspek-aspek yang terkandung
dalam perkerjaan itu sendiri (Job Content) atau disebut juga aspek
intrinsik dalam pekerjaan. Faktor-faktor yang termasuk disini adalah
keberhasilan melakukan tugas, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung
jawab, kemungkinan untuk pengembangan, kesempatan untuk maju.
Faktor hygiene yaitu faktor yang berada disekitar pelaksanaan pekerjaan,
berhubungan dengan job content atau pekerjan ekstrinsik yang terdiri dari
: kondisi kerja, hubungan antara pribadi, kebijaksanaan perusahaan
teknik pengawasan, upah/gaji. (Luthans 2006) menambahkan bahwa
perasaan nyaman dalam pekerjaan umumnya berhubungan dengan
pengalaman kerja dan kepuasan kerja. Seseorang akan bangga dan puas
dengan pekerjaan karena fasilitas yang tersedia. Sebaliknya perasaan tidak
senang umumnya berhubungan dengan aspek disekitar pekerjaan atau
suasana perkerjaan.
d. Teori Pemenuhan Kebutuhan (need fulfillment theory)
Teori Maslow ini sering disebut dengan hirarki kebutuhan, karena
menyangkut kebutuhan manusia, teori ini menunjukkan kebutuhan
seseorang yang harus dipenuhi agar dia termotivasi untuk berkerja.
Menurut teori ini, kepuasan kerja pegawai bergantung pada terpenuhi atau
tidaknya kebutuhan pegawai. Kebutuhan ini berupa kebutuhan fisik, rasa
aman, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri, Maslow (Robbins, 2002).
Sedangkan menurut McClelland et al dalam (Robbins 2002), ada tiga
kebutuhan yang relevan ditempat kerja yaitu kebutuhan akan prestasi,
kebutuhan akan kekuasan dan kekuasaan afiliasi. Pegawai akan merasa
puas apabila ia mendapatkan apa yang dibutuhkan. Makin besar
kebutuhan pegawai terpenuhi, makin puas pula pegawai tersebut.
29
Sebaliknya apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi, pegawai itu tidak
akan merasa puas.
Untuk kepentingan penelitian ini penulis menggunakan teori
kepuasan kerja oleh Robbis dan Judge (2009). Prinsip kepuasan kerja yang
dikemukakan oleh Robbis dan Judge (2009) dapat disimpulkan bahwa
kepuasan kerja berangkat dari perilaku karyawan yang puas dengan apa
yang diberikan oleh suatu organisasi tempatnya bekerja dan ditunjukkan
dengan sikap positif karyawan terhadap organisasi tersebut.
2.1.3 Aspek Kepuasan Kerja
Herzberg (dalam Robbins & Judge 2009) menyatakan bahwa pada
kenyataanya kepuasan kerja itu berangkat dari segi kepuasan kerja yang
dapat dilihat dari pekerjaan itu sendiri, bayaran, kenaikan jabatan,
pengawasan/supervisor dan rekan kerja.
a. Pekerjaan itu sendiri. Pekerjaan yang memberi kesempatan untuk
seorang pekerja menggunakan kemampuan yang dimiliki
b. Bayaran dalam bentuk imbalan yang pantas dari system gaji, sistem
insentif finansial, sistem tunjangan, kebijaksanaan promosi yang adil
dan sesuai harapan (cita-cita), dan terjauh dari praktek politik dalam
promosi.
c. Kenaikan jabatan, prinsipnya adalah the right man in the right job
(pekerjaan yang tepat pada jabatan yang tepat). Analisis jabatan
menghasilkan deskripsi jabatan dan spesifikasi jabatan. Pekerja akan
mendapatkan kepuasan kerja apabila kepriibadian (spesifikasi jabatan)
cocok dengan deskripsi jabatan.
d. Pengawasan supervisor. Pekerja menyukai dan menyenangi jabatan
yang memiliki atasan yang memiliki karakteristik sebagai berikut
30
yaitu (1) atasan langsung yang memiliki ilmu pengetahuan,
ketrampilan dan kemampuan untuk berkerja sama dalam memecahkan
persoalan pekerjaan yang sulit (2) atasan langsung yang bersedia
mendengarkan dan memahami keluhan dan pendapat tentang
pemecahan persoalan pekerjaan. (3) atasan yang suka memberikan
pertolongan dalam memecahakan masalah persoalan pekerjaan
(Robbins, 1998).
e. Rekan kerja, pekerja bekerja tidak hanya untuk mendapatkan imbalan
gaji, insentif finansial, tunjangan dan promosi yang adil saja, tetapi
pekerja bekerja juga untuk mendapatkan kebutuhan interkasi sosial
(rekan sekerja yang mendukung).
Cellucci dan DeVries (dalam Dickson, et al 2009), mengungkapkan
lima aspek kepuasan kerja dalam diri seseorang ditempat dia bekerja yakni
:
a. Kepuasan terhadap gaji, merupakan hal yang berhubungan dengan gaji
yang diberikan lembaga dibandingkan dengan lembaga yang lain,
mempertimbangkan gaji dengan tanggung jawab dan tunjangan-
tunjangan yang memuaskan ditempat kerja
b. Kepuasan terhadap promosi, merupakan hal yang berhubungan dengan
dasar atau sistim promosi di tempat kerja dan tingkat kemajuan karir
pegawai yang bekerja dalam suatu lembaga.
c. Kepuasan terhadap rekan kerja, merupakan hal yang berhubungan
dengan dukunngan rekan kerja dan kerja sama dengan rekan kerja.
d. Kepuasan terhadap supervisi/pengawasan, merupakan dukungan dari
atasan, yaitu atasan yang memiliki kompeten dibidangnya.
Sementara itu, (Spector, 2000) menggunakan Job Satisfaction Surfey
yang mengandung pengukuran dalam sembilan aspek diantaranya:
31
a. Gaji (pay) : hal ini berhubungan dengan kepuasan individu terhadap
gaji yang didapati dan kenaikan terhadap gaji
b. Promosi (promotion) : hal ini berhubungan dengan kesempatan
individu terhadap ruang atau kesempatan promosi yang didapatinya
c. Atasan (supervision) : hal ini berhubungan dengan kepusan individu
terhadap atasan darinya.
d. Tunjangan (fringebenefits) : hal ini berhubungan dengan kepuasan
individu terhadap tunjangan yang diberikan organisasi dimana dia
bekerja.
e. Imbalan non finansial (contigentrewards) : hal ini berhubungan dengan
kepuasan individu terhadap imbalan non-finansial yang diberikan
karena performa baik yang tunjukan individu dalam bekerja.
f. Kondisi operasional (operating conditions) : hal ini berhubungan
dengan kepuasan ndividu terhadap peraturan-peraturan dan prosedur-
prosedur yang berlaku dalam organisasi.
g. Rekan kerja (co-workers) : hal ini berhubungan dengan kepuasan
individu terhadap rekan kerjanya.
h. Jenis pekerjaan (natureofwork) : hal ini berhubungan dengan kepuasan
individu terhadap tipe pekerjaan yang dilakukan.
i. Komunikasi : hal ini berhubungan dengan kepuasan individu terhadap
komunikasi yang terjadi dan terjalin dalam organisasi
Dalam hubunganya dengan penelitian, penulis menggunakan lima
aspek kepuasan kerja dari Herzberg (dalam Robbins & Judge 2009)
menyatakan bahwa kepuasan kerja itu berangkat dari pekerjan itu sendiri,
bayaran, kenaikan pangkat, pengawasan/supervisor dan rekan kerja.
Pemelihan ini didasarkan pada prinsip dan keyakinan bahwa kepuasan
kerja pendeta dalam melaksanakan tugas tanggung jawab sedikitnya dapat
32
dilihat berdasarkan lima karakteristik itu yang dapat menjadi landasan
kepuasan kerja seorang pendeta.
2.1.4 Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Menurut Robbins (1998) ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi kepuasan kerja karyawan yaitu pekerjaan yang secara
mental menantang, reward yang sesuai, kondisi kerja yang mendukung,
rekan kerja yang mendukung serta kesesuaian kepribadian dan pekerjaan.
a. Pekerjaan yang secara mental menantang
Pekerja yang cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi
mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan
mereka dan menawarkan tugas, pekerjaan yang kurang menantang
menciptakan kebosanan, sebaliknya jika terlalu banyak pekerjaan yang
menantang dapat menciptakan frustasi. Pada kondisi tantangan yang
sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan
dalam bekerja.
b. Imbalan yang pantas
Para pekerja menginginkan pemberian upah dan kebijakan promosi yang
mereka presepsikan adil dan sesuai dengan harapan mereka. Bila upah
dilihat adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat kesempatan
individu, dan standar upah karyawan, kemungkinan besar akan
menghasilkan kepuasan kerja.
c. Kondisi kerja yang mendukung
Pekerja peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi
manapun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Beberapa penelitian
telah menunjukan, bahwa pekerja lebih menyukai lingkungan kerja yang
33
tidak berbahaya. Seperti temperatur, cahaya, kebisingan, dan faktor
lingkungan lain harus diperhitungkan dalam pencapaian kepuasan kerja.
d. Rekan pekerja yang mendukung
Pekerja akan mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang
berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan kerja juga mengisi
kebutuhan akan interkasi social. Oleh karena itu sebaiknya pekerja
mempunyai rekan kerja yang ramah dan mendukung. Hal itu penting
untuk mencapai kepuasan kerja.
e. Kesesuaian kepribadian dan pekerjaan
Pada hakikatnya orang yang tipe kepribadianya sama dengan pekerjaan
yang mereka pilih seharusnya mereka punya bakat dan kemampuan yang
tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka. Dengan demikian
akan lebih besar kemungkingan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut,
dan lebih memungkinkan untuk mencapai kepuasan yang tinggi dari
pekerjaan mereka.
Beberapa faktor yang juga turut memengaruhi kepuasan kerja yaitu
a)Motivasi kerja, b)budaya organisasi c) jenis kelamin, sebagaimana
variabel dalam penelitian ini, telah diteliti terlebih dahulu oleh beberapa
penelitian terdahulu.
Zafar (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa, motivasi
kerja merupakan faktor yang menentukan kepuasan kerja. Dari hasil
penelitiannya, disimpulkan bahwa jika karyawan termotivasi, mereka akan
puas dengan pekerjaannya, dan jika karyawan puas dengan pekerjaan
mereka, maka mereka akan bekerja keras untuk mencapai tujuan
organisasi, dan jika tujuan tercapai maka organisasi akan mendapatkan
keuntungan. Sejalan dengan peneitian tersebut, Sohail et al (2014) dalam
34
penelitian mereka menyimpulkan bahwa motivasi kerja merupakan faktor
pendorong kepuasan kerja, hal ini dikarenakan motivasi kerja memiliki
efek positif pada kepuasan kerja karyawan. Ini menyiratkan bahwa efek
motivasi kerja karyawan, yang berimbas pada kepuasan kerja
mengakibatkan karyawan lebih termotivasi dalam melakukan tugas.
Ketika motivasi kerja ada dalam diri seorang karyawan, dapat merangsang
karyawan untuk puas terhadap pekerjaannya. karyawan yang puas
terhadap pekerjaannya akan lebih berkomitmen dengan pekerjaan, dan
kemudian memengaruhi kinerjanya.
Selain faktor motivasi kerja, budaya organisasi juga merupakan
faktor terciptanya kepuasan kerja. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan
oleh, Sangadji (2014), yang dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
budaya organisasi merupakan salah satu dari banyaknya faktor yang turut
memengaruhi kepuasan kerja. Dimensi budaya organisasi dalam
penelitiannya ini, yang terbukti membangun konstruk kepuasan kerja
terdiri dari kebijakan organisasi, pengawasan, kondisi kerja, hubungan
interpersonal, gaji, keamanan kerja, prestasi kerja, tanggung jawab,
kesempatan untuk tumbuh / berkembang, pengakuan kerja itu sendiri.
Oleh karena itu secara empiris membuktikan bahwa budaya organisasi
dengan berbagai dimensi merupakan faktor penentu kepuasan kerja.
Sejalan dengan penelitian tersebut, Belias & Koustelios (2014), dalam
penelitiannya menyatakan bahwa, dikarenakan budaya organisasi
merupakan faktor kepuasan kerja, maka pada beberapa organisasi
internasional, budaya organisasi secara serius mulai dipikirkan dan
diterapkan. Pandangan senada juga disampaikan oleh Habib et al (2014)
yang dalam peneliatan mereka menyatakan bahwa budaya organisasi
35
merupakan elemen atau faktor penting yang sangat mempengaruhi
kepuasan kerja.
Selain motivasi kerja dan budaya organisasi disamping faktor-
faktor lainnya sebagai penentu kepuasan kerja, jenis kelamin juga
merupakan suatu faktor yang menentukan kepuasan kerja. Hal ini
diungkapkan oleh beberapa penlitian, diantaranya Ahmed et al (2010)
yang menyatakan bahwa salah satu faktor demografi yaitu jenis kelamin
merupakan bagian penting atau faktor seorang karyawan merasa puas atau
tidaknya terhadap pekerjaan yang digeluti. Dalam penelitian ini,
ditemukan bahwa, kepuasan kerja secara signifikan relative tinggi di
miliki oleh karyawan perempuan dibandingkan dengan karyawan laki-
laki.
Penelitian tersebut didukung oleh penelitian dari (Hodson, 1989)
menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara perbedaan gender dalam
penentuan kepuasan kerja. Perbedaan tersebut terlihat dalam proses kerja
antara pria dan wanita. penelitian ini menyimpulkan bahwa beberapa
wanita tidak menyukai pekerjaan yang kompleks dibandingkan
kebanyakan pria, karena karyawan wanita mengekspresikan ketidakpuasan
kerja lebih banyak dibandingkan dengan pekerja pria sebab mereka telah
menikah dan memiliki anak di bawah usia enam tahun.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dipaparkan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa, ternyata kepuasan kerja juga
dipengaruhi oleh faktor motivasi kerja, budaya organisasi, maupun jenis
kelamin. Faktor-faktor tersebut sebagaimana yang menjadi dasar dan
menjadi bagian penting dari tulisan ini.
36
2.2 Motivasi Kerja
2.2.1 Pengertian Motivasi Kerja
Konsep motivasi telah didefinisikan dan diukur dengan berbagai
cara yang berbeda. Istilah "motivasi" berasal dari istilah Latin movere,
yang berarti "bergerak" (Roos & Edden 2008). Banyak definisi tentang
motivasi telah didalilkan selama beberapa dekade di mana Konsep
beragam ini telah diteliti. Campbell & Pritchard (dalam Roos & Edden
2008) mendefinisikan motivasi sebagai "label” penentu pilihan untuk
memulai kegiatan pada tugas tertentu, pilihan tersebut merupakan pilihan
untuk mengeluarkan sejumlah upaya, dan pilihan untuk bertahan dalam
usaha selama periode waktu tertentu dalam pekerjaan. Menurut (Robbins
1998) motivasi adalah akibat dari intrekasi dari individu dan situasi. Lebih
spesifik Robbins berpendapat bahwa motivasi merupakan kesediaan untuk
mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi ke arah tujuan-tujuan organisasi,
yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi kebutuhan
individual.
Dari pengertian motivasi tersebut, Luthans (dalam Salem et al
2010) kemudian menegaskan pengertian motivasi kerja sebagai proses
yang membangkitkan, memberikan energi, mengarahkan, dan memelihara
perilaku terhadap kinerja. Motivasi kerja mendorong seseorang terhadap
tindakan yang membantu untuk mencapai efektivitas tugas pekerjaan
dengan cara menginspirasi seseorang melakukan tugasnya, dengan
demikian motivasi kerja dapat membawa seseorang untuk berkomitmen
terhadap pekerjaan mereka. Singh & Tiwari, (2011) memberikan
pengertian motivasi kerja yang bisa dipahami sebagai suatu upaya yang
diperlukan untuk mendorong atau yang menarik pekerja dalam melakukan
pekerjaannya sehingga memenuhi keinginannya dalam kebutuhan mereka.
37
Menurut Munandar, (2001) motivasi kerja merupakan proses
dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan
serangkaian kegiatan yang mengarah ke terciptanya tujuan tertentu.
(Wijono 2010) menjelaskan bahwa motivasi kerja ialah suatu
kesungguhan atau usaha dari individu untuk melakukan pekerjaannya
guna mencapai tujuan organisasi disamping tujuan itu sendiri.
Berdasarkan beberapa pengertian motivasi kerja tersebut, dapat
disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah suatu kesungguhan dari upaya
individu dalam membangkitkan, memberikan energi, mengarahkan dan
memelihara perilaku dalam melakukan pekerjaannya untuk kepentingan
tertentu baik bagi organisasi maupun bagi individu itu sendiri.
2.2.2 Teori Motivasi Kerja
Motivasi kerja dapat dipahami dari beberapa teori yang telah
dibahas terlebih dahulu oleh beberapa ahli. Wijono (2010) mengurutkan
teori motivasi kerja berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu yakni
1) teori kebutuhan ; 2) teori harapan; dan 3 teori keadilan. Untuk
kepentingan penelitian ini, maka akan dipaparkan salah satu teori motivasi
kerja yaitu teori kebutuhan.
Teori kebutuhan
a. Teori Hirarki kebutuhan
(Robbins 1998) menjelaskan bahwa teori motivasi, yang paling
dikenal adalah hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow. Ia
menghipotesiskan bahwa didalam semua manusia ada suatu jenjang
kelima kebutuhan berikut. Faali (fisiologis), keamanan, sosial,
penghargaan dan Aktualisasi diri. Dari tiitik pandang motivasi, teori ini
38
mengatakan bahwa meskipun tidak ada kebutuhan yang pernah dipenuhi
secara lengkap, suatu kebutuhan yang dipuaskan secara cukup banyak
(substansial) tidak lagi memotivasi. Jadi jika kita ingin memotivasi
seseorang, menurut Maslow (dalam Robbins 1998) perlu dipahami sedang
berada pada anak tangga manakah orang itu dan memfokuskan pada
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan itu atau kebutuhan diatas tingkat itu.
Maslow (dalam Robbins 1998), memisahkan kelima kebutuhan itu
sebagai order tinggi dan order rendah. Kebutuhan faali dan kebutuhan
akan keamanan diperkirakan sebagai kebutuhan order rendah dan
kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri sebagai
kebutuhan order tinggi. Perbedaan antara kedua order itu berdasarkan
alasan bahwa kebutuhan order tinggi dipenuhi secara internal (di dalam
diri orang itu) sedangkan kebutuhan order rendah terutama dipenuhi
secara eksternal (dengan upah, kontrak serikat buruh, dan masa kerja
misalnya).
b. Teori ERG Alderfer
Robbins (1998), meyatakan Teori ini banyak disebutkan sebagai
revisi dari teori hirarki kebutuhan. Alderfer (dalam Robbins 1998)
beragumen bahwa ada tiga kelompok kebutuhan. Pertama kebutuhan
existence (keberadaan) memperdulikan pemberian persyaratan ekstitensi
materiil dasar hal ini mencakup butir-butir yang oleh Maslow dianggap
sebagai kebutuhan faali dan keamanan. Kelompok kebutuhan kedua,
relatedness (keterhubungan) yaitu hasrat yang dipunyai untuk
memelihara hubungan antar pribada yang penting. Hal tersebut menyakut
hasrat sosial dan status menuntut interaksi dengan orang lain, dan hasrat-
hasrat ini segaris dengan dengan kebutuhan sosial Maslow dan komponen
eksternal dari klesifikasi penghargaan Maslow. Hal yang ketiga growth
39
(pertumbuhan), yaitu suatu hasrat intrinsik untuk perkembangan pribadi
yang dalam kategori penghargaan Maslow dan karakteristik-karakteristik
yang tercakup pada aktualisasi diri.
c. Teori Dua Faktor Herzberg
Teori ini dikemukakan oleh psikolog Frederick Herzberg.
Herzberg dalam (Robbins 1998) menyatakan bahwa dalam keyakinan
bahwa hubungan seseorang individu pada kerjanya merupakan suatu
hubungan dasar dan bahwa sikapnya terhadap kerja ini dapat sangat
menetukan sukses atau kegagalam individu itu. Teori motivasi-higine
melihat bahwa faktor-faktor intrinsic berhubungan dengan kepuasan kerja,
sementara faktor-faktor ekstrinsik berhubungan dengan ketidakpuasan.
Faktor higine adalah faktor-faktor seperti kebijakan dan administrasi
perusahaan, penyeliaan, dan gaji-yang, bila memadai dalam suatu
pekerjaan, mententramkan pekerja. Bila faktor-faktor ini tidak memadai,
orang-orang akan tak terpuaskan.
d. Teori kebutuhan McClelland
Robbins (1998), memperkenalkan teori kebutuhan McClelland
yang dipelopori oleh McClelland dan teman-temannya sebagai suatu hal
yang sangat penting dalam lingkungan organisasi untuk memahami
motivasi. Teori ini memfokuskan pada tiga kebutuhan : prestasi
(achievement), kekuasaan (power) dan pertalian (afiliasi). Kebutuhan ini
didefinisikan sebagai berikut :
a. Kebutuhan akan prestasi : Dorongan untuk mengungguli, prestasi
sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk sukses.
b. Kebutuhan akan kekuasaan : Kebutuhan untuk membuat orang-orang
lain berprilaku dalam suatu cara yang orang-orang itu (tanpa dipaksa)
tidak aka berprilaku demikian.
40
c. Kebutuhan akan pertalian : Hasrat untuk hubungan antar pribadi yang
ramah dan karib.
Untuk kepentingan penelitian ini penulis mengunakan teori hirarki
kebutuhan Abraham Maslow (dalam Robbins 1998). Prinsip teori ini
berbicara menyangkut kebutuhan manusia, yang mana ketika kebutuhan-
kebutuan pekerja dapat terpenuhi, dapat menciptkan motivasi kerja bagi
pekerja itu sendiri.
2.2.3 Aspek motivasi kerja
Pada sebuah kesempatan Vance & Moudgil (dalam Mas’ud 2004)
melihat aspek motivasi kerja yang dikembangan berdasarkan teori
motivasi dari hierarki kebutuhan Maslow terhadap dunia organisasi dalam
lima aspek. Aspek-aspek motivasi kerja tersebut antara lain.
a. Kebutuhan keamanan, mencakup penerimaan terhadap ketidak
pastiaan, seberapa banyak pekerjaan mencampuri urusan pribadi,
seberapa jauh posisi atau kedudukan dapat diperediksi untuk masa
depan, sejauhmana perubahan mengakibatkan ketrampilan atau
pengetahuan dan sejauh mana seseorang merasa tidak aman berkaitan
dengan posisinya.
b. Kebutuhan sosial, mencakup peluang untuk memberikan bantuan
kepada orang lain, kesempatan untuk bertukar pikiran dengan rekan
sekerja, kesempatan untuk bertemu dengan orang lain di luar
kelompok dan peluang untuk mengembangkan hubungan dekat
dengan rekan-rekan
c. Kebutuhan harga diri, mencakup perasaan harga diri dari kedudukan
atau posisi sekarang, prestise yang diterima baik dari dalam
organisasi maupun dari luar organisasi, pengakuan dan penghargaan
41
dari rekan sekerja ketika seseorang berhasil melakukan pekerjaannya
dengan baik.
d. Kebutuhan otonomi, mencakup kesempatan untuk berpikir dan
bertindak mandiri, peluang berpartisipasi dalam penentuan metode
dan prosedur dalam organisasi, wewenang yang dimiliki dalam posisi
atau kedudukan sekarang dan peluang untuk berpatisipasi dalam
penentuan tujuan
e. Kebutuhan aktualisasi diri, mencakup kesempatan untuk
pengembangan dan pertumbuhan pribadi, persaan bangga dan
berguna berkaitan dengan pekerjaan (kedudukan sekarang),
kesempatan untuk melakukan kerja kreatif atau pengembangan
gagasan-gagasan yang orisinil dan perasaan pemenuhan diri
(tercapainya apa-apa yang diharapkan) yang diperoleh dari pekerjaan
(posisi) atau kedudukan sekarang.
Dalam kesempatan berbeda, Greenberg & Baron (2003)
menyatakan bahwa motivasi seorang individu untuk bekerja terdiri atas
tiga aspek. Aspek-aspek tersebut adalah:
a. Pendorong (arousal), Aspek ini berkaitan dengan dorongan, energi
yang mendasari perilaku bekerja. Ketertarikan untuk memenuhi
dorongan ini membawa individu terikat dalam suatu perilaku untuk
memenuhi dorongan tersebut.
b. Perilaku secara langsung (direct behavior). Aspek ini berkaitan dengan
pilihan yang dibuat seorang individu dan berbagai pilihan cara yang
akan ditempuh sebagai jalan mencapai tujuan yang ingin diraih. Aspek
ini ditunjukkan dengan perilaku yang secara langsung maupun tidak
langsung mengarah pada tujuan yang ingin dicapai oleh individu.
42
c. Perilaku mempertahankan (maintaining behavior). Maksudnya adalah
seberapa lama seorang individu mampu mempertahankan perilakunya
dalam bekerja sehingga tujuan mereka dapat tercapai. Seorang
individu yang menyerah dalam mencapai tujuan mereka, serta orang
yang tidak tahan berusaha dalam mempertahankan usaha mencapai
tujuan disebut sebagai individu yang motivasi kerjanya kurang atau
rendah.
Selanjutnya, menurut Gomes (1997) aspek yang terdapat dalam
motivasi kerja terdiri dari dua aspek penting yaitu, aspek individual
dan aspek organisasional.
1. Aspek individual, terdiri dari:
a. Kebutuhan-kebutuhan (need) yang diartikan bahwa motivasi
kerja karyawan yang didorong oleh adanya pemenuhan
kebutuhan yang diperlukan karyawan.
b. Tujuan-tujuan (goals) yang menunjukkan motivasi kerja
karyawan oleh adanya pencapaian tujuan yang diinginkan oleh
karyawan terkait dengan pekerjaannya.
c. Kemampuan-kemampuan (abilities) yaitu motivasi kerja
karyawan oleh adanya kesesuaian kemampuan yang dimiliki
karyawan terhadap pekerjaannya.
2. Aspek organisasional, terdiri dari:
a. Pembayaran atau gaji (pay), di mana karyawan akan lebih
termotivasi oleh adanya kesesuaian gaji maupun bonus dengan
keterampilan dan kemampuan karyawan.
b. Keamanana pekerjaan (job security), yang menunjukkan
motivasi kerja karyawan dapat didorong oleh adanya
pemberian jaminan, seperti jaminan keamanan baik jaminan
43
kesehatan dan keselamatan dalam bekerja maupun jaminan hari
tua.
c. Hubungan dengan rekan kerja (co-workers) yaitu adanya
hubungan kerja dengan sesama rekan kerja yang baik akan
semakin memotivasi karyawan dalam bekerja pada organisasi.
d. Pengawasan (supervision), yang menunjukkan motivasi kerja
dalam diri karyawan oleh adanya pengawasan dari atasan
sesuai dengan yang diharapkan.
e. Pujian (praise), yang menunjukkan motivasi kerja dalam diri
karyawan oleh adanya dukungan dan penghargaan atas prestasi
kerja dari atasan.
Dalam hubunganya dengan penelitian, penulis menggunakan lima
aspek motivasi kerja dari Maslow yang dikembangkan oleh Vance &
Moudgil (dalam Mas’ud 2004) terhadap dunia organisasi yang mencakup
lima aspek motivasi kerja dalam hirarkhi kebutuhan : yakni kebutuhan
keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri, kebutuhan otonomi dan
kebutuhan aktualisasi diri
2.3 Budaya Organisasi
2.3.1 Pengertian Budaya Organsasi
Dalam suatu kesempatan Robbins (1998) mendefinisikan budaya
organisasi (organizational Culture) sebagai suatu sistem makna bersama
yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut
dengan organisasi yang lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati
dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang
dihargai oleh organisasi itu. Dalam kesempatan berbeda Robbins (1998),
44
menyatakan budaya organisasi oleh suatu sistem nilai yang diperoleh dan
dikembangkan oleh organisasi dan pola kebiasan dan falsafah dasar pada
pendirinya, yang terbentuk menjadi aturan yang digunakan sebagai
pedoman dalam berpikir dan bertindak dalam mencapai tujuan organisasi.
Budaya yang tumbuh menjadi kuat mampu mamacu organisasi kearah
perkembangan yang lebih baik.
Sementara itu, Schein (dalam Luthans 2006), memberi pengertian
tentang budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar yang diciptakan,
ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu saat mereka
menyesuaikan diri dengan masalah-masalah eksternal dan integritas
internal yang telah berkerja cukup baik serta dianggap berharga, dan
karena itu diajarkan pada anggota baru sebagai cara yang benar untuk
menyadari, berpikir, dan merasakan hubungan dengan masalah tersebut.
Kemudian, Luthans (2006) mendefinisikan budaya organisasi, dari
beberapa definisi yang disimpulkan olehnya tentang bagaimana
pentingnya norma dan nilai yang sama yang memadu perilaku organisasi
dan itulah budaya organisasi sebenarnya. Disini (Mas’ud 2004) juga
memberikan pengertian tentang budaya organisasi, yaitu sistem makna,
nilai-nilai kepercayaan yang dianut bersama dalam suatu organisasi yang
menjadi rujukan untuk bertindak dan membedakan organisasi satu dengan
organisasi lain, budaya organisasi selanjutnya menjadi identitas atau
karakter utama organisasi yang pelihara dan dipertahankan.
Dari beberapa pengertian tentang budaya organisasi tersebut, maka
dapat disimpulkan budaya organisasi merupakan sebuah identitas yang
membedakan suatu organisasi dengan organisasi lainnya. Pembeda ini
terlihat lewat sistim makna yang dianut bersama setiap anggota organisasi
tertentu, yang didasari atas asumsi dasar yang diciptkan oleh norma dan
45
nilai-nilai untuk memandu setiap individu dalam berperliku didalam
organisasi.
2.3.2 Teori Budaya Organisasi
Ada berbagai macam teori sehubungan dengan budaya organisasi
diantaranya yang dikemukakan oleh Robbins (1998) yang memandang
gagasan organisasi sebagai budaya, dimana ada suatu sistem makna yang
dianut bersama dikalangan anggota-anggotanya, sehingga membedakan
organisasi itu dengan organisasi-organisasi yang lain. Sistem makna ini
bila diamati dengan seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama
yang dihargai oleh organisasi itu. Karakteristik tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Inovasi dan pengambilan resiko yaitu sejauh mana para karyawan
didorong untuk inovatif dan mengambil resiko
b. Perhatian ke rincian yaitu sejauh mana para karyawan diharapkan
memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis dan perhatian pada
rincian
c. Orientasi hasil yaitu sejauh mana manajemen memfokuskan pada hasil
bukannya pada teknik dan proses yang digunkan untuk mencapai hasil
itu
d. Orientasi orang yaitu sejauh mana keputusan manajemen
memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang didalam
organisasi itu
e. Orientasi tim yaitu sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar
tim-timnya bukannya individu-individu
f. Keagresifan yaitu sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetetif
dan bukannya santai-santai
46
g. Kemantapan yaitu sejauh mana kegiatan organisasi menekankan
dipertahankannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.
Dalam pandangan yang lain, Kotter & Hesskett (1998)
menjelaskan bahwa budaya organisasi memiliki dua tingkatan yang
berbeda dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanan menghadapi perubahan.
Yang pertaman pada tingkatan yang kurang terlihat, budaya organisasi
berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut bersama oleh kelompok dan
cenderung tetap bertahan meskipun anggota kelompok sudah berubah.
Pada tingkatan selanjutnya, budaya organisasi menggambarkan pola
perilaku suatu organisasi sehingga anggota baru secara otomatis terdorong
untuk mengikuti perilaku teman kerjanya
Jeffrey Sonnfeld (dalam Robbins 1998) dengan teori tipologi
budaya, melihat perbedaan antara budaya-budaya organisasi dan
pentingya mencocokan orang-orang itu secara tepat dalam tipologi
budaya. Dari organisasinya, ia mengenali empat tipe budaya yaitu
akademi, kelab, tim bisbol dan benteng.
a. Akademi. Suatu akademi adalah tempat untuk memanjat ajek (steady)
yang ingin menguasai benar-benar tiap pekerjaan baru yang
diterimanya. Perusahan ini suka merekrut para lulusan muda
universitas, memberi banyak pelatihan istimewa, dan kemudian
dengan seksama mengemudikan mereka melewati ribuan pekerjaan
terkhusus didalama suatu fungsi tertentu.
b. Kelab menurut Sonnefeld, kelab menaruh nilai tinggi pada kecocokan
dalam sistem, kesetiaan, dan pada komitmen. Senioritas merupakan
kunci pada kelab-kelab. Usia dan pengalaman diperhitungkan. Kontras
dengan akademik, kelab menumbuhkan manajer sebagai generlis.
47
c. Tim bisbol. Organisasi ini adalah pelabuhan yang berorientasi pada
wiraswasta bagi para pengambil dan innovator. Tim bisbol mencari
orang-orang berbakat dari segala usia dan pengalaman, kemudian
mengembalikan mereka untuk apa yang mereka produksikan.
d. Benteng tidak banyak menawarkan keamanan pekerjaan, namun
perusahan semacam ini dapat merupakan tempat yang mengasikan
untuk berkerja bagi mereka yang menyukai tantangan dari suatu
perubahan haulan.
Schein (1992), dalam teori tiga tingkatan menyatakan bahwa,
budaya organisasi mungkin kuat atau lemah, dan budaya yang kuat
tidaklah harus baik. Sebaliknya, budaya yang lemah mungkin dapat
diterima jika organisasi tersebut berfungsi dengan baik. Lebih lanjut
Schein (1992), menggambarkan budaya organisasi kedalam tiga tingkatan,
antara lain :
a. Artifak dan perilaku
Merupakan tingkat budaya yang tampak di permukaan. Termasuk
dalam artifak adalah suatu fenomena yang dapat dilihat, didengar dan
dirasakan ketika seseorang memasuki sebuah kelompok dengan
budaya yang masih asing baginya.
b. Nilai-nilai yang diyakini
Tingkat ini tidak dapat terlihat. Nilai-nilai terungkap pada pola-pola
perilaku tertentu. Dalam organisasi, nilai-nilai tertentu umumnya
dicanangkan oleh tokoh-tokoh pendiri dan pemimpin yang menjadi
pegangan dalam menekan ketidakpastian pada bidang-bidang kritis.
c. Asumsi-asumsi dasar
48
Merupakan tingkatan yang paling dalam, yang mendasari nilai-nilai
yaitu keyakiinan (belief). Tingkatan ini terdiri dari berbagai asumsi
dasar. Asumsi-asumsi ini telah ada sebelumnya dan menjadi panduan
perilaku bagi anggota organisasi dalam memandang sesuatu
permesalahan.
Sebagaimana beberapa teori budaya organisasi diatas, maka
penulis menggunakan teori budaya organisasi dari Robbins (1998) yang
melihat budaya organisasi sebagai sebuah fungsi untuk menggerakan
organisasi dalam hubungan sistim makna secara berasama antara
organisasi terhadap karyawan dan sebaliknya dalam cakupan mitra yang
saling menopang.
2.3.3 Karakteristik Budaya Organisasi
Dalam sebuah kesempatan Robbins (1998), berpedoman dari hasil
penelitiannya, mengemukakan tujuh karateristik primer, yang bersama-
sama menangkap hakikat dari budaya suatu organisasi, antara lain :
1. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana para karayawan didorong
untuk inovatif dan mengambil resiko.
2. Perhatian ke rincian. Sejauh mana para karyawan diharapkan
memperlihatkan presisi atau (kecermatan) , analisis dan perhatian
kepada rincian.
3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memfokuskan pada pada hasil
bukanya pada teknik dan proses di gunakan untuk mencapai hasil itu.
4. Orientasi orang. Sejauh mana manajemen memperhitungkan
memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang didalam organisasi
itu.
49
5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-
tim, bukannya individu-individu.
6. Keagresifan. Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompentitif dan
bukanya santai-santai.
7. Kemantapan. Sejauh mana kegiatan organisasi menenkankan
dipertahankanya status qou sebagai kontras dari perubahan.
Pada kesempatan yang lain, Luthans (2006) Menjelaskan budaya
organisasi mempunyai beberapa karakteristik penting diantaranya adalah :
1. Aturan prilaku yang diamati. Ketika organisasi berinterkasi satu sama
lain, maka menggunakan bahasa, istilah dan ritual umum yang
berkaitan dengan rasa hormat dan cara berprilaku.
2. Norma. Ada standar perilaku, mencangkup pedoman mengenai
seberapa banyak pekerjaan yang dilakukan, yang dalam banyak
perusahaan menjadi “ jangan melakukan terlalu banyak; jangan terlalu
sedikit”.
3. Nilai dominan. Orang mendukung dan berharap peserta membagi-
membagikan nilai utama.
4. Filosofis. Terdapat kebijakan untuk membentuk kepercayaan organisasi
mengenai bagaimana karyawan dan atau pelanggan diberlakukan.
5. Aturan. Terdapat pedoman ketat berkaitan dengan pencapaian
perusahaan.
6. Iklim organisasi. Ini merupakan keseluruhan “perasaan” yang
disampaikan dengan pengaturan yang bersifat fisik, cara peserta
berinterkasi dan cara organisasi berhubungan dengan pelanggan dan
individu dari luar.
50
Selanjutnya dalam kesempatan yang berbeda, Srećko Goić (2013)
menyimbulkan Karakteristik budaya organisasi diteliti melalui lima item
penting yaitu:
1. Penerimaan dan kepatuhan seluruh karyawan terhadap nilai-nilai dan
cara-cara yang dengan perilaku yang diinginkan, sebagai indikator
kekuatan dan integritas karyawan terhadap struktur organisasi.
2. Pentingnya 'integrasi' karyawan baru ke dalam nilai-nilai dan cara
kerja dibandingkan dengan pentingnya pendidikan dan pengalaman
sebagai indikator penting yang diberikan didalam budaya organisasi
sebagai faktor keberhasilan dalam pekerjaan.
3. Keinginan membangun identitas tertentu, nilai-nilai, cara perilaku, dll,
khususnya dalam (profesionalisme kerja kelompok) sehingga
memungkinkan karyawan lebih memilih budaya professional di
banding budaya perusahaan kolektif
4. Keinginan konsumen (swasta) dalam hubungan antara karyawan
bahkan setelah pekerjaan sebagai salah satu indikator lain yang
penting diberikan kepada identifikasi karyawan dengan organisasi.
5. Penghargaan organisasi, kunjungan, kompetisi yang sehat bagi
karyawan, sebagai cara untuk meningkatkan penyeragaman internal
dan integrasi karyawan
Dalam hubungannya dengan penelitian ini, peneliti menggunakan
tujuh karatekteristik budaya organisasi yang mengacu pada Robbins
1998). (1) inovasi dan pengambilan resiko (2) perhatian kerincian, (3)
orientasi hasil, (4) orinetasi orang, (5) orientasi tim, (6) keagresifan, (7)
kemantapan. Pemilihan karakteristik budaya organisasi ini, berdasarkan
alasan bahwa ketika seorang pendeta ada dalam sebuah organisasi yang
51
memiliki karakteristik demikian maka dengan sendirinya budaya
organisasi dapat merangsang suatu kinerja yang baik dari sang pendeta.
2.4 PENELITIAN TERDAHULU
2.4.1 Motivasi Kerja dan Kepuasan Kerja
Beberapa hasil penelitian terdahulu yang menjelaskan adanya
hubungan atau pengaruh motivasi kerja terhadap kepuasan kerja. Tan &
Waheed (2011), dalam penelitian mereka yang menggunakan analisis
regresi untuk mengetahui hubungan antara teori dua faktor Herzberg
dengan kepuasan kerja di Malaysia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
54% dari varians dalam kepuasan kerja di Malaysia dapat dijelaskan oleh
faktor-faktor motivasi dan kebersihan Herzberg. F-rasio 14.90 (p = 0.00)
menunjukkan bahwa dari model regresi, yakni motivasi kerja dan
kepuasan kerja pada variabel motivasi kerja dinilai secara statistik
mendapat hasil yang signifikan. Hasil penelitian juga mengungkapkan
bahwa terdapat empat variabel motivasi kerja (kondisi, pengakuan,
kebijakan perusahaan dan faktor upah) yang ditemukan signifikan dalam
konteks Malaysia. Dalam kesempatan lain dalam penelitian oleh Khalid et
al (2011), menyatakan ada hubungan positif antara motivasi karyawan
terhadap kepuasan kerja di kedua organisasi utilitas air publik dan swasta,
(β = 0,63, p <0,05). Hubungan diprediksi antara motivasi karyawan dan
kepuasan kerja karyawan ditemukan dalam penelitian ini. H2 Public (β =
0,62, p <0,05) dan H2 Private (β = 0,59, p <0,05). Dalam penelitian ini,
mereka menyimpulkan bahwa tingkat imbalan yang merupakan pendorong
kepuasan kerja merupakan aspek dari motivasi karyawan sehingga
merangsang kepuasan kerja karyawan.
52
Beberapa penelitian tentang adanya hubungan motivasi kerja
terhadap kepuasan kerja seperti yang telah disebutkan diatas bertolak
belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Budiyanto & Oetomo
(2011). Data penelitian ini diperoleh dari 270 PNS yang bekerja pada
dinas pemerintah Kabupaten Magetan. Data dianalisis dengan
menggunakan structural equation modeling dengan partial least program
square. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah variabel motivasi
kerja tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Hal ini disimpulkan
berdasarkan sebanyak 96,8% pegewai merasa kurang puas dengan
pekerjaan itu sendiri karena pekerjaan ini relative mudah untuk dilakukan
dan tidak bervariasi (membosankan), kurang menyenangkan dan kurang
relevan dengan keahlian mereka. Kondisi kerja tersebut tidak
menghasilkan dampak yang signifikan terhadap kepuasan kerja.
Hal senada juga disampaikan oleh Dhermawan et al (2012) yang
dalam penelitian mereka menyatakan bahwa motivasi kerja tidak
berpengaruh terhadap kepuasan kerja, hal ini ditunjukkan dari nilai
koefisien standardized regression weight sebesar 0,003, C.R sebesar 0,04,
dan probability 0,968. Meskipun para pegawai yang bekerja di Dinas PU
Provinsi Bali memiliki motivasi kerja yang baik, hal tersebut tidak
berpengaruh signifikan atau memberikan pengaruh yang kecil terhadap
kepuasan kerja, yang dirasakan oleh para pegawai tersebut. Penelitian lain
juga yang menyimpulkan bahwa motivasi kerja tidak memengaruhi
kepuasan kerja yaitu penelitian dari Ekyadi (2009), mereka menemukan
motivasi kerja mempunyai nilai t hitung sebesar 1.315 yang lebih kecil
dari nilai t tabelnya dengan nilai α = 5% yaitu sebesar 1.725 karena lebih
kecil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi tidak mempunyai
pengaruh terhadap kepuasan karyawan, hal tersebut disebabkan karena
53
motivasi karyawan tidak cukup meningkatkan kepuasan kerja terhadap
pekerjaannya dalam hal pengakuan dari pimpinan, tanggung jawab
terhadap pekerjaannya, kesempatan, pengembangan keterampilan dan
kemampuan, serta kinerja tidak dirasakan dengan baik oleh para
karyawan.
2.4.2 Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja
Beberapa hasil penelitian terdahulu yang menjelaskan adanya
hubungan signifikan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja antara
lain penelitian yang dilakukan oleh Sempane et al (2002) dalam penelitian
mereka, memperoleh hasil korelasi positif yang signifikan yang ditemukan
antara dua variabel (r = 0, 743). Dengan demikian disimpulkan dalam
penelitian ini bahwa terdapat hubungan positif antara budaya organisasi
dan kepuasan kerja. Hal senada disampaikan Munizu (2012)
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan budaya organisasi terhadap
kepuasan kerja. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Zahari et al
(2014) menemukan bahwa, setiap karyawan yang bekerja dalam
organisasi memiliki norma sendiri, nilai-nilai dan keyakinan yang berbeda
terhadap organisasi di mana ia / dia bekerja. Menurut tabel, nilai
signifikan untuk setiap variabel dependent seperti : komitmen karyawan,
kepuasan karyawan dan niat turnover adalah 0.00. Jadi (0.00 <0,01)
sehingga salah satu kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa
bahwa ada hubungan positif antara budaya organisasi terhadap kepuasan
kerja kepuasan kerja.
Beberapa penelitian tentang adanya hubungan budaya organisasi
terhadap kepuasan kerja seperti yang telah disebutkan diatas bertolak
belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Rukhviyanti (2011)
54
dengan tujuan penelitiannya untuk mengetahui pengaruh budaya
organisasi, yang dikelompokan dalam budaya birokrasi, budaya inovatif
dan budaya suportif terhadap kepuasan kerja pada salah satu bank di
Rangkasbitung. Besarnya nilai koefisien korelasi antara variabel budaya
inovatif terhadap kepuasan kerja sebesar 0,358, dan budaya suportif
terhadap kepuasan kerja sebesar 0,513. Sedangkan variabel budaya
birokrasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Sebab, besarnya nilai
koefisien korelasi antara variabel budaya birokrasi terhadap kepuasan
kerja sebesar 0,049. Dengan demikian dari hasil penelitian ini disimpulkan
bahwa budaya organisasi tidak memiliki pengaruh terhadap kepuasan
kerja, hal ini terbutkti karena hanya budaya suportif saja yang berpengaruh
terhadap kepuasan kerja, sedangkan budaya birokrasi dan budaya inovatif
tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja.
2.4.3 Motivasi kerja dan Budaya organisai Secara Simultan
dengan Kepuasan Kerja.
Beberapa penelitian mengenai motivasi kerja dan budaya
organisasi secara simultan memiliki hubungan terhadap kepuasan kerja,
telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Diantaranya Roos & Eeden (2008),
yang dalam peneltian mereka ditemukan hubungan tiga variabel antara
motivasi kerja, budaya organisasi dan kepuasan kerja. Hal ini dinyatakan
lewat hubungan positif antara budaya organisasi dan motivasi kerja
terhadap kepuasan kerja. Hal ini berarti semakin baik budaya organisasi
dan motivasi kerja maka akan semakin baik kepuasan kerja yang
dirasakan oleh karyawan dari organisasi. Pola ini tercatat dalam korelasi
numeric dengan (n = 59) median low 0,593, median high 0,522, low 25%
(n = 29) 0,714, high 25% (n = 29) 0,355. Korelasi tersebut, diidentifikasi
55
lewat budaya perusahan (pengembangan sumber daya manusia, hubungan
yang dinamis dengan rekan kerja dan pengambilan keputusan yang
kolektif), motivasi kerja (fungsi organisasi, remunerasi, dan kebijakan )
dan kepuasan kerja (fungsi karakteristik organisasi, pengembangan karir,
faktor remunerasi, manfaat dan kebijakan personil).
Penelitian lain juga dilakukan oleh Yamsul et al (2013). Penelitian
bertujuan untuk melihat Pengaruh motivasi dan budaya organisasi pada
kepuasan kerja dan komitmen organisasi (Studi pada Program Manager
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) di Provinsi Sulawesi
Tenggara). Dengan menggunakan pendekatan analisis statistik deskriptif
dan analisis Structural Equation Modeling (SEM). Dari sembilan pengaruh
langsung dari variabel yang diuji, ada empat dengan dampak yang
signifikan, salah satunya yaitu: motivasi kerja dan budaya organisasi
memiliki dampak yang signifikan terhadap kepuasan kerja. Nilai p
variabel motivasi kerja terhadap variabel kepuasan kerja sebesar 0,152
sedangkan nilai p variabel budaya organisasi terhadap kepuasan kerja
sebesar 0,774.
Selanjutnya Ichsan (2008), dalam penelitiannya yang bersifat
deskriptif korelasional, terhadap empat variabel yaitu budaya organisasi
dan motivasi kerja sebagai variabel independen, kepuasan kerja sebagai
variabel intervening, dan kinerja karyawan sebagai variabel dependen.
Dengan menggunkan populasi sebanyak 42 responden pada karyawan
tetap The Grand Palace Hotel Malang. Diperoleh hasil yaitu terdapat
pengaruh lansung budaya organisasi dan motivasi kerja secara simultan
terhadap kepuasan kerja dengan F hitung = 20,175 nilai sig t 0,00 < 0,05.
Hal ini menunjukan bahwa budaya organisasi dan motivasi kerja
56
berhubungan secara simultan terhadap kepuasan kerja karyawan tetap The
Grand Palace Hotel Malang.
Berdasarkan hasil penelitian motivasi kerja dan budaya organisasi
dengan kepuasan kerja, maka terlihat kedua variabel sama-sama
berkontribusi terhadap kepuasan kerja. Meningkatnya motivasi kerja akan
meningkakantnya kepuasan kerja, sementara semakin budaya organisasi
diciptkan dengan baik dalam organisasi, akan meningkat pula kepuasan
kerja. Berdasarkan hal ini maka variabel motivasi kerja dan budaya
organisasi sama-sama mendukung terciptanya serta meningkatnya
kepuasan kerja. Dengan demikian dinamika yang dapat dibangun dari
penelitian-penelitian terdahulu tentang motivasi kerja dan budaya
organisai secara simultan dengan kepuasan kerja adalah, ketika individu
memiliki motivasi kerja dalam melaksanakan tugasnya dengan didukung
oleh budaya organisasi, akan membuat individu merasa nyaman dalam
bekerja dan akan mendapat kepuasan kerjanya. Demikian juga jika
individu menganggap bahwa dirinya terjebak untuk melakukan tugas
sesuai dengan kebutuhannya, didukung oleh budaya organisasi yang
membuat individu merasa nyaman dalam bekerja akan mendapat kepuasan
kerja yang tinggi. Dari penjelasan tersebut, maka hipotesis yang dibangun
adalah ada hubungan signifikan antara motivasi kerja dan budaya
organisasi dengan kepuasan kerja pendeta GPI Papua Klasis Fakfak.
2.4.4 Motivasi Kerja Dan Jenis Kelamin Dengan Kepuasan Kerja
Penelitian yang dilakukan oleh Lambrou et al (2010) menemukan
bahwa motivasi kerja hendaknya dimiliki oleh setiap karyawan baik laki-
laki maupun perempuan. Penelitian yang bersampel penelitian 286 orang
dengan 90 orang tenaga kerja laki-laki dan 196 orang tenaga kerja
57
perempuan. Data penelitian ini menunjukan bahwa karyawan perempuan
memiliki motivasi kerja lebih baik dibanding karyawan laki-laki, dengan
nilai (p<0,005). skala motivasi kerja yang dipakai dalam penelitian ini,
menunjukkan korelasi moderat dengan semua faktor kepuasan kerja,
dengan r Pearson antara 0,303-0,382. Dengan demikian terdapat hubungan
positif signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja. Hal ini
dilihat dari nila (P <0,001), korelasi ini berarti motivasi kerja
menyumbang 8,9%-14,3% dari varians dalam faktor-faktor kepuasan
kerja. Kesimpulan penelitian ini dinyatakan bahwa motivasi kerja adalah
kekuatan pendorong untuk mengejar dan memenuhi kebutuhan, sehingga
menimbulkan respons secara langsung terhadap kepuasan kerja baik
terhadap karyawan laki-laki maupun perempuan. Penelitian tersebut
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Gupta & Gehlawat (2013)
yang menyatakan bahwa ada hubungan signifikan antara motivasi kerja
dan jenis kelamin dengan kepuasan kerja
Selanjutnya penelitian dari Ayub & Rafif (2011) juga mendapati
hubungan positif antara motivasi kerja dan kepuasan kerja (r = 0,563),
sementara itu jenis kelamin dengan kepuasan kerja dapat dilihat dari
perbedaan signifikan yang ditemukan antara laki-laki dan perempuan (t =
4,324, df = 78, p <.05) pada variabel pekerjaan motivasi dan kepuasan
kerja (t = -3,670, df = 78, p <.05). Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa,
sekalipun perempuan lebih termotivasi utuk bekerja dan lebih puas
terhadap pekerjaannya, namun penelitian ini menunjukan bahwa
terdapatnya hubungan interaksi yang signifikan antara motivas kerja dan
jenis kelamin dengan kepuasan kerja.
Beberapa penelitian tentang adanya hubungan motivasi kerja dan
jenis kelamin dengan kepuasan kerja sebagaimana terlihat di atas bertolak
58
belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Edrak et al (2013).
Dalam penelitian tersebut hasil yang didapati adalah tidak ada hubungan
antara jenis kelamuin dengan motivasi kerja hal ini dapat dililhat dari hasil
model yang didapati nilai (t = -.375, p> .05). Hasil penelitian tersebut
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kaushik & Rani (2005)
yang juga menegaskan temuan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
antara jenis kelamin dan motivasi kerja dengan kepuasan kerja.
Selanjutnya, Sood (2006), Pandey & Ahmad (2007) dalam (Edrak et al
2013 ) juga menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan jenis
kelamin dan motivasi kerja dengan kepuasan kerja.
Dari hasil penelitian pro dan kontra yang telah dikemukakan maka
hal ini menunjukan semakin tinggi tingkat motivasi kerja pendeta laki-laki
dan perempuan maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan kerjanya.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, ditambah dengan fenomena-
fenomena yang terlihat dilapangan, maka dapat dilihat bahwa ada
kemungkinan motivasi kerja pendeta pria lebih tinggi dibanding wanita
dalam mencapai kepuasan kerja. Dengan demikian hipotesis yang
dibangun ada pengaruh interaksi antara motivasi kerja dan jenis kelamin
dengan kepuasan kerja pendeta GPI Papua Klasis Fakfak.
2.4.5 Budaya Organisasi Dan Jenis Kelamin Dengan Kepuasan
Kerja
Penelitian yang dilakukan oleh Mohamed & Zahari (2012).
Dengan menggunakan kuesioner, data dikumpulkan dari 227 karyawan.
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif
signifikan antara budaya organisasi dan kepuasan kerja di NOC Libya.
Variabel (budaya organisasi) memberikan kontribusi signifikan terhadap
59
variabilitas (kepuasan kerja) sebesar 51% dari total variabilitas. Selain
variabel budaya organisasi, menurut penelitian ini, sesuai dengan literatur
yang ditemukan, jenis kelamin juga merupakan salah satu penentu
kepuasan kerja keryawan. Dengan demikian disimpulkan dari penelitian
mereka tersebut bahwa terdapat hubungan yang interaksi yang signifikan
antara budaya organisasi dan jenis kelamin dengan kepuasan kerja
karyawan. Penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Medina (2012) yang melihat kepuasan kerja menurut jenis kelamin
dan budaya dalam organiasasi mengungkapkan bahwa 88 persen pria
bekerja penuh waktu, dibandingkan dengan hanya 76 persen wanita yang
bekerja penuh waktu. Dengan menggunakan teknik simple random
sampling. Hasil penelitian menunjukan ada pengaruh interaksi yang
signifikan beberapa unsur budaya organisasi dan jenis kelamin dengan
kepuasan kerja dengan jumlah 0,89; p<0,05. Dengan demikian
disimpulkan dari penelitian ini bahwa unsur-unsur budaya organisasi yang
dapat memberikan stimulus terhadap kepuasan kerja karyawan laki-laki
atau perempuan seperti besaran gaji yang diterima, relasi yang dibangun,
penghargaan yang diberikan akan memiliki keterkaitan satu dengan
lainnya.
Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Abedi & Rostsmi (2011). Pada penelitian tersebut mereka menemukan
bahwa budaya organisasi tidak memengaruhi kepuasan kerja baik
karyawan laki-laki maupun perempuan, hal ini dikarenakan tidak ada
variasi korelasi interaksi antara budaya organisasi dan kepuasan kerja. Hal
ini ditunjukan dengan nilai sumbangan budaya organisasi terhadap
kepuasan kerja hanya sebesar 13,7%, sedangkan presentase kepuasan
60
kerja lainnya dijelaskan oleh faktor pribadi dan efektifitas organisasi
sebesar 86,3%.
Dari hasil-hasil penelitian di atas, ada yang mendukung dan
menolak, tentunya memberikan sebuah kontribusi dan pemahaman bahwa
budaya organisasi dan jenis kelamin merupakan suatu konsep yang
menunjukan pada keyakinan pendeta laki-laki dan perempuan mengenai
beberapa hal yang terjadi dalam kelangsungan pekerjaannya yang juga
berdampak pada kepuasan kerja itu sendiri. Selain itu dari fakta fenomena
yang diperoleh dilapangan didapati bahwa pendeta wanita dibandingakan
pendeta pria merasakan lebih nyaman ketika bekerja dalam budaya
organisasi yang kondusif, sehingga dapat mencapai kepuasan kerja.
Dengan demikian hipotesis yang dibangun ada pengaruh interaksi antara
budaya organisasi dengan kepuasan kerja pendeta GPI Papua Klasis
Fakfak.
2.4.6 Kepuasan Kerja Ditinjau Dari Jenis Kelamin.
Salah satu faktor demografi yang sampai saat ini masih menarik
untuk diteliti dalam hubungannya dengan kepuasan kerja adalah jenis
kelamin, hal ini dikarenakan terdapatnya beragam hasil penelitian yang
memperoleh hasil yang berbeda antara ada dan tidak ada pengaruh
kepuasan kerja dari faktor jenis kelamin ini. Beberapa penelitian yang
terlebih dahulu dilakukan yaitu, Rafif & Ayub (2011) dalam penelitian
mereka, menemukan hubungan perbedaan jenis kelamin terhadap
kepuasan kerja diantara karyawan perempuan dengan karyawan laki-laki,
pada penelitian ini, disimpulkan bahwa ada perbedaan pada kepuasan
kerja dalam hubunganya dengan jenis kelamin. Hal ini ditunjukan dengan
(n = 80, t = -3,670, p <.05). Beberapa alasan yang dikemukakan yang
61
mengakibatkan perbedaan kepuasan kerja berdasarkan jenis kelamin yaitu,
laki-laki biasanya menekankan pada gaji, sementara perempuan lebih
menekankan pada pertumbuhan professional kerja, sehingga karyawan
laki-laki jauh lebih puas terhadap pekerjaan dibandingkan dengan
karyawan perempuan. Perbedaan jenis kelamin sebagai penentu kepuasan
kerja juga di jelaskan oleh Ahmed et al (2010), namun sedikit berbeda
dengan yang dijelaskan oleh Rafif dan Ayub yang menyatakan laki-laki
lebih puas terhadap pekerjaannya, dalam penelitian ini ditemukan
Perbedaan yang signifikan dicatat mengenai kepuasan kerja antara
karyawan pria dan wanita dengan karyawan perempuan yang memiliki
kepuasan kerja lebih dari karyawan laki-laki.
Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Peerbai
(2006) yang menemukan bahwa untuk kepuasan kerja faktor jenis kelamin
tidak memiliki hubungan sama sekali dalam merangsang kepuasan kerja
ataupun membuat seseorang tidak puas terhadap pekerjaannya. Hal ini
dilihat berdasarkan temuan nilai (p = 0,78> 0,05). Penelitian tersebut
didukung oleh penelitian dari Ifeoluwa et al (2014) yang mana dari
temuan penelitian mereka, terbukti bahwa staf perpustakaan laki-laki dan
perempuan memiliki tingkat kepuasan kerja yang sedang atau biasa saja.
Dengan presentasi laki-laki sebesar 27,2%, dan presentase perempuan
35,1% dari total persentase 62,3% untuk kepuasan kerja. Hal ini
menegaskan bahwa pustakawan umumnya puas dengan pekerjaan mereka.
Meskipun persentase sedikit terlihat berbeda pada tingkat kepuasan kerja,
namun hal ini menunjukan bahwa hasil perbedaan jenis kelamin terhadap
kepuasan kerja tidak signifikan secara statistik dan dapat dikaitkan dengan
fakta, bahwa jumlah responden perempuan lebih banyak dari responden
62
laki-laki. Dengan demikian, perbedaan jenis kelamin ditemukan tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja.
Dari hasil penelitian pro dan kontra yang telah dikemukakan maka
dapat dililhat ada perbedaan antara kepuasan kerja bila ditinjau dari jenis
kelamin. Dengan demikian hipotesis yang dibangun ada perbedaan
kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin pendeta GPI Papua Klasis
Fakfak.
2.5 Dinamika Psikologis Hubungan Antara Variabel
Kepuasan kerja merupakan sikap umum dari perasaan positif atau
emosi yang menyenangkan karena keberhasilan dari suatu pekerjaan yang
dilakukan oleh seseorang dalam suatu organisasi. Perasaan positif tersebut
berasal dari hasil evaluasi dari karakterisitiknya mengenai seberapa baik
pekerjaannya, yang berakibat reaksi emosional yang menyenangkan dari
penilaian kinerjanya atau pengalaman kerjanya.
Dinamika antara variabel pada penelitian ini yaitu pertama adalah
hubungan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja pendeta. Hubungan
yang kedua adalah antara budaya organisasi dengan kepuasan kerja
pendeta. Hubungan yang ketiga adalah motivasi kerja dan budaya
organisasi yang secara simultan atau bersama dalam memengaruhi
kepuasan kerja pendeta.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada sub bab
sebelumnya, peneliti berkesimpulan bahwa motivasi kerja dan budaya
organisasi memiliki hubungan terhadap kepuasan kerja seorang pendeta.
Seorang pendeta yang adalah pekerja bila memiliki motivasi kerja yang
tinggi, maka mereka akan berupaya untuk bekerja semaksimal mungkin
sehingga menimbulkan kepuasan kerja dalam dirinya. Demikian juga
63
ditemukan pada penelitian-penelitian terdahulu, bahwa seorang pekerja
atau karyawan akan puas terhadap pekerjaannya bila didukung oleh
budaya organisasi yang baik, dan sebaliknya bila budaya organisasi tidak
menciptkan persaan yang menyenangkan bagi karyawannya, maka
kepuasan kerja tidak akan dirasakan oleh pekerjanya.
Khalid et al (2011) dalam penelitian mereka yang mana salah satu
hipotesisnya mengusulkan bahwa ada hubungan yang positif antara
motivasi karyawan terhadap kepuasan kerja, membuktikan bahwa ada
hubungan positif signifikan antara motivasi kerja karyawan terhadap
kepuasan kerja karyawan, dimana tingkat imbalan yang merupakan
pendorong kepuasan kerja adalah aspek terpenting dari motivasi karyawan
dalam merangsang kepuasan kerja karyawan. Selain motivasi kerja,
budaya organisasi juga merupakan penentu seseorang puas ataupun tidak
puas terhadap pekerjaannya. Sabri et al (2011) menyatakan bahwa budaya
organisasi yang berkaitan dengan karyawan memainkan peran yang lebih
kuat dalam menciptakan kepuasan kerja. Selain kedua variabel motivasi
kerja dan budaya organisasi yang memengaruhi kepuasan kerja, jenis
kelamin juga memengaruhi kepuasan kerja. Rafif & Ayub (2011)
mengungkapkan bahwa beberapa alasan yang yang mengakibatkan
perbedaan kepuasan kerja berdasarkan jenis kelamin yaitu, laki-laki
biasanya menekankan pada gaji, sementara perempuan lebih menekankan
pada pertumbuhan professional kerja.
Dari apa yang telah dipaparkan tersebut, maka dapat dilihat bahwa
motivasi kerja dan budaya organisasi memiliki pengaruh terhadap
kepuasan kerja. Disamping itu jenis kelamin juga terlihat memiliki andil
terhadap kepuasan kerja seseorang.
64
2.6 Model Penelitian
Berdasarkan telah teoritis yang dilakukan dibagian awal,
selanjutnya dibentuk sebuah model penelitian yang diharapkan nantinya
akan menjadi guideline bagi pemecahan masalah yang diajukan pada
tulisan ini. Model pada penelitian ini adalah motivasi kerja dan budaya
organisasi secara simultan memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja
pendeta Gereja Protestan Indonesia di Papua Klasis Fak-Fak, serta
perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin pendeta Gereja
Protestan Indonesia di Papua klasis Fak-fak . Kerangka pemikiran teoritis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah pada gambar berikut
Kerangka Pemikiran Teoritis
Demografi (Jenis Kelamin)
Keterangan :
X1 : Motivasi Kerja
X2 : Budaya Organisasi
X3 : Jenis kelamin
Y : Kepuasan kerja
Motivasi kerja
(X1)
Budaya Organisasi
(X2)
Kepuasan Kerja
(Y)
65
2.7 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah, tinjauan pustaka dan kerangka
berpikir, dapat diajukan hiptesis penelitian sebagai berikut :
1. Ada hubungan motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap
kepuasan kerja pendeta GPI Papua klasis Fakfak.
2. Ada pengaruh interaksi motivasi kerja dan jenis kelamin terhadap
kepuasan kerja pendeta GPI Papua klasis Fakfak.
3. Ada pengaruh interaksi budaya organisasi dan jenis kelamin terhadap
kepuasan kerja pendeta GPI Papua klasis Fakfak.
4. Ada perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin pendeta GPI
Papua klasis Fakfak.