43
23 BAB II KAJIAN PUSTAKA Kepuasan kerja dapat menyokong dan memotivasi seseorang dalam melakukan aktivitas kerjanya pada suatu organisasi dan dunia industri dimana dia mengabdi. Evaluasi perkerjaan yang sesuai dengan harapan pekerja akan sangat berpengaruh pada kepuasan mereka namun jika yang terjadi adalah sebaliknya maka tentu itu akan mengecewakan. Dalam bab ini akan dibahas tentang landasan teori yang terdiri dari definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan hasil penelitian dari masing-masig variabel. 2.1 Kepuasan Kerja 2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja Ada berbagai definisi yang diungkapkan oleh para ahli tentang kepuasan kerja. Menurut Robins, (1998) kepuasan kerja adalah suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya, oleh karena itu pekerjaan menuntut interaksi antara rekan sekerja dengan atasan, mengikuti aturan kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup pada kondisi kerja yang sering kurang dari ideal, dan yang serupa yang dapat merujuk pada kepuasan atau ketidak puasan kerja. Selanjutnya Robbins dan Jugje, (2009) mendefinisikan kepuasan kerja (job satisfaction) sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karateristiknya. Kepuasan kerja mendapat tempat yang sangat penting dalam perilaku organisasi, Luthans (2006). Istilah kepuasan kerja merujuk pada sikap (reaksi emosional) individu terhadap pekerjaannya. Sejalan dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

23

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Kepuasan kerja dapat menyokong dan memotivasi seseorang

dalam melakukan aktivitas kerjanya pada suatu organisasi dan dunia

industri dimana dia mengabdi. Evaluasi perkerjaan yang sesuai dengan

harapan pekerja akan sangat berpengaruh pada kepuasan mereka namun

jika yang terjadi adalah sebaliknya maka tentu itu akan mengecewakan.

Dalam bab ini akan dibahas tentang landasan teori yang terdiri dari

definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan hasil

penelitian dari masing-masig variabel.

2.1 Kepuasan Kerja

2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja

Ada berbagai definisi yang diungkapkan oleh para ahli tentang

kepuasan kerja. Menurut Robins, (1998) kepuasan kerja adalah suatu sikap

umum seorang individu terhadap pekerjaannya, oleh karena itu pekerjaan

menuntut interaksi antara rekan sekerja dengan atasan, mengikuti aturan

kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup pada kondisi kerja

yang sering kurang dari ideal, dan yang serupa yang dapat merujuk pada

kepuasan atau ketidak puasan kerja. Selanjutnya Robbins dan Jugje,

(2009) mendefinisikan kepuasan kerja (job satisfaction) sebagai suatu

perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari

sebuah evaluasi karateristiknya.

Kepuasan kerja mendapat tempat yang sangat penting dalam

perilaku organisasi, Luthans (2006). Istilah kepuasan kerja merujuk pada

sikap (reaksi emosional) individu terhadap pekerjaannya. Sejalan dengan

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

24

pendapat tersebut, Luthans (2006) mengutip pendapat Locke, memberikan

definisi komperhensif tentang kepuasan kerja yang meliputi reaksi positif

dari kognitif, afektif, dan evaluatif yang berasal dari penilaian pekerjaan

atau pengalaman kerja seseorang.

Sementara itu, Eslami dan Gharakhani (2012) mengemukakan

bahwa kepuasan kerja adalah rekasi positif yang terlihat dari perilaku

karyawan dalam pekerjaannya. Menurut Rose (dalam Eslami dan

Gharakhani 2012), seorang karyawan secara intrinsik puas jika ia

menerima imbalan yang jelas berdasarkan aktivitas pekerjaan yang dia

lakukan, sedangkan seorang karyawan secara ekstrinsik puas terhadap

pekerjaannya, jika dia menerima uang kompensasi atau imbalan materi

lainnya untuk mengubah tingkah laku dirinya.

Defenisi lain tentang kepuasan kerja dikemukakan oleh Handoko

(2000) sebagai keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak

menyenangkan dengan mana para pegawai memandang pekerjaan mereka.

Kepuasan kerja mencerminkan sikap seseorang terhadap pekerjaannya. Ini

nampak dalam sikap positif pegawai terhadap pekerjaan dan segala

sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Departemen personalia atau

pihak manajemen harus senantiasa memonitor kepuasan kerja, karena hal

ini dapat memengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja, semangat

kerja, keluhan-keluhan dan masalah personalia vital lainnya.

Selanjutnya menurut Mangkunegara (2000), kepuasan kerja

maupun ketidakpuasan kerja merupakan bentuk ungkapan yang

dituangkan lewat pekerjaan yang menyokong atau tidak menyokong diri.

Sehingga perasaan puas atau tidaknya seseorang akan berhubungan

dengan pekerjaan maupun dengan kondisi dirinya. Perasaan yang

berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek seperti upah, atau

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

25

gaji yang diterima, kesempatan pengembangan karier, hubungan dengan

pegawai lainya, penempatan kerja, jenis pekerjaan, struktur organisasi

perusahaan dan mutu pengawasan. Sedangkan perasaan yang berhubungan

dengan dirinya, antara lain umur, kondisi kesehatan, kemampuan dan

pendidikan.

Berdasarkan beberapa defenisi tentang kepuasan kerja tersebut di

atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah sikap umum dari

perasaan positif atau emosi yang menyenangkan karena keberhasilan dari

suatu pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu organisasi.

Perasaan positif tersebut berasal dari hasil evaluasi berdasarkan

karakterisitiknya mengenai seberapa baik pekerjaannya yang dapat

berdampak pada reaksi emosional yang menyenangkan. Sehingga puas

tidaknya seseorang pada pekerjaannya akan tergantung pada sesuai atau

tidaknya hasil evaluasi dengan harapan mereka.

2.1.2 Teori Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja maupun ketidak puasan kerja dapat dipahami dari

beberapa teori. Robbins & Judge (2009), memandang kepuasan kerja

berdasarkan kumpulan perasaan terhadap pekerjaan yang dimiliki oleh

seorang karyawan. Lebih lanjut teori ini berpandangan bahwa kepuasan

kerja adalah suatu perilaku karyawan yang puas dengan apa yang

diberikan oleh suatu organisasi tempatnya bekerja dan ditunjukan dengan

sikap positif karyawan terhadap organisasi itu. Berdasarkan hal tersebut

maka ada 5 faktor kepuasan kerja yaitu :

1. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri. Kepuasan ini tercapai

bilamana pekerjaan seorang karyawan sesuai dengan minat dan

kemampuan karyawan itu sendiri.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

26

2. Kepuasan terhadap imbalan dari pekerjaan itu. Di mana karyawan

merasa gaji atau upah yang diterimanya sesuai dengan beban kerjanya

dan seimbang dengan karyawan lain yang bekerja pada organisasi itu.

3. Kepuasan terhadap atasan. Karyawan merasa memiliki atasan yang

mampu memberikan bantuan teknis dan motivasi.

4. Kepuasan terhadap rekan kerja. Karyawan merasa puas terhadap rekan

- rekan kerjanya yang mampu memberikan bantuan teknis dan

dorongan sosial.

5. Kesempatan promosi. Kesempatan untuk meningkatkan posisi jabatan

pada struktur organisasi.

Selanjutnya Menurut Wexley dan Yulk (dalam As’ad 1998) ada

tiga macam teori tentang kepuasan kerja yang lazim digunakan, yaitu :

teori ketidak sesuaian (discrepancy theory), teori keadilan (equity theory),

teori dua factor (twofactortheory)

a. Discrepancy theory (teori ketidak sesuaian)

As’ad, (1998) mengemukakan bawa teori ketidak sesuaian pertama

kali dipelopori oleh Porter pada tahun 1961. Porter mengukur kepuasan

kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya

dengan kenyataan yang dirasakan. Kemudian Locke pada tahun 1969

berpandangan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung pada

perbedaan yang seharusnya didapati dengan harapan akan nilai-nilai yang

dibutuhkan. Teori ketidaksesuaian, Locke (dalam Wijono 2010)

mengungkapkan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan dari aspek pekerjaan

menggunakan dasar pertimbangan dua nilai, yaitu (1) ketidaksesuaian

yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan individu dengan apa yang

dia terimanya; dan (2) apa pentingnya pekerjaan yang diinginkan oleh

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

27

individu tersebut. Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi individu adalah

jumlah setiap aspek pekerjaan dikalikan dengan derajat pentingnya aspek

pekerjaan individu.

b. Teori keadilan (equity theory)

Teori ini dikembangkan oleh Adams (dalam Cahyono 1996), prinsip

dari teori ini menyatakan bahwa seseorang akan merasa puas atau

sebaliknya tidak puas terhadap pekerjaannya tergantung pada apakah

orang tersebut merasa adanya keadilan (equity) atau ketidak adilan

(inequity) atas suatu situasi. Hal ini diperoleh dengan cara

membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun

ditempat lain. Bila individu merasa adanya keadilan dalam pekerjaannya

yaitu persepsi keadilan tercapai bila perbandingan antara input-outcome

seorang individu sepadan dengan individu lainnya. Input adalah suatu nilai

yang menyokong suatu pekerjaan atau jabatan seperti pendidikan,

pengalaman, keterampilan, masa kerja, persediaan atau perlengkapan

kerja. Outcome adalah suatu nilai yang didapat dari suatu pekerjaan atau

jabatannya, seperti upah, keuntungan, status penghargaan dan kesempatan

untuk berprestasi dan ekspresi diri.

c. Teori Dua factor (twofactortheory)

Prinsip teori ini ialah kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu

merupakan dua hal yang berbeda (Cahyono,1996). Artinya, kepuasan

kerja dan ketidakpuasan kerja itu tidak merupakan suatu variabel yang

kontinyu. Berdasarkan atas hasil penelitian Herzberg (dalam Luthans

2006) menyatakan bahwa orang dalam melaksanakan pekerjaannya

dipengaruhi dua faktor, yaitu : Faktor motivator dan Faktor hygiene.

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

28

Faktor motivator ini berhubungan dengan aspek-aspek yang terkandung

dalam perkerjaan itu sendiri (Job Content) atau disebut juga aspek

intrinsik dalam pekerjaan. Faktor-faktor yang termasuk disini adalah

keberhasilan melakukan tugas, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung

jawab, kemungkinan untuk pengembangan, kesempatan untuk maju.

Faktor hygiene yaitu faktor yang berada disekitar pelaksanaan pekerjaan,

berhubungan dengan job content atau pekerjan ekstrinsik yang terdiri dari

: kondisi kerja, hubungan antara pribadi, kebijaksanaan perusahaan

teknik pengawasan, upah/gaji. (Luthans 2006) menambahkan bahwa

perasaan nyaman dalam pekerjaan umumnya berhubungan dengan

pengalaman kerja dan kepuasan kerja. Seseorang akan bangga dan puas

dengan pekerjaan karena fasilitas yang tersedia. Sebaliknya perasaan tidak

senang umumnya berhubungan dengan aspek disekitar pekerjaan atau

suasana perkerjaan.

d. Teori Pemenuhan Kebutuhan (need fulfillment theory)

Teori Maslow ini sering disebut dengan hirarki kebutuhan, karena

menyangkut kebutuhan manusia, teori ini menunjukkan kebutuhan

seseorang yang harus dipenuhi agar dia termotivasi untuk berkerja.

Menurut teori ini, kepuasan kerja pegawai bergantung pada terpenuhi atau

tidaknya kebutuhan pegawai. Kebutuhan ini berupa kebutuhan fisik, rasa

aman, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri, Maslow (Robbins, 2002).

Sedangkan menurut McClelland et al dalam (Robbins 2002), ada tiga

kebutuhan yang relevan ditempat kerja yaitu kebutuhan akan prestasi,

kebutuhan akan kekuasan dan kekuasaan afiliasi. Pegawai akan merasa

puas apabila ia mendapatkan apa yang dibutuhkan. Makin besar

kebutuhan pegawai terpenuhi, makin puas pula pegawai tersebut.

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

29

Sebaliknya apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi, pegawai itu tidak

akan merasa puas.

Untuk kepentingan penelitian ini penulis menggunakan teori

kepuasan kerja oleh Robbis dan Judge (2009). Prinsip kepuasan kerja yang

dikemukakan oleh Robbis dan Judge (2009) dapat disimpulkan bahwa

kepuasan kerja berangkat dari perilaku karyawan yang puas dengan apa

yang diberikan oleh suatu organisasi tempatnya bekerja dan ditunjukkan

dengan sikap positif karyawan terhadap organisasi tersebut.

2.1.3 Aspek Kepuasan Kerja

Herzberg (dalam Robbins & Judge 2009) menyatakan bahwa pada

kenyataanya kepuasan kerja itu berangkat dari segi kepuasan kerja yang

dapat dilihat dari pekerjaan itu sendiri, bayaran, kenaikan jabatan,

pengawasan/supervisor dan rekan kerja.

a. Pekerjaan itu sendiri. Pekerjaan yang memberi kesempatan untuk

seorang pekerja menggunakan kemampuan yang dimiliki

b. Bayaran dalam bentuk imbalan yang pantas dari system gaji, sistem

insentif finansial, sistem tunjangan, kebijaksanaan promosi yang adil

dan sesuai harapan (cita-cita), dan terjauh dari praktek politik dalam

promosi.

c. Kenaikan jabatan, prinsipnya adalah the right man in the right job

(pekerjaan yang tepat pada jabatan yang tepat). Analisis jabatan

menghasilkan deskripsi jabatan dan spesifikasi jabatan. Pekerja akan

mendapatkan kepuasan kerja apabila kepriibadian (spesifikasi jabatan)

cocok dengan deskripsi jabatan.

d. Pengawasan supervisor. Pekerja menyukai dan menyenangi jabatan

yang memiliki atasan yang memiliki karakteristik sebagai berikut

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

30

yaitu (1) atasan langsung yang memiliki ilmu pengetahuan,

ketrampilan dan kemampuan untuk berkerja sama dalam memecahkan

persoalan pekerjaan yang sulit (2) atasan langsung yang bersedia

mendengarkan dan memahami keluhan dan pendapat tentang

pemecahan persoalan pekerjaan. (3) atasan yang suka memberikan

pertolongan dalam memecahakan masalah persoalan pekerjaan

(Robbins, 1998).

e. Rekan kerja, pekerja bekerja tidak hanya untuk mendapatkan imbalan

gaji, insentif finansial, tunjangan dan promosi yang adil saja, tetapi

pekerja bekerja juga untuk mendapatkan kebutuhan interkasi sosial

(rekan sekerja yang mendukung).

Cellucci dan DeVries (dalam Dickson, et al 2009), mengungkapkan

lima aspek kepuasan kerja dalam diri seseorang ditempat dia bekerja yakni

:

a. Kepuasan terhadap gaji, merupakan hal yang berhubungan dengan gaji

yang diberikan lembaga dibandingkan dengan lembaga yang lain,

mempertimbangkan gaji dengan tanggung jawab dan tunjangan-

tunjangan yang memuaskan ditempat kerja

b. Kepuasan terhadap promosi, merupakan hal yang berhubungan dengan

dasar atau sistim promosi di tempat kerja dan tingkat kemajuan karir

pegawai yang bekerja dalam suatu lembaga.

c. Kepuasan terhadap rekan kerja, merupakan hal yang berhubungan

dengan dukunngan rekan kerja dan kerja sama dengan rekan kerja.

d. Kepuasan terhadap supervisi/pengawasan, merupakan dukungan dari

atasan, yaitu atasan yang memiliki kompeten dibidangnya.

Sementara itu, (Spector, 2000) menggunakan Job Satisfaction Surfey

yang mengandung pengukuran dalam sembilan aspek diantaranya:

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

31

a. Gaji (pay) : hal ini berhubungan dengan kepuasan individu terhadap

gaji yang didapati dan kenaikan terhadap gaji

b. Promosi (promotion) : hal ini berhubungan dengan kesempatan

individu terhadap ruang atau kesempatan promosi yang didapatinya

c. Atasan (supervision) : hal ini berhubungan dengan kepusan individu

terhadap atasan darinya.

d. Tunjangan (fringebenefits) : hal ini berhubungan dengan kepuasan

individu terhadap tunjangan yang diberikan organisasi dimana dia

bekerja.

e. Imbalan non finansial (contigentrewards) : hal ini berhubungan dengan

kepuasan individu terhadap imbalan non-finansial yang diberikan

karena performa baik yang tunjukan individu dalam bekerja.

f. Kondisi operasional (operating conditions) : hal ini berhubungan

dengan kepuasan ndividu terhadap peraturan-peraturan dan prosedur-

prosedur yang berlaku dalam organisasi.

g. Rekan kerja (co-workers) : hal ini berhubungan dengan kepuasan

individu terhadap rekan kerjanya.

h. Jenis pekerjaan (natureofwork) : hal ini berhubungan dengan kepuasan

individu terhadap tipe pekerjaan yang dilakukan.

i. Komunikasi : hal ini berhubungan dengan kepuasan individu terhadap

komunikasi yang terjadi dan terjalin dalam organisasi

Dalam hubunganya dengan penelitian, penulis menggunakan lima

aspek kepuasan kerja dari Herzberg (dalam Robbins & Judge 2009)

menyatakan bahwa kepuasan kerja itu berangkat dari pekerjan itu sendiri,

bayaran, kenaikan pangkat, pengawasan/supervisor dan rekan kerja.

Pemelihan ini didasarkan pada prinsip dan keyakinan bahwa kepuasan

kerja pendeta dalam melaksanakan tugas tanggung jawab sedikitnya dapat

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

32

dilihat berdasarkan lima karakteristik itu yang dapat menjadi landasan

kepuasan kerja seorang pendeta.

2.1.4 Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Menurut Robbins (1998) ada beberapa hal yang dapat

mempengaruhi kepuasan kerja karyawan yaitu pekerjaan yang secara

mental menantang, reward yang sesuai, kondisi kerja yang mendukung,

rekan kerja yang mendukung serta kesesuaian kepribadian dan pekerjaan.

a. Pekerjaan yang secara mental menantang

Pekerja yang cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi

mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan

mereka dan menawarkan tugas, pekerjaan yang kurang menantang

menciptakan kebosanan, sebaliknya jika terlalu banyak pekerjaan yang

menantang dapat menciptakan frustasi. Pada kondisi tantangan yang

sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan

dalam bekerja.

b. Imbalan yang pantas

Para pekerja menginginkan pemberian upah dan kebijakan promosi yang

mereka presepsikan adil dan sesuai dengan harapan mereka. Bila upah

dilihat adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat kesempatan

individu, dan standar upah karyawan, kemungkinan besar akan

menghasilkan kepuasan kerja.

c. Kondisi kerja yang mendukung

Pekerja peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi

manapun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Beberapa penelitian

telah menunjukan, bahwa pekerja lebih menyukai lingkungan kerja yang

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

33

tidak berbahaya. Seperti temperatur, cahaya, kebisingan, dan faktor

lingkungan lain harus diperhitungkan dalam pencapaian kepuasan kerja.

d. Rekan pekerja yang mendukung

Pekerja akan mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang

berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan kerja juga mengisi

kebutuhan akan interkasi social. Oleh karena itu sebaiknya pekerja

mempunyai rekan kerja yang ramah dan mendukung. Hal itu penting

untuk mencapai kepuasan kerja.

e. Kesesuaian kepribadian dan pekerjaan

Pada hakikatnya orang yang tipe kepribadianya sama dengan pekerjaan

yang mereka pilih seharusnya mereka punya bakat dan kemampuan yang

tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka. Dengan demikian

akan lebih besar kemungkingan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut,

dan lebih memungkinkan untuk mencapai kepuasan yang tinggi dari

pekerjaan mereka.

Beberapa faktor yang juga turut memengaruhi kepuasan kerja yaitu

a)Motivasi kerja, b)budaya organisasi c) jenis kelamin, sebagaimana

variabel dalam penelitian ini, telah diteliti terlebih dahulu oleh beberapa

penelitian terdahulu.

Zafar (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa, motivasi

kerja merupakan faktor yang menentukan kepuasan kerja. Dari hasil

penelitiannya, disimpulkan bahwa jika karyawan termotivasi, mereka akan

puas dengan pekerjaannya, dan jika karyawan puas dengan pekerjaan

mereka, maka mereka akan bekerja keras untuk mencapai tujuan

organisasi, dan jika tujuan tercapai maka organisasi akan mendapatkan

keuntungan. Sejalan dengan peneitian tersebut, Sohail et al (2014) dalam

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

34

penelitian mereka menyimpulkan bahwa motivasi kerja merupakan faktor

pendorong kepuasan kerja, hal ini dikarenakan motivasi kerja memiliki

efek positif pada kepuasan kerja karyawan. Ini menyiratkan bahwa efek

motivasi kerja karyawan, yang berimbas pada kepuasan kerja

mengakibatkan karyawan lebih termotivasi dalam melakukan tugas.

Ketika motivasi kerja ada dalam diri seorang karyawan, dapat merangsang

karyawan untuk puas terhadap pekerjaannya. karyawan yang puas

terhadap pekerjaannya akan lebih berkomitmen dengan pekerjaan, dan

kemudian memengaruhi kinerjanya.

Selain faktor motivasi kerja, budaya organisasi juga merupakan

faktor terciptanya kepuasan kerja. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan

oleh, Sangadji (2014), yang dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa

budaya organisasi merupakan salah satu dari banyaknya faktor yang turut

memengaruhi kepuasan kerja. Dimensi budaya organisasi dalam

penelitiannya ini, yang terbukti membangun konstruk kepuasan kerja

terdiri dari kebijakan organisasi, pengawasan, kondisi kerja, hubungan

interpersonal, gaji, keamanan kerja, prestasi kerja, tanggung jawab,

kesempatan untuk tumbuh / berkembang, pengakuan kerja itu sendiri.

Oleh karena itu secara empiris membuktikan bahwa budaya organisasi

dengan berbagai dimensi merupakan faktor penentu kepuasan kerja.

Sejalan dengan penelitian tersebut, Belias & Koustelios (2014), dalam

penelitiannya menyatakan bahwa, dikarenakan budaya organisasi

merupakan faktor kepuasan kerja, maka pada beberapa organisasi

internasional, budaya organisasi secara serius mulai dipikirkan dan

diterapkan. Pandangan senada juga disampaikan oleh Habib et al (2014)

yang dalam peneliatan mereka menyatakan bahwa budaya organisasi

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

35

merupakan elemen atau faktor penting yang sangat mempengaruhi

kepuasan kerja.

Selain motivasi kerja dan budaya organisasi disamping faktor-

faktor lainnya sebagai penentu kepuasan kerja, jenis kelamin juga

merupakan suatu faktor yang menentukan kepuasan kerja. Hal ini

diungkapkan oleh beberapa penlitian, diantaranya Ahmed et al (2010)

yang menyatakan bahwa salah satu faktor demografi yaitu jenis kelamin

merupakan bagian penting atau faktor seorang karyawan merasa puas atau

tidaknya terhadap pekerjaan yang digeluti. Dalam penelitian ini,

ditemukan bahwa, kepuasan kerja secara signifikan relative tinggi di

miliki oleh karyawan perempuan dibandingkan dengan karyawan laki-

laki.

Penelitian tersebut didukung oleh penelitian dari (Hodson, 1989)

menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara perbedaan gender dalam

penentuan kepuasan kerja. Perbedaan tersebut terlihat dalam proses kerja

antara pria dan wanita. penelitian ini menyimpulkan bahwa beberapa

wanita tidak menyukai pekerjaan yang kompleks dibandingkan

kebanyakan pria, karena karyawan wanita mengekspresikan ketidakpuasan

kerja lebih banyak dibandingkan dengan pekerja pria sebab mereka telah

menikah dan memiliki anak di bawah usia enam tahun.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dipaparkan

tersebut, dapat disimpulkan bahwa, ternyata kepuasan kerja juga

dipengaruhi oleh faktor motivasi kerja, budaya organisasi, maupun jenis

kelamin. Faktor-faktor tersebut sebagaimana yang menjadi dasar dan

menjadi bagian penting dari tulisan ini.

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

36

2.2 Motivasi Kerja

2.2.1 Pengertian Motivasi Kerja

Konsep motivasi telah didefinisikan dan diukur dengan berbagai

cara yang berbeda. Istilah "motivasi" berasal dari istilah Latin movere,

yang berarti "bergerak" (Roos & Edden 2008). Banyak definisi tentang

motivasi telah didalilkan selama beberapa dekade di mana Konsep

beragam ini telah diteliti. Campbell & Pritchard (dalam Roos & Edden

2008) mendefinisikan motivasi sebagai "label” penentu pilihan untuk

memulai kegiatan pada tugas tertentu, pilihan tersebut merupakan pilihan

untuk mengeluarkan sejumlah upaya, dan pilihan untuk bertahan dalam

usaha selama periode waktu tertentu dalam pekerjaan. Menurut (Robbins

1998) motivasi adalah akibat dari intrekasi dari individu dan situasi. Lebih

spesifik Robbins berpendapat bahwa motivasi merupakan kesediaan untuk

mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi ke arah tujuan-tujuan organisasi,

yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi kebutuhan

individual.

Dari pengertian motivasi tersebut, Luthans (dalam Salem et al

2010) kemudian menegaskan pengertian motivasi kerja sebagai proses

yang membangkitkan, memberikan energi, mengarahkan, dan memelihara

perilaku terhadap kinerja. Motivasi kerja mendorong seseorang terhadap

tindakan yang membantu untuk mencapai efektivitas tugas pekerjaan

dengan cara menginspirasi seseorang melakukan tugasnya, dengan

demikian motivasi kerja dapat membawa seseorang untuk berkomitmen

terhadap pekerjaan mereka. Singh & Tiwari, (2011) memberikan

pengertian motivasi kerja yang bisa dipahami sebagai suatu upaya yang

diperlukan untuk mendorong atau yang menarik pekerja dalam melakukan

pekerjaannya sehingga memenuhi keinginannya dalam kebutuhan mereka.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

37

Menurut Munandar, (2001) motivasi kerja merupakan proses

dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan

serangkaian kegiatan yang mengarah ke terciptanya tujuan tertentu.

(Wijono 2010) menjelaskan bahwa motivasi kerja ialah suatu

kesungguhan atau usaha dari individu untuk melakukan pekerjaannya

guna mencapai tujuan organisasi disamping tujuan itu sendiri.

Berdasarkan beberapa pengertian motivasi kerja tersebut, dapat

disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah suatu kesungguhan dari upaya

individu dalam membangkitkan, memberikan energi, mengarahkan dan

memelihara perilaku dalam melakukan pekerjaannya untuk kepentingan

tertentu baik bagi organisasi maupun bagi individu itu sendiri.

2.2.2 Teori Motivasi Kerja

Motivasi kerja dapat dipahami dari beberapa teori yang telah

dibahas terlebih dahulu oleh beberapa ahli. Wijono (2010) mengurutkan

teori motivasi kerja berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu yakni

1) teori kebutuhan ; 2) teori harapan; dan 3 teori keadilan. Untuk

kepentingan penelitian ini, maka akan dipaparkan salah satu teori motivasi

kerja yaitu teori kebutuhan.

Teori kebutuhan

a. Teori Hirarki kebutuhan

(Robbins 1998) menjelaskan bahwa teori motivasi, yang paling

dikenal adalah hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow. Ia

menghipotesiskan bahwa didalam semua manusia ada suatu jenjang

kelima kebutuhan berikut. Faali (fisiologis), keamanan, sosial,

penghargaan dan Aktualisasi diri. Dari tiitik pandang motivasi, teori ini

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

38

mengatakan bahwa meskipun tidak ada kebutuhan yang pernah dipenuhi

secara lengkap, suatu kebutuhan yang dipuaskan secara cukup banyak

(substansial) tidak lagi memotivasi. Jadi jika kita ingin memotivasi

seseorang, menurut Maslow (dalam Robbins 1998) perlu dipahami sedang

berada pada anak tangga manakah orang itu dan memfokuskan pada

pemenuhan kebutuhan-kebutuhan itu atau kebutuhan diatas tingkat itu.

Maslow (dalam Robbins 1998), memisahkan kelima kebutuhan itu

sebagai order tinggi dan order rendah. Kebutuhan faali dan kebutuhan

akan keamanan diperkirakan sebagai kebutuhan order rendah dan

kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri sebagai

kebutuhan order tinggi. Perbedaan antara kedua order itu berdasarkan

alasan bahwa kebutuhan order tinggi dipenuhi secara internal (di dalam

diri orang itu) sedangkan kebutuhan order rendah terutama dipenuhi

secara eksternal (dengan upah, kontrak serikat buruh, dan masa kerja

misalnya).

b. Teori ERG Alderfer

Robbins (1998), meyatakan Teori ini banyak disebutkan sebagai

revisi dari teori hirarki kebutuhan. Alderfer (dalam Robbins 1998)

beragumen bahwa ada tiga kelompok kebutuhan. Pertama kebutuhan

existence (keberadaan) memperdulikan pemberian persyaratan ekstitensi

materiil dasar hal ini mencakup butir-butir yang oleh Maslow dianggap

sebagai kebutuhan faali dan keamanan. Kelompok kebutuhan kedua,

relatedness (keterhubungan) yaitu hasrat yang dipunyai untuk

memelihara hubungan antar pribada yang penting. Hal tersebut menyakut

hasrat sosial dan status menuntut interaksi dengan orang lain, dan hasrat-

hasrat ini segaris dengan dengan kebutuhan sosial Maslow dan komponen

eksternal dari klesifikasi penghargaan Maslow. Hal yang ketiga growth

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

39

(pertumbuhan), yaitu suatu hasrat intrinsik untuk perkembangan pribadi

yang dalam kategori penghargaan Maslow dan karakteristik-karakteristik

yang tercakup pada aktualisasi diri.

c. Teori Dua Faktor Herzberg

Teori ini dikemukakan oleh psikolog Frederick Herzberg.

Herzberg dalam (Robbins 1998) menyatakan bahwa dalam keyakinan

bahwa hubungan seseorang individu pada kerjanya merupakan suatu

hubungan dasar dan bahwa sikapnya terhadap kerja ini dapat sangat

menetukan sukses atau kegagalam individu itu. Teori motivasi-higine

melihat bahwa faktor-faktor intrinsic berhubungan dengan kepuasan kerja,

sementara faktor-faktor ekstrinsik berhubungan dengan ketidakpuasan.

Faktor higine adalah faktor-faktor seperti kebijakan dan administrasi

perusahaan, penyeliaan, dan gaji-yang, bila memadai dalam suatu

pekerjaan, mententramkan pekerja. Bila faktor-faktor ini tidak memadai,

orang-orang akan tak terpuaskan.

d. Teori kebutuhan McClelland

Robbins (1998), memperkenalkan teori kebutuhan McClelland

yang dipelopori oleh McClelland dan teman-temannya sebagai suatu hal

yang sangat penting dalam lingkungan organisasi untuk memahami

motivasi. Teori ini memfokuskan pada tiga kebutuhan : prestasi

(achievement), kekuasaan (power) dan pertalian (afiliasi). Kebutuhan ini

didefinisikan sebagai berikut :

a. Kebutuhan akan prestasi : Dorongan untuk mengungguli, prestasi

sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk sukses.

b. Kebutuhan akan kekuasaan : Kebutuhan untuk membuat orang-orang

lain berprilaku dalam suatu cara yang orang-orang itu (tanpa dipaksa)

tidak aka berprilaku demikian.

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

40

c. Kebutuhan akan pertalian : Hasrat untuk hubungan antar pribadi yang

ramah dan karib.

Untuk kepentingan penelitian ini penulis mengunakan teori hirarki

kebutuhan Abraham Maslow (dalam Robbins 1998). Prinsip teori ini

berbicara menyangkut kebutuhan manusia, yang mana ketika kebutuhan-

kebutuan pekerja dapat terpenuhi, dapat menciptkan motivasi kerja bagi

pekerja itu sendiri.

2.2.3 Aspek motivasi kerja

Pada sebuah kesempatan Vance & Moudgil (dalam Mas’ud 2004)

melihat aspek motivasi kerja yang dikembangan berdasarkan teori

motivasi dari hierarki kebutuhan Maslow terhadap dunia organisasi dalam

lima aspek. Aspek-aspek motivasi kerja tersebut antara lain.

a. Kebutuhan keamanan, mencakup penerimaan terhadap ketidak

pastiaan, seberapa banyak pekerjaan mencampuri urusan pribadi,

seberapa jauh posisi atau kedudukan dapat diperediksi untuk masa

depan, sejauhmana perubahan mengakibatkan ketrampilan atau

pengetahuan dan sejauh mana seseorang merasa tidak aman berkaitan

dengan posisinya.

b. Kebutuhan sosial, mencakup peluang untuk memberikan bantuan

kepada orang lain, kesempatan untuk bertukar pikiran dengan rekan

sekerja, kesempatan untuk bertemu dengan orang lain di luar

kelompok dan peluang untuk mengembangkan hubungan dekat

dengan rekan-rekan

c. Kebutuhan harga diri, mencakup perasaan harga diri dari kedudukan

atau posisi sekarang, prestise yang diterima baik dari dalam

organisasi maupun dari luar organisasi, pengakuan dan penghargaan

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

41

dari rekan sekerja ketika seseorang berhasil melakukan pekerjaannya

dengan baik.

d. Kebutuhan otonomi, mencakup kesempatan untuk berpikir dan

bertindak mandiri, peluang berpartisipasi dalam penentuan metode

dan prosedur dalam organisasi, wewenang yang dimiliki dalam posisi

atau kedudukan sekarang dan peluang untuk berpatisipasi dalam

penentuan tujuan

e. Kebutuhan aktualisasi diri, mencakup kesempatan untuk

pengembangan dan pertumbuhan pribadi, persaan bangga dan

berguna berkaitan dengan pekerjaan (kedudukan sekarang),

kesempatan untuk melakukan kerja kreatif atau pengembangan

gagasan-gagasan yang orisinil dan perasaan pemenuhan diri

(tercapainya apa-apa yang diharapkan) yang diperoleh dari pekerjaan

(posisi) atau kedudukan sekarang.

Dalam kesempatan berbeda, Greenberg & Baron (2003)

menyatakan bahwa motivasi seorang individu untuk bekerja terdiri atas

tiga aspek. Aspek-aspek tersebut adalah:

a. Pendorong (arousal), Aspek ini berkaitan dengan dorongan, energi

yang mendasari perilaku bekerja. Ketertarikan untuk memenuhi

dorongan ini membawa individu terikat dalam suatu perilaku untuk

memenuhi dorongan tersebut.

b. Perilaku secara langsung (direct behavior). Aspek ini berkaitan dengan

pilihan yang dibuat seorang individu dan berbagai pilihan cara yang

akan ditempuh sebagai jalan mencapai tujuan yang ingin diraih. Aspek

ini ditunjukkan dengan perilaku yang secara langsung maupun tidak

langsung mengarah pada tujuan yang ingin dicapai oleh individu.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

42

c. Perilaku mempertahankan (maintaining behavior). Maksudnya adalah

seberapa lama seorang individu mampu mempertahankan perilakunya

dalam bekerja sehingga tujuan mereka dapat tercapai. Seorang

individu yang menyerah dalam mencapai tujuan mereka, serta orang

yang tidak tahan berusaha dalam mempertahankan usaha mencapai

tujuan disebut sebagai individu yang motivasi kerjanya kurang atau

rendah.

Selanjutnya, menurut Gomes (1997) aspek yang terdapat dalam

motivasi kerja terdiri dari dua aspek penting yaitu, aspek individual

dan aspek organisasional.

1. Aspek individual, terdiri dari:

a. Kebutuhan-kebutuhan (need) yang diartikan bahwa motivasi

kerja karyawan yang didorong oleh adanya pemenuhan

kebutuhan yang diperlukan karyawan.

b. Tujuan-tujuan (goals) yang menunjukkan motivasi kerja

karyawan oleh adanya pencapaian tujuan yang diinginkan oleh

karyawan terkait dengan pekerjaannya.

c. Kemampuan-kemampuan (abilities) yaitu motivasi kerja

karyawan oleh adanya kesesuaian kemampuan yang dimiliki

karyawan terhadap pekerjaannya.

2. Aspek organisasional, terdiri dari:

a. Pembayaran atau gaji (pay), di mana karyawan akan lebih

termotivasi oleh adanya kesesuaian gaji maupun bonus dengan

keterampilan dan kemampuan karyawan.

b. Keamanana pekerjaan (job security), yang menunjukkan

motivasi kerja karyawan dapat didorong oleh adanya

pemberian jaminan, seperti jaminan keamanan baik jaminan

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

43

kesehatan dan keselamatan dalam bekerja maupun jaminan hari

tua.

c. Hubungan dengan rekan kerja (co-workers) yaitu adanya

hubungan kerja dengan sesama rekan kerja yang baik akan

semakin memotivasi karyawan dalam bekerja pada organisasi.

d. Pengawasan (supervision), yang menunjukkan motivasi kerja

dalam diri karyawan oleh adanya pengawasan dari atasan

sesuai dengan yang diharapkan.

e. Pujian (praise), yang menunjukkan motivasi kerja dalam diri

karyawan oleh adanya dukungan dan penghargaan atas prestasi

kerja dari atasan.

Dalam hubunganya dengan penelitian, penulis menggunakan lima

aspek motivasi kerja dari Maslow yang dikembangkan oleh Vance &

Moudgil (dalam Mas’ud 2004) terhadap dunia organisasi yang mencakup

lima aspek motivasi kerja dalam hirarkhi kebutuhan : yakni kebutuhan

keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri, kebutuhan otonomi dan

kebutuhan aktualisasi diri

2.3 Budaya Organisasi

2.3.1 Pengertian Budaya Organsasi

Dalam suatu kesempatan Robbins (1998) mendefinisikan budaya

organisasi (organizational Culture) sebagai suatu sistem makna bersama

yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut

dengan organisasi yang lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati

dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang

dihargai oleh organisasi itu. Dalam kesempatan berbeda Robbins (1998),

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

44

menyatakan budaya organisasi oleh suatu sistem nilai yang diperoleh dan

dikembangkan oleh organisasi dan pola kebiasan dan falsafah dasar pada

pendirinya, yang terbentuk menjadi aturan yang digunakan sebagai

pedoman dalam berpikir dan bertindak dalam mencapai tujuan organisasi.

Budaya yang tumbuh menjadi kuat mampu mamacu organisasi kearah

perkembangan yang lebih baik.

Sementara itu, Schein (dalam Luthans 2006), memberi pengertian

tentang budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar yang diciptakan,

ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu saat mereka

menyesuaikan diri dengan masalah-masalah eksternal dan integritas

internal yang telah berkerja cukup baik serta dianggap berharga, dan

karena itu diajarkan pada anggota baru sebagai cara yang benar untuk

menyadari, berpikir, dan merasakan hubungan dengan masalah tersebut.

Kemudian, Luthans (2006) mendefinisikan budaya organisasi, dari

beberapa definisi yang disimpulkan olehnya tentang bagaimana

pentingnya norma dan nilai yang sama yang memadu perilaku organisasi

dan itulah budaya organisasi sebenarnya. Disini (Mas’ud 2004) juga

memberikan pengertian tentang budaya organisasi, yaitu sistem makna,

nilai-nilai kepercayaan yang dianut bersama dalam suatu organisasi yang

menjadi rujukan untuk bertindak dan membedakan organisasi satu dengan

organisasi lain, budaya organisasi selanjutnya menjadi identitas atau

karakter utama organisasi yang pelihara dan dipertahankan.

Dari beberapa pengertian tentang budaya organisasi tersebut, maka

dapat disimpulkan budaya organisasi merupakan sebuah identitas yang

membedakan suatu organisasi dengan organisasi lainnya. Pembeda ini

terlihat lewat sistim makna yang dianut bersama setiap anggota organisasi

tertentu, yang didasari atas asumsi dasar yang diciptkan oleh norma dan

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

45

nilai-nilai untuk memandu setiap individu dalam berperliku didalam

organisasi.

2.3.2 Teori Budaya Organisasi

Ada berbagai macam teori sehubungan dengan budaya organisasi

diantaranya yang dikemukakan oleh Robbins (1998) yang memandang

gagasan organisasi sebagai budaya, dimana ada suatu sistem makna yang

dianut bersama dikalangan anggota-anggotanya, sehingga membedakan

organisasi itu dengan organisasi-organisasi yang lain. Sistem makna ini

bila diamati dengan seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama

yang dihargai oleh organisasi itu. Karakteristik tersebut adalah sebagai

berikut :

a. Inovasi dan pengambilan resiko yaitu sejauh mana para karyawan

didorong untuk inovatif dan mengambil resiko

b. Perhatian ke rincian yaitu sejauh mana para karyawan diharapkan

memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis dan perhatian pada

rincian

c. Orientasi hasil yaitu sejauh mana manajemen memfokuskan pada hasil

bukannya pada teknik dan proses yang digunkan untuk mencapai hasil

itu

d. Orientasi orang yaitu sejauh mana keputusan manajemen

memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang didalam

organisasi itu

e. Orientasi tim yaitu sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar

tim-timnya bukannya individu-individu

f. Keagresifan yaitu sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetetif

dan bukannya santai-santai

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

46

g. Kemantapan yaitu sejauh mana kegiatan organisasi menekankan

dipertahankannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.

Dalam pandangan yang lain, Kotter & Hesskett (1998)

menjelaskan bahwa budaya organisasi memiliki dua tingkatan yang

berbeda dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanan menghadapi perubahan.

Yang pertaman pada tingkatan yang kurang terlihat, budaya organisasi

berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut bersama oleh kelompok dan

cenderung tetap bertahan meskipun anggota kelompok sudah berubah.

Pada tingkatan selanjutnya, budaya organisasi menggambarkan pola

perilaku suatu organisasi sehingga anggota baru secara otomatis terdorong

untuk mengikuti perilaku teman kerjanya

Jeffrey Sonnfeld (dalam Robbins 1998) dengan teori tipologi

budaya, melihat perbedaan antara budaya-budaya organisasi dan

pentingya mencocokan orang-orang itu secara tepat dalam tipologi

budaya. Dari organisasinya, ia mengenali empat tipe budaya yaitu

akademi, kelab, tim bisbol dan benteng.

a. Akademi. Suatu akademi adalah tempat untuk memanjat ajek (steady)

yang ingin menguasai benar-benar tiap pekerjaan baru yang

diterimanya. Perusahan ini suka merekrut para lulusan muda

universitas, memberi banyak pelatihan istimewa, dan kemudian

dengan seksama mengemudikan mereka melewati ribuan pekerjaan

terkhusus didalama suatu fungsi tertentu.

b. Kelab menurut Sonnefeld, kelab menaruh nilai tinggi pada kecocokan

dalam sistem, kesetiaan, dan pada komitmen. Senioritas merupakan

kunci pada kelab-kelab. Usia dan pengalaman diperhitungkan. Kontras

dengan akademik, kelab menumbuhkan manajer sebagai generlis.

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

47

c. Tim bisbol. Organisasi ini adalah pelabuhan yang berorientasi pada

wiraswasta bagi para pengambil dan innovator. Tim bisbol mencari

orang-orang berbakat dari segala usia dan pengalaman, kemudian

mengembalikan mereka untuk apa yang mereka produksikan.

d. Benteng tidak banyak menawarkan keamanan pekerjaan, namun

perusahan semacam ini dapat merupakan tempat yang mengasikan

untuk berkerja bagi mereka yang menyukai tantangan dari suatu

perubahan haulan.

Schein (1992), dalam teori tiga tingkatan menyatakan bahwa,

budaya organisasi mungkin kuat atau lemah, dan budaya yang kuat

tidaklah harus baik. Sebaliknya, budaya yang lemah mungkin dapat

diterima jika organisasi tersebut berfungsi dengan baik. Lebih lanjut

Schein (1992), menggambarkan budaya organisasi kedalam tiga tingkatan,

antara lain :

a. Artifak dan perilaku

Merupakan tingkat budaya yang tampak di permukaan. Termasuk

dalam artifak adalah suatu fenomena yang dapat dilihat, didengar dan

dirasakan ketika seseorang memasuki sebuah kelompok dengan

budaya yang masih asing baginya.

b. Nilai-nilai yang diyakini

Tingkat ini tidak dapat terlihat. Nilai-nilai terungkap pada pola-pola

perilaku tertentu. Dalam organisasi, nilai-nilai tertentu umumnya

dicanangkan oleh tokoh-tokoh pendiri dan pemimpin yang menjadi

pegangan dalam menekan ketidakpastian pada bidang-bidang kritis.

c. Asumsi-asumsi dasar

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

48

Merupakan tingkatan yang paling dalam, yang mendasari nilai-nilai

yaitu keyakiinan (belief). Tingkatan ini terdiri dari berbagai asumsi

dasar. Asumsi-asumsi ini telah ada sebelumnya dan menjadi panduan

perilaku bagi anggota organisasi dalam memandang sesuatu

permesalahan.

Sebagaimana beberapa teori budaya organisasi diatas, maka

penulis menggunakan teori budaya organisasi dari Robbins (1998) yang

melihat budaya organisasi sebagai sebuah fungsi untuk menggerakan

organisasi dalam hubungan sistim makna secara berasama antara

organisasi terhadap karyawan dan sebaliknya dalam cakupan mitra yang

saling menopang.

2.3.3 Karakteristik Budaya Organisasi

Dalam sebuah kesempatan Robbins (1998), berpedoman dari hasil

penelitiannya, mengemukakan tujuh karateristik primer, yang bersama-

sama menangkap hakikat dari budaya suatu organisasi, antara lain :

1. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana para karayawan didorong

untuk inovatif dan mengambil resiko.

2. Perhatian ke rincian. Sejauh mana para karyawan diharapkan

memperlihatkan presisi atau (kecermatan) , analisis dan perhatian

kepada rincian.

3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memfokuskan pada pada hasil

bukanya pada teknik dan proses di gunakan untuk mencapai hasil itu.

4. Orientasi orang. Sejauh mana manajemen memperhitungkan

memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang didalam organisasi

itu.

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

49

5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-

tim, bukannya individu-individu.

6. Keagresifan. Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompentitif dan

bukanya santai-santai.

7. Kemantapan. Sejauh mana kegiatan organisasi menenkankan

dipertahankanya status qou sebagai kontras dari perubahan.

Pada kesempatan yang lain, Luthans (2006) Menjelaskan budaya

organisasi mempunyai beberapa karakteristik penting diantaranya adalah :

1. Aturan prilaku yang diamati. Ketika organisasi berinterkasi satu sama

lain, maka menggunakan bahasa, istilah dan ritual umum yang

berkaitan dengan rasa hormat dan cara berprilaku.

2. Norma. Ada standar perilaku, mencangkup pedoman mengenai

seberapa banyak pekerjaan yang dilakukan, yang dalam banyak

perusahaan menjadi “ jangan melakukan terlalu banyak; jangan terlalu

sedikit”.

3. Nilai dominan. Orang mendukung dan berharap peserta membagi-

membagikan nilai utama.

4. Filosofis. Terdapat kebijakan untuk membentuk kepercayaan organisasi

mengenai bagaimana karyawan dan atau pelanggan diberlakukan.

5. Aturan. Terdapat pedoman ketat berkaitan dengan pencapaian

perusahaan.

6. Iklim organisasi. Ini merupakan keseluruhan “perasaan” yang

disampaikan dengan pengaturan yang bersifat fisik, cara peserta

berinterkasi dan cara organisasi berhubungan dengan pelanggan dan

individu dari luar.

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

50

Selanjutnya dalam kesempatan yang berbeda, Srećko Goić (2013)

menyimbulkan Karakteristik budaya organisasi diteliti melalui lima item

penting yaitu:

1. Penerimaan dan kepatuhan seluruh karyawan terhadap nilai-nilai dan

cara-cara yang dengan perilaku yang diinginkan, sebagai indikator

kekuatan dan integritas karyawan terhadap struktur organisasi.

2. Pentingnya 'integrasi' karyawan baru ke dalam nilai-nilai dan cara

kerja dibandingkan dengan pentingnya pendidikan dan pengalaman

sebagai indikator penting yang diberikan didalam budaya organisasi

sebagai faktor keberhasilan dalam pekerjaan.

3. Keinginan membangun identitas tertentu, nilai-nilai, cara perilaku, dll,

khususnya dalam (profesionalisme kerja kelompok) sehingga

memungkinkan karyawan lebih memilih budaya professional di

banding budaya perusahaan kolektif

4. Keinginan konsumen (swasta) dalam hubungan antara karyawan

bahkan setelah pekerjaan sebagai salah satu indikator lain yang

penting diberikan kepada identifikasi karyawan dengan organisasi.

5. Penghargaan organisasi, kunjungan, kompetisi yang sehat bagi

karyawan, sebagai cara untuk meningkatkan penyeragaman internal

dan integrasi karyawan

Dalam hubungannya dengan penelitian ini, peneliti menggunakan

tujuh karatekteristik budaya organisasi yang mengacu pada Robbins

1998). (1) inovasi dan pengambilan resiko (2) perhatian kerincian, (3)

orientasi hasil, (4) orinetasi orang, (5) orientasi tim, (6) keagresifan, (7)

kemantapan. Pemilihan karakteristik budaya organisasi ini, berdasarkan

alasan bahwa ketika seorang pendeta ada dalam sebuah organisasi yang

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

51

memiliki karakteristik demikian maka dengan sendirinya budaya

organisasi dapat merangsang suatu kinerja yang baik dari sang pendeta.

2.4 PENELITIAN TERDAHULU

2.4.1 Motivasi Kerja dan Kepuasan Kerja

Beberapa hasil penelitian terdahulu yang menjelaskan adanya

hubungan atau pengaruh motivasi kerja terhadap kepuasan kerja. Tan &

Waheed (2011), dalam penelitian mereka yang menggunakan analisis

regresi untuk mengetahui hubungan antara teori dua faktor Herzberg

dengan kepuasan kerja di Malaysia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

54% dari varians dalam kepuasan kerja di Malaysia dapat dijelaskan oleh

faktor-faktor motivasi dan kebersihan Herzberg. F-rasio 14.90 (p = 0.00)

menunjukkan bahwa dari model regresi, yakni motivasi kerja dan

kepuasan kerja pada variabel motivasi kerja dinilai secara statistik

mendapat hasil yang signifikan. Hasil penelitian juga mengungkapkan

bahwa terdapat empat variabel motivasi kerja (kondisi, pengakuan,

kebijakan perusahaan dan faktor upah) yang ditemukan signifikan dalam

konteks Malaysia. Dalam kesempatan lain dalam penelitian oleh Khalid et

al (2011), menyatakan ada hubungan positif antara motivasi karyawan

terhadap kepuasan kerja di kedua organisasi utilitas air publik dan swasta,

(β = 0,63, p <0,05). Hubungan diprediksi antara motivasi karyawan dan

kepuasan kerja karyawan ditemukan dalam penelitian ini. H2 Public (β =

0,62, p <0,05) dan H2 Private (β = 0,59, p <0,05). Dalam penelitian ini,

mereka menyimpulkan bahwa tingkat imbalan yang merupakan pendorong

kepuasan kerja merupakan aspek dari motivasi karyawan sehingga

merangsang kepuasan kerja karyawan.

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

52

Beberapa penelitian tentang adanya hubungan motivasi kerja

terhadap kepuasan kerja seperti yang telah disebutkan diatas bertolak

belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Budiyanto & Oetomo

(2011). Data penelitian ini diperoleh dari 270 PNS yang bekerja pada

dinas pemerintah Kabupaten Magetan. Data dianalisis dengan

menggunakan structural equation modeling dengan partial least program

square. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah variabel motivasi

kerja tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Hal ini disimpulkan

berdasarkan sebanyak 96,8% pegewai merasa kurang puas dengan

pekerjaan itu sendiri karena pekerjaan ini relative mudah untuk dilakukan

dan tidak bervariasi (membosankan), kurang menyenangkan dan kurang

relevan dengan keahlian mereka. Kondisi kerja tersebut tidak

menghasilkan dampak yang signifikan terhadap kepuasan kerja.

Hal senada juga disampaikan oleh Dhermawan et al (2012) yang

dalam penelitian mereka menyatakan bahwa motivasi kerja tidak

berpengaruh terhadap kepuasan kerja, hal ini ditunjukkan dari nilai

koefisien standardized regression weight sebesar 0,003, C.R sebesar 0,04,

dan probability 0,968. Meskipun para pegawai yang bekerja di Dinas PU

Provinsi Bali memiliki motivasi kerja yang baik, hal tersebut tidak

berpengaruh signifikan atau memberikan pengaruh yang kecil terhadap

kepuasan kerja, yang dirasakan oleh para pegawai tersebut. Penelitian lain

juga yang menyimpulkan bahwa motivasi kerja tidak memengaruhi

kepuasan kerja yaitu penelitian dari Ekyadi (2009), mereka menemukan

motivasi kerja mempunyai nilai t hitung sebesar 1.315 yang lebih kecil

dari nilai t tabelnya dengan nilai α = 5% yaitu sebesar 1.725 karena lebih

kecil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi tidak mempunyai

pengaruh terhadap kepuasan karyawan, hal tersebut disebabkan karena

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

53

motivasi karyawan tidak cukup meningkatkan kepuasan kerja terhadap

pekerjaannya dalam hal pengakuan dari pimpinan, tanggung jawab

terhadap pekerjaannya, kesempatan, pengembangan keterampilan dan

kemampuan, serta kinerja tidak dirasakan dengan baik oleh para

karyawan.

2.4.2 Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja

Beberapa hasil penelitian terdahulu yang menjelaskan adanya

hubungan signifikan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja antara

lain penelitian yang dilakukan oleh Sempane et al (2002) dalam penelitian

mereka, memperoleh hasil korelasi positif yang signifikan yang ditemukan

antara dua variabel (r = 0, 743). Dengan demikian disimpulkan dalam

penelitian ini bahwa terdapat hubungan positif antara budaya organisasi

dan kepuasan kerja. Hal senada disampaikan Munizu (2012)

menyimpulkan bahwa terdapat hubungan budaya organisasi terhadap

kepuasan kerja. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Zahari et al

(2014) menemukan bahwa, setiap karyawan yang bekerja dalam

organisasi memiliki norma sendiri, nilai-nilai dan keyakinan yang berbeda

terhadap organisasi di mana ia / dia bekerja. Menurut tabel, nilai

signifikan untuk setiap variabel dependent seperti : komitmen karyawan,

kepuasan karyawan dan niat turnover adalah 0.00. Jadi (0.00 <0,01)

sehingga salah satu kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa

bahwa ada hubungan positif antara budaya organisasi terhadap kepuasan

kerja kepuasan kerja.

Beberapa penelitian tentang adanya hubungan budaya organisasi

terhadap kepuasan kerja seperti yang telah disebutkan diatas bertolak

belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Rukhviyanti (2011)

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

54

dengan tujuan penelitiannya untuk mengetahui pengaruh budaya

organisasi, yang dikelompokan dalam budaya birokrasi, budaya inovatif

dan budaya suportif terhadap kepuasan kerja pada salah satu bank di

Rangkasbitung. Besarnya nilai koefisien korelasi antara variabel budaya

inovatif terhadap kepuasan kerja sebesar 0,358, dan budaya suportif

terhadap kepuasan kerja sebesar 0,513. Sedangkan variabel budaya

birokrasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Sebab, besarnya nilai

koefisien korelasi antara variabel budaya birokrasi terhadap kepuasan

kerja sebesar 0,049. Dengan demikian dari hasil penelitian ini disimpulkan

bahwa budaya organisasi tidak memiliki pengaruh terhadap kepuasan

kerja, hal ini terbutkti karena hanya budaya suportif saja yang berpengaruh

terhadap kepuasan kerja, sedangkan budaya birokrasi dan budaya inovatif

tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja.

2.4.3 Motivasi kerja dan Budaya organisai Secara Simultan

dengan Kepuasan Kerja.

Beberapa penelitian mengenai motivasi kerja dan budaya

organisasi secara simultan memiliki hubungan terhadap kepuasan kerja,

telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Diantaranya Roos & Eeden (2008),

yang dalam peneltian mereka ditemukan hubungan tiga variabel antara

motivasi kerja, budaya organisasi dan kepuasan kerja. Hal ini dinyatakan

lewat hubungan positif antara budaya organisasi dan motivasi kerja

terhadap kepuasan kerja. Hal ini berarti semakin baik budaya organisasi

dan motivasi kerja maka akan semakin baik kepuasan kerja yang

dirasakan oleh karyawan dari organisasi. Pola ini tercatat dalam korelasi

numeric dengan (n = 59) median low 0,593, median high 0,522, low 25%

(n = 29) 0,714, high 25% (n = 29) 0,355. Korelasi tersebut, diidentifikasi

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

55

lewat budaya perusahan (pengembangan sumber daya manusia, hubungan

yang dinamis dengan rekan kerja dan pengambilan keputusan yang

kolektif), motivasi kerja (fungsi organisasi, remunerasi, dan kebijakan )

dan kepuasan kerja (fungsi karakteristik organisasi, pengembangan karir,

faktor remunerasi, manfaat dan kebijakan personil).

Penelitian lain juga dilakukan oleh Yamsul et al (2013). Penelitian

bertujuan untuk melihat Pengaruh motivasi dan budaya organisasi pada

kepuasan kerja dan komitmen organisasi (Studi pada Program Manager

Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) di Provinsi Sulawesi

Tenggara). Dengan menggunakan pendekatan analisis statistik deskriptif

dan analisis Structural Equation Modeling (SEM). Dari sembilan pengaruh

langsung dari variabel yang diuji, ada empat dengan dampak yang

signifikan, salah satunya yaitu: motivasi kerja dan budaya organisasi

memiliki dampak yang signifikan terhadap kepuasan kerja. Nilai p

variabel motivasi kerja terhadap variabel kepuasan kerja sebesar 0,152

sedangkan nilai p variabel budaya organisasi terhadap kepuasan kerja

sebesar 0,774.

Selanjutnya Ichsan (2008), dalam penelitiannya yang bersifat

deskriptif korelasional, terhadap empat variabel yaitu budaya organisasi

dan motivasi kerja sebagai variabel independen, kepuasan kerja sebagai

variabel intervening, dan kinerja karyawan sebagai variabel dependen.

Dengan menggunkan populasi sebanyak 42 responden pada karyawan

tetap The Grand Palace Hotel Malang. Diperoleh hasil yaitu terdapat

pengaruh lansung budaya organisasi dan motivasi kerja secara simultan

terhadap kepuasan kerja dengan F hitung = 20,175 nilai sig t 0,00 < 0,05.

Hal ini menunjukan bahwa budaya organisasi dan motivasi kerja

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

56

berhubungan secara simultan terhadap kepuasan kerja karyawan tetap The

Grand Palace Hotel Malang.

Berdasarkan hasil penelitian motivasi kerja dan budaya organisasi

dengan kepuasan kerja, maka terlihat kedua variabel sama-sama

berkontribusi terhadap kepuasan kerja. Meningkatnya motivasi kerja akan

meningkakantnya kepuasan kerja, sementara semakin budaya organisasi

diciptkan dengan baik dalam organisasi, akan meningkat pula kepuasan

kerja. Berdasarkan hal ini maka variabel motivasi kerja dan budaya

organisasi sama-sama mendukung terciptanya serta meningkatnya

kepuasan kerja. Dengan demikian dinamika yang dapat dibangun dari

penelitian-penelitian terdahulu tentang motivasi kerja dan budaya

organisai secara simultan dengan kepuasan kerja adalah, ketika individu

memiliki motivasi kerja dalam melaksanakan tugasnya dengan didukung

oleh budaya organisasi, akan membuat individu merasa nyaman dalam

bekerja dan akan mendapat kepuasan kerjanya. Demikian juga jika

individu menganggap bahwa dirinya terjebak untuk melakukan tugas

sesuai dengan kebutuhannya, didukung oleh budaya organisasi yang

membuat individu merasa nyaman dalam bekerja akan mendapat kepuasan

kerja yang tinggi. Dari penjelasan tersebut, maka hipotesis yang dibangun

adalah ada hubungan signifikan antara motivasi kerja dan budaya

organisasi dengan kepuasan kerja pendeta GPI Papua Klasis Fakfak.

2.4.4 Motivasi Kerja Dan Jenis Kelamin Dengan Kepuasan Kerja

Penelitian yang dilakukan oleh Lambrou et al (2010) menemukan

bahwa motivasi kerja hendaknya dimiliki oleh setiap karyawan baik laki-

laki maupun perempuan. Penelitian yang bersampel penelitian 286 orang

dengan 90 orang tenaga kerja laki-laki dan 196 orang tenaga kerja

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

57

perempuan. Data penelitian ini menunjukan bahwa karyawan perempuan

memiliki motivasi kerja lebih baik dibanding karyawan laki-laki, dengan

nilai (p<0,005). skala motivasi kerja yang dipakai dalam penelitian ini,

menunjukkan korelasi moderat dengan semua faktor kepuasan kerja,

dengan r Pearson antara 0,303-0,382. Dengan demikian terdapat hubungan

positif signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja. Hal ini

dilihat dari nila (P <0,001), korelasi ini berarti motivasi kerja

menyumbang 8,9%-14,3% dari varians dalam faktor-faktor kepuasan

kerja. Kesimpulan penelitian ini dinyatakan bahwa motivasi kerja adalah

kekuatan pendorong untuk mengejar dan memenuhi kebutuhan, sehingga

menimbulkan respons secara langsung terhadap kepuasan kerja baik

terhadap karyawan laki-laki maupun perempuan. Penelitian tersebut

didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Gupta & Gehlawat (2013)

yang menyatakan bahwa ada hubungan signifikan antara motivasi kerja

dan jenis kelamin dengan kepuasan kerja

Selanjutnya penelitian dari Ayub & Rafif (2011) juga mendapati

hubungan positif antara motivasi kerja dan kepuasan kerja (r = 0,563),

sementara itu jenis kelamin dengan kepuasan kerja dapat dilihat dari

perbedaan signifikan yang ditemukan antara laki-laki dan perempuan (t =

4,324, df = 78, p <.05) pada variabel pekerjaan motivasi dan kepuasan

kerja (t = -3,670, df = 78, p <.05). Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa,

sekalipun perempuan lebih termotivasi utuk bekerja dan lebih puas

terhadap pekerjaannya, namun penelitian ini menunjukan bahwa

terdapatnya hubungan interaksi yang signifikan antara motivas kerja dan

jenis kelamin dengan kepuasan kerja.

Beberapa penelitian tentang adanya hubungan motivasi kerja dan

jenis kelamin dengan kepuasan kerja sebagaimana terlihat di atas bertolak

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

58

belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Edrak et al (2013).

Dalam penelitian tersebut hasil yang didapati adalah tidak ada hubungan

antara jenis kelamuin dengan motivasi kerja hal ini dapat dililhat dari hasil

model yang didapati nilai (t = -.375, p> .05). Hasil penelitian tersebut

didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kaushik & Rani (2005)

yang juga menegaskan temuan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan

antara jenis kelamin dan motivasi kerja dengan kepuasan kerja.

Selanjutnya, Sood (2006), Pandey & Ahmad (2007) dalam (Edrak et al

2013 ) juga menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan jenis

kelamin dan motivasi kerja dengan kepuasan kerja.

Dari hasil penelitian pro dan kontra yang telah dikemukakan maka

hal ini menunjukan semakin tinggi tingkat motivasi kerja pendeta laki-laki

dan perempuan maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan kerjanya.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, ditambah dengan fenomena-

fenomena yang terlihat dilapangan, maka dapat dilihat bahwa ada

kemungkinan motivasi kerja pendeta pria lebih tinggi dibanding wanita

dalam mencapai kepuasan kerja. Dengan demikian hipotesis yang

dibangun ada pengaruh interaksi antara motivasi kerja dan jenis kelamin

dengan kepuasan kerja pendeta GPI Papua Klasis Fakfak.

2.4.5 Budaya Organisasi Dan Jenis Kelamin Dengan Kepuasan

Kerja

Penelitian yang dilakukan oleh Mohamed & Zahari (2012).

Dengan menggunakan kuesioner, data dikumpulkan dari 227 karyawan.

Dari penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif

signifikan antara budaya organisasi dan kepuasan kerja di NOC Libya.

Variabel (budaya organisasi) memberikan kontribusi signifikan terhadap

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

59

variabilitas (kepuasan kerja) sebesar 51% dari total variabilitas. Selain

variabel budaya organisasi, menurut penelitian ini, sesuai dengan literatur

yang ditemukan, jenis kelamin juga merupakan salah satu penentu

kepuasan kerja keryawan. Dengan demikian disimpulkan dari penelitian

mereka tersebut bahwa terdapat hubungan yang interaksi yang signifikan

antara budaya organisasi dan jenis kelamin dengan kepuasan kerja

karyawan. Penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan

oleh Medina (2012) yang melihat kepuasan kerja menurut jenis kelamin

dan budaya dalam organiasasi mengungkapkan bahwa 88 persen pria

bekerja penuh waktu, dibandingkan dengan hanya 76 persen wanita yang

bekerja penuh waktu. Dengan menggunakan teknik simple random

sampling. Hasil penelitian menunjukan ada pengaruh interaksi yang

signifikan beberapa unsur budaya organisasi dan jenis kelamin dengan

kepuasan kerja dengan jumlah 0,89; p<0,05. Dengan demikian

disimpulkan dari penelitian ini bahwa unsur-unsur budaya organisasi yang

dapat memberikan stimulus terhadap kepuasan kerja karyawan laki-laki

atau perempuan seperti besaran gaji yang diterima, relasi yang dibangun,

penghargaan yang diberikan akan memiliki keterkaitan satu dengan

lainnya.

Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

Abedi & Rostsmi (2011). Pada penelitian tersebut mereka menemukan

bahwa budaya organisasi tidak memengaruhi kepuasan kerja baik

karyawan laki-laki maupun perempuan, hal ini dikarenakan tidak ada

variasi korelasi interaksi antara budaya organisasi dan kepuasan kerja. Hal

ini ditunjukan dengan nilai sumbangan budaya organisasi terhadap

kepuasan kerja hanya sebesar 13,7%, sedangkan presentase kepuasan

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

60

kerja lainnya dijelaskan oleh faktor pribadi dan efektifitas organisasi

sebesar 86,3%.

Dari hasil-hasil penelitian di atas, ada yang mendukung dan

menolak, tentunya memberikan sebuah kontribusi dan pemahaman bahwa

budaya organisasi dan jenis kelamin merupakan suatu konsep yang

menunjukan pada keyakinan pendeta laki-laki dan perempuan mengenai

beberapa hal yang terjadi dalam kelangsungan pekerjaannya yang juga

berdampak pada kepuasan kerja itu sendiri. Selain itu dari fakta fenomena

yang diperoleh dilapangan didapati bahwa pendeta wanita dibandingakan

pendeta pria merasakan lebih nyaman ketika bekerja dalam budaya

organisasi yang kondusif, sehingga dapat mencapai kepuasan kerja.

Dengan demikian hipotesis yang dibangun ada pengaruh interaksi antara

budaya organisasi dengan kepuasan kerja pendeta GPI Papua Klasis

Fakfak.

2.4.6 Kepuasan Kerja Ditinjau Dari Jenis Kelamin.

Salah satu faktor demografi yang sampai saat ini masih menarik

untuk diteliti dalam hubungannya dengan kepuasan kerja adalah jenis

kelamin, hal ini dikarenakan terdapatnya beragam hasil penelitian yang

memperoleh hasil yang berbeda antara ada dan tidak ada pengaruh

kepuasan kerja dari faktor jenis kelamin ini. Beberapa penelitian yang

terlebih dahulu dilakukan yaitu, Rafif & Ayub (2011) dalam penelitian

mereka, menemukan hubungan perbedaan jenis kelamin terhadap

kepuasan kerja diantara karyawan perempuan dengan karyawan laki-laki,

pada penelitian ini, disimpulkan bahwa ada perbedaan pada kepuasan

kerja dalam hubunganya dengan jenis kelamin. Hal ini ditunjukan dengan

(n = 80, t = -3,670, p <.05). Beberapa alasan yang dikemukakan yang

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

61

mengakibatkan perbedaan kepuasan kerja berdasarkan jenis kelamin yaitu,

laki-laki biasanya menekankan pada gaji, sementara perempuan lebih

menekankan pada pertumbuhan professional kerja, sehingga karyawan

laki-laki jauh lebih puas terhadap pekerjaan dibandingkan dengan

karyawan perempuan. Perbedaan jenis kelamin sebagai penentu kepuasan

kerja juga di jelaskan oleh Ahmed et al (2010), namun sedikit berbeda

dengan yang dijelaskan oleh Rafif dan Ayub yang menyatakan laki-laki

lebih puas terhadap pekerjaannya, dalam penelitian ini ditemukan

Perbedaan yang signifikan dicatat mengenai kepuasan kerja antara

karyawan pria dan wanita dengan karyawan perempuan yang memiliki

kepuasan kerja lebih dari karyawan laki-laki.

Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Peerbai

(2006) yang menemukan bahwa untuk kepuasan kerja faktor jenis kelamin

tidak memiliki hubungan sama sekali dalam merangsang kepuasan kerja

ataupun membuat seseorang tidak puas terhadap pekerjaannya. Hal ini

dilihat berdasarkan temuan nilai (p = 0,78> 0,05). Penelitian tersebut

didukung oleh penelitian dari Ifeoluwa et al (2014) yang mana dari

temuan penelitian mereka, terbukti bahwa staf perpustakaan laki-laki dan

perempuan memiliki tingkat kepuasan kerja yang sedang atau biasa saja.

Dengan presentasi laki-laki sebesar 27,2%, dan presentase perempuan

35,1% dari total persentase 62,3% untuk kepuasan kerja. Hal ini

menegaskan bahwa pustakawan umumnya puas dengan pekerjaan mereka.

Meskipun persentase sedikit terlihat berbeda pada tingkat kepuasan kerja,

namun hal ini menunjukan bahwa hasil perbedaan jenis kelamin terhadap

kepuasan kerja tidak signifikan secara statistik dan dapat dikaitkan dengan

fakta, bahwa jumlah responden perempuan lebih banyak dari responden

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

62

laki-laki. Dengan demikian, perbedaan jenis kelamin ditemukan tidak

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja.

Dari hasil penelitian pro dan kontra yang telah dikemukakan maka

dapat dililhat ada perbedaan antara kepuasan kerja bila ditinjau dari jenis

kelamin. Dengan demikian hipotesis yang dibangun ada perbedaan

kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin pendeta GPI Papua Klasis

Fakfak.

2.5 Dinamika Psikologis Hubungan Antara Variabel

Kepuasan kerja merupakan sikap umum dari perasaan positif atau

emosi yang menyenangkan karena keberhasilan dari suatu pekerjaan yang

dilakukan oleh seseorang dalam suatu organisasi. Perasaan positif tersebut

berasal dari hasil evaluasi dari karakterisitiknya mengenai seberapa baik

pekerjaannya, yang berakibat reaksi emosional yang menyenangkan dari

penilaian kinerjanya atau pengalaman kerjanya.

Dinamika antara variabel pada penelitian ini yaitu pertama adalah

hubungan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja pendeta. Hubungan

yang kedua adalah antara budaya organisasi dengan kepuasan kerja

pendeta. Hubungan yang ketiga adalah motivasi kerja dan budaya

organisasi yang secara simultan atau bersama dalam memengaruhi

kepuasan kerja pendeta.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada sub bab

sebelumnya, peneliti berkesimpulan bahwa motivasi kerja dan budaya

organisasi memiliki hubungan terhadap kepuasan kerja seorang pendeta.

Seorang pendeta yang adalah pekerja bila memiliki motivasi kerja yang

tinggi, maka mereka akan berupaya untuk bekerja semaksimal mungkin

sehingga menimbulkan kepuasan kerja dalam dirinya. Demikian juga

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

63

ditemukan pada penelitian-penelitian terdahulu, bahwa seorang pekerja

atau karyawan akan puas terhadap pekerjaannya bila didukung oleh

budaya organisasi yang baik, dan sebaliknya bila budaya organisasi tidak

menciptkan persaan yang menyenangkan bagi karyawannya, maka

kepuasan kerja tidak akan dirasakan oleh pekerjanya.

Khalid et al (2011) dalam penelitian mereka yang mana salah satu

hipotesisnya mengusulkan bahwa ada hubungan yang positif antara

motivasi karyawan terhadap kepuasan kerja, membuktikan bahwa ada

hubungan positif signifikan antara motivasi kerja karyawan terhadap

kepuasan kerja karyawan, dimana tingkat imbalan yang merupakan

pendorong kepuasan kerja adalah aspek terpenting dari motivasi karyawan

dalam merangsang kepuasan kerja karyawan. Selain motivasi kerja,

budaya organisasi juga merupakan penentu seseorang puas ataupun tidak

puas terhadap pekerjaannya. Sabri et al (2011) menyatakan bahwa budaya

organisasi yang berkaitan dengan karyawan memainkan peran yang lebih

kuat dalam menciptakan kepuasan kerja. Selain kedua variabel motivasi

kerja dan budaya organisasi yang memengaruhi kepuasan kerja, jenis

kelamin juga memengaruhi kepuasan kerja. Rafif & Ayub (2011)

mengungkapkan bahwa beberapa alasan yang yang mengakibatkan

perbedaan kepuasan kerja berdasarkan jenis kelamin yaitu, laki-laki

biasanya menekankan pada gaji, sementara perempuan lebih menekankan

pada pertumbuhan professional kerja.

Dari apa yang telah dipaparkan tersebut, maka dapat dilihat bahwa

motivasi kerja dan budaya organisasi memiliki pengaruh terhadap

kepuasan kerja. Disamping itu jenis kelamin juga terlihat memiliki andil

terhadap kepuasan kerja seseorang.

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

64

2.6 Model Penelitian

Berdasarkan telah teoritis yang dilakukan dibagian awal,

selanjutnya dibentuk sebuah model penelitian yang diharapkan nantinya

akan menjadi guideline bagi pemecahan masalah yang diajukan pada

tulisan ini. Model pada penelitian ini adalah motivasi kerja dan budaya

organisasi secara simultan memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja

pendeta Gereja Protestan Indonesia di Papua Klasis Fak-Fak, serta

perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin pendeta Gereja

Protestan Indonesia di Papua klasis Fak-fak . Kerangka pemikiran teoritis

yang diajukan dalam penelitian ini adalah pada gambar berikut

Kerangka Pemikiran Teoritis

Demografi (Jenis Kelamin)

Keterangan :

X1 : Motivasi Kerja

X2 : Budaya Organisasi

X3 : Jenis kelamin

Y : Kepuasan kerja

Motivasi kerja

(X1)

Budaya Organisasi

(X2)

Kepuasan Kerja

(Y)

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9280/2/T2_832012003_BAB II.pdf · definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan

65

2.7 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah, tinjauan pustaka dan kerangka

berpikir, dapat diajukan hiptesis penelitian sebagai berikut :

1. Ada hubungan motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap

kepuasan kerja pendeta GPI Papua klasis Fakfak.

2. Ada pengaruh interaksi motivasi kerja dan jenis kelamin terhadap

kepuasan kerja pendeta GPI Papua klasis Fakfak.

3. Ada pengaruh interaksi budaya organisasi dan jenis kelamin terhadap

kepuasan kerja pendeta GPI Papua klasis Fakfak.

4. Ada perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin pendeta GPI

Papua klasis Fakfak.